1-Apa Gunanya Filsafat
1-Apa Gunanya Filsafat
Seorang filusuf menyewa perahu untuk menyeberangi sungai besar. Supaya lebih
santai dan akrab, sang filusuf bertanya, “Apakah Anda tahu Psikologi?”. Tidak, kata tukang
perahu. “Sayang sekali, padahal psikologi berkaitan sangat dengan perilaku Anda sehari-
hari. Apakah Anda tahu Sosiologi?” Tidak, kata tukang perahu. “Sayang sekali, padahal
sosiologi berhubungan erat dengan masyarakat Anda? Sekarang, apakah Anda tahu Filsafat?”
Tidak, kata tukang perahu. “Sayang sekali, karena filsafat memberikan makna pada hidup
dan mati Anda.”
Tiba-tiba ombak besar menerpa badan perahu. Ketika tukang perahu dengan sigap
membantingnya ke samping, perahu berguncang. Sambil mengamati muka filusuf yang
ketakutan, tukang perahu bertanya -dengan gaya bertanya filusuf, “Tuan, apakah tuan tahu
berenang?” Tidak, kata filusuf kita. “Sayang sekali,“ ujar tukang perahu dan berhenti sejenak,
“padahal berenang berkaitan dengan hidup dan mati tuan.”
Kisah di atas menunjukkan kecaman terhadap filsafat. Filsafat tidak bersifat praktis.
Filsafat terlalu abstrak, ngawang-ngawang dan tidak membumi. Filsafat adalah kerja orang
yang tidak ada kerjaan. Filsafat tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.
Karena itu, orang hanya berfilsafat setelah cukup makan dan minum; makan baso
dulu baru ngomong tentang keadilan; minum kopi dulu baru berbicara tentang kemanusiaan.
Ambil dulu uang caleg, baru kita ngomong tentang demokrasi (itu pun kalau calegnya
mengerti demokrasi). Dahulukan hidup daripada berfilsafat. Primum vivere deinde
philosophari.
Kalimat ini dinisbatkan kepada Thomas Hobbes (1588-1679), walaupun diduga
diucapkan oleh para filusuf sebelumnya. Kalimat Latin yang sejenis ini adalah Primum
manducare, deinde philosophari (Makan dulu, baru berfilsafat); Primum panem, deinde
philosophari (Pertama roti, kedua filsafat); Primum bibere, deinde philosophari (Minum
dulu, baru berfilsafat).
Dalam bahasa Jerman ada ungkapan, “Erst kommt das Fressen, dann kommt die
Moral.” Pertama siapkan makanan, setelah itu baru berbicara tentang kesusilaan. Pesan ini
dinisbatkan pada Kurt Weill dan Bertolt Brecht. Yang pertama, komponis besar; yang kedua
penyair, penulis, dan kritikus sastra. Kedua-duanya dari Jerman.
Sekarang, jika kamu datang ke sebuah pertemuan, kelompok studi atau rapat di
perusahaan, untuk menunjukkan bahwa kamu sudah belajar filsafat, berteriaklah nyaring
Primum vivere deinde philosophari. Erst kommt das Fressen, dann kommt die Moral. Makan
dulu deh, baru diskusi.
Untuk tukang perahu, semboyan itu menunjukkan bahwa memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari lebih penting dari belajar psikologi atau filsafat. Menurut Wikipedia bahasa Itali,
ungkapan itu menunjukkan bahwa lebih baik menaruh perhatian kepada hal-hal yang konkret
dan aspek-aspek yang praktis (ketimbang filsafat yang abstrak dan teoretis).
Bagi saya, masyarakat tidak akan peduli dengan filsafat, kalau kebutuhan pokoknya
belum terpenuhi. Sangat sulit bagi suatu bangsa untuk memerhatikan filsafat jika sebagian
besar penghasilannya untuk konsumsi perut (dan seks) dan sisanya (jika ada) untuk membeli
buku. Datanglah ke kota mana pun di Indonesia. Hitung berapa jumlah rumah makan dan
berapa jumlah toko buku. Berapa banyak orang yang melakukan wisata kuliner? Tak
terhitung. Berapa banyak orang berwisata filosofis? Tidak bisa dihitung karena angkanya
NOL.
Teman saya beruntung punya anak yang sangat cerdas. Setiap kali berbicara tentang
anaknya itu, matanya berbinar ceria, kecuali ketika ia datang pada waktu saya menyiapkan
tulisan ini. Matanya meredup duka. Ia mengadu kepadaku. Anaknya bersikukuh ingin
mendaftar ke sekolah filsafat! Setelah berdebat dengan alot, setelah kesulitan menangkis
argumentasi anak, setelah harus mengakui bahwa secara logis pilihan anaknya itu benar,
dengan suara yang tinggi, si Ayah berteriak, “Kamu belajar filsafat? Dengan apa kamu nanti
menghidupi dirimu, istrimu, dan anak-anakmu?” Dengan spontan dan suara keras, sang Anak
menjawab: Filsafat! Sambil berfilsafat, ia melanjutkan, “Filsafat tidak akan menghidupi aku,
filsafat menghidupkan aku!
Tapi ayahnya akan bersikukuh, mewakili hampir semua orang , “Primum vivere,
deinde philosophari!”
“An die Musik” oleh Franz Schubert (D. 547 Op. 88 No. 4).
*) Ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat untuk pengantar 12 sesi Kajian Filsafat sebagai Way Of Life, yang
dilaksanakan oleh IJABI dan Komunitas Islam Madani, mulai tanggal 19 Oktober 2019
**************
Makalah ini hanya untuk peserta Kajian Filsafat sebagai Way Of Life,
dan mohon tidak dishare karena belum diedit