Kelompok6 Modul01
Kelompok6 Modul01
Oleh:
Kelompok 06
Ketua Kelompok :
Abdullah Almasyhur 11216015
Anggota Kelompok :
Marcelino Putra Perdana 11216021
Nadzifa Rahma A. 11216032
Lela Wahyu Anggraeni 11216035
Tri Ramadianti S.
NIM. 11215029
Mengetahui dan menyetujui,
Dosen Pengampu Dosen Pengampu
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
RINGKASAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari percobaan ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan laju pertumbuhan spesifik dari kultur sel Chlorella vulgaris.
1
2. Menentukan doubling time dari kultur sel Chlorella vulgaris.
3. Menentukan konsentrasi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid dari kultur sel
Chlorella vulgaris.
4. Menentukan perolehan (yield) biomassa dan produk (klorofil a, klorofil b,
dan karotenoid) dari kultur sel Chlorella vulgaris.
2
BAB II
METODOLOGI
Rangkaian alat bioreaktor botol kultur yang digunakan pada percobaan ini
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
3
Gambar 2.1 Rangkaian alat bioreaktor
4
Mulai Pengukuran biomassa basah, biomassa
kering, Optical Density, konsentrasi Selesai
nitrat yang dikonsumsi, perhitungan
metabolit dari C. vulgaris dilakukukan
selama 28 hari dengan interval 3 hari
sekali
5
Blanko dibuat dengan 1 50 mL sampel ditambah 1 mL HCN
Mulai mL akuades ditambah 1 1 N dalam labu Erlenmeyer 100 mL
mL HCN 1 N dan didiamkan selama 10 menit
Selesai
6
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3.1 Kurva pertumbuhan berat basah Chlorella vulgaris terhadap waktu
0,4
0,35
0,3
0,25
Berat Kering (gram)
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (hari)
Gambar 3.2 Kurva pertumbuhan berat kering Chlorella vulgaris terhadap waktu
7
Berdasarkan Gambar 3.1 dan 3.2, dapat dilihat bahwa kinetika pertumbuhan
biomassa Chlorella vulgaris mengikuti model Baranyi & Robert (1994), dimana
arah pertumbuhannya dipengaruhi oleh konsentrasi awal sel mikroalga, keadaan
fisiologis dari inokulum yang digunakan, serta keadaan lingkungan pasca inokulasi.
Pada Gambar 1 dan 2 juga dapat dilihat bahwa periode fase lag berlangsung begitu
singkat. Hal ini telah sesuai dengan pendekatan model Baranyi & Robert (1994),
yang menyatakan bahwa tidak ada parameter independen untuk durasi fase lag jika
temperaturnya konstan sepanjang periode pertumbuhan. Pertumbuhan Chlorella
vulgaris yang memberikan respons cepat/beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan/medium tumbuh secara instan juga memberikan arti bahwa sel
mikroalga yang digunakan pada percobaan ini diinokulasi dari tahapan
eksponensial (Baranyi & Robert, 1994).
Pada hari ke-14 dan seterusnya, pertumbuhan biomassa basah dan kering
secara umum mengalami penurunan yang dapat disebabkan oleh penurunan jumlah
nutrisi dalam medium tumbuh sehingga sel Chlorella vulgaris memasuki fase
pertumbuhan stasioner hingga ke fase kematian. Namun, pada hari ke-21 hingga
hari ke-28, pertumbuhan biomassa basah mulai mengalami peningkatan kembali.
Hal ini bisa jadi disebabkan oleh proses degradasi dari sel Chlorella vulgaris yang
telah mati yang dapat dijadikan nutrisi bagi sel-sel mikroalga yang masih hidup.
Laju pertumbuhan spesifik (µ) untuk parameter biomassa basah dan kering
dapat ditentukan dari fase eksponensial pertumbuhan Chlorella vulgaris (antara
hari ke-0 dan hari ke-3,5), dan diperoleh nilai laju pertumbuhan spesifiknya secara
berturut-turut adalah 0,3036 hari-1 dan 0,2588 hari-1. Nilai doubling time (τ) untuk
parameter biomassa basah dan kering Chlorella vulgaris secara berturut-turut
adalah 2,2831 hari dan 2,6783 hari. Nilai laju pertumbuhan spesifik dan doubling
time yang diperoleh agak berbeda dengan literatur dari Mansouri (2017), yaitu
0,0309 hari-1 dan 22,4319 hari. Hal ini disebabkan karena penggunaan medium
tumbuh, tempat kultur, serta jumlah inokulum Chlorella vulgaris yang berbeda.
8
3.2 Hasil dan Pembahasan Kinetika Pertumbuhan Jumlah dan Kerapatan
Sel
Berdasarkan hasil yang didapat, kurva baku jumlah sel terhadap absorbansi
tidak linier naik. Kurva baku tersebut seharusnya linier naik disebabkan oleh
kenaikan densitas akibat dari kenaikan jumlah sel yang terkandung dalam kultur,
sehingga menyebabkan absorbansi meningkat. Hal ini mungkin terjadi karena
adanya organisme lain yang dapat hidup dalam kultur tersebut sehingga pada saat
perhitungan dengan menggunakan hemasitometer, organisme tersebut ikut
terhitung. Sementara pada kandungan dengan jumlah sel tinggi, ketika pada saat
diamati dengan mikroskop dan terjadi penumpukan sel dilakukan pengenceran
untuk mengurangi kepadatan. Pada saat pengenceran kemungkinan tidak dilakukan
pengocokan sehingga mempengaruhi hasil pengukuran. Pembuatan kurva baku
tersebut diambil dari beberapa botol kultur yang berbede-beda sehingga
menghasilkan pertumbuhan yang berbeda-beda diakibatkan oleh kondisi
lingkungan yang berbeda-beda dari setiap botol kultur. Data kurva baku jumlah sel
terhadap absorbansi dan kerapatan sel terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar
3.3 dan 3.4.
3,50E+08
3,00E+08
2,50E+08
2,00E+08
y = -3E+08x + 2E+08
1,50E+08 R² = 0,365
1,00E+08
5,00E+07
0,00E+00
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
9
1,5
1
0,5
0
Kerapatan Sel
-0,5 0 2 4 6 8 10
-1
-1,5
-2
-2,5
-3
-3,5
Waktu (hari)
Dari hasil optical density yang didapat selama 28 hari dengan interval waktu
3 hari sekali, terjadi penurunan pada hari ke-0 ke hari ke 3,5. Penurunan ini terjadi
akibat dari fase lag karena kultur C. vulgaris dipindahkan ke medium baru sehingga
terjadi adaptasi terhadap medium yang baru. Pada hari ke 3,5 sampai hari ke 10,5
terjadi penigkatan absorbansi disebabkan sel masuk ke fase eksponensial sehingga
jumlah sel bertambah akibat dari pembelahan sel yang terjadi. Pada hari 14 terjadi
penurunan yang signifikan dari hari 10,5, hal ini disebabkan karena terjadi
penguapan kandungan air pada kultur disebabkan oleh terpaparnya kultur dari sinar
matahari yang terik, sehingga mempengaruhi sel yang terkandung didalam kultur.
Pada hari 17,5 ke hari 21, terjadi peningkatan absorbansi C. vulgaris disebabkan
masih berlansungnya fase eksponensial pada C. vulgaris setelah ditambahkan air
mencapai volum 500 mL. Hari 24,5 sampai hari ke 28 terjadi penurunan absorbansi
disebabkan oleh fase stasioner dari C. vulgaris.
10
2017). Reaksi asidifikasi dengan penambahan HCL 1N dilakukan untuk
menghilangkan interferensi ion hidroksida atau ion karbonat diatas 1000 mg
CaCO3, serta tidak mempengaruhi hasil pengukuran nitrat itu sendiri. Sampel
dianalisis kandungan nitrat dengan pengukuran absorbansi spektrofotometer pada
λ=220 nm dan λ=275 nm. Pengukuran absorbandi pada λ=220 nm memungkinkan
penentuan konsentrasi secara cepat dan tepat. Namun, pada panjang gelombang ini
senyawa organik terlarut juga ikut terbaca. Oleh karenya, dilakukan pula
pengukuran pada λ=220 nm untuk mengoreksi kemungkinan interferensi senyawa
organik lain yang hanya bisa terbaca pada panjang gelombang ini. Delta absorbansi
yang diperoleh dengan mengurangkan absorbansi pada pada λ=220 nm dengan
absorbansi pada dan λ=275 nm dimasukkan dalam persamaan regresi kurva baku
nitrat sehingga didapat konsentrasi nitrat sampel (APHA, 1992). Pada Gambar 3.5
disajikan kurva konsentrasi nitrat yang terukur selama 28 hari pengamatan.
800
600
Konsentrasi (ppm)
400
200
0
0 3,5 7 10,5 14 17,5 21 24,5 28 31,5
-200
-400
Hari ke-
Gambar 3.5 Konsentrasi nitrat pada medium kultur Chlorella vulgaris selama 28
hari pengamatan
11
konsentrasi yang rendah, dan efeknya akan hilang setelah beberapa saat ketika
konsentrasi NO sudah menghilang. Selain itu, faktor lain yang memicu fenomena
ini adalah masih banyaknya nitrogen belum dalam bentuk nitrat, melainkan dalam
bentuk nitrit atau ammonia. Amonia adalah bentuk N yang lebih disukai oleh
organisme fotosintetik karena bentuknya yang tereduksi dan secara energetik
menguntungkan untuk asimilasi. Hal ini mengakibatkan adanya amonia
menyebabkan efek negtif pada asimilasi nitrat pada tingkat ranskripsi dan
postrankripsi terutama di tahap awal pertumbuhan sel (fase lag) (Luque et al.,
2015). Selain dari faktor dalam, faktor luar seperti prosedur percobaan juga
menyebabkan ketidakvalidan data yang didapat. Tingkat koreksi empiris terkait
dengan sifat dan konsentrasi bahan organik dan dapat bervariasi dari satu air ke
yang lain. Oleh karena itu, metode APHA untuk analisis konsentrasi nitrat, metode
ini tidak disarankan bagi larutan dengan konsentrasi senyawa organik yang tinggi
(APHA, 1992).
Setelah waktu pengamatan ke-2 (T3,5), konsentrasi nitat pada medium terus
berkurang secara signifikan, yang menandakan adanya asimilasi nitrat dari medium
kultur ke sel Chlorella vulgaris. Hal ini sejalan dengan kebutuhan mikroalga
terhadap nitrogen yang merupakan salah satu unsur makro yang sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena menyusun banyak komponen sel
seperti asam amino, protein, dan asam nukleat (Taiz dan Zeiger, 2010). Asimilasi
nitrat adalah proses kunci dalam akuisisi Nitrogen (N) pada mikroalga yang
diitegrasikan pada sistem metabolisme sel. Nitrat secara aktif ditranspor ke dalam
sel, kemudian direduksi menjadi nitri, lalu amonia oleh nitrit reduktase dan masuk
ke dalam jalur asam amino (Taziki et al., 2015). Terlihat penurunan konsentrasi
nitrat terbesar berdasarkan Gambar 3.5 adalah pada T10 sampai ke T13,5, yaitu ketika
sel mengalami fas eksponensial. Hasil ini sangat berkorelasi, di mana pada fase ini
sel Chlorella vulgaris sedang mengalami pertumbuhan sel paling cepat yang diikuti
pula dengan penyerapan nitrat yang lebih banyak (Nigam et al., 2011).
Di saat-saat terakhir menjelang percobaan berakhir, diperoleh nilai
absorbansi yang sangat kecil, diluar rentanng kurva baku. Selain itu, selisih
absorbansi yang didapat juga bernilai negatif. Hasil ini berdampak pada perolehan
12
konsentrasi nitrat yang negatif sehingga hasil pengukuran nitrat di waktu ini tidak
valid. Namun, hasil ini dapat digeneralisir bahwa konsentrasi nitrat saat T3,5 sampai
T28 sangatlah kecil sehingga tidak dapat terdeteksi dengan akurat oleh percobaan
yang dilakukan. Hal ini sekaligus menandakan adanya pengurangan konsentrasi
nitrat pada medium hingga [Nitrat≈0] akibat telah diserap oleh mikroalga. Hasil ini
sesuai dengan fase pertumbuhan pada waktu ini, dimana sel mulai mengalami fase
penurunan pertumbuhan dan fase stasioner, salah satu akibatnya ditimbulkan oleh
berkurangnya konsentrasi unsur makro pada medium tumbuh. Konsentrasi nirat
minimum yang mwndukung kultivasi Chlorella vulgaris berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Lourdes et al. (2017) adalah sebesar 22 ppm. Pada konsentrasi di
bawah ini, Chlorella menunjukkan gejala defisiensi. Studi ini mendukung hasil
percobaan, yaitu pada konsentrasi nitrat yang sanga kecil menyebabkan Chlorella
vulgaris mengalami pengurangan laju pertumbuhan hingga akhirnya memasuki
fase kematian.
3.4 Hasil dan Pembahasan Perolehan Produk Kultur Sel Chlorella vulgaris
Perolehan produk metabolit sekunder dari proses kultur Chlorella vulgaris
didapatkan dengan menghitung perolehan atau yield konsentrasi klorofil a, klorofil
b, dan karotenoid pada selang 3,5 hari selama 28 hari. Perhitungan yield dilakukan
dengan membandingkan perubahan konsentrasi metabolit sekunder dengan jumlah
substrat yang dikonsumsi. Untuk menghitung konsentrasi dari klorofil a, klorofil b,
dan karotenoid, sampel sel C. vulgaris diberi aseton dan diinkubasi selama satu
malam untuk mengekstrak produk dari sel. Aseton dapat mengekstrak klorofil
karena sifat klorofil yang polar dapat dilarutkan dengan pelarut aseton yang polar
juga. Penyimpanan dalam lemari es selama minimal satu malam dilakukan karena
kondisi tersebut lebih optimal untuk proses ekstraksi klorofil, dibanding dengan
kondisi kering namun tidak beku. Hasil ekstrak kemudian diabsorbansi dan dihitung
konsentrasinya menggunakan persamaan Lichtenthaler & Wellburn (1983). Dari
hasil perhitungan dan pengolahan data, dapat dilihat bahwa konsentrasi dari setiap
produk meningkat secara umum pada berjalannya percobaan, namun berosilasi dari
13
hari ke hari. Hal tersebut berpengaruh terhadap perolehan produk selama masa
percobaan.
6
5
Konsentrasi (mg/L)
4
3
2
1
0
0 5 10 15 20 25 30
-1
Hari ke-
1,5
1
% Yield
0,5
0
-2 3 8 13 18 23 28
-0,5
Hari ke-
Chl a Chl b Carotenoid
14
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi nitrat pada medium dari hari ke-0 hingga
hari ke-3,5, serta penurunan konsentrasi ketiga produk pada selang hari tersebut.
Penurunan dari produksi metabolit sekunder pada selang hari ini dapat terjadi
karena mikroalga sedang berada dalam fase pertumbuhan eksponensial, dimana
fokus dari organisme berada pada proses pertumbuhan primernya, dalam kasus ini
yaitu pertambahan jumlah sel pada media kultur (Peleg & Corradini, 2011). Saat
fase pertumbuhan eksponensial, metabolit primer merupakan fokus dan produk
utama yang dihasilkan oleh organisme, melainkan metabolit sekunder, yang
dihasilkan dalam jumlah yang sedikit (Taiz & Zeiger, 2002).
Perolehan produk metabolit sekunder menurun lagi dari hari ke-7 hingga
hari ke-10,5 dan secara perlahan bertambah hingga selesai waktu penelitian.
Perolehan mulai naik lagi dari hari ke-10,5 dan seterusnya dikarenakan konsentrasi
metabolit sekunder yang mulai naik juga. Peningkatan kadar metabolit sekunder di
mikroalga pada selang waktu ini dapat terjadi karena proses pertumbuhan utama
sudah mulai menurun sebab subtrat yang sudah sedikit dalam medium. Organisme
menghasilkan banyak produk metabolit sekunder pada fase stasioner (Morais et al,
2015). Namun dapat dilihat pada Gambar 3.6, bahwa perolehan maksimum terjadi
pada hari-hari terakhir, atau pada fase kematian. Dapat dilihat pada Gambar 3.2
bahwa tidak terbentuknya fase stasioner yang cukup jelas pada percobaan,
melainkan langsung munculnya fase kematian setelah fase linear. Hal tersebut dapat
menyebabkan sedikitnya peningkatan konsentrasi metabolit sekunder pada selang
hari ke-14 sampai hari ke-24,5 karena menurunnya produktivitas serta
terkumpulnya senyawa toksik yang menyebabkan sel untuk mati dan
mengeksresikan metabolitnya. Namun, pada akhir masa penelitian, dapat dilihat
bahwa konsentrasi ketiga metabolit seketika meningkat. Jika ditinjau dari grafik
pertumbuhannya pada Gambar 3.1, dilihat bahwa terjadi pertumbuhan kedua yang
disebabkan oleh bertambahnya nutrisi pada medium yang disebabkan oleh lisis sel
mati. Pertambahan tersebut juga mempengaruhi pertamabahan konsentrasi
metabolit pada sel sehingga perolehan dari hari ke-24,5 ke hari ke-28 meningkat.
Selain itu, hal tersebut mungkin dapat terjadi karena perhitungan konsentrasi
produk pada akhir masa penelitian melibatkan sel-sel yang mati juga. Pada fase
15
kematian, terjadi akumulasi senyawa toksik dan metabolit lainnya (Sathasivam,
2017) sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran absorbansi, alhasil
meningkatkan konsentrasi senyawa metabolit sekunder pada perhitungan.
Hasil percobaan menunjukan perolehan klorofil a yang sangat besar lalu
diikuti dengan klorofil b, lalu karotenoid. Dapat dilihat bahwa diawal percobaan,
konsentrasi paling tinggi ke rendah mengurut dari klorofil a, klorofil b, lalu
karotenoid. Klorofil merupakan pigmen yang produksinya bergantung pada level
nitrogen pada medium, dimana perolehan konesntrasi klorofil menurun dengan
menurunnya konsentrasi nitrat pada medium (Lichtenthaler, 1987). Berbeda dengan
karotenoid, dimana seharusnya konsentrasi karotenoid meningkat dengan
berkurangnya konsentrasi nitrat pada medium. Hal tersebut dapat terjadi karena
produksi radikal bebas dari mikroalga pada lingkungan dengan nitrogen yang
kurang cukup. Keberadaan radikal bebas dapat memicu mikroalga untuk
memproduksi karotenoid, yang memiliki sifat antioksidan, yang dapat melindungi
sel dari radikal bebas hingga menjaga stabilitas dari mikroalga (Jalal et al, 2013).
Dapat dilihat bahwa pada Gambar 3.7, perolehan karotenoid adalah perolehan yang
paling tinggi diantara ketiga pigmen pada hari ke 24,5. Jika mengacu pada Gambar
3.5, konsentrasi nitrat pada medium di hari paling rendah, maka sesuai dengan
literatur.
16
0,02
Perolehan Biomassa
0,015
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Laju pertumbuhan spesifik (µ) untuk parameter biomassa basah ditentukan
saat fase eksponensial pertumbuhan Chlorella vulgaris (antara hari ke-0 dan
hari ke-3,5), dan diperoleh nilai laju pertumbuhan spesifiknya secara
berturut-turut adalah 0,3036 hari-1 dan 0,2588 hari-1.
2. Nilai doubling time (τ) untuk parameter biomassa basah dan kering
Chlorella vulgaris secara berturut-turut adalah 2,2831 hari dan 2,6783 hari.
3. Konsentrasi klorofil a dalam rentang 3,5 hari selama 28 hari adalah 1,16;
1,17; 0,18; 0,59; 0,43; 1,54; 0,93; 1,63; dan 5,67 (g/ml). Konsentrasi klorofil
b dalam rentang 3,5 hari selama 28 hari adalah 0,85; 1,07; 0,27; 0,57; 1,77;
1,90; 0,98; 1,36; dan 1,38 (g/ml). Konsentrasi karotenoid dalam rentang 3,5
hari selama 28 hari adalah 0,38; 0,32; -0,00; 0,08; -0,21; -0,02; 0,02; -0,07;
dan 0,41 (g/ml)
4. Perolehan (yield) biomassa dan produk (klorofil a, klorofil b, dan
karotenoid) dari kultur sel Chlorella vulgaris berturut-turut adalah 0,97%;
0,11%; dan 0,006%.
4.2 Saran
Kultivasi sel Chlorella vulgaris sebaiknya dilakukan pada kondisi
pencahayaan yang dapat dikendalikan, agar didapat hasil yang lebih seragam dan
lebih maksimal. Percobaan yang dilakukan praktikan dilakukan dengan hanya
mengandalkan pencahayaan dari matahari yang sangat bervariasi besarnya dari tiap
pengamatan. Hal ini memungkinkan kondisi kultivasi kurang optimum. Selain itu,
perlu diperhatikan peletakan botol kultur. Sebaiknya, botol kultur tidak ditempatkan
pada daerah yang terkena terik matahari langsung, karena dapat mengakibatkan
penguapan air medium secara berlebih. Perlu dilakukan pengecekan secara berkala
18
terhadap volume air kultur agar kultur tidak sampai habis. Selama pengamatan,
pastikan bahwa selang aerator dalam keadaan yang tidak tersumbat. Kandungan
garam mineral pada medium dapat mengendap pada permukaan dalam selang yang
mengganggu proses aerasi. Hal ini dialami praktikan, yang mengakibatkan proses
aerasi terhambat, sehingga kutur tidak homogen, banyak mikroalga yang
mengendap di dasar tbotol kultur, dan ditemukan koagulasi sel mikroalga yang
sudah mati akibat kurangnya suplai udara utuk fotosintesis.
19
DAFTAR PUSTAKA
APHA. (1992). Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water,
18th ed. Washington, DC: American Public Health Association.
Baranyi, J. & Roberts, T. A. (1994). A Dynamic Approach to Predicting Bacterial
Growth in Food. International Journal of Food Microbiology, 23(3-4), 277-
294.
Barsanti, L., & Gualtieri, P., 2014. Algae Anatomy, Biochemistry, and
Biotechnology (2nd Edition). New York: CRC Press.
Hu, W., 2014. Dry Weight and Cell Density of Individual Algal and Cyanobacterial
Cells for Algae Research and Development. University of Missouri.
Columbia
Jalal, K., Shamsuddin, A., Rahman, M., Nurzatul, N., & Rozihan, M. (2013).
Growth and Total Carotenoid, Chlorophyll a and Chlorophyll b of Tropical
Microalgae (Isochrysis sp.) in Laboratory Cultured Conditions. Journal of
Biological Sciences,13(1), 10-17.
Kurniawati, P., Gusrianti, R., Dwisiwi, B.B., Purbaningtias, T.E., & Wiyntoko, B.
(2017). Verification of Spectrophotometric Method for Nitrate Analysis in
Water Samples.
Lichtenthaler, H. K. (1987). [34] Chlorophylls and carotenoids: Pigments of
photosynthetic biomembranes. Methods in Enzymology Plant Cell
Membranes,350-382.
Lourdes, F. M., Josefina, R., Ulises, M., & Alfredo, M. Tolerance and Nutrients
Consumption of Chlorella vulgaris Growing in Mineral Medium and Real
Wastewater Under Laboratory Conditions. Open Agriculture, 2(1) : 394-400.
Luque, E. S., Ampudia, A. C., Llamas, A., Galvan, A., & Fernandez E. (2015).
Understanding Nitrate Assimilation and Its Regulation in Microalgae.
Frontiers in Plant Science, 6(889) : 1-17.
Mansouri, M. (2017). Predictive Modeling of Biomass Production by Chlorella
Vulgaris in A Draft-Tube Airlift Photobioreactor. Advances in Environmental
Technology, 2(3), 119-126.
20
Morais, M. G., Vaz, B. D., Morais, E. G., & Costa, J. A. (2015). Biologically Active
Metabolites Synthesized by Microalgae. BioMed Research
International,2015, 1-15.
Nigam, S., Rai, M., & Sharma, R. (2011). Effect of Nitrogen on Growth and Lipid
Content of Chlorella pyrenoidosa. American Journal of Biochemistry and
Biotechnology, 7(3) : 124-129.
Peleg, M., & Corradini, M. G. (2011). Microbial Growth Curves: What the Models
Tell Us and What They Cannot. Critical Reviews in Food Science and
Nutrition,51(10), 917-945.
Sathasivam, R., Radhakrishnan, R., Hashem, A., & Abd_Allah, E. F. (2017).
Microalgae metabolites: A rich source for food and medicine. Saudi Journal
of Biological Sciences.
Taiz, L., & Zeiger, E. (2002). Plant Physiology, 3rd ed. Sunderland: Sinauer
Associates.
Taziki, M., Ahmadzadeh, H., & Murry, A. (2015). Growth of Chlorella vulgaris in
High Concentrations of Nitrate and Nitrite for Wastewater Treatment. Current
Biotechnology, 4(3) : 1-7.
Yao, Y., 2013. Development of an Algal Optical Density. Texas A&M University.
Texas.
21
LAMPIRAN
22
Lampiran A Cara Pengolahan Data
23
𝛥𝐴 = 𝐴. 220 − 𝐴. 275
Delta absorbansi yang didapat kemudian disubstitusikan pada persamaan
regresi linear berdasarkan kurva baku, yaitu:
y = 0,030x + 0,041
Nilai y diganti dengan nilai absorbansi yang didapat pada masing-masing
sampel, sehingga didapatkan nilai x yang menyatakan konsentrasi nitrat dalam
ppm. Delta absorbansi diperoleh dengan persamaan di atas. Pengukuran absorbansi
pada hari ke-0 memiliki nilai delta absrbansi sebagai berikut:
𝛥𝐴 = 𝐴. 220 − 𝐴. 275
= 0,3545 − 0,087
= 0,2675
Konsentrasi nitrat sampel didapat dengan mensubsitusikan delta
absorbansi sebagi nilai y pada persamaan regresi linear kurva baku nitrat, kemudian
dikalikan faktor pengenceran yang digunakan. Konsentrasi nitrat pada T0 sebagai
berikut:
y = 0,030x + 0,041
𝑦 − 0,041
𝑥= × 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
0,03
0,2675 − 0,041
𝑥 = × 50
0,03
𝑥 = 377,5
Cara yang sama digunakan untuk menghitung konsentrasi nitrat pada tiap
pengamatan sehingga diperoleh data pada Tabel A.3.
24
A.5 Cara Mengolah Data Konsentrasi Produk
Konsentrasi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Lichtenthaler & Wellburn (1983) seperti berikut:
𝐾𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑎 = 12.21 × 𝐴663 − 2.81 × 𝐴647
𝐾𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑏 = 20.13 × 𝐴647 − 5.03 × 𝐴663
1000 × 𝐴470 − 3.27 × 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑎 − 104 × 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑏
𝐾𝑎𝑟𝑜𝑡𝑒𝑛𝑜𝑖𝑑 =
229
Konsentrasi yang didapatkan dari pengolahan data absorbansi pada ekstrak
klorofil adalah dalam satuan mg/L. Data yang diperoleh disajikan pada Tabel A.6.
25
∆𝑋 = 𝑋𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑋𝑎𝑤𝑎𝑙
∆𝑆 = 𝑆𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑆𝑎𝑤𝑎𝑙
26
24,5 0,0017 0,098 -0,0963 50 -228,83
28 -0,0024 0,0095 -0,0119 50 -88,17
2.31E+08 0.073
2.98E+08 0.076
7.46E+07 0.102
1.69E+08 0.1208
1.04E+08 0.127
9.63E+07 0.1555
9.28E+07 0.167
1.24E+08 0.182
6.72E+07 0.285
6.27E+07 0.338
7.05E+07 0.343
5.70E+07 0.452
7.34E+07 0.495
9.40E+07 0.498
27
Tabel A.5 Jumlah Sel terhadap Waktu
0 1.7374 -3.2122
7 0.7719 -0.3157
14 0.3645 0.9065
21 0.7363 -0.2089
28 0.4364 0.6908
28
Tabel A.7 Perolehan produk terhadap waktu
Perolehan Produk (%)
Hari
Chl a Chl b Carotenoid
0 0 0 0
3.5 -0.0050 -0.0739 0.0239
7 1.7661 1.05548527 0.6951
10.5 -0.1447 0.5005 -0.0778
14 -0.1991 0.2533 -0.1636
17.5 0.1045 0.2892 -0.0889
21 -0.0498 0.0216 -0.0597
24.5 0.0775 0.0838 0.0970
28 0.9702 0.1137 0.0067
29
Lampiran B Data Mentah
B.1 Data Mentah Biomassa Basah Chlorella vulgaris
Waktu (hari ke-) Berat basah (gram)
0 0,1986
3,5 0,5747
7 0,5931
10,5 0,6956
14 0,8432
17,5 0,3222
21 0,0466
24,5 0,2551
28 0,4914
30
B.3 Data Mentah pH Medium Tumbuh Chlorella vulgaris
Waktu (hari ke-) pH
0 6,740
3,5 7,840
7 8,023
10,5 8,430
14 8,780
17,5 8,77
21 8,900
24,5 8,650
28 9,020
31
B.5 Data Mentah Absorbansi Nitrat Media Kultur Chlorella vulgaris
Absorbansi
Waktu Faktor
ΔA (A.220-
(hari) λ=220 nm λ=275 nm Pengenceran
A.275)
T0 0,3545 0,087 0,2675 50
T3,5 0,4824 0,035 0,4474 50
T7 0,4658 0,0336 0,4322 50
T10,5 0,3079 0,0072 0,3007 50
T14 0,0352 0,0046 0,0306 50
T17,5 0,0608 0,0126 0,0482 50
T21 0,0062 0,0104 -0,0042 50
T24,5 0,0017 0,098 -0,0963 50
T28 -0,0024 0,0095 -0,0119 50
32
B.7 Data Mentah Jumlah Sel Chlorella vulgaris
Faktor Pengenceran
Hari OD pengukuran
(x)
0 1.7374 0.0000
7 0.7719 5.0000
14 0.3645 5.0000
21 0.7363 5.0000
28 0.4364 10.0000
33
100.75 70 500 1.01E+06 7.05E+07 0.343
6
84 80 500 8.40E+05 6.72E+07 0.285
81.5 90 500 8.15E+05 7.34E+07 0.495
8
57 100 500 5.70E+05 5.70E+07 0.452
34