Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

STRUMA NODUSA NON TOKSIK

Pembimbing: 
dr. Aladin S. Johan, Sp.B

Oleh:
Ahmad Rafi Faiq 1102015012

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 1 FEBRUARI 2021 – 14 MARET 2021
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 50 tahun
Alamat : Kp. Rawa Benteng, Cibuntu
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal pemeriksaan : 9 Februari 2021

II. ANAMNESIS 
Dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 9 Februari 2021 di
poli bedah pukul 10.00 WIB

Keluhan Utama :
Benjolan pada leher kiri sejak 1 tahun yang lalu

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke Poli bedah RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan adanya
benjolan pada leher sebelah kiri sejak 1 tahun yang lalu. Pasien merasa benjolannya
semakin membesar, dimana pada awalnya hanya teraba sebesar kelereng dan tidak
terlihat, namun sekarang benjolan mulai terlihat. Keluhan seperti sesak nafas, sulit
menelan, suara serak, serta gangguan tidur disangkal oleh pasien. Selain itu keluhan
seperti berbedar-debar, mudah lelah, tidak tahan terhadap panas atau dingin, sering
berkeringat, peningkatan atau penurunan nafsu makan, serta penurunan atau
peningkatan berat badan juga tidak dirasakan oleh pasien. BAB pasien normal tidak
ada keluhan. Di daerah sekitar tempat tinggal pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa. Pasien mengatakan bahwa sehari-hari mengkonsumsi makanan yang
terdiri dari nasi dan lauk seperti ikan, ayam atau daging. Pasien tidak sering
mengkonsumsi sayur kol ataupun singkong.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah memiliki hal serupa. Pasien memiliki riwayat penyakit
Asma sejak sma dan rutin kontrol ke dokter. Riwayat penyakit seperti diabetes
mellitus, hipertensi, jantung serta alergi disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Keluarga pasien
juga tidak ada yang memiliki riwayat asma, hipertensi, jantung, diabetes mellitus,
ataupun alergi.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital : TD : 160/100 mmHg
  RR : 20 x/menit    
    N : 96 x/menit
    S : 36,6 C
0

TB : 150 cm BB : 58 kg

Status Generalis
 Kepala             : Normocephal, pemberton’s sign (-)
 Mata :
o Konjungtiva : Tidak anemis, kemosis (-)
o Sklera : Tidak ikterik
o Kelopak Mata : Proptosis (-)
o Eksoftalmus     : (-)
o Gerak bola mata tidak ada yang tertinggal
 Leher :  KGB tidak teraba membesar
 Thoraks :
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis
     Palpasi         : Fremitus vokal pada hemitoraks kanan- kiri teraba simetris
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks
Auskultasi : Vesikuler +/+ , Rhonki -/-, Wheezing -/-  
 Abdomen : 
Inspeksi : Datar
   Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-) di seluruh kuadran
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
 Ekstremitas : 
Atas : akral hangat +/+, CRT <2”, tremor (-), turgor baik
Bawah : akral hangat +/+, CRT<2”, turgor baik

Status Lokalis
REGIO COLLI SINISTRA 
Inspeksi : Terlihat benjolan pada leher kiri.  
Palpasi :Teraba benjolan, tunggal, ukuran 3 x 4 cm, konsistensi kenyal,
permukaan rata, ikut bergerak saat menelan, batas tegas, nyeri tekan (-),
pembesaran KGB regional (-).

REGIO COLLI DEXTRA


Inspeksi : Tidak terlihat benjolan.
Palpasi : Tidak teraba benjolan, pembesaran KGB (-).

TANDA-TANDA HIPERTIROIDISME :
 Retraksi kelopak mata: (-/-)
 Eksoftalmus : (-/-)
 Tanda Dalrymple : (-/-)
 Tanda von graefe : (-/-)
 Bising kelenjar tiroid : (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Ultrasonografi (dilakukan pada tanggal 20/1/2021)
Hasil temuan :
Tampak nodul hipoekoik di tiroid kanan batas tegas
Tampak nodul hiperekoik di tiroid kiri
Isthmus tenang
Tampak pembesaran KGB leher
Kesimpulan :
Struma nodusa tiroid bilateral
Limfadenopati coli bilateral
Pemeriksaan Fungsi Tiroid (dilakukan pada tanggal 09/02/2021)
TSH : 3,56 mikroIU/ml (Eutiroid 0,25-5)
T3 : 1,33 nmol/L (Nilai normal 0,92-2,33)
FT4 : 11,25 pmol/L (Nilai normal 10,6-19,4)

V. RESUME
Ny. N, 50 tahun, datang dengan keluhan adanya benjolan pada leher
kiri sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan dirasa semakin bertambah besar.
Keluhan lain disangkal. Riwayat dahulu terdapat Asma. Pemeriksaan fisik
didapatkan adanya benjolan tunggal dengan ukuran 3 x 4 cm, konsistensi
kenyal, permukaan rata, benjolan ikut bergerak pada saat menelan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi didapatkan kesimpulan berupa struma nodusa
tiroid bilateral serta limfadenopati coli bilateral. Pada pemeriksaan fungsi
tiroid didapatkan hasil normal.

VI. DIAGNOSIS BANDING


Struma Nodosa Non Toksik Sinistra
Tiroiditis Hashimoto
Limfoma Tiroid
Karsinoma Tiroid

VII. DIAGNOSIS KERJA


Struma Nodosa Non Toksik Sinistra

VIII. SARAN PEMERIKSAAN


FNAB

IX. TATALAKSANA
Observasi tanda-tanda obstruksi dan keganasan
Operatif (jika terdapat indikasi)
Edukasi :
a) Edukasi mengenai penyakit pasien dan segera kontrol jika terdapat
gejala obstruktif (sulit menelan, sesak dan suara serak), pertumbuhan
cepat pada benjolan, atau gejala hipertiroid.
b) Diet iodium (150 mcg/hari) dengan penggunaan garam beriodium,
bisa juga ditambah dengan multivitamin yang mengandung iodium
untuk memastikan asupan iodium yang adekuat.

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam 
Quo ad functionam : dubia ad bonam 
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


 Anatomi
Pada orang dewasa, kelenjar tiroid berwarna coklat dan intak dan berlokasi
pada bagian posterior strap muscles (terdiri dari sternohyoid, sternothyroid, dan
omohyoid). Normalnya kelenjar tiroid memiliki berat sebesar kurang lebih 20 gr,
tetapi beratnya bisa bervariasi tergantung berat badan dan intake dari iodin.
Lokasi lobus tiroid berdekatan dengan kartilago tiroid dan berhubungan pada
pertengahan istmus yang berlokasi tepat dibagian inferior kartilago krikoid.
Kelenjar tiroid terbungkus oleh fascia longgar yang terbentuk dari bagian dalam
dari fascia servikal.
 Histologi
Secara mikroskopik, tiroid terbagi menjadi lobulus yang mengandung 20-40
folikel yang berukuran 3x106 pada kelenjar tiroid laki-laki dewasa. Setiap folikel
dibatasi oleh sel epitel kuboid dan mengandung koloid yang disekresi oleh sel
epitel dibawah pengaruh hormon TSH. Selain itu sel C tiroid (sel parafolikular)
juga mensekresikan hormon kalsitonin.
 Perdarahan
Bagian atas tiroid diperdarahi oleh arteri yang berasal dari ipsilateral arteri
karotid external dan bercabang menjadi anterior dan posterior pada ujung lobus
tirod.
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Bagian belakang tiroid diperdarahi oleh arteri yang berasal dari thyrocervical
setelah percabangan dari arteri subclavia. Arteri di bagian bawah tiroid berjalan
keatas bagian belakang leher ke carotid sheath untuk masuk ke dalam
pertengahan lobus tiroid. Vena bagian atas dan tengah mengalir langsung ke vena
jugular. Vena bagian inferior sering membentuk plexus, yang mengalir ke vena
brachiocephalic.
 Persarafan
Saraf laringeal rekuren berasal dari percabangan nervus vagus yang dimana
melewati arkus aorta, ligamentum arteriosum, dan medial dari lekukan
trakeoesofageal. Saraf ini mempersarafi seluruh otot intrinsik laring, kecuali otot
krikotiroid yang dipersarafi saraf laringeal external. Apabila terjadi cedera pada
saraf ini dapat menyebabkan paralisis pada pita suara sehingga membuat suara
menjadi serak dan batuk ringan. Jika cedera terjadi bilateral, dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas yang membutuhkan trakeostomi emergensi dimana
membuat hilangnya suara dan apabila terjadi batuk berulang akan meyebabkan
meningkatnya risiko infeksi jalan nafas karena aspirasi.1,8
2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid
Sel folikel tiroid menghasilkan dua hormon yang mengandung iodium yang
berasal dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin (T 4 atau tiroksin) dan
triiodotironin (T3). Awalan tetra dan tri serta huruf bawah 4 dan 3 menunjukkan
jumlah atom iodium yang terdapat di masing-masing hormon ini. Kedua hormon ini
disebut hormon tiroid dan berperan sebagai regulator penting laju metabolik basal
(BMR) keseluruhan. Di ruang interstitium di antara folikel-folikel terdapat sel C yang
mengeluarkan hormon peptida kalsitonin. Kalsitonin berperan dalam metabolisme
kalsium serta sama sekali tidak berkaitan dengan dua hormon tiroid utama lainnya.2
Sekitar 90% dari produk sekretorik yang dibebaskan dari kelenjar tiroid adalah
dalam bentuk T4, namun T3 memiliki aktivitas biologik empat kali lebih kuat.
Sebagian besar dari T4 yang disekresikan akan diubah menjadi T3 dengan
penanggalan satu iodium (terutamadi hati dan ginjal) sehingga 80% T 3 dalam darah
berasal dari T4.2
Kerja hormon tiroid relatif “lamban” apabila dibandingkan dengan hormon lain.
Respon terhadap peningkatan tiroid baru terdeteksi setelah beberapa jam, dan respon
maksimal belum terlihat dalam beberapa hari. Durasi respons juga cukup lama,
sebagian karena hormon tiroid tidak cepat terurai, selain itu juga karena respons
terhadap peningkatan sekresi terus terjadi selama beberapa hari atau bahkan minggu
setelah konsentrasi hormon tiroid plasma kembali ke normal.2

Efek Hormon Tiroid :


Efek pada laju metabolisme dan produksi panas
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh.
Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan pengeluaran energi
tubuh pada keadaan istirahat. Efek metabolik hormon tiroid berkaitan erat dengan
efek kalorigenik (“penghasil panas”). Peningkatan aktivitas metabolik menyebabkan
peningkatan produksi panas.2
Efek metabolisme antara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang berperan
dalam metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik
memiliki banyak aspek; hormon ini tidak saja dapat mempengaruhi pembentukan dan
penguraian karbohidrat, lemak, dan protein tetapi hormon dalam jumlah sedikit atau
banyak dapat menimbulkan efek yang sebaliknya.2
Efek simpatomimetik
Efek simpatomimetik adalah setiap efek yang serupa dengan yang ditimbulkan
oleh sistem saraf simpatis. Hormon tiroid meningkatkan responsivitas sel sasaran
terhadap katekolamin (epnefrin dan norepinefrin), pembawa pesan kimiawi yang
digunakan oleh sistem saraf simpatis dan medula adrenal. Hormon tiroid
melaksanakan efek permisif ini dengan menyebabkan proliferasi reseptor sel sasaran
spesifik katekolamin. Karena pegaruh ini, banyak dari efek yang diamati ketika
sekresi hormon tiroid meningkat adalah serupa dengan yang menyertai pengaktifan
sistem saraf simpatis.2
Efek pada sistem kardiovaskular
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan jantung dan kekuatan kontraksi
sehingga curah jantung meningkat, melalui efek meningkatkan kepekaan jantung
terhadap katekolamin dalam darah. Selain itu juga terjadi vasodilatasi primer untuk
membawa kelebihan panas ke permukaan tubuh untuk dikeluarkan ke lingkungan
sebagai respon terhadap efek kalorigenik.2
Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf
Hormon tiroid merangsang sekresi GH dan meningkatkan produksi IGF-I (oleh
hati) dan mendorong efek GH dan IGF-I pada pertumbuhan tulang, sehingga anak
dengan defisiensi tiroid akan mengalami hambatan pertumbuhan. Namun, kelebihan
hormon tiroid tidak menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan. Hormon tiroid
berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf, khususnya SSP. Hormon
tiroid juga esensial untuk aktivitas normal SSP pada orang dewasa.2
Pelepasan Hormon Tiroid :
Thyroid-stimulating hormone (TSH) merupakan hormon dari hipofisis anterior
yang berperan sebagai regulator fisiologik terpenting sekresi hormon tiroid. Tanpa
adanya TSH, tiroid mengalami atrofi (ukurannya berkurang) dan mengeluarkan
hormon tiroid dalam jumlah yang rendah. Sebaliknya, kelenjar mengalami hipertrofi
(peningkatan ukuran setiap sel folikel) dan hiperplasia (peningkatan jumlah folikel)
sebagai respons terhadap TSH yang berlebihan.2
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) hipotalamus, menstimulasi sekresi TSH
oleh hipofisis anterior, sementara hormon tiroid akan melakukan mekanisme umpan
balik negatif dengan “memadamkan” sekresi TSH dengan menghambat hipofisis
anterior. Mekanisme antara hormon tiroid dan TSH ini cenderung mempertahankan
kestabilan hormon tiroid.2
Faktor yang dapat meningkatkan sekresi TRH adalah pajanan ke cuaca dingin
pada bayi baru lahir. Peningkatan drastis sekresi hormon tiroid yang menghasilkan
panas membantu mempertahankan suhu tubuh sewaktu penurunan mendadak suhu
lingkungan ketika bayi dilahirkan. Namun, respons TSH serupa tidak terjadi pada
orang dewasa.2
Berbagai jenis stres dapat menghambat sekresi TSH dan hormon tiroid,
mungkin melalui pengaruh saraf pada hipotalamus, meskipun makna adaptif inhibisi
ini masih belum jelas.2

2.3 Struma Nodosa Non Toksik


2.3.1 Definisi
Struma adalah setiap pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan
penambahan jaringan kelenjar tiroid.3
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid difus atau nodular yang
bukan merupakan hasil dari proses inflamasi atau neoplastik dan tidak terkait dengan
fungsi tiroid yang abnormal.4
2.3.2 Epidemiologi
Lebih dari 2,2 miliar orang di seluruh dunia memiliki beberapa bentuk
kelainan kekurangan yodium. Dua puluh sembilan persen populasi dunia tinggal di
wilayah yang kekurangan yodium (terutama di Asia, Amerika Latin, Afrika Tengah,
dan wilayah Eropa). Dari mereka yang berisiko, 655 juta diketahui menderita
struma.5
Seperti dilansir World Health Organization (WHO), United Nations
Children's Fund (UNICEF), dan International Council for the Control of Iodine
Deficiency Disorders (ICCIDD), tidak adanya defisiensi yodium (yaitu median urine
yodium> 100 mg / dL) dikaitkan dengan prevalensi struma kurang dari 5%; defisiensi
yodium ringan (yaitu, rata-rata yodium urin 50-99 mg / dL), dengan prevalensi
struma 5-20%; defisiensi yodium sedang (yaitu, rata-rata yodium urin 20-49 mg /
dL), dengan prevalensi struma 20-30%; dan defisiensi yodium yang parah (yaitu,
yodium urin median 20-49 mg / dL), dengan prevalensi struma lebih dari 30%.5
Struma difus dan nodular lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada
pria. Menurut perkiraan terbaik, kejadian struma pada wanita adalah 1,2-4,3 kali lebih
besar dari pada pria.5
2.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi dari goiter berdasarkan palpasi menurut WHO
0 Tidak terdapat struma
Ia Teraba struma, tidak terlihat saat menekuk kepala ke belakang, nodul
soliter
Ib Struma teraba, hanya terlihat saat menekuk kepala ke belakang
II Struma yang terlihat dan teraba bahkan tanpa menyandarkan kepala
III Struma terlihat dari kejauhan, dengan obstruksi trakea dan esofagus
atau menyebar ke belakang sternum

Klasifikasi Goiter berdasarkan fungsinya :4


1. Struma Toksik : Struma yang dikaitkan dengan hipertiroidisme digambarkan
sebagai struma toksik. Contoh penyakit struma beracun termasuk struma
toksik difus (penyakit Graves), struma multinodular toksik, dan adenoma
toksik (penyakit Plummer).
2. Struma Non Toksik : Struma tanpa hipertiroidisme atau hipotiroidisme
digambarkan sebagai struma non toksik. Ini mungkin menyebar atau
multinodular, tetapi struma difus sering berkembang menjadi struma nodular.
Pemeriksaan tiroid mungkin tidak menunjukkan nodul kecil atau posterior.
Contoh struma non toksik termasuk tiroiditis limfositik kronis (penyakit
Hashimoto), struma yang diidentifikasi pada penyakit Graves awal, struma
endemik, struma sporadis, struma bawaan, dan struma fisiologis yang terjadi
selama masa pubertas.

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Tiroid6

I. Diseases characterized by (tissue) euthyroidism 

 A. Euthyroid goiter

  1. Diffuse (chronic) 

  2. Nodular (chronic) 

  3. Diffuse (transient) 

 B. Tumors 

  1. Benign (single nodule) 

  2. Malignant 

   a. Differentiated (papillary and follicular) 

   b. Undifferentiated (anaplastic) 


   c. Medullary 

 C. Thyroiditis 

  1. Acute thyroiditis 

  2. Subacute thyroiditis (De Quervain’s) (in the euthyroid phase: polar
disease) 

  3. Chronic autoimmune thyroiditis or Hashimoto’s disease (in the euthyroid


phase: polar disease) 

  4. Postpartum and silent thyroiditis (in the euthyroid phase: polar disease)

  5. Riedel’s thyroiditis 

II. Diseases characterized by (tissue) hyperthyroidism 

 A. With thyroid gland hyperfunction 

  1. Hyperthyroid goiter with thyroid-associated ophthalmopathy or Basedow-


Graves’ disease 

  2. Multinodular hyperthyroid goiter or Plummer’s disease 

  3. Autonomous nodule (hyperthyroid) 

  4. Rare forms: excessive exogenous iodine, hyperthyroidism due to


Hashimoto’s disease (Hashitoxicosis), postpartum thyroiditis (in the hyperthyroid
phase), pituitary resistance to thyroid hormones, TSH-secreting pituitary adenoma,
chorionic gonadotropin-secreting tumor, adenoma or carcinoma (follicular) of the
thyroid 

 B. Thyrotoxicosis (without thyroid gland hyperfunction) 

  1. Excessive, exogenous thyroid hormones (thyrotoxicosis factitia and


iatrogenic) 

  2. Postinflammatory or from destruction of the thyroid 

  3. Amiodarone-induced 

 C. Transient hyperthyroidism 

III. Diseases characterized by (tissue) hypothyroidism 

 A. With thyroid gland hypofunction 

  1. Primary hypothyroidism 

   a. Adult (iatrogenic (surgery, I therapy, external radiotherapy), chronic


autoimmune thyroiditis (in the hypothyroid phase), Graves’ disease (end-stage),
diffuse and nodular goiter, iodine deficiency 

   b. Neonatal congenital (ectopia, agenesis, dyshormonogenesis) 

  2. Secondary: hypothalamic-pituitary hypothyroidism (or central) 

  3. Dyshormonogenetic congenital goiter 

 B. Without hypothyroidism 

  1. Generalized and peripheral resistance to thyroid hormones (receptor


and postreceptor defects) 

 C. Transient hypothyroidism 

IV. Thyroid-associated ophthalmopathy 

V. Abnormal thyroid parameters without thyroid diseases (nonthyroidal illness,


deficit of TBG, etc.)
2.3.4 Etiologi
Penyebab struma non toksik paling sering adalah akibat dari stimulasi TSH
sekunder dari kurangnya sintesis hormon tiroid. Peningkatan level TSH menginduksi
hiperplasia tiroid difus, diikuti dengan hiperplasia fokal, menyebabkan terbentuknya
nodul yang dapat memiliki konsentrasi iodin, nodul kolloid, atau nodul
multifolikular.8

Tabel 2. Etiologi dari Struma Non Toksik8


Klasifikasi Etiologi Spesifik
Endemik Defisiensi iodin, diet goitrogen
(singkong, kol, rumput laut)
Obat-obatan Iodide, amiodarone, lithium
Thyroiditis Subakut, Kronis (Hashimoto)
Genetik Gangguan sintesis hormon dari
kurangnya enzim
Neoplasma Adenoma, Karsinoma
Resisten terhadap hormon tiroid -

Selain itu terdapat beberapa penyebab lain dari terjadinya struma non toksik7,9
 Goiter fisiologis (pubertas, kehamilan)
 Dismorfogenesis (kerusakan dalam jalur biosintesis hormon kelejar tiroid)
 Paparan radiasi (terutama pada saat anak-anak akan secara signifikan
meningkatkan risiko penyakit tiroid jinak maupun ganas serta disfungsi
tiroid).
 Autoimun
 Penyakit granulomatous
 Kekurangan (defisiensi) yodium (iodine): Pembentukan struma terjadi pada
defisiensi sedang iodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi
berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan
hipotiroidisme dan kreatinisme.
 Kelebihan iodium: jarang terjadi dan pada umumnya terjadi pada penyakit
tiroid autoimun yang ada sebelumnya. 
 Goitrogen : 
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, amino-glutethimide,
expectorants, thiocarbamide, sulfonilurea yang mengandung iodium
(Penghambatan sintesa hormon) 
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi- padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
(Menghambat sintesis hormon)

2.3.5 Patofisiologi
Kekurangan iodium atau peningkatan kebutuhan hormon tiroid menyebabkan
stimulasi kelenjar pituitari yang meningkatkan sekresi TSH. TSH menstimulasi sel-
sel folikel tiroid dan dengan stimulasi yang kontinu secara terus menerus
menyebabkan hiperplasia folikel dan pembesaran tiroid. Ketika iodium telah disuplai
kembali atau ketika defisiensi hormon tiroid telah diperbaiki, kelenjar tiroid dapat
berkurang ukurannya karena penurunan kadar TSH dan kelenjar tiroid tidak lebih
terstimulasi.7
Histopatologi bervariasi sesuai dengan etiologi dan usia dari struma.
Awalnya, terdapat hiperplasia epitel folikuler seragam (struma difus), dengan
peningkatan massa tiroid. Saat gangguan berlanjut, arsitektur tiroid kehilangan
keseragamannya, dengan perkembangan area involusi dan fibrosis yang diselingi
dengan area hiperplasia fokal. Proses ini menghasilkan nodul multipel (struma
multinodular atau adenomatosa). Pada skintigrafi nuklir, beberapa nodul panas,
dengan serapan isotop tinggi (otonom) atau dingin, dengan serapan isotop rendah,
dibandingkan dengan jaringan tiroid normal.5
Perkembangan nodul berkorelasi dengan perkembangan otonomi fungsional
dan penurunan kadar hormon perangsang tiroid (TSH). Secara klinis, riwayat alami
dari struma non toksik adalah pertumbuhan tiroid, produksi dari nodul, dan otonomi
fungsional. Namun, fungsi tiroid yang tinggi secara abnormal mengakibatkan
terjadinya tirotoksikosis dan terdapat pada sebagian kecil pasien. Risiko keganasan
pada pasien dengan struma nodular sama seperti pada nodul soliter.5

2.3.6 Diagnosis
2.3.6.1 Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien struma non toksik tidak menunjukkan gejala.
Pembengkakan dapat ditemukan secara tidak sengaja oleh pasien atau orang lain.
Beberapa orang mungkin memiliki gejala kompresi seperti disfagia, batuk kering, dan
suara serak karena kompresi mekanis pada saraf laring oleh struma besar di dekatnya.
Dispenea dan stridor juga dapat terjadi secara nokturnal atau positional (pada saat
pasien mengangkat tangannya yang dimana akan mempersempit outlet thoraks).
Tiroid besar dapat menekan pembuluh darah leher yang menyebabkan wajah
tersumbat dan ketidaknyamanan. Nyeri jarang terjadi dan bisa parah dan bertambah
ketika ada perdarahan pada nodul dan mungkin terkait dengan perubahan mendadak
pada struma.
Menentukan apakah struma telah ada selama bertahun-tahun dan apakah
perubahan telah terjadi di masa lalu adalah penting. Pertumbuhan nodul atau lobus
tiroid yang baru secara cepat meningkatkan kecurigaan adanya keganasan.
Struma yang terkait dengan adenopati unilateral harus dipikirkan kecurigaan
keganasan. Struma jarang terasa nyeri atau tumbuh dengan cepat kecuali terjadi
perdarahan terbaru menjadi nodul telah terjadi.
Perdarahan pada nodul dapat menyebabkan terjadinya bronchitis dan dapat
memperberat gejala pernapasan jika pasien terdapat penyempitan trakea.
Riwayat keluarga sangat penting dalam evaluasi pasien penderita struma.
Selidiki bentuk-bentuk dishormonogenesis yang diturunkan pada pasien anak-anak,
serta karsinoma papiler familial dari tiroid dan bentuk-bentuk familial dari kanker
tiroid meduler (neoplasia endokrin multipel dan karsinoma meduler keluarga dari
tiroid)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid yang
halus dan difus (simple goiter) atau nodul dengan ukuran dan konsistensi yang
bervariasi pada kasus multinodular goiter. Bisa terlihat adanya pembengkakan pada
leher tengah dengan massa yang licin atau nodular dan bisa bergerak saat menelan.
Bisa terdapat deviasi pada trakea atau melebar ke arah retrosternal. Setiap
limfadenopati servikal harus dicurigai adanya keganasan: pemeriksaan lanjutan harus
dilakukan. Pita suara harus diperiksa pada kasus adanya suara serak atau sebelum dan
intervensi bedah. Pada kasus obstruksi bisa ditemukan adanya pemberton’s sign
(adanya facial flushing dan dilatasi dari vena pada servikal saat lengan dinaikan ke
atas kepala). Temuan fisik terkait terbatas pada evaluasi bentuk, asimetri, ukuran, dan
konsistensi struma non toksik, karakteristik ultrasonografi dari nodul di dalam struma
individu; limfadenopati; dan penilaian fungsi tiroid.
Evaluasi tiroid dimulai dengan pemeriksaan pembesaran tiroid pada leher.
Seringkali, pembesaran tiroid hanya dapat dideteksi saat pasien menelan.
Ismus pada tiroid terletak di atau tepat di bawah kartilago krikoid trakea.
Lobus tiroid meluas ke lateral dan, jika membesar, dapat meluas ke posterior otot
sternokleidomastoid. Hingga 80% kelenjar tiroid mungkin memiliki lobus piramidal
yang memanjang ke arah superior dari ismus.
Menilai ukuran kelenjar secara keseluruhan; di Amerika Serikat, berat
normalnya adalah 15-20 gram.
Periksa apakah adanya asimetri pada tiroid dan tentukan apakah terdapat
nodul dominan pada struma nodular secara keseluruhan atau apakah terdapat nodul
soliter pada kelenjar yang normal. Evaluasi nodul dominan yang lebih besar dari 1-
1,5 cm atau nodul soliter yang berukuran sama dengan biopsi aspirasi jarum tipis.
Struma difus atau nodular tanpa nodul dominan tidak memerlukan biopsi untuk
evaluasi.
Pemeriksaan obstruksi dapat dilakukan pada pasien dengan dispnea dan batuk,
terutama saat beraktivitas, apakah ada obstruksi trakea. Perhatikan deviasi trakea dari
garis tengah. Suara pasien dinilai dari suara serak.
Obstruksi aliran keluar vena pada kepala dan leher dapat ditimbulkan oleh
manuver Pemberton dengan mengangkat lengan pasien di atas kepala sampai
menyentuh sisi kepala selama 1 menit. Temuan positif terjadi dengan sebagian besar
wajah atau pembengkakan pembuluh darah leher.
Pemeriksaan disfungsi tiroid harus dilakukan untuk melihat apakah ada gejala
hipotiroid seperti kulit pucat, bicara disartrik, penurunan mental, penambahan berat
badan tanpa perubahan nafsu makan, intoleransi dingin, sembelit, hipersomnia, dan
relaksasi yang tertunda pada refleks tendon dalam. Ataupun gejala hipertiroid seperti
takikardia, aritmia atrium (ekg, fibrilasi atrium), diaforesis, penurunan berat badan
tanpa perubahan nafsu makan, intoleransi panas, defekasi berlebihan, eritema palmar,
kelopak mata tertinggal, tremor, dan refleks cepat.
Pemeriksaan pada leher juga perlu dilakukan untuk melihat apakah ada
limfadenopati.7,8,9

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Periksa semua pasien dengan struma untuk mengetahui adanya
disfungsi tiroid dengan uji serum tirotropin (TSH). Tes TSH generasi kedua
dapat mendeteksi hipertiroidisme dan hipotiroidisme yang tidak terlihat secara
klinis (subklinis).
Jika TSH tinggi, pertimbangkan tiroiditis autoimun kronis (tiroiditis
Hashimoto) atau konsumsi goitrogen, seperti litium atau amiodaron, serta
dishormonogenesis pada anak. Koreksi status hipotiroid dengan penghentian
goitrogen atau institusi terapi penggantian hormon tiroid dapat sangat
mengurangi ukuran struma.
Jika TSH rendah, pengukuran tiroksin bebas serum (T4 bebas) atau
indeks T4 bebas dan triiodotironin total (T3) digunakan untuk memastikan
diagnosis tirotoksikosis. Setelah beberapa tahun, area otonomi fungsional
struma non toksik dapat berkembang dan tirotoksikosis. Pengobatan
tirotoksikosis termasuk stabilisasi keadaan hipertiroid dengan obat antitiroid
dan kemudian operasi pengangkatan struma atau pemberian terapi ablatif
yodium radioaktif.9
Gambar 1. Area autonom tiroid pada pemeriksaan dengan 99mTc

 Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi baik untuk memperkirakan jumlah, ukuran, dan
karakteristik sonografi dari nodul tetapi tidak akurat dalam praktek klinis untuk
mengukur volume struma yang besar. Karakteristik ultrasonik yang
mencurigakan, termasuk hipoekogenisitas, mikrokalsifikasi, makrokalsifikasi,
vaskularisasi intranodular, dimensi yang lebih tinggi dari lebar, dan batas kabur,
dapat memandu dokter tentang nodul mana yang memerlukan biopsi untuk
keganasan. Dalam situasi ini, sitologi aspirasi jarum halus di bawah panduan
USG direkomendasikan. Rontgen dada berguna untuk menilai struma
retrosternal dan jika ada deviasi trakea. Computed tomography (CT) scanning
dan magnetic resonance imaging (MRI), meskipun mahal, sangat baik untuk
menilai adanya deviasi/kompresi trakea, kompresi jalan nafas, dan ekstensi
intratoraks ataupun retrosternal dari struma.
Barium dapat digunakan untuk mendokumentasikan obstruksi esofagus
pada pasien dengan gejala disfagia yang signifikan.
Skintigrafi tiroid tidak secara rutin diindikasikan dalam penilaian ukuran
struma kecuali ada kekhawatiran hemiagenesis tiroid atau penekan TSH akibat
hipertiroidisme. Nodul dengan temuan samar pada aspirasi jarum tipis dapat
dievaluasi lebih lanjut menggunakan skintigrafi tiroid. Area yang panas
mendukung adanya lesi jinak. Contoh pemindaian tiroid technetium-99m (99m
Tc).8,9

Gambar 2. Technetium-99m thyroid scan


Gambar 3. Area autonom tiroid pada pemeriksaan 99mTc

 Pemeriksaan Lain
Tes fungsi paru dapat digunakan sebagai penilaian fungsional dari kompresi
trakea. Laringoskopi direk juga dapat menunjukkan kompresi trakea.9
 Pemeriksaan Histologi (FNAB)
FNAB telah menjadi salah satu pemeriksaan terpenting dalam
mengevaluasi massa tiroid dan bisa dilakukan dengan atau tanpa panduan USG.
Panduan dengan USG direkomendasikan pada nodul yang sulit untuk dipalpasi,
untuk nodul kistik atau solid yang kambuh setelah aspirasi yang pertama kali,
dan untuk struma multinodular. Jarum berukuran 23G ditusukkan pada massa
tiroid, kemudian tiroid di aspirasi. Setelah jarum ditarik dan sel-sel yang
diaspirasi segera di letakkan pada objek glass dan ditambahkan dengan alkohol
70%. Jika terdapat darah pada sampel maka harus dilakukan ulang biopsy
dengan pasien di reposisi dengan posisi lebih tegak serta biopsy dilakukan ulang
dengan jarum berukuran yang lebih kecil yaitu 25-20 gauge. Spesimen sitologi
yang optimum paling tidak memiliki enam folikel dan tiap folikel memiliki 10
hingga 15 sel dari dua aspirat.
Hasil “jinak” terdapat 60-70% dari FNAB tiroid. Lesi yang paling umum
adalah follicular nodule (termasuk adenomatoid nodule, colloid nodule, dan
follicular adenoma). Diagnosis lainnya adalah lymphocytic (Hashimoto’s)
thyroiditis dan granulomatous thyroiditis. Hasil negatif palsu ditemukan pada
3% kasus dan follow up direkomendasikan. Hasil dari “atypia of unknown
significance (AUS) atau follicular lesion of unknown significance (FLUS)”
didapatkan dalam 3-6% biopsi. Risiko keganasan pada skenario ini masih sulit
untuk ditentukan, namun diperkirakan sekitar 10-35% untuk FLUS dan 60-75%
pada AUS. Korelasi klinis dan FNAB ulang pada AUS direkomendasikan.
Kategori untuk neoplasma follicular ditujukan untuk mengidentifikasi
nodul yang bisa jadi follicular carcinoma. 15-35% pasien pada kategori ini
dibuktikan merupakan suatu keganasan dan dianjurkan untuk dilakukan
lobektomi. Kebanyakan papillary dan karsinoma lainnya dapat didiagnosa
dengan FNAB. Jika diagnosanya tidak jelas, lesi dapat dikategorikan sebagai
“suspicious for malignancy”. Lobectomy atau near-total thyroidectomy
direkomendasikan pada kasus ini karena lebih dari 60% ternyata merupakan
keganasan. Risiko keganasan pada lesi ini dikategorikan sebagai “malignant”
dari FNAB dan merupakan 97% hingga 99%.8,9

Tabel 3. Klasifikasi Bethesda untuk sitologi tiroid


2.3.7 Diagnosis Banding
Struma non toksik harus dibedakan dari penyebab struma lainnya. Masalah
terpenting di sini adalah menyingkirkan keganasan. Kanker tiroid yang harus
disingkirkan termasuk kanker tiroid papiler, kanker tiroid folikuler, kanker tiroid
meduler, dan limfoma tiroid. Kanker tiroid anaplastik biasanya muncul sebagai suatu
pembengkakan yang besar dan menetap. Penyebab lain struma yang harus dibedakan
dari struma non toksik termasuk struma inflamasi.7
Selain itu berikut ada beberapa contoh diagnosis banding dari struma non toksik:9
 Follicular Thyroid Carcinoma
 Hashimoto Thyroiditis
 Medullary Thyroid Carcinoma
 Papillary Thyroid Carcinoma
 Riedel Thyroiditis
 Subacute Thyroiditis
 Thyroid Lymphoma
 Thyroid Nodule

2.3.8 Tatalaksana
Goiter non toxic biasanya tumbuh sangat lambat selama beberapa dekade
tanpa menimbulkan gejala. Tanpa bukti pertumbuhan yang cepat, gejala
obstruktif (mis ; Disfagia, stridor, batuk, sesak napas), atau tirotoksikosis, tidak
diperlukan pengobatan.
Terapi dipertimbangkan jika terdapat pertumbuhan seluruh gondok atau nodul
tertentu, terutama jika terdapat perluasan gondok intratoraks, gejala tekan, atau
tirotoksikosis. Perluasan gondok intratoraks tidak dapat dinilai dengan palpasi
atau biopsi. Goiter, jika ukurannya signifikan, harus diangkat melalui
pembedahan. Terapi yang tersedia saat ini termasuk tiroidektomi, terapi yodium
radioaktif, dan terapi levotiroksin (L-tiroksin, atau T4).
Terapi yodium radioaktif - Terapi radioiodine untuk penyakit struma non
toksik sering dilakukan di Eropa. Ini adalah pilihan terapeutik yang masuk akal,
terutama pada pasien yang lebih tua atau memiliki kontraindikasi untuk operasi.
Terapi yodium radioaktif untuk penyakit gondok non toxic diperkenalkan
kembali pada tahun 1990-an. Beberapa penelitian telah menunjukkan penurunan
volume tiroid pada hampir semua pasien setelah terapi dosis tunggal. Dari pasien
dengan gondok difus non toxic yang diobati dengan yodium radioaktif, 90%
mengalami penurunan rata-rata 50-60% volume gondok setelah 12-18 bulan,
dengan penurunan gejala tekan. Penurunan ukuran gondok berkorelasi positif
dengan dosis yodium-131. Pengurangan ukuran gondok lebih besar pada pasien
yang lebih muda dan pada individu yang hanya memiliki riwayat gondok pendek
atau yang memiliki gondok kecil. TSH dasar bukanlah prediktor respon terhadap
yodium radioaktif. Gejala obstruktif membaik pada kebanyakan pasien yang
menerima yodium radioaktif.
Terjadi efek samping, termasuk tiroiditis, tetapi tidak ada pasien yang
melaporkan memburuknya gejala yang memerlukan pengobatan. Tidak ada
laporan tindak lanjut jangka panjang pada pasien yang diobati dengan yodium
radioaktif. Pasien harus selalu dipantau secara klinis setelah terapi 131 I, untuk
bukti pertumbuhan kembali gondok. Hipertiroidisme transien jarang terjadi dan
biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah pengobatan.
Tidak seperti pasien dengan hipertiroidisme Graves yang hampir semuanya
menjadi hipotiroid setelah pengobatan dengan yodium radioaktif, hanya sebagian
kecil (~ 20%) dari pasien dengan gondok tidak beracun yang mengalami
hipotiroidisme setelah pengobatan yodium radioaktif.
TSH manusia rekombinan (rhTSH) mungkin memiliki peran dalam
pengobatan yodium radioaktif untuk gondok tidak beracun. Perawatan awal
dengan rhTSH 24 jam sebelum terapi dapat mengurangi jumlah radioiodin yang
dibutuhkan untuk mengecilkan gondok (pengurangan hingga 50%). Terapi
penekan hormon tiroid - Penggunaan T4 pada individu eutiroid untuk
mengecilkan struma non toksik masih kontroversial.
Satu studi menunjukkan bahwa terapi T4 untuk struma non toksik mengurangi
volume tiroid pada 58% pasien, dibandingkan dengan 4% pasien yang diobati
dengan plasebo. Namun, hasil ini belum terbukti dapat direproduksi, dan manfaat
penggunaan T4 perlu dipertimbangkan terhadap risiko hipertiroidisme subklinis
yang dihasilkan yang terkait dengan peningkatan risiko penurunan kepadatan
mineral tulang dan peningkatan fibrilasi atrium. Pertumbuhan gondok biasanya
berlanjut setelah penghentian terapi T4.
American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists telah merilis pedoman untuk pengelolaan hipertiroid dan
penyebab tirotoksikosis lainnya, termasuk penggunaan yodium radioaktif atau
pembedahan untuk mengobati gondok multinodular toksik.

 Pembedahan
Tiroidektomi atau operasi dekompresi menyebabkan gejala obstruktif mereda
dengan cepat. Kebanyakan gondok intratoraks dapat diangkat dari sayatan serviks
tanpa sternotomi. Melakukan tiroidektomi subtotal bilateral telah
direkomendasikan untuk mengurangi risiko berlanjutnya pertumbuhan gondok.
Tingkat kekambuhan gondok tergantung pada luasnya operasi tetapi tidak boleh
lebih dari 10% dalam 10 tahun.
Setelah tiroidektomi subtotal bilateral, semua pasien memerlukan terapi
penggantian hormon tiroid. Terapi penggantian penuh harus dimulai segera
setelah operasi, dengan kadar TSH diperiksa 3-4 minggu pasca operasi. Sesuaikan
terapi hormon tiroid, seperti T4, untuk mempertahankan tingkat TSH dalam
kisaran referensi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa terapi penggantian hormon
tiroid mencegah kekambuhan gondok tidak beracun setelah operasi
pengangkatan.
Penggunaan tiroidektomi total untuk mengobati gondok multinodular jinak
telah menimbulkan beberapa kekhawatiran, karena risiko kerusakan fungsi
paratiroid dan cedera saraf laring yang ditimbulkan oleh prosedur ini. Meskipun
demikian, tiroidektomi total juga dipandang sebagai cara untuk menghindari
perangkap tiroidektomi subtotal, khususnya, kekambuhan gondok dan pengobatan
kanker tiroid yang tidak memadai, yang dapat terjadi pada gondok jinak. Hasil
dari tinjauan pustaka 2008 menunjukkan bahwa tingkat komplikasi permanen
adalah sama untuk tiroidektomi subtotal dan total; Akibatnya, penulis laporan
menyimpulkan bahwa tiroidektomi total harus menjadi prosedur pilihan untuk
perawatan bedah gondok multinodular jinak.
Kesimpulan yang sama dicapai dalam penelitian terhadap 600 pasien dengan
gondok multinodular tidak beracun. Barczynski et al membandingkan hasil dari
tiroidektomi total (200 pasien), prosedur Dunhill (lobektomi total unilateral
ditambah lobektomi subtotal kontralateral; 200 pasien), dan tiroidektomi subtotal
bilateral (200 pasien). Para penulis menemukan bahwa selama 5 tahun masa
tindak lanjut kejadian gondok berulang setelah tiroidektomi total adalah 0,52%,
sedangkan setelah operasi Dunhill adalah 4,71%, dan kekambuhan setelah
tiroidektomi subtotal bilateral adalah 11,58%. Frekuensi tiroidektomi selesai juga
lebih rendah pada tiroidektomi total dibandingkan dengan operasi lainnya.
Insiden hipoparatiroidisme transien dalam penelitian di atas, serta cedera saraf
laring sementara dan permanen, lebih besar pada tiroidektomi total dibandingkan
jenis operasi lainnya. Meskipun demikian, penulis menyimpulkan bahwa, karena
fakta bahwa setelah tiroidektomi total terdapat penurunan insiden kekambuhan
gondok yang memerlukan tiroidektomi ulang, tiroidektomi total harus
dipertimbangkan sebagai prosedur pilihan untuk pasien dengan gondok
multinodular non toksik.
Hasil dari penelitian Swiss terhadap 72 pasien menunjukkan bahwa satu dosis
steroid sebelum tiroidektomi untuk penyakit jinak dapat, dalam waktu 48 jam
pasca operasi, secara signifikan mengurangi rasa sakit, mual, muntah, dan
perubahan suara terkait dengan prosedur.9

2.3.9 Prognosis
Struma non toksik merupakan penyakit jinak yang hanya menyebabkan
gangguan kosmetik. Namun, jika ukurannya membesar, dapat menekan trakea, syaraf
laryngeal, dan juga esofagus. Kebanyakan struma jinak memiliki prognosis yang
baik. Sebagian kecil struma dapat menyebabkan hipertiroidisme dan beberapa juga
dapat menyebabkan keganasan, karena itu diperlukan pengawasan seumur hidup.
Pada orang dengan kompresi, setelah operasi pengangkatan, penyempitan trakea akan
kembali normal sehingga terjadi peningkatan fungsi paru.7

DAFTAR PUSTAKA
1. Doherty GM. Doherty G.M.(Ed.),Ed. Gerard M. Doherty. (2014). CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery, 14e. McGraw-Hill.
2. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta
: EGC.
3. Assagaf, S.M, N. Lumintang, H. Lampus. 2015. Gambaran Eutiroid pada Pasien
Struma Multinodusa Non Toksik Di Bagian Bedah RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado Periode Juli 2012-Juli 2014. Jurnal e-Clinic (eCl), Vol 3(3); 758-762.
4. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J
Clin Endocrinol Metab. 2011 May. 96(5):1202-12.
5. Knobel M. Etiopathology, clinical features, and treatment of diffuse and
multinodular nontoxic goiters. J Endocrinol Invest. 2015 Sep 21.
6. Fabrizio Monaco, Classification of Thyroid Diseases: Suggestions for a
Revision, The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, Volume 88, Issue
4, 1 April 2003, Pages 1428–1432, https://doi.org/10.1210/jc.2002-021260
7. Alkabban, F. M., B.C Patel. 2020. NonToxic Goiter. StatPearls Publishing.
Available on: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482274/ , akses: 3 Jan
2021, 17.20.
8. Brunicardi, F., et al. (2014) Schwartz's Principles of Surgery. 10th Edition,
McGraw-Hill Education, New York
9. Stephanie L et al. Non Toxic Goiter Clinical Presentation. 2016.
https://emedicine.medscape.com/article/120392-clinical#b5 diakese pada 14
Februari 2020.

Anda mungkin juga menyukai