Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FIQIH

PERKEMBANGAN ILMU FIQIH

KELOMPOK 10 :
RHEINA GITA DEWI YULIANTI
RIFKA NURLAELA
RISA NURINSANI
RIZKI RUSMANA PUTRA

AP – E (Semester I)
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji kami panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, yang mana karena berkat rahmat,
hidayah, serta inayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah kami
yaitu tugas pembuatan makalah mengenai Perkembangan Ilmu Fiqh tepat pada waktunya.

Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Ilmu
Fiqih kami yaitu Bp. H. Wawan S Abdilah, M.Ag yang telah membimbing kami.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Fiqih. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca.

Terlepas dari itu, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah
yang kami buat ini, baik dari segi kalimat maupun tata bahasa yang kami gunakan. Oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca sangatlah membantu kami.

Sekian dari kami, kami memohon maaf jika terdapat kesalahan kata yang dapat
menyinggung para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, September 2017


DAFTAR ISI

Cover..............................................................................................................................i

Kata pengantar................................................................................................................ii

Daftar isi.........................................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar belakang..............................................................................................1
2. Rumusan masalah.........................................................................................1
3. Tujuan ..........................................................................................................1
BAB II. ISI

1. Masa Rasulullah...........................................................................................2
2. Periode Sahabat............................................................................................6
3. Periode Imam mujtahid dan pembukuan .....................................................10
4. Periode Taqlid dan Jumud............................................................................13
5. Periode Kebangunan kembali ......................................................................15
BAB III. PENUTUP

1. Kesimpulan ..................................................................................................19
2. Saran ............................................................................................................19
Daftar pustaka.................................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara
khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan
Tuhannya.
Fiqih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan
antar manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur'an sebagai al wahyu al matlu dan
sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa
awal berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi
SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri karena semua
persoalan keagamaan yang muncul waktu itu langsung ditanyakan kepada Nabi
SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa tertanggulangi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan Ilmu Fiqh pada masa Rasulullah?


2. Bagaimana perkembangan Ilmu Fiqh pada periode sahabat?
3. Bagaimana perkembangan Ilmu Fiqh pada periode Mujtahid dan Imam Madzhab?
4. Apa faktor penyebab terjadinya kemunduran pada masa perkembangan ilmu fiqh?
5. Apa saja tanda-tanda kebangkitan kembali perkembangan ilmu fiqh?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu fiqh pada masa Rasulullah
2. Untuk mengetahui perkembangan ilmu fiqh pada masa sahabat
3. Untuk mengetahui perkembangan ilmu fiqh pada masa Mujtahid dan Imam Madzhab
4. Agar dapat mengetahui apa saja faktor perkembangan ilmu fiqh
5. Untuk mengetahui apa saja tanda-tanda dari kebangkitan fiqh islam
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masa Rasulullah (610 – 632 M)


Masa Rasulullah ini disebut juga dengan periode insya dan takwin
(pertumbuhan dan pembentukan) yang berlangsung selama 22 tahun dan beberapa
bulan, yaitu terhitung sejak dari kebangkitan rasulullah tahun 610 masehi sampai
dengan kewafatan beliau pada tahun 632 M. Periode ini sangat singkat akan tetapi
sangat menentukan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fikih selanjutnya.

Pada masa inilah Rasulullah mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari
Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum Islam baik yang
tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk
membawa wahyu berupa Al-Quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira
pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan
tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Mekkah selama 13 tahun
dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.

Wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam
Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa
makna sementara lafalnya dari Nabi atau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk
hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan
ditentukan.

Periode rasulullah ini dibagi 2 masa yaitu masa Mekkah dan masa Madinah.

2.1.1 Periode Mekkah


Pada periode Mekkah ini, umat manusia diarahkan untuk memperbaiki
aqidah, karena aqidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup,
karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan . Oleh karena itu dapat
kita pahami apabila pada masa itu Rasulullah memulai da’wahnya dengan
mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang
beraqidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan al-akhlak al-
karimah, mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum
agama. Masa Mekkah ini dimulai sejak diangkatnya Nabi Muhammad SAW
menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke Madinah yaitu dalam waktu kurang
lebih selama dua belas tahun.
Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong nabi SAW untuk
mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di dalam surat
Makiyyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar-Ra’du, Ya Sin dan Al-
Furqan. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah adalah berisikan hal-hal yang
mengenai aqidah kepercayaan, akhlah dan sejarah.

Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk
dan arahan kepada manusia atas dua perkara utama:

• Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan
bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul,takdir
Allah dan hari akhir.

• Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan
dari sifat yang tercela.

2.1.2 Periode Madinah


Pada periode Madinah, Madinah merupakan tanah air baru bagi kaum
muslimin. Kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat
muslimin yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang membutuhkan cara
pengaturan yang baik dalam hubungan antara individu muslim maupun dalam
hubungannya dengan kelompok lain di masyarakat madinah, seperti kelompok
yahudi dan nasrani.

Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari Mekkah hingga


beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih
menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiyah
pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya
perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari tiap
aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap semua permasalahan,
kesempatan, dan perkembangan.

Dalam masa inilah umat islam berkembang dengan pesatnya dan


pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga timbullah keperluasan untuk
mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan, karena masyarakat
membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu
dengan lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.

Pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat menerangkan hukum-hukum


syar’iyah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadat seperti
salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti aturan jual-beli, masalah
kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketata negaraan. Dengan
kata lain, periode Madinah dapat pula disebut periode revolusi sosial dan
politik. Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan pranata-pranata
kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan praktek-
praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga menampilkan
islam sebagai suatu kekuatan politik.

Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali


Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak
mengandung ayat-ayat hukum disamping megandung ayat-ayat aqidah, akhlak,
sejarah, dll.

Dalam proses perkembangan periode Madinah ini ada tiga aspek syari’at
yang perlu dijelaskan. Pertama metode Nabi SAW, kedua kerangka hukum
syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Adapun aspek
pertama yaitu metode Nabi SAW dalam menerangkan hukum, Nabi sendiri
tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah,
sebagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Misalnya ketika Nabi
shalat dan para sahabat melihat serta menirukannya tanpa menanyakan syarat
dan rukunnya.

Kedua, kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyari’atkan untuk


suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli
istri yang sedang udzur (haid). Ada juga hukum yang disyariatkan tanpa
didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan
persoalan yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan hal-hal yang
berkaitan dengan muamalat.

Ketiga, turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Dalam tahap periodik


ini syari’at terbagi dalam dua hal, yaitu tahapan dalam menetapkan kesatuan
hukum islam, seperti salat disyari’atkan pada malam isra’ mi’raj (satu tahun
sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama hijrah dan seterusnya. Yang kedua,
tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu perbuatan.Misalnya, shalat awalnya
diwajibkan dua rakaat saja, kemudian setelah hijrah ke Madinah empat rakaat,
sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa A’isyah
berkata : ”Shalat diwajibkan dua rakaat, kemudian Nabi hijrah maka menjadi
empat rakaat”.

2.1.3 Sumber Hukum pada masa Rasulullah

a. Al-Quran
Sejarah pertumbuhan hukum islam di masa rasulullah berdasarkan wahyu
yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad, melalui malaikat Jibril dengan
cara berangsur-angsur yang dimulai dari Mekkah dan diakhiri di Madinah. Al-
Quran turun sesuai dengan kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta
menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-petanyaan
atau jawaban terhadap permintaan fatwa.

Contoh kasus seperti : larangan menikahi wanita musyrik

ْ ‫َواَل تَ ْن ِكح‬
ِ ‫ُواال ُم ْش ِر َك‬
‫ت َحتَّي يُْؤ ِم َّن‬
“ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman“ (Al Baqarah : 221)

Adapun untuk memberi jawaban atau fatwa: QS.Al-Baqarah : 215

gَ َ‫يَسْئلُوْ ن‬
‫ك َما َذايُ ْنفِقُوْ ن‬
“ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan “

(Al Baqarah : 215)

Tugas Rasul dalam hal ini adalah menyampaikan, menjelaskan dan


melaksanakannya seperti dinyatakan dalam surat Al-Maidah 67.

ُ‫ك َوِإ ْن لَ ْم تَ ْف َع ُل فَ َمابَلِّ ْغتَ ِر َسالَتَه‬ َ ‫يََأيُّهَاال َّرسُوْ ُل بَلِّ ْغ َماُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي‬
َ ِّ‫ك ِم ْن َرب‬
“ Wahai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan berarti kamu tidak
menyampaikan Amanat- Nya “ (Al Maidah : 67 )

Pada umumnya hukum-hukum dalam alquran bersifat kuli dan umum,


demikian pula dalalahnya (penunjukannya) kadang-kadang bersifat qath’i yaitu
jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan terkadang bersifat dhani yaitu
memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.

b. Al-Sunnah
Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan
dalam Al-Quran. Seperti sholat dijelaskan cara-caranya salam al-sunnah.
Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan
dalam Al-Quran. Hadist adalah yang memberi hukum tersebut, sedangkan
prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam al-quran.

Penjelasan rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam


perbuatan rasulullah sendiri atau ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan
diamnya rasul dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung
menunjukan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut hal ini sesuai dengan
ayat An-nahl ayat 44 yang berbunyi
ِ َّ‫َوَأ ْن َز ْلنَآِإلَ ْيكَ ال ِّذ ْك َرلِتُبَيِ َّن لِلن‬
‫اس‬
“ Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka “ (An Nahl : 44)

Rasulullah apabila dihadapkan dengan suatu peristiwa yang membutuhkan


penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau
berijtihad dengan berpegang semangat ajaran islam dan musyawarah bersama
para sahabatnya. Bilamana ijtihadnya salah, maka akan diperingatkan oleh
Allah serta ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkan wahyu.

c. Ijtihad Pada Masa Rasulullah


Pada zaman Rasulullah pun ternyata itjihad itu dilaksanakan oleh
rasulullah dan para sahabatnya. Bahkan ada kesan rasulullah mendorong para
sahabatnya untuk beritjihad seperti terbukti dari cara rasulullah bermusyawarah
dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke
Yunan. Hanya saja itjihad pada Zaman Rasulullah ini tidak selesai pada zaman
sesudah rasulullah karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada
Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah
sendiri. Disamping itu itjihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah
mengembalikannya kepada yang benar. Seperi dalam kasus itjihad Amar bin
Yasir yang berjunub (hadats besar) yang kemudian berguling-guling di pasir
untuk menghilangkan hadats besarnya. Cara ini salah kemudian Rasulullah
menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan
tayamum.

Itjihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk beritjihad
memberi hikmah yang besar karena “Memberikan contoh bagaimana cara
penarikan hukum dari memberi latihan kepada para sahabat bagaiman cara
penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum islam (Para
Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada pada dirinya untuk bisa
memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada
prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.”

Dari uraian singkat ini jelas bahwa pada zaman Rasulullah, sumber hukum
itu adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kedua duanya diwariskan kepada
generasi sesudahnya

2.2 Periode Sahabat (632 – 720 M)


Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka berarti wahyu yang diturunkan pun
ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh Khulafaur Rasyidin. Adapun tugas dari
seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan negara.

Periode sahabat atau Khulafaur Rasyidin yaitu periode tafsir dan takmil
(penjelasan dan penyempurnaan) kurang lebih berlangsung selama 90 tahun, terhitung
dari mulai kewafatan rasul sampai dengan akhir abad hijriah pertama. Pada masa ini
dunia islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang
timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini
ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada
nash-nya. Disamping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu
pecahnya masyarakat islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara
tajam. Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliah, kemudian pada zaman
rasulullah dinetralisasikan dengan konsep dan pelaksanaan ukhuwah islamiah.

Masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior ,
hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode
Khulafaur Rasyidin.

Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah
di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan
bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti
perkembangan daerah tersebut.

Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at
yang sempurna berupa Al-Qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan
ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai
daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman
Khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang
empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang
bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas.

Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari


Al Qur’an maupun dari Al Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk
menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu. Selain itu para sahabat besar memberi
pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah besar memberi pula fatwa-fatwa dalam
berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas
mengenai hal itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad.

2.2.1 Sumber Hukum


Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-
ayat al-quran dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat al-quran
dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khatab, atas dasar karena banyak para
sahabat yang hafal al-quran gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh
Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran
tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi
pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar tersebut. Maka
beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat al quran
yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit
binatang , tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini
disimpan pada Abu Bakar, kemudian setelah Umar meninggal disimpan oleh
Hafshah binti umar. Kemudian pada masa Usman, Usman meminjam mushaf
yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit
untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah Islam yaitu
Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, dan Damaskus , Mushaf itulah yang sampai
kepada kita sekarang.

Adapun al qur’an pada masa ini belum terkumpul menjadi satu, memang
pekerjaannya lebih sulit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran karena:
ayat-ayat Al-Quran waktu nabi meninggal telah tertulis , hanya masih
berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu meminta untuk menuliskan Al-
Quran dan melarang menuliskan Hadits. Dengan demikian tidak akan
tercampur antara ayat Al-Quran dan Hadits. Disamping itu Al-Quran banyak
dihafalkan oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan
ayat Al-Quran.

Akibat tidak tertulisnya dan terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada
permulaan Islam, maka ulama-ulama islam pada periode selanjutnya harus
meneliti keadaan perawi Hadits dari berbagai segi, sehingga menimbulkan
pembagian Hadits serta muncul Ilmu Musthalah Hadits. Akibat lain adalah
timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu haditst
tertentu.

2.2.2 Ijtihad Sahabat


Seperti telah dijelaskan bahwa pada masa sahabat ini Islam telah menyebar
luas hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Negara Mesir. Negara-negara
tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat
kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya
islam dengan kebudayaan diluar jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan fiqh
fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad
sahabat , seperti misalnya kasus Usyuur (bea masuk barang-barang impor),
tanah-tanah yang luas yang di kuasai. Dijadikan tanah Khardji, kasus mualaf
dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab.

Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya


dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak
ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah diantara para sahabat. Inilah
bentuk ijtihad jama’I . apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat.
Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara
formal. Khalifah Umar bin Khattab misalnya mempunyai dua cara
musyawarah, yaitu : “Musyawarah yang bersifat khusus dan Musyawarah yang
bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggota para sahabat
Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah
yang berkaitan umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di masjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting, seperti
kasus tanah irak yang dijadikan tanah Khardj. Walaupun demikian tidak
menutup kemungkinan adanya Ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah
yang sifatnya pribadi. Tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan
umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi
dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadiyah termasuk dalam
hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad, ada yang
menggunakan cara analogi dan ada yang berpegangan kepada masalah serta
menolak kemafsadatan.

Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber yaitu Al-Qur’an, Al-
Sunnah, dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan Ijtihad jama’I dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan
Ijtihad fardi dalam hal-hal yang bersifat pribadi. Untuk bentuk Ijtihad fardi ada
kemungkinan terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, sebab :

Pertama: tidak semua ayat al-Qur’an dan Sunnah itu qath’i dalalahnya atau
penunjukannya kepada maksud tertentu, sehingga memberikan kemungkinan
penafsiran yang berbeda.

Kedua: Hadits belum terkumpul dalam satu kitab tertentu dan tidak semua
sahabat hafal Hadits. Oleh karena itu, seorang mufti di Mesir akan memberi
fatwa sesuai dengan pengetahuannya tentang hadits, demikian pula mufti di
Irak akan memberi fatwa sesuai dengan pengetahuannya Padahal kita tahu
bahwa pengetahuan sahabat tentang Hadts itu tidaklah sama.

Ketiga: Milieu dimana para sahabat berdomisili tidaklah sama. Keperluan-


keperluannya berbeda dan penerapan kemaslahannya juga bisa berlainan.
Abdulah bin Umar di Madinah akan menghadapi masalah yang berbeda dengan
apa yang dihadapkan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan di Syam dan akan
berbeda pula dengan apa yang dihadapi oleh Abdullah bin Mas’ud di Kufah.

Diantara tokoh-tokoh fiqh pada periode sahabat ini adalah di Madinah:


Abu Bakar Shiddieq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zain bin Tsabit. Abu Musa al-Asyari, Ubaiy bin Ka’ab, Abdullah bin Umar,
dan Aisyah Radiyallahu Anha.
Kemudian disusul oleh murid-muridnya yang terkenal dengan nama tujuh
Fuqaha di Madinah yaitu :

1.Abu Bakar bin Abdurahman bin Haris bin Hisyam

2.Al-Qosm bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddieq

3.Urwah bin Zubaer bin Awam al-Asadi

4.Said bi Musayab.

5.Sulaeman bin Yasir.

6.Kharizah bin Zaid bin Tsabit.

7.Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud.

Di Mekkah : di antara sahabat-sahabat Abdullah bin Abbas. Kemudian disusul


oleh murid-muridnya antara lain, Ikhrimah Abu Muhammad Atho bin Abi
Rabbah dan Mujahid bin Zuber.

Di Kufah : di antaranya sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang kemudian


disusul oleh para muridnya seperti Alqomah bin Qois bin Abdillah, Masruk bin
al-Ajda Al-Hamdani, Al-Qodli Sureh Said bin Zubair, Asya’bi.

Di Mesir : Abdullah bin Amr bin Ash, kemudian disusul oleh muridnya Yazid
bin Abu Habib dan Alaist bin Sa’ad.

Di Yaman : Sahabat Muadz bin Jabal.

Yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini adalah;

a) Penafsiran para sahabat tentang ayat-ayat hukum.

b) Sejumlah fatwa sahabat dalam kasus-kasus yang tidak ada nash hukumnya,

c) Terpecahnya umat menjadi tiga golongan yait Khawaj, Syiah, dan Jumhur
Muslimin atau Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Golongan Khawarij tidak mau
menetapkan hukum berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahli Bait.
Adapun Ahli Sunnah Wal Jama’ah mau menggunakan semua Hadits yang
diriwayakan leh orang-orang yang dapat dipercaya dan adil tanpa membedakan
salah seorang sahabat nabi dengan sahabat nabi yang lainnya.

Dari uraian singkat ini tampak bahwa : Pada periode sahabat ini Islam
mulai mendapat tantangan untuk menjawab masalah-masalah yang timbul pada
masyarakat di luar Jazirah Arab dan mendorong para sahabat untuk berijtihad,
disamping menghadapi perpecahan umat dalam tubuh masyarakatnya sendiri,
akibatnya terus terasa dalam waktu yang sangat lama, juga dalam batas-batas
tertentu tampak adanya kepastian dan kesatuan hukum untuk masalah-masalah
yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Di samping itu di kota-kota besar
ada tokoh-tokoh besar ada tokoh-tokoh para sahabat para Nabi dan murid-
muridnya yang memiliki otoritas hukum dan menjadi panutan masyarakat.

2.3 Periode Imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh ( 720 – 961 M )
Periode ini disebut juga periode tadwin (pembukuan)dan munculnya imam
mujtahid, dan disebut juga zaman perkembangan serta kedewasaan hukum. Periode
ini berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua hijrah sampai
pertengahan abad keempat hijrah.

Pada masa ini, tabi’-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III
Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-
daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa
Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara
para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk
daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama
Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin
banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. Periode ini disebut juga
periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam
mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum
Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-
fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih,
dan penyusunan ushul fiqih.

2.3.1 Sumber Hukum


Ada dua hal penting tentang Al Qur’an pada masa ini, yaitu :

Pertama: (adanya kegiatan) menghafal Al-Qur’an dan kedua memperbaiki


tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal terhadap Al-Qur’an. Hal ini dirasa
penting, sebab orang muslim non-Arab bisa salah membaca Al-Quran. Maka
Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin Abihi meminta kepada Abu al-Aswad
Aduali untuk memberi syakal. Maka Abu Al-Aswad Aduali memberi syakal
disetiap akhir kata, yaitu: diberi satu titik dibawah huruf, tanda dhamah dengan
satu titik disamping huruf dan tanda tanwin dengan dua titik. Kemudian Al-
Kholil bin Ahmad memperjelas bentuk-bentuk tanda ini yaitu dengan alif diatas
huruf sebagai tanda fathah, ya di bawah huruf sebagai tanda kasrah dan wawu
di atas huruf sebagai tanda dhamah. Di samping itu yang diberi tanda bukan
hanya huruf akhir dari kata, akan tetapi seluruh huruf terakhir, Gubernur Irak
Al-Hajaj bin Yusuf atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta
kepada Nashr bin Ashim untuk menyempurnakannya, maka Nashr pun
memberi tanda satu titik atau dua titik pada huruf-huruf yang tertentu, seperti
qof dengan dua titik, fa dengan satu titik dan seterusnya.

Untuk Hadits pun sebagai sumber hukum yang kedua pada masa ini mulai
dibukukan, antara lain yang sampai kepada kita kitab Al-Muwatho yang
disusun oleh Imam Malik pada tahun 140 H. Kemudan pada abad kedua Hijriah
dibukukan pula kitab-kitab musnad., antara lain musnad Ahmad ibnu Hanbal.
Pada abad ketiga Hijriah dibukukanlah Kutubu Sittah, yaitu: Shahih Bukhari,
Muslim. Abu Dawud, Anasa’I, Aturmudzi, dan Ibn Majah.

Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah digunakan,
meskipun para ulama disetiap daerah memiliki warna masing-masing dalam
berijtihadnya. Misalnya, Abu Hanifah dan murid-muridnya di Irak selain Al-
Qur’an, Sunnah dan Ijma lebih menekankan penggunaan Al-maslahah al-
mursalah.

Adapun sebab-sebab berkembangnya lmu fiqh dan gairahnya berijtihad


pada periode ini antara lain adalah :

Pertama: Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke


Tiongkok dan ke Barat sampai ke Andalusia (Spanyol sekarang) dengan jumlah
rakyat yang banyak sekali. Sudah tentu negeri yang sangat luas ini
membutuhkan pengaturan yang menjadi pegangan para hakim dan para
pemimpin pemerintahan, serta fatwa yang dibutuhkan oleh rakyatnya, untuk
perudang-undangan dan fatwa ini tidak ada sumber lain kecuali syari’ah.
Kondisi yang semacam ini mendorong para ulama untuk berijtihad agar bisa
menerapkan syari’ah untuk wilayah yang berbeda-beda milieu (lingkungan)ya
dan bermacam-macam masalah yang dihadapinya.

Kedua: Para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara
berijtihad yang mereka dapatkan dari periode sebelumnya. Di samping Al-
Qur’an telah dibukukan dan telah tersebar di kalangan muslimin, demikian pula
Al-Sunnah sudah mulai dibukukan pada permulaan abad ketiga Hijriah.

Ketiga: Seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan yang
keras agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan syari’ah islam yang
baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam ibadah ghair mahdhah (muamalah
dalam arti luas) mereka meminta fatwa kepada para ulama, demikian pula
halnya para hakim dan para pemimpin pemerintahan. Oleh karena itu, para
ulama menjadi sumber yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keadaan yang
semacam ini mendorong para ulama untuk berijtihad lebih keras lagi.

Keempat: Pada periode ini memang dilahirkan ulama-ulama yang


memiliki potensi untuk menjadi mujtahid. Seperti Imam Abu Hanifah dengan
murid-muridnya, Imam Malik dengan murid-muridnya, dan Imam Ahmad Ibnu
Hanbal dengan murid-muridnya.

Orang yang mempunyai potensi untuk menjadi mujtahid kemudian hidup


di lingkungan masyarakat yang mendukung untuk itu, sudah tentu akan
membuahkan hasil. Seperti biji yang baik ditanam pada tanah yang subur akan
cepat tumbuh dan menghasilkan buah yang bermanfaat bagi masyarakat.

2.3.2 Yang Diwariskan oleh Periode Ini Kepada Periode Selanjutnya


Hal-hal yang terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada periode
berikutnya antara lain;

1. Al Sunnah yang telah dibukukan. Sebagian dibukukan berdasarkan urutan


sanad hadits dan sebagian dibukukan brdasarkan bab-bab fiqh. Disamping itu
Al-Qur’an juga telah lengkap dengan syakalnya.
2. Fiqh yang telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya. Diantaranya
Kitab Dhahir al-Riwayah al-Sittah di kalangan mazhab Hanafi. Kitab Al-
Mudawanah dalam mazhab Maliki, kitab Al-‘Umm dikalangan mazhab al-
Syafi’I dan lain sebagainya.
3. Dibukukannya ilmu Ushul Fiqh. Para ulama mujtahid mempunyai warna
masing-masing dalam berijtihad atas dasar prinsip-prinsip dan cara-cara yang
ditempuhnya. Misalnya, Imam Malik di dalam kitabnya Al-Mwatha’
menunjukan adanya prinsip-prinsip ini dengan sistematis dan memberikan
alasan-alasan tertentu adalah Muhammad bin Idris al-Syafi;I dalam kitabnya
yang termansyur Al-Risalah. Oleh karena itu, beliaulah sebagai pencipta ilmu
Ushul Fiqh
4. Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yaitu yang terkenal dengan
nama Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-Ra’yi. Madrasah Al-Hadits
kebanyakan terhdapat di Hijaz dan Madrasah Ar-Ra’yu umumnya terdapat di
irak. Penanaman Madrasah al-Hadits atau Ahlul Hadits tidaklah berarti
mereka tidak menggunakan Ar-Ra’yu. Demikian pula penamaan Madrasah
Ar-Ra’yi atau Ahlul Ra’yi di Irak menitikberatkan tinjauannya kepada
maksud-maksud dan dasar-dasar syara dalam pegambilan hukum, mereka
berkesimpulan bahwa hukum-hukum syara itu bisa dipahami maksud-
maksudnya dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahan manusia. Oleh
karena itu, hukum syara berdasar pada prinsip-prinsip yang sama dan maksud
yang sama, maka tidak mungkin terjadi pertentanga di antara ketentuan-
ketentuannya. Atas dasar konsep inilah mereka memahani nash yang ada,
menguatkan nash atas nash yang lain dan memberikan hukum terhadap kasus-
kasus, kadang-kadang dengan menakwilkan bunyi lahir suatu nash. Oleh
karena itu mereka memperluas daerah ijtihad Bir-Ra’yi. Bahkan sering
memberi hukuman terhadap sesuatu hal yang belum terjadi yang sering
disebut Fiqh Iftirodi atau mazhab. Seperti Abu Hanifah, Maliki, al-Syafi’I &
Ahmad ibn Hanbal.

2.4 Periode Keempat : Masa Taqlid dan Jumud ( 351 H )

Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah
al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban
l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan
fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah
perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada
masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab
fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa
berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam
mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang
di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan
takrir tersebut.

Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab
mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri
untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang
bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah
pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab.

Situasi kenegaraan yang berada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam
langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan
mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat
tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan
Dunia Islam ke alam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang
jumud dan statis.Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut
ini kelihatannya ikut mendorong lahirnya sikap taklid dan kemunduran.

2.4.1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemunduran

Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik,


pemikiran, mental, dan kemasyarakatan yang megakibatkan pula kemunduran
dalam bidang fiqh. Dan berikut adalah faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran ilmu fiqih.

1. Kemunduran di bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam menjadi


beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling
berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama muslim yang
mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat muslim.
Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqih.
2. Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis serta
dianggapnya sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau
meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti
madzhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa
mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini
diperkuat lagi oleh penerapan satu madzhab tertentu bagi suatu wilayah
kekuasaan tertentu. Misalkan pemerintah Turki termasuk para hakim-nya
menganut dan membantu madzhab Hanafi. Kekuasaan disebelah barat
mengokohkan madzhab maliki dan disebelah timur madzhab syafi’i.
3. Dengan banyaknya kitab-kitab fiqih, para ulama dengan mudah bisa
menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Hal
ini tentu saja bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis dan
tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa
memperhatikan kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, membawa akibat
kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya.
Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri
yang mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan
mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya.
4. Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di Barat tahun 1213
M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebgai pusat kebudayaan islam di Timur
tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung kebudayaan islam baik di
Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran masyarakat Islam
masa itu. Ulama-ulama dibagian timur berusaha mencoba untuk
menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad
untuk menyeragamkan kehidupan social bagi seluruh rakyat, dengan demikian
diharapkan timbulnya ketertiban social. Namun rupanya usaha ini tidak banyak
menolong, karena nasib suatu masyarakat tidak hanya tergantung kepada
keseragaman kehidupan social tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas
perorangan.
5. Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya. Dengan adanya
kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk
persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi,
memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya
kepada kitab-kitab yang ada itu.
6. Fanatisme mazhab yang sempit. Pengikut imam mujtahid terdahulu itu
berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan
berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus ketidakstabilan kehidupan politik,
dimana frekuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar
kelompoknya dengan mencari-cari argumentasinya yang pada umumnya
apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas
yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang
tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber
hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
7. Pengangkatan hakim-hakim muqallid. Kehidupan taklid pada periode semakin
subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang
bertaklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan
mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan
berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari
penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.Umat islam menyadari
kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih.
Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan
dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam
meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti
jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan
salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-Ahkam
al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-
1876 M).

2.5 Periode Kebangunan Kembali


Di pertengahan abad ke 18 M, timbullah reformasi dan melepaskan diri dari
taqlid dalam tubuh umat islam. Usaha ini tidaklah terjadi sekaligus, melainkan secara
bertahap.

Usaha ini timbul, setelah timbulnya kesadaran nasional. Kaum muslimin


mengetahui dan merasakan adanya kemunduran-kemunduran yang kemudian
menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan di berbagai negeri-negeri Islam.

Di Hijaz dalam abad ke-13 hijrah atau abad ke -18 masehi, timbul gerakan
Wahabi, yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab (wafat pada tahun 1206
Hijrah) yang mengumandangkan seruan pembasmian bid’ah dan mengajak kembali
kepada Al-Quran, As Sunnah, dan amalan-amalan Ulama Sahabat. Dari beliaulah
tumbuh pengikut Wahabiyah.

Di Libya, Muhammad Ibn Sanusi, yang pernah juga melawat ke Afrika dalam
usahanya menyeru masyarakat untuk membersihkan agama dari usaha-usaha infiltrasi
musuh islam yang menyisipkan ajaan-ajaran yang menyesatkan dan mengajak
kembali kepada quran dan sunnah nabi dan kepada amalan-amalan ulama Salaf.
2.5.1 Tanda-tanda kemajuan
A. Di Bidang Perundang-undangan.

Periode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-Ahkam al-Adliyah


yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam pemerintah Turki Usmani
pada tahun 1292H / tahun 1876M. Baik bentuk maupun isi dari KItab Undang-
undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqih dari 1 madzhab
tertentu. Bentuknya adalah bentuk & madzhab tertentu saja. Meskipun warna
hanafi sangat kuat.
Di Mesir dengan keluarnya Undang-undang No. 25 Tahun 1920M, dalam
sebagian pasal-pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut madzhab
Hanafi, tetapi mengambil pendapat lain dari Madzhab al-‘Arba’ah . Kemudian
dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1929M, juga tentang tentang hukum
keluarga maju selangkah yaitu tidak hanya mengambil dari Mazahib
al-‘Arba’ah, tetapi juga dari madzhab yang lain. Pada tahun 1936M . Undang-
undang Hukum Keluarga di Mesir tidak mengikatkan diri secara ketat dengan
madzhab, tetapi juga mengambil pendapat ulama lain yang sesuai dengan
kemaslahatan manusia dan perkembangan masyarakat. Contoh lain tentang Al-
Washiyah al-Wajibah di Mesir tahun 1946, di Syiria tahun 1953, di Tunis tahun
1957, di Maroko tahun 1958 di Indonesia dengan UU No. 1 tahun 1974 tidak
melalui tahap-tahap seperti di Mesir, tetapi tampaknya langsung mengambil
pendapat-pendapat yang maslahat untuk diterapkan di Indonesia. Demikian
pula halnya dengan PP No 28 tahun 1977 dan pengaturan zakat di beberapa
provinsi.

B. Di Bidang Pendidikan.

Di perguruan-perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun


Indonesia dalam cara mempelajarinya fiqih tidak hanya di pelajari satu
madzhab tertentu, tetapi juga dipelajari madzhab-madzhab yang lain secara
muqoronah/perbandingan, bahkan juga dipelajari system Hukum dan system
Hukum Romawi. Dengan demikian diharapkan wawasan berpikir hukum di
kalangan mahasiswa Islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan Hukum
Islam dengan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya dibidang hukum
keluarga tapi juga diberbagai bidang hukum lainnya. Pendekatan semacam ini
akan lebih intensif lagi apabila di Fakultas-fakultas Hukum di ajarkan Hukum
Islam, sehingga terjadi perpanduan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan
waktu dan tempat khususnya di Indonesia.

Sekitar tahun 1966 di Indonesia diperkenalkan pula mata kuliah Fiqih


Siyasah pada Fakultas Syari’ah yang banyak berorientasi kepada kemaslahatan
dalam penerapan hukum, serta menekankan prinsip-prinsip hukum dan
semangat ajaran dalam Fiqih Islam. Dengan Fiqih Siyasah ini diketahui bahwa
banyak sekali aturan-aturan yang berlaku yang tidak bertentangan atau bahkan
sesuai ajaran Islam. Pengetahuan semacam ini akan memperlancar perpaduan
hukum seperti dimaksud diatas.

Satu hal yang rasanya perlu mendapat tekanan di sini ialah mempelajari
Ushul Fiqih haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk
memungkinkan ilmu fiqih berkembang lebih terarah, sebab Ushul Fiqih itulah
cara pemikiran hukum dalam islam.

C. Di bidang Penulisan Buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan Penerjemahan.

Seperti kita ketahui ajaran Islam pada umumnya dan fiqih pada khusunya
tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah tertentu ilmu-
ilmu dalam bahasa Arab itu hanya sedikit orang-orang Indonesia yang mampu
membaca dan memahaminya. Tetapi sekarang tampak satu kegiatan penulisan
Ushul Fiqih dan fiqih dalam bahasa Indonesia. Baik yang sudah dicetak dan
tersebar luas di masyarakat maupun yang masih berupa diktat-diktat yang
stensilan. Demikian pula hanya dengan penerjemahan menampakkan kegiatan
yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan
jumlah kitab-kitab yang baik untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, untuk jadi seorang ahli dalam bidang fiqih tetap harus kembali
membaca dan meneliti kitab-kitab fiqih aslinya dalam bahasa Arab.
Bagaimanapun juga kitab-kitab (buku) Ushul Fiqih & Fiqih dalam bahasa
Indonesia serta terjemahannya sangat bermanfaat untuk memperkenalkan
pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqih kepada kalangan yang lebih luas.

Pemikiran kembali tentang fiqih sedang tumbuh & tampaknya pemikian-


pemikiran itu seperti alur ijtihadnya Umar, Abdullah bin Mas’ud dan Abu
Hanifah. Yaitu berpegang teguh kepada dalil-dalil kulli, prinsip-prisip umum
dan semangat ajaran, sedang selebihnya bisa mengambil dari fiqih / dengan
ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Alternatif ini rupanya
yang terbaik dalam mengahadapi masalah-masalah yang bukan saja ruang
lingkupnya, sangat luas, tetapi juga sangat rumit & tidak realistis apabila hanya
dihadapi dengan materi fiqih yang ada, tetapi juga tidaklah Islami apabila
melemparkan fiqih secara keseluruhan.

D. Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syariah Islam

Pada bulan Agustus 1932 berlangsung Konferensi Perbandingan Hukum


Internasional (Comperative Law Conference) di Den Haag, Negeri Belanda.
Dalam konferensi itu Prof.Dr.Ali Badawi berbicara tentang; Hubungan antara
Agama & Hukum, sebagai jalan untuk sampai kepada pembiaraan tentang
Syari’ah Islam. Akhirnya konferensi memutuskan agar dalam konferensi
selanjutnya diadakan bagian khusus bagi Syari’ah Islam sebagai salah satu
sumber dalam perbandingan hukum.
Pada bulan Agustus 1937, diadakan lagi sidang. Yang berbicara tentang
Syari’ah Islam waktu itu adalah Mahmud Syaltut, dengan judul :
Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata dalam Islam. Serta Prof. Dr.
Abdurrahman Tag dengan judul : Sistem Hukum Romawi dan Sistem Hukum
Islam.

Pada akhirnya konferensi memutuskan antara lain :

1.Hukum islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan umum.

2.Hukum islam berdiri sendiri, tidak mengambil dari Hukum Romawi.

3.Hukum islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.

Pada bulan Juli 1951 di Deen Hag diadakan konferensi Pengacara-


pengacara Internasional yang dihadiri oleh 53 negara. Keputusan yang
terpenting tentang Hukum Islam adalah: Meningat adanya fleksibilitas di dalam
Hukum Islam & kedudukannya yang sangat penting, maka Persatuan
Pengacara Internasional haus mengambil Hukum Islam menjadi bahan
perbandingan.

Pada bulan Juli 1951. Fakultas Hukum Universitas Paris mengadakan


pembahasan tentang hukum islam dalam satu kegiatan dengan nama “Pekan
Hukum Islam”. Yang dibahas adalah tentang: Penetapan hak milik, pemilikan
oleh negara untuk kepentingan umum, pertanggungjawaban pidana, pengaruh
mazhab fiqh satu sama lain & teori tentang riba dalam Islam.

Pada akhirnya seminar tersebut memutuskan: (1) Tidak diragukan lagi


bahwa prinsip-prinsip Hukum Islam mempunyai nilai-nilai dari segi hukum;
dan (2) Perbedaan pendapat & mazhab-mazhab mengandung kekayaan
pengetahuan hukum yang menakjubkan. Oleh karena itu, Hukum Islam dapat
memenuhi kebutuhan hidup modern.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hidup adalah untuk terus berkembang, entah itu akan berujung kearah yang
lebih baik ataupun buruk. Sama halnya dengan perkembangan ilmu fiqih ini terdapat
masa-masa yang akan sangat berpengaruh sampai saat ini dan ada juga yang hanya
akan membuat perdebatan dimana-mana hanya karena perbedaan pendapat. Namun,
itulah yang membuat manusia semakin hebat, dengan cara yang tidak pernah puas
dengan hasil pemikirannya. Hingga pada akhirnya ada masanya ilmu fiqih mencapai
masa keemasannya, itu adalah sebuah masa dimana semua para ahli fiqih telah
mencapai titik terangnya. Sehingga terbentuk berbagai macam keilmuan dalam segala
bidang, yang masih akan terus berkembang hingga saat ini.
3.2 Saran
Teruskanlah perjuangan Nabi, khalifah, para mujtahid, dan semua ulama dan
ahli fiqih yang telah berusaha menyusun segala keilmuan yang telah Allah turunkan,
dengan cara mempelajari ilmu-ilmu yang sudah disusun. Sekian.

Daftar Pustaka

1. Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, CV Mulja Djakarta


2. Drs. Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih
3. Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam
4. https://id-id.facebook.com/notes/belajar-fiqih-islam/pengertian-fiqh-dan-sejarah-
perkembangannya/10150578829761520/
5. https://id.wikipedia.org/wiki/Fikih
6. https://enamardianingsih.wordpress.com/2013/11/09/sejarah-perkembangan-fiqih-
makalah-fase-fase-perkembangan-fiqih/
7. http://kurniasulubere.blogspot.co.id/2016/05/sejarah-perkembangan-ilmu-
fiqh.html

Anda mungkin juga menyukai