Anda di halaman 1dari 15

PROLOG

Danau Kenanga, 12 Januari 2012

Pukul 09.45 WIB

Anak kecil selalu dilarang bermain disekitaran danau,


katanya akan ada monster yang akan menangkap kakimu. Kak
Hana juga akan menjadi monster jika aku bermain di tepi
Danau Kenanga yang cantik dan indah itu. Entahlah, mengapa
orang dewasa selalu berfikiran bahwa danau itu menyimpan
raksasa besar di dalamnya dan banyak hewan mengerikan
seperti cerita yang selalu dibacakan Kak Hana di setiap
malam sebelum aku tidur. Tetapi bagiku, danau adalah tempat
luas yang menyenangkan dan juga menenangkan. Bahkan aku
bisa menghabiskan waktu seharian untuk menyusuri
tepiannya.

Tetapi hari ini, aku cabutr pujianku tentang danau itu


setela menyaksikan Kak Hana melanggar peraturan yang ia
ucapkan sendiri dengan cara yang tak ku pahami.

“Hana Novianti. Usia 25 tahun. Alumni mahasiswa


Prodi Psikologi Fakultas Psikologi, salah satu universitas
ternama di Indonesia. Ditemukan tewas, tenggelam di Danau
Kenanga dengan kondisi beberapa bagian tubuhnya tersayat
pada pukul 07.30 WIB. Diperkirakan sudah meninggal sejak
pukul 01.00 dini hari. Tim forensik menduga bahwa korban
bunuh diri setelah membaca surat wasiat dalam kantung
almamater merah yang ia kenakan. Saat ini tengah dilakukan
pencarian senjata yang digunakan korban untuk bunuh diri.”

Danau Kenanga yang indah tempat Kak Hana


bersantai sambal membaca buku, kini terlihat sangat
menyeramkan. Mobil-mobil dengan lampu merah yang
berputar di atapnya kini mengeluarkan suara yang
menyeramkan di telinga. Para pria dewasa berseragam
memadati tepian danau, tubuhnya besar dengan sepasang
mata dengan tatapan tak menyenangkan. Semuanya terlihat
memainkan jari yang berkelahi diatas secarik kertas, sebagian
dari mereka juga kesulitan mebentangkan stiker kuning
sembari menyuruh pergi kumpulan warga disekitar sini.
Orang-orang bersarung tangan karet yang membawa kamera
hitam besar sibuk membidik ke segala arah, mereka asyik
membingkai Kak Hana yang berenang di danau dalam
keadaan mengambang.
Aku tak mengerti. Aku melihat abang di sampingku
hanya meremas tangannya kuat-kuat sembari menahan tangis.
Tidak ada orang dewasa yang mau menjelaskan situasi
membingungkan ini kepada anak kecil seperti aku. Mereka
hanya memerintah dan menuding sudut taman perpustakaan
dengan galak, menyerahkan dua orang anak kecil dimakan
kegelisahan.

“Mengapa Kak Hana berenang sepagi ini?” tanyaku pada


Abang.

Abang menghamburkan nafas panjang, dari nada suaranya


yang berat dia terdengar marah. “Itu bukan kolam renang,
dek. Itu danau. Seharusnya tak boleh ada orang yang berenang
di sana karena dalam dan juga berbahaya.”

Aku bingung. “La-lalu, Kak Hana?”

“Para orang tua dan orang dewasa selalu melarang kita main
ke danau karena sangat berbahaya, Glen.” Abang menanggapi
dengan air mata yang mengalir di seluruh wajahnya.

“Jadi, Kak Hana dalam bahaya?” Aku mulai sedikit mengerti,


sekaligus merasa sedih.

“Sepertinya ... ” Tubuh Abang bergetar di sampingku. “Tidak!


Jangan pergi!”
Ada yang tidak beres dari sekumpulan pria
berseragam itu, aku yakin sekali. Kalau tidak, Abang tak
mungkin menjerit sambil menutup telinganya lalu jatuh
bersimpuh. Jadi, aku memutuskan untuk meninggalkan Abang
yang duduk membungkuk penuh penderitaan disana. Aku
harus mencari tahu dengan cara memaksa salah satu pria
berseragam itu untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi
dengan Kak Hana.

Tetapi seseorang mencegatku. Ia memeluk tubuh


kecilku saat aku mulai memberontak dari genggamannya yang
kaku. Aku berteriak histeris dan nyaris membuat hidung
mancungnya berdarah terkena tinjuku.

“Kamu mau ke mana? Di sana berbahaya, tidak boleh untuk


anak kecil!”

“Hey, aku bukan anak kecil! Aku sudah 14 tahun!”

Anak laki-laki bertopi baret itu menggeram.


Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Abang dan sepertinya usia
mereka juga sebaya. Tapi genggaman tangannya sangat kuat
seperti orang dewasa. Ia juga memiliki sepasang mata dingin
seperti pria-pria berseragam di sana. Bahkan lebih dingin,
matanya sangat dingin dan mengancam.
“Iya, iya, baiklah. Kamu bukan anak kecil. Siapa namamu?”

Nada suaranya ketus sekali. Satu tangannya berkacak


pinggang. Gayanya sok sekali untuk anak seumuran Abang,
terlebih ia bicara sembari memainkan tusuk gigi yang digigit.

“Glen Zefanya.” Aku menjawab dengan ketus juga.

“Polisi-polisi berseragam di sana sangat menakutkan. Jangan


macam-macam kamu dek.”

“Jangan sok tahu kau!” Aku menyanggah keras.

Begitu mendengar bentakanku, garis matanya semakin


menajam. Keningnya yang bersih dari rambut kini terlipat.
Aku jadi merasa dia bukan anak yang ramah.

“Aku tahu. Aku calon detektif. Jangan remehkan aku.”

“Detektif? Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Detektif tu pekerjaan yang menyenangkan.” Anak itu


berhenti bicara lalu memegang dadanya dengan raut dramatis.
“Sekaligus mendebarkan, haha.”

Aku tercengang saat tahu-tahu anak laki-laki itu


tersenyum jahil dengan senyuman nakal yang terpancar dari
wajah putihnya. Aneh sekali melihat sikapnya yang semula
sok gaya itu, tiba-tiba berubah menjadi ramah dalam sekejap.
“Biarpun mendebarkan tapi sangat dibutuhkan orang-orang.
Detektif adalah pahlawan seperti yang kamu lihat di film dan
komik. Mereka juga sahabat untuk anak-anak.” Anak itu
melanjutkan sembari sesekali menyeringai lucu.

Senyumku mengembang. Tanpa sadar aku telah


melupakan kegelisahanku dan pertanyaan-pertanyaan di
dalam kepala tentang Kak Hana yang sejak kemarin malam
belum pulang.

“Kamu mau jadi detektif kalau sudah besar nanti, ya?”

Anak itu mengulum tusuk giginya, memandang ke


langit biru yang cerah lalu tersenyum. “Ya, seperti Ayahku.
Bagiku, dia itu ayah sekaligus detektif yang paling hebat di
dunia, meskipun sekarang dia sudah berada di Taman Bunga
Langit yang indah.”

“Taman Bunga Langit?”

“Ya, kakakmu ju-juga sudah berada di sana,” tuturnya agak


terbata.

Sekarang raut wajahnya yang kasar itu tak terbaca


olehku. Matanya kosong menatapku seperti berusaha
menyembunyikan sesuatu. Ia bahkan melonggarkan
genggamannya di lenganku, persis yang dilakukan kepala
panti asuhan dulu saat memberitahuku kalau ayah dan ibu
sudah bercerai. Ia menunjukkan iba padaku, semua orang juga
seperti itu saat mencoba menghiburku karena telah
ditelantarkan orang tua. Gerakan kasar yang tercermin dari
sifat seseorang akan melunak saat orang itu merasa kasihan,
orang-orang tak akan tega mengasari anak kecil yang tengah
bersedih karena kehilangan.

“Kak Hana baik-baik saja, kan?” Aku bertanya dengan napas


tertahan.

Helaan udara menguar dari mulutnya. “Ada orang


mengambang di danau. Tubuhnya belum membusuk, tapi
wajahnya sangat pucat dan tak ada napas yang keluar dari
hidungnya. Menurutmu dia kenapa?”

Lidahku terasa kelu untuk menjawab, menjalar ke


dada dan memanaskan segala sesak yang ada di sana. Untuk
sejenak paru-paruku lupa cara bernapas, sehingga harus
menerima pukulan hampa dari kepalan tanganku yang
bergetar.

“Bunuh diri atau dibunuh. Dua kemungkinan itu.” Ia


melanjutkan dengan pelan. “Tapi kuyakin keduanya benar.
Memangnya air danau itu setajam pisau sehingga bisa
menyayat anggota tubuh seseorang?”

Tatapanku berguncang, terpaku pada wajahnya yang


sekilas memancarkan aura sedih. Kendati begitu es batu di
sepasang matanya tetap tak mencair, ia masih begitu dingin.

“Dia dibunuh saat mencoba bunuh diri. Kepalanya mungkin


saja disayat di dalam air, hendak dipotong oleh pelaku yang
memanfaatkan aksi bunuh dirinya dengan cara yang keji.”

“Kak Hana ... tidak meninggal, kan?” tanyaku lirih.

Setelah itu aku tak dapat mengingat apa-apa lagi.


Hanya sentuhan jemarinya yang menghancurkan lelehan air
mataku di pipi. Juga teriakan melengking dari seseorang yang
kukenal dan umpatan yang menghilangkan jari-jarinya. Itu
orang tua adopsiku, ia seratus kali lipat lebih kasar dari si
anak laki-laki saat sedang marah.

“Bocah kurang ajar! Tahu apa kau? Jangan asal bicara tentang
putriku!”

Ayah pasti sangat marah, urat di pelipisnya menonjol


dan menyulapnya menjadi monster mengerikan. Namun, anak
itu tetap tenang meski di serang umpatan Ayah.
“Di ranselnya ditemukan batu seberat 14 kilogram.
Ditemukan juga botol minuman teh di TKP yang di dalamnya
masih ada bongkahan utuh berbagai jenis pil obat. Itu jelas
bisa beracun dan menguatkan dugaan bunuh diri. Terlebih
ketika surat wasiat dimasukkan dalam daftar barang bukti.
Tapi, mengapa lehernya bisa tersayat?”

Semua orang terlihat bertanya-tanya. Aku juga sama,


menatapnya dengan kengerian antara ada dan tiada. Dan tiba-
tiba dia tersenyum, sengaja meninggikannya seolah-olah
menantang.

“Aku yakin ini pembunuhan.” Anak itu melanjutkan,


memasang senyum angkuh. “Titik penemuan mayatnya hanya
sedalam 1,5 meter. Sedangkan tinggi korban yang tercatat di
perlombaan terakhirnya bulan lalu adalah 1,6 meter.
Berdasarkan profilnya, dia pernah menjuarai perlombaan
renang tingkat nasional. Lantas, mengapa ia harus bunuh diri
tempat sedangkal itu?”

Anak itu tersenyum mengejek. “Sebaiknya polisi jangan


langsung menyimpulkan bahwa kasus ini bunuh diri. Pelaku
memanfaatkan percobaan bunuh dirinya untuk membunuh.
Memangnya air danau itu pisau yang bisa menyayat leher
seseorang?”
Kami yang berada di sana dan menyaksikan semua ucapan
anak laki-laki itu hanya bisa terdiam. Ayah membeku dengan
wajahnya yang mengeras. Sementara dadaku berdegup keras
saat kepala anak itu tiba-tiba menoleh dan melampirkan
seutas senyum datar. Dua pria berseragam yang datang
bersama Ayah tertawa samar. Mereka yang anak itu sebut
sebagai polisi. Salah satunya menggaruk kening, seringai
tawanya masih belum lepas dari bibir.

“Kamu suka nonton film detektif, ya?” tanya polisi itu sambil
tertawa renyah.

Alis anak laki-laki itu mengerut, rautnya meluapkan rasa tidak


suka. “Semua orang yang melihat TKP dan terlibat di
dalamnya berhak mengajukan analisis untuk membantu pihak
kepolisian memecahkan kasus.”

Polisi itu menoleh kepada Ayah dan rekannya, lalu mereka


bertiga tertawa sangat geli seperti habis mendengar sebuah
lelucon.

“Siapa yang menghitung kamu termasuk ke dalam orang yang


terlibat di TKP? Kamu cuma penonton iseng, bukan saksi,
petugas forensik, apalagi detektif.”

“Namamu siapa, Nak? Umur berapa?” Rekan polisi itu


bertanya dengan lebih ramah.
“Ben. Lima belas tahun. Putra tunggal Detektif Rick Nalen.”

Dua polisi itu terkejut, mata mereka tak berkedip menatap


anak laki-laki itu yang ternyata bernama Ben.

“Oh, Rick Nalen? Detektif yang dipecat karena kasus salah


tangkap itu?”

Ayah yang menyadari lelucon dua polisi jahat itu ikut tertawa
bersama mereka. Sementara aku yang tak mengerti apa-apa
tentang dunia detektif dan polisi hanya bisa membaca
kemarahan yang besar di wajah Ben.

“Ya, sebaiknya omonganmu memang tak perlu didengar.”


Polisi berkumis tipis berkata ketus. “Karena seperti kata
pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.”

Kemudian terdengar panggilan nyaring dari seseorang agar


semua polisi segera berkumpul. Dua polisi yang masih
menyeringai jahat itu pun pergi ke tepi danau. Ayah
memicingkan mata padaku dan menyuruhku kembali ke
tempat Abang. Mereka bertiga pergi, menyisakan aku yang
masih syok berat dan Ben yang berdiri kaku tak bersuara.

“Ben?” panggilku. “Benar yang kamu bilang itu?”


Ben masih berdiri seperti patung hidup, hanya hidungnya
yang berkali-kali mengembuskan napas seperti deru.

“Nanti akan kucari bukti yang lebih kuat. Mereka


meremehkan analisisku hanya karena persoalan umur dan
catatan karier Ayahku yang buruk.”

Aku diam, berusaha mencerna perkataannya yang begitu


dewasa. Ben tidak terlihat seperti anak berumur 15 tahun, dia
bijaksana dan mempunyai gaya yang khas.

“Aku turut sedih untuk kakakmu.”

Aku mengangguk dengan kantung mata yang siap meledak.


Ben hanya menunduk sembari memainkan genangan air
dengan ujung sepatunya.

“Hujan semalam telah menghapus segalanya. Sidik jari, noda


darah, jejak kaki, bukti penting, semuanya,” ucap Ben agak
serak.

Ia kemudian beralih melihatku dan tersenyum. “Dan jika hari


ini kembali turun hujan, maka semua kesedihanmu juga akan
dihapuskan, Glen.”

Perkataan Ben seperti ramalan, karena sepanjang hari


itu aku tidak menangis. Aku melihat anak laki-laki bertopi
baret itu pergi dengan menaruh janji di genggaman tanganku,
bahwa ia akan menangkap pelakunya suatu saat nanti ketika
sudah diakui sebagai detektif. Janji dari calon detektif itu
membuat sebagian sesak di dadaku tersapu bersih.

Tidak seperti Ayah, Ibu dan Abang yang menangis


menjerit-jerit, aku hanya memekik pilu dalam hati dan
menciptakan gerimis di wajah kebas ini. Hujan yang turun
menghapuskan semua kesedihanku, seperti yang Ben katakan
tadi.

Satu hal yang pada akhirnya membuatku jatuh


tersungkur dan meloloskan ribuan air mata adalah tubuh
mengenaskan Kak Hana. Kak Hana terlalu baik untuk pergi
dalam keadaan seperti itu dan dengan cara yang memilukan.
Aku bahkan tak sanggup memandang Kak Hana, hanya berani
menatap lekat-lekat gelang rajut di pergelangannya yang kami
buat bersama.

Hujan di akhir hari menyedihkan itu membantuku


menghapus patahan hati yang tercecer di tanah. Seperti yang
Ben katakan, hujan akan menghapus segalanya, termasuk
perbuatan keji pembunuh Kak Hana. Saat terbaring di kasur,
sebuah kenangan terputar di dinding bagai film dalam layar.
Kak Hana terlihat sehat dan cantik di sana, duduk memangku
gitar bersamaku sembari menikmati pesona Danau Kenanga
di penghujung senja.

“Glen, ketika kita beranjak dewasa, akan semakin banyak


orang-orang yang membenci kita dan ingin berbuat jahat pada
kita. Jadi nanti ketika sudah waktunya, kamu tak perlu takut.
Memang begitulah duniamu. Kamu hanya perlu menjadi
cahaya terang yang mengalahkan bayangan gelap itu.”

“Glen bingung, Kak. Mengapa harus ada kejahatan di dunia


ini? Dan kalau semua manusia hidup dengan baik, apa
kejahatan akan hilang?”

“Kejahatan tidak akan pernah hilang, dan tidak perlu menjadi


jahat untuk dibenci atau dijahati. Karena malaikat juga
diperlakukan seperti itu oleh iblis di dunia ini.”

“Mengapa?”

“Glen, ingat kalimat penting ini dan jangan pernah lupakan.


Janji?”

“Iya, janji.”

“Hati manusia adalah jurang tanpa dasar. Jangan pernah


melemparkan kebencian ke dalamnya. Pikiran manusia seperti
sumur yang sangat dalam. Jangan mencoba tenggelam terlalu
lama di dalamnya.”
Janji dengan Kak Hana di hari itu mengingatkanku pada Ben
dan janjinya. Kami masih kecil, kami belum dewasa, tapi Ben
sudah mengetahui betapa busuknya manusia. Dan aku sudah
melihat kekejian yang ada di dunia.

“Kak, aku belum dewasa, tapi sudah kulihat betapa jahatnya


manusia.”

Anda mungkin juga menyukai