Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KRITERIA PENGGALIAN DAN ALAT BOR

2.1. Kriteria Penggalian


Dalam dunia pertambangan ada banyak cara dan teknik yang dipakai untuk
mendapatkan solusi terhadap suatu permasalahan. Salah satunya adalah mengenai
pembongkaran batuan (bahan galian) yang sangat keras, dimana batuan tersebut tidak
dapat dibongkar secara manual maupun mekanis. Maka dipilih teknik pemboran dan
peledakan. Untuk itu diperlukan suatu pengenalan dengan mengikuti Praktikum
Pemboran dan Peledakan ini. Cara menentukan Kriteria Penggalian
a. Kriteria Penggalian menurut RMR.

Gambar 2.1 Hubungan antara RMR dan laju penggalian roadheader kelas >50 Mpa
(Fowell & Johnson, 1982 & 1991)

RMR juga pernah dipakai untuk mengevaluasi kinerja roadheader Dosco SL-120
(Sandbak1985, lihat Gambar 2.1). Penelitian ini dilaksanakan pada bijih tembaga
Kalamazoo & San Manuel, Arizona.
Gambar 2.2 Hubungan laju penggalian roadheder vs RMR (Sandbak. 1985)

b. Kriteria Penggalian menurut RMR & Q-Sistem

Gambar 2.3.
Klasifikasi metoda penggalian menurut RMR dan Q-System

c. Kriteria Penggalian menurut kecepatan seismik

Gambar 2.4
Metoda Kecepatan Seismik untuk penentuan macam penggalian (Atkinson,
1971)
Gambar 2.5. Kriteria penggaruan dengan D9R
d. Kriteria Penggalian menurut indeks kekuatan batuan

Gambar 2.6.
Kriteria indeks kekuatan batu (Franklin, dkk., 1971)

Gambar 2.7. Grafik Kriteria Kemampugaruan


e. Kriteria Penggalian menurut kuat tekan uniaksial (UCS)
Gambar 2.8. Kriteria Penggalian menurut Kolleth (19990)

2.2. Alat Bor


Cara kerja pemboran mata bor ada tiga jenis, tumbuk, putar, putar-tumbuk.
1. Metode pemboran perkusif (percussive drill)
Pada pemboran ini energi dari mesin bor (rock drill) diteruskan oleh batang bor
dan mata bor untuk meremukan batuan. Komponen utama dari mesin bor ini
ialah piston yang mendorong dan menarik tangkai (shank) batang bor. Energi
kinetik piston diteruskan ke batang bor dalam bentuk gelombang kejut (shock
wave) yang bergerak sepanjang batang bor dengan kecepatan ± 5000 m/detik
(setara kecepatan suara pada baja).
2. Metode Rotari (Rotary drill)
Berdasarkan sistem penetrasinya, metode rotary terbagi menjadi 2 sistem yaitu
tricone dan drag bit. Disebut tricone jika penetrasinya berupa gerusan
(crushing) dan drag bit jika hasil penetrasinya berupa potongan. Sistem tricone
digunakan untuk batuan sedang hingga lunak, system drag bit digunakan untuk
batuan lunak. Contoh alat bor dengan system ini adalah hydroulic rotary drill.

3. Metode Rotari Perkusif (Rotary-Percussive drill)


Pada pemboran rotary-perkusif, aksi penumbukan oleh mata bor dikombinasikan
dengan aksi putaran, sehingga terjadi proses peremukan dan penggerusan
permukaan batuan. Metode ini dapat digunakan pada bermacam-macam jenis
batuan.
Metode putar-tumbuk terbagi menjadi dua, yaitu :
Jika reaksi peledakan kelebihan oksigen, akibat kekurangan campuran fuel oil,
maka terjadi kelebihan oksigen (positive oxygen). Reaksi peledakan ini akan
menghasilkan nitrogen oksida, fumes berwarna kuning.

Table 3.1. Kimia Bahan Peledak


Bahan peledak Rumus Kimia Fungsi
Nitroglycerin 𝐶3𝐻5𝑂9 𝑁3 Explosive Base
Nitrocellulosa 𝐶6𝐻7𝐻11𝑁3 Explosive Base
Trinitrotoluene 𝐶7𝐻5𝑂6𝑁3 Explosive Base
Ammonium Nitrate 𝑁𝐻4𝑁𝑂3 Oxygen Base
Sodium Nitrate 𝑁𝑎𝑁𝑂3 Oxygen Base
Fuel Oil 𝐶𝐻2 Fuel
Wood Pulp 𝐶6𝐻10𝑂5 Fuel
Carbon 𝐶 Fuel
Powdered Aluminium 𝐴𝑙 Sensitizer-Fule
Chalk 𝐶𝑎𝐶𝑂3 Antacid
Zinc Oxides 𝑍𝑛𝑂 Antacid
Sodium Chloride 𝑁𝑎𝐶𝑙 Flame Depressant

3.1. Segitiga Detonasi Bahan Peledak

OKSIDER

REAKSI

BAHAN BAKAR PENYALAAN

Gambar 3.1. Segitiga detonasi bahan peledak


3.2. Peralatan Dan Perlengkapan Peledakan
3.4.1. Peralatan
Ada beberapa peralatan yang biasanya digunakan untuk operasi peledakan dengan
listrik, yaitu :
1. Exploder (Blasting Machine) , ada dua tipe yang diperdagangkan yaitu :
a. Generator Type
b. Condenser Discharge (CD) Type

Tabel 3.2. Peralatan Dan Perlengkapan Dalam Setiap Metode Peledakan

METODE PELEDAKAN PERLENGKAPAN PERALATAN


1. Plain detonator
1. Cap crimper
2. Sumbu api
2. Penyulut (lighter) : korek api.
SUMBU API (CAP & FUSE) 3. Igneter cord
3. Tamper
4. Igneter cord conector
1. Sumbu ledak
2. Detonating Relay/ Dellay
Tergantung detonator yang dipakai
SUMBU LEDAK connector
3. Initator (detonator listrik/biasa)
1. Blasting machine/ exploder
2. Blasting machine tester :
-Rheostat
-Blasting VOM meter
1. Detonator listrik
LISTRIK 3. Circuit tester :
2. Connecting wire
- Galvanometer
- Voltmeter
4. Tamper
5. Leading wire
1. Detonator non listrik (Nonel,
1. Exploder
Hercudet)
2. Gas supply unit (untuk hercudet)
NON LISTRIK 2. Connector
3. Circuit tester
3. Sumbu ledak (untuk nonel)

Kedua tipe alat tersebut dibuat untuk menghasilkan arus searah bertegangan tinggi.
Kapasitas alat ini biasanya dinyatakan dalam jumlah detonator listrik dengan panjang
leg wire 30 ft bila sambungan seri. Tipe yang pertama tidak pernah untuk digunakan
sambungan parallel karena ada kemungkinan misfire (konsleting). Tipe yang kedua
terutama digunakan untuk peledakan yang lebih besar. Bentuk blasting machine sangat
beraneka ragam, mulai dari bentuk kuno sampai yang bentuk remote control saat ini.
2. Blasting Machine Tester
Adalah sangat penting bahwa exploder hendaknya selalu dipelihara dan ditest
secara teratur terhadap kapasitas penyalaan. Efektifitas exploder type-generator
biasanya ditest dengan menggunakan Rheostat yang dihubungkan dengan detonator.
BAB IV
RANCANGAN DAN POLA PEMBORAN, GEOMETRI
PELEDAKAN, POLA PELEDAKAN DAN EFEK PELEDAKAN,
FRAGMENTASI BATUAN

1.1. Rancangan Pemboran


Pola pemboran merupakan suatu pola kegiatan pemboran dengan menempatkan
lubang-lubang tembak secara sistematis. Berdasarkan letak-letak lubang bor, pola
pemboran pada umumnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Pola pemboran sejajar (paralel pattern)
b. Pola pemboran selang-seling (staggered patern)
Pola pemboran sejajar adalah pola dengan penempatan lubang-lubang tembak
yang saling sejajar pada setiap kolomnya. Sedangkan pola pemboran selang-seling
adalah pola dengan penempatan lubang-lubang tembak secaara selang-seling pada
setiap kolomnya (gambar 4.1).
Pola pemboran sejajar merupakan pola yang lebih mudah diterapkan dilapangan,
tetapi perolehan fragmentasi batuannya kurang seragam, sedangkan pola pemboran
selang-seling lebih sulit penanganannya di lapangan namun fragmentasi batuannya lebih
baik dan seragam, hal ini disebabkan karena distribusi energi peledakan yang dihasilkan
lebih optimal bekerja dalam batuan. (Gambar 4.2)

(Sumber : Modul Juru Ledak Kelas II, 2010)


Gambar 4.1. Pola Pemboran
(Sumber : Modul Juru Ledak Kelas II, 2010)

Gambar 4.2. Pengaruh Energi Peledakan Terhadap Pola Pemboran


1.2. Geometri Peledakan
Geometri peledakan adalah jarak lubang tembak yang di buat pada saat sebuah
area pertambangan akan di ledakkan. Dalam sebuah peledakan, geometri merupakan
faktor yang dapat dikendalikan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Terdapat
beberapa teori untuk penentuan nilai geometri peledakan, seperti teori R.L. Ash,
Anderson, ICI-Explosive, C. J. Konya dan lain-lain.

Gambar 4.3. Geometri Peledakan


1.2.1 Geometri Peledakan Menurut R.L. Ash
R. L. Ash membuat suatu pedoman perhitungan geometri peledakan jenjang
berdasarkan pengalaman empirik yang diperoleh dari berbagai tempat dengan jenis
pekerjaan dan batuan yang berbeda-beda.
1. Burden (B)
Burden adalah jarak tegak lurus antara lubang ledak dengan bidang bebas yang
panjangnya tergantung pada karakteristik batuan.
Bc = B x Kr x Kd x Ks
Ket: Bc = Burden terkoreksi (m), B= Burden awal (m), Kr= Faktor koreksi terhadap
jumlah baris peledakan, Kd = Faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan
Ks = Faktor koreksi terhadap struktur geologi batuan

Flyrock
Flyrock

Boulder

Burden terlalu besar Burden terlalu kecil Barden yang baik/cukup

Gambar 4.4. Pengaruh Burden


1. Spacing (S)
Menentukan jarak spacing didasarkan pada jenis detonator listrik yang
digunakan dan berapa besar perbandingan antara tinggi jenjang dan jarak burden. Bila
perbandingan antara L/B lebih kecil dari 4 maka digolongkan jenjang rendah dan bila
lebih besar dari 4 maka digolongkan jenjang tinggi (tabel 5.4).
Tabel 4.4 Persamaan Untuk Menentukan Jarak Spacing
Tipe detonator L/B < 4 L/B > 4
Instanteneous S = (L + 2B)/3 S = 2B
Delay S = (L + 7B)/8 S = 1,4B
(Sumber : Konya, 1995, Blast Design)

2. Stemming (T)
Stemming adalah kolom material penutup lubang ledak di atas kolom isian bahan
peledak. Persamaan yang digunakan menghitung jarak stemming adalah :
T = 0,70 x B
Keterangan: T = stemming (m), B = burden (m)
Gambar 4.5 Pengaruh Stemming Terhadap Hasil Peledakan
3. Subdrilling (J)
Subrilling adalah merupakan panjang lubang ledak yang berada di bawah garis
lantai jenjang. Subdrilling berfungsi untuk membuat lantai jenjang relatif rata setelah
peledakan. Adapun persamaan untuk mencari jarak subdrilling adalah :
J= 0,30 x B
Keterangan:B = burden (m), J= subdrilling (m)

Gambar 4.6. Pengaruh Subdrilling terhadap lantai jenjang

4. Kedalaman Lubang Ledak (H)


Kedalaman lubang ledak dapat dicari dengan menggunakan persamaan :
H= L + J
Ket : L = Tinggi jenjang (m), J= subdrilling (m), H= kedalaman lubang ledak (m)
5. Powder Coulumb (PC)
Powder Coulumb merupakan panjang kolom isian bahan peledak :
PC= H – T
Ket: PC= Panjang kolom isian bahan peledak (m), H= Kedalaman lubang ledak (m)
T= stemming (m)
Gambar 4.7. Pola Peledakan Berdasarkan Arah Runtuhan Batuan
Berdasarkan urutan waktu peledakan, maka pola peledakan diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Pola peledakan serentak, yaitu pola yang menerapkan peledakan secara
serentak untuk semua lubang tembak
b. Pola peledakan beruntun yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan
dengan waktu tunda antara baris satu dengan baris lainnya.
4.3 Waktu Tunda (tr)
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :a.
menghasilkan fragmentasi yang lebih baik, b. dapat mengurangi timbulnya getaran
tanah, c. dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.
Bila waktu tunda antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris depan
menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan tersembur
kearah vertikal dan membentuk tumpukan kemudian akan menyebabkan backbreak
pada dinding akhir jenjang. Tetapi bila waktu tundanya terlalu lama, maka produk hasil
bongkaran akan terlempar jauh kedepan serta kemungkinan besar akan mengakibatkan
flyrock. Hal ini dikarenakan tidak ada dinding batuan sebagai penahan lemparan batuan
di belakangnya.
Untuk menentukan interval tunda antar baris tidak kurang dari 2 ms/ft dan tidak
lebih dari 6 ms/ft dari ukuran burden. Persamaan dibawah ini dapat digunakan untuk
menentukan besarnya interval waktu antar baris.
tr = Tr x B
Untuk interval waktu antar lubang dalam satu baris digunakan rumus :
th = Th x B
Ket: tr = interval waktu antar baris (ms), Tr = konstanta waktu antar baris (di tabel)
Th= Konstanta waktu antar lubang (lihat tabel), th = Interval waktu antar
lubang (ms)

Gambar 4.8 Pengaruh delay time terhadap arah lemparan batuan

Gambar 4.9 Pengaruh delay time terhadap kondisi tumpukan

Tabel 4.5. Konstanta Waktu Antar Baris


Tr Constanta (ms/m) Result
6,50 Violet, excessive air blast, backbreak etc.
8,00 High pile close to face, moderate airblast, backbreak
11,50 Average pile height, average airblast and backbreak
16,50 Scattered pile with minimum backbreak

Tabel 4.6. Konstanta Waktu Antar Lubang

Anda mungkin juga menyukai