C3 Konsumen
C3 Konsumen
Oleh:
Nama: Michelle
NPM: 6051901309
Kelas C
PENDAHULUAN
Sengketa yang dapat ditimbulkan biasanya berisi tentang gugatan yang berkaitan
tentang kerugian dan wanprestasi yang alami, mekanismenya adalah seseorang
penggugat mengajukan gugaatanya melalui pengadilan namum hal ini tentu akan
memakan waktu dan tenaga sehingga penyelesaian sengketa ini bersifat
konvensional atau tradisional, maka daripada itu di zama sekarang dengan
kelengkapan teknologi dan informasi diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang positif dalam menyelesaiakan berbagai sengketa perdangan yang dikenal
dengan istilah e-commerce.
Dengan menerapkan Online Depute Resolution (ODR) dalam e-commerce maka hal
ini diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan dan permasalahan secara
cepat dan akurat sehingga tidak ada lagi kepastian hukum yang dapat menimbulkan
konflik di lingkungan masyarakaat, dengan menggunakan ODR sengketa transakasi
online diselesaikan secata online juga.
Terkadang penyelesaian sengketa dijalankan secara rumit dan berbelit – belit, hal ini
lah yang menjadi salah satu faktor atau pemicu timbulnkan Online Dispute
Resolution (ODR) sebagai bagian dari penyelesaian konflik tersebut agar daoat
diselesaikan secara cepat, tepat dan akurat serta mendapatkan kepastian hukum
yang jelas.
Dalam beberapa negara di dunia telah menerapkan dan menerapkan Online Dispute
Resolution (ODR), namum di negara Indonesia belum sepenuhnya di aplikasikan di
kehidupan nyata.
PEMBAHASAN
1. Konsultasi
2. Negoisasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Penelian Ahli (Expert)
6. Arbitrase (Perwasitan)
Menurut Joseph W. Goodman, tiga model ODR yang banyak diterapkan oleh
masyarakat internasional, yaitu full automatic cyber, menggunakan software dan
fasilitator, serta menggunakan teknologi online . Dalam model cyber yang
sepenuhnya otomatis, penyelesaian sengketa dilakukan oleh sistem perangkat lunak
yang berperan secara otomatis mempertemukan pihak pelapor dan pihak terlapor
hingga tercapai kesepakatan. Sedangkan model penggunaan perangkat lunak dan
fasilitator terdiri dari beberapa tahapan, antara lain pertama, penunjukan pihak
ketiga sebagai fasilitator yang bertindak sebagai perantara para pihak yang
bersengketa untuk memberikan usulan model negosiasi yang sesuai dan menyusun
tuntutan yang diajukan dalam proses ODRnya. Kehadiran arbiter atau pihak ketiga
sebagai fasilitator penyelesaian sengketa tetap menjadi kunci penting dan tidak
dapat langsung digantikan oleh perangkat teknologi. Kemudian software pada
platform ODR akan mengidentifikasi tuntutan para pihak untuk mencari solusi.
Pendekatan penggunaan teknologi online menerapkan beberapa fitur layanan
berupa email, video conference, chat room, dan instant messaging. Konsep
penggunaan teknologi online biasanya menggunakan tiga cara penyelesaian, yaitu
negosiasi, arbitrase, dan mediasi.
Penyelesaian sengketa secara online atau ODR sendiri serupa dengan alternatif
penyelesaian sengketa, hanya saja dalam ODR, pendaftaran perkara, pemilihan
arbiter/mediator, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, permusyawarahan
arbitrator/mediator, serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara
online.
Manfaat ODR lainnya adalah dalam hal proses penunjukan arbiter. Pada ODR para
pihak dapat mengontrol lebih atas proses (misalnya pemilihan waktu) dalam
menyelesaikan sengketanya tersebut. Selain itu para pihak dapat memilih pihak
ketiga yang dirasa tepat untuk menyelesaikan sengketanya dan menentukan
prosesnya.
Online Dispute Resolution (ODR) memerlukan para syarat tertentu agar dapat
diterapkan di Indonesia. Namun untuk saat ini, terdapat beberapa hambatan yang
dapat menghambat ODR dalam penyelesaian sengketa di Indonesia, salah satunya
adalah: Aturan hukum belum jelas Belum adanya aturan hukum untuk mengajukan
perkara/sengketa melalui sistem online. Akibatnya akan memunculkan kebingungan
bagaimana seharusnya para pihak akan mengajukan gugatan, melalui instrument
apa data- data mereka dapat dikirimkan, dan bagaimana perlindungan hukum
terhadap kerahasiaan data para pihak. Maka dari itu, perlu adanya penguatan
terhadap aturan perundang-undangan terkait dengan ODR ini.
ODR merupakan salah satu pilihan penyelesaian sengketa yang memiliki banyak
keunggulan dari segi biaya, waktu penyelesaian sengketa yang efisien, dan
dokumentasi proses yang baik dalam sistem virtual. Efektifitas pengaturan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam beberapa unsur yang saling
berkaitan yang disebut sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem
hukum yang baik sangat dipengaruhi oleh tiga komponen utama, yaitu substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Sementara dari sisi prosedural, terdapat kekosongan hukum yang mengatur tentang
cara pelaksanaan praktik prosedural melalui ODR terkait pemilihan aplikasi digital,
mekanisme prosedural, dan keamanan platform yang dioperasikan oleh lembaga
penyelenggara. Penyusunan standar prosedur hukum pelaksanaan ODR merupakan
persoalan yang harus menjadi perhatian sangat serius bagi penyelenggara. Seperti
diketahui, penggunaan ODR yang terhubung dengan sistem ICT sangat rentan
terhadap keamanan kerahasiaan/privasi para pihak yang bersengketa, masalah
impersonal, dan literasi penggunaan perangkat digital sebagai platform ODR. Aspek
keamanan kerahasiaan dan perlindungan privasi para pihak yang bersengketa,
termasuk semua jenis dokumentasi percakapan yang direkam, harus dijamin dengan
pengaturan yang membatasi mengenai pembatasan akses bagi pihak-pihak di luar
pihak yang bersengketa dan larangan bagi salah satu atau semua pihak yang
bersengketa untuk menyebarluaskan isi persidangan tanpa izin. izin penyelenggara.
Isu ini menjadi isu krusial mengingat pada awalnya ODR akan digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan data pribadi secara perdata, namun menimbulkan
permasalahan baru berupa pelanggaran terhadap data privasi para pihak yang
bersengketa.
Kelemahan kedua dari aspek substansi hukum acara adalah eksekusi putusan.
Seperti diketahui, jenis penyelesaian sengketa dalam ODR berbeda-beda sama
seperti praktik ADR, hanya fasilitas dan lokasinya yang dibedakan. Pelaksanaan
putusan perdata mempunyai catatan yang kurang baik, meskipun telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (In Kracht)16 . Seperti diketahui, salah satu model ODR yang
digunakan oleh perusahaan platform e-commerce yaitu penyelesaian online internal
antara pelaku usaha, penyedia, dan konsumen masih dipertanyakan validitas
keputusannya. Sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.
Masalah ini menjadi tantangan serius bagi pelaksanaan kekuatan mengikat
keputusan ODR yang sangat tergantung pada varian yang ditentukan dan disepakati
oleh para pihak yang bersengketa.
Selain itu, tantangan literasi hukum dalam penggunaan teknologi bagi para pihak
yang bersengketa dan pengelola sistem ODR merupakan tantangan dari sisi budaya
hukum. Dalam aspek hukum acara, legalitas pengaturan tata cara pelaksanaan ODR
yang belum terakomodasi secara rinci menimbulkan keraguan bagi masyarakat,
terutama mengenai sudut pandang legalitas penggunaan dokumen elektronik
sebagai alat bukti. Kepastian penggunaan tanda tangan elektronik juga belum
mendapat kepastian pengaturan dalam UU Arbitrase dan alternatif Penyelesaian
Sengketa. Selain itu, bagi praktisi hukum, penggunaan ODR mengalami kesulitan
untuk memprediksi kondisi psikologis para pihak yang bersengketa karena tidak
melakukan kontak tatap muka secara langsung.
KESIMPULAN
ODR yang mengandalkan kepercayaan di antara para pihak ini, dapat ditemukan
dalam masyarakat yang demokratis yang memiliki ketaatan pada hukum. Di
Indonesia, yang dapat menjadi faktor non hukum adalah budaya masyarakat. Prinsip
dasarnya adalah kekeluargaan dan gotong royong. ODR mengandalkan kebersamaan
dan rasa saling percaya diantara para pihak. Oleh karena itu, cocok dengan tradisi
Indonesia, sehingga kemungkinan penerapannya bisa dilakukan. Hal ini menunjukkan
bahwa ODR memiliki peluang untuk dapat diterapkan di Indonesia. Sedangkan yang
menjadi hambatan ODR apabila diterapkan di Indonesia adalah belum adanya
seperangkat kelengkapan regulasi/peraturan, dukungan prosedural, infrastruktur,
dan institusi.
DAFTAR PUSTAKA
Hakiki, Aditya Ayu, Asri Wijayanti, and Rizania Kharismasari. "Perlindungan hukum
bagi pembeli dalam sengketa jual beli online." Justitia Jurnal Hukum 1, no. 1 (2017).