Anda di halaman 1dari 83

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 28

OLEH
PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki AdiSuta

Tahun 2020

Diterbitkan hanya untuk


kalangan terbatas

(i)
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna
Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga
Hanyalah kecintaan akan sebuah karya
Untuk dilestarikan sepanjang masa
Sekar keluwih, November 2020

Terimakasih atas dukungan:


Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua

(ii)
Untuk sejenak anak anak muda itu saling pandang. Tiba tiba seorang
anak muda yang berambut keriting dan berkulit gelap menyeluthuk,
“Kami tidak pernah takut kepada siapa pun! Karena itulah kami pun
tidak pernah menghargai siapa pun! Bahkan kedua orang tua kami akan
menggigil ketakutan jika keinginan kami tidak dikabulkan!”
“Ya, betul. Itulah kami yang tidak mengenal takut!” teriak yang lain
menimpali.
“Siapapun akan kami lawan jika itu berseberangan dengan keinginan
kami!”
Segera saja gelak tawa memenuhi udara pagi di bulak itu. Pandan
Wangi dan Ratri pun hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil
berusaha menahan gejolak dalam dada.
Dalam pada itu, para pengawal yang sedang berjaga di regol
padukuhan induk tampak mengamat amati apa yang sedang terjadi
di tengah tengah bulak. Bulak itu memang tidak seberapa panjang
sehingga mereka dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi
dari tempat mereka berdiri.
“Sepertinya segerombolan anak anak muda liar sedang mengganggu
dua orang perempuan berkuda,” desis seorang pengawal yang
bertubuh kekar sambil memicingkan kedua matanya untuk
memperjelas penglihatannya.
“He?” tiba tiba kawannya berseru, “Bukankah itu Nyi Pandan Wangi
dan tamunya?”
“Benar!” seru yang lainnya. Dengan bergegas beberapa pengawal
yang sedang berjaga di regol padukuhan induk itu pun mencoba
mempertajam pandangan mata mereka.
“Cepat susul mereka!” perintah seorang pengawal tertua kemudian,
“Dua orang dengan berkuda susul mereka!”
Perintah itu tidak perlu diulangi. Dua orang pengawal segera melepas
tali tali kekang kuda kuda yang di tambatkan di patok patok sebelah
regol. Sejenak kemudian dua ekor kuda pun berderap meninggalkan
regol.

1
Dalam pada itu Pandan Wangi yang melihat dua ekor kuda dengan
penunggangnya sedang berpacu ke tempat itu segera berkata, “Nah,
anak anak muda, para pengawal agaknya telah tertarik dengan apa
yang sedang terjadi di sini. Lebih baik kalian segera menyingkir.”
Untuk sejenak kembali mereka saling pandang. Namun yang terjadi
kemudian sungguh sangat mengejutkan. Anak muda yang berbadan
paling besar itu pun telah tertawa sambil berkata lantang, “Ah! Para
pengawal perdikan Menoreh sama sekali tidak menggetarkan hati
kami para anak murid perguruan Wirapati. Seperti apa yang telah
kami sampaikan tadi, kami sama sekali tidak mengenal takut.
Siapapun akan kami hadapi dengan dada tengadah!”
Terlihat kerut merut di kening Pandan Wangi mendengar sesorah
anak muda itu. Sedangkan Ratri sedari tadi hanya berdiam diri saja
sambil menundukkan wajahnya dalam dalam.
Selagi Pandan Wangi berpikir keras bagaimana caranya mengajari
anak anak muda itu untuk mengenal unggah ungguh, kedua
pengawal dari regol padukuhan induk itu pun telah semakin dekat.
Demikian kedua kuda itu sampai di tempat, kedua penunggangnya
segera menghela dan menempatkan diri mereka di kanan kiri kedua
perempuan itu.
“Maaf Nyi Pandan Wangi,” bertanya salah satu pengawal itu
kemudian, “Apakah yang bisa kami bantu?”
Sebenarnya Pandan Wangi tidak ingin namanya disebut. Namun dia
sudah tidak mampu untuk mencegahnya. Sementara anak anak
muda yang mendengar nama Pandan Wangi disebut telah tertegun
diam di tempat masing masing.
“O, jadi inikah puteri satu satu Ki Gede Menoreh itu?” seru anak
muda yang paling besar sambil mengangguk angguk dan tersenyum
senyum. Kawan kawannya pun ikut mengangguk angguk dan
tersenyum. Bahkan ada yang tertawa kecil sepertinya sangat
meremehkan nama itu.
“Benar anak muda,” sahut salah satu pengawal itu dengan serta
merta, “Kalian sedang berhadapan dengan puteri Ki Gede Menoreh
dan tamunya yang juga seorang puteri dari Ki Gede Matesih.”

2
“O,” kembali terdengar suara gaduh di sana sini. Sekarang perhatian
mereka tertumpah pada seraut wajah Ratri yang sedari tadi hanya
menundukkan wajahnya dalam dalam.
“Cantik juga,” berkata salah satu anak anak muda itu sambil
mengacungkan ibu jarinya, “Namun sayang, agaknya dia sedang
menderita sakit di lehernya. Sedari tadi aku melihat dia hanya
menunduk saja sehingga aku tidak begitu jelas melihat wajahnya.”
“Ya, ya aku juga menjadi penasaran!” sahut anak muda yang
berambut keriting sambil membungkuk dari atas punggung kudanya.
Agaknya dia berusaha untuk melihat wajah Ratri yang menunduk itu
dengan lebih jelas lagi. Namun usahanya sia sia belaka. Ratri ternyata
telah semakin menundukkan wajahnya.
“Gadis yang pemalu,” desis anak muda yang bertubuh paling besar
itu sambil tersenyum dan mengangguk angguk. Katanya kemudian
sambil menatap ke arah kawan kawannya satu persatu, “Jika kalian
memang masih penasaran ingin melihat kecantikan wajahnya, kalian
aku ijinkan untuk membuatnya mengangkat wajah!”
Hampir bersamaan anak anak muda itu telah bersorak gembira.
Mereka sama sekali tidak memandang sebelah mata pun pada kedua
pengawal yang telah hadir di tempat itu.
Sedangkan Ratri yang sekarang telah menjadi pusat perhatian
tubuhnya terlihat gemetar. Peluh telah membasahi punggungnya.
Sementara wajahnya terlihat menjadi sedikit pucat. Dia benar benar
tidak tahu harus berbuat apa. Untuk menengok ke arah Pandan
Wangi pun dia merasa sangat takut.
“Diam!” tiba tiba terdengar bentakan menggelegar. Ternyata salah
satu pengawal itu sudah tidak dapat menahan diri lagi melihat
keliaran anak anak muda itu.
Namun yang terjadi kemudian benar benar telah membuat kedua
pengawal itu terheran heran. Dengan wajah merah padam, anak
muda yang bertubuh paling besar itu justru telah menatap dengan
tajamnya ke arah pengawal yang telah membentak mereka.
Berkata anak muda itu kemudian sambil tetap melotot, “Jangan
mencoba menakut nakuti kami! Kami adalah segerombolan serigala
anak murid perguruan Wirapati! Jika kalian membuat ulah

3
merendahkan kami apapun alasannya, kalian akan menerima
akibatnya!”
Namun pengawal itu bukanlah anak kecil yang ketakutan melihat
seekor ular sawah merayap di pematang. Dengan tiba tiba
dihentakkan perut kudanya sambil dihelanya kendali kuda di
tangannya.
Yang terjadi kemudian benar benar diluar dugaan anak muda itu.
Kuda pengawal yang terkejut itu telah terlonjak dan menerjang ke
depan. Kearah kuda anak muda yang bertubuh paling besar itu.
Anak muda dan kuda tunggangannya itu pun menjadi terkejut bukan
buatan. Namun semuanya sudah terlambat. Dengan deras kuda
tunggangan pengawal itu menerjang ke depan dan melanggar kuda
di depannya. Tak dapat dielakkan lagi, kuda yang dilanggar itu pun
terdorong jatuh beserta penunggangnya.
Terdengar kedua kuda yang bertabrakan itu meringkik keras. Anak
muda yang bertubuh paling besar itu pun terlempar dan jatuh
terjengkang. Namun belum sempat dia bangkit berdiri, pandangan
matanya menangkap sepasang kaki yang renggang berdiri hanya
selangkah di hadapannya.
Terdengar anak muda itu menggeram. Dengan perlahan dia bangkit
berdiri. Begitu tubuhnya yang tinggi besar itu tegak di atas tanah,
tanpa peringatan terlebih dahulu, sebuah pukulan pun melayang ke
arah dagu pengawal itu.
Jarak keduanya begitu dekat, hanya selangkah. Namun pengawal itu
sudah menduga bahwa anak muda yang terjatuh itu pasti akan
membalas dendam. Maka begitu serangan itu datang, pengawal itu
justru telah melangkah ke depan sambil memutar tubuhnya
membelakangi anak muda yang sedang menyerangnya.
Sebelum anak muda itu menyadari apa yang akan terjadi, dengan
sangat cepatnya tangan anak muda yang terjulur melewati bahunya
itu segera di tangkap dengan kedua tangan. Dengan sedikit
merendahkan tubuhnya, pinggul pengawal itu pun melekat pada
lambung anak muda itu. Sejenak kemudian dengan sekali sentakan
tubuh yang tinggi besar itu pun telah terayun ke depan dan kemudian
terlempar melewati tubuh pengawal itu.

4
Yang terdengar kemudian adalah suara teriakan kesakitan
bersamaan dengan benturan keras tubuh anak muda itu dengan
tanah.
Terdengar umpatan yang sangat kotor dari mulut anak muda itu.
Sambil menggeliat, tangan kanan anak muda itu pun memegangi
pinggangnya yang terasa patah.
Melihat salah satu kawannya dapat dipecundangi oleh salah satu
pengawal itu, anak anak muda yang lain pun segera berloncatan
turun. Sekejap kemudian kelima anak muda yang tersisa itu telah
mengurung pengawal yang telah mencederai kawannya.
“Habisi mereka!” geram anak muda bertubuh tinggi besar itu sambil
mencoba bangkit berdiri. Punggungnya rasa rasanya telah patah
dibanting oleh pengawal tadi.
Perintah itu tidak perlu diulangi. Kelima anak muda itu segera
bersiap mengeroyok pengawal yang hanya seorang diri. Sementara
pengawal yang satunya masih termangu mangu di atas punggung
kudanya. Demikian juga Pandan Wangi dan Ratri.
Namun sebelum anak anak muda itu melampiaskan dendam, tiba
tiba dari arah regol padukuhan induk terdengar suara kuda kuda
yang sedang dipacu dengan kencangnya menuju ke tempat itu.
Ketika mereka kemudian berpaling tampak empat ekor kuda
meluncur bagaikan anak panah yang dilepas dari busurnya.
Untuk beberapa saat anak anak muda itu justru telah terkesiap. Jika
keempat pengawal itu sampai di tempat itu, berarti akan ada enam
orang pengawal ditambah puteri Ki Gede Menoreh dan puteri Ki
Gede Matesih.
Terlihat wajah anak anak muda itu menjadi bimbang. Apalagi
pemimpin mereka terlihat sudah cidera punggungnya dan tidak
mampu lagi berdiri tegak.
Sejenak kemudian keempat ekor kuda itu pun telah sampai di tempat
itu. Dengan tangkas keempat penunggangnya segera berloncatan
turun. Pengawal yang datang pertama kali itu pun akhirnya ikut
meloncat turun.

5
“Maaf Nyi Pandan Wangi,” bertanya salah satu pengawal yang baru
datang itu kemudian sambil membungkuk dalam dalam, “Apa yang
telah terjadi? Apakah anak anak muda ini telah berani mengganggu
nyi Pandan Wangi berdua?”
Pandan Wangi yang mendapat pertanyaan itu telah tersenyum
sambil menggeleng. Jawabnya kemudian sambil tetap di atas
punggung kudanya, “Mereka hanya anak anak nakal saja, paman.
Mungkin mereka perlu mendapat bimbingan dan tuntunan untuk
menghargai sesama apalagi kepada orang yang lebih tua,” Pandan
Wangi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku serahkan anak
anak muda itu kepada kalian. Lebih baik aku dan Ratri pulang saja.”
“Silahkan, nyi,” sahut pengawal tertua itu sambil mengangguk dalam
dalam.
Namun sebelum Pandan Wangi menggerakkan kendali kudanya, tiba
tiba anak muda yang bertubuh paling besar itu telah berseru,
“Tunggu sebentar Nyi Pandan Wangi!”
Semua orang terkejut dan berpaling ke arah anak muda itu. Beberapa
pengawal yang berdiri di dekat anak muda itu pun telah bersiap. Jika
anak muda mencoba menggangu puteri pemimpin perdikan
Menoreh, mereka sudah bersiap meringkusnya dan membawa ke
gardu untuk diberi sedikit pelajaran.
Akan tetapi orang orang yang berada di tempat itu menjadi lega
ketika terlihat anak muda itu mengambil sesuatu dari balik bajunya.
Sebuah gulungan rontal yang terikat rapi.
“Atas nama Tumenggung Wirapati, pemimpin perguruan Wirapati,
kami mengirim undangan kepada Ki Gede Menoreh untuk hadir di
padepokan kami,” anak muda itu berhenti sejenak. Sambil
mengulurkan gulungan rontal itu kepada pengawal di dekatnya dia
melanjutkan, “Sepekan lagi kami akan mengadakan peresmian
perguruan Wirapati, perguruan yang tidak akan ada tandingannya di
seluruh tlatah Mataram ini!”
Kata kata itu memang terdengar sangat sombong, namun para
pengawal dan Pandan Wangi hanya menanggapi dengan dingin.
Setelah pengawal itu menerima gulungan rontal dan kemudian
menyampaikannya kepada Pandan Wangi, puteri satu satunya Ki
Gede Menoreh itu pun segera menghela kudanya diikuti oleh Ratri.
6
Demikianlah kedua perempuan yang sama sama cantik namun
berbeda usia itu pun telah kembali berderap di atas kuda masing
masing memasuki padukuhan induk. Ketika Pandan Wangi sempat
berpaling ke belakang, tampak keenam anak anak muda itu sudah di
atas punggung kuda masing masing dan berderap perlahan
meninggalkan tempat.
“Anak anak muda yang kurang mendapat arahan dan bimbingan,”
desis Pandan Wangi sambil terus memacu kudanya.
Ratri yang mendengar desis Pandan Wangi itupun telah berpaling
sambil berkata, “Benar, Nyi. Mereka adalah anak anak muda yang
telah mencegat kami kemarin selepas dari tepian kali Praga.”
Tampak kepala Pandan Wangi terangguk angguk. Katanya
kemudian, “Aku sudah menduga. Untunglah mereka tidak
mengenalimu lagi. Jika mereka mengenalimu, tentu tingkah anak
anak muda itu akan semakin liar.”
Terlihat Ratri hanya mengangguk angguk kecil sambil menatap ke
titik titik di kejauhan. Peristiwa demi peristiwa yang menimpa
dirinya walaupun secara langsung maupun tidak langsung telah
membulatkan tekatnya untuk mempelajari olah kanuragan.
Demikianlah kuda kuda kedua perempuan itu telah memasuki rumah
Ki Gede Menoreh. Keduanya segera turun dari kuda ketika memasuki
regol.
Dua orang pengawal yang berjaga di regol segera mengangguk dalam
dalam ketika kedua perempuan itu lewat.
Pandan Wangi tersenyum sambil membalas anggukan kedua
pengawal itu. Sementara Ratri hanya berpaling sekilas dan cepat
cepat menundukkan kepalanya sambil menuntun kudanya.
“Mengapa puteri Matesih itu jarang tersenyum?” bisik salah satu
pengawal itu kemudian begitu kedua perempuan itu telah berjalan
agak jauh.
“Tentu saja dia menjaga harga diri sebagi seorang tanu,” jawab
kawannya juga sambil berbisik, “Jika dia mengumbar senyum di
mana mana, orang justru akan bertanya tanya.”
“Maksudmu?”

7
Kawannya menarik nafas panjang terlebih dahulu untuk
menghilangkan kejengkelan dalam dadanya. Jawabnya kemudian,
“Selain dia belum begitu mengenal lingkungan di tempat ini, dia juga
malu jika disangka perempuan murahan!”
“Ah,” desah pengawal itu sambil tersenyum, “Bukankah tersenyum
kepada setiap orang yang kita jumpai itu adalah salah satu bentuk
dari sodaqoh?”
“Macammu!” gerutu kawannya denang serta merta, “Itu berlaku
untuk laki laki sesama laki laki atau perempuan sesama perempuan.
Jika seorang perempuan yang tidak mengenalmu kemudian
tersenyum senyum kepadamu ketika bertemu, apa tanggapanmu?”
Pengawal itu tampak mengerutkan keningnya sambil berpikir.
Namun akhirnya kepalanya pun terlihat terangguk angguk.
Dalam pada itu selagi Pandan Wangi dan Ratri menuntun kuda kuda
mereka, dua orang pelayan laki laki segera berlari larian menyambut
kendali kuda kedua perempuan itu.
“Terima kasih,” jawab Pandan Wangi kepada pelayan yang meminta
kendali kudanya. Sementara Ratri hanya mengangguk sambil
tersenyum tipis.
“Marilah kita bergabung di pendapa,” berkata Pandan Wangi
kemudian sambil menggandeng tangan Ratri menaiki tlundak
pendapa.
Dalam pada itu di pendapa terlihat kedua orang pemimpin tanah
perdikan itu sedang berbincang bincang ditemani oleh Kiai Sabda
Dadi. Di hadapan mereka tampak beberapa mangkuk minuman
hangat dan beberapa piring penganan.
“Kemarilah!” berkata Ki Gede Menoreh kemudian begitu melihat
kedua perempuan itu sedang menaiki tlundak pendapa.
Dengan segera mereka berdua menempatkan diri ikut bergabung
duduk duduk di pendapa.
“Bagaimana Nimas Ratri? Apakah perjalanan keliling Menoreh
cukup menyenangkan?” bertanya Ki Gede Menoreh kemudian sambil
memandang Ratri dengan senyum dikulum.

8
Mendapat pertanyaan seperti itu Ratri segera mengangguk sambil
menjawab, “Menyenangkan sekali Ki Gede. Namun kami tidak
sampai berkuda dari ujung ke ujung tanah perdikan Menoreh ini.”
Tampak Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tanyanya
kemudian, “Mengapa?”
Untuk sejenak Ratri tidak mampu menjawab. Tanpa sadar dia telah
berpaling ke arah Pandan Wangi untuk meminta bantuan menjawab.
Perhatian orang orang di pendapa itu pun beralih ke Pandan Wangi.
Pandan Wangi yang merasa menjadi perhatian segera beringsut ke
depan setapak. Setelah menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu,
barulah dia menjawab, “Ayah, tanpa sengaja kami telah bertemu
dengan serombongan anak anak muda yang mengaku sebagai murid
perguruan Wirapati.”
“Perguruan Wirapati?” hampir serempak orang orang tua itu pun
telah berseru.
“Engkau tidak apa apa nduk?” bertanya Ki Gede Matesih kemudian
dengan serta merta sambil berpaling dan menggamit lengan anaknya
yang duduk di sebelahnya.
“Tidak ayah, aku tidak apa apa. Untunglah mereka sudah tidak
mengenal aku lagi,” jawab Ratri hampir berbisik. Ki Gede Matesih
pun hanya dapat menarik nafas panjang.
“Bukankah anak anak muda itu juga yang telah mencegat rombongan Ki
Gede Matesih kemarin?” bertanya Kiai Sabda Dadi kemudian sambil
memandang ke arah pemimpin perdikan Matesih itu.
Ki Gede Matesih pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Benar Kiai. Kemarin kami sempat bersilang jalan dengan mereka.
Untunglah Ki Bango Lamatan menemukan cara untuk membuat
mereka sedikit jera dan mengurungkan niat mereka.”
Tampak kerut merut di dahi orang orang yang hadir di pendapa itu
kecuali Ki Gede Matesih dan Ratri. Bertanya Ki Gede Menoreh
kemudian, “Apa maksud anak anak muda itu mencegat rombongan
Ki Gede?”

9
Untuk sejenak tampak Ki Gede Matesih dan Ratri saling
berpandangan. Tiba tiba saja wajah Ratri tampak memerah karena
menahan rasa malu.
“Tidak apa apa Ratri,” berkata ayahnya kemudian sambil tersenyum
untuk menenangkan hati anak perempuan satu satunya itu, “Kita
katakan saja apa sebenarnya yang telah terjadi kemarin, agar Ki Gede
Menoreh sebagai pemimpin tertinggi di perdikan ini mengetahui polah
tingkah anak anak murid dari perguruan Wirapati itu.”
Tampak kepala Ratri terangguk kecil. Bagaimana pun juga perlakuan
anak anak muda itu terhadap dirinya sehari yang lalu telah
menorehkan kenangan pahit di hatinya.
“Ki Gede,” berkata Ki Gede Matesih kemudian, “Anak anak muda itu
saling bertaruh ketika melihat Ratri dalam pakaian laki laki. Mereka
menuntut Ratri untuk membuka pakaiannya di hadapan anak anak
muda itu sebagai bukti jati diri Ratri yang sebenarnya.”
“Gila!” tiba tiba terdengar Pandan Wangi menggeram dengan muka
memerah darah sambil mengepalkan tangan kanannya. Tanyanya
kemudian sambil berpaling ke arah Ratri, “Ratri, mengapa tidak
engkau ceritakan kelakuan anak anak muda itu kepadaku tadi
sewaktu kita bertemu mereka? Tentu akan aku hajar mereka sampai
babak belur untuk meminta maaf kepadamu!”
“Ah, sudahlah Wangi!” ternyata justru ayahnya yang menyahut
dengan nada sareh, “Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Aku yakin
Nimas Ratri tentu merasa ewuh pekewuh utuk menceritakan hal itu
kepadamu. Apalagi di hadapan anak anak muda itu.”
“Tapi ayah, kelakuan anak anak muda itu sudah diluar batas. Kita
harus memberi peringatan kepada gurunya!” sahut Pandan Wangi
dengan serta merta.
Tampak kerut merut di kening Ki Argapati. Tanyanya kemudian
dengan nada sedikit ragu, “Bagaimanaa caranya, Wangi? Bagaimana
kita dapat memperingatkan guru mereka atas kelakuan anak anak
muridnya?”
Pandan Wangi tersenyum penuh arti sambil menyerahkan gulungan
rontal yang sedari tadi di genggam di tangan kirinya. Katanya
kemudian, “Inilah jawabannya ayah. Inilah kesempatan bagi kita

10
untuk memberi peringatan kepada perguruan itu bahwa di perdikan
Menoreh mereka tidak dapat berbuat seenak mereka sendiri. Salah
satu dari anak muda itu menitipkan rontal ini sebagai undangan
untuk menghadiri peresmian perguruan mereka.”
Dengan raut wajah penuh tanda tanya, Ki Gede Menoreh segera
menerima gulungan rontal dari tangan kanan anak perempuan satu
satunya itu. Dengan sedikit bergegas, Ki Gede Menoreh pun segera
membuka gulungan rontal itu dan kemudian membacanya dengan
suara bergumam yang tidak begitu jelas.
“Hem,” terdengar Ki Gede Menoreh kembali bergumam sambil
kembali menggulung rontal itu dan kemudian menyerahkan kepada
Kiai Sabda Dadi.
“Apa isinya ayah?” bertanya Pandan Wangi kemudian dengan nada
yang tidak sabar.
Ki Gede tersenyum sambil berpaling ke arah putrinya. Jawabnya
kemudian, “Perguruan Wirapati memang akan mengadakan
peresmian atas berdirinya perguruan mereka dan sekaligus akan
mengadakan pasang giri gelar kaprawiran dalam waktu sepekan ke
depan. Mereka mengundang kita untuk menghadirinya dan sekaligus
sebagai perkenalan perguruan yang baru tumbuh di tanah perdikan
ini.”
Terlihat setiap kepala terangguk angguk. Kiai Sabda Dadi yang
sedang membaca rontal di tangannya pun ikut mengagguk angguk
dan terseyum tipis.
“Sebentar Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil
menggulung kembali rontal itu dan meletakkan di hadapannya,
“Mereka mengundang kita untuk menghadiri acara peresmian
perguruan mereka dan sekaligus mengadakan pasang giri gelar
kaprawiran,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian sambil memandang kedua pemimpin tanah perdikan itu
ganti berganti, “Kalau aku tidak salah, pasang giri gelar kaprawiran
itu semacam pertandingan ketangkasan dan keprigelan dalam olah
kanuragan. Mereka tentu juga akan mengundang perguruan
perguruan lain untuk mengikuti pertandingan itu.”
“Kiai Sabda Dadi benar,” sahut Ki Gede Menoreh dengan serta merta,
“Perguruan Wirapati adalah perguruan yang baru muncul. Tentu
11
mereka akan menunjukkan kelebihan kelebihan yang mereka miliki
dibandingkan dengan perguruan yang lain,” Ki Gede Menoreh
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun yang aku takutkan
adalah, dengan adanya pasang giri gelar kaprawiran itu, tidak akan
menambah kawan tapi justru akan menambah lawan!”
“Tinggal bagaimana mereka nantinya menyelenggarakan acara itu, Ki
Gede,” Ki Gede Matesih yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
yang baik menimpali, “Tujuan dari pasang giri gelar kaprawiran itu
sebenarnya adalah saling tukar pengalaman dan saling berbagi
pengalaman. Namun jika yang terjadi nantinya adalah keinginan
untuk saling menunjukkan kelebihan serta keinginan untuk saling
menjatuhkan, akhir dari semua itu adalah rasa dendam yang timbul
antara perguruan perguruan itu dan dapat berakibat kurang baik di
masa mendatang.”
Tampak orang orang yang hadir di pendapa itu mengangguk angguk.
Dari keinginan mempererat persaudaraan dan menambah
pertemanan, justru akan berakhir dengan persaingan dan
permusuhan.
“Ayah,” bertanya Pandan Wangi kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Apakah ada kemungkinan kita juga akan dilibatkan dalam
acara pasang giri gelar kaprawiran itu?”
Untuk sejenak ayahnya tidak mampu menjawab. Diedarkan
pandangan matanya ke sekeliling seakan mencari bantuan untuk
menjawab pertanyaan anaknya,
Segera saja Kiai Sabda Dadi beringsut setapak ke depan. Katanya
kemudian, “Maaf Ki Gede. Jika Ki Gede nantinya berkenan hadir, tentu
saja Ki Gede akan hadir sebagai seorang kepala tanah perdikan, bukan
sebagai pemimpin sebuah perguruan. Jadi menurut pendapatku, lebih
baik kita menjadi penonton yang baik saja.”
Kembali kepala orang orang yang hadir di tempat itu terangguk
angguk, kecuali Pandan Wangi.
“Sebentar Kiai,” sela Pandan Wangi cepat, “Memang ayah nantinya
akan hadir sebagai seorang kepala tanah perdikan, bukan sebagai
pemimpin sebuah perguruan. Namun tidak menutup kemungkinan
jika pihak perguruan Wirapati ingin menjajagi kemampuan para

12
pengawal perdikan Menoreh sehingga kita akan dilibatkan dalam
acara pasang giri gelar kaprawiran itu!”
Sekarang hampir setiap wajah telah mengerutkan kening mereka
dalam dalam. Kemungkinan yang disampaikan oleh Pandan Wangi
itu memang ada, dan jika memang itu yang terjadi nantinya, tentu
saja Ki Gede Menoreh tidak ada alasan untuk menolak.
“Aku sarankan Ki Gede membawa serta beberapa pengawal yang
dapat diandalkan,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian menanggapi
kekhawatiran Pandan Wangi, “Aku kira sudah sewajarnya jika Ki
Gede menghadiri perhelatan perguruan Wirapati itu dengan
membawa beberapa pengawal.”
“Ya, Kiai,” sahut Ki Gede Matesih memberikan pendapatnya, “Aku
kira tidak akan menjadi masalah jika Ki Gede Menoreh membawa
beberapa pengawal yang dapat diandalkan dan sekaligus sebagai
wakil perdikan Menoreh jika perguruan Wirapati melibatkan
perdikan ini dalam acara pasang giri gelar kaprawiran itu.”
Tampak setiap kepala sekarang terangguk angguk. Dalam waktu
dekat ini Ki Gede Menoreh dapat memilih para pengawal yang akan
dibawa menghadiri undangan perguruan Wirapati itu.
“Aku akan memanggil Prastawa,” berkata Ki Gede kemudian sambil
tersenyum, “Sebagai kepala pengawal di perdikan ini, tentu Prastawa
lebih mengetahui kemampuan anak buahnya.”
“Aku setuju Ki Gede,” sahut Kiai Sabda Dadi dengan serta merta.
Sementara Ratri yang sedari tadi hanya tertunduk telah mengangkat
wajahnya dan berpaling ke arah Pandan Wangi dengan kerut merut
di keningnya.
Agaknya Pandan Wangi tanggap dengan apa yang ingin diketahui
oleh Ratri. Maka sambil mencondongkan tubuhnya merapat ke arah
Ratri, Pandan Wangi pun berbisik, “Prastawa adalah anak laki laki
satu satunya Paman Argajaya, adik kandung ayahku.”
“O,” desis Ratri kemudian sambil mengangguk angguk. Orang orang
yang mendengar bisikan Pandan Wangi itu pun telah ikut tersenyum.
“Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil berpaling ke
arah Ki Gede Menoreh, “Apakah Ki Rangga Agung Sedayu akan ikut
hadir di perguruan Wirapati nantinya?”
13
Dengan sedikit bergegas, Ki Gede Menoreh pun segera membuka
gulungan rontal itu dan kemudian membacanya……………

14
Sejenak terlihat kerut merut di kening pemimpin tanah perdikan
Menoreh itu. Namun Ki Gede Menoreh kemudian menggelengkan
kepalanya. Jawabnya kemudian, “Undangan ini hanya berlaku untuk
pemimpin perdikan Menoreh dan para bebahu perdikan Menoreh,”
Ki Gede berhenti sebentar. Dengan gerak naluriah tangan kanan Ki
Gede meraih rontal yang tergeletak di hadapan Kiai Sabda Dadi dan
membukanya kembali.
Berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil mengamat amati rontal
di tangannya, “Nama Ki Rangga sama sekali tidak ada dalam
undangan ini. Namun tidak ada salahnya jika aku mengajaknya.”
“Ayah,” tiba tiba Pandan Wangi menyahut, “Aku mempunyai dugaan
bahwa Ki Rangga pasti ikut diundang. Keberadaan barak prajurit
pasukan khusus Mataram di Menoreh ini mungkin juga menjadi daya
tarik tersendiri bagi perguruan Wirapati untuk mengadakan
perbandingan ilmu. Mungkin sekarang ini utusan dari perguruan
Wirapati sedang menuju barak prajurit pasukan khusus untuk
mengantarkan undangan.”
Sejenak tampak ketiga orang tua itu saling berpandangan. Ki Gede
Menoreh pun akhirnya mengangguk anggukkan kepalanya sambil
berdesis perlahan, “Jika perguruan Wirapati sengaja ingin membuat
perbandingan ilmu dengan para prajurit khusus itu, tentu mereka
telah bertindak terlampau jauh.”
“Belum tentu Ki Gede,” tiba tiba Ki Gede Matesih menyela, “Belum
tentu kemampuan seorang cantrik atau putut akan berada di bawah
kemampuan seorang prajurit. Memang perguruan Wirapati ini masih
tergolong perguruan yang baru. Namun tidak menutup kemungkinan
bahwa sebenarnya hanya nama perguruannya saja yang baru, namun
para cantrik, putut dan jejanggan perguruan itu sudah lama ada.
Dengan kata lain, mereka membuat nama perguruan baru namun
sebenarnya mereka adalah perguruan yang sudah lama
keberadaannya.”
“Tetapi jika memang demikian, apa sebenarnya tujuan mereka
dengan berganti nama?” sekarang Kiai Sabda Dadi yang menyela.
“Banyak alasan yang dapat dipakai untuk mengganti nama sebuah
perguruan,” jawab Ki Gede Matesih sambil berpaling ke arah Kiai
Sabda Dadi, “Mungkin mereka adalah sebuah perguruan lama yang

15
telah membuat kesalahan terhadap pemerintahan Mataram sehingga
telah dibubarkan. Atau bisa jadi mereka sengaja menyamar dengan
nama perguruan yang baru untuk tujuan tertentu yang kita belum
ketahui.”
“Kemungkinan yang terakhir itu bagiku yang masuk akal,” menyela
Ki Gede Menoreh kemudian, “Kita harus tahu sumber ilmu yang
sebenarnya dari perguruan Wirapati itu. Nama Wirapati hanya
diambil dari nama seorang tumenggung yang telah purna, namun
yang harus kita ketahui, dari mana Ki Tumenggung Wirapati itu
menyadap ilmu? Apakah perguruan tempat Ki Tumenggung Wirapati
itu menyadap ilmu ada hubungannya dengan tanah perdikan
Menoreh secara khusus atau ada hubungannya dengan Mataram
secara keseluruhan?”
Segera saja wajah wajah yang hadir di pendapa itu menjadi tegang.
Memang segala kemungkinan dapat saja terjadi. Namun dengan
seringnya tanah perdikan Menoreh dijadikan sasaran sebagai
pancadan oleh sekelompok orang yang tidak ingin melihat Mataram
berdiri tegak, telah membuat Ki Gede Menoreh selalu berhati hati
dalam menyikapi setiap perubahan.
“Langkah pertama aku akan memanggil Ki Demang Pudak Lawang,”
berkata Ki Gede Menoreh kemudian setelah sejenak mereka terdiam,
“Perguruan Wirapati itu terletak di kademangan Pudak Lawang.
Seharusnya Ki Demang Pudak Lawang mengetahui sejarah tanah
yang sekarang ditempati oleh perguruan itu.”
Sekarang terlihat orang orang yang hadir di pendapa itu menarik
nafas dalam dalam. Memang seharusnya para penghuni tanah
perdikan Menoreh mengetahui dan mencermati setiap perubahan
yang terjadi di sekitarnya, sehingga sekecil apapun kemungkinan
terjadinya ketidak nyamanan di lingkungan mereka, segera
dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
“Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil berpaling ke
arah Ki Gede Menoreh setelah sejenak mereka terdiam, “Dalam
waktu dekat ini, aku akan berusaha mengadakan penyelidikan ke
perguruan Wirapati. Mungkin aku akan mendapat sisik melik
tentang perguruan itu.”

16
“Terima kasih, Kiai Sabda Dadi,” sahut Ki Gede Menoreh sambil
tersenyum ke arah Kakek Damarpati dan mengangguk anggukkan
kepalanya. Lanjutnya kemudian sambil berpaling ke arah Ki Gede
Matesih, “Dalam waktu sepekan ini kita akan mempersiapkan segala
sesuatunya sehubungan dengan undangan perguruan itu. Aku
mohon Ki Gede Matesih berkenan ikut menghadiri.”
“O, maafkan aku Ki Gede,” sahut Ki Gede Matesih dengan serta
merta, “Aku tidak bisa berlama lama meninggalkan perdikan
Matesih. Mungkin dalam waktu sehari atau dua hari ke depan, aku
akan mohon pamit untuk kembali ke Matesih.”
“Ayah!” tiba tiba Ratri menyela sambil memandang ayahnya dengan
sinar mata penuh tanda tanya, “Bukankah di Matesih sudah ada Ki
Kamituwa dan Ki Wiyaga? Demikian juga kawan kawan Ki Rangga
telah bersedia membantu keamanan Matesih selama ayah pergi.”
“Engkau benar Ratri,” jawab ayahnya kemudian sambil tersenyum
sareh, “Namun demikian bukan berarti aku dapat meninggalkan
tugasku selaku kepala perdikan seenaknya. Ayah harus segera
kembali ke Matesih.”
Tampak raut wajah Ratri menjadi sedikit buram. Ada sedikit
kegalauan mengetahui niat ayahnya untuk kembali ke Matesih dalam
waktu dekat ini.
“Pasti karena perempuan itu!” geram Ratri dalam hati. Namun Ratri
hanya dapat menyimpan kegeramannya dalam hati.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Gede Menoreh menengahi, “Ki Gede
Matesih tidak perlu tergesa gesa. Di Matesih ada Ki Waskita dan Ki
Jayaraga. Kedua orang tua itu pasti akan dapat mrantasi setiap
persoalan yang timbul.”
“Mudah mudahan Ki Gede,” sahut ayah Ratri dengan serta merta
sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Masing masing terlihat
sedang terbuai oleh angan angan yang tak berujung pangkal.
“Wangi,” tiba tiba terdengar suara Ki Gede Menoreh memecah
kesepian, “Bayu Swandana tadi ingin memandikan kudanya. Sudah
aku katakan kepadanya untuk meminta bantuan paman pekatik.
Lihatlah ke belakang, mungkin engkau dapat mengarahkannya.”
17
“Ayah,” sahut Pandan Wangi kemudian, “Sudah berapa kali Bayu
Swandana meminta ijin untuk memandikan kudanya sendiri. Aku
sudah melarangnya karena dia belum cukup tinggi untuk menggapai
punggung kuda itu. Aku akan menengoknya ayah.”
Selesai berkata demikian Pandan Wangi segera menggamit Ratri.
Sejenak kemudian kedua perempuan itu segera minta diri dan
bergegas ke halaman belakang melalui longkangan.
Sepeninggal kedua perempuan itu, pembicaraan di pendapa itu pun
telah berkisar ke berbagai masalah, mulai dari pergantian musim
yang tidak menentu serta musim kemarau yang lebih lama dari
biasanya, peningkatan pembudidayaan ternak dan ikan baik di
Menoreh maupun di Matesih.
Dalam pada itu dua ekor kuda yang cukup tegar tampak sedang
dipacu di bulak panjang menuju ke barak pasukan khusus Mataram
yang berkedudukan di Menoreh.
Dari jauh sudah tampak pintu gerbang yang berdiri dengan kokoh.
Beberapa prajurit yang berbadan tinggi dan tegap tampak sedang
berdiri di sebelah menyebelah pintu gerbang yang tertutup rapat.
Ketika jarak dengan pintu gerbang itu tinggal tiga tombak, kedua
penunggang kuda itu segera mengekang kendali kuda masing
masing. Setelah kuda kuda mereka benar benar berhenti, barulah
keduanya meloncat turun. Sambil menuntun kudanya, kedua orang
yang terlihat masih cukup muda itu berjalan mendekati gerbang.
Seorang prajurit yang berkumis melintang segera menyambut
kedatangan kedua orang itu. Ketika keduanya tinggal kira kira enam
langkah, prajurit berkumis melintang itu segera mengangkat tangan
kanannya tinggi tinggi.
“Berhenti!” terdengar suaranya tegas dan lantang, “Katakan jati diri
kalian dan maksud kedatangan kalian ke barak pasukan khusus ini!”
Berdesir dada kedua orang itu. Nama pasukan khusus Mataram yang
berkedudukan di Menoreh itu sudah dikenal banyak orang di seluruh
tlatah Mataram. Sebuah pasukan khusus yang memang dilatih untuk
melaksanakan tugas tugas berat yang sulit dilakukan oleh prajurit
biasa. Pasukan khusus yang dipimpin oleh seorang senapati yang
namanya sangat disegani lawan dan ditakuti lawan, Ki Rangga Agung
Sedayu.
18
Sambil tetap memegangi kendali kuda kuda mereka, kedua orang itu
segera maju selangkah sambil menganggukkan kepala mereka. Berkata
salah satu dari mereka kemudian, “Perkenalkan, kami para cantrik
utusan dari perguruan Wirapati ingin bertemu dengan senapati pasukan
khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh.”
Untuk sejenak tampak kerut merut di kening prajurit itu. Jawabnya
kemudian, “Ki Rangga Agung Sedayu sedang mengemban tugas.
Kami tidak tahu sampai kapan Ki Rangga akan kembali.”
Sekarang di kening kedua cantrik itulah yang tampak berkerut merut.
Setelah saling pandang sejenak, kembali salah satu dari mereka
berkata, “Jika demikian, kami ingin mengetahui kapan Ki Rangga
akan kembali dari mengemban tugas. Jika memungkinkan kami akan
menunggunya.”
Kembali prajurit berkumis melintang itu mengerutkan keningnya.
Katanya kemudian, “Sebutkan keperluan kalian. Kalian dapat
menitipkan pesan itu kepada kami para prajurit jaga. Biarlah kami
yang akan menyampaikan kepada Ki Rangga nantinya.”
Kembali kedua cantrik itu saling pandang. Berkata salah satu dari
keduanya kembali, “Kami diutus untuk menyampaikan undangan
kepada Ki Rangga Agung Sedayu.”
Tampak prajurit berkumis melintang itu menarik nafas dalam dalam
sambil memandang ganti berganti kepada kedua orang itu. Katanya
kemudian, “Serahkan undangan itu kepadaku. Nanti akan aku
sampaikan kepada Ki Rangga jika Ki Rangga sudah kembali,” prajurit
itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Atau aku dapat
menyampaikannya kepada Ki Lurah yang mewakili Ki Rangga selama
Ki Rangga tidak di tempat.”
“Tetapi pesan guru kami, undangan ini harus kami sampaikan
kepada Ki Rangga sendiri. Tidak boleh dititipkan kepada sembarang
orang!” sela salah satu cantrik utusan perguruan Wirapati yang
terlihat berwajah bulat.
“Itu tidak ada bedanya!” sergah prajurit berkumis melintang itu dengan
nada yang sedikit jengkel, “Jika keperluan kalian hanya mengantar
undangan untuk Ki Rangga, cukup kami para prajurit jaga yang
menerimanya. Kami tidak akan mengganggu tugas tugas Ki Rangga

19
hanya untuk urusan sekecil ini. Cukup kami para prajurit jaga yang
akan menyampaikannya nanti.”
Akan tetapi jawaban kedua cantrik utusan dari perguruan Wirapati
itu sungguh sangat mengejutkan. Dengan tegas keduanya
menggeleng. Berkata cantrik yang berwajah bulat itu kemudian,
“Sesuai perintah guru kami, undangan ini harus sampai ke tangan Ki
Rangga sendiri!”
“Persetan dengan gurumu!” geram prajurit berkumis melintang itu.
Agaknya dia mulai kehabisan kesabaran menghadapi dua orang
cantrik utusan dari perguruan Wirapati yang keras kepala itu.
“Jika kalian bersikeras untuk bertemu dengan Ki Rangga sendiri,
kalian hanya akan bermimpi!” geram prajurit itu selanjutnya,
“Pergilah, kami tidak butuh dengan undangan kalian. Bawa kembali
undangan itu kepada gurumu!”
Merah padam wajah kedua utusan itu. Untuk sejenak mereka justru
telah membeku di tempat masing masing tidak tahu harus berbuat
apa.
Beberapa prajurit yang lain agaknya telah tertarik dengan kedua
orang cantrik yang mengaku utusan dari perguruan Wirapati itu.
Sejenak kemudian dua orang prajurit telah melangkah mendekat.
“Ada apa kakang?” bertanya salah seorang prajurit yang terlihat
masih muda.
Prajurit berkumis melintang yang dipanggil kakang itu terdengar
mendengus marah. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah
kedua utusan itu, “Ada dua orang yang mengaku utusan dari
perguruan Wirapati. Aku tidak tahu di mana perguruan itu berada.
Mereka membawa undangan untuk Ki Rangga. Akan tetapi mereka
berdua menolak untuk menyerahkan undangan itu dan bersikeras
untuk bertemu Ki Rangga sendiri.”
Prajurit muda itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian
kepada kedua cantrik itu, “Ki Sanak berdua harus menyadari bahwa
Ki Sanak berada di lingkungan keprajuritan, bukan di lingkungan
sebuah perguruan. Kami para prajurit sangat menjunjung tinggi
paugeran yang berlaku di barak ini. Tidak sembarang orang akan
diijinkan untuk mengadap pimpinan kami. Hanya orang yang sudah

20
kami kenal dengan baik atau orang orang yang mempunyai jalur
keprajuritan dengan pasukan khusus ini yang dapat menghadap
pemimpin kami.”
“Itu pun harus dibuktikan dengan pertanda khusus dari lingkungan
kesatuan di atas kami,” timpal prajurit berkumis melintang itu
kemudian, “Jika mereka tidak membawa pertanda khusus, walaupun
mereka mengenakan pakaian keprajuritan lengkap dengan tanda
tanda kepangkatan, tetap akan kami tolak.”
Kedua cantrik yang mengaku utusan dari perguruan Wirapati itu
masih berdiri termangu mangu sambil memegangi kendali kuda kuda
mereka. Berbagai pertimbangan pun hilir mudik dalam benak
mereka.
“Ki Sanak,” berkata cantrik yang berwajah bulat itu pada akhirnya,
“Jika kalian berpegang pada paugeran prajurit, kami juga berpegang
pada paugeran perguruan kami. Perintah seorang guru bagi murid
muridnya adalah mutlak. Tidak ada alasan bagi kami untuk
mengingkarinya!”
Para prajurit itu sejenak tertegun. Tiba tiba saja salah seorang dari
para prajurit itu bertanya, “Siapakah nama guru kalian?”
Sekejap kedua utusan itu tertegun. Namun cantrik yang berwajah
bulat itu segera menjawab sambil membusungkan dadanya, “Guru
kami adalah seorang Tumenggung, lengkapnya Ki Tumenggung
Wirapati!”
Terkejut para prajurit yang mengerumuni kedua camtrik itu. Pangkat
Tumenggung adalah pangkat yang sangat tinggi dalam keprajuritan
sehingga telah membuat jantung mereka berdesir tajam.
“Ki Tumenggung Wirapati,” tanpa sadar beberapa prajurit telah
mengulang nama itu. Rasa rasanya mereka belum pernah mendengar
nama itu di Mataram, namun demikian mereka menjadi ragu ragu
untuk mengambil keputusan.
Di tengah ketidak pastian itu tiba tiba terdengar pintu gerbang
berderit karena di dorong dari dalam oleh seseorang sehingga
terbuka sedepa. Ketika para prajurit yang berkerumun itu kemudian
berpaling, tampak seseorang yang usianya sudah mendekati
pertengahan abad sedang melangkah mendekat.

21
“Ki Lurah!” desis beberapa prajurit sambil menyibak memberi jalan.
“Ada apa?” bertanya Ki Lurah kemudian sesampainya di hadapan
para prajurit itu.
“Ada dua orang cantrik dari perguruan Wirapati sedang
mengantarkan undangan untuk Ki Rangga, Ki Lurah,” berkata
prajurit yang berkumis melintang itu memberikan laporan.
“Ki Rangga sedang tidak ada di tempat,” berkata Ki Lurah kemudian
sambil memandang kedua cantrik itu ganti berganti, “Berikan saja
undangan itu kepadaku. Nanti aku sendiri yang akan
menyampaikannya kepada Ki Rangga.”
“Tetapi, Ki Lurah,” sahut cantrik berwajah bulat itu dengan serta
merta, “Guru kami, Ki Tumenggung Wirapati telah berpesan
mawanti wanti bahwa undangan ini harus kami sampaikan sendiri
kepada Ki Rangga, tidak boleh diwakilkan kepada siapapun.”
Cantrik berwajah bulat itu sengaja menyebut nama dan gelar gurunya
untuk mendapatkan perhatian, namun ternyata Ki Lurah justru telah
mengerutkan keningnya dalam dalam. Bertanya Ki Lurah kemudian,
“Benarkah gurumu itu seorang Tumenggung?”
“Benar Ki Lurah,” sahut cantrik berwajah bulat itu cepat, “Guru kami
adalah seorang Tumenggung yang pernah bertugas jauh di pantai
Utara untuk mengamankan pelabuhan pelabuhan dari gangguan
para perompak.”
Tampak kepala Ki Lurah terangguk angguk. Katanya kemudian seolah
olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Sejauh pengetahuanku dalam
paugeran keprajuritan, seorang prajurit dalam tataran kepangkatan
apapun dilarang untuk mengikuti kegiatan apa saja diluar tugas tugas
keprajuritannya. Apalagi memimpin sebuah perguruan. Karena hal
tersebut akan dapat mengganggu tugas tugasnya, kecuali prajurit
tersebut sudah purna tugas.”
Kedua cantrik itu sejenak saling pandang. Berkata cantrik berwajah
bulat itu kemudian, “Memang guru kami baru purna tugas beberapa
bulan yang lalu dan sekarang telah mendirikan perguruan Wirapati
yang terletak di perdikan Menoreh, tepatnya di Kademangan Pudak
Lawang.”

22
“O,” segera saja terdengar decak para prajurit yang berada di sekitar
tempat itu. Sementara Ki Lurah pun telah tersenyum sambil
mengangguk anggukkan kepalanya.
“Nah, Ki Sanak berdua,” berkata Ki Lurah itu pada akhirnya,
“Serahkan undangan itu kepadaku. Nanti aku sendiri yang akan
menyampaikannya kepada Ki Rangga.”
Untuk kesekian kalinya kedua cantrik itu saling pandang. Wajah
wajah mereka pun tampak menyiratkan ketidak puasan.
“Ada apa Ki Sanak?” bertanya Ki Lurah kemudian begitu melihat
kedua cantrik itu tampak ragu ragu, “Apakah kalian tidak percaya
kepadaku?”
“O, bukan begitu maksudku, Ki Lurah,” jawab cantrik berwajah bulat
itu dengan serta merta, “Namun pesan dari guruku sangat jelas.
Hanya Ki Rangga Agung Sedayu sendiri yang berhak menerima
undangan ini.”
Terlihat Ki Lurah menarik nafas dalam dalam untuk meredakan
gejolak dalam dadanya yang tiba tiba saja menggelepar. Katanya
kemudian, “Terserah kalian berdua. Jika menunggu Ki Rangga, aku
belum dapat memastikan kapan Ki Rangga kembali dari bertugas.
Sedangkan yang mewakili Ki Rangga selama beliau tidak di tempat
ada tiga orang Lurah prajurit. Aku sendiri dan dua orang Lurah
prajurit lainnya.”
Tampak wajah kedua cantrik itu mulai menyiratkan kebimbangan.
Namun pesan guru mereka tadi memang sangat jelas.
“Kalian harus dapat menyerahkan rontal ini langsung kepada Ki Rangga
sendiri. Jika Ki Rangga tidak ada di tempat dan kapan kembalinya tidak
ada yang tahu, jangan menitipkan rontal ini kepada siapapun, walaupun
dia itu orang yang ditunjuk untuk mewakili Ki Rangga sekalipun. Lebih
baik rontal ini kalian bawa pulang,” demikian pesan Ki Wirapati sebelum
kedua cantrik itu berangkat.
“Bagaimana Ki Sanak?” tiba tiba pertanyaan Ki Lurah itu telah
membangunkan lamunan mereka berdua.
Cantrik berwajah bulat itu sejenak memandang kawannya, namun
terlihat kawannya pun tidak mampu memberi saran.

23
“Baiklah Ki Lurah,” berkata cantrik berwajah bulat itu kemudian,
“Aku hanya ingin memastikan, kapan kira kira Ki Rangga kembali
dari tugasnya?”
Dengan cepat Ki Lurah menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak
tahu. Selain sebagai Senapati pasukan khusus ini, Ki Rangga juga
sering menerima tugas khusus dari Ki Patih Mandaraka. Sudah
cukup lama Ki Rangga meninggalkan perdikan Menoreh dan aku
tidak tahu kapan Ki Rangga akan kembali.”
Tampak kedua catrik itu mengangguk angguk. Cantrik berwajah
bulat itu pun kemudian memberi isyarat kawannya.
“Baiklah Ki Lurah, sesuai pesan guru kami, kami akan kembali,”
berkata cantrik itu pada akhirnya.
“Silahkan,” sahut Ki Lurah sambil mempersilahkan dengan isyarat
tangannya, “Sebenarnya jika hanya menyampaikan undangan, kalian
dapat menitipkan kepada para penjaga, sehingga kalian tidak
mondar mandir kehilangan waktu.”
“Sebenarnya kami tahu itu, Ki Lurah. Namun kami tidak berani
melanggar perintah guru kami,” berkata cantrik berwajah bulat itu
kemudian sambil memutar arah kudanya. Kawannya pun kemudian
mengikuti. Sementara Ki Lurah berjalan menjajari langkah cantrik
berwajah bulat itu.
“Begitu pentingkah undangan itu sehingga harus Ki Rangga sendiri
yang menerimanya?” bertanya Ki Lurah kemudian sambil mengikuti
langkah kedua cantrik itu menuntun kuda kuda mereka menjauhi
pintu gerbang.
“Aku tidak tahu, Ki Lurah,” jawab cantrik berwajah bulat itu sambil
bersiap siap menaiki kudanya. Ketika dia berpaling sekilas, kawannya
ternyata justru telah mendahului meloncat ke atas punggung
kudanya.
“Kami mohon diri Ki Lurah,” berkata cantrik berwajah bulat itu
kemudian ketika sudah berada di atas punggung kudanya.
“Silahkan! Semoga selamat sampai tujuan,” berkata Ki Lurah
kemudian, “Sampaikan salam hormat kami kepada Ki Tumenggung
Wirapati.”

24
“Tentu Ki Lurah,” jawab cantrik berwajah bulat itu kemudian.
Sejenak kedua ekor kuda itu pun telah berpacu di jalan yang berbatu
batu kembali ke kademangan Pudak Lawang.
Sepeninggal kedua cantrik itu, tampak Ki Lurah berjalan sambil
menundukkan kepalanya. Beberapa prajurit yang berada di pintu
gerbang itu pun segera menyambutnya.
“Mengapa undangan itu tidak dititipkan kepada Ki Lurah saja?”
bertanya salah satu prajurit itu begitu mereka tiba di hadapan Ki
Lurah.
Ki Lurah menghentikan langkahnya. Setelah menarik nafas dalam
dalam, barulah Ki Lurah menjawab, “Aku tidak tahu. Akan tetapi
yang jelas undangan itu sangat mencurigakan. Mengapa mesti Ki
Rangga sendiri yang harus membukanya?” Ki Lurah berhenti
sebentar sambil terlihat mengerutkan keningnya. Lanjutnya
kemudian, “Atau jangan jangan mereka menaruh sesuatu dalam
gulungan rontal itu yang dapat mencelakakan Ki Rangga.”
“Ya, Ki Lurah. Aku juga menduga demikian,” sahut prajurit berkumis
melintang itu dengan serta merta, “Mungkin rontal itu di dalamnya
dibubuhi sejenis racun ganas yang tidak terlihat dan tidak berbau.
Namun ketika Ki Rangga menyentuhnya, racun itu akan merembes ke
dalam tubuhnya melalui kulit dan kemudian menembus jantung.”
“Ah,” seru kawan kawannya, “Engkau terlalu banyak berkhayal.
Belum ada racun sejenis itu yang mampu meresap ke dalam kulit
tanpa melalui sebuah luka yang terbuka, atau melalui pernafasan.”
“Siapa tahu sekarang sudah ada dan perguruan Wirapati itu telah
menggunakannya untuk mencederai Ki Rangga?” bantah prajurit
berkumis melintang itu.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Lurah menengahi sambil melanjutkan
langkahnya. Para prajurit itu pun mengikutinya.
“Kita harus tahu latar belakang perguruan Wirapati itu,” berkata Ki
Lurah selanjutnya ketika mereka sudah sampai di pintu gerbang,
“Aku akan mengutus beberapa prajurit sandi untuk menyelidiki
perguruan baru itu. Bukankah mereka tadi menyebut kademangan
Pudak Lawang?”

25
“Benar Ki Lurah,” jawab prajurit berkumis melintang itu dengan
cepat, “Jika guru mereka berpesan agar Ki Rangga sendiri yang
menerima rontal itu, berarti guru mereka itu sudah pernah mengenal
Ki Rangga, atau paling tidak pernah mendengar namanya di seluruh
tlatah Mataram ini.”
Kembali tampak Ki Lurah mengangguk angguk. Katanya kemudian,
“Aku akan membicarakan terlebih dahulu dengan Lurah prajurit
yang lain sebelum memutuskan untuk menugaskan prajurit sandi.”
Para prajurit yang berjaga di pintu gerbang itu pun mengangguk
anggukan kepala mereka. Demikian lah Ki Lurah pun kemudian
berlalu dari tempat itu.
Dalam pada itu di istana kepatihan, tampak Ki Patih sedang
menerima dua orang utusan dari istana Kanjeng Ratu Lungayu.
“Silahkan,” berkata Ki Patih sambil mempersilahkan keduanya
duduk di serambi samping kepatihan. Kedua utusan Kanjeng Ratu itu
pun kemudian duduk bersila berhadap hadapan dengan Ki Patih.
Setelah menanyakan keselamatan masing masing, Ki Patih pun
kemudian mulai menyinggung kepentingan kedua utusan itu.
“Ampun Ki Patih,” berkata salah satu utusan yang rambutnya sudah
mulai bercampur putih, “Kami berdua memang telah diutus oleh
Kanjeng Ratu .”
Tampak Ki Patih menarik nafas dalam dalam. Sambil memandangi
kedua utusan itu ganti berganti, Ki Patih pun kemudian bertanya,
“Apakah pesan Kanjeng Ratu itu?”
Sambil menyembah dalam dalam, utusan yang berambut nyambel
wijen itu pun menjawab dengan suara rendah, “Ampun Ki Patih,
Kanjeng Ratu menyampaikan keberatannya atas kejadian pagi tadi di
alun alun. Pengerahan pasukan dari berbagai kesatuan itu telah
membuat Kanjeng Ratu tidak nyaman. Terus terang Kanjeng Ratu
tidak berkenan dengan apa yang telah dilakukan oleh Pangeran
Purbaya.”
Kembali tampak Ki Patih menarik nafas panjang. Untuk beberapa
saat orang yang di masa mudanya bernama Ki Juru Mertani itu
termenung. Berbagai tanggapan pun hilir mudik dalam benaknya.

26
“Untuk apa Pangeran Purbaya melakukan semua itu? Walaupun dengan
alasan persiapan pengamanan kotaraja menjelang penobatan Raja
Mataram yang baru, namun pengerahan pasukan dari berbagai kesatuan
secara besar besaran itu dapat menimbulkan berbagai penafsiran dan
memecah belah kerukunan keluarga istana,” membatin Ki Patih sambil
memandang ke titik titik di kejauhan.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Matahari sudah wayah pasar
temawon. Dari arah regol depan terdengar suara tawa yang tertahan
tahan. Agaknya para prajurit jaga kepatihan sedang bergurau atau
membicarakan sesuatu yang mengundang tawa.
“Jadi, apa kehendak Kanjeng Ratu sehubungan dengan gelar pasukan
tadi pagi?” bertanya Ki Patih pada akhirnya setelah sejenak mereka
terdiam.
“Ampun Ki Patih,” kembali utusan yang sudah berumur itu
menyembah, “Kanjeng Ratu hanya ingin meminta kepastian dari Ki
Patih tentang penobatan besuk pagi, tanpa terpengaruh oleh gelar
pasukan tadi pagi.”
“O, tentu saja tidak!” sahut Ki Patih cepat sambil menggelengkan
kepalanya, “Sudah menjadi keputusan sidang para sentana dalem
dan kerabat istana bahwa besuk pagi Raden Mas Wuryah akan
menduduki tahta.”
Tampak kepala kedua utusan itu terangguk angguk. Mereka berdua
percaya sepenuhnya bahwa Ki Patih tidak akan mengingkari janji.
“Nah, sekarang apa lagi yang mesti dirisaukan oleh Kanjeng Ratu ?”
bertanya Ki Patih kemudian sambil tersenyum tipis, “Dengan seijin
Yang Maha Agung, mudah mudahan apa yang telah kita rencanakan
besuk pagi dapat berjalan sesuai harapan.”
“Sendika Ki Patih,” sahut kedua utusan itu hampir berbareng sambil
menyembah.
“Nah, apakah masih ada lagi pesan dari Kanjeng Ratu yang ingin
kalian sampaikan?” bertanya Ki Patih selanjutnya.
Kembali utusan yang sudah cukup berumur itu menyembah sambil
berkata, “Ampun Ki Patih. Kanjeng Ratu merasa keamanan di
lingkungan istana Kanjeng Ratu perlu ditingkatkan. Demikian juga
untuk istana Raden Mas Wuryah.”
27
Tampak kerut merut di kening Ki Patih, walaupun hanya sekilas.
Bertanya Ki Patih kemudian, “Bukankah pasukan dari kesatuan Nara
Manggala telah dibagi dua? Sebagian menjaga keamanan di istana
Kanjeng Ratu, dan sebagian yang lain menjaga di istana Raden Mas
Wuryah?” Ki Patih berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Bahkan aku
juga telah mendapat laporan bahwa sebagian prajurit dari kadipaten
Panaraga juga telah ikut dilibatkan.”
“Sendika Ki Patih,” jawab utusan itu, “Namun Kanjeng Ratu telah
memohon bantuan kepada Ki Patih untuk mengirimkan seseorang
yang dapat mengendalikan semua unsur pasukan baik dari kesatuan
Nara Manggala maupun dari kadipaten Panaraga.”
“O,” tampak kepala Ki Patih terangguk angguk.
Memang kemungkinan gesekan antar pasukan yang berbeda
kesatuan itu dapat saja terjadi. Dua buah pasukan dari kesatuan yang
berbeda memang kadang agak sulit diatur jika pemimpinnya diambil
dari salah satu kesatuan itu. Apalagi ini melibatkan prajurit dari
kadipaten Panaraga.
“Baiklah,” berkata Ki Patih kemudian sambil tersenyum dan
mengangguk angguk, “Aku akan mengutus masing masing satu orang
untuk memimpin kedua pasukan yang sekarang sedang menjaga
istana Kanjeng Ratu dan istana Raden Mas Wuryah.”
“Sendika Ki Patih,” kedua utusan itu pun segera menghaturkan
sembah sebagai ungkapan kegembiraan hati mereka.
“Mohon ampun Ki Patih,” berkata utusan yang sudah cukup umur itu
kemudian, “Jika diperkenankan kami berdua akan undur diri. Semua
pesan dari Kanjeng Ratu telah kami sampaikan.”
“Baiklah. Sampaikan salamku kepada Kanjeng Ratu. Sore nanti
menjelang Matahari terbenam, aku akan mengirimkan dua orang
untuk memimpin pengamanan di lingkungan istana Kanjeng Ratu
dan istana Raden Mas Wuryah.”
Demikianlah kedua utusan itu segera mohon pamit. Setelah
menyembah terlebih dahulu, kedua utusan itu pun segera menuruni
tlundak pendapa serambi samping dan kemudian meninggalkan
istana kepatihan.

28
“Jadi, apa kehendak Kanjeng Ratu sehubungan dengan gelar pasukan
tadi pagi?” bertanya Ki Patih pada akhirnya setelah……….

29
Sepeninggal kedua utusan itu , untuk beberapa saat tampak Ki Patih
masih duduk berdiam diri di serambi samping kepatihan. Berbagai
tanggapan sedang hilir mudik dalam benak Ki Patih. Permintaan
Kanjeng Ratu Lungayu itu memang diluar kebiasaan.
“Siapakah yang pantas untuk memimpin pengamanan di dua istana
itu?” membatin Ki Patih sambil mencoba mengingat ingat orang
orang yang dapat dipercaya untuk menghadapi keadaan segenting
dan segawat apapun.
“Seandainya saja ada Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali angan
angan Ki Patih melambung teringat agul agulnya Mataram itu,
“Permainan apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh cucunda
buyut Rangsang? Mengapa Ki Rangga tidak kembali ke kepatihan?”
Terdengar beberapa kali Ki Patih menarik nafas dalam dalam untuk
meredakan getaran yang tiba tiba saja melanda jantungnya.
“Aku harus mencari dua orang yang dapat aku percaya untuk
memimpin pengamanan istana Kanjeng Ratu dan istana Raden Mas
Wuryah. Sepertinya firasatku mengatakan bahwa menjelang
penobatan besuk pagi, masih akan ada lagi sedikit ontran ontran.”
Berpikir sampai disitu, Ki Patih segera memanggil seorang pelayan
dalam yang duduk di tangga serambi menunggu titah.
Dengan tergopoh gopoh pelayan dalam itu pun segera menaiki
tlundak serambi dan kemudian menyembah sebelum akhirnya duduk
bersila dengan kepala tunduk.
“Pergilah menghadap Pangeran Upasanta dan Pangeran
Mandurareja. Sampaikan kepada mereka berdua, supaya menghadap
ke kepatihan sebelum Matahari mencapai puncaknya. Aku
memerlukan mereka berdua,” berkata Ki Patih kemudian.
Tanpa banyak bertanya, pelayan dalam itu pun segera menyembah
dan kemudian bergeser mengundurkan diri.
Dalam pada itu Matahari sudah sangat condong di langit Barat,
namun masih memerlukan waktu beberapa saat untuk benar benar
terbenam. Seperti biasanya di saat menjelang senja, Ki Gede
Menoreh dan anak perempuan satu satunya terlihat sedang ngegar
egar ati di halaman belakang, di bawah sebatang pohon jambu di tepi
kolam.
30
“Ayah,” bertanya Pandan Wangi kemudian sambil memilah milah
buah jambu di atas lincak, “Apakah Ki Gede Matesih sudah
menyampaikan maksud kedatangannya berkunjung ke Menoreh
ini?”
Ki Gede menggeleng. Diambilnya sebuah jambu yang terlihat masak dan
cukup besar. Sambil membelah jambu itu dengan cara diletakkan di
antara kedua telapak tangannya, Ki Gede pun menjawab, “Belum Wangi.
Aku juga masih segan untuk menanyakan maksud sebenarnya
kunjungan dari ayah dan anak itu ke perdikan Menoreh.”
Untuk sejenak Pandan Wangi terdiam. Tangannya sibuk memilah
dan memilih jambu jambu yang baik dan kemudian diletakkan di
samping ayahnya.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil memandang ayahnya
lekat lekat, “Tadi pagi sewaktu aku menemani Ratri berkuda berkeliling,
ternyata Ratri secara tidak langsung telah bercerita kepadaku maksud
dan tujuannya mengunjungi Menoreh ini.”
Sejenak ayahnya berhenti mengunyah buah jambu yang berada di
dalam mulutnya. Sambil berpaling dia bertanya, “Benarkah Wangi?
Jika memang demikian, sekarang engkau dapat menyampaikannya
kepadaku.”
Untuk beberapa saat Pandan Wangi membetulkan letak duduknya.
Katanya kemudian, “Ayah, Ratri telah banyak bercerita tentang
pengalaman pribadinya. Beberapa kali dia hampir saja menjadi
korban karena ketidak berdayaannya sebagi perempuan yang lemah.
Untuk itulah dia jauh jauh ke Menoreh ingin menimba ilmu olah
kanuragan.”
Sejenak terlihat kerut merut di kening Ki Argapati. Sambil tetap
menguyah buah jambu, pemimpin tanah perdikan Menoreh itu pun
berdesis perlahan seolah ditujukan dirinya sendiri, “Kalau hanya
ingin belajar ilmu olah kanuragan, mengapa harus jauh jauh ke
Menoreh? Lagi pula aku yakin Ki Gede Matesih pasti mempunyai
kemampuan yang tinggi sehingga tidak perlu lagi mencari seorang
guru untuk mengajari anaknya.”
“Ayah benar,” sahut Pandan Wangi dengan serta merta, “Sebagaimana
aku juga telah diajari ilmu olah kanuragan oleh ayah,” Pandan Wangi
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun permasalahan yang
31
sebenarnya mungkin ada pada diri Ki Gede Matesih sendiri. Ayah
Ratri itu terlalu memanjakan anak perempuannya, sehingga Ki Gede
Matesih mungkin tidak akan tega melihat anak gadisnya harus
berlatih keras sebagaimana yang dilakukan oleh laki laki.”
Tiba tiba Ki Gede Menoreh tertawa pendek. Tanyanya kemudian,
“Bagaimana dengan engkau sendiri, Wangi? Bukankah engkau juga
sangat manja ketika masih remaja dulu?”
“Tentu tidak!” jawab Pandan Wangi cepat, “Ayah mendidikku dengan
sangat keras semenjak kepergian kakang Sidanti mengikuti gurunya.
Seakan akan ayah memang telah mempersiapkan aku untuk
menghadapi keadaan yang tidak menentu kelak di kemudian hari di
Menoreh ini.”
Tertegun wajah tua itu. Betapa gurat gurat ketuaan bercampur
kepedihan terlihat jelas terpahat di wajahnya. Ki Gede Menoreh pun
seolah olah telah terlempar ke masa lalu yang penuh dengan duka
lara.
“Ah, sudahlah Wangi,” berkata Ki Gede kemudian memecah
kesunyian, “Jika memang Ratri ingin berguru ke Menoreh, silahkan
saja.”
Jantung Pandan Wangi pun berdegup lebih kencang. Dia ingin
meminta ijin kepada ayahnya untuk menerima Ratri sebagai murid.
Namun ada sedikit keraguan dalam hatinya, karena perguruan
Menoreh selama ini memang belum pernah menerima murid selain
yang masih mempunyai ikatan keluarga.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi akhirnya memberanikan diri,
“Sewaktu menemani Ratri berkuda pagi tadi, Ratri telah
menyampaikan keinginannya untuk berguru kepadaku.”
Selesai berkata demikian, tampak wajah Pandan Wangi menjadi
sedikit tegang. Dicobanya untuk membaca kesan yang tersirat di
wajah ayahnya. Namun wajah tua itu tampaknya datar datar saja.
Sambil memilih dan kemudian mengambil sebuah jambu yang
terlihat sudah masak, Ki Gede pun kemudian menjawab dengan
suara sareh, “Wangi, setiap perguruan tentu mempunyai paugeran
paugeran khusus atau wewaler yang tidak mungkin untuk dilanggar

32
turun temurun. Wewaler itu dapat saja dalam bentuk yang
bermacam macam. Kalau perguruan kita adalah perguruan yang
bersumber dari keluarga besar di Menoreh. Walaupun secara tersurat
tidak pernah tertulis bahwa perguruan kita hanya menerima murid
yang mempunyai jalur aliran darah dari sumber yang sama, namun
secara tersirat memang kakek buyut kita belum pernah mengambil
murid dari luar jalur keluarga kita,” Ki Gede Menoreh berhenti
sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku dan pamanmu Argajaya
menerima ilmu dari kakekmu. Pamanmu Argajaya telah mengambil
anaknya sendiri, Prastawa sebagai muridnya. Maka tidak ada pilihan
lain bagiku untuk mengangkatmu sebagai muridku karena kakakmu
Sidanti lebih senang berguru kepada Ki Tambak Wedi.”
Kata kata terakhir Ki Argapati itu seolah telah menorehkan kembali luka
baru di atas luka lama di hati Pandan Wangi yang telah terkubur
bertahun tahun dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Luka itu
sekarang seakan akan telah meneteskan darah kembali. Dalam diri
Sidanti memang tidak mengalir darah keturunan Menoreh.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya desau angin sore yang
terdengar bergemerisik menerobos daun daun jambu. Beberapa helai
bunganya jatuh ke rambut Pandan Wangi bagaikan serpihan
serpihan sutera menghiassi rambut seorang puteri keraton.
“Jadi, aku harus bagaimana, ayah?” bertanya Pandan Wangi
kemudian memecah kesunyian dengan nada suara yang sedikit
meragu.
Ayahnya menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu sebelum
menjawab. Jawab Ki Gede pada akhirnya, “Wangi, purba wasesa
perguruan kita ini secara tidak langsung sekarang berada di
tanganku, karena akulah murid tertua perguruan Menoreh
sepeninggal kakekmu puluhan tahun yang lalu, bahkan jauh sebelum
aku berumah tangga,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya, “Namun
dengan demikian bukan berarti aku dapat mengambil keputusan
tanpa meminta pertimbangan murid murid yang lain, pamanmu Ki
Argajaya misalnya. Nah, aku tidak dapat memberikan jawabannya
sekarang, Wangi.”
Tampak raut wajah perempuan cantik nan ayu itu menyiratkan
kekecewaan. Semua itu tidak luput dari pengamatan ayahnya. Maka
kata Ki Argapati selanjutnya, “Namun engkau tidak perlu merasa
33
gelisah jika memang Ratri tidak berjodoh menjadi muridmu.
Bukankah anak laki lakimu akan menjadi pewaris ilmu perguruan
Menoreh dan sekaligus pewaris tanah perdikan yang luas ini?”
Namun Ki Argapati menjadi terkejut ketika melihat raut wajah anak
perempuan semata wayangnya itu. Dengan menundukkan wajahnya
dalam dalam, Pandan Wangi pun kemudian menanggapi, “Ayah,
Bayu Swandana adalah anak laki laki. Dia akan tampak gagah dan
berwibawa memimpin tanah perdikan ini dengan sebuah tombak
pendek pusaka kebanggaan perdikan Menoreh di tangan kanannya,
bukan sepasang pedang tipis di lambungnya.”
Untuk sejenak Ki Gede Menoreh tertegun. Apa yang disampaikan
puterinya itu memang benar adanya, dan agaknya Pandan Wangi
memang ingin sekali mempunyai murid perempuan sebagaimana
Sekar Mirah.
“Sepeninggal suaminya, Pandan Wangi memang terlihat kesepian,”
membatin Ki Argapati sambil mendongakkan wajahnya mengamati
awan di langit yang berarak arak, “Keberadaan Ratri sebagai
muridnya mungkin dapat mengisi hari harinya yang sepi dengan
kesibukan. Tetapi bagaimana dengan wewaler perguruan Menoreh
itu?”
“Berilah aku waktu, Wangi,” berkata Ki Argapati pada akhirnya
sambil meluruskan kedua kakinya, “Jika menurut pertimbangan dari
pamanmu Argajaya nantinya menyetujui keinginanmu untuk
mengambil murid dari jalur luar keluarga, tentu diperlukan
persyaratan persyaratan khusus dengan tujuan agar ilmu dari jalur
perguruan kita tidak disalah gunakan.”
Tampak kening ibu Bayu Swandana itu berkerut merut, namun hanya
sesaat. Sejenak kemudian tampak kepalanya terangguk angguk
walaupun terlihat dia masih ragu dengan pengamatannya sendiri.
“Paman Argajaya justru telah menggunakan ilmu yang disadapnya
untuk menentang kakaknya sendiri,” membatin Pandan Wangi
kemudian sambil menundukkan kepalanya dalam dalam,
“Sebenarnya murid murid sebuah perguruan itu mempunyai
kemungkinan yang sama, mereka dapat saja berjalan dalam
paugeran yang telah ditetapkan dalam perguruannya, atau bahkan
menyelewengkannya sekalipun karena pengaruh keadaan.”

34
Namun Pandan Wangi tidak mau berbantah dengan ayahnya dan
sekaligus gurunya. Maka yang tampak kemudian adalah anggukkan
yang dalam dari puteri Menoreh itu.
“Nah Matahari sebentar lagi akan terbenam, sebaiknya kita segera
bersiap untuk menunaikan kewajiban,” berkata Ki Gede Menoreh
kemudian sambil berdiri. Pandan Wangi pun akhirnya ikut berdiri.
Demikianlah kedua ayah dan anak itu pun kemudian memasuki
dalem ageng melalu pintu dapur.
Ternyata Pandan Wangi telah menyempatkan diri menengok
keadaan Bagus Sadewa di bilik Sekar Mirah.
“Bagaimana Mirah? Apakah anakmu sudah engkau ajari minum
jamu?” bertanya Pandan Wangi kemudian sambil tersenyum
menggoda.
“Ah,” Sekar Mirah yang duduk di atas sebuah dingklik kayu itu
tertawa. Sementara Damarpati yang duduk di bibir amben
menunggui Bagus Sadewa yang sedang terlelap juga ikut tersenyum.
Sedangkan Rara Wulan yang duduk di bibir amben yang lain tampak
sedang membenahi sanggulnya.
“Bagaimana mbokayu? Apakah ada berita untuk kami berdua?”
bertanya Sekar Mirah kemudian sambil sudut matanya melirik ke
arah Rara Wulan. Pandan Wangi pun tanggap bahwa kedua
perempuan itu sedang menunggu berita suami suami mereka.
“Belum ada berita lagi, Mirah,” jawab Pandan Wangi kemudian
sambil ikut duduk di bibir amben di hadapan Damarpati. Damarpati
yang menjadi sedikit pekewuh berusaha turun dari amben, namun
dengan cepat tangannya ditangkap oleh Pandan Wangi.
“Mau kemana?” bertanya Pandan Wangi sambil tersenyum.
Damarpati pun tidak dapat mengelak dan akhirnya duduk kembali.
“Bagaimana keadaan anakmu?” bertanya Pandan Wangi kemudian
sambil meraba kening Bagus Sadewa dengan punggung tangan
kanannya.
“Sudah tidak panas lagi, mbokayu,” jawab Sekar Mirah kemudian
sambil menyeret tempat duduknya mendekat, “Aku sudah minum
jamu dua kali, pagi tadi dan kemudian siangnya aku minum lagi.”

35
Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk. Sejenak dirapikan
selimut Bagus Sadewa sebelum mencubit gemas pipinya. Katanya
kemudian sambil berpaling ke arah Sekar Mirah, “Jika panasnya
sudah turun dan kedua tangan dan kakinya tidak dingin lagi, engkau
tidak usah meneruskan minum jamu itu lagi.”
“Baik, mbokayu,” jawab Sekar Mirah sambil mengangguk.
“Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling bilik, “Tadi pagi aku membawa
undangan dari perguruan Wirapati untuk Ki Gede Menoreh dan para
bebahu perdikan.”
“Perguruan Wirapati?” hampir bersamaan Sekar Mirah dan Rara
Wulan. Segera saja Rara Wulan mengambil dingklik kecil yang ada di
sudut bilik dan kemudian bergabung.
“Ya, perguruan Wirapati. Apakah kalian pernah mendengarnya?”
bertanya Pandan Wangi selanjutnya.
Hampir bersamaan kedua perempuan itu menggeleng. Sedangkan
Damarpati yang duduk di sudut amben hanya menundukkan
wajahnya dalam dalam. Gadis pendiam itu lebih senang
menggendong dan bercanda dengan Bagus Sadewa dari pada
membicarakan permasalahan yang dia tidak begitu mengerti.
Tampak Pandan Wangi menarik nafas dalam dalam. Katanya
kemudian, “Perguruan itu terletak di perdikan Menoreh ini, tepatnya
di kademangan Pudak Lawang.”
“Aneh,” desis Sekar Mirah kemudian, “Aku sama sekali belum pernah
mendengar ada sebuah perguruan di perdikan ini, dan sekarang tahu
tahu ada undangan untuk Ki Gede beserta para bebahu perdikan.”
“Itulah yang mengherankan,” sahut Pandan Wangi dengan serta
merta, “Tadi pagi sudah dibahas oleh ayah dan Kiai Sabda Dadi
bersama Ki Gede Matesih. Orang orang tua itu mengambil
kesimpulan bahwa keberadaan perguruan itu perlu mendapat
perhatian. Maksudnya, jalur ilmu sebenarnya dari perguruan itu
yang perlu ditelusuri sebelum segala sesuatunya berkembang
semakin besar.”

36
Tampak perempuan perempuan yang berada di dalam bilik itu
mengangguk angguk. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing masing
tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal.
“Siapakah pemimpin perguruan itu, mbokayu?” bertanya Sekar
Mirah kemudian memecah kesepian.
“Pemimpin perguruan itu adalah seorang Tumenggung, namanya Ki
Tumenggung Wirapati.”
“Ki Tumenggung Wirapati?” seru Sekar Mirah terkejut. Yang lain pun
menjadi terkejut mendengar seruan Sekar Mirah.
“Ada apa Mirah? Engkau mengenalnya?”
“O, tidak mbokayu,” jawab Sekar Mirah cepat, “Aku hanya terkejut
saja karena sangat jarang sebuah perguruan dipimpin oleh seorang
Tumenggung. Mungkin kakang Agung Sedayu mengenalnya.”
Terlihat Pandan Wangi menarik nafas panjang sambil mengangguk
angguk. Katanya kemudian, “Mungkin, Mirah. Tetapi mungkin juga
tidak. Namun paling tidak kakang Agung Sedayu pasti pernah
mendengar namanya.”
Kembali terlihat kepala orang orang yang berada di dalam bilik itu
terangguk angguk.
“Sepekan lagi perguruan itu akan memperkenalkan diri sebagai
perguruan yang baru dan sekalian mengadakan pasang giri gelar
kaprawiran,” berkata Pandan Wangi selanjutnya.
Segera saja tampak kerut merut di kening setiap orang yang berada
di dalam bilik itu. Bahkan Damarpati yang sedari tadi hanya menjadi
pendengar yang baik telah mengangkat wajahnya.
Bertanya Sekar Mirah kemudian, “Apakah itu mbokayu? Pasang giri
gelar kaprawiran?”
Pandan Wangi tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Semacam
pertandingan ketangkasan dan keprigelan dalam olah kanuragan.”
Untuk sejenak tampak kerut merut di kening ketiga perempuan itu.
Rara Wulan lah yang kemudian bertanya, “Maaf Nyi, apakah dalam
undangan itu menyebutkan bahwa perdikan Menoreh terlibat dalam
acara itu?”

37
“Ah, tentu tidak!” Sekar Mirah lah yang menyahut dengan serta
merta, “Ki Gede Menoreh tentu akan hadir sebagai tamu kehormatan.
Mungkin perguruan perguruan lain yang diundang yang akan
dilibatkan dalam acara itu.”
“Aku juga menduga demikian,” Pandan Wangi membenarkan
pendapat Sekar Mirah, “Namun tidak ada jeleknya jika kita juga
mempersiapkan para pengawal yang terbaik jika ternyata perdikan
Menoreh dilibatkan nantinya.”
Ketiga perempuan itu pun tampak mengangguk anggukkan
kepalanya.
“Ah, sudahlah,” berkata Pandan Wangi pada akhirnya sambil bangkit
berdiri, “Matahari sudah terbenam, sebaiknya kita menunaikan
kewajiban terlebih dahulu.”
“Baik mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil ikut bangkit
berdiri dan mengantarkan Pandan Wangi sampai ke pintu bilik. Rara
Wulan dan Damarpati pun mengikuti dari belakang.
Dalam pada itu di istana Kanjeng Ratu Lungayu, penjagaan telah
ditingkatkan berlipat lipat dari biasanya. Kesatuan prajurit Nara
Manggala yang biasanya menjaga istana Panembahan Hanyakrawati
telah dibagi dua, sebagian menjaga istana kanoman Raden Mas
Wuryah, dan sebagian yang lain menjaga istana Kanjeng Ratu
Lungayu. Bahkan Kanjeng Ratu Lungayu telah melibatkan pasukan
dari kadipaten Panaraga.
Ki Lurah yang mengepalai prajurit dari kesatuan Nara Manggala itu
sebenarnya agak segan melibatkan pasukan dari kadipaten Panaraga.
Namun perintah Kanjeng Ratu Lungayu tidak boleh ditolak.
“Prajurit dari kesatuan Nara Manggala mempunyai paugeran khusus
serta isyarat isyarat yang hanya dipahami dan dimengerti oleh para
prajuritnya,” gerutu Ki Lurah sekembalinya dari menghadap Kanjeng
Ratu, “Bagaimana mungkin kita bisa bekerja sama dengan para
prajurit dari kadipaten Panaraga itu?”
Prajurit yang berdiri di sebelahnya tidak menyahut. Hanya menarik
nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

38
Untunglah menjelang sirep bocah tadi, Pangeran Mandurareja salah
satu cucu Ki Patih Mandaraka telah diutus memimpin kedua pasukan
yang berbeda itu untuk mengamankan istana Kanjeng Ratu Lungayu.
Dalam pada itu malam semakin menghujam ke pusatnya. Terdengar
di beberapa gardu perondan kentongan telah dipukul dengan nada
dara muluk menandakan waktu telah melewati puncak malam.
Di luar dinding istana Kanjeng Ratu Lungayu bagian timur, tampak
dua buah bayangan mengendap endap. Sesekali tampak kepala
mereka mendongak ke atas, mengamati dinding istana yang
menjulang tinggi.
“Gila,” geram salah satu yang berperawakan tinggi kekar sambil
duduk dan menyandarkan punggungnya di dinding, “Selain
dindingnya terlalu tinggi, penjagaan di seputar istana ini sangat
ketat.”
Kawannya hanya menarik nafas dalam dalam sambil ikut duduk
beberapa langkah di hadapannya. Pandangan matanya yang sangat
tajam tampak berusaha mengamat amati keadaan di sekitarnya.
“Tugas yang terlalu berat,” desisnya kemudian sambil memandang
titik titik di kejauhan yang berselimutkan kegelapan malam.
“Berat dan sangat berbahaya,” orang yang berbadan tinggi kekar itu
menimpali, “Entah apa maksud Kanjeng Pangeran Purbaya
memerintahkan kita untuk meletakkan salah satu panji panji ini di
pintu bilik Kanjeng Ratu Lungayu.”
“Bukankah dengan meletakkan panji panji ini di bilik bilik para
pemimpin pasukan Panaraga saja sudah cukup?” kawannya
menyahut dengan nada sedikit kesal, “Penjagaan pasukan Panaraga
tidaklah seketat pasukan khusus Nara Manggala. Pasukan Nara
Manggala sudah terbiasa dengan pengawalan Raja dan keluarganya
sehingga hampir dapat dikatakan tidak ada celah sama sekali dan
mustahil untuk menembus penjagaan mereka.”
“Tapi tugas ini harus berhasil, apapun akibat yang akan menimpa
pada diri kita berdua,” sahut orang yang berperawakan tinggi kekar
itu, “Selain itu nama kesatuan Jalamangkara juga di pertaruhkan.”
“Engkau benar, kakang,” sahut kawannya dengan serta merta,
“Tetapi rasa rasanya akan sulit sekali jika kita berusaha menembus
39
pertahanan penjagaan di istana malam hari ini. Besuk adalah hari
penobatan Raja baru. Tentu calon Raja dan keluarganya akan
mendapat penjagaan dan pengawalan yang sangat ketat malam ini.”
“Tapi aku yakin masih ada celah,” berkata orang yang dipanggil
kakang itu, “Mungkin kita hanya perlu bersabar dan menunggu
waktu saja. Biasanya menjelang Matahari terbit adalah saat saat
dimana para penjaga mengalami kelengahan.”
“Aku setuju, kakang,” sahut kawannya dengan cepat, “Kita tunggu
saja sampai menjelang Matahari terbit, baru kita begerak.”
Orang tinggi kekar yang dipanggil kakang itu tidak menyahut lagi.
Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk angguk. Kedua orang
yang ternyata adalah prajurit dari kesatuan Jalamangkara itu tampak
tertunduk sambil menunggu waktu.
Dalam pada itu, tanpa sepengetahuan kedua orang itu, sebuah
bayangan tampak berdiri termangu mangu di balik sebatang pohon
jambu air yang tumbuh tidak jauh dari dinding istana sebelah Timur.
Bayangan itu tampaknya telah mengikuti pembicaraan kedua orang
itu sedari tadi.
Ketika bayangan itu kemudian mendekat, kedua orang itu pun telah
terlonjak kaget bagaikan disengat seekor kalajengking sebesar ibu
jari kaki orang dewasa. Keduanya sama sekali tidak mendengar desir
langkah maupun suara gemerisik daun kering serta ranting kering
yang terinjak. Bayangan itu seolah olah muncul begitu saja di
hadapan mereka.
Dengan sigap keduanya segera meloncat berdiri dengan kedua kaki
yang renggang. Sejenak suasana menjadi sunyi namun
menegangkan. Masing masing saling menunggu apa yang akan
terjadi kemudian.
Namun kedua prajurit Jalamangkara itu agaknya juga dibekali ilmu
yang cukup tinggi. Keduanya tampak mengerutkan kening mereka
dalam dalam sambil memperhatikan bayangan itu dengan lebih
seksama.
“Jangan mencoba mengelabuhi kami dengan permainan kanak kanak!”
tiba tiba terdengar prajurit tinggi kekar itu menggeram, “Kami dapat
membedakan antara ujud bayangan semu dan ujud yang sebenarnya

40
dengan sangat baiknya. Lebih baik Ki Sanak segera keluar dari
persembunyian dan marilah kita berbicara baik baik.”
Bayangan itu tampak termangu mangu sejenak. Ketika bayangan itu
kemudian melangkah semakin dekat, tampak orang yang mereka
sangka bayangan semu itu ternyata telah menutupi sebagian
wajahnya dengan secarik kain hitam.
“Gila!” geram prajurit tinggi kekar itu kembali, “Ki Sanak benar benar
memandang rendah kepada kami berdua. Tanpa secarik kain
penutup wajah itu pun kami tidak mungkin mengenal Ki Sanak.
Lebih baik Ki Sanak segera mengakhiri permainan memuakkan ini!”
“Ya,” sahut kawannya yang berbadan tidak begitu tinggi, “Jika Ki
Sanak membuat kami kehilangan kesabaran, Ki Sanak akan
menanggung akibatnya!”
Namun bayangan itu terdengar tertawa perlahan lahan dengan nada
yang sangat rendah. Tawa itu terdengar begitu memuakkan di telinga
kedua prajurit Jalamangkara itu.
Sebelum kedua prajurit itu menyadari, tiba tiba bayangan itu tampak
menggerakkan tangan kanannya. Sebuah batang perdu yang berada
di sebelah kanannya pun kemudian tercerabut begitu saja dari
akarnya.
“Lihatlah, kalian berdua!” geram bayangan itu kemudian sambil
melemparkan batang perdu itu ke hadapan mereka. Lanjutnya
kemudian, “Periksalah! Apakah batang perdu itu juga sejenis
bayangan semu sebagaimana kalian duga? Jika kalian tidak percaya
dan tetap menganggap aku adalah sekedar bayangan semu, aku akan
mendorong tubuh kalian sampai terjatuh!”
Belum sempat kedua prajurit itu berpikir dan mengambil keputusan,
tanpa terlihat oleh gerakan mata wadag, bayangan itu melesat ke
depan dan tahu tahu kedua prajurit itu merasa bahunya telah
didorong oleh sebuah kekuatan yang tak tertahankan. Tanpa dapat
dicegah lagi, keduanya pun kemudian jatuh terlentang.
“Gila!” hampir bersamaan keduanya telah meloncat berdiri sambil
mengumpat. Segera saja kedua prajurit Jalamangkara itu bersiap
mengadu nyawa.

41
“Tunggu dulu!” bekata bayangan itu kemudian sambil mengangkat
tangan kanannya, “Aku datang untuk membantu, bukan untuk
berseteru!”
Untuk sejenak kedua prajurit itu saling pandang. Tentu saja mereka
tidak dapat percaya begitu saja dengan ucapan bayangan yang berdiri
di hadapan mereka itu.
Berkata prajurit yang berbadan kekar kemudian, “Ki Sanak, engkau
datang dengan cara sesideman, tanpa sepengetahuan kami berdua.
Tentu Ki Sanak sudah banyak mendengar tujuan kami berdua datang
ke istana ini. Keberadaan Ki Sanak sangat membahayakan
kedudukan kami berdua. Tidak ada jalan lain kecuali menghilangkan
kesempatan Ki Sanak untuk berbuat lebih jauh!”
Selesai berkata demikian, prajurit Jalamangkara yang berbadan
tegap dan kekar itu segera memberi isyarat kawannya. Segera saja
sebuah pisau belati yang berkilat kilat berada di tangan kanan masing
masing.
Bayangan itu sejenak tertegun. Terlihat beberapa kali dia menarik
nafas panjang. Katanya kemudian, “Kedatanganku ini benar benar
bermaksud baik. Jika kalian berdua ternyata menjadi salah sangka,
silahkan saja jika memang ingin melenyapkan aku. Namun terus
terang aku meragukan kemampuan kalian.”
“Persetan!” geram prajurit yang berbadan agak pendek, “Engkau
terlalu menghina kemampuan kami, Ki Sanak. Jangan salahkan kami
jika dalam serangan pertama, tubuhmu akan tergeletak tanpa
nyawa!”
“Kawanku benar,” sahut yang berbadan tegap, “Kami tidak pernah
ragu ragu dalam menuntaskan tugas kami. Jika Ki Sanak mempunyai
pesan pesan terakhir, sebutlah! Jika memungkinkan akan kami
sampaikan kepada keluarga Ki Sanak atau siapapun yang Ki Sanak
maksudkan!”
Terdengar bayangan itu tertawa pendek. Katanya kemudian,
“Baiklah. Aku mempunyai pesan khusus. Sampaikan kepada Kanjeng
Pangeran Purbaya bahwa tugas yang dibebankan kepada kalian
sangatlah berat. Kalian tidak akan mampu melakukan tugas itu tanpa
bantuanku!”

42
“Persetan!” hampir bersamaan kedua prajurit itu mengumpat sambil
meloncat mengayunkan belati yang berada di tangan mereka
mengarah ke dada.
Namun alangkah terkejutnya kedua prajurit itu. Ternyata bayangan
itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Bahkan dengan sikap
yang terlihat sangat jumawa, dibusungkan dadanya untuk
menyambut serangan lawan.
Pada dasarnya kedua prajurit Jalamangkara itu tidak pernah ragu
ragu dalam menuntaskan sebuah tugas. Maka kedua ujung belati itu
pun dengan deras meluncur menembus dada.
Yang terjadi kemudian adalah benar benar diluar perhitungan dan
diluar nalar. Serangan cepat kedua prajurit itu seolah olah
menghujam dan menembus segumpal kabut. Kedua tubuh prajurit
itupun terbawa oleh dorongan tenaga mereka yang berlebihan
sehinga telah terhutung huyung dan akhirnya menabrak sebatang
pohon jambu air.
Kedua prajurit itu pun terpental dan kemudian bergulingan di atas
tanah yang mulai basah oleh embun. Sementara kedua senjata
mereka menancap pada batang pohon jambu itu hampir separonya.
Terdengar kembali umpatan dari mulut kedua prajurit itu. Dengan
cepat mereka berdua segera meloncat berdiri. Namun karena
keseimbangan tubuh mereka belum begitu sempurna, keduanya pun
terlihat terhuyung huyung beberapa saat.
“Tenangkanlah dirimu, Ki Sanak berdua,” berkata bayangan itu
kemudian sambil membalikkan badan dan menarik nafas dalam
dalam, “Sekali lagi aku katakan. Aku akan membantu kalian.
Bukankah tugas kalian adalah sekedar menancapkan sebuah panji
berwaran merah darah itu di pintu bilik Kanjeng Ratu Lungayu?”
bayangan itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku akan
membuat onar dari arah halaman samping istana. Kemudian aku
akan bergeser perlahan lahan ke halaman belakang. Nah, di saat
itulah kalian berdua dapat menyusup melalui longkangan untuk
mencapai bilik Kanjeng Ratu .”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan kedua prajurit
itu, bayangan itu pun kemudian dengan sangat cepatnya bagaikan
terbang meloncati dinding.
43
Untuk beberapa saat kedua prajurit itu masih membeku di tempat
mereka. Berbagai tanggapan pun hilir mudik dalam benak mereka.
Untuk sementara keduanya belum dapat menarik kesimpulan dari
apa yang baru saja mereka alami.
Dalam pada itu di dalam istana Kanjeng Ratu Lungayu, penjagaan
benar benar sangat rapat dan ketat. Para prajurit dari kesatuan Nara
Manggala tampak hilir mudik di seluruh halaman. Di tempat tempat
yang terlindung dan cukup gelap pun telah di pasang obor 0bor untuk
penerangan. Benar benar sebuah penjagaan yang sulit untuk
ditembus. Seolah olah seekor semut pun tidak akan mungin melewati
penjagaan tanpa mereka ketahui.
Selain para prajurit yang meronda di seluruh tempat, beberapa
prajurit pun di tempatkan di sudut sudut istana. Empat sampai lima
orang prajurit berjaga jaga di setiap sudut. Sementara di gardu depan
penjagaan di pimpin oleh seorang Lurah prajurit dari kesatuan Nara
Manggala.
Seorang prajurit tampak sedang menggosok sarung pedangnya
dengan angkup nangka sambil bersenandung perlahan. Suaranya itu
terdengar ngelangut menembus sepinya malam.
“Pangeran Mandurareja terlalu berlebihan,” tiba tiba terdengar
seorang prajurit yang beralis tebal berbisik sambil duduk di sebelah
prajurit yang sedang menggosok sarung pedangnya itu, “Aku kira
prajurit dari kesatuan Nara Manggala saja sudah cukup. Mengapa
harus meminta bantuan dari pasukan Panaraga?”
“Jangan bicara keras keras!” desis prajurit yang sedang menggosok
sarung pedangnya itu, “Semua itu bukan kehendak Pangeran
Mandurareja, akan tetapi memang sudah menjadi keputusan
Kanjeng Ratu. Jangan mempersoalkan lagi. Jika sampai terdengar
Kanjeng Ratu , lehermu menjadi taruhannya.”
“Mengapa?” bertanya prajurit beralis tebal itu dengah serta merta.
“Kedatangan prajurit Panaraga itu bukan atas kehendak Pangeran
Mandurareja atau pun Ki Patih Mandaraka. Namun semua itu atas
kehendak Kanjeng Ratu. Bukankah kita semua tahu bahwa Kanjeng
Ratu itu berasal dari Panaraga?”

44
Untuk sejenak kening prajurit beralis tebal itu tampak berkerut
merut. Namun kemudian terdengar dia menarik nafas dalam dalam.
“Aku secara pribadi sebenarnya juga tidak setuju,” berkata prajurit
itu kemudian sambil menyangkutkan kembali senjatanya di
lambung, “Sepertinya kesatuan Nara Manggala mulai diragukan
kesetiaannya atau kemampuannya untuk menjaga dan mengawal
Raja dan keluarganya.”
“Ah, itu mungkin hanya dugaanmu saja,” sergah prajurit beralis tebal
itu kemudian, “Tapi yang jelas, Kanjeng Ratu ingin merasa tenang
menyambut hari penobatan puterandanya.”
Prajurit yang telah selesai menggosok sarung pedangnya itu terlihat
tersenyum sekilas sambil mengangguk angguk. Sejenak suasana
menjadi sunyi kembali. Beberapa prajurit yang berada di gardu itu
tampak sedang sibuk dengan tugas masing masing. Tidak ada satu
pun yang terlihat lengah atau pun duduk terkantuk kantuk.
Tiba tiba dari arah samping kiri istana terdengar geremangan orang
serta langkah langkah yang mendekat ke gardu. Sejenak kemudian
terlihat empat orang dengan senjata terhunus sedang berjalan
mendekati gardu.
Seorang Lurah prajurit yang melihat itu segera berdiri dan keluar dari
gardu. Katanya kemudian, “Nah, giliran meronda berikutnya!”
Empat orang prajurit segera bersiap. Dengan sigap mereka segera
berbaris berjajar dua dua. Setelah menghunus senjata masing
masing, merekapun siap menerima perintah Ki Lurah.
Ketika keempat prajurit yang datang dari arah samping kiri istana itu
sampai di depan gardu, keempatnya segera menempatkan diri di
hadapan keempat prajurit yang siap melaksanakan ronda berikutnya.
“Lapor! Keadaan aman dan telah melaksanakan tugas! Laporan
selesai!” tedengar salah satu yang tertua dari keempat prajurit yang
baru saja tiba itu membuat laporan.
Ki Lurah yang berdiri di antara kedua kelompok prajurit itu tampak
mengangguk. Katanya kemudian, “Laporan diterima! Selanjutnya
sesuaikan dengan tugas berikutnya!”
“Siap, laksanakan!” terdengar prajurit yang tertua itu menjawab.

45
Kemudian Ki Lurah berpaling ke arah kelompok prajurit yang akan
berangkat menggantikan meronda. Katanya kemudian, “Laksanakan
ronda dengan seksama! Laporkan setiap kejadian yang
mencurigakan! Lakukan tindakan darurat dan lemparkan isyarat jika
tidak mampu mengatasi keadaan!”
“Siap melaksanakan perintah!” jawab salah satu dari keempat
prajurit itu kemudian.
Setelah memberikan penghormatan dan dibalas oleh Ki Lurah,
keempat prjurit itu pun kemudian balik kanan dan berjalan secara
serempak untuk melaksanakan ronda. Sementara keempat prajurit
yang telah selesai meronda segera membubarkan diri dan menuju ke
gardu.
“Apakah wedang serehnya masih ada?” bertanya salah satu prajurit
itu sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling gardu.
Seorang prjurit yang duduk di gardu segera menyorongkan sebuah
kendi sambil berkata, “Wedang sereh sudah habis, tinggal air kendi
ini.”
“Ah,” terdengar prajurit itu berdesah dengan nada sedikit kecewa.
Namun diteguknya juga air dingin dalam kendi itu.
Dalam pada itu keempat prajurit yang sedang meronda segera
menuju ke halaman samping. Di halaman samping dekat gandhok
kanan tampak beberapa prajurit bergerombol sambil menggelar tikar
di teritisan. Mereka mencoba menahan kantuk dengan berbagai
kegiatan.
“Apakah ada yang perlu mendapat perhatian?” bertanya salah
seorang prajurit yang sedang meronda itu kemudian.
Beberapa prajurit yang sedang mengerumuni dua orang yang sedang
bermain macanan tampak berpaling sekilas. Namun mereka segera
menggelengkan kepala sambil kembali perhatian mereka tertumpah
pada permainan macanan itu.
Keempat prajurit yang sedang meronda itu tampak terangguk angguk.
Namun ketika salah seorang tanpa sengaja telah memperhatikan ke arah
serumpun perdu dan pepohonan yang tumbuh di dekat dinding istana,
wajahnya menjadi tegang. Samar samar di antara bayang bayang sinar

46
obor yang ditancapkan tidak jauh dari tempat itu, terlihat seseorang
sedang berdiri bersandaran pada sebatang pohon.
“Ada orang!” bisik prajurit itu kemudian sambil menggamit kawan di
sebelahnya.
“Di mana?” bertanya kawannya kemudian sambil berpaling ke
arahnya.
“Di sana,” jawab prajurit itu kemudian sambil menunjukkan arah
kepada kawan di sebelahnya. Namun alangkah terkejutnya kedua
prajurit itu begitu mendapatkan tempat itu telah kosong, tidak ada
seorang pun yang terlihat.
“Aneh,” desis prajurit itu kemudian sambil menggaruk garuk
kepalanya yang tidak gatal. Sementara prajurit lainnya yang ikut
dalam rombongn meronda itu telah tertarik dan mendekat.
“Ada apa?” bertanya prajurit yang berhidung mancung kemudian,
“Sepertinya kalian berdua telah melihat hantu!”
“Ah,” kedua prajurit itu berdesah perlahan. Kemudian sambil
berbisik dan menunjuk ke arah sebatang pohon di dekat dinding dia
berkata, “Aku tadi melihat ada seseorang yang sedang berdiri
bersandaran pohon itu.”
Prajurit yang berhidung mancung itu sejenak mengerutkan
keningnya. Ketika dia kemudian melemparkan pandangan matanya
ke arah pohon yang dimaksud kawannya, dadanya pun berdesir
tajam. Dengan sangat jelasnya dia melihat seseorang sambil
menyilangkan kedua tangan di dada bersandaran pada sebatang
pohon dekat dinding itu.
“Gila! Siapa dia?!” geram prajurit berhidung mancung itu cukup
keras sehingga telah menarik perhatian prajurit yang sedang
berkerumun di teritisan itu.
“Ada apa?”
“Apa yang terjadi?”
“Ada orang!”
“Mana? Mana?”

47
Suasana di teritisan gandhok kanan itu pun segera gaduh. Masing
masing segera menyiapkan senjata di lambung menyambut
kedatangan seseorang yang belum dikenal.
Dengan sigap dan tangkas para prajurit itu segera berloncatan dan
kemudian berlari mendekati dinding. Segera saja orang yang
bersandaran pohon itu dalam sekejap telah terkepung.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing masing masih menunggu apa
yang akan terjadi kemudian. Para prajurit itu belum berani menarik
senjata masing masing sebelum mengetahui duduk permasalahan
yang sebenarnya.
Ketika orang yang bersandaran pohon itu terlihat acuh tak acuh,
prajurit yang tertua segera maju selangkah. Katanya kemudian,
“Maaf Ki Sanak, kami para prajurit yang sedang mendapat tugas
menjaga istana Kanjeng Ratu ini ingin mengetahui apa kepentingan
Ki Sanak hadir di tempat ini.”
Orang itu terlihat masih berdiam diri. Namun sejenak kemudian dia
segera mengurai kedua tangannya dan melangkah maju. Sekarang
terlihat dengan jelas dalam siraman cahaya obor, orang itu ternyata
telah menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam. Dada
para prajurit pun berdesir tajam.
“Jika dia datang dengan niat baik, tidak mungkin dia akan menutupi
sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam,” hampir semua
prajurit mempunyai pemikiran yang sama.
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian semua!” tiba tiba
terdengar orang itu menggeram dengan suara yang mirip geraman
seekor singa, “Aku datang dan pergi dari suatu tempat ke tempat yang
lain sesuai dengan kehendak hatiku! Tidak ada seorang pun yang
berhak melarangku!”
Mendidih darah mereka mendengar kesombongan orang aneh itu.
Jika tidak mengikuti paugeran sebagai prajurit, tentu mereka sudah
meloncat ke depan dan beramai rami mengeroyok orang yang sangat
sombong itu.
“Tunggu dulu Ki Sanak!” sahut prajurit yang tertua dengan serta
merta, “Tidak ada seorang pun di muka bumi ini boleh bertindak
sesuka hatinya. Semua terikat dalam paugeran paugeran yang telah

48
ditentukan, senang atau tidak senang,” prajurit tertua itu berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Di dalam lingkungan istana Kanjeng
Ratu ini pun ada paugeran yang harus diikuti dan ditaati, baik bagi
penghuni istana ini, maupun orang orang yang ingin berkunjung ke
istana ini.”
“Omong kosong!” sergah orang itu dengan suara meninggi, “Kalian
membuat paugeran apapun itu terserah kalian. Aku adalah orang
bebas, sebebas burung burung yang berterbangan di udara yang tidak
terikat paugeran manapun, kecuali paugeran yang di buat oleh
penguasa seluruh jagad raya ini!”
“He?! Apa maksudmu Ki Sanak? Siapa yang engkau maksud dengan
penguasa jagad raya ini?”
“Ah, sudahlah,” sahut orang itu dengan nada sedikit kesal, “Percuma
berbicara dengan kalian, membuang buang waktu saja. Lebih baik
aku pergi saja!”
Selesai berkata demikian orang itu segera membalikkan badan dan
siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun prajurit tertua itu tentu
saja tidak akan membiarkan begitu saja peristiwa yang mencurigakan
itu berlalu begitu saja di depan matanya. Maka dengan sebuah isyarat
para prajurit itu segera bergerak merapatkan kepungan untuk
mencegah orang itu melarikan diri.
“He? Apa maksud semua ini?” geram orang itu sambil mengedarkan
pandangan mata ke sekelilingnya, “Mengapa kalian menghalangi
jalanku?”
Prajurit tertua itu agaknya sudah tidak dapat menahan sabar.
Bentaknya kemudian dengan suara keras, “Ikut kami ke gardu depan!
Ki Sanak harus mempertanggung jawabkan perbuatan Ki Sanak ini!”
“He?” kembali orang itu terlihat terkejut, “Apa yang harus
dipertanggung jawabkan? Aku sama sekali tidak berbuat apa apa!”
“Omong kosong!” bentak prajurit tertua itu kemudian sambil
memberi isyarat kawan kawannya untuk semakin merapatkan
kepungan, “Memasuki istana ini dengan cara tidak wajar sudah
cukup bagi kami untuk menangkap Ki Sanak!”
“O,” terdengar orang itu tertawa pendek, sebuah tawa yang terdengar
sangat merendahkan dan memuakkan. Berkata orang itu kemudian
49
sambil bertolak pinggang, “Cobalah jika kalian merasa mampu!
Sudah lama aku mendengar kehebatan kesatuan pasukan Nara
Manggala. Malam ini aku akan membuktikan bahwa pasukan Nara
Manggala yang dibangga banggakan itu kemampuannya tak lebih
dari kemampuan cantrik cantrik padepokan yang baru belajar loncat
loncatan.”
Merah padam wajah prajurit tertua itu. Dengan segera dia
mengangkat tangannya untuk memberi aba aba, “Tangkap orang
sombong ini! Beri pelajaran secukupnya tapi jangan sampai dibunuh!
Kita memerlukan keterangannya!”
Para prajurit yang sebenarnya sedari tadi telah menahan hati,
bagaikan air bah yang telah mendapatkan jalan untuk mengalir dan
menerjang apa saja yang berada di hadapannya. Para prajurit pun
dengan semangat membara dan kebencian yang mengoyak dada
segera mengeroyok lawannya yang hanya seorang diri.
Serangan pun datang membajir bagaikan air bah di musim
penghujan. Silih berganti dan bahkan kadang bersama sama mereka
melakukan serangan terhadap lawan yang hanya seorang diri itu.
Namun ternyata orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan
secarik kain hitam itu kemampuannya benar benar ngedab edabi.
Mendapat serangan sekian banyak prajurit yang terlatih, dia tidak
menjadi bingung atau gugup. Dengan gerakan gerakan yang
sederhana dan bahkan kadang tidak masuk akal, dia selalu mampu
menghindari setiap serangan.
Prajurit tertua yang belum terjun ke medan itu menjadi heran. Ada
sepuluh orang prajurit yang sedang mengeroyok orang bercadar itu.
Namun selalu saja dia dapat berkelit dengan gerakan gerakan aneh
dan kadang tidak masuk akal.
Ketika serangan dua orang prajurit datang menerjang dari depan,
dengan tengannya orang itu melontar ke belakang. Namun belum
sempat kedua kakinya menginjak tanah, prajurit dari arah belakang
telah memukul tengkuknya, sedangkan prajurit yang lain dari arah
samping membabat pinggangnya.
Namun dengan sangat tenangnya orang itu menggeliat selagi masih
meluncur di udara. Tebasan ke arah pinggangnya hanya mengenai
tempat kosong. Sementara prajurit yang memukul tengkuknya dari
50
belakang justru telah membentur kaki kawannya yang menyapu ke
arah pinggang.
Terdengar kedua prajurit itu mengaduh kesakitan. Sementara orang
itu kembali bergerak dengan lincahnya menghindari setiap serangan
yang datang membadai ke arahnya.
“Nah, bukankah dugaanku tadi benar?” berkata orang itu kemudian
di sela sela dia menghindari serangan lawan lawannya, “Kalian tak
ubahnya cantrik cantrik padepokan yang baru belajar loncat
loncatan. Sejauh ini aku masih menahan diri untuk tidak balas
menyerang! Apakah kalian tidak menyadari itu?”
Terdengar para prajurit yang mengeroyoknya itu mengumpat umpat
tak habis habisnya. Sementar prajurit tertua itu pun akhirnya tidak
dapat berdiam diri saja. Segera saja dia ikut mengeroyok lawan yang
hanya seorang namun sangat licin bagaikan belut sawah di musim
penghujan.
Namun bantuan prajurit tertua itu seolah olah tidak ada artinya sama
sekali. Bahkan ketika orang itu mulai membalas serangan, segera saja
terdengar suara mengaduh di sana sini ditingkah umpatan dan
makian. Ganti berganti tubuh tubuh prajurit itu jatuh bangun
menerima serangan orang aneh itu.
“Lemparkan isyarat!” tiba tiba prajurit tertua itu berteriak sambil
terus bertempur.
Salah seorang prajurit yang bertempur agak sedikit jauh dari
lingkaran pertempuran segera meloncat mundur. Dengan tergesa
gesa dia segera meraih sebuah kentongan kecil yang tergeletak di
lantai teritisan.
Sejenak kemudian terdengar suara kentongan itu dipukul denga nada
khusus yang hanya mereka yang tahu maknanya. Namun yang jelas
suara kentongan kecil itu telah terdengar di seluruh penjuru istana
terutama di gardu depan.
Lurah prajurit yang mengepalai penjagaan pada malam hari itu telah
terlonjak dari tempat duduknya. Dengan bergegas dia segera keluar
gardu.

51
Namun ternyata orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan
secarik kain hitam itu kemampuannya benar benar ngedab edabi.

52
“Empat orang prajurit ikut aku!” perintahnya kemudian. Dengan
sigap empat prajurit segera berlari menyusul Ki Lurah yang telah
terlebih dahulu berlari ke halaman samping.
Dalam pada itu Pangeran Mandurareja yang dikirim oleh Ki Patih
untuk membantu pengamanan istana Kanjeng Ratu Lungayu sedang
berada di pringgitan bersama dua orang prajurit utusan dari
kepatihan. Dua orang prajurit itu sedang menyampaikan pesan pesan
dari Ki Patih.
Untuk beberapa saat ketiga orang yang berada di dalam pringgitan
itu mengerutkan kening dalam dalam ketika mendengar suara
kentong dengan nada khusus bergema memecah keheningan malam.
Namun Pangeran Mandurareja terlihat masih tenang. Sambil
tersenyum dan mengangguk angguk dia berkata, “Agaknya memang
ada penyusup yang mencari perkara di istana ini. Biarlah Ki Lurah
beserta para prajurit jaga yang menyelesaikannya.”
Kedua prajurit dari kepatihan itu terlihat mengangguk angguk.
Berkata salah satu dari keduanya kemudian, “Ampun Pangeran,
itulah pesan pesan dari Ki Patih Mandaraka untuk Pangeran.
Selebihnya jika memang ada sesuatu hal yang perlu mendapat
perhatian dan perlu dilaporkan, kami berdua siap untuk membawa
pesan itu.”
Pangeran Mandurareja terlihat menarik nafas dalam dalam.
Panggraitanya yang tajam seakan memberitahukan bahwa telah
terjadi pertempuran yang sengit di halaman samping istana.
Untuk sejenak Pangeran cucu Ki Patih Mandaraka itu termangu
mangu. Dipandanginya kedua prajurit kepatihan itu ganti berganti.
Berkata Pangeran Mandurareja pada akhirnya, “Marilah kita tengok
keributan yang sedang terjadi di halaman samping, mungkin
memang ada yang perlu mendapat perhatian.”
Selesai berkata demikian cucu Ki Patih Mandaraka itu segera berdiri
diikuti oleh kedua prajurit kepatihan. Sejenak kemudian ketiga orang
itu pun segera keluar dari pringgitan.
Dalam pada itu pertempuran di halaman samping istana semakin
lama semakin seru. Ki Lurah dan anak buahnya sedang mengeroyok
seseorang yang mempunyai kemampuan ngedab edabi. Lawan
mereka kali ini benar benar diluar jangkauan nalar.
53
“Siapakah sebenarnya orang ini?” membatin Ki Lurah sambil terus
menyerang lawannya yang licin bagaikan seekor belut di dalam
kubangan lumpur, “Apa tujuannya membuat keributan di istana
Kanjeng Ratu ini?”
Namun jawaban yang diterima adalah sebuah dorongan pada
bahunya yang membuatnya terjerembab. Namun Ki Lurah yang
merasa bertanggung jawab atas keamanan istana malam itu segera
bangkit kembali.
Demikianlah pertempuran itu ternyata perlahan lahan telah bergeser
semakin mendekati halaman belakang. Beberapa prajurit yang
berjaga di pintu butulan belakang pun ternyata telah lama
mendengar keributan di halaman samping istana.
“Ki Lurah, sepertinya ada keributan di halaman samping,” berkata
seorang prajurit yang menjaga pintu butulan belakang sambil berdiri
dari duduknya.
“Apa peduliku!” geram seorang prajurit yang berkumis lebat dan
berbadan kekar yang dipanggil Ki Lurah, “Suara kentongan dengan
nada khusus yang tidak kita mengerti tadi telah menunjukkan bahwa
mereka tidak mau bekerja sama dengan kita. Kita diberi tugas
menjaga keamanan di halaman belakang. Biarlah keributan di
halaman samping istana itu menjadi urusan mereka.”
Beberapa prajurit hanya dapat saling pandang. Mereka tidak
mempunyai keberanian untuk berbantah dengan pemimpin mereka.
Ketika pertempuran itu kemudian benar benar telah bergeser ke
halaman belakang, beberapa prajurit tanpa sadar telah bangkit
berdiri.
“Jangan mendekat!” tiba tiba terdengar Ki Lurah kembali
menggeram, “Biarkan saja masalah itu diselesaikan oleh prajurit
prajurit dari kesatuan Nara Manggala. Kita para prajurit dari
kadipaten Panaraga hanya bertugas mengawasi dan mencegah jika
ada penyusup yang akan melewati pintu butulan saja!”
“Tetapi Ki Lurah, mereka terlihat kesulitan untuk menundukkan
penyusup itu!” seorang prajurit yang berbadan kurus menyela.
“Biarkan saja!” kembali Ki Lurah prajurit dari kadipaten Panaraga itu
menggeram, “Kehadiran kita di istana ini sepertinya dipandang
54
sebelah mata oleh para prajurit Nara Manggala. Sekarang akan kita
lihat bersama, apa yang dapat mereka lakukan untuk menangkap
penyusup itu.”
Beberapa prajurit dari kadipaten Panaraga itu pun menjadi heran.
Namun mereka memang merasakan adanya persaingan antara
prajurit dari kesatuan Nara Manggala yang memang bertugas khusus
menjaga Raja dan keluarganya dengan para prajurit kadipaten
Panaraga yang hanya diperbantukan menjelang menobatan Raja
besuk pagi.
“Aku tidak tahu jalan pikiran Ki Lurah,” bisik seorang prajurit yang
berdiri agak jauh dari pemimpinnya itu kepada kawan di sebelahnya,
“Seharusnya dalam menghadapi peristiwa seperti ini, kita harus bersatu,
tidak lagi memandang dari kesatuan mana kita berasal.”
Kawannya tampak menarik nafas dalam dalam sambil berdiri
bersandaran dinding. Katanya kemudian, “Mungkin Ki Lurah masih
merasa sakit hati ketika beberapa hari yang lalu kedatangan pasukan
kita ini sempat di tolak di pintu gerbang kotaraja. Lurah prajurit yang
memimpin penjagaan waktu itu bahkan menyarankan kita untuk
kembali ke Panaraga saja. Pengamanan kotaraja dan para
penghuninya sudah cukup ditangani oleh pasukan yang ada di
kotaraja.”
“Ya, aku juga mendengar ucapan Lurah prajurit yang sombong itu,”
geram prajurit itu sambil meludah, “Untunglah seorang pelayan
dalam utusan Kanjeng Ratu segera datang dan atas nama Kanjeng
Ratu, pelayan dalam itu mempersilahkan kita untuk memasuki
kotaraja.”
“Namun perlakuan mereka selanjutnya tak kalah menyakitkan,”
sahut kawannya yang berdiri bersandaran dinding, “Ketika mereka
membagi tugas, kita tidak diperkenankan ikut menjaga keamanan
dalam kotaraja. Kita hanya diperbantukan menjaga pintu gerbang
kotaraja sebelah utara,” kawannya berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Dan sekarang ketika Kanjeng Ratu meminta pasukan
dari kadipaten Panaraga dilibatkan dalam menjaga istana ini, kita
ditempatkan di halaman belakang, menjaga pintu butulan yang
jarang sekali dilalui orang.”

55
“Itulah sebabnya Ki Lurah masih mendendam sampai sekarang!”
potong prajurit itu cepat.
“Mengapa tidak dilaporakan saja kepada Ki Tumenggung yang telah
datang terlebih dahulu?” sergah kawannya dengan serta merta,
“Bukankah sebelum pasukan kita tiba di kotaraja, Ki Tumenggung
bersama pasukan kecilnya telah mendahului datang?”
“Ki Tumenggung mempunyai tugas khusus,” sahut prajurit itu
dengan serta merta, “Sehingga Ki Lurah tidak ingin
mengganggunya.”
Kawannya tampak menarik nafas dalam dalam. Dilemparkan
pandangan matanya ke arena pertempuran. Betapa keadaan benar
benar sangat mengkhawatirkan.
“Penyusup itu bergerak bagaikan siluman,” desisnya kemudian tanpa
sadar.
“Memang keadaan di arena pertempuran itu semakin
mengkhawatirkan,” sahut prajurit itu sambil ikut mengawasi
jalannya pertempuran yang semakin riuh.
“Dan Ki Lurah masih tetap pada pendiriannya,” kawannya
menimpali.
“Namun jika keselamatan Kanjeng Ratu terancam, kita seharusnya
sudah tidak membeda bedakan dari kesatuan mana kita berasal.”
“Memang sebaiknya begitu,” kembali kawannya menyahut sambil
melangkah dan kemudian duduk di amben bambu yang disediakan
di dekat gardu, “Mungkin Ki Lurah masih belum menganggap
keadaan menjadi gawat, sehingga Ki Lurah membiarkan saja para
prajurit Nara Manggala itu menangkap penyusup itu.”
“Mungkin,” prajurit itu menyahut sambil matanya tidak berkedip
memperhatikan pertempuran yang semakin seru. Beberapa prajurit
tampak berdatangan lagi dari arah regol depan dan membantu
mengeroyok penyusup itu.
Tiba tiba prajurit itu tersenyum sambil berpaling ke arah kawannya
yang kini duduk di amben depan regol belakang, “Aku tahu maksud
Ki Lurah. Ki Lurah ingin membuktikan bahwa para prajurit dari
kesatuan Nara Manggala itu tidak berdaya menghadapi lawan yang

56
hanya seorang. Jika tiba saatnya, Ki Lurah sendiri yang akan turun
tangan dan menangkap penyusup itu.”
“Ah!” kawannya tertawa pendek sambil menggelengkan kepalanya.
Lanjutnya, “Aku meragukan pemikiranmu itu. Ki Lurah dari
kesatuan Nara Manggala itu pun sudah tidak mampu mengatasi,
apalagi Ki Lurah kita. Aku kira memang lebih baik kita tidak
melibatkan diri saja.”
“Ah, dasar pemalas!” geram prajurit itu sambil ikut duduk di samping
kawannya, “Seharusnya kita tunjukkan bahwa keberadaan kita di istana
ini tidak hanya sekedar menumpang makan dan tidur!”
Namun prajurit itu segera menghentikan kata katanya ketika melihat
ganti berganti para prajurit yang mengeroyok lawan yang hanya
seorang itu kembali terlempar dari arena pertempuran.
“Luar biasa,” desis prajurit itu sambil matanya tak berkedip
memandang ke dalam arena pertempuran. Betapapun para prajurit
Nara Manggala yang dipimpin oleh Ki Lurah itu berusaha
mengeluarkan segenap kemampuan mereka, namun lawan yang
hanya seorang itu benar benar seperti hantu yang kadang terlihat dan
kadang hilang dari pandangan mereka.
Dalam pada itu Ki Lurah prajurit kadipaten Panaraga itu terlihat
gelisah. Sesekali dia terlihat mondar mandir sambil tangan kanannya
memegang hulu senjata yang terselip di pinggang, namun kadang dia
tampak duduk kembali sambil sepasang matanya tak berkedip
mengamati jalannya pertempuran.
“Jangan jangan penyusup itu bukan sejenis manusia,” geram Ki
Lurah prajurit dari Panaraga itu sambil menghentakkan kakinya ke
tanah. Terdengar giginya bergemeluthuk menahan kemarahan yang
menghentak dada.
“Ki Lurah,” tiba tiba seorang prajurit Panaraga yang berdiri tak jauh
dari Ki Lurah berjalan mendekat dan memberanikan diri untuk
berkata, “Apakah sudah saatnya kita membantu mereka?”
Untuk sejenak terlihat Ki Lurah termenung dengan pandangan tetap
lurus ke depan ke arah arena pertempuran. Jawabnya kemudian pada
akhirnya, “Baiklah, empat orang dari kalian majulah. Aku akan
mengawasi dari tempat ini!”

57
Perintah itu tidak perlu diulang. Segera saja empat orang prajurit
Panaraga yang berjaga di pintu butulan istana berlari menuju arena
pertempuran.
Sekarang orang yang menutupi wajahnya dengan secarik kain hitam
itu telah dikeroyok oleh dua puluh prajurit dan dipimpin oleh seorang
Lurah prajurit. Namun sejauh itu belum tampak tanda tanda dia
mulai terdesak.
Para prajurit yang mengepungnya jatuh bangun bergantian. Namun
ada satu hal yang membuat mereka heran. Lawan mereka itu tidak
pernah memukul atau pun menyerang bagian bagian yang berbahaya
ataupun mematikan. Dia hanya mendorong bahu, menendang
punggung dan kadangkala membabat kaki sehingga begitu mereka
terjatuh, dengan cepat segera bangkit dan mengadakan perlawanan
kembali.
Ki Lurah pun diinggapi perasaan serupa sehingga telah sedikit
mengendorkan serangannya. Berkata Ki Lurah kemudian dari
pinggir arena dengan lantangnya, “Sudahlah Ki Sanak! Menyerah
sajalah! Kita dapat berbicara baik baik di gardu depan. Aku jamin Ki
Sanak tidak akan mengalami penganiayaan atau pun ketidak adilan
dalam menyelesaikan masalah di antara kita! Menyerahlah!”
Namun jawaban lawannya sungguh menyakitkan hati. Sambil
tertawa berkepanjang, orang itu pun berteriak lantang,
“Bermimpilah selagi kalian mampu! Menyentuh ujung bajuku saja
kalian belum mampu sudah berani mangancam dan memerintahkan
untuk menyerah! Bermimpilah sepuas kalian!”
Selesai berkata demikian orang itu tampak meningkatkan
serangannya. Tubuhnya seakan lenyap menjadi bayangan yang
bergerak hampir tidak kasat mata. Hanya dalam waktu singkat para
prajurit yang mengeroyoknya telah jatuh bergelimpangan dengan
teriakan kesakitan di sana sini.
Tidak ada jalan lain bagi Ki Lurah selain mengetrapkan ilmu
pamungkasnya. Sebuah ilmu yang disadap dari perguruan yang tidak
begitu terkenal. Perguruan yang terletak jauh di pedalaman hutan di
lereng gunung Lawu.
Sejenak kemudian Ki Lurah segera meloncat mundur mengambil jarak.
Dipusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan
58
kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya. Dengan tangan kanan
tergenggam dan terangkat sejajar telinga serta tangan kiri yang
menyilang di depan dada, Ki Lurah pun meloncat secepat tatit yang
melompat di udara menerjang lawannya.
Para prajurit yang menyadari bahwa Ki Lurah sudah sampai pada
puncak ilmunya segera meloncat menjauh. Mereka berusaha
menghindari akibat benturan ilmu yang mungkin dapat
mempengaruhi keadaan di sekitarnya.
Namun yang terjadi kemudian benar benar diluar nalar orang orang
yang berada di halaman belakang istana itu. Orang yang menutupi
sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam itu sama sekali tidak
berusaha menghindar. Bahkan dengan sangat tenangnya dia
menerima serangan puncak ilmu Ki Lurah dengan membusungkan
dada.
Ki Lurah terkejut. Sebelum bertugas di kesatuan Nara Manggala, Ki
Lurah telah banyak mengalami berbagai pertempuran dahsyat yang
mengancam jiwanya. Namun belum pernah ada lawan yang begitu
gegabah menerima puncak ilmunya dengan dada terbuka.
Tidak ada kesempatan sama sekali bagi Ki Lurah untuk
mengurungkan serangannya. Tangan kanan yang terkepal itu dengan
ayunan dahsyat menghantam dada lawan.
Akan tetapi alangkah terkejutnya Ki Lurah. Serangannya seolah olah
menembus seonggok kabut yang melayang di udara. Ki Lurah pun
terseret sendiri oleh kekutannya dan terhuyung huyung hampir saja
jatuh terjerembab.
“Iblis tetekan gendruwo!” umpat Ki Lurah tak habis habisnya sambil
berusaha memperbaiki keseimbangannya. Ketika dia kemudian
dengan cepat memutar tubuh, lawannya telah berdiri selangkah saja
di hadapannya dengan tawa yang terdengar sangat memuakkan.
Dengan gerak naluriah, Ki Lurah pun segera melangkah mundur. Ki
Lurah benar benar dibuat tidak habis mengerti menghadapi lawan
yang tidak dapat disentuh, namun yang mampu menyentuh dengan
kekuatan sebagaimana kekuatan wadag.

59
Selagi Ki Lurah berpikir keras untuk memecahkan teka teki ilmu
lawannya, tiba tiba dari arah samping terdengar langkah langkah
mendekat.
Ketika Ki Lurah kemudian berpaling, tampak seorang yang berkumis
tebal dan berbadan kekar melangkah memasuki arena.
“Silahkan Ki Lurah beristirahat, “ berkata orang yang berkumis tebal
dan berbadan kekar itu sesampainya di samping Ki Lurah, “Serahkan
orang ini kepadaku!”
Berdesir dada Ki Lurah mendengar ucapan itu, ucapan dari seorang
lurah prajurit dari kadipaten Panaraga.
“Terima kasih,” berkata Ki Lurah kemudian sambil menarik nafas
dalam dalam untuk meredakan getaran yang tiba tiba saja melanda
dadanya, “Aku masih belum lelah. Sebaiknya kita hadapi saja orang
ini berdua bersama sama prajurit kita yang ada.”
Agaknya Ki Lurah dari kadipaten Panaraga itu menyadari ajakan Ki
Lurah dari kesatuan Nara Manggala, mengesampingkan ketegangan
yang sempat terjadi di antara mereka.
“Baiklah Ki Lurah, “ sahut Ki Lurah dari kadipaten Panaraga itu
kemudian sambil memandang ke sekelilingnya, “Mari kita bertempur
kembali. Aku sudah mempelajari kelemahan ilmu orang ini sedari
tadi. Sebenarnya lah yang kita hadapi hanyalah sebuah ujud semu,
sedangkan ujud wadag aslinya sedang bersembunyi entah di mana,”
Ki Lurah dari kadipaten Panaraga itu berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Kekerdilan jiwa kita lah yang membuat dia seolah olah
mampu berbuat sebagaimana ujud aslinya. Sekarang mari kita
buktikan!”
Selesai berkata demikian Ki Lurah dari kadipaten Panaraga itu tidak
menunggu lagi. Dia segera meloncat menyerang lawannya.
Orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam itu
mengerutkan keningnya ketika melihat cara lawannya yang baru saja
memasuki arena itu bertempur. Tubuh Ki Lurah dari Panaraga itu
meluncur begitu saja tanpa pengerahan kekuatan. Bahkan ketika
serangannya mengenai tempat kosong, dengan bertumpu pada salah
satu kakinya, dia berputar satu lingkaran. Sekejap kemudian dia

60
sudah meloncat ke depan dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah
dada, namun tetap tanpa pengerahan kekuatan.
Ki Lurah dari kesatuan Nara Manggala itu tertegun. Serangan
serangan Ki Lurah dari Panaraga itu sama sekali tidak bertenaga.
Seolah olah Ki Lurah itu sedang menari saja. Namun ada yang
membuat Ki Lurah dari kesatuan Nara Manggala itu mengangguk
anggukkan kepalanya. Setiap kali serangan Ki Lurah dari Panaraga
itu mengenai tempat kosong atau tubuh lawannya seolah seperti
segumpal kabut yang dapat di tembus, Ki Lurah dari Panaraga itu
tidak akan kehilangan keseimbangan.
“Gila,” geram Ki Lurah dari kesatuan Nara Manggala itu kemudian
dalam hati sambil bersiap terjun kembali ke arena pertempuran,
“Memang yang sedang kita lawan ini hanyalah sebuah bayangan
semu. Seharusnya aku menyadari dari awal awal pertempuran tadi.
Akan tetapi mengapa bayangan semu ini mampu berbuat
sebagaimana ujud aslinya? Benarkah itu semua hanya karena
kekerdilan jiwa kita?”
Pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Lurah dari kesatuan
Nara Manggala. Namun sebelum dia sempat melibatkan diri kembali
ke dalam arena pertempuran, terdengar suara teriakan kesakitan
disusul suara benda berat jatuh menghantam bumi.
Ketika Ki Lurah memandang ke arah depan, tampak lawan yang
mereka sangka hanya sebagai bayanagn semu itu tegak berdiri
dengan kedua kakinya yang renggang. Sementara beberapa langkah
di hadapannya Ki Lurah dari kadipaten Panaraga terlihat sedang
berusaha merangkak bangun.
Dengan bergegas Ki Lurah Nara Manggala berlari mendapatkan Ki
Lurah dari kadipaten Panaraga itu.
“Apa yang terjadi Ki Lurah?” desis Ki Lurah Nara Manggala sambil
membantunya berdiri.
“Gila!” jawab Ki Lurag kadipaten Panaraga itu sambil memegangi
pinggangnya yang terasa hampir patah, “Ternyata dia bukan sekedar
bayangan semu. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus
menghadapinya.”

61
Ki Lurah dari kesatuan Nara Manggala itu tertegun. Lawan benar
benar tidak dapat dianggap enteng dan memiliki ilmu yang sulit
untuk dijajagi. Namun selagi Ki Lurah termangu mangu, tiba tiba dari
arah belakang terdengar suara tertawa diiringi tepuk tangan.
“Luar biasa!” suara itu terdengar cukup keras dan menggetarkan
dada setiap orang.
Ketika Ki Lurah kemudian berpaling ke belakang, tampak seorang
Pangeran yang usianya sudah mendekati parobaya sedang
melangkah mendekati arena.
“Pangeran Mandurareja!” hampir setiap bibir telah menyebut nama
Pangeran yang baru saja datang itu.
Pertempuran pun dengan sendirinya telah terhenti dengan kehadiran
cucu Ki Patih Mandaraka itu.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Mandurareja kemudian sambil
berjalan selangkah demi selangkah mendekati orang itu, “Ilmu Ki
Sanak sangatlah luar biasa! Namun bagiku hanyalah sebuah
permainan kanak kanak. Lebih baik segera tunjukkan jati diri Ki
Sanak yang sebenarnya. Kita akan berhadapan secara jantan untuk
mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang!”
Orang itu sejenak tertegun. Namun terdengar tawanya yang bernada
rendah dari balik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Berkata
orang itu kemudian, “Silahkan menemukan ujud wadagku yang asli
jika memang Ki Sanak menganggap aku ini hanyalah sebuah ujud
semu. Sebuah ujud semu tentu tidak akan mampu membuat para
prajurit itu jatuh bangun!”
Pangeran Mandurareja tertegun. Diedarkan pandangan matanya ke
sekeliling. Tampak para prajurit telah bergeser menepi. Ada
beberapa yang masih terlihat kesakitan. Kini semua harapan
tertumpah kepada cucu Ki Patih Mandaraka itu.
Beberapa saat tadi sebelum memasuki arena pertempuran, Pangeran
Mandurareja memang telah melihat sebuah keanehan yang baru dialami
untuk pertama kalinya. Pangeran Mandurareja segera dapat mengenali
bahwa orang yang sedang dikeroyok oleh para prajurit itu hanyalah
sebuah bayangan semu. Namun anehnya bayangan semu itu mampu
melakukan perbuatan sebagaimana ujud wadag aslinya. Dia mampu

62
membuat para prajurit itu jatuh bangun terkena pukulan dan
tendangannya.
“Sebuah pameran ilmu yang ngedab edabi,” demikian Pangeran itu
berkata kepada dua prajurit kepatihan yang mengikutinya,
“Kelihatannya orang itu telah bermain main dengan bayangan semu.
Namun bayangan semu yang mempunyai sifat dan watak
sebagaimana wadag aslinya. Dia mampu menyerang lawan
sebagaimana ujud wadag aslinya, namun sebaliknya dia tidak dapat
disentuh sama sekali.”
Kedua prajurit kepatihan itu menjadi berdebar debar. Mereka berdua
tidak mampu untuk mengurai apa sebenarnya yang sedang terjadi
menurut penglihatan mereka. Mereka hanya melihat para prajurit yang
sedang mengeroyok lawan yang hanya seorang itu telah dibuat jatuh
bangun tanpa dapat memberikan perlawanan sama sekali.
“Apakah titah Pangeran?” bertanya salah satu prajurit kepatihan itu
pada akhrinya.
Untuk sejenak Pangeran Mandurareja berpikir. Perintahnya
kemudian, “Kembalilah kalian berdua ke kepatihan dengan secepat
cepatnya. Laporkan bahwa di istana Kanjeng Ratu sedang terjadi
keributan. Sementara aku akan menahan orang ini semampuku
sampai Eyang Patih berkenan hadir di tempat ini.”
Perintah itu tidak perlu diulangi. Dengan bergegas kedua prajurit
kepatihan itu pun segera meninggalkan tempat.
“Nah! Aku rasa kehadiranku di tempat ini sudah tidak perlu
diperpanjang lagi,” berkata orang itu membangunkan lamunan
Pangeran Mandurareja, “Terima kasih telah berkenan berlatih
bersamaku. Namun rasa rasanya aku masih belum berkeringat sama
sekali!”
Kata kata itu benar benar telah membuat setiap telinga menjadi
panas. Namun Pangeran Mandurareja segera maju selangkah.
Katanya kemudian, “Ki Sanak baru saja bermain main dengan para
prajurit. Tentu saja Ki Sanak belum berkeringat. Nah, sekarang kita
dapat bermain bersama. Aku jamin Ki Sanak nanti akan mandi
keringat, atau bahkan tidak menutup kemungkinan Ki Sanak akan
mandi darah Ki Sanak sendiri.”

63
Dalam pada itu di istana kepatihan, Ki Patih Mandaraka sedang
menerima seorang tamu istimewa. Keduanya tampak ……….

64
“O, ternyata masih ada juga orang yang memberanikan diri
melawanku,” geram orang itu kemudian, “Marilah! Akan kita lihat
siapa yang berdiri paling akhir di dalam arena ini!”
Berdesir dada Pangeran Mandurareja. Segera saja diterapkan ilmu
jaya kawijayan guna kasantikan untuk mengungkap rahasia ilmu
lawannya.
“Aku tidak boleh gegabah menyerangnya dengan sepenuh kekuatan,”
membatin cucu Ki Patih Mandaraka itu sambil menggeser
kedudukannya setapak ke samping, “Aku harus memancingnya
untuk bertempur dalam waktu yang cukup lama sambil menunggu
kehadiran Eyang Mandaraka.”
Demikianlah sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Pada awalnya Pangeran Mandurareja belum
dapat meraba sifat dan watak dari ilmu lawannya. Beberapa kali
Pangeran yang sudah mendekati parobaya itu harus berpikir keras
setiap serangannya gagal. Kadang serangnya seolah olah sudah
sedemikian yakin mengenai tubuh lawannya. Namun tangan
Pangeran Mandurareja yang dilambari tenaga cadangan itu seolah
hanya menembus segumpal kabut.
Dilain kesempatan ketika lawannya menyerang, Pangeran
Mandurareja menduga bahwa serangan itu sama sekali tidak berarti
karena dilakukan oleh sebuah bayangan semu. Namun yang terjadi
justru sangat mengejutkan. Tangan lawan terasa menyengat bagian
tubuhnya walaupun itu tidak berbahaya.
“Gila!” geram Pangeran Mandurareja sambil terus meningkatkan
kecepatan serangannya, “Aku belum dapat mengenali watak dari
ilmu orang ini. Kadang tubuhnya seperti segumpal kabut atau asap
yang tidak terpengaruh sama sekali oleh seranganku. Namun kadang
sentuhan tangannya sekeras sepotong besi gligen yang dapat
meremukkan tulang.”
Demikianlah Pangeran Mandurareja bertempur dengan sangat hati
hati. Langkah pertama dia berusaha melindungi dirinya dengan ilmu
kebalnya. Selanjutnya dengan kelincahan dan kecepatan geraknya
dia berusaha menyerang lawan dari segala arah. Namun ternyata
lawan juga mampu bergerak selincah dan secepat dirinya.

65
Dalam pada itu dua prajurit Jalamangkara yang sedang bersembunyi
di balik dinding istana sebelah timur dengan sangat jelas telah
mendengar keributan itu. Ketika keributan itu dengan perlahan
mulai bergeser ke halaman belakang, keduanya segera memutuskan
untuk meloncati dinding.
Demikianlah dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, secara
bergantian mereka segera meloncati dinding. Setelah salah satu dari
keduanya sudah mampu menggapai bibir dinding, dengan cepat dan
tanpa menimbulkan suara dia segera menelungkup tak bergerak di
atas dinding. Dikerahkan semua panca inderanya untuk mengawasi
keadaan di bawah dinding di dalam istana.
“Sepi,” berkata prajurit berbadan kekar itu dalam hati sambil
matanya mengawasi keadaan. Agaknya para prajurit yang bertugas di
halaman samping itu telah terhisap oleh pertempuran di halaman
belakang.
Ketika sudah yakin tidak ada yang mengawasi pergerakannya, dia
segera memberi isyarat kawannya yang masih di luar dinding untuk
segera meloncat naik.
Kawannya ternyata telah tanggap. Tanpa menimbulkan bunyi, dia
segera melenting dan kemudian hinggap di bibir dinding dalam
keadaan menelungkup juga.
Untuk beberapa saat keduanya masih mengamati keadaan. Ketika
dirasa sudah benar benar aman, keduanya pun meluncur turun dan
kemudian jatuh dalam keadaan berjongkok di belakang sebuah
gerumbul bunga. Gerakan keduanya benar benar tanpa suara.
“Kita melewati gandhok kanan dan menembus pintu butulan yang
menuju ke longkangan,” bisik prajurit berbadan kekar itu kepada
kawannya. Kawannya tidak menjawab hanya terlihat sebuah
anggukan kepala.
Dengan sangat hati hati keduanya pun kemudian merayap dari
gerumbul perdu yang satu ke yang lainnya. Ketika dinding gandhok
tinggal beberapa langkah saja, dengan kecepatan yang sulit diikuti
oleh pandangan mata wadag, keduanya segera meloncat dan
kemudian berdiri melekat dinding.

66
Setelah yakin gerakan mereka belum terendus, keduanya pun
kemudian menyelinap memasuki gandhok lewat pintu depan.
Mereka berdua tidak berani lewat belakang gandhok karena di
halaman belakang banyak prajurit.
Namun ternyata salah satu prajurit Jalamangkara itu sedikit lambat
sehingga sudut mata salah seorang prajurit jaga yang berada di regol
depan masih sempat menangkap gerakan pintu depan gandhok yang
menutup.
Untuk sejenak prajurit itu ragu ragu dengan penglihatannya sendiri.
Dengan tanpa sengaja dia tadi memang melihat dengan sudut
matanya pintu depan gandhok kanan itu bergerak menutup.
“Hem!” desah prajurit penjaga regol itu sambil menimbang nimbang.
Dia ragu ragu dengan penglihatannya sendiri.
Namun akhirnya prajurit itu segera berkata kepada kawan di
sebelahnya, “Aku akan menengok pertempuran di halaman
belakang.”
Kawannya mengerutkan kening sejenak. Katanya kemudian, “Jangan
lama lama. Penjagaan di regol depan ini tinggal kita berempat. Jika
engkau pergi terlalu lama, kami bertiga saja tidak akan mungkin mampu
mengatasi masalah jika terjadi apa apa di regol ini.”
“Hanya sebentar,” sahut prajurit itu kemudian sambil melangkah
menuju ke longkangan. Kawannya pun akhirnya hanya menarik
nafas dalam dalam.
Demikianlah prajurit penjaga regol itu dengan bergegas segera
masuk ke longkangan. Namun dia tidak melanjutkan langkahnya
menuju ke halaman belakang. Dia justru dengan sangat hati hati
membuka pintu butulan yang menghubungkan longkangan dengan
gandhok kanan.
Dengan sangat hati hati dan tidak meninggalkan kewaspadaan
sekejappun prajurit itu mendorong pintu butulan dan melangkah
masuk.
Namun sebelum prajurit jaga itu menyadari apa yang sedang terjadi
di dalam gandhok kanan, tiba tiba dari arah belakang sebuah lengan
yang kekar telah melilit lehernya. Prajurit itu terkejut bukan alang
kepalang. Dengan gerak naluriah dia segera mengadakan
67
perlawanan. Dengan sekuat tenaga kedua tangannya mencoba
membebaskan lehernya dari lilitan kuat itu.
Tetap usaha prajurit penjaga regol itu agaknya sia sia belaka. Lilitan
itu semakin kuat mencekik lehernya. Sejenak kemudian pandangan
matanya pun menjadi gelap dan prajurit itu pun terkulai jatuh
pingsan.
Dalam pada itu di istana kepatihan, Ki Patih Mandaraka sedang
menerima seorang tamu istimewa. Keduanya tampak duduk di ruang
dalam sambil berbincang bincang ringan. Keduanya tampak sangat
akrab seperti dua sahabat yang lama tidak berjumpa.
“Kanjeng Sunan,” terdengar Ki Patih Mandaraka menyapa tamunya
itu yang ternyata adalah Kanjeng Sunan, “Penobatan Raja baru
Mataram akan berlangsung besuk pagi saat pasar temawon. Namun
ternyata keputusanku untuk mengabulkan permohonan Kanjeng
Ratu Lungayu sehubungan dengan janji Sinuhun Hanyakrawati
ketika masih menjabat Adipati Anom ternyata telah menimbulkan
masalah.”
Tampak Kanjeng Sunan menarik nafas dalam terlebih dahulu.
Katanya kemudian, “Ki Patih, aku rasa penolakan dari pihak para
Adipati dan juga Pangeran Purbaya dapat diterima oleh akal sehat.
Mereka khawatir Mataram yang besar ini pada akhirnya akan
dipimpin oleh cucunda Wuryah yang mempunyai banyak kelemahan.
Tekanan dari Kanjeng Ratu Lungayu dan para pemimpin Panaraga
dikhawatirkan akan mengubah janji Ki Patih.”
“Ah tentu saja tidak Kanjeng Sunan,” sahut Ki Patih dengan serta
merta, “Aku sudah berjanji kepada cucunda buyut Rangsang untuk
bersabar. Tahta Mataram ini pasti akan diterimanya, itu hanya soal
waktu saja.”
“Tetapi bukankah tadi pagi telah terjadi pengerahan pasukan besar
besaran dari berbagai kesatuan di alun alun? Bahkan aku dengar
Pangeran Purbaya sendiri telah hadir.”
“Itulah yang telah meresahkan hatiku, Kanjeng Sunan,” kembali Ki
Patih menyahut, “Purbaya dan para Adipati yang berdiri di belakang
cucunda buyut Rangsang terlihat tidak sabar. Bahkan aku juga telah
mendengar sebuah pasukan gabungan segelar sepapan sedang
mendirikan pesanggrahan di tepian kali Krasak. Jika besuk pagi
68
keadaan benar benar tidak dapat dikendalikan, aku khawatir akan
terjadi pertumpahan darah diantara kita. Padahal itu tidak perlu
terjadi. Aku khawatir jika di saat seperti ini ada pihak pihak lain yang
memancing di air keruh. Orang orang yang tidak bertanggung jawab
itu bisa saja meniupkan berita yang dapat membuat kedua belah
pihak yang sekarang sedang berhadap hadapan itu menjadi semakin
tegang dan saling bercuriga.”
Untuk sejenak Kanjeng Sunan termenung. Bertanya Kanjeng Sunan
kemudian, “Bagaimana dengan pasukan dari kadipaten Panaraga, Ki
Patih? Apakah ada usaha dari Kanjeng Ratu Lungayu untuk
menambah kekuatan pasukan dari Panaraga?”
Ki Patih menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Sejauh yang
aku ketahui dan berdasar laporan para prajurit sandi kepatihan, tidak
ada lagi penambahan pasukan dari kadipaten Panaraga. Namun kita
masih menunggu perkembangan sampai besuk pagi.”
Tampak Kanjeng Sunan terangguk angguk. Sejenak suasana menjadi
sunyi. Yang terdengar hanya suara jeritan binatang malam dalam
irama yang ajeg. Sesekali angin bertiup cukup keras dan membuat
atap istana kepatihan berderak derak.
Tiba tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara langkah
tergesa gesa dari arah pringgitan. Sejenak kemudian terdengar pintu
yang memisahkan ruang pringgitan dengan ruang dalam diketuk
perlahan lahan.
“Masuklah!” terdengar suara Ki Patih yang berat dan dalam.
Ketika pintu itu kemudian berderit terbuka, tampak seorang pelayan
dalam kepatihan yang berdiri termangu mangu di tengah tengah
pintu sambil menundukkan kepalanya dalam dalam.
“Kemarilah!” perintah Ki Patih kemudian.
Pelayan dalam itu pun kemudian menghaturkan sembah terlebih
dahulu sebelum memasuki ruang dalam. Ketika jarak dengan kedua
priyagung itu tinggal beberapa langkah, pelayan dalam itu pun
kemudian segera berlutut sambil kembali menyembah dan kemudian
duduk bersila menunggu titah.

69
“Apakah ada yang ingin engkau sampaikan?” bertanya Ki Patih
kemudian sambil memandang pelayan dalam kepatihan yang
menundukkan kepalanya dalam dalam.
“Sendika Ki Patih,” jawab pelayan dalam itu dengan sikap yang
sangat trapsila anuraga, “Ada dua prajurit kepatihan yang baru saja
datang dari istana Kanjeng Ratu Lungayu mohon diperkenankan
untuk menghadap.”
Terlihat kening Ki Patih berkerut sekilas. Namun jawabnya
kemudian, “Bawa mereka masuk!”
Demikianlah pelayan dalam kepatihan itu segera undur diri untuk
memberitahu kedua prajurit kepatihan yang sedang menunggu di
pendapa.
Ketika kedua prajurit kepatihan itu pun kemudian menghadap, Ki
Patih dan Kanjeng Sunan menjadi sangat terkejut ketika menerima
laporan apa yang sedang terjadi di istana Kanjeng Ratu Lungayu.
Namun wajah Ki Patih terlihat sedikit ragu ragu untuk mengambil
keputusan. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Kanjeng Sunan sambil
berdesis perlahan, “Aku kira Mandurareja akan mampu mengatasi
keadaan.”
Kanjeng Sunan yang juga mendengar laporan kedua prajurit itu sejenak
termenung. Ingatannya segera tertuju kepada seseorang yang
mempunyai ilmu seperti yang dituturkan oleh kedua prajurit itu.
“Sebentar,” berkata Kanjeng Sunan dengan suara yang sareh kepada
kedua prajurit kepatihan itu, “Aku ingin mendengar sekali lagi
kemampuan orang yang sedang membuat onar di istana Kanjeng
Ratu Lungayu itu.”
“Sendika Kanjeng Sunan,” jawab salah satu parjurit itu sambil
menghaturkan sembah, “Menurut pengamatan Pangeran
Mandurareja, orang itu sebenarnya sedang mengetrapkan sebuah
ilmu bayangan semu. Masih menurut Pangeran Mandurareja,
walaupun orang itu hanya berupa sebuah bayangan semu, namun
mempunyai kemampuan sebagaimana ujud wadag aslinya. Jadi
orang itu mampu menyentuh lawan tetapi sebaliknya dia tidak dapat
disentuh sama sekali.”

70
Berdesir dada Kanjeng Sunan mendengar keterangan terperinci dari
salah satu prajurit kepatihan itu. Tanpa sadar dia telah berpaling ke
arah Ki Patih.
Ki Patih yang merasa dimintai pertimbangan oleh Kanjeng Sunan
segera menarik nafas dalam dalam. Tanyanya kemudian kepada
salah satu prajurit kepatihan itu, “Apakah Pangeran Mandurareja
mengharapkan kehadiranku?”
“Sendika Ki Patih,” sahut salah satu prjaurit kepatihan itu dengan
serta merta, “Pangeran Mandurareja memang berpesan seperti itu.
Beliau akan menahan sementara orang yang mempunyai ilmu
ngedab edabi itu sambil menunggu kehadiran Ki Patih.”
“Baiklah,” berkata Ki Patih kemudian sambil mengangguk angguk.
Lanjutnya kemudian, “Kalian berdua aku perkenankan untuk
kembali ke tempat tugas kalian.”
Dengan serentak kedua prajurit kepatihan itu segera menyembah
dan kemudian mengundurkan diri.
Sepeninggal kedua prajurit itu tampak Ki Patih masih berbincang
bincang sedikit dengan Kanjeng Sunan. Sepertinya Ki Patih sedang
meminta pertimbangan tentang permasalahan yang sedang terjadi di
istana Kanjeng Ratu Lungayu.
Dalam pada itu di halaman belakang istana Kanjeng Ratu Lungayu,
pertempuran Pangeran Mandurareja dengan orang tak dikenal itu
semakin lama menjadi semakin sengit. Pangeran Mandurareja benar
benar harus memeras tenaga dan terlebih lagi harus memeras otak.
Lawannya kali ini benar benar memiliki kemampuan yang aneh dan
sangat ngedab edabi.
“Apakah lawanku kali ini benar benar seorang manusia?” tiba tiba
terselip dalam benak Pangeran Mandurareja sebuah pemikiran yang
ngaya wara, “Menilik ujudnya yang kadang seperti manusia lumrah
yang mampu menyentuh dan bahkan melukai, namun di saat lain
seolah ujud orang ini hanyalah segumpal asap yang tidak
terpengaruh sama sekali dengan serangan seranganku.”
Mendapat pemikiran seperti itu jantung cucu Ki Patih Mandaraka itu
menjadi berdebar debar. Berbagai dugaan pun muncul dalam

71
benaknya dan yang mengerikan adalah dugaan bahwa lawannya itu
bukan manusia lumrah dan berasal dari alam yang lain.
Mendapat pemikiran seperti itu jantung Pangeran Mandurareja pun
berdentang semakin keras. Keringat dingin pun mulai membasahi
punggungnya.
“Ah, persetan dengan pikiran ngaya wara ini!” geram salah satu cucu
Ki Patih Mandaraka itu pada akhirnya. Dibuangnya pikiran yang
tidak masuk akal itu jauh jauh dan dia tidak berani lagi untuk
berandai andai tentang lawannya.
Dalam pada itu Ki Lurah dan para prajurit jaga yang terdiri dari
kesatuan Nara Manggala dibantu oleh Ki Lurah dan para prajurit dari
kadipaten Panaraga menjadi gelisah setiap kali melihat cucu Ki Patih
Mandaraka itu terlempar dari arena pertempuran. Walaupun
sejkejap kemudian dia sudah kembali memasuki arena, namun
mereka belum melihat sekali pun orang yang menutupi sebagian
wajahnya dengan secarik kain hitam itu terdesak mundur.
Sesekali mereka juga melihat serangan serangan Pangeran
Mandurareja tepat mengenai sasarannya, namun seolah olah
lawannya tidak merasakannya sama sekali. Bahkan serangan cucu Ki
Patih Mandaraka itu sama sekali tidak menghentikan atau bahkan
menghalangi lawannya untuk balas menyerang. Benar benar sebuah
pertempuran yang tidak seimbang.
“Mungkin lawan Pangeran Mandurareja ini memiliki sejenis ilmu kebal,”
membatin beberapa prajurit yang mampu mengikuti jalannya
pertempuran, “Atau barangkali lembu sekilan, tameng waja dan entah
ilmu ilmu apalagi. Yang jelas lawan Pangeran Mandurareja ini sama
sekali tidak terpengaruh oleh serangan serangan lawannya.”
Sedangkan para prajurit lainnya yang telah mengepung rapat arena
pertempuran itu menjadi semakin gelisah setiap kali Pangeran
Mandurareja terdesak mundur bahkan sekali kali terlempar jatuh
bergulingan. Walaupun dengan tangkasnya Pangeran Mandurareja
itu pun kemudian melenting berdiri dan kembali terlibat dalam
pertempuran yang semakin sengit, namun kegelisahan tampak
menghinggapi setiap wajah di seputar arena itu.
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Dengan tangan
gemetaran para prajurit itu mulai meraba hulu senjata masing
72
masing. Ketika salah satu di antara mereka tiba tiba saja telah
menghunus senjatanya, tanpa diperintah prajurit yang lain pun
segera mengikuti.
Kedua Ki Lurah yang melihat di tangan masing masing prajuritnya
telah menggenggam senjata, tak urung jatung keduanya berdesir
tajam. Namun kedua orang Lurah prajurit itu tidak dapat
mengingkari kenyataan yang sedang terjadi di depan mata. Maka
yang dapat dilakukannya kemudian adalah ikut menarik senjata yang
terselip di pinggang mereka.
Demikianlah arena pertempuran kedua orang itu sekarang telah
dikepung oleh para prajurit dengan senjata terhunus. Namun untuk
ikut melibatkan diri dalam pertempuran kedua orang itu, mereka
masih menunggu perintah dari atasan mereka, terutama perintah
dari Pangeran Mandurareja.
Dalam pada itu, selagi perhatian para prajurit itu tercurah kepada
pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya, lamat
lamat terdengar derap beberapa ekor kuda yang dipacu kencang
menuju ke istana itu.
Pangeran Mandurareja menjadi berdebar debar. Setitik harapan pun
muncul dalam hatinya.
“Semoga Eyang Patih berkenan hadir,” berkata Pangeran
Mandurareja dalam hati sambil terus bertempur, “Aku yakin Eyang
Patih pasti akan mampu memecahkan rahasia ilmu orang ini.”
Sejenak kemudian suara derap kaki kaki kuda yang dipacu itu
semakin keras terdengar. Ketika terdengar para prajurit jaga di regol
depan berteriak keras, mereka yang berada di halaman belakang pun
segera menyadari siapa yang telah hadir di istana Kanjeng Ratu
Lungayu itu.
“Ki Patih Mandaraka telah hadir!”
“Kanjeng Sunan juga berkenan hadir!”
“Ki Patih beserta Kanjeng Sunan telah berkenan hadir!”
Teriakan teriakan itu rasa rasanya telah menyalakan kembali
semangat Pangeran Mandurareja yang hampir padam. Dengan

73
mengerahkan segenap kemampuannya, lawannya pun kemudian
dilibatnya dengan serangan yang membadai.
Sedangkan orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan secarik
kain hitam itu tampak gelisah. Walaupun Pangeran Mandurareja
belum mampu untuk mendesaknya, namun tampak orang itu mulai
ragu ragu. Berkali kali dia berloncatan ke sana kemari tanpa jelas
tujuannya. Pandangan matanya berkali kali diarahkan ke halaman
samping istana.
Dalam pada itu Ki Patih dan Kanjeng Sunan yang telah menyerahkan
kuda kuda mereka segera bergegas berlari ke halaman belakang.
Mereka berdua ingin segera melihat siapa lawan Pangeran
Mandurareja itu sebenarnya.
Demikianlah ketika kedua priyagung itu kemudian muncul dari
halaman samping, keduanya masih melihat pertempuran yang
dahsyat sedang terjadi di halaman belakang. Namun kehadiran
kedua priyagung itu ternyata telah dilihat oleh lawan Pangeran
Mandurareja.
Apa yang terjadi kemudian benar benar diluar perhitungan semua
orang. Ketika Ki Patih dan Kanjeng Sunan yang muncul dari halaman
samping istana itu kemudian mendekati arena, lawan Pangeran
Mandurareja itu tampaknya sudah tidak dapat menahan diri hari.
Dengan gerakan yang sangat diluar nalar, orang itu tanpa ancang
ancang telah meloncat mundur ke arah dinding bagian belakang
istana yang cukup tinggi. Sejenak kemudian bayangan orang itu pun
telah menghilang ke balik dinding.
Pangeran Mandurareja yang melihat lawan melarikan diri tentu tidak
akan membiarkan begitu saja. Dengan mengerahkan kemampuan yang
bertumpu pada kedua kakinya, cucu Ki Patih Mandaraka itu segera
meloncat mengejar lawan yang telah hilang di balik dinding.
“Tunggu!” tiba tiba terdengar Ki Patih Mandaraka berseru mencegah
cucunya untuk mengejar lawan. Pangeran Mandurareja pun
menahan langkahnya untuk meloncati dinding.
Namun sebelum Pangeran Mandurareja menyadari apa yang
dimaksud oleh eyangnya, tiba tiba dua bayangan melesat bagaikan
tatit yang meloncat di udara mendahului dirinya meloncati dinding.

74
Sejenak kemudian kedua bayangan itu pun telah hilang di balik
dinding.
Pangeran Mandurareja tertegun. Ternyata Ki Patih dan Kanjeng
Sunan sendiri yang berkenan untuk mengejar bayangan itu.
Selagi Pangeran Mandurareja berdiri termangu mangu, tiba tiba
seorang pelayan dalam tampak berlari lari dari arah belakang istana.
Dengan cepat pelayan dalam itu pun kemudian menghampiri
Pangeran Mandurareja.
“Ampun Pangeran,” berkata pelayan dalam itu sesampainya di
hadapan Pangeran Mandurareja, “Kanjeng Ratu Lungayu berkenan
memanggil Pangeran untuk menghadap.”
Berdesir dada Pangeran Mandurareja. Malam telah melewati
puncaknya beberapa saat yang lalu bahkan kini waktu sudah
merambah ke dini hari dan Kanjeng Ratu telah memanggilnya
menghadap.
“Ada apa?” membatin Pangeran Mandurareja dengan jantung yang
berdebaran, “Kanjeng Ratu memanggilku menjelang dini hari. Tentu
ada hal yang sangat penting.”
“Ampun Pangeran,” tiba tiba suara pelayan dalam itu
membangunkan Pangeran Mandurareja dari lamunannya, “Kanjeng
Ratu sudah menunggu di ruang dalam.”
Terdengar Pangeran Mandurareja menarik nafas dalam dalam.
Katanya kemudian, “Baiklah, aku akan menghadap,”
Berkata Pangeran itu kemudian kepada kedua Lurah prajurit yang
mengepalai penjagaan malam itu, “Atur kembali anak buahmu. Sisir
setiap jengkal istana ini dan yakinkan tidak ada yang bergeser
maupun berubah.”
“Sendika Pangeran,” hampir bersamaan kedua Lurah prajurit itu
menjawab sambil menyembah dan membungkuk dalam dalam.
Demikianlah dengan diantar oleh pelayan dalam, Pangeran
Mandurareja pun segera bergegas itu menghadap Kanjeng Ratu di
ruang tengah.
Namun alangkah terkejutnya Pangeran Mandurareja begitu dia
bersama pelayan dalam itu memasuki ruang tengah. Tampak
75
Kanjeng Ratu sedang berdiri di depan biliknya dengan wajah yang
tegang. Sementara beberapa emban dan pelayan dalam lainnya
sedang berdiri beberapa langkah di hadapannya dengan kepala
tunduk.
“Sembah bakti hamba, Kanjeng Ratu,” berkata Pengeran Mandurareja
kemudian sambil melangkah masuk dan menghaturkan sembah diikuti
pelayan dalam yang mengantarkannya.
Tampak Kanjeng Ratu mengangkat wajahnya. Dengan sinar mata
yang menyiratkan kegusaran, ditatapnya wajah Pangeran
Mandurareja yang tertunduk dalam dalam di hadapannya.
“Pangeran!” terdengar suara Kanjeng Ratu sedikit tinggi, “Apa
sebenarnya tugas Pangeran di istana ini?”
Pengeran Mandurareja yang tidak mengerti maksud pertanyaan
Kanjeng Ratu itu telah mengangkat wajah sekilas dan kemudian
menunduk lagi. Jawabnya kemudian sambil kembali menyembah
dalam dalam, “Ampun Kanjeng Ratu. Hamba ditugaskan oleh
Kanjeng Eyang Patih untuk membantu pengamanan di istana
Kanjeng Ratu ini.”
Terdengar Kanjeng Ratu mendengus marah. Katanya kemudian,
“Tapi apa katamu tentang semua ini? Lihatlah! Seseorang dengan
sangat deksura tidak mengenal unggah ungguh telah berani menaruh
sebuah panji kecil ini di pintu bilikku!”
Bagaikan di sambar petir di siang bolong, Pangeran Mandurareja pun
terkejut bukan alang kepalang. Dengan cepat dilemparkan
pandangan matanya ke arah pintu bilik. Jantung Pangeran
Mandurareja pun bagaikan terlepas dari tangkainya.
Di pintu bilik Kanjeng Ratu Lungayu, tepatnya di pintu bagian atas
terlihat dengan sangat mencolok tertancap sebuah paser kecil yang
ujungnya diikatkan sebuah panji berwaran merah darah. Di atas kain
berwana merah darah itu sepertinya terdapat sebuah lukisan dan
beberapa huruf.
“Periksalah!” perintah Kanjeng Ratu kemudian sambil bergeser ke
samping.

76
“Sendika Kanjeng Ratu ,” jawab Pangeran Mandurareja kemudian
sambil melangkah mendekat. Dicabutnya paser kecil itu dan
kemudian dibentangkannya kain berwarna merah darah itu.
Tampak sebuah lukisan keris yang berwarna putih dengan beberapa
huruf di bawahnya.
“SIRA BAKAL SIRNA LAMUN ANGGAYUH AMUKTI,” dengan suara
bergetar Pangeran Mandurareja pun kemudian membaca huruf
huruf yang tertera pada secarik kain itu.
Seketika wajah Kanjeng Ratu pun menjadi semakin tegang. Dengan
suara bergetar Kanjeng Ratu pun kemudian bertanya, “Pangeran,
apakah Pangeran dapat menduga apa maksud tulisan itu?”
Untuk sejenak Pangeran Mandurareja tertegun. Ingatannya segera
melayang ke rencana penobatan Raja Mataram besuk pagi. Berbagai
dugaan pun kemudian muncul dalam benaknya.
“Ampun Kanjeng Ratu ,” berkata Pangeran Mandurareja kemudian,
“Menurut perhitungan hamba, orang yang sengaja menaruh panji
kecil ini di pintu bilik Kanjeng Ratu pasti orang orang yang tidak
senang melihat Raden Mas Wuryah menduduki tahta Mataram.
Mereka mencoba mengancam dengan mengirimkan secarik kain ini
untuk membuat masalah.”
Terlihat kerut merut di kening Kanjeng Ratu . Berkata Kanjeng Ratu
kemudian, “Aku memang sudah menduga bahwa ada pihak pihak
yang sengaja ingin menggagalkan penobatan Ananda Wuryah. Mulai
berita pengerahan pasukan di alun alun tadi pagi, keributan yang aku
dengar menjelang tengah malam tadi dan yang terakhir adalah panji
kecil yang menancap di pintu bilikku ini,” Kanjeng Ratu berhenti
sebentar. Lanjutnya kemudian, “Nah, Pangeran. Aku ingin
mengumpulkan seluruh kepala pasukan Panaraga yang sudah berada
di kotaraja. Beritahu mereka untuk berkumpul di istana ini setelah
Matahari terbit. Aku akan membicarakan sesuatu yang sangat
penting.”
“Sendika Kanjeng Ratu ,” sahut Pangeran Mandurareja kemudian
sambil membungkuk dalam dalam dan menyembah.

77
Demikianlah setelah Pangeran Mandurareja mengundurkan diri,
Kanjeng Ratu pun kembali ke dalam biliknya untuk beristirahat di
malam yang tersisa.
Dalam pada itu Kanjeng Sunan dan Ki Patih Mandaraka yang
memburu orang yang melarikan diri dari istana Ratu Lungayu itu
menjadi terheran heran. Mereka berdua pada awalnya mempunyai
harapan dapat menyusul orang itu. Namun lambat laun harapan itu
bagaikan embun dini hari yang terkena sinar Matahari pagi, hilang
tak berbekas.
Tanpa terasa kedua priyagung itu telah mencapai batas kotaraja sebelah
utara. Sementara bayangan orang yang mereka kejar telah hilang di balik
dinding kotaraja sebelah utara yang menjulang tinggi.
“Kanjeng Sunan! Sebaiknya kita hentikan saja pengejaran ini!” seru
Ki Patih Mandaraka pada akhirnya sambil memperlambat
langkahnya. Kanjeng Sunan pun akhirnya ikut berhenti.
“Sepertinya aku mengenal orang yang memiliki ilmu sejenis
bayangan semu ini,” berkata Ki Patih kemudian sambil mengatur
pernafasannya yang menjadi sedikit tersengal.
Kanjeng Sunan menarik nafas dalam dalam sambil memandang titik
titik di kejauhan. Katanya kemudian, “Sejak mendengar laporan prajurit
kepatihan tadi, aku sudah dapat menduga siapa orang itu,” Kanjeng
Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya, “Apalagi setelah melihat sendiri
bagaimana tandang orang itu dalam bertempur melawan Pangeran
Mandurareja, dugaanku hanya tertuju kepada satu orang.”
Ki Patih kembali menarik nafas dalam dalam. Tanyanya kemudian
sambil berpaling ke arah Kanjeng Sunan, “Kanjeng Sunan, di
manakah keberadaan orang itu sekarang ini?”
Kanjeng Sunan tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Wadagnya
sudah aku kurung di puncak bukit Muria, namun ujud semunya
dapat berkeliaran ke mana pun dia suka.”
Terlihat Ki Patih termenung sejenak. Katanya kemudian, “Ah,
sudahlah. Mari kita kembali ke istana Kanjeng Ratu untuk
memastikan segala sesuatunya baik baik saja.”
“Maaf Ki Patih,” menyela Kanjeng Sunan tiba tiba saja sehingga telah
menghentikan langkah Ki Patih yang sudah mulai terayun, “Aku akan
78
langsung ke ndalem kapangeranan. Aku akan memastikan bahwa
Pangeran Pati sudah siap menghadapi apa yang sudah kita sepakati
tadi agar pertumpahan darah dapat dicegah.”
Terlihat Ki Patih menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Kalau
memang Kanjeng Sunan berkehendak seperti itu, aku tidak akan
mampu untuk mencegah. Marilah kita berbagi tugas. Aku akan
mencoba menenangkan Kanjeng Ratu, sedangkan Kanjeng Sunan ke
ndalem kapangeranan untuk meyakinkan bahwa Mas Rangsang tidak
akan melangkah terlampau jauh.”
Demikianlah kedua priyagung itu pun kemudian berpisah. Ki Patih
kembali ke istana Kanjeng Ratu Lungayu, sedangkan Kanjeng Sunan
berjalan menyusuri dinding kotaraja sebelah utara.
Namun ternyata Kanjeng Sunan tidak pergi terlalu jauh dari tempat
itu. Setibanya Kanjeng Sunan di sebuah gerumbul yang cukup lebat,
Kanjeng Sunan segera menyusup ke dalam gerumbul itu. Sejenak
kemudian tampak Kanjeng Sunan telah duduk bersila dan tenggelam
dalam lantunan pujian kepada Yang Maha Agung.
Dalam pada itu, ujud semu yang telah membuat ontran ontran di
istana Kanjeng Ratu Lungayu terus berlari bagaikan tatit yang
meloncat di udara. Ujud semu yang hampir sempurna itu melesat
menembus hutan yang tidak begitu lebat sebelum akhirnya tiba di
tepian kali Krasak.
Untuk beberapa saat bayangan semu itu menghentikan langkahnya
sambil mengamat amati pasukan segelar sepapan yang sedang
beristirahat di tepian kali Krasak. Namun agaknya dia merasa tidak
mempunyai kepentingan apapun dengan pasukan itu. Sejenak
kemudian bayangan semu itu pun kembali melesat meninggalkan
tempat itu.
Namun alangkah terkejutnya bayangan semu itu. Ketika baru saja dia
mencapai bulak panjang selepas dari tanggul kali Krasak sebelah
Utara, tiba tiba saja seperti ada sebuah tabir yang tidak kasat mata
membentang di hadapannya.
Pada awalnya bayangan semu itu mencoba menembus tabir yang
tidak kasat mata itu dengan sepenuh tenaganya, namun justru dia
yang akhirnya terpental oleh kekuatannya sendiri.

79
“Gila!” geram bayangan semu itu sambil mencoba untuk
mengulanginya lagi. Namun baru saja dia akan bergerak, untuk
sejenak bayangan semu itu justru telah membeku di tempatnya.
Samar samar dalam keremangan malam menjelang dini hari,
beberapa tombak di hadapannya tampak tiga bayangan berdiri
menghadang jalan. Dari bentuk tubuhnya yang tinggi langsing,
bayangan semu itu pun segera menyadari bahwa ketiga orang yang
menghadangnya itu adalah perempuan semua.
“Siapa kalian?” tanpa sadar pertanyaan itu meluncur begitu saja dari
bibirnya.
Ketiga perempuan itu tidak menjawab. Dengan langkah yang gemulai
ketiga perempuan itu pun kemudian justru telah berjalan mendekat.
Sebenarnya bayangan semu itu mempunyai kemampuan untuk
mempertajam pandangan matanya. Namun entah mengapa, di
sekitarnya kini telah turun kabut tipis yang membuat jarak
pandangnya sangat terbatas.
Sejenak bayangan semu itu menggeram. Dengan mengerahkan aji
sapta pandulu ketiga bayangan perempuan itu pun mulai terlihat
walaupun belum begitu jelas raut wajahnya.
Berjalan di paling kanan adalah seorang perempuan yang terlihat
menyandang sepasang pedang di lambungnya. Kemudian yang di
tengah adalah seorang perempuan yang menyelipkan senjata yang
berupa sebuah tongkat berwarna putih berkilat kilat di ikat
pinggangnya, dan yang terakhir adalah seorang perempuan yang
menilik bentuk tubuhnya terlihat sedang mengandung muda.
Bagaikan disambar seribu guruh yang meledak bersamaan di atas
kepalanya, bayangan semu itu pun terkejut bukan alang kepalang
sehingga telah terhenyak beberapa langkah ke belakang.

-----------------0O0-------------------
Bersambung ke jilid 29

80

Anda mungkin juga menyukai