Laporan Kasus SNNT Rafi RSUD Kab Bekasi 1 Feb - 14 Mar 2021
Laporan Kasus SNNT Rafi RSUD Kab Bekasi 1 Feb - 14 Mar 2021
Pembimbing:
dr. Aladin S. Johan, Sp.B
Oleh:
Ahmad Rafi Faiq 1102015012
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 50 tahun
Alamat : Kp. Rawa Benteng, Cibuntu
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal pemeriksaan : 9 Februari 2021
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 9 Februari 2021 di
poli bedah pukul 10.00 WIB
Keluhan Utama :
Benjolan pada leher kiri sejak 1 tahun yang lalu
TB : 150 cm BB : 58 kg
Status Generalis
Kepala : Normocephal, pemberton’s sign (-)
Mata :
o Konjungtiva : Tidak anemis, kemosis (-)
o Sklera : Tidak ikterik
o Kelopak Mata : Proptosis (-)
o Eksoftalmus : (-)
o Gerak bola mata tidak ada yang tertinggal
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks :
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus vokal pada hemitoraks kanan- kiri teraba simetris
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks
Auskultasi : Vesikuler +/+ , Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-) di seluruh kuadran
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
Ekstremitas :
Atas : akral hangat +/+, CRT <2”, tremor (-), turgor baik
Bawah : akral hangat +/+, CRT<2”, turgor baik
Status Lokalis
REGIO COLLI SINISTRA
Inspeksi : Terlihat benjolan pada leher kiri.
Palpasi :Teraba benjolan, tunggal, ukuran 3 x 4 cm, konsistensi kenyal,
permukaan rata, ikut bergerak saat menelan, batas tegas, nyeri tekan (-),
pembesaran KGB regional (-).
TANDA-TANDA HIPERTIROIDISME :
Retraksi kelopak mata: (-/-)
Eksoftalmus : (-/-)
Tanda Dalrymple : (-/-)
Tanda von graefe : (-/-)
Bising kelenjar tiroid : (-/-)
V. RESUME
Ny. N, 50 tahun, datang dengan keluhan adanya benjolan pada leher
kiri sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan dirasa semakin bertambah besar.
Keluhan lain disangkal. Riwayat dahulu terdapat Asma. Pemeriksaan fisik
didapatkan adanya benjolan tunggal dengan ukuran 3 x 4 cm, konsistensi
kenyal, permukaan rata, benjolan ikut bergerak pada saat menelan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi didapatkan kesimpulan berupa struma nodusa
tiroid bilateral serta limfadenopati coli bilateral. Pada pemeriksaan fungsi
tiroid didapatkan hasil normal.
IX. TATALAKSANA
Observasi tanda-tanda obstruksi dan keganasan
Operatif (jika terdapat indikasi)
Edukasi :
a) Edukasi mengenai penyakit pasien dan segera kontrol jika terdapat
gejala obstruktif (sulit menelan, sesak dan suara serak), pertumbuhan
cepat pada benjolan, atau gejala hipertiroid.
b) Diet iodium (150 mcg/hari) dengan penggunaan garam beriodium,
bisa juga ditambah dengan multivitamin yang mengandung iodium
untuk memastikan asupan iodium yang adekuat.
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian belakang tiroid diperdarahi oleh arteri yang berasal dari thyrocervical
setelah percabangan dari arteri subclavia. Arteri di bagian bawah tiroid berjalan
keatas bagian belakang leher ke carotid sheath untuk masuk ke dalam
pertengahan lobus tiroid. Vena bagian atas dan tengah mengalir langsung ke vena
jugular. Vena bagian inferior sering membentuk plexus, yang mengalir ke vena
brachiocephalic.
Persarafan
Saraf laringeal rekuren berasal dari percabangan nervus vagus yang dimana
melewati arkus aorta, ligamentum arteriosum, dan medial dari lekukan
trakeoesofageal. Saraf ini mempersarafi seluruh otot intrinsik laring, kecuali otot
krikotiroid yang dipersarafi saraf laringeal external. Apabila terjadi cedera pada
saraf ini dapat menyebabkan paralisis pada pita suara sehingga membuat suara
menjadi serak dan batuk ringan. Jika cedera terjadi bilateral, dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas yang membutuhkan trakeostomi emergensi dimana
membuat hilangnya suara dan apabila terjadi batuk berulang akan meyebabkan
meningkatnya risiko infeksi jalan nafas karena aspirasi.1,8
2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid
Sel folikel tiroid menghasilkan dua hormon yang mengandung iodium yang
berasal dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin (T 4 atau tiroksin) dan
triiodotironin (T3). Awalan tetra dan tri serta huruf bawah 4 dan 3 menunjukkan
jumlah atom iodium yang terdapat di masing-masing hormon ini. Kedua hormon ini
disebut hormon tiroid dan berperan sebagai regulator penting laju metabolik basal
(BMR) keseluruhan. Di ruang interstitium di antara folikel-folikel terdapat sel C yang
mengeluarkan hormon peptida kalsitonin. Kalsitonin berperan dalam metabolisme
kalsium serta sama sekali tidak berkaitan dengan dua hormon tiroid utama lainnya.2
Sekitar 90% dari produk sekretorik yang dibebaskan dari kelenjar tiroid adalah
dalam bentuk T4, namun T3 memiliki aktivitas biologik empat kali lebih kuat.
Sebagian besar dari T4 yang disekresikan akan diubah menjadi T3 dengan
penanggalan satu iodium (terutamadi hati dan ginjal) sehingga 80% T 3 dalam darah
berasal dari T4.2
Kerja hormon tiroid relatif “lamban” apabila dibandingkan dengan hormon lain.
Respon terhadap peningkatan tiroid baru terdeteksi setelah beberapa jam, dan respon
maksimal belum terlihat dalam beberapa hari. Durasi respons juga cukup lama,
sebagian karena hormon tiroid tidak cepat terurai, selain itu juga karena respons
terhadap peningkatan sekresi terus terjadi selama beberapa hari atau bahkan minggu
setelah konsentrasi hormon tiroid plasma kembali ke normal.2
B. Tumors
2. Malignant
C. Thyroiditis
2. Subacute thyroiditis (De Quervain’s) (in the euthyroid phase: polar
disease)
4. Postpartum and silent thyroiditis (in the euthyroid phase: polar disease)
3. Amiodarone-induced
Selain itu terdapat beberapa penyebab lain dari terjadinya struma non toksik7,9
Goiter fisiologis (pubertas, kehamilan)
Dismorfogenesis (kerusakan dalam jalur biosintesis hormon kelejar tiroid)
Paparan radiasi (terutama pada saat anak-anak akan secara signifikan
meningkatkan risiko penyakit tiroid jinak maupun ganas serta disfungsi
tiroid).
Autoimun
Penyakit granulomatous
Kekurangan (defisiensi) yodium (iodine): Pembentukan struma terjadi pada
defisiensi sedang iodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi
berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan
hipotiroidisme dan kreatinisme.
Kelebihan iodium: jarang terjadi dan pada umumnya terjadi pada penyakit
tiroid autoimun yang ada sebelumnya.
Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, amino-glutethimide,
expectorants, thiocarbamide, sulfonilurea yang mengandung iodium
(Penghambatan sintesa hormon)
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi- padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
(Menghambat sintesis hormon)
2.3.5 Patofisiologi
Kekurangan iodium atau peningkatan kebutuhan hormon tiroid menyebabkan
stimulasi kelenjar pituitari yang meningkatkan sekresi TSH. TSH menstimulasi sel-
sel folikel tiroid dan dengan stimulasi yang kontinu secara terus menerus
menyebabkan hiperplasia folikel dan pembesaran tiroid. Ketika iodium telah disuplai
kembali atau ketika defisiensi hormon tiroid telah diperbaiki, kelenjar tiroid dapat
berkurang ukurannya karena penurunan kadar TSH dan kelenjar tiroid tidak lebih
terstimulasi.7
Histopatologi bervariasi sesuai dengan etiologi dan usia dari struma.
Awalnya, terdapat hiperplasia epitel folikuler seragam (struma difus), dengan
peningkatan massa tiroid. Saat gangguan berlanjut, arsitektur tiroid kehilangan
keseragamannya, dengan perkembangan area involusi dan fibrosis yang diselingi
dengan area hiperplasia fokal. Proses ini menghasilkan nodul multipel (struma
multinodular atau adenomatosa). Pada skintigrafi nuklir, beberapa nodul panas,
dengan serapan isotop tinggi (otonom) atau dingin, dengan serapan isotop rendah,
dibandingkan dengan jaringan tiroid normal.5
Perkembangan nodul berkorelasi dengan perkembangan otonomi fungsional
dan penurunan kadar hormon perangsang tiroid (TSH). Secara klinis, riwayat alami
dari struma non toksik adalah pertumbuhan tiroid, produksi dari nodul, dan otonomi
fungsional. Namun, fungsi tiroid yang tinggi secara abnormal mengakibatkan
terjadinya tirotoksikosis dan terdapat pada sebagian kecil pasien. Risiko keganasan
pada pasien dengan struma nodular sama seperti pada nodul soliter.5
2.3.6 Diagnosis
2.3.6.1 Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien struma non toksik tidak menunjukkan gejala.
Pembengkakan dapat ditemukan secara tidak sengaja oleh pasien atau orang lain.
Beberapa orang mungkin memiliki gejala kompresi seperti disfagia, batuk kering, dan
suara serak karena kompresi mekanis pada saraf laring oleh struma besar di dekatnya.
Dispenea dan stridor juga dapat terjadi secara nokturnal atau positional (pada saat
pasien mengangkat tangannya yang dimana akan mempersempit outlet thoraks).
Tiroid besar dapat menekan pembuluh darah leher yang menyebabkan wajah
tersumbat dan ketidaknyamanan. Nyeri jarang terjadi dan bisa parah dan bertambah
ketika ada perdarahan pada nodul dan mungkin terkait dengan perubahan mendadak
pada struma.
Menentukan apakah struma telah ada selama bertahun-tahun dan apakah
perubahan telah terjadi di masa lalu adalah penting. Pertumbuhan nodul atau lobus
tiroid yang baru secara cepat meningkatkan kecurigaan adanya keganasan.
Struma yang terkait dengan adenopati unilateral harus dipikirkan kecurigaan
keganasan. Struma jarang terasa nyeri atau tumbuh dengan cepat kecuali terjadi
perdarahan terbaru menjadi nodul telah terjadi.
Perdarahan pada nodul dapat menyebabkan terjadinya bronchitis dan dapat
memperberat gejala pernapasan jika pasien terdapat penyempitan trakea.
Riwayat keluarga sangat penting dalam evaluasi pasien penderita struma.
Selidiki bentuk-bentuk dishormonogenesis yang diturunkan pada pasien anak-anak,
serta karsinoma papiler familial dari tiroid dan bentuk-bentuk familial dari kanker
tiroid meduler (neoplasia endokrin multipel dan karsinoma meduler keluarga dari
tiroid)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid yang
halus dan difus (simple goiter) atau nodul dengan ukuran dan konsistensi yang
bervariasi pada kasus multinodular goiter. Bisa terlihat adanya pembengkakan pada
leher tengah dengan massa yang licin atau nodular dan bisa bergerak saat menelan.
Bisa terdapat deviasi pada trakea atau melebar ke arah retrosternal. Setiap
limfadenopati servikal harus dicurigai adanya keganasan: pemeriksaan lanjutan harus
dilakukan. Pita suara harus diperiksa pada kasus adanya suara serak atau sebelum dan
intervensi bedah. Pada kasus obstruksi bisa ditemukan adanya pemberton’s sign
(adanya facial flushing dan dilatasi dari vena pada servikal saat lengan dinaikan ke
atas kepala). Temuan fisik terkait terbatas pada evaluasi bentuk, asimetri, ukuran, dan
konsistensi struma non toksik, karakteristik ultrasonografi dari nodul di dalam struma
individu; limfadenopati; dan penilaian fungsi tiroid.
Evaluasi tiroid dimulai dengan pemeriksaan pembesaran tiroid pada leher.
Seringkali, pembesaran tiroid hanya dapat dideteksi saat pasien menelan.
Ismus pada tiroid terletak di atau tepat di bawah kartilago krikoid trakea.
Lobus tiroid meluas ke lateral dan, jika membesar, dapat meluas ke posterior otot
sternokleidomastoid. Hingga 80% kelenjar tiroid mungkin memiliki lobus piramidal
yang memanjang ke arah superior dari ismus.
Menilai ukuran kelenjar secara keseluruhan; di Amerika Serikat, berat
normalnya adalah 15-20 gram.
Periksa apakah adanya asimetri pada tiroid dan tentukan apakah terdapat
nodul dominan pada struma nodular secara keseluruhan atau apakah terdapat nodul
soliter pada kelenjar yang normal. Evaluasi nodul dominan yang lebih besar dari 1-
1,5 cm atau nodul soliter yang berukuran sama dengan biopsi aspirasi jarum tipis.
Struma difus atau nodular tanpa nodul dominan tidak memerlukan biopsi untuk
evaluasi.
Pemeriksaan obstruksi dapat dilakukan pada pasien dengan dispnea dan batuk,
terutama saat beraktivitas, apakah ada obstruksi trakea. Perhatikan deviasi trakea dari
garis tengah. Suara pasien dinilai dari suara serak.
Obstruksi aliran keluar vena pada kepala dan leher dapat ditimbulkan oleh
manuver Pemberton dengan mengangkat lengan pasien di atas kepala sampai
menyentuh sisi kepala selama 1 menit. Temuan positif terjadi dengan sebagian besar
wajah atau pembengkakan pembuluh darah leher.
Pemeriksaan disfungsi tiroid harus dilakukan untuk melihat apakah ada gejala
hipotiroid seperti kulit pucat, bicara disartrik, penurunan mental, penambahan berat
badan tanpa perubahan nafsu makan, intoleransi dingin, sembelit, hipersomnia, dan
relaksasi yang tertunda pada refleks tendon dalam. Ataupun gejala hipertiroid seperti
takikardia, aritmia atrium (ekg, fibrilasi atrium), diaforesis, penurunan berat badan
tanpa perubahan nafsu makan, intoleransi panas, defekasi berlebihan, eritema palmar,
kelopak mata tertinggal, tremor, dan refleks cepat.
Pemeriksaan pada leher juga perlu dilakukan untuk melihat apakah ada
limfadenopati.7,8,9
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Periksa semua pasien dengan struma untuk mengetahui adanya
disfungsi tiroid dengan uji serum tirotropin (TSH). Tes TSH generasi kedua
dapat mendeteksi hipertiroidisme dan hipotiroidisme yang tidak terlihat secara
klinis (subklinis).
Jika TSH tinggi, pertimbangkan tiroiditis autoimun kronis (tiroiditis
Hashimoto) atau konsumsi goitrogen, seperti litium atau amiodaron, serta
dishormonogenesis pada anak. Koreksi status hipotiroid dengan penghentian
goitrogen atau institusi terapi penggantian hormon tiroid dapat sangat
mengurangi ukuran struma.
Jika TSH rendah, pengukuran tiroksin bebas serum (T4 bebas) atau
indeks T4 bebas dan triiodotironin total (T3) digunakan untuk memastikan
diagnosis tirotoksikosis. Setelah beberapa tahun, area otonomi fungsional
struma non toksik dapat berkembang dan tirotoksikosis. Pengobatan
tirotoksikosis termasuk stabilisasi keadaan hipertiroid dengan obat antitiroid
dan kemudian operasi pengangkatan struma atau pemberian terapi ablatif
yodium radioaktif.9
Gambar 1. Area autonom tiroid pada pemeriksaan dengan 99mTc
Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi baik untuk memperkirakan jumlah, ukuran, dan
karakteristik sonografi dari nodul tetapi tidak akurat dalam praktek klinis untuk
mengukur volume struma yang besar. Karakteristik ultrasonik yang
mencurigakan, termasuk hipoekogenisitas, mikrokalsifikasi, makrokalsifikasi,
vaskularisasi intranodular, dimensi yang lebih tinggi dari lebar, dan batas kabur,
dapat memandu dokter tentang nodul mana yang memerlukan biopsi untuk
keganasan. Dalam situasi ini, sitologi aspirasi jarum halus di bawah panduan
USG direkomendasikan. Rontgen dada berguna untuk menilai struma
retrosternal dan jika ada deviasi trakea. Computed tomography (CT) scanning
dan magnetic resonance imaging (MRI), meskipun mahal, sangat baik untuk
menilai adanya deviasi/kompresi trakea, kompresi jalan nafas, dan ekstensi
intratoraks ataupun retrosternal dari struma.
Barium dapat digunakan untuk mendokumentasikan obstruksi esofagus
pada pasien dengan gejala disfagia yang signifikan.
Skintigrafi tiroid tidak secara rutin diindikasikan dalam penilaian ukuran
struma kecuali ada kekhawatiran hemiagenesis tiroid atau penekan TSH akibat
hipertiroidisme. Nodul dengan temuan samar pada aspirasi jarum tipis dapat
dievaluasi lebih lanjut menggunakan skintigrafi tiroid. Area yang panas
mendukung adanya lesi jinak. Contoh pemindaian tiroid technetium-99m (99m
Tc).8,9
Pemeriksaan Lain
Tes fungsi paru dapat digunakan sebagai penilaian fungsional dari kompresi
trakea. Laringoskopi direk juga dapat menunjukkan kompresi trakea.9
Pemeriksaan Histologi (FNAB)
FNAB telah menjadi salah satu pemeriksaan terpenting dalam
mengevaluasi massa tiroid dan bisa dilakukan dengan atau tanpa panduan USG.
Panduan dengan USG direkomendasikan pada nodul yang sulit untuk dipalpasi,
untuk nodul kistik atau solid yang kambuh setelah aspirasi yang pertama kali,
dan untuk struma multinodular. Jarum berukuran 23G ditusukkan pada massa
tiroid, kemudian tiroid di aspirasi. Setelah jarum ditarik dan sel-sel yang
diaspirasi segera di letakkan pada objek glass dan ditambahkan dengan alkohol
70%. Jika terdapat darah pada sampel maka harus dilakukan ulang biopsy
dengan pasien di reposisi dengan posisi lebih tegak serta biopsy dilakukan ulang
dengan jarum berukuran yang lebih kecil yaitu 25-20 gauge. Spesimen sitologi
yang optimum paling tidak memiliki enam folikel dan tiap folikel memiliki 10
hingga 15 sel dari dua aspirat.
Hasil “jinak” terdapat 60-70% dari FNAB tiroid. Lesi yang paling umum
adalah follicular nodule (termasuk adenomatoid nodule, colloid nodule, dan
follicular adenoma). Diagnosis lainnya adalah lymphocytic (Hashimoto’s)
thyroiditis dan granulomatous thyroiditis. Hasil negatif palsu ditemukan pada
3% kasus dan follow up direkomendasikan. Hasil dari “atypia of unknown
significance (AUS) atau follicular lesion of unknown significance (FLUS)”
didapatkan dalam 3-6% biopsi. Risiko keganasan pada skenario ini masih sulit
untuk ditentukan, namun diperkirakan sekitar 10-35% untuk FLUS dan 60-75%
pada AUS. Korelasi klinis dan FNAB ulang pada AUS direkomendasikan.
Kategori untuk neoplasma follicular ditujukan untuk mengidentifikasi
nodul yang bisa jadi follicular carcinoma. 15-35% pasien pada kategori ini
dibuktikan merupakan suatu keganasan dan dianjurkan untuk dilakukan
lobektomi. Kebanyakan papillary dan karsinoma lainnya dapat didiagnosa
dengan FNAB. Jika diagnosanya tidak jelas, lesi dapat dikategorikan sebagai
“suspicious for malignancy”. Lobectomy atau near-total thyroidectomy
direkomendasikan pada kasus ini karena lebih dari 60% ternyata merupakan
keganasan. Risiko keganasan pada lesi ini dikategorikan sebagai “malignant”
dari FNAB dan merupakan 97% hingga 99%.8,9
2.3.8 Tatalaksana
Goiter non toxic biasanya tumbuh sangat lambat selama beberapa dekade
tanpa menimbulkan gejala. Tanpa bukti pertumbuhan yang cepat, gejala
obstruktif (mis ; Disfagia, stridor, batuk, sesak napas), atau tirotoksikosis, tidak
diperlukan pengobatan.
Terapi dipertimbangkan jika terdapat pertumbuhan seluruh gondok atau nodul
tertentu, terutama jika terdapat perluasan gondok intratoraks, gejala tekan, atau
tirotoksikosis. Perluasan gondok intratoraks tidak dapat dinilai dengan palpasi
atau biopsi. Goiter, jika ukurannya signifikan, harus diangkat melalui
pembedahan. Terapi yang tersedia saat ini termasuk tiroidektomi, terapi yodium
radioaktif, dan terapi levotiroksin (L-tiroksin, atau T4).
Terapi yodium radioaktif - Terapi radioiodine untuk penyakit struma non
toksik sering dilakukan di Eropa. Ini adalah pilihan terapeutik yang masuk akal,
terutama pada pasien yang lebih tua atau memiliki kontraindikasi untuk operasi.
Terapi yodium radioaktif untuk penyakit gondok non toxic diperkenalkan
kembali pada tahun 1990-an. Beberapa penelitian telah menunjukkan penurunan
volume tiroid pada hampir semua pasien setelah terapi dosis tunggal. Dari pasien
dengan gondok difus non toxic yang diobati dengan yodium radioaktif, 90%
mengalami penurunan rata-rata 50-60% volume gondok setelah 12-18 bulan,
dengan penurunan gejala tekan. Penurunan ukuran gondok berkorelasi positif
dengan dosis yodium-131. Pengurangan ukuran gondok lebih besar pada pasien
yang lebih muda dan pada individu yang hanya memiliki riwayat gondok pendek
atau yang memiliki gondok kecil. TSH dasar bukanlah prediktor respon terhadap
yodium radioaktif. Gejala obstruktif membaik pada kebanyakan pasien yang
menerima yodium radioaktif.
Terjadi efek samping, termasuk tiroiditis, tetapi tidak ada pasien yang
melaporkan memburuknya gejala yang memerlukan pengobatan. Tidak ada
laporan tindak lanjut jangka panjang pada pasien yang diobati dengan yodium
radioaktif. Pasien harus selalu dipantau secara klinis setelah terapi 131 I, untuk
bukti pertumbuhan kembali gondok. Hipertiroidisme transien jarang terjadi dan
biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah pengobatan.
Tidak seperti pasien dengan hipertiroidisme Graves yang hampir semuanya
menjadi hipotiroid setelah pengobatan dengan yodium radioaktif, hanya sebagian
kecil (~ 20%) dari pasien dengan gondok tidak beracun yang mengalami
hipotiroidisme setelah pengobatan yodium radioaktif.
TSH manusia rekombinan (rhTSH) mungkin memiliki peran dalam
pengobatan yodium radioaktif untuk gondok tidak beracun. Perawatan awal
dengan rhTSH 24 jam sebelum terapi dapat mengurangi jumlah radioiodin yang
dibutuhkan untuk mengecilkan gondok (pengurangan hingga 50%). Terapi
penekan hormon tiroid - Penggunaan T4 pada individu eutiroid untuk
mengecilkan struma non toksik masih kontroversial.
Satu studi menunjukkan bahwa terapi T4 untuk struma non toksik mengurangi
volume tiroid pada 58% pasien, dibandingkan dengan 4% pasien yang diobati
dengan plasebo. Namun, hasil ini belum terbukti dapat direproduksi, dan manfaat
penggunaan T4 perlu dipertimbangkan terhadap risiko hipertiroidisme subklinis
yang dihasilkan yang terkait dengan peningkatan risiko penurunan kepadatan
mineral tulang dan peningkatan fibrilasi atrium. Pertumbuhan gondok biasanya
berlanjut setelah penghentian terapi T4.
American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists telah merilis pedoman untuk pengelolaan hipertiroid dan
penyebab tirotoksikosis lainnya, termasuk penggunaan yodium radioaktif atau
pembedahan untuk mengobati gondok multinodular toksik.
Pembedahan
Tiroidektomi atau operasi dekompresi menyebabkan gejala obstruktif mereda
dengan cepat. Kebanyakan gondok intratoraks dapat diangkat dari sayatan serviks
tanpa sternotomi. Melakukan tiroidektomi subtotal bilateral telah
direkomendasikan untuk mengurangi risiko berlanjutnya pertumbuhan gondok.
Tingkat kekambuhan gondok tergantung pada luasnya operasi tetapi tidak boleh
lebih dari 10% dalam 10 tahun.
Setelah tiroidektomi subtotal bilateral, semua pasien memerlukan terapi
penggantian hormon tiroid. Terapi penggantian penuh harus dimulai segera
setelah operasi, dengan kadar TSH diperiksa 3-4 minggu pasca operasi. Sesuaikan
terapi hormon tiroid, seperti T4, untuk mempertahankan tingkat TSH dalam
kisaran referensi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa terapi penggantian hormon
tiroid mencegah kekambuhan gondok tidak beracun setelah operasi
pengangkatan.
Penggunaan tiroidektomi total untuk mengobati gondok multinodular jinak
telah menimbulkan beberapa kekhawatiran, karena risiko kerusakan fungsi
paratiroid dan cedera saraf laring yang ditimbulkan oleh prosedur ini. Meskipun
demikian, tiroidektomi total juga dipandang sebagai cara untuk menghindari
perangkap tiroidektomi subtotal, khususnya, kekambuhan gondok dan pengobatan
kanker tiroid yang tidak memadai, yang dapat terjadi pada gondok jinak. Hasil
dari tinjauan pustaka 2008 menunjukkan bahwa tingkat komplikasi permanen
adalah sama untuk tiroidektomi subtotal dan total; Akibatnya, penulis laporan
menyimpulkan bahwa tiroidektomi total harus menjadi prosedur pilihan untuk
perawatan bedah gondok multinodular jinak.
Kesimpulan yang sama dicapai dalam penelitian terhadap 600 pasien dengan
gondok multinodular tidak beracun. Barczynski et al membandingkan hasil dari
tiroidektomi total (200 pasien), prosedur Dunhill (lobektomi total unilateral
ditambah lobektomi subtotal kontralateral; 200 pasien), dan tiroidektomi subtotal
bilateral (200 pasien). Para penulis menemukan bahwa selama 5 tahun masa
tindak lanjut kejadian gondok berulang setelah tiroidektomi total adalah 0,52%,
sedangkan setelah operasi Dunhill adalah 4,71%, dan kekambuhan setelah
tiroidektomi subtotal bilateral adalah 11,58%. Frekuensi tiroidektomi selesai juga
lebih rendah pada tiroidektomi total dibandingkan dengan operasi lainnya.
Insiden hipoparatiroidisme transien dalam penelitian di atas, serta cedera saraf
laring sementara dan permanen, lebih besar pada tiroidektomi total dibandingkan
jenis operasi lainnya. Meskipun demikian, penulis menyimpulkan bahwa, karena
fakta bahwa setelah tiroidektomi total terdapat penurunan insiden kekambuhan
gondok yang memerlukan tiroidektomi ulang, tiroidektomi total harus
dipertimbangkan sebagai prosedur pilihan untuk pasien dengan gondok
multinodular non toksik.
Hasil dari penelitian Swiss terhadap 72 pasien menunjukkan bahwa satu dosis
steroid sebelum tiroidektomi untuk penyakit jinak dapat, dalam waktu 48 jam
pasca operasi, secara signifikan mengurangi rasa sakit, mual, muntah, dan
perubahan suara terkait dengan prosedur.9
2.3.9 Prognosis
Struma non toksik merupakan penyakit jinak yang hanya menyebabkan
gangguan kosmetik. Namun, jika ukurannya membesar, dapat menekan trakea, syaraf
laryngeal, dan juga esofagus. Kebanyakan struma jinak memiliki prognosis yang
baik. Sebagian kecil struma dapat menyebabkan hipertiroidisme dan beberapa juga
dapat menyebabkan keganasan, karena itu diperlukan pengawasan seumur hidup.
Pada orang dengan kompresi, setelah operasi pengangkatan, penyempitan trakea akan
kembali normal sehingga terjadi peningkatan fungsi paru.7
DAFTAR PUSTAKA
1. Doherty GM. Doherty G.M.(Ed.),Ed. Gerard M. Doherty. (2014). CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery, 14e. McGraw-Hill.
2. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta
: EGC.
3. Assagaf, S.M, N. Lumintang, H. Lampus. 2015. Gambaran Eutiroid pada Pasien
Struma Multinodusa Non Toksik Di Bagian Bedah RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado Periode Juli 2012-Juli 2014. Jurnal e-Clinic (eCl), Vol 3(3); 758-762.
4. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J
Clin Endocrinol Metab. 2011 May. 96(5):1202-12.
5. Knobel M. Etiopathology, clinical features, and treatment of diffuse and
multinodular nontoxic goiters. J Endocrinol Invest. 2015 Sep 21.
6. Fabrizio Monaco, Classification of Thyroid Diseases: Suggestions for a
Revision, The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, Volume 88, Issue
4, 1 April 2003, Pages 1428–1432, https://doi.org/10.1210/jc.2002-021260
7. Alkabban, F. M., B.C Patel. 2020. NonToxic Goiter. StatPearls Publishing.
Available on: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482274/ , akses: 3 Jan
2021, 17.20.
8. Brunicardi, F., et al. (2014) Schwartz's Principles of Surgery. 10th Edition,
McGraw-Hill Education, New York
9. Stephanie L et al. Non Toxic Goiter Clinical Presentation. 2016.
https://emedicine.medscape.com/article/120392-clinical#b5 diakese pada 14
Februari 2020.