Anda di halaman 1dari 15

LAKI-LAKI SEJATI

Cerpen karya, Putu Wijaya

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.

"Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?"

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita
itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di
sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya
banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap.
Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan
hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia
besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh
sendiri.

"Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?"

"Sebab aku ingin tahu."

"Dan sesudah tahu?"

"Aku tak tahu."

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal
yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang
menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua
cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap
untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka
ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.

Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

"Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran
untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah
tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing
yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu
akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah
sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain
untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu
siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?"
"Maksud Ibu?"

"Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.

Kenapa tidak?"

"Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari
berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang
ada hanya perasaan keki."

"Apakah itu salah?"

"Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan
pikiran. Antara harapan dan kenyataan."

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali
bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-
bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-
bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat
bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu
bertentangan dengan harapan.

Ibunya tersenyum.

"Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?"

"Kenapa tidak?"

"Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?"

"Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu."

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-
mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

"Laki-laki yang sejati, anakku" katanya kemudian, "adalah… " tetapi ia tak melanjutkan.

"Adalah?"

"Adalah seorang laki-laki yang sejati."

"Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar."

"Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan.
Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa
diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku" lanjut ibu sambil memandang ke depan,
seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam
kata-kata.
"Laki-laki sejati adalah…"

"Laki-laki yang perkasa?!"

"Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia
perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh
peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa.
Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu."

"O ya?"

"Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi
laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal.
Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi
pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia
kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong,
tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh
dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma
serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna,
bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu
kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!"

"Kalau begitu apa dong?"

"Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas
didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan
berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas
dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan."

Perempuan muda itu tercengang.

"Hanya itu?"

"Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!"

"Orang yang konsekuen?"

"Lebih dari itu!"

"Seorang yang bisa dipercaya?"

"Semuanya!"

Perempuan muda itu terpesona.


Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu
memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi
sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan
lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme
batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa
menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi
bertambah penasaran.

Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?

Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk
menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu
Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang
akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan
ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan
meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu
Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.

Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami
perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?

Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.

Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?

Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.

Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?

Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.


Apa? Tidak mungkin?

Ya.

Kenapa?

Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.

Oh, perempuan muda itu terkejut.

Sudah tidak ada lagi?

Sudah habis.

Ya Tuhan, habis? Kenapa?

Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.

Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.

Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual.
Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan
bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka
tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana
dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua
dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang
pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan
laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.

Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.

Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu
aku patah hati.

Patah hati?

Ya. Aku putus asa.

Kenapa mesti putus asa?

Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?

Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.


Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang
dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru
dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak
seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh
buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku,
cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!

Aku tidak ngumpet!

Jangan lari!

Siapa yang lari?

Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!

Keluar ke mana?

Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.

Gadis itu termangu.

Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?

Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!

Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka,
matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.

Perempuan muda itu menggeleng.

Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.

Makanya keluar. Keluar sekarang juga!

Keluar?

Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan
buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu
keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong
matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir
sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang
nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.

Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.

Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!

Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata
terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya,
bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja
yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal,
lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar
mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta
dapat mengubah segala-galanya.

Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya
dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa
pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat
membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana
pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati!
***

Denpasar, akhir 2004

Source:

http://kumpulancerpen-fs.blogspot.com/
Azalia's Blog

I'm YourRaisa :) #ILoveRain

Sabtu, 31 Agustus 2013

Cerpen Karya Asma Nadia - Mengayam Kesabaran

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku
memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak
menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya.
Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang jangkung tampak
mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al
quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di
samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali. "A..Aa..!" Kuguncang-
guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi
tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini,
cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu
mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang
masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun
seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam
5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih
ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.

Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan doa
Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju
dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku memasukkan baju-baju kotor ke
mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah
sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok, "sahutku.

Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin
tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu
mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa menolaknya kalau
tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka kubilang pada dokter
tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja...)"
Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa
diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur. "Sebentar akan saya
telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku
berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya.

Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam
buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam.
Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang
sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah
beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau berikan seorang
suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati.

"Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan
bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa bergerak
menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng adalah
masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih enak dari buatanku. Pagi itu
kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap karena Aa menambah rasanya dengan
keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah
berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik.
"Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma
sebentar hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha
menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku
mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di pintu
stasiun.

Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam proses
menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia,
sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih
sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang
pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang
tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari.
Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan
bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah
Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku
memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat
keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi
belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu
tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus
membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.

Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli kandungan
yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah diteliti, ternyata
benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu aku berobat
secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku
bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya
yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan. ****

Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku. Tanpa
aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru
universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak
ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke
redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus
Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa
Jepang secara autodidak yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi
pekerjaan rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran
untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-
kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.

Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi pendidikan.
Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku tergelitik untuk
mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku
mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas
tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.

Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada kami.
Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu memperhatikan Aa,
berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa.
Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan
pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami
memandang pada si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku
atau Aa akan berguman. "lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-
mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling
memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya
Allah..

Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin masih
tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti
biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap
karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut
kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang
kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe
dengan ekpresi ramah seperti biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap
cemas. Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang
luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe
melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang
telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam hati,
air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku
dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-
kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang
membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku
mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau...
Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam kesukaan
Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap,
serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa.
Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A,
cepet pulang!..."

Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan, tapi aku
yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara
merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari
penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang
belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak
dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa
walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol"
dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa
tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga,
karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan
sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya
waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.

Sampai saat itu...

Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya. Hari itu
kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka
beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain...
"Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya
memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak
menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"

Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang! Penyebabnya
sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus
mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku
bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau
panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut
kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil
berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.
Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, aku
tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil
anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan
membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru bagian hatiku yang
lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian
hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan
"Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.

Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi tidak
demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa
sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu
Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.

Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat
berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh
dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: .... Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi
wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa
ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir
rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...

(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu
orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka
itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk ...)

Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah langsung
menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat
rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku.
Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus
menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya.
Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin,
De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata.
Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku
memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan
genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.
Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan rahmati
karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami saudara-saudara
seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam
mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-
benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih
berat lagi.(is95)

************

Keterangan: Aa * bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang
(untuk orang Betawi) Dede * bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah panggilan sayang
buat istri) Miso * semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam Domou arigatou
gozaimasu: terimakasih banyak .....san: cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya.

Unknown di 23.44

Berbagi

1 komentar:

suratini30 Oktober 2015 06.08

Setelah membaca cerpen ini, seakan terbawa perasaan, sangat meyentuh hati, pasangan suami istri yang
sangat sabar, menerima dengan segala keikhlasan segala cobaan dari Allah.

Balas

Beranda

Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai