Anda di halaman 1dari 53

Aku Berharga

∆∆∆

Apa pun keadaan kita, bersyukurlah. Dan jangan pernah merendahkan orang lain. Kita
tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa jadi suatu saat nanti,
orang yang pernah kita pandang sebelah mata, hidupnya jauh lebih baik dari kita. Jadi,
berpikirlah sebelum berbicara!

∆∆∆

"Ada kurcaci!"

"Ada kurcaci!"

"Ada kurcaci di sekolah kita!"

Teriak salah satu pelajar SMA 'Elit', sekolah yang berada di kota Jakarta Selatan saat melihat
sosok yang selama ini menjadi bahan perundungan melintas di depan kelas 11 IPS 2.

Teriakan itu membuat semua mata menoleh dan mencari sumber yang dimaksud. Tak ayal,
para guru pun seakan mengiyakan keadaan itu, sehingga membuat suasana menjadi tak
terkendali.

"Akan lebih seru jika ada beberapa kurcaci!" sahut yang lain sambil tertawa mengejek.

"Betul, tuh!" sahut yang lainnya lagi. "Biar punya komunitas."

Gadis korban perundungan itu bernama Princess Maharani. Kelas 11 IPA 1. Parasnya cantik
dengan lesung pipit di sebelah kanan. Rambut bergelombang, menambah ia terlihat ayu.
Hanya saja tubuhnya kecil untuk remaja seusianya. Tinggi badan kurang-lebih 140 cm. Kecil,
bukan?

Sikap cuek namun agak sedikit narsis yang ditunjukkan Princess membuat sebagian pelajar
geram. Mereka tidak mendapatkan perlawanan sama sekali meski ejekan demi ejekan
dilontarkan. Gadis itu tidak pernah marah atau pun sakit hati. Bukan karena senang diejek,
melainkan tiada guna jika membalas kejahatan dengan kejahatan.

"Oi, budek lo, ya? Udah badan mini, budek lagi tuh!"
Terkadang sapaan seperti itu yang didapat oleh Princess. Pedas. Namun ia tidak peduli,
bahkan tidak menaruh dendam sedikitpun pada mereka yang telah merundungnya.

Masokis, ada yang menyebutnya seperti itu. Bagi Princess, hidup bukan untuk membuat
orang lain terkesan. Terserah mau berkata apa, asalkan dalam batas kewajaran.

"Gue berharga!" jawab Princess sambil menepuk dada bangga, tapi ia ucapkan dalam hati.

"Kamu ga papa?" tanya Maira, sahabat baik Princess. Tepatnya, sahabat sejak ia masih kecil.

Maira adalah sosok yang lembut, namun terkadang berubah menjadi galak jika ada yang
mengusiknya. Gaya bicaranya mendayu, layak seorang puteri Keraton.

Princess tersenyum kemudian menggeleng. "Santai aja! Lagian udah biasa, kan?"

Maira menarik napas lega. Meski Princess tidak 'masalah' selalu mendapatkan perlakuan
buruk dari teman-temannya, namun terkadang ia merasa kasihan. Rasanya sedih bercampur
marah.

Pernah suatu hari Maira memarahi mereka yang berkata tidak baik, sia-sia saja. Seakan
ucapannya hanya hembusan angin belaka.

"Baiklah!" ucap Maira mengalah.

"Badan boleh mini, Beb. Tapi pikiran sama hati ga boleh ikutan kerdil kayak badan gue!"
ucap Princess. Tangannya menggamit Maira masuk ke dalam kelas.

Maira terdiam, yang dikatakan Princess benar, percuma memiliki tubuh yang sempurna, jika
hati serta pikirannya selalu berburuk sangka pada orang lain, dan berbicara menyakiti. Tiada
guna.

"Trus, apa rencana kamu?" Maira menatap Princess, menunggu jawaban. Namun lawan
bicaranya hanya menaikkan dua alis, seakan tidak paham dengan apa yang ia tanyakan.

".... "

"Ya, rencana kamu apa setelah ini?" Maira menggaruk hidungnya yang tidak gatal.

"Oh!" Princess tertawa. "Ya, pulanglah! Kan sekolah kita lagi ada acara!"

"Hmm, ternyata terlalu sering dirundung, membuat otakmu semakin lemot," kesal Maira
kemudian meninggalkan Princess menuju perpustakaan.

Princess menatap punggung Maira yang mulai menjauh. Senyum tipis terukir di bibirnya.

"Seharusnya logatemenan sama gue, Ra! Lo jadi dijauhin sama yang lain," ucap Princess
pilu. Ia meraih notebook dari dalam tas dan menuliskan sesuatu di sana.

Teman ...
Tuhan menciptakan manusia pada porsinya masing-masing. Sesuai dengan kebutuhan.
Ini adalah anugerah yang wajib disyukuri apa pun keadaannya. Percayalah, kita
adalah istimewa.

Princess menutup notebook dan memasukkan kembali ke dalam tas. Matanya mengamati
seisi kelas. Sepi, tak seorang pun di sana. Pertandingan basket antar sekolah membuat ia
sedikit bernapas lega, karena dapat duduk dengan tenang tanpa ada yang mengatai.

Meski hanya sementara, setidaknya ... fokus pembicaraan mereka berpindah pada cowok-
cowok tampan dari sekolah lain yang datang untuk bertanding melawan team sekolahnya.

Bosan, Princess berniat menyusul Maira ke perpustakaan sekolah yang letaknya berada di
sudut gedung ruang guru. Benar, di sana dirinya akan aman dari celoteh pelajar lain, namun
jalan menuju ke sana lumayan jauh, harus melewati beberapa kelas di mana penghuninya
sangat memuakkan.

Princess menghela napas berat. Ia berpikir kembali pada niat awalnya.

"Santai, Princess!" ucapnya mencoba menguatkan diri, "mereka bukan Malaikat pencabut
nyawa!" ia bangkit dan melangkah, namun terdengar ada seseorang menyahut.

"Mereka memang bukan Malaikat maut, tapi netizen maha benar. Lo tau? Itu lebih
menyeramkan!"

Princess menoleh. Laila, teman sekelasnya. Bisa dibilang, ia adalah salah satu yang tak peduli
dengan kekurangan Princess. Meski bukan teman akrab, tetapi gadis itu sangat ramah. Tidak
banyak bicara jika dirasa ucapannya sia-sia.

"Kenapa lo bilang gitu?" tanya Princess datar.

Laila tertawa. "Percaya atau tidak, gue dulu lebih cupu dari lo. Bully? Tentu saja. Tidak ada
yang bisa lepas dari netizen maha benar."

Princess menautkan alis. "Netizen maha benar?"

Laila mencebik. Ia mendekat ke arah Princess sambil memasukkan tangan ke dalam jaket
yang dikenakan.

"Mereka yang merundungmu!" bisiknya.

Kemudian Laila menjelaskan pada Princess, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi
perundungan adalah berubah. Buktikan jika kita tidak seburuk yang mereka kira.

"Ya, bisa dengan apa saja. Dengan giat belajar supaya menjadi juara kelas, apa salahnya?
Atau dengan merubah penampilan. Apa pun!"

Princess diam, memikirkan perkataan Laila. Benar. Diam tanpa melakukan sesuatu, tiada
gunanya.

"Terima kasih, La!" ucap Princess sambil memegang kedua pundak Laila hangat. Setelah itu,
ia bergegas menyusul Maira. Tentunya bersama dengan Laila.
"Awass!" pekik Laila sambil mendorong Princess hingga membentur dinding kelas 11 IPA 3.

*****

Pangeran dan Dare

∆∆∆

Untuk mereka yang mencacimu, tinggalkan dan abaikan. Mungkin mereka butuh
perhatian sehingga berlaku demikian. Percayalah, Tuhan tidak tidur.

∆∆∆

"Kenapa?" tanya Princess bingung. Ia mengusap wajahnya yang hampir mencium tembok.

Semua mata yang berada di tempat itu menatap Laila bingung. Mereka melihat sekitar, tidak
ada apa pun yang mencurigakan.

"Caperlo, ya?" teriak seorang siswi dari kejauhan sambil menjulurkan lidah.

Laila mengabaikan mereka yang menatap sinis dan fokus pada Princess.

"Ada yang ngeludahinlo dari kelas atas," ucap Laila membuat Princess terhenyak.

Sebegitu hinakah seorang Princess. Ya, memang benar ia tak sesempurna namanya, tapi ...
berlaku demikian bukanlah sikap terpuji.

Princess mengusap dada, kemudian tertawa kecil.

"Itu hanya ludah, kalaupun kena gue, masih bisa dibersihin, kan?" ucap Princess berusaha
berbesar hati. Ia tak ingin berburuk sangka, mungkin pelaku tidak melihat dirinya melintas.

Laila menggeleng sambil berdecak. Ia merasa kesal pada Princess yang terlalu lembek.
Namun di sisi lain, hatinya bangga melihat seorang remaja sanggup berjiwa besar meski
selalu dirundung dan dipandang buruk.
"Okew, kuy!"

Princess mengangguk. Tatapannya lurus ke depan. Menerawang, merenungi hidup. Ternyata,


dari sekian banyak murid di sekolahnya, masih ada yang peduli meski hanya beberapa. Ia
berucap syukur dalam hati.

"Masih ada harapan sekolah ini mencetak generasi berbudi baik walau sulit," gumamnya,
namun dapat didengar oleh Laila dengan jelas.

Laila tersenyum tipis. "Semoga harapan lo menjadi kenyataan," ucap hati Laila.

"Anak manis," Laila menepuk pundak Princess dan memainkan sebelah matanya.

Senyum Princess melebar, menampakkan deretan gigi putihnya. "Anak manis yang mengejar
keberuntungan disela-sela ribuan duri," lirihnya sambil menatap arah bawah menahan bulir
air mata.

"Dengar, kelak duri-duri itu akan menumpul dengan sendirinya, dan rapuh. Hanya baja lah
yang mampu bertahan."

Laila berucap benar. Tak selamanya duri dapat melukai seseorang. Ada kalanya ia akan rapuh
termakan oleh waktu.

Princess mengangguk dan menggamit tangan Laila erat. Ia memang bukan manusia
sempurna. Baginya, tidak menyakiti orang lain, itu sudah cukup.

"Itu Maira," ucap Laila membuyarkan lamunan Princess.

"Yuk samperin," ajak Princess. Ia berlari kecil agar cepat sampai pada Maira. Namun
langkahnya terhenti ketika seseorang menghadangnya dengan mata tertutup.

"Gue cinta sama lo! Mau kagak jadi cewek gue?" teriaknya.

Princess menautkan alis. Meski dalam hati senang, namun sepertinya itu tidak mungkin.

Anak laki-laki itu adalah Pangeran. Pelajar kelas 11 IPA 2 yang menjadi idola Princess
karena kelakuannya yang absurd meski sombong, tengil, dan kerap semena-mena pada
pelajar lain. Ia bukan cowok tenar, bahkan hampir tak dikenali oleh pelajar lain yang bukan
sekelas.

Hobi Pangeran adalah mengintip siswi cantik guna dijadikan target gombalannya.

"Lo dengergue, kan?" tanya Pangeran sambil menangkupkan tangan memohon agar cintanya
diterima.

Princess merasa gugup, dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara tidak jauh dari
tempat itu, seorang pelajar laki-laki lainnya tengah terbahak menyaksikan Pangeran beraksi.

"Mamam, noh!" ucapnya sambil memegangi perut.


Anak itu bernama Panji. Sahabat Pangeran, keturunan Betawi asli. Makhluk tertampan di
SMA 'Elit', menurutnya.

"Jawab, plisss! Mata gue gelap ditutup begini!"

Tidak ada jawaban dari Princess yang berdiri tepat di hadapannya. Merasa diabaikan,
akhirnya Pangeran membuka tutup matanya kasar.

"Elo? Cuihh!" Pangeran terkejut setelah mengetahui bahwa yang ada di hadapannya adalah
Princess, bukan Maira. "Najeesss!" umpatnya.

Princess terhenyak. Belum pernah ia dibentak sedemikian rupa meski kerap dirundung dan
dihina. Sakit. Namun dirinya tetap berusaha untuk sabar.

"Hew, PMS, yak?" jawab Princess santai. Senyum miring disunggingkan untuk mengusir rasa
sesak di dadanya.

Pangeran mendekatkan wajahnya ke arah Princess. "Apa senyum-senyum? Jangan harap bisa
pacaran sama gue kecuali kalo lo bisa tinggi!" ucapnya sambil tertawa mengejek.

Princess menelan ludah dan berkata dalam hati, "Akan guebuktiin ucapan lo!" ia tersenyum
tipis.

"Lo tuh yang najis!" sahut Laila tak kuasa menahan kesal. Meski Princess bukanlah teman
dekatnya, namun kejadian itu membuat ia merasa tertohok. "Lo ga lebih buruk dari dia, tau!"
tangannya menunjuk tepat di mata Pangeran.

Pangeran memundurkan wajah, menghindari tangan Laila. Ia menaikkan sebelah alis sambil
tersenyum mengejek.

"Apa peduli gue, hm! Sial ketemu sama orang aneh kayak kalian!" ketus Pangeran.

Pangeran berlalu meninggalkan Princess dan Laila dengan hati kesal. Ia merasa dikerjai oleh
Panji. Harapannya menyatakan cinta pada Maira pupus ketika yang datang adalah seorang
kurcaci seperti Princess.

Ia menepuk-nepuk pipinya, hal yang baru terjadi dapat berlalu begitu saja.

"Hiyyy, najiss!" Pangeran bergidik mengingatnya. "Apa kata dunia kalo gue punya pacar
mini kayak Si Princess!"

Pangeran menghembuskan napas kasar sambil mencari posisi duduk yang nyaman. Rasa
malu seakan menggelayut dan enggan untuk pergi.

"Sadis lu. Itu bukan romatis namanya," ledek Panji sambil tertawa di hadapan Pangeran yang
tengah berdiam diri di sudut kantin sekolah. Wajahnya memerah karena kesal.

"Kenapa loga bilang sih kalo itu si kurcaci?" Pangeran meraih kepala Panji dan
menghimpitnya di ketiak.

"Gue mana tau! Princess datang tiba-tiba pas Maira pergi!" jelas Panji.
Panji menatap Pangeran sambil menggeleng. Dulu, sahabatnya itu adalah sosok yang manis.
Ia merasa heran, semenjak masuk ke lingkungan sekolah orang kaya, sifatnya menjadi
berubah.

Panji menghela napas, mencoba menasehati Pangeran agar tidak berbuat dan berkata buruk
pada orang lain. Namun ucapannya sia-sia, sahabatnya bahkan enggan untuk dinasehati.

"Tapi gue heran deh, kenapa cuma Princess yang lu kasarin begitu banget. Apa jangan-jangan
lu suka tapi gengsi?"

Pangeran mencebik.

"Benci itu beda tipis sama cinta!" sambung Panji.

"Hei, aku mau kalian jelasin hal yang baru aja terjadi!" bentak seseorang sambil meraih kerah
Pangeran erat.

*****
Bola-bola Tekad

∆∆∆

Jika tidak mampu membuat orang lain tersenyum, setidaknya jangan menyakiti hatinya.

∆∆∆

Suasana menjadi hening. Tiada lagi celoteh Panji maupun Pangeran setelah kedatangan gadis
itu.

"Ayo jelaskan!" ucapnya tegas.

Nyali Panji menciut. Sementara Pangeran menahan kesal agar tidak mencuat dan menyerang
kembali sosok di hadapannya.

"M ... ma ... af!" ucap Panji pada akhirnya dengan suara sedikit bergetar.

Maira berdecih. Ia memandang sinis pada kedua cowok itu. "Hmm, kalo minta maaf, berarti
mempunyai salah dong, ya?" ia melepas kerah baju Pangeran dari cengkeraman, kemudian
mendorongnya.

Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya Panji menceritakan kejadian sebenarnya


kepada Maira, bahwa mereka sedang bermain dan penyandang kekalahan mendapatkan
tantangan 'nembak cewek yang pertama lewat samping perpustakaan seromantis mungkin'
dengan mata tertutup. Hal itu mereka lakukan karena bosan terhadap permainan yang sudah
biasa dilakukan oleh keduanya juga pelajar lain.

Maira mencebik kemudian menatap tajam pada Pangeran. "Kalian maenpaan, sih?" tanyanya
penasaran.

Ternyata, kedua cowok tersebut bermain catur. Dan mengakibatkan Pangeran kalah dalam
bermain secara bertubi-tubi hingga kecurangan pun dilakukan olehnya agar menjadi
pemenang. Namun hasilnya sama, 'kalah'.

Maira mengangguk kemudian berucap, "Boleh aja kok kalian maen apa pun, asal jangan
merendahkan fisik orang lain setelahnya. Tauga sih, body shaming itu dilarang! Ngaca dulu
sebelum ngatain orang!" ia menepuk pipi Pangeran sebelum berlalu.

"Lo, sih!" ucap Panji menyalahkan Pangeran.

Pangeran menatap lurus Maira sambil tersenyum miring. "Gue ga peduli!" gumamnya setelah
gadis itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

"Maira bener, lu keterlaluan!" Panji berucap dengan gaya bicara khas orang Betawi. "Emang
lu beneran benci sama die?"

Pangeran menatap Panji, kemudian beralih menatap ke arah sepatunya. "Entah! Gue geli aja
sama anak kecil itu."

Beberapa saat kemudian, bel pulang pun berbunyi bersamaan dengan berakhirnya
pertandingan basket antar sekolah. Semua pelajar SMA 'Elit' juga pelajar SMA lain
berhamburan untuk pulang. Sebagian dari mereka menunggu jemputan, dan sisanya
memadati halte bus yang letaknya tidak jauh dari sekolah.

Dari kejauhan, terlihat Princess tengah melangkah gontai. Tujuannya kali ini bukan langsung
pulang ke rumah, melainkan ke tempat yang sering ia kunjungi yaitu 'kolong jembatan'.

Banyak yang bisa ia lakukan di sana. Bermain dengan mereka (anak-anak jalanan), 'status
sosial'nya berbeda. Bercerita, dan lain-lain. Meski tempat tersebut kumuh, setidaknya anak-
anak jalanan itu tidak mengejek seperti orang lain.

"Kak Incesdataaaang!" teriak salah seorang anak saat melihat Princess mendekat dengan
membawa kantung plastik berisikan origami yang sengaja ia beli di bazar sekolah
menggunakan uang jajannya.

Princess tersenyum tipis. Tangannya melambai agar teman-teman kecilnya berkumpul dan
mendekat.

"Rindu aku tidaaaak?" tanya Princess setelah mereka berkumpul dan duduk di atas koran.

Anak-anak jalanan itu mengangguk senang. Ada yang bergelayut pada tangan Princess, ada
juga yang menatapnya hingga tak berkedip.

"Kakak kemanaaja? Kami hampir lupa cara membaca," ucap salah seorang dari mereka yang
bernama Bunga.
Princess mendekatkan wajahnya pada Bunga. "Hmm, kakak sedang terapi meninggikan
badan agar tidak diejek lagi oleh teman-teman di sekolah!" ujarnya berkelakar.

Anak-anak itu menatap Princess lekat. "Kakak kan baik, kenapa diejek?"

Princess terlihat sedang berpikir, mencari jawaban yang tepat untuk mereka. Ia takut, akan
berdampak buruk jika menjawab sembarangan.

"Mungkin mereka lupa, bahwa fisik yang kita punya kelak akan berubah termakan usia,"
ucap Princess sambil tersenyum. "Kalian jadi anak baik, ya. Karena apa yang kita lakukan
kelak akan kembali jua kepada kita."

Bunga dan teman-temannya mengangguk. Setelah itu, Princess membagikan origami pada
mereka untuk membuat kupu-kupu sebagai bentuk bahwa 'semua masalah pasti akan berlalu
dan terbang, kemudian berakhir pada keindahan'.

Itulah yang selalu tertanam di hati Princess dan dibagikan kepada mereka yang butuh
semangatnya.

*****

Menatap lurus pada sebuah cermin. Mengamati setiap inci yang terdapat pada tubuhnya
lekat-lekat. Princess percaya, bahwa setiap manusia itu berharga meski terlahir tidak
sempurna. Ia bersyukur mempunyai anggota tubuh lengkap. Mengapa harus bersedih dengan
celaan orang-orang sekitar.

"Gue punya kelebihan, kok!" lirihnya sambil menepuk dada, "dan gue pasti akan meninggi
pada waktunya."

Princess mencoba untuk lebih memperhatikan penampilannya setelah merasa tertohok oleh
ucapan Pangera, dan bertekad untuk melatih fisik dengan berbagai cara. Tangannya bergerak
lincah di atas layar benda persegi yang disebut sebagai ponsel, guna mencari informasi sesuai
kebutuhan. Satu persatu link dibuka.

"Anak ayah sedang apa?" tanya Pak Gen, ayah Princess, saat melihat putrinya sedang
berbicara pada layar ponsel.

Princess menoleh dengan wajah cemberut. "Ayah masuk kamar kenapa ga bilang-bilang,
sih?" ujarnya manja.

Pak Gen tertawa renyah. Ia mendekat dan mengamati putri semata wayangnya. "Ayah
panggil ganyahut."

Princess menautkan alis. Ia merasa bahwa sang ayah tidak manggilnya sedari tadi.

"Karna ini mungkin!" Pak Gen melepaskan headphone yang masih terpasang di telinga
Princess sambil tertawa geli. "Jangan lupa si Aryo dikasih makan. Dosa loh ntar!" ucapnya
sebelum berlalu sambil mengulurkan kucing seram pada Princess.

Princess mengangguk meski sesungguhnya ia malas melihat kucing tersebut. Selain manja, si
Aryo kerap kali mencakarnya hingga luka.
"Yah!" panggilan Princess menghentikan gerakan Pak Gen untuk menutup pintu dari luar
kamar. "Gimana caranya supaya tinggi?"

Pertanyaan Princess membuat sang ayah tertawa. "Sejak kapan kamu risau dengan tinggi
badanmu, hm?" Pak Gen berbicara sambil menggerakkan tangan.

"Sejak aku bosan mendengar celaan dari mereka!" Princess melemaskan pundak dan menatap
sang ayah penuh pengharapan.

"Hei, bukan fisik yang dapat membuatmu masuk surga ketika meninggal kelak. Tapi akhlak!"
ucap Pak Gen sambil tersenyum. "Kamu istimewa di mata ayah!" ujarnya penuh penekanan.

Princess diam sesaat, kemudian berteriak, "Jadi ga ada solusi, nih?"

"Disiram!" jawab Pak Gen sambil mengedipkan sebelah matanya.

Princess mendengus, kemudian ia larut dalam pencarian jawaban teka-teki dari sang ayah.
Hingga pada keesokan hari, barulah dirinya menemukan jawaban melalui mimpi.

"Kamu siap?" tanya seseorang yang akan menjadi pelatihnya.

*****
Demi Sebua Impian

∆∆∆

Lebih baik sibuk memperbaiki diri daripada sibuk mengurusi kehidupan orang lain
dengan melontarkan kata-kata buruk dan tidak mendidik.

∆∆∆

Princess meringis, menatap ngeri sesuatu di hadapannya. Sang pelatih dengan dandanan sok
menyeramkan, juga arena berlatih yang membuat bulu kuduknya merinding.

"Ayo mulai!" titah Pak Gen sambil berkacak pinggang.

Princess mencebik. Ia menatap sang ayah sedikit kesal. "Kenapa ga berenang di rumah aja,
sih?" gerutunya sambil mengenakan kacamata.

Pak Gen tertawa kecil, lalu memegang pundak putrinya. "Sekalian refreshing, bosen di
rumah!"
Princess diam. Ia kembali menatap tempat latihan yang dimaksud sang ayah. Rasa ngeri
masih merasuki sudut hatinya.

"Bener, sih, Yah, aku pengen tinggi. Tapi ga di laut juga kali berenangnya," keluh Princess.
Ia menatap kembali pada sang ayah. "Tinggi kagak, gosong iya ini mah!" Princess berjalan
mondar-mandir sambil berpikir. Akankah ia melawan ketakutannya terhadap air? Atau
berdiam diri dan tidak mendapatkan apa-apa?

Princess menarik napas, mencoba menguatkan hati dan membulatkan tekad dalam hati. Ia
melangkah mendekati air laut.

Iya, Princess dibawa Pak Gen untuk berlatih renang di Laut, tepatnya di pantai ancol, salah
satu tempat wisata dengan biaya murah. Tujuannya, agar gadis itu tidak trauma terhadap
'berenang'. Jika di rumahnya, tipu muslihat pasti akan dilakukan oleh seorang Princess untuk
mengelabuhi sang ayah.

Sang ayah terbahak mendengar penuturan putrinya. "Dengar, apa pun bentukmu, ayah tetap
menyayangimu!" perkataan itu membuatnya diserang oleh Princess bertubi-tubi. Menurutnya,
itu lebih menyebalkan dibandingkan dengan ejekan teman-teman sekolahnya. Terdengar
konyol memang.

"Ini bukan saatnya bercanda, Ayah! Huft!" Princess berlalu sambil menghentakkan kaki.
Mulutnya berkomat-kamit merutuki dirinya sendiri.

"Hei, Nona. Tuanmu ini tidak bercanda!" sahut Pak Gen dengan gaya bicara berlebihan.
"Bawa dia!" titah sang ayah pada kedua bodyguard untuk menangkap Princess dan
membawanya masuk ke air.

"Ayaaaahh! Lepasss, ikh!" Princess meronta, meminta agar ia tidak dibuang ke laut.
Sementara sang ayah tersenyum melihat gadis kecilnya tak bisa melarikan diri darinya.
"Ayah jahad, iss!"

Pak Gen mendekat ke arah Princess yang sudah dipaksa berendam air laut. "Mau tinggi apa
enggak, hmm?" ucapannya membuat Princess berpikir keras dan mengangguk meski ragu.
"Ya sudah, laksanakan perintah ayah!"

Dengan sangat terpaksa, akhirnya Princess mengalah pada sang ayah. Ia berlatih dengan
sungguh-sungguh supaya tinggi badannya bertambah dan terhindar dari kata 'kurcaci' yang
setiap hari terlontar dari mulut para penebar kebencian.

"Aku bisa!" gumamnya sambil menenggelamkan kepalanya ke dalam air beberapa saat.
Begitu pula dengan seterusnya, hingga sampai berulang kali.

Berjuang itu sulit. Tapi tanpa perjuangan, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Itu yang
selalu ditanamkan oleh Pak Gen pada Princess agar menjadi sosok yang kuat. Tetap berdiri
tegar, walau diterpa berbagai cobaan.

Princess sadar, sang ayah sudah berjuang keras demi hidupnya. Menjadi sosok ayah sekaligus
ibu yang penyayang. Meski terkadang keras dalam mendidik, hal itu karena Pak Gen tidak
ingin memiliki anak mudah rapuh seperti mendiang ibunya.
"Hari ini selesai!" teriak Pak Gen dari tepi pantai sambil meletakkan tangannya di atas mata
guna terhindar dari sinar matahari sore.

Princess menoleh kemudian mengangguk sambil mengacungkan jempol. Setelah itu mereka
bergegas untuk pulang.

Hari telah berganti menjadi senin, di mana semua pelajar sudah bersiap untuk mengikuti
upacara. Namun tidak dengan Princess, ia masih melangkah dengan santainya di depan
sekolah.

Keningnya berkerut saat melihat pintu gerbang sudah tertutup rapat. Masih terlalu pagi
menurutnya untuk mengunci pintu gerbang.

"Libur sekolah kali, ya?" ucapnya sambil mengintip melalui sela-sela pagar besi.

Princess berdiri tegak, kemudian melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya hingga ada
yang datang dengan napas terengah.

"Mampus, telat!" ucapnya membuat Princess menoleh. Sosok tersebut tidak lain adalah
Pangeran dan Panji. Sosok menyebalkan sekaligus menggemaskan.

Princess menelan ludah. Meski ia senang bertemu dengan sang cowok impian, namun hatinya
merasa was-was karena setelah ini dirinya pasti menjadi bahan ejekan.

Princess buru-buru membalikkan kembali badannya membelakangi dua pelajar tersebut.


Namun Panji mengenali dan memanggil namanya.

Lagi, Princess menoleh. "Ya!" jawabnya seperti biasa, ramah. Ia mengambil ponsel untuk
melihat jam. Pukul 07.20, pantas saja gerbang sudah tutup, ternyata terlambat.

Belum sempat Princess membuka mulut untuk bertanya, Pangeran sudah lebih dulu
menertawakannya sambil memegangi perut.

"Eh, kurcaci," Pangeran menggeser tubuhnya agar menjauh dari Princess, "gue kira pantat
penggorengan!" ucapnya sambil tertawa.

Princess menautkan alis, tidak mengerti dengan maksud Pangeran.

"Sedih amat hidup lo, udah mini, gosong lagi! Haha!" ejek Pangeran saat melihat Princess
berubah menjadi hitam karena mandi air laut terlalu lama di waktu terik.

Princess terhenyak. Hatinya seperti tertohok benda tumpul. Namun ia hanya bisa diam, dan
berusaha untuk tenang. Meski sebelum itu, dirinya memang tidak pernah membalas siapa pun
yang mengejek.

"Apa lo senyum-senyum?" hardik Pangeran pada Princess.

"Biar item tapi manis," celetuk Princess masih dengan senyumnya. Ia tak peduli meski
Pangeran mengejek telak. Istilahnya, ia sengaja untuk 'tuli'.
Panji kemudian berdiri di antara Pangeran dan Princess sambil berkata, "Seru nih kalo
lanjutin yang waktu itu. Kan belum kelar!"

Princess dan Pangeran menautkan alis, kemudian berkata 'tidak' secara bersamaan.

"Princess kan belum jawab pernyataan cinta elu, Bos!" sambung Panji sambil mengedip
berulang kali pada Pangeran. "Ya, kan, Neng?"

Princess mengangguk, membuat Pangeran semakin ilfil terhadapnya.

"Itu hanya permainan!" ketus Pangeran penuh kebencian.

"Terserah apa kata lo, Pangeran. Gue akan tetap berusaha menjadi sosok yang 'pantas' dan ga
diejek lagi!" desis Princess pada dirinya sendiri.

Princess menoleh saat mendengar suara langkah mendekat. Ia menutup wajah menggunakan
tas dengan maksud agar tidak dikenali oleh sosok yang menghampiri.

"Kalian dihukum!" ucap seseorang beberapa saat kemudian membuat ketiganya menunduk
dalam-dalam.

*****

Dwarfisme dan Princess

∆∆∆

Seberat apa pun masalahmu, tetaplah tuk tersenyum. Karena senyum dapat mengobati
luka hatimu walau sesaat.

∆∆∆

Seseorang berwajah sangar membuka pintu gerbang perlahan. Berpakaian rapi, memakai
topi, dan membawa buku catatan. Namanya Pak Didit, satpam senior SMA 'Elit'.

Princess langsung menerobos masuk sebelum pintu terbuka sepenuhnya disusul oleh
Pangeran.

"Gue duluan!" Pangeran menarik rambut Princess hingga beberapa helai rambutnya tercabut.
Princess mengaduh, mengusap kepalanya sambil menunduk. Rasa hati ingin membalas
perbuatan Pangeran, namun ia ingat ... bahwa itu tiada gunanya.

"Thanks," ucap Princess sambil terseyum miring, membuat Pangeran semakin kesal
kepadanya.

Setelah menuliskan namanya di buku 'Pelanggaran', Princess berlalu dengan terburu-buru. Ia


tidak ingin 'netizen maha benar' mengomentari keadaan kulitnya yang menghitam.

"Woi, push-up lo!" teriak Pangeran, namun Princess tidak peduli. Apa kata mereka jika
dirinya menjalankan hukuman? Tentu kulitnya akan semakin gosong.

Princess hanya menoleh, kemudian menjulurkan lidah pada Pangeran tanpa merasa malu
sedikitpun.

"Salah masuk, Dek!" goda seorang pelajar pria saat Princess sampai di kelas. Semua tertawa
dan menatap dirinya geli.

"Anak kecil mah di lumahaja mimik cucu," sahut yang lainnya menirukan gaya anak belum
lancar berbicara.

Princess diam. Seakan tidak mendengar celoteh mereka yang membenci. Ia sengaja
menulikan telinganya agar tidak sakit hati.

"Hai," sapa Princess pada Maira sambil berbisik.

Maira tersenyum tipis, dan melambaikan tangannya pada Princess. "Langsung ke lapangan,
yuk. Hari ini sekolah kita lawan anak SMA 'Hokay'.

Princess menggeleng sambil menunjukkan kulitnya yang eksotis. Ia tertawa kecil, lalu
menarik tangan Maira menuju perpustakaan saat teringat sesuatu.

Maira memutar bola mata dan berpikir, sejak kapan sahabatnya peduli dengan celoteh orang
lain? Rasanya aneh.

"Mending ke kantin deh, sarapan," saran Maira ditolak mentah-mentah oleh Princess.

Maira mendengus, dan terpaksa menuruti permintaan sahabatnya.

"Ntargueketangkep sama satpam, haha!" ujarnya.

Maira menautkan dahi. "Lah, emang kenapa? Pak Didit mau minta tanda tangan kamu?"

Princess terbahak, kemudian menarik lengan baju Maira pelan. "Gue belum push-up, weh!"

Maira diam sejenak, mencoba meneliti perkataan sahabatnya. "Oh, siapa suruh kamu telat!"

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di perpustakaan. Princess langsung menuju rak buku
pengetahuan, sementara Maira diam mematung di depan pintu memandangi sahabatnya.
"Ini dia!" ujar Princess dengan mata berbinar. Ia melambaikan tangan pada Maira agar
mendekat.

"Kenapa?" tanya Maira masih tidak paham, ditambah dengan Princess yang tengah
memegang buku tebal tentang 'Dunia Medis'. "Tugas?"

Princess tidak menjawab. Matanya asik membuka serta membaca buku tersebut sambil
bersandar pada tembok sudut perpustakaan.

"Duduklah!" ajak Maira yang sedari tadi menatap Princess penuh tanya.

Princess menoleh sambil tersenyum tipis. Ia mendekatkan mulut pada telinga Maira sambil
berbisik, "Gue tau kenapa ga bisa tinggi!"

Maira menautkan alis, bersamaan dengan mendekatnya salah seorang yang berdiri di samping
mereka.

"Apa?" tanya Maira penasaran.

Princess tidak menjawab. Matanya tajam menatap sosok yang berdiri tepat di samping Maira.
Perasaan curiga menghampiri, namun ia mencoba untuk tidak berburuk sangka.

"Ini!" Princess menunjukkan tulisan pada Maira tentang 'Dwarfisme'.

Dwarfisme sering disebut dengan 'penyakit' manusia kerdil. Jenis dwarfisme yang paling
umum adalah displasiaskeletal dan sifatnya genetik atau menurun. Displasiaskeletal adalah
kondisi pertumbuhan tulang abnormal yang menyebabkan pertumbuhan tulang seseorang
tidak proporsional.

Maira menatap Princess lekat-lekat setelah membaca artikel pada buku 'Dunia Medis'.

"Jadi?" mata Maira menyipit, "darimana kamu tau?"

Princess memberitahu pada Maira, bahwa dirinya pernah membaca artikel tentang kelainan
fisik manusia. Salah satunya adalah yang dimaksud oleh buku 'Dunia Medis' tersebut.

Maira tercenung. Namun kemudian ia tersenyum dan mengusap pundak Parincess. "Jangan
berburuk sangka dulu," ujarnya.

"Entahlah. Ayah ga pernah mau bahas hal ini ke gue," jawab Princess sambil menunduk dan
membolak-balikkan halaman buku tersebut.

Maira menghela napas. "Tapi tulangmu ga sakit, kan?" Maira mendadak panik.

Princess menggeleng samar. "Sudahlah, cukup ini dulu," ia meletakkan kembali buku
tersebut kemudian mengajak Maira kembali ke kelas.

Maira hanya pasrah. Sesungguhnya, ia ingin tahu lebih banyak tentang apa yang akan
dilakukan oleh Princess selanjutnya, namun enggan berkomentar dan menanyakan sesuatu
hal berbau sensitif.
"Ngapain coba ke kelas, ini sekolah kita lagi ada acara loh!" Maira bermaksud mengajak
Princess berbaur dengan yang lain. Tidak hanya berkutat dengan buku. Bosan.

"Belajar. Setidaknya, ada yang bisa diliat dari diri gue, Ra!" Princess tertawa sumbang.

Maira tidak menyahut. Ia memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Terkadang ia
merasa iba terhadap Princess, namun semangat itu membuatnya salut dan bangga.

"Kalo emang benar gue kena 'dwarfisme', apa lo masih mau temenan sama gue?"

Pertanyaan Princess membuyarkan lamunan Maira. Namun ia dapat dengan mudah


mengembalikan ekspresinya seperti semula.

"Tentu aja. Kapan lagi aku punya temen antik kayak kamu," ucap Maira sambil tertawa.

Princess tertawa kecil. Ia menatap bola mata Maira mencari kejujuran. Ya, gadis itu terlihat
bersungguh-sungguh menerima dirinya. Namun Princess tidak ingin berharap lebih banyak.
Karena isi hati manusia siapa yang tahu?

Princess dan Maira melangkah santai sambil bergandeng tangan. Hingga tidak menyadari ada
seseorang menatap sinis ke arah mereka.

"Aduh, sorry. Makanya kalo jalan berdiri dong!" seseorang itu menginjak kaki Princess
dengan sengaja, kemudian pergi begitu saja.

Maira menggeleng. Ia mengayunkan tangan hendak memukul orang itu di udara, namun
ditahan oleh Princess.

*****

Prahara Princess

∆∆∆

Menghakimi orang yang belum tentu melakukan kesalahan adahal hal yang paling buruk.
Lihat hatinya, dan menjadilah sahabatnya. Niscaya kau akan mengetahui kebenarannya.

∆∆∆
Princess mengusap dada sambil mengucapkan kata terima kasih kepada siswi yang
menginjak kakinya. Senyum tipis tersungging seakan kakinya tidak merasa nyeri. Sementara
Maira bingung, ia membuka mulut hendak bicara namun urung karena Princess
membekapnya.

"Gue ga apa-apa!" ucap Princess penuh penekanan dan dijawab anggukan samar oleh Maira.

"Sebaiknya lo istirahat di rumah, sebelum berubah menjadi mengkerut!" sindir siswi tersebut
dan didengar oleh siswi lain yang ada di situ.

Princess dan Maira menautkan alis, tidak paham dengan apa yang mereka dengar.

"Maksudnya apa, sih?" tanya Princess sambil meletakkan telunjuk di dagu.

Maira menggeleng, namun ia teringat sosok yang menguping pembicaraan mereka di


perpustakaan. Ya, anak itu adalah sosok yang sedari tadi berdiri di samping Maira.

"Maunya apa, sih?"

"Biasalah, orang pemes mah banyak haters," jawab Princess mengucapkan


kata famous menjadi 'pemes'. Ia terikik, kemudian menarik lengan Maira masuk ke kelas.

Princess dan Maira hanyut dalam pemikirannya masing-masing, sambil sesekali membaca
buku pelajaran dan saling bertanya. Berbeda dengan pelajar lain yang hanya membicarakan
keburukan orang untuk mengisi waktu saat jam kosong.

"Gue baru denger itu 'dwarfisme'!" Princess menoleh saat mendengar seseoang menyebut
kata itu. Ternyata teman sekelasnya bersama siswi yang menginjak kakinya tadi. Ia
menautkan alis, kemudian mencolek Maira agar melihat ke arah jendela.

Maira mengikuti kode dari Princess untuk menoleh ke arah luar. Benar saja, sekumpulan dari
mereka tengah membicarakan hal yang tak seharusnya menjadi topik.

Perlahan namun pasti, perbincangan hangat itu akhirnya sampai pada dewan guru dan kepala
sekolah, hal ini membuat Princess seperti seorang selebriti dadakan.

Hampir seluruh murid membicarakannya. Bahkan ada yang berargumen bahwa penyakit
Princess itu memalukan dan tidak layak berada di sekolah itu.

Hingga salah seorang wali murid pun menolak adanya Princess di sekolah itu. Hal ini terjadi
karena mendapat pengaduan dari anaknya melalui ponsel.

"Tenang, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Ini tidak benar!" jawab kepala sekolah pada wali murid
tersebut saat mendatangi sekolah 'Elit' dengan membawa wali murid lainnya. Kepala sekolah
menegaskan bahwa tidak ada penyandang penyakit menular di sekolah. Dan, dewan guru
serta perangkat sekolah lainnya tidak merasa terganggu dengan adanya Princess.

"Princess anak baik, dan dia tidak mengganggu siapa pun!" ucapnya penuh penekanan.

Mendengar ribut-ribut di halaman sekolah usai pertandingan berlangsung, Princess serta


murid lain bergegas mendekat untuk melihat apa yang tengah terjadi. Alangkah terkejutnya ia
setelah mengetahui apa yang tengah terjadi. Sudut hatinya tersentil, rasa sakit menelusup
dalam.

"Saya mau Princess dipindahkan ke sekolah lain, atau anak-anak kami yang pergi!" ucap
orang tua murid dengan nada tinggi.

Princess menelan ludah. Sekolah adalah hak masing-masing penduduk, dan menuntut ilmu
adalah wajib, bukan? Mengapa harus ada perbedaan dan sekat yang memicu perpecahan?

Ia menghela napas. Perdebatan terus berlangsung hingga 1 jam berlalu namun tidak
menemukan solusi. "Biar saya yang mundur, Pak Sony. Saya tidak keberatan jika harus
dipindahkan," ucap Princess pelan. Meski hatinya kacau, namun ia berusaha sebisa mungkin
untuk tenang. Ini bukanlah akhir dari segalanya.

"Tidak bisa!" tolak kepala sekolah penuh penekanan. Namun setelah Princess menjelaskan
dan meyakinkan bahwa dirinya bersedia dipindahkan, barulah dewan guru dan kepala sekolah
mengalah.

Princess mengangguk samar, sementara Maira diam-diam mengusap matanya yang mulai
basah.

"Baguslah! Saya tidak mau anak-anak kami tertular penyakit aneh yang diderita oleh
Princess!" celetuk salah seorang wali murid membuat dewan guru dan kepala sekolah
menggeleng termasuk Maira.

Princess terhenyak. Suaranya tersekat di tenggorokan. Ia hanya diam, berharap semua ini
akan berlalu.

"Princess tidak seperti yang bapak dan ibu pikirkan! Yang kalian dengar itu tidak benar!"
bela Maira dengan suara bergetar.

"Benar. Jangan menuduh sebelum ada bukti!" sahut Laila yang muncul dari balik kerumunan.
"Sudah sepatutnya lah yang tua memberi contoh baik kepada kami, bukan sebaliknya!"
ucapnya sambil menahan geram.

Laila mengambil ponsel dan mengambil gambar mereka satu-persatu diam-diam. "Buat bukti.
Kelak akan menjadi apa orang-orang dalam galeri ponselku ini!" ucapnya sambil terseyum
miring.

Beberapa saat kemudian, Princess kembali ke kelasnya dan berniat ke ruang guru untuk
berpamitan setelahnya. Ya, ia mengalah untuk menang. Senyum manis terukir. Tanpa beban
di sana.

"Maaf, aku ga bisa bela kamu!" ucap Maira dengan berlinang air mata. Laila mengangguk
membenarkan ucapan Maira.

"Jangan nangis. Gue belum mati!" jawab Princess sambil merentangkan kedua tangan.

"Tapi?"
"Sudahlah! Jangan dibahas. Masih ada hal lain yang lebih penting," Princess berucap seakan
tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

Maira dan Laila bungkam. Berkutat pada pikirannya masing-masing. Sementara Princess
hanya tersenyum menatap dua orang itu sambil menggaruk kepalanya.

"Lo ga boleh ngalah begitu aja, Ces! Bener, gue bukan sahabat lo, tapi-?"

Princess memotong ucapan Laila yang belum usai dengan memasukkan serpihan biskuit dari
sakunya. Karena menurutnya, yang sudah berlalu biarlah berlalu.

"Tunggu api itu padam terlebih dahulu," jawab Princess tenang.

Hari ini hari bersejarah bagi sosok Princess. Tak akan terlupakan. Seharusnya, ia dapat
membela diri, dan menentang keras gosip yang beredar. Namun dirinya memilih diam.

"Mati aja sekalian!" ucap sang pembenci sambil mengacungkan jempol terbalik kepada
Princess. Dia adalah Pangeran dengan senyum jahatnya.

*****

Berdamai

∆∆∆

Wahai sesuatu yang membuat luka, mendekatlah ... berdamai denganku dan dekaplah aku
dalam pelukanmu!
∆∆∆

"Terima kasih," lirih Princess. Ia melangkah gontai meninggalkan Maira dan Laila, serta
Pangeran yang kebetulan menghalangi pintu gerbang. Senyum menang terukir tatkala gadis
itu melambai pada kedua sahabatnya.

Wajah tenang, menatap pria yang diam-diam memaut hatinya. Tanpa dendam.

"Gue akan kembali dan mematahkan hati lo!" Princess tersenyum miring membuat Pangeran
menelan ludah.

Pangeran mengernyit. Banyak hal yang belum ia tahu mengenai Princess, tapi benci itu ada
sedari dulu. Kebencian yang tertabur begitu saja. Namun rasa heran menelusup, mengapa
Princess tak sedikitpun membalas perbuatannya? Entah terbuat dari apa hati gadis itu. Meski
berulang kali tersakiti, tetap saja senyum itu tulus.

"Ga! Gue ga salah!" gumam Pangeran saat Princess berlalu. Ia bernapas lega kemudian.

Hari-hari berlalu. Hanya berdiam diri di tepi kolam renang saat tidak ada kegiatan. Begitu
pun seterusnya. Princess tetap pada prinsip, berjuang untuk menjadi lebih baik dengan cara
giat belajar dan melakukan hal positif agar tidak diremehkan orang lain. Ia tak pantang
menyerah. Itulah sebab sang ayah bangga padanya.

Kini Princess mahir dalam berenang, namun tubuhnya tak jua meninggi. Mungkin ini takdir.
Princess hanya tersenyum geli karenanya. Selain itu, ia juga lincah dalam hal bela diri yang
diam-diam digeluti bersama sang ayah saat waktu senggang.

"Sudah saatnya," ucap sang ayah pada Princess sambil mengulurkan sebuah tiket pesawat.

Princess menggeleng malas, lalu menunduk dan memeluk kakinya yang terlipat.

"Bawa serta Aryo saat kamu pergi nanti."

Princess mencebik. Matanya tertuju pada seekor kucing yang tengah asik memainkan bola
kecil yang mengeluarkan bunyi jika ditekan.

"Hooo, bigno, Ayah! Aku tak suka dia!" ucap Princess dengan tatapan memelas.

Pak Gen hanya menggeleng. Sikap tegasnya terkadang runtuh diterpa rengekan kecil sang
putri. Sosok satu-satunya peninggalan istri tercinta.

"Dia nakal sepertimu!" gumam Pak Gen pada bayangan sang istri yang melintas dalam
benaknya.

Pak Gen menghela napas berat. Ia terpaksa menyembunyikan sang putri dari hiruk-pikuk
kehidupan. Dari kejamnya para penebar kebencian. Fisik yang tidak normal, tak sepantasnya
berada pada lingkungan yang orang-orangnya jua tidak memiliki kesadaran. Sampai saat itu
tiba. Saat di mana Princess tumbuh menjadi berlian.
*****

Princess menghampiri kolong jembatan dengan memakai topi dan kacamata hitam agar tak
ada yang mengenali. Seperti yang sering ia lakukan sepulang sekolah, dulu. Matanya berbinar
saat sekelompok anak kecil menghambur memeluknya.

"Kak Incess datang!" teriak Bunga pada teman-temannya. "Kak Incess semakin kurus,"
celotehnya sambil mengelilingi tubuh Princess.

Princess tersenyum. "Kak Incess kurang gizi!" jawabnya sambil tertawa. "Kok tau kalo aku
Princess?"

Princess menyentuh dagu mereka satu-persatu, memastikan bahwa mereka baik-baik saja.

"Itu gelang buatan kami," jawab seorang anak lelaki sambil menunjuk pergelangan tangan
Princess.

Seperti biasa, mereka duduk bersama di sudut kolong jembatan dengan beralaskan koran.
Berbagi cerita, belajar, juga bercanda.

"Aku sudah bisa membaca!" Bunga memamerkan keahliannya pada Princess. Begitu juga
dengan yang lain. Wajah senang tergurat pada setiap dari mereka.

Princess diam sejenak. "Oh, ya? Siapa yang mengajarimu?" tanya Princess heran. Karena
yang ia tahu, tidak seorang pun bersedia berkunjung walau sekedar membuang sampah di
tempat itu.

"Si tuan dan kakak baik hati. Beliau memberi kami banyak mainan dan makanan. Katanya,
kami akan pindah ke rumah bagus," jelas Bunga yang diiyakan oleh anggukan teman-
temannya.

Princess menautkan alis. Dan berpikir untuk mencari tahu siapa gerangan orang baik itu.
Namun tak sedikitpun tersirat di benaknya siapa sosok tersebut.

"Hmm, baiklah. Katakan terima kasihku padanya, oke?"

Meski merasa iri karena tak dapat berbuat banyak kepada anak-anak itu, tapi Princess
bersyukur ada yang peduli pada mereka. Berbagi kebahagiaan, juga kesejahteraan. Hidup tak
selalunya indah. Akan ada perbedaan satu dengan yang lain, termasuk perbedaan sosial.

Bunga dan teman-temannya mengangguk sambil membongkar kantong plastik yang Princess
bawa. Di sana terdapat beberapa buku bacaan anak, alat tulis, makanan ringan, dan lain
sebagainya.

"Kalian baik-bai, ya, di sini, karena kakak akan pergi," ucap Princess dengan suara lirih.

Mereka tercengang, merasa tidak percaya dengan ucapan Princess.

"Apa kakak menyerah?" tanya sosok yang terkenal pendiam di antara mereka. Namanya
Langit. Jarang bergabung jika Princess berkunjung.
Princess menggeleng sambil tersenyum. "Menyerah hanya untuk orang yang rapuh!" jawab
Princess lirih.

Langit terlihat seperti sedang berpikir. Ia menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa harus pergi?"
tanyanya.

Princess mendekat dan berucap, "Agar aku dapat sepertimu. Ya, seperti langit itu!" ia
menunjuk ke arah langit yang berawan.

Anak-anak itu tersenyum dan memohon agar Princess tidak lupa pada mereka, dan dijawab
dengan anggukan kecil olehnya. Menjauh bukan berarti kalah. Menjauh hanya untuk
menyelamatkan hati dari tajamnya duri-duri yang mungkin saja bisa menusuk.

Princess berdiri menghadap air keruh tepi kolong jembatan. Air itu seperti dirinya. Tak
terlihat keindahannya di mata yang melihat. Ia menarik napas berat.

"Gue pergi bukan karena menyerah pada keadaan. Tapi buat berdamai dengannya!" ucap
Princess pada seseorang sambil tersenyum miring.

*****

Kisah Belum Usai


∆∆∆

Mengalah bukan berarti kalah. Karena melawan orang tak berakal lebih sulit daripada
melawan orang bersenjata perang.

∆∆∆

Sosok itu terlihat tersenyum walau samar. Princess tak dapat melihatnya dengan jelas, karena
ia adalah bayangan dirinya sendiri.

Ia melambaikan tangan pada sahabat-sahabat kecilnya. Meski berat, tapi ini harus terjadi.
Berpisah dengan mereka lebih menyedihkan dibanding dari sekolah. Anak-anak itu tidak
melukai hatinya, meski pendidikan yang dikecam jauh berbeda dengan anak 'Elit'.

Terkadang Princess tak habis berpikir, mengapa ada orang-orang yang hobi memandang
rendah orang lain. Sesempurna itukah kehidupan mereka? Ia tertawa kecut.

"Sekolahku harus bersih dari orang-orang seperti mereka. Lihat saja, akan kubuktikan!"
Princess bergumam sambil melangkah pulang.

*****

Ada yang berbeda. Sang ayah menatap lekat saat Princess mematut diri di depan kaca.
Rambut ikal tergerai, gaun simple berwarna merah muda.

"Kamu bersolek?" Pak Gen tertawa. Ia tak biasa melihat putrinya bergaya seperti itu.
Tepatnya, belum terbiasa.

Princess menoleh kemudian melambaikan tangannya. "Ini bagian dari rencana perjuanganku,
Ayah. Aku lelah direndahkan!" ia menitikkan air mata.

Pak Gen memegang kedua pundak Princess, menyalurkan kekuatan pada putrinya yang mulai
merapuh.

"Mereka bukan Tuhan yang harus kamu takuti, paham? Ikhlas dan syukur."

Princess mengangguk mendengar ucapan sang ayah. Tangannya bergerak mengusap mata.
"Aku sayang ayah," ucapnya sambil memeluk sosok tampan di hadapannya.

"Kisah belum usai, Nak! Nikmatilah hidup ini dengan sebaik-baiknya. Jika kita tidak dapat
membahagian diri sendiri, siapa lagi yang dapat diharapkan?" Pak Gen mengusap rambut
putrinya penuh kasih. Permata hatinya.

Princess memeluk pinggang sang ayah semakin erat. Seakan enggan untuk terlepas. Pelukan
yang dapat melegakan sesak sudut hatinya.

"Berkemaslah," titah sang ayah, "besok hari baru akan dimulai!" Pak Gen mencubit pipi
Princess sebelum berlalu. Ia menggendong Aryo dan menjauhkan dari putrinya.
"Titipinaja Aryo ke klinik hewan, Yah!" teriak Princess yang diam-diam mengamati gerik
ayahnya.

Pak Gen tertawa kecil, dan mengacungkan jempol tanda setuju.

Kini Princess diterbangkan sang ayah ke tempat asing, di mana dirinya belum pernah
berkunjung sama sekali. Bahkan belum tidak berpikir ingin tinggal. Alaska. Ya, Princess ada
di Alaska. Salah satu negara bagian Amerika Serikat. Menurut luas wilayah, Alaska adalah
negara bagian AS yang terbesar, dan terkaya sumber alamnya. Alaska tidak tersambung
dengan wilayah AS Daratan sehingga ia merupakan sebuah eksklave. Alaska dibeli Amerika
Serikat dari Rusia seharga 7,2 juta dollar Amerika. (Cr : goggle)

Alasan sang ayah melempar dirinya ke Negara tersebut bukan karena mengejar status sosial,
melainkan agar ia dapat belajar dari suku Eskimo. Suku asli Alaska. Di mana penduduknya
mayoritas berkulit hitam.

Princess menghela napas. Ia berpijak di salah satu kota Alaska.


Juneau, kota yang terletak sekitar 965 kilometer dari Anchorage dan 1.448 km dari Seattle
menjadi ibu kota sejak 1900. Walaupun Juneau merupakan ibu kota Negara Bagian Alaska,
Anchorage merupakan kota terbesar dan merupakan pintu gerbang utama masuk ke Alaska.

Di tempat inilah Princess akan menyelesaikan pendidikan SMA, serta menenangkan diri dari
berbagai celoteh pedas dari teman-temannya. Ia berharap, saat kembali mampu memberikan
yang terbaik bagi sekolah 'Elit'.

"Halo," sapa Princess pada seseorang yang membantu mengangkat barang-barangnya ke


dalam apartemen.

Wanita setengah baya itu tersenyum. Ia mengulurkan tangan ramah sambil menyebutkan
namanya. "Sean Maureen."

Princess mendekat, dan menyambut uluran tangan Mrs. Sean. "Senang bertemu dengan
Anda," jawab Princess menggunakan Bahasa Inggris.

"Mr. Gen menitipkanmu padaku," ucap Mrs. Sean, "ternyata kamu sudah besar," kali ini Mrs.
Sean berbicara menggunakan Bahasa Indian, membuat Princess menautkan alis.

Cengiran kuda menghias wajah Princess. Menyadari hal tersebut, Mrs. Sean mengulangi
perkataannya menggunakan bahasa yang dimengerti oleh gadis asal Indonesia itu.

"Oh, hehe!" Princess tertawa garing. Raut bingung sekaligus asing masih tersirat di
wajahnya. Ditambah lagi Mrs. Sean sering berbicara menggunakan bahasa Indian.

"Mungkin dia akan lebih cocok denganmu," ujar Mrs. Sean. Ia memanggil seorang gadis
yang tak lain adalah anaknya. "Dia Sharoon."

"Wow!" pekik Sharoon menghambur memeluk Princess. Ia tahu segala hal tentang gadis itu,
tapi tidak dengan Princess.

"Gen'sdaughter. Socute," puji Sharoon.


Princess melongo. Baru kali ini ia mendapatkan ucapan baik seperti itu. Entah tulus memuji,
atau menghina secara halus.

"Ayolah, Princess. Jangan terlihat dongok di depan mereka!" gumam Princess sambil
mengusap wajah.

Sharoon mengajak Princess pergi ke sebuah kafe samping apartemen. Mereka berbincang dan
bertukar cerita. Dalam waktu singkat, keduanya terlihat sangat akrab.

"Bagaimana kamu mengenal ayahku?" tanya Princess.

Sharoon tertawa kecil. Kemudian menceritakan jika Pak Gen adalah teman ayahnya, dan
sering datang mengunjungi mereka setelah urusan bisnisnya selesai.

"Mrs. Gen berjanji akan membawamu kemari. Dan ... kelak aku akan ikut denganmu!"

Princess mengangguk-angguk mendengar cerita Sharoon. Namun ia merasa heran, mengapa


sang ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepadanya? "Apa guega layak menjadi teman
curhat ayah?" pikiran Princess kembali pada sang ayah.

"Aku akan tinggal bersamamu," ucap Sharoon, "ajari aku bahasamu, oke?"

Princess mengangguk, seiring dengan hadirnya suara decitan dari depan kafe yang sangat
memekakkan telingan.

Princess terkejut. Ia menoleh kemudian menatap Sharoon dengan wajah memerah.


Jantungnya berdegub kencang.

"Ada apa?" tanya Princess yang hanya dijawab senyum tipis oleh Sharoon.

*****

Kebencian yang Melangit


∆∆∆

Jangan membenci orang secara berlebihan, itu menyesakkan. Cobalah memaafkan dan
berdamai dengan keadaan.

∆∆∆

Suasana menjadi mencekam bagi Princess, karena sebelumnya ia tidak pernah mendengar
suara decitan keras seperti itu. Kekhawatirannya disambut tawa oleh Sharoon hingga
terpingkal-pingkal.

"Itu hanya anak-anak main," jawab Sharoon sambil menepuk pundak Princess. "Ikut aku!"
ajaknya.

Sharoon membawa Princess kembali ke apartemen untuk menyiapkan segala hal untuk hari
pertamanya masuk sekolah. Dari seragam, buku, tas, dan kelengkapan lainnya.

Banyak pertanyaan dalam hati Princess, mengenai dirinya, Sharoon, juga sekolah barunya.
Bagaimana mungkin ia dapat masuk sekolah dengan begitu mudah.

Namun kemudian Sharoon memberi jawaban atas beberapa hal mengganjal di hatinya.
Termasuk tentang sekolah barunya. Sekolah tersebut adalah milik ayah Sharoon, yang
didirikan atas bantuan Pak Gen. Oleh sebab itulah Princess dapat dengan mudah masuk ke
sana. 'PremierreHighSchoolOfAlaska', itu nama sekolah baru Princess.

Untuk ke sekian kalinya, Princess mengangguk dan memahami semua yang menjadi
pertanyaannya.

Keesokan harinya, sebelum masuk sekolah, Sharoon membawa Princess mengelilingi kota
Juneau dengan menggunakan taksi. Hal itu dimaksudkan agar gadis itu mengetahui dan
mengenal kota Juneau lebih dekat.

Sharoon mengenalkan tempat-tempat penting, seperti Museum, sekolah-sekolah lain, gedung


kebudayaan, dan banyak lagi. Hingga pada sebuah tempat yang tak lain adalah tempat
perbelanjaan favorit Sharoon.

"Gedung berwarna merah itu tempat les musikku," Sharoon menunjuk sebuah gedung tinggi
tepat berada di depan sekolah 'Premierre'.

Princess melongo. Takjub dengan pemandangan di hadapannya. "Setinggi itukah gedung


seninya?"

Sharoon tertawa kemudian menggeleng. "Hanya bagian sudut gedung itu!" jawabnya
membuat Princess tidak mengerti.
"Tempat lesku ada dalam gedung itu," sahutnya sambil melangkah menuju taksi berikutnya.

Princess mendengus, dan mengayunkan kepalan di udara untuk Sharoon. Sementara gadis
berkulit hitam itu terkikik, menertawakan kepolosan Princess.

"Diam di situ!" titah Sharoon sambil menjepretkan kamera ponselnya pada Princess. "Nice
picture, wow!" lanjutnya. Ia mengunggah foto tersebut ke akun instagramnya dan tak lupa
menandai akun milik Princess.

"Oh, jangan. Aku tidak ingin orang lain tau keberadaanku!" protes Princess berusaha merebut
ponsel milik Sharoon.

Sharoon tidak menggubris. Ia tetap saja mengunggah foto tersebut dengan caption 'My
newfriendfrom Indonesia. Nice people. I knowshe'sbetterthanyou!'

Princess tak mampu berbuat apa-apa, karena Sharoon lebih tinggi darinya.

Diam-diam, Sharoon mengikuti dan mengirim pertemanan ke akun teman sekolah Princess
satu-persatu. Dengan tujuan agar mereka tahu jika Princess tak seburuk yang mereka kira
melalui foto yang akan ia unggah kemudian hari. Tentunya tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Kita pulang!" ajak Princess pada Sharoon yang sibuk dengan ponselnya, dan hanya dijawab
anggukan kecil.

Mereka meluncur menggunakan taksi yang sudah dipesan oleh Sharoon.

Hari-hari berlalu begitu cepat. Sudah hampir beberapa bulan Princess tinggal di Juneau,
bersama Sharoon. Sudah banyak yang Princess pelajari di tempat itu. Termasuk bermain
musik serta memperdalam pengetahuan lainnya, seperti menyanyi dan belajar menjadi
seorang motivator.

Dilain waktu, Sharoon mengunggah video yang menampilkan sosok Princess tengah bermain
piano dengan lincahnya. Panampilannya cantik, menggunakan gaun berwarna hitam elegan
dan disaksikan oleh banyak mata. Ya, saat itu sedang ada pentas musik di kota Juneau.
Kontes tahunan kota tersebut. Tentunya hal ini ia lakukan tanpa sepengetahuan sahabatnya.

"Sharoon, lidahku tidak cocok dengan makanan khas Negaramu," bisik Princess sambil
meringis saat ia harus memakan salmon dengan olahan yang berbeda setiap harinya.

Sharoonterbahak. Ia melempar Princess menggunakan sendok yang ada dalam


genggamannya.

"Sudah berapa lama kamu ada di Alaska? Baru sadar?" Sharoon berbicara menggunakan
bahasa Indian.

Kini Princess tidak masalah dengan bahasa sehari-hari mereka, karena Sharoon sudah
mengajarinya. Hanya satu yang tidak ingin ia tiru dari gadis Alaska itu, yaitu kebiasaan buruk
mengkonsumsi minuman keras dan bergaya hidup bebas.
Princess mendengus. Membalas perbuatan Sharoon dengan menarik rambut keritingnya.
"Aku biasa makan nasi di Indonesia. Lidahku tidak bisa berpaling dari makanan khas
Negaraku," jawab Princess dengan nada pilu. Ia rindu pulang ke Indonesia.

"Heh, pulang saja sana!" celetuk Sharoon sambil tertawa, "dan habiskan waktumu untuk
makan!"

Princess menghela napas berat. Bagaimanapun ia tak mau tinggal di Alaska lebih lama lagi.
Meski jauh dari celaan orang, namun hidup di pangkuan bumi Indonesia lebih nyaman.
Maksudnya, ia jauh dari paha-paha mulus bertaburan dan hidup bebas seperti Sharoon di
mana club malam adalah tempat paling menyenangkan.

Di tempat lain jauh dari Alaska, tepatnya di Indonesia, murid-murid SMA 'Elit' hangat
memperbincangkan keadaan Princess sekarang. Mereka menatap kagum. Tak lagi menistakan
kekurangannya sebagai kurcaci.

"Wah, Princess hebat."

"Wow! Keren!"

"Andai gue sehebat Princess!"

Begitulah celoteh murid-murid SMA 'Elit' yang semula memandang sebelah mata saat
melihat unggahan dari Sahroon.

Berbeda dengan Pangeran, ia semakin membenci gadis itu saat Panji membicarakan Princess.
Entah apa sebabnya, rasa benci semakin memuncak tatkala mengetahui Princess mampu
berdiri dengan tegak.

"Jangan menabur kebencian yang lu sendiri gatau apa penyebabnya!" ucap Panji menasehati.

Pangeran hanya diam. Tak ingin bercerita tentang apa yang telah ia alami di waktu lalu. Ia
menunduk, mengenang masa saat itu.

"Serah lu dah, aye cuma ngingetin doang!" Panji meninggalkan Pangeran yang sepertinya
tidak ingin diganggu. Ia memilih duduk di kantin, menggoda mbak kantin yang cantik.

Pangeran menatap punggung sahabatnya. Miris. "Apa lo lupa kejadian waktu kita kecil?"
desisnya. Ia tetap pada pendiriannya, pada kata 'benci' yang sudah tersemat dalam hati.

Tangannya mengepal, seakan memendam dendam teramat dalam.

*****
Kembali

∆∆∆

Kepada hati yang membenci, ingatlah satu hal. Tiada kebencian yang berujung pada
kebahagiaan!

∆∆∆

Setelah setahun lebih lamanya bertahan di Alaska, kini Princess kembali ke tanah
kelahirannya bersama Sharoon. Banyak kerinduan. Meski pulang dengan bentuk tubuh yang
masih sama, namun langkah itu tak pernah goyah. Sesuai janji sang ayah, di usia ke 17 tahun,
sesuatu yang belum ia ketahui akan dibongkar.

Sharoon tersenyum tipis ketika Princess langsung mengajaknya ke kolong jembatan setelah
sampai, untuk menemui teman-teman kecilnya. Namun sayang, mereka tidak ada. Kesedihan
tersirat mengetahui hal itu.

"Rumahmu di sini?" tanya Sharoon dengan raut terheran-heran sambil menunjuk rumah-
rumah kecil di ujung jembatan.

Princess tidak menjawab. Ia melangkah pergi diikuti oleh Sharoon penuh tanya.

"Hmm, what'swrong?" tanya Sharoon sambil menepuk pundak Princess.

"Don'ttouchme, Sharoon!"

"Wow!" Sharoonterbahak, kemudian menutup mulutnya menggunakan tangan saat Princess


menatapnya tajam. "I amsohungry!" keluhnya.

Princess menepuk pipi Sharoon perlahan, dan meminta supir yang menjemputnya segera
membawa mereka pulang.

"Mr. Gen, i amcoming. Miss yousomuch!" teriakan Sharoon sempat membuat Princess
mengernyit sesaat. Namun kemudian ia tersenyum. Berbagi ayah. Ya, karena Sharoon tidak
memiliki ayah sejak masih kecil.

"Gen not your dad!" Princess merengut sambil menarik rambut Sharoon.
"Itu dulu," jawab Sharoon menggunakan Bahasa Indonesia dengan terbata.

Mata Sharoon tak henti menatap luar kaca mobil. Ia berdecak kagum, membuat Princess
merasa heran. Entah apa yang dapat dilihat? Kepadatan kota Jakarta? Kemacetan? Atau apa?

Princess tersenyum miring. "Turun, Sharoon!" ia menarik kaki Sharoon yang tak mau
bergerak dari tempatnya.

Sharoon mendelik, kemudian tertawa karena Princess tak dapat melewati tubuhnya yang
panjang.

"Oh, My God, Sharoon!" Princess memekik membuat sang ayah keluar dari rumah.

"Hei. Anak-anak ayah kembali," Pak Gen merentangkan kedua tangan menyambut
kedatangan Princess dan Sharoon. Ia memeluk erat keduanya. Rasa rindu yang begitu dalam,
kini terobati sudah. "Kamu masih saja kecil, haha!" ledeknya sambil mencubit dagu Princess.

"Daddy. Aku lapar!" rengek Sharoon manja pada Pak Gen.

Princess melotot, mengenyahkan tangan Sharoon dari pinggang ayahnya. "Ini ayahku!"

Entah mengapa, Princess merasa risih pada kelakuan Sharoon yang manja terhadap sang
ayah. Ia tidak rela membagi ayahnya pada gadis itu walau sesaat.

"Aku ayah kalian," sahut Pak Gen sambil menggandeng keduanya.

Princess menautkan alis, seiring pecahnya gelak tawa seorang Sharoon.

"Apa kamu kira kita tidak mirip, hm? Ini ayahku juga!" ucapan Sharoon menohok relung hati
Princess.

Princess menelan ludah. Sudah selayaknya ia tidak iri terhadap Sharoon, mengingat ibu
Sharoon sangat menyayanginya dibanding pada anak kandungnya. Semua yang dibutuhkan
telah siap tanpa diminta.

Princess menghela napas, lalu tersenyum kecil untuk menutupi kegelisahannya.

Saat makan malam pun tiba, Pak Gen, Princess, serta Sharoon sudah berkumpul di meja
makan. Mereka melepas rindu dengan saling bertukar cerita.

"Banyak yang ingin ayah beritahukan padamu," ucap Pak Gen membuka pembicaraan.

Princess mengerutkan dahi. Degub jantungnya berdetak lebih cepat. Ia was-was jika sang
ayah membuka rahasia jika Sharoon adalah saudara kandungnya. Ouh.

Senyum tipis Princess tersungging agar sang ayah tidak curiga dan mengetahui apa yang ia
pikirkan.

"Kamu harus tau, jika Sharoon adalah—!" Pak Gen menghentikan ucapannya karena dering
ponsel mengganggu.
Princess diam, menunggu sang ayah dengan tenang. Tepatnya, mencoba tenang.

Namun beberapa saat kemudian, sang ayah berpamitan untuk pergi sebentar ke yayasan
barunya, yaitu 'Rumah Kasih' yang baru dibangun setelah Princess ke Alaska.

"Yourfacelike a monster!" goda Sharoon saat menyadari wajah Princess memerah seperti
udang rebus.

Princess berkaca menggunakan sendok dan mengamati wajahnya. "Hmm, i amcutegirl!"


jawabnya sambil tertawa.

Princess mengajak Sharoon ke kamarnya setelah makan malam. Ia menunjukkan album foto
pada Sharoon tentang ibu, teman sekolah, juga mereka yang kerap menghinanya.

"Wow, cutegirls!" ucap Sharoon menunjuk gambar Maira dan Laila.

Foto itu diambil saat mereka berada di perpustakaan setelah dirinya diejek oleh Pengeran. Ia
mencetak semua foto pada galerinya sebelum berangkat ke Alaska.

Princess meraih album tersebut dan menceritakan perihal Maira dan Laila yang baik
terhadapnya, meski yang lain tidak. Kerinduan menelusup, tatkala memandang dan membuka
album itu.

"Kapan akan menemui mereka?" tanya Sharoon. Ia ingin memiliki teman seperti Princess
lebih banyak lagi. "Hmm, gimana sama pacarmu?"

Princess terkejut. Bagaimana mungkin Sharoon sampai pada pertanyaan itu. Padahal
sebelumnya gadis itu tidak pernah menyinggung perihal pacar.

Mata Princess tertuju pada tangan Sharoon yang memegang selembar foto, dan itu adalah
Pangeran. Desahan napas berat meluncur dari mulutnya.

"Nothing!" jawab Princess sekenanya. Ia berharap tidak ada lagi pertanyaan mengenai
Pangeran.

"Lumayan!" ucap Sharoon sambil tertawa, membuat Princess melotot dan memukulnya.

Princess menutup wajahnya menggunakan bantal, kemudian larut dalam mimpi tanpa batas
hingga pagi menjelang. Berbeda dengan Sharoon yang tak dapat tertidur karena menunggu
datang waktu pagi.

Sekitar pukul 05.15, terdengar seseoang sudah beraktifitas, ia adalah Sharoon. Gadis itu ingin
bergegas menikmati udara Jakarta dan hiruk-pikuknya.

Kaos oblong dengan pusat terbuka, celana jeans belel, serta kacamata hitam. Rambut
cokelatnya digerai menutupi pundak.

"Banguuuuuuun!" teriaknya tepat di telinga Princess.

Princess terkejut dan membuka mata perlahan. Dan mendapati Sharoon sudah siap untuk
pergi.
Princess terkikik sebelum ia bangkit dan menuju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Princess telah siap dengan mengenakan gaun ungunya. Terlihat
sangat cantik dan elegan. Ia mengajak Sharoon berkunjung ke sekolah lamanya.

"You looklikemylittlesister," ucap Sharoon pada seseorang yang wajahnya sedikit mirip
dengan Princess menurutnya.

*****
Move On (?)

∆∆∆

Bahkan bayangan sendiri pun akan pergi meninggalkan kita, apalagi orang lain. Jadi,
jangan terlalu tergantung pada yang bukan seharusnya jika tidak ingin terluka.

∆∆∆

Suasana haru hinggap dalam hati mereka yang lama tidak bersua. Princess, Maira, juga Laila.
Ketiganya berpelukan, erat. Seakan tidak ingin saling melepas. Sementara Sharoon hanya
berdiam diri memandangi sekolah 'Elit' dari kejauhan. Ya, mereka bertemu di halte bus yang
letaknya tidak jauh dari tempat itu.

Laila melepas pelukannya dan menatap Princess sedih. Ada apa gerangan? Seharusnya ia
senang Maira dan Princess bertemu kembali.

"Kenalkan, ini Sharoon," ucap Princess pada Maira dan Laila.

Sharoon menjabat tangan mereka ramah, seperti yang dilakukan Princess saat bertemu
dirinya dulu.

Ada yang berbeda di mata Maira. Tidak hangat seperti dulu sebelum Princess pergi
meninggalkannya. Ia tidak berlama-lama untuk melepas rindu, pergi setelah beberapa menit
bertemu.

"Biarinaja," ucap Laila pada Princess. Ia menggenggam tangan Princess erat, kemudian
mengajaknya pergi ke kafe dekat sekolahnya.

Wajahnya tertunduk dalam, tidak tahu harus mulai dari mana.

"Ada apa?" tanya Sharoon pada Princess. Wajahnya di arahkan pada Laila yang terlihat sedih.

Laila menggeleng. Namun ia harus memberitahukan yang sesunggguhnya terjadi pada Maira.

"Lo masih suka Pangeran?" akhirnya Laila membuka mulut setelah 10 menit berdiam diri.
Princess menatap Laila bingung. Ia tidak mengerti mengapa Sahabatnya bertanya seperti itu?

"Kenapa?"

"Gue taulo orang baik," ucap Laila membuat Princess semakin penasaran. Ia menatap ke arah
luar jendela, berusaha menyusun kekuatan untuk menyampaikan berita yang mungkin dapat
meluruhkan hati sahabatnya.

Helaan napas berat meluncur begitu saja, tanpa bisa Laila tahan. Tenggorokannya mulai
mengering.

"Ayolah, jangan buat gue menunggu!" Princess mengguncang lengan Laila namun gadis itu
belum merespons.

Sharoon mengamati wajah Laila, kemudian mengingat sosok yang baru saja pergi
meninggalkan mereka.

Dalam hatinya, ia merasa curiga. Namun ia tepis dan memasang senyum tipis saat Laila
menoleh.

"Hmm—!" suara Laila seakan tersekat di tenggorokan.

Beberapa menit berlalu, hanya menunggu Laila bercerita. Sharoon mulai jenuh dan jengah. Ia
berjalan keluar kafe, kemudian masuk dan duduk kembali. Hal itu ia lakukan hingga 2x untuk
mengusir rasa bosan.

"Lo masih suka Pangeran?" Laila mengulang pertanyaannya, dan dijawab anggukan samar
oleh Princess.

Laila terhenyak. Ia tahu apa yang akan terjadi jika sampai Princess mendengar apa yang akan
disampaikan.

"Dia kini kekasih Maira," lirih Laila, namun suara itu bak petir bagi Princess.

Pundak Princess melemas bersamaan luruhnya air mata. Meski ia belum sepenuhnya percaya
terhadap kata-kata Laila, tapi hal itu cukup melukai hatinya. Seorang Maira?

Tidak ada yang bisa disalahkan. Baik Maira juga Pangeran. Karena itu hanyalah
keinginannya semata. Ia sadar, harusnya tidak menceritakan kepada sahabatnya jika ia
menyukai Pangeran.

Rasa sesal tak mampu ditolak. Kini Princess hanya bisa mengubur keinginannya untuk
mendapatkan Pangeran. Dan ... tentang pembuktiannya selama ini, dipersembahkan kepada
mereka yang mencela.

"Lo cantik. Jangan bersedih hanya karena sebuah penghianatan!" ucap Laila mencoba
menguatkan.

Princess tersenyum kecut. Menyesali perasaan yang tumbuh dan mengembang menjadi cinta.
Tidak seharusnya ia bermimpi setinggi langit, jika akhirnya jatuh juga.
"Lo tau dari mana?" tanya Princess setelah menenggak minuman dingin yang dipesan oleh
Sharoon, hingga habis.

"Semua yang sekolah di sana tau!" jawab Laila. Ia tak mau kalah dari Princess untuk
menghabiskan minumannya.

Princess menghela napas, lalu tersenyum tipis. Ia mencoba berlapang dada atas apa yang
terjadi. Moveon, mungkin itu tepat untuk mengobati luka hatinya.

Ia melangkah menuju sebuah panggung kecil yang terdapat di kafe tersebut. Sementara
Sharoon mengikutinya dari belakang. Setelah meminta izin pada manajer kafe, mereka
berdua bernyanyi secara bergantian.

'Goodbye', lagu dari 'Air Suply' memeriahkan kafe yang semula terlihat sepi. Laila
terperangah, ia tidak percaya jika suara sahabatnya semerdu itu.

"Wah, keren banget lo!" teriaknya sambil berjingkrak dan bertepuk tangan, membuat
pengunjung menatap ke arah Laila.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Laila merogoh ponselnya kemudian mengabadikan


momen ini melalui video.

"Hm, inilah sosok asli Princess. Sebuah pembuktian bahwa dirinya memang berharga!"
gumam Laila yang didengar oleh Pangeran.

Maira menoleh karena mendengar suara bisik-bisik Panji. Senyum sinis ia lontarkan.

"Orang yang menjijikkan itu kini menjadi sebuah berlian!" sindir Laila sambil melirik
Pangeran dan Panji yang juga berkunjung ke kafe itu, tanpa Maira.

Pangeran menatap Laila tajam, kemudian bangkit dan berlalu begitu saja diikuti oleh Panji.
Dadanya merasa sesak setelah mengetahui Princess kembali dengan sosok yang berbeda.

"Ran, yakin itu Princess? Cantik gila!" ucap Panji sambil menyamakan langkah dengan
Pangeran.

Pangeran menggedik. Seakan tak peduli dengan Princess.

"Pangeran!" panggil seseorang menghentikan langkahnya.

Maira. Dia adalah Maira. Sahabat Princess. Itu dulu, saat masih satu sekolah. Kini ia berubah,
menjauh. Dan enggan untuk mendekat untuk sekedar bersapa ria.

Dari kejauhan, Princess tersenyum memandang Pangeran dan Maira. Senyum tanpa makna.
Ia tak lagi dapat berkata-kata. Mengubur rasa cinta terhadap Pangeran, serta mengusir sebuah
ego agar tidak membenci sosok yang ia sebut sebagai 'sahabat'.

"Jangan berhenti melangkah!" bisik seseorang mengejutkannya.

*****
Rahasia

∆∆∆

Merunduk bukan berarti lemah. Membumi bukan berarti kalah. Bangkit, dan tataplah
masa depan. Mereka menunggumu di perbatasan kemenangan.

∆∆∆

Laila dan Sharoon mengangguk, meyakinkan Princess untuk tetap semangat. Hal itu
membuat gadis perawakan kecil itu tertawa. Sejak kapan dirinya patah semangat? Ia menari
lincah tepat di pintu kafe sehingga menghalangi pengunjung yang hendak masuk.

"Selamat tinggal," ucap hati Princess pada kenangan lalu. Kini ia akan mengukir hal baru
dengan prestasi yang ia dapat dari Alaska, dan akan digunakan sebagai bentuk pengabdian
pada kehidupan banyak orang. Dengan membantu mereka yang membutuhkan.

Setelah hari itu berlalu, kini Princess fokus kepada yayasan yang didirikan oleh sang ayah
sambil menunggu penerimaan mahasiswa baru di Universitas impiannya, UI. Ia melangkah
bersama Sharoon. 'Rumah Kasih', di mana penghuninya adalah anak-anak kolong jembatan
yang dulu menjadi temannya.

Princess terkejut, ia tak percaya dengan pemandangan dalam bangunan megah tersebut.
Elegan, dan lengkap dengan media pembelajaran.

"Kak Inces!" sapa seorang anak kecil yang tengah berdiri di depan sebuah piano.

Princess menoleh, ia sangat mengenali anak itu. Bunga. Sudah lebih besar dibanding setahun
sebelumnya. Parasnya semakin menawan. Terlihat rapi, dan terurus.
"Kamu di sini?" Princess mendekat ke arah Bunga, sementara Sharoon sibuk mengamati
sudut demi sudut ruangan yang hampir mirip dengan bangunan sekolahnya di Juneau.

"Pak Gen membawa kami kemari," jawabnya sempat membuat Princess menautkan alis. Ia
bertanya dalam hati perihal anak-anak ini, sedangkan dirinya tak pernah memberitahu sang
ayah soal itu.

"Sejak kapan?" tanya Princess berusaha mengorek informasi.

"Sejak kakak pergi," jawab Bunga sambil menangkup wajah Princess.

"Gimana ayah tau kalo aku sering ke kolong jembatan?" Princess mengurungkan
pertanyaannya. Ia lupa jika pernah menceritakan hal ini terhadap sang ayah.

Meski banyak pertanyaan muncul, namun Princess senang. Setidaknya, mereka bisa tinggal
di tempat layak, bukan kolong jembatan yang rawan dengan serangan penyakit demam
berdarah.

"Selamat datang," sapa Pak Gen bersama sosok yang Princess kenal. Dia adalah Laila. Anak
dari sahabat ayahnya.

Princess tersenyum lebar, begitupun dengan Laila. Mereka saling terkejut satu sama lain, dan
tidak menyangka bahwa sosok yang selama ini dibicarakan oleh Bunga dan teman-temannya
adalah Princess.

Mata itu menatap lekat pada Princess. Rasa kagum tak terhingga.

"Mereka bersyukur memiliki lo," ujar Laila sambil menyentuh pundak Princess.

"Lo?" Princess ingin bertanya perihal Laila. Namun Bunga lebih dulu menceritakan bahwa
Laila lah yang telah membantu mereka saat dirinya tidak ada. Sejak ia belum pergi ke Alaska.

Princess terharu, kemudian memeluk Laila erat. "Terima kasih," ucapnya.

"Aku ga dipeluk?" ucap Sharoon mengejutkan mereka. Matanya mengedip berulangkali


mencari perhatian.

"Kamu peluk daddy aja," ucap Pak Gen sambil tertawa, membuat Princess merasa iri.

"Not yourdaddy!" ucap Princess penuh penekanan.

Pak Gen membawa mereka ke sebuah perpustakaan. Kemudian menceritakan suatu rahasia
kepada Princess, Sharoon, juga Laila jika Sharoon adalah sepupunya, bukan sekedar seorang
sahabat. Sejak kecil, Sharoon ditinggal oleh sang ayah. Sama dengan Princess yang sejak
kecil tak beribu.

Lagi-lagi Princess dibuat terharu oleh sang ayah. Ternyata, banyak hal yang tidak ia ketahui
selama ini karena terlalu fokus pada kekurangannya. Kini ia sadar, bahwa hidup bukan
tentang dirinya saja, tapi tentang banyak orang.

Princess menunduk. "Ini penyesalan ke sekian!" lirihnya sambil menangis.


"Sekarang kamu paham, bukan? Itu sebabnya ayah merahasiakan banyak hal darimu,
termasuk soal SMA 'Elit'.

Princess mengernyit. "SMA 'Elit'?" tanyanya semakin tidak mengerti.

"Itu milik ayah!" mata Princess terbelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengar. Mengapa banyak kejutan dalam hidupnya? Ini tidak lucu.

Wajah Princess merengut. Bukan karena sang ayah menutupi atas kepemilikan sekolah
tersebut, tapi tentang dirinya yang dikeluarkan dengan cara tidak hormat.

"Maafkan ayah, Sayang. Itu kesempatan bagi ayah untuk mengirimmu menjemput Sharoon."

Princess menggeram. Menatap tajam pada Sharoon yang tengah menyeringai tanpa dosa.
Tangannya terulur, berusaha menarik rambut keriwilnya sambil berjinjit.

"Ga kena, haha!" ejek Sharoon—bersembunyi di balik punggung Pak Gen.

Kini semuanya terkuak, termasuk tentang kelainan fisiknya. Pak Gen tidak ingin mengulur
waktu untuk memberitahu Princess, bahwa yang diderita adalah 'kondisi medis', sehingga
menyebabkan 'dwarfisme', bukan keturunan genetik.

Kondisi medis yang dimaksud adalah 'Sindrom Turner'. Sindrom ini hanya dialami oleh
wanita ketika menghilangnya satu atau sebagian dari kromosom seksual atau kromosom X.
Kondisi ini menjadikan hanya terdapat satu kromosom yang berfungsi, bukannya sepasang.

Princess mengangguk, mengerti apa yang disampaikan oleh sang ayah. Ia tak lagi
mempermasalahkan kondisi fisiknya. Biarlah menjadi pelajaran berharga. Saat ini,
memperbaiki diri dan membantu orang lain lebih penting dibanding memikirkan diri pribadi.

Semua tersenyum melihat Princess mampu berpikir dewasa. Pak Gen bangga. Meski
perjuangan menyadarkan Princess berat, namun tidak sia-sia. Seiring berjalannya waktu, hal
yang ditinggu-tunggu akhirnya telah tiba.

"Kibarkanlah sayap kalian hingga mampu menaungi setiap orang di bawahnya!"

Pak Gen menepuk pundak Princess, Sharoon, juga Laila yang sedari bungkam tak bersuara.

****
Masa Lalu

∆∆∆

Hai kawan, janganlah berdiri di masa lalu hanya untuk tinggal, majulah walau selangkah
untuk menyambut masa depan.

∆∆∆

Suasana berbeda. Kini beban itu sudah terlepas dari tali pengikat yang bergelayut mengikuti
Princess. Tak peduli, dan membiarkan orang lain membicarakan apa yang ingin mereka
utarakan. Tugas menanti di depan mata, membantu anak-anak jalanan agar mempunyai hidup
lebih layak, juga tak menutup tangan bagi khalayak umum.

Dalam keremangan malam, benak Princess enggan berhenti. Terus berputar mencari celah
dalam memperbaiki diri. Menjadikan kekurangan sebagai kelebihan. Bagaimana caranya?
Hmm, bisa dengan cara menunjukkan pada dunia, bahwa sosok sukses bukanlah dilihat dari
fisik semata, melainkan dari kesungguhan pribadi mencapai sesuatu yang menjadi tujuan.
Simpel bukan? Istilahnya, jika mempunyai cita-cita, ya dikejar. Katakan kita bisa!

Tentang banyak hal, Princess tak berhenti berusaha menjadi sosok 'pantas' di mata orang.
Bukan karena ia ingin disanjung atau dipuja, melainkan demi sebuah pembuktian. Seonggok
sampah akan tinggi nilainya jika didaur ulang menjadi pernak-pernik cantik.
Princess menatap foto di dinding kamarnya dengan mata menyipit. Mereka yang
mengucilkannya dahulu, bahkan sampai sekarang. Terselip harapan dalam hati, suatu saat
nanti orang-orang itu akan lebih benderang dibanding dirinya. Karena kalau tidak, nasib sama
akan mendera secara perlahan, berada pada masa 'purundungan'. Oh, sungguh menyakitkan.

"Hei, tidurlah!"

Sharoon bosan melihat Princess bergeming di hadapan sebuah cermin berbentuk lingkaran
dengan bunga tertempel pada seluruh tepinya.

"Biarkan pria itu menemui kesadaran dengan sendirinya!" ujarnya sambil melempar foto
Pangeran yang tengah ditatap Princess tanpa berkedip menggunakan bola kasti.

Princess menghela napas. Ia menoleh malas pada Sharoon, kemudian tersenyum. "Iya!"

"Lalu apa lagi? Besok tugas menunggu!" Sharoon mematikan lampu utama dan
menggantinya dengan menyalakan lampu tidur.

Tangannya bergerak lincah menarik selimut tebal berwarna jingga hingga menutupi kepala.
Namun pejamnya terganggu ketika Princess meracau tidak karuan menyebut nama Pangeran.

"Hei!" Sharoon melempar sebuah bantal ke arah Princess.

Princess hanya menatap datar dan tak memberikan perlawanan atas perlakuan Sharoon.
Senyum tipis terukir. Namun senyum itu terlihat mengenaskan.

"Aku masih tidak mengerti. Mengapa Pangeran sebenci itu terhadapku? Seperti menyimpan
dendam keramat!"

Sharoon melebarkan mata, kemudian duduk dan menyalakan kembali lampu kamar.
Keningnya berkerut, seolah sedang berpikir.

"Keramat bukannya berhubungan dengan sesuatu yang mistis?" Sharoon berbicara


menggunakan bahasa Indian karena ia belum terlalu lancar menggunakan bahasa Indonesia.

Princess diam sejenak, mengikuti gaya Sharoon. Beberapa saat kemudian ia terbahak saat
menyadari bahwa ucapannya itu salah.

Sharoon mengerutkan dahi meminta penjelasan, namun Princess hanya terkikik dan mencubit
pipi sahabatnya perlahan.

"Hoo, sia-sia telingaku mendengarmu menyebut nama itu terus-menerus! Menjijikkan!"


Sharoon berusaha memejamkan mata setelah mematikan kembali lampu terang dan berharap
Princess tidak mengganggu kali ini.

"Asal kamu tauaja, selain membuktikan aku tidak buruk, impianku adalah memiliki kekasih,
dan hatiku terpaut pada Pangeran!"

Sharoon terlonjak, menatap Princess dalam keremangan. Ia mencebik sesaat.

"Itu sebabnya kamu mati-matian mendekatinya walau dia kasar?" bisik Sharoon heran.
Princess mengangguk geli. "Itu hanya cinta monyet," ia tertawa, "sekarang aku sadar, belum
saatnya memikirkan hal konyol seperti itu!"

Sharoon tak dapat lagi memejamkan mata karena berulangkali Princess mengganggu dengan
kata-katanya. Ia berniat menunggu gadis itu tidur terlebih dahulu, kemudian barulah dirinya
menyusul.

Di tempat lain, dalam keremangan yang sama, Pangeran termangu. Pikirannya melayang jauh
ke masa silam. Di mana ia bermain dengan sahabat kecilnya. Mata bulat merebak mengingat
masa-masa itu.

"Pangeran!"

Teriakan histeris memanggil Pangeran sambil meraung. Tangannya terulur, berusaha


menggapai anak lelaki yang bergelantung di tepi jembatan sebuah kampung di daerah
Sukabumi.

"Bantu aku!" teriak Pangeran ketakutan. Sudah 20 menit ia berusaha bertahan, namun tak
seorang pun melintas. Gadis kecil yang tak henti menangis semakin membuat hatinya
berdesir menahan pedih.

"Pegang tanganku!" teriak gadis kecil itu. Namun tangan Pangeran tak dapat menggapai
tangan itu karena terlalu jauh.

Beberapa saat berlalu, gadis kecil itu ditarik seseorang dan meninggalkan Pangeran dalam
ketakutan. Pergi jauh, hingga sekarang.

Pangeran mengusap mata. Kenangan itu begitu menyakitkan. Perih. Hanya dendam yang
tersisa. Di saat nyawanya seakan berada di ujung tanduk, sahabatnya pergi begitu saja. Ia
benci masa itu.

Pangeran menatap lekat sebuah foto masa kecilnya bersama 2 anak perempuan.

"Andai loga datang waktu itu. Mungkin guega bakal tenggelam!"

Pangeran merobek foto tersebut kemudian membuangnya di lantai. Ia larut dalam


kegelisahan. Akankah dapat memaafkan? Mungkin hari itu kelabu, namun ... seiring waktu
bergulir, tak semestinya rasa kesal itu tersimpan rapi.

"Gue masih inget dengan jelas meski sekarang kita sudah menjadi remaja!"

Pangeran mematikan lampu kamarnya, dan tenggelam dalam pelukan sang malam.

*****
Kejutan

∆∆∆

Bisa jadi, apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut orang lain.
Merunduklah, jangan menjadi pribadi yang dominan dan merasa paling benar.

∆∆∆

"Lo tau? Gue kehilangan banget pas lo pergi waktu itu!" Pangeran menggenggam tangan
sosok di hadapannya hangat. Bulir bening yang selama ini ia tahan berhasil membuncah.

Gadis itu hanya menghela napas sambil menatap Pangeran sendu. Ia masih tidak percaya jika
yang tengah tertunduk itu adalah sahabat kecilnya. Kata maaf terucap begitu lirih dari bibir.

"Gue benci saat itu!" Pangeran mengepalkan jemari kemudian meninju dadanya sendiri.

"Dendam membinasakan! Layaknya kamu, dendam itu melenyapkan aura belas kasihmu!"
ucap gadis itu lirih.
Pangeran mengangguk kecil. Senyum miris terukir. "Makasih!"

"Buat?"

"Kalo loga selalu pake kalung itu, mungkin guega akan ngenalinlo!" ujar Pangeran sambil
meraih kalung berliontin kupu-kupu yang dikenakan gadis itu.

Gadis itu terseyum. "Aku mau kamu maafin dia. Princess ga salah apa-apa," helaan napas
berat meluncur seiring hadirnya seseorang.

"Maira?" Princess mematung tidak jauh dari Pangeran dan Maira berada. Hatinya terenyuh.
Sakit ... saat melihat sang pujaan hati begitu hangat kepada sosok yang pernah ia sebut
sebagai sahabat. Tapi tiada yang bisa dilakukan. Menimbang dirinya hanyalah sang
pengagum belaka.

Kedua remaja itu terlihat terkejut dengan kehadiran Princess dan Laila. Wajah mereka
tertunduk.

"Gue mau balikin ini!"

Sebuah buku motivasi Princess ulurkan pada Maira, namun si pemilik hanya diam seribu
bahasa.

Ya, buku itu hadiah dari Maira saat ulang tahunnya ke 15.

"Ambil!" ucap Laila penuh penegasan. Tatap tidak suka ia lontarkan pada Maira. "Bunus 1
buku karya Princess. Pacar lo suruh baca, tuh!"

Laila menarik Princess menjauh dari tempat itu. Ia rasa, tidak ada gunanya berlama-lama di
sana jika berakhir pada sebuah kesakitan yang tidak terlihat.

Sementara Pangeran dan Maira masih membisu, berkutat pada pikirannya masing-masing.

"Lo galak banget, sih?" Princess mencubit pinggang Laila sambil tertawa.

"Aslinya gue gedek banget sama tuh dua makhluk, haha!"

Princess menghentikan langkah mendengar ucapan Laila. Keningnya berkerut. "Kenapa?"


matanya menatap penuh selidik.

"Sejak mereka jadian, gue jadi ga punya temen!"

Bukannya prihatin, Princess malah terbahak mendengar penuturan Laila. Sebegitu sepikah
dunia ini hingga ia merasa tidak mempunyai teman? Oh, sungguh di luar dugaan.

"Kasiantemengue," Princess memeluk Laila dari samping, dan hal itu disaksikan oleh
Pangeran juga Maira dari kejauhan. Rasa canggung, bersalah, dan tidak enak hati bercampur
menjadi satu. Seharusnya tidak seperti itu yang terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.

Princess dan Laila menuju mading, kemudian menempelkan sesuatu di sana.


Barang siapa menghina, mengejek, dan melakukan hal tidak terpuji di sekolah ini,
akan di non-aktifkan dari sekolah 'Elit' termasuk sekolah lain. Dan akan dilaporkan ke
pihak berwajib dengan tuduhan 'bodyshaming'!

TTD
Princess cantik biarpun kecil!

Begitulah kata-kata yang terdapat dalam tulisan Princess yang ditempel pada mading. Dengan
tujuan agar mereka tak lagi semena-mena satu sama lain.

Siswa yang melihat hal itu pun mendekat untuk mengetahui sesuatu yang dipasang oleh
Princess. Wajah-wajah bingung, heran, sekaligus bertanya tersirat.

"Siapa dia berani mengancam!"

"Dih, sok iya gitu!"

"Apa urusannya coba?!"

"Dia pikir dia siapa?!"

"Dia kan bukan siswi sekolah ini lagi!"

Seperti itulah komentar mereka setelah membaca pemberitahuan dari Princess. Ia hanya
tersenyum tipis, tanpa menyahut meski telinganya mendengar dengan jelas perkataan mereka.

"Dia adalah pemilik yayasan ini!" sahut Laila penuh penekanan. Matanya menatap sinis pada
mereka. "Rumput liar harus dibasmi untuk menanam bibit yang unggul!" sindirnya sambil
tersenyum miring.

"Laila!" Princess mengingatkan karena membocorkan rahasianya sebagai anak dari pemilik
yayasan. Ia tidak ingin hal buruk lain terjadi. Sudah cukup.

Laila hanya menyeringai. Bukan maksud mengumbar hal yang sengaja ditutupi, tapi
telinganya tidak tahan mendengar celoteh negatif teman-temannya.

"Sekedar mengingatkan!" jawab Laila kemudian.

Princess menarik napas sesaat setelah ia menyadari bahwa Maira dan Pangeran mendekat.
Meski berusaha melupakan rasa dan masa lalu, tetap saja hatinya teriris melihat keakraban
mereka berdua. Ditambah lagi, sosok yang ia sebut sahabat telah merusak harapannya.
Harapan kosong.

"Princess!" panggil Maira lirih. Tatap netranya sendu seakan menyodorkan permohonan
maaf.

Princess menoleh malas, kemudian ia berganti menatap Laila.

"Eumm, gue sama Laila masih ada urusan lain. Sampai jumpa!" pamit Princess ramah pada
Maira, juga Pangeran yang hanya mematung di belakang kekasihnya.
"Aku mau ngomong sesuatu!"

Princess seolah tak mendengar ucapan Maira. Ia menarik lengan Laila kemudian berlalu
dengan langkah cepat.

Maira menarik napas berat. Matanya berkaca-kaca. Hal yang tidak ia inginkan kini terjadi,
dijauhi sahabat karena seorang laki-laki.

"Kamu yang menjauh darinya, Maira! Bukan Princess. Tuailah apa yang kamu tanam!" bisik
hati kecil Maira pada dirinya sendiri.

*****

Kejuatan Kedua

∆∆∆

Benar, untuk memaafkan orang lain, ada baiknya kita memaafkan diri sendiri terlebih
dahulu. Karena bisa jadi, sumber masalah ada pada kita, bukan orang lain!

∆∆∆

"Lo marah sama Maira?" tanya Laila lirih. Ia menatap langit malam di atas gedung yayasan
'Rumah Kasih' milik ayah Princess yang kini menjadi tanggung jawabnya bersama Sharoon
juga sosok di sampingnya.
Princess menggeleng. Namun hati mengatakan sebaliknya. Ia merasa tak berarti sebagai
sahabat Maira, karena tak sedikitpun gadis itu mendengar keluh kesah orang yang tengah
nenjadi topik pembicaraan Laila saat ini.

"Lalu kenapa longehindar dari dia?" desak Laila.

Princess menghela napas. Matanya nanar menatap langit kelam. Hanya ada gelap. "Gue cuma
gapengen dia ngerasa canggung. Dan ... dengan adanya gue, dia bakal ngerasa bersalah.
Padahal ga ada yang perlu disalahin. Guenyaajangarep, haha!" ia tertawa sumbang.

Laila menatap Princess lekat. Meski gelap, ia bisa merasakan jika sahabatnya itu kini tengah
menangis. Tentu saja, siapa yang tidak merasa sedih jika keadaannya begini. Rundungan
orang-orang tentang fisiknya yang kecil tidak lebih menyakitkan dibandingkan soal hati.

"Lalu?"

"Tidak ada!"

Laila tidak melanjutkan kata-katanya karena Princess memotong telak.

"Untuk memaafkan orang lain, gue harus maafin diri sendiri duluan. Permasalahan datang
dari diri gue pribadi, La!" tangis Princess pecah. Ia memeluk lutut dan menekan dadanya
yang sesak. "Setelah itu, gue mau fokus dengan kegiatan sosial, membantu orang agar hidup
gue bermanfaat."

Princess tersenyum kecut. Diiringi rengkuhan Laila yang semakin erat.

Ya, tiada hal yang lebih penting baginya saat ini selain mendedikasikan diri bagi banyak
orang. Kejadian buruk, akan terlihat mengenaskan jika ia meratapinya dan tak mendapatkan
hal positif apa pun.

"La, kekurangan fisik gue, bakal guejadiin motivasi bagi orang lain. Cukup sudah!"

Laila tersenyum senang.

"Gue salut sama lo, Ces!"

"Hei!"

Laila dan Princess menoleh mendengar suara tersebut. Tidak jauh dari tempat itu Maira telah
berdiri dengan seseorang, dia adalah Sharoon. Dengan langkah santai, mereka mendekat.

"I amback!" Maira menghambur memeluk Princess tanpa peduli dengan tatapan heran Laila.
"Maafingue!"

Princess diam. Suaranya seakan tersekat di tenggorokan.

Maira tidak peduli, meski Princess terasa dingin, ia tetap memeluk dengan erat sambil
menangis.
"Kamu gamaafin aku, hm?" rintih Maira menyentil sudut hati Princess. Sementara Sharoon
dan Laila hanya mematung menyaksikan dua sahabat yang tengah mendekatkan jarak.

Princess menarik napas berat. "Kalo minta maaf, artinya lo punya salah? Gue gatau apa
kesalahan lo!" jawab Princess lirih. Ia membuang wajah, jauh menatap kegelapan.

Mendengar ucapan Princess, tangis Maira semakin menjadi. Rasa bersalah memuncak. Ia tak
menyangka, sakit yang melibatkan hati dan perasaan akan berakibat fatal. Seperti saat ini,
sosok itu menjadi pribadi berbeda.

"Aku mohon!" sahabat lebih berarti dari apa pun!"

Princess melepaskan pelukan Maira, dan berusaha bernapas dengan bebas.

"Lo salah! Lo ga akan butuh sahabat jika ada yang ngebuatlo lebih nyaman, kelak. Lo harus
tau, suatu saat, akan berbeda keadaannya, pas kita dewasa. Jangan takut kehilangan gue!"

Maira terdiam, menatap Princess penuh sesal.

"Seiring berjalannya waktu, masing-masing dari kita pasti akan pergi, pada kehidupan pribadi
yang disebut dengan keluarga," Princess mendongak ke arah langit sambil tersenyum tipis.

"Yang kamu bilang itu bener," Maira menunduk. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Suasana menjadi hening, sehening hati Maira dan Princess yang sesungguhnya sama-sama
kehilangan. Bagaimanapun, mereka adalah sahabat.

"Maafin aku soal Pangeran!"

"Gue gangerti maksud lo, dan ... guega ada hubungannya sama ini!" ucap Princess penuh
penekanan. Ia tidak ingin menyinggung soal Pangeran.

Melihat hal tersebut, Maira menceritakan kebenaran tentang Pangeran dan rasa bencinya.
Tanpa ada yang terlewat sedikitpun.

Princess tertegun sejenak, diikuti oleh melebarnya mulut Laila. Namun kemudian ia
menanggapinya tak acuh. Hanya kata 'oh' yang berhasil keluar dari mulutnya.

"Gitu doang?"

Princess menautkan alis. Ia menatap Maira penuh tanya. "Maksudnya?"

"Waktu itu sengaja kan narik tanganku dari jembatan pas kamu liburan ke rumah nenek?"

Lagi. Princess menautkan alis, kemudian menjelaskan bahwa ia tidak melihat orang lain
selain Maira saat itu. Dan ... ia berucap maaf setelah beberapa saat terdiam.

Princess kemudian ingat akan sahabat di masa kecil selain Maira. Dia adalah Pangeran.
Betapa polosnya ia hingga tidak mengenali sahabatnya.

"Masih ada lagi?" tanya Princess. Ia mengigit bibir sambil melirik Maira.
Maira terlihat bingung, geriknya terlihat mencurigakan. Wajahnya menjadi masam.

Hening, tiada yang bersuara sampai beberapa menit. Menunggu Maira membuka suara.

"Aku ...!" Maira menunduk, lagi. "Aku yakin kamu ga bakal maafingue untuk hal satu ini,"
bulir bening menitik dari mata Maira. Namun ia berusaha agar yang lain tidak sampai
melihatnya.

lagi, semua menunggu Maira melanjutkan ucapannya.

"Penyebab kamu dikeluarkan dari sekolah adalah aku," jujur Maira hati-hati. Ia menatap
Princess, berharap pengampunan.

Princess, Laila, dan Sharoon tersentak, tak percaya dengan ucapan Maira baru saja. Marah,
kesal, benci, merasuk ke dada Princess, namun itu sudah berlalu. Tiada gunanya menghakimi
sosok memelas di hadapannya.

"Kenapa?" tanya Princess datar, diikuti anggukan kepala oleh Laila. Sementara Sharoon
hanya diam tak mengerti.

Maira diam, seperti enggan memberi penjelasan yang selama ini ia pendam. Namun setelah
itu, mau tidak mau hal ini harus diluruskan.

Perlahan namun pasti, Maira mulai bercerita, jika sesungguhnya banyak hal yang
membuatnya menyimpan rasa tidak suka pada Princess. Tentang irinya. Iri pada semua yang
dimiliki. Meski selalu dirundung, namun tetap menjadi pusat perhatian teman-teman
sekolahnya. Pintar, semangat, mampu berlapang dada dan memaafkan. Disayang sang ayah,
juga kebutuhan hidup yang terpenuhi.

Sementara dirinya? Tak seorangpun melihat meski untuk menghina. Rasa iri itu kemudian
berubah menjadi benci, hingga melewati batas. Maka dari itu, ia menjadikan Pangeran
sebagai kekasih agar Princess merasa sakit hati. Namun kenyataannya, gagal.

Princess terbahak setelah mendengar pengakuan Princess. Ia memukul pelan pipi Maira yang
mungkin memerah jika dilihat siang hari.

"Aneh! Pengen di-bully juga lo?!" ketus Laila sambil menempelkan telapak tangannya pada
wajah Maira.

Maira tersenyum getir. "Kamu ga marah?" tanya Maira heran.

"Lucu lo!" komentar Princess, "balik sono!" sambungnya setelah melihat seseorang
menelepon Maira. Dan seseorang itu setia berdiri di depan gedung yayasan menunggu sebuah
keajaiban sambil menatap ke atas gedung.

*****
Akhir dari Sebuah Kisah

∆∆∆

Aku adalah apa yang kalian pikirkan dan katakan. Jika buruk menurut kalian, maka
buruklah aku. Tapi, jika di mata kalian aku baik, seburuk apa pun aku, tetaplah baik.

∆∆∆

Princess tahu, sosok di bawah sana malam sebelumnya adalah Pangeran. Namun ia pura-pura
tidak melihat dan memilih fokus pada obrolan bersama Laila dan Sharoon.

Memaafkan. Princess telah memaafkan mereka berulang kali. Berharap, apa pun yang
menghadang suatu hari nanti, tidak menjadi masalah berarti.

Hatinya damai, perasaan lega mengitari hati. Berdamai dengan keadaan sebenar-benarnya,
memeluk kekurangan dan menjadikannya kelebihan, serta melupakan segala hal buruk yang
telah terjadi.

Kini Princess berdiri di tengah-tengah mereka yang ia cintai. Mereka yang peduli pada diri
sendiri, juga orang lain. Berucap lantang, bahwa manusia adalah istimewa. Perkataannya
Penuh penekanan, menyalurkan motivasi bagi sosok rapuh.
Tiada yang lebih membahagiakan bagi Princess, selain dapat memberi semangat pada orang-
orang di sekitarnya. Meyakinkan, bahwa setiap makhluk mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.

"Jadikan kekurangan kita sebagai kelebihan! Tunjukkan bahwa kita bisa!" itulah yang tak
henti disampaikan oleh Princess. Hingga ia kini dijuluki sebagai seorang motivator oleh
orang terdekat, seperti Laila, Sharoon, sang ayah, juga mereka yang selalu menerima bantuan
dari Princess berupa pendidikan gratis dan lain-lain.

"Girlonthe top!" kelakar Sharoon sambil mencolek dagu Princess saat tengah menghadiri
pameran barang bekas yang diselenggarakan oleh 'Princess'sGruop', sebuah lembaga sosial
yang didirikan oleh Princess, Laila, dan Sharoon. Lembaga ini berkecimpung pada
pengolahan barang bekas menjadi sesuatu bernilai tinggi, dan ditujukan untuk membantu
banyak orang.

"Haha, tanpamu, aku kalah!" balas Princess sambil tertawa lebar.

"Gue?" Laila memajukan bibirnya manja.

"Lo upil, haha!"

Ketiga gadis remaja itu berpelukan, disaksikan pengunjung dan diiringi tepuk tangan.

Di tempat lain, Maira tengah termenung. Menyesali perbuatannya yang tak mampu membuat
keadaan menjadi utuh kembali. Memang benar Princess memaafkan dirinya, namun ... ia
bukanlah orang penting dalam hidup sahabatnya itu. Terlebih, kini ada Laila dan Sharoon.

"Ah, itu pikiranku saja!" gumam Maira. Ia bergegas dari rumahnya menuju ke pameran milik
Princess dengan mengajak Pangeran. Berharap, pemuda itu berkenan meminta maaf pada
Princess atas kesalah pahaman yang telah tercipta selama ini.

"Hei!" sapa Maira setelah sampai.

Princess, Laila, juga Sharoon menyambut Maira ramah dan penuh sukacita. Mereka
membawa gadis itu ke atas panggung kemudian menyanyikan lagu berjudul 'Sahabat' dari
Sheilla on 7. Sorak-sorai menggema, memenuhi ruangan itu. Tawa-tawa bahagia tersirat di
wajah mereka.

Dari kejauhan, Pangeran tengah mengumpulkan keberanian menghadapi Princess. Kesalah


pahaman membutakan hati. Meski dihina, Princess tidak pernah membalas perbuatannya. Hal
itu membuat ia semakin merasa bersalah.

"Semua orang patut memberi tepuk tangan ke elo. Berawal dari bully-an, sekarang lo
melebarkan sayap, terbang tinggi mengalahkan yang lain," Pangeran bergumam. Ia merasa
malu, jauh tertinggal dari dari gadis yang selalu ia pandang sebelah mata.

Pangeran mendekat setelah musik berhenti. Sambil tersenyum, ia berucap, "Maafingue,


Princess!"

Princess tertegun sejenak, namun kemudian ia tersenyum tipis.


"Gue udahmaafinlo kok, jauh sebelum hari ini!" jawab Princess, namun terkesan tidak peduli.
Tatap matanya beralih pada tamu yang memberinya selamat.

"Jujur, gue cinta sama lo dari dulu. Tapi gue malu karena lo—?"

"Karna gue mini, gitu?" Princess tertawa, seakan mengejek Pangeran. "Gue ga peduli!"

Semua tertawa melihat Princess, karena ia berkata sambil mengibaskan rambutnya.

"Gue mencintai lo, Princess!" ucap Pangeran lantang, membuat semua mata memandang ke
arahnya. "Terimalah," Pangeran menyodorkan seikat bunga pada Princess.

Princess kembali ke pengeras suara dan membalas perkataan Pangeran, "Gue terima elo! Jadi
temen, makasih!" jawabnya penuh penekanan. Kini, ia memaafkan, bukan berarti
mengharapkan hal lebih dari Pangeran. Cinta itu sudah tidak ada karena pria itu dicinta
sahabatnya. Maira. "Lebih baik mencari cinta yang lain," gumamnya dalam hati.

Lagi-lagi Princess tersenyum, dan mengacungkan kelingkingnya pada Laila, Sharoon, juga
Maira.

"Inilah aku! Aku seperti apa yang kalian pikirkan! Jika menurut kalian buruk, maka buruklah
aku!"

Cantik dan tampan itu dari hati, bukan dari paras semata. Apa gunanya kita memiliki
paras memesona jika hati, pikiran, dan mulut selalu berburuk sangka.

*****

Sekian

Anda mungkin juga menyukai