Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Alif Shiddiq

NPM : 170210190045

Ujian Tengah Semester Analisis Big Data

1. Latar Belakang

Semakin cepatnya perkembangan teknologi pada era modern seperti sekarang ini
membuat pengaruhnya pada manusia semakin nyata terlihat. Sebagai salah satu contoh adalah
penggunaan telepon seluler yang tidak hanya mengubah cara manusia berkomunasi namun
juga sudah mengubah cara manusia mengonsumsi informasi. Perubahan tersebut terjadi
secara tidak terhindarkan memenagruhi budaya interaksi antar warga, interaksi antar warga
dan pemerintah, hingga interaksi politik serta ekonomi.

Pada revolusi industry 4.0, beberapa perkembangan teknologi yang sangat diamati
adalah big data, Artificial Intelligence (AI), blockchain, dan financial technology (fintech).
Sebagian dari teknologi tersebut bukanlah teknologi yang baru, melainkan sebuah teknogi
yang sudah ada sejak lama namun dengan adanya perkembangan teknologi yang ada maka
teknologi tersebut mendapatkan sebuah pembaharuan. Salah satunya adalah big data.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat menyebabkan


system digital memiliki lokasi dan sumber yang beragam. Lokasi dari data ini bisa ditemukan
dimana saja, seperti rumah, akntor, maupun di ruang publik. Sumber data yang tersedia di
sosial media, media daring, gawai, penyimpanan cloud, dan lainnya. Dunia modern ini sudah
membawa perubahan teknologi yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Banyaknya data yang dikumpulkan oleh perusahaan seperti Google dan Facebook yang
melebihi petabyte data di setiap harinya. Data ini juga merupakan sebuah pendorong dari
teknologi baru seperti pembelajaran mesin dan juga Artificial Intelligence (AI). Hal tersebut
mendorong pergerakan ekonomi menjadi sebanyak layanan antar pemerintah seperti bantuan
pembangunan atau aksi kemanusiaan.

Big data ini sudah memengaruhi dunia politik dari berbagai cara. Dengan naiknya
dunia maya sebagai salah satu domain penting dari aktivitas sehari-hari, politik internasional
telah mengalami perubahan yang didorong oleh adanya perkembangan teknologi. Big data
mengungkap sebuah dimensi baru pada perubahan ini, yang baru mulai dipahami oleh para
ilmuwan politik dan pengamat urusan internasional. Hal ini mengubah distribusi kekuasaan
dan dengan demikian beberapa asumsi dasar dari teori hubungan internasional itu sendiri, dan
analisisnya akan semakin menginformasikan penelitian hubungan internasional dan
pembuatan kebijakan (Zwitter, 2015).

Selain pengumpulan dan penggunaan data, infrastruktur informasi seperti buku


digital, khususnya teknologi blockchain, juga menambah kompleksitas pengelolaan data dan
juga informasi (Zwitter & Hazenberg, 2020). Mulanya pada awal munculnya Bitcoin,
teknologi blockchain hampir dilihar sebagai obat yang ‘mujarab’ dalam manajemen logistic,
tata Kelola, dan masalah manajemen informasi. Hal tersebut sudah menjadi kewajiban
teknologi bagi calon perusahaan, start-up, dan lembaga pemerintah ataupun organisasi
internasional. Aplikasinya mencakup cryptocurrency, manajemen rantai pasokan, kontrak
pintar, manajemen identitas digital dan masih banyak lagi.

Adapun pada makalah ini akan membahas mengenai bagaimana blockchain dapat
berpengaruh pada hubungan internasional khususnya kerjasama antar negara. Lalu bagaimana
blockchain ini dapat mempromosikan kerjasama antara negara?

2. Tinjauan Pustaka

Big data mengacu pada sejumlah yang besar, menggunakan teknik analitik yang
canggih dan dapat ditambang untuk informasi guna mengungkapkan pola dan tren serta
korelasi. Ide kunci di balik konsep big data ini adalah bahwa volume data yang jumlahnya
besar memungkinkan pengguna untuk menemukan informasi (khususnya pada korelasi dan
pola) yang tidak dapat dicari dengan melihat sampel data yang lebih kecil. Hal ini juga
berkaitan dengan adanya peningkatan kemampuan untuk mengesktrak informasi dan
menafsirkan sejumlah big data yang tidak terstruktur. Ide kunci lainnya adalah big data
diperbarui hampir secara real-time. Fitur terpenting yang relevan dalam memahami big data
ini seringkali dikenal sebagai 3 V’s, yaitu (Smolan & Erwitt, 2012):

1. Volume: Data pada masa sekarang sangatlah banyak, dan bisa diukur dengan
petabytes, exabytes, zetabytes dan mungkin pada masa depannya sudah bisa
diukut dalam satuan yottabytes. Menurut Rick Smolan dan Jennifer Erwitt,
semenjak awal adanya data hingga tahun 2011, sudah ada 5 miliar gigabytes data
yang sudah diproduksi, dan pada tahun 2015 jumlah tersebut diproduksi setiap 10
detik.
2. Velocity: Kecepatan dari data yang dibuat danpengumpulannya kini sudah
mendekati real-time. Hal ini tidak hanya menyangkut pertanyaan mengenai
banwidth (kemampuan unggah dan unduh) namun berlaku juga pada penerapan
arsitektur teknologi informasi yang dapat menangani sebuah data hampir secara
real-time.
3. Variety: data ada dalam bentuk yang beragam baik terstruktur maupun tidak
terstruktur dan dalam format dan unit analisis yang berbeda-beda. Selanjutnya,
dapat dikategorikan tergantung dari sumber data tersebut dihasilkan misalnya, ada
data yang dibuat sendiri, data yang dikumpulkan dan data yang diambil dari
sumber-sumber eksternal lainnya.

Ide sentral dari makalah ini adalah bahwa teknologi blockchain adalah salah satu
mekanisme desentralisasi untuk tata kelola global, yang dapat didefinisikan sebagai sebuah
system aturan di semua tingkat aktivitas manusia (baik dari keluarga hingga ranah
internasional) dimana mengejar tujuan melalui pelaksanaan control memiliki dampak
transnasional (Rosenau, 1995). Meskipun kemampuan untuk memerintah secara tradisional
masih terbatas pada manusia, munculnya teknologi informasi dan komunikasi telah
menantang pandangan ini. Para ilmuwan sudah menciptakan istilah ‘tata kelola algoritmik’
untuk merujuk apda program computer yang membuat keputusan otoratif yang membangun
realitas dan juga tatanan sosial (Just & Latzer, 2017), berdasarkan kode yang telah ditentukan
sebelumnya dan sering menggunakan big data sebagai inputnya.

3. Kasus yang dapat diimplementasikan Big data dalam studi HI

Tata kelola blockchain (Sebagian dari tata kelola algoritmik) mengacu pada algoritme
yang berjalan secara bersamaan di jarang computer yang sudah terdistribusi. Tata kelola
algoritmik dapat meluas tanpa menghiraukan batas-batas negara, misalnya melalui pemilihan
algoritmik di internet atau bahkan melalui hubungan transnasional pada platform blockchain.
Adanya persaingan dalam perspektif yang ada untuk memahami blockchain bagi masyarakat
global. Apa yang menyatukan mereka adalah pengakuan bahwa teknologi blockchain
memberikan pengaturan pada perilaku sosial. Mereka dapat melakukannya setidaknya dengan
mengubah daya tarik relatif dari perilaku yang berbeda, jika tidak dengan mengubah
preferensi terhadap kerja sama itu sendiri, mengingat bahwa para aktor internasional mulai
memahami bahwa ‘code is law’ (Lessig, 2006).

Tata kelola blockchain masih bukan sebuah label yang sepenuhnya akurat untuk
analisis. Hal tersebut dikarenakan pada tata kelola oleh blockchain (kerjasama antara
pemangku kepentingan melalui system berbasis blockchain) dan tata kelola blockchain
(bagaimana pemangku kepentingan mengambil keputusan mengenai aturan dimana
blockchain beroperasi yang biasa disebut ‘protokol’) (Reinsberg, 2020).

Salah satu contoh dari penggunaan tata kelola global berbasis blockchain adalah
untuk area perubahan iklim. Pertama, pertempuran melawan perubahan iklim penuh dengan
keragaman kerja sama yang sangat kompleks, yang memungkinakna untuk menyelidiki
berbagai cara di mana teknologi blockchain ini dapat membantu mengurangi atau bahkan
mengatasi masalah tersebut. Dalam area mitigasi, tantangan utama adalah mencegah negara-
negara bagian dari pengurangan emisi dari negara lain yang dilakukan secara bebas. Dalam
area adaptasi, negara-negara menghadapi banyaknya masalah distribusi internasional
mengenai bagaimana cara menyebarkan biaya pendanaan adaptasi terhadap konsekuensi tak
terhindarkan dari pemanasan global. Kedua area tersebut tidaklah independent yang semakin
memperumit proses perundingan.

Terakhir, perjuangan global melawan perubahan iklim juga membawa masalah


distibusi di tingkat domestik. Tawar-menawar yang terjadi di domestik menentukan
kelayakan tawar-menawar di ranah internasional mengenai kebijakan iklim, namun di banyak
negara tawar-menawar ini bisa dibilang buruk karena lobi-lobi yang kuat dengan adanya
kepentingan pribadi dalam ekonomi carbon. Pada saat yang bersamaan, perjuangan melawan
perubahan iklim sudah mengedepankan keragaman aktor yang tak tertandingi dengan
kapabilitas untuk mengambil tindakan yang sudah terkoordinasi secara global, terlepas dari
upaya bersamaan yang dipimpin oleh pemerintah nasional (Reinsberg, 2020).

The Paris Agreement yang membahas mengenai tata kelola iklim. Dengan membawa
The Paris Agreement di blockchain akan mengharuskan negara-negara anggota untuk
membuat blockchain yang diizinkan terlebih dahulu. Write-access akan dibatasi untuk
pemangku kepentingan yang telah diindetifikasikan sebelumnya seperti negara sendiri dan
pihak ketiga yang dipercaya. Negara dapat saja memutuskan untuk membuat beberapa
informasi yang terlihat oleh semua orang yang ada diluar sistem.

Satu tugas tambahan yang dapat ditangani oleh system tata kelola yang berbasis
blockchain adalah untuk memfasilitasi ‘pembayaran berbasis hasil’ untuk kegiatan yang
berkaitan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Untuk melihat
bagaimana ini akan bekerja dalam praktik, bayangkan siapapun di jaringan tanpa izin yang
terhubung ke system dapat memperoleh greencoins dengan cara menanam pohon (sama
seperti ‘mining’ dalam system Bitcoin) (Carrington, 2019).
4. Analisis kritis

Teknologi blockchain ini dapat mempromosikan kerjasama internasional dalam tiga


cara (Reinsberg, 2020). Pertama, dapat mengatasi masalah informasi dengan memanfaatkan
konsensus yang terdistribusi untuk menghasilkan informasi yang cukup valid. Kedua, ini
akan menawarkan cara yang aman juga efisien untuk melakukan pembayaran sampingan
sebagai bagian dari kesepakatan, sehingga mengurangi masalah distribusi. Ketiga, teknologi
blockchain ini dapat meningkatkan kredibilitas komitmen negara dengan memungkinkan
pelaksanaan kontrak antar pemerintah yang dijamin dalam kondisi tertentu.

Dengan memanfaatkan teknologi baru, teknologi blockchain dapat digunakan sebagai


upaya untuk meringankan masalah infromasi, mengingat caranya mewakili data dan kesulitan
untuk mengutak-atik data yang ada. Secara umum, teknologi blockchain ini sangatlah
berguna di mana ‘peserta’ diharuskan untuk mengakses, memverifikasi, mengirim, hingga
menyimpan informasinya denga aman, namun di mana otoritas pusat terpercaya untuk tujuan
itu tidak tersedia (Wigley & Cary, 2017). Hal ini juga memegang janji yang cukup signifikan
di mana verifikasi bahwa suatu peristiwa dapat yang terjadi diperlukan namun sangatlah
mahal.

Meskipun informasi yang sudah pernah direkam di blockchain memang tahan


terhadap manipulasi, namun tantangan yang tersisa adalah bagaimana cara memastikan
keakuratan informasi tersebut sejak awal. Kegunaan teknologi blockchain dalam hal ini lebih
bergantung pada jenis informasi yang akan disimpan. Keuntungan efisiensi terbesar untuk
‘on-chain events’ yang terjadi di dunia nyata namun belum terwakili di blockchain
(Reinsberg, 2020). Untuk memverifikasi peristiwa off-chain, negara-negara dapat
menggunakan oracle. Karena sistem internasional yang dicirikan oleh kurangnya informasi
yang seringkali tidak dapat dipercaya, maka negara-negara yang yang berkepentingan dengan
informasi yang akurat akan bertndak sebagai pembuat pasar dan menyediakan likuiditas
untuk memulai prediksi pasar. Orang mungkin berpendapat bahwa ada cukup pihak yang
terpercaya dan memfasilitasi kerja sama antar negara dengan bertindak sebagai mediator,
validator, dan produsen pengetahuan (Abbott & Snidal, 1998).

Namun untuk berbagai jenis informasi, ada kebutuhan berkelanjutan untuk pihak
ketiga yang terpercaya, seperti IGO, NGO, dan badan ahli (Arruñada, 2018). Pihak ketiga ini
mungkin lebih unggul dalam menyediakan informasi yang terdesentralisasi khususnya untuk
masalah teknis, seperti pembuatan kebijakan moneter dimana tidak mungkin pasar diprediksi
oleh publik akan memiliki banyak reporter karena individu tidak memiliki keahlian untuk
membuat taruhan berdasarkan informasi. Dalam hal tersebut, Organisasi internasional yang
teknoratis mungkin menjadi pilihan yang sangat tepat.

Teknologi blockchain terutama smart contract, dapat digunakan untuk merampingkan


proses ini. Setiap negara akan mengkodekan dalam smart contract apa yang akan bersedia
diserahkanya dengan imbalan beberapa manfaat yang akan diberikan negara lainnya.
Blockchain sebagai sebuah buku besar yang terdesentralisasi dari komitmen tersebut yang
kemudian akan berfungsi sebagai ‘market maker’. Agaknya, keuntungan efisiensi dari
penggunaan blockchain untuk tujuan ini tidaklah besar namun akan meningkat sejauh mana
tawar-menawar negara yang mengikuti protokol standar.

Meskipun adanya optimisme berlebihan bahwa tata kelola blockchain dapat


menenamkan cita-cita liberal ke dalam dunia politik global harus dikurangi, ada manfaat
yang tidak dapat disangkal dari tata kelola blockchain dibandingkan dengan tata kelola global
tradisional. Manfaat dari tata kelola blockchain akan meningkatkan akuntabilitas publik,
melalui akses baca saja yang tidak terbatas ke blockchain, serta peningkatan legitimasi
demokrasi, dengan memasukkan pemangku kepentingan yang relevan (seperti NGO’s)
sebagai salah satu peserta dalam mekanisme konsesnsu dan dengan memfasilitasi transisi dari
sistem saat ini di mana kekuatan didstribusikan sesuai dengan kontribusi lobi. Dengan adanya
hal tersebut, akan membawa arah menuju tata kelola blockchain di mana pihak-pihak akan
mempertaruhkannya secara publik untuk kepentingan mereka. Selain itu juga, pemangku
kepentingan yang secara tradisional kurang mampu kemungkinana akan diberdayakan karena
mereka memiliki informasi lokal penting yang akan memberi ‘makan’ oracle di mana smart
contract bergantung untuk menyelesaikan transaksi (Reinsberg, 2020).

Teknologi blockchain juga memberikan para pemangku kepentingan ini kesempatan


untuk bertransaksi dengan merasa aman satu sama lainnya, tanpa adanya ketergantungan
pada otoritas pada tujuan ini. Biaya tata kelola blockchain terkait dengan hasil IR yang
terkenal bahwa desain institusional terjadi di bawah bayang-bayang kekuasaan. Negara
memiliki insentif untuk membangun beberapa system tata kelola blockchain mengingat
bahwa mereka dapat dirancang tanpa mengancam kebelangsungan hidup mereka sendiri.
Selain digunakan dalam tata kelola global, sistem blockchain ini bisa saja digunakan
untuk menyelidikinya ke bidang masalah lain. Salah satu contoh lainnya adalah untuk
industry pariwisata. Dengan menggunakan teknologi blockchain untuk mengkalkulasi dan
menganalisis, yang dapat menemukan hasil nilai output dari insdustri pariwisata dna
pengembangan integrasi budaya (Qin, 2022).

Siklus pariwisata biasanya melalui beberapa proses: tahap eksploaris, tahap


pengembangan, tahap kritis kapasitas, tahap stabil, tahap stagnan, tahap pemulihan, dan tahap
penurunan. Oleh karena itu, pada masa sekarang, penggunaan big data dan teknologi
blockchain semakin diperlukan untuk membawa darah segar bagi integrasi dan
pengembangan budaya dan pariwisata (Qin, 2022).

5. Kesimpulan

Blockchain adalah sebuah teknologi yang telah memicu minat signifikas untuk
mendukung sistem big data dengan keamanan yang tinggi dan manajemen jaringan yang
efisien. Sebagai teknologi universal, teknologi blockchain telah melakukan perubahan pada
kehidupan masyarakat sehari-hari maupun kehidupan dunia internasional. Meskipun masih
dalam tahap pertumbuhan dan masih banyak masalah yang belum bisa dipecahkan. Dalam
keadaan ini, teknologi, bakat, sumber daya dari internet menjadikan investor yang paling
cocok dalam membangun blockchain. Blockchain sendiri tidak diragukan lagi memiliki
proses pengembangan, dan kondisi yang diperlukan untuk prospek pengembangan adalah
memasuki pasar arus utama dan mewujudkan integrasi dan pengembangan dari tata kelola
global berbasis blockchain.

Salah satu fungsionalitas dari blockchain seperti smart contract dapat digunakan
dalam mempromosikan dan meningkatkan kerjasama antar negara. Pertama, dengan
memanfaatkan umpan informasi kolektif, sehingga membantu menyelesaikan ketidakpastian
mengenai keadaan dunia dan juga perilaku dari negara-negara. Kedua, mengatasi masalah
distribusi secara efisien dan yang terakhir adalah memungkinkan negara dan aktor dari tata
kelola global lainnya membuat komitmen yang lebih kredibel diantara mereka.

Teknologi blockchain ini juga menawarkan sebuah jalan baru bagi negara untuk
memperbesar serangkaian keadaan di mana mereka bersedia untuk bekerja sama dalam
preferensi ex-ante, misalnya dengan memanfaatkan sumber informasi baru yang didapat dan
dengan mengurangi biaya transaksi yang membebaskan sumber daya untuk mengatasi
masalah distribusi yang terjadi.
Daftar Pustaka
Abbott, K. W., & Snidal, D. (1998). Why States Act through Formal International
Organizations. Journal of Conflict Resolution, 3-32.

Arruñada, B. (2018). Blockchain’s Struggle to Deliver Impersonal Exchange. Minnesota


Journal of Law, Science & Technology, 55-105.

Carrington, D. (2019, July 4). Tree planting 'has mind-blowing potential' to tackle climate
crisis. Retrieved from The Guardian:
https://www.theguardian.com/environment/2019/jul/04/planting-billions-trees-best-
tackle-climate-crisis-scientists-canopy-emissions

Just, N., & Latzer, M. (2017). Governance by algorithms: reality construction by algorithmic
selection on the Internet. Media, Culture & Society, 238-258.

Lessig, L. (2006). Code and Other Laws of Cyberspace. New York: Basic Books.

Qin, X. (2022). Information and Data Analysis Based on Big Data and Blockchain
Technology in Promoting the Development of Cultural Tourism Industry. Security
and Communication Networks.

Reinsberg, B. (2020). Fully-automated liberalism? Blockchain technology and international


cooperation in an anarchic world. International theory, 1-27.

Rosenau, J. N. (1995). Governance in the Twenty-first Century. Global Governance, 13-43.

Smolan, R., & Erwitt, J. (2012). The Human Face of Big Data. Against All Odds
Productions.

Wigley, B., & Cary, N. (2017). The Future is Decentralised: Blockchains, Distributed
Ledgers, and the Future of Sustainable Development.

Zwitter, A. (2015). Big Data and International Relations. Ethics & International Affairs, 377-
389.

Zwitter, A., & Hazenberg, J. (2020). Governance, Blockchain, Cyberspace: How Technology
Implies Normative Power and Regulation. In B. Cappiello, & G. Carullo, Blockchain,
Law and Governance. Springer.

Anda mungkin juga menyukai