Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN TES BAHASA DAN PENYUSUNAN TES BAHASA ARAB

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab

Dosen Pengampu:
Rikhlatul Ilmiah, M.Pd.I

Disusun oleh :
1. Ahmad Fatan Al Banna (126305211002)
2. Happy Nur Andini (126305212044)
3. Ahmad Jamaludin Afnan (126305212047)

Progam Studi Bahasa dan Sastra Arab

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah

Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

2023

1
DAFTAR ISI

COVER i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Pengertian pendekatan Diskret, Integratif, Pragmatik 3


B. Tahap penyusunan soal (tes) Bahasa Arab 12
C. Analisis hasil tes Bahasa Arab 14

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 16

DAFTAR PUSTAKA 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

Berbicara tentang pembelajaran, ada beberapa istilah terkait, diantaranya adalah


pendekatan, strategi, metode, dan teknik. Pengertian masing–masing istilah tersebut sering
dikacaukan oleh banyak orang, antara satu salam lain dianggap sama, padahal
masing-masingnya memiliki konotasi yang berbeda. Pendekatan lebih kepada landasan yang
digunakan dalam proses pembelajaran, yang dalam hal ini adalah asesmen pembelajaran
bahasa Arab. Dalam proses pembelajaran, asesmen merupakan cara yang digunakan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya suatu standar kompetensi yang telah dipelajari oleh siswa
di setiap pembelajaran. Hal tersebut senada dengan pendapat ahli yang mengatakan bahwa tes
merupakan prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam
suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Tes bahasa dan pengajaran
bahasa merupakan dua kegiatan yang berhubungan secara erat. Yang pertama merupakan
bagian dari yang kedua. Tes bahasa dirancang dan dilaksanakan untuk memperoleh informasi
mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan keefektifan pembelajaran bahasa yang dilakukan.
Keberhasilan proses belajar dan mengajar di kelas dapat dilihat dari sejauh mana penguasaan
kompetensi yang telah dikuasai oleh siswa. Pada dasarnya hasil belajar siswa dapat
dinyatakan dalam tiga aspek, yang biasa disebut dengan domain atau ranah, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik.1

Melihat fenomena yang kebanyakan terjadi, bahwasannya murid atau pelajar yang
mempelajari bahasa asing dalam hal ini bahasa arab sangat sulit untuk bisa memahami
dengan betul makna dan tujuan bahasa tersebut, sehingga mereka semua tidak bisa
menerapkan hasil pembelajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak bisa
dipungkiri belajar bahasa arab merupakan suatu kesulitan tersendiri, tidak lain karena kita
dihadapkan dengan adanya bahasa ibu yang sudah dipergunakan sejak lahir, setiap hari dan
setiap saat. Untuk bisa memahami bahasa arab perlu tahapan-tahapan yang prosesnya sangat
lama dan dalam tahapan tersebut membutuhkan proses pendidikan yang continue sekaligus

1
Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hal.
276.

1
terarah. Tahapan tersebut antara lain adalah tahap pengenalan, pendengaran, pengucapan, dan
pembiasaan. Masalah yang lain adalah bahasa arab itu berbeda dengan bahasa ibu yakni
dalam hal segi-segi suara, kosakata, tata kalimat dan tulisan, sehingga si pembelajar harus
berjuang untuk memahami perbedaan tersebut dengan detail. Dengan adanya tahapan-tahapan
dan perbedaan di atas, seorang guru bahasa arab harus berperan penuh demi pencapaian
kompetensi keterampilan berbahasa. Ini menjadi tantangan besar bagi para pahlawan tanpa
jasa tersebut. Melihat permasalahan yang sering terjadi pada guru bahasa arab yakni mereka
tidak menghiraukan apa yang dinamakan “perencanaan pembelajaran”, mereka asal-asalan
dalam mengajar dengan berdalih yang penting materinya selesai. Proses pembelajaran yang
terakhir disebut dengan evaluasi belajar. Di sini guru harus bisa membuat alat untuk
mengevaluasi hasil belajar yang sudah direncanakan. Salah satu alat evaluasi tersebut adalah
tes. Seorang guru bahasa harus benar- benar mengetahui perencanaan pembuatan tes bahasa
untuk muridnya demi tercapainya indikator keberhasilan yang sudah ditentukan. Oleh karena
itulah, demi pemahaman yang sempurna, suatu tes bahasa harus direncanakan terlebih dahulu
sebelum dilaksanakan. Karena dengan adanya perencanaan pembuatan tes bahasa, guru
mampu mengevaluasi atau melaksanakan tes bahasa dengan cara atau prosedur yang baik dan
benar. Dan dengan tes yang baik dan benar tersebut, dimungkinkan indikator-indikator
pencapaian belajar bisa berhasil.

Tes bahasa arab yang baik adalah tes yang memenuhi standar validitas, reliabilitas, dan
memiliki tingkat kesulitan dan daya beda yang baik. Untuk menghasilkan tes bahasa arab
yang memenuhi standar tersebut, ada tahapan-tahapan prosedur yang harus diperhatikan oleh
penyusun tes. Tahapan tersebut meliputi: tahapan persiapan, pemilihan materi tes, penentuan
bentuk tes, penentuan jumlah butir soal, pembuatan kisi-kisi, penyusunan tes(butir soal), uji
coba, dan analisis hasil uji coba yang mencakup analisis tingkat kesulitan, daya beda, dan
reliabilitas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Pendekatan Istilah pendekatan berasal dari bahasa Inggris “approach” yang
memiliki beberapa arti diantaranya diartikan dengan ’pendekatan’. Dalam dunia
pembelajaran, kata approach lebih tepat diartikan a way of beginning something ‘cara
memulai sesuatu’. Karena itu, istilah pendekatan dapat diartikan cara memulai pembelajaran.
Dalam pengertian yang lebih luas, pendekatan mengacu kepada seperangkat asumsi
mengenai cara belajar-mengajar. Pendekatan merupakan titik tolak dalam memandang
sesuatu, suatu filsafat atau keyakinan yang tidak selalu mudah membuktikannya. Jadi,
pendekatan bersifat aksiomatis. Aksiomatis artinya bahwa kebenaran teori-teori yang
digunakan tidak dipersoalkan lagi. Pendekatan pembelajaran (teaching approach) adalah
suatu rancangan atau kebijaksanaan dalam memulai serta melaksanakan pengajaran suatu
bidang studi atau mata pelajaran yang memberi arah dan corak kepada metode pengajarannya
dan didasarkan pada asumsi yang berkaitan.2 Terkait dengan asesmen pembelajaran bahasa
Arab, terdapat sejumlah pendekatan yang hendaknya diperhatikan setiap guru bahasa Arab,
sebagai berikut:

A. Jenis – Jenis Pendekatan dalam Asesmen Pembelajaran Bahasa Arab


Jenis–Jenis pendekatan pembelajaran bahasa arab itu adalah :

1. Pendekatan Diskret
Dari segi isi atau tugas, asesmen dengan pendekatan ini menyangkut satu aspek
kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, atau kosa kata saja. Setiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes dengan pendekatan ini berupa
penjodohan (matching), benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple choice), atau
mengisi kotak kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia pada kolom lain.
Dari segi penskoran jawaban, model jawaban yang seperti itu sangat memudahkan guru atau

2
J.S. Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia 1: Petunjuk Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), hal. 17.

3
korektor dalam memberikan penilaian. Penskoran berdasarkan model jawaban seperti itu
memiliki reliabilitas yang sangat tinggi. Dengan bantuan komputer misalnya, penskoran
jawaban hampir 100% tidak diragukan lagi keakuratannya. Cara-cara baru seperti ini dalam
penyusunan dan pelaksanaan tes bahasa oleh Brown (1980) disebut menggunakan
prosedur-prosedur ilmiah. Pendekatan diskret ini secara jelas mengadopsi prinsip-prinsip
umum dalam strukturalisme, behaviorisme, dan audio-lingualisme. Dari strukturalisme,
prinsip yang diambil adalah (1) bahasa itu tuturan lisan dan bukan tulisan, dan (2) bahasa itu
merupakan suatu sistem. Pertama, prinsip bahwa bahasa itu tuturan lisan telah menyadarkan
para ahli tes bahasa bahwa tuturan lisan adalah bahasa yang pertama dan utama dari manusia.
Karya sastra yang selama ini diagung-agungkan sebagai satu-satunya sumber pengetesan
bahasa akhirnya disadari hanyalah rekonstruksi dari pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Keyakinan baru akan prinsip ini kemudian membongkar kebiasaan lama pengetesan bahasa
yang melulu hanya menggunakan karya sastra semata. Kedua, prinsip bahwa bahasa itu
merupakan sistem menunjukkan bahwa bahasa dipandang memiliki sub-sub unit yang saling
berhubungan membentuk suatu struktur, mulai dari tingkat bunyi, kata, dan kalimat. Bentuk
tes diskret kebahasaan yang dapat dikembangkan:

Pertama adalah tes bunyi bahasa. Tes bunyi bahasa dapat berupa mengenal bunyi
bahasa, membedakan bunyi bahasa, melafalkan bunyi bahasa, melafalkan kata-kata,
melafalkan pasangan kata, melafalkan rangkaian kalimat, dan membaca teks.

Kedua adalah tes kosa kata. Tes ini bertujuan untuk mengungkapkan penguasaan kosa
kata, baik secara pasif reseptif maupun aktif produktif. Tes ini meliputi menunjukkan benda
berdasarkan kata yang disebutkan, memperagakan berdasarkan kata yang disebutkan,
memberikan padanan kata, memberikan sinonim kata, memberikan lawan kata, dan
melengkapi kalimat.

Ketiga adalah tes tatabahasa. Tes ini meliputi pembentukan kata, pembentukan frasa,
dan pembentukan kalimat. Variasi bentuk tes ini antara lain (a) pada pembentukan kata:
menunjukkan asal kata, membentuk kata turunan, menyesuaikan bentuk kata; (b) pada
pembentukan frasa: menyusun kata-kata, melengkapi kata menjadi frasa, membentuk frasa,
menjelaskan makna frasa; (c) pembentukan kalimat: mengenal kalimat, membentuk kalimat,
menyusun kalimat, dan mengubah kalimat. Pendekatan diskret bersumber pada pendekatan
struktural dalam kajian kebahasaan. Dalam pendekatan struktural, bahasa dianggap sebagai
sesuatu yang memiliki struktur yang tertata rapi, dan terdiri dari komponen-komponen

4
bahasa, yaitu komponen bunyi bahasa, kosakata, dan tata bahasa. Komponen-komponen itu
tersusun secara berjenjang menurut suatu struktur tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian
kecil bersama-sama membentuk bagian-bagian yang besar lagi, dan demikian selanjutnya,
sampai terbentuknya bahasa sebagai struktur terbesar. Dalam tes bahasa, pendekatan diskret
dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap satu jenis kemampuan berbahasa
atau komponen bahasa.3 Dalam bukunya Imam Asrori yang berjudul Evaluasi dalam
Pembelajaran Bahasa Arab, menurut Oller (1979) tes diskret adalah, suatu tes yang hanya
menekankan satu aspek kebahasaan (misalnya tata bahasa) pada satu waktu. Artinya,
kemampuan yang akan diukur adalah tunggal atau satu komponen saja. Bentuk tes diskret ini
dilatarbelakangi oleh pandangan struktural dalam kajian kebahasaan. Dalam pandangan
struktural, hakikat bahasa itu terdiri atas beberapa komponen yang saling terpisah.
Implikasinya tes bahasa juga dinilai dari berbagai komponen secara terpisah, sehingga akan
dijumpai tes fonem sendiri atau tes kosa kata sendiri, tes sintaksis sendiri yang terpisah dari
komponen lainnya. Berikut ini contoh tes diskret pada komponen pengenalan bunyi bahasa
arab (fonologi), pengenalan kosa kata, dan bentuk kata.

Contoh 1 (tes menyimak yang mengukur pembedaan bunyi yang mirip), seperti Kosa kata
berikut ini yang bunyi awalnya berupa ‫ ع‬adalah :

(guru memperdengarkan kosa kata berikut:)

‫ حليم‬.‫أ‬

‫ هليم‬.‫ب‬

‫ عليم‬.‫ج‬

4
‫ أليم‬.‫د‬

Contoh 2 tes kosa kata/mufradat : Pengenalan arti kata, arti kata ‫ الجامعة‬adalah :

a. Masjid.

b. Perguruan tinggi.

c. Lab.bahasa.

3
Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim, Asesmen Pembelajaran Bahasa, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2007), hal. 5.
4
Imam Asrori, dkk., Evaluasi Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat Indonesia, 2014), hal. 43.

5
d. Yayasan.

Contoh 3 tes bentukan kata/sharf : Mengubah (mentashrif) kata : seperti Isim fa’il dari kata
‫ ض َرب‬adalah :

‫ضارب‬
ِ .‫أ‬

‫ ضُراب‬.‫ب‬

‫ ضروب‬.‫ج‬

‫ مضروب‬.‫د‬

Contoh tes tersebut mengukur satu aspek komponen kebahasaan saja. Pada contoh 1,
kemampuan tes yang diukur adalah bunyi yang mirip. Contoh 2 juga mengukur satu aspek
kemampuan, yakni arti kata. Contoh 3 juga mengukur satu aspek kemampuan saja, yakni
kemampuan mengenal perubahan bentuk kata dalam bahasa arab.

2. Pendekatan Integratif
Seiring dengan populernya Pendekatan Diskret, yang dikenal juga sebagai masa
gerakan ilmiah atau struktural-psikomotorik dalam tes bahasa, muncul suatu pendekatan baru
dalam tes bahasa yang mengoreksi pendekatan diskret. Pendekatan baru tersebut oleh Carroll
(1961) disebut pendekatan integratif. Jika dalam pendekatan diskret, aspek-aspek kebahasaan
dan kemampuan berbahasa itu diperlakukan secara terpisah, maka dalam pendekatan
integratif aspek-aspek bahasa dan kemampuan berbahasa itu dicakup secara bersamaan. Jika
dalam tes diskret hanya diujikan satu aspek kebahasaan saja pada satu waktu, maka dalam tes
integratif berusaha diukur beberapa aspek kebahasaan secara bersamaan. Prinsip ini sesuai
dengan pandangan psikologi Gestalt yang intinya “bahwa tingkah laku itu dipelajari sebagai
kesatuan yang tidak terpisahkan atau “gestalts”. Berdasarkan pandangan ini, maka tes
integratif tidak secara khusus mengeteskan salah satu aspek kebahasaan seperti fonologi,
morfologi, sintaksis, atau kosa kata, atau salah satu dari kemampuan berbahasa seperti
membaca, menulis, berbicara, atau menyimak, melainkan sebuah tes dalam satu waktu
meliputi beberapa aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa sekaligus. Pada tes integratif,
terdapat penggabungan dari aspek-aspek terkecil itu ke dalam satu butir tes. Penggabungan
itu dapat terjadi antar bagian dalam kemampuan bahasa atau berbahasa, atau bagian dalam

6
kemampuan bahasa dengan bagian lain dalam kemampuan berbahasa. Tes bahasa dengan
pendekatan integratif melakukan pengukuran penguasaan kemampuan berbahasa atas dasar
penguasaan testi terhadap gabungan antara beberapa komponen bahasa dan kemampuan
berbahasa. Mengubah bentuk suatu kalimat menjadi bentuk kalimat yang lain, misalnya, tidak
saja menuntut kemampuan testi tentang pengetahuan struktur kalimat, melainkan juga
memerlukan penguasaan perubahan bentuk kata, dan bahkan makna kata yang merupakan
bagian dari penguasaan kosa kata.

Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa ini, tes integratif terlihat lebih menjanjikan
daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan pendekatan,
metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang dipergunakan dalam
pembelajaran bahasa di kelas. Jika dalam tes diskret pada satu waktu hanya mengevaluasi
satu aspek kebahasaan saja, pendekatan integratif berusaha mengukur kemampuan siswa
mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau beberapa keterampilan berbahasa. Dengan
demikian pendekatan integratif beranggapan bahwa bahasa merupakan penggabungan dari
bagian-bagian atau komponen-komponen bahasa, yang bersama-sama membentuk bahasa.5
Evaluasi pembelajaran bahasa dengan pendekatan integratif dilakukan dengan cara mengukur
penguasaan kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan terhadap gabungan beberapa
bagian dari komponen bahasa atau kemampuan berbahasa. Tes integratif mempunyai
landasan teori linguistik yang sama dengan tes diskret. Akan tetapi, dalam tes integratif
terdapat penggabungan dari bagian-bagian terkecil pada suatu butir tes. Dapat dikatakan,
bahwa tes integratif ini sebagai koreksi terhadap kelemahan yang terdapat dalam tes diskret.
Dengan demikian, pada tes integratif ini, pihak teste dalam menjawab suatu butir soal
dituntut mengarahkan kemampuan kebahasaan dan keterampilan secara simultan. Yang
termasuk tes integratif baik yang menyangkut aspek kebahasaan maupun keterampilan
berbahasa adalah menyusun kalimat, menafsirkan wacana singkat yang dibaca atau didengar,
memahami bacaan yang dibaca atau didengar, menyusun sebuah alinea berdasarkan
kalimat-kalimat yang disediakan. Berikut ini dikemukakan contoh tes bahasa arab secara
integratif.

Contoh 1 : Tes menulis secara terbimbing, misalnya: menyusun kata menjadi kalimat :

5
Ibid., hal.6

7
.‫رتب الكلمات ال الت ية لتكون جملة كاملة مفيدة‬

‫ يسكن‬،‫ جميلة‬،‫شقَّة حمد‬، ‫في‬، ‫ أ‬١

.‫ في‬. ، ‫ اليوم‬،‫ زينب‬،‫ وجبات‬،ُ‫ تأ ُكل‬٢

Contoh 2 : Memahami wacana yang disimak (fahmul masmu'), seperti menentukan informasi
tersurat dari teks lisan, misalnya :

!‫ ثم أجب عن األسئلة اآلتية‬،‫اقرأ النص اآلتي قراءة جيدة‬

،‫ في المعرض الهوايات هناك جناح جمع الطوابع و جناح الخط العربي‬،‫"زار رقيق و كري معرض الهوايات في ميدان‬
.‫وجناح الصحافة وجناح التدبير المنزلي و جناح الرياضة‬

‫ من زار معرض الهوايات؟‬.١

‫ أين معرض الهوايات؟‬.٢

‫ ماذا في معرض الهوايات؟‬.٣

Contoh 3. Tes qawa'id (Nahwu), seperti menentukan kedudukan nahwu, misalnya:

: "‫ما موقع جناح في جملة "في معرض الهوايات جناح جمع الطوابع‬

‫ خبر‬.‫أ‬

‫ مبتدأ مقدم‬.‫ب‬

‫ مبتدأ مؤخر‬.‫ج‬

‫ نعت‬.‫د‬

Contoh tes 4, 5, dan 6 di atas bukan saja mengukur satu aspek kemampuan, melainkan
mengukur lebih dari suatu kemampuan secara integratif. Seorang siswa tidak akan mampu
menjawab contoh tes 4 (menyusun kalimat), kalau dia hanya memodalkan kosa kata. Hal
yang sama juga terjadi pada contoh tes 5, dalam hal ini siswa bukan hanya mengandalkan
kosa kata dan struktur, tetapi juga mengandalkan kemampuan memahami teks yang
diperdengarkan secara cermat. Meskipun contoh tes 6 ini lebih menekankan pengukuran
kemampuan tata bahasa (nahwu), akan tetapi dalam menjawab soal tersebut diperlukan
kemampuan lain, yakni kemampuan kosa kata.

8
3. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik pada awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang
kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik (pragmatic
expectancy grammar). Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau
wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan
kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstralinguistik. Dalam memahami wacana, seseorang
tidak saja mengandalkan kemampuan linguistik dalam bentuk pemahaman terhadap bentuk
dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat
dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks
ekstralinguistik (extralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa
yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam
bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.6 Kendala
alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca atau
pendengar untuk:

● Mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat
linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap
wacana yang diungkapkan,
● Memahami hubungan-hubungan pragmatik antara konteks linguistik dan
ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap
susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan
kendala ekstra-linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek di luar
linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi
wacana yang tengah dihadapi. Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa paling
sering dikaitkan dengan Tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas Tes
cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti
disebutkan di atas. Pada umumnya Tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira
400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan

6
M. Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta Timur: PT. Bumi Aksara, 2012), hal.
24-25.

9
dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut,
ditafsirkan sebagai cerminan dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan
berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan
bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang
seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan (kemampuan ekstralinguistik).
Pendekatan pragmatik adalah suatu pendekatan dalam evaluasi keterampilan berbahasa untuk
mengukur seberapa baik siswa mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan
konteks komunikasi yang nyata. Pendekatan pragmatik mengutamakan peranan penggunaan
bahasa senyatanya dalam kajian terhadap bahasa, termasuk tes bahasa. Pendekatan pragmatik
mengaitkan bahasa dengan penggunaan senyatanya, yang melibatkan tidak saja unsur-unsur
kebahasaan, seperti kata-kata, frasa, atau kalimat, tetapi unsur-unsur di luarnya juga yang
selalu terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa. Sesuai dengan pandangannya terhadap
bahasa, bentuk-bentuk evaluasi pembelajaran bahasa dalam pendekatan pragmatik, dianggap
sebagai tes yang memenuhi ciri-ciri pragmatik. Menurut Nurgiyantoro (1988) tes pragmatik
ini muncul sebagai reaksi keras atas tes diskret yang dipandang memiliki banyak kelemahan.
Tes diskret yang memecahkan unsur kebahasaan dan kemudian diteskan secara terisolasi
bersifat terpisah dan sangat artifisial.7 Berkaitan dengan hal ini, sebuah pendekatan tes yang
disebut dengan pragmatik. Tes pragmatik mempunyai persamaan konseptual dengan tes
kompetensi komunikatif. Sementara itu, memberikan penekanan tertentu dalam tes
komunikatif. Aspek yang perlu diperhatikan dalam tes bahasa komunikatif adalah adanya
kaitan yang jelas antara tes bahasa dengan aspek-aspek nyata dalam komunikasi sebenarnya.
Aspek nyata yang dimaksud bentuk komunikasi tertentu, yang terjadi antara orang tertentu,
yang memiliki hubungan tertentu, mengenai suatu hal tertentu, pada suatu keadaan tertentu,
serta dengan maksud dan tujuan tertentu. Pertanyaan yang muncul adalah, apa bedanya
dengan tes integratif yang juga mengukur kemampuan bahasa seseorang secara utuh. Tes
integratif belum tentu pragmatik meskipun tidak tertutup kemungkinan juga bersifat
pragmatik, tetapi tes pragmatik pasti integratif. Dengan pengertian lain tes bahasa pragmatik
telah mempresentasikan unsur- unsur tes integratif. Jenis tes bahasa yang bersifat pragmatik
cukup beragam. Oller (1979) mengemukakan bentuk tes bahasa pragmatik yaitu:

a. Dikte

7
Ibid., hal.46

10
Dikte merupakan salah satu bentuk tes pragmatik yang dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan berbahasa siswa. Dalam dikte ini, diperdengarkan atau dibacakan
suatu wacana untuk dituliskan oleh orang lain. Dalam bahasa Arab, dikte bukan saja
mengukur kemampuan memahami wacana yang disimak, melainkan juga mengukur
kemampuan siswa untuk mentranskrip wacana tersebut dengan benar.

b. Tes cloze

Tes cloze merupakan salah satu contoh tes pragmatik. Dalam Tes cloze ini, teste
diminta mengisi kata- kata yang dihilangkan dalam teks.

c. Pemahaman Parafrase

Yang dimaksud dengan pemahaman parafrase adalah kemampuan teste untuk memilih
satu parafrase yang paling benar dari beberapa parafrase alternatif yang tersedia yang
maknanya paling sesuai dengan wacana yang disajikan, baik secara lisan maupun tertulis.

d. Jawaban Pertanyaan (Question Answering)

Jawaban pertanyaan merupakan salah satu contoh bentuk tes pragmatik yang meminta
teste untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan pertanyaan yang diperdengarkan
secara lisan (baik secara langsung maupun menggunakan tape recorder). Alternatif jawaban
(option) yang dimaksud terdapat dalam lembar jawaban (answer sheet).

e. Wawancara

Dalam tes bahasa, wawancara merupakan salah satu bentuk tes untuk mengukur
kemampuan berbicara yang memiliki unsur-unsur pragmatik.

f. Menulis

Tes menulis merupakan salah satu contoh tes pragmatik. Tes ini mengukur
kemampuan teste dalam menuangkan gagasan, pikiran, perasaan, maupun idenya dalam
bentuk tulis.

g. Bercerita

Bercerita pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan menulis. Keduanya
merupakan suatu kegiatan untuk mengekspresikan suatu objek fenomena. Perbedaannya,
bercerita dalam konteks ini dilakukan secara lisan, tidak dalam bentuk tulis.

h. Terjemah
11
Terjemah merupakan salah satu bentuk tes bahasa yang memiliki unsur pragmatik.
Tes terjemahan mengukur kemampuan teste untuk mentransfer suatu pikiran, ide, atau pesan
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Proses transfer dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran merupakan suatu aktivitas yang kompleks, karena kegiatan ini melibatkan totalitas
kognisi dan performansi penerjemah yang bukan saja terbatas pada kemampuan berbahasa,
melainkan juga memahami sosial budaya kedua bahasa.

B. Tahapan Penyusunan Soal (tes) Bahasa Arab

Ada beberapa tahapan atau langkah yang perlu diperhatikan sebagai pedoman dalam
penyusunan atau pengembangan tes bahasa untuk pembelajaran bahasa Arab agar
menghasilkan tes yang berkualitas baik, antara lain :

1. Menelaah silabus/kurikulum

Langkah pertama yang harus ditempuh sebelum menyusun soal tes adalah menelaah
silabus/kurikulum, yang mencakup kompetensi dasar, indikator, dan pokok/sup pokok
bahasan, sebagai acuan dalam penulisan soal tes.

2. Membuat kisi-kisi soal tes

Dalam membuat kisi-kisi soal, dapat dilakukan langkah-langkah berikut:

a. Menuliskan kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar yang terdapat dalam
silabus/kurikulum;

b. Menuliskan daftar pokok/sub pokok bahasan yang akan diujikan

c. Menentukan jumlah butir soal setiap pokok/sub bahasan, jumlah soal hendaknya
representative untuk setiap pokok/sub bahasan yang diujikan dengan pertimbangan
pentingnya pokok bahasan tersebut. Selain itu, dalam menentukan jumlah soal juga
perlu mempertimbangkan waktu yang disediakan untuk pelaksanaan tes.

d. Menentukan bentuk soal tes, dalam menentukan bentuk tes, perlu mempertimbangkan
karakteristik materi yang hendak diukur. Jika tes itu untuk mengukur pemahaman
mufradat, qawa'id, istima', dan qira'ah, maka bisa digunakan bentuk tes pilihan ganda.
Namun jika tes itu untuk mengukur kemampuan menulis dan berbicara, maka lebih

12
tepat jika menggunakan bentuk tes uraian atau mengarang, dan tes lisan: dialog,
wawancara, menceritakan gambar, pengalaman, dan pidato.

3. Menuliskan butir soal

Penulisan butir soal harus mengacu dan sesuai dengan kisi-kisi soal yang telah dibuat
sebelumnya. Di samping itu, penulisan soal juga harus memperhatikan rambu-rambu yang
dipergunakan dalam telaah butir soal agar nanti tidak banayak revisi.

4. Menelaah butir soal

Telaah soal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki kekeliruan atau kesalahan yang
mungkin masih ditemukan dalam penyusunan soal, sehingga dapat dilakukan revisi/perbaikan
yang diperlukan. Telaah soal ini akan lebih baik jika dilakukan oleh orang yang ahli
dibidangnya atau teman sejawat agar lebih cermat dan obyektif. Jika dimungkankan, telaah
soal sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang agar dapat saling melengkapi dan lebih
meyakinkan.

5. Melaksanakan uji coba (try out) soal tes

Uji coba soal tes diperlukan agar soal tes tersebut benar-benar baik dan dapat
dipertanggungjawabkan (misalnya akan dipergunakan untuk tes standar atau untuk
penelitian). Namun, untuk keperluan pengujian di kelas sendiri, misalnya untuk ujian tengah
semester dan akhir semester, uji coba tersebut tampaknya tidak dilakukan oleh guru/dosen.

6. Menganalisis butir soal dan jawaban

Berdasarkan data dari uji coba soal tes tersebut, selanjutnya dilakukan analisis butir
soal dan jawaban dengan menggunakan rumus uji validitas dan reliabilitas hasil tes, serta uji
tingkat kesukaran.

7. Memperbaiki dan merakit butir soal

Berdasarkan analisis soal tersebut, jika memang soal yang telah disusun belum
memenuhi kualitas yang diharapkan, maka perlu diperbaiki atau direvisi seperlunya.
Selanjutnya, butir-butir soal itu dirakit agar menjadi sebuah tes yang siap digunakan. Bentuk
soal yang sejenis disusun dalam satu kelompok, dan butir soal diurutkan berdasarkan tingkat
kesulitannya. Butir soal yang tingkat kesulitannya rendah (mudah) diletakkan di
nomor-nomor awal, dan yang tingkat kesulitannya tinggi (sukar) ditempatkan di
nomor-nomor akhir.

13
8. Melaksanakan tes

Agar tes tersebut dapat memberikan hasil yang benar, dikerjakan dengan jujur, dan
sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan, pelaksanaannya harus dilakukan sebaik
mungkin dengan pengawasan yang cermat, tetapi tidak menggangu konsentrasi peserta tes.

9. Menafsirkan hasil tes

Hasil tes berupa data kuantitatif (skor) perlu diinterpretasikan sehingga menjadi nilai
yang merupakan informasi mengenai ketercapaian hasil pembelajaran.8

C. Analisis tes hasil teks arab

Analisis kualitas tes merupakan suatu tahap yang harus ditempuh untuk mengetahui
derajat kualitas sub tes, baik tes secara keseluruhan maupun butir soal yang menjadibagian
dari tes tersebut. Tes sebagai alat evaluasi diharapkan menghasilkan nilai yang objektif dan
akurat Jika tes yang digunakan guru kurang baik, maka hasil yang diperolehpun tentunya
kurang baik. Hal ini dapat merugikan peserta didik itu sendiri. Artinva, hasil yang diperoleh
peserta didik menjadi tidak objektif dan tidak adil. Oleh sebab itu, tes yang digunakan guru
harus memiliki kualitas yang lebih baik dilihat dari berbagai segi. Tes hendaknya disusun
sesuai dengan prinsip dan prosedur penyusunan tes. Setelah digunakan perlu diketahui
apakah tes tersebut berkualitas baik atau kurang baik. Untuk mengetahui apakah suatu tes
yang digunakan termasuk baik atau kurang baik, maka perlu dilakukan analisis kualitas tes.
Penganalisisan terhadap butir-butir item tes hasil belajar meliputi :
1) Tingkat Kesukaran/kesulitan
Analisis tingkat kesulitan butir tes dimaksudkan untuk mengetahui seberapa sulit
atau mudahnya tes yang telah diselenggarakan, baik tes secra keseluruhan maupun
masing-masing butir tesnya. Tingkat kesulitan itu diperhitungkan dari perbandingan antara
jumlah peserta tes yang dapat mnjawab dengan benar dan yang tidak mampu menjawab
dengan benar. Dasarnya adalah bahwa semakin banyak peserta tes yang menjawab dengan

8
http://walfajri.blogspot.com/2011/05/langkah-langkah-menyusun-tes-bahasa.html

14
benar, semakin mudah tes atau butir tes yang bersangkutan. Oleh sebab itu, rumus
sederhana untuk menghitung tingkat kesulitan butir tesberup.

2) Daya Pembeda
Selain tingkat kesulitan, aspek lain dari butir tes yang dijadikan sasaran analisis
adalah kemampuan butir tes untuk membedakan peserta tes yang mampu dan yang kurang
mampu dalam menjawab pertanyaan tes atau mengerjakan tugas tes dengan benar.
Kemampuan butir tes untuk membedakan peserta tes tersebut dikenal dengan daya
pembeda. "Daya pembeda soal berkaitan dengan kemampuan soal untuk mengetahuidan
membedakan antara siswa yang pandai (menguasai 20 materi) dan siswa yang kurang pandai
(tidak kurang menguasai materi)".
3) Fungsi Distraktor
Dalam tes objektif selalu digunakan alternatif jawaban yang mngandung dua unsur
sekaligus, yaitu jawaban yang tepat dan jawaban yang salah sebagai penyesat(distraktor).
Tujuannya adalah sebagai pengecoh bagi yang kurang mampu untuk dapat dibedakan
dengan yang mampu. Jika sebuah distraktor dipiih oleh 5% lebih dari semua peserta
tes.maka sebuah distraktor yang bersangkutan berfungsi dan jika sebuah distraktor dipilih
kurang dari 5% dari semua peserta tes maka distraktor yang bersangkutan tidak berfungsi.

15
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari segi isi atau tugas, asesmen dengan pendekatan ini menyangkut satu aspek
kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, atau kosa kata saja. Setiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes dengan pendekatan ini berupa
penjodohan (matching), benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple choice), atau
mengisi kotak kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia pada kolom lain.
Dari segi penskoran jawaban, model jawaban yang seperti itu sangat memudahkan guru
atau korektor dalam memberikan penilaian. Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa ini, tes
integratif terlihat lebih menjanjikan daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes
haruslah disesuaikan dengan pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan
pembelajaran, yang dipergunakan dalam pembelajaran bahasa di kelas. Kemampuan
pragmatik merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam
konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman
unsur-unsur ekstralinguistik. Kemudian analisis kualitas tes merupakan suatu tahap yang
harus ditempuh untuk mengetahui derajat kualitas sub tes, baik tes secara keseluruhan
maupun butir soal yang menjadibagian dari tes tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Imam. (2013). 1000 Permainan Penyegar Pembelajaran Bahasa Arab. Cet. III.
Malang: CV. Bintang Sejahtera.
Asrori, Imam. dkk. (2014). Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab. Cet. IV. Malang: Misykat
Indonesia.
Badudu, J.S. (1996). Pintar Berbahasa Indonesia 1: Petunjuk Guru Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama, Jakarta: Balai Pustaka.
Djiwandono, M. Soenardi. (2008). Tes Bahasa Pegangan Bagi Pengajar Bahasa. Cet. I.
Jakarta: Indeks.
Hamid, M. Abdul, (2010). Mengukur Kemampuan Bahasa Arab untuk Studi Islam. Cet. I,
Malang UIN-Maliki Press.
Hermawan, Acep. (2011). Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sukardi, M. (2012). Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta Timur: PT.
Bumi Aksara.
Wahyuni, Sri dan Abd. Syukur Ibrahim. (2007). Asesmen Pembelajaran Bahasa, Cet. I.
Bandung: PT. Refika Aditama.
http://walfajri.blogspot.com/2011/05/langkah-langkah-menyusun-tes-bahasa.html

17

Anda mungkin juga menyukai