Anda di halaman 1dari 3

REFLECTIVE PRACTICE

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KRITIS

DI RUANG ICU I RSD K.R.M.T. WONGSONEGORO SEMARANG

Disusun Oleh :

MARIA ANI WARIKAR

P1337420922008

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2023
REFLECTIVE PRACTICE

1. DESCRIPTION : Deskripsi pengalaman


Saat sedang shift siang pada Senin, 27 Maret 2023 di ruang ICU I RSD
K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang ketika melakukan pengkajian pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dengan diagnosa medis trombositopenia. Disitu saya
ingin mengkaji nyeri yang pasien rasakan namun pasien tidak bisa memberikan data
subjektif secara langsung.
2. FEELINGS : Perasaan dan pikiran tentang pengalaman
Saya berpikir apakah pasien kritis yang mengalami penurunan kesadaran itu
tidak bisa dikaji tingkat nyerinya atau bagaimana ya mengingat pasien tidak bisa
berespon secara verbal untuk menjelaskan keluhannya. Biasanya saya menggunakan
pengkajian PQRST namun jelas tidak bisa diterapkan di sini.
3. EVALUATION : Evaluasi pengalaman, baik dan buruk
Saya kebingungan untuk mengatasi masalah tersebut, lalu saya membuka buku
panduan ternyata di target kompetensi ada yang namanya pengkajian nyeri CPOT.
Ternyata pengkajian tersebut dilakukan untuk pasien kritis. Saya juga klarifikasi ke
perawat tentang pengkajian nyeri CPOT itu penerapannya seperti apa. Saya mendapat
penjelasan ringan bahwa pengkajian nyeri CPOT itu berfokus dalam respon pasien
secara objektif.
4. ANALYSIS : Analisis untuk memahami situasi
Saya menemukan artikel yang membahas tentang pengkajian CPOT. Menurut
(Apriani., dkk, 2018) menjelaskan bahwa indikator pengkajian instrumen CPOT
terdiri dari ekspresi wajah, gerakan tubuh, keteraturan terhadap Ventilator untuk
pasien yang terintubasi, vokalisasi nyeri untuk pasien yang terekstubasi dan
ketegangan otot. Indikator tersebut dapat dikatakan sudah mewakili gambaran ekpresi
rasa nyeri yang mereka rasakan walaupun mereka tidak dapat mengungkapkan secara
verbal, namun perawat yang mengkaji nyeri pasien dapat menangkap pesan yang di
sampaikan pasien melalui perilaku dalam bentuk indikator pengkajian instrumen
CPOT tersebut. Instrumen CPOT tidak akan menimbulkan persamaan persepsi pada
saat dilakukan pengkajian nyeri walaupun pengkajian dikerjakan oleh orang yang
berbeda di karenakan indikator berupa perilaku yang menggambarkan rasa nyeri yang
dirasakan oleh pasien penurunan kesadaran dan pasien yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal.
5. CONCLUSION : Kesimpulan tentang apa yang Anda pelajari dan apa yang bisa
Anda lakukan
Berdasarkan telusur materi dan analisa data dari klarifikasi perawat maka perlu
diperhatikan dalam skor penentuan pengkajian nyeri CPOT. Perlu mengingat
indikator pengkajian nyeri CPOT untuk kata kuncinya adalah ekspresi wajah 0=
santai, 1= tegang, 2= meringis. Gerakan tubuh 0= tidak ada Gerakan, 1= ada Gerakan
perlindungan, 2= gelisah. Kepatuhan ventilator (intubasi) 0= toleransi, 1= batuk tapi
masih toleransi, 2= melawan ventilasi. Vokalisasi (ekstubasi) 0= berbicara nada
normal atau tanpa suara, 1= menghela napas, 2= menangis. Ketegangan otot 0=
santai, 1= tegang kaku, 2= sangat tegang. Keterangan hasil skor pemgkajian CPOT,
skor 0 = tidak nyeri, skor 1-2 = nyeri ringan, skor 3-4 = nyeri sedang, skor 5-6 =
nyeriberat, skor 7-8 = nyeri sangat berat.
6. ACTION PLAN : Rencana tindakan.
Setelah mempelajari materi dan analisa artikel, rencana tindak lanjut ke depan
ketika menghadapi situasi yang sama adalah menerapkan pengkajian nyeri CPOT
pada pasien kritis untuk menilai tingkat nyeri sehingga ketika didapatkan nyeri sedang
dan diatasnya dapat segera diberikan terapi farmakologi atau nonfarmakologi.
7. DAFTAR PUSTAKA
Apriani, A., Agustinah, R., & Hafifah, I. (2018). Pengkajian Nyeri CPOT dan Wong
Bekker Pasien Penurunan Kesadaran. Dunia Keperawatan: Jurnal

Keperawatan dan Kesehatan, 6(1), 34-40

Anda mungkin juga menyukai