ABSTRAK
Kalimantan Barat berada pada urutan tertinggi ke-6 yang prevalensi asmanya melebihi angka
nasional yakni >2,4% pada tahun 2018. Terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi yang
membutuhkan waktu lama perlu memperhatikaan cost-effective agar tidak meningkatkan biaya
medik langsung pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas biaya
penggunaan kortikosteroid inhalasi yang diberikan kepada pasien rawat jalan di RSUD Dr.
Agoesdjam Kabupaten Ketapang. Penelitian dilakukan secara cross-sectional retrospektif
dengan mengambil data rekam medik pasien periode Januari-Desember 2020. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Analisis farmakoekonomi yang
dilakukan adalah Cost Effectiveness Analysis (CEA). Metode Average Cost Effectiveness Analysis
(ACER) dan Incremental Cost Effectiveness Analysis (ICER) digunakan untuk menganalisis
kortikosteroid inhalasi yang paling cost-effective. Hasil penelitian diperoleh dengan
karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin jumlah pasien laki-laki n=23 (39%)
dan perempuan n=36 (61%). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu persentase efektivitas
penggunaan kortikosteroid inhalasi di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang Tahun 2020
adalah 33-100% dan kortikosteroid inhalasi yang paling efektif adalah kombinasi Flutiase;
Brotec; Combivent dengan efektivitas sebesar 100% dengan nilai ACER Rp. 731,45.
Kata Kunci:
Asma; Biaya; Efektivitas; Kortikosteroid Inhalasi
Diterima: Disetujui: Online:
21-06-2022 27-07-2022 30-08-2022
ABSTRACT
West Kalimantan is in the 6th highest order whose prevalence of asthma exceeds the national
rate of >2.4% in 2018. Asthma therapy with inhaled corticosteroids that take a long time needs
to be cost-effective so as not to increase the patient's immediate medical costs. This study aims
to determine the cost-effectiveness of using inhaled corticosteroids given to outpatients at Dr.
Agoesdjam Hospital, Ketapang Regency. The study was conducted in a cross-sectional
retrospective manner by taking data on patient medical records for the January-December 2020
period. The sampling technique is carried out by purposive sampling. The pharmacoeconomic
analysis carried out is Cost Effectiveness Analysis (CEA). The Average Cost Effectiveness
Analysis (ACER) and Incremental Cost Effectiveness Analysis (ICER) methods are used to
analyze the most cost-effective inhaled corticosteroids. The results of the study were obtained
with the characteristics of the study subjects based on gender the number of male patients n=23
(39%) and female n=36 (61%). The conclution of this research are the percentage of effectiveness
of the use of inhaled corticosteroids at Dr. Agoesdjam Hospital, Ketapang Regency in 2020 is
33-100% and the most effective inhaled corticosteroids are flutiase combinations; Brotec;
Combivent with an effectiveness of 100% with an ACER value of Rp. 731.45.
722
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 4(3): 722-733
1. Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas [1]. Gejala
asma sering kali terjadi pada malam hari saat udara dingin, biasanya diawali dengan
batuk dan rasa tertekan di dada, disertai dengan sesak napas dan mengi [2]. Grafik
prevalensi asma di Indonesia tahun 2018 menunjukkan ada 19 provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional (>2,4%) dan Kalimantan
Barat berada pada urutan tertinggi ke-6 [3].
Penyakit asma memang tidak bisa disembuhkan, namun manifestasi klinis asma dapat
dikendalikan [4]. Penatalaksanaan asma bertujuan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup pasien asma agar tidak ada hambatan dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari, dengan meminimalisasikan serangan asma dan
mengurangi pengobatan rawat jalan maupun rawat inap [5,6] Kortikosteroid inhalasi
merupakan anti-inflamasi yang paling efektif dalam mengontrol asma persisten karena
tingginya konsentrasi obat di bronkus dengan bioavaibilitas sistemik yang rendah [7].
Terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi membutuhkan waktu yang lama sehingga
mempengaruhi besarnya biaya yang harus di keluarkan pasien dalam pengobatan.
Pengobatan asma perlu memperhatikan cost-effective. agar tidak meningkatnya biaya
medik langsung seperti obat-obat yang diresepkan dan tidak langsung seperti
pendapatan yang berkurang karena pengobatan yang mahal, biaya tersebut harus di
perhatikan agar kualitas hidup pasien tidak menurun, dan manfaat yang didapatkan
juga maksimal, sehingga diperlukan kajian mengenai efektivitas biaya penggunaan
kortikosteroid inhalasi pada pasien asma.
Berdasarkan hasil penelitian pendahulu yaitu Martin, dkk (2014) di Inggris
penggunaan beclomethason dipropionat 98% lebih cost-effective dibandingkan dengan
fluticasone propionate sedangkan hasil penelitian di Amerika Serikat beclomethason
dipropionat 100% lebih cost- effective. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Sisca
2017, bahwa terapi asma yang paling banyak di gunakan pada 15 pasien yaitu Berotec®;
Atroven®; Flexotide® sebesar 53% (8 Pasien). Hasil perhitungan ACER terapi asma
dalam penelitian ini yang cost-effective pada penggunaan Combivent® (ipatropium
bromida/ salbutamol): Pulmicort® (budesonid) yang paling cost-effective dengan ACER
sebesar Rp 34.578,55. Berdasarkan uraian diatas penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan kortikosteroid inhalasi apa yang paling cost-effectivess pada
pasien asma rawat jalan di RSUD dr.Agoesdjam Ketapang. Penelitian dilakukan di
RSUD dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang karena merupakan salah satu tempat
rujukan utama di Kabupaten Ketapang sehingga dapat mewakili prevalensi jumlah
pasien asma di Ketapang. Penelitian ini mengenai analisis efektivitas biaya penggunaan
kortikosteroid inhalasi pada pasien asma di RSUD Dr. Ageosdjam Kabupaten Ketapang,
yang bersifat deskriptif dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif yang
diambil dari data rekam medis pasien asma di RSUD Dr. Agoedjam Kabupaten
Ketapang, berupa biaya pelayanan kesehatan, khususnya biaya penggunan
kartikosteroid inhalasi pada pasien asma rawat jalan. Data rekam medik diolah dengan
metode CEA (Cost Effectiveness Analysis) dengan perbandingan biaya menggunakan
723
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
Average Cost-Effective (ACER) dan Incremental Cost Effective Ratio (ICER) untuk
mendapatkan penggunaan kortikosteroid inhalasi yang paling cost-effective.
2. Metode
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat hitung, laptop
dan aplikasi microsoft excel serta literatur-literatur yang terkait dengan penelitian ini.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah data rekam medik yang terdiri dari
nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis penyakit, golongan obat, jenis obat
yang digunakan, biaya administrasi dan biaya obat terapi pasien rawat jalan di RSUD
Dr. Agoesdjam Ketapang.
Populasi dan Sampel
Penelitian ini menggunakan rancangan penalitian non-eksperimental yang
bersifat deskriptif dengan rancangan studi potong lintang (cross-sectional), yaitu jenis
pendekatan dengan pengumpulan data dalam satu waktu. Pengambilan data dilakukan
secara retrospektif dari data rekam medis pasien asma rawat jalan. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh pasien penyakit asma rawat jalan di RSUD Dr. Agoesdjam.
Sampel yang digunakan yaitu pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi
kortikosteroid inhalasi selama selama periode Januari-Desember 2020 yang memenuhi
kriteria inklusi. Teknik Pengambilan sampel dalam penelitian adalah Purposive
Sampling, teknik ini didasarkan pada pertimbangan peneliti mengenai sampel mana
yang paling sesuai dan dianggap dapat mewakili suatu populasi. Adapun kriteria
inklusi adalah pasien asma yang menjalani rawat jalan dengan umur 18-60 tahun, pasien
asma rawat jalan di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang, dan pasien
menggunakan terapi kortikosteroid inhalasi.
Analisis Hasil Penelitian
Data hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif retrospektif yaitu dengan
meilihat rekam medis dan data daftar biaya obat. Variabel bebas terdiri dari jenis
kelamin, diagnosis, jenis obat, umur, lama rawat jalan, dan biaya obat. Identitas nama
dan nomor rekam medis pasien dirahasiakan. Data akan disajikan dalam bentuk mean
atau rata-rata. Data diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel.
Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan membandingkan besar biaya terapi
obat yang digunakan pasien rawat jalan penderita asma di RSUD dr. Agoesdjam
Kabupaten Ketapang dengan lama terapi yang dilakukan. Hasil CEA dipersentasikan
dalam rasio, yaitu bisa Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost
Effectiveness Ratio (ICER), yang dihitung dengan rumus berikut :
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑝𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡
ACER =
𝑒𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 (𝑘𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝)(%)
724
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 4(3): 722-733
725
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
Berdasarkan kelompok umur yang menderita Asma pada pasien rawat jalan di
RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang periode Januari-Desember 2020 umur yang
paling banyak menderita asma adalah 42-49 tahun sebanyak 19 orang (32%) kemudian
umur 50-57 tahun sebanyak 14 orang (24%), 34-41 tahun sebanyak 10 orang (17%), 26-33
tahun sebanyak 9 orang (15%), 18-25 tahun sebnayak 5 orang (9%) dan 58-65 tahun
sebanyak 2 orang (3%). Berdasarkan umur, hasil penelitian menunjukkan bahwa
penderita asma lebih banyak terjadi pada umur dewasa. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya dimana menunjukkan umur pasien terbanyak adalah pada umur
dewasa antara rentang umur 19-59 tahun sebesar 51%. Berdasarkan penelitian lain,
dimana terdapat 72 orang pasien dewasa (67%) yang disebabkan oleh adanya oengaruh
merokok yang dapat meningkatkan terjadinya asma pada umur dewasa [11]. Hasil
tersebut di pengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi pada masa dewasa
memberikan konstribusi terhadap perkembangan asma bronkial. Selain pengaruh
hormonal faktor lain yaitu merokok, di negara-negara maju lebih dari 25% orang dewasa
asma adalah perokok [9,10].
Prevalensi Pasien Asma rawat jalan di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten
Ketapang periode Januari - Desember 2020 pada perempuan sebesar 61% (39 orang)
lebih tinggi dari pada laki-laki sebesar 39% (23 orang). Hal ini sejalan dengan data dari
Statistic asma centre for disease control of prevention dimana prevalensi asma bronkial lebih
tinggi pada pasien perempuan dari pada pasien laki-laki, yaitu pada perempuan dari
14,634 orang sebanyak 9,1% menderita asma sedangkan pada pasien laki-laki dari 9.998
orang sebanyak 6,5% [15]. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
perempuan merupakan jenis kelamin terbanyak yang menjadi pasien asma dengan
angka sebanyak 53 orang (73,61%) dan laki- laki sebanyak 19 orang (26,39%) [9].
Berdasarkan penelitian selanjutnya, kejadian peningkatan asma pada perempuan
dibandingkan laki- laki juga di pengaruhi oleh adanya perbedaan hormon, kecemasan
dan depresi yang sering menyerang perempuan. Selain kadar estrogen yang tinggi,
fluktuasi kadar estrogen yang besar pada saat menstruasi dan pada penggunaan
konstrsepsi, terapi sulih hormon pasca-monopause juga ikut mempengaruhi keadaan
asma bronkial pada perempuan. Fluktuasi kadar estrogen memicu reaksi inflamasi dan
meningkatkan kadar substansi pro-inflamasi dalam tubuh, sehingga dapat
memperburuk asma bronkial [13, 14].
Lamanya rawat jalan pasien periode Januari-Desember 2020 sangat beragam.
Bila kondisi pasien parah maka pasien tersebut akan lebih lama mendapatkan
perawatan rawat jalan dan akan sering melakukan kunjungan ke rumah sakit
dibandingkan dengan pasien dengan kondisi penyakit yang ringan, terapi dengan obat
asma pada pasien asma rawat jalan sangat penting untuk mendapatkan kontrol,
mengurangi kerusakan dan risiko eksaserbasi. Selain itu pemberian obat asma adalah
menghilangkan obstruksi saluran pernapasan, meminimalisasi efek samping obat dan
mempertahankan fungsi paru yang normal atau mendekati normal. Berdasarkan tabel
5 dapat dilihat bahwa pasien yang total kunjungannya lebih dari satu kali berjumlah 21
orang (36%) dan pasien yang total kunjungannya satu kali berjumlah 38 orang (64%).
Jumlah kunjungan pasien dalam satu tahun mempengaruhi nilai efektivitas dari
penggunaan obat kortikosteroid inhalasi [8].
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat terdapat 32 pasien (54%) menderita asma
ringan, terdapat 19 pasien (32%) menderita asma sedang dan terdapat 8 pasien (14%)
menderita asma berat dari total sampel 59 pasien asma rawat jalan di RSUD Dr.
Agoesdjam Kabupaten Ketapang periode Januari – Desember tahun 2020. Sejalan
dengan penelitian sebelumnya dimana terdapat 46 pasien (56,10%) menderita asma
726
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 4(3): 722-733
ringan, terdapat 22 pasien (26,83%) menderita asma sedang dan terdapat 14 pasien
(17,07%) menderita asma berat. Konsensus Internasional III juga membagi asma dalam
keadaan klinis menjadi 3 yaitu asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75%
populasi asma, asma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi, dan asma
presisten (asma berat) meliputi 5% populasi [12].
727
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
Efektivitas Terapi
Parameter efektivitas terapi dari penelitian ini adalah lama rawat jalan pasien
asma. Penilaian efektivitas penggunaan kortikosteroid inhalasi pada pengobatan asma
bronkial yaitu dalam satu tahun pasien tidak berkunjung ke rumah sakit, termasuk
rawat inap, rawat jalan atau unit gawat darurat [8]. Berdasarkan tabel 4 penggunaan
kombinasi kortikosteroid inhlasi dengan golongan short acting β2 agonis (SABA), dan
long acting β2 agonis (LABA) dan antiglikonergik memiliki efektivitas pengobatan 100%,
khususnya pada terapi inhalasi Flutiase; Brotec; Combivent, tetapi pada penggunaan
Symbicort; Brotec memiliki efektivitas yang paling rendah yakni 33%, dikarenakan
terdapat 2 pasien yang dalam waktu satu tahun setelah kunjungan pertama kembali lagi
ke rumah sakit dikarenakan asmanya yang kambuh. Hal ini dapat disebabkan
perbedaan kepatuhan pasien terhadap kortikosteroid inhalasi yang diberikan [23].
728
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 4(3): 722-733
729
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
( Budesonid + Formoterol)
Symbicort (Budesonide+ Formoterol), 216.873,00 33% 6.571.90
Brotec (Fenoterol)
730
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 4(3): 722-733
Pulmicort + Ventolin
17. Flutiase -124.517,86 9 -13.835,32
Symbicort
18. Flutiase -150.130,86 38 -3.950,81
Symbicort + Brotec
19. Pulmicort + Ventolin 226.385,66 4 56.596,41
Symbicort
20. Pulmicort + Ventolin 200.772,66 33 6.084,02
Symbicort + Brotec
21. Symbicort -25.613.00 29 -883.21
Symbicort + Brotec
Berdasarkan tabel 6 dari perhitungan nilai ICER terapi yang paling cost-effective
adalah Flutiase dengan nilai ICER terendah Rp. -70.180,70 dan regimen terapi yang tidak
cost-effective adalah Pulmicort + Ventolin dengan nilai ICER tertinggi Rp. 56.596,41.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana nilai ICER dikaitkan dengan kuadaran
efektivitas biaya [9,25].
(+)
Quadrant I V Quadrant I
(-)
731
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
gangguan pernapasa selain itu merupakan obat yang bisa digunakan sebagai nebulizer,
kombinasi obat ini sering digunakan karena efektif sebagai pereda serangan sesak saat
asma dan mengontrol sesak agar tidak kambuh kembali [26].
4. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah persentase efektivitas penggunaan
kortikosteroid inhalasi di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang Tahun 2020
adalah 33-100% dan penggunaan obat kortikosteroid inhalasi Flutiase
(Salmeterol/Flutiason); Brotec (Fenoterol); Combivent (Ipatropium
Bromida/salbutamol) paling cost-effective dengan efektivitas sebesar 100% pada pasien
asma di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang Tahun 2020 dengan nilai ACER Rp.
731.45.
Referensi
[1] Imaniar Erin. (2015). Asma Bronkial pada Anak. Jurnal Kesehatan dan
Agromedicine. 2(4);1-6.
[2] Susanty Sabru Y, Chan Y. (2014). Penggunaan Asthma Control Test (ACT) Secara
Mandiri Oleh Pasien Untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Control Asmanya.
Jurnal Kesehatan Andalas. 3(3); 517-520
[3] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
[4] GINA. (2018). Global Initiative for Asthma, National Nurse. 112 (3), 8.
[5] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pedoman Penerapan Kajian
Farmakoekonomi. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
[6] Kementerin Kesehatan Republik Indonesia. (2013) Info Datin Pusat dan Informasi.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
[7] Kroegel C. (2007). Global Initiative for Asthma Management and Prevention-GINA 2006.
Pneumologie. 61(5), 304-295.
[8] Martin R.J., D. Price,N. Roche, E. Israel, W.M. Van Aalderen, J.Grigg, D.S. Postman,
dkk. (2014). Cost Effectiveness of initiating extrafine-or standard size-particle inhaled
corticosteroid for asthma in two health-care systems : A Retrospective matched cohort study.
Primary Care Respiratory Medicine. 24(1); 7-1.
[9] Aldino, A. (2016). Pola Penggunaan Obat Asma Pada Pasien Asma Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Kota Medan Periode Juli 2014- Juni 2015.
Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
[10] Atmoko W., Khairina H., Faisal O., Bobian E. F. (2012). Prevalens Asma Tidak
Terkontrol dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma di
Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. J Respir Indo. 31(2):53-60
[11] Hidayah, Fitria, N. (2011). Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Asma
Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Manajemen dan
Pelayanan Farmasi. 1(3):18
[12] Warner, Jo., Naspitz CK., Cropp GJA. (1998). Third International Pediatric
Consensus Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatr Pulmonol.
25(1):1-17
732
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 4(3): 722-733
[13] Schatz M., dan Camargo CA. (2003). The relationship of sex to asthma prevalence,
health care utilization, and medications in a large managed care organization:
Annals of Allergy Asthma and Immunology. Hal. 553.
[14] Vrieze, A., Postma DS., Kerstjens HA. (2007). Perimenstrual asthma: a syndrome
without known cause or cure. Journal of Allergy and Clinical Immunoogyl. 112: Hal.
271.
[15] Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2022). Vectors of Lymphatic
Filariasis. Available from https://www.cdc.gov/asthma/most_recent_national
asthma_data.htm. Accessed April 28, 2022.
[16] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Asma dan Pedoman Penatalaksanaan
di Indonesia. Balai penerbit FKUI.
[17] Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2006). Ilmu penyakit
dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam;
h. 991-994.
[18] Ellin., dan Micallef, R. (1987). Mode of action of Glucocorticosteroids and their effect
on asthmatic airways. Exccrpta Medica Amsterdam. Hal .36.
[19] Mangku G, Senapathi TGA. (2017). Terapi Cairan. Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks Jakarta. 243-56
[20] Sloan D, Chantel. (2013). Reactive versus proactive patterns of inhaled corticosteroid
use. Annals of The American Thoracic Society. 10(2) : 131-34
[21] Mc Guire, Alistrair. (2001). Theoretical Concepts in the economic evaluation of
health care. New York: Oxford University Press
[22] Andayani, Tri Murti. (2013). Farmaekonomi Prinsip dan Metodologi. Yogyakarta :
Bursa Ilmu
[23] Gama N, Musawaris R F, Yanti SN.R.S.A. (2017). Kepatuhan Terapi Kortikosteroid
Inhalasi Pasien Asma Bronkial Presisten Dampaknya Terhadap Derajat Obstruksi
Saluran Napas di RSUD dr. Soedarso Pontianak. Jurnal PSPD FK UNTAN. 5(1); 9-
12.
[24] Nurmainah, S. Siti, Susanti Ressi. (2017). Efektivitas Biaya Penggunaan Ampisilin
dan Sefotaksim Pada Pasien Anak Demam Tifoid. Jurnal MKMI. 13(2); 131-136
[25] Wardani S.D.K. (2019). Analisis Efektivitas Biaya Terapi Inhalasi Pada Pasien Asma
Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2017. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
[26] Ayu S.H. (2019). Gambaran Penggunaan Obat Asma Di RSUD Dr. Soesilo Slawi.
Skripsi. Fakultas DIII FARMASI.
733