Market Global
Komoditas
Semoga liburan Ramadahan serta Long weekend kemarin telah memberikan kita kesempatan untuk
merasakan kehangatan bersama keluarga dan rekan yang kita kasihi. Selain hangatnya berita ekonomi terkait
banyaknya Bank di Amerika Serikat yang diambil alih oleh regulator (FDIC), yang terakhir First Republic Bank,
panas-nya cuaca akhir-akhir ini juga hal yang menarik untuk diperhatikan dan tidak bisa dianggap remeh.
Bahkan banyak negara yang baru mengalami fenomena cuaca ekstrem seperti ini dalam 100 tahun terakhir,
musim panas yang jauh lebih mendidih, musim dingin yang jauh lebih dingin, serta musim hujan yang jauh
lebih basah merupakan hal yang mendadak terjadi akhir-akhir ini. Bahkan, Menko Luhut sempat
menghubungkan resiko cuaca kering di Indonesia ke tingkat inflasi di Indonesia. Apalagi, kontribusi inflasi
pangan terhadap inflasi total tergolong cukup signifikan bobot-nya
"Berdasarkan data yang kami dapatkan, suhu laut juga telah mencapai rekor tertingginya setelah terakhir
terjadi pada tahun 2016 yang lalu. Belum lagi gelombang panas yang mendorong rekor suhu tertinggi di Asia
akhir-akhir ini. Dari pemodelan cuaca yang kami dapatkan El Nino di prediksi akan terjadi pada Agustus 2023
meski ketidakpastian tingkat keparahan El Nino masih sangat tinggi," terang Menko Luhut dikutip dari akun
Instagram @luhut.pandjaitan. Menariknya, para pemangku kebijakan global, termasuk Indonesia sudah
memutuskan untuk mulai mengendalikan panas bumi melalui insentif instrumen keuangan dan pajak.
Intinya, perusahaan yang memproduksi C02 dibawah ambang batas yang ditentukan dapat menjual “hak
menerbitkan C02” kepada emiten yang berpolutan tinggi, sehingga menguntungkan para emiten yang
memiliki aset dengan potensi carbon offset yang tinggi. Dari sisi regulasi, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) secara resmi meluncurkan aturan tentang Perdagangan Karbon Subsektor Tenaga
Listrik (PLN) per tanggal 22 Februari 2023.
.
Tuesday, 02 May 2023 IHSG Hari Ini: Awas, Rawan Terkoreksi
Keputusan tentang carbon trading ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 16
Tahun 2022 tentang persetujuan teknis perdagangan karbon PLTU. Selain itu, Peraturan Presiden tentang nilai
ekonomi karbon juga telah diluncurkan. Perdagangan karbon dapat menjadi cara cerdas untuk tidak hanya
mengurangi emisi karbon di Indonesia, namun juga berpotensi untuk menambah pundi pendapatan sebuah
perusahaan, yang mungkin lebih tinggi dari bisnis utamanya (ditengah tingginya harga karbon di pasar
internasional)
Berbicara tentang carbon trading, salah satu bisnis yang berpotensi diuntungkan adalah dari sektor kehutanan.
Hal ini seperti diungkap oleh Direktur Umum Perhutani, Wahyu Kuncoro bahwa Perhutani memiliki potensi
besar sebagai penyerap karbon.Pasalnya, kemampuan kawasan hutan dalam menyerap emisi lebih besar
dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan. Hal ini membuat emiten yang bergerak di bidang kehutanan
berpotensi untuk memperoleh penghasilan dari penjualan kredit karbon. Salah satunya, emiten berkode SULI.
SULI awalnya bernama PT Sumalindo Lestari Jaya dan berganti nama menjadi PT SLJ Global pada 18 Desember
2012. Emiten ini pada awalnya dimiliki oleh Astra Group (ASII) lalu diakuisisi oleh Sampoerna Group pada 2002
melalui PT Sumber Graha Sejahtera (SGS).Bisnis utama SULI berhubungan dengan sektor kehutanan dan
industri perkayuan yakni dengan mengelola 6 area hutan alam seluas 840k ha dengan rincian berikut:
Peta jalan perdagangan karbon di Indonesia pada tahun 2025,akan menguntungkan industri kehutanan yang
memiliki penyerapan karbon yang melimpah, terutama SULI yang memiliki konsesi hutan alam terbesar di
Indonesia (625.000 ha). Turnaround: Salah satu tantangan yang sempat dihadapi oleh SULI adalah utang yang
tinggi sehingga beban bunga membengkak dan bahkan sempat membuat SULI berada dalam status ekuitas
negatif. Namun hal tersebut telah teratasi dengan adanya divestasi bisnis MDF dan PLTU yang bernama PT
Kalimantan Powerindo. Saat ini, posisi utang jangka panjang SULI sudah sangat turun drastis, serta posisi
ekuitas kembali positif. Apakah aset hutan SULI yang sangat besar, yang mana sedang dalam proses
pendaftaran proyek karbon, akan dapat menjadi sumber pendapatan jumbo di masa mendatang? Apalagi
sudah mulai ada beberapa emiten besar, seperti PGEO dan BRPT, yang mulai memunculkan akun pendapatan
karbon pada laporan keuangan, walau masih kecil. Menariknya, (1) valuasi SULI berada di kisaran P/E 2X saja,
(2) market cap hanya di kisaran 500 milyar rupiah (3) jumlah pemegang saham yang sudah 3 bulan beruntun
berkurang (less crowded stock), dengan posisi terakhir di 2727 pemegang saham. Supaya membantu imaginasi
Cuantroopers terkait potensi SULI, boleh deh kepoin laporan detil terkait potensi kredit karbon di: OTG Carbon
Credit
Tuesday, 02 May 2023 IHSG Hari Ini: Awas, Rawan Terkoreksi
Technical Update
TINS
Buy on Weakness
Price: 1015
TP1: 1100 (+8.37%)
TP2: 1200 (+18.22%)
SL: <960 (-5.41%)
MLIA
Buy on Weakness
Price: 500
TP1: 540 (+8.00%)
TP2: 590 (+18.00%)
SL: <472 (-5.60%)
SCMA
Buy on Weakness
Price: 165
TP1: 179 (+8.48%)
TP2: 196 (+18.78%)
SL: <156 (-5.45%)