Oleh:
Kelompok 05
Ketua Kelompok :
Chicio Zevenia Sembiring 11215023
Anggota Kelompok :
Muhammad Arief Ardiansyah 11215006
Dini Ambya Fahira 11215015
Tri Ramadianti Shafitri 11215029
Yonatan Dwi Sulistyo 11215040
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Rangkaian alat dan mode operasi TIS RITA© ................................... 5
Gambar 2.2 Kurva sigmoid pertumbuhan makhluk hidup ...................................... 9
Gambar 3.1 Rangkaian alat percobaan bioreaktor TIS RITA© ............................. 14
Gambar 4.1 Hubungan proporsi penambahan volume dan volume total
terhadap waktu pada biji kacang hijau ............................................. 17
Gambar 4.2 Hubungan proporsi penambahan volume dan volume total
terhadap waktu pada biji jagung ...................................................... 18
Gambar 4.3 Kurva hubungan antara swelling coefficient dan suhu perendaman . 20
Gambar 4.5 Kurva pertumbuhan biomassa basah kacang hijau (r : waktu
terendam, tr : waktu tidak terendam) ............................................... 22
Gambar 4.6 Kurva pertumbuhan biomassa basah jagung (r : waktu terendam,
tr : waktu tidak terendam) ................................................................ 23
Gambar 4.7 Kurva pertumbuhan biomassa kering kacang hijau (r : waktu
terendam, tr : waktu tidak terendam) ............................................... 25
Gambar 4.8 Kurva pertumbuhan biomassa kering jagung (r : waktu terendam,
tr : waktu tidak terendam) ................................................................ 25
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
RINGKASAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini dapat dibedakan menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus. Berikut penjabaran masing-masing tujuan tersebut secara lebih
mendetil.
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari praktikum ini adalah menentukan karakteristik
perendaman pada bioreaktor Temporary Immersed System (TIS) terhadap peristiwa
imbibisi dan perkecambahan biji.
1.2.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari praktikum ini yaitu sebagai berikut.
1. Menentukan swelling coefficient dari proses imbibisi pada biji kacang hijau
dan biji jagung.
2. Menentukan pengaruh perbedaan temperatur terhadap nilai dari swelling
quotient pada biji kacang hijau dan biji jagung.
3. Menentukan kurva pertumbuhan dari pengaruh frekuensi kontak medium
cair dengan biji kacang hijau dan biji jagung terhadap peristiwa imbibisi dan
pertumbuhan kecambah.
4. Menentukan laju pertumbuhan dari pengaruh frekuensi kontak medium cair
dengan biji kacang hijau dan biji jagung terhadap peristiwa imbibisi dan
pertumbuhan kecambah.
2
serta biji jagung dengan 2 variasi frekuensi perendaman, yaitu 24 menit dan 48
menit terendam serta 48 menit dan 96 menit tidak terendam. Frekuensi perendaman
ini menghasilkan intensitas perendaman biji sebanyak 10 kali per hari dan
dilakukan selaman 7 hari. Adapun asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Laju alir dari aerator konstan.
2. Karakteristik fisis biji relatif homogen.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioreaktor
Bioreaktor merupakan lingkungan steril mandiri yang mengapitalisasi
sistem masukan dan keluaran nutrisi (cair) atau cairan/udara. Bioreaktor didesain
secara intensif dan sering digunakan untuk scale-up kultur, serta menyediakan
kesempatan pengawasan dan kontrol terhadap kondisi lingkungan mikro
(contohnya agitasi, aerasi, dan temperatur) secara maksimum. Saat ini berbagai tipe
bioreaktor sudah didesain dan dapat diproduksi ulang sendiri atau dapat dibeli.
Perbedaan utama terletak pada tipe bejana dan mekanisme agitasi kultur (tidak
diagitasi, mekanik, pneumatik) (Watt, 2012).
Pada umumnya bioreaktor dengan medium cair menawarkan banyak
keuntungan, termasuk kontrol kondisi kultur dengan lebih baik, penyediaan nutrisi
yang merata dan pengatur pertumbuhan yang optimal, pembaharuan atmosfer
kultur, penggantian medium selama periode kultur berdasarkan tahap
perkembangan, filtrasi medium untuk eksudat, kontrol kontaminasi dan produksi
sejumlah tunas atau embrio somatic untuk penanganan propagula otomatis. Namun,
penggunaan media cair pada bioreaktor untuk kultur tanaman menghasilkan
beberapa masalah seperti bocornya faktor pertumbuhan endogenik, keperluan akan
konsentrasi inokulum awal yang tinggi, hiperhidrisitas dan malformasi,
pembentukan busa, tegangan geser dan oksidatif. Permasalahan yang paling utama
adalah malformasi di dalam medium cair yang disebabkan oleh hiperhidrisitas (Ziv,
2000). Oleh karena itu, dikembangkanlah proses perendaman temporer (TIS).
2.1.1 Sistem Perendaman Temporer (Temporary Immersion System – TIS)
Sistem perendaman temporer merupakan sistem yang didesain untuk
menyediakan perendaman temporer, dengan tujuan mengombinasikan aerasi
dengan efek positif dari kultur medium cair. Sistem ini memenuhi syarat yang
disebutkan oleh Teisson et al., (1999), yaitu: 1) penghindaran perendaman kontinu,
yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis; 2) ketetapan transfer oksigen
yang cukup; 3) ketetapan pencampuran yang cukup; 4) membatasi tingkat geser
4
(shear level); 5) memungkinkan perubahan medium sekuensial dan otomatisasi; 6)
mengurangi kontaminasi; 7) biaya rendah. Sistem ini dibedakan berdasarkan
ukuran kontainer, jenis kultur yang didukung, adanya kontrol perendaman
terkomputerisasi atau hanya menggunakan timer, penggunaan pompa (pompa
peristaltik, pompa udara, atau gerakan mekanis pada kontainer untuk memindahkan
cairan. Salah satu jenis sistem TIS adalah TIS RITA© (Etienne & Berthouly, 2002).
2.1.2 Bioreaktor TIS RITA©
TIS RITA© (Temporary Immersion System – Recipient for Automated
Temporary Immersion System) merupakan peralatan dengan dua kompartmen,
bagian atas yang mengandung tanaman dan bagian bawah yang berisi medium. Dua
kompartmen ini dihubungkan dengan suatu cara di mana overpressure
diaplikasikan pada kompartmen bawah sehingga mendorong medium ke bagian
atas. Selama periode perendaman dilakukan aerasi aliran udara ke medium,
mengagitasi tanaman dan menggantikan atmosfer di dalam bejana kultur seiring
tekanan berlebih keluar melalui keluaran pada bagian atas peralatan. Ketika tekanan
turun, medium akan kembali ke kompartmen bawah karena gravitasi. Frekuensi dan
durasi perendaman dapat dengan mudah diatur menggunakan program aplikasi
overpressure dengan katup solenoid dan timer (Teisson & Alvard, 1999).
Rangkaian alat dan mode operasi TIS RITA© dapat dilihat pada Gambar 2.1
5
2.2 Imbibisi dan Perkecambahan
Perkecambahan didefinisikan sebagai gabungan kejadian-kejadian yang
dimulai dengan pengambilan air secara difusi dan osmosis oleh biji kering yang
diam (imbibisi) dan diakhiri dengan elongasi dari sumbu embrionik (Bewley &
Black, 1994). Akhir dari proses perkecambahan biasanya ditandai dengan penetrasi
struktur di sekitar embrio oleh radikula. Kejadian-kejadian selanjutnya, termasuk
mobilisasi dari cadangan utama, diasosiasikan dengan pertumbuhan benih.
2.2.1 Imbibisi
Pengambilan air oleh biji dewasa yang kering terdiri dari tiga fase
(triphasic), dengan pengambilan air awal dengan cepat (fase 1) diikuti fase plateau
(fase 2). Peningkatan pengambilan air lebih lanjut terjadi hanya setelah germinasi
selesai, seiring proses elongasi dari sumbu-sumbu embrionik. Oleh karena itu, biji
yang mengalami dormansi tidak dapat menyelesaikan proses perkecambahan
(Bewley J. D., 1997).
Fluks masukan air ke dalam sel biji kering selama fasa 1 menghasilkan
kekacauan struktur sementara, khususnya pada membran, yang menyebabkan
kebocoran zat terlarut dan metabolit dengan berat molekul rendah yang cepat dan
instan ke sekitar larutan imbibisi. Hal ini merupakan gejala transisi dari komponen
fosfolipid pada membran dari fasa gel pada yang diperoleh selama pengeringan saat
pendewasaan menjadi normal dengan bentuk kristalin-cairan terhidrasi (Crowe &
Crowe, 1992). Dalam waktu rehidrasi yang singkat, membran kembali ke
konfigurasi yang lebih stabil, yaitu saat kebocoran zat terlarut dapat dibatasi.
Selama imbibisi, biji kering yang diam melanjutkan proses metabolisme
dengan cepat. Struktur-struktur dan enzim yang dibutuhkan dalam awal permulaan
aktivitas metabolik kembali diasumsikan sudah ada di biji kering. Pengenalan air
kembali selama imbibisi diperlukan agar aktivitas metabolik dapat diteruskan,
dengan pergantian komponen-komponen yang terjadi selama beberapa jam saat
status metabolik penuh sudah tercapai (Bewley J. D., 1997)
Salah satu perubahan awal yang terjadi saat imbibisi adalah perubahan
aktivitas respirasi. Setelah peningkatan konsumsi oksigen awal, laju konsumsi
oksigen akan berkurang sampai radikula melakukan penetrasi ke struktur di
6
sekitarnya. Pada saat ini berlangsung, peningkatan aktivitas respirasi kembali
berlangsung. Proses respirasi ini berfungsi menghasilkan energi berupa ATP yang
digunakan untuk mendukung proses metabolisme beberapa jam setelah imbibisi
berlangsung. Proses respirasi ini terjadi pada mitokondria di jaringan biji kering
dewasa (Attucci et al., 1991).
2.2.2 Pemanjangan Radikula dan Penyelesaian Perkecambahan
Pemanjangan radikula melewati struktur disekitar embrio adalah kejadian
yang mengakhiri masa perkecambahan dan tanda dimulainya pertumbuhan
kecambah. Pemanjangan ini dapat disertai atau tidak disertai dengan pembelahan
sel. Ada dua fase sintesis DNA berbeda yang terjadi pada sel radikula setelah
imbibisi. Pertama terjadi segera setelah imbibisi dan melibatkan perbaikan DNA
yang rusak selama pengeringan biji dan rehidrasi serta sintesis DNA mitrokondria.
Sintesis DNA terkait dengan pembelahan sel pasca germinasi pada fase kedua ()
Pemanjangan radikula merupakan proses yang digerakkan oleh tekanan
turgor yang memerlukan pelengkungan dinding sel di mana sumbu embrionik akar
berada diantara tudung akar dan dasar hipokotil. Ada tiga alasan pertumbuhan
radikula dimulai. Pertama, pada akhir germinasi, potensial osmotic (φπ) pada sel
radikula menjadi lebih negatif akibat akumulasi zat terlarut, kemungkinan sebagai
hasil dari hidrolisis polimer cadangan yang ada pada sel radikula (Bradford, 1995),
kedua, ekstensibilitas dinding sel radikula yang mengizinkan pemanjangan radikula
(Cosgrove, 1997), dan ketiga, jaringan biji di sektitar ujung radikula melemah,
sehingga mengizinkan elongasi ujung radikula (Schopfer & Placy, 1985).
Proses pemanjangan radikula hanya bisa terjadi apabila terjadi
pemberhentian masa dormansi. Masa dormansi dipengaruhi oleh komposisi dari
dua hormon, yaitu ABA dan GA. ABA berperan dalam penghambatan germinasi
dan menyebabkan biji tetap berada pada masa dormansi karena menghalangi
terjadinya pelonggaran dinding sel. GA berperan penting dalam promosi dan
perbaikan proses germinasi karena berperan melawan efek inhibitor dari ABA.
Hormon GA sering dikombinasikan dengan sitokinin (Bewley & Black, 1994).
7
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Imbibisi dan Perkecambahan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses imbibisi dan
perkecambahan, seperti perbedaan konsentrasi air di dalam biji dengan lingkungan,
tekanan hidrostatik, daya intermolekuler, luas permukaan biji (bidang penyerapan),
temperatur, spesies dan varietas biji, umur, tingkat kemasakan biji, dan komposisi
kimia biji. Perbedaan konsentrasi air di dalam biji dan di luar biji akan
menyebabkan terjadinya proses difusi dan osmosis air ke dalam biji. Temperatur
mempengaruhi perkecambahan karena mempengaruhi aktivitas protein, reaksi
enzim, dan struktur membran. Apabila temperatur terlalu tinggi atau rendah, dapat
terjadi denaturasi protein, reaksi enzim autokatalitis, dan perubahan membrane
yang dapat mengakibatkan kegagalan perkecambahan akibat dormansi biji dan
bahkan kematian biji (Gutterman, 1993).
Spesies dan varietas biji mempengaruhi proses imbibisi biji, karena spesies
dan varietas biji yang berbeda akan memiliki komponen biji yang berbeda,
khususnya karakteristik kulit biji yang mempengaruhi permeabilitas air. Biji
dengan kulit biji yang tebal akan menyerap air lebih lambat dibandingkan biji
dengan kulit yang lebih tipis. Komposisi kimia biji menentukan property penyerap
air, sehingga mempengaruhi imbibisi. Karbohidrat memiliki kualitas penyerapan
air yang paling baik, diikuti protein dan lemak yang merupakan penyerap air paling
buruk. Selain itu, umur biji juga mempengaruhi proses imbibisi. Biji dengan umur
yang lebih tua akan menyerap air lebih cepat dibandingkan biji yang lebih muda
karena deteorisasi membran sel untuk menyimpan mineral dan kehilangan tekanan
turgor pada sel. Biji dengan luas permukaan lebih besar akan melakukan imbibisi
dengan lebih cepat, karena memiliki daerah kontak air yang lebih besar (Suriyong
et al., 2002).
8
et al., 2014). Pertumbuhan dan perkembangan dapat dikuantifikasi dan
direpresentasikan dalam suatu kurva. Pada umumnya pertumbuhan makhluk hidup
tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme pada tingkat organisme maupun populasi
mengikuti pola pertumbuhan kurva sigmoid (Gambar 2.2) (Zwietering et al., 2013).
9
dengan fase stasioner. Apabila substrat untuk pertumbuhan sudah tidak dapat
menunjang pertumbuhan, laju kematian akan semakin lebih besar sehingga terjadi
fase kematian.
10
Biji kacang hijau akan berkecambah pada kondisi lingkungan yang
memadai. Kandungan air dan kelembapan udara sekeliling biji harus dijaga pada
konsentrasi yang tinggi. Kadar air biji kacang hijau kering berkisar 5 – 15 %, pada
kadar air ini kelembaban terlalu rendah untuk berlangsungnya metabolisme
sehingga tahap pertama perkecambahan adalah kadar air biji kacang hijau harus
dinaikkan dengan cara dilakukan perendaman atau ditempatkan pada lingkungan
yang jenuh uap (Anggrahini, 2011). Selain itu suhu optimum perkecambahan biji
adalah 34℃, sementara pertumbuhan tanaman kacang hijau optimum pada suhu 25
– 27 ℃ dan kelembapan udara 50 – 90 % (Junaidi & Isworo, 2014).
2.1.4 Jagung
Jagung merupakan salah satu sumber bahan makanan pokok yang
tergolong dalam biji-bijian. Tumbuhan ini termasuk dalam tanaman semusim yang
banyak ditemukan di daerah beriklim tropis. Menurut Iriany & Andi (2008),
klasifikasi ilmiah jagung adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L.
Biji jagung merupakan jenis serealia dengan ukuran biji terbesar dengan
berat rata-rata 250 – 300 mg per biji (Fauzi, 2012). Biji jagung berbentuk bulat
melebar dan tipis. Warna biji jagung bermacam-macam, mulai dari kuning, merah,
ungu, dan putih (Iriany & Andi, 2008). Keragaman warna biji jagung tersebut
merupakan akibat adanya variasi genetik pada tumbuhan jagung tersebut.
Terkadang dalam satu tongkol biji jagung terdapat beberapa warna disebabkan
terjadinya transpose gen atau jumping gen (Iriany & Andi, 2008). Varietas tanaman
jagung juga bermacam-macam, beberapa varietas memungkinkan untuk tumbuh
lebih cepat (Fauzi, 2012).
11
Kandungan biji jagung sebagian besar adalah karbohidrat, yaitu mencapai
80% dari biji kering. Karbohidrat yang terkandung dalam biji jagung pada
umumnya merupakan campuran amilosa dan amilopektin. Struktur biji jagung
secara umum terdiri dari tiga bagian, yaitu pericarp, endosperma, dan lembaga.
Pericarp merupakan bagian terluar biji jagung, lapisan kedua yaitu endosperma
yang merupakan cadangan makanan biji, dan lapisan terdalam yaitu lembaga atau
embrio biji (Purwono & Hartono, 2005). Biji jagung berkecambah apabila berada
pada kondisi lingkungan yang mendukung. Pada perkecambahan biji jagung, suhu
optimal berkisar 30°C – 32°C. Suhu di bawah 12,8°C akan mengganggu
perkecambahan sehingga dapat menurunkan yield, sementara pada suhu 40°C –
44°C lembaga (embrio) jagung menjadi rusak (Purwono & Hartono, 2005).
12
BAB III
METODOLOGI
13
Gambar 3.1 Rangkaian alat percobaan bioreaktor TIS RITA©.
14
3.2.2 Penentuan swelling quotient
Adapun dalam penentuan pengaruh temperatur terhadap volume
kesetimbangan, dilakukan pengukuran terhadap swelling quotient sesuai metode
yang pernah dijalankan oleh Leopold (1983). Dua gram biji kacang hijau yang
sudah diimbibisi selama 24 jam (full hydrated) diletakkan didalam ruang kultur
(suhu 20 C) dan dua gram dengan kondisi serupa diletakkan didalam oven (suhu 50
C). Setelah 1,5 jam, biji yang diletakkan di ruang kultur dikeluarkan kemudian
diukur volumenya menggunakan teknik water displacement seperti langkah kerja
3.2.1. Adapun biji yang berada didalam oven baru dapat dikeluarkan setelah 3 jam
sebelum dilakukan pengukuran volume menggunakan teknik serupa.
15
berat basah kacang hijau tersebut. Setelah itu aluminium foil berisi kacang hijau
dipindahkan kedalam oven dengan suhu 130°C. Setelah 30 menit, biji kacang hijau
dikeluarkan dan ditempatkan kedalam desikator selama beberapa waktu sebelum
dilakukan pengukuran berat kering menggunakan neraca yang sama.
Berikutnya biji kacang hijau kembali dimasukkan kedalam oven 130°C
selama 10 menit dan setelahnya dilakukan penyimpanan di desikator dan
pengukuran berat kering seperti sebelumnya. Langkah ini terus dilakukan berulang-
ulang hingga didapat nilai berat kering biji kacang hijau yang konstan dengan
isyarat tidak berubahnya dua angka dibelakang koma hasil pengukuran.
Pengukuran terhadap nilai berat basah dan berat kering ini dilakukan setiap 2 hari
pada jam yang sama dengan mengambil sampel dari salah satu kompartemen pada
bioreaktor hingga seluruh biji kacang hijau dalam reaktor terambil.
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
0.400
0.000
0 0.5 1 1.5 2 2.5
t (jam)
Gambar 4.1 Hubungan proporsi penambahan volume dan volume total terhadap
waktu pada biji kacang hijau
Berdasarkan persamaan yang diperoleh dari hasil regresi linier, maka nilai
swelling coefficient biji kacang hijau yang dipeoleh adalah 0,1299 jam-1 dengan
nilai R2 sebesar 0,974. Percobaan juga dilakukan pada biji jagung dimana tren yang
dihasilkan sama dengan biji kacang hijau (Gambar 4.2). Nilai swelling coefficient
17
biji jagung yang diperoleh lebih besar daripada kacang hijau, yaitu sebesar 1,2633
jam-1 dengan nilai R2 sebesar 0,873. Berbeda dengan hasil percobaan Leopold
(1983) dengan waktu pengamatan selama 24 jam, nilai swelling coefficient biji
jagung (0,157 jam-1) lebih kecil daripada kacang hijau (0,180 jam-1).
4.500
4.000
3.500 y = 1,2633x + 0.8838
-ln(a max - a)/ a max
R² = 0.873
3.000
2.500
-ln(a max - a)/ a
2.000 max
1.500 Linear (-ln(a max -
a)/ a max)
1.000
0.500
0.000
0 1 2 3
t (jam)
Gambar 4.2 Hubungan proporsi penambahan volume dan volume total terhadap
waktu pada biji jagung
18
tersebut diduga menyebabkan laju ekspansi biji jagung lebih cepat daripada biji
kacang hijau. Selain itu, waktu pengamatan laju ekspansi biji pada percobaaan ini
hanya dilakukan selama 2 jam sementara Leopold (1983) melakukan pengamatan
hingga 24 jam dengan interval 10 jam. Sehingga dinamika laju ekspansi biji pada
percobaan ini tidak teramati secara keseluruhan. Pengabaian tersebut berpengaruh
pada galat nilai swelling coefficient biji jagung dan kacang hijau pada percobaan
ini.
Tabel 4.1 Swelling quotient untuk dua variasi suhu yang berbeda
Swelling quotient
Kelompok
T = 20oC T = 50oC
5 (kacang hijau) 1,125 1,273
6 (kacang hijau) 1,083 1,207
3 (jagung) 0,875 1,125
4 (jagung) 1,071 1
19
quotient pada suhu perendaman yang lebih tinggi akan lebih besar dibandingkan
pada suhu perendaman yang lebih rendah.
Salah satu karakter mikroskopik yang dapat dianalogikan dengan peristiwa
swelling dari biji adalah peristiwa swelling dari polimer-polimer penyusun biji
(Leopold, 1983). Suhu imbibisi akan mempengaruhi derajat deformasi polimer-
polimer tersebut ketika proses imbibisi berjalan. Suhu yang lebih tinggi akan
menyediakan energi yang lebih banyak untuk meregangkan struktur dari polimer-
polimer penyusun biji tersebut sehingga dalam rentang waktu yang sama, suhu yang
lebih tinggi dapat mempercepat proses deformasi dari polimer tersebut. Proses
deformasi polimer ini akan menyediakan celah antarmolekul yang lebih luas untuk
dapat diisi oleh air dan meningkatkan derajat pembengkakan biji (Chung et al.,
1961). Karakteristik perubahan volume akhir biji pada suhu perendaman yang
berbeda terhadap waktu digambarkan melalui Gambar 4.3.
1.3 1.6
1.28 1.4
1.26
1.2
1.24
1.22 1
t (jam)
V/V0
1.2 0.8
1.18 0.6
1.16
0.4
1.14
1.12 0.2
1.1 0
0 10 20 30 40 50 60
T (℃)
Gambar 4.3 Kurva hubungan antara swelling coefficient dan suhu perendaman
Variasi jenis biji yang digunakan pada percobaan ini adalah biji dari
tanaman kacang hijau dan biji dari tanaman jagung. Untuk membandingkan
swelling quotient dari kedua jenis biji, data swelling quotient pada Tabel 4.1 dirata-
rata terlebih dahulu dan hasilnya disajikan pada Tabel 4.2. Penghitungan nilai rata-
20
rata dapat dilakukan karena perlakuan dan kondisi lingkungan ketika pengambilan
data serupa dan bisa dianggap sebagai data duplo.
Tabel 4.2 Swelling quotient rata-rata untuk kedua jenis biji yang digunakan
Swelling quotient
Tanaman
T = 20oC T = 50oC
Kacang hijau 1,104 1,24
Jagung 1,083 1,207
21
Gambar 4.4 Struktur anatomi tanaman C3 dan C4
(Sumber: Langdale, 2015)
3.00
2.50
2.00 r : 48; tr : 96
1.50 r : 24; tr : 48
1.00
0.50
0.00
0 2 4 6 8
Waktu (hari)
22
4.00
3.50
3.00
Berat basah (g)
2.50
2.00
r : 48; tr : 96
1.50 r : 24; tr : 48
1.00
0.50
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (hari)
Tabel 4.3 Laju pertumbuhan biomassa basah kacang hijau dan jagung (r : waktu
perendaman)
Laju pertumbuhan (hari-1)
Tanaman
r : 48 menit r : 24 menit
Kacang hijau 0,350 0,301
Jagung 0,194 0,216
23
untuk mencegah biji berkecambah pada saat penyimpanan. Namun, dibalik
fungsinya tersebut, coating dapat menyebabkan proses imbibisi pada biji jagung
menjadi terhambat, sehingga laju pertumbuhannya menjadi lebih lambat (Schneider
& Renault, 1997).
Waktu yang dibutuhkan oleh biji secara umum untuk melakukan imbibisi
hingga menjadi jenuh dengan air adalah 24 jam (Leopold, 1983). Meskipun
demikian, variasi frekuensi perendaman yang diberikan memberikan hasil yang
berbeda antara biji kacang hijau dan biji jagung. Perbedaan spesies, yang merujuk
pada perbedaan kondisi fisis maupun hereditas biji, diduga memiliki peran yang
besar dalam proses imbibisi dan perkecambahan (Leopold, 1983). Kondisi yang
terjadi pada biji kacang hijau adalah sudah mulai berkecambahnya biji tersebut pada
hari pertama, sedangkan yang terjadi pada jagung lebih lambat.
Tabel 4.4 Laju pertumbuhan biomassa kering kacang hijau dan jagung (r : waktu
perendaman)
Laju pertumbuhan (hari-1)
Tanaman
r : 48 menit r : 24 menit
Kacang hijau 0,124 -0,074
Jagung -0,028 -0,018
Selain biomassa basah, kurva dan laju pertumbuhan juga ditinjau untuk
biomassa kering. Laju pertumbuhan biomassa kering pada Tabel 4.4 menunjukkan
nilai yang lebih rendah dibandingkan biomassa basah, serta beberapa menunjukkan
nilai yang negatif. Kecenderungan atau tren dari kurva pertumbuhan dapat dilihat
pada Gambar 4.7 dan Gambar 4.8. Lebih rendahnya laju pertumbuhan biomassa
kering terjadi karena massa air yang diserap oleh kecambah terakumulasi banyak
pada biomassa basah. Massa air tersebut sudah tidak terdapat lagi pada biomassa
kering. Selain itu, proses perkecambahan juga diikuti dengan terjadinya respirasi
untuk pertumbuhan biji tersebut menjadi kecambah (Mudiana, 2007). Proses
perkecambahan dilakukan di dalam tempat yang tidak terpapar cahaya, sehingga
tidak ada proses fotosintesis yang terjadi. Tidak terjadinya fotosintesis
24
menyebabkan kecambah sangat bergantung pada cadangan makanan yang terdapat
pada kotiledon dan endosprema sebagai sumber energi. Konsumsi cadangan
makanan ini dan tidak terjadinya fotosintesis dapat menyebabkan tanaman tetap
bertumbuh namun dengan biomassa kering yang menurun.
1.20
1.00
Berat kering (g)
0.80
0.60
r : 48; tr : 96
0.40 r : 24; tr : 48
0.20
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (hari)
1.60
1.40
1.20
Berat kering (g)
1.00
0.80
r : 48; tr : 96
0.60 r : 24; tr : 48
0.40
0.20
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (hari)
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapat kesimpulan sebagai
berikut.
1. Swelling coefficient biji jagung lebih besar daripada swelling coefficient
kacang hijau.
2. Swelling quotient untuk kedua jenis biji lebih besar nilainya untuk suhu
perendaman yang lebih tinggi.
3. Frekuensi perendaman yang lebih lama akan memberikan respon
pertumbuhan yang lebih baik pada biji kacang hijau ditandai dengan
peningkatan pada nilai berat basah pada kurva pertumbuhan.
4. Frekuensi perendaman yang lebih singkat akan memberikan respon
pertumbuhan yang lebih baik pada biji jagung ditandai dengan peningkatan
pada nilai berat basah pada kurva pertumbuhan.
5. Laju pertumbuhan biji jagung lebih lambat daripada laju pertumbuhan
kacang hijau.
.
5.2 Saran
Berikut adalah beberapa saran yang dapat dilakukan agar penyelenggaraan
praktikum modul ini dapat menjadi semakin baik kedepannya.
1. Perlu dilakukan isolasi sempurna terhadap bioreaktor agar volume air yang
berkurang karena bocor dapat diminimalisir.
2. Penambahan titik waktu pada pengamatan berat basah dan berat kering agar
dapat dilakukan analisis yang lebih komprehensif lagi.
26
DAFTAR PUSTAKA
Attucci, S., Carde, J., Raymond, P., Ges, V. S., Spiteri, A., & Pradet, A. (1991).
Oxidative phosphorylation by mitochondria extracted from dry sunflower
seeds. Plant Physiol, 390-398.
Bewley, J. D. (1997). Seed Germination and Dormancy. The Plant Cell, 1055-1066.
Bewley, J., & Black, M. (1994). Seeds: Physiology of Development and
Germination. New York: Plenum Press.
Bradford, K. J. (1995). Water relations in seed germination. In J. Kigel, & G. Galili,
Seed Development and Germination (pp. 313-339). New York: Marcel
Dekker.
Chung, D. S., Fan, L., & Shellenberger, J. A. (1961). Volume Increase of Wheat
Kernels Accompanying Absorption of Liquid Water. Manhattan: Kansas
State University.
Cosgrove, D. (1997). Relaxation in high-stress environment: The molecular bases
of extensible cell walls and cell enlargement. Plant Cell, 1031-1041.
Crowe, J., & Crowe, L. (1992). Membrane integrity in anhydroiotic organisms:
Toward an mechanism for stabilizing dry seeds. In G. Somero, C. Osmond,
& C. Bolis, Water and lIfe (pp. 87-103). Berlin: Springer-Verlag.
Etienne, H., & Berthouly, M. (2002). Temporary immersion systems in plant
micropropagation. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture, 215-231.
Gutterman, Y. (1993). Seed germination in desert plants. Berlin: Springer-Verlag.
Langdale, J. (2015). Kranz Anatomy. Retrieved from
https://langdalelab.com/research-2/kranz-anatomy/.
Leopold, A. C. (1983). Volumetric components of seed imbibition. Plant
Physiology, 73(3), 677-680.
Mudiana, D. (2007). Germination of Syzigium cumini (L.) Skeels. Biodiversitas
Journal of Biodiversity, 8(1), 39-42.
Schneider, A., & Renault, P. (1997). Effects of coating on seed imbibition : I. Model
estimates of water transport coefficient. Crop Science, 37(6), 1841-1849.
27
Schopfer, P., & Placy, C. (1985). Control of seed germination by abscisic acid III.
Effect of embryo growth potential (minimum turgor pressure) and growth
coefficient (cell wall extensibility) in Brassica napus L. Plant Physiol, 676-
686.
Teisson, C., & Alvard, D. (1999). In vitro production of potato microtubers in liquid
medium using temporary immersion. Potato Research, 499-504.
Watt, M. (2012). The status of temporary immersion system (TIS) technology for
plant micropropagation . African Journal of Biotechnology, 14025-14035.
Zebua, S. J., Toekidjo, Rabaniyah, R. (2012). Kualitas Benih Kacang Hijau (Vigna
Radiata (L.) R. Wilczek) pada Pertanaman Monokultur dan Tumpang Sari
Dengan Jagung (Zea Mays L.). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Ziv, M. (2000). Bioreactor technology for plant micropropagation. Hortic : Rev, 1-
30.
28
LAMPIRAN
29
Lampiran A Cara Pengolahan Data
dengan k adalah nilai swelling coefficient (jam-1), t adalah waktu (jam), a adalah
pertambahan volume pada waktu t (mL), dan amax adalah pertambahan volume
maksimal (mL). Data pertambahan volume yang diperoleh kemudian digunakan
untuk menentukan proporsi pertambahan volume terhadap pertambahan volume
total. Selanjutnya data tersebut diplot terhadap waktu dan dilakukan regresi linier
dengan menggunakan Ms. Excel. Persamaan regresi linier ditunjukkan oleh (A.1.1)
dan dengan nilai R2 sebesar 0,974. Nilai k adalah gradien dari persamaan regresi
linier yang diperoleh, sehingga nilai k adalah sebesar 0,1299 jam-1.
𝑦 = 0.1299𝑥 + 0.2904 (A.1.2)
0.600
y = 0.1299x + 0.2904
R² = 0.974
0.500
-ln(a max - a)/ a max
0.400
0.100
0.000
0 0.5 1 1.5 2 2.5
t (jam)
Gambar A.1 Hubungan proporsi penambahan volume dan volume total terhadap
waktu
30
A.2 Swelling Quotient
Data pengamatan pertambahan volume biji kacang hijau dengan perlakuan
perendaman pada 20℃ dan 50℃ ditampilkan pada lampiran B.3. Swelling quotient
ditentukan dengan membagi volume akhir (V) dengan volume awal (V0).
Kemudian data swelling quotient dan waktu perendaman diplotkan terhadap
perubahan suhu. Pengaluran garis hubungan antara swelling quotient dan waktu
perendaman terhadap perubahan suhu disajikan pada Gambar A.2.
1.300 1.6
1.280 1.4
1.260
1.2
1.240
1.220 1
t (jam)
V/V0
1.200 0.8
1.180 y = 0.0049x + 1.0265 0.6
1.160
0.4
1.140
1.120 0.2
1.100 0
0 10 20 30 40 50 60
T (℃)
31
Lampiran B Data Mentah
B.2 Data Mentah Swelling Coefficient Biji Kacang Hijau dan Jagung
a max
Biji Kelompok a=0 a=0,5 a=1 a=1,5 a=2
(mL)
3 4,000 2,667 3,167 3,375 3,333 3,333
Jagung
4 3,750 2,167 3,167 3,200 3,367 3,667
Kacang 5 5,750 1,467 1,633 2,067 2,200 2,417
Hijau 6 5,917 1,500 2,270 2,300 2,330 2,330
Volume (mL)
Biji Kelompok Vo Vo V V
(T=20℃) (T=50℃) (T=20℃) (T=50℃)
3 4 4 3.5 4.5
Jagung
4 3.5 4 3.75 4
Kacang 5 6 5.5 6.75 7
Hijau 6 6 5.8 6.5 7
32
B.4 Data Mentah Kurva Pertumbuhan Biji Kacang Hijau
Pengamatan (hari)
Biji Kel. t=0 t=1 t=2 t=3
FW DW FW DW FW DW FW DW
3 1.052 1.024 2.083 0.893 2.762 1.131 3.361 0.861
Jagung
4 1.000 0.971 2.183 1.033 2.765 1.398 3.652 0.866
Kacang 5 0.512 0.504 2.092 0.734 2.720 0.897 4.174 1.054
Hijau 6 0.517 0.503 1.712 0.452 2.595 0.482 3.166 0.320
33
Lampiran C Dokumentasi
34
C.4 Kacang hijau dalam bioreaktor TIS RITA© pada t=1
35
36