Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodefienciency


Syndrome (Hiv/Aids) Pada Anak

Disusun oleh :
Ayu andira ( 7120008 )

PROGRAM STUDI ILMU DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan Kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya telah memenuhi
tugas individu ini untuk mata kuliah Keperawatan Anak dengan judul “Human
Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodefienciency Syndrome (Hiv/Aids) Pada
Anak.”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan makalah ini
terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak jauh dari kata sempurna karena
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki akhir makalah ini kami
berharap semoga bermanfaat bagi perkembangan dan pendidikan.

Jombang, 17 Januari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................5
C. Tujuan.............................................................................................................5
BAB II PENDAHULUAN............................................................................................7
A. KONSEP MEDIS.................................................................................................7
B. Manifestasi Klinis...............................................................................................16
D. Pendekatan Diagnosa....................................................................................20
E. Uji Laboratorium Dan Diagnostik................................................................23
F. Penatalaksanaan Medis.....................................................................................25
G. Pencegahan...................................................................................................29
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.......................................................................31
A. PENGKAJIAN...................................................................................................31
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN........................................................................35
C. INTERVENSI.....................................................................................................36
D. IMPLEMENTASI...............................................................................................37
E. EVALUASI.........................................................................................................37
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................39
A. Kesimpulan.........................................................................................................39
B. Saran...................................................................................................................39
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang
menyerang/menginveksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan
tubuh manusia. Icquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi oleh HIV. Menurunnya kekebalan tubuh maka individu sangat
mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunitik) yang sering
berakibat fatal. Pengidap HIV memerlukan Antiretroviral (ARV) untuk
menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam
stadium AIDS, sedangkan pengidap AIDS memerlukan pengobatan ARV untuk
mecegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasi (Kemenkes,
2020).
Virus HIV merusak system kekebalan tubuh manusia, mengakibatkan
orang yang terkena HIV kehilangan daya tahan tubuh, sehingga mudah terinfeksi
dan meninggal karena berbagai penyakit infeksi, kanker dan lain – lain. Sampai
saat ini belum ditemukan vaksin pencegahan ataupun obat yang dapat
menyembuhkan penyakit ini secara tuntas. Jangka waktu antara terkena infeksi
dan munculnya gejala penyakit pada orang dewasa memakan waktu rata – rata 5-
7 tahun. Selama kurun waktu tersebut walaupun masih tampak sehat secara sadar
maupun tidak pengidap HIV dapat menularkan virusnya pada orang lain
(Handayani, 2018).
Sekitar 40 juta penduduk dunia dari sekitar 40 juta penduduk dunia yang
telah terinfeksi HIV, lebih dari 95%-nya berada ni negara berkembang, dan anak
– anak muda saat ini telah menjadi bagian dari pandemic AIDS dengan adanya
data yang menyebutkan bahwa lebih dari setengah kasus baru yang terinfeksi HIV
adalah remaja dengan usia antara 15-24. Hal ini diperkuat oleh perkiraan WHO,
50% dari seluruh kasus terinfeksi adalah anak muda, atau dengan kata lain 7000
anak muda (usia 15-24 tahun) terinfeksi setiap harinya, dan 30% dari 40 juta
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terinfeksi seluruh dunia berada dalam
kelompok usia 15-24 tahun. Penyakit ini telah menjadi masalah internasional
karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan
semakin melanda banyak negara (Berek et al., 2018)
Persoalan penularan HIV /AIDS di Indonesia saat ini telah menjadi
isuprioritas penanganan masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu yang
menarikuntuk dikaji dalam persoalan ini adalah penularan HIV/AIDS pada
kelompokanak, baik yang ditularkan melalui ibu ke bayi yang dikandungnya
atauyangdikenal dengan istilah penularan vertikal, maupun melalui proses
penularanhorizontal atau ditularkan antar individu akibat perilaku beresiko seperti
hubungan seksual, melalui jarum suntik yang tidak steril dan transfusi
darahyangmengandung virus. Penanganan kasus HIV/AIDS pada anak berbeda
denganpenanganan kasus HIV/AIDS pada individu dewasa. Jika menggunakan
asumsi perlindungan anak, maka anak-anak pengidap HIV/AIDS dalamundang-
undangdimasukkan ke dalam dikategorikan kelompok anak yang
mendapatkanperlindungan khusus (Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
PerlindunganAnak), oleh karena itu dibutuhkan pula upaya-upaya yang secara
khusus, sistematis dan komprehensif dalam menangani permasalahan ini.

B. Rumusan Masalah
Keluarga diyakini merupakan support system utama bagi anak
denganpersoalan HIV/AIDS dimana dibutuhkan perawatan jangka panjang.
Selainpraktek perawatan jangka panjang tersebut juga diperlukan dukungan
pengasuhan, psikologis dan sosial karena masih terdapat persoalan stigmatisasi.
Perawatanjangka lama dapat menimbulkan stres psikologis pada anggota keluarga
yangmelakukan perawatan. Kondisi ini dapat menurunkan kuantitas dan
kualitasdukungan yang diberikan kepada anak.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah : “bagaimana
praktik sosial pengasuhan anak yang terinfeksi HIV/AIDS dalam keluarga”.
C. Tujuan
1) Tujuan Umum
Mengungkap bagaimana gambaran praktik sosial pengasuhan
anakyangterinfeksi HIV/AIDS dalam keluarga.

2) Tujuan Khusus
a) Menggali pengalaman keluarga yang melakukan pengasuhan
terhadapanak yang terinfeksi HIV/AIDS.
b) Mengidentifikasi struktur yang enabling dan constraining terhadappraktik
pengasuhan anak yang terinfeksi HIV/AIDS.
BAB II
PENDAHULUAN
A. KONSEP MEDIS
a) Pengertian
1) AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya
penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi
tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang
sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 : 171).
2) AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
3) AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Jadi, HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia
yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu
yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah
suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif
lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi
HIV.

b) Etiologi
Sindrom immunodefisiensi didapat pediatrik (AIDS) disebabkan oleh
virus immunodefisiensi manusia / Human Immunodeficiency virus (HIV) tipe
1 (HIV-1) yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+ , yang juga
ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah pada monosit dan makrofag.
HIV-I merupakan retrovirus yang termasuk pada subfamili Lentivirus.
Juga sangat dekat dengan HIV-II, yang menyebabkan penyakit yang sama.
HIV adalah virus RNA dan merupakan parasit obligat intra sel .Dalam
bentuknya yang asli ia merupakan partikel yang inert, tidak dapat
berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel host ( sel target ).
 Retrovirus mengandung kapsid sebelah dalam yang disusun dari protein
struktur yang dirujuk pada ukurannya.
 Protein struktural utama adalah p24, terdeteksi dalam serum penderita yang
terinfeksi dengan beban virus tinggi.
 Kapsid virion mengandung dua kopi RNA helai tunggal dan beberapa
molekul transkriptase balik. Transkriptase balik adalah polimerase DNA
virus yang menggabung nukleosid menjadi DNA dengan menggunakan
RNA virus sebagai model. ( Behrman, dkk , 1999 : 1128 )
 HIV merupakan retrovirus sitopatik tidak bertransformasi mendorong
terjadinya immunodefisiensi dengan merusak sel T sasaran ( target )
 Selubung ( envelope ) lipid HIV-I berasal dari membran sel pejamu yang
terinfeksi saat budding, yang mengandung dua glikoprotein virus, gp120
dan gp41. gp120 penting pada pengikatan pada molekul CD4 pejamu
untuk memulai infeksi virus.
 Ditemukan beberapa gen yang tidak ditemukan pada retrovirus lain, yaitu
tat, vpu, vip, nef, dan rev.tat dan rev, mengatur transkripsi HIV dan
karenanya dapat dipakai sebagai target terapi.
 Virus diisolasi dari sel limfosit, serum cairan serebrospinal, dan semua
sekresi dari penderita yang terinfeksi. ( Robbins,dkk, 1998 : 140 ).

c) Macam Infeksi Hiv


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
1) Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam
jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti
serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+
sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh
sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis
aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal
terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2) Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan
CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai
beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit,
kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3) Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat
badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum
terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

d) Patofisiologi
Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target
( terutama sel limfosit T ) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD4. Ia melepas bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-tase
yang dibawanya untuk mengubah bentuk RNA-nya menjadi DNA agar dapat
bergabung menyatukan diri dengan DNA sel target (sel limfosit T helper CD4
dan sel-sel imunologik lain ) . Dari DNA sel target ini berlangsung seumur
hidup. Sel limfosit T ini dalam tubuh mempunyai mempunyai fungsi yang
penting sebagai daya tahan tubuh. Akibat infeksi ini fungsi sistem imun (daya
tahan tubuh) berkurang atau rusak, maka fungsi imonologik lain juga mulai
terganggu.
HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus
untuk melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi linfosit B juga
terpengaruh, dengan peningkatan produksi imunoglobulin total sehubungan
dengan penurunan produksi antibodi spesifik. Dengan memburuknya sistem
imun secara progresif, tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi
oportunis dan juga berkurang kemampuannya dalam memperlambat replikasi
HIV. Infeksi HIV dimanifestasikan sebagai penyakit multi-sistem yang dapat
bersifat dorman selama bertahun-tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi
secara bertahap. Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari
penyakit ini bervariasi dari orang ke orang. Virus ini ditularkan hanya melalui
kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh, melalui
obat-obatan intravena, kontak seksual, transmisi perinatal dari ibu ke bayi,
dan menyusui. Tidak ada bukti yang menunjukkan infeksi HIV didapat
melalui kontak biasa.
Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :
1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi
(disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85%
kasus AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
2)Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan
hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ).
( Cecily L. Betz , 2002 : 210)
HIV-1
e) Fotogenesis

Ibu
Jarum suntik Transfusi Hub sexual

Transplasental Perinatal

Sel Host Limfosit T Aliran darah / mukosa

CD4+ Kel. Limfe

Internalisasi Hiperplasi Replikasi Kel. Getah


folikel virus masit bening perifer

Enzim RT-ase
Limfadenopati Viremia Lim B

Transkripsi terbalik Inf. Akut


Destruksi sel Kel. Sel. B
CD4
Mengubah RNA Bertahap
Laten
menjadi DNA Pe Ab Pe Ig
spesifik total
Integritas DNA Krisis
provirus ke Host Hiper gamma
globulinemia

Transkripsi / translasi
& propagasi virus Respon IgM
me

Inf. Oportunistik
Keganasan sekunder

AIDS

Monosit Tahan sitopatik HIV Penyebaran patogenesis


makrorag

Gangguan fungsi monosit & makrofag SSP

- Kematoksis 
- Fagositosis 
f) Aids

Inf. Oportunistik

SSP Cryptococcus Meningitis


Toxoplasma Encepalitis Ensepalopati
Candida Demensia
Mycobacterium Gangguan psikomotor
TB Kejang-kejang
Tumor

Mata CM V Perivaskulitis
Toxoplasma Retinitis

Hidung Sinusitis

Mulut Jamur  oral thrush


Stomatitis herpes
Parotitis
Kandidiasis oral / faring

Paru Pnemonia pneumocystis carinii (PPC)


Cytomegalovirus
Mycobacterium avium intracellare / M. TB
Lymphoid interstitial pneumonitis
Virus epstein – Barr  bronkopneumonia

Jantung Kardiomiopati  DC

Limpa Splenomegali

pankreas Pankreatitis (trauma akibat pemberian pentamidin)

Hepar hepatitis Salmonella


CMV
GI track Diare Kandida
Malabsorbsi Herpes simplex
Cryptosporodium
Camphilobacter

Kel. limfe Limfodenopati

Ginjal Focal glomerulosclerosis Proteinuria


Mesangial hyperplasia
Kulit Dermatitis (Ekzema s/d pyoderma gangrenosum & scabies

Darah Trombocytopenia, Neutropeni, Anemi


2. Hypergammaglobulinemia
3. Penurunan limf. T sel CD4 + absolut (limfosit  200 / mm3)
4. Keganasan sekunder  sarkoma kaposi
 kanker, tumor
5. Penurunan BB
VIREMIA

SSP
Sal. napas Hepar & lien
Batang otak
Paru Hidung Hepatomegali Hipotalamus
Splenomegali
Menekan N. Vagus
Alveolar Sinusitis Pirogen
Nyeri
Simpatis
Pneumonitis Termostat
interstisiel
Jantung Lambung Usus
Hipertermi
Eksudasi
Takikardi peHCL pe
TD peristaltik
Vasodilatasi Kejang2
Akumulasi PD
sekret Mual,
Kardiomegali muntah, Mal
anorexia absorbsi
Vasodilatasi Resiko injuri
Batuk Kelj.
Kardiomiopati
Sebasea Nutrisi
spontan Tidak spontan
Keringat
DC
BB
Obstruksi sel Akumulasi
napas sekret Erithema
Diare

Kerusakan Ronki / tridor Integritas Resiko G3 Eliminasi


pertukaran kulit integritas alvi Defisit /
Otak hipovolume
gas kulit
Bersihan
jalan napas
Ensefalitis Keseim- Dehidrasi
Meningitis bangan
Dispneu cairan
Ensefalopathy Peperfusi
Vasodilatasi PD
Perub. Pola napas G3 neuropati G3 neuro
psikiatrik Turgor Ginjal
Pe TIK Mata cowong
Suplai O2 G3 motorik Ubun-ubun cekung
Demensia Mukosa kering Oligouria
Pe fungsi Atralgia & / mialgia
Fatique Pe perfusi Immobilitas kognitif
fisik Eliminasi
Istirahat tidur Nyeri uri
Intoleran aktifitas
B. Manifestasi Klinis
a) Bayi dan Anak
Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi
penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau
kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari.
Kebanyakan anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan
3 tahun.
Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen pada
penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi oportunistik
"penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan sangat
mematikan adalah pneumonia P. carinii (PPC). Tanda klinis PPC pada bayi
terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan berat dengan batuk, takipnea,
dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke arah blokade kapiler
alveolar (mis ; proses radang interstisial). Roentgenogram dada
menunjukkan pneumonitis difus bilateral dengan diafragma datar. Diagnosis
biasanya diperkuat oleh bronkoskopi fleksibel dan cuci bronkoalveolar
dengan pewarnaan yang tepat untuk kista maupun tropozoit. Kadar laktat
dehidroginase biasanya juga naik. Diagnosa banding pada bayi termasuk
herpes virus ( sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks ),
virus sinsitial respiratori, dan infeksi pernafasan terkait mengi. Pengobatan
infeksi PPC harus dimulai seawal mungkin, tetapi prognosis jelek dan tidak
secara langsung dikorelasikan dengan jumlah limfosit CD4+.. Reaktivasi PPC
tampak semakin bertambah pada anak yang lebih tua yang mempunyai
perjalanan klinis infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis PPC
(trimetropim-sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan pada penderita
pediatri dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka absolut ).
Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah
esofagitis akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai
anoreksia atau disfagia, dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan diobati
dengan amfoterisin B dan ketokonazol.
Infeksi oportunistik penting lain melibatkan ssstem saraf sentral,
sepertii Toxoplasma gondii. Infeksi Mycobacterium avium complex biasanya
menimbulkan gejala saluran cerna, dan herpes virus menimbulkan komplikasi
retina, paru, hati, dan neurologist. M. tuberculosis dan malaria yang tersebar
di seluruh dunia adalah patogen oportunistik pada penderita AIDS.
Neoplasma relatif tidak sering pada penderita terinfeksi HIV-1 pediatri.
(Behrman,dkk,2002: 1129 )
Manifestasi klinisnya antara lain :
1) Berat badan lahir rendah
2) Gagal tumbuh
3) Limfadenopati umum
4) Hepatosplenomegali
5) Sinusitis
6) Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7) Parotitis
8) Diare kronik atau kambuhan
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11) Sariawan Orofaring
12) Trombositopenia
13) Infeksi bakteri seperti meningitis
14) Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya
yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif, perkembangan
yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.
A) Remaja
Kebanyakan remaja yang terinfeksi mengalami periode penyakit yang
asimtomatik yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini diikuti
tanda dan gejala yang dimulai beberapa minggu sampai beberapa bulan
sebelum tinbulnya infeksi oportunistik dan keganasan.Tanda dan gejala
tersebut antara lain:
1) Demam
2) Malaise
3) Keletihan
4) Keringat malam
5) Penurunan berat badan yang tidak nyata
6) Diare kronik atau kambuhan
7) Limfadenopati umum
8) Kandidiasis aral
9) Atralgia dan mialgia. ( Cecily L. Betz, 2002 : 211 )

a) Kategori Klinis HIV


1) Kategori N : Tidak bergejala
Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV
2) Kategori A : Gejala ringan
Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini :
 Limfadenopati
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Dermatitis
 Parotitis
 Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/ persisten, sinusitis,
atau otitis media
3) Kategori B : Gejala sedang
Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau
menunjukkan kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari
kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
 Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari
 Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis
 Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6 bulan
 Kardiomiopati
 Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan
 Diare, kambuhan atau kronik
 Hepatitis
 Stomatitis herpes, kambuhan
 Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan sebelum
berusia 1 bulan
 Herpes zoster, dua atau lebih episode
 Leimiosarkoma
 Pneomonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid
pulmoner (LIP/PLH)
 Nefropati
 Nokardiosis
 Varisela zoster persisten
 Demam persisten >1 bulan
 Toksoplasmosis, awitan sebelum berusia 1 bulam
 Varisela, diseminata ( cacar air berkomplikasi )
4) Kategori C : Gejala Hebat
Anak dengan kondisi berikut :
 Infeksi balterial multipel atau kambuhan
 Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus
 Koksidioidomikosis, intestinal kronik
 Penyakit sitomegalovirus ( selain hati, limpa, nodus ) dimulai pada
umur > 1 bulan.
 Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan).
 Ensefalopati HIV.
 Ulkus herpes simpleks kronik ( durasi > 1 bulan ) atau pneumonitis
atau esofagitis, awitan saat berusia > 1 bulan.
 Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner.
 Isosporiasis interstinal kronik (durasi > 1 bulan).
 Sarkoma kaposi.
 Limfoma, primer di otak.
 Limfoma ( sarkoma burkitt atau sarkoa imunoblastik ).
 Kompleks Mycobacterium avium atau Mycobacterium kansasii,
diseminata atau ekstrapulmoner.
 Pneumonia Pneumocystis carinii.
 Leukoensefalopati multifokal progresif.
 Septikemia salmonella kambuhan.
 Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur > 1 bulan.
 Wasting Syndrome karena HIV. ( Cecily L. Betz, 2002 : 213 )

D. Pendekatan Diagnosa
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari
pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang
meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai
diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering
membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV (IgG) pada darah bayi dapat
merupakan antibodi yang berasal dari ibunya, karena antibodi ini dapat
menembus plasenta, yang dapat menetap berada dalam darah si anak sampai
berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka memerlukan pemeriksaan serial
dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya infeksi bagi si bayi. Pada umumnya
dikatakan, masih terdapatnya antibodi sampai lebih dari 15 bulan menunjukkan
adanya infeksi HIV pada bayi. Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA,
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi, dengan sensitifitas dan spesifitas
sampai 98%.
Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :
1) Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.
2) Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan
3) Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya T4 (ratio T4:T8)
4) Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur. Pembuktian adanya
HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM maupun IgA) yang dapat
dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste Blot. Dapat pula dengan menentukan
Antigen p-24 dengan metoda Elisa, ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Pemeriksaan ini tentunya mempunyai arti diagnostik yang lebih
tinggi. Metoda lain yang sedang dikembangkan adalah IVAP (In vitro Antibody
Production), dengan mencari sel-sel penghasil antibodi dari darah bayi.
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut :
Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :
1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-kurangnya
didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-gejala ini bukan
disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dengan ibu
yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
3.
Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).
Gejala Mayor :
a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.
b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap

Gejala Minor :
b) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali
c) Kandidiasis mulut dan faring
d) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis
e) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
f) Dermatitis yang menyelurh
g) Ensefalitis

Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas “positive


predictive value”nya yang rendah. Pada umumnya digunakan hanya untuk
melakukan surveillance epidemiologi.
Untuk keperluan pencatatan dalam melaksanakan surveillance epidemiologi,
CDC telah membuat klasifikasi penderita AIDS pada anak sebagai berikut :
(lihat tabel 2)

Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut
Center for Disease Control (CDC)
Klas Subklas / kategori
P-0 Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)
P1 Infeksi yang asimtomatik
Subklas A : Fungsi immun normal
Subklas B : Fungsi immun tak normal
Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa
P-2 Infeksi yang simtomatik
Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala menetap
lebih 2 bulan)
Subklas B : Gejala neurologis yang progressip
Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis
Subklas D : Penyakit infeksi sekunder
Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana
tercantum dalam daftar definisi surveillance
CDC untuk AIDS
Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang
Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain
Subklas E : Kanker sekunder
Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam
daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS
Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan
karena infeksi AIDS
Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan
oleh infeksi H HIV
Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang tidak sesuai
dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut “AIDS Related Complex
(ARC)”. Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati, peumonitis
interstitialis, diare menahun, infeksi berulang, kandidiasis mulutyang
menetap, serta pembesaran hepar, namun belum ada infeksi oportunistik atau
keganasan.
Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah pula
diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3

Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)


Kriteria Mayor :
- Pneumonitis interstitialis
- “Oral Thrush” yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis

Kriteria Minor :
- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)
- Pembesaran hepar dan lien
- Diare menahun / berulang
- Kegagalan pertumbuhan (“failure to thrive”)
- Ensefalopati idiopatik progresip

Kriteria Laboratorium :
- Peningkatan IgA / IgM dalam serum
- Perbandingan T4/T8 terbalik
- IVAP rendah

Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor.


Serta 2 kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.

E. Uji Laboratorium Dan Diagnostik


1) Elisa : Enzyme-linked imunosorbent assay (uji awal yang umum) –
mendeteksi
antibodi terhadap antigen HIV (umumnya dipakai untuk skrining HIV
pada
individu yang berusia lebih dari 2 tahun).
2) Western blot (uji konfirmasi yang umum) – mendeteksi adanya antibodi
terhadap beberapa protein spesifik HIV.
3) Kultur HIV – standar emas untuk memastikan diagnosis pada bayi.
4) Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR]) – mendeteksi
asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk
mendiagnosis HIV pada bayi dan anak.
5) Uji antigen HIV – mendeteksi antigen HIV.
6) HIV, IgA, IgM – mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi (secara
eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV
tidak mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas, diagnosis
dapat ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum berusia 6
bulan.
1) Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak
yang terinfeksi HIV : Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.
2) Limfopenia.
3) Anemia, trombositopenia.
4) Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).
5) Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).
6) Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili )
7) Haemophilus influenzae tipe B
8) Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.
9) Penurunan persentase CD4+.
Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18
bulan dan yang menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2
determinasi terpisah dari kultur HIV, reaksi rantai polimerase – HIV, atau
antigen HIV, maka dia dapat dikatakan “terinfeksi HIV”. Bayi yang lahir dari
ibu HIV-positif, berusia kurang dari 18 bulan, dan tidak positif terhadap
ketiga uji tersebut dikatakan “terpajan pada masa perinatal”. Bayi yang lahir
dari ibu terinfeksi HIV yang ternyata antibodi HIV negatif dan tidak ada bukti
laboratorium lain yang menunjukkan bahwa ia terinfeksi HIV, maka ia
dikatakan “Seroreverter”.
( Cecily L. B, 2002, 212 )

F. Penatalaksanaan Medis
I. Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terbukti terinfeksi HIV.
Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang berasal
dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya segala tindakan
terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk tetap
memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang
menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa
memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga
sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang
menganjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas
terkena infeksi HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai
50%.

II. Penatalaksanaan bayi/anak yang telah tertular


1. Terhadap Etiologi
Diberikan obat-obata antiretroviral
Tabel 4. Macam-macam antiretroviral
Golongan obat Nama generik Singkatan
Nucleoside-reserve Azidotimidin/zidovudin AZT
Transcriptase Didanosin DDI
Stavudin D4T
Zalbitabin DDC
Lamivudin 3TC

Protease Inhibitor (PI) Indinavir IDV


Ritonavir
Saquinavir
Non-Nucleoside-Reserve
Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai indikator


pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah CD4 serta
menghitung beban viral (viral load).
Tabel 5. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV
Keadaan klinis penyakit Pedoman terapi
Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu PI + (1 atau 2 NRTI)
setelah terpajan)
Asimtomatik dengan beban virus Didanosin
< 10.000/ml Kombinasi 2 NRTI
Simtomatik / asimtomatik PI + (1 atau 2 NRTI)
Dengan beban virus > 10.000/ml
Berlanjutnya penyakit setelah terapi Pindah ke terapi PI – NRTI
dengan 2 NRTI

Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali sehari
peroral sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan tanpa
memandang jumlah CD4, serta dianjurkan untuk tidak menyusui
bayinya. Pada bayi yang baru lahir bila ibunya HIV positif, dapat
diobati dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarya pada bayi / anak
pengukuran viral-load penting karena rentang jumlah CD4 yang
sangat bervariasi selama masa pertumbuhannya.
Sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan AZT sampai 4
minggu. Zidovudin (Azidothymidine), mempunyai efek
mempengaruhi proses replikasi virus.
Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 80, 120, 160 mg/m 2,
diberikan secara intravena setiap 6 jam, selama 1-2 bulan, diikuti
peroral selama 1-2 bulan dengan dosis satu sampai satu setengah
kali dosis intravena.
Efek samping obat berupa neutropenia dan anemia, biasanya segera
membaik dengan pengurangan dosis, atau penghentian pemberian
obat. Dengan pemberian obat ini penderita PCP 73% dapat bertahan
sampai 44 minggu.
Pada umumnya adanya perbaikan ditandai dengan :
- Adanya peningkatan berat badan
- Pengecilan hepar dan lien
- Penurunan immunoglobulin (IgG, IgM)
- Peningkatan T4
- Perbaikan klinis / radiologis
- Peningkatan jumlah trombosit

2. Terhadap Infeksi Sekunder


2.1 Infeksi Protozoa
Yang terpenting terhadap : Penumocystis carinii, Toxoplasma dan
Cryptosporidium.
2.1.1 Terhadap Pneucystis Carinii, penyebab pneumonia
(Pneumocystis Carinii Pneumonia/PCP)
a. Pentamidin (IV/IM) 4 mg/kg/hr, selama 2 minggu, dosis
tunggal.
b. Efek samping berupa : neuse, diare, hipotensi, hipoglikemia
dan gangguan fungsi ginjal
c. Cotrimoxazole (IV/oral), 20 mg/kg/hr, dibagi dalam 4 dosis.
Hati-hati bagi bayi kurang dari 3 bulan. Pada infeksi yang
berat dapat diberikan kortikosteroid.
2.1.2 Terhadap Toxoplasma
Dapat menyebabkan CNS syndrome akibat lesi serebral / space
occupying lesions
a. Pyrimethamine (oral), 12,5-25 mg/hari
b. Sulfadiazin (oral) 2-4 gr/hari
2.1.3 Terhadap Cryptosporidium
Dapat menyebabkan diare kronik. Obat kausal spiramycine,
yang penting pengobatan suportif dan simtomatik terutama
rehidrasi.
2.2 Infeksi Jamur
Manifestasi klinik berupa kandidiasis, pada umumnya memberikan
respon yang baik dengan nystatin topikal amfoterisin B. 0,3 – 0,5
mg/kg/hari, ketoconazole 5 mg/kg/hr.

2.3 Infeksi Virus


Yang penting : Virus herpes, cytomegalovirus (CMV), papovavirus
(penyebab progressive multifocal leucoencephalopaty / PML)
a. Acyclovir 7,5 – 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 3 dosis diberikan
selama 7 hari.
b. Gancyclovir 7,5 – 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 2 dosis baik
untuk CM
Di samping obat-obat di atas, perlu dipertimbangkan pemberian :
1. Vaksinasi dengan vaksin influenza A dan influenza B, setiap
tahun.
2. Pemberian amantidin untuk pencegahan infeksi virus influenza A.
3. Immunoglobulin Varicella-Zoster 125 u/kg (maksimum 625 u).
Diberikan dalam waktu 96 jam setelah kontak dengan penderita.
4. Immunoglobulin campak : 0,5 ml/kg (maksimum 15 ml) dalam
waktu 6 hari setelah kontak dengan penderita
2.4 Infeksi Bakteria
Yang penting adalah : Mycobacterium TBC, Mycobacterium avium
intra cellulare, streptococcus, staphylococcus, dll. Diatasi dengan
pemberian antibiotika yang spesifik. Kadang-kadang dipertimbangkan
pemberian immunoglobulin.
3. Mengatasi Status Defisiensi Immun
Pada umumnya pemberian obat-obatan pada keadaan ini tidak banyak
memberikan keuntungan. Obat yang pernah dicoba :
a. Biological respons modifier, misalnya alpha / gamma interferron,
interleukin 2, thymic hormon, tranplantasi sumsum tulang,
transplantasi timus.
b. Immunomodulator misalnya isoprinosine.

4. Mengatasi Neoplasma
Neoplamsa yang terpenting adalah sarkoma kaposi. Kalau masih
bersifat lokal, diatasi dengan eksisi dan radio terapi, kalau sudah
lanjut, hanya radioterapi, dikombinasi dengan kemoterapi /
interferron.

5. Pemberian Vaksinasi
Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV, masih
mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang baik
sampai berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah berusia
di atas 2 tahun, bahkan ada yang mengatakan menghilang pada
umur 4 tahun. Karenanya vaksinasi rutin sesuai dengan “Program
Pengembangan Immunisasi yang ada di Indonesia dapat tetap
diberikan, dengan pertimbangan yang lebih terhadap pemberian
vaksin hidup, terutama BCG dan Polio.

Tabel 2 Penetapan kategori imun berdasarkan usia dan jumlah CD4


Kelompok Usia :
Kategori Imun Jumlah CD4 dan Persentase
0 – 11 bulan 1 – 5 tahun 6 – 12 tahun
1) Tidak ada tanda- >1500 >1000 >500
tanda supresi >25% >25% >25%
2) Tanda-tanda 750-1499 500-999 200-499
supresi sedang 15-25% 15-25% 15-25%
3) Tanda supresi <750 <500 <200
hebat <15% <15% <15%

G. Pencegahan
Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan resiko
infeksi janin dari wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 pada minggu ke 14-34
kehamilan yang belum mendapat obat ini karena memiliki limfosit CD4 yang
jumlahnya lebih dari 200 sel/mm³tanpa gejala klinis AIDS. Ibu mendapat terapi
zidovudin oral ( 100 mg lima kali sehari ) selama sisa masa kehamilan.
Saat persalinan obat diberikan secara intravena ; dosis awal 2 mg/kg
diberikan selama 1 jam dan disertai dengan infus sebanyak 1 mg/kg/jam hingga
bersalin.
Bayi baru lahir mendapat terapi antivirus selama 6 minggu ( sirup
zidovudin dosis 2 mg/kg setiap 6 jam ) mulai pada 8-12 jam pascalahir. Hal ini
mengakibatkan penurunan resiko relatif sebesar 67,5% .
( Behrman, dkk, 1999 : 653 )
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Anamnese
1) Identitas
- AIDS pada anak di bawah umur 13 tahun di Amerika, 13%
merupakan akibat kontaminasi dengan darah, 5% akibat pengobatan
hemofilia, 80% tertular dari orang tuanya.
- Anak yang terinfeksi pada masa perinatal, rata-rata umur 5 – 17 bulan
terdiagnosa sebagai AIDS.
- Terbanyak meninggal 1 tahun setelah dibuat diagnosis
- Study perspektif di Afrika menunjukan angka kematian anak usia
lebih dari 15 bulan lahir dari ibu HIV (+) sebesar 16,5%  penyebab
terbanyak diare akut/ kronik dan pnemonie berulang.
2) Keluhan Utama
- Demam dan diare berkepanjangan
- Takhipnea, batuk, sesak nafas dan hipoxia  keadaan yang gawat
3) Riwayat Penyakit Sekarang
- Berat badan dan tinggi badan yang tidak naik
- Diare lebih dari 1 bulan
- Demam yang berkepanjangan ( lebih dari 1 bulan )
- Mulut dan faring dijumpai bercak-bercak putih
- Limphadenophati yang menyeluruh
- Infeksi berulang (otitis media, pharingitis)
- Batuk yang menetap (lebih dari 1 bulan)
- Dermatitis yang menyeluruh
4) Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat pemberian tranfusi antara tahun 1978 - 1985
5) Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
- Orang tua yang terinfeksi HIV
- Penyalahgunaan zat
6) Riwayat Kehamilan dan Persalinan
- Ibu selama hamil terinfeksi HIV  50% tertular untuk anaknya
- Penularan dapat terjadi pada minggu ke 9 – 20 dari kehamilan
- Penularan pada proses melahirkan, terjadi kontak darah ibu dan bayi
- Penularan setelah lahir dapat terjadi melalui air susu ibu.
7) Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan
Kegagalan pertumbuhan (failure to thrive)
8) Riwayat Makanan
Anoreksia, mual, muntah
9) Riwayat Imunisasi
Jadwal immunisasi bayi dan anak dengan infeksi HIV
UMUR VAKSIN
2 bulan DPT, Polio, Hepatitis B
4 bulan DPT, Polio, Hepatitis B
6 bulan DPT, Polio, Hepatitis B
12 bulan Tes Tuberculin
15 bulan MMR, Hepatitis
18 bulan DPT, Polio, MMR
24 bulan Vaksin Pnemokokkus
4 – 6 tahun DPT, Polio, MMR
14 – 16 Tahun DT, Campak

- Immunisasi BCG tidak boleh diberikan  kuman hidup


- Immunisasi polio harus diberikann inactived poli vaccine, bukan tipe
live attenuated polio vaccine  virus mati bukan virus hidup
- Immunisasi dengan vaksin HIV diberikan setelah ditemukan HIV (+)
b. Pemeriksaan
1) Sistem Penginderaan :
 Pada Mata :
- Cotton wool spot (bercak katun wol) pada retina, sytomegalovirus
retinitis dan toxoplasma choroiditis, perivasculitis pada retina.
- Infeksi pada tepi kelompak mata (blefaritis) : mata merah, perih,
gatal, berair, banyak sekret serta berkerak.
- Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat kekuningan,
tunggal / multiple, pada satu / kedua mata  toxoplasma gondii
 Pada Mulut : Oral thrush akibat jamur, stomatitis gangrenesa,
periodontitis, sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak
merah datar, kemudian menjadi biru, sering pada palatum.
 Pada telinga : otitis media, nyeri, kehilangan pendengaran.

2) Sistem Pernafasan : Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak nafas,
tachipnea, hipoxia, nyeri dada, nafas pendek waktu istirahat, gagal nafas.
3) Sistem pencernaan : BB menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan
menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa oral, faringitis, kandidiasis
esofagus, kandidiasis mulut, selaput lendir kering, pembesaran hati, mual,
muntah, kolitis akibat diare kronik pembesaran limpha.
4) Sistem Kardiovaskuler.
 Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat.
 Gejala congestive heart failure sekunder akibat kardiomiopati karena
HIV.
5) Sistem Integumen :
 Varicela : Lesi sangat luas vesikula yang besar, hemorragie menjadi
nekrosis timbul ulsera.
 Herpes zoster : vesikula menggerombol, nyeri, panas, serta malaise.
 Eczematoid skin rash, pyodermia, scabies
 Pyodermia gangrenosum dan scabies sering dijumpai.
6) Sistem Perkemihan
 Air seni kurang, anuria
 Proteinurea
7) Sistem Endokrin : Pembesaran kelenjar parotis, limphadenophati, pembesaran
kelenjar yang menyeluruh
8) Sistem Neurologi
 Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku.
 Nyeri otot, kejang-kejang, ensefalophati, gangguan psikomotor.
 Penurunan kesadaran, delirium.
 Serangan CNS : meningitis.
 Keterlambatan perkembangan .
9) Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak
(ataksia)
10) Psikososial
 Orang tua merasa bersalah.
 Orang tua merasa malu.
 Menarik diri dari lingkungan .

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium :
 Darah :
- Leukosit dan hitung jenis darah putih ............. neutropenia (neutrofil <
1000 / mm3)
- Hitung trombosit ............ trombositopenia (trombosit < 100.000 / mm3)
- Hb dan konsentrasi Hb ............ Anemia (Hb < 8 g/dl)
- Limfopenia CD4+ (limfosit  200 / mm3)
- LFT
- RFT
 Pemeriksaan lain : urinalisis (protein uria), kultur urine,
 Tes tuberculin (TB + indurasi  5 mm)
2) Tes Antibodi Anti-HIV  Tes Esali
3) Tes Western Blot (WB).
4) Tes PCR (Polymerase Chain Reaction) 
 Menemukan beberapa macam gen HIV yang bersenyawa di dalam DNA
sel yang terinfeksi.
 Mengetahui apakah bayi yang lahir dari ibu dengan HIV(+).
5) Kardiomegali  pada foto rontgen.
6) EKG terlihat hipertrofi ventrikel dan kelainan gelombang T.
7) Pungsi Lumbal.
8) Bronkoskopi ( untuk mendeteksi adanya PPC ).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Resiko terjadi infeksi sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
2) Resiko terjadi infeksi (transmisi) sehubungan dengan virus yang
menular.
3) Gangguan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) sehubungan
dengan nyeri, anoreksia, diare.
4) Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan infeksi oportunistik
saluran dari pernafasan, penurunan tidak volume dampak dari
pengobatan, bakteri, pnemoni, anemia.
5) Kurangnya volume cairan tubuh sehubungan dengan diare dampak dari
infeksi oportunistik saluran pencernaan.
6) Gangguan integritas kulit sehubungan dengan diare.
7) Perubahan / gangguan mukosa membran mulut sehubungan dengan lesi
sekunder membran mukosa dampak dari jamur dan infeksi herpes /
radang mukosa dampak dari pengobatan dan hygiene oral yang tidak
adekuat.
8) Hipertermi sehubungan dengan Infeksi HIV, infeksi oportunistik,
pengobatan.
9) Gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan gangguan neurologis.
10) Ketidakefektifan koping keluarga sehubungan dengan penyakit
menahun dan progresif.
11) Kurang pengetahuan sehubungan dengan perawatan anak yang
kompleks di rumah.

C. INTERVENSI
a) Prioritas Keperawatan.
1) Mencegah atau meminimalkan infeksi.
2) Memaksimalkan masukan nutrisi.
3) Meningkatkan kedekatan, pertumbuhan, & perkembangan.
4) Memberikan informasi pada orang tua tentang proses penyakit ,
prognosis & kebutuhan tindakan. ( Doenges, 2001 : 723 )
b) Tujuan Pulang
1) Bebas dari infeksi oportunistik / nasokomial.
2) Meningkatkan berat badan dengan sesuai.
3) Melakukan ketrampilan khusus sesuai kelompok usia dalam lingkup /
tingkat perkembangan yang ada.
4) Orang tua / pemberi asuhan memahami kondisi / prognosis &
kebutuhan tindakan. ( Doenges, 2001 : 724 )
c) Diagnosa
1) Resiko terjadi infeksi sehubungan dengan penurunan daya tahan
tubuh.
2) Resiko terjadi infeksi (transmisi) sehubungan dengan virus yang
menular.
3) Gangguan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) sehubungan
dengan nyeri, anoreksia, diare.
4) Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan infeksi oportunistik
saluran dari pernafasan, bakteri pnemonia.
5) Kurangnya volume cairan tubuh sehubungan dengan diare dampak
dari infeksi oportunistik saluran pencernaan atau reaksi dari
pengobatan.
6) Gangguan integritas kulit sehubungan dengan diare.
7) Perubahan / gangguan mukosa membran mulut sehubungan
dengan lesi membran mukosa dampak dari jamur dan infeksi
herpes / radang mukosa dampak dari pengobatan dan higiene oral
yang tidak adekuat.
8) Hipertermia sehubungan dengan infeksi HIV, infeksi oportunistik
pengobatan.
9) Gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan gangguan
neurologis.
10) Ketidakefektifan koping keluarga sehubungan dengan penyakit
menahun dan kongestif.
11) Kurang pengetahuan sehubungan perawatan anak yang kompleks
di rumah.
D. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan
untuk masing-masing diagnosa. Prinsip pelaksanaan tindakan perawatan anak
dengan HIV/AIDS adalah :
1) Menjaga fungsi pernafasan.
2) Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
3) Mencegah terjadinya infeksi nosokomial / infeksi lain / komplikasi.
4) Mencegah terjadi infeksi ( transmisi ).
5) Mempertahankan keseimbangan kebutuhan nutrisi dan cairan.
6) Memberikan informasi dan ketrampilan pada keluarga tentang proses
penyakit, penularan, pencegahan dan perawatan anak dengan HIV /
AIDS.
7) Memperhatikan tumbuh kembang anak terhadap dampak dari penyakitnya
dan hospitalisasi.
8) Menjaga keutuhan kulit.
9) Mempertahankan kebersihan mulut.
E. EVALUASI
Cara mengevaluasi asuhan keperawatan terdiri dari 2 tahap :
10) Mengukur pencapaian tujuan.
11) Membandingkan data yang terkumpul dengan kriteria hasil / pencapaian
yang telah ditetapkan.
( RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR , 2000 )
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan
masalah kesehatan atau persoalan pembangunan, tetapi juga masalah ekonomi,
sosial, dan lain-lain. Berdasarkan sifat dan efeknya, sangatlah unik karena AIDS
mematikan kelompok yang paling produktif dan paling efektif secara reproduksi
dalam masyarakat, yang kemudian berdampak pada mengurangi produktivitas dan
kapasitas dari masyarakat. Dampak yang ditimbulkan AIDS terhadap masyarakat
dapat bersifat permanen atau setidaknya berjangka sangat panjang. AIDS secara
sosial tidak terlihat (invisible) meski demikian kerusakan yang ditimbulkannya
sangatlah nyata. HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat mematikan sehingga
menimbulkan rasa malu dan pengucilan dari masyarakat yang kemudian akan
mengiring pada bentuk-bentuk pembungkaman, penolakan, stigma, dan
diskriminasi pada hampir semua sendi kehidupan. Hampir semua orang yang
diduga terinfeksi AIDS tidak memiliki akses terhadap tes HIV, inilah yang
membuat usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan menjadi sangat rumit.
Program pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus segera dilaksanakan, tak
terkecuali area Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan.

B. Saran
Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah dengan
mendidik dan membimbing generasi muda secara intensif agar mereka mampu
menjadi motor penggerak kemajuan dan mendorong perubahan kearah yang lebih
dinamis, progesif dan produktif. Dengan demikian diharapkan kedepannya bangsa
ini mampu bersaing dengan negara lainya . Agar mencapai impian tersebut remaja
Indonesia harus tumbuh secara positif dan kontruktif, serta sebisa mungkin
dijauhkan dari telibat kenakalan remaja. Inialah tantangan riil yang kita hadapi
sebagai guru dan orang tua. Sudah sedemikian lama fenomena maraknya
kenakalan remaja ini dibiarkan begitu saja, seolah hanya di tangani dengan asal-
asalan. Pemerintahan sebagai pemengang utama kebijakan juga dapat menjalankan
perannya, yaitu membuat undang undang pendidikan, undang undang teknologi
komunikasi (yang mengatur tayangan yang layak di akses di internet, televisi, dan
media massa), serta membangun aparat kepolisian yang kuat. Dengan
permasalahan remaja yang terkena HIV DAN AIDS dikalangan masyarakat
diakibatkan pergaulan bebas remaja yang tidak terpantau, dengan sebab itupenulis
berharap ada pengawasan dari orang yang bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai