Anda di halaman 1dari 203

i

ANALISIS FILM TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK


KARYA DONY DIRGANTORO DAN FILM BADIK TITIPAN
AYAH KARYA TAUFIK DARAMING TAHIR
(Representasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce)

Analysis of Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Movie by


Hamka and Badik Titipan Ayah Movie by Daraming
(Representation of Sirik Na Pacce’s Cultural Values)

TESIS

Disusun oleh :

ST. MURNI Y.S.


1050411.017.16

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019
ii

ANALISIS FILM TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK


KARYA DONY DIRGANTORO DAN FILM BADIK TITIPAN
AYAH KARYA TAUFIK DARAMING TAHIR
(Representasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

ST. MURNI Y.S.


Nomor Induk Mahasiswa : 1050411.017.16

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR

2019
iii
iv
v
vi

ABSTRAK

ST. MURNI Y.S. 2019, Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir
(Representasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce). Tesis. Dibimbing oleh Abd.
Rahman Rahim dan Sitti Aida Azis

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai budaya sirik na pacce


Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Film Badik
Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir, berdasarkan representasi nilai
(1) Sirik nipakasirik, (2) Sirik mappakasirik-sirik, (3) Tappelak sirik, (4)
Pacce, dan (5) Latar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu kajian
pustaka. Sumber data adalah Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir.

Teknik pengumpulan data yang digunakan ada dua yaitu: 1) Data


primer diperoleh dari Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya
Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir. Peneliti
mendengarkan dan memerhatikan dialog aktor secara cermat dan
berulang-ulang kedua film tersebut, kemudian mengklasifikasikan data
yang mengandung nilai budaya Sirik na pacce berdasarkan acuan yang
telah ditentukan. 2) Data sekunder berupa pendapat ahli yang relevan
dengan nilai budaya Sirik na pacce.

Hasil penelitian Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya


Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir,
menunjukkan adanya nilai budaya sirik na pacce masyarakat Bugis dan
Makassar yang patut dijaga, dipelihara dan dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Baik yang berkaitan dengan prinsip, etos kerja,
etika, pantas atau tidak pantas dilakukan, nilai agama, maupun rasa iba
yang menjadi sumber inspirasi menolong sesama manusia.

Kata Kunci; Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Film Badik Titipan
Ayah dan nilai budaya sirik na pacce
vii
viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


Rabbul Alamin yang telah memberikan taufik dan karunia-Nya sehingga
penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis yang berjudul Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck karya Dony Dirgantoro dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik
DaramingTahir (Representasi Nilai Budaya Sirik Na pacce). Penulisan
tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dengan keberadaan tesis ini dapat menambah perbendaharaan keilmuan
penulis sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni.
Keberhasilan penulis menyelesaikan tesis ini, memang melalui
berbagai macam kesulitan dan hambatan yang kesemuanya itu dapat
diatasi dengan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras yang disertai doa,
dan lebih utama adalah bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat
dibalas penulis kecuali ucapan terima kasih. Karena itu, melalui
kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: Dr.
Abd. Rahman Rahim, M. Hum. Pembimbing I, dan Dr. Siti Aida Azis. M.
Pd. Pembimbing II yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran,
arahan, dan dorongan sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian
tesis ini.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh dosen di
lingkup Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan ilmu dan
pengabdiannya kepada penulis. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar beserta staf yang senantiasa memberikan bantuannya, Rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar yang sudi menerima dan memberi

viii
ix

kesempatan saya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas yang


dipimpinnya.
Ucapan terima kasih terkhusus kepada kedua orang tua saya,
keluarga, dan ananda Muh. Rais Mukram Latif, Muh. Rayhan Zulfikrah,
Aulia Rezki, Abd. Rahman, dan Muh. Haerul. Serta teman-teman
seperjuangan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar khususnya Angkatan 2016.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa
Tesis ini sifatnya masih sangat sederhana, namun penulis sudah ber-
usaha semaksimal mungkin menyempurnakannya. Oleh karena itu,
penulis senantiasa mengaharapkan saran dan kritikan yang bersifat
konstruktif demi kesempurnaan Tesis ini, semoga bantuan dan partisi-
pasinya mendapat rida dan pahala dari Allah Swt. Amin.
Makassar, Maret 2019

Penulis
x

MOTTO

Segala apa

Segala apa yang kuberikan pada ayah dan ibu

Tidak pernah sebanding dengan

apa yang telah diberikan kepadaku,

olehnya aku harus melakukan

yang terbaik buat mereka!

Selalu menjadi yang terbaik bagi keluargaku,

ayah dan ibu, suami dan anak-anakku!

‘Reso temmangingngi malomo

naletei pammase Dewata’

‘Sirik na Pacce, pangngaderang,

rappang to Ogi na Mangkasa uratna syarak

“Naiya tau deE sirikna, de lainna olok-olok”,

“Sirik emitu tariaseng tau,

narekko dei sirikta

tania ni tau,

rupa gaung mani asenna”!

x
xi

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN SAMPUL DALAM............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS..................................................................... iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ..................................................................... v
ABSTRAK................................................................................................................ vi
ABSTRACT............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR............................................................................................. viii
MOTTO..................................................................................................................... x
DAFTAR ISI............................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Fokus Penelitian................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian................................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR.............................. 13
A. Kajian Pustaka....................................................................................... 13
1. Penelitian yang Relevan.................................................................. 13
2. Pengertian Nilai Budaya Sirik........................................................ 20
3. Pendekatan Sosiologi Sastra.......................................................... 30
4. Makna Sirik Na Pacce dalam Pandangan Bugis Makassar...... 32
5. Film...................................................................................................... 58
B. Kerangka Pikir........................................................................................ 68
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 72
A. Desain Penelitian.................................................................................. 72
B. Batasan Istilah....................................................................................... 72
C. Data dan Sumber Data......................................................................... 74
D. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 77
E. Teknik Analisis Data............................................................................. 78

xi
xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................... 79


A. Hasil Penelitian...................................................................................... 79
B. Pembahasan.......................................................................................... 123
BAB V SIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 167
A. Simpulan ................................................................................................. 167
B. Saran....................................................................................................... 172
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 175
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................179
LAMPIRAN
1. KORPUS DATA............................................................................................. 181
2. IZIN PENELITIAN.......................................................................................... 193
xiii

DAFTAR SINGKATAN (ISTILAH)

TKVW : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


BTA : Badik Titipan Ayah
SNS : Sirik Nipakasirik
SMSS : Sirik Mappakasirik-Sirik
TS : Tappelak Sirik
PC : Pacce
LT : Latar
Q.S. : Quran Surah
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi

dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu

manusia cenderung hidup berkelompok dan bermasyarakat. Kelompok

masyarakat tersebut kemudian bersepakat membuat aturan yang meng-

atur tatanan sikap dan bertingkah laku dalam lingkungannya. Aturan ini

kemudian berkembang menjadi prinsip, pedoman dan pandangan hidup

sebuah masyarakat yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap

individu. Selanjutnya pandangan hidup suatu kelompok masyarakat

sangat mempengaruhi tingkah laku individu yang hidup dalam lingkungan

masyarakat tersebut, sehingga apabila seseorang ingin bergaul dan

bertahan hidup dalam kelompok masyarakat tertentu, maka harus dapat

mengetahui dan mengenal kebiasaan (adat), pandangan (prinsip) hidup

dan aturan-aturan (norma) yang berlaku dalam masyarakat itu (Kidam.

2012: 1).

Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek

kehidupan, Nilai menjadi salah satu acuan manusia dalam kehidupan

sehari-hari di masyarakat, nilai hidup dalam suatu masyarakat dan

dijadikan pegangan atau falsafah hidup dalam masyarakat di mana

individu atau kelompok masyarakat tertentu hidup atau mendiami suatu

1
2

wilayah. Begitu pula dengan masyarakat Bugis dan Makassar memunyai

falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu sirik na pacce.

Sirik na pacce dalam masyarakat Bugis dan Makassar sangat

dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal

ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan

tertentu dalam tatanan kemasyarakatan. Pemahaman terhadap sirik na

pacce ini sangat memengaruhi masyarakat dalam kehidupannya sehari-

hari, baik dalam kaitan pandangan hidup (sirik sebagai falsafah), sebagai

pemacu motivasi dalam bekerja, rasa malu, dan kepatutan terhadap

hukum atau aturan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Bugis-

Makassar. Budaya sirik na pacce merupakan alat kontrol bagi masyarakat

Bugis Makassar di manapun mereka hidup untuk menghindari perbuatan

tercela dan mengeratkan rasa kebersamaan yang kuat antara sesama (Ali.

2016).

Beberapa tahun terakhir terlihat jelas bagaimana perubahan pola

pikir masyarakat yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya di kalangan

pemuda yang secara otomatis memengaruhi pola pikir mereka dalam

mengaktualisasikan diri dalam kehidupan kesehariannya. Hal tersebut

terlihat pada semakin maraknya fenomena bentrokan massal di antara

para mahasiswa yang notabene mewakili kaum muda yang memiliki

intelektualitas yang juga sebagai generasi pelanjut bangsa. Ada satu hal

penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Fenomena bentrokan

massal tersebut seringkali didasari atas sebuah perkara yang sangat


3

sepele dan bersifat personal. Namun hal tersebut kemudian menjadi

sesuatu yang dahsyat ketika perkara tersebut kemudian dilarikan ke ranah

yang tidak tepat, yakni menyangkut persoalan sirik na pacce yang

kemudian disalahartikan oleh kaum intelektual muda.

Padahal jika merujuk pada makna asli dari kedua kata tersebut,

Sirik itu sendiri sejatinya merupakan rasa malu yang terurai dalam

dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia atau dengan kata lain

sebagai harga diri manusia itu sendiri. Sedangkan Pacce merupakan

sebuah pemaknaan atas kolektivitas (solidaritas) moral bagi masyarakat

Sulawesi Selatan secara umum. Namun, dalam konteks kekinian, pe-

maknaan tersebut kemudian bergeser kearah yang cenderung negatif.

Makna sirik hanya sebatas rasa malu dari sifat ego diri para pemuda yang

kemudian menjadikan pacce sebagai sebuah dampak dari sirik atau

hanya sebatas sebagai sebuah simbol keegoisan semata. Pemberiaan

makna seperti ini mendistorsi hakikat dari makna sirik na pacce

sebenarnya. Hakikat sirik adalah konsep atas nilai kehormatan yang

berasal dari sebuah kebaikan yang dijadikan sumber motivasi berbuat

sesuatu lebih baik, etos kerja, prinsip untuk berbuat yang baik dan tidak

melakukan kejelakan. Sedangkan pacce adalah perasaan simpati, iba,

dan prihatin kepada sesama.

Ada ungkapan suku Makassar yang berbunyi “punna tena siri’nu,

paccenu seng pakania” (kalau tidak ada sirik-mu pacce-lah yang kau

pegang teguh) .Ungkapan ini menggambarkan bahwa antara sirik dan


4

pacce selalu seiring sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Apabila sirik dan pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh

seseorang, maka akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku

melebihi binatang (tidak punya malu/ sirik), tidak memiliki unsur kepedulian

sosial dan hanya mau menang sendiri (tidak merasakan sedih/pacce).

Falsafah Sirik dipergunakan oleh orang Makassar untuk membela

kehormatan terhadap orang-orang yang mau menghina atau meren-

dahkan harga dirinya, keluarganya maupun kerabatnya. Falsafah pacce

dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam

kesusahan atau mengalami penderitaan.

Pandangan masyarakat Bugis dan Makassar tentang konsep dan

tujuan sirik dan pacce yang sebenarnya mulai terkikis, bahkan dalam

beberapa contoh kasus telah terjadi penyalahgunaan maksud dan tujuan

sirik. Misalnya ketika seorang pemuda yang tanpa sebab jelas (dalam

keadaan mabuk) mengganggu orang yang lewat dan terjadi perkelahian

yang menyebabkan si pemuda mengalami luka berat, maka teman-teman

pemuda tersebut mengadakan pembalasan dengan alasan sirik (mem-

pertahankan harga diri). Hal ini malah akan memperbesar masalah yang

dapat berakibat pertikaian antarkelompok, sehingga timbul kesan pada

orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh) dan

“Eja tompi na doang” (nanti setelah merah baru terbukti udang), yaitu

kebiasaan yang tidak mau memperhitungkan akibat yang akan ditimbulkan

dari perbuatan yang akan dilakukan.


5

Ungkapan tersebut muncul sebab orang Makassar merasa bahwa

harga dirinya direndahkan di depan umum, maka ia akan langsung

memberikan pembalasan. Bahwa kalau sirik sudah dilanggar, maka harus

langsung dibayar, nanti setelah itu baru dipikirkan akibatnya. Hal ini tidak

sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukan bukan karena

mereka bodoh, akan tetapi semata-mata hanya ingin membela harga

dirinya dan mendorong untuk dapat menjaga kehormatan diri, namun

yang terpenting ialah harga diri yang dibela memang benar dan patut

untuk dibela dan dipertahankan.

Ada beberapa penyebab timbulnya sirik, misalnya: apabila ada

seorang pria dan wanita yang menikah tanpa persetujuan keluarga

mempelai wanita (kawin lari), maka hal tersebut dianggap sirik (mema-

lukan/merusak harga diri keluarga perempuan); apabila ada orang yang

ditampar di depan umum, maka hal tersebut termasuk sirik (diper-

malukan); apabila ada seorang yang pergi merantau untuk memerbaiki

kehidupannya, maka dia merasakan malu (sirik) apabila harus pulang

tanpa hasil (gagal); dan apabila ada orang yang melanggar aturan agama

(berzina), maka orang tersebut telah melanggar sirik (berbuat hal yang

memalukan)

Selain sirik sebagai falsafah orang Makassar/Bugis, dalam ajaran

Islam pun sirik sangat dijunjung tinggi karena berkaitan harga diri dan

kehormatan, apabila mempertahankan harga diri dengan alasan yang

jelas dan merasakan malu bila akan melakukan perbuatan yang salah
6

maka hal tersebut dapat dibenarkan. Apabila seseorang sudah tidak

memiliki lagi perasaan malu untuk berbuat apa saja maka segala

perbuatan yang melanggar aturan-aturan agama, adat, hukum dan norma-

norma yang lain akan dilakukannya tanpa beban apapun. Sirik na pacce

juga dapat bermakna turut merasakan kesedihan dan penderitaan, juga

bermakna turut dan dapat membantu orang yang mengalami pen-

deritaan. Pacce yang berarti: pedih, prihatin, merasa iba pada orang lain

yang membutuhkan pertolongan (keras, kokoh pendirian). Jadi Pacce

berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan

atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).

Dari awal penulis tertarik untuk meneliti dengan mengangkat atau

menyinggung sebuah permasalahan di sekitar kehidupan penulis yakni

“Silariang”. Silariang adalah satu masalah yang sering terjadi dan sangat

berat sanksinya dalam tatanan kehidupan masyarakat Bugis dan

Makassar karena dapat berujung pada kematian atau penghilangan

nyawa. Di daerah sekitar penulis bertugas yakni SMPN 4 Biringbulu Desa

Baturappe Kabupaten Gowa “ Silariang” ini masih sering terjadi bahkan

selama penulis bertugas sejak tahun 2013 hingga sekarang setiap tahun

ada siswa yang melakukan silariang. Sanksi penghilangan nyawa akan

diterima oleh pihak yang mempermalukan (appakasirik) oleh pihak yang

dipermalukan (tumasirik).

Penulis menjatuhkan pilihan pada Film Badik Titipan Ayah karya

Taufik Daraming Tahir (selajutnya disingkat BTA) karena melihat bahwa


7

peristiwa silariang ini bukan sepenuhnya kesalahan dari pasangan remaja

Andi Tenri dan Firman sepasang kekasih karena mungkin tidak bermoral

atau tidak pernah dididik dengan agama melainkan disebabkan kejadian

masa lalu antara dua orang bersahabat. Persahabatan kedua ayah dari

sepasang kekasih ini yang kemudian bersiteru dalam sebuah bisnis yang

dijalani bersama kemudian berubah menjadi bermusuhan sampai mati.

Dalam pertengkaran hebat kedua orang bersahabat ini dalam sebuah

mobil melaju yang disetir oleh Karaeng Parapak (ayah Firman) terjadi

kecelakaan yang menyebabkan mata Karaeng Tiro (ayah Andi Tenri dan

Andi Aso) buta dan Karaeng Parapak meninggal dunia. Meskipun

Karaeng Tiro tidak pernah lagi mengungkit masa lalunya tetapi Karaeng

Caya sangat tahu kalau suaminya sangat tidak menghendaki lagi

keluarganya berhubungan dengan keluarga Karaeng Parapa apalagi

masuk menjadi bagian dari keluarganya. Demikianlah sebab mengapa

hubungan antara Andi Tenri dan Firman tidak akan pernah direstui oleh

kedua orang tuanya. Celakanya kejadian yang menjadi penyebab tidak

direstuinya hubungan kekasih ini tidak pernah diutarakan dalam keluarga

sehingga terjadilah wujud berontak seorang anak gadis pada kedua orang

tuanya dengan menginginkan hamil sebelum nikah kemudian silariang

dengan harapan hubungan mereka dapat direstui.

Selanjutnya diceritakan pada film BTA, Karaeng Tiro ayah dari

Andi Aso merasa malu sirik karena Andi Tenri anak gadisnya telah men-

coreng nama baik keluarga dengan melakukan (silariang) lari dengan laki-
8

laki dan kawin tanpa restu keluarga. Kemudian untuk menegakkan sirik,

mengembalikan nama baik keluarga Karaeng Tiro memerintahkan Aso

kakak Tenri untuk mencari Tenri dan menyelesaikan dengan adat

Makassar dengan cara membunuh keduanya (Tenri dan suaminya). Rasa

malu yang sangat besar dia rasakan hanya dapat dihapus dengan

mengalirkan darah Tenri pada sebuah badik pusaka keluarga (ilasanrego).

Falsafah Sirik na pacce sebagai prinsip hidup dalam tatanan

norma hidup masyarakat Bugis dan Makasar bukan hanya mengatur

tentang bagaimana silariang dan sanksinya tetapi juga menyangkut hal

yang lain, bagaimana seorang manusia menempuh hidup di dunia hingga

meraih hidup bahagia dunia akhirat. Hal itu antara lain etos kerja dan

falsafah hidup.

Penulis melihat falsafah sirik ini yang dijadikan prinsip oleh masya-

rakat suku Bugis dan Makassar sejalan dengan ajaran atau falsafah yang

terkandung dalam “Film Tenggelamnya Kapal Vander Wicjk” (selanjutnya

disingkat TKVW) karya Hamka dan “Badik Titipan Ayah (selanjutnya

disingkat BTA) karya Taufik Daraming Tahir dkk.

Film TKVW karya Buya Hamka ini yang kemudian difilmkan

disutradarai oleh Sunil Soraya dan penulis naskah atau skenarionya

adalah Dony Dirgantoro. Film TKVW menggambarkan petualangan

imajinasi kepada manusia khususnya masyarakat Bugis dan Makassar

bagaimana nilai-nilai budaya Sirik na pacce digambarkan dalam film

tersebut. Film TKVW mengisahkan tentang perbedaan latar belakang


9

sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga

berakhir dengan kematian. Dari Makassar, Zainuddin berlayar menuju

tanah kelahiran ayahnya di Padang Panjang. Hatinya terpikat pada

seorang jelita bangsawan yang bernama Hayati. Tokoh Zainuddin sebagai

seorang perantau dari tanah Makassar memegang teguh prinsip lelaki

perantau Bugis dan Makassar, bahwa dia tidak akan kembali ke

kampungnya sebelum menjadi orang yang berhasil sebagaimana falsafah

“Sirik”. Dia merasa malu untuk kembali ke tanah Makassar sebelum cita-

cita tercapai atau pulang membawa keberhasilan.

Film TKVW ini diawali dengan konflik pertentangan antara budaya

Makassar dengan Minang yang dikemas begitu hebat oleh penulis Buya

Hamka. Zainuddin tokoh utama film TKVW dihadapkan pada situasi yang

menyiksa batin dan pikirannya hingga merasa begitu menderita. Betapa

tidak, di tanah kelahirannya dia tidak diakui sebagai orang Makassar

karena ayahnya orang asli Padang dan di tanah Minang dia tidak diterima

sebagai anak keturunan Minangkabau karena ibunya orang Makassar

(Bulukumba). Perlakuan yang tidak adil atas diri Zainuddin di tanah Minang

inilah menjadi awal penghinaan atas dirinya sebagai pribadi seorang

Mangkasarak.

Penulis memilih kedua film ini sebagai objek penelitian karena

keduanya memiliki kesamaan yakni setting atau latar peristiwanya ada

yang terjadi di Makassar, tokoh Zainuddin dalam film TKVW berlatar sosial
10

sama dengan tokoh utama dalam film BTA yakni berlatar sosial suku

Makassar dari Bulukumba.

Budaya Sirik na pacce yang dijadikan salah satu pegangan hidup

orang Makassar yaitu malu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan

adat-istiadat, hukum, nilai agama, dan juga dijadikan pegangan sebagai

etos kerja. Namun, pemahaman falsafah Sirik na pacce perlu diluruskan

kembali maknanya dalam masyarakat Bugis/Makassar dewasa ini yang

agak menyimpang dari makna dan tujuan sebenarnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Sirik na pacce dijadi-

kan permasalahan dalam penelitian ini dengan menetapkan judul

Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk Karya Hamka

dan Film Badik Titipan Ayah Karya Taufik Daraming Tahir (Repre-

sentasi Budaya Sirik Na Pacce).

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah representasi Sirik Na Pacce

dalam Film TKVW dan Film BTA berupa: (1) Sirik Nipakasirik

(berhubungan menghina kehormatan, harga diri, atau

dipermalukan), (2) Sirik Mappakasirik-sirik (berhubungan

dengan etos kerja, prinsip hidup, dan nilai agama),(3) Sirik

Tappelak Sirik (berhubungan dengan hilangnya rasa malu,

kehormatan seseorang), (4) Pacce (rasa pedih, rasa iba, turut

prihatin kepada sesama manusia), dan (5) Latar.


11

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk refresentasi sirik

na pacce dalam film TKVW karya Hamka dan BTA karya Taufik

Daraming Tahir dkk. Mendeskripsikan Sirik na pacce berkaitan:

(1) Sirik Nipakasirik (berhubungan menghina kehormatan,

harga diri, atau dipermalukan), (2) Sirik Mappakasirik-sirik

(berhubungan dengan etos kerja, prinsip hidup, dan nilai

agama), (3) Sirik Tappelak Sirik (berhubungan dengan hilang-

nya rasa malu, kehormatan seseorang), (4) Pacce (rasa pedih,

rasa iba, turut prihatin kepada sesama manusia), dan (5) Latar.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis :

a. Menambah kajian khasanah sastra gambaran nilai Sirik na pacce

yang terkandung dalam film TKVW karya Hamka dan film

BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.

b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-

nilai Sirik na pacce yang terkandung dalam film TKVW karya

Hamka dan BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.

2. Manfaat Praktis:

a. Bagi calon peneliti, mahasiswa, guru, dosen atau pengkaji sastra

lainnya sebagai salah satu bahan referensi bagi calon peneliti yang
12

ingin mengembangkan atau memperdalam kajian mengenai kajian

sirik na pacce film TKVW karya Hamka dan film BTA karya

Taufik Daraming Tahir dkk).

b. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Bugis/Makassar dapat

mempelajari dan mencintai karya sastra lokal (film TKVW karya

Hamka dan film BTA karya Taufik Daramin g Tahir dkk.),

memahami makna Sirik na pacce dengan baik, dan men-

jadikan Srik na pacce sebagai motivasi, inspirasi berbuat

lebih baik dan menjadikan alat perekat kepada sesama

manusia.

c.Bagi remaja khususnya Bugis/Makassar senantiasa saling

menghargai, peduli kepada sesama merupakan kebiasaan

yang harus dijaga dan dilestarikan, silariang jalan

perkawinan yang kurang baik dan seyogyanya dihindari.

d. Bagi masyarakat sekolah dan penikmat sastra, hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi salah satu bahan bacaan atau referensi

bagi guru dan siswa tentang nilai Sirik na pacce yang tumbuh dan

berkembang pada masyarakat Makassar dan Bugis perlu

dipelihara dan dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Budaya Sirik na pacce sebagai cerminan karakter suku Bugis/

Makassar.
13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dilakukan oleh Rizal Darwis dan Asna

Usman Dilo Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sultan Amai

Gorontalo. yang berjudul Implikasi Siri Na Pacce pada Masyarakat

Makassar di Kabupaten Gowa. Jurnal pada tahun 2011, pada penelitian

tersebut terungkap bahwa Sirik ialah perasaan malu apabila melakukan

perbuatan tercela atau sikap ingin mempertahankan harga diri terhadap

orang yang melecehkannya dan upaya untuk bekerja atau berusaha

memperoleh kehidupan yang lebih layak. Sedangkan pacce ialah

perasaan yang timbul sebagai wujud solidaritas terhadap kerabat yang

menimpa kesusahan dan diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan.

Falsafah sirik na pacce masih diperpegangi dan berusaha dilaksanakan

oleh masyarakat suku Makassar di Kabupaten Gowa, namun pemahaman

dan pelaksanaan budaya tersebut sudah mulai bergeser akibat pengaruh

dan pengintegrasian budaya yang berasal dari luar Makassar.

Penelitian yang lain juga dilakukan Muhamad Khusni yang berjudul

Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam RomanTenggelamnya Kapal Van Der

Wijck. Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

Riau, Tesis 2010.

13
14

Pada penelitian ini disimpulkan nilai-nilai pendidikan Islam yang

terkandung dalam roman tersebut adalah :

1. Nilai keimanan yaitu suatu kepercayaan terhadap Allah Swt yang

terhujam kedalam hati dengan penuh keyakinan tanpa ada perasaan

ragu-ragu.

2. Nilai kejujuran yaitu sesuatu yang sesuai dengan sebenarnya.

Kejujuran merupakan perbuatan yang sangat mulia melebihi dari

segala-galanya.

3. Nilai tanggung jawab yaitu kewajiban terhadap segala sesuatu; fungsi

menerima pembebanan sebagai akibat sikap tindak sendiri atau pihak

lain.

4. Nilai keikhlasan yaitu suatu sikap atau prilaku merelakan, mem-

berikan dengan tulus hati.

5. Nilai akhlak yaitu suatu sikap dalam jiwa yang darinya lahir

berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu kepada

pikiran dan pertimbangan.

Implikasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam Roman Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck adalah sastra merupakan salah satu sarana ko-

munikasi yang dapat menggugah perasaan pembaca. Tesis ini di-

harapkan mampu mewarnai penyampaian sastra yang lebih menekankan

pada pendidikan Islam sehingga dapat merubah paradigma dalam

memahami nilai-nilai sastra dan para pendidik dapat menyampaikan

pesan moral lewat karya sastra.


15

Penelitian yang dilakukan Virgo S. Lensun berjudul Tindak Ilokusi

dalam Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Karya Hamka Uni-

versitas Sam Ratulangi Fakultas Ilmu Budaya Manado 2016, Skripsi.

Disimpulkan ; Tindak Ilokusi berdasarkan fungsi yang ditemukan dalam

novel ini terdiri dari; kompetititf (meminta), menyenangkan (menawarkan,

mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan

mengucapkan selamat), bekerja sama (menyatakan dan mengajarkan),

bertentangan (menuduh, menyumpai, dan memarahi). Terdapat pula

tindak ilokusi berdasarkan fungsi yang tidak ditemukan dalam novel ini,

antara lain: kompetitif (memerintah, menuntut, dan mengemis) dan

bertentangan (mengancam).

Tindak ilokusi berdasarkan kategori yang ditemukan dalam novel ini

terdiri atas: asertif (menyatakan, mengusulkan, membual, dan menge-

luh), direktif (memohon, menuntut, dan memberi nasihat), komisif

(menjanjikan dan menawarkan), ekspresif (mengucapkan terima

kasih, mengucapkan selamat, dan mengecam), deklarasi (memecat).

Terdapat pula tindak ilokusi berdasarkan kategori yang tidak ditemukan

dalam novel ini, antara lain: asertif (mengemukakan pendapat dan

melaporkan), direktif (memesan dan memerintah), komisif (bergaul),

ekspresif (memberi maaf, memuji, dan mengucapkan belasungkawa),

dan deklarasi (mengundurkan diri, membabtis, memberi nama, menja-

tuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, dan mengangkat).

Tindak ilokusi yang sering digunakan oleh para tokoh dalam

novel ini, antara lain: Tindak ilokusi berdasarkan fungsi yaitu bekerja
16

sama (menyatakan) sebanyak 17 ujaran dan bertentangan (memarahi)

sebanyak 12 ujaran. Tindak ilokusi berdasarkan kategori yaitu asertif

(menyatakan) sebanyak 15 ujaran.

Penelitian siri na pace juga pernah dilakukan oleh Tasrif Akib, dkk.

Berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Siri’ na Pacce terhadap Kemam-

puan Membuat Paragraf Deskriptif dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di

SMP Negeri 3 Sungguminasa Kab. Gowa, jurnal FKIP Unismuh 2016.

Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan.

1. Hasil belajar Bahasa Inggris siswa kelas VIII SMPN 3 Sung-

guminasa Kabupaten Gowa yang diajar dengan pembelajaran

model pembelajaran Siri’ Na Pacce berada dalam kategori tinggi.

2. Hasil belajar Bahasa Inggris siswa kelas VIII SMPN 3 Sung-

guminasa Kabupaten Gowayang diajar dengan pembelajaran

langsung berada dalam kategori rendah.

3. Hasil belajar Bahasa Inggris siswa dalam menulis paragraf des-

kriptif yang diajar dengan pembelajaran model pembelajaran Siri’

Na Pacce lebih efektif dibandingkan dengan hasil belajar Bahasa

Inggris siswa yang diajar dengan pembelajaran langsung.

Penelitian lain, dilakukan oleh Riana Dwi Resky, 2014 yang ber-

judul Film Televisi “Badik Titipan Ayah” Sebuah Studi Opini Mahasiswa

Universitas Hasanuddin. Pada penelitian tersebut terungkap bahwa ; (1)

Opini mahasiswa Universitas Hasanuddin terhadap film televisi “Badik

Titipan Ayah” ini cukup baik. Pesan FTV sudah disampaikan dengan baik

kepada penonton. Unsur sinematiknya pun sudah cukup bagus, diluar


17

banyaknya ditemukan kesalahan teknis, namun secara sinematik, film ini

disajikan dengan baik. Simbol-simbol adat Bugis Makassar diperlihatkan

dengan sesuai. Namun, masih banyak terdapat kekeliruan dalam

penafsiran budaya lokal Bugis Makassar dalam film televisi ini. (2)

sebagian masyarakat mengatakan film televisi ini cukup efektif dalam

memperkenalkan budaya lokal Bugis Makassar, khususnya mengenai

hukum Silariang dan nilai Sirik na Pacce.

Penelitian relevan juga dilakukan oleh Dedy Irawan berjudul

“Teknik Sinematografi dalam Menggambarkan Pesan Optimisme Melalui

Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Fakultas Dakwah dan Ko-

munikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi 2016. Pada penelitian

tersebut disimpulkan bahwa; dalam pengambilan gambar yang mem-

visualkan pesan optimisme terdapat dalam beberapa adegan, berdasar-

kan lima indikator sikap optimisme pengharapan tinggi pada adegan

Zainuddin memutuskan berangkat ke Padang Panjang mencari keluarga

Ayahnya, motivasi yang tinggi dari diri Zainuddin untuk menulis buku/

menjadi wartawan, Zainuddin dan Muluk percaya diri pada saat tiba di

Batavia, Zainuddin mampu mencari dan menemukan solusi pada setiap

masalah yang dihadapi dan tidak pasrah, Zainuddin dengan pendirian

yang teguh menerima permintaan Mande Jamilah untuk meninggalkan

Batipuh sekaligus berpisah Hayati.

Teknik sinematografi yang digunakan dalam film Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck menggabungkan ketiga sudut pandang kamera, yaitu

objektif, subjektif, dan point of view. Film Tenggelamnya Kapal Van der
18

Wijck lebih banyak menonjolkan sisi narasi dalam setiap adegan.

Penggunaan long shot, medium shot, dan medium close up, medium

close up lebih banyak digunakan. Hal ini digunakan untuk memberikan

informasi ruang, tempat, serta kejadian.

Penelitian serupa dilakukan oleh Jaquiline Melissa Renyoet

berjudul “Pesan Moral Dalam Film To Kill A Mockingbird (Analisis Semi-

otika Pada Film To Kill A Mockingbird)”. Skripsi 2014 Universitas

Hasanuddin. Penelitian tersebut disimpulkan:

1. Film To Kill A Mockingbird menunjukkan bentuk-bentuk pesan moral

yang kuat kepada penontonnya dengan menggunakan sejarah,

instruksi moral dan perkembangan karakter dalam film.

a. film To Kill A Mockingbird memberikan petunjuk bagi penonton

akan kesulitan finansial yang dihadapi orang-orang di selatan

Amerika pada saat itu, khususnya petani kulit putih yang

miskin. Selanjutnya To Kill A Mockingbird kemudian menetapkan

pola pikir dan sikap dari kaum kulit putih selatan terhadap ras dan

budaya lain, yang mewakili sentimen banyak orang Amerika pada

saat itu.

b. Karakter-karakter dalam film seperti Atticus Finch dan kedua

anaknya, Jem dan Scout Finch serta komunitas kota May-

comb menunjukkan pesan moral yang dalam. Dengan mem-

perlihatkan bagaimana orang tua, khususnya seorang ayah

(Atticus), dalam memberikan instruksi dan saran moral terhadap

anak-anaknya, film ini berusaha mendidik penontonnya tentang


19

tanggung-jawab moral yaitu bagaimana kita memperlakukan

orang lain.

c. Film ini tidak hanya melibatkan karakter anak-anak, tetapi juga

melihat dunia dari sudut pandang mereka. Pengalaman karakter

anak-anak dalam film ini, seperti berbagai petualangan, rasa

penasaran mereka terhadap tetangga dan orang-orang di

sekitarnya, serta perjalanan mereka dalam memahami dan

menghadapi konsekuensi dari rasisme mengajarkan dan men-

didik penonton tentang bagaimana memperlakukan orang lain

dengan hormat dan baik tanpa memikirkan perbedaan yang ada.

d. Film ini ingin menyampaikan pada penontonnya bahwa sese-

orang bisa hidup di antara semua budaya dan ras tanpa rasa

takut dan prasangka serta mendorong penontonnya untuk memi-

kirkan penghakiman moral dan perlakuan mereka terhadap orang

lain.

e. Struktur sosial sejarah sepanjang film. film ini mencoba meng-

hilangkan struktur hirarkis dengan menunjukkan karakter se-

perti Atticus yang tidak membeda-bedakan antara miskin dan

kaya, atau hitam dan putih.

f. Film ini mendorong penonton untuk menganalisis masa lalu dan

belajar dari kesalahan sehingga generasi di masa depan bisa

hidup di dunia yang lebih damai.

g. Film To Kill A Mockingbird juga menggunakan berbagai simbol

yang merupakan representasi dari karakter-karakternya.


20

2. Makna Pesan Moral dalam film To Kill A Mockingbird terdiri dari

moral sopan santun, bersyukur, menghormati, kejujuran, pendidikan

dan keberanian.

Penelitian relevan dilakukan oleh Yaninta Sani Sawitri berjudul

Rasisme dalam Film Crash (Analisis Semiotik tentang Representasi

Rasisme di Negara Multi Ras dalam Film Crash). Skripsi Jurusan

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sebelas Maret Surakarta, 2009. Pada penelitian tersebut disimpulkan

bahwa rasisme terjadi dari adanya prasangka, stereotip dan diskri-

minasi yang menimbulkan terjadinya kekerasan rasial. Film ini

mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang me-

nunjukkan terjadinya rasisme antar ras yang lebih kompleks, tidak

hanya melibatkan kulit hitam dan kulit putih, walau tidak dapat di-

pungkiri porsi konflik yang terjadi antara kulit hitam dan kulit putih tetap

lebih besar. Rasisme yang digambarkan dalam film Crash terjadi

dalam bebagai taraf kehidupan, dalam berbagai profesi, mulai dari

golongan kelas bawah hingga golongan atas. Rasisme yang

terkandung dalam film Crash sifatnya lebih halus (terselubung),

sederhana dan dekat dengan keseharian kita, namun tetap dapat

menimbulkan akibat sangat fatal.

2. Pengertian Nilai Budaya Sirik

Kata Sirik, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”.

Sedangkan Pacce dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”.
21

Sirik dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori,

yaitu (1) Sirik Nipakasirik (Bugis Ripakasirik), (2) Sirik Mappakasirik-sirik

(Bugis: Masirik-sirik), (3) Sirik Tappelak Sirik (Bugis: Tallao Sirik), dan (4)

Sirik Mate Sirik.

Sirik Ripakasirik adalah Sirik yang berhubungan dengan harga diri

pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Sirik jenis ini

adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya

adalah nyawa. Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari

seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun

perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan

(gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga. Contoh

lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan

di mana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya

(Sirikna) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus

membunuh atau terbunuh. Hutang darah harus dibalas dengan darah,

hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa.

Dalam keyakinan orang Bugis dan Makassar bahwa orang yang mati

terbunuh karena menegakkan Sirik matinya adalah mati syahid, atau yang

mereka sebut sebagai Mate nisantangi atau Mate nigollai, yang artinya

bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula.

Itulah sejatinya Kesatria.

Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Sirik

untuk kategori Sirik Nipakasirik, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji

nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siriknu mate mako kaniak-


22

kangngami angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Sirik kita masih

tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi

hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana

ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’

gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata

terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana

kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik

haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar

terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau

harapan.

Selain itu, Sirik juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal

yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat

dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan

kemanusiaan itu sendiri.

Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah

“Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo

sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika

seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah

maka keluarga yang lain ikut membantu. Kalau seseorang cenderung

terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang

lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.

Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh

nilai-nilai Sirik, ketika berhutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih
23

dia akan datang sendiri untuk membayarnya. Sirik yang satu ber-

hubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang

yang mate sirikna adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada

rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan

pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang

hidup.

Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan

masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di

lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau

busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli

putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan

senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min-

dzalik.

Pacce adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat

Bugis/Makassar. Pesse lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Sirik (malu).

Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat

malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (sirik) tersebut

dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu saat,

manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita

dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak

tega melihat anaknya menderita.

Punna tena siriknu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah

karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat
24

anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu

(paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan Engkau sia-siakan.

Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna

kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, prikemanusiaan, rasa turut

prihatin, berhasrat membantu. Jadi, pacce adalah perasaan yang muncul

dari dalam hati yang dapat merangsang kepada suatu tindakan untuk

menolong atau membantu seseorang. Pacce merupakan prinsip hidup

orang Bugis/Makassar sebagai pernyataan moralnya untuk menolong atau

membantu orang lain. Sirik dan Pacce inilah yang mendorong orang

Bugis/Makassar menjaga harga diri, bekerja keras untuk meraih keber-

hasilan, malu melanggar tatakrama (hukum) dan turut prihatin kepada

orang lain atau membantu orang yang butuh pertolongan.

Dengan memahami makna dari sirik dan pacce, ada hal positif yang

dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana

dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan, berlaku

adil pada diri sendiri dan terhadap sesama bagaimana hidup dengan

tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep

sirik dan pacce ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang

mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan

hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat).

Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek

kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Hal ini

sejalan dengan pendapat (Sugira, 2016: 65) “Nilai-nilai itu diciptakan

karena dimuliakan oleh leluhur mereka sebagai peletak dasar ke-


25

budayaan Makassar. Kemudian dialihkan turun-temurun dari satu generasi

ke generasi berikutnya. Dalam usaha mewariskannya, mereka mewaris-

kannya dengan menasihatkan atau memesankannya”. Nilai ini hidup

dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat

tertentu. Masyarakat Bugis/Makassar mempunyai falsafah hidup yang

sangat dijunjungnya yaitu sirik na pacce. Sirik na pacce yang dijadikan

nasihat dapat ditemukan dalam lontara-lontara yang disebut pasang.

Pendapat lain dikemukakan oleh M.Z. Lawang (dalam Budi Juliardi 2014:

141), “Nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas,

barharga dan dapat memengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai

tersebut”.

Sesuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memiliki sifat;

menyenangkan, berguna, memuaskan, menguntungkan, menarik, dan

meyakinkan. Artinya sesuatu dipandang bernilai bagi manusia apabila

dapat menyenangkan manusia, berguna bagi manusia, dapat memuaskan

manusia, mempunyai nilai tarik serta dapat menimbulkan keyakinan bagi

manusia terhadap nilai dari sesuatu itu.

Sirik na Pesse dalam masyarakat Bugis dipandang memiliki nilai dan

dapat menarik, berguna bagi manusia. Maka sirik na pacce sangat di-

junjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan Bugis/

Makassar, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyarakat

terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai

(sirik na pacce) ini sangat mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan

hukumnya.
26

Sirik yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah

masyarakat Bugis/Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Sirik

na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Sirik na Pesse ( Bahasa Bugis ) ada-

lah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang

Bugis/Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sak-

ralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Sirik-nya atau

De’ni gaga Sirikna, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan

sebagai manusia. Bahkan orang Bugis/Makassar berpendapat kalau

mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata :

Sirikmi narituo ( karena malu kita hidup ).

Dengan adanya falsafah dan ideologi Sirik na pacce, maka keter-

ikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama

suku maupun dengan suku yang lain. Konsep Sirik na pacce bukan hanya

dikenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni

daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya

yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam

berinteraksi.

Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu

yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau

suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok

masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan

memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya.

Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup

dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan
27

nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey (2009: 1) berpendapat

mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia

diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan

bersifat intersubyektif karena ditumbuhkembangkan secara individual,

namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat

hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang

digambarkan.

Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia

akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada

struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku

sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material.

Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam

pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus

mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai

budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan

manusia. Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut sistem nilai budaya

menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu

kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau

dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata

seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari pe-

nuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai

budaya yang terkandung dalam film dapat diketahui melalui penelaahan

terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.


28

Poerwadarminta (2007: 801) nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) pen-

ting atau berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan Soekanto (1983:161)

menyatakan nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman

pribadi seseorang dengan sesamanya. Nilai merupakan petunjuk umum

yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan

kepuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, nilai dapat dikaitkan

sebagai sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan

berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga

atau berguna bagi kehidupan manusia. Persahabatan sebagai nilai

(positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan

antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketepatan yang

ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.

Nilai adalah sesuatu yang berharga, menunjukkan kualitas, berguna

bagi manusia. Sesuatu dianggap bernilai apabila berharga atau berguna

bagi kehidupan manusia. Apa yang diinginkan manusia dan dicita-citakan

manusia pada dasarnya bersumber dari nilai, misalnya seseorang meng-

inginkan derajatnya di masyarakat lebih baik maka pastilah manusia itu

berusaha sedemikian rupa agar lebih baik. Hal ini sejalan dengan

pendapat (Rafiek 2011: 67) “Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan,

keyakinan, dan hal-hal lain yang bersifat batiniah”.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian nilai dapat

disimpulkan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat dalam

kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang


29

dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai di sini dalam konteks etika (baik

dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).

Nilai-nilai budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik dan

berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum

tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa

lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada

suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat

yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran

masyarakat dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu

singkat. (Rosyadi, 1995).

Bertolak dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tentang

nilai, peneliti memberikan definisi nilai budaya adalah kebiasaan yang

tumbuh dan berkembang dalam kelompok individu atau masyarakat dan

dipertahankan keberadaannya karena dianggap penting. Kebiasan

tersebut dijaga dan dipelihara, kebiasaan ini meliputi norma adat, agama,

perilaku dan kebiasaan lainnya. Aturan-aturan tersebut pantang dilanggar

dan harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Hal senada dikemu-

kakan Rahim (dalam Latif, 2012: 32). “Adat sebagai kebudayaan, meng-

gariskan ketentuan bagi segenap sikap dan tingkah laku yang diketahui,

dimiliki dan dipertahankan sebagai milik bersama. Mereka yang mematuhi-

nya akan memperoleh penghargaan dan memperoleh hukuman bagi yang

melanggar”.

Nilai budaya termasuk norma dan sikap tercermin dalam cara berpikir

dalam bentuk kongkret, terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-


30

anggota masyarakat. Menurutnya, wujud nilai budaya tersebut meliputi

nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, dengan

manusia, masyarakat, dan dengan dirinya sendiri. Contoh wujud nilai

budaya hubungan manusia dengan Tuhan adalah budaya taat misalnya

bernazar. Apabila seorang manusia bernazar sesuatu, maka dia harus

menepatinya, melaksanakan nazarnya itu. Salah satu wujud nilai budaya

hubungan manusia dengan alam adalah budaya menjaga lingkungan.

Adapun contoh wujud nilai budaya hubungan manusia dengan manusia

adalah budaya mengantre. Selanjutnya wujud nilai budaya hubungan

manusia dengan masyarakat adalah budaya bertanggung jawab. Terakhir,

contoh wujud nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri adalah

budaya berusaha mengubah nasib.

3. Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi

kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada

pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi, karya sastra

dilihat hubungannya dengan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung

arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya

sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek

dokumen, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan

gambaran atau fenomena sosial. Pada hakikatnya fenomena sosial itu

bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto,


31

dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali

menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis,

interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya).

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, maka sebagai peng-

gambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenalkan

pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak

digambarkan. Gambaran kehidupan di sini mencakup hubungan antara

masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang

terjadi dalam batin seseorang. Namun Wellek dan Warren mengingatkan,

bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru

kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebab-

kan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut

kadang tidak sengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya

sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena

sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri

tidak tahu.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi

berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, berkawan,

teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra

dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan,

memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.

Wellek dan Warren ( 1990:111) membagi sosiologi sastra sebagai

berikut.
32

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah

yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar

belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat

dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap

pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai

makhluk sosial. Biogarfi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi

ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal.

Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi

ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan

masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1990:112)

2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri

yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam

karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang

umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen

sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122).

Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Tho-mas Waron

(penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra

mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton

dan pengikutnya sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber

sejarah peradaban.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial

karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat;

seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya.


33

Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan

diterapkan dalam kehidupannya.

4. Makna Sirik na Pacce dalam Pandangan Bugis/Makassar

a. Makna Budaya sirik

Secara harfiah pengertian sirik adalah sama dengan rasa malu. Dan,

kata sirik ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan

(honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna

kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan

pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya

itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia

menyebut perkataan sirik karena sirik adalah dirinya sendiri. Sirik ialah

soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan,

dan harga diri sebagai seorang manusia.

Selain itu, pendapat senada dikemukakan (Faidi 2016: 95) kata “sirik

dapat diartikan sebagai harkat, maratabat, kehormatan dan harga diri.

Dengan demikian, dapat dikatan kata sirik itu sendiri lebih merupakan

sebuah perasaan malu dalam diri seseorang yang cukup erat kaitannya

dengan persoalan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri manusia”.

Suku Makassar memandang sirik sebagai pegangan hidup yang menuntut

setiap individu senantiasa menjaga harkat, martabat, kehormatan dan

harga dirinya baik sebagai individu, keluarga, dan masyarakat. Selain itu,

konsep sirik ini juga menjadi pendorong dalam menciptakan hubungan


34

sosial yang harmonis, saling menghormati dan menjaga antara individu,

golongan dan lainnya dalam masyarakat.

Sirik lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan

bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting ke-

hidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masya-

rakat Bugis/Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis

cenderung memuji sirik sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela

apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan sirik yang salah

sasaran. Menurut mereka, sirik seharusnya dan biasanya, memang

seiring sejalan dengan pacce’ (Makassar) pesse (Bugis).

Sirik yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah

masyarakat Bugis/Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Sirik

na Pacce adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter

orang Bugis/ Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu

sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siriknya atau

De’ni gaga Sirikna, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan

sebagai manusia. Bahkan orang Bugis/Makassar berpendapat kalau

mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata

Sirikmi Narituo (karena malu kita hidup).

Hamka dalam Andi Zaenal Abidin (1999:203-204) menguraikan

makna sirik dipandang dari segi Islam sebagai berikut:

Dipandang dari sudut Islam, maka menjaga diri itu sama artinya
dengan menjaga syariat. Menjaga harga diri dipandang dari segi ilmu
akhlak adalah suatu kewajiban mulia yang paling tinggi, sehingga
ada syair :”Jika tidak engkau pelihara hak dirimu, engkau me-
ringankan dia, orang lain pun akan lebih meringankannya, sebab itu
35

hormatilah dirimu dan jika satu negeri sempit buat dia, pilih tempat
lain yang lebih lapang. Jikalau orang yang memakai sirik Islam ini
bertemu dengan perbuatan orang lain yang akan merendahkan
martabatnya, jadi hina, dia pasti membalas, di sinilah pepatah yang
terkenal : “Annaar lal aar”. Artinya biar bertikam daripada memikul
malu. Tetapi sirik yang demikian itu menurut Islam harus dipelihara
dari segala seginya. Pertama, meneguhkan iman dan tawakkal
kepada Allah, sebab iman dan tawakkal kepada Allah, sebab iman
dan tawakkal itu menimbulkan nur atau cahaya pada diri seorang
mu’min, sehingga walaupun dia tidak bercakap sepatah jua pun,
cahaya imannya telah memancar dari matanya, sehingga
menimbulkan pengaruh kepada alam yang berada di sekelilingnya.
Sehingga orang yang tadinya ada berniat jahat kepada orang yang
beriman baru melihat matanya sebentar saja, orang yang berniat
jahat itu tidak dapat menentang lama, musti tunduk. Orang yang
teguh imannya itu mempunyai akhlakul karimah, budi pekerti yang
mulia. Menurut Imam Ghazali, sirik yang sejati ialah yang menengah
atau Al Ausath... Malu itu termasuk iman, tegasnya orang yang tidak
bermalu adalah orang tidak beriman. Dan sebuah hadits lain:”
Apabila engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu (diriwayatkan
oleh Bukhari).

Selanjutnya, Sirik menurut pemahaman A. Moeing MG (1994: 91),

yaitu:

bahwa orang Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja, adalah


orang yang menjaga Maru-ah-nya: Memelihara harga diri baik di
dalam sikap hormatnya kepada orang lain ataupun di dalam
kerendahan hati dan tawadhu’. Dia bersedia memuliakan orang
tetapi dia jangan dihinakan, dia mau memikul yang berat, menjinjing
yang ringan tetapi dia jangan dianggap rendah. Tidak ada yang
lebih berharga daripada dirinya sebagai manusia. Di sinilah timbul
pepatah :”Ma tam papuang timukku, temmatampapuang gajakku”
(Mulutku bisa berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau orang
Makassar berucap: Bawaku ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng
(Hanya mulutku yang bertuan, tetapi badikku tak mengenal tuan).
Sebab itu apabila keempat-empat suku bangsa ini menyisipkan
badik pada pinggangnya bukan berarti dia akan menikam orang lain
melainkan dia akan menjaga Siriknya, menjaga kehormatan dirinya.
Apalagi kehormatan itu yang diganggu oleh orang lain. Itu sebabnya
36

maka menjadi sirik atau pantang menyentak badik kalau tidak akan
ditikamkan.

Badik sebagai lambang keperkasaan orang Bugis Makassar menurut

Juma Darmapoetra (2014: 88) adalah:

Senjata khas Bugis-Makassar. Senjata tradisional masyarakat


Bugis disebut Kawali atau Badik. Fungsi badik digunakan masya-
rakat sebagai senjata, berburu dan sekaligus menjadi identitas diri
sebuah kelompok. Orang Bugis meyakini adanya kekuatan magis
dan mistik dalam diri badik. Kekuatan mistik tersebut dapat mem-
pengaruhi kondisi, keadaan dan proses kehidupan pemiliknya.
Bahkan masyarakat Bugis percaya, badik dapat menimbulkan
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan ke-makmuran. Atau
sebaliknya dapat pula membuat pemilliknya menjadi melarat, miskin
dan penuh penderitaan. Semua pandangan ini berasal dari sebuah
doktrin dan warisan leluhur yang melekat dalam masyarakat yang
mempercayai kekuatan tersebut karena terkadang pusaka menim-
bulkan nuansa batin tersendiri bagi pemeluknya.

Demikianlah badik sebagai lambang kekuasaan dan keperkasaan

masyarakat Bugis/Makassar tidak dapat dipisahkan sehingga untuk

menyelesaikan sebuah masalah menyangkut harga diri atau sirik, badik

hampir selalu ada. Badik dijadikan alat untuk menyelesaikan masalah

tersebut, yaitu dengan cara membunuh dengan menggunakan badik.

Andi Zainal Abidin (1999 :215) membagi Sirik, dalam dua jenis: Per-

tama adalah Sirik Ripakasirik, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau

diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia

sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siriknya untuk mengembalikan

Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut Mate

Sirik (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Kedua adalah Sirik

Masirik, yang disebabkan oleh kesalahan orang sendiri atau keadaan.


37

Pemulihan jenis sirik ini dilakukan dengan membuat prestasi yang hebat.

Misalnya orang yang tidak lulus ujian, belajar dengan sekuat tenaga

sehingga akhirnya lulus dengan predikat yang memuaskan. Orang yang

miskin biasanya pergi merantau ke daerah lain dan di sana berusaha

sekuat tenaga sampai berhasil menjadi kaya. Misalnya di kalangan suku

Bugis menganut kepercayaan yang berbunyi: “Iapatu muita mellek laopo

sompek, muallaku-laku mappalaong”. Artinya: Engkau dapat mengangkat

dirimu dari lumpur kemiskinan kalau engkau pergi merantau, dan bekerja

keras di sana! Dalam hal demikian bukan orang yang telah menghina

harus dibunuh atau dianiaya, tetapi kemiskinan dan kebodohan.

Untuk orang Bugis/Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup

yang lebih tinggi daripada menjaga Sirikna, dan kalau mereka tersinggung

atau dipermalukan (ripakasirik/nipakasirik) mereka lebih senang mati

dengan perkelahian untuk memulihkan Sirik-nya dari pada hidup tanpa

Sirik. Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka

berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak

sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Sirik disebut Mate nigollai,

Mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan berlumpur santan atau mati

secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.

Sugira (2016: 89) mengungkapkan konsep sirik dalam budaya

Makassar:

1) sirik adalah sesuatu yang sangat tinggi, sangat berharga baik bagi
individu maupun masyarakat,
2) sirik adalah modal perjuangan bagi setiap individu maupun
sebagai anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri bagi
manusia pembangunan,
38

3) sirik dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi perjunagan, dan


pendorong serta pengarah bagi setiap individu dan anggota
masyarakat dalam membangun diri dan masyarakat,
4) makin besar kuantitas sirik seseorang makin tinggi kualitas
manusia tersebut kepada sesama,
5) sirik harus ditegakkan secara timbal balik.

Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan

karena Sirik melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula

lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya

dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan

perkelahian selain daripada Sirik dianggap semacam kotoran jiwa yang

dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Sirik itu

tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan

suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orang tuanya kurang Sirik-nya.

Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu

sopan santun semua kurang Sirik-nya”.

Yang kedua adalah : Sirik Masirik yaitu pandangan hidup yang

bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu

prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah

demi Sirik itu sendiri, demi Sirik keluarga dan kelompok. Ada ungkapan

Bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako”

(Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi ber-

juanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul

Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah

seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang merantau ke

Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad
39

XVIII karena masalah Sirik, perebutan kekuasaan raja Gowa antar

saudara.

Sirik jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis

disebutkan, “Narekko degaga sirikmu, inrengko sirik.” Artinya, kalau Anda

tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa

malu (Sirik). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka sirikmu, aja’

mumapakasirik-sirik” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan

membuat malu (malu-maluin).

Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat.

Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-

malu atau malu hati. Hal yang terkait dengan Sirik Mappakasiriksirik serta

hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang

keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat Sirik sebagaimana

ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ guling-

ku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka

(bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan

melangkah, pasang tekad yang kuat “Lebih baik tenggelam daripada balik

haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar

terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai harapan dan

cita-cita yang diharapkan.

Selain itu, Sirik mappakasirik-sirik juga dapat mencegah seseorang

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,


40

agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat meru-

gikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah

“Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo

sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika

seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah

maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung

terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang

lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.

Melalui latar belakang pokok hidup Sirik na pacce’ inilah yang

menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan

melak-sanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang

manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat.

Antara sirik dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya,

saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.

Dengan memahami makna dari sirik dan pacce’, ada hal positif yang

dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana

dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil

pada diri sendiri dan terhadap sesama, bagaimana hidup dengan tetap

memperhatikan kepentingan orang lain.

Budaya Sirik na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya

Masyarakat Bugis/Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila sirik na

pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi

tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan
41

kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan mem-

perturutkan hawa nafsunya. Istilah sirik na pacce sebagai sistem nilai

budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena Sirik na pacce

hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat

Bugis/Makassar, Sirik mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa

anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan

manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.

Sirik adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan

martabat manusia, sirik adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat

Bugis/Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, Pacce

mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa

mementingkan diri sendiri dan golongan ini adalah salah satu konsep

yang membuat suku Bugis/Makassar mampu bertahan dan disegani

diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan

menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam

bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"

Sirik dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri,

yang meliputi:

1. Kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai


utamanya yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran,
perasa-an dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia
berke-dudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi
struktrur dalam kebudayaan. Sirik dalam sistem sosial, adalah
mendinamisasi keseimbangan eksistensi
2. Hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinam-
bungan kekerabatan sebagai dinamika sosial terbuka untuk
beralih peranan (bertransmisi), beralih bentuk (bertranformasi),
dan ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai dengan perkembangan
42

kebudayaan nasional, sehingga sirik dapat ikut memperkokoh


tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila.
3. Sirik dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan
konkrit didalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi
kejujuran, keseimbangan, keserasian, keimanan dan kesung-
guhan untuk menjaga harkat dan martabat manusia (Moein,
1990: 42).

Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini

senantiasa akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan

masyarakat Bugis Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsiran-

nya meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi

disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Sirik ini, maka tentunya akan

berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang

akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak

termasuk penulis sendiri, sehingga harus diluruskan agar kedepannya

nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas

masyarakat Bugi/Makassar.

Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan ma-

syarakat Bugis/Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri

atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam

menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis/Makassar dituntut

harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan

ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku

sebagai masyarakat Bugis/Makassar memiliki orientasi yang mampu

menghadapi apapun.

Hakikat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat

Bugis/Makassar yang tersimpul dengan “Duai temmallaiseng, tellui tem-


43

massarang” (dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak

terceraikan). Nilai sirik dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural

yang memberikan implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata.

Tingkah laku itu dapat diamati sebagai pernyataan ataupun perwujudan

kehidupan masyarakat Bugis/Makassar.

Apabila diamati pernyataan nilai sirik ini atau lebih konkritnya meng-

amati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah laku

yang katanya dimotivasi oleh sirik, maka akan timbul kesan bahwa nilai

sirik itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan

sentimental atau sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada

melihat kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran sirik, misalnya:

malu-malu, aib, iri hati, kehormatan dan harga diri, dan kesusilaan. Cara

pandang seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang kurang

lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi

kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan

hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah

nilai/falsafah hidup manusia.

Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut

dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis/

Makassar. Sebagai seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis me-

lihat, disintegrasi semacam ini sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu

yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa

amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan.

Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini, mulai dari
44

demonstrasi yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada

perilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik. Disintegrasi

seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan ketidakstabilan dalam

kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan datang.

Apabila kita ingin mendalami makna sirik dengan segenap per-

masalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara’ La Toa. Dimana

dalam lontara ini berisi pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang merupakan

kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri teladan. Kata La Toa sen-

diri sejatinya memiliki arti petuah-petuah, dimana juga memiliki hubungan

yang erat dengan peranan sirik dalam pola hidup atau adat istiadat

masyarakat Bugis/Makassar. Misalnya dapat dilihat pada beberapa poin

dalam lontara’ tersebut: Sirik sebagai harga diri atau pun kehormatan,

Mapappakasirik artinya menodai kehormatannya, Ritaroang Sirik yang

artinya ditegakkan kehormatannya, Passampo Sirik yang artinya penutup

malu, Sirik sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan

hidup.

Kata sirik dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak

serakah dan sebuah prinsip hidup masyarakat Bugis/Makassar. Ung-

kapan-ungkapan seperti Sirik na ranreng (sirik dipertaruhkan demi kehor-

matan), Palaloi siriknu (tegakkan siriknu), Tau de’ sirikna (orang tak me-

miliki malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan

falsafah hidup masyarakat Bugis/Makassar.

Dari aspek ontologi (wujud) budaya Sirik na pacce mempunyai

hubungan yang sangat kuat dengan pandangan Islam dalam kerangka


45

spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan

jiwa atas tubuh. Inti budaya Sirik na pacce mencakup seluruh aspek

kehidupan masyarakat Bugis/Makassar, karena sirik na pacce merupakan

jati diri dari orang-orang Bugis/Makassar. Dengan adanya falsafah dan

ideologi sirik na pacce maka keterikatan antara sesama dan kesetiaka-

wanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan

suku yang lain. Konsep sirik na pacce bukan hanya dianut oleh kedua

suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang

mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosa-

kata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya

memiliki kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

Ungkapan sikap masyarakat Bugis/Makassar yang termanifestasi-

kan lewat kata-kata Taro ada’ taro gau (satu kata satu perbuatan),

merupakan tekad atau cita-cita dan janji yang telah diucapkan pastilah

dipenuhi dan dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan

dengan prinsip-prinsip Abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa

di junjung tinggi, semuanya kuabadikan demi keagungan leluhurku).

Kata Sirik, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna malu,

harga diri. Sedangkan Pacce dapat berarti tidak tega, peduli, kasihan,

atau iba. Struktur atau jenis sirik dalam Budaya Bugis atau Makassar

mempunyai empat kategori, yaitu (1) Sirik Nipakasik/Ripakasirik, (2) Sirik

Mappakasirik sirik, (3) Sirik Tappelak Sirik (Bugis: Teddeng Sirik), dan (4)

Sirik Mate Sirik. Guna melengkapi keempat struktur Sirik tersebut maka
46

Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu

budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Sirik Na Pacce.

1. Sirik Nipakasirik

Kata Sirik dapat diartikan sebagai wujud kebudayaan berupa sistem

nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.

“Makna dan tujuan sirik dengan jalan menghilangkan nyawa atau melukai

orang lain yang merusak atau menodai sirik keluarganya haruslah

memenuhi syarat-sayarat pembelaan terpaksa dan perlampauan

pembelaan terpaksa berdasarkan hukum adat Sulawesi Selatan (Zainal

Abidin 1999: 195). Sirik Nipakasirik adalah yang berhubungan dengan

harga diri pribadi seseorang, serta harga diri atau harkat dan martabat

keluarga. Sirik jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk

dilanggar khususnya etnis Makassar. Pelanggaran budaya Nipakasirik

taruhannya adalah nyawa, keluarga yang dipermalukan lebih memilih

menyelesaikan dengan cara membunuh orang yang dianggap

mempermalukan (mappakasirik). Sebagai contoh dalam hal ini adalah

membawa lari anak gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-

laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga

perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.

Shelly Errington dalam (Sugira, 2010: 63) mengemukakan bahwa

untuk Bugis-Makassar tidak ada tujuan hidup lebih tinggi daripada men-

jaga siriknya. Kalau mereka tersinggung, nipakasirik atau dipermalukan,

mereka lebih senang mati dengan berkelahi untuk memulihkan atau

menjaga siriknya. Dari pendapat tersebut dipahami bahwa sirik bagi orang
47

Bugis-Makassar dianggap penting dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu

orang Makassar dikenal mudah berkelahi kalau dipermalukan , dan dihina.

Adalah Sirik yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta

harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Sirik jenis ini adalah sesuatu

yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin

lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus

dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari)

karena telah membuat malu keluarga. Contoh lainnya adalah kasus

kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau

keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Sirikna) wajib

untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau ter-

bunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus

dibalas dengan nyawa.

Silariang, atau kawin lari kadang menjadi pilihan terakhir dua insan

yang sedang dimabuk cinta tapi tidak mendapat restu keluarga. Baik restu

dari satu keluarga, atau restu dari kedua pihak keluarga. Bagi suku

Bugis/Makassar, anak gadis yang dibawa lari atau kawin lari tanpa restu

dari orang tua berarti aib besar, sebuah perbuatan yang dianggap

mencoreng nama baik keluarga dan merendahkan harga diri keluarga

besar utamanya keluarga besar si wanita.

Silariang adalah salah satu pilihan yang termasuk dalam perbuatan

annyala. Annyala dalam bahasa Makassar berarti berbuat salah, sebuah

pilihan salah yang diambil sepasang kekasih ketika cinta mereka tak
48

mampu menembus tembok restu kedua pihak keluarga. Ketika cinta tak

direstui, silariang jadi pilihan terakhir. Tetapi, silariang kadang berujung

maut.

Annyala terdiri atas tiga macam, yaitu:

1. Silariang atau kawin lari. Kondisi di mana sepasang kekasih yang tak

mendapat restu itu sepakat untuk kawin lari atau dalam artian

keduanya melakukan kawin lari tanpa paksaan salah satu pihak.

2. Nilariang atau dibawa lari. Kondisi di mana si anak gadis dibawa lari

oleh lelaki, entah karena paksaan atau karena si anak gadis dalam

pengaruh pelet.

3. Erang kale. Kondisi di mana si gadis mendatangi si lelaki, menye-

rahkan dirinya untuk dinikahi meski tanpa restu dari orang tuanya.

Biasanya ini terjadi karena si anak gadis telah hamil di luar nikah dan

meminta tanggung jawab dari lelaki yang menghamilinya.

Ketiga kondisi di atas termasuk perbuatan annyala, meski yang paling

sering terjadi adalah silariang. Ketika si anak gadis menjatuhkan

pilihan untuk annyala maka seketika itu juga dia dianggap mencoreng

muka keluarganya dan menjatuhkan harga diri keluarga besarnya atau

appakasirik. Keluarga besar si gadis akan kehilangan muka di masya-

rakat, sementara itu si lelaki dan keluarganya yang membawa lari si

anak gadis disebut tumasirik atau yang membuat malu.

Si gadis dan pasangan kawin larinya kemudian dianggap sebagai

tumate attallasa, orang mati yang masih hidup. Mereka telah dianggap

mati dan tidak akan dianggap sebagai keluarga sebelum mabbajik atau
49

datang memperbaiki hubungan. Bagi keluarga lingkar dalam si gadis,

sebuah kewajiban diletakkan pada pundak mereka, khususnya kaum

lelaki. Kewajiban untuk menegakkan harga diri keluarga sehingga, di

manapun dan kapanpun mereka melihat si lelaki pasangan silariang itu

maka wajib bagi mereka untuk melukainya dengan sebilah badik. Ini

adalah harga mati untuk menegakkan harga diri keluarga.

Perkecualian diberikan apabila pasangan tersebut lari ke dalam

pekarangan rumah imam kampung. Pasangan tersebut akan aman di

sana, karena ada aturan yang menyatakan kalau mereka tak boleh

diganggu ketika berada dalam perlindungan imam kampung. Imam juga

yang akan menjadi perantara ketika pasangan silariang akan kembali ke

keluarganya secara baik-baik atau disebut mabbajik.

Imam akan datang kepada keluarga si gadis, bernegosiasi dan me-

nentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan acara mabbajik. Ketika

kesepakatan telah terpenuhi, maka imam akan membawa pasangan

tersebut datang kepada keluarga besar si gadis sambil membawa sunrang

(mas kawin) serta denda yang telah disepakati.

Selepas acara mabbajik maka lepas juga annyala yang selama ini

tercetak di jidat pasangan kawin lari tersebut. Mereka bisa kembali kepada

keluarga besarnya dan dengan demikian harga diri keluarga besar juga

dianggap telah ditegakkan. Lepas pula kewajiban kaum lelaki dari

keluarga besar si gadis untuk meneteskan darah si lelaki yang telah

membawa lari anak gadis mereka.


50

Dalam keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang ter-

bunuh karena menegakkan Sirik, matinya adalah mati syahid, atau yang

mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya

bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula.

Itulah sejatinya Kesatria.

Mengenai hal ini, oleh Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di

zaman penjajahan dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis/

Makassar begitu bangga dan secara kesatria mengakui di depan

persidangan pidana bahwa dia telah melakukan pembunuhan berencana,

meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat jika

dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak

direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP). Secara logika,

memang orang lain tidak dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka

yang telah paham akan makna Sirik yang sesungguhnya.

Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Sirik

untuk kategori Sirik Ripakasirik, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji

nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siriknu matemako kaniak-

kangngami angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Sirik kita masih

tetap hidup (eksis), kalau malu sudah tidak ada, maka hidup ini menjadi

hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.

2. Sirik Mappakasirik-sirik

Sirik jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis

disebutkan, “Narekko degaga sirikmu, inrengko sirik.” Artinya, kalau Anda

tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa
51

malu (Sirik). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka sirikmu, aja’

mumapakasirik-sirik.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan mem-

buat malu (malu-maluin).

Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat.

Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-

malu atau malu hati.

Hal yang terkait dengan Sirik Mappakasirik-sirik serta hubungannya

dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan

orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana

ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ guling-

ku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka

(bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan

melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan

(pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar ter-

kembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.

Selain itu, Sirik Mappakasirik-sirik juga dapat mencegah seseorang

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,

agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugi-

kan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah

“Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo

sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika

seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah


52

maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung

terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang

lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.

3. Sirik Tappelak Sirik


Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal

oleh perbuatan sendiri. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan

telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha

sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya

sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai

waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati

janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri. Orang Bugis

atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Sirik, ketika

berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri

untuk membayarnya.

4. Sirik Mate Sirik

Mate Sirik menurut pandangan orang Bugis Makassar adalah tidak

mempunyai rasa malu, hilang rasa malu, tidak memiliki perasaan malu

baik hubungan dengan manusia maupun yang berkaitan dengan ajaran

agama. Dalam pandangan orang Bugis Makassar, orang yang mate sirik-

nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman)

sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa

malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
53

Mate sirik juga akan dialami oleh seseorang yang telah nipakasarik/

ripakasirik yaitu orang hilang kehormatannya, dirampas haknya atau

dihina oleh orang lain dan orang yang dihina tidak dapat memulihkan

kehormatannya kembali. kemudian orang tersebut tidak mampu memulih-

kan Sirik-nya atau tidak kuasa memperbaiki harga diri dan martabat dalam

lingkungan masyarakatnya.

Selain yang berhubungan dengan sesama manusia atau secara

horisontal yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia, Mate

sirik juga berkaitan dengan nilai agama secara partikal. Orang yang tidak

malu melanggar perintah Allah, tidak mau menjalankan perintah Allah Swt

pada hakikatnya adalah orang Mate sirikna. Karena yang membedakan

antara manusia dengan hewan adalah rasa malu, akal, dan pikiran. Ketika

manusia tidak malu melanggar aturan baik yang datang dari Allah maupun

yang tumbuh di masyarakat maka pada hakikatnya manusia itu tidak

mempunyai lagi rasa malu (Mate sirik).

Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan

masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di

lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau

busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli

putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan

senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min-

dzalik.

b. Pacce
54

Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti “pedih“, dalam makna

kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut

prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah

perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat

merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup)

orang Bugis/Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan

keluar dari dirinya, sedangkan Sirik diarahkan ke dalam dirinya. Sirik dan

Pacce inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam per-

gaulan sehari-hari sebagai “motor“ penggerak dalam memanifestasikan

pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.

Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh

masyarakat Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya

Sirik (malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya

(membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (sirik)

tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu

saat, manakala orang tuanya mendengar, apalagi melihat anaknya men-

derita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan

tidak tega melihat anaknya menderita.

Punna tena siriknu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah

karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat

anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu

(paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan

bahwa Sirik adalah rasa malu, harga diri, harkat, dan martabat seseorang
55

sebagai makhluk sosial yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat

khususnya suku Bugis-Makassar. Begitu tingginya nilai Sirik dalam ke-

hidupan seseorang tersebut sehingga untuk mempertahankannya ter-

kadang harus dibayar dengan sangat mahal yakni dengan nyawa. Setiap

orang yang telah dilanggar Sirik-nya rela mempertaruhkan nyawa demi

untuk mempertahankan atau menjaga kehormatannya. Seseorang yang

mati karena menjaga Sirik-nya ibarat Mate nisantangi atau Mate nigollai,

mati dalam kemuliaan.

Selanjutnya Pacce adalah rasa iba yang timbul dari lubuk hati yang

dalam sebagai suatu kepedulian terhadap orang lain akan musibah atau

penderitaan yang dialami atau dirasakan oleh orang lain. Pacce atau rasa

iba ini tidak meminta syarat apapun atau imbalan sedikitpun semata

keprihatinan yang tulus dan ikhlas terhadap orang lain. Pepatah Makassar

mengatakan Punna tena siriknu paniaki paccenu. Maksudnya jika Sirik

(harga diri, kehormatan) telah hilang kita masih punya Pacce, kita masih

memiliki rasa iba atau prihatin kepada sesama untuk mengangkat

martabat, membantu atau menolong orang lain yang membutuhkan

bantuan atau pertolongan.

Berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sirik na pacce

terbagi atas 3 yaitu:

1) Nilai Filosofis.

Nilai Filosofis Sirik na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup

orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehi-


56

dupan yang meliputi watak orang Bugis/Makassar yang reaktif, militan,

optimis, konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.

2) Nilai Etis.

Pada nilai-nilai etis Sirik na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi:

teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, sopan, cinta dan empati.

3) Nilai Estetis

Nilai estetis dari Sirik na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani

yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda

alam hewani. Kemudian, satu hal yang perlu diperhatikan disini yakni

manakala harga diri masyarakat Bugis/Makassar tersebut ternodai, yang

karenanya melahirkan aspek-aspek Sirik, maka semestinya bagi yang

terkena sirik tersebut untuk melakukan upaya penghapusan noda (sirik)

tersebut. Hal tersebut dapat berupa upaya musyawarah atau membicara-

kan duduk persoalannya atau jika sudah melewati batas kemanusiaan dan

ketentuan yang ada, barulah dilakukan upaya dengan bentuk kekuatan

(baik secara hukum maupun perorangan), tergantung nilai sirik yang

timbul dari permasalahan yang ada. Sehingga bagi pihak yang terkena

sirik kemudian bersikap bungkam tanpa ada upaya sama sekali, maka

akan dijuluki sebagai orang yang tak punya rasa malu (Tau tena sirikna).

Dengan demikian, dapatlah dikatakan betapa besar pengaruh nilai-

nilai sirik ini bagi sikap hidup masyarakat Bugis/Makassar dan masyarakat

Sulawesi Selatan secara umum. Sehingga nilai sirik ini bagi masyarakat

Bugis/Makassar, sebagaimana yang telah diuraikan diatas adalah sebuah

falsafah hidup, dimana secara garis besar dapat ditarik sebuah benang
57

merah berdasarkan analisa-analisa diatas, bahwa sesungguhnya peranan

sirik yang merupakan alam bawah sadar masyarakat Bugis/Makassar ini

merupakan nilai falsafah dan sikap yang menjadi perwujudan dari

manusia Bugis/Makassar.

Budaya sirik na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh

bangsa ini, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlu-

kan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan

karena pemuda adalah calon pemimpin dan pemilik bangsa ini. Mereka

harus memiliki sirik na pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya

Sirik na pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap

segala macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.

Seorang pemimpin yang memiliki budaya Sirik na pacce dalam

dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta

ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin

yang memegang prinsip ini akan membawa bangsa ini menuju kearah

yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan,

mampu mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin

karena itu sejalan dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi.

Melalui latar belakang pokok hidup Sirik na pacce inilah yang

menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan

melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang

manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat.

Antara sirik dan pacce saling terjalin dalam hubungan kehidupannya,

saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
58

Dengan memahami makna dari Sirik na pacce’, ada hal positif yang

dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana

dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil

pada diri sendiri dan terhadap sesama, bagaimana hidup dengan tetap

memperhatikan kepentingan orang lain.

Sirik na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi

sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku

dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum).

Pemahaman terhadap nilai (sirik na pacce’) ini sangat mempengaruhi

masyakarat dalam kehidupan baik hubungannya dengan pergaulan, sosial

budaya, hukum dan peradaban.

5. Film

a. Pengertian Film

Pengertian Film art adalah seni rupa media yang paling lengkap,

aliran seni yang selama berpuluh-puluh tahun diacuhkan oleh kesenian

dan bahkan sulit bagi para pakar untuk membuat batasannya ini mampu

mengkonseptualisasikan berbagai macam bentuk seni: tari, teather, drama,

musik, gerak, menjadi satu bentuk paling maju. Dalam menyam-paikan

pesan, film adalah media paling komunikatif, walau karena teknologinya

masih dikuasai oleh segelintir orang.

Film merupakan media elektronik paling tua daripada media lainnya,

apalagi film telah berhasil mempertunjukkan gambar-gambar hidup yang

seolah- olah memindahkan realitas ke atas layar besar. Keberadaan film


59

telah diciptakan sebagai salah satu media komunikasi massa yang benar–

benar disukai bahkan sampai sekarang. Lebih dari 70 tahun terakhir ini

film telah memasuki kehidupan umat manusia yang sangat luas lagi

beraneka ragam. ( lliliweri, 1991 : 153 )

Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks

yang merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi

kata-kata dan musik. Sehingga film merupakan produksi yang multi

dimensional dan kompleks. Kehadiran film di tengah kehidupan manusia

dewasa ini semakin penting dan setara dengan media lain.

Keberadaannya praktis, hampir dapat disamakan dengan kebutuhan akan

sandang pangan. Dapat dikatakan hampir tidak ada kehidupan sehari –

hari manusia berbudaya maju yang tidak tersentuh dengan media ini.

Gagasan untuk menciptakan film adalah dari para seniman

pelukis. Dengan ditemukannya cinematography telah minimbulkan

gagasan kepada mereka untuk menghidupkan gambar - gambar yang

mereka lukis. Dan lukisan–lukisan itu biasa menimbulkan hal yang lucu

dan menarik, karena dapat disuruh memegang peran apa saja , yang tidak

mungkin diperankan oleh manusia. Si tokoh dalam film kartun dapat

dibuat menjadi ajaib, menghilang, menjadi besar atau menjadi kecil secara

tiba–tiba. ( Effendy, 2000 : 211 – 216 )

Pengalihan atau perubahan bentuk karya seni telah lama dilakukan.

Paling banyak yang dikenal adalah perubahan bentuk sebuah skenario

menjadi sebuah film. Tentu bukan hal yang asing jika disinggung

skenario-skenario Jujur Prananto yaitu Petualangan Sherina yang


60

diangkat ke layar bioskop. Dalam hal ini perubahan bentuk (media) atau

adaptasi karya sastra menjadi sebuah film yang disebut ekranisasi.

Menurut Eneste (1991:11) ekranisasi merupakan pemindahan atau

pengangkatan sebuah novel/skenario ke dalam film. Ekranisasi adalah

sebuah bentuk intertekstual atau resepsi terhadap sebuah karya. Seorang

pembaca yang aktif akan melahirkan sebuah karya baru sebagai wujud

apresiasi terhadap sebuah karya. Kolker (2002:128) menyebutkan bahwa

intertekstualitas dalam film adalah sebuah persepsi beberapa teks dengan

mempertimbangkan budaya yang berkembang pada saat itu.

Menurut Kridalaksana (1984:32) film adalah: 1) lembaran tipis,

bening, mudah lentur yag dilapisi dengan lapisan antihalo, dipergunakan

untuk keperluan fotografi. 2) alat media massa yang mempunyai sifat lihat

dengar (adio-visual) dan dapat mencapai khalayak yang banyak.

Film adalah media komunikasi massa yang sangat penting untuk

mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari. Film merupakan realitas yang kuat yang salah satunya

menceritakan tentang realitas masyarakat. Film merupakan gambar yang

bergerak (Muving Picture). Menurut Effendi (1986: 239) film diartikan

sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian, Film sebagai komunikasi

massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti fotografi dan

rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan

arsitektur serta seni musik.

Effendy (1986:207) mengemukakan bahwa teknik perfilman, baik

peralatannya maupun pengaturannya telah berhasil menampilkan gambar-


61

gambar yang semakin mendekati kenyataan. Dalam suasana gelap dalam

bioskop, penonton menyaksikan suatu cerita yang seolah-olah benar-

benar terjadi di hadapannya.

Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks

yang merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi

kata-kata dan musik. Sehingga film merupakan produksi yang multi

dimensional dan kompleks. Kehadiran film di tengah kehidupan manusia

dewasa ini semakin penting dan setara kebutuhan akan sandang pangan.

Dapat dikatakan hampir tidak ada kehidupan sehari-hari manusia

berbudaya maju yang tidak tersentuh dengan media ini.

Gagasan untuk menciptakan film adalah dari para seniman pelukis.

Dengan ditemukannya cinematography telah menimbulkan gagasan ke-

pada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang mereka lukis.

Dan lukisan-lukisan itu bisa menimbulkan hal yang lucu dan menarik,

karena dapat disusuruh memegang peran apa saja, yang tidak mungkin

diperankan oleh manusia. Si tokoh dalam film kartun dapat dibuat menjadi

kecil secara tiba-tiba.

b. Unsur – Unsur dalam Film

Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif.

Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah

unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses

pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata


62

kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan

penata suara, aktor-aktris (bintang film).

1) Produser

Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau

pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang

atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan

produksi film. Produser merupakan pihak yang bertanggung jawab

terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film.

Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah

yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam

kaitan proses produksi film.

2) Sutradara

Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggung

jawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan

dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara

menempati posisi sebagai “orang penting kedua” di dalam suatu tim kerja

produksi film. Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas

mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau

informasi dari naskah skenario ke dalam aktivitas produksi.

3) Penulis Skenario

Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan

berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau

naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan
63

visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan

yang jelas pengungkapannya. Jadi, penulis skenario film adalah sese-

orang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario

yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwu-

judkan sutradara menjadi sebuah karya film.

4) Penata Kamera (Kameramen)

Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen

adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman

(pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film.

Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mam-

pu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi

penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera.

Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin de-partemen

kamera.

5) Penata Artistik

Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk

menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi. Sebelum

suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih

dulu mendapat penjelasan dari sutradara untuk membuat gambaran kasar

adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun

berwarna. Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan

sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tata rias, tata pakaian,

perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran)

film dan lainnya.


64

6) Penata Musik

Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggung

jawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang

penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga

harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau

pesan yang disampaikan oleh film.

7) Editor

Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan

pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar

dalam film tersebut. Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau

bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar.

8) Pengisi dan Penata Suara

Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara

pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan

suaranya sendiri dalam berdialog di film. Penata suara adalah seseorang

atau pihak yang bertanggung jawab dalam menentukan baik atau tidaknya

hasil suara yang terekam dalam sebuah film. Di dalam tim kerja produksi

film, penata suara bertanggung jawab memimpin departemen suara.

9) Bintang Film (Pemeran)

Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan

aktris adalah mereka yang memerankan atau membintangi sebuah film

yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam

cerita film tersebut sesuai skenario yang ada. Keberhasilan sebuah film

tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam meme-
65

rankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario

(cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-

tokohnya. Pemeran dalam sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran

utama (tokoh utama) dan pemeran pembantu (piguran).

c. Sifat Film

Tumbuh dan berkembangnya film sangat bergantung pada teknologi

dan panduan unsur seni sehingga menghasilkan film yang berkualitas (Mc

Quail, 1997:110). Berdasarkan sifatnya film dapat dibagi atas:

1. Film cerita (Story film)Film yang mengandung suatu cerita, yang


lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop yang dimainkan
oleh para bintang sinetron yang tenar. Film jenis ini didistribusikan
sebagai barang dagangan dan diperuntukkan untuk semua publik.
2. Film berita (News film) Adalah film mengenai fakta, peristiwa yang
benar-bear terjadi, karena sifatnya berita maka film yang disajikan
pada publik harus mengandung nilai berita (Newsvalue)
3. Film dokumenter, Film documenter pertama kali diciptakan oleh
John Gierson yang mendefinisikan bahwa film dokumenter adalah
“Karya cipta mengarah kenyataan (Creative treatment of actuality)
yang merupa-kan kenyataan-kenyataan yang menginterpretasikan
kenyataan. Titik fokus dari film dokumenter adalah fakta atau
peristiwa yang terjadi, bedanya dengan film berita atau newsvalue.

Selanjut,nya, (Effendy, 2003:210) mengelompokkan Film

menjadi:

1. Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu
cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop
dengan bintang film tenar dan didistribusikan sebagai barang
dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa
cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi,
sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari
segi artistiknya.
2. Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa
yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita maka film yang
disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita. Kriteria
berita itu adalah penting dan menarik.
66

3. Film dokumenter didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai karya


ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)
berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan,
ma adka film dokumenter adalah hasil interpretasi pribadi
(pembuatnya mengenai kenyataan tersebut)

d. Sejarah Film

Perkembangan video art adalah solusi logis yang lahir dari pen-

siasatan mahalnya teknologi film yang mendesak film art, sekaligus

menunjukkan bagaimana inovasi teknologi bisa mendorong munculnya

aliran seni baru, atau, betapa besarnya andil pekerja seni terhadap

perkembangan teknologi. Pekerja seni tertarik pada media baru sebagai

alat yahg kapasitas dan batasannya ingin mereka coba sendiri. Ke-

untungan vidio terletak pada faktor ketersediaan dan reproduksinya yang

irit. Format film termahal, yakni format 35 mm, tidak bisa dibeli oleh

pembuat film eksperimental dari kalangan kelas miskin (underground) dan

karena itu hanya dikuasai perusahaan-perusahaan produksi film besar.

setelah perang dunia ke-II pembuat film eksperimental pertama kali

membuat film dengan format 16 mm.

Tahun 1965 Kodak mengembangkan format amatir super-8. Meski-

pun di tahun 70-an dan 80-an terjadi booming gerakan super-8, film video

yang sacara kualitatif termasuk media kelas rendahan masih tetap

bertahan. Aspek yang menarik menyangkut berbagai jenis seni rupa

media ini adalah, bahwa sebagian besar teknologi yang digunakan

awalnya berasal dari perkembangan militer. Vidio misalnya, dikembangkan

untuk pengawasan penerbangan, komputer untuk mengevaluasi secara


67

cepat data-data radar, dan internet untuk memperbaiki kemungkinan-

kemungkinan komunikasi militer.

Film atau motion ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip

fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada

publik Amerika Serikat adalah The Life of an American Fireman dan film

The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S Porter pada tahun

1903, tetapi film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya

sebelas menit dianggap film cerita pertama, karena telah menggambarkan

situasi secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik.

Tahun 1905 sampai 1916 merupakan periode paling penting dalam

sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film

Feature, lahir pula bintang film dan pusat perfilman yang kita kenal dengan

Hollywood. Periode ini juga disebut dengan The age of Griiith karena

David Wark Griffit-lah yang telah membuat film sebagai media yang

dinamis. Diawali dengan film The Adventures of Dolly (1908) dan puncak-

nya film The Birth of Nation (1915) serta film Intolarance (1916). Grifft

mempelopori gaya berakting lebih alamiah, organisasi cerita yang makin

baik, dan yang paling utama mengangkat film menjadi media yang

memiliki karakteristik unik, dengan gerakan-gerakan kamera yang dinamis,

sudut pengambilan gambar yang baik, dan teknik editing yang baik. Pada

periode ini pula perlu dicatat nama Mack Senettm dan Keyston Company-

nya yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang legendaris

Charlie Chaplin.
68

Apabila film permulaannya adalah bisu, maka pada tahun 1927 di

Brodway Amerika Serikat muncul film bicara pertama meskipun belum

sempurna. Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser

anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang

diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang ber-

tujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada

kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang

memberi keuntungan, kadang-kadang menjadi uang yang sering kali, demi

uang keluar dari kaidah artistik film itu sendiri.

e. Fungsi Film

Khalayak menonton terutama untuk hiburan. Akan tetapi dalam film

terkandung fungsi informatif, maupun edukatif bahkan persuasif. Film

nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan

generasi muda dalam rangka nation and character building.

Fungsi edukasi dapat dicapai apabila film nasional memproduksi film-

film sejarah objektif atau film dokumenter atau film yang diangkat dari

kehidupan sehari-hari secara berimbang.

B. Kerangka Pikir

Memerhatikan uraian pada tinjauan pustaka, maka pada bagian ini

akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan sebagai landasan berpikir.

Landasan berpikir tersebut akan mengarahkan penulis untuk menemukan

data dan informasi dalam penelitian guna memecahkan masalah yang


69

telah dipaparkan. Untuk itu akan diuraikan secara rinci landasan berpikir

yang dijadikan pegangan dalam penelitian ini.

Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting

untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam

kehidupan sehari–hari. Film memiliki realitas yang kuat salah satunya

menceritakan tentang realitas masyarakat. Film merupakan gambar yang

bergerak (Muving Picture). Menurut Effendi (1986 : 239) film diartikan

sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film sebagai komunikasi

massa merupakan gabungan dari berbagai tekhnologi seperti fotografi dan

rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan

arsitektur serta seni musik.

Budaya Sirik Na Pacce adalah salah satu falsafah budaya Masya-

rakat Bugis/Makassar yang menjiwai dan menjadi pegangan Masyarakat

Bugis/Makassar untuk senantiasa hidup lebih baik, baik di negeri sendiri

atau di negeri orang lain. Setiap manusia keturunan Bugis/Makassar

dituntut harus memiliki keberanian, perkasa dalam menjalani kehidupan,

pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup.

Setelah menyimak film TKVW dan BTA akan ditemukan keterangan,

kata, kalimat yang berkaitan dengan Budaya Sirik Na Pacce. Selanjutnya

data tersebut dianalisis berdasarkan jenis Budaya Sirik Na Pacce

kemudian diinterpretasikan menjadi sebuah temuan/hasil penelitian.

Penelitian untuk mendeskripsikan budaya sirik na pacce yang

terdapat dalam Film dan BTA. Falsafah sirik na pacce yang diamati dalam

film tersebut adalah berbagai jenis sirik dan pacce yang dianut dalam
70

masyarakat Bugis/Makassar. Beberapa jenis sirik yang dimaksud dalam

analisis penelitian ini adalah: 1) Sirik Nipakasirik, jenis sirik ini

berhubungan harga diri dan kehormatan baik ke-hormatan diri

sendiri maupun keluarga, atau kerabat 2) Sirik Mappakasirik-

sirik, jenis ini berkaitan dengan etos kerja, bekerja keras, prin-

sip hidup, ajaran agama, 3) Sirik Tappelak Sirik ber-ubungan

dengan hilangnya rasa malu, 4) Pacce (rasa pedih, rasa iba

kepada sesama). Dan 5) Latar yaitu gambaran tempat atau bu-

daya yang terdapat pada Film TKVW karya Dony Dirgantoro dan

film BTA karya Taufik Daraming Tahir.

Kelima hal tersebut dianalisis menggunakan pendekatan dan teori

hermeneutika Schleiermacher. Schleiermacher dalam (Hadi 2014: 49)

mengatakan “Karena bahasa berkaitan dengan kebudayaan, maka

memahami suatu teks berarti juga upaya memahami suatu kebudayaan.

Jika teks sastra berasal dari Jerman, kita dituntut pula memahami ke-

budayaan Jerman”. Dengan demikian memahami Film TKVW dan Film

BTA, teks dilaog aktor kedua film ini dianalisis makna ungkapan/dialognya

dengan memahami latar belakang budaya kedua film tersebut. Yaitu

memahami budaya yang diungkapkan atau digambarkan oleh aktor atau

pelaku utama film TKVW dan film BTA.

Mehamami suatu budaya, selain memperhatikan bahasa yang

digunakan oleh para aktor, juga dapat diamati dengan aktivitas kese-

harian masyarakat di sekitar tempat film tersebut dibuat atau terjadi.

Bahasa dan aktivitas inilah yang diamati dengan menggunakan pen-


71

dekatan teori Schleiermacher yaitu berusaha memahami makna dan

meneliti secara runtut dan cermat prasangka-prasangka yang tersembunyi

dalam pemahaman peneliti dan bersedia menerima pendapat orang lain.

Baik yang diungkapkan secara langsung mapun dengan bantuan ekpresi

tokoh/aktor.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada

bagan kerangka berpikir berikut.

FILM

Tenggelamnya Kapal
Badik Titipan Ayah (TPA)
Van Der Wijck (TKVW)

Budaya Siri Na Pacce

Sirik Sirik Sirik Sirik Latar


Nipakasirik Mappaka Tappelak Napacce
sirik-sirik Sirik

Analisis

Interpretasi

Temuan/Hasil
72

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang

datanya adalah data kualitatif sehingga analisisnya juga analisis kualitatif

(deskriptif). Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Maksudnya,

penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara akurat dan

sistematis sesuai dengan fakta-fakta sosial yang ada yang diungkapkan

dalam dialog tokoh (aktor) Film TKVW karya Dony Dirgantoro dan Film

BTA karya Taufik Daraming Tahir (Representasi Budaya Sirik Na Pacce).

Dikatakan penelitian deskriptif kualitatif karena menggunakan

prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis (dialog)

kemudian berusaha mendeskripsikan jenis-jenis nilai-nilai sirik na pacce

dan fungsi acuan (referen) sirik na pacce sesuai dengan apa adanya.

B. Batasan Istilah

Untuk menghindari kerancuan makna dan pemahaman terhadap

istilah dalam tesis ini, terlebih dahulu penulis me n jelaskan maksud dari

judul “Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Dony

Dirgantoro dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir

(Representasi Budaya Sirik Na Pacce)” penulis memberikan beberapa

batasan istilah.

72
73

Definisi operasional dimaksudkan untuk memberikan penjelasan

mengenai istilah-istilah yang digunakan agar terdapat kesamaan penaf-

siran dan terhindar dari kekaburan. Adapun definisi istilah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Sirik Nipakasirik

Sirik nipakasirik dalam film TKVW dan film BTA adalah

perbuatan/tindakan atau ucapan yang bermaksud menghina ke-

hormatan, merendahkan harga diri, atau mempermalukan tokoh

yang terdapat pada film TKVW dan film BTA.,

2. Sirik Mappakasirik-sirik

Sirik Mappakasirik-sirik dalam film TKVW dan film BTA

adalah dialog/ungkapan yang mengandung prinsip hidup orang

Bugis/Makassar berupa tekad yang kuat, bekerja keras untuk

mencapai cita-cita dalam meraih kesuksesan, pantang menye-

rah, dan pantang melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan adat atau norma.

3. Sirik Tappelak Sirik

Sirik tappelak sirik dalam film TKVW dan film BTA adalah

dialog/ucapan atau perbuatan tokoh (aktor) yang dapat menye-

babkan orang/tokoh hilang rasa malu.Tappelak sirik tersebut

misalnya orang hilang rasa malunya ketika berjanji dan tidak

dapat menepati janjinya, tidak menjalankan ajaran agamanya

dengan baik.

4. Pacce
74

Pacce dalam film TKVW dan film BTA adalah dialog/ucap-

an atau tindakan tokoh dalam film yang mengandung rasa

pedih, rasa iba, turut prihatin kepada sesama manusia yang

diwujudkan dalam bentuk turut membantu atau menolong orang

yang membutuhkan bantuan atau pertolongan dalam film TKVW

dan film BTA. Bantuan tersebut baik berupa materi maupun

pikiran dan perasaan.

5. Latar

Latar adalah tempat, lokasi, dan waktu dimana terjadinya

peristiwa yang dominan film TKVW dan film BTA. Daerah yang

dimaksud adalah Bira Kabupaten Bulukumba, Makassar Sula-

wesi Selatan dan Padang, Minangkabau Sumatera.

C. Data dan Sumber Data

1. Data

Data dalam penelitian ini adalah keterangan yang dijadikan objek

kajian, yakni setiap kata, kalimat/ungkapan yang mendukung Sirik na

pacce dalam film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik

Daraming Tahir. Dengan demikian data dalam penelitian ini adalah

dialog/ungkapan aktor yang mengandung makna : 1) Sirik Nipakasirik

yaitu sirik berhubungan harga diri dan kehormatan baik kehor-

matan diri sendiri maupun keluarga), 2) Sirik Mappakasirik-sirik,

yaitu prinsip hidup baik berkaitan dengan, etos kerja ,

berusaha keras meraih cita-cita, dan nilai agama,3) Sirik


75

Tappelak Sirik berhubungan dengan orang yang hilang rasa

malunya, misalnya tidak menepati janji, 4) Pacce (rasa pedih,

rasa iba kepada sesama). 5) Latar yaitu gambaran tempat atau

budaya yang terdapat pada Film TKVW karya Dony Dirgantoro

dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Film TKVW yang diproduksi oleh Ram Soraya Intercine Films,

dirilis tanggal 19 Desember 2013, sutradara Sunil Soraya, skenario

Dony Dhirgantoro, 300 adegan dengan durasi 2 jam 49 menit.

b. Film BTA yang ditulis Taufik Daraming Tahir, dirilis tanggal 02

Oktober 2010 produser Dedy Mizwar, sutradara Dedi Setiadi,

durasi 01:22:05

Berdasarkan uraian kedua film tersebut, maka yang menjadi alasan

penulis dalam penelitian ini, adalah kedua film ini sungguh memikat dan

mengandung nilai budaya Bugis dan Makassar. Pertentangan adat Orang

Makassar dan Padang film TKVW dan budaya sirik silariang film BTA.

Tema sentral film TKVW menghadirkan drama cinta sepasang remaja

yang terhalang oleh perbedaan adat istiadat dua suku Makassar dan

Minang. Penulis berhasil membenamkan pembaca dalam keharuan cerita

yang sangat mendalam. Cinta yang sejak lama didambakannya kemudian

datang kembali dan ditolaknya pula karena rasa sirik atau malu menerima

kembali cinta orang yang telah menghianatinya yang dikatakannya

sebagai sisa orang, akhirnya membawa penyesalan pada dirinya sendiri.


76

Saat Zainuddin menyadari kekeliruannya semuanya sudah terlambat,

Hayati meninggal dalam tragedi tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Sedangkan Film BTA sangat kental dengan budaya orang Bugis/

Makassar sehingga sangat disukai ditonton oleh masyarakat Makassar

pada khususnya terbukti dengan banyaknya pengunjung saat film ini

ditayangkan di bioskop meskipun sudah berapa kali tayang. Kisah cinta

silariang antara Andi Tenri dan Firman adalah masalah yang sangat

sensitif dalam masyarakat Bugis dan Makassar. Sepasang kekasih ini

terpaksa silariang karena mereka tahu tidak akan mendapat restu dari

Karaeng Tiro, Karaeng Tiro sakit hati kepada Karaeng Parapak (ayah

Firman). Puncak ketegangan ceirta ini sungguh berhasil saat badik I La

Sanrego harus keluar dari sarungnya untuk menunaikan tugasnya, dan

kedua belah pihak hampir berduel andai Andi Tenri dan Ibundanya

(Karaeng Caya) tidak menengahi. Cerita ini berhasil menggambarkan

bagaimana sanksi yang harus diberikan pada pelaku silariang dalam

masyarakat Bugis/Makassar. Meskipun Andi Aso tidak dapat menunaikan

tugas dari ayahnya Karaeng Tiro membunuh Andi Tenri dan Firman,

Badik I La Sanrego tetap mengalirkan darah, Daeng Limpo menusukkan

badik itu pada pahanya sendiri karena baktinya dan menjunjung adat.

Data adalah subjek yang menjadi asal atau tempat data itu diperoleh

(Arikunto, 1985:90). Oleh karena itu, data penelitian ini adalah data nilai-

nilai sirik na pacce yang bersumber dari dialog Film TKVW karya Dony

Dirgantoro dan Film BTA karya Taufik Daraming Tahir.


77

Data penelitian ini adalah semua dialog yang terdapat dalam Film

TKVW karya Dony Dirgantoro dan Film BTA karya Taufik Daraming

Tahir. Yang menunjukkan adanya fenomena yang dianggap dapat meref-

resentasikan nilai sirik na pacce etnis Bugis/Makassar. Proses pengam-

bilan data dilakukan berdasarkan kepentingan yang sesuai dengan

kepentingan tujuan peneliti. Subjek penelitian ini adalah keseluruhan

bentuk nilai budaya Sirik na pacce orang Bugis/Makassar yang terdapat

dalam objek penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah

teknik dokumentasi, yaitu mencatat dialog atau percakapan aktor Film

TKVW karya Dony Dirgantoro dan Film BTA karya Taufik Daraming Tahir.

Hal ini berarti bahwa data yang diperoleh bersumber dari film tersebut

digunakan juga teknik menyimak dan catat. Teknik menyimak digunakan

untuk mendengarkan dan memahami bentuk-bentuk dialog yang

menggambarkan fenomena budaya sirik na pacce orang Bugis/ Makassar

dalam film tersebut. Teknik mencatat digunakan untuk mencatat jenis-jenis

budaya sirik na pacce secara keseluruhan dialog atau percakapan aktor

kedua film tersebut sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dialog ditulis

dalam korpus data dan dikelompokkan dengan menggunakan kode sesuai

dengan jenis sirik masing-masing dan latar.


78

E. Teknik Analisis Data

Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian

ini adalah :

1. Mengidentifikasi data (dialog) representasi nilai budaya Sirik na pacce

film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Dara-

ming Tahir.

2. Mengklasifikasi nilai Sirik na pacce film TKVW karya Dony Dirgantoro

dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir.

3. Setelah diklasifikasi dialog yang mengandung nilai sirik na pacce film

TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming

Tahir. Selanjutnya peneliti menginterpretasi sesuai aspek klasifikasi

budaya Sirik na pacce Masyarakat Bugis/Makassar.

4. Selanjutnya, mendeskripsikan dialog yang mengandung atau me-

representasikan budaya sirik na pace pada film TKVW karya Dony

Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir, dalam bentuk

laporan penelitian dengan mengacu pada pendekatan metode her-

meneutika F.D.E. Schleiermacher tentang interpretasi makna sebuah

teks dialog yang mengandung nilai budaya Sirik na pace, “Meng-

interpretasi makna teks dari peristiwa-peristiwa, dan persoalan

pemamahaman interpretasi” (Palmer 2005: 8). Interpretasi dilakukan

dengan memadukan teori nilai budaya Koentjaraningrat.


79

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini disajikan hasil penelitian berdasarkan fokus yaitu (1) Sirik

Nipakasirik (berhubungan menghina kehormatan, harga diri,

atau dipermalukan), (2) Sirik Mappakasirik-sirik (berhubungan

dengan etos kerja, prinsip hidup, dan nilai agama), (3) Sirik

Tappelak Sirik (berhubungan dengan hilangnya rasa malu,

kehormatan seseorang), (4) Latar, dan (5) Pacce (rasa pedih,

rasa iba, turut prihatin kepada sesama manusia).

1. Sirik Nipakasirik

Adapun data mengandung nilai sirik nipakasirik/ripakasirik yang ter-

dapat dalam film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik

Daraming Tahir dkk. Data sirik nipakasirik/ripakasirik pada film TKVW dan

film BTA disimbolkan dengan SNS , dapat dilihat sebagai berikut:

SNS 1

“Gemetar tanganku ketika mulai menulis untukmu..... Agaknya


buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Saya tahu
sedikit adat negerimu yang kokoh. Di Makassar saya dianggap
orang Padang di sini saya dianggap orang Makassar”

(TKVW Durasi 00:12:35 detik)

79
79
80

SNS 2

“Maaf, Zainuddin, ini urusan kami. Sebaiknya kamu tidak usah


ikut-ikutan. Kau bukan anak Minang. Sebaiknya kau tinggalkan
kami.”
(TKVW Durasi: 00.12.39 detik)

SNS 3

“Kau itu kebanggaan keluarga, Zainuddin itu tidak bersuku. Bikin


malu saja! Menjatuhkan nama besar. merusak Ninik-Mamak,
merusak korong kampung. Meruntuhkan rumah tangga dan
mencemarkan kampung halaman. Tidakkah kau tahu Gunung
Merapi masih berdiri tegak kokoh menjulang. Adat masih berdiri
tegak. Tak lapuk oleh hujan, tak akan lekang oleh panas.
Zainuddin hendak menempuh jalan yang lurui, niat hendak
mengambi Ati jadi bininyo, Datuk. Ma bisa Ati, orang seperti dia
indak bisa dijadikan tampe manggantuing hidui. Masa kini kalau
kau hendak memilih lalaki. Paralu najale asal-usulnya. Jale mata
pencahariannyo. Yang bisa menopang hidup. Kalau kau nikah sa
Zainuddin dan punya anak kamana kau bawa bako”

(TKVW Durasi: 00.18.52 detik)

Pada kutipan SNS 1, SNS 2, dan SNS 3 tampak nilai sirik nipaka-

sirik dengan merendahkan derajat Zainuddin yang dianggap sebagai anak

bersuku Makassar karena ibunya bersuku Makassar. Zainuddin tidak pan-

tas duduk bersama anak-anak muda suku Minang karena dia dianggap

bukan bersuku MInangkabau. Penolakan tajam terhadap Zainuddin juga

dilontarkan oleh Datuk dijelaskan kepada Hayati bagaimana tingginya

derajat adat Minangkabau diibaratkan pada pepatah “Adat yang tak lapuk

oleh hujan, tak akan lekang oleh panas”.

80
81

SNS 4

“Orang miskin keturunan .... mau mempersunting....... Pergi kau


anak miskin. Negeri kami beradat. Bunga desa itu tak pantas
untuk kamu”. Cerita ini seperti cerita budak Bugis itu. Saya curiga
memang budak Bugis itu pengarangnya, saya lihat penerbitannya
di Batavia. Bukankah dia merantau ke sanakan? Namanya
Zainuddin Bang. Jangan terlalu dihina Zainuddin.

(TKVW Durasi 01.24. 32 detik)

SNS 5

“Bukankah kau berjanji ketika saya diusir ninik mamak-


mu....karena saya tidak jelas keturunanku, orang hina, bukan
darah tulen Minangkabau ketika itu kau antarkan saya ke
simpang jalan. …...Namun kamu memilih laki-laki yang lebih
gagah, kaya raya, keturunan Minangkabau. Kamu kawin dengan
dia. Kamu sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinanmu,
bukan dipaksa orang lain, tetapi atas kemauanmu sendiri.

(TKVW 02.00.70 detik).

SNS 6

“Siapakah diantara kita yang kejam. Hayati? Saya kirimkan


surat-surat meratap menghinakan diri. Memohon dikasihani, tiba-
tiba kamu balas surat itu dengan isi yang sangat kejam. Kamu
katakan kita sama-sama miskin, hidup tidak akan bahagia kalau
tidak ada uang. Karena itu kau pilih orang yang kaya,
bangsawan, menteren, bergelimang dengan emas, bersayap
dengan uang. Kamu kawin dengan lelaki itu. Siapakah di antara
kita yang kejam Hayati? Tidak Hayati, saya tidak kejam,.

(TKVW 02.01. 16 detik).

Pada kutipan dialog SNS 4, SNS 5, SNS 6 tampak nilai sirik nipa-

kasirik dalam bentuk penghinaan. Zainuddin dihina dan tidak diterima

lamarannya kepada Hayati karena dianggap keturunannya lebih rendah

derajatnya daripada Hayati. Zainuddin dianggap budak (anak biasa tanpa

81
82

derajat) karena bapaknya keturunan Minangkabau yang menikah dengan

perempuan yang berasal dari daerah Makassar (Bulukumba). budaya

Minang yang dipegang teguh oleh keluarga Hayati melihat garis keturunan

dari Ibu bukan dari garis keturunan bapak, maka Zainuddin dianggap

bukan lagi keturunan Minangkabau sekalipun bapak Zainuddin berasal

dari daerah Minang. Zainuddin dipandang sebagai budak yang berasal

dari daerah Makassar yang tidak pantas melamar atau meminang perem-

puan keturunan Minangkabau, yang lebih tinggi starata sosialnya.

Selain faktor keturunan, Zainuddin juga dihina karena bukan orang

yang memiliki pekerjaan yang baik dan memunyai harta yang banyak atau

keturunan orang kaya. Kedua penyebab itulah sehingga keluarga Hayati

menerima lamaran Aziz yang memunyai pekerjaan lebih baik, dan dia

adalah keturunan asli Minangkabau, derajatnya lebih tinggi daripada

Zainuddin, sekalipun Hayati dan Zainuddin masih saling mencintai. Peng-

hinaan kepada Zainuddin, yang dipandang derajatnya lebih rendah juga

miskin tidak memunyai harta merupakan sirik bagi Bugis Makassar

karena dipermalukan.

Sirik adalah harga diri yang harus dijaga dan dipelihara, nipakasirik

atau dirampas kehormatannya, dipermalukan baik secara individu maupun

kelompok atau kerabatnya. Merasa terhina (nipakasirik) karena kehor-

matannya dinodai maka keluarga yang dipermalukan akan melawan dan

bahkan membunuh orang yang mempermalukan (appakasirik). Sirik nipa-

kasirik atau direndahkan harkat dan martabat diri dan keluarga (silariang)

82
83

ini dapat dilihat pada kutipan dialog SNS 7, SNS 8, SNS 9, SNS 10,

SNS 11, dan SNS 12 film BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.

SNS 7

“Silariang ini punya risiko besar. Kamu siap Tenri?”, Bukan hanya
saya saja yang harus siap. Tapi kita. Apa kamu siap?

(BTA 00.03.19 detik).

SNS 8

“Aso pulang sekarang. Langsung ke terminal. Kau harus ada di


rumah secepatnya. Tapi saya sibuk sekarang Tetta. ....Andiknu
lari dari rumah, silariang”.

(BTA 00.04. 46 detik).

SNS 9

“….Saya siap menunggu printah Karaeng ” kata Limpo. Kalau


perlu sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu.

(BTA 00.05. 12 detik).

SNS 10

“Kalian berdua silariang” tanya Candra. “Ia Kak, baru kemarin ini
kami menikah di sini, supaya tidak bertambah dosa”, jawab Tenri.
Terpaksa Kak.........(Tenri mengusap perutnya memberikan isyarat
kalau dia telah hamil). “ Berani sekali kalian melakukan hubungan
seperti ini sebelum menikah, dan Kau Firman bukannya
melindungi malah menodai”, bentak Candra. “Maaf Kak Candra
ini ide saya” kata Tenri. Saya tidak mengerti Ndi Tenri, mengapa
kamu jadikan dirimu hamil, kamu merasa dengan cara ini kamu
bisa mendapat restu dari ammakmu. Karena itumi satu-satunya
cara untuk merestui hubungan kita. Saya berharap dengan
lahirnya seorang cucu akan meluluhkan hati mereka. ....Firman
tidak mau, dia ingin saya minta izin telebih dahulu kepada Tetta.
Tapi saya tahu bagaimana kerasnya hati Tetta, Kak Candra.

(BTA 00.16. 41 detik).

83
84

SNS 11
Tetta panggil saya? Iya. Duduk
Aso. Iye. Aso sejak Kau kecil
Tetta selalu menasehatimu ten-
tang pentingnya menjaga sirik.
Bukan hanya harkat dan marta-
batmu sendiri tetapi harkat dan
martabat keluargamu. Tenaja nu-
kaluppai? Tidak Tetta, saya tidak
mungkin lupa. Bagus! Sekarang
Andiknu lari bersama laki-laki,
silariang. Tindakannya mappakasirik, mempermalukan. Keluarga
kita nipakasirik, dipermalukan oleh laki-laki itu. (Sambil menge-
luarkan sebuah badik dari bungkusan kain merah) Seandainya
keadaan Tetta memungkinkan, Tetta sendiri yang akan menye-
lesaikan masalah ini. Aso , cari mereka! Selesaikan masalah ini
sesuai adat kita. Ambillah! Ambillah Aso! Ambil! (Karaeng Tiro
mengangkat Badik I La Sanrego penuh hikmad dengan kedua
tangannya menyerahkan pada Aso dan diterima Aso dengan hati-
hati)
(BTA 01. 22. 09 detik)
SNS 12

Tetta, saya akan lakukan apa pun demi nama baik keluarga.
Bagus, bagus Aso! Aso kamu anak laki-laki jangan pernah ke-
cewakan Tetta! Masalah keluarga ini harus diselesaikan dengan
tuntas, untuk selama-lamanya.

(BTA 00.33.01 detik).

SNS 13

“Aso kamu satu-satunya anak laki-laki Tetta, sudah takdirnya bila I


La Sangrego ini jatuh ke tanganmu. Tetta memberikan badik pada
kau untuk mencari mereka. Mencari Andiknu Tenri, dan laki-laki
yang membawanya pergi. Gunakan badik ini untuk menunaikan
tugasmu, bukan untuk tujuan lain. Bukan untuk menghadapi
orang-orang yang tidak ada urusannya, dengan
tugasmu. ....Eeeegh bawa ILaSanrego....

(BTA 00.33.49 detik)

84
85

Masalah sirik bagi orang Makassar memunyai banyak segi, seba-

gian orang beranggapan bahwa sirik erat kaitannya dengan pelanggaran

adat perkawinan, misalnya silariang. Bentuk sirik ini terdapat pada kutipan

SNS 7 dan SNS 8 adalah bentuk penghinaan kepada keluarga perem-

puan yang dibawa lari anak gadisnya (silariang). Dalam hal ini, Karaeng

Tiro merasa terhina karena anak perempuannya (Andi Tenri) dibawa lari

(nilariang) oleh Firman. Perbuatan Tenri dan Firman kawin lari atau sila-

riang membuat Karaeng Tiro dan kerabatnya merasa terhina dan diper-

malukan oleh kedua orang tersebut. Karena Karaeng Tiro malu, lalu

memanggil anak laki-lakinya untuk mencari Tenri dan Firman untuk

menyelesaikan masalah itu secara adat Bugis Makassar yaitu membunuh

mereka bila menemukan kedua orang tersebut. Perbuatan Andi Tenri dan

Firman dianggap aib bagi keluarga Karaeng Tiro. Nipakasirik atau anak

perempuan dibawa lari nilariang merupakan aib bagi keluarga perempuan.

Budaya sirik dapat juga berupa kesetiaan dan keperihatinan kera-

bat pada orang yang dipermalukan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan dialog

SNS 9. Limpo merasa terhina atas kelakuan Andi Tenri dan Firman (sila-

riang) bersumpah di depan orang tua Tenri akan mencari Andi Tenri dan

Firman. Wujud keperihatinan Limpo, dia pun mendatangi rumah orang tua

Firman dan menantang orang tua Firman menyelesaikan secara adat,

bahkan bersumpah untuk mencari dan membunuh kedua orang tersebut.

Hal ini dibuktikan dengan ucapan Limpo “….Sekali lagi Kau hina keluarga

Karaeng Tiro kubunuh Kau! (BTA Durasi 00.26. 60 detik).

85
86

Nilai budaya sirik nipakasirik dapat diwujudkan dalam bentuk me-

wariskan kebiasaan meyelesaikan masalah yang secara turun temurun

tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kebiasaan ini dapat dilihat pada

kutipan SNS 13 “ .....Tetta memberikan badik pada kau untuk mencari

mereka (Tenri dan Firman). Mencari Andiknu Tenri, dan laki-laki yang

membawanya pergi. Gunakan badik ini untuk menunaikan tugasmu....”

(BTA 00. 33. 01). Badik yang diberikan Karaeng Tiro pada Aso, merupa-

kan salah satu bentuk budaya orang Bugis Makassar untuk menye-

lesaikan masalah dengan menggunakan Badik. Badik merupakan sarana

menyelesaikan masalah untuk menjaga kehormatan atau harga diri ke-

luarga.

“I La Sanrego. Di ujungnya telah banyak darah yang mengalir. Darah

musuh, darah penjajah dan darah penghianat. Dari generasi ke generasi

badik ini selalu setia membela kehormatan keluarga”, penuturan pawang

tentang badik itu kepada Andi Aso.

Orang Sulawesi Selatan yang merasa mate sirik akan melakukan

perlawanan hingga ia mati untuk memulihkan siriknya. Orang Sulawesi

Selatan khususnya orang Bugis Makassar lebih memilih mati memper-

tahankan harga dirinya daripada hidup tidak memunyai rasa malu (mate

sirik). Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-

daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-

membunuh dengan mempertahankan harga diri atau menjaga sirikna.

Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam

86
87

kategori tersebut yang merasakan sirik sanggup membunuh atau di-bunuh,

memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena

masalah perempuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa

saja. Akan tetapi pada hakikatnya apa yang kelihatan oleh orang luar

sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompok masyarakat tertentu

sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari

suatu kompleksitas dan sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa

kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.

Keluarga yang menanggung beban mate sirik, yaitu suasana hati

yang dirasakan menurunkan martabat keluarga. Seluruh kerabat dekat

merasakan tekanan tersebut dan ini harus segera dipulihkan, dengan

jalan memberi sanksi kepada yang appakasirik. Misalnya pria yang

melarikan anak gadis harus dibunuh atau diusir. Mereka yang merasa

derajatnya telah direndahkan karena telah merasa aib, maka dia dituntut

untuk menghilangkan ketidakadilan dan memulihkan harga dirinya, karena

lebih baik mati dalam mempertahankan harga diri daripada hidup penuh

aib. Seseorang akan dipandang mati siriknya apabila tidak berbuat apa-

apa untuk mengembalikan siriknya, masyarakat menilainya orang yang

tidak berguna.

Dialog yang mengandung nilai sirik mate sirik dapat dilihat dari

kutipan dialog SNS 10, bagaimana Andi Tenri dan Firman telah

melakukan perbuatan zina perbuatan melanggar agama, mencorengkan

aib pada diri dan keluarganya sendiri. Orang yang tidak dapat memulihkan

87
88

siriknya, memperbaiki harga dirinya, kehormatannya maka akan disebut

terkena mate sirik.

SNS 14

“Tetta sakit pasti karena saya, saya tidak bisa memaafkan diri saya
kalau terjadi apa-apa pada Tetta. Ya Allah, aku ingin lihat dia, aku
ingin ketemu Tetta, aku ingin Tetta tahu, aku mencintai sepenuh
hati. Kamu ingin ketemu Tettamu, kamu ingin pulang? Kita bisa
pulang kalau kamu mau. Tapi? Bagaimana dengan kamu? Saya
akan minta maaf, mohon ampun, pada Tetta, pada ammak, daeng
Aso. Pada semuanya meskipun aku harus mati menerima semua
akibat itu. Saya akan terima dengan Ikhlas Tenri.

(BTA 01. 02.50 detik).

SNS 14 BTA digambarkan bagaimana rasa penyesalan Andi Tenri

melakukan perbuatan yang melanggar adat orang Bugis Makassar, yaitu

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai budaya sirik. Selain

melakukan perbuatan yang membuat hina atau aib keluarga, juga

bertentangan dengan nilai agama. Andi Tenri melakukan perbuatan yang

layaknya dilakukan suami-istri sebelum mereka menikah. Perbuatan

tersebut selain mencoreng nama baik keluarga juga bertentangan dengan

ajaran agama khususnya agama Islam.

Perbuatan Silariang yang dilakukan Andi Tenri dan Firman bukan

hanya membuat malu keluarga Karaeng Tiro, tetapi keluarga, dan saha-

bat pun turut menanggung malu dari perbuatan yang dilakukannya. Apa

yang dilakukan Andi Tenri membuat Karaeng Tiro malu bahkan tidak mau

keluar rumah, tidak mau bertemu dengan tetangga dan kerabatnya. Rasa

malu yang ditanggung Karaeng Tiro membuatnya marah hingga jatuh

88
89

sakit sampai meninggal dunia. Perbuatan yang dilakukan Andi Tenri

membuat bapaknya sakit hingga meninggal dunia dan Andi Tenri pun

menyesal dan bertekad pulang menemui keluarganya dan meminta maaf.

Rasa penyesalan yang mendalam pada Andi Tenri membuatnya nekat

untuk ingin pulang ke kampung halamannya sekalipun jiwanya terancam,

bahkan dibunuh pun Andi Tenri tetap bersikukuh pulang bertemu

keluarganya.

Keberanian Firman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya

membuatnya siap untuk menerima balasan dari perbuatan yang dia

lakukan. Dapat dilihat dari ucapannya “Meskipun aku harus mati mene-

rima semua akibat itu. Saya akan terima dengan Ikhlas, Tenri (BTA 01.

02.50 detik).

Andi Tenri menyadari bahwa silariang dan hubungan suami istri

yang dia lakukan di luar nikah membuat keluarga dan kerabatnya malu.

Keluarga dan kerabat yang merasa terhina dan malu akan melakukan

pembunuhan bagi orang yang menghinanya. Perbuatan atau pembalasan

dilakukan oleh orang yang dihina atau dilecehkan martabatnya untuk

mempertahankan dan memulihkan harga diri baik secara individu maupun

kelompok atau keluarga yang dihina.

1. Sirik Mappakasirik-sirik

Sirik mappakasirik jenis ini berhubungan dengan etos kerja, malu

tidak melakukan yang terbaik untuk kemajuan diri baik berupa pekerjaan,

mencari ilmu pengetahuan yang lebih tinggi, belajar lebih giat dan
89
90

menjadikan ajaran agama sebagai prisnsip hidup. Mappakasirik-sirik juga

merupakan motivasi untuk berusaha melakukan dan mendapatkan yang

lebih baik dari sebelumnya atau yang sudah ada, sudah dimiliki. Selain

motivasi, mappakasirik juga mengandung makna sebagai pandangan dan

perinsip bagi orang Bugis/Makassar. Orang Bugis atau Makassar meman-

dang sirik sebagai pegangan, perisai untuk tidak melakukan hal-hal yang

melanggar etika, adat dan kebiasaan baik yang diyakini kebenarannya

dalam masyarakat. Bagi yang melanggarnya dikucilkan di masyarakat di

mana individu/orang itu hidup.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana

ungkapan orang Makassar, “Takkunjunga bangun turuk naku gunciri’

gulingu kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata ter-

buka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki

akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik

haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar

terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau

harapan. Selain itu, Sirik Mappakasirik-sirik juga dapat mencegah sese-

orang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai

moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat

merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Data yang mengandung nilai mappakasirik-sirik berupa etos kerja,

pandangan hidup atau perinsip, pantang menyerah, selalu berusaha

mencari dan berbuat yang terbaik bagi kehidupan Bugis/Makassar yang

90
91

terdapat dalam film TKVW dan film BTA. Data tersebut disimbolkan

dengan SMSS , data yang mengandung nilai Sirik mappakasirik-sirik

dapat dilihat dari ujaran film TKVW sebagai berikut:

SMSS 1

“... O Amma angrong katuwo, simpirik kurasa linoku punna


ammantang kinjaa ri Mangkasarak. Narapimi kutaeng nipas-
sukkuk pappasangna tau towaku, angciniki butta passolongan-na
cerakku. Bata-bata a kusakring, kagassing ka bijangnu ri Padang
tena natarima bajiko. Teamaki bata-batai, ka anak kalengnaka
anne Pendekar Sutan tanntu natarima bajika. . Pammoporanga
Amma, tabe Appala kanaa rong ri tau towa-ku.
(TKVW 00. 02. 00. detik )

SMSS 2

“Zainuddin jangan pernah bersedih, jangan putus asa. Cinta itu


bukan melemahkan hati bukan membawa tangis, bukan mem-buat
putus asa, sebaliknya cinta itu menguatkan hati meng-hidupkan
harapan. Zainuddin, pergilah Semoga Tuhan mem-berikan
perlindungan kepada kita berdua!
(TKVW 00. 21. 05 detik).

SMSS 3

“Saya tetap menunggu carilah kebahagian kita, ke mana pun kau


pergi saya tetap untukmu. Dan jika bertemu nanti...saya tetap
bersih, dan suci,untukmu kekasihku. Untukmu. Baiklah Hayati
saya akan pergi dengan penuh harapan. Harapan yang sebelum
kamu berdiri di sini sudah habis. Hayati kirimkan surat untukku,
dan kalau tidak berhalangan maka surat itu akan saya balas
pula. .... Berilah saya satu tanda mata, Azimat dalam hidup saya.
Dan akan kuletakkan dalam kafanku kalau aku mati, walaupun
barang itu murah.
(TKVW 00. 25. 10. detik).

Gambaran nilai budaya Sirik mappakasirik- sirik yang diberi simbol

SMSS 1 pada film TKVW adalah gambaran budaya orang Makassar yang

91
92

memegang teguh amanah yang diberikan kepadanya. Zainuddin me-

megang amanah orang tuanya agar Zainuddin melihat dan mengunjungi

kampung Pendekar Sutan di Padang. Selain mengunjungi kampung asal

orang tua Zainuddin, juga menemui keluarga dan kerabat Pendekar Sutan

yang ada di Padang. Dari percakapan antara orang tua angkat Zainuddin,

Mak Basse, terlihat dengan jelas bagaimana kekhawatiran Mak Basse

dengan penerimaan keluarga Zainuddin di Padang. Zainuddin tidak akan

diterima dengan baik oleh keluarga Pen-dekar Sutan di Padang atau

Minangkabau. Karena Zainuddin dipandang bukan lagi keturunan orang

Padang. Minangkabau mengambil garis keturunan perempuan sedangkan

ibu Zainuddin orang Makassar. Kekha-watiran orang tua angkat Zainuddin

tidak dihiraukan, dan Zainuddin tetap meminta izin kepada Mak Basse

untuk berangkat ke Minangkabau me-nemui keluarga bapaknya yaitu

Mande Jamila salah satu dari keluarga Pendekar Sutan.

Keteguhan hati dan kesetiaan dapat dilihat dari percakapan antara

Zainuddin dan Hayati pada kutipan SMSS 2, dan SMSS 3 Hayati mem-

berikan motivasi semangat kepada Zainuddin agar jangan ragu dalam

menempuh hidup. Selain motivasi, Hayati juga mengamanatkan kepada

Zainuddin untuk pergi mencari jalan penghidupan atau pekerjaan dan

meninggalkan Kota Padang. Sekalipun hati Zainuddin berat meninggalkan

orang yang dia cintai, tetapi tetap teguh dalam pendiriannya mening-

galkannya. Begitu pula dengan Hayati, bahkan bersumpah bahwa kelak

92
93

nanti setelah Zainuddin sukses di perantauan dan bertemu kembali diri

Hayati akan tetap suci, dan Hayati tetap setia menunggu Zainuddin.

Selanjutnya, untuk membuktikan kesetiaan antara Hayati dan

Zainuddin sebelum meninggalkan kota Padang. Zainuddin meminta tanda

mata kepada Hayati sebagai kenangan pengingat dalam perjalanan

mening-galkan kampung halaman orang tuanya. “Berilah saya satu tanda

mata, Azimat dalam hidup saya. Dan akan kuletakkan dalam kafanku

kalau aku mati, walaupun barang itu murah “(TKVW durasi 00. 25. 10.

detik ). Mendengar ucapan Zainuddin, Hayati pun melepas kerudung yang

dipakainya dan memberikan pada Zainuddin sebagai tanda ikatan per-

sahabatan.

SMSS 4

“……….Engku harus bangkit. Coba Engku lihat dunia yang luas di


sana dan masuk ke dalamnya, di sana masih banyak kebaha-
gian dan ketenteraman tersimpan. Engku pasti bisa melaku-
kannya. Cinta bukan mengajarkan kita menjadi lemah, tetapi cinta
membangkitkan semangat. Tunjukkan kepada perempuan itu bah-
wa Engku tidak akan mati lantaran dibunuhnya.
(TKVW 01. 0p.20 detik).

SMSS 5

“.....semangat, ia semangat, banyak orang hebat yang gagal


dalam percintaan. Mereka mengubah hidup, maju dalam politik,
mengarang buku, mengubah puisi dalam perjuangan hidup.
Sehingga dia di atas puncak yang tinggi. Dan perempuan perlu
mendongak memandang mereka dari bawah. Saya tahu Awak
pandai mengarang, banyak buku di meja awak. Banyak karangan
dan hikayat, kenapa Engku tidak teruskan itu.....
(TKVW 01.05. 25 detik).

93
94

SMSS 6

Mulai sekarang saya akan perbaiki jalan pikiran saya kembali.


Dan juga hidup saya. Saya tidak akan mengingat Hayati lagi. Saya
akan melupakan dia. Tetapi..... Apa Engku. Kalau saya mau maju,
mau memperbaiki hidupku lagi. Saya tidak bisa ting-gal di sini
selamanya. Saya tidak ingin Kota Padang ini mengi-ngatkan saya
kembali, pada masa lalu saya. Saya akan pindah ke Pulau Jawa....
(TKVW 1. 06. 06).

SMSS 7

“Zainuddin dan Muluk meninggalkan Kota Padang menuju Batavia


(Pulau Jawa). Batavia Bang Muluk. Batavia Engku. Kita sudah tiba,
di surga dan banyak gadis cantik cepat dapat jodoh Engku.
(TKVW 01. 08.16 detik).

Kemauan yang kuat sebagai bentuk nilai budaya pantang menyerah

orang Bugis/Makassarditunjukkan oleh Zainuddin pada kutipan SMSS 4,

SMSS 5, SMSS 6, dan SMSS 7 betapa pun berat hatinya mening-

galkan Kota Padang ia tetap melangkahkan kaki meninggalkan Kota

Padang, mening-galkan orang yang dicintainya yaitu Hayati. Mening-

galkan Hayati, tetapi dengan kemauan dan keyakinan yang kuat, kuat

tetap meninggalkan Kota Padang menuju Batavia. Zainuddin dan Muluk

meninggalkan Padang untuk mencari pekerjaan yang lebih baik menuju

Batavia dan selanjutnya ke Surabaya. “Engku harus bangkit, lihat dunia

yang luas di sana dan masuk ke dalamnya, di sana masih banyak

kebahagiaan dan keten-teraman tersimpan” kata Muluk. Motivasi yang

diberikan Muluk menjadi awal dari kesuksesan Zainuddin dalam

menempuh karier sebagai penulis terkenal membuat dan mengantar-

kannya menjadi orang kaya dan ter-pandang di perantauan.

94
95

Tekad kuat yang ditunjukkan Zainuddin pada film TKVW pada

kutipan SMSS 5 menjadikan dia berada di atas puncak atau orang ter-

pandang. Tekad kuat pantang menyerah, malu tidak berbuat yang terbaik

sebagai gambaran budaya orang Bugis/Makassar pantang menyerah dan

harus berhasil di perantauan. Sekali melangkah meninggalkan kampung

halaman, orang Bugis/Makassar tidak akan pulang ke daerahnya sebelum

berhasil atau mencapai cita-cita yang diinginkan.

Tekad yang kuat menjadi awal keberhasilan Zainuddin di Surabaya.

Gambaran keberhasilan dapat dilihat dari kutipan SMSS 8 (film TKVW),

hal ini dapat dilihat dari percakapan Muluk “Ah, Tuan Zainuddin menjadi

orang terkenal sekarang. Iya, ah, jangan berkata begitu Bang Muluk”

ungkap Zainuddin

SMSS 8

Ah, Tuan Zainuddin menjadi orang terkenal sekarang. Iya, ah,


jangan berkata begitu, Bang Muluk. Bang Muluk pun turut
membantu saya. Tuan Zainuddin sudah terkenal, belilah baju baru,
masa baju robek begini masih dipakai Engku. Iya nanti di rumah
saya jahit Bang Muluk. Ah, lebih baik beli baju baru. Kalau dijahit,
terus bisa jadi tangan Zainuddin terluka kena jarum. Nanti Tuan
tidak bisa menulis.
(TKVW 01. 15. 57 detik).

SMSS 9

…Kalau begitu di mana kita bisa beli, Bang Muluk tahu tem-patnya?
Lihat itu, itu tempatnya. ....Mari kita masuk. Tolonglah kawan saya
dipermakh Baju, celana, sepatu, ganti semua model
baru.“Sesudah ini kita beli mobil” kata Muluk. “Mobil” kata
Zainuddin. Zainuddin ini orang sukses, masa mau naik kereta
terus. Tapi saya tidak bisa setir Bang Muluk. Ah, nanti ajar.
(TKVW 01. 17. 20 detik).
95
96

SMS 10

“Saya mau bertanya kenapa rumah sebesar ini begitu murah. Ini
rumah disita bank, pemiliknya melakukan beberapa penipuan.....
Baiklah Pak saya akan beli. Semua urusan Bang Muluk akan urus.
(TKVW 01.23.10 detik).

Kutipan pada SMSS 9 dan SMSS 10 digambarkan kesuksesan

yang diraih Zainuddin di perantauan merupakan buah dari hasil kerja

keras dan pantang menyerah. Keuletan dalam bekerja dan sifat pantang

menyerah merupakan salah satu prinsip orang Bugis Makassar dalam

mencapai cita-cita, sekali melangkahkan kaki pantang pulang sebelum

mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. Prinsip sirik pantang menyerah

dalam meraih cita-cita dan kesuksesan sudah terpatri dalam jiwa suku

Bugis/Makassar dan merupakan salah satu pegangan yang dianut.

Pendapat ini sejalan pendapat (A. Moeing AG 1994. 83). “Apa yang

mendorong seorang warga Bugis-Makassar untuk pada suatu ketika

dalam hidupnya berbuat sesuatu yang amat nekat, memilih menyerahkan

milik hidupnya yang terakhir yaitu nyawa acapkali dikembalikan kepada

konsep yang mereka namakan sirik.

Berusaha keras mencari penghidupan yang lebih baik atau bekerja

keras mengubah hidup sejalan dengan perintah Allah dalam Al Quran:

                      

                      

                  

96
97

                   

                     

Terjemahan: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu


mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki ke-burukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia (Q. S. Ar Rad: Ayat 11).

Allah Swt. tidak akan merubah keadaan seseorang, suku, bangsa selama

mereka tidak berusaha merubah atau memperbaiki keadan nasib mereka

sendiri. Di Surah Al Baqarah Allah pun memerintahkan kepada manusia

berusaha sesuai kemampuannya, Allah berfirman:

                             

                                        

                                

                    

                                       

                                

                


Terjemahan: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
97
98

diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang


dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri
ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
(Q.S. Al Baqarah: Ayat 286).

Selain Sirik pantang menyerah yang dipegang teguh orang Bugis

dan Makassar adalah masyarakat Bugis/Makassar dikenal menghormati

hak orang lain, dan teguh pada pendirian. Sifat ini ditunjukkan pada dialog

film BTA dan film TKVW berikut.

SMSS 11

Bagaimana kalau sujud dan mencium kaki Tetta, apakah hati


Tetta akan luluh, Ammak. Tenri tidak ada karang di perairang Bira
sampai di Selayar, yang bisa mengalahkan kekerasan hati
Tettanu. Kalau dia sudah berketetapan hati, dia tidak akan lunak
dengan cara apa pun.
(BTA. 00.20. 10 Detik).

Kutipan SMSS 11 digambarkan sikap Karaeng Tiro yang tidak

mudah dipengaruhi oleh siapa pun juga. Karaeng Tiro digambarkan sikap

orang Makassar apabila sudah memutuskan sesuatu apapun risikonya dia

siap menanggung, tidak mudah mengubah keputusannya sekalipun jiwa

taruhannya. Keteguhan dan kekerasan hati Karaeng Tiro terlihat dari

percakapan Karaeng Caya istri Karaeng Tiro dan Andi Tenri “Bagaimana

kalau sujud dan mencium kaki Tetta, apakah hati Tetta akan luluh, Amak.

Tenri tidak ada karang di perairang Bira sampai di Selayar, yang bisa

98
99

mengalahkan kekerasan hati Tettanu. Kalau dia sudah berketetapan hati,

dia tidak akan lunak dengan cara apa pun” (BTA. durasi 00.20. 10 Detik).

Kekerasan hati Karaeng Tiro dimaksud dalam dialog ter-sebut adalah

keputusan yang sudah diambil dan tetapkan tidak akan diubah apa pun

risikonya.

Keteguhan dalam memegang prinsip juga ditunjukkan Zainuddin

dalam film TKVW, sekalipun Zainuddin masih mencintai Hayati. Tetapi

Zainuddin tetap tidak mau menerima Hayati kembali, “Tidak” kata

Zainuddin, pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.

Awak meski pulang ke kampung halaman (TKVW durasi 02.04.00 detik).

SMSS 12

“Zainnuddin, saya tidak akan pulang, saya tetap tinggal di sini, biar
kamu hina saya, sebagai babu yang hina. Saya tidak butuh uang
berapapun banyaknya, saya hanya mau dekat dengan kamu,
Zainuddin. “Tidak” kata Zainuddin, pantang pisang ber-buah dua
kali, pantang pemuda makan sisa. Awak meski pulang ke
kampung halaman.
(TKVW 02.04.00 detik).

Selain teguh dalam pendirian sifat orang Bugis/Makassar adalah

menghormati orang lain dan mudah memaafkan kesalahan orang yang

pernah menyakiti dirinya. Kedua sifat ini ditunjukkan Zainuddin kepada

Hayati, sekalipun Zainuddin pernah disakiti ia tetap menerima Hayati dan

suaminya serta memaafkannya. Hal ini dibuktikan pada kutipan dialog

dalam film TKVW. “Sebagai orang yang baik hatinya Zainuddin meng-

hormati Encik. Meskipun orang itu pernah menyakitinya”, Kata Muluk

kepada Hayati.
99
100

SMSS 13

“Sebagai orang yang baik hatinya Zainuddin menghormati Encik


sebagai istri orang lain. Meskipun orang itu pernah menyakiti-
nya”, kata Muluk kepada Hayati.
(TKVW 01.53. 16 detik).

Mappakasirik-sirik dalam perspektif agama merepresentasikan rasa

pengabdian kepada Allah atau menjalankan perintah Allah. Sirik menga-

rahkan seseorang untuk tidak melupakan Allah yang telah menciptakan

manusia, dunia, dan seisinya. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar,

orang yang Mate sirikna atau hilang rasa malunya adalah orang yang di

dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu atau tidak memiliki keimanan

kepada Allah Swt sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan

pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup.

SMSS 14

“Tetta,seumur hidup perempuan lemah ini, selalu mengabdi


kepadamu, berbakti kepadamu, mengaminkan apa yang Tetta
lakukan, sebagai imam keluarga. Tanpa ada keberatan, tiada juga
sebutir keberatan, apa Tetta inginkan aku juga lakukan, tapi
sekarang ini Tetta untuk perama kalinya perempuan lemah yang
sudah memberimu dua biji mata bagi kehidupanmu memintamu
dengan sangat, memohonmu agar bisa mengikhlaskan semua
yang terjadi Tetta. Kau marah Tetta aku terima, tapi apa artinya
hidup jika benci yang menjadi Raja, Tetta. Apakah puas bisa
membuat darah tumpah, dan nyawa lepas dari orang kita benci,
apakah perasaan itu yang kita rawat dan dibawa sampai mati.
Dengan rasa cinta kita yang sudah 25 tahun lebih, yang kita dekap
bersama, biar hanya ada cinta yang bersemayam di rumah ini,
dari hati anak-anakmu. Tenri anak kita, biji matamu yang kau
sayangi yang sudah melakukan kesalahan terbesar, tetapi
apakah kita sebagai orang tua tidak memunyai andil dalam
memupuk dan membesarkan kesalahan itu. “Selama aku hidup
dan tinggal di rumah ini tidak akan ada kebencian bertahta di hati,
100
101

karena itu dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih


dan Maha Penyayang aku nyatakan seluruh perselisihan ini usai
di sini!” ucap Karaeng Caya.
(BTA 01.17. 04 detik).

SMSS 15

“Aku mohon maaf Tetta karena kehendakmu tidak lagi kupatuhi


semoga kamu bahagia di alam sana. Kami yang masih hidup ini
akan menjaga cintamu dengan doa-doa kami”.
(BTA 01.17.55 detik).

Kutipan SMSS 14 dan SMSS 15 BTA menggambarkan penyesal-

an Karaeng Caya (ibu Andi Tenri) karena tidak lagi mematuhi keinginan

suaminya. Tidak mampu mewujudkan keinginan suaminya (Karaeng Tiro)

untuk memulihkan harga dirinya dengan memberikan sanksi kepada

anaknya Andi Tenri dan Firman yang telah membuat aib keluarga dengan

melakukan silariang. “Tetta, seumur hidup perempuan lemah ini, selalu

mengabdi kepadamu, berbakti kepadamu, mengaminkan apa yang Tetta

lakukan, sebagai imam keluarga. Tanpa ada keberatan, tiada juga sebutir

keberatan, apa Tetta inginkan aku juga lakukan, tapi sekarang ini Tetta

untuk perama kalinya perempuan lemah yang sudah memberimu dua biji

mata bagi kehidupanmu memintamu dengan sangat, memohonmu agar

bisa mengikhlaskan semua yang terjadi” (BTA 01.17.55). Dia menyesal

karena tidak mematuhi perintah suaminya agar tidak menerima kembali

Andi Tenri. Keinginan Karaeng Tiro membuang Andi Tenri dan tidak lagi

mengakui dan menerima sebagai anak tidak dipatuhi oleh istrinya.

Karaeng Tiro membuang Andi Tenri karena membuat malu keluarga dan

kerabat, Tenri dan Firman silariang.


101
102

Rasa hormat dan kepatuhan sebagai seorang istri kepada suami

ditunjukkan ibu Andi Tenri kepada suaminya Karaeng Tiro. Istri Karaeng

Tiro (Karaeng Caya) merasa berdosa karena tidak mengindahkan dan

menuruti keinginan suaminya membuang Andi Tenri dan tidak mengakui

lagi sebagai anaknya. Rasa penyesalan tersebut diungkapkan “Tapi se-

karang ini Tetta untuk pertama kalinya perempuan lemah yang sudah

memberimu dua biji mata bagi kehidupanmu memintamu dengan sangat,

memohonmu agar bisa mengikhlaskan semua yang terjadi, Tetta”. Istri

Karaeng Tiro rela dan ikhlas menerima hukuman seandainya suaminya

menghukumnya karena tidak mematuhi perintahnya untuk membunuh

atau membuang Andi Tenri. “Kau marah Tetta aku terima, tapi apa artinya

hidup jika benci yang menjadi raja, Tetta. Apakah puas bisa membuat

darah tumpah, dan nyawa lepas dari orang yang kita benci, apakah pera-

saan itu yang akan kita rawat dan dibawa sampai mati” (BTA 01.17. 04).

SMSS 16

Pammoporanga Amma, tabe appala kanaa rong ri tau


towaku. .....Nia nabolikan ko doi tau towano sisabbu golodeng ia
minjo nipake ampakatuwoko sikamma sallona siagang
ampakalebbaki sikolang-nu. Kipakemi tulusu a,gang kamma biasa
kipag-gannagkamma untuk kaparalluang ilalang lampaku
abbilangganji tu kupake siagang katallasangku ri padang ” ,kata
Zainuddin.

(TKVW 00.03. 02 detik).

Dialog pada kutipan SMSS 15 TKVW digambarkan nilai agama

yang tertanam pada jiwa Zainuddin yang meminta izin kepada Mak

Basse perempuan yang mengasuh dan membesarkan Zainuddin sejak


102
103

kecil. Perempuan tua itu sekalipun bukan ibu kandung Zainuddin namun

tetap dihargai dan dianggap sebagai ibu kandung. Bentuk penghormatan

Zainuddin kepada Mak Basse dapat dilihat dari ucapan permohonan izin

Zainuddin “Pammoporanga ammak, tabe appala kanaa rong ri tau towa-

ku” mohon maaf ibu, Saya mohon izin kepada orang tua saya. Zainuddin

mohon pamit kepada orang tua yang telah mengasuh membesarkannya

ketika Zainuddin ingin berangkat ke Padang melaksanakan amanah orang

tuanya untuk menemui keluarganya di Padang.

Begitu juga perhatian Mak Basse kepada Zainuddin, bentuk per-

hatian Mak Basse kepada Zainuddin dibuktikkan dengan keterbukaan

menyampaikan harta peninggalan orang tuanya berupa uang untuk biaya

hidup dan sekolah. Mak Basse memberikan uang simpanan orang tua

Zainuddin yang dititipkan untuk biaya hidup dalam perjalanan menuju

Padang. Sekalipun uang yang disimpan orang tua Zainuddin tidak begitu

banyak Mak Basse tetap menyampaikan keadaan warisan Zainuddin,

selain sifat terbuka yang ditunjukkan Mak Basse juga sebagai bentuk

amanah menjaga Zainuddin dan harta yang ditinggalkan Pendekar Sutan

ayah Zainuddin.

SMSS 17

Zainuddin, pergilah semoga Tuhan memberikan perlindungan


kepada kita berdua! ……Biar Tuhan mendengarkannya, Zainuddin
yang akan menjadi suamiku kelak, jika di dunia ini, awaklah suami
saya di akhirat. Saya tak akan khianati janji saya, tidak akan
berbohong di hadapan Tuhan, disaksikan oleh arwah nenek
moyangku. Berat sekali sumpahmu Hayati, (ucap Zainddin). Tidak
berat karena itulah hakikatnya.

103
104

(TKVW 00. 21.15 detik).

SMSS 18

Hayati Siapa dia lelaki yang kita jumpa diluar tadi (kata Azis),
namanya Zainuddin Lelaki yang saya selalu ceritakan. Itu rupanya
lelaki yang selalu kamu ceritakan Ati? Kawan Anak itu alim,
nonton pacuan kuda saja seperti anak mengaji.

(TKVW 00. 40, 14 detik).

Kutipan dialog SMSS 16 dan SMSS 17 TKVW digambarkan kepas-

rahan dan penyerahan diri Zainuddin dan Hayati kepada Allah Swt. Hayati

mem-berikan pesan dan nasihat kepada Zainuddin agar selalu berserah

diri dan memohon perlindungan Allah baik dalam perjalanan. Selain

memohon perlindungan, Hayati pun mengikrarkan janji di hadapan Tuhan

bahwa dia akan setia menunggu Zainuddin sebagai pendamping hidup

(suami).

Selain penyerahan diri kepada Allah, mate sirik atau nilai agama juga

tergambar dari penampilan Zainuddin yang kerap memakai songkok dan

sarung (tampak pada SMSS 18 TKVW). Kedua pakaian ini menggam-

barkan kebiasaan orang Bugis/ Makassar yang menjunjung tinggi nilai

adat, senantiasa berpakaian sesuai dengan tuntunan ajaran agama.

Menjadikan ajaran agama sebagai lan-dasan berperilaku dan bergaul

dalam masyarakat.

SMSS 19

“Ini saya Zainuddin kekasihmu. Kau akan sembuh. Kita akan


pulang. Kita akan pulang ke Surabaya. Zainuddin....... Hayati ......
Hayati...... Hayati....... Bang Muluk Surat. Sudah Encik. Zainuddin
kekasihku. Aku butuh dekat dengan kau...... Tidak Hayati, kau akan
104
105

sembuh......... Kita pulang ke Surabaya. Kita akan menikah. Kita


hidup berdua. Kebahagiaan cinta ada di depan kita...........Cahaya
kematian telah terlihat di mukaku. Jika aku mati aku bahagia karena
aku tahu kau masih mencintaiku. Hidupku hanya untukmu seorang
Hayati. Aku tahu.”

(TKVW 02. 20. 59 detik)

SMSS 20

“Bacalah dua kalimat suci itu di telinga saya , Zainuddin. Jangan


pergi, awak perlukan awak di sisi saya. Bacakanlah, dua kalimat
suci itu di telinga saya , Zainuddin. Saya mencintai awak
Zainuddin, biar hati kita dirahmati Tuhan. Bacalah dua kalimat suci
itu di telinga saya “Asyhadu Allah ilaha Illallah, Wa asyhaduanna
Muhammadarrasulullah. Sekali, lagi. Sekali, lagi.

(TKVW 02. 24. 02 detik).

Kutipan dialog SMSS 19 digambarkan bahwa Zainuddin mengingin-

kan Hayati kembali menjadi kekasihnya, karena sebenarnya Zainuddin

masih sangat cinta kepada Hayati. Dengan demikian gugurlah keteguhan

sirik Zainuddin (mate sirik) bahwa sebelumnya dia tidak bisa menerima

Hayati kembali karena dia adalah sisa orang, sebagaimana pepatah yang

telah diucapkan “Pantang pisang berbuah dua kali, pantang lelaki makan

sisa”

Sebaliknya pada kutipan dialog SMSS 20 Hayati menyerahkan

dirinya kepada takdirnya bahwa waktunya telah tiba untuk kembali kepada

Sang Penciptanya. Film TKVW ini digambarkan begitu tinggi pengamalan

nilai ajaran agama Islam di dalamnya. Di akhir hayat Hayati meminta

Zainuddin menuntunkan dua kalimat syahadat, meminta Zainuddin


105
106

membacakan dua kalimat syahadat di telinganya. Permintaan Hayati agar

dibacakan Kalimat syahadat itu diucapkan berulang-ulang sebanyak tiga

kali. Begitu pun Zainuddin membacakan kalimat Lailaha illallah

Muhammdarrasulullah dan mengulang tiga kali kalimat syahadat tersebut

di telinga Hayati sam-pai akhirnya menghembuskan nafas terakhir, Hayati

meninggal dunia.

3. Tappelak Sirik

Sirik adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat

dan martabat manusia (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka

pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi sirik adalah sesuatu yang

tabu bagi masyarakat Bugis/Makassar dalam interaksi dengan orang lain.

Artinya rasa malu seseorang itu hilang Tappelak sirik karena berbagai

sebab. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk

membayarnya maka orang yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk

menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang

telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan,

dan yang berutang ternyata tidak menepati janjinya maka yang berutang

hilang rasa malunya atau mempermalukan dirinya sendiri (tappelak sirik).

Bagi orang Bugis Makassar lebih memilih jalan pintas atau berkelahi

menjaga harga dirinya, bahkan tidak jarang mempertahankan harga diri ini

berakhir dengan pertumpahan darah/pembunuhan.

Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh

nilai-nilai Sirik, tidak ingin mempermalukan orang lain begitu pun se-

106
107

baliknya tidak ingin harkat dan martabatnya direndahkan atau dihina.

Orang Bugis Makassar lebih memilih mati daripada dipermalukan karena

dihina atau dipermalukan di depan orang banyak. Bukti sirik tappelak sirik

dapat dilihat dari kutipan dialog film pada film TKVW dan film BTA berikut:

TS 1

Eeeh ........bawa I La Sanre-


go.... Tetta, saya akan laku-
kan apa pun demi nama baik
keluarga. Bagus, bagus Asoh
Aso kamu anak laki-laki jangan
pernah kecewakan Tetta.
Masalah keluarga ini harus
diselesaikan dengan tuntas, untuk selama-lamanya.
(BTA 00.37. 00 detik).

TS 2

“Memalukan saja” kata Datuk. Mau menghina kami. ....Tidak ada


gunanya menerima Zainuddin, ibu kandung Zainuddin bukan
orang Minangkabau, Ayah Zainuddin itu Pendekar Sutan, dia juga
orang Minang. Jangan banyak bicara kau anak muda, kau tidak
mengerti adat, Zainuddin itu akan mencoreng malu di kening kita.
Tidak baik kita menghina orang hanya karena suku, dan negerinya
berbeda dengan kita, karena sesungguhnya setiap negeri berdiri
dengan adat masing-masing.
(TKVW 00.46 01 detik).

Pada kutipan TS 1 digambarkan penghinaan yang dilakukan Firman

kepada keluarga Karaeng Tiro, Andi Tenri dibawa lari (silariang) oleh

Firman. Orang Bugis atau orang Makassar apabila anak perempuannya

dibawa lari oleh laki-laki (silariang) keluarga perempuan menganggap diri

dan keluarganya dipermalukan, dirampas kehormatannya. Balasan bagi

yang merampas kehormatannya appakasirik adalah dibunuh. Perbuatan

107
108

yang dilakukan Andi Tenri dan Firman bukan saja menghina keluarga

Karaeng Tiro, tetapi kerabat dan handai tolan pun merasa dipermalukan.

Kutipan TS 2 digambarkan penghinaan keluarga Hayati kepada

Zainuddin, “Memalukan saja” kata Datuk Tidak ada gunanya menerima

Zainuddin, ibu kandung Zainuddin bukan orang Minangkabau TKVW

Durasi 00.46 01 detik. Penghinaan yang dialamatkan kepada Zainuddin

bukan saja hanya menimpa dirinya tetapi juga keluarganya. Keluarganya

dihina karena dianggap keluarga lebih rendah derajatnya ibu Zainuddin

orang Bugis-Makassar lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan

Hayati. Sebagai orang Bugis-Makassar Zainuddin tidak menerima ketu-

runannya dianggap lebih rendah derajatnya daripada Hayati keturunan

Minang. Zainuddin menganggap bahwa dirinya juga adalah keturunan

Minang karena Pendekar Sutan adalah keturunan Minang dan hanya ibu

Zainuddin berasal dari Makassar.

Budaya sirik yang dipegang teguh orang Bugis/Makassar adalah

menjaga amanah tidak mau mengingkari janji. Prinsip ini dapat dilihat dari

kutipan dialog berikut:

TS 3

...... “Hayati kekasihku bagaimana kejadian sebenarnya sudah


ditutupkah, benarkah sudah putus pertalian kita” ucap Zainuddin.
Ingatkah yang kita pernah berjanji sehidup semati?
(TKVW 00. 49. 23 detik).

TS 4

Hayati “Saya harap awak lupakan segala yang telah terjadi,


maafkan kesalahan dan kelalaian saya, Hayati.
(TKVW Durasi 55.03 detik).
108
109

Kutipan TS 3 dan TS 4 digambarkan bagaimana teguhnya Zainud-

din memegang amanah atau janji yang diucapkan Hayati kepadanya,

Zainuddin mengingatkan kepada Hayati apakah benar janji yang pernah

diucapkan Hayati kepadanya sudah dilupakan. Dari ucapan Hayati “Saya

harap awak lupakan segala yang telah terjadi, maafkan kesalahan dan

kelalaian saya, Hayati. Mengindikasikan bahwa sumpah atau janji yang

pernah diucapkan Hayati kepada Zainuddin jangan lagi dingat, Hayati

memohon maaf kepada Zainudiin dan tidak mengingat lagi masa lalu

keduanya.

Selanjutnya, Zainuddin adalah orang yang dibesarkan dalam

keluarga Bugis Makassar begitu mudah memaafkan orang yang meminta

maaf, maka Zainuddin pun memaafkan Hayati sekalipun berat hatinya me-

maafkan kesalahan hayati. Salah satu sifat yang dimiliki orang Makassar

adalah memberikan maaf kepada orang salah dan meminta maaf, begitu

pun Zainuddin pada Hayati.

Selain sifat pemaaf yang ditunjukkan Zainuddin pada kutipan dialog

TKVW pada menit ke 55, 33 detik Zainuddin juga menghargai dan

menjungjung tinggi adat tidak mau mengganggu rumah tangga orang lain.

Zainuddin tidak mau memegang tangan Hayati karena Hayati sudah

menjadi istri Aziz.

TS 5

“Zainuddin. Awak sudah milik orang lain. Awak sudah lepas dari
genggaman saya, haram saya menyentuh tangan

109
110

awak. ....Keluar kamu semua, tinggalkan saya sendiri disini.


Saya tidak punya hubungan dengan orang itu.
(TKVW 01 01, 02 detik).

TS 6

Bukankah kamu yang meminta dalam suratmu untuk menghapus


dan melupakan cinta kita? saya hanya mengikuti
permintaanmu. ...permintaan itulah yang saya pegang teguh
sekarang. Kamu bukan kekasihku, bukan tunangangku, bukan
istriku, tetapi janda dari orang lain. Maka sebagai seorang sahabat
saya akan memegang teguh janjiku dalam persahabatan itu.
Sebagaimana teguhnya saya memegang cinta saya dulu. Itulah
sebabnya saya dengan segala kerendahan hati, aku bawa Hayati
tinggal di rumah ini, untuk menunggu kepulangan suamimu. Tetapi
bukan dirinya yang pulang. Tetapi surat cerai dan kabar yang
mengeri-kan. Maka itu sebagai sahabat pula kamu akan saya
hantar ke kampung halamanmu, ke tanah asalmu, tanah
Minangkabau yang kaya-raya, tanah beradat.
(TKVW 02.02. 02 Detik).

Sirik yang digambarkan pada kutipan dialog TS 5 mencerminkan

sikap Zainuddin yang memegang teguh budaya sirik Bugis/Makassar.

Nilai sirik yang ditunjukkan Zainuddin adalah memegang prinsip malu

mendekati perempuan yang bukan muhrim, atau perempuan yang sudah

menjadi istri sahabatnya. Hayati sudah menjadi istri orang lain, kedekatan

Zainuddin dengan Hayati hanya sebatas teman yang pernah dikenal sejak

lama. Wujud budaya sirik yang digambarkan Zainuddin sebagai pemuda

Bugis Makassar tidak mau serumah dengan perempuan yang bukan

muhrim, bukan istrinya tetapi janda dari sahabatnya, Zainuddin pun

meminta Hayati pulang ke kampung halamannya dan memberikan uang

bekal sampai ke Padang. Selain biaya dalam perjalanan pulang, Zainud-

110
111

din pun berjanji memberikan biaya hidup kepada Hayati sampai dia

bersuami.

Nilai malu/harga diri (Sirik) adalah satu di antara nilai utama

kebudayaan Bugis. Menurut Rahim (2011: 139), Sirik dapat diartikan malu

sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu menyesali diri, perasaan

harga diri, noda atau aib, dan dengki. Sirik disejajarkan kedudukannya

dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari kemarahan,

dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan sewenang-

wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan sesama

manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau meniadakan

malu (sirik) ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong oleh kera-

kusan untuk menggapai keinginan.

4. Pacce

Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna

kulturalnya Pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut

prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, Pacce adalah

perasaan (pernyataan) solidaritas yang lahir dari dalam hati atau jiwa

orang Bugis Makassar yang dapat merangsang kepada suatu tindakan

turut iba, belas kasih, turut mersakan penderitaan orang lain dan mau

membantu orang lain. Sirik dan Pacce inilah yang mengarahkan tingkah

laku masyarakat Bugis Makassar dalam pergaulan sehari-hari sebagai

penggerak dalam mengimplementasikan perilaku sosialnya.

111
112

Pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku Bugis dan

Makassar mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di

perantauan serta disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan pera-

saan menanggung beban bersama dan penderitaan orang lain, meskipun

berlainan suku, agama, dan ras. Budaya Pacce. yang terpatri dalam jiwa

membentuk masyarakat Bugis/Makassarmenjadi masyarakat dengan soli-

daritas dan rasa empati yang tinggi kepada sesama tanpa memadang

suku, ras, dan agama. Perwujudan Pacce dapat dilihat dari kutipan dialog

Film BTA dan TKVW berikut:

PC 1
“Hayati pulanglah dulu pakai payungku ini, ambillah, jangan ditolak
pertolongan orang tidak elok tu...Berangkatlah supaya orang
rumah tidak risau. Terima kasih Zainuddin saya pergi dulu, ucap
Hayati.
(TKVW 00. 08. 20 detik).

PC 2

Assalmu alaikum bersama adik saya Ahmad saya kembalikan


payung yang saya pinjam alangkah besar terima kasih saya
kepadaTuan. Tak dapat disini saya nyatakan..., tutur Hayati

(TKVW 00. 11. 27 detik).

PC 3

“Jangan segan anggap rumah sendiri, terima Kasih Tuan. Tidak


dapat membayangkan keadaan kami, sekiranya Tuan Zainuddin
tidak membantu saya. Kita ini teman lama. memang Sepatutnya
saling membantu. Muluk akan menunjukkan kamar kamu. Semua
yang ada di rumah ini milik kalian juga. Kecuali satu. Saya minta
tolong kamu jangan masuk ke kamar kerja saya. Nanti kamar itu
ditunjukkan sama Bang Muluk. Terima kasih Engku Zainuddin.

112
113

(TKVW 01. 39. 35 detik).

Dialog pada kutipan PC 1, PC 2, dan PC 3 TKVW digambarkan pera-

saan iba Zainuddin kepada Hayati dan Aziz. Zainuddin iba melihat

seorang perempuan (Hayati) terhalang pulang ke rumahnya karena hujan.

Bentuk perhatian Zainuddin ditunjukkan dengan memberikan payung

kepada Hayati untuk melindungi diri dari guyuran hujan yang lebat yang

tak kunjung reda. Zainuddin rela memberikan payung pada Hayati se-

kalipun dia juga membutuhkan payung itu. Zainuddin dan Hayati baru

pertama kali bertemu, lazimnya orang yang baru bertemu segan memin-

jamkan sesuatu begitu pun yang menerima. Tetapi karena rasa iba yang

begitu tinggi pada Zainuddin maka ia pun memberikan payungnya pada

perempuan yang baru saja dikenalnya itu.

Implementasi nilai Pacce juga tergambar pada perilaku Zainuddin

kepada Aziz dan Hayati, kutipan pada PC 3 TKVW tampak pada per-

lakuan Zainuddin kepada Aziz dan Hayati. Zainuddin membantu Aziz

bersama istrinya untuk tinggal di rumahnya. Bukan itu saja segala ke-

butuhan kedua suami istri ditanggung oleh Zainuddin selama Aziz belum

mendapatkan pekerjaan. Apa yang dimiliki atau apa yang ada di rumah

tersebut boleh digunakan Aziz dan Hayati.

PC 4

Sudahh Makanlah, kalau perut terisi pikiran akan


jernih. .....Saudara Zainuddin, budi baik saudara sangat besar,
seminggu saya sakit, dan sudah sebulan Zainuddin izinkan saya
dan istri saya tinggal menumpang di rumah ini. Lemah benar
keadaan saya sekarang. Saya tidak dapat membalas kebaikan
Zainuddin.Saya memohon kepada Tuhan agar tidak melupakan
113
114

jasa Saudara Zainuddin dan tertulis di sisi-Nya. Itu bukan jasa.


Hanya kewajiban seorang sahabat, terhadap sahabatnya. Apalagi
hidup kita di rantau. Kita wajib membantu satu sama lain. Belum
pernah saya membantu saudara.....”Mungkin lain waktu saya
ditolong Abang” kata Zainuddin.
(TKVW 01.40. 59 detik).

PC 5

Tapi saya risaukan Tuan Aziz, karena belum sembuh sepenuhnya.


Hanya karena malu dan mau pergi, lebih baik tahan dahulu,
hingga benar-benar sembuh dari sakitnya. ....Bagaimana kalau
Aziz dan Hayati pulang ke Padang biaya akan saya
bayar. ....Nasihat saya hanya satu ubahlah haluan hidup.

(TKVW 01. 55 detik).

PC 6

“Sekarang ia menjadi seorang yang sangat pengasih, penyayang


dan berbelas kasihan terhadap sesama, yang datang padanya
anak muda yang kekurangan ongkos, untuk menikah. Meminta
bantuan kepada Zainuddin. Lalu ia berikan uang secukupnya
kepada mereka, untuk pernikahan mereka. Karena katanya
“Karena saya merasakan sendiri bagaimana pengaruhnya ter-
hadap diri saya lantaran harapan hilang”. Kasih yang tidak sampai
biarlah anak muda itu tidak menanggung apa yangpernah saya
tanggung”. Kata Muluk. “Cukup Bang Muluk” ucap Hayati. Jangan
diteruskan lagi.
(TKVW 01. 50 . 35 detik).

Pada kutipan PC 4, PC 5, dan PC 6 digambarkan bagaimana sifat

orang Bugis Makassar yang mudah memaafkan dan tidak menyimpan

dendam pada orang lain, sekalipun orang itu pernah menyakiti atau per-

nah berbuat tidak baik pada dirinya. Hal ini digambarkan Zainuddin

kepada Hayati dan Aziz, apa yang dilakukan Aziz pada Zainuddin meng-

hina dan menganggap Zainuddin budak dari Makassar dilupakan oleh


114
115

Zainuudin. Begitu pun dengan Hayati yang berjanji akan menunggu ke-

datangan Zainuddin datang melamar dan menjadikan istri sampai kapan

pun juga dikhianati, Zainuddin tidak menyimpan dendam kepada kedua

orang itu. Begitulah sifat Zainuddin yang suka memaafkan dan menolong

orang yang membutuhkan pertolongan salah satu wujud implementasi

nilai budaya Pacce orang Bugis Makassar.

PC 7

“Tunggu” kata ammak. Tenri, Aso. “Dengar Ammah Aso, Tenri,


sebentar lagi Amma mau menguburkan Tettanu , tapi, apa kalian
pikir, Amma sanggup menjalani hidup, jika Amma hari ini harus
juga menguburkan anak, menantu, dan cucuku.

(BTA 01.14.09 detik).

PC 8

Dari hati anak-anakmu, Tenri anak kita, biji matamu yang kau
sayangi yang sudah melakukan kesalahan terbesar, tetapi apa--
kah kita sebagai orang tua tidak memunyai andil dalam memu-puk
dan membesarkan kesalahan itu. “Selama aku hidup dan tinggal
di rumah ini tidak akan ada kebencian bertahta di hati, karena itu
dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang aku nyatakan seluruh perselisihan ini usai di sini” ucap
mama Tenri.
(BTA 01.17. 04 detik).

Kutipan pada PC 7 dan PC 8 dalam Film BTA digambarkan sifat

pemaaf seorang ibu kepada anaknya. Orang tua Andi Tenri merasa iba

dan kasihan melihat anaknya terancam jiwanya akan dibunuh oleh

saudaranya sendiri Andi Aso. Lalu ia pun berdiri dan menghalangi Andi

Aso membunuh adiknya, ibu Andi Tenri memohon agar jangan ada

115
116

pertumpahan darah atau pembunuhan di depan mayat suaminya (Kara-

eng Tiro). Lalu ia berkata “Tunggu” kata amma. Tenri, Aso. “Dengar Am-

ma Aso, Tenri, sebentar lagi Amma mau menguburkan Tettanu , tapi, apa

kalian pikir,Amma sanggup menjalani hidup, jika Amma hari ini harus juga

menguburkan anak, menantu, dan cucuku”. Karaeng Caya juga memu-

tuskan tidak ada lagi permusuhan di antara kedua keluarga yang selama

ini telah berselisih yakni keluarga Karaeng Tiro dengan keluarga Karaeng

Parappa.

Memaafkan orang yang bersalah merupakan salah satu sifat orang

Bugis Makassar yang masih terjaga dan dipertahankan di masyarakat,

sifat suka memaafkan orang yang bersalah sejalan dengan nilai ajaran

agama Islam.

              

                    

Terjemahan: Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan

memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang

berbuat kebaikan (QS. Al Imran: 134). Demikian pula pada surat yang lain

Allah memberikan peringatan agar orang tua berhati-hati dalam mendidik

anaknya serta memberikan maaf kepada anak yang berbuat salah Allah

berfirman :

116
117

                

                         

                       

                  


Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman Sesungguhnya di antara

istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka

berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu

santuni mereka, maka sungguh Allah maha pengampun, maha penyayang.

(Q.S. At Tagabun: 14).

Mendengar ucapan terbata-bata Karaeng Caya (orang tua Andi

Tenri) “Jangan saya tidak sanggup mengubur suami, anak, cucu, dan

menantu” semua orang terperangah mendengar ucapan itu, tidak se-

orang pun mengucapkan sepatah kata, termasuk Andi Aso yang sudah

mencabut badik dari sarungnya pun tidak sanggup mengucapkan sepa-

tah kata apalagi menggerakkan tangannya menikam dan membunuh adik

dan iparnya itu. Keputusan yang diambil Karaeng Caya merupakan hal

yang tidak lazim dilakukan oleh orang Bugis Makassar, memaafkan anak

perempuan yang sudah membuat malu keluarga dan kerabat (silariang).

Karaeng Caya rela mengorbankan hati dan perasaannya, rela me-

nanggung malu atas perbuatan yang dilakukan Andi Tenri dan Firman.

Berkorban memaafkan anaknya yang sudah mencoreng dan membuat aib

keluarganya adalah salah satu bentuk implementasi nilai Pacce.

117
118

Sekalipun apa yang dilakukan orang tua tersebut adalah per-buatan yang

melanggar tatanan nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,

khususnya masyarakat Bugis dan Makassar. Memaafkan dan menerima

anak perempuan yang sudah membuat malu keluarga silariang .masih

dianggap tabu. Apa yang dilakukan orang tua Andi Tenri juga sudah

diperhitungkan akibatnya, dia pun siap menanggung akibat dari keputusan

yang diambil itu. Karena dia mengetahui bahwa jika anak gadis di

masyarakat Bugis Makassar melakukan silariang yang melang-gar adat

dan membuat malu keluarga, maka pada saat itu pula harga diri akan

terenggut oleh anak gadis mereka sendiri dan mendapat cemohan serta

cibiran dari lingkungan masyarakat.

Manusia adalah tempat bersemayamnya kesalahan, siapapun manu-

sia itu begitu juga Andi Tenri pasti pernah melakukan kesalahan dan ke-

khilafan. Terkadang orang lain berbuat kesalahan kepada kita, begitu juga

sebaliknya. Kesalahan yang dilakukan orang lain kepada sesama

manusia atau kepada kita seyogyanya jangan dibalas dengan perbuatan

salah pula terhadap orang yang berbuat kesalahan. Islam mengajarkan

umatnya untuk menjadi pribadi yang pemaaf, bukan pendendam. Jika

Allah saja maha pengampun, maha menerima taubat hamba-hamba-Nya

yang berbuat dosa, lalu mengapa begitu sulit membukakan pintu maaf

untuk orang lain. Memaafkan tidak akan membuat manusia hina, meminta

maaf juga tidak akan meruntuhkan harga diri, justru saling memaafkan

yang membuat manusia mulia.

118
119

5. Latar

Film BTA karya Dony Dirgantoro mengambil latar di antaranya di

daerah Pantai Bira Kabupaten Bulukkumba Provinsi Sula-wesi Selatan.

Selain kesibukan masyarakat yang memanfaatkan tempat ini sebagai

pelabuhan keluar dan masuknya masyarakat ke daerah tersebut, tampak

di suatu tempat sekelompok orang sedang membuat perahu. Pembuatan

Perahu Pinisi di daerah ini sudah sangat terkenal ke seluruh Nusantara

bahkan sampai ke manca negara. Sebuah dialog singkat para pembuat

perahu tersebut:

LT 1

“Anjo anua ........ bassia palesangi


njo.....palesangi..... sambei kayu.......
ya sambei kayu ( perintah Dg. Limpo
sebagai mandor di antara suara
ketu-kan palu para buruh pembuat
perahu). BTA ( 00. 11. 28 ).

LT 1 Dibuktikan gambaran bahasa yang digunakan dalam film BTA

adalah salah satu bahasa daerah di Sulawesi Selatan yaitu Bahasa

Makassar “bassia palesangi njo” yang diucapkan Limpo kepada para

pekerja pembuat perahu pinisi meng-gambarkan daerah latar Film BTA

berlokasi di daerah Makassar Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten

Bulukumba. Bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Daerah

Makassar dialek Bantaeng/Bulukumba.

Selain Bahasa Makassar yang digunakan para pekerja pembuat

perahu, bukti lain yang dapat mendukung latar daerah tempat terjadinya

119
120

film BTA adalah perahu pinisi. Perahu pinisi merupakan perahu

tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Perahu pinisi sudah ada

sejak zaman nenek moyang orang Indonesia. Perahu inilah yang

membuktikan Indonesia dahulu adalah negara maritim yang

besar dengan budaya pelaut dan pembuat perahu yang tangguh.

Masyarakat Bira adalah masyarakat yang tinggal di pesisir pantai bekerja

sebagai pembuat perahu pinisi. Perahu pinisi pada zaman dahulu

mengandalkan angin agar layar pada bagian depan dan belakang

mengembang agar sampai ke tempat tujuan.

LT 2

Aso sejak kecil saya selalu menasihatimu tentang pentingnya


menjaga sirik, bukan hanya harkat dan martabatmu sendiri. Tapi
juga harkat dan“Aso sejak kecil saya selalu menasihatimu tentang

pentingnya menjaga sirik, bukan


hanya harkat dan martabat-mu
sendiri. Tapi juga harkat dan
martabat keluargamu. Tenaja
nukaluppai? Tidak Tetta” Tutur
Andi Aso! Se-karang Andiknu lari
bersa-ma laki-laki tindakannya itu
appakasirik. Mempermalu-kan
keluarga kita nipaka-sirik. .....Cari
mereka selesaikan sesuai adat
kita (BTA Durasi 00. 22. 02 detik).

Kutipan LT 2 tergambar adat orang Bugis/Makassar yang masih

memegang adat dan tradisi di daerahnya, ketika harga diri dan keluar-

ganya dilecehkan atau direndahkan maka dia mempertahankan dengan

cara membunuh. Kebiasaan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang

120
121

Bugis/Makassar khususnya yang tinggal di daerah yang masih memegang

kuat adat. Karaeng Tiro merupakan tokoh masyarakat yang disegani di

daerah Bira kabupaten Bulukumba memegang teguh budaya sirik me-

mandang kawin lari (silariang) sebagai perbuatan yang memalukan dan

balasannya bagi pelaku adalah dibunuh sesuai hukum adat yang berlaku

bagi orang Makassar.

LT 3

“Bagaimana kabarta Kara-eng! Wah,


lama sekali baru kulihat. Bagaima-
nami Andi Tenri Karaeng , apakah dia
sudah kembali Karaeng, kapan pes-
tanya ini Karaeng !“Kurang ajar”,..kata
Karaeng Tiro, yang tidak menerima
ucapan itu. (BTA Durasi 01. 22.09
detik).

LT 3 pakaian Jas tutup dan baju bodo yang dikenakan Karaeng Tiro

dan Karaeng Caya. Kedua pakaian ini merupakan pakaian adat orang

Bugis Makassar yang biasanya dipakai dalam menghadiri acara pesta

atau acara resmi sekaligus pakaian kehormatan atau kebanggaan.

Karaeng Tiro dan Karaeng Caya memakai pakaian khas Bugis Makassar

baju bodo dan Jas tutup dalam mengahadiri pesta atau resepsi

pernikahan keluarganya.

Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipak,

yang terbuat dari benang biasa atau lipak garusuk maupun kain sarung

sutera atau lipak sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun

121
122

pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua,

atau biru tua, dengan hiasan motif kecil-kecil (corak caddi).

Busana adat pria Makassar terdiri atas baju, paroci (celana),

lipak garusuk (kain sarung), dan passapu (penutup kepala). Baju

yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutu (jas tutup)

dan baju bella dada (belah dada). model baju yang tampak adalah

berlengan panjang, leher berkerah, saku di kanan dan kiri baju,

serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang

pada leher baju.

Busana adat wanita Makasar terdiri atas baju bodo dan sarung atau

lipak berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan

pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus

juga merupakan leher baju. Unsur perhiasan yang terdapat di kepala

adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya

(pinang goyang) dan anting panjang (bangkarak), dan berbagai

perhiasan terutama emas.

LT 4

Oo amma! anjo butta Padang jai


ampaka labbiriki, jai tau angkana
anjo agama Islam antama rimang-
kasarak nakana tauwa battui
ripadang. Jai toi sikolah agama.

(TKVW durasi 00. 03.01 detik).

122
123

LT 5

Siapa itu? Awak cari siapa


malam-malam begini? Maaf
saya mencari rumah Mande
Jamilah! Saya Jamilah, Awak ni
siapa? Saya Zainuddin dari
Makassar. Zainuddin, anak si
Sutan! Ya Mande (mak cik).
Silakan masuk! Tabe (maaf).
Apakah tujuan kamu kemari?
Apa ada amanat ayah sebelum
meninggal? .... yang perlu kamu
sampaikan? Tidak ada Mande.
Saya hanya mau menyambun
tali silaturahmi. Saya ingin menyambangi keluarga ayah di
negeri Batipu ini.

(TKVW durasi 00.04. 30 detik)

Kutipan pada LT 4 dan LT 5 film Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck digambarkan tempat terjadinya dialog antara Zainuddin dan Mak

Basse, dan Zainuddin dan mande Jamilah. Kutipan tersebut tergambar

Zainuddin berdialog denga Mak Basse perempuan yang memelihara

Zainuudin sejak kecil terjadi di Makassar, daerah kelahiran Zainuddin. Hal

ini didukung oleh bahasa yang digunakan Zainuddin dan Mak Basse

menggunakan bahasa Derah Makassar. “Oo amma! anjo butta Padang jai

ampaka labbiriki, ...... (TKVW 00. 03. 01 detik). Wahai ibu! Tanah Padang

banyak orang memuji dan menghormati.

Selanjutnya, pada kutipan LT 5 digambarkan Zainuddin berdialog

dengan perempuan separuh baya (MandeJamilah). Zainuddin mengetuk

pintu rumah dan mencari Mande, dari percakapan kedua orang tersebut

123
124

terlihat bahwa Zainuddin pergi ke Padang ingin menemui keluarga

ayahnya yaitu Pendekar Sutan. Keberangkatan Zainuddin ke Padang

mencari keluarga orang tuanya ingin menjalin tali silaturahmi, sekaligus

melaksanakan amanat orang tuanya. Selain amanat orang tua Zainuddin,

agar kelak Zainuddin menjalin silaturahmi dengan keluarganya di Padang

Zainuddin juga ingin belajar agama di sana. Karena kota Padang dikenal

banyak sekolah agama tempat menimba ilmu agama. Kedua hal inilah

yang menjadi alasan Zainuddin pergi ke Padang.

B. PEMBAHASAN

Nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada

dalam alam pikiran masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga,

dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman

(Koentjaraningrat, 2009:153). Nilai budaya merupakan konsep abstrak

mengenai permasalahan mendasar yang sangat penting dan bernilai

dalam kehidupan manusia. Nilai budaya inilah yang menjadi identitas

manusia.

Nilai adalah prinsip umum tingkah laku abstrak yang ada dalam

pikiran anggota-anggota kelompok yang merupakan komitmen positif dan

standar untuk mempertimbangkan tindakan dan tujuan tertentu (Rafiek

2011: 68). Bertolak dari asumsi tersebut penulis berpendapat bahwa nilai

budaya Sirik na Pacce bagi orang Bugis/Makassar yang merupakan daya

dorong untuk melakukan sesuatu yang lebih, bekerja keras, acuan dalam

berbuat apakah perbuatan itu pantas atau tidak pantas dilakukan. Selain
124
125

sebagai motivasi pacce perasaan iba, kasih sayang serta keperihatinan

yang terpatri dalam jiwa untuk berbuat dan turut merasakan derita orang

lain.

Berdasarkan hasil penelitian Analisis Film TKVW dan BTA (Rep-

resentasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce) ditemukan adanya nilai sirik

nipakasirik, sirik mappakasirik-sirik, tappelak sirik, nilai pacce, dan latar.

Beberapa peristiwa yang mendukung adanya konsep nilai budaya Sirik na

Pacce pada kedua film tersebut akan diuraikan berikut .

1. Sirik Nipakasirik

Silariang merupakan salah satu bentuk budaya nipakasirik pada

masyarakat Bugis/Makassar. Perbuatan tersebut dianggap menodai,

menghina dan merendahkan kehormatan seseorang, khususnya keluarga

perempuan. Silariang dianggap tabu atau sirik bagi keluarga perempuan.

Sesuai hukum adat bagi masyarakat Makassar pelaku silariang

(tumannyala) mendapatkan sanksi bermacam-macam, mulai dari hu-

kuman mati atau dibunuh, dibuang atau tidak diakui lagi oleh keluarga

perempuan, dan juga dikucilkan dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan

pendapat Tika “Melakukan kawin silariang berarti melakukan suatu

perbuatan siri’. Bilamana perbuatan tersebut dicap melanggar siri’ maka

pihak keluarga perempuann yang disebut tumasiri’ oleh hukum adat punya

hak untuk mengambil tindakan terhadap pelaku silariang yang disebut

tumannyala” (Tika 2007: 38).

125
126

Perbuatan menghina atau menodai kehormatan seseorang dapat

berujung pada pertikaian. Selain pertikaian atau permusuhan, dampak

yang timbul dari akibat perbuatan menghina, menodai kehormatan.

Perbuatan ini misalnya silariang atau membawa lari anak gadis sese-

orang. Orang yang melanggar budaya tersebut dapat dikucilkan dalam

masyarakat, dimusuhi, dibuang atau dibunuh.

Sirik yang berhubungan dengan harga diri peribadi seseorang

ditemukan pada Flm BTA silariang. Andi Tenri membuat malu keluarganya

karena lari bersama laki-laki, perbuatan yang dilakukan Andi Tenri

bersama Firman bukan saja membuat malu keluarga Karaeng Tiro tetapi

lebih dari itu termasuk kerabat. Nipakasirik merupakan aib bagi keluarga,

sejalan dengan pendapat Andaya (dalam Sugira 2010: 63) “Aib ada dua

macam yaitu aib disebabkan oleh serangan orang lain dan nasib buruk

yang menimpa seseorang”. Pendapat senada juga dikemukakan Daroeso

dan Suyahmo (dalam Juliardi 2014: 143) “Nilai berfungsi sebagai daya

dorong manusia (motivator). Nilai inilah yang mendorong manusia untuk

berbuat sesuatu”.

Silariang adalah sesuatu yang tabu dan pantang dilakukan di ka-

langan orang Bugis Makassar. Pelanggaran budaya nipaksirik taruhan-

nya adalah nyawa, keluarga yang dipermalukan lebih memilih menye-

lesaikan dengan cara membunuh orang yang dianggap mempermalukan

(mappakasirik). Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari

seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun

126
127

perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan

(anak gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.

Nipakasirik BTA Durasi 00.03.19 detik “Silariang ini punya risiko

besar. Kamu Siap Tenri?”, Bukan hanya saya saja yang harus siap. Tapi

kita Apa Kamu siap? Dari percakapan antara Andi Tenri dan Firman

membuktikan budaya nipakasirik atau perbuatan menghina kehormatan

keluarga Karaeng Tiro karena kedua orang itu sialariang. Perbuatan

kedua orang itu membuat Keluarga perempuan mencari keduanya dan

menyelesaikan secara adat untuk memulihkan harga diri pihak perempuan

(Andi Tenri). Tujuan hidup yang paling tinggi untuk orang Bugis/Makassar

adalah menjaga siriknya. Shelly Errington dalam (Sugira, 2010: 63)

mengemukakan bahwa untuk Bugis/Makassar tidak ada tujuan hidup

lebih tinggi daripada menjaga siriknya. Kalau mereka tersinggung,

nipakasirik atau dipermalukan, mereka lebih senang mati dengan

berkelahi untuk memulihkan atau menjaga siriknya. Dari pendapat

tersebut dipahami bahwa sirik bagi orang Bugis/Makassar dianggap

penting dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu orang Makassar dikenal

mudah berkelahi kalau dipermalukan , dan dihina.

Silariang dalam etnis Bugis/Makassar merupakan perbuatan yang

dianggap tabu oleh pihak keluarga perempuan dan ganjarannya atau

hukumannya adalah membunuh pelaku silariang. Keluarga perempuan

merasa harga dirinya diinjak-injak, direndahkan atau dihina dan harus

mencari pelaku untuk dibunuh. Budaya demikian masih dipegang teguh

127
128

oleh etnis Bugis/Makassar, khususnya etnis Makassar. Dalam hal ini

dapat dilihat dari keluarga Andi Tenri yaitu Karaeng Tiro merasa diper-

malukan oleh Firman karena anak perempuannya dibawa lari nilariang.

Merasa harga dirinya dihina atau dipermalukan, lalu meminta anak laki-

lakinya Aso menyelesaikan secara adat orang Bugis/Makassar, mencari

Tenri dan Firman dan membunuh keduanya.

Rasa malu bukan saja hanya tertuju bagi keluarga perempuan saja,

tetapi kerabat keluarga perempuan pun merasa malu dan ingin membalas

dendam perbuatan orang yang melarikan anak gadis atau anak

perempuan kerabatnya. Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara

Karaeng Tiro dan Limpo atau permintaan Limpo, kepada Karaeng Tiro,

(BTA Durasi 00.05. 12 detik) “....Saya siap menunggu printah Karaeng ”

kata Limpo. Kalau perlu sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu.

Limpo dengan Karaeng Tiro bukanlah keluarga dekat, Limpo hanya

pekerja pada keluarga Karaeng Tiro. Tetapi karena ia merasa bahwa

harga diri Karaeng Tiro dihina oleh Firman dengan membawa anak

perempuannya maka ia pun turut merasakan malu yang ditanggung oleh

keluarga Andi Tenri, lalu meminta Karaeng Tiro mengizinkannya untuk

mencari Andi Tenri dan Firman dan membunuhnya di manapun ia temui

keduanya..

Budaya dapat juga berbentuk benda atau simbol, salah satu simbol

adalah badik sebagai lambang keperkasaan atau kekuasaan bagi orang

Bugis/Makassar, masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan

128
129

perundingan, musyawarah atau dengan cara kekeluargaan tidak menutup

kemungkinan diselesaikan dengan cara keperkasaan atau kekerasan

dengan menggunakan senjata tajam (badik) pada film BTA .

Penghinaan juga dapat dilihat dari film TKVW, nilai ini nampak

dalam bentuk penghinaan yang dialamatkan kepada Zainuddin. Zainuddin

dihina dan tidak diterima lamarannya kepada Hayati karena dianggap

keturunanya lebih rendah derajatnya daripada Hayati. Zainuddin dianggap

tidak bersuku karena bapaknya keturunan Minangkabau yang menikah

dengan perempuan yang berasal dari daerah Makassar (Bulukumba).

Budaya Minang yang dipegang teguh oleh keluarga Hayati melihat garis

keturunan dari Ibu bukan dari garis keturunan bapak, maka Zainuddin

dianggap bukan lagi keturunan Minangkabau sekalipun bapak Zainuddin

berasal dari daerah Minang. Zainuddin dipandang sebagai anak muda

yang berasal dari daerah Makassar yang tidak pantas melamar atau

meminang perempuan keturunan Minangkabau, yang lebih tinggi starata

sosialnya.

Selain faktor keturunan, Zainuddin juga dihina karena bukan orang

yang memunyai pekerjaan yang baik dan memunyai harta yang banyak

atau keturunan orang kaya. Kedua penyebab itulah sehingga keluarga

Hayati menerima lamaran Aziz yang memunyai pekerjan lebih baik, dan

dia adalah keturunan asli Minangkabau, derajatnya lebih tinggi daripada

Zainuddin, sekalipun Hayati dan Zainuddin masih saling mencintai.

Penghinaan kepada Zainddin, yang dipandang derajatnya lebih rendah

129
130

dan juga miskin tidak memunyai harta merupakan sirik bagi Bugis

Makassar karena dipermalukan.

Budaya sirik dapat juga berupa kesetiaan dan keperihatinan kera-

bat pada orang yang dipermalukan. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan

Limpo merasa terhina atas kelakuan Andi Tenri dan Firman (silariang).

Limpo bersumpah di depan orang tua Tenri akan mencari Andi Tenri dan

Firman dan membunuh keduanya. Bentuk keprihatinan Limpo, dia pun

mendatangi rumah orang tua Firman dan menantang orang tua Firman

menyelesaikan secara adat, bahkan bersumpah untuk mencari dan

membunuh kedua orang tersebut. Hal ini dibuktikan dengan ucapan Limpo

“….Saya siap menunggu printah Karaeng ” kata Limpo, Kalau perlu

sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu (BTA Durasi 00.05. 12

detik).

Mate Sirik adalah tidak memunyai rasa malu atau hilang harga diri

dan tidak dapat memulihkan kembali, orang dipermalukan demikian

bagaikan bangkai hidup. Orang Sulawesi Selatan khususnya orang Bugis

Makassar yang merasa mati sirik akan melakukan perlawanan hingga ia

mati. Orang Sulawesi Selatan khususnya orang Makassar lebih memilih

mati mempertahankan harga dirinya daripada hidup tidak memunyai rasa

malu (mate sirik). Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik

di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peris-

tiwa bunuh-membunuh dengan mempertahankan harga diri atau menjaga

sirikna Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk

130
131

dalam kategori tersebut yang merasakan sirik yang sanggup membunuh

atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan

sepele atau karena masalah perempuan yang sesungguhnya harus

dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakikatnya apa yang

kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi

kelompok masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah

satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas dan sebab-sebab lain

yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi

identitas sosialnya.

Malu (mate sirik) tidak bisa memu-

lihkan harga diri (sirik) keluarga Karaeng

Tiro, Limpo pun malu dan dia menikam

dirinya sendiri. Hal ini dilakukannya karena

Limpo tidak dapat memulihkan martabat

keluarga Karaeng Tiro. Limpo tidak

membunuh Andi Tenri dan Firman yang

telah melakukan perbuatan hina dan dianggap tabu oleh masyarakat

Bugis/Makassar yaitu silariang. Pelaku silariang apabila bertemu dengan

keluarga perempuan sebelum kembali baik (a’bajik) balasannya atau

hukumannya adalah dibunuh oleh pihak keluarga atau kerabat perempuan.

Itulah sebabnya Limpo menikam dirinya sebagai wujud rasa malu tidak

membunuh Andi Tenri dan Firman ketika datang di rumah Karaeng Tiro

131
132

sebelum dia a’bajik atau kembali baik dengan keluarga besar Karaeng

Tiro.

Keluarga dan kerabat perempuan yang melanggar adat (silariang)

merasa dipermalukan dan tidak dapat memulihkan harga dirinya apabila

bertemu dengan orang yang kawin lari (silariang) dan tidak melakukan

perbuatan balas dendam atau membunuh kepada pelaku silariang. Ini

dibuktikan oleh Limpo, sekalipun dia tidak bunuh diri karena merasa malu

tetapi dia menikam dirinya sebagai bentuk rasa malu tidak membunuh

Andi Tenri dan Firman. Badik yang sudah dikeluarkan dari sarungnya,

pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya,” tegas

Daeng Limpo dengan mata menyala. Keadaan menjadi sangat tegang.

Tanpa rasa takut sekalipun, Andi Tenri maju menghadapi Badik yang

terhunus di tangan sang kakak, siap menghadapi kondisi terburuk sebagai

wujud tanggung jawab dan resiko atas perbuatannya.

Jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah

dianggap melakukan perbuatan appakasirik dan membuat aib bagi

keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasirik, yaitu orang-

orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena

keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Hukum adat bagi pelaku (silariang)

bagi orang Bugis/Makassar adalah dibunuh. Hal ini sejalan dengan

pendapat Zainal Abidin “Makna dan tujuan sirik dengan jalan meng-

hilangkan nyawa atau melukai orang lain yang merusak atau menodai sirik

keluarganya haruslah memenuhi syarat-syarat pembelaan terpaksa dan

132
133

pelampauan pembelaan terpaksa sesuai hukum Adat Sulawesi selatan”

(Zainal Abidin 1999: 195).

Sirik Nipakasirik/Ripakasirik adalah sesuatu yang berhubungan

dengan harga diri pribadi seseorang, serta harga diri atau harkat dan

martabat keluarga. Sirik jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang

untuk dilanggar khususnya etnis Makassar. Pelanggaran budaya

nipakasirik taruhannya adalah nyawa, keluarga yang dipermalukan lebih

memilih menyelesaikan dengan cara membunuh orang yang dianggap

mempermalukan (mappakasirik). Sebagai contoh dalam hal ini adalah

membawa lari anak gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-

laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga

perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.

Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu

pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan

sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan

secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya

yang selanjutnya disebut a’bajik. Jika ini belum dilakukan, maka status

tumasirik tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika sudah

kembali baik (a’bajik) sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari

(silariang) tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang

mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan

hukum adat.

133
134

Silariang dan persinahan yang dilakukan Andi Tenri dan Firman

bukan hanya membuat malu keluarga Karaeng Tiro, tetapi keluarga, dan

sahabat pun turut menanggung malu dari perbuatan yang dilakukannya.

Apa yang dilakukan Andi Tenri membuat Karaeng Tiro malu bahkan tidak

mau keluar rumah, tidak mau bertemu dengan tetangga dan kerabatnya.

Rasa malu yang ditanggung Karaeng Tiro membuatnya marah hingga

jatuh sakit sampai meninggal dunia.

“Tidak Saya tidak mau pergi. Kita harus pergi Tetta, Karaeng Saguni

kan masih terhitung keluarga kita. Apami kata orang kalau kita tidak ke

sana. Ayo (Karaeng Caya memegangi Karaeng Tiro mengajak ke luar

rumah untuk menghadiri pesta keluarga di kampung) Bagaimana kabarta

Karaeng? ( seorang warga menyongsong Karaeng Tiro dan menanyakan

mengenai Andi Tenri ) Waaah, lama sekaliki baru kulihat. Bagaimana

dengan Andi Tenri Karaeng , apakah dia sudah kembali Karaeng ? Kapan

ini pestanya Karaeng ? Kurang ajar! (sontak Karaeng Tiro marah sekali

menunjuk-nunjuk dengan tongkatnya, dia merasa dihina dengan

pertanyaan-pertanyaan itu dan bersiap-siap untuk menarik kerisnya yang

terselip di pinggangnya) Kubunuh Kau ( dengan suara yang hampir tak

terdengar karena Karaeng Tiro telah hampir tersungkur menahan sakit

yang langsung menderanya). Ampun Karaeng .......... ampuun Karaeng .

Tidak ada maksudku menghina Karaeng , demi Allahh Demi Allahh

Karaeng .......Karaeng ......(Karaeng Caya bersimpuh menangis sambil

134
135

memanngil di depan tubuh suaminya yang telah tersungkur ke tanah)”

BTA: 00.59.09

“Tetta sakit apa Daeng, apa perlu saya pulang? Kata ammakta tidak

perlu Ndi. Tetta sakit karena banyak pikiran makanya saya datang ke mari.

Kita harus segera menemukan Andi Tenri’ Tetta ta sakit karena

memikirkan masalah ini.” (BTA: 01.01 15 ). Karaeng Tiro akhirnya jatuh

sakit karena kejadian itu dan akhirnya membawa pada kematiannya.

“Tetta sakit Fir, kedengarannya parah. Tenri, kita tidak bisa berbuat

apa-apa selain, mendoakan Tettanu supaya cepat sembuh. Tetta sakit

pasti karena saya, saya tidak bisa memaafkan diri saya kalau terjadi apa-

apa pada Tetta. Ya Allah aku ingin melihat dia. Aku ingin ketemu Tetta,

aku ingin Tetta tahu bahwa aku mencintainya sepenuh hati. Kau ingin

ketemu Tettanu? Kau ingin pulang? Kita bisa pulang kalau kau mau. Tapi,

bagaimana dengan kau? Saya akan minta maaf, mohon ampun pada

Tetta, ammak, daeng Aso, pada semuanya meskipun saya harus mati

menerima semua akibat itu. Saya akan terima dengan ikhlas, Tenri.

“ ( BTA 01.02 30 )

Tenri mendapat berita kalau Tettanya sakit, firasatnya mengatakan

akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Dan benar akhirnya Karaeng

Tiro meninggal. Perbuatan yang dilakukan Andi Tenri membuat bapaknya

meninggal dunia dan Andi Tenri pun menyesal dan bertekad pulang me-

nemui keluarganya dan meminta maaf. Rasa penyesalan yang mendalam

pada Andi Tenri dan Firman membuat mereka nekat untuk ingin pulang ke

135
136

kampung halamannya sekalipun jiwa mereka terancam, bahkan dibunuh

pun tetap bersikukuh pulang bertemu keluarganya.

Kesiapan Firman menerima balasan dari perbuatan yang dia laku-

kan dapat dilihat dari ucapannya “Meskipun aku harus mati menerima

semua akibat itu. Saya akan terima dengan ikhlas Tenrih” (BTA 01. 02.50

detik). Andi Tenri menyadari bahwa silariang dan hubungan suami istri

yang dia lakukan di luar nikah membuat keluarga dan kerabatnya malu.

Keluarga dan kerabat yang merasa terhina dan malu akan melakukan

pembunuhan bagi orang orang menghinanya. Perbuatan atau

pembalasan dilakukan bagi orang orang yang dihina atau dilecehkan

martabatnya untuk mempertahankan dan memulihkan harga diri baik

secara individu maupun kelompok atau keluarga yang dihina.

2. sirik mappaka sirik-sirik

Sirik mappaka sirik-sirik adalah sifat atau kebiasaan yang berhu-

bungan dengan etos kerja, dan prinsip atau pegangan hidup orang Bu-

gis/Makassar. Malu tidak melakukan yang terbaik untuk kemajuan diri baik

berupa pekerjaan, mencari ilmu pengetahuan yang lebih tinggi, belajar

lebih giat. Mappakasirik-sirik juga merupakan motivasi untuk berusaha

melakukan dan mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya atau yang

sudah ada, sudah dimiliki. Selain motivasi, mappakasirik juga mengan-

dung makna sebagai pandangan dan prinsip bagi orang Bugis/Makassar.


136
137

Orang Bugis atau Makassar memandang sirik sebagai pegangan, perisai

untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar etik, adat dan kebiasaan

baik yang diyakini kebenarannya dalam masyarakat. Bagi yang melang-

garnya dikucilkan di masyarakat di mana individu/orang itu hidup.

Pendapat senada dikemukan oleh Budidarmo dalam (Sugira 2010: 64)

“Sirik adalah pandangan hidup yang mengandung etik perbedaan antara

manusia dengan binatang. Sirik mengajarkan kesesuaian yang berupa

anjuran, larangan, hak, dan kewajiban yang mendominasi tindakan

manusia untuk menjaga dan mempertahankan harga diri dan kehormatan

tersebut”.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana

ungkapan orang Makassar, “Takkunjunga bangun turuk naku gunciri’

gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata

terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana

kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik

haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar

terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau

harapan. Selain itu, Sirik Mappakasirik-sirik juga dapat mencegah se-

seorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai

moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat

merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Data yang mengandung nilai mappakasirik-sirik berupa etos kerja,

pandangan hidup atau prinsip, pantang menyerah, selalu berusaha men-

137
138

cari dan berbuat yang terbaik bagi kehidupan Bugis–Makassar yang

terdapat dalam Film TKVW karya Hamka dan karya Taufik Daraming Tahir

dkk.

Gambaran nilai budaya Sirik mappakasirik- sirik ini ditemui pada

film TKVW yaitu bekerja atau berusaha keras pantang menyerah sebelum

meraih hasil yang ingin dicapai adalah gambaran budaya orang Makassar

malu tidak menyelesaikan pekerjaan atau amanah yang diberikan oleh

orang lain. Sikap ini dicerminkan oleh Zainuddin yang bersusah payah

menemui keluarganya di Padang. Sekalipun dia tahu bahwa dia tidak

akan diterima dengan baik, tetapi ia tetap berusaha berangkat ke Padang

menemui kerabat orang tuanya, sekaligus menjalankan amanah orang

tuanya. Orang Bugis/Makassar selain pantang menyerah dalam berusaha

juga memegang teguh amanah bila diberi amanah.

Zainuddin tidak diterima dengan baik oleh keluarga Pendekar Sutan

di Padang atau Minangkabau. Karena Zainuddin dipandang bukan lagi

keturunan orang Padang. Minangkabau mengambil garis keturunan

perempuan sedangkan ibu Zainuddin orang Makassar. Kekhawatiran

orang tua angkat Zainuddin tidak dihiraukan, dan Zainuddin tetap meminta

izin kepada Mak Basse untuk berangkat ke Padang menemui keluarga

bapaknya yaitu Mande Jamila salah satu dari keluarga Pendekar Sutan.

Selain keteguhan dalam bekerja, juga motivasi menghadapi rin-

tangan atau tantangan. Rela meninggalkan kesenangan dan orang yang

dicintai. Hal ini dialami oleh Zainuddin dan Hayati, Hayati memberikan

138
139

motivasi dan semangat kepada Zainuddin agar jangan ragu dalam

menempuh hidup, meninggalkan Padang untuk mencari ilmu dan pekerja-

an. Selain motivasi, Hayati juga mengamanatkan kepada Zainuddin untuk

pergi mencari jalan penghidupan atau pekerjaan dan meninggalkan kota

Padang. Sekalipun hati Zainuddin berat meninggalkan orang yang dia

cintai, tetapi ia tetap teguh dalam pendiriannya meninggalkan Hayati.

Begitu pula dengan Hayati, bahkan bersumpah bahwa kelak nanti setelah

Zainuddin sukses di perantauan dan bertemu kembali diri Hayati akan

tetap suci, dan Hayati tetap setia menunggu Zainuddin.

Selanjutnya, untuk membuktikan kesetiaan antara Hayati dan

Zainuddin sebelum meninggalkan kota Padang. Zainuddin meminta tanda

mata kepada Hayati sebagai kenagan pengingat dalam perjalanan

meninggalkan kampung halaman orang tuanya. “Berilah saya satu tanda

mata, Azimat dalam hidup saya. Dan akan kuletakkan dalam kafanku

kalau aku mati, walaupun barang itu murah “(TKVW durasi 00. 25. 10.

detik ). Mendengar ucapan Zainuddin, Hayati pun melapas kerudung yang

dipakainya dan memberikan pada Zainuddin sebagai tanda ikatan per-

sahabatan.

Kemauan yang kuat sebagai bentuk nilai budaya pantang menye-

rah orang Bugis/Makassar ditunjukkan oleh Zainuddin, betapa pun berat

hatinya meninggalkan Kota Padang ia tetap melangkahkan kaki

meninggalkan Kota Padang, meninggalkan orang yang dicintainya yaitu

Hayati. Meninggalkan kota Padang menuju Batavia bersama Muluk,

139
140

Zainuddin dan Muluk meninggalkan Padang untuk mencari pekerjaan

yang lebih baik menuju Batavia dan selanjutnya ke Surabaya.

Selain Hayati, Muluk pun memberikan semangat kepada Zainuddin

“Engku harus bangkit, lihat dunia yang luas di sana dan masuk ke

dalamnya, di sana masih banyak kebahagiaan dan ketenteraman tersim-

pan” kata Muluk Motivasi yang diberikan Muluk menjadi awal dari

kesuksesan Zainuddin dalam menempuh karier sebagai penulis terkenal

membuat dan mengantarkannya menjadi orang kaya dan terpandang di

perantauan.

Tekad kuat yang ditunjukkan Zainuddin pada film TKVW menjadikan

dia berada di atas puncak atau orang terpandang. Tekad yang kuat dan

pantang menyerah, malu tidak berbuat yang terbaik sebagai gambaran

budaya orang Bugis/Makassar pantang menyerah dan harus berhasil di

perantauan. Sekali melangkah meninggalkan kampung halaman, orang

Bugis/Makassar tidak akan pulang ke daerahnya sebelum berhasil atau

mencapai cita-cita yang diinginkan.

Kesuksesan yang diraih Zainuddin di perantauan merupakan buah

dari hasil kerja keras dan pantang menyerah. Keuletan dalam bekerja dan

sifat pantang menyerah merupakan salah satu prinsip orang Bugis/

Makassar dalam mencapai cita-cita, sekali melangkahkan kaki pantang

pulang sebelum mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. Prinsip sirik

pantang menyerah dalam meraih cita-cita dan kesuksesan sudah terpatri

dalam jiwa suku Bugis/Makassar dan merupakan salah satu pegangan

140
141

yang dianut. Pendapat ini sejalan pendapat (A. Moeing AG 1994. 83).

“Apa yang mendorong seorang warga Bugis Makassar untuk pada suatu

ketika dalam hidupnya berbuat sesuatu yang amat nekat, memilih menye-

rahkan milik hidupnya yang terakhir yaitu nyawa acapkali dikembalikan

kepada konsep yang mereka namakan sirik.

Selain pantang menyerah, suku Bugis Makassar tidak mudah ber-

ubah pikiran atau tidak mudah dipengaruhi. Hal ini ditunjukkan Karaeng

Tiro pada Film BTA . Sifat ini tergambar pada ucapan “Tenri, tidak ada

karang di perairan Bira sampai di Selayar, yang bisa mengalahkan ke-

kerasan hati Tettanu. (BTA. durasi 00.20. 10 Detik)

Sikap Karaeng Tiro yang tidak mudah dipengaruhi oleh siapa pun

juga. Karaeng Tiro menggambarkan sikap orang Makassar apabila sudah

memutuskan sesuatu apapun risikonya dia siap menanggung, tidak

mudah mengubah keputusannya sekalipun jiwa taruhannya. Keteguhan

dan kekerasan hati Karaeng Tiro terlihat dari percakapan istrinya dan

Andi Tenri “Bagaimana kalau sujud dan mencium kaki Tetta, apakah hati

Tetta akan luluh, Mak. Tenri tidak ada karang di perairang Bira sampai di

Selayar, yang bisa mengalahkan kekerasan hati Tettanu. Kalau dia sudah

berketetapan hati, dia tidak akan lunak dengan cara apa pun” (BTA.

00.20. 10 Detik). Kekerasan hati Karaeng Tiro dimaksud dalam dialog

tersebut adalah keputusan yang sudah diambil dan ditetapkan tidak akan

diubah apa pun risikonya.

141
142

Selain teguh dalam pendirian sifat orang Bugis/Makassar adalah

menghormati orang lain dan mudah memaafkan kesalahan orang yang

pernah menayakiti dirinya. Kedua sifat ini ditunjukkan Zainuddin kepada

Hayati, sekalipun Zainuddin pernah disakiti ia tetap menerima Hayati dan

suaminya serta memaafkannya. Hal ini dibuktikan pada kutipan dialog

dalam Film TKVW. “Sebagai orang yang baik hatinya Zainuddin meng-

hormati Enci Meskipun orang itu pernah menyakitinya”, Kata Muluk

kepada Hayati.

Mate sirik dalam perspektif agama merepresentasikan rasa pengab-

dian kepada Allah atau menjalankan perintah Allah. Sirik mengarahkan

seseorang untuk tidak melupakan Allah yang telah menciptakan manusia,

dunia, dan seisinya. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang

yang mate sirikna atau hilang rasa malunya adalah orang yang di dalam

dirinya sudah tidak ada rasa malu atau tidak memiliki keimanan kepada

Allah Swt sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah

merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup.

Perbuatan yang bertentangan dengan nilai ajaran agama dan

mencoreng nama baik keluarga (mate sirik) dtemukan dalam film BTA.

Perbuatan tersebut dilakukan oleh Andi Tenri dan Firman, mereka mela-

kukan perbuatan yang melanggar adat orang Bugis Makassar, yaitu

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai budaya sirik. Andi

Tenri melakukan perbuatan yang layaknya dilakukan suami-istri sebelum

142
143

menikah (berzina). Perbuatan tersebut selain mencoreng keluarga juga

bertentangan dengan ajaran agama khususnya agama Islam.

                             

     


Terjemahan: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al

Isra ayat 32).

Larangan berbuat zina juga ditemukan dalam surah al Furqan ayat

68 dan ayat 69 Allah berfirman:

                  

                      

                     

                   

           


Terjemahan: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain
beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya
dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (yakni) akan dilipat-
gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal
dalam azab itu, dalam keadaan terhina, (Al Quran Surah Al
Furqan ayat 68-69).

Perzinahan yang dilakukan Andi Tenri dan Firman dengan dalih agar

orang tua Andi Tenri akan merestui hubugan mereka apabila mereka bisa

143
144

memberikan cucu. Selain tidak sesuai dengan etika orang Bugis/Makassar

juga sangat bertentangan dengan nilai ajaran agama yang dianut oleh

orang tua Andi Tenri dan masyarakat Bugis/Makassar. Perbuatan zina

selain balasannya dikucilkan di masayarakat juga azab Allah Swt di hari

kiamat, karena zina termasuk golongan dosa besar dan hina di mata Allah

Swt, yaitu azab yang berlipat ganda.

Mate sirik dalam perspektif agama merepresentasikan rasa pengab-

dian kepada Allah atau menjalankan perintah Allah. Sirik mengarahkan

seseorang untuk tidak melupakan Allah yang telah menciptakan manusia,

dunia, dan seisinya. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang

yang mate sirikna atau hilang rasa malunya adalah orang yang di dalam

dirinya sudah tidak ada rasa malu atau tidak memiliki keimanan kepada

Allah Swt sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah

merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup.

Rasa berdosa juga diperlihatkan istri Karaeng Tiro, penyesalan ibu

Andi Tenri merasa bersalah karena tidak lagi mematuhi keinginan

suaminya. Hal ini ia ungkapkan, “Tetta, seumur hidup perempuan lemah

ini, selalu mengabdi kepadamu, berbakti kepadamu, mengaminkan apa

yang Tetta lakukan, sebagai imam keluarga. Tanpa ada keberatan, tiada

juga sebutir keberatan, apa Tetta inginkan aku juga lakukan, tapi sekarang

ini Tetta untuk perama kalinya perempuan lemah yang sudah memberimu

dua biji mata bagi kehidupanmu memintamu dengan sangat, memohonmu

agar bisa mengikhlaskan semua yang terjadi” (BTA 01.17.55). Dia

144
145

menyesal karena tidak mematuhi perintah suaminya untuk tidak menerima

kembali Andi Tenri. Karaeng Tiro berkeinginan membuang Andi Tenri dan

tidak lagi mengakui dan menerima sebagai anak tidak dipatuhi oleh

istrinya. Andi Tenri karena membuat malu keluarga dan kerabat orang

tuanya, Tenri dan Firman silariang.

Mematuhi perintah suami bukan hanya budaya yang harus dijaga

dan dijunjung tinggi oleh orang Bugis Makassar, tetapi juga perintah

                          

                            

             

                

                  

            

Terjemahan: Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar (Q.S. An Nisa ayat 34).

Wanita-wanita yang saleh yang taat kepada Allah, menjaga diri baik

suami ada maupun di waktu (suami) meninggalkannya serta memelihara

dan memegang amanah yang diberikan oleh suami. Istri yang menjaga

145
146

kehormatan dan harga dirinya akan dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla

sehingga ia menjadi wanita terhormat, mendapat ridha Allah Swt dan

kasih sayang dari suami.

Pahala bagi seorang perempuan atau istri yang amanah dan

menjaga diri adalah surga, Rasulullah bersabda:

‫فْ خَها وأطاعْ بعلخها د خَلْت ِِن أ ي‬


ِّ ‫َنْت ت‬
‫شهْها وّ ص‬
‫خ‬ ‫ْ الِْأُة خَ تِ خ‬
‫َها وَاِْت‬ ِ ‫إذا َلص‬
‫ِ الَنص ِِ شاءْت‬ِ ‫أبوا‬
Artinya : Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat lima waktu,

melaksanakan puasa pada bulannya, menjaga kehormatannya, dan

mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia

kehendaki.” (HR Ibnu Hibban).

Rasa hormat dan kepatuhan sebagai seorang istri kepada suami

ditunjukkan ibu Andi Tenri kepada suaminya Karaeng Tiro. Istri Karaeng

Tiro merasa berdosa karena tidak mengindahkan dan menuruti keinginan

suaminya membuang Andi Tenri dan tidak mengakui lagi sebagai anak-

nya. Rasa penyesalan tersebut diungkapkan “Tapi sekarang ini Tetta

untuk pertama kalinya perempuan lemah yang sudah memberimu dua biji

mata bagi kehidupanmu memintamu dengan sangat, memohonmu agar

bisa mengihklaskan semua yang terjadi Tetta”. Istri Karaeng Tiro rela dan

ikhlas menerima hukuman seandainya suaminya menghukumnya karena

tidak mematuhi perintahnya untuk membuang Andi Tenri. “Kau marah

Tetta aku terima, tapi apa artinya hidup jika benci yang menjadi raja Tetta.

Apakah puas bisa membuat darah tumpah, dan nyawa lepas dari orang

146
147

kita benci, apakah perasaan itu yang akan kita rawat dan dibawa sampai

mati” (BTA 01.17. 04).

Selain pada film BTA , nilai agama juga terdapat pada Film TKVW.

Nilai agama tersebut digambarkan pada dialog Zainuddin dan Mak Basse

(TKVW durasi 00.0p. 02 detik). Zainuddin yang meminta izin kepada Mak

Basse perempuan yang mengasuh dan membesarkan Zainuddin sejak

kecil. Perempuan tua itu sekalipun bukan ibu kandung Zainuddin namun

tetap dihargai dan dianggap sebagai ibu kandung. Bentuk penghormatan

Zainuddin kepada Mak Basse dapat dilihat dari ucapan permohonan izin

Zainuddin “Pammoporanga Ammak tabe Appala kanaa rong ri tau towa-

ku” (TKVW 00.0p. 02 detik) mohon maaf ibu, Saya mohon izin kepada

orang tua saya. Zainuddin mohon pamit kepada orang tua yang telah

mengasuh membesarkannya ketika Zainuddin ingin berangkat ke Padang

melaksanakan amanah orang tuanya untuk menemui keluarganya di

Padang.

Begitu juga perhatian Mak Basse kepada Zainuddin, bentuk per-

hatian Mak Basse kepada Zainuddin dibuktikkan dengan keterbukaan

menyampaikan harta peninggalan orang tuanya berupa uang untuk biaya

hidup dan sekolah. Mak Basse memberikan uang simpanan orang tua

Zainuddin yang ditipkan untuk biaya hidup dalam perjalanan menuju

Padang. Sekalipun uang yang disimpan orang tua Zainuddin tidak begitu

banyak Mak Basse tetap meyampaikan keadaan warisan Zainuddin,

selain sifat terbuka yang ditunjukkan Mak Basse juga sebagai bentuk

147
148

amanah menjaga Zainuddin dan harta yang ditinggalkan Pendekar Sutan

ayah Zainuddin.

Perwujudan nilai agama dari film TKVW adalah kepasrahan dan

penyerahan diri Zainuddin dan Hayati kepada Allah Swt. Hayati

memberikan pesan dan nasihat kepada Zainuddin agar selalu berserah

diri dan memohon perlindungan Allah baik dalam perjalanan. Selain

memohon perlindungan, Hayati pun mengikrarkan janji di hadapan Tuhan

bahwa dia akan setia menunggu Zainuddin sebagai pendamping hidup

(suami).

Selain penyerahan diri kepada Allah, atau nilai agama juga ter-

gambar dari penampilan atau pakaian yang dikenakan Zainuddin yang

kerap memakai songkok dan sarung. Kedua pakaian ini menggambarkan

kebiasaan orang Bugis Makassar yang menjungjung tinggi nilai adat yang

senantiasa berpakaian sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Menjadi-

kan ajaran agama sebagai landasan berperilaku dan bergaul dalam

masyarakat.

Nilai ajaran agama Islam yang paling penting dalam film TKVW

adalah permintaan Hayati yang diamini oleh Zainuddin ketika Hayati

hendak menghembuskan nafas terakhir (meninggal dunia), Hayati

meminta Zainuddin menuntun membacakan dua kalimat syahadat di

telinganya. Hal ini pun dilakukan oleh Zainuddin “Bacalah dua kalimat suci

itu di telinga saya , Bacakanlah, dua kalimat suci itu di telinga saya, biar

hati kita dirahmati Tuhan. Bacalah dua kalimat suci itu di telinga saya

148
149

“Asyhadu Allah ilaha Illallah, Wa asyhaduanna Muhammadarrasulullah.

Sekali, lagi. Sekali, lagi. (TKVW 02.24.02). Kedua kalimat syahadat

dibacakan ditelinga Hayati hingga menghem-buskan nafas terakhir. Begitu

tingginya pengamalan nilai ajaran agama Islam bagi Hayati dan Zainuddin.

Di akhir hayat Hayati meminta Zainuddin menuntunkan dua kalimat

syahadat, meminta Zainuddin membacakan dua kalimat syahadat di

telinganya. Permintaan Hayati agar dibacakan Kalimat syahadat itu

diucapkan berulang-ulang sebanyak tiga kali. Begitu pun Zainuddin

membacakan kalimat lailaha illallah dan mengulang tiga kali kalimat

syahadat tersebut di telinga Hayati sampai akhirnya meng-hembuskan

nafas terakhir atau meninggal dunia.

Keutamaan mengucapkan kalimat syahadat sebelum meninggal

dunia dijamin masuk surga (Muhammad Abduh Tuasikal). Rasulullah

Saw bersabda:

‫لة إِاص إِلخَخ اخ أ خ تن أ خ ت‬


‫ش خه ةد َخا خَ خِ تن‬ ‫يَ اخ خوّت خدُة ص‬ ‫ةِ خّ صِددا خوأ خ صن لخَة ش ِخْ خ‬
‫ع تب ةدُة‬ ‫َولةَة خ‬ ‫َى خوأ خ صن خو خْ ة‬ ‫ع تب ةد ِعي خ‬
‫ل خ‬ ِ ‫ِإلخى أ خ تلَخا خها خو خَ ِل خِِةَة أ خ خِ ِِ َِ خوا تب ةن ص‬
َ‫ٌ خِ تْيخ خ‬‫ّ ا تل خَنصِخ خوأ خ صن ِِ تنَة خو ةْو ح‬ ‫اْ خوأ خ صن خّ ق‬
‫ّ النص خ‬ ‫لة أ خ تد خَلخَة خّ ق‬ ‫ِِ تن ص‬
‫ِ أخ ِي‬
ِ ِ ‫شخا خء الّ ص خِا ِنيخ ِِ ا تل خَنص ِِ أ خ تب خوا‬
Artinya: Barangsiapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-
Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ’Isa adalah hamba
Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disam-
paikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula)
bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar
adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga

149
150

dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.”
(HR. Muslim no. 149).

3. Budaya Sirik Tappelak Sirik

Nilai budaya sirik yang ketiga adalah Tappelak sirik yaitu rasa malu

yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia.

Tappelak sirik dimaksud pada penelitian ini erat kaitannya dengan tidak

menepati janji. Artinya rasa malu seseorang itu hilang rasa malunya (tap-

pelak sirik) karena berbagai sebab, misalnya, ketika seseorang berutang

dan berjanji akan membayar utangnya. Tetapi sampai waktu yang dise-

pakati dia tidak dapat membayar, maka orang ini disebut tappelak sirikna.

Tappelak sirik atau hilang rasa malunya atau dipermalukan oleh

orang lain dianggap tabu oleh orang Bugis/Makassar. Bagi orang Bugis

Makassar lebih memilih jalan pintas atau berkelahi menjaga harga dirinya,

bahkan tidak jarang mempertahankan harga diri ini berakhir dengan

pertumpahan darah/pembunuhan.

Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh

nilai-nilai Sirik, tidak ingin mempermalukan orang lain begitu pun se-

baliknya tidak ingin dipermalukan harkat dan martabatnya direndahkan

atau dihina. Orang Bugis Makassar lebih memilih mati daripada

diermalukan karena dihina atau diepermalukan di depan orang banyak.

Bukti dipermalukan (tappelak sirik) ditemui pada film TKVW dan BTA.

Pada kutipan film BTA digambarkan penghinaan yang dilakukan

yang dilakukan Firman kepada keluarga Karaeng Tiro, Andi Tenri dibawa

150
151

lari oleh Firman (silariang). Orang Bugis atau orang Makassar apabila

anak perempuannya dibawa lari oleh laki-laki (silariang) keluarga

perempuan menganggap diri dan keluarganya dipermalukan, dirampas

kehormatannya. Balasan bagi orang yang merampas kehormatannya

adalah dibunuh. Perbuatan yang dilakukan Andi Tenri dan Firman bukan

saja menghina keluarga Karaeng Tiro, tetapi kerabat dan dan handai

tolan pun merasa dipermalukan.

Bentuk penghinaan pada film TKVW pun ditemukan penghinaan

keluarga Hayati kepada Zainuddin, “Memalukan saja” kata Datuk Tidak

ada gunanya menerima Zainuddin, ibu kandung Zainuddin bukan orang

Minangkabau TKVW Durasi 00.46. 01 detik. Penghinaan yang dialamat-

kan kepada Zainuddin bukan saja hanya menimpa dirinya tetapi juga

keluarganya. Keuarganya dihina karena dianggap keluarganya lebih

rendah derajatnya dari keluarga Hayati, ibu Zainuddin orang Bugis/Makas-

sar lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan orang Padang. Sebagai

orang Bugis Makassar Zainuddin tidak menerima keturunannya dihina,

dianggap lebih rendah derajatnya daripada Hayati keturunan Minang.

Zainuddin menganggap bahwa dirinya juga adalah keturunan Minang

karena Pendekar Sutan adalah keturunan Minang dan hanya ibu

Zainuddin berasal dari Makassar.

Budaya sirik yang dipegang teguh orang Bugis/Makassar adalah

tidak mau mengingkari janji yang sudah diucapkan dan mudah

memaafkan orang lain. Sifat ini dapat dilihat dari kutipan dialog film

151
152

TKVW digambarkan Zainuddin yang mudah memmberikan maaf kepada

yang pernah menyakiti. Zainuddin memaafkan Hayati yang tidak menepati

janji setia kepadanya sekalipun Zainuddin merasa dihianati oleh Hayati

tetapi dengan jiwa besar tetap memaafkan Hayati. Hal ini dapat dilihat dari

ucapan Zainuddin yang mengingatkan kembali kepada Hayati apakah

benar janji yang pernah diucapkan Hayati kepadanya sudah dilupakan.

Dari ucapan Hayati “Saya harap awak lupakan segala yang telah terjadi,

maafkan kesalahan dan kelalaian saya, Hayati. Mengindikasikan bahwa

sumpah atau janji yang pernah diucapkan Hayati kepada Zainuddin

jangan lagi diingat, Hayati memohon maaf kepada Zainudiin dan tidak

mengingat lagi masa lalu keduanya.

Selanjutnya, Zainuddin adalah orang yang dibesarkan dalam

keluarga Bugis Makassar begitu mudah memaafkan orang yang meminta

maaf, maka Zainuddin pun memaafkan Hayati sekalipun berat hatinya

meaafkan kesalahan Hayati. Salah satu sifat yang dimiliki orang Makassar

adalah memberikan maaf kepada orang salah dan meminta maaf, begitu

pun Zainuddin pada Hayati. Sifat pemaaf yang dimiliki Zainuddin sejalan

dengan ajaran agama Islam agar umat-Nya senantiasa memberikan maaf

atau memaafkan orang yang bersalah, Allah berfirman:

                            

              

                     


152
153

                       

             

   


Terjemahan: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang
yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
memunyai keuntungan yang besar. (Q. S. Fussilat ayat 34-35).

Selain sifat pemaaf yang ditunjukkan Zainuddin pada kutipan

dialog TKVW pada menit ke 55 lebih 33 detik, Zainuddin juga menghargai

dan menjungjung tinggi adat tidak mau mengganggu rumah tangga orang

lain. Zainuddin menghormati Hayati, malu memegang tangannya karena

Hayati yang sudah menjadi istri Aziz.

Sirik yang digambarkan di atas mencerminkan sikap Zainuddin yang

memegang teguh budaya sirik Bugis Makassar. malu mendekati perem-

puan yang bukan muhrim, atau perempuan yang sudah menjadi istri

sahabatnya. Hayati sudah menjadi istri orang lain, kedekatan Zainuddin

dengan Hayati hanya sebatas teman yang pernah dikenal sejak lama.

Hal lain yang ditunjukkan Zainuddin adalah sirik atau malu dan tidak mau

serumah dengan perempuan yang bukan muhrim, bukan istrinya tetapi

janda dari sahabatnya, Zainuddin pun meminta Hayati pulang ke kampung

halamannya di Padang. Zainuddin dan memberikan uang bekal hidup

153
154

sampai ke Padang. Selain biaya dalam perjalanan Zainuddin pun berjanji

memberikan biaya hidup kepada Hayati sampai dia bersuami.

Nilai malu/harga diri (Sirik) adalah satu diantara nilai utama kebu-

dayaan Bugis. Menurut Rahim dalam Serly (2018: 139), Siri dapat diar-

tikan malu sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu menyesali diri,

perasaan harga diri, noda atau aib, dan dengki. Sirik disejajarkan kedu-

dukannya dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari

kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan

sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan

sesama manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau

meniadakan malu (siri’) ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong

oleh kerakusan.

4. Sirik Na Pacce

Sirik NaPacce adalah dua istilah yang tidak terpisahkan, masyarakat

Sulawesi Selatan khususnya Bugis Makassar menganggap bahwa sirik

adalah suatu panggilan yang dalam dari diri pribadinya, untuk mem-

pertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati,

dihargai dan dimilikinya memunyai arti esensial baik bagi diri, kelompok,

maupun bagi masyarakat.

Konsep sirik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu:

a. Sirik dalam sistem budaya, adalah pranata pertahanan harga diri

kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai utama

yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran dan perasaan dan


154
155

kemauan manusia. Sebagai konsep budaya ia berkedudukan regulator

dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktural dalam kebudayaan.

b. Sirik dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksis-

tensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinam-

bungan kekerabatan sebagai dinamika sosial, terbuka untuk beralih

peran (bertransmisi), beralih bentuk (bertransformasi), dan dapat ditaf-

sir ulang (reinterpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional

sehingga sirik dapat ikut memperkokoh tegaknya falsafah bangsa

Indonesia, Pancasila.

c. Sirik dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan kongkrit di

dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseim-

bangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.

Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna

kulturalnya Pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut

prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, Pacce adalah

perasaan (pernyataan) solidaritas yang lahir dari dalam hati atau jiwa

orang Bugis Makassar yang dapat merangsang kepada suatu tindakan

turut iba, belas kasih, turut merasakan penderitaan orang lain dan mau

membantu orang lain. Sirik dan Pacce inilah yang mengarahkan tingkah

laku masyarakat Bugis Makassar dalam pergaulan sehari-hari sebagai

penggerak dalam mengimplementasikan perilaku sosialnya.

Pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku Bugis dan

Makassar mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di

155
156

perantauan serta disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan

perasaan menanggung beban bersama dan penderitaan orang lain,

meskipun berlainan suku, agama, dan ras. Budaya Pacce. yang terpatri

dalam jiwa membentuk masyarakat Bugis dan Makassar menjadi masya-

rakat dengan solidaritas dan rasa empati yang tinggi kepada sesama

tanpa memandang suku, ras, dan agama. Perwujudan sifat Pacce dapat

dilihat dari perlakuan Zainuddin kepada Hayati pada film TKVW.

Zainuddin ibah melihat seorang perempuan (Hayati) tidak pulang ke

rumahnya karena terhalang hujan. Bentuk keperhatian Zainuddin ditun-

jukkan dengan memberikan payung kepada Hayati untuk melindungi diri

dari guyuran hujan yang lebat yang tak kunjung reda. Zainuddin rela

memberikan payung pada Hayati sekalipun dia juga membutuhkan

payung itu. Keprihatinan Zainuddin dapat dilihat dari dialog “Hayati

pulangnlah dulu pakai payungku ini,....berangkatlah supaya orang rumah

tidak risau. Terima kasih Zainuddin saya pergi dulu, ucap Hayati. (TKVW

00. 08. 20 detik). Zainuddin dan Hayati baru pertama kali bertemu,

lazimnya orang yang baru bertemu segan meminjamkan sesuatu begitu

pun yang menerima. Tetapi karena rasa iba yang besar Zainuddin maka

ia pun memberikan payungnya pada perempuan yang baru saja dikenal-

nya itu.

Implementasi nilai Pacce (tolong menolong) juga tergambar pada

perilaku Zainuddin kepada Aziz dan Hayati, Zainuddin membantu Aziz

bersama istrinya untuk tinggal di rumahnya. Bukan itu saja segala ke-

156
157

butuhan kedua suami istri ditanggung oleh Zainuddin selama Aziz belum

mendapatkan pekerjaan. Apa yang dimiliki atau apa yang ada di rumah

tersebut boleh digunakan Aziz dan Hayati. Bukti pertolongan yang

dilakukan Zainuddin kepada Aziz digambarkan pada dialog “Hanya

kewajiban seorang sahabat, terhadap sahabatnya. Apalagi hidup kita di

rantau. Kita wajib membantu satu sama lain (TKVW 01.40. 59 detik).

Pacce dalam wujud pertolongan kepada orang yang membutuhkan

salah satu budaya orang Bugis Makassar yang masih terpelihara.

Kebiasan ini selain harus dijaga dan dipertahankan di masyarakat karena

dianggap baik juga sejalan dengan nilai agama, khususnya Islam.

Sebagaimana perintah Allah dalam Al Quran:

                              

                         

                 

     
Terjemahan: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa

dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya

Allah amat berat siksa-Nya (Q.S. Al Maidah ayat 2).

Film BTA digambarkan sifat pemaaf serang ibu kepada anaknya.

Orang tua Andi Tenri merasa iba dan kasihan melihat anaknya terancam

jiwanya akan dibunuh oleh saudaranya sendiri Andi Aso. Lalu ia pun
157
158

keluar dari kamar dan dengan segera menghalangi Andi Aso membunuh

adiknya, ibu Andi Tenri memohon agar jangan terjadi pertumpahan darah

atau pembunuhan di depan mayat suaminya (Karaeng Tiro). Lalu ia

berkata “Tunggu” kata ammak. “Tenri, Aso. Dengar Ammak! Aso, Tenri,

sebentar lagi Ammak mau menguburkan Tettanu, tapi apa kalian pikir,

Ammak sanggup menjalani hidup, jika Ammak hari ini harus juga

menguburkan anak, menantu, dan cucuku”. Memaafkan orang yang

bersalah merupakan salah satu sifat orang Bugis Makassar yang masih

terjaga dan dipertahankan di masyarakat, sifat suka memaafkan orang

yang bersalah sejalan dengan nilai ajaran agama Islam.

Mendengar ucapan orang tua (ibu Andi Tenri) semua orang

terperangah tidak seorang pun mengucapkan sepatah kata, termasuk

Andi Aso yang sudah mencabut badik dari sarungnya pun tidak sanggup

mengucapkan sepatah kata apalagi menggerakkan tangannya menikam

adik dan iparnya. Keputusan yang diambil orang tua Andi Aso merupakan

hal yang tidak lazim, memaafkan anak perempuan yang sudah membuat

malu keluarga dan sahabat (silariang). Apa yang dilakukan orang tua

Andi Tenri yaitu meminta agar jangan lagi ada pertumpahan darah atau

pembunuhan sejalan dengan perintah Allah pada Al Quran surat Al An-am

Allah berfirman.

158
159

               

                 

           


Terjemahan: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar demikian

itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami (nya). (Q.S.

Al- An am ayat: 151).

Orang tua Andi Tenri rela berkorban memaafkan anaknya yang

sudah mencoreng dan membuat aib keluarganya adalah salah satu

bentuk implementasi nilai Pacce. Sekalipun apa yang dilakukan orang tua

tersebut adalah perbuatan yang melanggar tatanan nilai yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat Bugis dan Makassar.

Memaafkan dan menerima anak perempuan yang sudah membuat malu

keluarga silariang .masih dianggap tabu. Apa yang dilakukan orang tua

Andi Tenri juga sudah diperhitungkan akibatnya, dia pun siap menang-

gung akibat dari keputusan yang diambil itu. Karena dia mengetahui

bahwa jika anak gadis masyarakat Bugis melakukan silariang yang

melanggar adat dan membuat malu keluarga, maka pada saat itu pula

harga diri akan terenggut oleh anak gadis mereka sendiri dan mendapat

cemohan serta cibiran dari lingkungan masyarakat. Hukuman yang pantas

diberikan kepada pelaku adalah dibunuh, namun keputusan yang diambil

oleh Karaeng Caya ibu Andi Tenri bertentangan dengan budaya ter-

159
160

sebut. Dia memaafkan kesalahan yang diperbuat anaknya, serta me-

mohon kepada anak laki-lakinya yaitu Andi Aso agar tidak membunuh

adiknya serta memafkannya.

Allah Swt memerintahkan kepada umat-Nya senantiasa memberikan

maaf kepada orang yang bersalah.

                    

           

Terjemahan: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan

yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Q. S. Al-

A'raaf ayat: 199). Perintah memaafkan juga terdapat pada Al Quran Surat

Al Hijir ayat 85. Allah berfirman:

             

Terjemahan: Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik (Q. S. Al-

Hijr ayat: 85). Sifat Memaafkan merupakan sifat terpuji dan merupakan

akhlaq yang bisa mengangkat martabat manusia di sisi Allah Swt, Karena

tidak semua orang mudah memberikan maaf dan berlapang dada atas

kesalahan orang lain atas dirinya. Kebanyakan manusia ingin orang lain

dibalas seperti apa yang telah ia lakukan kepadanya, Sifat memaafkan

merupakan sifat yang sangat jarang kita temui dewasa ini. Padahal sifat ini

bisa mengantarkan pemiliknya menuju surga, Rasulullah bersabda, yang

artinya “Barang-siapa melakukan tiga hal berikut ini, ia akan dihisab

dengan mudah dan akan masuk surga dengan rahmat-Nya.Pertama,


160
161

memberi kepada orang yang bakhil. Kedua, silaturahim dengan orang

yang memutuskannya. Ketiga, memberi maaf kepada orang yang zalim”

(H.R. At Thabrani).

5. Latar

Latar Film BTA karya Dony Dirgantoro mengambil latar di antaranya

di daerah Pantai Bira Kabupaten Bulukkumba Provinsi Sulawesi Selatan.

Begitu pula Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengambil latar di

Makassar Sulawesi Selatan Padang Minangkabau. Data atau hal yang

dapat menujukkan bukti latar tersebut dapat dilihat dari aktifitas

masyarakat dan bahasa yang digunakan pada dialog dalam keduan film

tersebut. Selain kesibukan masyarakat yang memanfaatkan tempat ini

sebagai pelabuhan keluar dan masuknya masyarakat ke daerah tersebut,

tampak di suatu tempat sekelompok orang sedang membuat perahu.

Pembuatan Perahu Pinisi di daerah ini sudah sangat terkenal ke seluruh

Nusantara bahkan sampai ke manca negara. Bukti yang menunukkan

tempat atau daerah film BTA terjadi salah satu di antaranya bahasa dan

aktifitas masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan

Limpo yaitu bahasa derah Makassar. “Anjo anua ........bassia palesangi

njo.....palesangi..... sambei kayu....... ya sambei kayu ( perintah Dg. Limpo

sebagai mandor di antara suara ketu-kan palu para buruh pembuat

perahu). BTA ( 00. 11. 28 ).

Bahasa yang digunakan dalam film BTA adalah salah satu bahasa

daerah di Sulawesi Selatan yaitu Bahasa Makassar “bassia palesangi njo”


161
162

yang diucapkan Limpo kepada para pekerja pembuat perahu pinisi meng-

gambarkan daerah latar Film BTA berlokasi di daerah Makassar

Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bulukumba Bira. Bahasa yang

dugunakan pun menggunakan bahasa Daerah Makassar dialek konjo

(daerah Bulukumba).

Bahasa dan budaya merupakan dua sisi yang berbeda, tetapi

hubungan kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, karena Bahasa

merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini berarti,

bahwa bahasa dapat mencerminkan asal penutur, kebiasan penutur dan

lain sebagainya. Bahasa dan budaya salaing mempengaruhi satu sama

lain, bahasa pengungkap kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa dapat

menentukan kemajuan budaya masyarakat dan sekaligus dapat menen-

tukan mati dan majunya budaya masyarakat atau bangsa.

Bahasa dan Budaya adalah dua hal yang saling terkait. Hal ini

dibuktikan dengan banyaknya fenomena atau realita yang menunjukan

adannya hubungan antara bahasa dan budaya. Hubungan tersebut bisa

berupa transformasi, saling mempengaruhi, dan lain sebagainya. Hu-

bungan antara Bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang

subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Namun

ada pendapat lain yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan

memunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat,

kedudukannya sama tinggi.

162
163

Film TKVW dialog antara Zainuddin dan Mak Basse terlihat bahwa

kedua orang tersebut menggunakan bahasa daerah Makassar ”Oo amma!

anjo butta Padang jai ampaka labbiriki, jai tau angkana anjo agama islam

antama ri mangkasarak na-kana tawua battu i ripadang. Jai toi sikolah

agama. (TKVW durasi 00. 03.01 detik). Bahasa daerah Makassar yang

digunakan kedua orang tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa hal ini

terjadi di Makassar. Dialog antara Zainuddin dengan Mak Basse,

perempuan yang memelihara Zainuudin sejak kecil terjadi di Makassar,

daerah kelahiran Zainuddin. Hal ini didukung oleh bahasa yang digunakan

Zainuddin dan Mak Basse.

Selain Makassar, Latar tempat film TKVW adalah Padang hal ini

dapat dilihat dari bahasa yang digunakan antara Zainuddin dan Mande

Jamilah. “Siapa itu? Awak cari siapa malam-malam begini? Maaf saya

mencari rumah Mande Jamilah! Saya Jamilah, Awak ni siapa? Saya

Zainuddin dari Makassar. Zainuddin, anak si sutan! Ya Mande (mak cik).

Silakan masuk! Tabe (maaf). Apakah tujuan kamu kemari? Apa ada

amanat ayah sebelum meninggal? .... yang perlu kamu sampaikan? Tidak

ada Mande. Saya hanya mau menyambun tali silaturahmi. Saya ingin

menyambangi keluarga ayah di negeri Batipu ini” (TKVW durasi 00.04. 30

detik). Zainuddin menegaskan tujuannya ke Batipu (Padang) untuk

menemui keluarga almarhum ayahnya (Pendekar Sutan) untuk menjalin

tali silaturahmi. Disamping menemui keluarga besar Pendekar Sutan di

Padang Zainuddin juga mau tiggal di Padang untuk memperdalam ilmu

163
164

agama. Padang terkenal daerah yang terdapat banyak sekolah agama.

Bahkan menurut sebagaian orang agama Islam masuk di Makassar di-

bawa oleh tokoh agama dari Padang. Itulah kedua alasan Zainuddin pergi

ke Padang.

Selain Bahasa Makassar yang digunakan para pekerja pembuat

perahu, bukti lain yang dapat menunjuk-

kan tempat atau darah khusnya latar

daerah tempat terjadinya film BTA adalah

aktifitas masyarakt sekitar pada film

tersebut. Aktifitas masyarakat dilihat pada

kegiatan masyarakat mem-buat perahu

pinisi. Perahu pinisi ini merupakan perahu tradisional masyarakat

Bugis Makassar khusunya Bira. Perahu pinisi sudah ada sejak

zaman nenek moyang orang Indonesia.

Perahu inilah yang membuktikan Indonesia dahulu adalah

negara maritim yang besar dengan

budaya pelaut dan pembuat perahu

yang tangguh. Masyarakat Bira adalah

masyarakat yang tinggal di pesisir pantai

bekerja sebagai pembuat perahu pinisi.

Perahu pinisi pada zaman dahulu

mengandalkan angin agar layar pada bagian depan dan belakang

mengembang agar sampai ke tempat tujuan.

164
165

Sulawesi Selatan khususnya daerah yang didiami oleh masyarakat

Makassar pada umumnya masih memegang tradisi (adat) apabila

nipakasirik atau anak perempuan dibawa lari (silariang) maka harus

diselesaikan secara adat (dibunuh). Bukti dapat dilihat dari perintah

Karaeng Tiro kepada putranya Andi Aso mencari Andi Tenri dan Firman

yang melakukan perbuatan yang menodai keluarga (silariang). Andi Aso

disuruh mencari keduanya dan membunuhnya.

“Aso sejak kecil saya selalu mena-

sihatimu tentang pentingnya menjaga

sirik, ....Sekarang Andiknu lari ber-

sama laki-laki, tindakannya itu appa-

kasirik.Mempermalukan! Keluarga kita

nipakasirik .......Cari mereka selesai-

kan sesuai adat kita (BTA Durasi 00. 22. 02 detik).

Orang Bugis Makassar yang masih memegang adat dan tradisi di

daerahnya, ketika harga diri dan keluarganya dilecehkan atau

direndahkan maka dia mempertahankan dengan cara membunuh. Kebia-

saan seperti ini lazim dilakukan oleh orang Bugis Makassar khususnya

yang tinggal di daerah yang masih memegang kuat adat. Karaeng Tiro

merupakan tokoh masyarakat yang masih memegang teguh budaya

sirik memandang kawin lari (silariang) sebagai perbuatan yang memalu-

kan dan balasannya bagi pelaku adalah dibunuh sesuai hukum adat yang

berlaku bagi orang Makassar khususnya di Bira. ”Bagaimanami Andi

165
166

Tenri Karaeng , apakah dia sudah kembali Karaeng, kapan pestanya ini

Karaeng! Kurang ajar”,...kata Karaeng Tiro (tidak menerima ucapan itu/

merasa sangat malu dengan pertanyaan tersebut) (BTA Durasi 01. 22.09

detik).

Selain tradisi, hal lain yang dapat menunjukkan ciri khas daerah

adalah pakaian adat. Sulawesi Selatan memiliki ciri khas dalam ber-

pakaian yaitu baju bodo bagi kaum perempuan dan jas tutup untuk kaum

pria. Dalam Film BTA , ciri khas pakaian adat Sulawesi Selatan dapat

dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh Karaeng Tiro dan istrinya

Karaeng Caya. Kareang Tiro mengenakan jas tutup dan istrinya Karaeng

memakai baju bodo.

Jas tutup dan baju bodo yang dikenakan Karaeng Tiro dan

Karaeng Caya. Kedua pakaian ini merupakan pakaian adat orang Bugis

Makassar yang biasanya dipakai

dalam menghadiri acara pesta atau

acara resmi sekaligus pakaian kehor-

matan atau kebanggaan. Karaeng Tiro

dan Karaeng Caya memakai pakaian

khas Bugis Makassar baju bodo dan

Jas tutup dalam mengahadiri pesta atau resepsi pernikahan keluarganya.

Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipak,

yang terbuat dari benang biasa atau lipak garusuk maupun kain sarung

sutera atau lipak sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun

166
167

pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua,

atau biru tua, dengan hiasan motif kecil-kecil (corak caddi).

Busana adat pria Makassar terdiri atas baju, paroci (celana), lipak

garusuk (kain sarung), dan passapu (penutup kepala). Baju yang

dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup (jas tutup) dan

baju bella dada (belah dada). model baju yang tampak adalah

berlengan panjang, leher berkerah, saku di kanan dan kii baju,

serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang

pada leher baju.

Busana adat wanita Makasar terdiri atas baju bodo dan sarung atau

lipak berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan

pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus

juga merupakan leher baju. Unsur perhiasan yang terdapat di kepala

adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya

(pinang goyang) dan anting panjang (bangkarak), dan berbagai

perhiasan lainnya terutama emas.

167
168

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Kedua kajian analisis representasi nilai budaya sirik na Pacce film

TKVW karya Dony Dirgantoro dan Film BTA karya Taufik Daraming Tahir,

terdapat nilai budaya Bugis/Makassar sebagai berikut:

1. Representasi nilai budaya Makassar konsep (Sirik nipasirik) sebagai

bentuk budaya sirik na pacce berupa penghinaan, merendahkan mar-

tabat dan harga diri dan keluarga. Pada kedua Film TKVW karya Dony

Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Hal tersebut
168
169

dibuktikan penghinaan film TKVW yang ditujukan kepada Zainuddin

yang dipandang derajatnya lebih rendah daripada derajat Hayati,

karena ibu Zainuddin orang Bugis Makassar sedangkan Hayati asli

Padang, Zainuddin tidak layak melamar Hayati karena derajat

Zainuddin lebih rendah daripada Hayati. Begitu juga pada Film BTA ,

terdapat penghinaan (nipakasirik) dalam bentuk budaya silariang/

annyala) ditujukan kepada keluarga Karaeng Tiro karena anak perem-

puannya (Andi Tenri) dibawa lari oleh Firman (Andi Tenri Firma sila-

riang/annyala). Silariang bagi orang Bugis Makassar dianggap per-

buatan yang membuat malu keluarga, dan kerabat perempuan.

Hukuman bagi pelaku silariang (annyala) adalah dibunuh. Limpo malu

dan menikam dirinya sendri karena dia merasa malu tidak bisa

membunuh Andi Tenri dan Firman ketika kedua orang silariang tersebut

datang di rumah Karaeng Tiro sebelum kembali baik (abbajik), padahal

Limpo pernah bersumpah akan membunuh keduanya kalau ditemukan

kelak.

2. Representasi nilai budaya Makassar konsep (Sirik Mappakasirik-

sirik) sebagai bentuk budaya sirik na pacce berupa motivasi, etos

kerja, prinsip hidup dan nilai ajaran agama . Kedua Film TKVW

karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Etos

kerja berupa bekerja lebih giat demi mencapai cita-cita dan

pantang menyerah sebelum meraih hasil yang diharapkan

terdapat pada film TKVW, Zainuddin sebagai anak Bugis/

169
170

Makassar sekali merantau pantang pulang sebelum berhasil

atau sukses. Hal ini dibuktikan dengan keinginan kuat

merantau dari Makassar ke Padang, Batavia, dan ke Sura-

baya. Di Surabaya Zainuddin menjadi penulis sukses, men-

jadi orang terpandang, kaya memiliki rumah besar dan ken-

daraan mewah, dan menjadi penulis terkenal. Film BTA kete-

guhan Karaeng Tiro memegang prinsip yang tidak mudah

dipengaruhi oleh orang lain. Hal ini dapat dilihat dari uca-

pannya Karaeng Caya, “Tenri tidak ada karang di perairan Bira sam-

pai di Selayar, yang bisa mengalahkan kekerasan hati Tettanu (Kara-

eng Tiro). Kalau dia sudah berketetapan hati, dia tidak akan lunak

dengan cara apa pun”.

Nilai Ketaatan menjalan ajaran agama Islam terdapat

pada film BTA, hal ini ditunjukkan Karaeng Caya sebagai se-

orang istri yang patuh pada suami, menaati semua keinginan

suaminya, mendukung segala keputusan yang dimbil Kara-

eng Tiro.Begitu pun Andi Aso, taat dan patuh melaksanakan

keinginan orang tuanya sekalipun bertentangan dengan

keinginannya dia tetap menjalankan perintah orang tuanya.

Tidak ingin berdosa karena tidak melaksanakan keinginan

orang tua (tidak menuruti kemauan orang tua). Karaeng Caya

membangunkan Andi Tenri pada waktu subuh untuk melaksa-

170
171

nakan sholat. Juga ucapan salam Andi Aso kepada ibunya

saat akan kembali ke Makassar.

Selain itu, Film TKVW terdapat nilai keikhlasan, penye-

rahan diri kepada Allah Swt, yang dilakukan Zainuddin dan

Hayati. Hayati berpesan kepada Zainuddin agar selalu ber-

doa dan memoho n perlindungan Allah agar dalam perjalan-

an selalu mendapat perlindungan Allah Swt. Dan berharap

kelak dapat dipertemukan kembali, serta ikhlas menerima ke-

putusan Allah Swt. Begitu pula permiohonan Hayati di akhir

hayatnya agar Zainuddin membacakan dua kalimat syahadat

di telinganya. Kalimat itu diucapkan tiga kali Hayati kepada

Zainuddin, begitu pun Zainuddin membacakan kalimat sya-

hadat tersebut sebanyak tiga kali di telinga Hayati sampai

akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

3. Representasi nilai budaya Makassar konsep (Sirik Tappelak Sirik),

sebagai bentuk budaya sirik na pacce yaitu hilang rasa malu

karena tidak dapat menepati janji, diejek atau dihina. Perwu-

judan nilai budaya tappelak sirik ditemukan pada Film BTA

akibat perbuatan silariang Andi Tenri dan Firman, keluarga

dan kerabat Karaeng Tiro malu. Sebagai kerabat, Limpo

malu (tappelak sirik ) karena tidak dapat membuktikan

ucapannya mencari dan membunuh Firman dan Andi Tenri

bila kelak menemukannya sebelebum kembali baik (abbajik ) .

171
172

Sumpah yang diucapkan Limpo pun tidak dibuktikan, Andi

Tenri, anak dan suaminya pulang ke rumah Karaeng Caya

disaksikan oleh Limpo dan tidak dibunuh kedua orang itu.

Akibat rasa malu yang ditanggung Limpo tidak mampu mem-

bunuh Andi Tenri dan Firman, maka dia menikam dirinya

sendiri.

Representasi nilai teppelak sirik juga terdapat pada

film TKVW. Hayati yang berjanji setia menunggu Zainuddin

sampai kapan pun tidak dibuktikan. Hayati menerima lama-

ran Aziz dan mengabaikan janjinya menunggu kedatangan

Zainuddin melamar. Dalam budaya Bugis/Makassar keputus-

an Hayati menikahi Azis adalah bukti kalau Hayati tidak

dapat menepati janji, menghianati janji cintanya kepada

Zainuddin.

4. Latar film TKVW terjadi di Makassar dan Padang, bahasa

yang digunakan Zainuddin ketika berbicara ibu angkatnya

Mak Basse menggunakan bahasa daerah Makassar “Oo am-

ma! anjo butta Padang jai ampaka labbiriki, jai tau angkana anjo

agama islam antama ri mangkasarak nakana tawua battu i ripadang.

Jai toi sikolah agama. (TKVW durasi 00. 03.01 detik).

Latar film BTA (BTA) di daerah Bira Kabupaten Bulu-

kumba Sulawesi Selatan hal ini digambarkan pada aktifitas

masyarakat membuat perahu pinisi. Bahasa yang digunakan

172
173

bahasa daerah Makassar, serta pakaian adat yang dipakai

Karaeng Tiro dan Karaeng Caya jas tutup dan baju bodo

sebagai adat Sulawesi Selatan.

5. Representasi nilai budaya Makassar konsep pacce yaitu rasa pedih,

rasa iba kepada sesama manusia, turut merasakan derita

orang lain. Nilai budaya Pacce Pada kedua Film TKVW karya

Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Pada Film

TKVW rasa iba digambarkan Zainuddin kepada Hayati dan

Aziz, walaupun Zainuddin pernah dihina dan di-sakiti Aziz

dan Hayati, tetapi Zainuddin tetap ikhlas memban-tu Aziz

dan hayati ketika kedua orang itu membutuhkan ban-tuan.

Bentuk bantuan yang diberikan Zainuddin adalah me-manggil

keduanya tinggal di rumah Zainuddin dan menang-gung

segala kebutuhan hidup Hayati dan Aziz. Sete lah Hayati

diceraikan oleh Aziz pun, Zainuddin siap menanggung biaya

hidup Hayati sampai Hayati bersuami lagi.

Bentuk nilai budaya sirik na pacce atau rasa iba juga

terapat pada Film BTA karya Taufik Daraming Tahir.. Hal ditun-

jukkan oleh Karaeng Caya berani mengambil keputusan yang

bertentangan dengan kebiasaan orang Bugis Makassar ka-

rena Pacce (rasa iba) melihat anak, cucu, dan menantunya,

sedih melihat Andi Tenri hendak dibunuh di depan mayat

Karaeng Tiro. Ibu Andi Tenri memohon kepada anaknya

173
174

(Andi Aso) agar jangan membunuh adiknya sendiri (Andi

Tenri dan Firman). Perasaan iba yang dalam mendorong

orang tua Andi Tenri, memaafkan kesalahan besar yang

mencoreng nama baik keluarga dan kerabat yang diperbuat

Andi Tenri dan Firman (silariang).

B. SARAN

Dengan penelitian ini, dikemukakan beberapa saran di antaranya :

1. Budaya sirik na Pacce hendaknya di jaga dan dilestarikan di tengah

derasnya pengaruh budaya asing, budaya sirik na pacce dijadikan

alat pemersatu antarsuku, kelompok dan kepada sesama manusia

pada umumnya. Budaya sirik na pacce perlu dilestarikan dan

dijaga karena masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan saat

ini. Sirik na Pacce mengandung nilai luhur malu berbuat yang

tidak baik, pantang menyerah, bekerja keras, menghargai hak

orang lain, dan turut merasakan penderitaan orang lain.

2. Budaya sirik na pacce jangan dimaknai secara distorsi yang cen-

derung negatif. Sirik sering diartikan balas dendam, saling bunuh

karena dihina, dipermalukan, silariang dan sejenisnya. Makna sirik

adalah harga diri, etos kerja, motivasi untuk berbuat yang lebih baik

dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai

kebaikan, baik berdasarkan agama maupun adat. Sedangkan

pacce adalah perekat rasa solidaritas, rasa iba, saling membantu,

dan alat pemersatu antarkelompok, suku, agama, ras, dan golong-


174
175

an. Budaya sirik na pacce etos kerja, sifat, tekat, prisnsip dan

kebiasaan orang Bugis/Makassar bekerja dan berbuat yang lebih

baik serta malu melakukan hal-hal yang bertentangan nilai agama

dan adat yang didorong oleh rasa iba, prihatin, dan solidaritas

saling membantu kepada sesama manusia.

3. Seyogyanya uraian dalam tulisan ini tidak hanya sekadar kritik

ilmiah, dan masukan bagi penulis maupun pembaca, tetapi dapat

dijadikan pelajaran berharga dalam menyikapi permasalahan dalam

kehidupan khususnya etnis Bugis/Makassar .

4. Penelitian ini merupakan bahan motivasi bagi pembaca untuk

mengkaji aspek-aspek lain dari film sebagai salah satu sumber

motivasi, dan jangan menjadikan film hanya sekadar hiburan, tetapi

jadikan film sebagai salah satu sumber inspirasi. Jika perlu ada

baiknya kalangan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indo-

nesia membudayakan pengkajian semacam ini sebagai suatu

bentuk kegiatan apresiasi.

5. Bagi pembaca atau calon peneliti yang ingin mengkaji mengem-

bangkan objek penelitian yang sama, diharapkan dapat mengkaji

lebih dalam atau memperluas kajiannya dan menjadikan penelitian

ini sebagai salah satu bahan referensi.

175
176

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan.


Makassar: Hasanuddin University Press.
Akib, Tasrif dkk. 2016. Pengaruh Model Pembelajaran Siri’ Na Pacce
Terhadap Kemampuan Membuat Paragraf Deskriptif dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris di SMP Negeri 3 Sung-
guminasa. Jurnal. Dalam https://ojs.fkip.unismuh.ac.id/
plugins/ generic/pdfJsViewer/pdf.js/web/viewer. html?file=
https%3A%2F%2Fojs.fkip.unismuh.ac.id%2Findex.php%2
Fjkip%2Farticle%2Fdownload%2F49%2F46%2F diakses
15 April 2018.
Ali, Arifuddin. 2016. Makna Siri’ Na Pacce’ dimasyarakat Bugis-Makassar.
https://kkssnunukan.wordpress.com /2016 . Diakses 20
Januari 2019.
Arikunto, Suharsimi. 1984. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Rineka Cipta.
Darmapoetra, Juma. 2017. Suku Bugis pewaris Kebudayaan Leluhur.
Makassar: Arus Timur.
Darwis, Rizal, Dkk. 2011. Sirik Na Pacce . Dalam http://media. neliti.
com/ media/publications/23761-ID-implikasi Falsafah Siri Na
Pacce Masyarakat Makassar. Jurnal. Diakses pada tanggal
17 April 2018.
Effendy, Onong Uchjana. 1986. Televisi Siaran, Teori dan Praktek.
Bandung : Alumni.
………………2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan film. Flores: Nusa Indah Ende Flores.
Faidi, Ahmad. 2016. Suku Makassar Penjaga Kejayaan Imperium.
Makassar: Arus Timur.
Hamid, A. Farid, A. Z. A., Mattulada., Lopa, B., Salombe. (2007). Sirik dan
Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.
Makassar: Pustaka Refleksi.
Irawan,Dedy . 2016. Teknik Sinematografi dalam Menggambarkan Pesan
Optimisme Melalui Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” . Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Juliardi, Budi. 2014. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: Alfabeta.

175
176
177

Kidam, Jubaida. 2012. Konsep ‘Siri na Pacce’ di Sulawesi Selatan.


Makalah Pendidikan. Dalam https:// plus. google. com/
102189402037089239224. Diakses 18 April 2018.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Latif. 2012. Nilai dan Makna Kultural Terjemahan Sinrilik Kappalak Tallung
Batua Karya Terjemahan Sirajuddin Bantang dalam
Kehidupan Masyarakat Makassar. Tesis. Pascasarjana Uni-
versitas Muhammadiyah Makassar.
Lensun, Virgo S. 2016. Tindak Ilokusi dalam Novel “Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck” Karya Hamka. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Liliweri, Alo. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Limpo, Syahrul Yasin. 1995. Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa.
Ujung Pandang: Intisari.
Matthes, B. F. 1996. Beberapa Etika dalam Sastra Makassar. Jakarta:
Depdikbud.
Mc Quail, Dennis. 1997.Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar.
Jakarta: Erlangga.
Muh. Abdi Goncing : "Sirik Napacce sebagai Falsafah Hidup Masyarakat
Bugis-Makassar Dalam Perspektif Filsafat Sejarah" (aka-
demia edu).
Moein M.G., Andi. 1990. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan
Sirik na Pacce. Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press.
--------------------. 1994. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar Sirik
Na Pacce (Dan Relevansinya dengan Budaya bangsa).
Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitati. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nawawi, Hadari. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Edisi
Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional).
177
178

Rafiek, M. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Aswaja


Presindo.
Resky, Dwi Riana. 2014. Film Televisi “Badik Titipan Ayah” Sebuah
Studi Opini Mahasiswa Universitas Hasanuddin. Jurnal.
Dalam http://
repository.unhas.ac.id/handle/123456789/959 . Jurnal.
Diakses pada 18 April 2018.
Rosyadi. 1995. Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba. Jakarta: CV Dewi
Sri.
Renyoet, Jaquiline Melissa. 2014. Pesan Moral Dalam Film To Kill A
Mockingbird (Analisis Semiotika Pada Film To Kill A
Mockingbird). Skripsi. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin.
Said, Ide Dkk. 2014. Pedoman Penulisan Tesis Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar. Makassar: Unismuh
Makassar.
Sawitri, Yaninta Sani. 2009. Rasisme dalam Film Crash (Analisis
Semiotik tentang Representasi Rasisme di Negara Multi Ras
dalam Film Crash). Skripsi. Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebe-
las Maret Surakarta.
Shihab, Quraish. 1998. Al Quran dan Terjemahannya. (Departemen
Agama). Smarang: As syifa.
Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tika, Zainuddin & Syam, M. Ridwan. 2007. Silariang dan Kisah-Kisah Siri’.
Makassar: Pustaka Refleksi.
Tuasikal, Muhammad Abduh. 5 Keutamaan Kalimat Syahadat (Laa
Ilaha Illallah). https://rumaysho.wordpress. com/2009/ 02/ 05/
keutamaan-kalimat-syahadat-laa-ilaha- Artikel. Diakses tgl.
23 november 2018.
Uzey. 2009. “Macam-macam Nilai”. Dalam http://uzey. blogspot. com/
2009/09/pengertian-nilai. diakses tanggal 15 April 2018.
Wahid, Sugirah. (2010). Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.
..........................2016. Kearifan Adat Istiadat Makassar. Makassar: Arus
Timur

178
179

W.M., Abdul Hadi. 2014. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta:
Sadra Press.
Wellek & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan/

diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

179
179

RIWAYAT HIDUP

St. Murni Y.S. lahir di Tonasa Kabupaten Pangkajene


dan Kepulauan pada tanggal 26 Juni 1973. Dari
pasangan Yanas Saleh dan Muliana. Ia adalah anak
kelima dari delapan bersaudara. Pendidikan formal
yang pernah ditempuh:
1. Sekolah Dasar (SD) Tonasa masuk tahun 1980
dan tamat tahun 1986.
1. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tonasa masuk tahun 1986 dan
selesai pada tahun 1989.
2. Tahun 1989 mendaftar di Sekolah Menengah Atas (SMA) Tonasa
Jurusan IPA dan tamat tahun 1992.
3. Tahun 1992 ia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi IKIP Ujung
Pandang pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, selesai tahun 1997.
4. Tahun 2016 melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar, Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Bulan Maret tahun 1999 menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan, tepat di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 1 Biringbulu Kabupaten Gowa. Pada tahun yang
sama menikah dan dikaruniai lima orang anak.
180

LAMPIRAN
1. Korpus Data

2. Surat Izin Penelitian


181

KORPUS DATA

SNS 1
“Orang miskin keturunan .... mau mempersunting.... Pergi kau anak miskin.
Negeri kami beradat. Bunga desa itu tak pantas untuk kamu. cerita ini seperti
cerita budak Bugis itu. Saya curiga memang budak Bugis itu pengarangnya,
saya lihat penerbitannya di Batavia. Bukankah dia merantau ke sana kan,
namanya Zainuddin Bang. Jangan terlalu dihina Zainuddin.
(TKVW. Durasi 01.24. 32
SNS 2
“Bukankah kau berjanji ketika saya diusir ninik mamakmu....karena saya
tidak jelas keturunanku, orang hina, bukan darah tulen Minangkabau! Ketika
itu kau antarkan saya ke simpang jalan. …...Namun kamu memilih laki-laki
yang lebih gagah, kaya raya, keturunan Minangkabau. Kamu Kawin dengan
dia. Kamu sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinanmu, bukan dipaksa
orang lain, tetapi atas kemauanmu sendiri.
(TKVW durasi 02.0.70 detik)
SNS 3
“Siapakah diantara kita yang kejam. Hayati? Saya kirimkan surat-surat
meratap menghinakan diri. Memohon dikasihani, tiba-tiba kamu balas surat
itu dengan isi yang sangat kejam. Kamu katakan Kita sama-sama miskin,
hidup tidak akan bahagia kalau tidak ada uang. Karena itu kau pilih orang
yang kaya, bangsawan, menteren, bergelimang dengan emas, bersayap
dengan uang. kamu kawin dengan lelaki itu. Siapakah di antara kita yang
kejam Hayati? Tidak Hayati, saya tidak kejam.
(TKVW durasi 02.01. 16 detik)
SNS 4
“Silariang ini punya risiko besar. Kamu Siap Tenri?”, Bukan hanya saya saja
yang harus siap. Tapi kita! Apa Kamu siap?
(BTA Durasi 00.03.19 detik)
SNS 5
“Aso pulang sekarang. Langsung ke terminal. Kau harus ada di rumah
secepatnya. Tapi saya sibuk sekarang Tetta. ..Andiknu lari dari rumah,
silariang”.
(BTA Durasi 00.04. 46 detik).
SNS 6
“….Saya siap menunggu printah Karaeng” kata Limpo. Kalau perlu
sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu.
(BTA Durasi 00.05. 12 detik).
SNS 7
“Silariang ini punya risiko besar. Kamu siap Tenri?”, Bukan hanya saya saja
yang harus siap. Tapi kita. Apa kamu siap?
(BTA 00.03.19 detik).
SNS 8
“Aso pulang sekarang. Langsung ke terminal. Kau harus ada di rumah
secepatnya. Tapi saya sibuk sekarang Tetta. ....Andiknu lari dari rumah,
silariang”.
(BTA 00.04. 46 detik).

181
182

SNS 9
“….Saya siap menunggu printah Karaeng” kata Limpo. Kalau perlu
sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu.
(BTA 00.05. 12 detik).
SNS 10
“Kalian berdua silariang” tanya Candra. “Ia Kak, baru kemarin ini kami
menikah di sini, supaya tidak bertambah dosa”, jawab Tenri. Terpaksa
Kak....(Tenri mengusap perutnya memberikan isyarat kalau dia telah hamil).
“Berani sekali kalian melakukan hubungan seperti ini sebelum menikah, dan
Kau Firman bukannya melindungi malah menodai”, bentak Candra. “Maaf
Kak Candra ini ide saya” kata Tenri. Saya tidak mengerti Ndi Tenri, mengapa
kamu jadikan dirimu hamil, kamu merasa dengan cara ini kamu bisa
mendapat restu dari ammakmu. Karena itumi satu-satunya cara untuk
merestui hubungan kita. Saya berharap dengan lahirnya seorang cucu akan
meluluhkan hati mereka. ....Firman tidak mau, dia ingin saya minta izin
telebih dahulu kepada Tetta. Tapi saya tahu bagaimana kerasnya hati Tetta,
Kak Candra.
(BTA 00.16. 41 detik).
SNS 11
Tetta panggil saya? Iya. Duduk Aso. Iye.
Aso sejak Kau kecil Tetta selalu
menasehatimu tentang pentingnya
menjaga sirik. Bukan hanya harkat dan
marta-batmu sendiri tetapi harkat dan
martabat keluargamu. Tenaja nukalup-pai?
Tidak Tetta, saya tidak mungkin lupa.
Bagus! Sekarang Andiknu lari bersama
laki-laki, silariang. Tindakannya mappaka-
sirik, mempermalukan. Keluarga kita
nipakasirik, dipermalukan oleh laki-laki itu.
(Sambil menge-luarkan sebuah badik dari
bungkusan kain merah) Seandainya keadaan Tetta memungkinkan, Tetta
sendiri yang akan menye-lesaikan masalah ini. Aso, cari mereka! Selesaikan
masalah ini sesuai adat kita. Ambillah! Ambillah Aso! Ambil! (Karaeng Tiro
mengangkat Badik I La Sanrego penuh hikmad dengan kedua tangannya
menyerahkan pada Aso dan diterima Aso dengan hati-hati)
(BTA 01. 22. 09 detik)
SNS 12
Tetta, saya akan lakukan apa pun demi nama baik keluarga. Bagus, bagus
Aso! Aso kamu anak laki-laki jangan pernah kecewakan Tetta! Masalah
keluarga ini harus diselesaikan dengan tuntas, untuk selama-lamanya.
(BTA 00.33.01 detik).
SNS 13
“Aso kamu satu-satunya anak laki-laki Tetta, sudah takdirnya bila I La
Sangrego ini jatuh ke tanganmu. Tetta memberikan badik pada kau untuk
mencari mereka. Mencari Andiknu Tenri, dan laki-laki yang membawanya
pergi. Gunakan badik ini untuk menunaikan tugasmu, bukan untuk tujuan
lain. Bukan untuk menghadapi orang-orang yang tidak ada urusannya,
dengan tugasmu. ....Eeeegh bawa ILaSanrego....
(BTA 00.33.49 detik)
183

SNS 14
“Tetta sakit pasti karena saya, saya tidak bisa memaafkan diri saya kalau
terjadi apa-apa pada Tetta. Ya Allah, aku ingin lihat dia, aku ingin ketemu
Tetta, aku ingin Tetta tahu, aku mencintai sepenuh hati. Kamu ingin
ketemu Tettamu, kamu ingin pulang? Kita bisa pulang kalau kamu mau.
Tapi? Bagaimana dengan kamu? Saya akan minta maaf, mohon ampun,
pada Tetta, pada ammak, daeng Aso. Pada semuanya meskipun aku
harus mati menerima semua akibat itu. Saya akan terima dengan Ikhlas
Tenri.
(BTA 01. 02.50 detik).
SMSS 1
“... O amma angrong katuwo simpirik kurasa linoku punna ammatang kinjaa
ri Mangkasarak, narapimi kutaeng nipas-sukkuk pappasangna tau towaku
angciniki butta passo-longanna cerakku, bata-bata a kusakring kagassing ka
bijangnu ri Padang tena natarima bajiko, teamaki bata-batai ka anak
kalengnaka anne pendekar Sutan tanntu natarima bajika. Pammoporanga
amma tabe Appala kanaa rong ri tau towaku.
(TKVW durasi 00.02.00.detik)
SMSS 2
“Zainuddin jangan pernah bersedih, jangan putus asa. Cinta itu bukan
melamahkan hati bukan membawa tangis, bukan membuat putus asa,
sebaliknya cinta itu menguatkan hati menghidupkan harapan. Zainuddin,
pergilah semoga Tuhan memberikan perlindungan kepada kita berdua
(TKVW 00. 21. 05 detik )
SMSS 3
“Saya tetap menunggu carilah kebahagian kita kemanapun kau pergi saya
tetap untukmu. Dan jika bertemu nanti...saya tetap bersih, dan suci,untukmu
kekasihku. Untukmu. Baiklah Hayati saya akan pergi dengan penuh harapan.
Harapan yang sebelum kamu berdiri di sini sudah habis. Hayati kirimkn
surat untukku, dan kalau tidak berhalangan maka surat itu akan saya balas
pula. .... Berilah saya satu tanda mata, Azimat dalam hidup saya. Dan akan
kuletakkan dalam kafanku kalau aku mati, walaupun baranng itu murah.
(TKVW 00. 25. 10. detik )
SMSS 4
“……….Engku harus bangkit. Coba Engku lihat dunia yang luas di sana dan
masuk ke dalamnya, di sana masih banyak ke-bahagian dan ketenteraman
tersimpan. Engku pasti bisa melakukannya. Cinta bukan mengajarkan kita
menjadi lemah, tetapi cinta mengbangkitkan semangat. Tunjukkan kepada
perempuan itu bahwa Engku tidak akan mati lantaran dibunuhnya
TKVW (Durasi 01. 03.20).
SMSS 5
“.....semangat, ia semangat, banyak orang hebat yang gagal dalam
percintaan. Mereka mengubah hidup, maju dalam politik, mengarang buku,
mengubah puisi dalam perjuangan hidup. Sehingga dia di atas puncak yang
tinggi. Dan perempuan perlu mendongak memandang mereka dari bawah.
Saya tahu Awak pandai mengarang, banyak buku di meja awak. Banyak
karangan dan hikayat, kenapa Engku tidak teruskan itu.....
(TKVW 01.05. 25 detik)
184

SMSS 6
Mulai sekarang saya akan perbaiki jalan pikiran saya kembali. Dan juga
hidup saya. Saya tidak akan mengingat Hayati lagi. Saya akan melupakan
dia. Tetapi, apa Engku. Kalau saya mau maju, mau memperbaiki hidupku
lagi. Saya tidak bisa tinggal di sini selamanya. Saya tidak ingin Kota Padang
ini mengingatkan saya kembali, pada masa lalu saya. Saya akan pindah ke
Pulau Jawa....
(TKVW 1.06.06)
SMSS 7
“Zainuddin dan Muluk Meninggalkan kota Padang menuju Batavia (pulau
Jawa). Batavia Bang Muluk, Batavia Engku. Kita sudah tiba, di surga dan
banyak gadis cantik cepat dapat jodoh Engku.
(TKVW 01. 08.16 detik).
SMSS 8
Ah, tuan Zainuddin menjadi orang terkenal sekarang, iya, ah, jangan berkata
begitu, Bang Muluk. Bang Muluk pun turut membantu saya, Tuan Zainuddin
sudah terkenal, belilah baju baru, masa baju robek begini masih dipakai
Engku. Iya nanti di rumah saya jahit. Bang Muluk. Ah, lebih baik beli baju
baru. Kalau dijahit terus, bisa jadi tangan Zainuddin terluka kena jarum. Nanti
tuan tidak bisa menulis.
(TKVW 01. 15. 57 detik).
SMSS 9
…Kalau begitu dimana kita bisa beli, bang Muluk tahu tempatnya? Lihat itu,
itu tempatnya. ....Mari kita masuk. Tolonglah kawan saya dipermak. Baju,
celana, sepatu, ganti semua model baru.
“Sesudah ini kita beli mobil” kata Muluk. “Mobil” kata, Zainuddin, Zainuddin
ini orang sukses, masa mau naik kereta terus. Tapi saya tidak bisa setir
bang muluk. Ah, nanti ajar.
(TKVW 01. 17. 20 detik).
SMS10
“Saya mau bertanya kenapa rumah sebesar ini begitu murah” ini rumah
disita bank pemiiknya melakukan beberapa penipuan..... Baiklah pak saya
akan beli. Semua urusan Bang Muluk akan urus.
(TKVW Durasi 01.23.10)
SMSS 11
Bagaimana kalau sujud dan mencium kaki Tetta, apakah hati Tetta akan
luluh, Mak. Tenri tidak ada karang di perairang Bira sampai di Selayar, yang
bisa mengalahkan kekerasan hati Tettanu. Kalau dia sudah berketetapan
hati, dia tidak akan lunak dengan cara apa pun.
(BTA 00.20. 10 Detik)
SMSS 12
“Zainnuddin, saya tidak akan pulang, saya tetap tinggal di sini, biar kamu
hina saya, sebagai babu yang hina. Saya tidak butuh uang berapapun
banyaknya saya hanya mau dekat dengan kamu, Zainuddin. “Tidak” kata
Zainuddin, pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.
Awak meski pulang ke kampung halaman.
TKVW Durasi 02.04.00
185

SMSS 13
“Sebagai orang yang baik hatinya Zainuddin menghormati Enci sebagai istri
orang lain. Meskipun orang itu pernah menya-kitinya. Kata Muluk kepada
Hayati.
(TKVW 01.53. 16 detik).
SMSS 14
“Sebagai orang yang baik hatinya Zainuddin menghormati Enci sebagai istri
orang lain. Meskipun orang itu pernah menya-kitinya. Kata Muluk kepada
Hayati.
(TKVW 01.53. 16 detik).

SMSS 15
“Aku mohon maaf Tetta karena kehendakmu tidak lagi kupatuhi semoga
kamu bahagia di alam sana. Kami yang masih hidup ini akan menjaga
cintamu dengan doa-doa kami”.
(BTA 01.17.55 detik).
SMSS 16
Pammoporanga Amma, tabe appala kanaa rong ri tau towaku. Nia nabolikan
ko doi tau towano sisabbu golodeng ia minjo nipake ampakatuwoko
sikamma sallona siagang ampakalebbaki sikolang-nu. Kipakemi tulusu
a,gang kamma biasa kipag-gannagkamma untuk kaparalluang ilalang
lampaku abbilangganji tu kupake siagang katallasangku ri padang ” ,kata
Zainuddin.
(TKVW 00.03. 02 detik).
SMSS 17
Zainuddin, pergilah semoga Tuhan memberikan perlindungan kepada kita
berdua! ……Biar Tuhan mendengarkannya, Zainuddin yang akan menjadi
suamiku kelak, jika di dunia ini, awaklah suami saya di akhirat. Saya tak
akan khianati janji saya, tidak akan berbohong di hadapan Tuhan, disaksikan
oleh arwah nenek moyangku. Berat sekali sumpahmu Hayati, (ucap
Zainddin). Tidak berat karena itulah hakikatnya.
(TKVW 00. 21.15 detik).
SMSS 18
Hayati Siapa dia lelaki yang kita jumpa diluar tadi (kata Azis), namanya
Zainuddin Lelaki yang saya selalu ceritakan. Itu rupanya lelaki yang selalu
kamu ceritakan Ati? Kawan Anak itu alim, nonton pacuan kuda saja seperti
anak mengaji.
(TKVW 00. 40, 14 detik).
SMSS 19
“Ini saya Zainuddin kekasihmu. Kau akan sembuh. Kita akan pulang. Kita
akan pulang ke Surabaya. Zainuddin....... Hayati ...... Hayati...... Hayati.......
Bang Muluk Surat. Sudah Encik. Zainuddin kekasihku. Aku butuh dekat
dengan kau...... Tidak Hayati, kau akan sembuh......... Kita pulang ke
Surabaya. Kita akan menikah. Kita hidup berdua. Kebahagiaan cinta ada di
depan kita...........Cahaya kematian telah terlihat di mukaku. Jika aku mati
aku bahagia karena aku tahu kau masih mencintaiku. Hidupku hanya
untukmu seorang Hayati. Aku tahu.”
(TKVW 02. 20. 59 detik)
186

SMSS 20
“Bacalah dua kalimat suci itu di telinga saya , Zainuddin. Jangan pergi, awak
perlukan awak di sisi saya. Bacakanlah, dua kalimat suci itu di telinga saya ,
Zainuddin. Saya mencintai awak Zainuddin, biar hati kita dirahmati Tuhan.
Bacalah dua kalimat suci itu di telinga saya “Asyhadu Allah ilaha Illallah, Wa
asyhaduanna Muhammadarrasulullah. Sekali, lagi. Sekali, lagi.
(TKVW 02. 24. 02 detik).

TS 1
Heee bawa ilasanrego.... Tetta, saya
akan lakukan apa pun demi nama baik
keluarga. Bagus, bagus Aso, Aso kamu
anak laki-laki jangan pernah kecewakan
Tetta. Masalah keluarga ini harus
diselesaikan dengan tuntas, untuk
selama-lamanya.

(BTA 00.33. 01 detik).

TS 2 “Memalukan saja” kata Datuk. Mau menghina kami. ....Tidak ada gunanya
menerima Zainuddin, ibu kandung Zainuddin bukan orang Minangkabau,
Ayah Zainuddin itu pendekar Sutan, dia juga orang Minang, jangan banyak
bicara kau anak muda, kau tidak mengerti adat, Zainuddin itu akan
mencoreng malu di kening kita. Tidak baik kita menghina orang hanya
karena suku, dan negerinya berbeda dengan kita, karena sesungguhnya
setiap negeri berdiri dengan adat masing-masing.
(TKVW 00.46 01 detik)

TS 3 ...... “Hayati kekasihku bagaimana kejadian sebenarnya sudah ditutupkah,


benarkah sudah putus pertalian kita” ucap Zainuddin. Ingantkah yang kita
pernah berjanji sehidup semati?
(TKVW Durasi 49.23 detik).

TS 4 Hayati “Saya harap awak lupakan segala yang telah terjadi, maafkan
kesalahan dan kelalaian saya, Hayati.
(TKVW Durasi 55.03)
TS 5
“Zainuddin, Awak sudah milik orang lain. Awak sudah lepas dari genggaman
saya, haram saya menyentuh tangan awak. ....Keluar kamu semua,
tinggalkan saya sendiri disini. Saya tidak punya hubungan dengan orang itu.
(TKVW 01 01, 02 detik)
TS 6
Bukankah kamu yang meminta dalam suratmu untuk menghapus dan
melupakan cinta kita? saya hanya mengikuti permintaanmu. ...permintaan
itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kamu bukan kekasihku, bukan
tunangangku, bukan istriku, tetapi janda dari orang lain. Maka sebagai
seorang sahabat saya akan memegang teguh janjiku dalam persahabatan
itu. Sebagaimana teguhnya saya memegang cinta saya dulu. Itulah
sebabnya saya dengan segala kerendahan hati, aku bawa Hayati tinggal di
187

rumah ini, untuk menunggu kepulangan suamimu. Tetapi bukan dirinya yang
pulang. Tetapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka itu sebagai
sahabat pula kamu akan saya hantar ke kampung halamanmu, ke tanah
asalmu, tanah Minangkabau yang kaya-raya, tanah beradat.
(TKVW 02.02. 02 Detik).
PC 1
“Hayati pulangnla dulu pakai payungku ini, ambillah, jangan ditolak
pertolongan orang tidak elok tu...berangkatlah supaya orang rumah tidak
risau. Terima kasih Zainuddin saya pergi dulu, ucap Hayati.
(TKVW 00. 08. 20 detik).
PC 2
Assalmu alaikum bersama adik saya Ahmad saya kembalikan payung yang
saya pinjam alangkah besar terima kasih saya kepada tuan. Tak dapat disini
saya nyatakan..., tutur Hayati
(TKVW 00. 11. 27 detik).

PC 3
“Jangan segan anggap rumah sendiri, terima Kasih Tuan. Tidak dapat
membayangkan keadaan kami, sekiranya Tuan Zainuddin tidak membantu
saya. Kita ini teman lama. memang Sepatutnya saling membantu. Muluk
akan menunjukkan kamar kamu. Semua yang ada di rumah ini milik kalian
juga. Kecuali satu. Saya minta tolong kamu jangan masuk ke kamar kerja
saya. Nanti kamar itu ditunjukkan sama bang Muluk. Terima kasih Engku
Zainuddin.
(TKVW 01.39.35 detik).
PC 4
Sudah! Makanlah, kalau perut terisi pikiran akan jernih. .....Saudara
Zainuddin, budi baik saudara sangat besar, seminggu saya sakit, dan sudah
sebulan Zainuddin izinkan saya dan istri saya tinggal menumpang di rumah
ini. Lemah benar keadaan saya sekarang. Saya tidak dapat membalas
kebaikan Zainuddin.Saya memohon kepada Tuhan agar tidak melupakan
jasa Saudara Zainuddin dan tertulis di sisi-Nya. Itu bukan jasa. Hanya
kewajiban seorang sahabat, terhadap sahabatanya. Apalagi hidup kita di
rantau. Kita wajib membantu satu sama lain. Belum pernah saya membantu
saudara.....”Mungkin lain waktu saya ditolong Abang” kata Zainuddin.
(TKVW 01.40. 59 detik).
PC 5
Tapi saya risaukan tuan Aziz, karena belum sembuh sepenuhnya. Hanya
karena malu dan mau pergi, lebih baik tahan dahulu, hingga benar-benar
sembuh dari sakitnya. ....Bagaimana kalau Aziz dan Hayati pulang ke
Padang biaya akan saya bayar. ....Nasihat saya hanya satu ubahlah haluan
hidup.
TKVW 01.44.55 detik).
PC 6
“Sekarang ia menjadi seorang yang sangat pengasih, penyayang dan
berbelas kasihan terhadap sesama, yang datang padanya anak muda yang
kekuarangan ongkos, untuk menikah. Meminta bantuan kepada Zainuddin.
Lalu ia berikan uang secukupnya kepada mereka, untuk pernikahan mereka.
Karena katanya “Karena saya merasakan sendiri bagaimana pengaruhnya
terhadap diri saya lantaran harapan hilang”. Kasih yang tidak sampai biarlah
188

anak muda itu tidak menanggung apa yangpernah saya tanggung”. Kata
Muluk. “Cukup Bang Muluk” ucap Hayati. Jangan diteruskan lagi.
(TKVW 01.50 .35 detik).
PC 7
“Tunggu” kata amma. Tenri, Aso. “Dengar Amma! Aso, Tenri, sebentar lagi
amma mau menguburkan Tettanu , tapi, apa kalian pikir, amma sanggup
menjalani hidup, jika amma hari ini harus juga menguburkan anak, menantu,
dan cucuku.
(BTA 01.14.09 detik).
PC 8
Dari hati anak-anakmu, Tenri anak kita, biji matamu yang kau sayangi yang
sudah melakukan kesalahan terbesar, tetapi apakah kita sebagai orang tua
tidak mempunyai andil dalam memupuk dan membesarkan kesalahan itu.
“Selama aku hidup dan tinggal di rumah ini tidak akan ada kebencian
bertathta di hati, karena itu dengan menyebut nama Allah yang maha
pengasih dan maha penyayang aku nyatakan seluruh perselisihan ini usai di
sini” ucap mama Tenri.
(BTA 01.17. 04 detik).

LT 1 “Anjo anua ......bassia pale-


anginjo.....palesangi.... sambei
kayu.... ya sambei kayu (perintah Dg.
Limpo sebagai mandor di antara
suara ketu-kan palu para buruh
pembuat perahu).
BTA ( 00. 11. 28 ).

LT 2
“Aso sejak kecil saya selalu
menasihatimu tentang pentingnya
menjaga sirik, bukan hanya harkat dan
martabatmu sendiri. Tapi juga harkat
dan martabat keluar-gamu. Tenaja
nukaluppai? Tidak Tetta” Tutur Andi
Aso! Sekarang Andiknu lari bersama
laki-laki tindankannya itu appakasirik.
Mempermalukan keluar-ga kita
nipakasirik. .......Cari mereka
selesaikan sesuai adat kita.
(BTA Durasi 00. 22. 02 detik).

LT 3 “Bagaimana kabarta Karaeng wah!


lama sekali baru kulihat.
Bagaimanami Andi Tenri Kara-eng ,
apakah dia sudah kem-bali Karaeng,
kapan pestanya ini Karaeng! “Kurang
ajar” ,...kata Karaeng Tiro, yang tidak
menerima ucapan itu
189

(BTA Durasi 01. 22.09 detik).

LT 4 Oo amma! anjo butta Padang jai


ampaka labbiriki, jai tau angkana
anjo agama islam antama rimang-
kasarak naka-na tawua battu i
ripadang. Jai toi sikolah agama.
(TKVW durasi 00. 03.01 detik).

LT 5 Siapa itu? Awak cari siapa malam-


malam begini? Maaf saya mencari
rumah Mande Jamilah! Saya Jamilah,
Awak ni siapa? Saya Zainuddin dari
Makassar. Zainud-din, anak si sutan!
Ya Mande (mak cik). Silakan masuk!
Tabe (maaf). Apakah tujuan kamu
kemari? Apa ada amanat ayah
sebelum meninggal? .... yang perlu
kamu sampaikan? Tidak ada Mande.
Saya hanya mau menyambun tali
silaturahmi. Saya ingin menyambangi
keluarga ayah di negeri Batipu ini.
(TKVW durasi 00.04. 30 detik)

Anda mungkin juga menyukai