Anda di halaman 1dari 7

Apa Gunanya Belajar Filsafat?

Seorang filusuf menyewa perahu untuk menyeberangi sungai besar. Supaya lebih
santai dan akrab, sang filusuf bertanya, “Apakah Anda tahu Psikologi?”. Tidak, kata tukang
perahu. “Sayang sekali, padahal psikologi berkaitan sangat dengan perilaku Anda sehari-
hari. Apakah Anda tahu Sosiologi?” Tidak, kata tukang perahu. “Sayang sekali, padahal
sosiologi berhubungan erat dengan masyarakat Anda? Sekarang, apakah Anda tahu Filsafat?”
Tidak, kata tukang perahu. “Sayang sekali, karena filsafat memberikan makna pada hidup
dan mati Anda.”
Tiba-tiba ombak besar menerpa badan perahu. Ketika tukang perahu dengan sigap
membantingnya ke samping, perahu berguncang. Sambil mengamati muka filusuf yang
ketakutan, tukang perahu bertanya -dengan gaya bertanya filusuf, “Tuan, apakah tuan tahu
berenang?” Tidak, kata filusuf kita. “Sayang sekali,“ ujar tukang perahu dan berhenti sejenak,
“padahal berenang berkaitan dengan hidup dan mati tuan.”
Kisah di atas menunjukkan kecaman terhadap filsafat. Filsafat tidak bersifat praktis.
Filsafat terlalu abstrak, ngawang-ngawang dan tidak membumi. Filsafat adalah kerja orang
yang tidak ada kerjaan. Filsafat tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.
Karena itu, orang hanya berfilsafat setelah cukup makan dan minum; makan baso
dulu baru ngomong tentang keadilan; minum kopi dulu baru berbicara tentang kemanusiaan.
Ambil dulu uang caleg, baru kita ngomong tentang demokrasi (itu pun kalau calegnya
mengerti demokrasi). Dahulukan hidup daripada berfilsafat. Primum vivere deinde
philosophari.
Kalimat ini dinisbatkan kepada Thomas Hobbes (1588-1679), walaupun diduga
diucapkan oleh para filusuf sebelumnya. Kalimat Latin yang sejenis ini adalah Primum
manducare, deinde philosophari (Makan dulu, baru berfilsafat); Primum panem, deinde
philosophari (Pertama roti, kedua filsafat); Primum bibere, deinde philosophari (Minum
dulu, baru berfilsafat).
Dalam bahasa Jerman ada ungkapan, “Erst kommt das Fressen, dann kommt die
Moral.” Pertama siapkan makanan, setelah itu baru berbicara tentang kesusilaan. Pesan ini
dinisbatkan pada Kurt Weill dan Bertolt Brecht. Yang pertama, komponis besar; yang kedua
penyair, penulis, dan kritikus sastra. Kedua-duanya dari Jerman.
Sekarang, jika kamu datang ke sebuah pertemuan, kelompok studi atau rapat di
perusahaan, untuk menunjukkan bahwa kamu sudah belajar filsafat, berteriaklah nyaring
Primum vivere deinde philosophari. Erst kommt das Fressen, dann kommt die Moral. Makan
dulu deh, baru diskusi.
Untuk tukang perahu, semboyan itu menunjukkan bahwa memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari lebih penting dari belajar psikologi atau filsafat. Menurut Wikipedia bahasa Itali,
ungkapan itu menunjukkan bahwa lebih baik menaruh perhatian kepada hal-hal yang konkret
dan aspek-aspek yang praktis (ketimbang filsafat yang abstrak dan teoretis).
Bagi saya, masyarakat tidak akan peduli dengan filsafat, kalau kebutuhan pokoknya
belum terpenuhi. Sangat sulit bagi suatu bangsa untuk memerhatikan filsafat jika sebagian
besar penghasilannya untuk konsumsi perut (dan seks) dan sisanya (jika ada) untuk membeli
buku. Datanglah ke kota mana pun di Indonesia. Hitung berapa jumlah rumah makan dan
berapa jumlah toko buku. Berapa banyak orang yang melakukan wisata kuliner? Tak
terhitung. Berapa banyak orang berwisata filosofis? Tidak bisa dihitung karena angkanya
NOL.
Teman saya beruntung punya anak yang sangat cerdas. Setiap kali berbicara tentang
anaknya itu, matanya berbinar ceria, kecuali ketika ia datang pada waktu saya menyiapkan
tulisan ini. Matanya meredup duka. Ia mengadu kepadaku. Anaknya bersikukuh ingin
mendaftar ke sekolah filsafat! Setelah berdebat dengan alot, setelah kesulitan menangkis
argumentasi anak, setelah harus mengakui bahwa secara logis pilihan anaknya itu benar,
dengan suara yang tinggi, si Ayah berteriak, “Kamu belajar filsafat? Dengan apa kamu nanti
menghidupi dirimu, istrimu, dan anak-anakmu?” Dengan spontan dan suara keras, sang Anak
menjawab: Filsafat! Sambil berfilsafat, ia melanjutkan, “Filsafat tidak akan menghidupi aku,
filsafat menghidupkan aku!
Tapi ayahnya akan bersikukuh, mewakili hampir semua orang , “Primum vivere,
deinde philosophari!”

Kritik terhadap Filsafat


Filsafat sudah dikritik sejak kelahirannya. 2500 tahun yang lalu. Pada musim semi
423 sebelum Masehi, di kota Dionysia Raya, Athena, diadakan kompetisi drama komedi.
Aristophanes memenangkan juara ketiga dengan komedinya yang berjudul Νεφέλαι,
Nephelai, the Clouds, Dewi Mega. Juara kesatu dan kedua hilang dari sejarah. Juara ketiga
kini dianggap komedi pertama di dunia. Pertunjukan pertama dihitung sebagai hari jadi
komedi sedunia.
Boleh jadi drama ini kesohor karena aktor antagonis yang dijadikan obyek cemoohan
dan tertawaan di dalamnya. Tokoh ini bahkan lebih terkenal ketimbang dramanya. Sokrates!
Dewi Mega melahirkan komedi kritik yang pertama dan Sokrates melahirkan filsafat.
Ketika panggung dibuka, kita melihat Strepsiades, petani kaya, sedang tidur bersama
anaknya. Ia bangun pertama. Ia menggerutu tentang utangnya yang bertumpuk, karena ulah
istrinya yang memanjakan anaknya. Ia mendengar bahwa ada sekolah yang mengajarkan
teknik argumentasi untuk memutihkan utang. Dengan teknik itu, yang berpiutang akan
dikalahkan dalam pengadilan. Sekolah itu namanya Phrontiserion, the Thinkery, Wisma
Berfikir. Dari naskah yang ditulis 25 abad yang lalu, saya kutipkan satu adegan yang berisi
kecaman pada filsafat dan filusuf:
STREPSIADES:
Itulah Wisma Berfikir- buat orang-orang pintar
Di situ tinggal orang yang berdebat dan meyakinkan
……………………………………………..
Kepada orang yang memberikan uang, mereka akan ajarkan
Bagaimana memenangkan pertengkaran untuk segala tujuan
Benar atau tidak benar

Orang bilang mereka itu punya dua jenis argumentasi


Yang Lebih Baik, apa pun itu artinya,
Dan yang Lebih Buruk
Nah, di antara dua argumentasi,
Yang Lebih Buruk dapat membela yang salah dan menang.
Jadi buatku, kamu harus belajar seperti ini,
Berargumen untuk memenangkan yang salah, sehingga,
Semua utangku yang membebaniku karena kamu
Tidak perlu dibayar lagi, satu sen pun kepada siapa pun
Strepsiades menyuruh anaknya untuk belajar di Wisma Berfikir itu. Anaknya
bertanya: Siapakah mereka itu? Sang Ayah berkata: Aku tak tahu bagaimana mereka
menyebut dirinya. Tetapi mereka orang baik-baik, para intelektual yang berpikir cerdas dan
mendalam. Pheidipiddes, sang anak, menjawab:
Omong kosong. Mereka kelompok orang rendahan. Aku tahu mereka- Ayah
membicarakan tukang ngoceh yang bermuka pucat; yang tidak punya sepatu,
gelandangan seperti Socrates dan Chaerephon.
Pheidipiddes menolak mentah-mentah bersekolah di situ. Singkatnya cerita,
Strepsiades memutuskan belajar sendiri di Wisma Berpikir. Ia berjumpa dengan Sokrates
yang duduk dalam keranjang raksasa dan selalu memandang langit. Ia diperkenalkan dengan
dewa baru yang harus disembah, Dewi Mega. Setelah diajak berpikir berbelit-belit,
Strepsiades menemukan bahwa dari Sokrates ia tidak mendapatkan apa yang ia cari. Ajaran
Sokrates tidak ada hubungannya dengan keperluan praktis kehidupan sehari-hari. Akhir cerita
memperlihatkan Strepsiades marah kepada Sokrates dan membumi-hanguskan Phrontiseron,
Wisma berfikir. Serangan kepada filusuf dan filsafat sekaligus.
Ketika Sokrates (dalam dunia nyata) diadili oleh penguasa Athena dengan tuduhan
meracuni pikiran anak-anak muda dan melakukan penistaan terhadap Tuhan, Plato menuding
pentas komedi Nephelai sebagai penyebabnya. Kritik Aristophanes sebetulnya salah sasaran.
Orang yang dikritik Aristophanes adalah kaum Sophis, yang menggunakan retorika untuk
memenangkan kasus di pengadilan. Pemikiran Sokrates justru berusaha untuk mencerahkan
orang -terutama anak-anak muda- dari pengeruhan akal yang diakibatkan oleh penyalah-
gunaan retorika.
Apa pun yang terjadi, drama komedi itu telah menyebabkan kebencian orang pada
filsafat. Sokrates minum racun, disaksikan para muridnya. Plato -walaupun tidak hadir di
ruangan Sokrates- kelak melaporkan kisah kematiannya dengan linangan air mata. Phaedo,
salah seorang murid Sokrates, mengisahkan kematian gurunya kepada Echecrates, berkata:
“Begitulah, Echecrates, akhir sahabat kita, orang yang boleh kita katakan, orang yang paling
berani, paling bijak, dan paling lurus dari seluruh umat manusia yang pernah kita kenal di
zaman ini” (Phaedo, 115b-118b).
Plato menuliskan dialog antara Sokrates dengan murid-muridnya, bukan saja untuk
meletakkan dasar filsafat Platonis, tetapi juga untuk membangun filsafat dunia. 2500 tahun
setelah itu, Alfred North Whitehead, berkata, “Seluruh tradisi filsafat Barat/Eropa hanyalah
rangkaian catatan kaki untuk Plato.”
Aristoteles, murid Plato yang pertama, hampir-hampir mengalami apa yang dialami
Sokrates. Ketika muridnya, sekaligus pelindungnya, Raja Alexander yang Agung,
meninggal, Aristoteles melarikan diri dari Athena, “Agar Athena tidak berdosa dua kali
terhadap filsafat”, katanya. Sokrates dianggap korban pertama. Aristoteles kuatir, ia menjadi
korban kedua. Ternyata ia bukan korban kedua. Survei (filusuf prasokrates) menunjukkan
telah berjatuhan banyak korban (karena mengajarkan) filsafat sebelumnya.
Sekedar contoh, Pythagoras berhadapan dengan musuh-musuhnya di Sisilia. Sejumlah
besar pengikutnya dibantai. Ketika Pythagoras melarikan diri dari amukan massa, orang
banyak berhasil membunuhnya. Zeno dibunuh karena dianggap mau menggulingkan tiran di
Elea. Ketika para filusuf itu berlindung di Athena karena keterbukaannya, perkembangan
politis akhirnya menyudutkan mereka. Anaxagoras adalah filusuf pertama yang tinggal di
Athena. Ia bersahabat dengan Perikles, salah seorang di antara penguasa. Tapi
persahabatannya tidak menyelamatkannya dari penjara. Protagoras diusir dari Athena. Buku-
bukunya dibakar. Diagoras dihukum mati dan lari dari Athena. Orang-orang Athena
mengumumkan hadiah satu talen perak buat orang yang bisa membawa kepalanya.
Puncaknya Sokrates dihukum mati dengan diracun di Athena.
Satu abad setelah itu, Athena digantikan oleh Alexandria. Ke sini pusat peradaban
dunia berpindah. Di sini ada Hypatia, wanita yang menumbangkan setereotip perempuan
cantik. Ia luar biasa cantik, sehingga banyak lelaki tak tahan memandang wajahnya tanpa
membawanya ke dalam mimpinya. Pada saat yang sama, ia luar biasa cerdas. Ia ahli
astronomi, matematika, dan… tentu saja filsafat (Di mana sih ada filusuf yang tidak pintar).
Berpakaian toga dan jubah filusuf, yang di zaman itu hanya dipakai pria, dengan anggun ia
berjalan di tengah kota Alexandria. “Begitu sukanya ia pada filsafat, sehingga ia bisa berhenti
di jalanan dan menjelaskan, kepada siapa saja, yang bertanya tentang masalah pelik dalam
ajaran Plato dan Aristoteles”, tulis Will Durant dalam The Age of Faith. Semua orang
mencintai Hypatia.
Kecuali…”orang-orang saleh” yang lebih sibuk memobilisasi massa untuk kekuasaan
daripada mendidik jemaatnya. Karena kedekatannya dengan Orestes, Gubernur Romawi,
Uskup Besar Cyril konon memerintahkan para romo untuk menyeret Hypatia dari keretanya,
membawanya ke gereja, menelanjanginya, menguliti tubuhnya dengan kulit kerang,
menyirami salib dan altar dengan darahnya, menyobek-sobekkan mayatnya, dan akhirnya
membakarnya. “Sesudah kematiannya, umat Kritiani yang “saleh” itu melantik Cyril sebagai
„Theophillus baru‟, karena ia telah mengalahkan sisa-sisa terakhir penyembah berhala,”
laporan John dari Nikiu dalam Chronicle.
Kematian Hypatia yang mengerikan dan pengangkatan Cyril yang gemerlapan
menandai berakhirnya sekolah para filusuf. Kaisar Justinianus menutup semua sekolah yang
mengajarkan filsafat pada 529. Dalam ungkapan Durant, selesai sudah “transisi dari filsafat
ke agama, dari Plato ke Kristus.”
Pada zaman pramoderen, kota London memotong kepala filusuf Thomas More,
penulis buku Utopia yang terkenal itu. Ia tetap menolak keputusan Raja Henry VIII untuk
menyatukan kekuasaan sekular dan agama. Ia tidak menyetujui perceraian Raja dengan
istrinya. Ia dipenjarakan di Tower Hill yang terkenal sebagai tempat eksekusi. Dengan
tuduhan berkhianat (sepanjang sejarah hukum adalah keputusan pemegang hegemoni), More
dijatuhi hukuman mati.
Di atas panggung eksekusi, ia menawarkan diri untuk memasang penutup mata
sendiri. Di hadapan para penonton ia berkata, “Aku mati sebagai pelayan baik Raja- tapi yang
pertama aku pelayan Tuhan.”
Kalimat itu pernah diucapkan Sokrates pada pembelaannya di pengadilan, seperti
yang kita kutip dari Apologi, “Tuan-tuan, saya adalah pelayan tuan-tuan yang setia dan penuh
rasa terima kasih, tetapi kepatuhan saya kepada Tuhan lebih besar dari kepatuhan kepada
tuan-tuan.” Seperti Sokrates pada detik-detik terakhirnya, More masih berkelakar ketika
kepalanya diletakkan di tempat pemotongan. 6 Juni 1535, kepalanya bergulir di Tower Hill.
Kelak Gereja Katholik mentahbiskannya sebagai Santo, patron bagi para ahli hukum.
Dari London kita pindah ke Roma, kota antik yang pernah menjadi ibu kota
Kekaisaran Romawi. Roma mau menjatuhkan hukuman pada filusuf Giordano Bruno - satu-
satunya filusuf yang diekskomunikasi oleh tiga mazhab besar dalam Kristianitas: Roman
Katholik, Calvinis, dan Lutheran.
Kongregasi Tahta Suci, the Congregation of the Holy Office, pada 21 Desember 1599
meminta Bruno untuk bertobat dari bidat-bidat (baca: pandangan falsafi) yang dianutnya.
Kepada Inquisitornya dengan tegas ia menyatakan bahwa ia tidak perlu dan tidak ingin
bertobat, bahwa tidak ada yang harus ia tobati, bahwa ia tidak punya pandangan yang harus
ditobati, dan ia tidak tahu mengapa ia harus bertobat.
Maka pada subuh yang dingin, 17 Februari 1600, pengikut pandangan heliosentris ini
dibawa ke Campo de‟ Fiori. Sepotong logam ditusukkan ke mulutnya. More ditelanjangi,
diikatkan pada tiang; dan dengan iringan lagu yang mengantarkan pemotongan leher St. John,
ia dibakar hidup-hidup.
Kalau filsafat itu cuma omong kosong dari orang-orang yang tidak ada kerjaan, kalau
filsafat tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari mengapa kota-kota peradaban
dunia menghukum para filusuf? Buat tukang perahu, kemampuan berenang dapat
menyelamatkannya dari kematian. Buat jutaan umat manusia, filsafatlah yang memberikan
pencerahan tentang bagaimana menghadapi kematian. Tukang perahu benar. Berenang dapat
menyelamatkan kita dari gelombang sungai. Tetapi filsafat membantu kita mengarungi
gelombang kehidupan.
Sokrates sekarang lebih banyak diikuti dan dijadikan teladan ketimbang Arsitophanes.
Jika umat Kristiani mencontoh Kristus yang bersabar memikul tiang salib ke Bukit Golgotha,
para Sokratis melihat kepada Sokrates dalam menghadapi kematian. Yang pertama kali
disebut berpegang pada agama. Yang terakhir pada filsafat. Agama dan filsafat kedua-duanya
berguna untuk menghadapi hari-hari kita yang gelap.
Pernahkah Anda dengar senandung Frank Schubert, ode bagi musik:
Du holde Kunst, in wieviel grauen Stunden,
Wo mich des Lebens wilder Kreis umstrickt,
Hast du mein Herz zu warmer Lieb’ entzunden,
Hast mich in eine beßre Welt entrückt!
In eine beßre Welt entrückt!
Oft hat ein Seufzer, deiner Harf' entfloßen,
Ein süßer, heiliger Akkord von dir,
Den Himmel beßrer Zeiten mir erschloßen,
Du holde Kunst, ich danke dir dafür,
Du holde Kunst, ich danke dir!

Kau, musik nan suci, betapa sering pada hari-hari kelabu


Ketika aku dijepit oleh lingkaran hidup yang buas,
Kau kembalikan daku ke cinta hangat, „nyalakan lagi,
Mendorongku ke dunia yang lebih baik.

Sering desahan bergetar dari harpamu –


Kord manis dan suci datang darimu,
Menurunkan dari langit kelebat waktu yang lebih baik
Kau, seni nan suci, terima kasihku untukmu

“An die Musik” oleh Franz Schubert (D. 547 Op. 88 No. 4).

Itulah yang dirasakan oleh filusuf dari filsafatnya.


Ketika jadi mahasiswa tingkat-tingkat awal, aku menderita. Bukan karena tingginya uang
kuliah, tapi karena miskinnya suasana ekonomi keluargaku; keluarga petani yang
ditinggalkan pemimpinnya (ayahku). Karena tidak punya tas, kubuat sendiri map yang
dibungkus plastik. Kawanku dari senirupa ITB melukis gambar abstrak di permukaan map
itu. Lalu kutuliskan di situ puisi Heinrich Heine,
Ich grolle nicht, und wenn das Herz auch bricht,
Ewig verlor’nes Lieb! ich grolle nicht
Aku tidak pernah mengeluh, walau hatiku hancur-luluh
Oh Cinta yang hilang selamanya! Aku tidak pernah mengeluh
Aku kira itu semangat para filusuf. Filsafat adalah sahabat orang yang menderita. 2500 tahun
yang lalu, filsafat pernah menyapu air mata seorang napi korban fitnah, dan memberikan
cahaya baginya dalam gelap kehidupannya. Napi itu namanya Boethius.
Anicius Manlius Severinus Boethius adalah senator, pejabat tinggi, negarawan, juga filusuf.
Ia orang baik yang terkenal pintar dan bijak, dengan seabrek sukses. Nasib kemudian
menjebloskannya ke penjara pengap di Pavia, Italia. Ia dituduh pengkhianat oleh para
pendengkinya. Kaisar Theodorik menetapkan hukuman mati baginya. Tentu, karena dia
kaisar, tidak diperlukan bukti untuk itu. Antara masuk penjara dan jatuhnya hukuman mati
ada waktu tenggang.
Dalam kegelapan, kepengapan, dan kesunyian penjara, ia menuliskan penderitaannya. Ia
merasa nasib telah memperlakukannya tidak adil. Mengapa orang jahat dimenangkan dan
orang baik dikalahkan:
Hari-hari muda yang megah dan bahagia
Masih memberikan hiburan padaku di masa tua
Tiba-tiba derita merampok kemudaanku
Tidak lagi angka tapi derita menghitung hari-hariku
Rambut kelabu sebelum waktu menjarah kepalaku
Dan kulitku yang longgar bergantung di sekujur tubuhku
Secara mengejutkan, muncul seorang perempuan yang sangat berwibawa dan anggun. Ia
duduk di ujung ranjang Boethius, menatapnya dengan iba. “Sekarang waktunya untuk
menyembuhkan, bukan mengeluhkan,” kata dewi yang sangat memesona itu, yang turun tiba-
tiba dari angkasa. “Bukankah kamu laki-laki yang mereguk susu pengajaranku dan tumbuh
besar dengan makananku? Aku berikan padamu senjata untuk melindungimu dan membuat
kamu tetap kokoh, tetapi senjata itu sekarang kamu lemparkan?,” lanjut sang Dewi. Ia
melipat kain panjangnya dan mengusap air mata yang memenuhi pelupuk Boethius.
“Ia buyarkan awan deritaku dan dalam cahayanya aku tenggelamkan diriku. Aku mencoba-
coba mengingat muka dokterku itu. Aku pusatkan perhatianku kepadanya. Aku lihat, dialah
perawatku yang di rumahnya aku telah dipelihara sejak masa mudaku- Filsafat. Dewi
Filsafat!”, begitu cerita Boethius dalam bukunya yang ditulis 1500 tahun yang lalu, de
Consolationi Philosophiae.
Menurut Gibbon, muarikh Inggris yang terkenal itu, buku the Consolation of
Philosophy, penghiburan Filsafat, adalah “a golden volume not unworthy of the leisure of
Plato or Tully”. Buku ini berada di jalan silang Dunia Klasik dan Dunia Abad Pertengahan.
“No philosopher,“ tulis Richard Morris, “was so bone of the bone and flesh of the flesh of
Middle Age writers as Boethius.”
Buku ini telah diterjemahkan pada berbagai bahasa, telah dikomentari, dan
komentarnya dikomentari lagi, menjadi bacaan popular bagi peminat sastra Latin klasik.
Metrik-metrik puisinya sangat indah sehingga sebagian orang menganggapnya sebagai buku
liturgi (buku doa). Consolatio, nama buku itu, sebetulnya merujuk pada genre sastrawi yang
sudah kuno, cabang diatrib dalam berargumentasi falsafi. Dalam diatrib, penulis
beragumentasi dengan tokoh imajiner (Dewi Filsafat, misalnya). Semua mazhab filsafat
menggunakannya.
Pada zaman Seneca, ilmu consolati, menurut J. Martha, sudah menjadi “a kind of
moral medication…It was only necessary to open the drawer corresponding to the illness in
question in order to find at once the remedies most appropriate for a cure.‟
Boethius telah berjasa menerjemahkan banyak buku filsafat Yunani ke dalam bahasa
Latin. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan filsafat klasik dengan filsafat abad
pertengahan. Ia mempengaruhi banyak filusuf sesudah kematiannya.
Boethius kita kenang kembali untuk menjawab pertanyaan tukang perahu itu. Filsafat
tidak bisa menyelamatkan kita dari kematian. Tapi filsafat dapat memberikan penghiburan di
saat-saat kita mendekati kematian. “setiap tarikan nafas kita,” kata Imam Ali, “adalah satu
ayunan langkah kita menuju kematian.” Jadi selama kita bernafas - terutama pada waktu
nafas kita sesak- kita memerlukan kunjungan Dewi Filsafat. (Bersambung)

*) Ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat untuk pengantar 12 sesi Kajian Filsafat sebagai Way Of Life, yang
dilaksanakan oleh IJABI dan Komunitas Islam Madani, mulai tanggal 19 Oktober 2019

**************
Makalah ini hanya untuk peserta Kajian Filsafat sebagai Way Of Life,
dan mohon tidak dishare karena belum diedit

Anda mungkin juga menyukai