Anda di halaman 1dari 35

PRAKTIKUM LABORATORIUM REKAYASA HAYATI-I

Kinetika Pertumbuhan Sel Chlorella vulgaris

Oleh:
Kelompok 08
Ketua Kelompok :
Muhammad Ihsan Harjanto 11216040
Anggota Kelompok :
Ravelian Yulianto 11216034
Putu Wicaksana Adi Nugraha 11216036
Vania Larissa Rajagukguk 11216039

Dosen : Dr. Erly Mawarni


Khairul Hadi.B, S.T., M.T.
Asisten : Andreas Raden Caman
Tanggal Percobaan : 04 September – 02 Oktober 2018
Tanggal Pengumpulan : 16 Oktober 2018

LABORATORIUM REKAYASA HAYATI


PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI
SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
LEMBAR PENILAIAN DAN PENGESAHAN

Komponen Nilai Maksimal Nilai


Judul dan 10
Pendahuluan
Metodologi 20
Hasil dan 50
Pembahasan
Simpulan dan 10
Saran
Format 10
Total 100

Laporan Praktikum Modul (Biokonversi Bahan Tumbuhan Menjadi Bioetanol


oleh Ragi Saccharomyces cerevisiae) sebagai syarat untuk memenuhi
rangkaian Praktikum Laboratorium Rekayasa Hayati-I dalam menempuh studi
tingkat sarjana di Program Studi Rekayasa Hayati Institut Teknologi Bandung

Jatinangor, 16 Oktober 2018


Diperiksa oleh,
Asisten Praktikum

Andreas Raden Caman


NIM. 11215004
Mengetahui dan menyetujui,
Dosen Pengampu Dosen Pengampu

Dr. Erly Mawarni Khairul Hadi.B, S.T., M.T.


NIP. 196210051988022001 Nopeg. 11811064
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... iv

RINGKASAN ......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Teori Dasar ........................................................................................ 1

1.2 Tujuan ................................................................................................ 1

BAB II METODOLOGI ......................................................................................... 2

2.1 Alat dan Bahan................................................................................... 2

2.2 Langkah Kerja.................................................................................... 3

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 5

3.1 Pertumbuhan Biomassa Sel Chlorella vulgaris ................................. 5

3.2 Pertumbuhan Jumlah Sel Chlorella vulgaris ..................................... 7

3.3 Konsentrasi Nitrat pada Medium ....................................................... 9

3.4 Kandungan Metabolit Sekunder pada Chlorella vulgaris ............... 11

BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 14

4.1 Kesimpulan ...................................................................................... 14

4.2 Saran ................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

LAMPIRAN .......................................................................................................... 17

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rangkaian alat .................................................................................... 3


Gambar 3.1 Grafik pertumbuhan berat basah kultur C. vulgaris terhadap waktu . 5
Gambar 3.2 Grafik pertumbuhan berat kering kultur C. vulgaris terhadap waktu 5
Gambar 3.3 Grafik pertumbuhan jumlah sel kultur C. vulgaris terhadap waktu ... 7
Gambar 3.4 Grafik perubahan konsentrasi nitrat pada medium terhadap waktu . 10
Gambar 3.5 Grafik perubahan konsentrasi metabolit sekunder pada Chlorella
vulgaris terhadap waktu ................................................................... 12

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Alat dan bahan pada percobaan............................................................. 2

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Cara Pengolahan Data ...................................................................... 18


Lampiran B Data Mentah ...................................................................................... 22

iv
RINGKASAN

Pengukuran pertumbuhan alga uniseluler seperti Chlorella vulgaris dapat


ditentukan dengan mengukur jumlah sel Chlorella tersebut menggunakan
hemasitometer serta perbandingan optical density. Selain jumlah sel, berat basah
dan berat kering ditentukan dan data pengukuran diplot dalam bentuk kurva
sigmoid. Hasil dari kuantifikasi kurva menghasilkan data laju pertumbuhan spesifik
sebesar 0,08 gram/hari dan 0,076 sel/hari serta doubling time sebesar 8,6 hari untuk
pertumbuhan biomassa dan 9,1 hari untuk pertumbuhan jumlah sel. Selain massa
dan jumlah sel, tingkat perubahan nitrat, konsentrasi klorofil dan karetenoid juga
ditentukan untuk merepresentasikan proses metabolisme yang terjadi dalam sel
Chlorella vulgaris. Perolehan biomassa ditentukan melalui perubahan konsentrasi
nitrat pada medium. Perolehan biomassa didapatkan sebesar 0,54%. Metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh Chlorella vulgaris meliputi klorofil a, klorofil b, dan
karotenoid. Perolehan ketiga metabolit sekunder tersebut adalah 0,22% untuk
klorofil a, 0,10% untuk klorofil b, dan 0,07% untuk karotenoid. Pertumbuhan
biomassa dan jumlah sel tidak menunjukkan fase-fase yang ada pada kurva tumbuh
umum. Hal ini disebabkan rentang waktu pengambilan data yang terlalu jauh .
Selain itu, data perubahan konsentrasi metabolit sekunder tidak sesuai dengan
literature salah satunya disebabkan oleh karena faktor pengenceran dan penguapan
air pada medium kultur.

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Teori Dasar


Chlorella vulgaris adalah salah satu jenis alga hijau bersel satu. Selnya
berdiri sendiri dengan berbentuk bulat atau bulat telur dengan diameter 3 –8 mikron,
memiliki kloroplas berbentuk seperti cawan dan dindingnya keras. Bewarna hijau
cerah dan hidup dilingkungan perairan (Afandi, 2003).
Chlorella vulgaris memiliki pertumbuhan yang tinggi dalam waktu
singkat. Karena merupakan organisme uniseluler, pertumbuhan Chlorella dapat
ditentukan dari jumlah sel dan biomassa. Pertumbuhan Chlorella vulgaris yang
dikultur sangat ditentukan oleh ketersediaan nutrien dan kondisi lingkungan. Faktor
pembatas dalam budidaya Chlorella vulgaris adalah nitrat dan fosfat. Pengukuran
kadar nitrat dapat merepresentasikan konsumsi nitrat. C. vulgaris memiliki
metabolit berupa klorofil, karetenoid dan xantofil (Sylvester et al. 2002).
Pada pengukuran pertumbuhan C. vulgaris, data pertumbuhan akan
membentuk kurva sigmoid jika diplot dalam grafik. Kurva sigmoid berbentuk huruf
S dengan enam fase pertumbuhan yakni fase lag, fase eksponensial, fase linear, fase
penurunan, fase stasioner dan fase kematian. Pada penentuan laju pertumbuhan,
nilai laju pertumbuhan dapat diukur dari tingkat kemiringan kurva saat fase linier.
Selain mengetahui laju pertumbuhan, dari data tersebut dapat juga ditentukan
doubling time. Doubling time merupakan waktu yang dibutuhkan untuk sel menjadi
dua kali dari jumlah awalnya (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995)

1.2 Tujuan
Percobaan ini menggunakan mikroalga Chlorella vulgaris dengan tujuan
sebagai berikut.
1. Mengukur laju pertumbuhan spesifik (µ) kultur Chlorella vulgaris.
2. Mengukur doubling time kultur Chlorella vulgaris.
3. Mengukur perolehan biomassa (yield) kultur Chlorella vulgaris.
4. Mengukur perolehan metabolit klorofil a, klorofil b, dan karetenoid C. vulgaris

1
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini ditunjukkan pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Alat dan bahan pada percobaan
Alat Bahan
Botol semprot (1 buah) Aquades (8 liter)
Corong (1 buah) HCl 1 N (1,4 ml)
Gelas kimia 1L (1 buah) Aseton (140 mL)
Vortex (1 buah) KNO3 (1000 mg)
Gelas ukur 10 mL (1 buah) KH2PO4 (720 mg)
Gelas ukur 500 mL (1 buah) Na2HPO4 (260 mg)
Mikropipet 1 mL (1 buah) CaCl2.2H2O (13)
Pipet tetes (1 buah) FeEDTA (10 mg)
Sentrifuga (1 buah) MgSO4.7H2O (50 mg)
Spatula (1 buah) MnCL2.4H2O (12,98 mg)
Botol kultur 1L (1 buah) CuSO4.5H2O (1,83 mg)
Spektrofotometer (1 buah) Larutan buffer (30 ml)
Tabung falcon (15 buah) Tissu (1 gulungan)
Tabung reaksi (4 buah) Sukrosa ( 8 mg)
Timbangan (1 buah) Alkohol 70% (10 ml)
Sonikator (1 buah)
Aerator (1 buah)
Lux Meter (1 buah)
Kuvet (2 buah)
Gelas objek (1buah)
Haemasitometer (1 buah)
Mikroskop (1 buah)

2
Botol kultur

Grid
Aerator Counting chamber

Gambar 2.1 Sistem Kultur Gambar 2.2 Haemacytometer


Chlorelaa
2.2 Langkah Kerja
2.2.1 Proses Perhitungan Biomassa Chlorella vulgaris

2.2.2 Pengukuran nitrat

3
2.2.3 Pengukuran Klorofil dan Karotenoid

2.2.4 Penghitungan Sel dengan Haemasitometer

4
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pertumbuhan Biomassa Sel Chlorella Vulgaris


Pertumbuhan Chlorella yang diukur melalui perolehan biomassa basah
(fresh weight) dan biomassa kering (dry weight) dilakukan selama 28 hari.
0,6

0,5

0,4
Massa (gram)

0,3

0,2

0,1

0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)

Gambar 3.1 Grafik pertumbuhan berat basah kultur C. vulgaris terhadap waktu

0,07

0,06

0,05
Massa (gram)

0,04

0,03

0,02

0,01

0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)

Gambar 3.2 Grafik pertumbuhan berat kering kultur C. vulgaris terhadap waktu

5
Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 menunjukkan pertumbuhan biomassa kultur
Chlorella vulgaris terhadap waktu. Sesuai dengan literatur dari Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995), grafik pertumbuhan Chlorella membentuk kurva sigmoid.
Fase-fase dari tiap pertumbuhan pada kurva biomassa basah dan kering
menunjukan hasil yang sama. Pada waktu T0-T3.5 terjadi fase Lag, yakni proses
adaptasi Chlorella yang ditunjukan adanya peningkatan biomassa walaupun tidak
signifikan. Fase selanjutnya eksponensial yang ditunjukan dari rentang waktu T3.5-
T21, ditandai dengan adanya pertambahan jumlah biomassa yang terus meningkat.
Pada T21-T24.5 terjadi fase linear dengan tingkat pertumbuhan maksimum dan
selanjutnya memasuki fase kematian dari T24.5-T28.
Pada grafik sigmoid yang terdapat pada literatur, perbedaan tiap fase
terlihat dengan jelas namun pada percobaan ini perbedaan tiap fase sukar
dibedakan. Pada fase lag dan eksponensial serta fase linear tidak terjadi perbedaan
yang signifikan sehingga batas antara ketiga fase sulit ditentukan. Hal ini dapat
dijelaskan dengan pernyataan yang disebutkan oleh Prihantini et al. pada tahun
2005 yang menyebutkan fase adaptasi akan menjadi lebih singkat atau bahkan tidak
terlihat apabila sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam
fase eksponensial. Sedangkan pada pernyataan lain disebutkan bahwa Chlorella
vulgaris memiliki daya adaptasi yang cepat terhadap lingkungan kultur yang baru
sehingga menunjukkan daya adaptasi yang cukup singkat dan langsung tumbuh
dengan cepat dan mudah pada saat dikulturkan (Sutomo, 2005). Karena telah
memasuki fase eksponensial maka pertumbuhan maksimum pada Chlorella sebagai
tanda memasuki fase linear tidak terlihat dengan jelas. Walaupun demikian fase
linear dapat ditentukan dengan mencari nilai laju spesifik pada tiap rentang waktu.
Nilai laju pertumbuhan terbesar yang menandai fase linear terdapat pada rentang
waktu T21-T24.5 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik sebesar 0.08 gram/hari.
Dari nilai laju tersebut dapat ditentukan doubling time Chlorella vulgaris yakni
sebesar 8.6 hari.
Selanjutnya setelah fase linear pada kurva pertumbuhan langsung
memasuki fase kematian. Kurva sigmoid yang ideal yakni menunjukan fase

6
perlambatan, fase stasioner, lalu fase kematian. Hal ini dapat dijelaskan karena pada
pertumbuhan Chlorella vulgaris pada percobaan tingkat pertumbuhan yang cukup
tinggi mengakibatkan nutrien yang digunakan sebagai substrat metabolisme lebih
cepat menurun dan terakumulasinya produk metabolit sekunder lebih tinggi.
Kurangnya nutrien dan tingginya tingkat toksiksitas pada produk metabolit
menjadikan sel Chlorella memasuki fase kematian dengan cepat (Sumarlinah,
2000). Sehingga pada grafik fase penurunan dan pertumbuhan kurang terlihat
dengan jelas. Faktor lain yang menjelaskan tidak terlihatnya fase penurunan dan
fase stasioner adalah karena waktu pengamatan yang relatif singkat dan rentang
pengambilan data yang terlalu jauh. Dengan mengasumsikan fase kematian adalah
fase penurunan maka fase-fase selanjutnya tidak terlihat dikarenakan batas waktu
percobaan

3.2 Pertumbuhan Jumlah Sel Chlorella Vulgaris


Perhitungan jumlah sel dari absorbansi dilakukan tiap 3,5 hari sekali
dengan spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah 680 nm
untuk menentukan optical density.
40.000

35.000

30.000
Jumlah sel (x10^6)

25.000

20.000

15.000

10.000

5.000

0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)

Gambar 3.3 Grafik pertumbuhan jumlah sel Chlorella vulgaris terhadap waktu

7
Gambar 3.3 menunjukkan pertambahan jumlah sel per harinya, dari grafik
tersebut dapat dilihat secara garis besar terjadi peningkataan kerapatan sel dari T0
hingga T24,5, kemudian mengalami penurunan pada T28. Namun pada T7 terjadi
penurunan hingga T10,5 hal ini dikarenakan adanya penambahan air untuk
menanggulangi penguapan air medium yang terjadi sebelumnya, hal ini
mengakibatkan penurunan konsentrasi sel sehingga absorbansi pun ikut menurun.
Kurva baku yang digunakan tidak berdasarkan data yang diambil oleh kelas karena
R2 dari kurva baku tersebut tidak mencapai 0,9 sehingga digunakan kurva baku
untuk menentukan jumlah sel terhadap absorbansi dari Chiu et al (2008).
Perkembangbiakan Chlorella sp. menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995) terbagi menjadi beberapa fase, fase lag (fase istirahat), fase logaritmik (fase
eksponensial), fase deakselerasi, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag adalah
fase ketika sel baru diadaptasikan dengan medium kultur, pada fase ini metabolisme
sudah berjalan tetapi pembelahan sel belum terjadi, namun fase ini tidak terlihat
pada grafik yang diperoleh. Fase logaritmik dimulai dengn pembelahan sel dengan
laju pertumbuhan yang meningkat secara intensif, menurut Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995) fase ini dapat dicapai dalam waktu 5-7 hari. Fase penurunan laju
pertumbuhan, fase ini adalah ketika kultur Chlorella sp. mengalami penurunan
jumlah, fase ini dapat dilihat pada grafik hari T24,5. Fase selanjutnya adalah fase
stasioner, pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama sehingga
kepadatan akan relatif tetap (stasioner), namun fase ini tidak terlihat pada grafik
jumlah sel yang telah diperoleh. Terakhir adalah fase kematian, fase ini ditandai
dengan laju kematian yang lebih besar dibandingkan dengan laju reproduksi
sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik seperti pada grafik
T28. Pertumbuhan tertinggi terjadi diantara T21 dan T24,5 sehingga dapat
ditentukan laju rata – rata pertumbuhan jumlah sel berdasarkan perhitungan dan
diperoleh sebesar 0,076 sel hari-1. Dari nilai laju pertumbuhan jumlah sel,
didapatkan nilai doubling time sebesar 9,1 hari.
Apabila grafik kerapatan sel ini dibandingkan dengan grafik pertambahan
biomassa, kedua grafik ini sama – sama menunjukkan jika kultur mengalami
pertumbuhan. Sehingga dapat diketahui selain jumlah sel bertambah, terjadi pula

8
penambahan massa sel selama fase pertumbuhan, dari T0 hingga T24,5. Bentuk
grafik pertambahan jumlah sel sedikit berbeda dengan grafik pertambahan
biomassa. Seperti pada T7 yang mengalami penurunan hingga T10,5 pada grafik
jumlah sel. Hal ini tidak terjadi pada grafik biomassa yang dikarenakan
penambahan air atau berkurangnya kerapatan sel tidak akan mengubah biomassa
sel. Perbedaan dengan grafik pertumbuhan sel pada umumnya seperti terdapat fase
log/eksponensial yang pertumbuhannya sangat terlihat atau meningkat dengan
pesat, sedangkan grafik pertambahan jumlah sel yang diperoleh kurang
menunjukkan fase ini. Perbedaan antar grafik jumlah sel dengan biomassa terlihat
jelas dari besar kecilnya kenaikan dan penurunan dari grafik tersebut, atau kenaikan
jumlah sel tidak diikuti dengan pertambahan biomassa. Hal tersebut dapat
dikarenakan ukuran sel yang berbeda-beda, sehingga biomassa nya tidak
sepenuhnya sama.

3.3 Konsentrasi Nitrat pada Medium


Pertumbuhan Chlorella vulgaris sangat dipengaruhi oleh kandungan
nutrien dalam medium kulturnya. Salah satu nutrien penting tersebut adalah
nitrogen. Nitrogen digunakan Chlorella vulgaris untuk membentuk protein, asam
amino, klorofil dan metabolit lainnya. Sumber nitrogen bisa bermacam-macam,
yaitu urea, nitrat atau ammonia (Kong et al., 2011).
Medium kultur Chlorella vulgaris mengadung ion nitrat sebagai sumber
nitrogen. Penyerapan nitrat oleh Chlorella vulgaris diamati melalui penurunan
kadar nitrat pada medium. Pengujian kadar nitrat dilakukan dengan mengambil 10
ml sampel kultur Chlorella vulgaris, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 5000
rpm selama 10 menit. Sentrifugasi akan memisahkan sel-sel Chlorella vulgaris dari
larutan mediumnya yang berupa supernatan. Sebanyak 5 ml supernatan diambil dan
ditambahkan dengan 0,1 ml HCl 1N.
Penambahan HCl tidak memberikan efek terhadap pengukuran nitrat.
Penambahan ini ditujukan untuk mengoksidasi CaCO3. Ion karbonat ini dapat
mengganggu proses pengukuran absorbansi. Ion karbonat akan dioksidasi menjadi
CO2, H2O dan CaCl2. Larutan diinkubasi selama 10 menit, sehingga proses

9
oksidasi dapat berjalan. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 275
nm dan 220 nm. Tujuan pengukuran absorbansi adalah λ=220 nm untuk mengukur
konsentrasi senyawa organik termasuk nitrat, sedangkan λ=270 nm mengukur
konsentrasi senyawa organik. Jadi, konsentrasi nitrat dapat dihitung dengan
mengurangkan konsentrasi saat λ=220 nm dengan λ=270 nm (Hoather,R.C &
Rackham, R.F., 1959).
25,0

20,0
Konsentrasi Nitrat (mg/L)

15,0

10,0

5,0

0,0
T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)

Gambar 3.4 Grafik perubahan konsentrasi nitrat pada medium terhadap waktu

Konsentrasi nitrat diplotkan terhadap waktu dan dapat dilihat pada Gambar
3.4. Data hari ke-0 hingga 10,5 kosong dikarenakan kesalahan pengambilan data.
Nilai absorbansi yang didapat diatas 3, sehingga nilai tidak dapat dicari
menggunakan kurva baku. Data konsentrasi nitrat pada hari ke-17,5 mengalami
kenaikan dan mengalami penurunan yang sangat drastis pada hari ke 24,5. Persen
yield biomassa ditentukan berdasarkan perubahan konsentrasi nitrat pada medium
dan didapatkan persen yield biomassa sebesar 0,54%.
Kenaikan konsentrasi nitrat dapat disebabkan kematian Chlorella vulgaris.
Kematian sel menyebabkan komponen-komponen sel menyebar dalam medium
kultur, termasuk sitosin. Sitosin adalah senyawa penyusun inti sel Chlorella
vulgaris. Sitosin dapat menyerap panjang gelombang UV 270 nm. Hal ini
menyebabkan konsentrasi yang terukur pada panjang gelombang 270 nm semakin

10
besar. Hal ini menyebabkan hasil pengukuran nitrat semakin besar (Avagyan, A.,
et al., 2014).
Kematian sel dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang baik bagi Chlorella vulgaris adalah 1000
lux. Intensitas cahaya dibawah menyebabkan metabolisme sel terganggu. Intensitas
yang terlalu rendah bahkan menyebabkan kematian sel (Daniati, R., et al.,2012)
Waktu berikutnya, konsentrasi nitrat mengalami penurunan drastis. Ini
berkorelasi dengan grafik pertumbuhan Chlorella vulgaris yang menunjukkan
kenaikan. Kenaikan mengindikasikan adanya pembentukan sel-sel yang baru,
sehingga nitrat kembali mengalami penurunan konsentrasi. Penurunan konsentrasi
disebabkan penyerapan nitrat yang dilakukan oleh sel-sel Chlorella vulgaris yang
baru terbentuk (Kong, W., et al., 2011).

3.4 Kandungan Metabolit Sekunder pada Chlorella vulgaris


Ekstraksi metabolit sekunder dari kultur C. vulgaris dilakukan
menggunakan pelarut organik berupa aseton. Kultur disentrifuga kemudian
peletnya diberi aseton lalu dibuat homogen dan disimpan selama satu malam.
Fungsi aseton adalah untuk melarutkan klorofil yang terdapat pada kultur. Setelah
disimpan selama satu malam, campuran dimasukkan ke dalam sonikator untuk
menghancurkan dinding sel menggunakan gelombang ultrasonik sehingga klorofil
lebih mudah terikat dengan aseton. Campuran ini kemudian disentrifuga dan
supernatannya diambil untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 663
nm, 647 nm, dan 470 nm. Panjang gelombang 663 nm dan 647 nm mewakili
panjang gelombang warna merah yang diserap secara maksimum oleh klorofil,
sedangkan panjang gelombang 470 nm mewakili panjang gelombang warna merah.
Konsentrasi klorofil dan karotenoid kemudian ditentukan dari nilai absorbansi
supernatan terhadap ketiga panjang gelombang tersebut menggunakan rumus
Lichtenthaler. (Lichtenthaler & Buschmann, 1987).

11
5,0

Konsentras Metabolit Sekunder (mg/L) 4,0

3,0

2,0 Klorofil a
Klorofil b
1,0
Karotenoid
0,0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
-1,0

-2,0
Waktu (Hari)

Gambar 3.5 Grafik perubahan konsentrasi metabolit sekunder pada Chlorella


vulgaris terhadap waktu

Gambar 3.5 menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil a, klorofi b, dan


karotenoid berosilasi dan tidak menunjukkan tren yang tetap. Hal ini diakibatkan
oleh volume kultur yang berubah akibat pengenceran dan penguapan air.
Pengukuran konsentrasi sangat bergantung pada jumlah volume sehingga
pengukuran konsentrasi sebelum pengenceran dan sesudah pengenceran akan
berbeda. Konsentrasi pada volume yang lebih kecil akan lebih tinggi daripada
volume yang lebih besar, walaupun jumlah metabolit sekunder sebenarnya sama.
Selain dari segi pengenceran dan penguapan, faktor yang dapat
memengaruhi konsentrasi dari metabolit sekunder adalah produksi metabolit
sekunder. Produksi metabolit sekunder, khususnya klorofil, dipengaruhi juga oleh
intensitas cahaya matahari yang diterima. Intensitas cahaya terbaik untuk
pertumbuhan Chlorella vulgaris adalah pada intensitas 7290 lux (Gong et al, 2014).
Intensitas cahaya ini dapat meningkatkan proses fotosintesis dan meningkatkan
produksi metabolit sekunder berupa klorofil dan karotenoid. Prekursor klorofil
bernama photochlorophyllide dirubah menjadi klorofil a menggunakan bantuan
cahaya sehingga cahaya sangat berperan dalam produksi klorofil (Wettsein et al,
1995). Intensitas cahaya pada saat percobaan berubah-ubah namun tidak pernah

12
mencapai 7290 lux. Hal ini menyebabkan produksi klorofil akan terganggu
sehingga terjadi osilasi pada jumlah klorofil yang dihasilkan.
Peningkatan konsentrasi klorofil b terjadi secara signifikan pada hari ke-
10,5 sedangkan konsentrasi klorofil a menurun secara drastis pada hari yang sama.
Hal ini dapat disebabkan oleh terganggunya proses konversi klorofil a menjadi
klorofil b karena faktor mutasi senyawa LHCII yang berperan dalam konversi
klorofil a menjadi klorofil b. Mutasi ini dapat menyebabkan klorofil a terus
dikonversi menjadi klorofil b sedangkan produksi klorofil a tidak meningkat
(Wettsein et al, 1995). Namun, jika tidak menghiraukan data pencilan tersebut,
produksi klorofil menunjukkan tren yang meningkat. Hal ini sesuai dengan
konsentrasi nitrat yang menunjukkan tren yang menurun. Konsumsi nitrat pada
kultur sangat berpengaruh pada produksi klorofil karena nitrogen merupakan salah
satu unsur utama pembentuk klorofil (Wettsein et al, 1995).
Konsentrasi karotenoid yang bernilai negatif dikarenakan rumus
perhitungan yang bergantung kepada konsentrasi klorofil a dan klorofil b. Ketika
data konsentrasi klorofil a dan klorofil b tidak sesuai, perhitungan konsentrasi
karotenoid akan menjadi tidak sesuai sehingga dapat menunjukkan nilai yang
negatif. Jika dilihat dari trennya, perubahan konsentrasi karotenoid berbanding
terbalik dengan perubahan konsentrasi nitrat pada medium. Hal ini sesuai karena
konsumsi nitrat akan berbanding lurus dengan produksi karotenoid.
Persen yield dari klorofil yang diproduksi oleh Chlorella vulgaris sebesar
0,22% untuk klorofil a dan 0,10% untuk klorofil b. Sedangkan persen yield untuk
karotenoid sebesar 0,07%. Akumulasi yield klorofil a, klorofil b, dan karotenoid
tidak mencapai nilai 1%. Hal ini tidak sesuai dengan persen yield menurut Safi, dkk
(2014) yang menunjukkan yield sebesar 1-2% untuk ketiga senyawa tersebut. Nilai
yield yang kecil ini dapat disebabkan oleh proses ekstraksi senyawa metabolit
sekunder yang kurang sempurna. Senyawa metabolit sekunder masih terdapat di
dalam sel sehingga tidak semuanya terlarut dalam aseton dan terukur saat
pengukuran absorbansi. Selain itu, faktor intensitas cahaya sangat berpengaruh
seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan Kinetika Tumbuh Sel Chlorella vulgaris
adalah sebagai berikut.
1. Laju pertumbuhan spesifik Chlorella vulgaris dari pertumbuhan biomassa
adalah 0,08 gram/hari sedangkan laju pertumbuhan spesifik dari
pertumbuhan jumlah sel adalah 0,076 sel/hari.
2. Doubling time kultur Chlorella vulgaris dari pertumbuhan biomassa adalah
8.6 hari sedangkan doubling time dari pertumbuhan jumlah sel adalah 9.1
hari.
3. Perolehan biomassa dari Chlorella vulgaris adalah sebesar 0,54%.
4. Perolehan metabolit klorofil a, klorofil b, dan karetenoid dari Chlorella
vulgaris adalah sebesar 0,22%, 0,10%, dan 0,07% secara berturut-turut.

4.2 Saran
Saran untuk percobaan Kinetika Tumbuh Sel Chlorella vulgaris adalah
sebagai berikut..
1. Faktor pengenceran dan penguapan medium kultur lebih diperjelas
kuantifikasinya sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengolahan data,
2. Kurva baku untuk hemasitometer mengasumsikan bahwa laju pertumbuhan
kultur tiap kelompok sama, sebaiknya kurva baku hemasitometer
menggunakan data dari kelompok masing-masing dengan jumlah variasi
yang lebih sedikit namun lebih representatif terhadap laju pertumbuhan
kultur

14
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Y. V. (2003). Uji Penurunan Kandungan Nitrat dan Fosfat oleh Alga Hijau
(Chlorella sp) secara Kontinyu. Jurusan Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Avagyan, A., Runkle, B. R., & Kutzbach, L. (2014). Application of high-resolution
spectral absorbance measurements to determine dissolved organic carbon
concentration in remote areas. Journal of hydrology, 517, 435-446.
Chiu, S. Y., Kao, C. Y., Chen, C. H., Kuan, T. C., Ong, S. C., & Lin, C. S. (2008).
Reduction of CO2 by a high-density culture of Chlorella sp. in a
semicontinuous photobioreactor. Bioresource technology, 99(9), 3389-
3396.
Daniyati, R., Yudoyono, G., & Rubiyanto, A. (2012). Desain Closed
Photobioreaktor Chlorella Vulgaris Sebagai Mitigasi Emisi CO2. Jurnal
Sains dan Seni ITS, 1(1), B1-B5.
Gong, Q., Feng, Y., Kang, L., Luo, M., & Yang, J. (2014). Effects of light and pH
on cell density of Chlorella Vulgaris. Energy Procedia, 61, 2012-2015.
Hoather, R. C., & Rackham, R. F. (1959). Oxidised nitrogen in waters and sewage
effluents observed by ultra-violet spectrophotometry. Analyst, 84(1002),
548-551.
Isnansetyo, A., & Kurniastuty, E. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Kong, W., Song, H., Cao, Y., Yang, H., Hua, S., & Xia, C. (2011). The
characteristics of biomass production, lipid accumulation and chlorophyll
biosynthesis of Chlorella vulgaris under mixotrophic cultivation. African
Journal of Biotechnology, 10(55), 11620-11630.
Lichtenthaler, H. K., & Buschmann, C. (1987). Chlorophylls and carotenoids:
measurement UNIT F4. 3 and characterization by UV-VIS
spectroscopy. Curr. Protoc. Food Anal. Chem, 4, 3-1.

15
Prihantini, N. B., Putri, B., & Yuniati, R. (2010). Pertumbuhan Chlorella spp. dalam
medium ekstrak tauge (Met) dengan Variasi pH Awal. Makara Journal of
Science.
Safi, C., Zebib, B., Merah, O., Pontalier, P. Y., & Vaca-Garcia, C. (2014).
Morphology, composition, production, processing and applications of
Chlorella vulgaris: a review. Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 35, 265-278.
Sutomo. (2005). Kultur Tiga Jenis Mikroalga ( Tetraselmis sp., Chlorella sp.dan
Chaetoceros gracilis) dan Pemgaruh Kepadatan Awal Terhadap
Pertumbuhan C. Gracilis di Laboratorium.Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia. No. 37 :43-58. Pusat Penelitian Oseanografi.
Sumarlinah. (2000). Hubungan Komunitas Fitoplankton dan Unsur Hara N dan P
di Danau Sunter Selatan, Jakarta Utara.Skripsi. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sylvester B, Nelvy D, Sudjiharno. (2002). Persyaratan budidaya fitoplankton.
Budidaya Fitoplankton & Zooplankton 10:24-36
Tetelepta, L. (2011). Pertumbuhan Kultur Chlorella sp Skala Laboratorium Pada
Beberapa Tingkat Kepadatan . Jurnal Pengembangan Pulau-Pulau Kecil
2011 -ISBN, (978-602-98439-2-7), Halaman 198–202
Von Wettstein, D., Gough, S., & Kannangara, C. G. (1995). Chlorophyll
biosynthesis. The Plant Cell, 7(7), 1039.

16
LAMPIRAN

17
Lampiran A Cara Pengolahan Data

A.1 Pengolahan Data Berat Basah dan Berat Kering


Perhitungan berat basah dan berat kering diulangi 4 kali (quadruplo). Nilai
berat basah dan berat kering dapat dilihat pada tabel B.1. Berat basah dan kering
rata-rat dapat dicari dengan persamaan berikut.
1
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 𝑛 × ∑𝑛𝑖=1 𝑊𝑖 (A.1)

Wi adalah berat basah atau berat kering sampel, dan n adalah banyak
pengulangan. Nilai n untuk kasus ini adalah 4. Contoh perhitungan dilakukan pada
data berat basah hari ke-0 (T0).
1
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = × (0,026 + 0,055 + 0,013 + 0,031) = 0,125 𝑔
4

Perhitungan untuk berat kering dilakukan dengan cara yang sama. Metode
ini diterapkan untuk seluruh data pada variasi waktu. FW adalah fresh weight (berat
basah) dan DW adalah dry weight (berat kering). Hasil perhitungan dapat dilihat
dalam tabel A.1
Tabel A.1 Berat basah dan kering rata-rata setiap waktu
FW Rata-rata
Waktu DW Rata-rata (g)
(g)
T0 0.125 1.75×10-2
T3,5 0.155 1.934×10-2
T7 0.205 2.563×10-2
T10 0.241 3.016×10-2
T14 0.270 3.374×10-2
T17,5 0.312 3.894×10-2
T21 0.383 4.788×10-2
T24,5 0.507 6.338×10-2
T28 0.493 5.755×10-2

Nilai tersebut diplotkan ke dalam kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan


dengan basis data berat basah dapat dilihat pada Gambar A.1, sedangkan berat
kering pada Gambar A.2.

18
A.2 Perhitungan Konsentrasi Nitrat
Konsentrasi nitrat dihitung dengan mengukur nilai absorbansinya di 2
gelombang yaitu λ= 220 nm dan λ= 270 nm. Data mentah nilai absorbansi pada dua
gelombang tersebut dapat dilihat pada tabel B.3. Konsentrasi dihitung dengan
terlebih dulu mengurangkan nilai absorbansi dari kedua gelombang tersebut.
𝐴𝑛𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡 = 𝐴λ= 220 − 𝐴λ= 275 (A.2)
A adalah nilai absorbansi. Contoh perhitungan nilai absorbansi dilakukan
pada data mentah T14 di tabel B.3.
𝐴𝑛𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡 𝑇14 = 0,387 − 0,143 = 0,244
Nilai absorbansi nitrat dimasukkan ke dalam kurva nitrat, sehingga didapat
nilai konsentrasi nitrat. Sumbu x adalah konsentrasi dan sumbu y adalah absorbansi.
Persamaan kurva baku konsentrasi nitrat sebagai berikut.
𝑦 = 0,03𝑥 + 0,0417 (A.3)
Persamaan tersebut dapat dipisahkan. Nilai konsentrasi yang didapat
kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran (x).
𝑦−0,0417
𝑥 = 𝐶′ = ×𝑥 (A.4)
0,03

Nilai absorbansi nitrat yang didapat pada perhitungan T14 sebelumnya,


disubstitusikan ke dalam persamaan A.4.
0,244 − 0,0417
𝑥= × 50 = 337,16 𝑝𝑝𝑚
0,03
Metode ini digunakan untuk perhitungan nitrat setiap variasi waktu. Hasil
perhitungan ditabulasikan dalam tabel A.2.
Tabel A.2 Konsentrasi nitrat setiap waktu
Waktu Konsentrasi (ppm)
T0 0.000
T3,5 0.000
T7 0.000
T10,5 0.000
T14 338.000
T17,5 552.833
T21 543.333
T24,5 20.500
T28 -5.667
19
A.3 Perhitungan Konsentrasi Klorofil dan Karotenoid
Konsentrasi klorofil dan karotenoid dapat dihitung melalui nilai
absorbansinya. Persamaan yang digunakan adalah Lichtenthaler & Wellburn
(1983).
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎 = (12,21 × 𝐴663 ) − (2,81 × 𝐴647 ) (A.5)
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑏 = (20,13 × 𝐴647 ) − (5,03 × 𝐴663 ) (A.6)
(1000×𝐴470 )−(3,27𝐶𝑎× 104𝐶𝑏)
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑎𝑟𝑜𝑡𝑒𝑛𝑜𝑖𝑑 = (A.7)
229

A adalah nilai absorbansi, sedangkan Ca adalah konsentrasi klorofil a dan


Cb adalah konsentrasi klorofil b. Data mentah klorofil dan karotenoid dapat dilihat
pada tabel B.4. Pengamatan T0 pada tabel tersebut diolah sebagai berikut.
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎 = (12,21 × 0,044) − (2,81 × 0,068) = 0,346
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑏 = (20,13 × 0,068) − (5,03 × 0,044 ) = 1,148
(1000 × 0,030) − (3,27 × 0,346 × 104 × 1,148)
𝐶 𝑘𝑎𝑟𝑜𝑡𝑒𝑛𝑜𝑖𝑑 = = −0,395
229
C karotenoid adalah nilai konsentrasi karotenoid. Seluruh hasil
perhitungan dalam satuan ppm. Metode ini digunakan untuk menghitung seluruh
konsentrasi klorofil a, b dari data tabel B.4. Hasil perhitungan ditabulasikan dalam
tabel A.3.
Tabel A.3 Konsentrasi klorofil dan nitrat tiap waktu
Klorofil a Klorofil b Karotenoid
Waktu
(ppm) (ppm) (ppm)
T0 0.3462 1.1475 -0.3951
T3,5 2.1786 2.6124 -0.3442
T7 1.2226 1.0521 -0.4167
T10,5 0.5879 4.1974 -1.0020
T14 0.8525 1.0565 0.3573
T17,5 2.6578 0.7454 0.5449
T21 1.7931 1.7467 0.2423
T24,5 2.2663 1.3241 0.2746
T28 1.5985 1.4095 0.1143

20
Konsentrasi klorofil a, b dan karotenoid diplotkan dalam klorofil. Sumbu
x adalah waktu pengamatan, dan sumbu y adalah konsentrasi. Grafik dapat dilihat
di gambar A.4.

A.4 Pengamaan Jumlah Sel dengan Hemasitometer


Sel dapat dihitung secara langsung menggunakan haemasitometer.
Perhitungan sel menggunakan haemasitometer dilakukan pada tiap grid.
Haemasitometer terdiri dari 4 grid. Perhitungan sel dilakukan sebagai berikut.
1
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙 = 𝑛 × ∑𝑛𝑖=1 𝑋𝑖 (A.8)

X adalah jumlah sel setiap grid sedangkan n adalah jumlah grid, yaitu 4.
Volume cuplikan adalah 0,1 ml. Jadi, jumlah sel dikalikalikan dengan 10 6 untuk
mengkonversi ke satuan ml. Persamaan ini diaplikasikan pada tabel B.5.
Tabel A.4 Jumlah sel menggunakan metode haemasitometer
Jumlah sel
Jumlah sel (sel/ml)
Kelompok sebenernya
(× 𝟏𝟎𝟔 )
(× 𝟏𝟎𝟕 )
4.64 9.28
1
2.49 7.46
4.81 9.63
2
5.62 1.69
4.26 2.98
3
2.89 2.31
1.88 9.40
4
1.05 6.27
6.20 12.4
5
3.47 10.4
1.01 7.05
6
0,85 6.72
1.85 -
7
2.12 -
0,815 7.34E+07
8
0,57 5.70E+07

21
Data ini harus digunakan sebagai kurva baku OD. Namun, data
berfluktuasi sehingga tidak akurat. Kurva baku OD diambil dari sumber lain. Kurva
baku absorbansi dapat dilihat pada Gambar A.5.

Gambar A.5 Kurva baku optical density (Chiu, S.Y. et al., 2008)

Kurva baku ini digunakan menghitung kerapatan sel pada tabel B.2.
Perhitungan dilakukan dengan mensubstitusikan data absorbansi (OD) pada
persamaan cell density kurva baku. Nilai x adalah absorbansi.
𝐶𝑠 = (14,969𝑥 − 0,042) × 𝑥 (A.9)
Cs adalah kerapatan sel (× 106 sel/ml) dan x adalah faktor pengenceran.
Data optical density T0 pada tabel B.5 digunakan untuk menghitung kerapatan sel.
𝐶𝑠 = ((14,969 × 1,813) − 0,042) × 1 = 27,07 × 106 sel/ml
Metode ini digunakan dalam perhitungan kerapatan sel pada seluruh data
optical density tabel B.5. Hasil perhitungan ditampilkan pada tabel A.5.
Tabel A.5 Kerapatan sel Chlorella vulgaris
Waktu Kerapatan sel (106 sel/ml) Jumlah sel dalam 500 ml (106 sel)
T0 27.097 13548.399
T3,5 43.084 21541.845
T7 65.354 32677.110
T14 62.735 31367.323
T17,5 70.503 35251.561
T21 78.541 39270.738
T24,5 103.63 51814.760
T28 68.108 34054.041

22
A.5 Perhitungan Laju Pertumbuhan Spesifik
Laju pertumbuhan spesifik dihitung pada fase linear pertumbuhan
Chlorella vulgaris. Berdasarkan Gambar A.1 , Gambar A.2, dan Gambar A6,
pertumbuhan Chlorella vulgaris linear pada T21-T24. Persamaan yang digunakan
dalam perhitungan adalah sebagai berikut.
𝑙𝑛 𝑥−𝑙𝑛𝑥0
𝜇= (A.10)
𝑡
X adalah biomassa akhir, sedangkan 𝑥0 adalah biomassa awal. Laju
pertumbuhan spesifik dilambangkan dengan 𝜇 dan t adalah waktu. Berat basah sel
pada hari T21 dan T24 dapat dilihat pada tabel A.1, sehingga laju pertumbuhan
spesifik dapat dihitung.
𝑙𝑛 0,507 − ln 0,383
𝜇= = 0,08 ℎ𝑎𝑟𝑖 −1
3,5 ℎ𝑎𝑟𝑖
Metode ini juga digunakan untuk pengukuran laju pertumbuhan dari data
berat kering dan jumlah sel. Jumlah volume kultur adalah 500 ml. Hasil perhitungan
dapat dillihat pada tabel A.6
Tabel A.6 Laju pertumbuhan spesifik Chlorella vulgaris

Laju pertumbuhan
Basis Data
spesifik
Berat basah 0.08 g hari-1
Berat kering 0.08 g hari-1
Jumlah sel 0.076 sel hari-1

A.6 Perhitungan Yield


Perolehan yield dalam kultur Chlorella vulgaris ada 2 yaitu, yield biomassa
dan yield metabolit sekunder. Persamaan yang digunakan untuk menghitung yield
sebagai berikut.
∆𝑋
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = − ∆𝑆 (A.11)

Perubahan biomassa sel dilambangkan dengan ∆𝑋, sementara ∆𝑆 adalah


perubahan kosentrasi substrat. Yield biomassa diukur menggunakan data tabel A.1.
(5,755 − 3,894)𝑚𝑔/𝐿
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = × 100% = 0,54%
343,667 𝑚𝑔/𝐿

23
Yield metabolit sekunder dihitung dengan menggunakan persamaan A.12.
∆𝑃
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = − ∆𝑆 (A.11)

Perubahan produk metabolit dilambangkan dengan ∆𝑃 , sementara ∆𝑆


adalah perubahan kosentrasi substrat. Yield metabolit sekunder diukur
menggunakan data pada tabel A.3
(1,5985 − 0,8525)
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑎 = × 100% = 0,22%
343,667
(1,4095 − 1,0565)
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙 𝑏 = × 100% = 0,10%
343,667
(1,143 − 0,3573)
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 𝑘𝑎𝑟𝑜𝑡𝑒𝑛𝑜𝑖𝑑 = × 100% = 0,07%
343,667

24
Lampiran B Data Mentah
B.1 Data Berat Basah dan Berat Kering
Tabel B.1 Data berat basah dan berat kering tiap waktu
FW Per botol DW Per botol
Waktu (g) (g)
0.026 0.017
0.055 0.031
0.013 0.006
T0 0.031 0.016
0.035 0.018
0.001 0.001
0.084 0.042
T3,5 0.034 0.017
0.064 0.032
0.028 0.014
0.096 0.048
T7 0.017 0.009
0.042 0.021
0.086 0.043
0.044 0.022
T10,5 0.069 0.035
0.070 0.035
0.042 0.021
0.086 0.043
T14 0.073 0.037
0.161 0.081
0.080 0.040
0.055 0.028
T17,5 0.016 0.008
0.152 0.076
0.153 0.077
0.060 0.030
T21 0.018 0.009
0.113 0.057
0.182 0.091
0.103 0.052
T24,5 0.109 0.055
(Dilanjutkan)

22
(Lanjutan)

0.027 0.046
0.187 0.126
0.222 0.015
T28 0.057 0.044

B.2 Data Pengamatan Optical Density


Tabel B.2 Data optical density tiap waktu
Absorbansi
Waktu Pengenceran
λ=680 nm
T0 1.813 0x
T3,5 2.881 0x
T7 0.876 5x
T10,5 0.639 5x
T14 0.841 5x
T17,5 0.474 10x
T21 0.528 10x
T24,5 0.695 10x
T28 0.458 10x

B.3 Data Absorbansi Nitrat


Tabel B.3 Data absorbansi untuk pengukuran nitrat tiap waktu
Absorbansi Absorbansi
Waktu Pengenceran
λ= 220 nm λ= 275 nm
T0 - - -
T3,5 - - -
T7 - - -
T10,5 - - -
T14 0.387 0.143 50
T17,5 0.398 0.025 50
T21 0.388 0.020 50
T24,5 0.077 0.023 50
T28 0.043 0.005 50

23
B.4 Data Klorofil dan Karotenoid
Tabel B.4 Data absorbansi klorofil dan karotenoid tiap waktu
Absorbansi Absorbansi Absorbansi
Waktu λ= 663 nm λ= 647 nm λ= 470 nm
T0 0.044 0.068 0.030
T3,5 0.221 0.185 0.200
T7 0.119 0.082 0.018
T10,5 0.102 0.234 0.209
T14 0.087 0.074 0.195
T17,5 0.240 0.097 0.211
T21 0.177 0.131 0.243
T24,5 0.213 0.119 0.208
T28 0.156 0.109 0.178

B.5 Data pengukuran jumlah sel untuk kurva baku dengan Haemasitometer
Pengukuran jumlah sel Chlorella vulgaris dilakukan dengan
Haemasitometer dengan memvariasikan faktor pengenceran.
Tabel B.5 Data absorbansi dan jumlah sel dengan variasi pengenceran

Rataan Faktor Volume


Kelompok Jumlah per Pengenceran mikroalga Absorbansi
W (x) (mL)

463.75 20 500 0.167


1
248.75 30 500 0.102
481.25 20 500 0.156
2
562.25 30 500 0.121
426.25 70 500 0.076
3
289.25 80 500 0.073
188 50 500 0.498
4
104.5 60 500 0.338
619.75 20 500 0.182
5
347 30 500 0.127
100.75 70 500 0.343
6
84 80 500 0.285
185 70 500 -
7
212 80 500 -

24
(Dilanjutkan)
(Lanjutan)
81.5 90 500 0.495
8
57 100 500 0.452

25

Anda mungkin juga menyukai