RINGKASAN .............................................................................................................. vi
i
3.2.2 Pembuatan Medium Kultur pada Bioreaktor .................. 16
LAMPIRAN ................................................................................................................ 31
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Konfigurasi bioreaktor pada kultur sel a) Stirred tank bioreactor, b)
Bubble column reactor, c) Air-lift reactor ......................................... 8
Gambar 2.2 Jenis flow regime pada bubble column bioreactor ............................ 10
Gambar 3.1 Rangkaian alat ................................................................................... 16
Gambar 4.1 Biomassa basah kultur Nicotiana tabacum ....................................... 19
Gambar 4.2 Nekrosis dan browning pada kultur pucuk ........................................ 25
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
RINGKASAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
bioreaktor. Selain itu, air-lift bioreaktor juga dapat digunakan untuk
meningkatkan biomassa kultur hairy roots Panax ginseng (Stiles & Liu, 2013).
1.2 Tujuan
Percobaan kultur pucuk in vitro Nicotiana tabaccum ini dilakukan
dengan tujuan :
1. Pengaruh laju aliran udara terhadap pertumbuhan kultur pucuk
Nicotiana tabaccum.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Suhu berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan dari
tumbuhan (Sunoj et al., 2016). Hal ini terbukti juga terjadi pada tembakau
karena menurut Yang et al. (2018), tumbuhan tembakau tumbuh dengan
optimal pada rentang suhu 18,5 sampai 28,5 derajat celcius dan puncak
keoptimalan pertumbuhan tembakau berada pada 23,5 derajat
celcius,sedangkan kondisi di luar rentang suhu tersebut akan menghambat
pertumbuhan daun tembakau. Secara umum, pada suhu di atas 28,5 derajat
celcius, tembakau akan lebih cepat berbunga tetapi lebih cepat mengalami
penuaan (senescence), sedangkan saat di bawah 18.5 derajat celcius, hal
sebaliknya akan terjadi.
Selain suhu, kondisi cahaya juga memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan, karena cahaya yang lebih banyak akan meningkatkan
laju fotosintesis dan pembentukan gula oleh tumbuhan yang sangat penting
dalam pertumbuhan akar dan tunas (Thaler & Pages, 1996). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Nagel et al. (2006), tembakau juga sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya lingkungannya. Menurut Nagel et al.,
semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima tembakau, pertumbuhannya
akan semakin tinggi, dapat dilihat dari akar tembakau yang tumbuh 20% lebih
besar pada kondisi 16200 lux dibandingkan pada kondisi 3240 lux. Tetapi,
menurut Miyake et al. (2009), tembakau yang berada pada kondisi intensitas
cahaya di atas 59400 lux tidak menunjukkan hasil pertumbuhan yang berbeda
dengan intensitas cahaya sekitar 59400 lux, yang berarti pengaruh intensitas
cahaya terhadap pertumbuhan tembakau memuncak pada 59400 lux.
Kemudian, pH termasuk salah satu faktor utama yang memengaruhi
pertumbuhan tembakau. pH tidak hanya memengaruhi laju pertumbuhan
tembakau, tetapi juga kualitas dan banyaknya daun tembakau yang tumbuh
(Ryding et al, 1987). pH optimal untuk mendapat tembakau dengan kualitas
lebih tinggi berbeda-beda bergantung pada iklim daerah tempat tembakau
tersebut tumbuh, sebagai contoh: di Amerika Serikat, pH optimal bagi
pertumbuhan tembakau adalah 6,0 - 6,4, sedangkan di India berada pada
4
rentang pH 7,5 - 8,5 (Guan et al., 2007). Menurut Hermiyanto et al. (2016),
tembakau memiliki rentang pH 5,5 - 6,2 untuk pertumbuhan yang optimal.
5
kehilangan tanaman karena serangan penyakit dan tanaman yang
dihasilkan dari kultur jaringan (pada kondisi tertentu) juga bebas dari
bakteri, jamur dan mikroorganisme pengganggu yang lain.
● Dengan metode khusus (kultur meristem), teknik ini dapat digunakan
untuk menghasilkan tanaman yang bebas dari virus.
● Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman,
seperti: nutrisi (media), konsentrasi zat pengatur pertumbuhan (ZPT),
kadar gula, cahaya, temperatur, kelembaban, dll. lebih mudah diatur.
● Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman yang memiliki
pertumbuhan yang lambat dan sulit diperbanyak secara vegetatif.
● Produksi tanaman menggunakan teknik ini dapat dilakukan sepanjang
tahun tanpa tergantung oleh perubahan musim.
● Dapat menyimpan tanaman hasil perbanyakan dalam waktu yang lama
6
Tahapan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro dibagi dalam 5
tahapan, yaitu: (1) seleksi tanaman induk dan persiapannya, (2) kultur aseptik,
(3) perbanyakan/penggandaan propagule (kalus/tunas/embrio), (4) pengakaran
dan (5) aklimatisasi plantlets. Dari ke-5 tahapan tersebut, kultur aseptik
merupakan tahapan paling kritikal dan sulit dalam perbanyakan tanaman secara
in vitro. Selanjutnya dalam perbanyakan tanaman secara in vitro, tidak semua
jenis tanaman memerlukan ke-5 tahapan tersebut. Pada tanaman tertentu
(krisan, anyelir) tahap pengakaran tidak diperlukan.
Keberhasilan perbanyakan tanaman tanaman secara in vitro
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: genotipe tanaman; jenis, asal
dan umur eksplan; media, zat pengatur tumbuh (ZPT), sumber karbon, bahan
aditif, cahaya, suhu, kelembaban, dll. (Debergh dan Zimmerman, 1991;
Hartmann et al., 1997; George et al., 2007). Selain itu, keberhasilan kultur
jaringan tanaman juga dipengaruhi oleh tersedianya sumber tanaman dan
eksplan yang cukup.
2.3. Bioreaktor
Bioreaktor adalah bejana dengan lingkungan steril yang diisi dengan
nutrisi cair atau aliran air masuk dan keluar air atau udara yang didesain untuk
kultur intensif agar didapat kesempatan maksimal untuk monitor dan kontrol
terhadap kondisi mikro lingkungan seperti agitasi, aerasi, suhu, dan oksigen
terlarut, pH, dan lain-lain. Terdapat tiga jenis sistem kultur yaitu bioreaktor
yang memproduksi biomassa (sel, organogenesis, embriogenesis propagula
sebagai hasil akhir), bioreaktor yang menghasilkan metabolit dan enzim, serta
bioreaktor yang menggunakan biotransformasi secara eksogenous untuk
penambahan metabolit yang dapat digunakan sebagai prekursor jalur
metabolisme . Bioreaktor juga dapat diklasifikasikan berdasarkan metode
agitasi dan pembentukan tabung (vessel) yaitu bioreaktor agitasi mekanik
seperti stirred tank bioreactor, rotating drum bioreactor, spin filter bioreactor
dan bioreaktor dengan agitasi pneumatik dan tanpa agitasi seperti simple
7
aeration bioreactor, bubble column bioreactor, air-lift bioreactor, balloon type
bubble bioreactor-BTBB (Paek et al, 2005).
Gambar 2.1 Konfigurasi bioreaktor pada kultur sel a) Stirred tank bioreactor, b)
Bubble column reactor, c) Air-lift reactor
(Sumber : Georgiev, 2014)
8
datar. Bioreaktor ini sangat efektif untuk kultivasi sel skala besar pada kondisi
optimal tertentu (Vardar-Sukan & Sukan, 2012).
Bubble column dan airlift bioreactor adalah bioreaktor dengan agitasi
secara pneumatik dan bioproses akan terjadi apabila terdapat antara kontak gas
dengan cairan. Gas memiliki peran kontak cairan sehingga transfer massa
seperti absorption atau desorption terjadi. Selain itu, gas diperlukan untuk
menghasilkan energi melalui ekspansi gas dan bubble buoyancy untuk
pengadukan cairan. Gas disalurkan melalui sparger pada bagian bawah
bioreaktor, buoyancy gas yang bergerak menuju bagian atas menghasilkan
pengadukan (Martinez & Silva, 2013). Perbedaaan utama kedua bioreaktor
ini adalah karakteristik aliran cairan. Pada bioreaktor airlift, aliran udara teratur
berpola siklik seperti loop berawal dari bagian atas menuju bagian bawah.
Bioreaktor airlift memiliki inner draft tube untuk meningkatkan kualitas
sirkulasi. Sirkulasi cairan terjadi karena melalui empat bagian yang berbeda
yaitu riser, downcomer, pemisah gas, dan bagian bawah. Beberapa kelebihan
bioereaktor airlift adalah konsumsi energi yang rendah, sederhana tanpa ada
bagian yang bergerak, transfer massa dan panas yang tinggi serta distribusi
regangan yang seragam (Martinez & Silva, 2013).
Konsumsi energi yang rendah sangat menguntungkan apabila
diaplikasikan pada skala besar sehingga biaya pengoperasian dapat ditekan.
Shear homogen sangat penting bagi proses biologis yang sensitif terhadap
shear. Regangan terbesar terjadi pada pengaduk dan menurun seiring dengan
menjauhnya dari tabung sehingga menghasilkan gradien regangan yang dapat
merusak sel hewan atau tumbuhan. Bentuk bioreaktor yang sederhana tanpa
shaft dapat mengurangi kemungkinan kontaminasi. Lingkungan yang steril
sangat krusial bagi pertumbuhan organisme, kontaminasi yang terjadi dapat
mengurangi kualitas produk, menghasilkan limbah, dan menambah biaya
operasi (Martinez & Silva, 2013).
Bubble column bioreactor tergolong dalam kelas reaktor multifase yang
terdiri dari tiga jenis yaitu trickle bed reactor, fluidized bed reactor, dan bubble
column reactor. Bubble column reactor berbentuk bejana silinder dengan
9
distributor gas pada bagian bawah bejana. Ketika fase padatan terbentuk, reaktor
ini disebut slurry bubble column reactor. Reaktor ini digunakan sebagai tempat
proses kimia seperti oksidasi, klorinasi, alkilasi, polimerasi, dan hidrogenasi saat
pembentukan bahan bakar sintetik melalui proses konversi proses biokimia seperti
fermentasi.
Bioreaktor ini memiliki desain diameter bejana yang besar untuk suplai
gas dalam jumlah besar. Terdapat dua jenis mode operasi yaitu mode kontinyu
dan semibatch. Mode kontinyu memiliki aliran gas dan suspensi disuplai pada
kolom dan suspensi yang dihasilkan reaktor akan didaur ulang untuk digunakan
kembali. Kecepatan superfisial cairan dijaga agar lebih lambat daripada kecepatan
superfisial gas. Sedangkan mode semibatch suspensi stasioner, tidak ada cairan
yang disuplai, dan gas disuplai masuk dari bagian bawah kolom.
Karakteristik dinamika fluida pada memiliki efek signifikan pada operasi
dan performa bubble column bioreactor. Terdapat tiga flow regime yaitu regime
homogen (bubbly flow), heterogen (churn-turbulent) dan slug flow. Selain itu
terdapat foaming yang sering terjadi pada bubble column bioreactor.
10
kolom batch). Laju alir ini merupakan bentuk terganggu dari sistem homogen
gas-cairan karena terbentuk peningkatan laju alir turbulen pada resirkulasi
aliran yang membentuk ukuran gelembung yang tidak sama pada waktu yang
sempit. Slug flow dapat terjadi pada laju alir tinggi karena terbentuknya
sumbatan ketika gelembung besar terbentuk pada diameter kolom 15 cm
(Kantarci et al, 2005).
11
zat pengatur tumbuh di dalam medium cair pada bioreaktor lebih efektif, bila
dibandingkan dengan medium agar. Hal ini disebabkan karena adanya kontak
langsung zat pengatur tumbuh dengan sel tumbuhan dan agregatnya (Ziv,
2005).
Zat pengatur tumbuh berfungsi untuk menginduksi pucuk pada kultur
tanaman. Induksi pucuk pada kultur bioreaktor dapat dilakukan dengan
menambahkan hormon sitokinin dalam jumlah yang tinggi untuk menghambat
biosintesis dari giberelin, karena giberelin menghambat kerja sitokinin dalam
pertumbuhan di jaringan meristematik. (Ziv, 1990).
2.4.5. Mixing
Mixing diperlukan untuk mendistribusikan sel, nutrien, dan produk
pada fasa liquid. Mixing biasanya dilakukan dengan sparging, agitasi mekanik,
atau gabungan keduanya untuk menjaga konsentrasi seragam dari parameter
kimiawi (misalnya pH, gas, dan nutrien) pada fasa bulk dan meningkatkan laju
transfer masa. Pada kultur in vitro, morfogenesis dari jaringan terekayasa
dipengaruhi oleh faktor eksogenetik seperti aliran dan mixing dalam beberapa
hal, (1) efek hidrodinamik langsung pada bentuk dan fungsi sel, dan perubahan
yang diinduksi oleh aliran dalam laju transfer massa pada nutrien dan metabolit.
12
Besarnya gaya hidrodinamik yang digunakan untuk proses mixing
harus kecil sehingga tidak menyebabkan kematian sel, namun cukup untuk
menstimulasi fungsi sel. Pada bioreaktor well-mixed, efek hidrodinamik
disebabkan oleh fluktuasi laju cairan dan tekanan yang berhubungan dengan
disipasi viskositas dari laju turbulen (Sajc et al., 2000).
13
Medium MS (Murashige dan Skoog) merupakan salah satu jenis media
kultur yang paling sering digunakan pada kultur in vitro. Medium MS terdiri
atas unsur makro dan mikro yang menunjang pertumbuhan serta bahan
tambahan seperti vitamin dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Medium MS sering
digunakan karena cocok untuk berbagai jenis tanaman. Medium MS memiliki
kandungan nitrat, kalium, dan amonium yang tinggi serta hara anorganik
dengan jumlah yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak sel tanaman
dalam kultur (Razdan, 2003). Medium ini seringkali digunakan sebagai media
dasar untuk kombinasi dan modifikasi konsentrasi medium.
14
BAB III
METODOLOGI
Alat Bahan
Bubble column bioreactor (1) Kultur pucuk tembakau in vitro (2,54 g)
Flowmeter (1) Medium MS half strength (250 mL)
Pompa (1) NAA (186,21 µg)
Rak penyangga bioreaktor (1) BAP (222,25 µg)
Cawan petri (1) Kapas (100 g)
Scalpel (1) Alkohol 70% (250 mL)
Pinset (1) Akuades (1 L)
Autoclave (1) Kertas reuse (1 pak)
Laminar air flow cabinet (1) Kertas saring (1)
Gelas ukur 250 mL (1) Karet gelang (20)
Corong kaca (1) Plastik tahan panas (1 pak)
Batang pengaduk (1) Alumunium foil (1 pak)
Selang silikon (1) Plastic wrap (1 pak)
Splitter (1)
Botol foam trap (1)
Penjepit kertas (2)
Oven (1)
Neraca analitik (1)
Sparger (1)
15
Adapun rangkaian alat yang digunakan sebagai berikut :
16
totalnya 1L. Langkah tersebut diulangi sehingga diperoleh total medium kultur
sebanyak 2L. Medium kultur tersebut kemudian diambil sebanyak 250 ml
untuk masing-masing kelompok.
17
foam trap dibuat, bioreaktor dirangkai sesuai Gambar 2.1. Setelah itu,
flowmeter dibuka hingga kapasitas maksimum kemudian penjepit kertas pada
bagian bawah bioreaktor dibuka dan laju udara diatur pada 1 L/menit.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
hilangnya kemampuan kultur untuk tumbuh, dan penurunan aktivitas
mitokondrial (Dunlop et al., 1994; Wongsamuth & Doran, 1997).
Berdasarkan Gambar 4.1, kultur Nicotiana tabacum yang ditumbuhkan
pada laju alir <1L/ menit mengalami pertambahan massa yang lebih tinggi
dibandingkan kultur yang ditumbuhkan pada laju alir >1L/menit. Hal ini
disebabkan karena adanya respon sublitik yang dipicu oleh shear force pada
kultur. Sel tanaman memiliki sensitivitas tertentu terhadap shear stress karena
dinding selnya yang kaku serta vakuola yang relatif besar sehingga adanya
shear stress saat pengadukan dapat menurunkan viabilitas sel (Joshi et al.,
1996).
Sel Nicotiana tabacum dalam bioreaktor dapat mengalami kerusakan
dan deformasi pada awal pertumbuhannya (Ho et al., 1995). Sel pada bioreaktor
bubble column mengalami penempelan pada gelembung yang muncul. Pada
laju alir tinggi, sel mengalami shear yang cukup signifikan pada medium,
namun mengalami shear dan turbulensi terbesar pada permukaan. Hal ini
disebabkan energi besar saat pelepasan sel dari gelembung. Sebagian sel tetap
ada pada permukaan film gelembung, sehingga pada saat gelembung pecah sel
tersebut bergerak dengan laju tinggi dan mengalami shear hingga terlepas
secara tangensial. Ukuran gelembung kecil dan frekuensi bubbling yang tinggi
dapat meningkatkan kerusakan sel pada permukaan medium karena disipasi
energi yang lebih tinggi (Hua et al., 1993).
Kultur Nicotiana tabacum pada laju >1L tetap mengalami
pertumbuhan sampai minggu kedua meskipun selnya mengalami kerusakan
akibat shear force. Hal ini disebabkan karena sel Nicotiana tabacum hanya
memiliki sensitivitas tinggi terhadap shear stress dalam waktu yang singkat
(sekitar 5 jam), namun memiliki toleransi pada paparan shear stress yang lama
(Scragg, 1995).
Pada salah satu kultur dengan laju alir <1 L/menit terdapat kultur yang
mengalami pertumbuhan yang lebih pesat daripada tumbuhan lainnya.
Tumbuhan tersebut membentuk sebuah gumpalan berwarna hijau tua dengan
pucuk yang tumbuh di sekeliling gumpalan tersebut. Tumbuhan tersebut tidak
20
terindikasi mengalami kontaminasi karena medium tidak berubah warna
maupun menjadi beraroma. Tumbuhan yang dimaksud mengalami
pertumbuhan kalus seperti terjadi pada penelitian Parveen dan Shahzad (2011).
Eksplan yang digunakan pada penelitian tersebut menghasilkan kalus yang
mengalami organogenesis.
Laju alir yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Laju aerasi
optimal tergantung pada jenis dan ukuran reaktor yang digunakan.
Pertumbuhan terhambat bukan karena over-oxygenation atau keracunan akan
oksigen yang berlebih. Campuran gas pada konsentrasi oksigen rendah
memiliki efek penghambatan yang sama pada pertumbuhan kultur. Tingkat laju
shear dapat ditemukan pada bubble column bioreactor karena aliran gelembung
dapat diestimasikan sebagai kecepatan alir cairan dibagi setengah diameter
kolom.
Kadar karbon dioksida terlarut pada laju aerasi tinggi lebih tinggi
daripada aerasi rendah. Keberadaan CO2 pada kultur Nicotiana tabacum juga
dapat memengaruhi pertumbuhan dengan memicu perkembangan fotosintesis
pada kultur sel tanaman dan dapat memengaruhi metabolisme sekunder. Suplai
CO2 eksogen pada kultur pada aerasi tinggi dapat menurunkan dampak
penghambatan pertumbuhan walaupun pemberian CO2 eksogen yang berlebih
dapat kembali menghambat pertumbuhan. Kultur tumbuhan sangat sensitif
terhadap penambahan konsentrasi CO2 karena pertumbuhan dapat terganggu
pada konsentrasi tinggi atau rendah. Konsentrasi CO2 optimum harus diketahui
agar pertumbuhan pertumbuhan dapat terjadi pada kondisi optimum (Hegarty et
al, 1986) .
Reaksi biokonversi medium pada sistem in vitro dapat mengacu pada
neraca massa di bawah ini dengan pertumbuhan Nicotiana tabacum dapat
diasumsikan menyerupai biomassa Atropa belladona (CH1,27O0,45N0,45 )
(Saterbak et al, 2007).
0,39C12H22O11+ 0,23NH4NO3 + 3,43O2 → CH1,27O0,45N0,45 +4,07H2O +
3,64CO2
Berdasarkan perhitungan neraca massa, biomassa pucuk pada laju alir kurang
21
dari 1 L/menit menghasilkan pertambahan massa sebesar 3,43 gram. Biomassa
tersebut dihasilkan dari 17,09 gram sukrosa, 2,36 gram amonium nitrat, dan
3,43 gram oksigen. Sedangkan pada laju alir lebih dari 1 L/menit, biomassa
mengalami pertambahan sebanyak 0,83 gram. Biomassa tersebut dihasilkan
dari konversi 4,14 gram sukrosa, 0,57 gram amonium nitrat, dan 3,4 gram
oksigen.
Jumlah oksigen pada bioreaktor dipengaruhi oleh laju aliran udara,
semakin cepat laju aliran udara, maka jumlah oksigen yang ditransfer ke dalam
bioreaktor akan semakin tinggi (Lopes et al, 2013). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Gao dan Lee pada tahun 1992, semakin tinggi laju aliran
udara maka laju pertumbuhan tembakau semakin tinggi. Kadar oksigen yang
tinggi membantu meningkatkan aktivitas enzim, sehingga proses metabolisme
menjadi lebih optimal.
Namun hasil percobaan yang dilakukan oleh praktikan bertolak
belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Gao dan Lee pada tahun 1992.
Pada laju aliran yang lebih tinggi, pertambahan biomassa yang dihasilkan lebih
sedikit. Hal ini dapat disebabkan pada laju aliran yang lebih tinggi, proses
foaming lebih mudah terjadi terutama jika kolom pada bioreaktor tidak cukup
tinggi. Foaming pada bioreaktor dapat menyebabkan sel tumbuhan menjadi
pecah atau rusak, sehingga sel tersebut tidak dapat melakukan aktivitas
metabolisme secara optimal (Gao & Lee, 1992; Vardar-Sukan, 1992).
Sukrosa yang ditambahkan pada medium kultur berfungsi untuk energi
dan biosintesis metabolit sekunder. Pada konsentrasi tertentu, sukrosa akan
diserap dan diakumulasi menjadi biomassa oleh tanaman. Penyerapan sukrosa
oleh tanaman juga dipengaruhi oleh pH pada medium, sukrosa akan terserap
optimal pada pH 4-5. Sehingga ketika penyerapan sukrosa optimal, biomassa
dapat dihasilkan dalam jumlah yang optimal juga (Manuhara et al., 2015).
Nitrogen pada medium kultur bioreaktor dibutuhkan oleh tanaman
untuk sintesis biomassa dan metabolit sekunder. Sumber nitrogen pada medium
MS adalah ammonium dan nitrat. Nitrat yang diserap oleh tanaman digunakan
untuk meningkatkan biomassa. Perbandingan antara nitrat dengan ammonium
22
yang baik untuk pertumbuhan biomassa adalah 10:20. Selain itu, perbandingan
antara nitrat dan ammonium yang baik juga dapat mengoptimalkan kandungan
metabolit sekunder seperti fenol (Park et al., 2015).
23
Pada percobaan yang telah dilakukan, terjadi kontaminasi pada kultur.
Kontaminasi yang terjadi berupa warna medium yang berubah dari bening
menjadi pink. Mikroorganisme yang mungkin menyebabkan kontaminasi
adalah bakteri gram negatif yang berpigmen pink misalnya (Methylobacterium
mesophilicum). Salah satu cara pencegahan terjadinya kontaminasi bakteri ini
adalah dengan cara menambahkan antibiotik seperti gentamicin, rifampicin,
kanamicin, dan lain-lain (Chanprame et al., 1996).
Kontaminasi medium menjadi warna merah muda dan berbau mungkin
dapat disebabkan juga oleh jamur. Jamur tersebut dapat berasal dari udara di
laboratorium atau filter udara laminar air flow yang kotor. Jamur yang dapat
menyebabkan warna medium menjadi warna merah muda dan berbbau adalah
Rhodotorula sp. atau yang biasa disebut pink yeast. Jamur tersebut merupakan
kontaminan umum yang berada pada udara di dalam gedung (Leifert &
Woodward, 1998).
Selain kontaminasi medium menjadi merah muda, medium juga
menunjukan kontaminasi dengan perubahan warna menjadi keruh dan berbau.
Kontaminasi tersebut disebabkan oleh bakteri yang berasal dari kulit manusia.
Bakteri yang mungkin menyebabkan kontaminasi tersebut adalah
Staphylococcus epidermis dan Lactobacillus acidophilus. Kontaminasi oleh
bakteri dapat terjadi pada saat proses subkultur pada tanaman atau pemindahan
tanaman ke dalam bioreaktor. (Leifert et al., 1989).
24
peroksidase yang mengkatalis pembentukan senyawa polifenol (Babaei et al,
2013).
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada percobaan Kultur Pucuk In Vitro Skala Bioreaktor dapat diambil
kesimpulan yaitu pertumbuhan kultur pucuk in vitro pada bioreaktor lebih baik
pada laju alir udara kurang dari 1 L/menit dengan perolehan biomassa akhir
sebesar 5,93 gram.
5.2 Saran
Pada percobaan Kultur Pucuk In Vitro Skala Bioreaktor terdapat
beberapa kekurangan yang dapat diperbaiki, adapun saran yang dapat berguna
untuk memperbaiki kekurangan tersebut yaitu :
1. Multiplikasi kultur pucuk perlu dilakukan pada suhu, pH, dan intensitas
cahaya optimum agar pertumbuhan dapat terjadi secara optimal.
2. Laju aliran udara optimum perlu diteliti lebih lanjut agar kultur skala
bioreaktor dapat memberikan hasil optimal.
3. Kondisi aseptik pada alat maupun sekitar kultur perlu dijaga untuk
meminimalisir kontaminasi pada kultur.
26
DAFTAR PUSTAKA
Akita, M., & Takayama, S. (1994). Induction and development of potato tubers in
a jar fermentor. Plant Cell Tissue Organ Culture, 36(2):177-182.
Babaei, N., Abdullah, N. A. P., Saleh, G., & Abdullah, T. L. (2013). Control of
contamination and explant browning in Curculigo latifolia in vitro
cultures. Journal of Medicinal Plants Research, 7(8), 448-454.
Bairu, M. W., Stirk, W. A., Van Standen, J. (2009). Factors contributing to in
vitro shoot-tip necrosis and their physiological interactions. Plant Cell,
Tissue and Organ Culture, 98(3), 239-248.
Chanprame, S., Todd, J.J., & Widholm, J.M. (1996). Prevention of pink-
pigmented methylotrophic bacteria (Methylobacterium mesophilicum)
contamination of plant tissue. Plant Cell Reports, 16 : 222-225.
Cotter, T. G., & Al-Rubeai, M. (1995). Cell death (apoptosis) in cell culture
systems. TibTech,13: 294-300.
Dave, A. Bilochi, G., & Purohit, S. D. (2003). Scaling up production and field
performance of micropropagated medicinal herb ‘Safed Musli’
(Chlorophytum borivilianum). In vitro Cellular and Developmental
Biology, 39(4):419-424.
Dasuki, U. A. (1991). Sistematika Tumbuhan Tinggi. Bandung : Penerbit ITB.
Dunlop, E. H., Namdev, P. K., & Rosenberg, M. Z. (1994). Effect of Fluid Shear
Forces on Plant Cell Suspensions. Chemical Engineering Science, 49(14):
2263-2276).
Gao, J., & Lee, J. M. (1992). Effect of oxygen supply on the suspension culture of
genetically modified tobacco cells. Biotechnology Progress, 8(4), 285–
290.
Garcia-Ochoa, F. & Gomez, E. Bioreactor scale-up and oxygen transfer rate in
microbial processes: an overview. Biotechnology Advances, 27(2):153-
176.
Hegarty, P.K., Smart, N.J., Scragg, A. H., & Fowler, M. W. (1986). The aeration
of Catharanthus roseus L. G. Don suspension cultures in airlift
27
bioreactors: the inhibitory effect at high aeration rates on culture growth.
Journal of Experimental Biology, 37(185) : 1911-1920.
Ho, C., Henderson, K. A., & Rorrer, L. G. (1995). Cell Damage and Oxygen
Mass Transfer during Cultivation of Nicotiana tabacum in a Stirred-Tank
Bioreactor. Biotechnology Progress, 11: 140-145.
Hua, J., Erickson, L. E., Yiin, T., & Giasgow, L. A. (1993). A Review of the
Effects of Shear and Interfacial Phenomena on Cell Viability. Critical
Reviews in Biotechnology, 13(4): 305-328.
Joshi, J. S., Elias, C. B., & Patole, M. S. (1996). Role of Hydrodynamic Shear in
the Cultivation of Animal, Plant, and Microbial Cells. Chemical
Engineering Journal, 62: 121-141.
Kantarci, N., Borak, F. & Ulgen, K. O. Bubble column reactors. Process
Biochemistry 40 : 2263-2283.
Leifert, C., Waites, W. M., & Nicholas, J. R. (1989). Bacterial contaminants of
micropropagated plant cultures. Journal of Applied Bacteriology, 67(4),
353–361.
Leifert, C., & Woodward, S. (1998). Laboratory contamination management : the
requirement for microbiological quality assurance. Plant Cell, Tissue and
Organ Culture, 52(1-2), 83-88.
Lopes, M., Mota, M., Belo, L. (2013). Oxygen mass transfer rate in a pressurized
lab-scale stirred bioreactor. Chemical Engineering & Technology, 36(10):
1779-1784.
Manuhara, Y. S. W., Kristanti, A. N., Utami, E. D. W., & Yachya, A. (2015).
Effect of sucrose and potassium nitrate on biomass and saponin content of
Talinum paniculatum Gaertn. hairy root in balloon-type bubble bioreactor.
Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 5(12), 1027-1032.
Msogoya, T., Kanyagha, H., Mutigitu, J., Kulebelwa, M. & Mamiro, D. (2012).
Identification and management of microbial contaminants of banana in
vitro cultures. Journal of Applied Biosciences, 55 : 3987 : 3994.
Nugroho, L. H., & Verpoorte, R. (2002). Secondary metabolism in tobacco. Plant
Cell, Tissue and Organ Culture, 68(2): 105-125.
28
Park, J.-A., Park, B.-J., Kim, A.-H., Park, S.-Y., & Paek, K.-Y. (2015). Airlift
bioreactor system and nitrogen sources for biomass and antioxidant
compound production from in vitro culture of Vitis flexuosa plantlets.
Horticulture, Environment, and Biotechnology, 56(3), 358–365.
Paek, K. Y., Chakrabarty, D., & Hahn, E. J. (2005). Application of bioreactor
systems for large scale production of horticultural and medicinal plants.
Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 81: 287–300.
Parveen, S., & Shahzad, A. (2011). A micropropagation protocol for Cassia
angustifolia Vahl. from root explants. Acta Physiol Plant, 33 : 789-796.
Rahardja, P. C. & Wahyu, W. (2003). Aneka Cara Memperbanyak Tanaman.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Razdan, M. K. (2003). Introduction to Plant Tissue Culture (2nd ed.). Enfield:
Science Publishers.
Rocha, J. M. S., Garcia, J. E. C., & Henriques, M. H. F. (2003). Growth aspects of
the marine microalga Nannochloropsis gaditana. Biomolecular
Engineeering,20 :237-242.
Ryugo, K. (1988). Fruit Culture: Its Science and Art. New York: John Wiley and
Sons.
Sajc, L., Grusbisic, D., & Vunjak-Novacovic, G. (2000). Bioreactors for plant
engineering: an outlook for further research. Biochemical Engineering
Journal, 4(2): 89-99.
Saterbak, A., San, K-Y., McIntire, L. V. (2007). Bioengineering Fundamentals.
New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Scragg, A. H. (1995). The Problems Associated with High Biomass Levels in
Plant Cell Suspensions. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture, 43: 163-
170.
Stiles, A. R., & Liu, C.,-Z. (2013). Hairy root culture : Bioreactor design and
process intensification. Advances in Biochemical
Engineering/Biotechnology, 134(1), 91-114.
Vardar-Sukan, F. (1992). Recent Advances in Biotechnology. New York City :
Springer, 113-146.
29
Wongsamuth, R., & Doran, P. M. (1997). The Filtration Properties of Atropa
belladona Plant Cell Suspensions: Effect of Hydrodynamic Shear and
Elevated Carbon Dioxide Levels on Culture and Filtration Parameters.
Journal of Technology and Biotechnology, 69: 15-26.
Yusnita. (2003). Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Ziv, M. (1990). Morphogenesis of gladiolus buds in bioreactors - implication for
scaled-up propagation of geophytes. In Nijkamp, H. J. J., van der Plas, L.
H. W., & van Aatrijk, J (Eds.), Progress in Plant Cellular and Molecular
Biology. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers.
Ziv, M. (2005). Simple bioreactors for mass propagation of plants. Plant Cell,
Tissue, and Organ Culture, 81(3): 277-285.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran A Cara Pengolahan Data
(A.1)
Rata - rata Biomassa = (3,25 + 3,25)/ 2 = 3,25 g
Dengan begitu, nilai rata-rata biomassa pada minggu ke-1 dengan laju aerasi
kurang dari 1 L/menit didapatkan sebesar 3,25 gram. Hal yang sama dilakukan
untuk pengamatan pada minggu kedua untuk laju aerasi kurang dari 1 L/menit
dan lebih dari 1 L/menit sehingga didapatkan data yang disajikan pada Tabel
A.2.
32
Tabel A. 2 Hasil pengolahan data kultur pucuk Nicotiana tabaccum
<1 0 2,5
1 3,25
2 5,93
>1 0 2,5
1 3,08
2 3,3
3,43 𝑔
𝑚𝑜𝑙 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 =
26,77 𝑔/𝑚𝑜𝑙
33
𝑚𝑜𝑙 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 = 0.128 𝑚𝑜𝑙
Kemudian mol O2 dapat dihitung melalui perbandingan koefisien antara molekul
biomassa dengan molekul O2. Mol dari molekul lain juga dapat dihitung dengan
perbandingan koefisien.
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛
𝑚𝑜𝑙 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 𝑚𝑜𝑙 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 × 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (A.3)
3,43
𝑚𝑜𝑙 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 0,128 𝑚𝑜𝑙 ×
1
𝑚𝑜𝑙 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 0,439 𝑚𝑜𝑙
Setelah mol dari masing-masing molekul dihitung, massa dari setiap molekul
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 𝑚𝑜𝑙 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 × 𝑀𝑟 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 (A.4)
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 0,439 𝑚𝑜𝑙 × 32 𝑔/𝑚𝑜𝑙
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑜𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 14,04 𝑔𝑟𝑎𝑚
Hasil perhitungan neraca massa pucuk Nicotiana tabaccum dapat dilihat pada
Tabel A.3
Tabel A.3 Hasil perhitungan neraca massa pucuk Nicotiana tabaccum
34
Lampiran B Data Mentah
35
Lampiran C Dokumentasi
Gambar C.1 Kultur skala bioreaktor kelompok 1, 2, dan 3 pada minggu ke-0
Gambar C.2 Kultur skala bioreaktor kelompok 4, 5, 6, 7 dan 8 pada minggu ke-
0
36
Gambar C.3 Kontaminasi pada kultur skala bioreaktor kelompok 1
37
38