LAPORAN PRAKTIKUM
Oleh:
Kelompok 06
Adira Angelika (11215012)
Romario Joseph (11215013)
Dinda Ayu Islami (11215025)
Harryyanto Ishaq Agasi (11215035)
Noptaliana Zakiah (11215042)
i
noidosa. ................................................................................. 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 26
4.1 Hasil ......................................................................................................... 26
4.1.1 Kurva pertumbuhan sel Chlorella pyrenoidosa ..................... 26
4.1.2 Laju pertumbuhan spesifik dan doubling time....................... 28
4.1.3 Yield Biomassa....................................................................... 29
4.1.4 Produk kultur sel Chlorella pyrenoidosa ............................... 29
4.2 Pembahasan ............................................................................................ 29
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 34
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 34
5.2 Saran ........................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35
LAMPIRAN .......................................................................................................... 38
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GRAFIK
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Laju pertumbuhan penduduk serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat mengakibatkatkan penyempitan
lahan. Hal ini disebabkan bertambahnya jumlah penduduk selalu diiringi
dengan bertambahnya bangunan-bangunan pemukiman maupun
nonpemukiman. Penyempitan lahan yang terus terjadi menimbulkan
masalah lain terutama di bidang pertanian. Kebutuhan pangan dunia pun
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk sedangkan luas
lahan pertanian semakin mengecil. Selain itu kebutuhan energi juga
semakin meningkat sedangkan bahan bakar fosil terus menipis. Maka dari
itu dibutuhkan suatu alternatif lain dalam pemenuhan pangan dan energi.
Chlorella pyrenoidosa merupakan spesies mikroalga uniselular
yang sering dimanfaatkan sebagai suplemen makanan di Jepang. Chlorella
pyrenoidosa juga punya manfaat sebagai fungsi imun. Selain itu C.
pyrenoidosa pun mengandung beberapa komponen kimia bermanfaat
seperti vitamin, mineral, dan asam amino (Chidley & Davison, 2017).
Chlorella pyrenoidosa sangat berpotensi sebagai bahan baku untuk
memproduksi berbagai macam bioproduk bernilai tinggi. Perbanyakan
Chlorella pun sangat mudah dan tidak membutuhkan lahan yang luas.
Namun, dalam produksi skala industri ada hal yang perlu dipertimbangkan
dalam memproduksi bioproduk dari C. pyrenoidosaseperti kandungan
metabolit yang diinginkan, cara paling efektif untuk memperoleh metabolit
yang diinginkan, serta nila jual produknya nanti. Maka dari itu
diperlukannya berbagai penelitian atau riset untuk mengetahui berbagai
karakteristik dari C. pyrenoidosa seperti kandungannya, laju pertumbuhan,
kondisi optimal untuk tumbuh dan berkembang, dan sebagainya. Hal ini
melatarbelakangi praktikum mengenai kinetika pertumbuhan sel.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pengamatan kami adalah sebagai berikut,
1. Menentukan laju pertumbuhan spesifik (μ) serta doubling time(dt)
pada petumbuhan Chlorella pyrenoidosa.
2
2. Menentukan berat segar dan berat keringyang diperoleh dari kultur
Chlorella pyrenoidosa.
3. Menentukan jumlah sel yang diperoleh dari suspensikultur Chlorella
pyrenoidosa menggunakan hemasitometer.
4. Menentukan yield biomassa terhadap konsumsi nitrat pada kultur
Chlorella pyrenoidosa.
5. Menentukan yield produk berupa klorofil a, klorofil b, dan karotenoid
dari kultur Chlorella pyrenoidosa.
1.3 Hipotesis
Parameter kinetika pertumbuhan sel Chlorella pyrenoidosa dapat
dianalisis berdasarkan laju pertumbuhan spesifik (μ), doubling time, dan
perolehan yield biomassa di mana peningkatan jumlah biomassa
berbanding terbalik dengan jumlah substrat yang tersedia.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1.1 Taksonomi
Adapun taksonomi dari Chlorella pyrenoidosa adalah sebagai
berikut (ITIS Taxonomy, 1996):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Infrakingdom : Chlorophyta – green algae
Divisi : Chlorophyta – green algae, alguesvertes
Subdivisi : Chlorophytina
Kelas : Trebouxiophyceae
Ordo : Chlorellales
Famili : Oocystaceae Genus : Chlorella Beijerinck, 1890
Species : Chlorella pyrenoidosa Chick
2.1.2 Morfologi
Chlorella pyrenoidosa (Gambar 2.1) tergolong tumbuhan
tingkat rendah berukuran 3 – 15 mikron (wirosaputro, 2010).
Chlorella pyrenoidosa merupakan spesies mikroalga uniseluler
yang membutuhkan cahaya untuk pertumbuhan. Mikroalga ini
memiliki kloroplas berbentuk mangkuk. Perkembangbiakan spesies
terjadi secara vegetatif dengan membelah diri. Setiap selnya
mampu membelah diri dan menghasilkan empat sel baru yang tidak
mempunyai flagel. Mikroalga fotoautotrof ini umumnya dikultivasi
pada kolam terbuka ataupun pada fotobioreaktor (Patil et al.,
2005). Adapun morfologi dari Chlorella pyrenoidosa dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
5
Gambar 2.1 Chlorella pyrenoidosa
(Sumber : http://www.rbgsyd.nsw.gov.au, 2009)
2.1.3 Kandungan
Chlorella sp. dianggap sebagai spesies yang paling cocok
dalam produksi biofuel karena mampu mengakumulasi
triasilgliserida (TAGs) dalam kondisi kekurangan nutrien, serta
dalam lingkungan ekstrem dengan suhu tinggi, pH tingi, dan
intensitas cahaya yang tinggi (Shekh et al.,2016).
Pertumbuhan serta produktivitas organisme ini bergantung
pada kualitas dan kuantitas nutrien yang diberikan (Chiu et al.,
2015).. Mikroalga merupakan agen konversi yang sangat efisien
serta mampu memproduksi beragam metabolit (Chaumont, 2005).
TAGs yang terakumulasi dalam Chrolella sp. dikenal mengandung
asam lemak yang sejenis dengan diesel konvensional (Prˇibyl et al.,
2012, 2013; Blair et al., 2013). Sehingga, Chlorella sp cocok untuk
memproduksi energi alternatif. Komposisi kimia dari beberapa
mikroalga dapat dilihat pada Tabel 2.1.
6
Tabel 2.1 Komposisi kimia dari beberapa mikroalga
(Sumber : Sumber : Demirbas & Demierbas, 2011)
Spesies Protein Karbohidrat Lipid Asam
nukleat
Scenedesmus 50–56 10–17 12–14 3–6
obliquus
Scenedesmus 47 – 1.9 –
quadricauda
Scenedesmus 8–18 21–52 16–40 –
dimorphus
Chlamydomonas 48 17 21 –
rheinhardii
Chlorella 51–58 12–17 14–22 4–5
vulgaris
Chlorella 57 26 2 –
pyrenoidosa
Spirogyra sp. 6–20 33–64 11–21 –
Dunaliella 49 4 8 –
bioculata
Dunaliella salina 57 32 6 –
Euglena gracilis 39–61 14–18 14–20 –
Prymnesium 28–45 25–33 22–38 1–2
parvum
Tetraselmis 52 15 3 –
maculate
Porphyridium 28–39 40–57 9–14 –
cruentum
Spirulina 46–63 8–14 4–9 2–5
platensis
Spirulina maxima 60–71 13–16 6–7 3–4.5
Synechoccus sp. 63 15 11 5
Anabaena 43–56 25–30 4–7 –
cylindrical
7
dapat diukur sebagai fungsi waktu untuk memperoleh kurva pertumbuhan
(Maier et. al 2009). Beberapa fase pertumbuhan dapat diobservasi dalam
sebuah kurva pertumbuhan. Fase-fase pertumbuhan sel pada suatu kurva
pertumbuhan sel terhadap waktu ditunjukkan pada Gambar 2.2
8
Gambar 2.3 Pembelahan sel pada fase pertumbuhan eksponensial
(Sumber : Uzir dan Mat, 2007)
9
pertambahan yang konstan
Deselerasi Menurun Ketersediaan nutrien mulai
menurun
Stasioner Nol Nutrien berada pada ambang
kehabisan
Deklinasi Negatif Laju penurunan meningkat
Kematian Negatif Sel-sel mengalami lisis karena
nutrient dalam medium sudah
habis
10
pada jumlah sel yang sangat sedikit (kurang dari
102 sel/ml) (Purwoko, 2007).
Kelemahan lainnya ialah sulitnya menghitung sel
yang berukuran sangat kecil seperti bakteri karena
kekebalan hemositometer tidak memungkinkan
digunakannya lensa objektif celup minyak. Hal ini dibatasi
dengan cara mencernai sel sehingga menjadi lebih mudah
dilihat. Kelemahan lain lagi ialah kadang-kadang cenderung
bergerombol sehingga sukar membedakan sel-sel individu.
Cara mengatasinya ialah mencerai-beraikan gerombolan
sehinggga tersebut dengan menambahkan bahan anti
gumpalan seperti dinatrium etilanadiamina tetra
asetat dan tween-80 sebanyak 0,1%. Keuntungan metode
ini ialah pelaksanaannya cepat dan tidak memerlukan
banyak peralatan (Hadioetomo, 1993).
2.3.1.2 Metode Turbidimetrik
Bila kita harus memeriksa kosentrasi sel jumlah
besar biakan, maka metode cawan bukanlah pilihan yang
baik karena tidak hanya memakan waktu tetapi juga
memerlukan media dan pecah-belah dalam jumlah besar.
Untuk kasus demikian tersedia metode yang lebih cepat dan
praktis, yaitu pengukuran kekeruhan biakan dengan
fotokilometer (Hadioetomo, 1993).Secara rutin jumlah sel
bakteri dapat dihitung dengan cara menghitung kekeruhan
(turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin
banyak jumlah sel. Prinsip dasar metode turbidimeter
adalah jika cahaya mengenai sel, maka sebagian cahaya
diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya
yang diserap propisional (sebanding lurus dengan jumlah
sel bakteri). Ataupun jumlah cahaya yang diteruskan
berbanding terbalik dengan jumlah sel bakteri.Semakin
11
banyak jumlah sel, semakin sedikit cahaya yang diteruskan.
Metode ini memiliki kelemahan tidak dapat membedakan
antara sel mati dan sel hidup (Purwoko, 2007).
2.3.1.3 Metode Berat Kering
Cara yang paling cepat mengukur jumlah sel adalah
metode berat kering. Metode tersebut relatif mudah
dilakukan, yaitu kultur disaringan atau disentrifugasi,
kemudian bagian yang disaring atau yang mengendap hasil
sentrifugasi dikeringkan. Pada metode ini juga tidak dapat
membedakan sel yang hidup dan mati. Akan tetapi
keterbatasan itu tidak mengurangi manfaat metode tersebut
dalam hal mengukur efesiensi fermentasi, karena
pertumbuhan diukur dengan satuan berat, sehingga dapat
diperhitungkan dengan parameter konsumsi substrat dan
produksi senyawa yang diinginkan (Purwoko, 2007).
2.3.1.4 Metode Elektronic Counter
Pada pengukuran ini, suspensi mikroorganisme
dialirkan melalui lubang kecil (orifice) dengan bantuan
aliran listrik. Elektroda yang ditempatkan pada dua sisi
orifice mengukur tekanan listrik (ditandi dengan naiknya
tekanan) pada saat bakteri melalui orifice. Pada saat inilah
sel terhitung. Keuntungan metode ini adalah hasil bisa
diperoleh dengan lebih cepat dan lebih akurat, serta dapat
menghitung sel dengan ukuran besar. Kerugiannya metode
ini tidak bisa digunakan untuk menghitung bakteri karena
adanya gangguan derbit, filamen, dan sebagainya, serta
tidak dapat membedakan antara sel hidup dan sel mati
(Pratiwi, 2008).
2.3.1.5 Metode Plating Techique
Metode ini merupakan metode perhitungan jumlah
sel tampak (visible) dan di dasarkan pada asumsi bahwa
12
bakteri hidup akan tumbuh, membelah dan memproduksi
satu koloni tunggal. Satuan perhitungan yang dipakai
adalah CFU (colony forming unit) dengan cara membuat
seri pengenceran sampel dan menumbuhkan sampel pada
media padat. Pengukuran dilakukan pada plat dengan
jumlah koloni berkisar 25-250 atau 30-300. Keuntungan
metode ini adalah sederhana, mudah dan sensitif karena
menggunakan colony counter sebagai alat hitung dapat
digunakan untuk menghitung mikroorganisme pada sampel
makanan, air ataupun tanah. Kerugiannya adalah harus
digunakan media yang sesuai dan perhitungannya yang
kurang akurat karena satu koloni tidak selalu berasal dari
satu individu sel (Pratiwi, 2008).
2.3.1.6 Metode filtrasi membran
Pada metode ini sampel dialirkan pada suatu sistem
filter membran dengan bantuan vaccum. Bakteri yang
terperangkap selanjutnya ditumbuhkan pada media yang
sesuai dan jumlah koloni dihitung. Keuntungan metode ini
adalah dapat menghitung sel hidup dan sistem
perhitungannya langsung, sedangkan kerugiannya adalah
tidak ekonomis (Pratiwi, 2008).
2.3.1.7 Spektrofotometri
Metode analisa spektrofotometer ini didasarkan
kepada kekeruhan yang ditimbulkan oleh koloni bakteri
yang tumbuh dan berkembang di suatu media . Prinsip kerja
yang terdapat pada alat spektrofotometer ini adalah apabila
ada cahaya (monokromatik maupun campuran) jatuh pada
suatu medium yang homogen,dan sebagian dari sinar
masuk akan dipantulkan, sebagian di serap dalam medium
itu, dan sisanya diteruskan. Nilai yang keluar dari cahaya
yang diteruskan dinyatakan dalam nilai absorbansi karena
13
memiliki hubungan dengan konsentrasi sampel. Studi
tentang spektrofotometri biasa dianggap juga sebagai
perluasan suatu pemeriksaan visual yang lebih mendalam
dari absorbsi energi (Gibsen, 1996).
14
jumlah vitamin yang di hasilkan mikroorganisme (Pratiwi,
2008).
2.3.2.3 Plate Count
Plate count/viable count meupakan suatu metode
yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel-sel
mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh
menjadi satu koloni bakteri setelah ditumbuhkan dalam
suatu media pertumbuhan dan lingkungan yang sesuai.
Setelah diinkubasi, jumlah koloni yang bisa tumbuh
tersebut dihitung dan merupakan perkiraan atau juga
dugaan dari suatu jumlah mikroorganisme yang ada
didalam suspensi. Koloni-koloni bakteri yang tumbuh tidak
selalu berasal dari satu sel mikroorganisme karena beberapa
mikroorganisme tertentu cenderung membentuk kelompok
atau berantai. Berdasarkan hal tersebut digunakan ,maka
biasa disebut dengan istilah Coloni Forming Units (CFU’s)
per ml (Fardiaz, 1993).
15
fotosintesis, maka laju fotosintesis dan laju pertumbuhan berkurang
(Myers, 1944). Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan
tanaman tapat dilihat pada Gambar 2.4.
2.4.2 Medium
Semakin lama C. pyrenoidosa tumbuh, semakin basa
medium kultur (grafik 2.4.2). Pada konsentrasi karbon dioksida
3.5% pH berhenti betambah pada pH 7, namun pada konsntrasi
CO2 rendah (0.03%) pH tetap bertambah. Karbon dioksida tidak
terionisasi pada pH 4.5; namun terionisasi 50% pada pH 6.5 dan
75% pada pH 7.0. Pada medium baru (pH ± 4,5) pH tidak
terpengaruh oleh konsentrasi udara yang dipompakan ke medium,
namun pada daerah pH 7.0 pH ditekan oleh konsentrasi karbon
dioksida 3.5 sampai 5 persen (Myers, 1944). Pengaruh konsentrasi
CO2 terhadap pH dapat dilihat pada Gambar 2.5.
16
Gambar 2. 5 Grafik pengaruh konsntrasi CO2 pada pH
(Sumber : Myers, 1944)
17
Medium N-8 memiliki kekurangan pada besi, magnesium,
sulfur dan nitrogen pada sel C. vulgaris dengan kepadatan tinggi
(Mandalam, 1998). Kandungan menurut Chlorella memiliki
rentang yang cukup kecil pada nitrogen dan sulfur (6.2 – 7.7 persen
dan 0.28 – 0.39 persen berurutan (Oh-Hama, T. dan Miyachoi, S.
(1998)) , sehingga dapat disimpulkan bahwa Chlorella pyernoidosa
juga mengalami kekurangan paling tidak dua nutrisi di atas.
Sebagai perbandingan, pengaruh biomassa Chlorella sp. terhadap
medium dapat dilihat dalam Tabel 2.3
18
empat nutrisi tersebut tidak menmberikan pengkatan (Mandalam,
1998). Medium M-8 juga menyebabkan peningkatan 3 sampai 5
kali lipat klorofil per volume kultur dibandingkan medium N-8
(Mandalam, 1998). Peningkatan produktifitas kultur dengan
penambahan medium ditunjukan pada Gambar 2.7.
19
efeknya. Pada saat fototsintesis tekanan karbon dioksida pada
permukaan sel alga tidak boleh sama dengan lingkungannya karena
gradien difusi harus tetap ada. Tekanan karbin dioksida dalam
medium merupakan fungsi kompleks dari tekanan parsial pada fasa
gas, luas permukaan pertemuan fasa cair dan gas, laju aerasi dan
laju pengambilan karbon dioksida oleh alga. Walaupun pada kultur
tiga faktor pertama dibuat konstan, perbanyakan alga akan
meningkatkan penggunaan karbon dioksida, sehingga mengurangi
tekanan karbon dioksida di medium secara terus menerus.
Konstrasi karbon dioksida tinggi (3% – 5%) pada fasa gas (dan
aerasi yang cukup) terlihat bahwa konsntrasi karbon dioksda di
medium cair tidak pernah berada di bawah nilai karbon dioksida
jenuh fotosintesis (±0.1%). Pada konsentrasi karbon dioksida
rendah pada fasa gas (±0.03%, seperti pada udara) ada
kemungkinan pembatasan laju pertumbuhan akibat kekurangan
karbon dioksida terjadi. Jika karbon dioksida konsentrasi rendah
(±0.03%) dengan laju yang cukup tinggi (5 ml/sec), maka
kekurangan karbon dioksida akan bergantung pada posisi kurva
tumbuh (Myers, 1944). Adapun perngaruh konsentrasi CO2
terhadap jumlah sel dapat dilihat pada Gambar 2.8.
20
BAB III
METODE KERJA
Alat Bahan
Botol kultur KNO3 (1000 mg.L-1)
pH-meter KH2PO4 (720 mg.L-1)
Flowmeter Na2HPO4.2H2O (260 mg.L-1)
Light meter CaCl2.2H2O (13 mg.L-1)
Spektrofotometer Fe-EDTA (10 mg.L-1)
Hemasitometer Etanol 95%
Oven MgSO4.7H2O (50 mg.L-1)
Sonikator MnCl2.4H2O (12,98 mg.L-1)
Botol semprot CuSO4.5H2O (1,83 mg.L-1)
Desikator Akuades
Neraca analitis dan kasar Biakan Chlorella pyrenoidosa
Gelas kimia 500 mL, 250 mL, dan Tisu
100 mL
Gelas ukur 500 mL, 25 mL, dan Alkohol
10 mL
Batang pengaduk Aluminium foil
Cawan petri HCl
Sentifuga
Falcon tube
Kuvet spektrofotometer
Mikroskop dan cover glass
Tally-counter
Spatula
Mikropipet dan pipet tetes
Tabung reaksi
Pompa
21
Gambar 3.1 Rangakaian alat kinetika pertumbuhan sel
22
jumlah sel dengan Haemacytometer. Adapun cara kerja pada masing-
masing parameter adalah sebagai berikut :
3.2.2.1 Berat basah cuplikan
Sebanyak 12,5 ml kultur sel Chlorella pyrenoidosa
dimasukkan dalam falcon yang telah ditimbang bobot kosong
sebelumnya. Lalu, kultur sel di sentrifugasi dengan kecepatan
5000 rpm selama 15 menit. Setelah disentrifugasi, supernatan
dipisahkan dengan endapan. Selanjutnya, falcon yang berisi
endapan ditimbang. Berat falcon berisi endapan yang dikurangi
dengan berat falcon kosong merupakan berat endapan atau berat
basah cuplikan. Berat basah cuplikan hanya dilakukan saat awal
dan akhir pengkulturan.
3.2.2.1 Berat basah cuplikan
Falcon yang berisi endapan, sisa dari parameter berat
basah cuplikan, diambil endapannya lalu dimasukkan kedalam
cawan petri berlapis kertas saring yang telah ditimbang bobot
kosongnya. Cawan petri tersebut dimasukkan dalam oven yang
bersuhu ±60oC selama 30 menit. Setelah 30 menit, cawan petri
dimasukkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang
dengan neraca digital. Selanjutnya, cawan petri di masukkan
kembali dalam oven selama 15 menit dan ditimbang kembali
hingga mencapai bobot tetap dengan perbedaan maksimal
(±0,0005g). Berat kering cuplikan di dapat dari pengurangan
berat cawan petri dan endapan setelah didapat bobot tetap dengan
berat cawan petri kosong. Berat kering cuplikan hanya dilakukan
saat awal dan akhir pengkulturan.
3.2.2.3 Optical Density
Kultur sel Chlorella pyrenoidosa diambil sebanyak 10
ml dengan gelas ukur. Lalu diukur absorbansinya dengan
Spektrofotometer pada λ680 sebanyak tiga kali.
3.2.2.4 Jumlah sel dengan Hemasitometer
Hemasitometer disiapkan dan dipastikan dalam
keadaan bersih. Untuk membersihkannya, dapat dicuci lalu
disemprotkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya, suspensi sel
23
Chlorella pyrenoidosa yang telah dikulturkan diambil 0,1 ml
(100 μL) menggunakan mikropipet. Lalu, diteteskan kedalam
hemasitometer dengan posisi ujung pipet diantara gelas objek
dengan kaca penutup hemasitometer. Jika lerapatan sel dalam
kultur suspensi sel terlalu tinggi, maka suspensi sel diencerkan
dengan menambahkan aquadest. Sebanyak 0,1 ml (100 μL)
suspensi sel dimasukkan kedalam gelas ukur, lalu diencerkan
dengan aquadest hingga volumenya menjadi 1 ml. Setelah itu,
larutan dihomogenkan dan didiamkan selama kurang lebih
satu menit. Kemudian, larutan dimasukan kembali kedalam
hemasitometer yang telah dibersihkan. Setelah itu, suspensi
sel diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x (lensa
okuler) dan 10x lensa objektif. Selanjutnya, jumlah sel
Chlorella pyrenoidosa yang berada pada kotak W dihitung
dan total jumlah sel/mL-nya didapatkan dari mengalikan rata-
rata jumlah sel pada tiap grid dengan 104. Perhitungan jumlah
sel dilakukan saat hari ke tujuh dan akhir pengkulturan.
Selanjutnya, dari hasil pengamatan dan perhitungan
parameter tersebut dibuat kurva pertumbuhan sel (ln Biomassa
terhadap waktu). Lalu, didapat laju pertumbuhan dari slope kurva
dan dihitung laju pertumbuhan spesifik dengan rumus yang ada
pada Lampiran B.
24
berdasarkan metode SNI. Konsentarsi nitrat diukur pada awal percobaan
dan di akhir percobaan. Sisa supernatan dari parameter berat basah
cuplikan di tambahkan 0.25 mL HCl 1 N. Lalu, supernatan tersebut
didiamkan selama 10 menit. Setelah 10 menit, supernatan diukur dengan
Spektrofotometer λ220 dan λ275. Konsetrasi nitrat dihitung berdasarkan
kurva standar serapan dari konsentrasi nitrat yang sudah dibuat
sebelumnnya.
3.2.5 Produk (Konsentrasi klorofil a, b, dan karotenoid) kultur sel Chlorella
pyrenoidosa.
Sebanyak 5 ml kultur Chlorella sp. dimasukkan kedalam tabung
falcon. Lalu, sampel disentrifuga selama 10 menit pada 5000 rpm .
Selanjutnya, sel-sel Chlorella sp. ditempatkan pada tabung reaksi dan
ditambahkan 10 ml aseton (80%). Tabung tersebut dibiarkan di
pendingin (pada es) semalaman. Lalu besoknya ditempatkan pada
‘ultrasonic bath’ selama 90 detik. Dilanjutkan dengan disentrifugasi
selama 10 menit pada 5000 rpm. Supernatan diambil dengan hati-hati
lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 470 nm, 647 nm and
663 nm . Konsentrasi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid dihitung
berdasarkan rumus yang terdapat pada Lampiran B.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
26
7
14, 6.46
3.5
3 14
2.5
Berat (g)
Waktu (hari)
27
Pertumbuhan sel Chlorella pyrenoidosa dapat diteliti
dengan perhitungan kerapatan sel (g/ml) secara hemasitometer.
Adapun kurva kinetika pertumbuhan berdasarkan kerapatan sel
(g/ml) dapat dilihat pada Grafik 4.3.
140000000
120000000
Kerapatan sel (g/ml)
100000000
80000000
60000000
40000000
20000000
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (hari)
Tabel 4.2 Laju Pertumbuhan spesifik dan doubling time kultur sel
Chlorella pyrenoidosa pada berbagai metode
Metode
Berat Berat Jumlah sel Optical
kering basah Density
Laju 0.000060 0.000060 0.000068 0.000063
pertumbuhan
spesifik
28
(μ)(s-1)
Doubling 0.314 0.314 0,118 0.127
time (hari)
4.2 Pembahasan
Parameter kinetika pertumbuhan sel Chlorella pyrenoidosa dapat
dianalisis berdasarkan laju pertumbuhan spesifik (μ), doubling time, serta
perolehan yield biomassa di mana peningkatan jumlah biomassa
berbanding terbalik dengan jumlah substrat yang tersedia
29
Kurva pertumbuhan terbagi dalam beberapa fase, antara lain fase
lag, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Kurva
pertumbuhan ditunjukkan pada Grafik 4.1, 4.2 dan 4,3 yang berturut-turut
berdasarkan berat kering, berat basah, dan jumlah sel (sumbu-y) kultur sel
Chlorella pyrenoidosa terhadap waktu dalam satuan hari (sumbu-x).
Ketiga kurva tersebut menunjukkan pola yang sama dengan fase lag yang
terjadi pada hari ke-0 hingga hari ke-10,5. Jika dilihat pada Grafik 4.1, 4.2,
dan 4.3, fase lag pada ketiga kurva tersebut langsung menunjukkan
aktivitas pertumbuhan sedangkan seharusnya pada fase lag belum terjadi
peningkatan jumlah biomassa sel. Fase lag adalah fase yang terjadi ketika
awal kultivasi dimulai, pada fase ini tidak terlihat penambahan jumlah sel.
Sintesis protein terjadi dalam fase ini, peningkatan massa sel dapat terjadi
tetapi tidak dalam jumlah signifikan (Uzir dan Mat, 2007). Lalu fase
eksponensial terjadi di hari ke-10,5 hingga hari ke-14. Setelah fase
eksponensial langsung menuju ke fase kematian (death phase) dari hari ke-
14 hingga hari ke-21. Setelah itu terjadi fase lag lagi mulai dari hari ke-21
hingga hari ke-28. Pada ketiga kurva tidak terdapat fase stasioner. Hal ini
disebabkan oleh jumlah hari dalam satu periode pengukuran yang cukup
lama, yaitu selama 3 hari. Seharusnya pengukuran dilakukan minimal tiap
satu hari sekali. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Danquah et al. (2009)
dalam membuat kurva pertumbuhan Chlorella sp.
Laju pertumbuhan spesifik diambil dari kurva pertumbuhan
Chlorella pyrenoidosa pada fase stasioner yaitu pada T10,5 dan T14.
Penentuan fase stasioner dari kurva tumbuh adalah dengan melihat data
yang peningkatannya sangat tinggi. Kurva tumbuh yang ditinjau ada 4
yaitu kurva jumlah sel terhadap waktu, optical dendity terhadap waktu, dry
weight terhadap waktu, dan fresh weight terhadap waktu. Dari keempat
grafik tersebut tidak ada satupun yang membentuk kurva sigmoid sehingga
sulit untuk menentukan fase-fasenya termasuk mencari fase stasioner.
Selanjutnya pada suspensi sel Chlorella pyrenoidosa didapat hasil laju
pertumbuhan spesifiknya sebesar 0,000063/sec untuk laju pertumbuhan
30
spesifik berdasarkan optical density, 0,000068/sec untuk laju pertumbuhan
spesifik berdasarkan jumlah sel terhadap waktu, 0,000060/sec untuk laju
pertumbuhan spesifik berdasarkan berat basah dan berat kering terhadap
waktu. Nilai laju pertumbuhan spesifik yang didapat dai 4 kurva baku
tidak semuanya sama, akan tetapi nilai laju pertumbuhan spesifik dari 4
kurva tersebut berkisar 0,000060/sec. Jika di konversi kedalam satauan
hari, laju spesifiknya menjadi 0.216/hari. Laju spesifik yang diperoleh
lebih kecil disbanding dengan penelitian Hirata et al, (1981) yang sebesar
0.51/hari. Laju pertumbuhan spesifik yang berbeda disebabkan oleh
perbedaan kondisi lingkungan saat pengkulturan. Secara teoritis, terdapat
empat kondisi yang mungkin menjadi penghambatan pertumbuhan alga:
(1), produksi senyawa racun oleh sel; (2) laju karbon dioksida yang
terbatas; (3) perubahan atau kekurangan beberapa komponen dari senyawa
garam mineral; atau (4) terbatasnya energi (Myers, 1944).
Setelah diketahui nilai dari laju pertumbuhan spesifik, doubling
time dapat ditentukan melalui persamaan yang ada di Lampiran B.
Berdasarkan hasil perhitungan yang ada pada Tabel 4.2 didapatkan
doubling time Chlorella pyrenoidosa berdasarkan berat kering sebesar
0.314/hari, berat basah sebesar 0.314/hari, kerapatan sel sebesar
0,118/hari, dan optical density sebsar 0.127/hari. Hal ini menunjukkan
bahwa doubling time sel Chlorella pyrenoidosa berkisar antara 0.3/hari
hingga 0.1/hari. Kisaran doubling time yang didapatkan pada penelitian ini
lebih kecil daripada doubling time pertumbuhan Chlorella sp. yang
didapatkan pada penelitian Hirata et al. (1981) yaitu sebesar 1.36/hari. Hal
ini dikarenakan oleh kondisi lingkungan yang berbeda saat pengkulturan
sama seperti alasan kenapa laju spesifiknya berbeda.
Pada kultur sel mikroalga Chlorella pyrneoidosa tersebut,
digunakan nitrat sebagai sumber nitrogen. Pada awal periode kultur, pH
kultur berkisar pada nilai 6,99. Dalam rentang pH 7 sampai dengan 9,
terdapat dua kemungkinan pemanfaatan nitrogen dari medium, yaitu dalam
bentuk ammonium maupun nitrat (Eustance et. al, 2013). Prabowo (2009)
31
menyatakan bahwa reaksi biokimia yang terjadi pada pemanfaatan nitrat
sebagai sumber nitrogen adalah sebagai berikut:
32
sel Chlorella pyrenoidosa memiliki pigmen klorofil dan termasuk
mikroalga autotrof. Menurut Tangguna, dkk, (2015) kandungan klorofil
dalam Chlorella sp. akan sebanding dengan pertumbuhan jumlah sel .
Semakin tinggi kepadatan sel alga, kadar klorofil akan lebih tinggi pula.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Tanguna,dkk., (2015)
kerapatan sel yang diperoleh sebesar 2.333.333 sel/ml, laju pertumbuhan
spesifik sebesar 0,7677, dan kadar klorofil a 86,1568 mg/m3, dan klorofil
b sebesar 2.9000 mg/m3.Kerapatan sel yang didapat dari percobaan
kelompok ini pada hari pertama adalah 23.257.066 sel/ml dan perolehan
klorofil a pada hari pertama sebesar 2.418 mg/m3dan kadar klorofil b pada
hari pertama sebesar 0.996 mg/m3.Kemudian kerapatan sel yang didapat
dari percobaan kelompok ini pada hari terakhir adalah 53.266.580 sel/ml
dan perolehan klorofil a pada hari terakhir sebesar 2.801 mg/m3dan kadar
klorofil b pada hari terakhir sebesar 2.849 mg/m3. Berdasarkan hasil
pengujian kadar klorofil pada hari pertama dan terakhir dapat dilihat
bahwa kadar klorofil meningkat seiring dengan meningkatnya juga
kerapatan sel Chlorella pyrenoidosa.
33
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Laju pertumbuhan spesifik (μ) Chlorella pyrenoidosa yang diperoleh
berdasarkan parameter yang berbeda yaitu optical density, berat
kering, berat basah, dan hemasitometer, berturut-turut adalah
0,000068/sec 0,000060/sec, 0,000060/sec dan 0.000063/sec.
2. Doubling time Chlorella pyrenoidosa yang diperoleh berdasarkan yaitu
optical density, berat kering, berat basah, dan hemasitometer, berturut-
turut adalah 0,127.hari, 0,118/hari, 0,314/hari, 0,314/hari.
3. yield biomassa Chlorella pyrenoidosa yang diperoleh sebesar 0.07%.
4. yield produk berupa klorofil a, klorofil b, dan karotenoid dari kultur
Chlorella pyrenoidosa yang diperoleh secara berturut-turut sebesar
0.06, 0,299 dan -0,002
5.2 Saran
Seharusnya pengukuran dilakukan minimal tiap satu hari sekali.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh Danquah et al. (2009) dalam membuat
kurva pertumbuhan Chlorella sp..
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Dolan J. (1992). Mixotrophy in ciliates: a review of Chlorella symbiosis and
chloroplast retention. Mar. Microb. Food Webs 6, 115–132.
Fardiaz, S. (1993). Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada. Halaman 74.
Gibson, J. M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern Untuk Perawat.
Diterjemahkan dari buku Modern Microbiology and Patology for Nurses
oleh I.K.G. Soma Prasada. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek : Teknik dan
Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Hirata. (1981). Effect of Salinity and Temperature on The Growth of The Marine
Phytoplankton Chlorella saccharophila. Japan: Kagoshima University.
Isnansetyo A, Kurniastuty. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius.
Maier, R. M., Pepper, I. L., & Gerba, C. P. (2009). Environmental microbiology.
United States : Academic press.
PadM. A. Borowitzka and L. J. Borowitzka. (n.d). Microalgal biotechnology. Vambridge
: Cambridge University Press.
Mandalam, R. K. (1998). Elemental Balancing of Biomass and Medium
Composition Enhances Growth Capacity in High-Density Cholorella
vulgaris Cultures. Biotechnology and Bioengineering 59(5) , 605-611.
Myers, J. (1944). The Growth of Chlorella Pyrenoidosa Under Various Culture
Conditions. Plant Physiol. 19(4) , 579-589.
Oh-Hama, T., Miyachi, S. (1988). Chlorella. Cambridge : Cambridge University
Press
Patil, V., Reitan, K. I., Knutsen, G., Mortensen, L. M., Källqvist, T., Olsen, E., ...
& Gislerød, H. R. (2005). Microalgae as source of polyunsaturated fatty
acids for aquaculture. Plant Biology, 6.
Pratiwi, ST. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Yogyakarta: Penerbit Erlangga.
Halaman 176.
36
Přibyl, P., Cepák, V., & Zachleder, V. (2012). Production of lipids in 10 strains of
Chlorella and Parachlorella, and enhanced lipid productivity in Chlorella
vulgaris. Applied microbiology and biotechnology, 94(2), 549-561.
Přibyl, P., Cepák, V., & Zachleder, V. (2013). Oil overproduction by means of
microalgae. In Algal Biorefineries (pp. 241-273).
Purwoko. T. (2007). Fisiologi Mikroba. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Shekh, A. Y., Shrivastava, P., Krishnamurthi, K., Mudliar, S. N., Devi, S. S.,
Kanade, G. S., & Chakrabarti, T. (2016). Stress enhances poly-
unsaturation rich lipid accumulation in Chlorella sp. and Chlamydomonas
sp. Biomass and Bioenergy, 84, 59-66.
Uzir, M. H., & Mat Don, M. (2007). Biochemical engineering—a concise
introduction. Penang: Universiti Sains Malaysia.
Wirosaputro,S, (2002), Chlorella,Untuk Kesehatan Global, teknik Budidaya dan
Pengolahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran A. Dokumentasi
39
Lampiran B. Pengolahan Data
B.1 Hasil
B.1.1 Optical Density
Suspensi kultur sel Chlorella pyrenoidosa dilihat Optical
Densitynya setiap 3,5 hari sekali selama 28 hari. Adapun nilainya
dapat dilihat pada pada Tabel B.1.
40
Pada hari pertama dan terakhir pengukulturan, diamati
klorofil a, klorofil b, dan karotenoid pada kultur sel Chlorella
pyrenoida. Adapun data absorbansi tersebut dapat dilihat pada
Tabel B.3.
41
220 nm 275 nm
0 2.008 0.024
28 0.421 0.443
0.460 0.443
Rata-rata : 0.440 Rata-rata : 0.443
SD : 0.27577 SD :0
Tabel B.6 Konsentrasi nitrat dan biomassa awal dan akhir berat
kering atau basah
42
Data di Tabel B.7, ditransfomasikan ke dalam bentuk kurva
baku menjadi Grafik B.1.
Densitas sel (sel/mL)
4
y = 4,902E-8x + 0,0345
R² = 0,9682
3,5
3
Optical Density
2,5
1,5
0,5
0
0 10000000 20000000 30000000 40000000 50000000 60000000 70000000 80000000
Densitas Sel (sel/mL)
43
Data di Tabel B.6, ditransfomasikan ke dalam bentuk kurva
baku menjadi Grafik B.2
3
y = 4,6693x - 0,2019
R² = 0,9834
2,625
2,25
Optical Density
1,875
1,5
1,125
0,75
0,375
0
0 0,063 0,125 0,188 0,25 0,313 0,375 0,438 0,5
Berat Kering (gram)
44
9 0.03 0.0338
10 0.01 0.0808
4
y = 2,1967x - 0,1622
R² = 0,967
3,5
2,5
Optical Density
1,5
0,5
-0,5
0 0,175 0,35 0,525 0,7 0,875 1,05 1,225 1,4
Berat Basah (gram)
12
y = 0,2537x + 0,1987
10 R2= 0,9726
0
0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025 0.003 0.0035 0.004 0.0045
B.3 Perhitungan
B.3.1 Laju pertumbuhan spesifik (μ)
Laju pertumbuhan spesifik (μ) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan B.4.
1 𝑑𝑥 ln 𝑥 − ln 𝑥0
𝜇= =
𝑥 𝑑𝑡 𝑡
Keterangan :
x = massa
t = waktu
Berikut ini adalah perhitungan laju pertumbuhan spesifik
Chlorella pyrenoidosa yang ditinjau dari Optical Density, Cell
Number, Dry Weight, dan Fresh Weight.
B.3.1.1 Laju pertumbuhan spesifik Chlorella pyrenoidosa
berdasarkan Optical Densityterhadap waktu
46
ln 𝑋 − ln 𝑋0
𝜇=
𝑡
ln 6,46 − ln 2,92
𝜇= 𝑠𝑒𝑐
3.5 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 3600
ℎ𝑎𝑟𝑖
𝜇 = 0,000063/𝑠𝑒𝑐
ln 𝑋 − ln 𝑋0
𝜇=
𝑡
ln 124815560 − ln 52570660
𝜇= 𝑠𝑒𝑐
3.5 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 3600
ℎ𝑎𝑟𝑖
𝜇 = 0,000068/𝑠𝑒𝑐
ln 𝑋 − ln 𝑋0
𝜇=
𝑡
ln 1.42 − ln 0,67
𝜇= 𝑠𝑒𝑐
3,5ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 3600
ℎ𝑎𝑟𝑖
𝜇 = 0,0000596/𝑠𝑒𝑐
𝜇 ≈ 0,000060/𝑠𝑒𝑐
ln 𝑋 − ln 𝑋0
𝜇=
𝑡
ln 3 − ln 1,4
𝜇= 𝑠𝑒𝑐
3,5 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 3600
ℎ𝑎𝑟𝑖
𝜇 = 0,000060/𝑠𝑒𝑐
∆𝑃
YP/S = − ∆𝑆
47
Keterangan :
P : Perubahan konsentrasi produk (klorofil a, klorofil b, dan
Karotenoid) pada awal dan akhir pengkulturan.
S : Perubahan konsentrasi substrat nitrat pada awal dan akhir
Pengkulturan
Klorofil a
Yp/s = -(2.801-2.418)/(0.771-7.073) = 0.06
Klorofil b
Yp/s = -(2.849-0.996)/(0.771-7.073) = 0.294
Karotenoid
Yp/s = -(0.613-0.732)/(0.771-7.073) = -0.002
(ln 2)
dt = 𝜇
Keterangan :
48
μ : Laju pertumbuhan spesifik
Berikut ini adalah perhitungan doubling time Chlorella
pyrenoidosa yang ditinjau dari Optical Density, Cell Number, Dry
Weight, dan Fresh Weight.
B.3.3.1 Doubling time Chlorella pyrenoidosa
berdasarkan Optical Densityterhadap waktu
(ln 2)
dt = 𝜇
(ln 2)
dt = 𝜇
(ln 2)
dt = 𝜇
(ln 2)
dt = 𝜇
49
∆𝑋
Yx = − ∆𝑆
Keterangan :
X : Jumlah perubahan biomassa (selisih biomassa akhir dan
awal)
S : Jumlah perubahan substrat yang dikonsumsi (selisih
konsentrasi nitrat akhir dan awal)
Berikut ini adalah perhitungan perolehan yield
biomassa:
= 0,07%
50