Anda di halaman 1dari 73

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE

TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA PADA KONSEP MASSA JENIS


(Penelitian di SMP Islam Ruhama Pisangan-Ciputat)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

NGATIATUL MABSUTHOH
105016300607

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)


SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
ABSTRAK

Ngatiatul Mabsuthoh, “ Pengaruh model pembelajaran learning cycle


terhadap hasil belajar fisika pada konsep massa jenis (Eksperimen SMP Islam
Ruhama Ciputat - Tangerang)”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, Mei 2010. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran learning
cycle terhadap hasil belajar fisika pada konsep massa jenis. Penelitian dilakukan
di SMP Islam Ruhama dengan metode yang digunakan adalah eksperimen semu (
quasi experiment ). Sampel penelitian ini adalah kelas VII A dan VII B sebanyak
63 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes objektif tipe
pilihan ganda dengan empat pilihan (option) yang digunakan untuk mengukur
peningkatan hasil belajar fisika siswa pada konsep massa jenis. Instrumen
dianalisis dengan menggunakan software ANATES. Hasil penelitian
menunjukkan hasil posttest kelas eksperimen mengalami peningkatan
dibandingkan hasil posttest pada kelas kontrol, hasil penelitian tersebut diperkuat
dengan hasil uji-t pada taraf α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa model
pembelajaran learning cycle berpengaruh terhadap hasil belajar fisika.

Kata Kunci : Pembelajaran kontruktivisme, learning cycle, hasil belajar


fisika
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Segala puji penulis panjatkankehadirat Allah SWT yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini, yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan (S. Pd). Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia
kejalan yang terang benderang, beserta keluarga dan para sahabatnya. Penulis
berharap skripsi ini dapat memberi kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang pendidikan fisika.
Terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari pertisipasi dari semua pihak
yang telah membantu terselesainya skripsi ini. Sehingga penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosada, M.A, selaku Dekan FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Baiq Hana Susanti, M. Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Ibu Nengsih Juanengsih, M. Pd, selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan IPA
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
4. Ibu Erina Hertanti, M. Si, selaku Kepala Prodi Pendidikan Fisika Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
5. Bapak Sujiyo Miranto, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan, bimbingan, motivasi, serta
nasehat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Bapak Iwan Permana Suwarna, M. Pd, selaku Dosen Pembembing II yang
telah meluangkan waktunya dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, nasehat, motivasi, dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan.

v
7. Bapak/Ibu Dosen Staff di UIN Syarif Hidayatullah Khususnya di jurusan IPA
(Pendidikan Fisika) yang telah memberikan bantuan dan dukungannya.
vi
8. Bapak Drs. Juhdi Asidi, selaku Kepala Sekolah SMP Islam Ruhama Pisangan-
Ciputat atas izinnya kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di SMP
Islam Ruhama Pisangan-Ciputat.
9. Bapak Drs. Bagus, S. Pd, selaku guru pembimbing mata pelajaran fisika yang
telah banyak memberikan ilmunya, arahan, dan bimbingannya selama
pelaksanaan penelitian.
10. Seluruh dewan guru dan staff SMP Islam Ruhama yang selalu membantu
penulis
11. Teruntuk Suami tercinta Fadlan, S.Pd.SD yang selalu memberikan semangat
dan motovasi baik moril maupun materil serta doanya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
12. Teruntuk Ibunda Hj. Maryam, Ayahanda H. Hadi Mustofa dan saudara-
saudariku tersayang yang selalu memberikan dorongan dan motivasi baik
moril maupun materil serta doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
13. Teruntuk semua sahabat dan mahasiswa fisika 2005 yang telah memberikan
motivasi, semangat, dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Akhirnya penulis hanya dapat berdoa semoga Allah SWT memberikan balasan
yang setimpal kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi
ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat menambah wawasan
pengetahuan bagi para pembaca.
Alhamdulillahirobbil’Alamin
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh.
Jakarta, Mei 2010
Penulis,

Ngatiatul Mabsuthoh
105016300607

v
DAFTAR ISI

Hal
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASYAH ............................... ii
ABSTRAK ................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ......................................................... 5
D. Perumusan Masalah .......................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ............................................................... 5
F. Manfaat Hasil Penelitian .................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori ................................................................. 6
1. Pembelajaran Konstruktivisme .................................... 6
2. Learning Cycle ............................................................. 12
3. Hakikat Proses Belajar Mengajar .................................. 21
4. Fisika dan Hasil Belajar Fisika .................................... 26
B. Kerangka Berpikir ............................................................. 32
viiI
C. Perumusan Hipotesis ......................................................... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


vii
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 35
B. Metode Penelitian ............................................................. 35
C. Desain Penelitian ............................................................... 35
D. Populasi dan Sampel ......................................................... 36
E. Instrumen Penelitian ......................................................... 37
1. Uji Validitas .................................................................. 37
2. Uji Reabilitas ................................................................. 38
3. Uji Tingkat Kesukaran ................................................... 39
4. Daya Pembeda ............................................................... 40
F. Variabel Penelitian ............................................................. 42
G. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 43
H. Teknik Analisis ................................................................. 43
1. Uji Prasyarat Analisis Data ........................................... 43
a. Uji Normalitas ................................................. 44
b. Uji Homogenitas ............................................... 45
2. Uji Hipotesis ................................................................ 45
3. Uji Normalitas Gain ..................................................... 46
I. Hipotesis Statistik ............................................................. 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Data .................................................................. 48
1. Deskripsi Data Pretest Kelompok Eksperimen
dan Kontrol .................................................................. 48
2. Deskripsi Data Posttest Kelompok Eksperimen
dan Kontrol .................................................................. 49
3. Deskripsi Data Normal Gain Kelompok Eksperimen
dan Kontrol ................................................................. 50IX
B. Analisis Data ..................................................................... 51
1. Uji Normalitas ............................................................. 51
2. Uji Homogenitas ......................................................... 53
3. Uji Hipotesis ................................................................ 55
C. Interpretasi Hasil Penelitian ............................................... 57
D. Pembahasan Hasil Penelitian .............................................. 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 61
B. Saran ................................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 63


LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2. 1 Model Siklus Belajar ................................................................... 15


Tabel 3. 1 Desain Penelitian ......................................................................... 35
Tabel 3. 2 Perincian Populasi dan Sampel ................................................... 37
Tabel 3. 3 Kriteria Uji Reabilitas .................................................................. 39
Tabel 3. 4 Kriteria Uji Tingkat Kesukaran .................................................... 39
Tabel 3. 5 Kriteria Daya Pembeda ................................................................ 40
Tabel 3. 6 Kisi-kisi Instrumen Tes Hasil Belajar .......................................... 41
Tabel 3. 7 Kriteria N-Gain ........................................................................... 46
Tabel 4. 1 Perbedaan Mean Hasil Belajar .................................................... 51
Tabel 4. 2 Uji Normalitas Kelompok Eksperimen dan KontroL..................... 52
Tabel 4. 3 Uji Normalitas N-Gain Hasil Belajar Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol.......................................................................... 52
Tabel 4. 4 Uji Homogenitas Kelompok Eksperimen dan Kontrol ................... 54
Tabel 4. 5 Uji Homogenitas N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ....... 55
Tabel 4. 6 Uji Hipotesis Skor Posttestt Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... . 56
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ditengah gerak pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pendidikan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan. Maju mundurnya perkembangan suatu bangsa juga ditentukan
oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu. Oleh karena itu mengingat
pentingnya pendidikan maka pendidikan harus diperhatikan dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, terlihat betapa pentingnya upaya menyelaraskan mutu
pendidikan dengan tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebab, sikap dan kemampuan seperti yang di sebutkan di atas tentu tidak bisa
hadir begitu saja, melainkan harus ditumbuhkan secara bertahap dan terencana
melalui pendidikan yang berkualitas.
Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mengkaji tentang
berbagai fenomena alam dan memegang peranan yang sangat penting dalam
perkembangan sains dan teknologi. Fisika dipandang sebagai dasar bagi
pembangunan ilmu dan teknologi karena melalui belajar fisika dapat dibentuk
pola berfikir ilmiah sehingga mata pelajaran fisika sangat diperlukan untuk
dipelajari di sekolah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelajaran fisika
dianggap sebagai pelajaran yang paling sulit dan menjadi momok bagi siswa.
Ketidaktahuan siswa mengenai kegunaan fisika dalam kehidupan sehari-hari
menjadi penyebab mereka cepat bosan dan tidak tertarik pada pelajaran fisika,
disamping itu pengajaran fisika secara monoton, metode pembelajaran yang
kurang bervariasi, dan hanya berpegang teguh pada buku paket saja. Jika
keadaan ini dibiarkan terus dalam waktu yang panjang, tentu akan
berpengaruh bagi hasil belajar siswa baik pada pelajaran fisika, dan akan
memberi dampak yang buruk bagi pertumbuhan pendidikan nasional. Hasil
penelitian menunjukkan minat siswa terhadap pelajaran fisika rendah, salah
2

satu penyebabnya adalah kurang tepatnya guru menggunakan metode yang


sesuai untuk siswa.
Metode ceramah sering sekali digunakan dalam proses belajar
mengajar, jika ceramah dilakukan secar terus menerus (monoton)
mengakibatkan kejenuhan pada siswa, sehingga daya tangkap siswa menurun
dan informasi yang diterima oleh siswa menjadi lebih sedikit. Guru sebaiknya
menyesuaikan metode pendidikan dan pengajaran untuk memudahkan anak
didik memahami pelajaran. Sebagai fasilitator seharusnya guru dapat
menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan membimbing siswa
untuk aktif dalam proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik dan menghasilkan perubahan dalam diri siswa, baik
dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Namun faktamya dalam proses
pembelajaran siswa jarang berlatih mengerjakan soal-soal dengan sedikit
modifikasi, siswa hanya terbiasa mengerjakan soal-soal yang sifatnya
menerapkan rumus yang ada. Siswa tidak mampu menganalisis soal dan
berpikir cermat. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak menguasai konsep
fisika dengan baik.
Berdasarkan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa
terhadap konsep fisika masih kurang. Oleh karena itu, perlu pembelajaran
yang tidak hanya memberi konsep-konsep dalam bentuk yang utuh dan
bersifat hafalan tanpa melalui pengolahan potensi yang ada pada diri siswa.
Hal ini karena pembelajaran yang bersifat menghafal akan menhakibatkan
pembelajaran kurang bermakna bagi siswa, sehingga siswa hanya menghafal
tanpa memahami benar isi pelajaran dan hal ini tentu akan menghambat
pemahaman konsep fisika berikutnya.
Untuk mengetahui hal tersebut, salah satunya adalah memilih metode
atau model pembelajaran yang tepat, karena proses belajar mengajar
merupakan suatu proses yang memerlukan perhatian khusus, keuletan,
ketekunan, dan kerajinan. Oleh karena itu agar proses belajar mengajar yang
sedang berlangsung berhasil dan berdaya guna secara efektif, maka proses
belajar mengajar tersebut benar-benar akan semakin baik. Dalaru hal ini guru
3

dituntut untuk dapat memilih secara selektif metode atau model pembelajaran
mana yang dapat digunakan dan sesuai dengan tujuan, bahan materi, alat bantu,
dan evaluasi yang ditetapkan, karena keberhasilan proses belajar mengajar
dipengaruhi banyak faktor, diantaranya pemilihan metode mengajar, minat
siswa terhadap materi yang diajarkan dan peran guru dalam mengatasi
kesulitan belajar.
Model pembalajaran, dipandang paling punya peran strategis dalam
upaya mendongkrak keberhasilan proses belajar mengajar. Karena ia bergerak
dengan melihat kondisi kebutuhan siswa, sehingga guru diharapkan mampu
menyampaikan materi dengan tepat tanpa mengakibatkan siswa mengalami
kebosanan. Namun sebaliknya, siswa diharapkan dapat tertarik dan terus
mengikuti pelajaran, dengan keingintahuan yang berkelanjutan.
Model learning cycle merupakan proses pembelajaran yang melibatkan
siswa dalam kegiatan belajar yang aktif melakukan asimilasi, akomodasi, dan
organisasi ke dalam struktur kognitif. Berdasarkan wawancara dengan guru
mata pelajaran fisika diketahui bahwa rerata hasil ujian siswa pada materi
sebelumnya masih rendah. Dalam upaya meningkatkan kreativitas siswa
mengemukakan gagasan dan prestasi belajar fisika, perlu strategi
pembelajaran yang mengimplementasikan model pembelajaran learning cycle.
Pembelajaran dengan model learning cycle ini cocok untuk diterapkan
dalam pembelajaran fisika. Hal ini karena model pembalajaran learning cycle
adala suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered)
yang memiliki rangkaian tahapan-tahapan kegiatan (fase) yang diorganisasi
sedemikian rupa yang didalamnya terdapat metode eksperimen, sehingga
siswa dapat menemukan sendiri pengetahuannya dengan cara proses
mengamati, mencatat hasil pengamatan, menganalisis dan menyimpulkan
kegiatan praktikum yang telah dirancang oleh guru, siswa juga dapat
berdiskusi bersama teman-teman. Hal itu akan membuat belajar fisika
menjadi menyenangkan dan lebih berkesan, karena siswa terlibat langsung
dalam proses pembelajaran, dan siswa juga dapat menguasai kompetensi-
4

kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan


aktif.
Dengancara ini, siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep
fisika, khususnya pada konsep massa jenis. Pada konsep tersebut apabila siswa
hanya diberikan penjelasan mereka akan kebingungan untuk membedakan
massa dengan massa jenis dan sebagainya. Dengan model pembelajaran
learning cycle diharapkan dapat memudahkan siswa dalam memahami
konsep massa jenis tersebut dan dan dapat merangsang kemampuan berpikir
siswa serta tercipta dialog antara siswa dengan guru sehingga proses
pembelajaran lebih bermakna.
Berdasarkan latar belakang itulah, peneliti mencoba untuk
mengadakan penelitian tentang model pembelajaran learning cycle. Dengan
mengambil judul skripsi: PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN
LEARNING CYCLE TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA PADA
KONSEP MASSA JENIS.

B. Identifikasi Masalah
Dengan melihat masalah yang telah diuraikan sebelumnya dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Banyak siswa yang menganggap fisika adalah pelajaran yang sulit
dipelajari karena penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat.
2. Banyak siswa yang tidak aktif dalam kegiatan pembelajaran fisika, karena
pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered).
3. Guru sulit memilih metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan
tujuan, jenis dan sifat meteri yang diajarkan.
4. Banyak siswa yang merasa bosan dalam pembelajaran fisika, hal ini
disebabkan karena guru lebih banyak menggunakan metode ceramah
sehingga kurang menarik minat siswa.
5. Sebagian besar guru belum mampu menciptakan suasana pembelajaran
yang menarik dan menyenangkan, sehingga siswa kurang termotivasi dan
merasa bosan dalam belajar fisika.
5

C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh penggunaan pembelajaran learning cycle terhadap hasil belajar
fisika pada konsep massa jenis.
2. Hasil belajar yang diteliti hasil belajar pada ranah konitif tingkat C1
sampai C3.
3. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran learning
cycle yang diadaptasi dari Mayer, dan penelitian ini mengacu pada
learning cycle deskriptif.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumusakan
masalah sebagai berikut: ”Apakah model pembelajaran learning cycle
berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar fisika?”.

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan problematika yang telah dirumuskan, maka kegiatan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran
learning cycle terhadap hasil belajar fisika pada konsep massa jenis.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi pihak guru dapat dijadikan bahan masukan dalam meningkatkan
proses pembelajaran fisika, serta lebih memperhatikan, menerapkan, dan
merealisasikan metode pembelajaran, yang nantinya akan meningkatkan
hasil belajar siswa.
2. Bagi siswa dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar serta
meningkatkan rasa sosial diantara mereka.
3. Bagi peneliti, memberikan informasi tentang pengaruh model learning
cycle terhadap hasil belajar fisika siswa, dan dapat menambah wawasan
sebagai bekal jika kelak berkecimpung dalam dunia pendidikan.
6

BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN
HIPOTESIS

A. Landasan Teori
1. Pembelajaran Kontruktivisme
Salah satu landasan teoritik pendidikan modern termasuk CTL adalah
teori pembalajaran kontruktivisme. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan
pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih
diwarnai student centered daripada teaching centered. Sebagian besar waktu
proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. 1
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam
teori pembelajaran kontruktivis. Teori kontruktivis ini menyatakan bahwa
siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila
aturan-aturan itu sudah tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja
memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha
dengan susah payah dengan ide-ide. 2
Kontruktisvisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Jean
Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek
semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap
setiap objek yang diamatinya. 3 Bagi kontruktivisme, pembelajaran bukanlah

1
Trianto, Model-Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2007), h. 106.
2
Trianto, Model-Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2007), h.13.
3
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroientasi Standar Proses Pendidikan, ( Jakarta:
Kencana Prenada, 2008). h.264

6
7

kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu


kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. 4
Kontruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul sebagai
dampak dari revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir
(Kuhn, 1970). Seiring dengan hal tersebut, kemudian kontruktivisme menjadi
kata kunci dalam hampir setiap pembicaraan mengenai pembelajaran di
berbagai kalangan. Kontruktivisme ini yang menjadi landasan terhadap
berbagai seruan dan kecendrungan yang muncul dalam dunia pembelajara. 5
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya.
Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa
harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme
yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus
melalui proses rekonstruksi.
Hal yang paling penting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa
dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan.
Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan
pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap
hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.
Gagne seperti yang dikutip oleh Mariana (1999) menyatakan untuk
terjadinya belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi
internal maupun kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan
memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu
merupakan komponen kemampuan yang baru dan ditempatkannya bersama-

4
Paulina Panen, dkk. Kontruktivisme dalam Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka
(PAU-PPAI-UT), 2001)., h. 22
5
Paulina Panen, dkk. Kontruktivisme dalam Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka
(PAU-PPAI-UT), 2001), h. 1
8

sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau benda yang dirancang atau ditata
dalam suatu pembelajaran.6
Piaget (1990) menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal
seseorang seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar.
Berbagai faktor internal tersebut mengidikasikan kehidupan psikologi
seseorang, serta begaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif,
dan emosinya. Sebagai contoh, Piaget menjelaskan bahwa perkembangan
kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir
pada satu tahap yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-
tahapan sebelumnya. Pada tahap yang lebih tinggi seseorang lebih mampu
berpikir terorganisasi dan abstrak (abstract thinking). Piaget menyebutkan
sebgai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir (schemas, berarti
building blocks of thinking).7
Masyarakat pendidikan sains ingin melihat pelajar belajar sains
sebagai suatu proses. Mereka, terlebih di Amerika Serikat, ingin menyaksikan
para pelajar belajar sains dan matematika dengan cara yang berarti,
memperkaya, dan memungkinkan mereka menginterpretasikan alam semesta
ini dalam pengertian ilmiah. Menurut Tobin dkk., masyarakat pendidikan
sekarang ini sedang mengalami proses mirip dengan yang oleh Kuhn disebut
pergeseran paradigma (paradigm shift). Bila beberapa puluh tahun lalu
kontruktivisme belum diterima secara umum, sekarang ini ada usaha untuk
mengerti kontruktivisme dalam seluruh bidang pendidikan. Revolusi kognitif
ini menantang dan memberikan semangat, namun sekaligus juga
membingungkan dan menakutkan karena suatu makna baru dari pencarian
dalam bidang pendidikan muncul. Perubahan sikap ini sungguh memberikan
semangat untuk para ahli dan mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan
untuk menggunakan prinsip-prinsip kontruktivisme dalam pembaruan
pendidikan. Tetapi sekaligus hal itu juga dapat membingungkan karena
6
Trianto, Model-Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik, h 12
7
Udin S. Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka,
2007), h 6.8
9

banyak segi kontruktivisme yang kurang jelas dan dapat disalahartikan.


Kontruktivisme banyak digunakan dalam macam-macam bentuk dan makna,
sehinggga kadang-kadang menjadi kabur.8
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep
ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kontruktivisme. Kontruktivisme,
yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang
belajar, dan teori perubahan konsep, yang menjelaskan bahwa siswa
mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperanan dalam
menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap
suatu konsep yang ia pelajari. Kontruktivisme membantu untuk mengerti
bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian,
seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan
pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat
membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan
keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid
sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan.
Namun, pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan
karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga
lebih sesuai dengan pengertian ilmuwan. “Salah pengertian” dalam memahami
sesuatu, menurut teori kontruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah
akhir dari segala-galanya melainkan justru menjadi awal untuk perkembangan
yang lebih baik. 9
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan
adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan
ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan
mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar.
Gagasan kontruktivisme mengenai pengetahuan adalah sebagai berikut:

8
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.
12
9
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h
53
10

a. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi


selalu merupakan kontruksi kenyataan melalui kegiatan mahasiswa (Mind
as inner individual representation of outer reality).
b. Mahasiswa mengkontruksi skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur
dalam membangun pengetahuan, sehingga setiap individu siswa memiliki
skema kognitif, kategori, konsep, dan stuktur yang berbeda. Dalam hal ini,
proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam
konstruksi pengetahuan (Reflection/abstraction as primary).
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsep masing-masing individual
mahasiswa. Struktur konsep dapat membentuk pengetahuan bila konsep
baru yang diterima dapat dikaitkan atau dihubungkan (proposisi) dengan
pengalaman yang dimiliki mahasiswa. Dengan demikian, pengetahuan
adalah apa yang ada dalam pikiran setiap mahasiswa (Kniwledge as
residing in the mind).
d. Dalam proses pembentukan pengetahuan, kebermaknaan merupakan
interprestasi individu mahasiswa terhadap pengalaman yang dialaminya
(Meaning as internally constructed). Perampatan makna merupakan proses
negosiasi antara individu mahasiswa dengan pengalamannya melalui
interaksi dalam proses belajar (menjadi tahu) (Learning as negotiated
contruction of meaning).10
Secara garis besar, ada beberapa prinsip dasar pembelajaran
kontruktivisme, yaitu:
a) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.
b) Tekanan proses belajar terletak pada siswa.
c) Mengajar adalah membantu siswa belajar.
d) Penekanan dalam proses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir.
e) Kurikulum menekankan partisipasi siswa.
f) Guru sebagai fasilitator.11

10
Paulina Panen, dkk. Kontruktivisme dalam Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka
(PAU-PPAI-UT), 2001), h. 7 - 8
11
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 25
11

Menurut prinsip kontruktivisme, seorang guru berperan sebagai


mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan
dengan baik, yaitu dengan:
a) Menyediakan pengalaman belajar yang dapat memungkinkan siswa
bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
b) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan
sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif, menyediakan
kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa.
c) Memotivator, mengevaluasi, dan menunjukkan hasil apakah pemikiran
siswa dapat didorong secara aktif atau tidak.12
Yang terpenting dalam teori kontruktivisme adalah bahwa dalam
proses belajar siswalah yang harus mendapatkan tekanan. Merekalah yang
harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru ataupun
orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan sangat penting
dalam dan perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka.
Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena
mereka berpikir dan bukan meniru saja. 13
Menurut Widodo, tahapan pembelajaran yang kontruktivis terdiri dari
lima tahapan yang saling berurutan, yaitu:
a. Pendahuluan; tahap penyiapan pembelajaran untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran.
b. Eksplorasi; tahap pengidentifikasian dan pengaktifan pengetahuan awal
siswa.

12
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.
66
13
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.
81
12

c. Retrukturisasi; tahap restrukturisasi pengetahuan awal siswa agar


terbentuk konsep yang diharapkan.
d. Aplikasi; tahap penerapan konsep yang telah dibangun pada
konteks/kondisi yang berbeda ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
e. Review dan Evaluasi; tahap peninjauan kembali apa yang telah terjadi
pada diri siswa berkaitan dengan suatu konsep/pembelajaran. 14
Kontruktivisme memaknai belajar sebagai proses mengkontruksi
pengetahuan melalui proses internal seseorang dan interaksi dengan orang lain.
Dengan demikian hasil belajar akan dipengaruhi oleh kompetensi dan struktur
intelektual seseorang. Hasil belajar dipengaruhi pula oleh tingkat kematangan
berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, serta faktor internal
lainnya, seperti, konsep diri, dan percaya diri dalam proses belajar. Di
samping itu hasil belajar juga dipengaruhi oleh dialog dengan orang lain dan
lingkungan.
Paham kontruktivisme, berpandangan bahwa mengajar bukan kegiatan
memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya dengan
menggunakan pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Dengan demikian,
pembelajaran kontruktivisme tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran
dan pembelajaran yang lama, dimana guru hanya mentransfer ilmu kepada
siswa tanpa siswa itu berusaha sendiri dan menggunakan pengalaman dan
pengetahuan yang mereka miliki.
2. Learning Cycles
Siswa mempunyai pengalaman hidup dalam dirinya sebagai konsepsi
awal siswa. Apabila kita ungkap konsep awal mereka, maka dengan mudah
siswa tersebut dapat menerima pengetahuan/materi baru karena siswa tersebut
secara tidak langsung membangun pengetahuannya sendiri. Model
pembelajaran tersebut menurut Dahar (1988) dikenal dengan model
konstruktivisme. Model konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang

14
Ari Widodo, Kontruktivisme dan Pembelajaran Sains, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, No.13:064, Januari 2007, h.101
13

proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan


pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini
hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri (self-regulation). Dan pada akhir
proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui
pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Herron, 1988)15.
Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal
yang dimiliki anak dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu
saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif (skemata)
untuk mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan
selama mahasiswa menerima pengetahuan baru. Terjadinya proses modifikasi
struktur kognitif dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini :
Hasil Belajar
(Hasil Interaksi dengan Lingkungan)

Skema

Perbandingan dengan konsepsi awal

Tidak cocok Akomodasi Cocok

Ketidakseimbangan Cocok

Jalan Buntu Keseimbangan Asimilasi


(Tidak Mengerti)

Mengerti
Ketidakseimbangan

Gambar 2. 1: Skema Perolehan Pengetahuan-Stanobridge

15
Ahmad Anwar Yusa, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Perhitungan Kekuatan
Konstruksi Bangunan Sederhana Melalui Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) di
SMKN 5 Bandung dari http://pkk.upi.edu/invotec_1-9.pdf, 2009,. h. 2
14

Secara rinci menurut Hilda (2002) dapat dikemukakan bahwa dalam


kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada model konstruktivisme seorang
pendidik (guru) harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman
sebelumnya.
b. Menekankan pada kemampuan minds-on dan hands-on.
c. Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual.
d. Mengakui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif.
e. Mengutamakan terjadinya interaksi sosial. 16
Salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivisme
ialah penggunaan pendekatan siklus belajar (learning cycle) (Herron, 1988).
Siklus belajar adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan mengikuti pola
tertentu yang terdiri dari tiga tahap, yaitu :
a). Tahap eksplorasi, dimaksudkan untuk mengali konsepsi awal siswa.
Dalam tahap ini guru berperan secara tidak langsung. Guru merupakan
pengamat yang telah siap dengan berbagai pertanyaan guna membantu
siswa (individu atau kelompok). Siswa aktif melakukan kegiatan yang
dapat melatih keterampilan proses, seperti mencatat, mengkomunikasikan,
menafsirkan dan sebagainya.
b). Tahap pengenalan konsep adalah tahap dimana guru mengumpulkan
informasi dari para siswa berkaitan dengan pengalaman mereka dalam
tahap eksplorasi. Pada tahap ini guru meminta siswa mengungkapkan hasil
bacaan (rangkuman) yang telah mereka lakukan pada tahap eksplorasi.
Dilakukan diskusi dan pengenalan konsep-konsep yang dibahas.
c). Tahap penerapan konsep adalah tahap dimana guru menyiapkan situasi
yang dapat dipecahkan berdasarkan pengalaman eksplorasi dan
pengenalan konsep. Pada tahap ini diberikan permasalahan yang dapat
dipecahkan dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dijelaskan
16
Ahmad Anwar Yusa, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Perhitungan Kekuatan
Konstruksi Bangunan Sederhana Melalui Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) di
SMKN 5 Bandung dari http://pkk.upi.edu/invotec_1-9.pdf, 2009,. h. 2
15

sebelumnya. Tahapan-tahapan model siklus belajar tersebut secara ringkas


akan dijelaskan pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 2. 1
Model Siklus Belajar (diadaptasi dari Meyer, 1986) 17
Tahap Siklus Indikator
Belajar Guru Siswa
Eksplorasi Mengidentifikasi konsep yang Memulai mengenal materi
akan diajarkan. Guru berposisi baru atau fenomena baru
sebagai katalis atau fasilitator dengan bimbingan minimal,
dimana fenomena
yangdisajikan menantang
struktur
mental siswa.

Pengenalan Membantu siswa Mencoba memahami konsep


Konsep mengembangkan konsep baru dan
dengan cara menghubungkan berdiskusi dalam hal yang
konsep yang berkaitan dengan
diperoleh melalui eksplorasi. fenomena pada tahap
Membimbing eksplorasi.
siswa pada pemahaman
konsep baru yang
bermakna. Cara yang dapat
dilakukan yakni
dengan mengembangkan
strategi bertanya
Aplikasi Mendukung siswa untuk Memperoleh penguatan
menguji kemampuannya pada perkembangan

17
Ahmad Anwar Yusa, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Perhitungan Kekuatan
Konstruksi Bangunan Sederhana Melalui Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) di
SMKN 5 Bandung dari http://pkk.upi.edu/invotec_1-9.pdf, 2009,. h. 2
16

Tahap Siklus Indikator


Belajar Guru Siswa
dalam menerapkan struktur mental yang
konsep pada situasi baru
yang baru. Guru
berposisi sebagai mentor

Anthony W. Lorsbach, menyatakan:


“The learning cycle is an estabilished planning method in sciensce
education and consistent with contemporary theories about how
individuals learn. It is easy to learn and useful in creating
opportunities to learn science”.

Siklus belajar adalah sebuah metode perencanaan yang didirikan dalam


ilmu pendidikan dan konsisten dengan teori-teori kontemporer tentang
bagaimana individu belajar. Hal ini mudah dipelajari dan berguna dalam
menciptakan kesempatan untuk belajar sains. 18
Macmallin dan Collier, menyatahan:
”Methods are the procedures of instruction that are salected to help
learners achieve the objectives or to internalize the content of
message.”19

Metode adalah prosedur pengajaran yang dipilih untuk membantu


siswa mencapai tujuan/ menginternalisasikan isi atau pesan.
Learning cycle merupakan salah satu model perencanaan yang telah
diakui dalam pendidikan IPA. Siklus belajar dikembangkan berdasarkan teori
yang dikembangkan pada masa kini tentang bagaimana siswa seharusnya
belajar. Model ini merupakan model yang mudah untuk digunakan oleh guru
dan dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas belajar

18
Anthoni W. Lorsbach, The Learning Cycle as a Tool for Planning Science Instruction, dari
http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.htm, h 1
19
Macmillan dan Collier, Media, (Singapore: The Republic, 1990), h. 7
17

IPA pada setiap siswa kita. Dalam perkembangannya learning cycle


tiga fase saat ini telah berkembang dan disempurnakan menjadi lima fase dan
enam fase. Pada learning cycle lima fase diperkenalkan oleh Roger Bybee.
Siklus belajar terdiri dari lima fase (5E) yang saling berhubungan satu
sama lainnya, yaitu:
a. Fase Engage (Menarik Perhatian-Mengikat)
Fase engage merupakan fase awal. Pada fase ini guru menciptakan situasi
teka-teki yang sesuai dengan topic yang akan dipelajari siswa. Guru dapat
mengajukan pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi? Bagaimana
cara mengetahuinya? dll) dan jawaban siswa digunakan untuk mengetahui
hal-hal apa saja yang telah diketahui oleh mereka. Fase ini dapat pula
digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa.
b. Fase Exploration (Eksplorasi)
Selama fase eksplorasi, siswa harus diberi kesempatan untuk bekerja sama
dengan teman-temannya tanpa arahan langsung dari guru. Fase ini
menurut teori Piaget merupakan fase “ketidakseimbangan” dimana siswa
harus dibuat bingung. Fase ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk
menguji hipotesis atau prediksi mereka, mendiskusikan dengan teman
sekelompoknya dan menetapkan keputusan.
c. Fase Explain (Menjelaskan)
Pada fase ini guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan
kalimat mereka sendiri.
d. Fase Expand (Perpanjangan)
Pada fase ini siswa harus mengaplikasikan konsep dan kecakapan yang
telah mereka miliki terhadap situasi lain.
e. Fase Evaluate (Evaluasi)
Evaluasi dilakukan selama pembelajaran dilangsungkan. Guru bertugas
untuk mengobservasi pengetahuan dan kecakapan siswa dalam
mengaplikasikan konsep dan perubahan berfikir siswa. 20

20
Pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/siklus-belajar-learning-cycle-5e-sebuah-
metode-perencanaan-dalam-ipa/ - 24k – h 1
18

Model learning cycle menurut Lawson diklasifikasikan menjadi tiga


begian berdasarkan jenjang pendidikan yang mentapkannya. Ketiga macam
siklus belajar yaitu:
a. Siklus belajar ”deskriptif”, para siswa menemukan dan memberikan suatu
pola empiris dalam suatu konteks khisus (ekspolari); guru memberi nama
pada pola itu (pengenalan istilah atau konsep); kemudian pola itu
ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Bentuk siklus
belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa
yang mereka amati tanpa usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesis untuk
menjelaskan hasil pengamatan mereka. Ditinjau dari segi penalarannya,
siklus belajar deskriftif menghendaki hanya pola-pola deskriptif, misalnya
seriasi, klasifikasi dan konservasi.
b. Siklus belajar ”empiris-induktif, para siswa juga menemukan dan
memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi),
tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin
tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran
analogi untuk memindahkan atau mentrasfer konsep-konsep yang telah
dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini (pengenalan
konsep). Konsep tersebut dapat diperkenalkan oleh para siswa, guru, atau
kedua-duanya. Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediat,
menghendaki pola-pola penalaran deskriptif, tetapi pada umumnya
melibatkan pula pola-pola tingkat tinggi.
c. Siklis belajar ”hipotesis-deduktif”, para siswa diminta untuk merumuskan
jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan.
Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-
konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini, dan merencanakan serta
melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis (eksplorasi). Analisis
hasil-hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak,
sedangkan yang lain diterima dan konsep-konsep dapat diperkenalkan
(pengenalan konsep). Akhir konsep-konsep yang relevan dan didiskusikan,
19

dapat diterapkan diterapkan pada situasi-situasi lain di kemudisn hari


(aplikasi konsep).21
Berdasarkan uraian diatas model pembelajaran learning cycle patut
dikedepankan, karena model belajar ini sesuai dengan teori belajar Piaget yang
berbasis kontruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan
pengembangan aspek kognitif yang meliputi; struktur, isi dan fungsi. Struktur
intelektual merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu
untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam
merespon masalah yang dihadapinya. Sedangkan fungsi merupakan proses
perkembangan intelaktual yang mencakup adaptasi dan organisasi. 22
Bagi piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi
dan akomodasi, proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi
pada lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat
ketidaksinambungan ini maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada
mengalami perubahan atau struktur baru timbul. 23
Dari proses asimilasi ke akomodasi diharapkan dapat mengembangkan
struktur mental sehingga dapat diorganisasikan dengan konsep lain yang telah
dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari
respon yang diberikan dalam menghadapi masalah.
Implementasi learning cycle dalam pembelajaran sesuai dengan
pandangan kontruktivisme yaitu:
a. Siswa belajar secara aktif , siswa mempelajari materi secara bermakna
dengan bekerja dan berpikir, pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman
siswa.
b. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa,
informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.

21
Ratna W Dahar, Teori-teori Belajar,(Jakarta : Erlangga, 1996), h. 164 – 165.
22
Fauziatul Fajaroh, Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (learning cycle), dari
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20. h 1 - 2
23
Ratna W Dahar, Teori-teori Belajar,(Jakarta : Erlangga, 1996), h. 151
20

c. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan


pemecahan masalah. (Hudojo, 2001).24
Model pembelajaran learning cycle yang berorientasi pada
pembelajaran kontruktivisme ini sangat memperhatikan pengalaman dan
pengetahuan awal siswa serta bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
konsep siswa. Oleh karena itu pada setiap fase pembelajarannya guru dituntut
untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang beranjak isu-isu sains yang
relevan dengan lingkungan siswa, memicu proses disekuilibrium-ekuilibrium
pada diri siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi
dengan orang lain dalam mengemukakan dan mengembangkan pemahaman
tentang fenomena sains.
Lima unsur dasar dalam metode pembelajaran siklus belajar (learning
cycle) adalah:
a. Sintak, menghadapkan masalah, guru membawa beberapa contoh untuk
dieksporasikan kemudian siswa menemukan masalahnya dan
mengeksporasi dengan berkelompok dengan menjawab permasalahan yang
telah ia dapatkan.
b. Sistem sosial dengan jalan bekerja secara berkelompok untuk
mengeksporasi materi. Pada sistem ini yang dikembangkan adalah prinsip
kerjasama dan kesamaan derajat.
c. Prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah penyampaian hasil
eksporasi secara lugas dan dipahami oleh pendengar, memberi kesempatan
kepada rekannya yang lain untuk bertanya dan memberi jawaban tanpa
menyinggung sesama.
d. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah media pembelajaran berupa
media asli, literatur, dsb dan tehnik pembelajaran yang tepat untuk
mendukung pelaksanaan model pembelajaran siklus belajar seperti teknik
kerja kelompok.

24
Fauziatul Fajaroh, Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (learning cycle), dari
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20. h. 2
21

e. Produk, yaitu hasil yang diperoleh siswa setelah belajar baik berupa
pemahaman, konsep maupun simpulan. Selain itu diharapkan siswa
mampu menerapkan hasil pemahaman didalam kehidupan. 25
Keuntungan model pembelajaran learning cycle yaitu:
a. Meningkatkan motivasi belajar karena pembelajaran dilibatkan secara aktif
dalam proses pembelajaran.
b. Membantu mengembangkan sikap ilmiah pembelajar.
c. Pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Kelemahan model belajar learning cycle yaitu:
a. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan
langkah-langkah pembelajaran.
b. Menuntut kesungguhan dan kreatifitas guru dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajaran.
c. Memerlukan pengolahan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi.
d. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun
rencana dan melaksanakan pembelajaran. 26
Berdasarkan tahapan-tahapan dalam model pembelajaran bersiklus
yang diuraikan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan
guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman
mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari, sehingga dapat membangun
pemahaman dan pengetahuan siswa sesuai prinsip kontruktivisme dalam
belajar membangun pengetahuan dan memperoleh pembelajaran yang
bermakna.
3. Hakikat Proses Belajar Mengajar
Dalam perkembangan kehidupan manusia tidak dapat lepas dari proses
belajar. Dari lahir hingga dewasa dengan dorongan rasa ingin tahu serta
adanya kebutuhan interaksi dengan individual lain dan lingkungannya.

25
I Kudek Adi Hirawan, Model Siklus Belajar (Learning Cycle), dari
http://www.scribd.com/dok/16315603/Model-Siklus-Belajar
26
Fauziatul Fajaroh, Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (learning cycle), dari
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20. h 2
22

Manusia terdorong untuk mempelajari segala hal yang sederhana hingga yang
kompleks. Belajar juga merupakan proses dari perkembangan hidup manusia.
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat
latihan dan pengalaman. Belajar sesungguhnya adalah ciri khas manusia dan
yang membedakannya dengan binatang. Belajar yang dilakukan oleh manusia
merupakan bagian dari hidupnya, berlangsung seumur hidup, kapan saja, dan
di mana saja, baik di sekolah, di kelas, di jalanan dalam waktu yang tak dapat
ditentukan sebelumnya. Namun demikian, satuhal sudah pasti bahwa belajar
yang dilakukan oleh manusia senantiasa dilandasi oleh iktikad dan maksud
tertentu. Berbeda halnya dengan kegiatan yang dilakukan oleh binatang (yang
sering juga dikatakan sebagai belajar).27
Menurut kaum kontruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar
mengkontruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga
merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau
bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang
sehingga pengertiannya dikembangkan. 28
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah) belajar berarti kegiatan
pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-
banyaknya. Jadi dalam hal ini belajar dipandang dari sudut berapa banyak
materi yang dikuasai oleh siswa. Adapun secara kualitatif (tinjauan mutu)
belajar ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta
cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini
difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk
memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan
latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang

27
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), h 154
28
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.
61
23

menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi


segenap aspek organisme atau pribadi. 29
Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan
sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran
tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan
pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik
berusaha secara aktif untuk mencapainya. 30
Kegiatan belajar mengajar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan
tertentu.
b. Terdapat mekanisme, prosedur, langkah-langkah, metode dan teknik yang
direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c. Fokus materi jelas, terarah dan terencana dengan baik.
d. Adanya aktifitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya
kegiatan belajar mengajar.
e. Aktor guru yang cermat dan tepat.
f. Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan anak didik dalam proporsi
masing-masing.
g. Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
h. Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk.31
Keaktifan anak didik bukan hanya dinilai dari segi fisik namun dari
segi kejiwaan, karna apabila hanya fisik saja yang aktif sedangkan pikiran dan
mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai kemungkinan besar tidak akan tercapai semaksimal mungkin. Belajar
pada hakitkatnya adalah ”perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang
setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Jadi apabila terjadi perubahan
pada diri seorang anak, maka anak tersebut telah belajar.

29
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2002), h 10-11
30
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2002), h 38.
31
Pupuh Fathurrohman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Refika
Aditama, 2007) h 11
24

Ada asumsi atau anggapan bahwa belajar adalah semata-mata


mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk
informasi dari materi pembelajaran. Ada pula yang beranggapan bahwa
belajar adalah latihan belaka seperti yang nampak dalam latihan membaca da
menulis. Padahal , sesungguhnya menurut Skinner belajar adalah suatu proses
adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
Gredler (1986) mendefinisikan belajar sebagai proses memperoleh berbagai
kemampuan, keterampilan dan sikap. Belajar merupakan tahapan perubahan
seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman
dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. 32
Hilgard dan Bower, dalam bukunya Theories of Learning (1975)
mengemukakan. “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman
yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu
tidak dapat dijelaskan atau dasar kecendrungan respon pembawaan,
kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan,
pengaruh obat, dan sebagainya).” 33 Dari kesimpulan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa belajar adalah Suatu proses perubahan seorang anak dalam
segala hal, baik dalam segi tingkah laku, pemikiran serta keterampilan.
Ciri – ciri perubahan dalam pengertian belajar menurut Lameto (1987)
meliputi:
a. Perubahan yang terjadi berlangsung secara sadar, sekurang-kurangnya
sadar bahwa pengetahuannya bertambah, sikapnya berubah,
kecakapannya berkembang, dan lain-lain.
b. Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional. Belajar bukan
proses yang statis karena terus berkembang secara grandual dan setiap
hasil belajar memiliki makna dan guna yang praktis.
c. Perubahan belajar bersifat positif dan aktif. Belajar senantiasa menuju
perubahan yang lebih baik.
32
R. Angkowo dan A. Kosasih, Optimalisasi Media Pembelajaran, (Jakarta: Grasindo, 2007),
h. 47.
33
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 84
25

d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, bukan hasil belajar


jika perubahan itu hanya sesaat, seperti berkeringat, bersin, dan lain-lain.
e. Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. Sebelum belajar,
seseorang hendaknya sudah menyadari apa yang akan berubah pada
dirinya melalui belajar.
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku, bukan bagian-bagian
tertentu secara parsial. 34
Mengajar pasti merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan
keterlibatan individu anak didik. Bila tidak ada anak didik atau objek didik,
siapa yang diajar. Hal ini perlu sekali guru sadari agar tidak terjadi kesalahan
tafsiran terhadap kegiatan pengajaran. Karena itu, belajar dan mengajar
merupakan istilah yang sudah beku dan menyatu di dalam konsep pengajaran.
Guru yang mengajar dan anak yang belajar adalah dwi tunggal dalam
perpisahan raga jiwa bersatu antara guru dan anak didik.
Peran guru sebagai pembimbing bertolak dari cukup banyaknya anak
didik yang bermasalah. Dalam belajar ada anak didik yang cepat mencerana
bahan, ada anak didik yang sedang mencerna bahan, dan ada pula anak didik
yang lamban mencerna bahan yang diberikan oleh guru. Ketiga tipe belajar
anak didik ini menghendaki agar guru mengatur strategi pengajaran yang
sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik. Akhirnya, bila hakikat belajar
adalah ”perubahan”, maka hakikat belajar mengajar adalah proses ”pengaturan”
yang dilakukan oleh guru.

4. Fisika dan Hasil Belajar Fisika


Pendidikan sains atau lebih dikenal dengan Imu Pengetahuan Alam
(IPA), seperti pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat
penting dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan intelektual anak.
Dengan berbagai upaya dilakukan, pendidikan sains senantiasa mengalami
pengkajian ulang dan pembaruan untuk mencari bentuknya yang paling sesuai.

34
Pupuh Fathurrohman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Refika
Aditama, 2007) h 10
26

Menurut Fisher, sains adalah bangunan pengetahuan yang diperoleh


menggunakan metode berdasarkan observasi. Carin dan Sund, mengatakan
sains adalah suatu sistem untuk memahami semesta dengan data yang
dikumpulkan melalui observasi atau eksperimen yang dikontrol. Sedangkan
menurut Dawson, sains adalah aktivitas pemecahan masalah oleh manusia
yang termotivasi akan keingintahuannya terhadap alam di sekelilingnya dan
keingintahuanya untuk memahami, menguasai, dan mengolahnya demi
kebutuhannya. 35
“Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan proses dan
produk tentang pengkajian gejala alam (Sund & Trowbridge, 1973)”. Lahirnya
istilah IPA dimulai pada saat manusia memperhatikan gejala-gejala alam,
mencatatnya, dan kemudian mempelajarinya. “Pengetahuan yang diperoleh
mula-mula terbatas pada hasil pengamatan seadanya, kemudian semakin luas
akibat dari hasil pemikirannya (Harmoni, 1992)”.
Menurut Gagne yang dikutip oleh Dahar (1988), belajar merupakan
suatu proses dimana suatu organisme mengalami perubahan perilaku karena
adanya pengalaman. Pendapat senada disampaikan oleh Woolfolk dan
McCune-Nocolich (1984) yang menyatakan bahwa proses belajar telah terjadi
jika di dalam diri anak telah terjadi perubahan. Perubahan dalam diri anak
dikatakan sebagai hasil proses belajar jika perubahan tersebut diperoleh dari
pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Jadi belajar ditandai
oleh dua faktor yaitu adanya perubahan dan pengalaman. Menurut Fisher
seperti dikutip oleh Amien (1990), IPA termasuk fisika merupakan kumpulan
pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode yang
berdasarkan observasi. Dengan demikian dalam pembelajaran IPA (fisika)
diharapkan ada keterlibatan langsung antara anak dengan objek yang sedang
dipelajari.
Menurut Hardy dan Fleer (1996) pengertian sains dalam perspektif
yang lebih luas adalah sebagai berikut:
35
Nani Dahniar, Sains Project sebagai Salah Satu Alternatif dalam Meningkatkan
Keterampilan Proses Sains di SMP, (Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 2, Nomor 1, September
2006). h. 35
27

a. Sains sebagai kumpulan pengetahuan. Sains sebagai kumpulan


pengetahuan mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains tang sangat
luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan
yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan
yang sangat baru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori, dan
generalisasi yang menjelaskan tentang alam.
b. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigation). Sains sebagai suatu
proses penelusuran umumnya merupakan suatu pandangan yang
menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan kegiatan
laboratorium beserta perangkatnya.
c. Sains sebagai kumpulan nilai. Sains sebagai kumpulan nilai berhubungan
erat dengan penekanan sains sebagai proses.
d. Sains sebagai suatu cara untuk mengenal dunia. Proses sains dipengaruhi
oleh cara di man orang memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya.
e. Sains sebagai institusi sosial. Sains seharusnya dipandang dalam
pengertian sebagai kumpulan profesional, di mana melalui sains para
ilmuan dilatih dan diberi penghargaan akan hasil karya yang telah
dihasilkan, didanai, dan diatur dalam masyarakat, dikaitkan dengan unsur
pemerintah bahkan dipengaruhi oleh politik.
f. Sains sebagai hasil konstruksi manusia. Pandangan ini menunjuk pada
pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dari suatu
kebenaran ilmiah mengenai hakikat semesta alam.
g. Sains sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang menyadari bahwa
apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat
dipengaruhi oleh sains. 36
Salah satu dari cabang ilmu pengetahuan alam (IPA) adalah ilmu fisika
yang merupakan ilmu yang mempelajari fenomena alam. Ilmu fisika yang
merupakan dasar dari sains adalah ilmu yang diperoleh berdasarkan
pengamatan dan eksperimen, serta menghubungkan kernyataan-kenyataan
berdasarkan metode ilmiah sehingga keberadaannya sangat penting bagi

36
Sumaji, Pendidikan Sains yang Humanistis, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h144-115.
28

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu setiap orang
harus mampu mengembangkan hasil belajarnya dalam pendidikan di era ini.
Secara sederhana pengertian fisika ialah ilmu pengetahuan atau sains
tentang energi, transformasi energi, dan kaitannya dengan zat. Sebagaimana
sains yang lain, fisika juga mengalami perkembangan yang pesat terutama
sejak abat ke-19. oleh karena itu orang membagi fisika dalam fisika klasik dan
fisika modern. Fisika klasik merupakan akumulasi dari pengetahuan, teori-
teori, hukum-hukum tentang sifat zat dan energi yang sebelum tahun 1900
mengalami penyempurnaan. Sekitar tahun 1900 terjadi beberapa fenomena
anomali dalam fisika klasik sehingga melahirkan fisika modern. Fisika
modern mempelajari struktur dasar suatu zat, yakni molekul, atom, inti serta
partikel dasar.37
Fisika adalah ilmu tentang gejala dan perilaku alam sepanjang dapat
diamati oleh manusia. Jadi, jelas bahwa teknik-teknik pengamatan (observasi)
merupakan bagian yang amat penting dalam pengajaran fisika. Manusia
memiliki lima indra, tetapi khisus ilmu fisika yang terutama menggarap benda
mati, penglihatan dan pendengaran merupaka dua indra yang paling banyak
dipakai. 38
Fisika mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam
lingkup ruang dan waktu. Fisikawan mempelajari perilaku dan sifat materi
dalam bidang yang sangat beragam, mulai dari partikel submikroskopis yang
membentuk segala materi (fisika partikel) hingga perilaku materi alam
semesta sebagai satu kesatuan kosmos. Fisika adalah ilmu yang mempelajari
kejadian-kejadian alam serta interaksi antara benda-benda, atau materi-materi
di alam ini. Banyak faktor yang dapat membuat pembelajaran fisika menjadi
lebih menarik dan menghasilakan prestasi siswa yang tinggi. Namun, satu
faktor terpenting untuk hal itu adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran. Siswa terlibat secara aktif dalam mengamati,
mengoperasikan alat, atau berlatih menggunakan objek konkret sebagai bagian
37
Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h 31
38
Suprapto Brotosiswoyo, Hakikat Pembelajaran MIPA Di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Pekerti-MIPA, 2001), h. 6.
29

dari pelajaran. Membicarakan hakikat fisika sama halnya dengan


membicarakan hakikat sains karena fisika merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari sains. Oleh sebab itu, karakter fisika pada dasarnya sama
dengan karakteristik sains pada umumnya.
Ilmu fisika tidak hanya menggarap gejala dan perilaku alam secara
kualitatif, tetapi juga secara kuantitatif. Untuk itu, diperlukan juga unsur
kecermatan dan ketelitian, yang menjadi salah satu andalan dari kemahiran
pengamatan. Yang dimaksud dengan ”pengamatan” di sini bukan hanya
pengamatan secara langsung, tetapi juga pengamatan tidak langsung. Oleh
sebab itu, dalam bahan ajar ini kedua jenis pengamatan itu dibedakan.
Meskipun demikian, batas-batas perbedaan antara keduanya tidak terlalu tajam
untuk dipermasalahkan. 39
Pada dasarnya ilmu pengetahuan dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan, diantaranya adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang membehas
tentang fenomena alam, kemudian IPA dibagi menjadi beberapa cabang
disiplin ilmu, diataranya adalah fisika. Dimana fisika merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang memepelajari tentang gejala-gejala alam yang terjadi di
dalamnya.
Dari sudut pandang ontologi, IPA yang kita pelajari memperagakan
berbagai fenomena alam yang indah mempesona, yaitu keragaman,
keserupaan, keteraturan, kelestarian nisbi, dan kejadian-kejadian yang bersifat
probabilistik, sehingga manusia merasa tertarik kepada alam seisinya dan
kemudian mengagungkan penciptannya. Inilah nilai religius (agama) yang
disumbangkan pendidikan IPA kepada anak didik. Semakin luas dan semakin
dalam seseorang mempelajari IPA, semakin kecil ia merasa sebagai makhluk
bila dibandingkan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan alam
seisinya yang mengandung rahasia tak habis-habisnya. 40
Kegiatan proses belajar mengajar ada dua aspek utama pada mata
pelajaran IPA, yaitu aspek teoritis dan empiris. Kedua aspek ini saling terkait
39
Suprapto Brotosiswoyo, Hakikat Pembelajaran MIPA Di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Pekerti-MIPA, 2001), h. 7.
40
Sumaji, Pendidikan Sains yang Humanistis, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 38
30

dan saling mengisi. Ide-ide yang melahirkan teori harus diuji secara empiris.
Jika suatu teori tidak dapat dijelaskan melalui ceramah atau eksperimen
karena konsep yang abstrak seperti massa jenis dan sifat zat, maka guru dapat
memberikan suatu model pembelajaran yang dapat mengkonkretkan sebuah
teoriyang abstrsk sehingga peningkatan pemahaman siswa akan meningkat
yang berpengaruh juga pada hasil belajar fisikanya.
Hasil belajar tampak terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa,
yang dapat diamati dan dapat diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan
sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya
peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan
sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan
menjadi sopan dan sebagainya. 41
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah menerima pengalaman belajarnya. 42 Hasil belajar harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi
tinggi, baik secara individual maupun kelompok.
b. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus
telah dicapai oleh siswa, baik secara individual maupun kelompok.
Namun demikian, indikator yang banyak dipakai sebagai tolak ukur
keberhasilan adalah daya serap.43
Dalam pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, menggunakan
klasifikasi hasil belajar dari Bunyamin Bloom yang secara garis besar menjadi
3 ranah, yaitu :
a. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek yaitu, pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi.

41
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), h 155
42
Nana Sudjana, Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2004) h. 22
43
Syaiful Bahri, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), cet.3
h. 106
31

b. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam ranah psikomotorik ini yaitu gerakan
refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan
atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan
interpretatif. 44
Berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran dapat dilihat dari berbagai
faktor yang dapat mempengaruhinya. Oleh karena itu, faktor-faktor umum
yang mempengaruhi dalam proses belajar yaitu faktor internal dan eksternal.
1) Faktor Internal
Faktor internal disebut juga faktor individual yaitu faktor yang
terdapat pada organisme (siswa) itu sendiri. Muhibbin Syah menyebutkan
bahwa yang termasuk faktor internal adalah aspek fisiologis dan psikologi.
Aspek fisiologis mencakup kondisi tubuh siswa termasuk organ tubuh dan
kondisi alat indera. Sedangkan aspek psikologis banyak sekali macamnya
tetapi yang esensial antara lain kecerdasan (intelegensi), sikap, bakat,
minat, dan motivasi siswa.
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai
tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat
mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.
Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat
dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. 45
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri dari faktor keluarga, masyarakat, dan
sekolah. Lingkungan sosial sekolah seperti guru, staff administrasi, dan
temen-temen sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa.
Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan

44
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), h.
117
45
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), h.132
32

memperlihatkan suri tauladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal
belajar, misalnya rajin membaca dan diskusi, dapat menjadi daya dorong
yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Lingkungan masyarakat juga dapat mempengaruhi proses belajar,
misalnya kondisi masyarakat di lingkungan kumuh yang serba kekurangan
dan anak-anak pengangguran, paling tidak siswa akan menemukan
kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau diskusi atau meminjam
alat-alat belajar tertentu yang belum dimiliki.
Lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi belajar, misalnya
kelalaian orang tua dalam memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan
dampak yang buruk. Dalam hal ini, bukan saja anak tidak mau belajar
melainkan juga ia cenderung berperilaku menyimpang, terutama perilaku
menyimpang yang berarti seperti anti sosial.
Hasil belajar merupakan realisasi pemekaran dari kecakapan-
kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Hasil belajar
fisika dapat dilihat dari aspek kognitif berupa hasil tes belajar, serta
keterampilan motorik siswa, dimana siswa ikut berperan aktif ketika proses
belajar mengajar.

B. Kerangka Pikir
Proses belajar fisika akan menjadi efektif bila bahan yang dipelajari
dikaitkan langsung dengan tujuan yang akan dicapai dan dihubungkan dengan
masalah kehidupan sehari-hari. Pembelajaran fisika, pada saat ini masih
berpusat pada guru, sehingga kurang menumbuh kembangankan kemampuan
berfikir siswa. Pemberian materi sering kali diajarkan dengan menggunakan
metode ceramah, misalkan guru menerangkan rumus, kemudian siswa
diharapkan mampu menerapkan rumus tersebut untuk mengerjakan kuis yang
diberikan oleh guru.
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa SMP, harus memperhatikan
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Mata pelajaran fisika memiliki
tingkat kesulitan yang cukup tinggi, karena siswa dituntut memiliki
33

pemahaman konsep materi yang baik. Karena tingkat kesulitan yang cukup
tinggi pata mata pelajaran ini, proses belajar yang seharusnya diberikan
kepada siswa yaiti proses pembelajaran yang tidak hanya mendidik siswa dari
segi kognitif saja, tetapi juga harus memperhatikan kondisi siswa lainnya,
seperti tingkat kenyamanan siswa dalam memperoleh materi. Materi yang
cukup sulit jika perlakuan yang diberikan guru hanya perlakuan yang bersifat
satu arah saja, maka siswa akan kurang tertarik pada materi yang disampaikan.
Siswa yang belajar fisika disekolah diberikan pengetahuan antara lain
tentang kejadian-kejadian alam dilingkungan sekitar. Perubahan minat siswa
dapat terjadi antara melalui proses pembelajaran. Tentu untuk memperoleh
perubahan minat siswa terhadap mata pelajaran Fisika dapat dilakukan melalui
proses pembelajaran fisika. Agar siswa memiliki minat terhadap mata
pelajaran fisika, maka siswa diberi pengetahuan fisika antara: kejadian-
kejadian alam sekitar, perubahan cuaca, macam-macam cabang fisika serta
manfaat ilmu fisika bagi kehidupan manusia.
Pengetahuan merupakan apa saja yang diketahui manusia yang dapat
menimbulkan kesan dalam pikiran manusia. Pengetahuan tersebut merupakan
hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat
digunakan untuk menanggapi proses yang ada disekitarnya. Berdasarkan teori
yang ada, pengetahuan diharapkan dapat membentuk terjadinya perubahan
tingkah laku yang positif. Perubahan misalnya pengetahuan yang merupakan
ranah kognitif, perubahan minat yang merupakan ranah efektif dan
keterampilan proses sebagai ranah psikomotor.
Oleh sebab itu, metode pembelajaran yang dapat menciptakan agar
siswa dapat aktif satu sama lain, sehingga dapat memahami kebutuhannya
adalah model pembelajaran learning cycle. Model pembelajan ini, merupakan
alternatif pembelajaran yang dapat memberikan suasan baru dalam kegiatan
belajar mengajar. Proses pengajaran ini dirancang dengan siswa sebagai pusat
yang mana siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya
semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-
34

kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena


alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur
mentalnya yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang
mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi yang diawali dengan
kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Model pembelajaran learning cycle
diharapkan dapat mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan yang telah
dimiliki siswa, dan dapat mengarahkan siswa untuk berperan aktif dalam
proses belajar dengan mencari tahu keadaan sebenarnya serta dapat
meningkatkan hasil belajar fisika siswa.
Walaupun model learning cycle berperan cukup penting dalam proses
belajar, tetapi bukan berarti model learning cycle adalah penentu satu-satunya
keberhasilan belajar siswa. Masih banyak lagi faktor lain yang menentukan
keberhasilan proses belajar siswa, diantaranya adalah faktor kondisi siswa
tersebut pada saat proses pembelajaran berlangsung. Akan tetapi tidak menjadi
subjek penelitian penilis dalam tulisan ini.

C. Perumusan Hipotesis
Dari kajian teori dan penyusunan kerangka pikir dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
Ho: Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran learning cycle terhadap
hasil belajat fisika pada konsep massa jenis.
Ha: Terdapat pengaruh model pembelajaran learning cycle terhadap hasil
belajat fisika pada konsep massa jenis.
35

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian ini adalah SMP Islam Ruhama Jakarta Selatan Kelas
VII Semester I (ganjil) Tahun Pelajaran 2009/2010. Penelitian dilakukan pada
semester ganjil bulan Oktober 2009, selama tiga minggu.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode quasi
experiment (eksperimen semu), dalam metode ini terdapat kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan diberikan
perlakuan khusus (variabel yang akan diuji) yaitu model learning cycle,
sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan metode demonstrasi, yang akan
dibandingkan hasilnya dengan perlakuan eksperimen.

C. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
randomized pretest-postest control group design). Desain penelitian
dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 3.1
Desain Penelitian
Kelompok Pretest Perlakuan Postest
(R)E O1 XE O2
(R)K O1 XK O2

Keterangan:
(R)E : Kelompok eksperimen
(R)K : Kelompok kontrol

35
36

XE : Perlakuan yang dilakukan pada kelompok eksperimen


XK : Perlakuan yang dilakukan pada kelompok kontrol
O1 : Pretest
O2 : Postest
Dari tabel 3.1 pelaksanaan penelitian dimulai dengan memberikan
pretest pada kelompok eksperimen dan kontrol dengan soal yang sama,
kemudian dilanjutkan dengan memberikan perlakuan yang berbeda pada
setiap kelompok, kelompok eksperimen diajarkan dengan menggunakan
model pembelajaran learning cycle, sedangkan kelompok kontrol
diajarkan dengan menggunakan metode demonstrasi. Setelah konsep
selesai diajarkan maka diadakan tes hasil belajar berupa posttest.

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek peneliti, sebelum penelitian
dilaksanakan, terlebih dahulu harus ditentukan populasi penelitian.
Populasi target dalam hal ini adalah siswa SMP Islam Ruhama Jakarta
Selatan, sedangkan populasi terjangkau yaitu seluruh siswa kelas VII SMP
Islam Ruhama Jakarta Selatan yang terdaftar di sekolah tersebut pada
semester genap tahun ajaran 2008/2009. Jumlah siswa kelas VII SMP
Islam Ruhama sebanyak 128 siswa yang terdiri dari empat kelas.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi. Sampel
diambil secara random dari populasi terjangkau sebanyak dua kelas.
Kedua kelas dipilih secara random sebagai kelas eksperimen yaitu kelas
VII-A dan satu kelas sebagai kelas kontrol yaitu kelas VII-B. Sampel
diambil dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel
bertujuan didasarkan pada tujuan penelitian, 46 yang perinciannya dapat
dilihat pada tabel berikut:

46
Yanti Herlanti, Tanya Jawab Seputar Penelitian Pendidikan Sains (Makalah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 23.
37

Tabel. 3. 2
Perincian Populasi dan Sampel
No Kelas Jumlah siswa Sampel
1 VII-A 32 29
2 VII-B 31 29

E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar fisika adalah
tes obyektif (pretest dan posttest). Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu tes pilihan ganda (multiple choice) dengan empat pilihan. Soal-soal
yang diajukan berupa materi yang akan dibahas pada pelaksanaan
pembelajaran. Bentuk penilaian adalah dengan memberikan skor 1 apabila
siswa menjawab dengan benar dan nilai 0 apabila siswa menjawab salah.
Sebelum tes dilakukan, tes tersebut harus terlebih dahulu memenuhi
persyaratan, karena instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan
penting yaitu validitas dan reliabilitas.
1. Uji Validitas
Suatu alat evaluasi disebut valid apabila alat tersebut mampu
mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi, atau dengan kata lain suatu
alat evaluasi disebut valid jika ia dapat mengevaluasi dengan tepat sesuatu
yang dievaluasikan itu. Uji validitas adalah uji kesanggupan alat penilaian
dalam mengukur isi sebenarnya. Uji coba ini dilakukan dengan
mengkorelasionalkan skor masing-masing item dengan skor total. Untuk
mengukur validitas soal dalam penelitian ini digunakan korelasi Point
Biserial, 47 yaitu:
M p  Mt p
rpbis 
SDt q
Keterangan:
Rpbis :koefisien korelasi biserial

47
Subana, Statistik Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 156.
38

Mp : rerata skor pada subjek menjawab betul bagi item yang dicari
validitasnya.
Mt : mean skor total, yang berhasil dicapai oleh peserta tes.
SDt : standar deviasi dari skor total
p : proporsi peserta tes yang menjawab betul.
q : proposi peserta tes yang menjawab salah

Kemudian disamakan dengan r table dengan kriteria pengujian, jika


r ≥ r table maka butir soal tersebut adala valid dan jika r ≤ r table maka
butir soal tersebut adalah tidak valid.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas alat penilaian adalah ketetapan alat tersebut dalam
menilai apa yang dinilainya. Analisis reliabilitas dilakukan untuk
mengetahui soal yang sudah disusun dapat memberikan hasil yang tetap
atau tidak tetap. Hal ini berarti apabila soal dikenakan untuk sejumlah
subjek yang sama dalam waktu tertentu, maka hasil akan tetap atau relatif
sama. Instrumen disebut reliabel mengandung arti bahwa instrumen
tersebut cukup baik sehingga mampu mengungkapkan data yang bisa
dipercaya. Uji reabilitas dapat dicari dengan rumus yang diketemukan oleh
Kuder dan Richardson atau dikenal dengan rumus K-R.20 yaitu:48
2
 n   S   pq 
r11    
 n  1  S2 
Keterangan:
r11 : raliabilitas tes secara keseluruhan
n : jumlah item
2
S t : standar deviasi atau simpangan baku
p : proposi responden yang menjawab benar
q : proposi responden yang menjawab salah
Adapun kriteria pengujiannya adalah:

48
Suharsimi Ariakunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005)
h. 100
39

Tabel 3. 3
Kriteria Uji Reabilitas
Interval Koefisien Kriteria
0,00 – 0,20 Kecil
0,21 - 0,40 Rendah
0,41 - 0,70 Sedang
0,71 – 0,90 Tinggi
0,91 – 1,00 Sangat Tinggi

Hasil perhitungan uji reabilitas kemudian disamakan dengan nilai r


tabel, jika r hitung  r tabel maka instrumen hasil belajar reliabel dan jika r
hitung  r tabel maka instrumen hasil belajar tidak reabel.
3. Uji Tingkat Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak
terlalu sulit/sukar. Bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya
suatu soal disebut indeks kesukaran (difficulty index). Untuk dapat
mengukur tingkat kesukaran suatu soal digunakan rumus: 49
B
P
Keterangan: JS

P : tingkat kesukaran satu butir soal tertentu


B : banyaknya siswa yang menjawab soal dengan betul
JS : jumlah seluruh siswa peserta tes
Kriteria tingkat kesukaran soal:
Tabel 3. 4
Kriteria Uji Tingkat Kesukaran
Interval Koefisien Kriteria
0,00  P  0,30 Sukar
0,30 < P  0,70 Sedang

49
Suharsimi Ariakunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005),
h. 208
40

Interval Koefisien Kriteria


0,70 < P  1,00 Mudah

4. Daya Pembeda
Analisis daya pembeda mengkaji butir-butir soal dengan tujuan
untuk mengetahui kesanggupan soal dalam membedakan siswa yang
tergolong mampu (tinggi prestasinya) dengan siswa yang tergoling kurang
mampu (lemah prestasinya). Cara penggitungan daya pembeda adalah
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

BA BB
D   PA  PB
J A JB
Keterangan:
J : jumlah peserta tes
JA : banyaknya peserta kelompok atas
JB : banyaknya peserta kelompok bawah
BA : banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan
benar
BB : banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan
salah
PA : proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB : proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Klasifikasi daya pembeda soal:
Tabel 3. 5
Kriteria Daya Pembeda
Interval Koefisien Kriteria
0,00 – 0,20 Jelek
0,21 – 0,40 Cukup
0,41 – 0,70 Baik
0,71 – 1,00 Sangat baik
Dalam pengujian instrumen ini peneliti menggunakan software
ANATES.
41

Tabel. 3. 6
Kisi – kisi Instrumen Tes Hasil Belajar
Konsep/sub konsep Tingkat Pengetahuan dan Nomor Jumlah
Butir
Massa Jenis C1 C2 C3 Jumlah
1. Membuktikan 1*, 7*, 10*, 2*, 17
bahwa massa
14, 19*, 20*, 18*,
jenis adalah
salah satu ciri 21*, 26*, 39*
khas suatu zat
27*, 30*,
31*, 33*,
34*, 40*

3, 24*, 37* 4*, 5*, 28*, 14


2. Menghitung
massa jenis 6, 18*, 38*
suatu zat
22,
29*,
32*,
35*,
36*

25* 12* 8*, 9*, 9


3. Menggunakan
konsep massa 11*,
jenis untuk
13*,
pemecahan
berbagai 16*,
masalah dalam
17*,
kehidupan
sehari-hari 23*

Keterangan: *soal yang digunakan dalam penelitian


42

F. Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas
dan variabel terikat. Dimana variabel bebas adalah model learning cycle,
sedangkan variabel terikat adalah hasil belajar fisika siswa.
1. Variabel Y
a. Definisi Konseptual
Hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa dari mempelajari tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan tertentu dengan alat ukur berupa
evaluasi yang dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, atau simbol
dengan istilah lain prestasi.
b. Definisi Operasional
Hasil belajar adalah skor yang dapat dicapai untuk siswa dalam mata
pelajaran fisika pada konsep massa jenis. Hasil belajar fisika dapat
diketahui dari skor tes ulangan harian (posttest) yang telah dikerjakan
siswa.
2. Variabel X
a. Definisi Konseptual
Model pembelajaran learning cycle adalah siswa dilibatkan dalam
kegiatan belajar yang aktif melakukan asimilasi, akomodasi, dan
organisasi ke dalam struktur kognitif siswa yaitu dari ingatan
(pengetahuan), memahami, menerapkan, menganalisis, dan
mensintesis.
b. Definisi Operasional
Model pembelajaran learning cycle adalah suatu model pembelajaran
yang berpusat pada siswa, yang merupakan rangkaian tahapan-tahapan
kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Sehingga urutan tingkat
kemampuan kognitif siswa dari tingkat yang paling rendah sampai
tingkat yang paling tinggi.
43

G. Teknik Pengumpulan Data


1. Tahap Persiapan
Persiapan yang dilakukan berupa penyesuaian waktu belajar di sekolah dengan
satuan pelajaran dan alokasi waktu yang telah ditetapkan. Juga berupa
penyusunan materi mengajar dengan menggunakan model learning cycle dan
tahapan-tahapan pembuatannya serta pengujian instrumen penelitian pada
kelas berbeda berupa tes objektif.
2. Tahapan Pelaksanaan
Pelaksanaan dimulai dengan memberikan pretest pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan perlakuan
dengan tahapan-tahapan penggunaan model learning cycle di kelas
eksperimen. Setelah pokok bahasan selesai diajarkan maka diadakan tes hasil
belajar berupa posttest, dengan instrumen berupa soal objektif, dengan rentang
skor 1 jika benar, dan 0 jika salah. Tes yang sama juga dilakukan pada kelas
kontrol yang diajarkan dengan metode konvensional, untuk mengetahui
perbedaan hasil belajar antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data yang
didapat kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan.
3. Tahap Pelaporan
Tahap pelaporan merupakan tahap akhir dari penelitian. Pada tahap ini
dikemukakan proses berlangsungnya penelitian dan hasil penelitian.

H. Teknik Analisis Data


Setelah data terkumpul maka dilakukan teknik analisis data, yaitu
peneliti berusaha untuk memberikan uraian mengenai hasil penelitiannya.
Dalam analisis data dilakukan beberapa tahap yang meliputi: uji normalitas,
uji homogenitas, dan dilanjutkan dengan pengujian hipotesis.
1. Uji Prasyarat Analisis Data
Prasyarat analisis data yang digunakan meliputi uji normalitas dan
uji homogenitas. Secara rinci dijabarkan sebagai berikut:
44

a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel
yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Pengujian ini sangat
penting sebab teknik analisis yang akan dipakai selanjutnya akan
ditentukan oleh normal atau tidaknya distribusi populasi dimana
sampel peneliti itu berasal. Uji normalitas dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan uji Liliefors dengan langkah-langkah
sebgai berikut:
a. Hipotesis
Ho: Data sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
Hi: Data sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal
b. Urutkan data sampel dari yang kecil ke yang besar.
c. Hitung nilai Zi dari masing-masing data, dengan rumus:

Xi  X
Dimana: Zi 
S
Xi : data
X : rata-rata tunggal
S : simpangan baku
d. Dengan mengacu pada tabel distribusi normal baku, tentukan besar
peluang untuk masing-masing nilai Z, berdasarkan tabel Z di tulis
F(Z  Zi) yang mempunyai rumus F(Zi) = 0.5  Z
e. Hitung proporsi Z1, Z2,... Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi,
jika proporsi dinyatakan oleh S(Zi), maka

banyaknyaZ1, Z 2 ,...Z n yang  Z t


S ( Zi ) 
n
f. Hitung selisih absolut F(Z) – S(Z), pada masing-masing data
g. Ambil harga Lhitung yang paling besar kemudian dibandingkan
dengan nilai Ltabel dari tabel liliefors
h. Apabila nilai Lhitung < Ltabel diterima, yang berarti data sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal, dan apabila nilai
45

Lhitung > Ltabel ditolak, berarti data sampel berasal dari populasi
tidak normal.
b. Uji Homogenitas
Setelah melakukan uji normalitas, maka dilakukan uji
homogenitas. Uji homogenitas berfungsi untuk mengetahui apakah
kedua kelompok populasi itu homogen atau heterogen. Uji
homogenitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
distribusi F. Varians dari populasi homogen apabila, F- hitung lebih
kecil dari F- tabel. Apakah F-hitung lebih besar dari F-tabel, maka
varians dari populasi itu adalah heterogen.

S12 n X 2  (  X ) 2
Fhitung  di mana S2 
S 22 n(n  1)
Keterangan:
S1222 : varians terbesar
S22 : varians terkecil.

2. Uji Hipotesis
Setelah dilakukan pengujjian populasi data dengan menggunakan uji
normalitas dan homogenitas, maka untuk menguji data yang diperoleh
digunakan rumus uji-t.

XE  X K
thitung 
1 1
S gab 
nE nK

Dengan:

(nE  1) S E2  (nK  1)S K2


S gab 
( nE  nK  2)

Keterangan:
X1 : mean/ nilai rata-rata hasil kelas eksperimen
X2 : mean/ nilai rata-rata hasil kelas kontrol
46

n1 : jumlah siswa kelas eksperimen


n2 : jumlah siswa kelas kontrol
2
S E : varian data kelas eksperimen
S2 K : varian data kelas kontrol50
Hasil perhitungan statistik tersebut digunakan untuk menguji
kebenaran hipotesis statistik, sedangkan pengujian t-tes dalam tabel
dilakukan taraf signifikan 0,05. apabila t-hitung lebih besar dari harga
tabel berarti dapat dikatakan bahwa penguasaan konsep fisika siawa yang
diajar dengan menggunakan model learning cycle lebih tinggi daripada
siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.
3. Uji Normalitas Gain
Gain adalah selisih antara nilai posttest dan pretest, gain
menunjukkan peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep siswa
setelah pembelajaran dilakukan guru, untuk menghindari hasil kesimpulan
yang akan menimbulkan bias penelitian, karena pada nilai pretest kedua
kelompok penelitian sudah berbeda, digunakan uji normal gain.
Rumus normal gain menurut Melzer,51 yaitu:
N-gain = skorposttest – skorpretest
Skorideal – skorpretest
Dengan kategori perolehan:
Tabel 3. 7
Kriteria N-Gain
Interval Koefisien Kriteria
(<g>) > 0,70 Tinggi
0,70  (<g>)  0,30 Sedang
(<g>) < 0,30 Rendah

50
Subana, Statistik Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 171
51
David E. Meltzer, Addendum to: The Relationship between Mathematic Preparation dan
Conceptual Learning Gains in Physic: a Possible-hidden Variable”in Diagnostic Pretest Scores”,
dari http:/physic.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gain.pdf.
47

I. Hipotesis Statistik
Adapun hipotesis statistik yang akan diuji adalah sebagai berikut:
Ho : E = K
Ha : E > K
Keterangan:
Ho : Hipotesis nihil
Ha : Hipotesis alternatif
E : Hasil belajar fisika siswa yang diajar menggunakan pembelajaran model
learning cycle.
K : Hasil belajar fisika siswa yang diajar menggunakan metode demonstrasi.
48

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data
1. Deskripsi Data Pretest Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian, hasil belajar pretest
pada kelompok eksperimen, dari 29 siswa yang dijadikan sampel
diperoleh nilai maksimum 69 dan nilai minimum 31, dengan rata-rata nilai
(mean) 42,59, median 43,92, modus 37, standar deviasi 8,06, dan varians
(8,06)2. Untuk kelompok kontrol, berdasarkan hasil perhitungan data
penelitian pada kelompok kontrol, dari 29 siswa yang dijadikan sampel
diperoleh nilai maksimum 51 dan nilai minimum 23, dengan rata-rata
nilai (mean) 37,76, median 39,72, modus 40, standar deviasi 6,12, dan
varians (6,12)2. Lebih jelasnya deskripsi skor pretest dapat dilihat pada
lampiran 2.

10
9 9
9
8
8

7
6 6
6
Frekuensi

Kelas Kontrol
5 5
5
Kelas
4 Eksperimen
3
3
2 2
2
1 1 1
1
0 0 0 0 0 0 0
0
23 - 27 28 - 32 33 - 37 38 - 42 43 - 47 48 - 52 53 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72
Interval Nilai Pretest

Gambar 4. 1 Grafik Batang Hasil Belajar Fisika (Pretest)


Kelompok Eksperimen dan Kontrol

48
49

Berdasarkan grafik batang di atas terlihat bahwa pada kelompok


eksperimen terdapat dua orang siswa(6,90%) yang mendapat nilai terendah
pada interval 28 – 32, sedangkan kelompok kontrol terdapat pada interval
23 – 27 sebanyak satu orang siswa (3,40%). Pada kelompok eksperimen
nilai tertinggi terdapat pada interval 68 – 72 yaitu satu orang siswa
(3,40%), sedangkan kelompok kontrol terdapat pada interval 48 – 52 yaitu
sebanyak dua orang siswa (6,90%). Berdasarkan grafik histogram di atas,
nilai terbanyak pada kelompok eksperimen dan kontrol ada sembilan orang
siswa (31,03%) yang terdapat pada interval 33 – 37.
2. Deskripsi Data Postest Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Berdasarkan hasil perhitungan data penelitian yang diperoleh dari
hasil posttest pada kelompok eksperimen, dari 29 siswa yang dijadikan
sampel diperoleh nilai maksimum 83 dan nilai minimum 54, dengan rata-
rata nilai (mean) sebesar 64,83, median 66,94, modus 60, standar deviasi
6,55, dan varians (6,55)2. Untuk kelompok kontrol diperoleh nilai
maksimum 60 dan nilai minimum 29, dengan rata-rata nilai (mean) sebesar
43,89, median 46,5, modus 43, standar deviasi 7,26, dan varian
(7,26)2.( lampiran 2).

14
13
12
12
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
10

8
Frekuensi

6
5 5
4 4
4

2 2
2
1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0
0
29 - 34 35 - 40 41 - 46 47 - 52 53 - 58 59 - 64 65 - 70 71 - 76 77 - 82 83 - 88

Interval Nilai Posttest


Gambar 4. 2 Grafik Batang Hasil Belajar Fisika (Posttest)
50

Berdasarkan grafik batang di atas terlihat bahwa pada kelompok


eksperimen terdapat lima orang siswa (17,24%) yang mendapat nilai
terendah pada interval 53 - 58, sedangkan untuk kelompok kontrol terdapat
pada interval 29 - 34 sebanyak empat orang siswa (13,80%). Pada
kelompok eksperimen nilai tertinggi terdapat pada interval 83 - 88 yaitu
sebanyak satu orang siswa (3,40%), sedangkan pada kelompok kontrol
terdapat pada interval 59 - 64 yaitu sebanyak satu orang siswa (3,40%).
Berdasarkan grafik histogram diatas, nilai terbanyak pada kelompok
eksperimen terdapat pada interval 65 – 70 yaitu sebanyak 12 orang siswa
(41,40%), sedangkan pada kelompok kontrol ada 13 orang siswa (44,80%)
yang terdapat pada interval 41 – 46.
3. Deskripsi Data Normal Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Berdasarkan hasil perhitungan data penelitian mengenai hasil
normal gain pada kelas eksperimen, dari 29 siswa yang dijadikan sampel
diperoleh N-gain minimum 0, N-gain maksimum 0,67, N-gain rata-rata
sebesar 0,38, standar deviasi 0,15 dan varians (0,15)2, untuk kelompok
diperoleh N-gain minimum -0,31, N-gain maksimum 0,39, nilai rata-rata
sebesar 0,09, standar deviasi 0,15 dan varians (0,15)2. Data tersebut dapat
dilihat pada histogram di bawah ini, dan untuk perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada lampiran 2.
12
11

10 10
10

8
7 Kelas Kontrol
Frekuensi

Kelas Eksperimen
6

4 4
4
3 3

2 2
2
1 1

0 0 0 0
0
0.31 - 0.19 0.18 - 0.06 0.05 - 0.07 0.08 - 0.20 0.21 - 0.33 0.34 - 0.46 0.47 - 0.59 0.60 - 0.72

Inter val Nilai N-gain

Gambar 4. 3 Grafik Batang N-Gain Kelas Eksperimen dan Kontrol.


51

Berdasarkan grafik batang di atas, maka dapat diketahui bahwa


pada kelompok eksperimen ada sebanyak satu orang siswa (3,45%) yang
mendapat nilai terendah pada interval -0,05 – 0,07, sedangkan untuk kelas
kontrol pada interval -0.31 – (-0.19) ada sebanyak satu orang siswa
(3,45%). Pada kelompok eksperimen nilai tertinggi pada interval 0,60 –
0,72 ada dua orang siswa (6,90%), dan pada kelompok kontrol nilai
tertinggi ada sebanyak dua orang siswa (6,90%) pada interval 0,34 – 0,46.
Berdasarkan grafik histogram di atas, nilai terbanyak pada kelompok
eksperimen ada 11 orang siswa (37,93%) pada interval 0,34 – 0,46,
sedangkan untuk kelompok kontrol nilai terbanyak ada 10 orang siswa
(34,48%) pada interval -0,05 – 0,07 dan 0,08 – 0,20.
Lebih jelasnya perbedaan hasil belajar antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel Gain Score di
bawah ini.
Tabel 4. 1
Perbedaan Mean Hasil Belajar Kelompok Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Pretest Posttest  hasil
Eksperimen 42,59 64,83 22,24
Kontrol 37,76 43,89 6,13
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui selisih atau peningkatan hasil
belajar sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diterapkannya metode.
B. Analisis Data
1. Uji Normalitas
a. Uji Normalitas Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen dan
Kontrol
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel
yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Pada penelitian ini uji
normalitas menggunakan uji Liliefors. Kriteria pengujian, yaitu:
Jika Lo < Lt, maka data berdistribusi normal
Jika Lo > Lt, maka data tidak berdistribusi normal.
52

Pada pengujian normalitas pretest kelompok eksperimen


didapatkan Lo = 0,13, dan normalitas posttest kelompok eksperimen
didapatkan Lo sebesar 0,15, sedangkan nilai Lt yang diperoleh dari
tabel standar pada taraf signifikan 5% dan n = 29 adalah sebesar 0,16
maka dapat disimpulkan bahwa kedua data pada kelompok eksperimen
yaitu pretest dan posttest adalah berdistribusi normal
Pengujian normalitas yang dilakukan pada kelompok kontrol
materi massa jenis didapat Lo sebesar 0,11 untuk data pretest dan Lo =
0,13 untuk data posttest, dengan nilai Lt pada taraf signifikan 5% dan n
= 29 adalah sebesar 0,16, maka dapat disimpulkan bahwa kedua data
yaitu pretest dan posttest yang dilakukan pada kelompok kontrol juga
berdistribusi normal. Untuk lebih jelas, hasil uji normalitas kelompok
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat seperti pada tabel di bawah,
sedangkan untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran 3.
Tabel 4. 2
Hasil Perhitungan Uji Normalitas Pretest dan Posttest
Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Data Kelompok Lhitung Ltabel Keputusan
Nilai Eksperimen 0,13
Data
Pretest Kontrol 0,11
0,161 berdistribusi
Nilai Eksperimen 0,15
normal
Posttest Kontrol 0,13

b. Uji Normalitas N-gain Kelompok Esperimen dan Kontrol


Dalam penelitian ini, uji normalitas didapat dengan
menggunakan uji Lilifors. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui
apakah data berdistribusi normal atau tidak, dengan ketentuan bahwa
data berdistribusi normal bila memenuhi kriteria L0(hitung) < Ltabel
dengan taraf signifikansi α = 0,05. Nilai rata-rata N-gain untuk
kelompok eksperimen sebesar 0,38, dengan standar deviasi 0,15 dan
53

varians (0,15)2, sedangkan untuk kelompok kontrol nilai rat-rata N-


gain sebesar 0,09, dengan standar deviasi 0,15 dan varians (0,15)2.
Untuk lebih jelas, hasil uji normalitas kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dapat dilihat seperti pada tabel di bawah, sedangkan
untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.

Tabel 4. 3
Hasil Perhitungan Uji Normalitas N-gain Hasil Belajar
Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Kelompok Sampel Lo Lt Keputusan
Eksperimen 29 0,10 Data berdistribusi
1,16
Kontrol 29 0,09 normal

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai Lo sebesar 0,101 untuk
kelompok eksperimen dan Lo sebesar 0,09 untuk kelompok kontrol.
Sedangakan dalam tabel statistik nilai Ltabel pada taraf signifikan α = 0,05
dan n = 29 adalah Lt sebesar 1,16. sehingga dapat disimpulkan bahwa data
kedua kelompok penelitian berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas
a. Uji Homogenitas Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen dan
Kontrol
Setelah diketahui data hasil penelitian berdistribusi normal,
maka selanjutnya dilakukan pengujian homogenitas, pengujian
homogenitas dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan uji kesamaan
varian kedua kelompok yang dilakukan dengan uji Fisher pada taraf
signifikan 5 %, dengan kriteria pengujian:
Bila Fhit < Ftab, maka Ho diterima, berarti kedua data homogen.
Bila Fhit > Ftab, maka Ho ditolak, berarti kedua data tidak
homogen.
54

Uji homogenitas kedua varian terlampir, dengan hasil sebagai


berikut:
Tabel 4. 4
Uji Homogenitas Pretest dan Posttest Kelas
Eksperimen dan Kontrol
Nilai Varian Varian Fhit Ftab Kesimpulan data
Terbesar Terkecil
Pretest Data berdistribusi
67,32 38,84 1,73 1,88
homogen
Posttest Data berdistribusi
54,53 44,37 1,23 1,88
homogen

Dari tabel uji homogenitas diatas, didapat Fhit = 1,73 untuk skor
pretest dan Fhit sebesar 1,23 untuk skor posttest, sedangkan didapat Ftab
sebesar 1,88 pada taraf nyata 0,05 dan n = 29. dari kedua data di atas
didapatkan bahwa Fhit < Ftab, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua
populasi data tersebut mempunyai varian sama atau homogen, sedangkan
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
b. Uji Homogenitas N-gain Kelas Eksperimen dan Kontrol
Setelah kedua kelompok sampel penelitian dinyatakan berdistribusi
normal, langkah selanjutnya mencari nilai homogenitasnya. Dalam
penelitian ini, nilai homogenitas didapat dengan menggunakan uji Fisher
pada taraf signifikansi α = 0,05. Sampel dinyatakan homogen apabila
Fhitung < Ftabel. Hasil uji homogenitas kedua kelompok sampel penelitian
dapat dilihat seperti pada tabel di bawah ini, sedangkan perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
55

Tabel 4. 5
Uji Homogenitas N-gain Kelas
Eksperimen dan Kontrol
Varian Varian Fhit Ftab Kesimpulan Data
Terbesar Terkecil
N-gain 0,0240 0,0226 1,06 1,88 Data berdistribusi
homogen
Dari tabel uji homogenitas di atas, didapat Fhitung = 1,06, sedangkan
didapat Ftabel sebesar 1,88 pada taraf nyata 0,05 dan n = 29. Dari data di
atas didapatkan bahwa Fhit < Ftab, sehingga dapat disimpulkan bahwa
kedua populasi data tersebut mempunyai varian sama atau homogen,
sedangkan perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.

3. Uji Hipotesis
a. Uji Hipotesis Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Setelah mengetahui hasil pengujian prasyarat analisis data,
selanjutnya analisis diarahkan pada upaya mengukur ada tidaknya
pengaruh penggunaan model learning cycle terhadap hasil belajar
siswa, dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana perbedaan hasil belajar kelompok yang diajar dengan
model learning cycle dan kelompok yang diajarkan dengan metode
demonstrasi. Untuk pengujian tersebut diajukan hipotesis sebagai
berikut:
 
H0 : X A  X B : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-
rata skor postest kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol.
 
Ha : X A  X B :Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata
skor postestt kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol.
56

Pengujian hipotesis menggunakan uji-t, adapun kriterianya


sebagai berikut:
Jika thitung > ttabel, maka Ha diteima dan Ho ditolak
Jika thitung < ttabel, maka Ha ditolak dan Ho diterima
Dari hasil perhitungan didapat hasil mean sebesar 64,83 untuk
kelompok eksperimen dan 43,89 untuk kelompok kontrol. Hasil belajar
fisika yang didapat pada kelompok yang diajarkan dengan model
learning cycle pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan
kelompok yang diajarkan dengan metode demonstrasi, hal ini
diperkuat dengan data yang telah dianalisis dengan uji t, didapat t hitung
sebesar 11,34 dan ttabel sebesar 2,00 pada taraf 0,05 dan dk = 56 data
ini menunjukkan bahwa t h > tt Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 4. 6
Uji Hipotesis Skor Posttest
Kelas Eksperimen dan Kontrol
Nilai DK thitung thitung Kesimpulan
Data
Posttest 56 11,34 2,00 Ha diterima/Ho
ditolak

Dari perhitungan diperoleh nilai t hitung sebesar 11,34 dan ttabel


sebesar 2,00 pada taraf 0,05 dan dk = 56 data ini menunjukkan bahwa
th > tt sehingga Ha diterima, artinya terdapat perbedaan yang signifikan
dalam penerapan model learning cycle terhadap hasil belajar fisika
dibandingkan yang diajarkan dengan metode demonstrasi. Sehingga
model pembelajaran learning cycle memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap hasil belajar fisika siswa. Lebih jelasnya dapat
dilihat pada lampiran 6.
57

C. Interpretasi Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil pretest diketahui nilai rata-rata kelompok
eksperimen sebesar 42,59 dan kelompok kontrol sebesar 37,76 sedangkan
berdasarkan hasil posttest diketahui nilai rata-rata kelompok eksperimen
sebesar 64,83 dan kelompok kontrol sebesar 43,89. Sehingga pada kelompok
kontrol mengalami peningkatan sebesar peningkatan angka sebesar 6,13,
namun masih jauh dari peningkatan nilai yang diperoleh kelas eksperimen
yaitu sebesar 22,23. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa siswa yang
diajarkan dengan model learning cycle memiliki kenaikan nilai rata-rata yang
lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan metode demonstrasi.
Kedua kelompok tersebut distribusi normal, baik pada hasil uji pretest
maupun posttest. Berdasarkan hasil uji homogenitas baik kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol bersifat homogen. Sedangkan
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
Nilai  yang dipilih adalah 5%, maka harga t tab dengan dk 56 dari
daftar ttab didapat 2,00 sehingga kriteria pengujian adalah terima H o jika thit
sama dengan 2,00 dan tolak Ho jika thit mempunyai harga lebih besar dari t tab =
2,00. karena hasil perhitungan data menunjukkan bahwa nilai t hit sebesar 11,34
yang berada di luar daerah penerimaan Ha maka Ho ditolak. Hasil pengujian di
atas menunjukkan bahwa model pembelajaran learning cycle memberikan
pengeruh terhadap hasil belajar fisika pada konsep massa jenis.

D. Pembahasan Hasil Penelitian


Learning Cycle merupakan pembelajaran yang dirancang untuk
membantu siswa memahami teori secara mendalam melalui pengalaman
belajar pratik (eksperimen). Dalam model pembalajaran learning cycle, siswa
melakukan percobaan yang nantinya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang timbul dalam proses belajar mengajar.awalnya guru hanya memberikan
sebuah konsep permasalahan yang nantinya akan ditemukan oleh siswa
melalui model pembelajaran tersebut, dengan melakukan percobaan dan
diskusi siswa dapat menerima pengetahuan/materi baru karena siswa tersebut
58

secara tidak langsung telah membangun pengetahuannya sendiri dan berperan


aktif dalam proses belajar mengajar.
Hasil penelitian menggunakan model pebelajaran learning cycle pada
kelompok eksperimen ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan
model pembelajaran learning cycle dalam konsep massa jenis pada taraf
kepercayaan α = 0.05 berpengaruh terhadap hasil belajar fisika dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang dalam pembelajaran menggunakan metode
demonstrasi.
Keadaan ini menggambarkan bahwa hasil belajar siswa pada konsep
massa jenis lebih baik dengan menerapkan model pembelajaran learning cycle,
karena menunjukan peningkatan dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan model pembelajaran learning cycle (demonstrai). Hasil
penelitian ini sesua dengan penelitian yang dilakukan oleh Arifudin (2005)
dengan judul skripsi: Pengaruh Penggunaan Model Siklus Belajar Terhadap
Prestasi Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Zad dan Wujudnya
menyimpulkan bahwa penggunaan siklus belajar (learning cycle) berpengaruh
terhadap prestasi belajar fisika. 52
Temuan yang diperoleh selama penelitian, bahwa hasil belajr siswa
pada kelas eksperimen dinyatakan kurang berhasil, walaupun hasil uji
hipotesis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penerapan model
pembelajaran learning cycle terhadap hasil belajar siswa. Indikasi ini
ditunjukkan oleh rata-rata nolai posttest yang tidak terlalu tinggi yaitu sekitar
64,83. Hal ini memberikan informasi bahwa model pembelajaran learning
cycle sebagai model pembelajaran yang memiliki keunggulan dan kelemahan.
Diduga hal ini menjadi salah satu penyebab hasil belajar siswa kurang berhasil.
Faktor tersebut oleh keterbatasan waktusehingga pembelajaran kurang
maksimal, karekter siswa yang cendrung terbiasa dengan penggunaan model
pembelajaran sederhana dan sebagainya. Model pembelajaran learning cycle
menuntut siswa untuk melibatkan dirinya secara aktif dalam pembelajaran.

52
Afifudin, Pengaruh Model Siklus Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Pokok
Bahasan Zat dan Wujudnya, dari http//222.124.158.89/pasca/avalieble/etd-0329106-090739.
59

Oleh karena itu, sebaiknya sebelum diberikan perlakuan, pada kelas yang akan
diterapkan model pembelajaran learning cycle, dibiasakan menggunakan
model pembelajaran learning cycle selama beberapa waktu sebelum dilakukan
penelitian sampai mereka terbiasa dengan karakter model pembelajaran
learning cycle.
Perlunya pembiasaan ini dapat dianalogikan dalam hukum latihan (The
Law of Exercise) yang dikemukakan oleh Edward Lee Thorndike, salah satu
konsep yang mendasari teori belajar behaviorisme. Menurutnya, semakin
sering sebuah tingkah laku diulang , dilatih, atau digunakan, maka asosiasi-
asosiasi yang mendasari tingkah laku tersebut semakin kuat. Sebaliknya, jika
semakin jarang digunakan, maka asosiasi tersebut semakin lemah.
Berdasarkan analogi ini, maka dapat dikatakan jika sebuah model
pembelajaran baru terus dibiasakan, maka siswa juga pada akhirnya terbiasa
53
dan merasa nyaman dengan model tersebut. karena pembiasaan ini akan
memperkuat asosiasi-asosiasi yang mendasari perilaku siswa untuk mengikuti
proses pembelajaran, dari modal yang baru tersebut dengan cara memberikan
respons yang sesuai dengan yang diharapkan.
Suatu pembelajaran akan bermakna bila siswa mengalami aktivitas
positif selama pembelajaran tersebut. Aktivitas siswa ini dapat terlihat pada
saat pembelajaran berlangsung. Berdasarkan pengamatan selama proses
pembelajaran terlihat bahwa suasana belajar menjadi hidup sebab siswa ikut
aktif dalam pembelajaran. Mereka mencari dan menemukan konsep-konsep
penting dari materi pelajaran setelah mereka membaca buku pelajaran serta
melakukan percobaan. Dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator
dan mediator saja yang merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan yang
dapat merencang keingin tahuan siswa sehingga dam pembelajaran lebih
mengutamakan membangun pengetahuan siswa.
Siklus belajar (learning cycle) adalah suatu pendekatan
pembelajarandengan mengikuti pola tertentu yang terdiri dari tiga tahap, yaitu

53
Artikel diakses pada tanggal 2 Desember dari http://wangmuba.com/2009/02/21/teori-
psikologo-belajar-dan-aplikasinya-dalam-pendidikan/
60

tahap eksplorasi, tahap pengenalan konsep, dan tahap penerapan konsep


(aplikasi). 54 Model learning cycle ini sangat membantu siswa dalam belajar
secara aktif dan produktif dalam mencapai tujuan belajar yang oktimal.
Dengan penyelidikan kelompok siswa terlibat pembelajaran yang aktif. Siswa
bersama-sama memiliki masalah mereka yang terdiri dari sumber mana yang
mereka butuhkan. Siapa yang melakukan presentasi sebagai perwakilan
kelompok, dan bagaimana mereka akan mempresentasikan dari hasil
penyelidikan mereka di depan kelas itu. Masing—masing anggota kelompok
harus mencari informasi yang diberikan guru dan melakukan eksperimen.
Model learning cycle lebih siswa lebih termotivasi untuk belajar sehingga
fisika bukan lagi dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan dan suasana
belajar berlangsung lebih hidup dan bervariasi, karena seluruh siswa ikut aktif
dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran.
Penekanan belajar siswasecara aktif ini perlu dikembangkan,
kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa. Kemajuan hasil belajar siswa yang
mengguanakan model learning cycle lebih tinggi dengan menggunakan
metode demonstrasi, suasana di dalam kelas pun tidak jenuh dan tegang
karena siswa dapat berdiskusi dengan teman sebaya, sehingga memiliki rasa
percaya diri. Dengan adanya kegiatan seperti penyelidikan kelompok yang
dilakukan oleh siswa tentunya siswa akan lebih menguasai materi dengan
lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang di ajar dengan metode
demonstrasi. Daya serap siswa akan materi lebih matang jika siswa itu sendiri
terlibat langsung dalam pembelajaran.
Berdasarkan pembahasan di atas menunjukkan bahwa secara teori
maupun empiris pembelajaran dengan menggunakan model learning cycle
memberikan pengaruh terhadap hasil belajar fisika pada konsep massa jenis.

54
Ahmad Anwar Yusa, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Perhitungan Kekuatan
Konstruksi Bangunan Sederhana Melalui Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) di
SMKN 5 Bandung dari http://pkk.upi.edu/invotec_1-9.pdf, 2009,. h. 2
61

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, model pembelajaran learning
cycle pada konsep massa jenis berpengaruh secara signifikan terhadap hasil
belajar fisika, hal ini dapat ditunjukkan dari nilai rerata pretest dalam
pembelajaran learning cycle adalah 42,92 dan setelah dilakukan pembelajaran
dengan model pembelajaran learning cycle nilai rerata posttest menjsdi 64,83.
Hal ini diperkuan dengan hasil pengujian hipotesis dengan uji-t. Hasil uji-t
posttest pada taraf α = 0,05 didapat thitung 11,34 dengan ttabel adalah 2,00. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran learning cycle
terhadap hasil belajar fisika pada konsep massa jenis.

B. Saran
Dengan adanya pengaruh yang signifikan pada model pembelajaran
learning cycle terhadap hasil belajar fisika siswa, maka peneliti mengemukakan
saran sebagai berikut:
1. Model pembelajaran learning cycle dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif pembelajaran di kelas dalam upaya meningkatkan kualitas proses
pembelajaran fisika.
2. Untuk menciptakan siswa lebih aktif dalam belajar hendaknya pihak sekolah
dan guru menyediakan dan menciptakan kegiatan pembelajaran di
laboratorium.
3. Bagi peneliti selanjutnya, agar mendapat hasil belajar yang lebih baik maka
perlu memberikan motivasi dan konseptual awal mengenai bahan pelajaran
serta mengarahkan dan merangsang siswa agar konsentrasinya terarah pada
bahan pelajaran.

61
62

DAFTAR PUSTAKA

Afifudin. 2005. Pengaruh Model Siklus Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa
Pada Pokok Bahasan Zat dan Wujudnya, dari
http//222.124.158.89/pasca/avalieble/etd-0329106-090739

Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi


Aksara

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta. Cet. ke-2.

Bahri, Syaiful & Zain, Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta

Brotosiswoyo, B. Suprapto. 2001. Hakikat Pembelajaran MIPA Di Perguruan


Tinggi. Jakarta: Pekerti-MIPA

Dahar, R Wilis. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Dahniar, Nani. 2006. Sains Project sebagai Salah Satu Alternatif dalam
Meningkatkan Keterampilan Proses Sains di SMP. Jurnal Pendidikan
Inovatif Volume 2, Nomor 1

Fajaroh, Fauziatul & Dasna, I. Wayan. Pembelajaran dengan Model Siklus


Belajar (learning cycle), skripsi dalam
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20.

Fathurrohman, Pupuh & Sutikno, Sobry. 2007. Strategi Belajar Mengajar.


Bandung: Refika Aditama

Hamalik, Oemar. 2009. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan


Sistem. Jakarta: Bumi Aksara

Herlanti, Yanti. 2009. Tanya Jawab Seputar Penelitian Pendidikan Sains. Jakarta:
Makalah UIN Syahid

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Kosasih, A dan R. Angkowo. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta:


PT. Grasindo.

Lorsbach, Anthony W. The Learning Cycle as a Tool for Planning Science


Instruction, dari http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.htm

62
63

Macmillan, Collier. 1990. Media. Singapore: The Republic

Panen Paulina, Mustafa Dina, & Sekarwinahyu Mestika. 2001. Kontruktivisme


dalam Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka (PAU-PPAI-UT)

Pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/siklus-belajar-learning-cycle-5e-
sebuah-metode-perencanaan-dalam-ipa/ - 24k –

Poedjiadi, Anna. 2005. Sains Teknologi Masyarakat Model Pembelajaran


Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: Remaja Rosdakarya

Purwanto, M. Ngalim. 2007. Psikologi pendidikan. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Beroientasi Standar Proses


Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada.

Subana, Mursetyio & Sudrajat. 2005. Statistik Pendidikan. Bandung : Pustaka


Setia

Syah, Muhibin. 2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:


Remaja Rosdakarya

Suparno, Paul. 2001. Filsafat Kontruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta:


Kanisius

Sumaji, dkk. 1998. Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik:


Konsep, Landasan Teoritis-praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi
Pustaka.

Winataputra, Udin S. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas


Terbuka

Widodo, Ari. Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains. Jurnal Pendidikan dan


Kebudayaan. Januari 2007 Tahun ke-13 no. 064.

Yusa, A. Anwar. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Perhitungan Kekuatan


Konstruksi Bangunan Sederhana Melalui Penerapan Model Siklus Belajar
(Learning Cycle) di SMKN 5 Bandung dari http://pkk.upi.edu/invotec_1-
9.pdf, 2009
DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2. 1 Skema Perolehan Pengetahuan-Stanobridge ............................. 13


Gambar 4. 1 Grafik Batang Hasil Belajar Fisika (Pretest) Kelompok
Eksperimen dan Kontrol ....................................................... 48
Gambar 4. 2 Grafik Batang Hasil Belajar Fisika (Posttest) Kelompok
Eksperimen dan Kontrol ......................................................... 49
Gambar 4. 3 Grafik Batang N-gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol ...... . 50

XI
DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 Data Nilai Kelompok Eksperimen dan Kontrol ......................... 64


Lampiran 2 Perhitungan Data dan Perhitungan Distribusi Frekuensi ............ 65
Lampiran 3 Perhitungan Uji Normalitas....................................................... 74
Lampiran 4 Perhitungan Uji Homogenitas ................................................... 78
Lampiran 5 Distribusi Frekuensi Skor Pretest dan Posttest .......................... 84
Lampiran 6 Analisis Data ............................................................................ 85
Lampiran 7 Uji Hipotesis............................................................................. 91
Lampiran 8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ............. 96
Lampiran 9 Lembar Kerja Siswa ................................................................. 109
Lampiran 10 Rencana Pelaksanaan Pembalajaran Kelas Kontrol .................. 112
Lampiran 11 Kisi-Kisi Instrumen .................................................................. 121
Lampiran 12 Uji Coba Instrumen Penelitian .................................................. 123
Lampiran 13 Soal-Soal Massa Jenis .............................................................. 134
Lampiran 14 Program Tahunan ..................................................................... 140
Lampiran 15 Gambar Kegiatan Siswa di dalam Kelas.................................... 142

xii

Anda mungkin juga menyukai