Anda di halaman 1dari 11

Online Dispute Resolution (ODR) sebagai

Penyelesaian Sengketa E-Commerce

Tugas Mata Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen

Oleh:
Nama: Michelle
NPM: 6051901309
Kelas C
PENDAHULUAN

Transaksi perdagangan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung


yakni melalui media internet (dunia maya). Globalisasi dalam dunia ekonomi,
khususnya perdagangan semakin dimudahkan dengan adanya internet
(interconnected networking) sebagai media komunikasi yang cepat. Transaksi yang
melalui pengembangan perdagangan dengan tanpa tatap muka dengan
memanfaatkan fasilitas internet telah mengubah dunia bisnis dari pola perdagangan
tradisional menjadi sistem perdagangan yang lebih modern, yakni sistem
perdagangan secara online dan dikenal dengan istilah electronic commerce (e-
commerce).

Sistem perdagangan dengan memanfaatkan sarana internet (e-commerce) selain


disebabkan adanya perkembangan teknologi informasi, juga lahir atas tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, dan praktis. Keberadaan
transaksi e-commerce menawarkan praktek dagang yang praktis dan cepat bagi
pihak penjual dan pembeli, serta mampu mempertemukan banyak pihak yang
datang dalam wilayah berbeda dalam suatu wadah tanpa batas (bordeless).

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memproyeksikan bahwa pada


tahun 2015 pengguna internet di Indonesia mencapai ± 139 juta pengguna. Dengan
angka tersebut dapat kita perkirakan jika saja 30% dari pengguna internet di
Indonesia melakukan transaksi perdagangan secara elektronik (e-commerce) maka
angka yang muncul yaitu ± 42 juta pengguna akan melakukan transaksi perdagangan.
Angka ini pun apabila diperkirakan 10% transaksi berpeluang terjadi sengketa maka
±4,2 juta kasus sengketa akan muncul dan perlu diselesaikan dengan cepat, efektif,
dan efisien dengan pertimbangan bahwa pihak yang bersengketa dipisahkan oleh
letak geografis yang cukup jauh.

Sengketa yang dapat ditimbulkan biasanya berisi tentang gugatan yang berkaitan
tentang kerugian dan wanprestasi yang alami, mekanismenya adalah seseorang
penggugat mengajukan gugaatanya melalui pengadilan namum hal ini tentu akan
memakan waktu dan tenaga sehingga penyelesaian sengketa ini bersifat
konvensional atau tradisional, maka daripada itu di zama sekarang dengan
kelengkapan teknologi dan informasi diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang positif dalam menyelesaiakan berbagai sengketa perdangan yang dikenal
dengan istilah e-commerce.

Dengan menerapkan Online Depute Resolution (ODR) dalam e-commerce maka hal
ini diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan dan permasalahan secara
cepat dan akurat sehingga tidak ada lagi kepastian hukum yang dapat menimbulkan
konflik di lingkungan masyarakaat, dengan menggunakan ODR sengketa transakasi
online diselesaikan secata online juga.

Terkadang penyelesaian sengketa dijalankan secara rumit dan berbelit – belit, hal ini
lah yang menjadi salah satu faktor atau pemicu timbulnkan Online Dispute
Resolution (ODR) sebagai bagian dari penyelesaian konflik tersebut agar daoat
diselesaikan secara cepat, tepat dan akurat serta mendapatkan kepastian hukum
yang jelas.

Perbedaan melakukan penyelesaian sengketa atau masalah perdagangan elektronik


ini memang mempunyai cara yang berbeda dengan melakukan penyelesaian di
setiap konfliknya terlihat bahwa dalam penyelesaian konflik dengan sistem
konvensional atau tradional memerlukan wkatu yang cukup lama sedangan apabila
penyelesaian menggunakan mendia online atau internet, maka waktu yang
dibutuhkan sudah jelas singkat dan tidak berbelit – belit, sehingga konflik bisa
diselesaikan di hari itu juga.

Dalam beberapa negara di dunia telah menerapkan dan menerapkan Online Dispute
Resolution (ODR), namum di negara Indonesia belum sepenuhnya di aplikasikan di
kehidupan nyata.

PEMBAHASAN

Konsep Online Dispute Resolution (ODR) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun


1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Segketa.

Dalam hal di bidang pembaharuan dan pembangunan masyarakat Indonesia salah


satunya adalah konsepsi pemikiran dimana hukum dijadikan sebagai sarana
pembaharuan adalah sebuah keharusan mutral sementara di mata hukum lainya. Hal
ini dapat dijadikan sebagai penjalur arah kegiatan manusia sebagaimana yang ia
kehendaki oleh pembaaruan tersebut.

Semntara itu di dalam pasal 1 nomor 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999


menyebutkan bahwa pola – pola dalam penyelesaian sengketa perdagangan
elekronik di luar pengadilan adalah antara lain :

1. Konsultasi
2. Negoisasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Penelian Ahli (Expert)
6. Arbitrase (Perwasitan)

Kemudian dalam melakukan penyelesaian e-commerce atau sengketa elektronik


pada dasarnya termasuk dalam ranah hukum perjanjian sehingga berlaku asas
kebebasan berkontrak artinya pilihan hukum dan pilihan forum dalam
menyelesaikan sebuah sengketa akan digunakan apabila terjadi keperdataan
diantara mereka.

Seperti diketahui, mekanisme ODR dalam hukum nasional untuk menangani


pelanggaran data pribadi belum memiliki rumusan konseptual yang jelas dan rinci.
Namun secara garis besar, dalam praktiknya, subjek hukum yang terlibat dalam
penggunaan ODR terbagi menjadi tiga pihak, yaitu pertama, pengguna jasa.
Pengguna layanan pada platform ODR dalam kasus perdata dan bisnis adalah pihak
yang bersengketa. Pihak yang bersengketa terdiri dari konsumen (pengguna aplikasi,
baik pembeli, maupun penjual) yang merasa haknya dirugikan dan penyelenggara
aplikasi digital yang diduga melanggar atau menyalahgunakan kewenangannya yang
berimplikasi pada hak konsumen. Pihak kedua yang berperan adalah penyedia dan
operator layanan ODR sebagai fasilitator penyelesaian sengketa. Penyedia layanan
ODR dapat dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah.

Menurut Joseph W. Goodman, tiga model ODR yang banyak diterapkan oleh
masyarakat internasional, yaitu full automatic cyber, menggunakan software dan
fasilitator, serta menggunakan teknologi online . Dalam model cyber yang
sepenuhnya otomatis, penyelesaian sengketa dilakukan oleh sistem perangkat lunak
yang berperan secara otomatis mempertemukan pihak pelapor dan pihak terlapor
hingga tercapai kesepakatan. Sedangkan model penggunaan perangkat lunak dan
fasilitator terdiri dari beberapa tahapan, antara lain pertama, penunjukan pihak
ketiga sebagai fasilitator yang bertindak sebagai perantara para pihak yang
bersengketa untuk memberikan usulan model negosiasi yang sesuai dan menyusun
tuntutan yang diajukan dalam proses ODRnya. Kehadiran arbiter atau pihak ketiga
sebagai fasilitator penyelesaian sengketa tetap menjadi kunci penting dan tidak
dapat langsung digantikan oleh perangkat teknologi. Kemudian software pada
platform ODR akan mengidentifikasi tuntutan para pihak untuk mencari solusi.
Pendekatan penggunaan teknologi online menerapkan beberapa fitur layanan
berupa email, video conference, chat room, dan instant messaging. Konsep
penggunaan teknologi online biasanya menggunakan tiga cara penyelesaian, yaitu
negosiasi, arbitrase, dan mediasi.

Merujuk pada norma hukum dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa sebagai dasar awal untuk memungkinkan penerapan ODR
dalam praktik non-litigasi, konsep pemanfaatan teknologi online merupakan skema
yang paling dekat dengan ketentuan peraturan ini. Ini dapat digunakan sebagai opsi
untuk menyelesaikan sengketa perdata atas penyalahgunaan data pribadi konsumen
oleh platform e-commerce. Dalam penggunaan sistem teknologi online biasanya
diawali dengan adanya laporan klaim kerugian oleh konsumen yang hak privasinya
dilanggar oleh perusahaan platform e-commerce sebagai pihak terlapor.
Permohonan diajukan ke lembaga penyedia layanan ODR. Kemudian pihak
penyelenggara ODR akan mengirimkan notifikasi melalui email kepada pihak terlapor
yaitu perusahaan penyedia layanan platform digital atas tuntutan yang diajukan oleh
konsumen.

Selanjutnya, perusahaan platform e-commerce sebagai pihak terlapor akan


menerima tawaran penyelesaian sengketa dan memberikan gambaran hasil akhir
yang dimaksud dan mengusulkan pemilihan pihak ketiga sebagai fasilitator.
Menanggapi hal tersebut, operator platform ODR akan meneruskan laporan
permintaan penunjukan fasilitator yang akan dimintai persetujuan atau penolakan
dari konsumen. Jika pelapor setuju, permintaan akan diteruskan ke fasilitator.
Fasilitator berkewajiban mengkaji permohonan penyelesaian yang diharapkan oleh
masing-masing pihak dapat menemukan jalan tengah yang ideal bagi para pihak yang
bersengketa. Peran fasilitator berperan dalam menjembatani para pihak untuk saling
bernegosiasi untuk menemukan titik temu penyelesaian sengketa. Apabila pelapor
dan terlapor mencapai kesepakatan, maka penyelenggara ODR akan mengumumkan
hasil keputusan tersebut kepada para pihak yang bersengketa. Kekuatan mengikat
keputusan penyelenggara ODR sangat ditentukan oleh varian mekanisme yang
dipilih oleh para pihak. Jika keputusan ODR yang merupakan hasil dari metode
negosiasi dan mediasi umumnya tidak mengikat secara hukum. Bahwa putusan ODR
dengan model arbitrase dapat mengikat secara hukum, namun pelaksanaan putusan
tersebut harus menempuh jalur pengadilan terlebih dahulu. Namun, jika
kesepakatan para pihak yang bersengketa gagal terwujud, para pihak dapat
mengajukan gugatan kembali atau melanjutkan penyelesaian sengketa melalui jalur
litigasi.

Dalam praktik penanganan pengaduan pelayanan konsumen di Indonesia,


masyarakat diberikan berbagai pilihan dalam hal forum penyelesaian sengketa
sektoral antar instansi pemerintah. Konsumen wajib mengidentifikasi terlebih dahulu
kasus pelanggaran haknya sebelum menentukan lembaga mana yang dapat
dikunjungi untuk mengajukan pengaduan. Hal ini menyebabkan masyarakat sebagai
konsumen enggan untuk mengajukan pengaduan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Menyikapi hal tersebut, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
membentuk platform digital untuk melayani pengaduan pelanggaran konsumen
termasuk dalam kasus transaksi ecommerce untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan melalui aplikasi digital. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian
Perdagangan, jumlah pengaduan yang terdaftar mencapai 1.771 kasus yang terdaftar
di platform . Namun, program ini hanya berlangsung setahun karena lemahnya
koordinasi antar instansi pemerintah terkait pengelolaan server dan kewenangan
penanganan perkara.

Penyelesaian sengketa pelanggaran data pribadi konsumen melalui ODR juga


dilakukan secara internal (self-regulation) oleh penyelenggara sistem elektronik.
Media yang digunakan adalah pada server milik perusahaan platform e-commerce.
Hal inilah yang dipraktikkan pada beberapa website perusahaan e-commerce
marketplace di Indonesia seperti Tokopedia. Platform digital milik Tokopedia
memberikan kebijakan privasi serta syarat dan ketentuan bagi pengguna untuk
menyelesaikan perselisihan bisnis antara penjual – pembeli dan perusahaan
penyelenggara marketplace. Syarat dan ketentuan yang diatur secara digital tersebut
meliputi beberapa hal diantaranya adalah pilihan hukum yang akan digunakan untuk
menyelesaikan sengketa pada server aplikasi perusahaan e-commerce. Namun,
yurisdiksi hukum yang digunakan terbatas pada hukum yang berlaku di wilayah
Indonesia, sehingga sulit diterapkan untuk transaksi ecommerce yang terjadi lintas
negara.

Penggunaan ODR terbatas pada sektor perbankan melalui lembaga alternatif


penyelesaian sengketa, yang berfungsi sebagai penunjang dalam mendukung
pendokumentasian data, korespondensi, dan kemungkinan komunikasi dengan
menggunakan e-mail terkait pengiriman surat dari sekretariat LAPSPI (Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia). Institut Alternatif) untuk pihak yang berselisih.
Pengaturan penggunaan teknologi informasi dalam penyelesaian sengketa
perbankan oleh LAPSPI telah diatur untuk jenis ajudikasi (Peraturan LAPSPI
No.8/LAPSPIPER/2015) dan mediasi (Peraturan LAPSPI No.7/LAPSPI-PER/2015),
namun mekanisme arbitrase belum mengatur ketentuan.

Manfaat Resolution Penerapan Online Dispute

Mekanisme penyelesaian sengketa secara online membebaskan penentuan dan


penggunaan pilihan hukum, kemudian banyak menawarkan efektifitas dan efisiensi
yang besar dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara konvensional,
khususnya biaya yang terkadang jauh lebih mahal dari proses litigasi dapat
diminimalisir.

Penyelesaian sengketa secara online atau ODR sendiri serupa dengan alternatif
penyelesaian sengketa, hanya saja dalam ODR, pendaftaran perkara, pemilihan
arbiter/mediator, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, permusyawarahan
arbitrator/mediator, serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara
online.

Dalam situs penyedia jasa Online Resolution (www.odrnews.com), Dispute arbitrase


online bekerja seperti di persidangan dimana arbitrator bertindak sebagai hakim
yang setelah mendengarkan para pihak dapat menjatuhkan putusan yang bersifat
mengikat ataupun tidak mengikat tergantung persetujuan para pihak. Teknis
penyelesaiannya dilakukan secara online melalui jaringan internet sehingga para
pihak tidak harus bertatap muka secara langsung dengan arbitrator karena dapat
menggunakan fasilitas yang telah disediakan oleh penyedia jasa layanan (provider)
seperti e-mail, video conferencing, radio button electronic fund transfer, web
conference, online chat dan teknologi informasi lainnya. Keuntungan bagi konsumen
dan pelaku usaha transaksi e-commerce dalam penyelesaian sengketa melalui ODR,
antara lain:

1. Time and Cost Savings

Penyelesaian sengketa secara online tentunya dapat mengefisiensikan waktu bagi


para pebisnis antar negara yang terlibat dalam suatu sengketa yang timbul dari
aktifitas bisnis/perdagangan internasional secara online. Penggunaan internet untuk
menyelesaikan suatu sengketa dapat mempercepat prosedur penyelesaian sengketa
para pihak, hal ini dikarenakan ODR memberikan kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan waktu untuk proses penyelesaian atau dapat disebut bahwa ppara
pihak memiliki waktu yang fleksibel dalam menyelesaikan sengketa. Prinsip “Time is
Money” merupakan hal yang terpenting bagi para pebisnis lintas negara,
penyelesaian sengketa yang tidak perlu adanya suatu pertemuan akan memudahkan
bagi pebisnis yang terlibat sengketa, selain pebisnis tersebut dapat menyelesaikan
sengketanya secara online, sebagian waktunya dapat ia sisihkan untuk tetap bekerja.
Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan dasarnya. Pihak-pihak dan pihak netral
tidak perlu melakukan perjalanan untuk bertemu, mereka tidak perlu ada di waktu
yang sama, jangka waktu antara penyerahan dapat singkat, penyelesaian dapat
berdasarkan dokumen saja. Selain itu, dikarenakan tidak adanya suatu pertemuan
untuk menyelesaikan sengketa, mengingat pada para pihak ini dibatasi jarak yang
jauh, maka para pihak dapat menghemat/menyimpan uang (cost savings)
dikarenakan tidak adanya keperluan akomodasi untuk saling sengketanya.

2. Convenience of the Procedure ODR

ODR menyediakan penggunaan komunikasi yang menggunakan sistem


asynchronous. Yang dimaksud dengan “Asynchronous” merupakan sistem teknologi
informasi dan komunikasi yang menunjang penyelesaian sengketa melalui ODR
dengan memanfaatkan program yang terkendali untuk pengguna tanpa harus
menunggu proses dan tidak memakan waktu yang lama. Sistem ini memudahkan
para pihak untuk saling bertukar pendapat tanpa harus saling merasa terintimidasi.
Biasanya para pihak yang bersengketa enggan melakukan pertemuan dengan pihak
lawan, hal ini dikarenakan pada umumnya pihak yang dituntut memiliki perasaan
takut akan diintimidasi oleh pihak lawan. Jika para pihak enggan melakukan tatap
muka, dapat menghindari pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat
menghindarkan diri perasaan takut akan diintimidasi dalam proses. Hal ini
merupakan persoalan psikologis.

3. Selection of The Third Parties

Manfaat ODR lainnya adalah dalam hal proses penunjukan arbiter. Pada ODR para
pihak dapat mengontrol lebih atas proses (misalnya pemilihan waktu) dalam
menyelesaikan sengketanya tersebut. Selain itu para pihak dapat memilih pihak
ketiga yang dirasa tepat untuk menyelesaikan sengketanya dan menentukan
prosesnya.

Adanya alasan kurangnya efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa yang


konsensual dan non-adjudikatif, adjudikasi di pengadilan yang seringkali tidak
kooperatif karena pertentangan antara teritorialitas pengadilan dan karakter global
ruang maya (cyberspace), serta penyelesaian sengketa secara online (ODR) lebih
efektif dan tanpa melihat teritorial, menjadikan penyelesaian sengketa melalui ODR
diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar untuk penyelesaian sengketa
dalam ruang cyber.

Selain prinsip kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan


memilih hukum juga menjadi prinsip yang mendasar dalam menyelesaikan sengketa
terkait perdagangan. Prinsip ini merupakan sumber di

mana pengadilan akan memutuskan sengketa berdasarkan prinsip keadilan,


kepatutan atau kelayakan atas suatu penyelesaian sengketa terkait perdagangan
tersebut.Prinsip kebebasan memilih hukum ini tidak mutlak diberikan oleh para
pihak.

Kebebasan memilih hukum (lex cause) tentunya dibatasi dengan beberapa


ketentuan yaitu dalam memilih hukum haruslah hukum yang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau ketertiban umum, kebebasan tersebut harus
dilaksanakan dengan iktikad baik, hanya berlaku untuk hubungan bisnis (kontrak),
hanya berlaku dalam bidang hukum bisnis (dagang), tidak berlaku untuk
menyelesaikan sengketa tanah, dan tidak untuk menyelundupkan hukum.

Dengan demikian, apabila ODR diterapkan di Indonesia akan memberikan manfaat


antara lain: kerahasiaan para pihak terjaga, dapat menumbuhkan etika bisnis bagi
pengusaha, adanya kepastian hukum, waktu dan mekanisme yang cepat, murah dan
sederhana, pihak netral yang ahli di bidangnya, hubungan para pihak tetap harmonis
dan tidak berpihak. ODR juga meletakkan kebebasan masyarakat atau individu
khususnya untuk memilih hukum apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan
sengketanya.

Hambatan Penerapan Online Dispute Resolution (ODR) di Indonesia

Online Dispute Resolution (ODR) memerlukan para syarat tertentu agar dapat
diterapkan di Indonesia. Namun untuk saat ini, terdapat beberapa hambatan yang
dapat menghambat ODR dalam penyelesaian sengketa di Indonesia, salah satunya
adalah: Aturan hukum belum jelas Belum adanya aturan hukum untuk mengajukan
perkara/sengketa melalui sistem online. Akibatnya akan memunculkan kebingungan
bagaimana seharusnya para pihak akan mengajukan gugatan, melalui instrument
apa data- data mereka dapat dikirimkan, dan bagaimana perlindungan hukum
terhadap kerahasiaan data para pihak. Maka dari itu, perlu adanya penguatan
terhadap aturan perundang-undangan terkait dengan ODR ini.

ODR merupakan salah satu pilihan penyelesaian sengketa yang memiliki banyak
keunggulan dari segi biaya, waktu penyelesaian sengketa yang efisien, dan
dokumentasi proses yang baik dalam sistem virtual. Efektifitas pengaturan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam beberapa unsur yang saling
berkaitan yang disebut sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem
hukum yang baik sangat dipengaruhi oleh tiga komponen utama, yaitu substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Berdasarkan aspek substansi hukum, penggunaan ODR dalam penyelesaian sengketa


perdata atas pelanggaran data pribadi konsumen dalam transaksi elektronik di
platform belum memiliki aturan hukum yang mengatur baik aspek materiil maupun
prosedural. Sebagai negara yang menganut asas hukum negatif, penggunaan ODR
belum dapat diterapkan secara efektif dan menyeluruh di Indonesia karena belum
ada aturan tertulis yang secara khusus mengakomodirnya. Sebagaimana diketahui,
substansi aturan hukum yang bersifat material adalah hukum. Perlindungan Data
Pribadi yang menjadi regulasi utama untuk menjadi produk hukum materiil utama
dalam menangani pelanggaran dan atau penyalahgunaan data pribadi masih dalam
tahap Program Legislasi Nasional yang masih dibahas bersama antara DPR dan
Pemerintah. Akibatnya, RUU ini belum bisa diundangkan ke masyarakat sebagai
payung hukum penggunaan ODR untuk menangani kasus perlindungan data pribadi.
Kondisi ini menyebabkan kepastian hukum atas penggunaan ODR menjadi bias
karena pihak yang bersengketa dapat meragukan manfaat penyelesaian sengketa
dengan model ini dan cenderung menggunakan penyelesaian litigasi yang kurang
efektif untuk praktik bisnis.

Sementara dari sisi prosedural, terdapat kekosongan hukum yang mengatur tentang
cara pelaksanaan praktik prosedural melalui ODR terkait pemilihan aplikasi digital,
mekanisme prosedural, dan keamanan platform yang dioperasikan oleh lembaga
penyelenggara. Penyusunan standar prosedur hukum pelaksanaan ODR merupakan
persoalan yang harus menjadi perhatian sangat serius bagi penyelenggara. Seperti
diketahui, penggunaan ODR yang terhubung dengan sistem ICT sangat rentan
terhadap keamanan kerahasiaan/privasi para pihak yang bersengketa, masalah
impersonal, dan literasi penggunaan perangkat digital sebagai platform ODR. Aspek
keamanan kerahasiaan dan perlindungan privasi para pihak yang bersengketa,
termasuk semua jenis dokumentasi percakapan yang direkam, harus dijamin dengan
pengaturan yang membatasi mengenai pembatasan akses bagi pihak-pihak di luar
pihak yang bersengketa dan larangan bagi salah satu atau semua pihak yang
bersengketa untuk menyebarluaskan isi persidangan tanpa izin. izin penyelenggara.
Isu ini menjadi isu krusial mengingat pada awalnya ODR akan digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan data pribadi secara perdata, namun menimbulkan
permasalahan baru berupa pelanggaran terhadap data privasi para pihak yang
bersengketa.

Kelemahan kedua dari aspek substansi hukum acara adalah eksekusi putusan.
Seperti diketahui, jenis penyelesaian sengketa dalam ODR berbeda-beda sama
seperti praktik ADR, hanya fasilitas dan lokasinya yang dibedakan. Pelaksanaan
putusan perdata mempunyai catatan yang kurang baik, meskipun telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (In Kracht)16 . Seperti diketahui, salah satu model ODR yang
digunakan oleh perusahaan platform e-commerce yaitu penyelesaian online internal
antara pelaku usaha, penyedia, dan konsumen masih dipertanyakan validitas
keputusannya. Sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.
Masalah ini menjadi tantangan serius bagi pelaksanaan kekuatan mengikat
keputusan ODR yang sangat tergantung pada varian yang ditentukan dan disepakati
oleh para pihak yang bersengketa.

Peran lembaga memegang posisi penting dalam penanganan kasus. Dalam


prakteknya, ODR dapat dilakukan oleh berbagai lembaga, baik dari asosiasi swasta
maupun pemerintah (Badan Penyelesaian Sengketa Alternatif Independen di bidang
jasa keuangan) (Badan Arbitrase Nasional dan Badan Penyelesaian Konsumen)
tergantung pada pilihan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Keberagaman lembaga penyelenggara ODR berpotensi menimbulkan perbedaan
keputusan yang diambil oleh masing-masing forum atau lembaga, sehingga
mengakibatkan hilangnya kepastian hukum dalam kasus yang sama. Dalam
penyelesaian sengketa data pribadi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam
Sistem Elektronik, dimana prosedurnya mensyaratkan kehadiran Pemerintah sebagai
case breaker di luar pengadilan. Terhadap lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menangani kasus ini, diperlukan lembaga independen yang diberi mandat khusus
untuk mewujudkan transparansi dan netralitas. Sementara itu, RUU Perlindungan
Data Pribadi belum merumuskan subjek regulator dan penyelenggara penyelesaian
sengketa, karena belum ada rumusan yang disepakati Pemerintah dan DPR
mengenai konsep kelembagaan, yaitu membentuk lembaga baru yang independen
atau memperluas kelembagaan yang sudah ada. struktur otoritas di negara tersebut.

Selain itu, tantangan literasi hukum dalam penggunaan teknologi bagi para pihak
yang bersengketa dan pengelola sistem ODR merupakan tantangan dari sisi budaya
hukum. Dalam aspek hukum acara, legalitas pengaturan tata cara pelaksanaan ODR
yang belum terakomodasi secara rinci menimbulkan keraguan bagi masyarakat,
terutama mengenai sudut pandang legalitas penggunaan dokumen elektronik
sebagai alat bukti. Kepastian penggunaan tanda tangan elektronik juga belum
mendapat kepastian pengaturan dalam UU Arbitrase dan alternatif Penyelesaian
Sengketa. Selain itu, bagi praktisi hukum, penggunaan ODR mengalami kesulitan
untuk memprediksi kondisi psikologis para pihak yang bersengketa karena tidak
melakukan kontak tatap muka secara langsung.

KESIMPULAN

Prospek penerapan ODR disamping dalam rangka pembaharuan hukum di bidang


transaksi elektronik juga berkaitan dengan upaya menciptakan kepastian hukum
dalam penyelesaian sengketa online di Indonesia. Penyelesaian sengketa secara
online atau ODR ini memberikan manfaat dalam penyelesaian sengketa secara
online yakni, penghematan waktu dan uang, pihak yang menggunakan akses internet
lebih yakin dalam menghadapi proses yang akan dijalaninya, dan adanya faktor
psikologis. Selain itu, faktor non hukum juga menjadi acuan dalam penerapan sistem
ODR di Indonesia.

ODR yang mengandalkan kepercayaan di antara para pihak ini, dapat ditemukan
dalam masyarakat yang demokratis yang memiliki ketaatan pada hukum. Di
Indonesia, yang dapat menjadi faktor non hukum adalah budaya masyarakat. Prinsip
dasarnya adalah kekeluargaan dan gotong royong. ODR mengandalkan kebersamaan
dan rasa saling percaya diantara para pihak. Oleh karena itu, cocok dengan tradisi
Indonesia, sehingga kemungkinan penerapannya bisa dilakukan. Hal ini menunjukkan
bahwa ODR memiliki peluang untuk dapat diterapkan di Indonesia. Sedangkan yang
menjadi hambatan ODR apabila diterapkan di Indonesia adalah belum adanya
seperangkat kelengkapan regulasi/peraturan, dukungan prosedural, infrastruktur,
dan institusi.

Kepada Pemerintah untuk menyediakan lembaga yang dapat menangani


penyelesaian sengketa secara online untuk menangani penyelesaian sengketa secara
online karena tidak menutup kemungkinan nantinya akan timbul sengketa online.
ODR belum memiliki payung hukum positif di Indonesia dimana pengarahan
pengaturan ODR sebaiknya ditempatkan di bawah koordinasi BANI sebagai pihak
yang memiliki kewenangan melakukan ADR di Indonesia.

Diperlukan peningkatan akan kualitas infrastruktur jaringan internet dan


telekomunikasi serta tenaga ahli yang berkompeten dalam bahasa dan bidang
teknologi, guna membawa Indonesia lebih siap dalam menyelesaian sengketa
khususnya sengketa bisnis secara online.

DAFTAR PUSTAKA

Sitompul, Merine Gerarita. et al. Online Dispute Resolution (ODR): Prospek


Penyelesaian Sengketa E-Commerce Di Indonesia

Hakiki, Aditya Ayu, Asri Wijayanti, and Rizania Kharismasari. "Perlindungan hukum
bagi pembeli dalam sengketa jual beli online." Justitia Jurnal Hukum 1, no. 1 (2017).

Aziz, Muhammad Faiz, and Muhamamd Arif Hidayah. "PERLUNYA PENGATURAN


KHUSUS ONLINE DISPUTE RESOLUTION (ODR) DI INDONESIA UNTUK FASILITASI
PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional 9, no. 2 (2020): 275.

Chandra, A. (2014). Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Melalui Online


Dispute Resolution (ODR) Kaitan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik No.
11 Tahun 2008. Jurnal Ilmu Komputer, 10(2).

Anda mungkin juga menyukai