Oleh:
Kelompok 08
Ketua Kelompok :
Muhammad Ihsan Harjanto 11216040
Anggota Kelompok :
Ravelian Yulianto 11216034
Putu Wicaksana Adi Nugraha 11216036
Vania Larissa Rajagukguk 11216039
RINGKASAN ......................................................................................................... v
LAMPIRAN .......................................................................................................... 17
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
RINGKASAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Percobaan ini menggunakan mikroalga Chlorella vulgaris dengan tujuan
sebagai berikut.
1. Mengukur laju pertumbuhan spesifik (µ) kultur Chlorella vulgaris.
2. Mengukur doubling time kultur Chlorella vulgaris.
3. Mengukur perolehan biomassa (yield) kultur Chlorella vulgaris.
4. Mengukur perolehan metabolit klorofil a, klorofil b, dan karetenoid C. vulgaris
1
BAB II
METODOLOGI
2
Botol kultur
Grid
Aerator Counting chamber
3
2.2.3 Pengukuran Klorofil dan Karotenoid
4
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
0,5
0,4
Massa (gram)
0,3
0,2
0,1
0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)
Gambar 3.1 Grafik pertumbuhan berat basah kultur C. vulgaris terhadap waktu
0,07
0,06
0,05
Massa (gram)
0,04
0,03
0,02
0,01
0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)
Gambar 3.2 Grafik pertumbuhan berat kering kultur C. vulgaris terhadap waktu
5
Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 menunjukkan pertumbuhan biomassa kultur
Chlorella vulgaris terhadap waktu. Sesuai dengan literatur dari Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995), grafik pertumbuhan Chlorella membentuk kurva sigmoid.
Fase-fase dari tiap pertumbuhan pada kurva biomassa basah dan kering
menunjukan hasil yang sama. Pada waktu T0-T3.5 terjadi fase Lag, yakni proses
adaptasi Chlorella yang ditunjukan adanya peningkatan biomassa walaupun tidak
signifikan. Fase selanjutnya eksponensial yang ditunjukan dari rentang waktu T3.5-
T21, ditandai dengan adanya pertambahan jumlah biomassa yang terus meningkat.
Pada T21-T24.5 terjadi fase linear dengan tingkat pertumbuhan maksimum dan
selanjutnya memasuki fase kematian dari T24.5-T28.
Pada grafik sigmoid yang terdapat pada literatur, perbedaan tiap fase
terlihat dengan jelas namun pada percobaan ini perbedaan tiap fase sukar
dibedakan. Pada fase lag dan eksponensial serta fase linear tidak terjadi perbedaan
yang signifikan sehingga batas antara ketiga fase sulit ditentukan. Hal ini dapat
dijelaskan dengan pernyataan yang disebutkan oleh Prihantini et al. pada tahun
2005 yang menyebutkan fase adaptasi akan menjadi lebih singkat atau bahkan tidak
terlihat apabila sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam
fase eksponensial. Sedangkan pada pernyataan lain disebutkan bahwa Chlorella
vulgaris memiliki daya adaptasi yang cepat terhadap lingkungan kultur yang baru
sehingga menunjukkan daya adaptasi yang cukup singkat dan langsung tumbuh
dengan cepat dan mudah pada saat dikulturkan (Sutomo, 2005). Karena telah
memasuki fase eksponensial maka pertumbuhan maksimum pada Chlorella sebagai
tanda memasuki fase linear tidak terlihat dengan jelas. Walaupun demikian fase
linear dapat ditentukan dengan mencari nilai laju spesifik pada tiap rentang waktu.
Nilai laju pertumbuhan terbesar yang menandai fase linear terdapat pada rentang
waktu T21-T24.5 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik sebesar 0.08 gram/hari.
Dari nilai laju tersebut dapat ditentukan doubling time Chlorella vulgaris yakni
sebesar 8.6 hari.
Selanjutnya setelah fase linear pada kurva pertumbuhan langsung
memasuki fase kematian. Kurva sigmoid yang ideal yakni menunjukan fase
6
perlambatan, fase stasioner, lalu fase kematian. Hal ini dapat dijelaskan karena pada
pertumbuhan Chlorella vulgaris pada percobaan tingkat pertumbuhan yang cukup
tinggi mengakibatkan nutrien yang digunakan sebagai substrat metabolisme lebih
cepat menurun dan terakumulasinya produk metabolit sekunder lebih tinggi.
Kurangnya nutrien dan tingginya tingkat toksiksitas pada produk metabolit
menjadikan sel Chlorella memasuki fase kematian dengan cepat (Sumarlinah,
2000). Sehingga pada grafik fase penurunan dan pertumbuhan kurang terlihat
dengan jelas. Faktor lain yang menjelaskan tidak terlihatnya fase penurunan dan
fase stasioner adalah karena waktu pengamatan yang relatif singkat dan rentang
pengambilan data yang terlalu jauh. Dengan mengasumsikan fase kematian adalah
fase penurunan maka fase-fase selanjutnya tidak terlihat dikarenakan batas waktu
percobaan
35.000
30.000
Jumlah sel (x10^6)
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)
Gambar 3.3 Grafik pertumbuhan jumlah sel Chlorella vulgaris terhadap waktu
7
Gambar 3.3 menunjukkan pertambahan jumlah sel per harinya, dari grafik
tersebut dapat dilihat secara garis besar terjadi peningkataan kerapatan sel dari T0
hingga T24,5, kemudian mengalami penurunan pada T28. Namun pada T7 terjadi
penurunan hingga T10,5 hal ini dikarenakan adanya penambahan air untuk
menanggulangi penguapan air medium yang terjadi sebelumnya, hal ini
mengakibatkan penurunan konsentrasi sel sehingga absorbansi pun ikut menurun.
Kurva baku yang digunakan tidak berdasarkan data yang diambil oleh kelas karena
R2 dari kurva baku tersebut tidak mencapai 0,9 sehingga digunakan kurva baku
untuk menentukan jumlah sel terhadap absorbansi dari Chiu et al (2008).
Perkembangbiakan Chlorella sp. menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995) terbagi menjadi beberapa fase, fase lag (fase istirahat), fase logaritmik (fase
eksponensial), fase deakselerasi, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag adalah
fase ketika sel baru diadaptasikan dengan medium kultur, pada fase ini metabolisme
sudah berjalan tetapi pembelahan sel belum terjadi, namun fase ini tidak terlihat
pada grafik yang diperoleh. Fase logaritmik dimulai dengn pembelahan sel dengan
laju pertumbuhan yang meningkat secara intensif, menurut Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995) fase ini dapat dicapai dalam waktu 5-7 hari. Fase penurunan laju
pertumbuhan, fase ini adalah ketika kultur Chlorella sp. mengalami penurunan
jumlah, fase ini dapat dilihat pada grafik hari T24,5. Fase selanjutnya adalah fase
stasioner, pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama sehingga
kepadatan akan relatif tetap (stasioner), namun fase ini tidak terlihat pada grafik
jumlah sel yang telah diperoleh. Terakhir adalah fase kematian, fase ini ditandai
dengan laju kematian yang lebih besar dibandingkan dengan laju reproduksi
sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik seperti pada grafik
T28. Pertumbuhan tertinggi terjadi diantara T21 dan T24,5 sehingga dapat
ditentukan laju rata – rata pertumbuhan jumlah sel berdasarkan perhitungan dan
diperoleh sebesar 0,076 sel hari-1. Dari nilai laju pertumbuhan jumlah sel,
didapatkan nilai doubling time sebesar 9,1 hari.
Apabila grafik kerapatan sel ini dibandingkan dengan grafik pertambahan
biomassa, kedua grafik ini sama – sama menunjukkan jika kultur mengalami
pertumbuhan. Sehingga dapat diketahui selain jumlah sel bertambah, terjadi pula
8
penambahan massa sel selama fase pertumbuhan, dari T0 hingga T24,5. Bentuk
grafik pertambahan jumlah sel sedikit berbeda dengan grafik pertambahan
biomassa. Seperti pada T7 yang mengalami penurunan hingga T10,5 pada grafik
jumlah sel. Hal ini tidak terjadi pada grafik biomassa yang dikarenakan
penambahan air atau berkurangnya kerapatan sel tidak akan mengubah biomassa
sel. Perbedaan dengan grafik pertumbuhan sel pada umumnya seperti terdapat fase
log/eksponensial yang pertumbuhannya sangat terlihat atau meningkat dengan
pesat, sedangkan grafik pertambahan jumlah sel yang diperoleh kurang
menunjukkan fase ini. Perbedaan antar grafik jumlah sel dengan biomassa terlihat
jelas dari besar kecilnya kenaikan dan penurunan dari grafik tersebut, atau kenaikan
jumlah sel tidak diikuti dengan pertambahan biomassa. Hal tersebut dapat
dikarenakan ukuran sel yang berbeda-beda, sehingga biomassa nya tidak
sepenuhnya sama.
9
oksidasi dapat berjalan. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 275
nm dan 220 nm. Tujuan pengukuran absorbansi adalah λ=220 nm untuk mengukur
konsentrasi senyawa organik termasuk nitrat, sedangkan λ=270 nm mengukur
konsentrasi senyawa organik. Jadi, konsentrasi nitrat dapat dihitung dengan
mengurangkan konsentrasi saat λ=220 nm dengan λ=270 nm (Hoather,R.C &
Rackham, R.F., 1959).
25,0
20,0
Konsentrasi Nitrat (mg/L)
15,0
10,0
5,0
0,0
T14 T17,5 T21 T24,5 T28
Waktu (Hari)
Gambar 3.4 Grafik perubahan konsentrasi nitrat pada medium terhadap waktu
Konsentrasi nitrat diplotkan terhadap waktu dan dapat dilihat pada Gambar
3.4. Data hari ke-0 hingga 10,5 kosong dikarenakan kesalahan pengambilan data.
Nilai absorbansi yang didapat diatas 3, sehingga nilai tidak dapat dicari
menggunakan kurva baku. Data konsentrasi nitrat pada hari ke-17,5 mengalami
kenaikan dan mengalami penurunan yang sangat drastis pada hari ke 24,5. Persen
yield biomassa ditentukan berdasarkan perubahan konsentrasi nitrat pada medium
dan didapatkan persen yield biomassa sebesar 0,54%.
Kenaikan konsentrasi nitrat dapat disebabkan kematian Chlorella vulgaris.
Kematian sel menyebabkan komponen-komponen sel menyebar dalam medium
kultur, termasuk sitosin. Sitosin adalah senyawa penyusun inti sel Chlorella
vulgaris. Sitosin dapat menyerap panjang gelombang UV 270 nm. Hal ini
menyebabkan konsentrasi yang terukur pada panjang gelombang 270 nm semakin
10
besar. Hal ini menyebabkan hasil pengukuran nitrat semakin besar (Avagyan, A.,
et al., 2014).
Kematian sel dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang baik bagi Chlorella vulgaris adalah 1000
lux. Intensitas cahaya dibawah menyebabkan metabolisme sel terganggu. Intensitas
yang terlalu rendah bahkan menyebabkan kematian sel (Daniati, R., et al.,2012)
Waktu berikutnya, konsentrasi nitrat mengalami penurunan drastis. Ini
berkorelasi dengan grafik pertumbuhan Chlorella vulgaris yang menunjukkan
kenaikan. Kenaikan mengindikasikan adanya pembentukan sel-sel yang baru,
sehingga nitrat kembali mengalami penurunan konsentrasi. Penurunan konsentrasi
disebabkan penyerapan nitrat yang dilakukan oleh sel-sel Chlorella vulgaris yang
baru terbentuk (Kong, W., et al., 2011).
11
5,0
3,0
2,0 Klorofil a
Klorofil b
1,0
Karotenoid
0,0
T0 T3,5 T7 T10,5 T14 T17,5 T21 T24,5 T28
-1,0
-2,0
Waktu (Hari)
12
mencapai 7290 lux. Hal ini menyebabkan produksi klorofil akan terganggu
sehingga terjadi osilasi pada jumlah klorofil yang dihasilkan.
Peningkatan konsentrasi klorofil b terjadi secara signifikan pada hari ke-
10,5 sedangkan konsentrasi klorofil a menurun secara drastis pada hari yang sama.
Hal ini dapat disebabkan oleh terganggunya proses konversi klorofil a menjadi
klorofil b karena faktor mutasi senyawa LHCII yang berperan dalam konversi
klorofil a menjadi klorofil b. Mutasi ini dapat menyebabkan klorofil a terus
dikonversi menjadi klorofil b sedangkan produksi klorofil a tidak meningkat
(Wettsein et al, 1995). Namun, jika tidak menghiraukan data pencilan tersebut,
produksi klorofil menunjukkan tren yang meningkat. Hal ini sesuai dengan
konsentrasi nitrat yang menunjukkan tren yang menurun. Konsumsi nitrat pada
kultur sangat berpengaruh pada produksi klorofil karena nitrogen merupakan salah
satu unsur utama pembentuk klorofil (Wettsein et al, 1995).
Konsentrasi karotenoid yang bernilai negatif dikarenakan rumus
perhitungan yang bergantung kepada konsentrasi klorofil a dan klorofil b. Ketika
data konsentrasi klorofil a dan klorofil b tidak sesuai, perhitungan konsentrasi
karotenoid akan menjadi tidak sesuai sehingga dapat menunjukkan nilai yang
negatif. Jika dilihat dari trennya, perubahan konsentrasi karotenoid berbanding
terbalik dengan perubahan konsentrasi nitrat pada medium. Hal ini sesuai karena
konsumsi nitrat akan berbanding lurus dengan produksi karotenoid.
Persen yield dari klorofil yang diproduksi oleh Chlorella vulgaris sebesar
0,22% untuk klorofil a dan 0,10% untuk klorofil b. Sedangkan persen yield untuk
karotenoid sebesar 0,07%. Akumulasi yield klorofil a, klorofil b, dan karotenoid
tidak mencapai nilai 1%. Hal ini tidak sesuai dengan persen yield menurut Safi, dkk
(2014) yang menunjukkan yield sebesar 1-2% untuk ketiga senyawa tersebut. Nilai
yield yang kecil ini dapat disebabkan oleh proses ekstraksi senyawa metabolit
sekunder yang kurang sempurna. Senyawa metabolit sekunder masih terdapat di
dalam sel sehingga tidak semuanya terlarut dalam aseton dan terukur saat
pengukuran absorbansi. Selain itu, faktor intensitas cahaya sangat berpengaruh
seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan Kinetika Tumbuh Sel Chlorella vulgaris
adalah sebagai berikut.
1. Laju pertumbuhan spesifik Chlorella vulgaris dari pertumbuhan biomassa
adalah 0,08 gram/hari sedangkan laju pertumbuhan spesifik dari
pertumbuhan jumlah sel adalah 0,076 sel/hari.
2. Doubling time kultur Chlorella vulgaris dari pertumbuhan biomassa adalah
8.6 hari sedangkan doubling time dari pertumbuhan jumlah sel adalah 9.1
hari.
3. Perolehan biomassa dari Chlorella vulgaris adalah sebesar 0,54%.
4. Perolehan metabolit klorofil a, klorofil b, dan karetenoid dari Chlorella
vulgaris adalah sebesar 0,22%, 0,10%, dan 0,07% secara berturut-turut.
4.2 Saran
Saran untuk percobaan Kinetika Tumbuh Sel Chlorella vulgaris adalah
sebagai berikut..
1. Faktor pengenceran dan penguapan medium kultur lebih diperjelas
kuantifikasinya sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengolahan data,
2. Kurva baku untuk hemasitometer mengasumsikan bahwa laju pertumbuhan
kultur tiap kelompok sama, sebaiknya kurva baku hemasitometer
menggunakan data dari kelompok masing-masing dengan jumlah variasi
yang lebih sedikit namun lebih representatif terhadap laju pertumbuhan
kultur
14
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Y. V. (2003). Uji Penurunan Kandungan Nitrat dan Fosfat oleh Alga Hijau
(Chlorella sp) secara Kontinyu. Jurusan Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Avagyan, A., Runkle, B. R., & Kutzbach, L. (2014). Application of high-resolution
spectral absorbance measurements to determine dissolved organic carbon
concentration in remote areas. Journal of hydrology, 517, 435-446.
Chiu, S. Y., Kao, C. Y., Chen, C. H., Kuan, T. C., Ong, S. C., & Lin, C. S. (2008).
Reduction of CO2 by a high-density culture of Chlorella sp. in a
semicontinuous photobioreactor. Bioresource technology, 99(9), 3389-
3396.
Daniyati, R., Yudoyono, G., & Rubiyanto, A. (2012). Desain Closed
Photobioreaktor Chlorella Vulgaris Sebagai Mitigasi Emisi CO2. Jurnal
Sains dan Seni ITS, 1(1), B1-B5.
Gong, Q., Feng, Y., Kang, L., Luo, M., & Yang, J. (2014). Effects of light and pH
on cell density of Chlorella Vulgaris. Energy Procedia, 61, 2012-2015.
Hoather, R. C., & Rackham, R. F. (1959). Oxidised nitrogen in waters and sewage
effluents observed by ultra-violet spectrophotometry. Analyst, 84(1002),
548-551.
Isnansetyo, A., & Kurniastuty, E. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Kong, W., Song, H., Cao, Y., Yang, H., Hua, S., & Xia, C. (2011). The
characteristics of biomass production, lipid accumulation and chlorophyll
biosynthesis of Chlorella vulgaris under mixotrophic cultivation. African
Journal of Biotechnology, 10(55), 11620-11630.
Lichtenthaler, H. K., & Buschmann, C. (1987). Chlorophylls and carotenoids:
measurement UNIT F4. 3 and characterization by UV-VIS
spectroscopy. Curr. Protoc. Food Anal. Chem, 4, 3-1.
15
Prihantini, N. B., Putri, B., & Yuniati, R. (2010). Pertumbuhan Chlorella spp. dalam
medium ekstrak tauge (Met) dengan Variasi pH Awal. Makara Journal of
Science.
Safi, C., Zebib, B., Merah, O., Pontalier, P. Y., & Vaca-Garcia, C. (2014).
Morphology, composition, production, processing and applications of
Chlorella vulgaris: a review. Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 35, 265-278.
Sutomo. (2005). Kultur Tiga Jenis Mikroalga ( Tetraselmis sp., Chlorella sp.dan
Chaetoceros gracilis) dan Pemgaruh Kepadatan Awal Terhadap
Pertumbuhan C. Gracilis di Laboratorium.Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia. No. 37 :43-58. Pusat Penelitian Oseanografi.
Sumarlinah. (2000). Hubungan Komunitas Fitoplankton dan Unsur Hara N dan P
di Danau Sunter Selatan, Jakarta Utara.Skripsi. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sylvester B, Nelvy D, Sudjiharno. (2002). Persyaratan budidaya fitoplankton.
Budidaya Fitoplankton & Zooplankton 10:24-36
Tetelepta, L. (2011). Pertumbuhan Kultur Chlorella sp Skala Laboratorium Pada
Beberapa Tingkat Kepadatan . Jurnal Pengembangan Pulau-Pulau Kecil
2011 -ISBN, (978-602-98439-2-7), Halaman 198–202
Von Wettstein, D., Gough, S., & Kannangara, C. G. (1995). Chlorophyll
biosynthesis. The Plant Cell, 7(7), 1039.
16
LAMPIRAN
17
Lampiran A Cara Pengolahan Data
Wi adalah berat basah atau berat kering sampel, dan n adalah banyak
pengulangan. Nilai n untuk kasus ini adalah 4. Contoh perhitungan dilakukan pada
data berat basah hari ke-0 (T0).
1
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = × (0,026 + 0,055 + 0,013 + 0,031) = 0,125 𝑔
4
Perhitungan untuk berat kering dilakukan dengan cara yang sama. Metode
ini diterapkan untuk seluruh data pada variasi waktu. FW adalah fresh weight (berat
basah) dan DW adalah dry weight (berat kering). Hasil perhitungan dapat dilihat
dalam tabel A.1
Tabel A.1 Berat basah dan kering rata-rata setiap waktu
FW Rata-rata
Waktu DW Rata-rata (g)
(g)
T0 0.125 1.75×10-2
T3,5 0.155 1.934×10-2
T7 0.205 2.563×10-2
T10 0.241 3.016×10-2
T14 0.270 3.374×10-2
T17,5 0.312 3.894×10-2
T21 0.383 4.788×10-2
T24,5 0.507 6.338×10-2
T28 0.493 5.755×10-2
18
A.2 Perhitungan Konsentrasi Nitrat
Konsentrasi nitrat dihitung dengan mengukur nilai absorbansinya di 2
gelombang yaitu λ= 220 nm dan λ= 270 nm. Data mentah nilai absorbansi pada dua
gelombang tersebut dapat dilihat pada tabel B.3. Konsentrasi dihitung dengan
terlebih dulu mengurangkan nilai absorbansi dari kedua gelombang tersebut.
𝐴𝑛𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡 = 𝐴λ= 220 − 𝐴λ= 275 (A.2)
A adalah nilai absorbansi. Contoh perhitungan nilai absorbansi dilakukan
pada data mentah T14 di tabel B.3.
𝐴𝑛𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡 𝑇14 = 0,387 − 0,143 = 0,244
Nilai absorbansi nitrat dimasukkan ke dalam kurva nitrat, sehingga didapat
nilai konsentrasi nitrat. Sumbu x adalah konsentrasi dan sumbu y adalah absorbansi.
Persamaan kurva baku konsentrasi nitrat sebagai berikut.
𝑦 = 0,03𝑥 + 0,0417 (A.3)
Persamaan tersebut dapat dipisahkan. Nilai konsentrasi yang didapat
kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran (x).
𝑦−0,0417
𝑥 = 𝐶′ = ×𝑥 (A.4)
0,03
20
Konsentrasi klorofil a, b dan karotenoid diplotkan dalam klorofil. Sumbu
x adalah waktu pengamatan, dan sumbu y adalah konsentrasi. Grafik dapat dilihat
di gambar A.4.
X adalah jumlah sel setiap grid sedangkan n adalah jumlah grid, yaitu 4.
Volume cuplikan adalah 0,1 ml. Jadi, jumlah sel dikalikalikan dengan 10 6 untuk
mengkonversi ke satuan ml. Persamaan ini diaplikasikan pada tabel B.5.
Tabel A.4 Jumlah sel menggunakan metode haemasitometer
Jumlah sel
Jumlah sel (sel/ml)
Kelompok sebenernya
(× 𝟏𝟎𝟔 )
(× 𝟏𝟎𝟕 )
4.64 9.28
1
2.49 7.46
4.81 9.63
2
5.62 1.69
4.26 2.98
3
2.89 2.31
1.88 9.40
4
1.05 6.27
6.20 12.4
5
3.47 10.4
1.01 7.05
6
0,85 6.72
1.85 -
7
2.12 -
0,815 7.34E+07
8
0,57 5.70E+07
21
Data ini harus digunakan sebagai kurva baku OD. Namun, data
berfluktuasi sehingga tidak akurat. Kurva baku OD diambil dari sumber lain. Kurva
baku absorbansi dapat dilihat pada Gambar A.5.
Gambar A.5 Kurva baku optical density (Chiu, S.Y. et al., 2008)
Kurva baku ini digunakan menghitung kerapatan sel pada tabel B.2.
Perhitungan dilakukan dengan mensubstitusikan data absorbansi (OD) pada
persamaan cell density kurva baku. Nilai x adalah absorbansi.
𝐶𝑠 = (14,969𝑥 − 0,042) × 𝑥 (A.9)
Cs adalah kerapatan sel (× 106 sel/ml) dan x adalah faktor pengenceran.
Data optical density T0 pada tabel B.5 digunakan untuk menghitung kerapatan sel.
𝐶𝑠 = ((14,969 × 1,813) − 0,042) × 1 = 27,07 × 106 sel/ml
Metode ini digunakan dalam perhitungan kerapatan sel pada seluruh data
optical density tabel B.5. Hasil perhitungan ditampilkan pada tabel A.5.
Tabel A.5 Kerapatan sel Chlorella vulgaris
Waktu Kerapatan sel (106 sel/ml) Jumlah sel dalam 500 ml (106 sel)
T0 27.097 13548.399
T3,5 43.084 21541.845
T7 65.354 32677.110
T14 62.735 31367.323
T17,5 70.503 35251.561
T21 78.541 39270.738
T24,5 103.63 51814.760
T28 68.108 34054.041
22
A.5 Perhitungan Laju Pertumbuhan Spesifik
Laju pertumbuhan spesifik dihitung pada fase linear pertumbuhan
Chlorella vulgaris. Berdasarkan Gambar A.1 , Gambar A.2, dan Gambar A6,
pertumbuhan Chlorella vulgaris linear pada T21-T24. Persamaan yang digunakan
dalam perhitungan adalah sebagai berikut.
𝑙𝑛 𝑥−𝑙𝑛𝑥0
𝜇= (A.10)
𝑡
X adalah biomassa akhir, sedangkan 𝑥0 adalah biomassa awal. Laju
pertumbuhan spesifik dilambangkan dengan 𝜇 dan t adalah waktu. Berat basah sel
pada hari T21 dan T24 dapat dilihat pada tabel A.1, sehingga laju pertumbuhan
spesifik dapat dihitung.
𝑙𝑛 0,507 − ln 0,383
𝜇= = 0,08 ℎ𝑎𝑟𝑖 −1
3,5 ℎ𝑎𝑟𝑖
Metode ini juga digunakan untuk pengukuran laju pertumbuhan dari data
berat kering dan jumlah sel. Jumlah volume kultur adalah 500 ml. Hasil perhitungan
dapat dillihat pada tabel A.6
Tabel A.6 Laju pertumbuhan spesifik Chlorella vulgaris
Laju pertumbuhan
Basis Data
spesifik
Berat basah 0.08 g hari-1
Berat kering 0.08 g hari-1
Jumlah sel 0.076 sel hari-1
23
Yield metabolit sekunder dihitung dengan menggunakan persamaan A.12.
∆𝑃
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = − ∆𝑆 (A.11)
24
Lampiran B Data Mentah
B.1 Data Berat Basah dan Berat Kering
Tabel B.1 Data berat basah dan berat kering tiap waktu
FW Per botol DW Per botol
Waktu (g) (g)
0.026 0.017
0.055 0.031
0.013 0.006
T0 0.031 0.016
0.035 0.018
0.001 0.001
0.084 0.042
T3,5 0.034 0.017
0.064 0.032
0.028 0.014
0.096 0.048
T7 0.017 0.009
0.042 0.021
0.086 0.043
0.044 0.022
T10,5 0.069 0.035
0.070 0.035
0.042 0.021
0.086 0.043
T14 0.073 0.037
0.161 0.081
0.080 0.040
0.055 0.028
T17,5 0.016 0.008
0.152 0.076
0.153 0.077
0.060 0.030
T21 0.018 0.009
0.113 0.057
0.182 0.091
0.103 0.052
T24,5 0.109 0.055
(Dilanjutkan)
22
(Lanjutan)
0.027 0.046
0.187 0.126
0.222 0.015
T28 0.057 0.044
23
B.4 Data Klorofil dan Karotenoid
Tabel B.4 Data absorbansi klorofil dan karotenoid tiap waktu
Absorbansi Absorbansi Absorbansi
Waktu λ= 663 nm λ= 647 nm λ= 470 nm
T0 0.044 0.068 0.030
T3,5 0.221 0.185 0.200
T7 0.119 0.082 0.018
T10,5 0.102 0.234 0.209
T14 0.087 0.074 0.195
T17,5 0.240 0.097 0.211
T21 0.177 0.131 0.243
T24,5 0.213 0.119 0.208
T28 0.156 0.109 0.178
B.5 Data pengukuran jumlah sel untuk kurva baku dengan Haemasitometer
Pengukuran jumlah sel Chlorella vulgaris dilakukan dengan
Haemasitometer dengan memvariasikan faktor pengenceran.
Tabel B.5 Data absorbansi dan jumlah sel dengan variasi pengenceran
24
(Dilanjutkan)
(Lanjutan)
81.5 90 500 0.495
8
57 100 500 0.452
25