Anda di halaman 1dari 263

PEMIKIRAN DAN PERAN POLITIK

HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)

Ujian Promosi

DISERTASI

Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang
Pemikiran Politik Islam

Oleh:
Ahmad Khoirul Fata
NIM. 31161200000066

Pembimbing:
Prof. Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA
Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

PROGRAM DOKTOR PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1441/2020
KATA PENGANTAR

Disertasi ini merupakan kajian bidang pemikiran politik Islam yang


berusaha memahami konsep, teori, hingga paradigma Haji Abdul Malik Karim
Amrullah (Hamka) tentang politik dan kebangsaan Indonesia. Kajian ini juga
membahas tindakan politik Hamka sebagai aktor politik. Karena itu termasuk studi
pemikiran politik Islam, di mana dalam hal ini pemikiran dan peran politik Hamka
menjadi objek bahan yang digunakan dalam laboratorium pemikiran politik Islam.
Tujuannya adalah menguji dan mengembangkan teori-teori paradigma politik
Islam yang telah dikonstruk oleh tokoh pemikir muslim Indonesia. Perspektif
itulah yang diharapkan dan telah diupayakan dengan maksimal oleh peneliti, meski
dengan segala keterbatasan yang ada. Memang tidak ada yang sempurna tetapi
bukan berarti membiarkan sifat ketelitian, ketepatan, dan ilmiah menjadi kabur.
Penulis bersukur kepada Allah Swt., Penguasa alam semesta, karena hanya
dengan kuasa, bantuan dan izin-Nya penulis hidup dan dapat menempuh studi ini.
Penulis sangat berterima kasih kepada kedua guru dan sekaligus promotor penulis;
Prof. M. Din Syamsuddin, MA. Ph.D. dan Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah atas
kesabarannya membimbing dan mengarahkan penulis, hingga tugas akhir
akademik ini dapat diajukan dan sampai pada tahap ujian pendahuluan. Penulis
juga berterima kasih kepada para dosen yang telah menguji, memberi masukan dan
arahan secara kritis disertasi ini dalam proses ujian-ujian sejak seminar proposal
dan WIP 1&2, serta Ujian Pendahuluan.
Penelitian ini juga memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran di
dalam kelas dan di luar kelas selama studi di SPs. Karena itu, penulis berterima
kasih kepada para pimpinan, dosen, dan staf akademik selama kuliah di SPs Syarif
Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku direktur SPs
saat ini, dan para direktur-direktur sebelumnya: Prof. Dr. Jamhari, MA. dan Prof.
Dr. H. Masykuri Abdillah. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Didin Saefuddin,
MA., Dr. Hamka Hasan, Lc.MA., Dr. Asmawi, Dr. Arif dan seluruh staf SPs yang
telah dengan sepenuh hati membantu mahasiswa SPs. Semoga amal shalih mereka
dicatat sebagai kebaikan oleh Allah Swt.
Penulis juga berterimakasih kepada rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo Dr.
H. Lahaji, beserta wakil-wakil rektor dan dekan Fakultas Ushuluddin & Dakwah
Dr. Mashadi, para wakil dekan, dan Ketua Jurusan Sosiologi Agama, yang telah
mengizinkan penulis untuk tugas belajar di Jakarta. Juga kepada pengelola
perpustakaan riset SPs, perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan
Nasional, perpustakaan DDII Kramat Raya, dan perpustakaan PP Muhammadiyah
Menteng Raya.
Terimakasih juga untuk keluarga penulis: kedua orang tua, istri dan anak-
anak, mertua, dan saudara-saudara penulis semua. Ucapan terima kasih juga layak
diberikan untuk semua teman angkatan 2016, dan teman-teman di kos Gg Buni dan
Walridho, khususnya ajengan Pepen Irpan yang banyak memberi masukan-
masukan dan tuanku Rifki yang telah menemani perjalanan ke Maninjau. juga
teruntuk Bekti Khudhori yang membantu mencarikan referensi, mas Wijayanto,
Ust. Sugeng, dan Mufkirul Iqdam yang telah membantu memperbaiki dan

ii
menerjemahkan abstrak, teman-teman di SP JICT yang banyak membantu
perjalanan ke Sumbar dan Sumut sembari bedah buku. Semoga kebaikan kalian
semua dibalas dengan yang lebih baik oleh Allah Swt.
Meski banyak pihak yang memberikan kontribusi bagi penulisan disertasi
ini, namun semua hal di dalamnya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Maka
masukan dan kritik dari pembaca akan sangat membantu dalam perbaikan disertasi
ini selanjutnya.

Billahi Hidayah wa tawfiq,


Ciputat, Juli 2020

Penulis

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin digunakan dalam karya ilmiah ini merujuk pada
modal berlaku pada Pedoman SPs UIN Syarif Hidayatullah.
A. Konsonan
‫ا‬ : A : Z ‫ز‬ : q ‫ق‬
‫ب‬ : B
‫ش‬ : S ‫ك‬ : k
‫ت‬ : T
‫ش‬ : Sh ‫ل‬ : l
‫ث‬ : Th
‫ص‬ : s} ‫م‬ : m
‫ج‬ : J
‫ض‬ : d} ‫ن‬ : n
‫ح‬ : h}
‫ط‬ : t} ‫ه‬ : h
‫خ‬ : Kh
‫ظ‬ : z{ ‫و‬ : w
‫د‬ : D
‫ع‬ : ‘ ‫ء‬ : ’

‫ذ‬ : Dh
‫غ‬ : Gh ‫ي‬ : y
‫ر‬ : R
‫ف‬ : F

B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf
Latin
Fath}ah a>
َ
Kasrah i>
َ
D}ammah u>
َ
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Nama
Huruf
Fath}ah dan ya a dan i ai
‫ى‬
Fath}ah dan a dan w aw
‫و‬ waw

C. Maddah
Tanda Nama Huruf Nama
Latin
Fath}ah dan a> a dan garis
‫تا‬ alif di atas
Kasrah dan ya i> i dan garis
‫يى‬ di atas
D}amma dan u> u dan garis
‫و‬ waw di atas

xi
D. Ta Marbut}ah
Ta mabut}ah ditulis dengan huruf ‚h‛, baik dirangkai dengan kata sesudahnya,
maupun tidak, seperti mar’ah ( ‫ )مرأة‬atau madrasah (‫)مدرضة‬
Contoh:
‫المدينة المنورة‬ Madi>nah al-Munawwarah

E. Shaddah
Shaddah / tashdi>d dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf sama dengan huruf ber-
shaddah.
Contoh:
‫نسل‬ Nazzala

F. Kata Sandang
‫ال‬
Kata sandang ‚ ‛ dilambangkan berdasarkan huruf mengikutinya, jika huruf al-
shamsiyah, maka ditulis sesuai haruf tersebut, sedangkan ‚al‛ jika diikuti huruf qamaiyah.
Kemudian, ‚‛ ditulis lengkap.
Contoh:
‫الشمص‬ al-Shams

‫القمر‬ al-Qamar

G. Pengecualian
Penulisan transliterasi tidak digunakan pada kosa kata Arab telah menjadi baku
dan masuk pada kamus bahasa Indonesia, seperti lafaz ‚Allah‛, kecuali berkaitan dengan
konteks tertentu mengharuskan untuk menggunakan transliterasi pada isitilah tersebut.

xii
ABSTRACT
AHMAD KHOIRUL FATA
Hamka's Political Thought and Role
This study examines the political side of Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), with a focus on studies of political thought, the idea of nationality and
Indonesian-ness, as well as the political activities that were played during the era of
parliamentary democracy, the Old Order, and the New Order. This theme was taken
bearing in mind that all this time the study of HAMKA is still around him as an
ulama or writer. While studies that place him as a thinker and political actor are still
relatively rare. This is a library research with a historical approach, and uses rational
choice theory and elective affinity as an analysis tool. Primary data were collected
from Hamka's works that are directly related to political themes. While secondary
data is obtained from various works that discussed the politics of Hamka or about
Islamic politics in Indonesia. Data is collected, sorted and selected, classified based
on predetermined themes, then analyzed holistically to obtain conclusions as
intended by Hamka.
Hamka's political thoughts and actions are built on the paradigm of "the
interrelation between religion and politics and the freedom to determine the political
format in accordance with the demands of the times." With this paradigm Hamka
conducted an Islam-democracy synthesis through the concept of "Democracy of
Taqwa"; to expressly reject the ideas of secularism and communism; and generally
accepted the concepts of human rights and nationalism, albeit with various notes.
Regarding nationalism, Hamka required it to be limited by human values so that the
national spirit does not lead to colonialism and exploitation of other nations. In the
context of Indonesianism, Hamka emphasized the importance of religion (Islam) for
the building of Indonesian nationality.
In the practical political practices of the parliamentary democracy era and the
Old Order, Hamka's important position as a thinker and political actor was seen in
his role in fighting for Islam as the basis of the state in the Constituent Assembly, as
well as its opposition to Guided Democracy. As for Communism, Hamka has a
greater role as a thinker and ideologist. The role as an ideologist is very evident in
his work in the MASBI/ Majelis Seni Budaya Islam which encourages the HSBI/
Himpunan Seni Budaya Islam in promoting arts in accordance with Islamic values
in order to stem the "red art" promoted by communists. In addition, Hamka also
uses mosques and mass media as a practical non-political struggle tool.
The struggle through non-political channels continued in the New Order era by
using the MUI as its vehicle. It was through this forum that Hamka took the path of
"politics through da'wah". Under the control of Hamka MUI became a partner as
well as a pressure for the government. Hamka's struggle through MUI was intended
for the purpose of making Islam an important factor for Indonesia's development.

Keywords: Hamka, Secularism, Communism, Human Rights, Taqwa


Democracy, Masjumi, Constituents, Pancasila, Indonesian Nationality, Da'wah
Politics.

xiii
‫امخلإصح‬
‫احيد خٌس امفذى‬
‫امفكس وامدوز امصٌاسي امحاج عتد امينك كسًً أىس هللا‬
‫دذَاول هرِ امدزاشح امخاٍث امصٌاسي منحاج عتد امينك كسًً أىس هللا )‪ ، (HAMKA‬ىع‬
‫امذسكٌز عنى دزاشاخ حىل امفكس امصٌاسي والأفكاز امىطٌَح وإٍدوٌٍصٌذها‪ ،‬وعينٌذه‬
‫امصٌاسي فٍ عصر امدًيقساطٌح امتسمياٌٍح وامَظاو امقدًً وامَظاو امخدًد‪ .‬و هرا‬
‫اميىضىع ىَاشث فٍ هرِ امفذسج لأٍه ىعسوف ةامَصتح إمى أٍه ىُ عنياء و شعساء‬
‫ًطنع فٍ فكسِ امصٌاسي إلإ ٍادزا‪.‬‬
‫الأٍدوٌٍصٌح‪ ،‬و مً ّ‬
‫هرا امتحث ىُ امقساءج اميكذتٌح ةذقسًث شٌسده‪ ،‬و ٍظسًذه فٍ الؤخذٌاز امعقنٍ و أمفح‬
‫اخذ ٌازًح منذحنٌه‪ .‬امتٌاٍاخ الؤةذدائٌح دَال ىُ أعيامه امعنيٌح عُ امصٌاشح و امىطٌَح‪ .‬فقد‬
‫دكىٌ ىُ كذته و ىقالإده و ىحاضراده و ىَاكشاده فٍ ‪ .KONSTITUANTE‬و ةامذامٍ فئٌ‬
‫امتٌاٍاخ امثاٍىًح دَال ىُ الأعيامٌح امعنيٌح عُ شٌاشذه‪ ,‬و عُ حزب ‪ ،Masyumi‬و عُ‬
‫ىخنض امعنياء الأٍدوٌٍسي )‪ , (MUI‬و عُ شٌاشح الؤشلإىٌح عيىىا‪ .‬دخيع امتٌاٍاخ و‬
‫دقصً ةامَصتح إمى اميىضىع اميحدد‪ ،‬ثً دحنّه ةطسًقح امشيىمٌح منحصىل‬ ‫ّ‬ ‫دصطفى و‬
‫عنى امهدف اميطنىب‪.‬‬
‫الأفكاز والأفعال امصٌاشٌح ‪ Hamka‬ىتٍَ عنى ٍيىذج "امذساةط ةٌُ امدًُ‬
‫وامصٌاشحوحسًح دحدًد امشكه امصٌاسي وفق اميطامث حقتح "‪ .‬ةهرا امَيىذج كاو ‪Hamka‬‬
‫ةذىمٌف الؤشلإىٍ امدًيقساطٌح ىُ خلإل ىفهىو "دًيقساطٌح امذقىي"‪ .‬فٌسفض ةامطتع‬
‫أشاس امعنياٌٍح و امشٌىعٌح‪ ،‬و ًىفق أشاس امحقىق الؤٍصاٌٍح و امىطٌَح ومى كاٍر ىع‬
‫اميلإحظاخ‪ .‬و فٍ امىطٌَح ًسي أٍها ىحدودج ةالؤٍصاٌٍح لأٌ لإ دصه إمى الؤحذلإل ةاالأوطاٌ‬
‫الأخسي‪ .‬و ًسي ةأهيٌح الؤشلإو متَاء شؤوٌ أٍدوٌٍصٌا‪ .‬فٌسي دصىًح امدزحح فٍ أٍدوٌٍصٌا‬
‫حصٌح "‬
‫ّ‬ ‫دصذأٍف ىُ دًُ الؤشلإو امري ًذتعه كثٌس ىُ ىخذيع أٍدوٌٍصٌا‪،‬و ًذىمد ىَها‬
‫حَصٌح حاوًح "‪ .‬و فٍ امخاٍث الآخس دعسف" حَصٌح حاوًح" ب "أٍدوٌٍصا " إمى ًىىَا هرا‪.‬‬
‫و دطتٌق امصٌاشٌح امعينٌح فٍ امدًيقساطٌح امتسمياٌٍح وامَظاو امقدًً‪ ،‬دظهس عينٌح‬
‫‪ Hamka‬فٍ ةرل حهدِ لإدخاذ الؤشلإو دشذىزا لأٍدوٌٍصٌا‪ ،‬و زغتذه عُ امدًيقساطٌح‬
‫امسئاشٌح ‪ .Demokrasi) (Terpimpin‬و زغتذه عُ امشٌىعٌح ًنعث ‪ Hamka‬دو زا أكتس‬
‫كيفكس وعقٌد‪ .‬و هرا امدوز كأًدًىمىحٍ واضح منغاًح فٍ عينه فٍ ىخنض امفَىٌ مثقافح‬
‫اإمصاميٌح )‪ (MASBI‬امذٍ دشخع حيعٌح امفَىٌ امثقافٌح اإمصاميٌح )‪(HSB‬فٍ دسوًد امفُ‬
‫زوحذه امشٌىعٌح‪ .‬وىع ذمك ‪Hamka‬‬ ‫اميذيٌز ةدًُ الإشلإو دفاعا عُ "امفُ الأحيس" امذٍ ّ‬
‫ًصذخدو أًضا اميصخد و امذىاصه الإحذياعٍ مترل امخهد ملؤشلإو فٍ غٌس امصٌاشح‪ .‬و‬
‫ًصر فٍ امَظاو امحدًث ةادخاذ ىخنض امعنياء الأٍدوٌٍصٌٌُ‬ ‫ّ‬ ‫حهدِ فٍ غٌس امصٌاشح‬
‫)‪ (MUI‬وشٌنح مذصٌس ىعه ‪ .‬فيعها ًصٌس عنى " امصٌاشح ىُ خلإل امدعىج "‪ .‬و دحر‬
‫زعاًذه أصتح ىخنض امعنياء الأٍدوٌٍصٌٌُ شرًكا وكىج فٍ ضغط منحكىىح‪ .‬ىكافحح‬
‫‪Hamka‬ىُ خلإل ‪ً MUI‬هدف إمى حعه الؤشلإو كعىاىه ىهيح مذَيٌح إٍدوٌٍصٌا‪.‬‬

‫امكنياخ امسئٌصٌح‪ :‬امحاج عتد امينك كسًً أىس هللا‪ ،‬امعنياٌٍح ‪ ،‬امشٌىعٌح‪ ،‬امحقىق‬
‫الؤٍصاٌٍح‪ ،‬دًيقساطٌح امذقىي‪ ,Masyumi, Konstituante ,‬خيصح أشض )‪(Pancasila‬‬
‫‪،‬وطٌَح الأٍدوٌٍصٌح‪ ،‬شٌاشح امدعىج‬

‫‪xiv‬‬
ABSTRAK
AHMAD KHOIRUL FATA
Pemikiran dan Peran Politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penelitian ini mengkaji sisi politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), dengan fokus kajian pada pemikiran politik, gagasan kebangsaan dan
keindonesiaannya, serta aktivitas politik yang diperankannya selama era demokrasi
parlementer, Orde Lama, dan Orde Baru. Tema ini diambil mengingat selama ini
kajian tentang HAMKA masih di seputar dirinya sebagai ulama atau sastrawan.
Sementara kajian yang menempatkannya sebagai pemikir dan aktor politik masih
relatif langka.
Penelitian ini merupakan library research dengan pendekatan historis, serta
menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan elective affinity
sebagai alat analisisnya. Data primer dikumpulkan dari karya-karya Hamka yang
terkait langsung dengan tema politik. Sementara data sekunder diperolah dari
berbagai karya yang membahas tentang politik Hamka, Masyumi, MUI, atau
tentang politik Islam secara umum. Data-data dikumpulkan, dipilah dan dipilih,
diklasifikasikan berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan, kemudian dianalisis
secara holistik agar diperoleh kesimpulan sesuai dengan yang dimaksudkan Hamka.
Pemikiran dan tindakan politik Hamka dibangun atas paradigma
“kesalingterkaitan agama dengan politik dan keleluasaan menentukan format politik
yang sesuai dengan tuntutan zaman.” Dengan paradigma inilah Hamka melakukan
sistesis Islam-demokrasi melalui konsep “Demokrasi Takwa.” Paradigma ini juga
menempatkan Hamka untuk secara tegas menolak ide sekularisme dan komunisme;
dan secara umum menerima konsep HAM dan nasionalisme, meski dengan berbagai
catatan. Terhadap nasionalisme, Hamka mengharuskannya dibatasi oleh nilai-nilai
kemanusiaan agar semangat kebangsaan tidak membawa kepada penjajahan dan
eksploitasi terhadap bangsa lain. Dalam konteks keindonesiaan, Hamka
menekankan pentingnya agama (Islam) bagi bangunan kebangsaan Indonesia.
Dalam praktik politik praktis era demokrasi parlementer dan Orde Lama, posisi
penting Hamka sebagai pemikir dan aktor politik terlihat pada perannya dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di Konstituante, serta oposisinya
terhadap Demokrasi Terpimpin. Sementara terhadap Komunisme, Hamka lebih
berperan sebagai pemikir dan ideolog yang tampak pada kiprahnya di Majelis Seni
Budaya Islam (MASBI) dalam mempromosikan kesenian yang sesuai dengan nilai-
nilai Islam demi membendung “seni merah”. Selain itu Hamka juga menggunakan
masjid dan media massa sebagai alat perjuangan non-politik praktisnya.
Perjuangan melalui jalur non-politik praktis terus dilakukannya di era Orde
Baru dengan menjadikan MUI sebagai kendaraannya. Melalui wadah inilah Hamka
menempuh jalan “berpolitik lewat dakwah”. Di bawah kendali Hamka MUI menjadi
mitra sekaligus kekuatan penekan bagi pemerintah. Perjuangan Hamka melalui
MUI dimaksudkan untuk tujuan menjadikan Islam sebagai faktor penting bagi
pembangunan Indonesia.

Kata Kunci: Hamka, Sekularisme, Komunisme, HAM, Demokrasi Takwa,


Masyumi, Konstituante, Pancasila, Kebangsaan Indonesia, Politik Dakwah

xv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ....................................................... iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... v
PENGESAHAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN.......................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... xi
ABSTRAK .......................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI....................................................................................................... xvi
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah ............................... 3
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ....................................................... 5
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ..................................................... 5
E. Metode Penelitian ................................................................................. 9
F. Sistematika Pembahasan ....................................................................... 12
BAB II
DISKURSUS POLITIK DALAM ISLAM ........................................................ 13
A. Transformasi Politik Islam di Era Modern .......................................... 13
B. Dinamika Politik Islam di Indonesia...................................................... 23
C. Paradigma Politik Islam Indonesia ........................................................ 28
BAB III
RIWAYAT HIDUP HAMKA ........................................................................... 38
A. Nasab dan Keluarga Hamka ................................................................... 38
B. Perkembangan Pribadi dan Intelektual Hamka ..................................... 40
C. Karya-karya Hamka .............................................................................. 47
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK DAN KEBANGSAAN HAMKA ............................... 50
A. Hubungan Agama-Negara Menurut Hamka ......................................... 51
B. Gagasan Hamka Tentang Kebangsaan Indonesia .................................. 58
1. Kebangsaan yang Sesuai Islam Menurut Hamka ............................ 58
2. Islam Sebagai Ruh Kebangsaan Indonesia ...................................... 68
C. Sintesis Islam-Demokrasi Menurut Hamka ........................................... 78
1. Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi ....................................... 81
2. Musyawarah Sebagai Pondasi Hidup Bermasyarakat ..................... 87
3. Takwa Sebagai Landasan Moral Masyarakat .................................. 90
D. Respons Hamka Terhadap Konsep Politik Barat Modern...................... 94
1. Respons Terhadap Sekularisme ....................................................... 94
2. Respons Terhadap Komunisme ..................................................... 116
3. Respons Terhadap HAM Barat ..................................................... 126

xvi
BAB V
PERAN HAMKA DI PENTAS POLITIK NASIONAL .................................. 133
A. Hamka Dalam Dinamika Politik Masyumi .......................................... 133
B. Perjuangan Hamka Di Konstituante ..................................................... 145
1. Perdebatan Tentang Islam dan Pancasila di Konstituante ............. 145
2. Sikap Hamka Terhadap Pancasila ................................................. 157
C. Peran Politik Hamka Di Era Demokrasi Terpimpin ............................ 164
1. Respons Hamka Terhadap Demokrasi Terpimpin......................... 164
2. Perjuangan Melalui Jalur Non-Politik ........................................... 176
D. Peran Politik Hamka Di Era Orde Baru .............................................. 198
BAB VI
KESIMPULAN ................................................................................................ 215
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 218
GLOSARIUM ................................................................................................... 235
INDEKS ............................................................................................................ 237
Lampiran I SK Pembimbing ............................................................................ 253
Lampiran II Ujian Proposal ............................................................................ 254
Lampiran III Ujian WIP I ................................................................................ 255
Lampiran IV Ujian Komprehensif ................................................................... 256
Lampiran V Ujian WIP II ................................................................................ 257
Lampiran VI Ujian Pendahuluan ...................................................................... 258
Lampiran VII Daftar Hadir Konsultasi Akademik............................................ 259
Lampiran VIII Cek Plagiarisme ....................................................................... 260

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Panggung sejarah Indonesia pra dan pasca proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 menampilkan sejumlah tokoh dengan karakter dan peran yang
berbeda-beda. Salah satu tokoh yang turut memberikan warna dalam sejarah
keindonesiaan dan keislaman adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang
biasa dikenal sebagai HAMKA. Dari sekian banyak tokoh yang hadir, putra
Minangkabau ini memiliki sisi keunikan tersendiri atas perannya yang berbeda-
beda dalam panggung sejarah Indonesia.
Hamka hadir dalam sejarah Indonesia dengan beragam peran. Syafii Maarif
menyebutnya sebagai pengarang, pemikir bebas, sastrawan, sejarawan publik, dan
mufasir.1 James R Rush menempatkan Hamka sebagai seorang cendekiawan
publik,2 sementara Taufik Abdullah melihatnya sebagai tokoh Kaum Muda
generasi kedua ‚yang melakukan usaha ideologisasi Islam – bagaimanakah ajaran
agama dijadikan sebagai landasan strategi perjuangan dan paradigma untuk
memahami realitas?‛.3
Namun demikian, Abdurrahman Wahid melihat Hamka bukan sebagai aktor
terpenting dalam peran-peran yang dimainkannya tersebut, karena masih banyak
tokoh-tokoh lain yang lebih hebat darinya. Sisi kehebatan Hamka dalam sejarah
Indonesia, ujar Wahid, terletak pada ‚kemampuannya menjadikan diri berharga dan
berarti bagi aneka ragam manusia... Bukan secara manipulatif, karena ia
melakukannya melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif.‛ Dalam rumusan
yang lebih sederhana, Wahid menempatkan Hamka sebagai tokoh penghubung bagi
semua pihak.4
Meski dikenal sebagai sosok multitalenta dengan beragam peran, namun sisi
Hamka sebagai pemikir dan aktor politik kurang begitu dikenal. Masyarakat lebih
mengenalnya sebagai sastrawan dan ulama. Syafii Maarif pun menyebut Hamka
hanya menulis sedikit tentang politik.5 Menurut Yusril Ihza Mahendra, hal ini
wajar karena memang Hamka lebih menonjolkan dirinya sebagai sastrawan dan

1
Lihat A Syafii Maarif, ‚Hamka: Pribadi Multitalenta, Minangkabau dan
Indonesia,‛ Kata Pengantar untuk buku karya James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam
Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor (Jakarta: Gramedia,
2017), h. ix-xviii; Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Minangkabau, dan
Indonesia,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h.
20-27.
2
Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxvi,
3
Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di
Indonesia,‛ dalam Nasir Tamara, dkk (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, ( Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 1-
4
Lihat Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah
Pengantar,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h.
1-19
5
Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Pribadi Multitalenta...‛, h. xiv

1
ulama daripada sebagai politisi, sebagaimana yang pernah dinyatakannya, ‚siasat
(politik) bukanlah medanku.‛ Demikian pula, tulisan-tulisan Hamka tentang
politik banyak ditulis di era Revolusi Fisik, yang belum sistematis dan masih
bersifat umum.6
Walaupun bukan tokoh terpenting dalam panggung politik nasional, namun
bukan berarti Hamka tidak memberikan sumbangan penting bagi negara yang
masih berusia muda saat itu. Hamka dikenal sebagai penulis produktif. Ide-idenya
mengalir lewat tulisan-tulisannya yang tersebar ke seantero negeri dan dikonsumsi
oleh masyarakat luas. Tindakan-tindakan politiknya pernah mewarnai praktik
politik dan kenegaraan Indonesia. Penahanan Hamka di era Orde Lama menjadi
salah bukti pengaruh tindakan politiknya. Kehebohan tentang Fatwa Natal
Bersama di era Orde Baru juga bukti lain dari tindakan politiknya. Sementara di
aspek pemikiran, gagasan politik Hamka yang menarik adalah upayanya
mensintesiskan antara Islam dengan demokrasi melalui konsep ‚Demokrasi
Takwa.‛ 7 Dari segi istilah saja konsep tersebut terasa unik dan berbeda dari upaya
serupa yang pernah dilakukan pemikir lain semisal ‚Teistik Demokrasi‛-nya
Mohammad Natsir atau ‚Teo-demokrasi‛-nya Mawdudi. 8
Hamka lahir tahun 1908, dan mulai memasuki dunia pergerakan politik-
keagamaan di tahun 1924 ketika dia mengikuti kegiatan Sarekat Islam (SI) dan
Jong Islamieten Bond (JIB) di Yogyakarta. Perkembangan intelektual dan aktivitas
pergerakannya semakin terasah saat dia pindah ke Medan tahun 1936, di mana dia
menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat dan pimpinan
Muhammadiyah di sana. Sementara aktivitas politiknya di tingkat nasional terjadi
pada periode 1950-1960-an saat dia tinggal di Jakarta dengan menjadi aktivis
Masyumi dan Muhammadiyah.
Dengan demikian perkembangan intelektual dan aktivitas pergerakan Hamka
terjadi pada periode menjelang dan di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Di
periode ini Indonesia sedang mengalami gelombang perubahan besar di berbagai
aspek. Di aspek sosial-keagamaan muncul gagasan dan gerakan-gerakan yang
berorientasi pembaharuan. Sementara di ranah politik, ide-ide tentang kebangsaan
Indonesia dan kemerdekaannya sedang mengalami proses pematangan. Kondisi itu
diiringi dengan tumbuhnya banyak gerakan sosial-politik dengan ideologi yang
beragam dan saling bersaing. Karena itu Taufik Abdullah menyebutnya sebagai
dasawarsa ideologi.9
Dalam periode itu diskursus yang berkembang dan menjadi perhatian
masyarakat adalah persoalan hubungan agama (Islam) dengan negara atau
nasionalisme Indonesia (tahun 1920-1930-an), lalu berlanjut menjadi
keseimbangan antara keislaman dengan keindonesiaan (dekade 1940-1950-an)

6
Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, (Jakarta: Pro
Deleader, tt.) h. 299
7
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: GIP, 2015), h. 31.
8
M Natsir, Capita Selecta 3, (Jakarta: PT Abadi & Panitia Peringatan Refleksi
Seabad M Natsir, 2008) h. 126.
9
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
LP3ES, 1996), h. 15.

2
yang menghasilkan ideologi pembaharuan, dan wacana seputar harmonisasi antara
keislaman dengan keindonesiaan (dekade 1960-an) yang menghasilkan ideologi
islamis (dakwah). Pergeseran wacana tersebut terjadi sebagai respons tokoh-tokoh
Muslim terhadap perkembangan sosial politik Indonesia yang terjadi saat itu.10 Di
ranah politik, gagasan politik Islam yang berkembang pada periode pra-
kemerdekaan adalah ‚seruan ke arah kesatuan antara Islam dan negara‛. Sementara
di periode pasca revolusi fisik, gagasan politik Islam yang berkembang adalah
seputar ‚perjuangan demi Islam sebagai dasar ideologi negara.‛11
Wacana politik Islam yang berkembang di Indonesia pada periode tersebut
sesungguhnya merefleksikan wacana yang juga terjadi dalam dunia Islam secara
umum. Munawir Sjadzali mengungkapkan, perkembangan pemikiran politik Islam
semenjak akhir abad ke 19 di dipengaruhi oleh tiga hal: kemunduran dan kerapuhan
dunia Islam karena faktor-faktor internal; rongrongan Barat terhadap kekuasaan
politik Islam melalui penjajahan; dan keunggulan Barat di bidang ilmu, teknologi,
dan organisasi.12
Di tengah perubahan besar dunia Islam yang juga menerpa Indonesia inilah
Hamka hidup. Sebagai aktivis pergerakan dan wartawan, Hamka selalu
memperhatikan perkembangan yang terjadi dan memberikan respons terhadap
kondisi yang dihadapinya. Di aspek ini dia selalu berupaya mendialogkan ‚secara
intens antara teks yang dihasilkannya dengan peralihan zaman dan perubahan
sosial yang sedang terjadi,‛13 dan ‚juga ke cita-cita politik Indonesia merdeka,‛14
demi ‚memberikan landasan ideologis bagi kebangsaan Indonesia.‛15
Selama ini Hamka lebih dikenal sebagai seorang ulama pembaharu dan
sastrawan. Padahal banyak gagasan-gagasan sosial-politik Hamka yang menarik
untuk dikaji dan dikonseptualisasikan sebagai bahan kajian pemikiran politik Islam
Indonesia modern. Di titik inilah letak urgensi penelitian tentang pemikiran dan
tindakan politik Hamka.
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat
diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Selama ini posisi Hamka sebagai pemikir politik belum banyak diungkap,
padahal selain seorang ulama dia adalah pemikir yang banyak menulis
tentang kondisi sosial dan politik yang terjadi di zamannya.

10
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 744-745
11
Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 69-105
12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 115
13
Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas...,‛ h. 6
14
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxiv
15
Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra 3, (Jakarta:
Pro Deleader, tt), h. 298-299

3
b. Hamka hidup di era di mana negara-bangsa yang baru tumbuh memerlukan
energi untuk menentukan corak dan karakteristiknya. Sumbangan Hamka
dalam memberikan warna bagi kenegaraan dan kebangsaan Indonesia
menjadi permasalahan yang perlu diungkap.
c. Selain itu, sisi Hamka sebagai aktor politik yang berperan aktif dalam
dinamika politik kebangsaan juga belum terungkap secara lebih terang.
Posisinya sebagai aktor politik hanya sayup-sayup terdengar dan sepintas
lalu dibicarakan.
d. Kenyataan politik praktis sering menghadirkan permasalahan tertentu yang
seringkali membenturkan aktor politik pada dilema antara bersikap
pragmatis dan teguh memegang nilai-nilai yang diyakininya. Pada titik ini
perlu diteliti bagaimanakah Hamka menyelesaikan permasalahan tersebut.
e. Lapangan politik juga dipenuhi dengan dinamika yang seringkali tidak
sesuai dengan cita-cita yang diinginkan para aktornya. Bagaimana cara dan
strategi Hamka menghadapi dinamika dan perubahan-perubahan yang
terjadi demi meraih tujuan politiknya merupakan permasalahan yang
menarik.
2. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari berbagai permasalahan yang teridentifikasi di atas, penelitian ini akan
difokuskan permasalahan: ‚Bagaimana pemikiran politik dan kebangsaan Hamka,
serta aktivitasnya dalam perpolitikan nasional?‛. Agar lebih sistematis dan mudah,
permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran politik Hamka?
2. Bagaimana pandangan Hamka tentang Islam dan kebangsaan Indonesia?
3. Bagaimana peran Hamka dalam perpolitikan nasional?
Pada kenyataannya tema tersebut mencakup tema yang cukup luas. Untuk
itu penelitian ini perlu lebih dispesifikkan lagi dengan membatasinya pada hal-hal
tertentu pada sisi politik Hamka. Terkait dengan aktivitas politik Hamka,
penelitian ini lebih ditekankan pada aktivitas politik Hamka era Orde Lama,
khususnya peranannya dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara
Indonesia dan oposisinya terhadap kekuasaan otoriter Soekarno. Di sini juga
dibahas perlawanan Hamka terhadap komunisme yang memiliki posisi penting
dalam sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno. Untuk peran yang dimainkannya
dalam politik dakwah di era Orde Baru, kajian ini memfokuskannya pada langkah
politiknya di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sementara untuk pemikiran politiknya dibatasi pada ide-ide politiknya
terkait dengan konsep-konsep politik modern seperti demokrasi, nasionalisme, Hak
Asasi Manusia, Sekularisme dan Komunisme. Dalam konteks tema nasionalisme,
penelitian ini juga membahas gagasan Hamka tentang kebangsaan Indonesia yang
dikaitkan dengan spirit keislaman.
Dengan demikian kajian ini tidak membahas gagasan-gagasan Hamka terkait
dengan sejarah politik Islam di masa lampau, di era kekhalifahan Islam. Jika
terdapat sedikit bahasan tentang hal ini, itu dilakukan dalam konteks pembahasan
seputar tema-tema konsep politik modern di atas.

4
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menjelaskan pemikiran politik Hamka dan responsnya terhadap ide-ide
politik Barat modern;
b. Menjelaskan gagasan-gagasan kebangsaan dan keindonesiaan Hamka;
c. Menjelaskan peran yang dimainkan Hamka dalam perpolitikan Indonesia,
khususnya di era demokrasi parlementer, Orde Lama, dan Orde Baru, dan
kesesuaiannya dengan pemikiran politik yang digariskannya.
2. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini memiliki arti penting untuk:
a. Memberikan konsepsi yang lebih jelas tentang pemikiran politik Islam
Indonesia modern, dalam hal ini pemikiran politik Hamka;
b. Memberikan gambaran yang lebih terang tentang posisi Hamka dalam
dinamika politik nasional;
c. Memperkaya khanazah pemikiran politik Islam modern, khususnya dalam
konteks Indonesia dan Asia Tenggara.
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Sebagai pribadi yang multitalenta, dengan peran-peran berbeda yang
dimainkannya di panggung sejarah, Hamka seringkali dilihat dan dikaji dalam
banyak segi yang berbeda. Bukan hanya perilaku dan aksi-aksinya, kajian tentang
Hamka juga menjadikan ide-ide dan gagasannya sebagai obyek penelitian. Kajian
tentangnya pun telah lama dilakukan, bahkan sebelum Hamka meninggal dunia.
Kajian tentang Hamka sebagai seorang sastrawan telah dilakukan oleh Junus
Amir Hamzah. Dalam Hamka Sebagai Pengarang Roman yang terbit tahun 1963,16
Junus Amir Hamzah mengulas karya-karya sastra Hamka seperti Di Bawah
Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Der Wick. Junus Amir Hamzah
menyebut adanya pengaruh Muhammad Abduh terhadap roman-roman Hamka
tersebut, juga disebut Hamka terinspirasi oleh Manfaluthi dalam hal gaya cerita
yang berisi kesengsaraan manusia yang bersifat sentimentil.
Faktor Manfaluthi yang mempengaruhi karya sastra Hamka dan pengaruh
ajaran Abduh juga disebut oleh S.I Poeradisastra. Namun itu bukan berarti roman-
roman Hamka, khususnya Tenggelamnya Kapal van Der Wick, sebagai hasil
plagiasi dari karya Manfaluthi sebagaimana yang pernah dipolemikkan seniman
Lekra. Poeradisastra menyebut, dalam karya sastranya Hamka selalu memasukkan

16
Peneliti belum menemukan buku ini. Pembahasan tentang karya Junus Amir
Hamzah tersebut bersumber dari karya Dwi Susanto, Lekra, Lesbumi, Manifes
Kebudayaan: Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965, (Yogyakarta: CAPS, 2018), h.
179-183

5
unsur dakwah dalam pesan-pesannya.17 Kajian sisi Hamka sebagai sastrawan juga
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lain semisal Alfi Julizun Azwar.18
Sementara sisi Hamka sebagai ulama, mufasir, dan pembaharu Islam juga
dikaji oleh banyak peneliti. Abd Haris mengkaji pemikiran Hamka tentang etika19,
M Jamil meneliti aspek hukum dalam Tafsir Al-Azhar karya Hamka,20 Muhammad
Amin juga meneliti tentang Tafsir Al-Azhar namun mengambil fokus pada kualitas
asbabun nuzulnya, 21 kajian Utang Ranuwijaya berfokus pada kualitas hadis
tentang hukum perkawinan di Tafsir Al-Azhar,22 dan Yunan Nasution yang
meneliti aspek teologinya.23 Sedangkan kajian tentang Hamka sebagai pendakwah
dilakukan oleh M Nazar.24
Kajian tentang Hamka dari aspek lainnya juga banyak dilakukan,25
sementara sisi politiknya relatif belum sebanyak bila dibanding dari segi sastra dan

17
SI Poeradisastra, ‚Dalam Karya Sastra Pun Berdakwah dan Berkhotbah,‛ dalam
Nasir Tamara, dkk (ed), Hamka Di Mata Hati..., h. 121-136
18
Alfi Julizun Azwar, ‚Dimensi Tasawuf Dalam Karya Hamka: Analisis Roman ‘Di
Bawah Lindungan Ka’bah’ dan ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk’‛, disertasi, SPS UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
19
Abd Haris, ‚Etika Islam: Studi Pemikiran Hamka‛, disertasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005.
20
M Jamil, ‚Metode Istinbat Hukum Hamka: Studi Terhadap Ayat-ayat Ahkam
Tafsir al-Azhar‛, disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
21
Muhammad Amin, ‚Kualitas Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir al-Azhar‛, disertasi,
SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007
22
Utang Ranuwijaya, ‚Hadis-hadis Pada Kitab Tafsir al-Azhar Hamka: Analisis
Sanad Pada Ayat-ayat Hukum Bidang Perkawinan,‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1998
23
M Yunan Yusuf, ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah
Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1989.
24
Muhammad Nazar, ‚Intelektualitas Dakwah Prof Dr Hamka: Kajian Tentang
Konsep Dan Pendekatan‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
25
Sebagai contoh: Muhammad Hilmi Jalil dan Fakhrul Adabi Abdul Kadir,
‚Kepentingan Kesihatan Diri Dalam Pembangunan Insan: Analisis Karya Falsafah Hamka‛,
Jurnal Hadari, vol 5, no 2 2013, h. 69-84; M Roem Rowi, ‚Hamka Wuju>duhu fi> Tafsi>r al-
Qur’a>n al-Kari>m bi Indu>ni>sy> fi> Kita>bihi al-Azha>r‛, Journal of Indonesian Islam, vol 03, no
2, 2009, h. 421-451; Imam Taufiq, ‚Membangun Damai Melalui Mediasi: Studi terhadap
Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar‛, Jurnal al-Tahrir, vol 14, no 2, 2014, h. 297-320;
Zul `Azmi Yaakob, ‚Falsafah Alam Dalam Konteks Falsafah Ketuhanan Menurut Hamka‛,
International Journal of Islamic Thought, vol 1, June 2012, h. 74-86; Abdul Nashir, ‚Buya
Hamka dan Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam‛, At-Ta’dib, vol 3, no 1, Shafar
1428, h. 59-81; dan masih banyak lagi.
Ada beberapa artikel untuk forum ilmiah yang membahas Hamka, contohnya: Abdul
Hafiz bin Abdullah & Mohd Ya’qub Zulkifli bin Mohd Yusoff, ‚Islam dan Keadilan Sosial
Menurut Pandangan Hamka Dalam Tafsir al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan
Zakat‛, paper dipresentasikan di Seminar Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat,
Fakultas Usuluddin, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam, pada 24-25
Februari 2010.

6
agama. Menurut Maarif, hal itu karena memang Hamka hanya sedikit menulis
tentang politik.26
Kesimpulan Maarif ini dibantah oleh Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya,
Hamka banyak menulis tema-tema tentang Islam dan politik, khususnya di era
Revolusi Fisik. Gagasan politik Hamka itu termuat dalam beberapa buku dan
artikel yang berserakan di berbagai media massa. Dalam tulisan-tulisannya itu,
ungkap Mahendra, Hamka berupaya memberikan landasan ideologis bagi
kebangsaan Indonesia.27 Meski demikian Mahendra juga mengakui jika tulisan-
tulisan Hamka tentang politik masih belum sistematis dan bersifat umum.28
Adanya kesan tentang Hamka sebagai bukan tokoh pemikir dan aktivis politik,
lanjut Mahendra, karena dalam banyak kesempatan Hamka sendiri mengaku bahwa
‚siasat (politik) bukanlah medanku.‛ Juga, di kemudian hari Hamka lebih
menonjolkan sisi dirinya sebagai sastrawan dan ulama.29
Sebenarnya peran dan pemikiran politik Hamka pernah dikaji oleh beberapa
peneliti. Shobahussurur telah memberikan gambaran awal pemikiran politik
Hamka tentang ketidakterpisahan antara agama dengan negara.30 Kesimpulan
serupa juga diperoleh Marsudi Fitro Wibowo dalam penelitiannya tentang
hubungan antara agama dengan negara menurut Hamka.31 Penelitian lain dilakukan
Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah tentang konsep kepemimpinan
Islam dalam Tafsir al-Azhar, serta Sarah Larasati Mantovani dan M Abdul Fattah
Santoso tentang partisipasi politik perempuan. Karya-karya ini hanya mengkaji
satu tema tertentu tentang gagasan politik Hamka dan menempatkan Hamka sebagai
ulama yang ‚sekedar‛ menulis tentang politik, bukan memposisikannya sebagai aktor
politik. Namun demikian, karya-karya itu menjadi kajian pendahuluan bagi
penelitian tentang pemikiran politik Hamka.32
Kajian sisi politis Hamka lainnya dilakukan Abd Khair dalam disertasinya di
IAIN Syarif Hidayatullah,33 dan Nurwajah Ahmad EQ.34 Namun bahasan tentang

26
Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Pribadi Multitalenta...‛, h. xiv
27
Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra 3, (Jakarta:
Pro Deleader, tt), h. 298-299
28
Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril..., h. 299
29
Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril..., h. 298
30
Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka‛, Jurnal
Asy-Syir’ah, vol 43, no 1, 2009, h. 231-245.
31
Marsudi Fitro Wibowo, ‚Relasi Agama dan Negara Perspektif Ulama Indonesia
(Konstruksi Gagasan Politik Islam Hamka Pada Tahun 1928-1981)‛, disertasi, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2018.
32
Lihat Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah, ‚Pemimpin Menurut
Pandangan Hamka: Satu Tinjauan Dalam Tafsir Al-Azhar‛, Jurnal Al-Tamaddun, vol 8, no
1, 2013, h. 17-38; dan Sarah Larasati Mantovani dan M Abdul Fattah Santoso, ‚Pemikiran
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) Tentang Partisipasi Politik Perempuan di
Tahun (1949-1963)‛, Profetika, vol 16, no 1, 2015, h. 83-92.
33
Abd Khair, ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan
Sosial Politik‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah, 1996.

7
gagasan politik Hamka dalam dua karya ilmiah itu masih belum mendalam. Hal ini
wajar mengingat pemikiran politik Hamka tersebut hanya dijadikan sebagai sub-
bagian dari penelitian mereka. Pun demikian yang dibahas masih seputar tema
hubungan agama-negara. Sementara tema-tema lainnya dalam pemikiran politik
dan kebangsaan Hamka relatif belum tersentuh.
Penelitian tentang pemikiran politik Hamka yang terbatas pada tema
tertentu juga dilakukan Achmad Suja’i yang membahas tentang pengertian konsep
‚khilafah‛ dalam Tafsir al-Azhar dengan memperbandingkannya dengan tafsir
karya Sayyid Quthb. Maka pembahasan pemikiran politik Hamka dalam karya ini
masih terbatas pada tema itu.35 Fokus pada tema tertentu pada pemikiran politik
Hamka dalam tafsirnya juga dilakukan Ahmad Hakim dan M Thalhah,36 Sidik37
dan Akmal Rizki Gunawan.38 Kajian Hakim dan Thalhah lebih ditekankan pada
etika politik menurut Hamka, dan terbatas pada karya tertentu Hamka, yaitu Tafsir
al-Azhar. Sementara Karya Sidik hanya membahas pengertian negara dan konsep
jihad menurut Hamka dalam tafsirnya. Demikian pula karya Gunawan yang hanya
mengeksplorasi gagasan politik Hamka dalam Tafsir al-Azhar, padahal selain
dalam tafsirnya, gagasan politik Hamka juga banyak tersimpan dalam karya-karya
tulisnya yang lain.
Sebetulnya terdapat penelitian yang secara apik mengungkap Hamka. James
R Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia
Modern memberikan gambaran secara komprehensif tentang Hamka dan posisinya
dalam sejarah Indonesia. Menurut Rush, Hamka merupakan cendekiawan Muslim
publik yang secara konsisten menautkan Islam ke keresahan sosial dan perubahan
zaman, serta ke cita-cita politik Indonesia merdeka. Dengan kekayaan literatur
primernya, karya ini mengungkap pribadi Hamka dalam segala seginya, termasuk
segi politik. Namun sebagai sebuah karya biografis yang mencoba menceritakan
sosok Hamka secara utuh, karya Rush ini hanya membahas aspek-aspek tertentu

34
Nurwajah Ahmad EQ, ‚Pemahaman Hamka dan TM Hasbi Ash-Shidiqy Mengenai
Ayat Yang Berkaitan dengan Politik, Ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan‛, disertasi, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
35
Achmad Suja’i, ‚Konsep Khilafah Dalam Tafsir Sayyid Quthb dan Tafsir
Hamka‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
36
Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka,
(Yogyakarta: UII Press, 2005).
37
Sidik, ‚Deradikalisasi Pemaknaan Negara dan Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar‛,
Jurnal Analisa, Vol 19, No 1, 2012, h. 69-82
38
Akmal Rizki Gunawan, Dimensi Politik Tafsir al-Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai
Pancasila (Ciputat: Cinta Buku Media, 2016). Terdapat beberapa artikel ilmiah yang
membahas tentang politik Hamka, di antaranya: Fokky Fuad, ‚Moral Hukum dan Nilai-
nilai Kebangsaan: Sebuah Refleksi Pemikiran Buya Hamka‛, Mimbar Demokrasi, vol 16,
no 1, 2016, h. 71-85; Nunu Burhanuddin, ‚Konstruksi Nasionalisme Religius: Relasi Cinta
dan Harga Diri Dalam Karya Sastra Hamka‛, Episteme, vol 10, no 2, 2015, h. 353-384;
Fokky Fuad, ‚Kehancuran Nilai Kemanusiaan Reaktualisasi Pemikiran Hamka Dalam
Hukum‛, Lex Jurnalica, vol 13, no 1, 2016, h. 35-45; Abdul Wahid, ‚Sosial Politik Dalam
Tafsir Hamka‛, Conference proceedings, Ar-Raniry International Conference on Islamic
Studies (ARICIS) I, Banda Aceh, 26-27 Oktober 2016, h. 328-340.

8
pada diri sang tokoh secara ‚seperlunya.‛ Di titik ini aspek politik Hamka dibahas
sesuai kebutuhannya sehingga kurang mendalam. 39 Namun demikian, karya Rush
yang kaya dengan data-data sejarah Hamka yang diperoleh dari sumber-sumber
primer ini menjadi salah satu sumber penting bagi penelitian ini.
Dengan demikian, penelitian ini sesungguhnya mencoba memenuhi satu hal
penting, yaitu: mengisi dan memperkaya kajian tentang Hamka yang telah banyak
dilakukan peneliti-peneliti lain. Di aspek ini penelitian ini dimaksudkan untuk
mengisi lobang yang belum sempat dikaji peneliti Hamka, yaitu aspek pemikiran
dan aksi politiknya.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana
data-datanya diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis, dan kualitatif karena
permasalahan yang dikaji adalah seputar konsep-konsep, ide-ide, gagasan, atau
pemikiran seseorang beserta aktivitas politiknya. Karena itu penelitian ini
menggunakan pendekatan sosio-historis untuk melihat konteks sosial dan politik
saat sang aktor hidup, serta untuk melihat perubahan dan kontinuitas yang terjadi
sepanjang sejarah hidup sang aktor.
Sumber data penelitian ini diperoleh dari pengumpulan dokumen-dokumen
tertulis dan berbagai publikasi (akademik dan populer) yang dikelompokkan atas
sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber primer adalah karya-karya tulis
Hamka yang terkait dengan tema politik, di antaranya: Islam dan Demokrasi,40
Urat Tunggang Pantjasila,41 Keadilan Sosial Dalam Islam,42 Umat Islam
Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi,43 Dari Hati Ke Hati:
Tentang Agama, Sosial, Budaya dan Politik Islam, Studi Islam,44 Islam: Revolusi
Ideologi dan Keadilan Sosial,45 kumpulan pidato dan pernyataan Hamka di sidang
Konstituante dalam buku dokumentasi Konstituanste Indonesia berjudul Risalah
Perundingan46 dan Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante
Djilid I-III, dan tulisan Hamka yang termuat dalam buku Islam dan Pancasila:
Konstituante 1957.47 Termasuk sumber primer adalah tulisan-tulisan Hamka yang
tersebar dalam berbagai media massa seperti Pedoman Masjarakat, Pandji
Masjarakat (Panji Masyarakat), Hikmah, Gema Islam, dan lain-lainnya.
Banyak pula pemikiran politik Hamka yang termuat dalam karya-karya
lainnya yang sekilas tidak terkait dengan politik, namun ternyata di dalamnya
39
Lihat James R Rush, Adicerita Hamka...
40
Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi & Medan: Firma Tjerdas, 1946).
41
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952)
42
Hamka, Keadilan Sosial Dalam....
43
Hamka, Umat Islam Menghadapi....
44
Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983).
45
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka Panjimas.
1984).
46
Buku ini memuat dokumentasi pidato, perdebatan dan situasi dalam sidang-sidang
di Konstituante sejak awal hingga dibubarkan Soekarno tahun 1959.
47
Yusran R (ed), Islam dan Pancasila... Buku ini merupakan kumpulan pidato wakil-
wakil fraksi Masyumi di sidang-sidang Majelis Konstituante.

9
memuat bagian yang membahas tentang politik, seperti: Pelajaran Agama Islam,48
Renungan Tasawuf,49 Falsafah Hidup,50 Pandangan Hidup Muslim,51 Dari Lembah
Cita-cita,52 Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatra,53 Lembaga Hidup,54 dan yang tidak boleh dilewatkan
adalah magnum opus-nya Hamka Tafsir al-Azhar yang pasti memuat pembahasan
tentang politik, mengingat di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang
berkaitan dengan tema sosial politik. Apalagi tafsir tersebut ditulis saat Hamka
berada dalam kurungan sebagai tahanan politik Orde Lama. Kondisi ini sedikit
banyak memberikan pengaruh dalam penafsirannya.
Sementara yang tergolong sumber sekunder adalah karya-karya orang lain
yang terkait dengan pemikiran Hamka, khususnya di bidang politik, seperti:
Hamka Di Mata Hati Umat (kumpulan tulisan);55 Politik Hamka dalam buku
Bunga Rampai Dari Sejarah 3 karya Moh Roem,56 Pembaharuan Pemikiran Hamka
Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan Sosial Politik,57 Dimensi Politik Tafsir al-
Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai Pancasila,58 Politik Bermoral Agama: Tafsir
Politik Hamka,59 atau Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka.60
Sumber sekunder lainnya adalah buku-buku atau artikel ilmiah yang terkait
dengan pembahasan tentang Islam dan politik modern. Yang termasuk dalam
kategori ini di antaranya: Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993,61 Islam, Nationalism, and

48
Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956). Buku ini
membahas segala aspek ajaran Islam. Mulai dari pembahasan tentang kebutuhan kepada
agama, filsafat ketuhanan, hingga rukun iman. Bagian yang secara langsung terkait dengan
politik adalah sub bagian ‚Tanggungan Negara, Masyarakat dan Rumah Tangga.‛
49
Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002). Dalam buku ini
ada dua bab yang terkait dengan politik ‚Kewajiban dan Akhlak Kaum Muslimin Dalam
Bernegara,‛ dan ‚Pemimpin Agama‛.
50
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika, 2015). Terdapat bagian yang terkait
dengan politik, ‚Keadilan.‛
51
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Bab yang
terkait langsung dengan politik adalah ‚Cinta Tanah Air, Kemanusiaan dan Islam.‛
52
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Bagian yang
berkaitan langsung dengan politik adalah ‚Iman dan Negara‛.
53
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatra, (Jakarta: Umminda, 1982).
54
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika, 2015). Ada beberapa bab yang
terkait dengan politik di buku ini: ‚Hak dan Kewajiban,‛ ‚Kewajiban Kepada Masyarakat,‛
‚Kewajiban Bertanah Air,‛ dan ‚Islam dan Politik.‛
55
Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (ed), Hamka Di Mata Hati
Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
56
Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)
57
Abd Khair, ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka...‛
58
Akmal Rifki Gunawan, ‚Dimensi Politik Tafsir ...‛
59
Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama...
60
Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan ...‛
61
Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi...

10
Democracy: a Political Biography of Mohammad Natsir,62 Modernisme dan
Fundamentalisme Dalam politik Islam,63 Partai Masjumi: Antara Godaan
Demokrasi & Islam Integral,64 Partai-partai Islam di Pentas Nasional,65 Gerakan
Moderen Islam di Indonesia,66 atau Piagam Jakarta 22 Juni,67 dan masih banyak
lagi sumber yang tidak bisa disebutkan di sini.
Data-data yang terkumpul kemudian dipilah dan dipilih untuk menentukan
kelayakannya sebagai sumber sejarah, dengan memperhatikan otentisitas (keaslian
sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi)-nya. Setelah ditentukan
kelayakannya sebagai sumber sejarah, data-data kemudian diinterpretasikan
dengan menggunakan metode analisis holistika. Menurut Bakker dan Zubair,
analisis holistika merupakan upaya memahami secara menyeluruh isi sumber
dengan melihat secara utuh ide-idenya yang bersifat filosofis, sehingga ide-ide itu
dapat dipahami secara komprehensif dan lebih akurat.68 Dalam konteks penelitian
ini, metode ini digunakan khususnya terkait dengan pembacaan terhadap ide-ide
dan pemikiran politik dan kebangsaan Hamka.
Sementara pembahasan tentang peran politik Hamka dilakukan dengan
menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori ini
mengasumsikan bahwa tindakan (politik) seseorang didasari oleh pertimbangan
untung rugi dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia. Dalam teori ini seorang
aktor politik dianggap memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup, serta
prinsip hidup dan motivasi tertentu, sehingga pilihan politik yang diambilnya
bukan karena faktor kebetulan atau kebiasaan, namun lebih karena pertimbangan
dan pemikiran yang logis.69
Karena mengkaji pemikiran serta tindakan politik Hamka, penelitian ini juga
menggunakan teori elektif afiniti untuk melihat bagaimana pandangan-pandangan
dasar Hamka tentang politik memberikan dorongan kepadanya untuk memilih
suatu tindakan yang dianggapnya paling sesuai dengan situasi konkret yang
dihadapinya. Dalam teori ini terkandung asumsi bahwa tindakan-tindakan politik
tertentu yang diambil aktor politik adalah pilihan yang mengandung makna
tertentu yang secara subyektif dianggapnya sebagai tindakan yang ‚paling sesuai‛
dan ‚paling masuk akal‛ untuk dilakukan dalam situasi konkret tertentu, sejalan
dengan pandangan dasar yang dianutnya.70

62
Audrey R Kahin, Islam, Nationalism and Democracy...
63
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme...
64
Remy Madinier, Partai Masjumi...
65
Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas...
66
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam...
67
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni...
68
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 46
69
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 146
70
Teori elektif afiniti dalam penelitian ini dipinjam dari teori serupa yang digunakan
Mahendra untuk menganalisis tindakan politik partai Masyumi sebagai partai modernis dan
Jamiat-i Islami sebagai partai fundamentalis. Meski kajian Mahendra pada kelompok
politik, namun unit analisisnya adalah aktor-aktor politik di dalam partai-partai tersebut.

11
F. Sistematika Pembahasan
Bab pertama penelitian ini menyajikan gambaran umum permasalahan yang
hendak diteliti, alasan kenapa perlu dan layak diteliti, apa urgensinya, manfaat dan
kegunaannya, di mana letak keunikan dan kebaruan tema penelitian ini, serta
metode yang digunakan.
Bab kedua membahas tentang diskursus politik dalam sejarah Islam. Di
bagian ini akan dibahas dinamika dan transformasi wacana dan praktik politik di
dunia Islam modern dan di Indonesia. Di bagian akhir bab ini akan dibahas
paradigma politik Islam di Indonesia untuk melihat karakteristik dan kekhasan
praktik dan pemikiran politik Islam di negeri ini.
Bab ketiga membahas tentang biografi Hamka, latar belakang keluarga,
variabel-variabel yang mempengaruhi perkembangan kepribadian dan
intelektualnya, serta konteks sejarah penulisan karya-karyanya.
Bab keempat membahas tentang pemikiran politik dan kebangsaan Hamka.
Bab ini menguraikan tentang paradigma politik Hamka tentang hubungan agama
dan politik. Dari pandangan dasar ini akan terlihat warna pemikiran politik Hamka
yang memberikan pengaruh baginya dalam memberikan respons terhadap ide-ide
politik Barat modern, termasuk upayanya dalam mensintesiskan ide-ide politik
Barat seperti tentang demokrasi. Dalam bab ini juga akan dibahas ide-ide
kebangsaan dan keindonesiaan Hamka.
Bab kelima membahas kiprah Hamka dalam dinamika politik nasional.
Fokus bahasan bab ini adalah kiprah Hamka saat aktif sebagai eksponen partai
politik Masyumi, termasuk perannya dalam memperjuangkan dasar negara Islam di
Konstituante, dan peran yang dimainkannya pasca pembubaran Masyumi di era
Orde Lama. Juga akan dibahas peran politik dakwahnya di era Orde Baru melalui
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bab Keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban
atas permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan pada pembahasan di bab-bab
sebelumnya.

Menurutnya, dalam situasi konkret yang berfikir dan bertindak dalam partai politik
adalah aktor-aktor yang mengendalikan partai itu, karena bagaimana pun juga partai
bersifat abstrak. Sementara Mahendra sendiri mengambilnya dari Weber tentang
protestanisme yang memberikan dorongan kepada perilaku kapitalisme. Lihat Yusril Ihza
Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 56

12
BAB II
DISKURSUS POLITIK DALAM ISLAM

Secara doktrinal Islam memang tidak memberikan petunjuk yang detail


tentang konsep dan bentuk negara/pemerintahan, namun bukan berarti Islam
melalaikan urusan tersebut. Negara sebagai institusi yang mengelola kepentingan
umum menjadi bidang yang tidak bisa dilepaskan oleh Islam karena banyak ajaran
syariat yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna tanpanya. Ajaran tentang
jihad, zakat, hukuman bagi pelaku kriminal, dan lainnya jelas membutuhkan
institusi negara. Demikian pula dalam al-Qur’an terdapat seperangkat prinsip-
prinsip yang mengimplikasikan keberadaan keteraturan tatanan sosial-politik atau
penggunaan otoritas terorganisir (organised authority) untuk mewujudkannya,
seperti `ahd (perjanjian), ama>nah (kepercayaan), it}a>`ah (ketaatan), dan h}ukm
(peradilan).71 Karena itulah, al-Qur’an memberikan beberapa kata kunci penting
bagi pengelolaan politik, yaitu tauhid, syariah, `ada>lah, h}urriyyah (kebebasan),
musa>wah (kesetaraan), dan shu>ra> (musyawarah, konsultasi).72
Pada bab ini akan dipaparkan diskursus tentang politik dalam Islam. Kajian
ini menjadi penting untuk melihat di mana posisi politik Hamka dalam peta
pemikiran politik Islam modern, khususnya dalam konteks Indonesia. Bahasan
akan dimulai dari perubahan yang tengah terjadi dalam politik Islam modern, baru
kemudian masuk ke bahasan tentang politik Islam di Indonesia modern. Bab ini
akan diakhiri dengan sub bab yang membahas tentang paradigma politik Islam di
Indonesia. Sub bab ini merupakan telaah teoritis yang memotret pola-pola penting
yang khas dalam dinamika politik Islam di Indonesia modern, dan sengaja disajikan
untuk melihat karakter politik Islam di Indonesia di mana menjadi bagian di
dalamnya.
A. Transformasi Politik Islam di Era Modern
Azyumardi Azra melihat era modern atau kontemporer merupakan masa
terjadinya krisis terberat dalam sejarah peradaban Islam. Selain karena kondisi
umat Islam yang sedang sakit, krisis tersebut juga disebabkan oleh benturan
dengan negara-negara Barat yang menyebabkan dunia Islam terjatuh dalam jurang
imperialisme dan kolonialisme. Dampak lanjutan dari itu adalah munculnya krisis
identitas di kalangan umat Islam.73 Kondisi tersebut - ditambah dengan faktor
kemajuan Barat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan organisasi – telah
melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang dimulai menjelang
akhir abad XIX M.74

71
Abdul Rashid Moten, Political Science: an Islamic Perspective (London:
MacMillan Press, 1996), h. 86
72
Moten, Political Science, h. 87-90
73
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan
Demokrasi, (Jakarta: Prenada & PPIM UIN Jakarta. 2016), h. 23-24
74
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press. 1993), h. 115

13
Barat menyebarkan peradaban mereka ke seluruh dunia melalui globalisasi
dan kolonialisasi. Globalisasi dimaknai Ejaz Akram sebagai intensifikasi kondisi
manusia agar menjadi modern. Tujuannya adalah homogenisasi tradisi dan
kebudayaan yang berbeda di seluruh dunia, serta hegemoni Barat atas mereka.
Globalisasi dipandang Akram telah mengakibatkan kerusakan yang sistematis
pada lembaga-lembaga tradisional di negara-negara non-Eropa.75 Akram
menegaskan, sejak awal mula, modernitas dengan humanisme sekularnya telah
membawa ke arah terjadinya keruntuhan agama dan moralitas. 76 Proses itu terjadi
melalui kolonialisasi politik dan militer, kemudian melalui ideologi dan
kebudayaan. 77
Proses penjajahan dunia Islam itu sebenarnya telah terjadi sejak abad ke 16
M. Perkembangan teknologi militer negara-negara Barat yang berbasis pada
revolusi industri memberikan dorongan pada proses tersebut. Barat pun mampu
membalik keadaan kaum Muslim. Jika semula kaum Muslim berada di posisi yang
menang, namun kini mereka berada di posisi terjajah. Proses ini, tegas Tibbi,
membawa luka abadi pada umat Islam, yang di kemudian waktu diartikulasikan
dalam berbagai aksi politik dan kekerasan sebagai sebentuk respon pertahanan-
budaya (a defensive-cultural response).78
Tibbi menyatakan bahwa modernitas memiliki dua dimensi yang berbeda,
yaitu budaya dan kelembagaan. Budaya modernitas - yang disebut juga sebagai
‘prinsip subyektivitas’- berbasis pada peristiwa-peristiwa utama dalam sejarah
Eropa semisal Renaisans, Reformasi, Pencerahan, dan Revolusi Perancis. Dimensi
ini terkait erat dengan pandangan dunia (worldview) yang membawa Barat ke
tingkat peradaban yang lebih tinggi, yaitu pandangan dunia bahwa manusialah
yang menjadi pusat, bukan Tuhan. Sementara dimensi kelembagaan terkait erat
dengan kekuasaan (power). 79 Pada dimensi yang pertama itu modernisme, seperti
yang dilihat Fuad S Naeem, merupakan pemberontakan terhadap agama di semua
area kehidupan. Modernisme berupaya mengganti peran agama dengan humanisme,
rasionalisme, dan sekularisme. Hasil dari upaya ini adalah transformasi dunia Barat
75
Ejaz Akram, ‚The Muslim World and Globalization: Modernity anda the Roots
of Conflict,‛ dalam Joseph EB Lumbard, Islam, Fundamentalism, and the Betrayal of
Tradition, (Indiana: World Wisdom, 2004), h. 241
76
Ejaz Akram, ‚The Muslim World and Globalization...,‛ h. 237. Akram membagi
era modern terjadi dalam tiga periode. Modern periode awal terjadi pada abad ke 18 dan
19 awal. Ini periode inkubasi dan pertumbuhan modernisme Barat di mana Kristianitas
telah disingkirkan dari arena publik meski moralitas Kristen masih bernyawa. Periode
kedua terjadi pada akhir abad ke 19 dan 20 awal yang merepresentasikan celebration of
modernity. Programnya menjadikan modernitas sebagai nasehat preskriptif bagi seluruh
dunia. Periode ini juga disebut sebagai periode modern tingkat tinggi (high modern period).
Periode terakhir terjadi pasca perang yang merupakan ‘kehamilan’ tanda-tanda yang
nampak dari keruntuhan dunia modern.
77
Fuad S Naeem, ‚A Traditional Response to the Rise of Modernism,‛ dalam
Lumbard, Islam, Fundamentalism, and... h. 80
78
Bassam Tibbi, Islam’s Predicament with Modernity: Religious Reform and
Cultural Change (London & New York: Routledge, 2009), h. 35
79
Bassam Tibbi, Islam’s Predicament with Modernity, h. 36-37

14
dari peradaban yang sangat Kristen (the deeply Christian civilization) di abad
pertengahan menjadi sebagian besar peradaban humanistik sekular di era modern. 80
Di bidang ilmu pengetahuan worldview ‚manusia adalah pusat‛ melahirkan
tradisi saintifik yang bercorak positivistik. Sains seperti ini, menurut Hussein
Heriyanto, dibentuk oleh asumsi-asumsi paradigmatik ala Cartesian-Newtonian.
Beberapa asumsi itu adalah: subyektivisme-antroposentrik melalui tagline ‚cogito
ergo sum‛ (aku berfikir maka aku ada); dualisme realitas; bersifat mekanistik-
deterministik; reduksionisme-atomistik; instrumentalisme; dan materialisme-
saintisme. Sementara di ranah politik worldview Barat itu menghasilkan gagasan
dan konsep-konsep politik yang menitikberatkan pada kemampuan manusia dan
kebebasan individu.81 Dalam catatan Masykuri Abdillah, di antara akibat dari
perubahan politik modern adalah sekularisasi, rasionalisasi, komersialisasi, dan
partisipasi rakyat dalam politik.82
Ide-ide yang mewarnai peradaban Barat modern itu dianggap asing dan tidak
memiliki akar sejarah bagi umat Islam. Umat Islam, jelas Azra, sejak dulu sudah
akrab dengan konsep da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb, namun kemudian dibingungkan
dengan konsep nation state ala Barat.83 Nallino, seperti dikutip Hamid Enayat,
mencatat beberapa pertentangan lainnya, yaitu: Antara nasionalisme Turki versus
Pan Islamisme; Antara konsep politik Barat yang berbasis kehendak rakyat dengan
gagasan negara Islam yang supra-nation berdasar ikatan keagamaan; Kontradiksi
antara sifat negara Barat modern yang memposisikan sederajat semua rakyatnya
dengan kewarganegaraan dalam negara Islam yang lebih mengistimewakan rakyat
yang beriman daripada yang non-Muslim; atau antara syariah dengan hukum
buatan manusia.84
Sebagai sesuatu yang asing konsep-konsep politik Barat itu dianggap Akram
telah merusak tatanan kelembagaan politik tradisional, memecah belah kesatuan
umat, menyebabkan terjadinya desakralisasi dan amoralisasi proses politik, evolusi
ke negara bangsa yang mengancam keamanan dunia Islam, dan munculnya problem
demokrasi di dunia Islam.85 Karena berada dalam posisi yang defensif, kekuatan
politik Islam saat itu terpaksa melakukan berbagai perubahan demi menyesuaikan
diri dengan perkembangan modernitas. Sejak 1730-an Turki Utsmani melakukan
perubahan sistem administrasi dan militernya dengan mengadopsi sistem yang
berjalan di negara-negara Eropa. Perubahan ini terus belanjut dan semakin meluas
ke sistem pemerintahan daerah, perdagangan-keuangan, dan diplomasi.86 Hingga di

80
Fuad S Naeem, ‚A Traditional Response to the Rise of Modernism,‛ h. 80
81
Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 30-31; Lihat
juga Ahmad Khoirul Fata dan Siti Mahmudah Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan
Pemikiran Islam Kontemporer,‛ Madania, vol 20, no 2, 2016, h. 216
82
Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi
Politik Di Era Reformasi,‛ Ahkam, vol. XIII, no. 2, Juli 2013, h. 247.
83
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 33
84
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Kuala Lumpur: Islamic Book
Trust, 2001), h. 81-82
85
Ejaz Akram, ‚The Muslim World,‛ h. 243
86
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 34.

15
kemudian hari bukan hanya perubahan administrasi pemerintahan yang terjadi,
namun juga sistem kekhilafahan Turki Utsmani berubah menjadi Republik Turki
modern yang sekular.
Perubahan ini tidak lepas dari munculnya semangat nasionalisme di tengah-
tengah rakyat Utsmani yang plural, khususnya dari kalangan bangsa Turki sendiri
dan bangsa Arab. Menurut George Antonius, seperti yang dikutip Watt, gerakan
nasional Arab bermula dari Beirut pada tahun 1875 melalui sebuah organisasi
rahasia. Namun pernyataan yang paling jelas tentang nasionalisme Arab tampak
pada tulisan-tulisan Abdurrahman al-Kawakibi yang terbit di Mesir antara tahun
1898 hingga kematiannya pada 1902.87
Faktor keterpaksaan akibat kolonialisasi itu dilihat oleh Abdelillah Belkeziz
sebagai salah satu sebab adanya kelemahan teoritis di kalangan pemikir politik
Islam modern. Mereka tidak mengenal secara langsung pemikiran liberal Eropa dan
tatanan konseptual politiknya yang sistematis. Pengenalan atas tatanan politik
modern itu terjadi secara terpaksa melalui kolonialisasi dan melalui perjalanan ke
negara-negara Eropa. Dalam hal ini Belkeziz melihat perjalanan singkat beberapa
pemikir Muslim ke negara Eropa, seperti Rifaat Rafi al-Tahtawi, Ahmad Faris al-
Shidyaq, dan al-Saffar pada pertengahan abad ke 19 sebagai momen awal
pengenalan itu. Momen lainnya adalah reformasi militer dan pendidikan
(pengiriman pelajar ke Eropa) di Mesir oleh Muhammad Ali. Serta program
Tanzimat dalam pemerintahan Turki Utsmani.88
Dengan merujuk ke Shlomo Avineri, Abdul Aziz menyebutkan dua sumber
kemunculan nasionalisme Arab, yaitu: dari kalangan intelektual Arab Kristen dan
Yunani Ortodoks yang mendapat pendidikan di sekolah yang didirikan para
misionaris Presbiterian dari Amerika di Beirut. Salah satu tokoh terkemuka
kelompok ini adalah Butrus Bustani. Pada tahun 1845 dia mendirikan Majma’
Tahzib, sebuah lembaga kajian sastra Arab dengan seluruh anggotanya beragama
Kristen. Dia juga mendirikan Madrasah Wathaniyah di tahun yang sama. Pada
tahun 1866 dia menjadi perintis kampus Syrian Protestant College yang menjadi
cikal bakal American University di Beirut.89 Jalur kedua berasal dari Mesir.
Nasionalisme ala Mesir ini bersifat teritorial dan terpusat pada identitas ke-Mesir-
an. Modernisasi Mesir oleh Muhammad Ali Pasha (1765-1848) melalui pendirian
sekolah-sekolah modern seperti sekolah teknik tahun 1816, sekolah kedokteran
(1827), dan sekolah pertanian (1836) memberikan peran bagi tumbuhnya semangat
kebangsaan Mesir. Pengiriman pelajar-pelajar Mesir ke negara-negara Eropa juga
disebut memberikan kontribusi bagi penguatan semangat itu.90

87
Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburh University
Press, 2003), h. 117
88
Abdelillah Belkeziz, The State in Contemporary Islamic Thought: A Historical
Survey of the Major Muslim Political Thinkers of the Modern Era (London: IB Tauris &
Co.Ltd, 2009), h. 9-10
89
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam,
(Tangerang Selatan: Alvabet, 2016), h. 94-95.
90
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut..., h. 95; Montgomery Watt, Islamic
Political Thought, h. 117

16
Dalam membangun nasionalismenya, bangsa Mesir merujuk pada akar-akar
peradaban Mesir pra-Islam. Nasionalisme Mesir itu tumbuh semakin menguat
karena momentum yang terjadi pada tahun 1915, di mana dalam negosiasi sebelum
bangsa Arab terlibat dalam Perang Dunia Pertama, Syarif Makkah yang
memposisikan diri sebagai juru bicara bangsa Arab menyebut laut Merah sebagai
batas territorial Arab di sebelah Barat. Hal ini sama dengan menyebut Mesir bukan
sebagai bangsa Arab, padahal mereka berbicara dengan Bahasa Arab dan selama
beberapa waktu lamanya mengaku sebagai keturunan Arab.91
Namun tokoh Arab yang dinilai memberikan kontribusi signifikan bagi
penguatan nasionalisme Arab adalah Abd al-Rahman al-Kawakibi (1848-1902).
Pemikir Syria yang tinggal di Mesir ini menggugat keabsahan bangsa Turki
sebagai penguasa Islam. Baginya orang Arablah yang lebih layak karena mereka
mewakili kemurnian Islam.92 Al-Kawakibi mengritik pemerintahan Utsmani yang
dianggapnya tiranik sehingga tidak bisa menghidupkan ajaran Islam dan justru
menyebabkan umat Islam mundur. Menurutnya kebangkitan kembali umat Islam
tidak akan terwujud bila Turki tidak mengembalikan kekuasaan kepada orang
Arab. Al-Kawakibi memang menuduh Turki telah merampas hak kekuasaan bangsa
Arab, karena sesuai doktrin Sunni salah satu syarat menjadi khalifah adalah
keturunan Arab/Quraisy. Untuk itu al-Kawakibi menunjukkan sejumlah
keunggulan bangsa Arab atas bangsa lainnya. Meski Azra menilai al-Kawakibi
belum menyajikan definisi yang jelas tentang ‚bangsa Arab,‛ namun di kemudian
hari gagasannya tentang Arabisme diperjelas oleh pemikir Arab-Kristen Negib
Azoury (w.1906) dengan menyebut batas-batas Arab Empire adalah: Lembah
Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Laut Tengah. 93
Gagasan nasionalisme Arab tidaklah tunggal. Kalangan nasionalis Arab
Kristen yang didukung beberapa pemikir Arab Muslim merumuskan Arabisme
sekular dengan merujukkannya ke kebesaran peradaban Arab pra-Islam. Sementara
kalangan nasionalis Arab Muslim tetap mengonsepkan Islam sebagai dasar bagi
ideologi nasionalismenya. Pada akhirnya gagasan Pan-Arabisme tidak terwujud
karena tiap-tiap wilayah di Arab kemudian mendirikan negara berdasarkan
identitas lokalnya masing-masing, dengan mayoritasnya menggunakan ideologi
nasionalisme sekular. Semangat ke-Arab-an lahir sebagai respons atas semangat
ke-Turki-an yang muncul saat itu. Dua tokoh pemikir nasionalisme Turki adalah
Namik Kemal (w. 1888) dan Zia Gokalp (1876-1924). Pembaharuan sistem
administrasi pemerintahan dan militer Turki sejak abad ke 18 ternyata berjalan
menuju ke westernisasi. Program tersebut turut menumbuhkan identitas ke-Turki-
an. Intensifikasi kajian dan literatur seputar peradaban Turki pra Islam dan
penetapan bahasa Turki sebagai bahasa resmi pemerintahan pada 1876 membuat
semangat nasionalisme Turki semakin matang.94

91
Montgomery Watt, Islamic Political Thought, h. 117
92
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Kerucut..., h. 96
93
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 56-57
94
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 35 -38

17
Nasionalisme Turki semakin menemukan bentuk setelah kekalahan Utsmani
pada Perang Dunia I. Akibatnya, sebagian wilayahnya hilang dikuasai Eropa.
Hampir serupa dengan nasionalisme Arab, nasionalisme Turki juga menempuh
jalan sekular sebagai pilihannya. Pembubaran pemerintahan khilafah digantikan
dengan Republik Turki pada 1924 oleh Kemal Attaturk menjadi wujud nyata
pilihan itu.95
Gagasan pembaharuan politik juga berjalan seiring dengan gerakan
pembaharuan di bidang agama. Dalam hal ini tiga serangkai tokoh pembaharu
Islam - Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashi>d Rid}a> – memiliki
peran penting bagi hal tersebut. Munawir Sjadzali menyebut ketiga tokoh tersebut
sebagai penggerak salafisme baru dengan ide utama satu ikatan politik umat Islam
dalam bentuk Pan-Islamisme.96 Meski ketiganya memiliki perbedaan dalam
merumuskan gagasan Pan-Islamismenya, namun secara umum memiliki dua tujuan
bersama: menentang pemerintahan yang despotik dan mendorong dibentuknya
pemerintahan yang berdasarkan pada musyawarah seperti yang diajarkan Nabi;
serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat.97 Kondisi internal Utsmani
yang semakin parah, kekalahannya dalam Perang Dunia I, dan diiringi menguatnya
semangat nasionalisme di tengah-tengah warganya, membuat gagasan Pan-
Islamisme tersebut sulit terwujud.
Kekhilafahan Utsmani pun berakhir dengan berdirinya Republik Turki
modern. Menurut Enayat proses penghapusan khilafah dilakukan melalui dua
tahap. Pertama pada tahun 1922 ketika Grand National Assembly memisahkan
jabatan kesultanan dengan kekhilafahan, di mana khilafah dijadikan simbol
kepemimpinan spiritual seluruh umat Islam. Tahap kedua terjadi ketika Khilafah
Utsmaniyah resmi dibubarkan dan diganti dengan negara republik.98 Pasca
pembubaran itu sempat dilakukan beberapa kali upaya mendirikan kembali satu
kekuatan politik Islam (khilafah) baru. Upaya-upaya tersebut dilakukan dalam
beberapa kali Kongres Khilafat yang melibatkan perwakilan tokoh-tokoh Islam
dari berbagai belahan wilayah dunia Islam. Namun sayang hal itu gagal. Impian
revitalisasi negara khilafah di era modern pun tidak terwujud.99

95
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 61. Lihat juga Abdul Aziz,
Chiefdom Madinah: Kerucut..., h. 95-96
96
Gagasan Pan Islamisme pertama kali disuarakan oleh Jamaluddin al-Afghani di
tengah kondisi negara-negara Islam yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat, sementara
negara-negara Islam yang masih merdeka saat itu juga dalam kondisi memprihatinkan.
Menurut Shari>f al-Muja>hid, ide Pan Islamisme al-Afghani merupakan tindakan pertahanan
diri yang bertujuan untuk menghentikan pasang naik infiltrasi Eropa ke negara-negara
Islam. Lihat Shari>f al-Muja>hid, ‚Sayyid Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>: His Role in the
Nineteenth Century Muslim Awakening,‛ Thesis, Mc Gill University, 1954, h.130-131
97
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara..., h. 125-126
98
Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 79-82
99
Tentang pelaksanaan kongres-kongres khilafah tersebut lihat Martin Kramer,
Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses, (New York: Columbia University
Press, 1986). Kongres-kongres ini juga melibatkan tokoh-tokoh pergerakan Islam di Hindia
Belanda. Beberapa kali utusan ormas Islam diundang mengikuti kongres khilafat di Mesir

18
Kerinduan pada sistem dan kelembagaan politik Islam lama ini terus
dipelihara oleh beberapa kelompok umat Islam, sembari menolak sistem politik
baru dari Barat tersebut. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir (HT) yang tegas
menolak demokrasi karena dianggap tidak sesuai dengan Islam. Poin penting
ketidaksesuaian Islam dengan demokrasi terletak pada konsep kedaulatan rakyat
yang menjadi inti dari demokrasi. Menurut al-Nabhani, demokrasi merupakan
ideologi (al-mabda’) yang meyakini bahwa manusialah yang berhak menetapkan
aturan-aturannya, karena manusia dianggap sebagai sumber kekuasaaan.100
Padahal, tegasnya, kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam terletak pada
syariat yang dibuat langsung oleh Allah. Maka ketika seseorang menjadi pemimpin
(dalam hal ini khalifah), sesungguhnya dia bukanlah pegawainya rakyat yang
bertugas melaksanakan semua aspirasi mereka sebagaimana yang terdapat dalam
konsep demokrasi. Bagi HT tugas pemimpin adalah menegakkan hukum syara’,
karena dia dibaiat berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. 101
Abd al-Qadim Zallum menjelaskan, demokrasi merupakan sistem politik
yang tidak terdapat dalam khazanah pemikiran ataupun sejarah Islam, dan
sepenuhnya bersumber dari peradaban Barat. Demokrasi sengaja dibuat untuk
membebaskan masyarakat Barat dari penindasan para penguasa yang despotik
dengan mengatasnamakan agama. Bagi Zallum, penempatan rakyat sebagai sumber
kekuasaan secara teologis bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu demokrasi
termasuk sistem yang kufr sehingga umat Islam haram untuk mengambil,
mengikuti, menerapkan, dan menyebarkannya. 102 HT menilai perbedaan antara
sistem politik Islam dengan demokrasi terletak pada hal pokok, karena itu mereka
menolak demokrasi secara totalitas. Mereka menutup peluang untuk melakukan
kompromi, penggabungan, atau sintesis antara keduanya. Bentuk negara ‚Republik
Islam‛ seperti di Pakistan atau Iran, dan berbagai konsep yang berupaya
mesintesiskan Islam-demokrasi secara tegas ditolak oleh gerakan ini. Sebagai
gantinya, mereka mengajukan konsep ‚khilafah‛ sebagai satu-satunya sistem
pemerintahan yang dianggapnya sesuai dengan Islam.103

dan Hijaz, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985),
khususnya Bagian Kedua.
100
Taqiy al-Din al-Nabhani, Nid}a>m al-Isla>m, (Ttemp: Hizbut Tahrir, 2001), h. 27.
101
Abd al-Qadim Zallum, Nid}a>m al-H}ukm fi> al-Isla>m, (Ttemp: Hizb al-Tahrir,
2002), h. 34. Buku ini merupakan sharh} dari buku karya Taqiy al-Din al-Nabhani dengan
judul yang sama.
102
Lihat secara lengkap dalam buku tipis karya Abdul Qadim Zallum, Democracy is
a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt, Implement or Call for It, (Ttemp.: al-Khilafah
Publication, 1995).
103
Abd al-Qadim Zallum, Nid}a>m al-H}ukm fi>..., h. 29. Menurut Azra, terminologi
khila>fah berasal dari kata khali>fah yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2: 30.
Ayat ini berbicara tentang penciptaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi dengan
tugas memakmurkan bumi. Namun di era pasca Rasulullah, terminologi ini bermakna
politis sebagai istilah untuk menyebut para pemimpin yang menggantikan Nabi. Biasa
disebut al-Khulafa’ al-Ra>shidu>n, yaitu Abu Bakr, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan,
dan Ali bin Abi Talib. Namun dengan mengutip Ibn Khaldun, Azra menilai kekhilafahan
itu telah selesai seiring dengan berakhirnya keempat pemimpin itu. Setelah keempatnya,

19
Senada dengan HT, posisi rakyat sebagai sumber kekuasaan juga menjadi
sebab utama penolakan banyak kelompok Salafi terhadap demokrasi. 104 Salafi
memandang pembuatan hukum merupakan otoritas Allah Swt, bukan manusia.
Karena itu umat Islam wajib berhukum kepada segala yang telah ditetapkan oleh
Allah melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nya. 105 Ketentuan ini
bersifat mutlak. Pengambilan hukum kepada selain yang telah ditetapkan Allah
akan membuat mereka menjadi kafir atau musyrik karena dinilai telah mengikuti
t}a>g}ut> . Abu Muhammad al-Maqdisi106 melihat kekuasaan rakyat dalam membentuk
dan menentukan undang-undang dalam sistem demokrasi sebagai karakter ketidak-
berimanan (unbelief), politeisme, dan kedustaan yang bertentangan dengan Islam.
Kepatuhan dalam hukum merupakan salah satu bentuk peribadatan yang
seharusnya hanya diberikan kepada Allah. Maqdisi memberikan tiga alasan utama

sistem politik yang berlaku di dunia Islam saat itu bukanlah khilafah lagi, namun sudah
berubah menjadi kerajaan atau kesultanan dengan proses suksesi berdasarkan merit.
Bahasan kritis tentang konsep ‚khilafah‛ dan kaitannya dengan negara modern
secara lebih panjang lihat Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam, terutama bab 15.
Bandingkan dengan catatan serupa dari beberapa penulis tentang konsep khilafah dalam
buku yang dieditori oleh Komaruddin Hidayat, Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan
Pancasila, (Bandung: Mizan, 2014)
104
Lihat ‚Demokrasi dan Pemilu.‛ http://almanhaj.or.id/577-demokrasi-dan-
pemilu.html (diakses tgl 12 Oktober 2017). Terminologi Salafi diderivasikan dari kata salaf
(pendahulu), secara spesifik merujuk kepada tiga generasi awal dalam komunitas Muslim
(salaf al-s}a>lih). Salafi didefinisikan sebagai mereka yang mengikuti jalan salaf al-s}a>lih.
Doktrin Salafisme bisa ditarik mundur kepada Ibn Taymiyah dan Ahmad bin Hanbal. Di
era kontemporer, tokoh Salafi yang terkemuka adalah `A bd al-Aziz `Abd Allah ibn Baz dan
Muhammad Nasir al-Din al-Albani. Lihat Din Wahid, ‚PhD Thesis Summary: ‘Nurturing
Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantren in Contemporary Indonesia,‛ Wacana, vol 15,
no 2, 2014, h. 367-376
105
Didasarkan pada ayat: ‚Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujjah
yang nyata (al-Qur`an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa
(adzab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang
paling baik’." (QS. al-‘An`am/6: 57)
106
Nama lengkapnya Abu Muhammad Isam bin Muhammad bin Tahir al-Burqawi
al-Utaybi. Lahir di desa Burqa, Nablus, palestina tahun 1959. Pada umur 4-5 tahun dia
migrasi ke Kuwait bersama orang tuanya dan menempuh pendidikan hingga tingkat
menengah atas di sana. Kemudian melanjutkan studi di Universitas Mosul, Iraq. Di sini ia
banyak bergaul dengan pergerakan Islam, dan setelah lulus ia belajar ke beberapa ulama
seperti Bin Baz dan Uthaymin di Hijaz.
Selain itu dia banyak mengkaji karya-karya Ibn Taymiyah dan muridnya Ibn al-
Qayyim, serta karya-karya Muhammad bin `Abd al-Wahhab. Banyak menulis buku tentang
keislaman, seperti Millat Ibrahim, The Thirty-ness Treatise in Warning from Excessiveness
in Takfīr, Delighting the Sight by Lifting the Doubts the Murji’ah of the Era , The Distinct
Difference Between the Excuse of Ignorance and Turning Away from the D īn, dan
Democracy: A religion!. Lihat Abu Muhammad al-Maqdisi, Democracy: A Religion!,
penerjemah Abu Muhammad al-Maleki (Australia: al-Furqan Islamic Information Centre,
2012), h. 8-11

20
kenapa demokrasi bertentangan dengan Islam. Pertama, legislasi oleh rakyat
bukanlah legislasinya Allah. Padahal Allah telah memerintahkan nabi-Nya untuk
berhukum hanya kepada hukum yang telah diturunkan oleh-Nya. 107
Kedua, sumber hukum dalam negara demokrasi adalah konstitusi yang
didasarkan pada keinginan orang banyak, bukan berdasar pada ayat-ayat Allah atau
hadits. Dalam sebuah negara demokrasi tidak dimungkinkan untuk membuat
sebuah perundang-undangan yang diambil dari al-Qur’an – hadis jika hal itu tidak
bersesuaian dengan konstitusinya. Di titik ini al-Maqdisi melihat bahwa dalam
sistem demokrasi posisi konstitusi lebih tinggi dan lebih disucikan daripada al-
Qur’an dan hadis. Ketiga, demokrasi merupakan hasil dari sekularisme. Prinsip
kebebasan dalam demokrasi merupakan bebas dari agama dan aturan Allah. Karena
itulah ia secara tegas menyatakan bahwa demokrasi merupakan sebuah agama
tersendiri yang berbeda dari agama Allah (Islam). 108
Inkompatibilitas Islam dengan demokrasi modern juga diakui oleh Fauzi M
Najjar. Menurutnya, perbedaan antara keduanya terletak pada kenyataan bahwa
dalam teori kenegaraan Islam tidak dibedakan antara agama dengan masyarakat di
satu sisi, dan antara komunitas dengan negara di sisi yang lain. Ini tentu berbeda
dengan teori demokrasi –khususnya di Amerika Serikat dan Inggris – yang
membedakan secara tajam antara masyarakat sebagai percampuran asosiasi-
asosiasi sukarela (a conglomeration of voluntary associations) dengan negara
sebagai agen yang mendorong kerjasama dan inisiatif yang spontan di antara
asosiasi-asosiasi itu. Fungsi negara dalam sistem demokrasi modern adalah untuk
menjaga hak-hak individu dan mempromosikan kebebasan manusia, bukan sebagai
eksponen agama atau ideologi tertentu. 109
Dalam negara demokrasi, jelas Najjar, perbedaan dan oposisi begitu dihargai
dan dijaga eksistensinya. Ini berbeda dengan sistem teokrasi yang menganggap
oposisi sebagai penyimpangan. Lebih jauh dinyatakan, sistem demokrasi yang
memisahkan kekuasaan dalam lembaga yudikatif, eksekutif, dan legislatif (trias
politika) sebagai cara untuk menghindari tirani. Sementara dalam Islam fungsi
ketiga lembaga itu berada dalam satu badan/lembaga. Demokrasi modern juga
dibangun di atas doktrin kesetaraan manusia dan kehormatan individu. Hak-hak
dasar ini kemudian melahirkan konsekuensi hak pilih dan logika kekuasaan
berdasar pada rakyat. Kekuasaan rakyat dalam demokrasi dianggap oleh Najjar
sebagai sejajar dengan kekuasaan Tuhan dan Kitab Suci dalam Islam. Aspek lain

107
Abu Muhammad al-Maqdisi, Democracy: A Religion!, 27-29. Berdasarkan ayat:
‚Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.‛ (QS. al-Ma’idah/5: 49)
108
Abu Muhammad al-Maqdisi, Democracy: A Religion!, h. 29-32
109
Fauzi M Najjar, ‚Islam and Modern Democracy‛, The Review of Politics, vol 20,
no 2, April 1958, h. 164-180

21
yang membedakan adalah adanya pemisahan antara negara dan agama dalam
sistem demokrasi. Memperhatikan perbedaan-perbedaan itulah, Najjar kemudian
menyimpulkan bahwa Islam hanya memiliki sedikit titik temu dengan demokrasi.
Bahkan dia tidak yakin dunia Islam akan dapat menjadi demokratis jika tidak
dilakukan perubahan-perubahan yang serius terhadap prinsip-prinsip dasarnya. 110
Bukan hanya HT, gerakan Salafi, atau Najjar, banyak pemikir Muslim yang
menolak demokrasi. Abdillah memberikan beberapa contoh tokoh yang menolak
demokrasi: Hafiz Salih, Adnan `Ali Rid}a> al-Nahwi, dan Hasan Turabi. 111 Meski
demikian, pada momentum yang penuh ketegangan itu telah terjadi transformasi
dalam pemikiran politik Islam modern, dengan mulai diperkenalkan konsep
‚negara Islam‛ sebagai alternatif bagi negara khilafah. Konsep ini, menurut
Enayat, secara langsung atau tidak telah digaungkan oleh pemikir-pemikir politik
Islam modern, baik dari kelompok sekular maupun pemikir Muslim seberangnya.
Kombinasi dari berbagai peristiwa yang terjadi saat itu menjadikan konsep ini
secara cepat masuk dalam pusat pemikiran religio-politik Islam modern. Respons
kalangan tradisionalis terhadap sekularisasi di Turki, agresivitas kekuatan politik
Barat, kemunduran ideologi sekuler-liberal di Turki, dan krisis Palestina menjadi
faktor-faktor yang mempercepatnya.
Tokoh yang dianggap sebagai teoritisi awal negara Islam di era modern
adalah Rashi>d Rid}a> (w. 1935), yang di kemudian hari gagasan-gagasan murid
Muhammad Abduh itu dianut dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok
fundamentalis. Menurut Enayat, kemunculan fundamentalisme menjadikan konsep
yang pada awalnya masih samar itu menjadi semakin tampak jelas.
Fundamentalisme sendiri dipahaminya sebagai titik pertemuan antara puritanisme
Wahabi dengan ajaran-ajaran salafiyah Muhammad Abduh. 112 Rid}a> melakukan
transisi yang halus dari khilafah ke negara Islam. Dia menggunakan nomenklatur
yang terasa baru dalam dunia modern dan terkesan paradoks, al-dawlah atau al-
h}uku>mat al-Isla>miyyah. Pada era sebelum-sebelumnya digunakan istilah khila>fat
atau ima>mat untuk menyebut negara atau pemerintahan. Kemudian dikenal
terminologi ima>rat atau wila>yat. Meski demikian Rid}a> tampak ambigu, secara
berulang-ulang dia menggunakan istilah al-khila>fat al-isla>miyyah atau h}uku>mat al-
khila>fat. Menurut Enayat, hal itu tidak lepas dari keinginannya untuk
mereorganisasi khilafah, namun di saat bersamaan dia juga menginginkan sebuah
entitas baru yang secara institusi dan fungsi belum ada sebelumnya,113 atau dalam
ungkapan lain, gagasan Rid}a> muncul di tengah ‚ketegangan antara tuntutan
nasionalisme dan loyalitas pada khalifah di awal dekade 1920-an‛.114
Ada dua tujuan yang ingin dicapai Rid}a>: prinsip kedaulatan rakyat dan
kemungkinan membuat hukum buatan manusia. Tujuan pertama bisa dilakukan
110
Fauzi M Najjar, ‚Islam and Modern...‛, h. 174-175
111
Lihat Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi..., h. 7-8
112
Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 104
113
Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 114
114
Mahmood Haddad, ‚Arab Religious Nationalism In The Colonial Era: Rereading
Rashid Rida's Ideas On The Caliphate,‛ Journal of the American Oriental Society , vol. 117,
no. 2, April - Juni 1997, h. 253.

22
dengan prinsip shu>ra> antara penguasa dengan rakyat, melalui aturan-aturan yang
telah ditentukan oleh ahli hukum untuk menghindari ketidakadilan. Selain itu
kekuasaan ulama idealnya ditempatkan sebagai representasi rakyat.115 Sementara
yang kedua dilakukan melalui ijtihad. Menurut Rid}a> pembaharuan Islam bukan
berarti kembali ke sumber-sumber Islam secara total, namun kembali ke elemen-
elemen dari idealisme Islam awal yang tidak ternodai oleh hal-hal yang bersifat
duniawi, prasangka etnik, dan sektarianisme. Urusan-urusan politik, sosial, dan
ekonomi suatu negara diatur oleh konstitusi yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip
umum al-Qur’an, hadits, dan pengalaman historis empat khalifah utama. Pada aras
ini Rid}a> menempatkan syariah sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk
menolak qanu>n (hukum positif). Jika terdapat pertentangan antara qanun dengan
syariah, maka syariah yang dibenarkan karena qanun merupakan subordinat dari
syariah. Dengan demikian hukum positif bisa diterima oleh Rid}a>, namun tetap
dibatasi oleh prinsip-prinsip Islam.116
Perubahan juga terjadi dalam pemikiran politik di kalangan Syiah. Upaya
menjembatani Islam dengan ide-ide politik modern memunculkan konsep wila>yat
al-faqi>h yang kemudian mewujud secara historis dalam bentuk Republik Islam Iran.
Secara garis besar konsep ini memiliki banyak kemiripan dengan gagasannya Rid}a>
di atas, yaitu sebuah negara demokrasi modern, namun tetap menempatkan ulama
dalam posisi yang otoritatif, serta menjadikan syariah sebagai standar bagi hukum
positif.117
B. Dinamika Politik Islam di Indonesia
Selain diwarnai dengan perjuangan melawan kekuatan asing, kemerdekaan
Indonesia juga dipenuhi dengan perjuangan sesama anak bangsa dalam
memberikan warna terhadap negara merdeka yang akan mereka lahirkan.
Perkembangan berbagai orientasi ideologi dalam dunia pergerakan nasional sejak
awal abad ke 20 semakin mengristal menjelang dan beberapa saat pasca
kemerdekaan. Berbagai perdebatan tentang watak kebangsaan Indonesia merdeka
mengemuka di antara tokoh-tokoh pergerakan nasional. Perdebatan antara
Soekarno dengan H Agus Salim, A Hassan, dan Mohammad Natsir tentang pondasi
kebangsaan Indonesia di beberapa media massa menjadi penanda akan hal itu.118
Perdebatan-perdebatan di media massa tersebut berlanjut dalam sidang-
sidang BPUPK yang terbagi dalam dua kubu: mereka yang menginginkan negara
Islam dengan tokoh-tokohnya KH Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH A
Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan H Agus Salim. Di sisi berserangan
terdapat mereka yang mendukung pemisahan agama dengan negara. Tokoh-

115
Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 115
116
Hamid Enayat, Modern Islamic Political..., h. 120-121
117
Pembahasan tentang konsep wila>yat al-faqi>h dalam Syiah modern lihat
Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah al-Faqih, (Jakarta: Mizan
Publika, 2013).
118
Effendy, Islam dan Negara, h. 70-82. Pembahasan khusus mengenai perdebatan
antara Soekarno dengan Natsir tersebut lihat Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam:
Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002).

23
tokohnya seperti Radjiman, Soekarno, Muhammad Hatta, Soepomo, dan
Muhammad Yamin.119
Untuk menyelesaikan persoalan ini kemudian dibentuk panitia yang terdiri
dari Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Agus Salim, A Wahid Hasyim, Abikusno
Tjokrosujoso, A Kahar Muzakkir, dan AA Maramis. Pada 22 Juni 1945 panitia
kecil ini pun berhasil membuat kesepakatan bersama yang dikenal sebagai Piagam
Jakarta. Piagam ini mengesahkan Pancasila dengan sila pertamanya yang berbunyi:
‚Ketuhanan Dengan Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam Bagi Pemeluk-
pemeluknya.‛120 Bahkan AA Maramis yang merupakan pemeluk Kristen asal
Manado dalam suatu perbincangan dengan Abikusno dan Kahar Muzakkir
menyatakan 200 persen setuju ketika Kahar Muzakkir mengusulkan agar di negara
baru nanti orang-orang Islam berkewajiban menjalankan syariat Islam.121
Namun usia Piagam Jakarta tidak panjang. Pagi tanggal 18 Agustus 1945,
sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta
mengundang beberapa anggota PPKI yang dianggap mewakili kalangan Islam
(yaitu A Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku
Muhammad Hasan) untuk meninjau kembali rumusan Piagam Jakarta. Hal itu
didasari oleh informasi yang diterima Hatta dari pejabat angkatan laut Jepang
bahwa kalangan Nasrani di Timur Indonesia tidak bersedia bergabung dengan
Republik Indonesia jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dihapus. Melalui
proses yang tidak berbelit, akhirnya poin pertama Piagam Jakarta diubah. Tujuh
kata ‚Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛
dihapus dan berganti menjadi ‚Ketuhanan Yang Maha Esa.‛122
Bukan hanya tujuh kata yang dihapus, beberapa ketentuan lain yang masih
berkaitan dengan itu pun banyak yang diubah, seperti kata ‚Allah‛ dalam
pembukaan UUD 1945 diubah menjadi ‚Tuhan‛ atas usulan I Gusti Ktut Pudja,123
serta poin yang berkenaan dengan ‚keharusan beragama Islam‛ bagi presiden di
dalam pasal UUD 1945 juga juga dihapus.124 Bagaimanapun juga, peristiwa ini
dinilai Effendy sebagai kekalahan pertama kelompok Islam dalam perjuangan
politiknya.125

119
Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Jakarta: Kencana, 2015), h. 31
120
Abdillah, Islam dan Demokrasi, h. 32; Effendy, Islam dan Negara, h. 93-94;
Maarif, Islam dan Politik, h. 27-28; Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan:
Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 107-108. Uraian
lengkap tentang Piagam Jakarta lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni
1945:Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (Jakarta: GIP,
1997)
121
Noer, Partai Islam, h. 37
122
Noer, Partai Islam, h. 42; Maarif, Islam dan Politik, h. 28-30; Maarif, Islam dan
Masalah, h. 109-110; Abdillah, Islam dan Demokrasi, h. 32
123
Noer, Partai Islam, h. 42
124
Remy Medinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral,
terj. Tonny Pasuhuk (Bandung: Mizan, 2013), h. 62
125
Effendy, Islam dan Negara, h. 97

24
Upaya memperjuangkan negara berdasarkan Islam kembali dilakukan
kelompok-kelompok Islam dalam Majelis Konstituante. Dalam Konstituante
sendiri terdapat tiga kelompok berbeda: Pendukung Pancasila, pendukung Islam
sebagai dasar negara, dan pendukung negara berdasar sosio-ekonomi. Kelompok
Islam diwakili Masyumi (112 kursi), Nahdlatul Ulama (NU) (91 kursi), PSII (16
kursi), Perti (7 kursi) dan ditambah 4 gerakan daerah. Total keseluruhan 230 kursi.
Sementara pendukung Pancasila memiliki total 274 kursi gabungan dari PNI, PKI,
PSI, dan partai-partai Nasrani. Faksi sosial-ekonomi menjadi yang terkecil dengan
hanya 10 kursi hasil dari kumpulan Partai Murba, Partai Buruh dan Acoma.126
Selama dua setengah tahun (mulai Desember 1956-Juni 1959), Konstituante
berhasil menyelesaikan 90 persen tugas-tugasnya dalam menyusun konstitusi baru.
Namun dalam hal dasar negara, anggota Konstituante belum menemukan titik
temu. Mereka terbagi menjadi dua golongan utama: pendukung dasar negara
Pancasila dan kelompok yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Tiga kali
pemungutan suara yang dilakukan juga tidak berhasil menemukan kata putus
karena masing-masing kelompok tidak mencapai dua pertiga suara. Dianggap
gagal mengambil keputusan, Presiden Soekarno dengan dukungan militer dan
faksi pendukung Pancasila di Konstituante akhirnya Dekrit 5 Juli 1959 yang
membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke Pancasila dan UUD
1945.127 Ini dinilai Effendy sebagai kekalahan kedua politik Islam. 128
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi tanda bermulanya era Demokrasi
Terpimpin yang sudah diimpikan Soekarno sejak 1957.129 Untuk mewujudkan
mimpinya itu, Soekarno kemudian membentuk Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (DPAS) pada 22 Juli 1959 dengan dirinya sendiri sebagai ketua. DPAS
merupakan pengganti dari Dewan Nasional yang dibentuk Soekarno pada 11 Juli
1957 yang juga diketuai Soekarno. Dewan-dewan ini ditentang oleh sejumlah
tokoh seperti Hatta, Natsir, dan Sjahrir karena tidak memiliki landasan
konstitusional. Namun Soekarno yang sudah menjelma menjadi seorang otoriter
tidak mempedulikan semua kritikan itu. Untuk menyempurnakan kekuasaannya
yang absolut, pada Maret 1960 Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat-
Gotong Royong (DPR-GR) menggantikan DPR yang dipilih secara demokratis,
disebabkan DPR menolak rancangan anggaran yang diajukan Soekarno. Anggota-
anggota DPR-GR ditunjuk sendiri oleh Soekarno tanpa melalui proses Pemilu.
Soekarno juga membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat-Gotong Royong
(MPR-GR) yang anggota-anggotanya juga dipilihnya sendiri. MPR-GR inilah yang
menunjuk Soekarno sebagai presiden seumur hidup.130

126
Medinier, Partai Masjumi, h. 311
127
Medinier, Partai Masjumi, h. 311-312; Effendy, Islam dan Negara, h. 106-110;
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 216-219
128
Effendy, Islam dan Negara, h. 118-119
129
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 2-3
130
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 53-54; Deliar Noer, Mohammad Hatta:
Hati Nurani Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2012), h. 159

25
Terhadap Demokrasi Terpimpin, partai-partai Islam terbelah sikapnya.
Partai NU, PSII, dan Perti ketika di Konstituante tegas menolak, namun setelah
keluarnya Dekrit mereka berubah mendukungnya. Sementara Masyumi tetap
konsisten menolak Demokrasi Terpimpin karena tidak sesuai dengan konstitusi dan
bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sikap tegas Masyumi ini berakhir dengan
pembubarannya pada akhir 1960. Selain Masyumi, PSI juga mengalami nasib yang
sama.131 Tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Soekarno juga mengalami nasib
yang tidak enak. Hatta dicekal bepergian ke luar negeri karena paspornya dicabut
dan tidak dibolehkan mengajar di beberapa kampus, karena mengritisi Soekarno
lewat tulisannya berjudul ‚Demokrasi Kita‛ di Panji Masjarakat.132
Tokoh lain seperti Natsir, Sjahrir, Roem, Mochtar Lubis, Soebandio
Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, Prawoto, dan Hamka dipenjara tanpa
proses pengadilan. Ada pula yang harus menyingkir ke luar negeri seperti Sutan
Takdir Alisjahbana. Mereka baru dibebaskan setelah kekuasaan Soekarno jatuh dan
digantikan Soeharto dengan Orde Barunya133 yang secara resmi menggantikan
Orde Lama pada Maret 1967 ketika Soeharto terpilih sebagai Pejabat Presiden
dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Soeharto
menjadi presiden sepenuhnya setahun kemudian. Sebelum itu, Soeharto berhasil
mengatasi kondisi negara yang kacau akibat kudeta yang dilakukan kelompok
komunis. Berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto pun melarang PKI dan
semua organisasi yang berafiliasi dengannya. 134
Keberadaan Orde Baru melambungkan harapan para politisi muslim untuk
kembali terlibat dalam dinamika politik nasional. Namun harapan itu pudar saat
penguasa Orde Baru menolak keinginan mereka untuk merehabilitasi Masyumi,
dan semakin pupus ketika Orde Baru melarang tokoh-tokoh kunci Masyumi untuk
menjadi pimpinan partai baru pengganti Masyumi, Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia). 135 Di kemudian hari, berbagai kebijakan Orde Baru semakin membuat
posisi politik Islam semakin tertekan dengan masa depan yang kian suram. Sikap
seperti itu tidak lepas dari latarbelakang para petinggi Orde Baru yang priyayi
abangan, yang didukung intelektual sekuler dan non-muslim yang khawatir dengan
kekuatan politik kaum santri. Kebijakan Orde Baru dianggap oleh sebagian sarjana
merupakan kelanjutan dari kebijakan kolonial yang membiarkan berbagai kegiatan
keagamaan Islam, namun membatasi kegiatan politik Islam.136
Orde Baru menjadikan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama
pemerintahan mereka. Mereka melihat politik berbasis ideologi di masa Orde Lama
menjadi sebab dari ketidakstabilan kondisi sosial-politik dan kejatuhan ekonomi

131
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 3, 78-79
132
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati..., h. 162.
133
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati..., h. 162; A Syafii Maarif, Islam dan
Politik..., h. 77-79. Hamka sendiri ditahan dengan tuduhan ikut terlibat dalam upaya
pembunuhan Presiden Soekarno. Lihat MF Mukthi, ‚Di Balik Jerajak Besi Penguasa‛,
Historia, no 21, tahun II, 2015, h. 62-64
134
Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi..., h.37-38
135
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 111-114
136
Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi..., h. 39-40

26
nasional.137 Orde Baru melakukan modernisasi dan industrialisasi untuk
pembangunan ekonomi melalui program-program yang terencana dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Sementara untuk menciptakan stabilitas politik, mereka melakukan sejumlah
langkah untuk memudarkan sentimen politik aliran. Langkah deideologisasi itu
dimulai dari penolakan terhadap rehabilitasi Masyumi, pencekalan terhadap
mantan pemimpin Masyumi untuk menjadi pimpinan Parmusi, keterlibatan militer
dalam parlemen, keikutsertaan Golongan Karya (Golkar) dalam Pemilu, fusi yang
dipaksakan atas partai-partai yang ada, hingga penerapan Pancasila sebagai asas
tunggal bagi partai politik dan ormas.138
Kontrol ketat rezim terhadap politik Islam tidak menyurutkan langkah
sejumlah politisi muslim untuk berkiprah. Mirip seperti sikap pemerintah kolonial,
penguasa Orde Baru masih memberikan ruang bagi aktivitas sosial keagamaan.
Tidak bisa berjuang di ranah politik kepartaian, sejumlah mantan pemimpin
Masyumi mengalihkan langkah mereka ke ranah dakwah sosial keagamaan. Pada
27 Pebruari 1967, Natsir bersama koleganya, di antaranya HM Rasjidi, Moh Roem,
Sjafroedin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, Kasman Singodimedjo, Osman
Raliby, Yunan Nasution, dan Datuk Palimo Mudo, mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) yang menandai apa yang mereka sebut sebagai
‚berpolitik melalui dakwah.‛139 Semboyan yang mereka suarakan adalah
‚Sebelumnya, kita menjalankan dakwah melalui politik; sekarang, kita mengejar
politik melalui dakwah.‛140
Dalam berdakwah, DDII mencoba mengambil ruang-ruang yang belum
mendapat banyak perhatian dari ormas-ormas Islam yang sudah ada. Setelah
melakukan kajian, gerakan dakwah DDII diarahkan ke daerah-daerah pedalaman
yang rawan kristenisasi, sekolah-sekolah dan kampus-kampus.141 Selain pengiriman
dai ke daerah pedalaman, sektor dakwah di lembaga pendidikan menjadi perhatian
DDII. Dalam hal ini DDII menjadi pelopor apa yang kemudian disebut sebagai
dakwah kampus.142 Dengan semboyan ‚berpolitik melalui dakwah‛ itu lah
membuat dakwah yang dilakukan DDII tetap menanamkan ghirah politik ke kader-
kader muda Islam.143
Dakwah yang digerakkan eksponen DDII tersebut turut berperan bagi
pertumbuhan generasi intelektual baru dan kelas menengah muslim di era Orde

137
M Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 19-20
138
Tentang hal ini lihat Azis Thaba, Islam dan Negara...; M Din Syamsuddin, Islam
dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001)
139
Tim Tempo, Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim, (Jakarta: Tempo &
KPG, 2011), h. 116
140
MC Ricklefs, Mengislamkan Jawa, penerjemah FX Dono Sunardi & Satrio
Wahono, (Jakarta: Serambi, 2013), h. 278
141
Tim Tempo, Natsir: Politik Santun..., h. 118; Deliar Noer, Membincangkan
Tokoh-tokoh..., h. 187
142
Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah: Jangan..., h. 156
143
Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah: Jangan..., h. 155

27
Baru. Namun oleh beberapa kalangan dakwah DDII dinilai berwarna puritan
sejalan dengan latarbelakang aktivisnya. Kesimpulan ini didasarkan pada peran
DDII dalam mendukung pendirian LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahun Islam dan
Bahasa Arab) dan keaktifannya mengirim anak-anak muda Indonesia untuk belajar
ke Arab Saudi.144 Namun tudingan seperti ini terlalu simplistik mengingat banyak
pula intelektual baru yang secara ideologis dekat dengan Masyumi dan DDII
namun memiliki corak pemikiran yang beragam, contoh paling jelas adalah
Nurcholish Madjid.
Langkah strategis eks pengurus Masyumi tersebut sesungguhnya mengikuti
apa yang telah diambil oleh Hamka sebelumnya. Jika kolega Hamka itu baru
beralih ke perjuangan dakwah setelah kegagalan upaya rehabilitasi Masyumi di
awal Orde Baru, Hamka justru telah memulainya di saat kekuasaan Orde Lama di
puncak otoritariannya, di awal dekade 1960-an. Selain menggelar berbagai
kegiatan keislaman di masjid al-Azhar, Hamka juga mempelopori pendirian
sekolah Islam di lingkungan masjid tersebut. Sekolah rintisan Hamka ini di
kemudian hari menjadi pelopor bagi munculnya sekolah-sekolah kelas menengah
muslim di Indonesia.145 Langkah yang diambil para eks tokoh-tokoh Masyumi itu
dinilai Nurcholish Madjid sebagai perspektif baru tentang perjuangan Islam yang
tidak melulu di bidang politik. Madjid juga melihat perjuangan melalui dakwah itu
memiliki pengaruh jangka panjang yang lebih awet daripada perjuangan melalui
politik.146
C. Paradigma Politik Islam Indonesia
Konsep dan institusi politik Barat modern yang asing dan ahistoris telah
membuat pergolakan yang cukup hebat di tengah-tengah umat Islam. Beragam
tanggapan riuh rendah muncul di tengah kondisi sosial, politik, dan ekonomi umat
yang masih tertekan. Hingga kini perbincangan tentang hal itu masih terus terjadi.
Umat Islam pun tampak masih belum menemukan bentuk ideal hubungan agama
dan negara modern yang bisa menjadi role model negara Islam modern.
Menurut Bahtiar Effendy, problem itu disebabkan oleh karakter Islam yang
‚selalu hadir di mana-mana (omnipresence)‛ sehingga Islam diyakini senantiasa
memberikan panduan moral di setiap aspek kehidupan manusia, 147 namun di saat
yang sama, ujar Masykuri Abdillah, al-Qur’an tidak menyebut ataupun
menjelaskan istilah dan konsep negara secara eksplisit. Al-Qur’an hanya
memberikan prinsip-prinsip ideal yang harus dipraktikkan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. 148 Secara historis pun tidak ditemukan rujukan

144
MC Ricklefs, Mengislamkan Jawa..., h. 279, 405-407
145
Hendaru Tri Hanggoro, ‚Sekolah Islam ala Hamka‛, Historia, no 21, tahun II,
2015, h. 60-61
146
Nurcholish Madjid, ‚Natsir itu Tulus Kepada Pancasila,‛ dalam Harmonis, no
431, Maret 1993, h. 13
147
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), h. 7
148
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2011), h. 3-4

28
tunggal terhadap sistem pemerintahan Islam di masa lalu. Praktik politik di era
Nabi Muhammad sistem pemerintahan lebih bercorak teokrasi di mana Nabi
menjadi pemimpin atas nama Allah melalui wahyu yang diterimanya. Sedangkan di
era al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n sistem pemerintahannya lebih bercorak republik, dan
kemudian berubah menjadi monarki di zaman dinasti Bani Umayyah, Abbasiyah,
Umayyah II di Andalusia, hingga ke Turki Utsmani. 149
Senada dengan itu, Azyumardi Azra juga menekankan ketiadaan model
‘negara Islam’ yang jelas dan konkret dalam sejarah Islam sebagai penyebab
kebingungan umat Islam dewasa ini, sehingga sulit membangun kesepakatan
tunggal tentang negara Islam. Menurutnya, faktor ketidakjelasan historis itu
terletak pada: Pertama, negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi
Muhammad, yang dinilai ideal oleh umat Islam, tidak menawarkan rincian yang
bisa memberikan ilham bagi penerapannya di era modern. Kedua, praktik
pemerintahan di era Bani Umayyah dan Abbasiyah dinilainya hanya menyediakan
kerangka sistem kelembagaan politik, pajak, dan sebagainya. Ketiga, kegagalan
dalam mendirikan negara Islam membuat umat Islam mengarahkannya pada
rumusan cita ideal yang terkesan utopis dan teoritis. Keempat, hubungan antara
agama dan negara telah menjadi obyek perdebatan dan penafsiran selama berabad-
abad. 150
Transformasi politik Islam di era modern, sebagaimana yang dipaparkan di
sub bab sebelum ini, memberikan gambaran betapa beragamnya upaya umat Islam
dalam menafsirkan hubungan Islam dengan politik. Pada titik tertentu
permasalahan seperti ini juga melanda umat Islam di Indonesia modern. Bedanya,
jika dunia Islam (khususnya Timur Tengah) di abad ke 19 dan awal abad ke 20
masih terombang-ambing di antara sistem politik Islam lama (khilafah dan
monarki) dengan sistem politik modern, politik Islam di Indonesia sejak awal telah
mantap menentukan sikapnya memilih sistem politik modern. Perdebatan terjadi
hanya dalam hal di mana posisi agama (Islam) dalam negara Indonesia modern
yang hendak dibangun itu.
Secara umum pemikir politik Muslim memberikan respons yang berbeda-
beda terhadap sistem dan institusi politik modern. Din Syamsuddin
mengelompokkannya menjadi tiga paradigma: tradisionalisme, modernisme, dan

149
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 5
150
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan
Demokrasi, (Jakarta: Prenada & PPIM, 2016), h. 44. Tentu berlebihan jika disebutkan
praktik pemerintahan di masa awal-awal Islam (zaman Nabi, sahabat, dan dua dinasti awal)
tidak memberikan inspirasi bagi bagi penerapannya di era modern. Justru banyaknya kajian
tentang sistem pemerintahan di zaman tersebut oleh para intelektual sampai saat ini
membuktikan sisi inspiratif-nya sistem itu. Upaya-upaya yang dilakukan banyak pemikir
Muslim untuk mendamaikan konsep-konsep politik modern dengan ajaran Islam juga
banyak diilhami oleh praktik pemerintahan Islam di masa awal-awal, khususnya di era
negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw dan empat khalifah
sesudahnya, juga menjadi bukti lain inspirasi itu.

29
fundamentalisme.151 Tradisionalisme didefinisikan sebagai kelompok yang
berkomitmen kepada syariah. Kelompok ini berparadigma bahwa syariah harus
dipegang secara kuat dan totalitas karena itu merupakan hukum Ilahi, dan mereka
berusaha menerapkannya ke dalam setiap aspek kehidupan sesuai dengan apa yang
telah dicontohkan oleh generasi-generasi awal Islam (salaf al-s}a>lih). 152
Syamsuddin kemudian membagi kelompok ini ke dalam dua sub bagian: idealisme
tradisional dengan Rashi>d Rid}a> sebagai tokohnya dan realisme tradisional dengan
tokoh Kalam Azad. 153
Berseberangan dengan itu, paradigma modernisme berupaya merevitalisasi
Islam sesuai dengan dinamika modernitas. Terdapat tiga model kelompok
berparadigma ini: rasionalisme Muhammad `Abduh; sekularisme dengan tokohnya
Ali Abd al-Raziq; dan rekonstruksi Muhammad Iqbal. Meski mengelompokkan
ketiga model itu sebagai kelompok modernis, namun Syamsuddin melihat adanya
perbedaan yang khas pada pemikiran mereka. Ali Abd al-Raziq dan Muhammad
Abduh umpamanya, keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang politik
Islam. Abduh menganggap Islam hanya memberikan prinsip-prinsip berpolitik
seperti kebebasan, shu>ra>, dan konstitusi tanpa mengabaikan syariah. Sedangkan Ali
Abd al-Raziq cenderung untuk memisahkan agama dari politik pemerintahan. 154
Sementara fundamentalisme merupakan paradigma yang meyakini Islam
sebagai agama yang menyeluruh dan mencakup segala aspek kehidupan. Titik
perbedaan kelompok ini dengan dua kelompok sebelumnya terletak pada sikap
mereka yang menekankan pada aspek perbedaan antara Islam dengan Barat.
Paradigma ini memiliki dua arus besar yaitu: teo-demokrasi ala Abu al-‘A’la al-
Mawdudi dan pandangan dunia Islam Sayyid Qutb. 155
Tentu saja kategorisasi tersebut masih bisa diperdebatkan. Dalam kasus
gerakan Hizbut Tahrir (HT), kategorisasi yang dilakukan Syamsuddin masih
belum bisa merangkul gerakan yang didirikan Taqy al-Din al-Nabhani ini. 156 HT

151
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h.
114-163
152
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 117
153
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 118-127
154
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 128-140
155
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., h. 151.
156
Hizbut Tahrir (HT) didirikan di Yerussalem oleh Taqiy al-Din al-Nabhani dengan
tujuan untuk merestorasi dawlah al-khila>fah al-isla>>miyyah. Menurut HT sebab kemunduran
dan kekalahan umat Islam atas umat yang lainnya bersembur dari ketiadaan negara
khilafah. Maka untuk mengembalikan kejayaan itu, tidak ada jalan lain selain dari
mengembalikan khilafah sebagai institusi politik umat Islam yang tunggal.
Di Indonesia gerakan ini dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan
memiliki koneksi lintas negara. Karena itu HTI dikategorikan oleh Masdar Hilmi sebagai
organisasi Islam transnasional. Menurut Hilmi, suatu gerakan bisa dianggap transnasional
dilihat dari tiga aspek: mobilitas demografis, jejaring antar lembaga-lembaga keagamaan di
beberapa wilayah atau negara, dan perpindahan gagasan atau ide antar individu di beberapa
wilayah atau negara. Hilmi menilai HTI telah memenuhi ketiga hal tersebut. HT saat ini
telah tersebar di 45 negara di Eropa, kawasan Arab, Asia, dan Afrika. Semula al-Nabhani
tidak bermaksud membuat HT menjadi organisasi lintas negara dan benua. Dia hanya

30
sangat menekankan perbedaan Islam dari Barat. Mereka tegas menolak demokrasi
dan negara bangsa (nation state) karena dinilai tidak sesuai dengan Islam. Sebegitu
kuat penekanan pada perbedaan Islam vs Barat itu, sehingga mereka pun tidak bisa
menerima upaya ‚mencampurkan‛ keduanya seperti yang dilakukan al-Mawdudi
dengan konsep ‚teo-demokrasi‛-nya. Mereka juga menolak terlibat dalam
mekanisme politik demokratis seperti pemilihan umum. Di aspek ini HT bisa
dikategorikan sebagai gerakan yang berparadigma fundamentalisme ala
Syamsuddin tersebut. Di saat bersamaan, penolakan HT terhadap sistem dan
institusi politik Barat itu juga diiringi dengan keinginan kembali kepada sistem
politik Islam lama, Khilafah. Di aspek inilah HT bisa dimasukkan dalam kelompok
yang berparadigma tradisionalisme. Dengan demikian, dalam kategorisasi yang
dilakukan Syamsuddin di atas, Hizbut Tahrir menempati dua posisi:
fundamentalisme sekaligus tradisionalisme.
Berbeda dengan itu, Masykuri Abdillah memetakan paradigma politik Islam
modern menurut orientasi keagamaannya, yaitu: fundamentalisme, modernisme,
tradisionalisme, reformisme, dan neo-modernisme. 157 Modernisme didefinisikan
Abdillah sebagai ‚mereka yang melakukan upaya secara sadar untuk
mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah modern
atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi-institusi modern dengan tradisi
Islam.‛ 158 Sedangkan fundamentalisme merupakan kelompok yang membela
doktrin Islam dan menegaskan superioritas Tuhan. Mereka melakukan usaha-usaha
untuk melaksanakan doktrin itu secara total dan menolak tatanan yang dibuat oleh
manusia sebagai dasar sistem sosial Islam. 159 Kaum Tradisionalis didefinisikannya
sebagai ‚mereka yang memegangi pemikiran Islam dari ulama abad pertengahan
tanpa melakukan usaha-usaha untuk mengubah bentuknya secara substantif,
termasuk dalam merespons masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer.‛
Sementara kaum reformis adalah ‚mereka yang melakukan usaha-usaha
reinterpretasi doktrin Islam dan menentang penyimpangan agama atau bid’ah yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Sementara kelompok neo-modernis

berkeinginan memperkuat HT di beberapa negara Arab, seperti Iraq, Suriah, Lebanon,


Jordania dan Mesir. Lihat Masdar Hilmi, ‚Akar-akar Transnasionalisme Islam Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI),‛ Islamica, vol 6, no 1, 2011, h. 1-13; Mohamed Nawab Mohamed
Osman, ‚The Transnational Network of Hizbut Tahrir Indonesia,‛ South East Asia
Research, vol 8, no 4, Special Issue Dec 2010, h. 735-755.
Namun sekarang HTI secara resmi tidak diperbolehkan di Indonesia setelah status
badan hukumnya dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Surat Keputusan
(SK) No AHU-30.AH.01.08 tahun 2017. Dengan SK ini maka badan hukum HTI yang
sebelumnya pernah disahkan oleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM no AHU-
0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI resmi
dicabut. Keputusan itu dikeluarkan setelah pemerintah secara resmi mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2017 yang mengubah UU
No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atau yang lebih dikenal sebagai Perppu
Ormas.
157
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 1-15
158
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 2
159
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 8-9

31
adalah mereka yang berupaya menemukan titik temu antara kaum modernis dan
tradisionalis. 160 Sementara dalam konteks keindonesiaan, Abdillah membaginya
dalam dua kelompok: tradisionalis dan modernis.161 Pembagian menjadi dua
kelompok paradigmatik ini tidak berbeda dengan apa yang telah dilakukan Deliar
Noer.
Dikotomi modernisme dan tradisionalisme Islam di Indonesia biasanya
merujuk pada kemunculan organisasi-organisasi Islam di awal abad ke-20, seperti
Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Nahdlatul Ulama
(NU). Kelompok Islam modernis seringkali dikaitkan dengan organisasinya yang
bervisi pembaharuan, berlatar belakang pendidikan dengan sistem modern
(sekolah-sekolah Belanda), dan berbasis di perkotaan. Muhammadiyah, Persis, dan
SI dianggap sebagai representasi kelompok ini. Sementara pemikir tradisionalis
merupakan kelompok yang teguh memegang tradisi dan institusi keagamaan lama,
berpendidikan pesantren, dan berbasis di pedesaan. Dalam hal ini NU sering
disebut sebagai representasi kelompok tradisionalis Muslim di Indonesia.162
Dalam konteks keindonesiaan, pemetaan paradigma politik Islam modern
menurut orientasi keagamaannya itu belum mampu memotret realitas yang
sesungguhnya terjadi di Indonesia. Meski gigih memperjuangkan Indonesia
berdasar Islam, namun yang menarik dari wajah politik Islam di Indonesia adalah
pilihannya pada konsep dan kelembagaan politik modern yang berasal dari Barat.
Pada titik ini, perjuangan negara Indonesia berdasar Islam yang dilakukan para
tokoh politik Muslim saat itu tidak merujuk pada lembaga politik Islam lama
semacam kekhalifahan atau kesultanan. Mereka justru lebih memilih lembaga
politik modern dengan memberinya warna keislaman. Orientasi modern dengan
nilai keislaman ini menjadi sesuatu yang khas terjadi pada politik Islam di
Indonesia dari berbagai orientasi keagamaan, baik modernis maupun tradisionalis.
Sejak awal mula, ujar Syafii Maarif, umat Islam Indonesia - baik yang modernis
maupun yang tradisionalis- telah memilih sistem demokrasi, karena
menganggapnya sebagai sebuah ‚mekanisme politik yang lebih baik yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita politik Islam.‛163
Sebagai misal Nahdlatul Ulama (NU), secara keagamaan organisasi ini
sering dikelompokkan sebagai tradisionalis karena sikapnya yang teguh
mempertahankan tradisi, namun secara politik memiliki paradigma yang berbeda.
Di bidang politik-kenegaraan NU bisa menerima konsep dan institusi politik
modern, seperti negara kebangsaan (nasionalisme) dan demokrasi. Mereka juga
tidak merindukan kembalinya institusi politik Islam lama semacam khilafah. Kasus
NU ini bisa menfalsifikasi kesimpulan ‚paradigma politik segaris lurus dengan
orientasi keagamaannya‛ di atas.

160
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 11
161
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika..., h. 1-15
162
Adnan, Pergulatan Politik Elit NU dan Muhammadiyah Masa Reformasi,
(Gorontalo: Sultan Amai Press, 2011), h. 38
163
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan Dalam Konstituante, (Bandung: Mizan, 2017), h. 171

32
Seolah menyadari hal ini, Abdillah kemudian membuat pemetaan orientasi
politik Islam dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya ada tiga model orientasi
politik Islam di Indonesia, yaitu: Pertama, mereka yang menempatkan agama
sebagai ideologi. Kelompok ini menghendaki agama (Islam) secara formal menjadi
ideologi negara melalui formalisasi syariah ke dalam hukum positif. Kelompok
idealis ini, menurut Abdillah, memiliki kecenderungan absolutis, eksklusif, dan
lebih berorientasi keagamaan daripada ke kebangsaan; Kedua, kelompok yang
menempatkan agama hanya sebagai sumber etika-moral (akhlak) belaka, dan
menolak formalisasi syariah dalam bernegara. Ini adalah kelompok realis dengan
memiliki kecenderungan orientasi kebangsaan yang lebih besar daripada
keagamaannya. Meski Abdillah menilai kelompok ini bisa menghilangkan
ketegangan antara kelompok agama yang berbeda, namun mereka tidak cukup
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam; Ketiga adalah mereka yang
memposisikan Islam sebagai ‚sub-ideologi‛ atau ‚sumber ideologi‛ bagi Pancasila.
Bagi Abdillah, orientasi ini merupakan jalan moderat di antara kedua orientasi
sebelumnya. Meski tetap menginginkan pelaksanaan etika-moral, prinsip-prinsip,
atau hukum agama dalam bernegara, namun kelompok ini juga tetap mengakui
Pancasila sebagai ideologi negara.164
Masing-masing kategorisasi itu memiliki kelemahan, namun setidaknya
upaya itu memberikan gambaran betapa keragaman orientasi politik dalam
masyarakat Muslim modern, khususnya di Indonesia. Pada titik ini peneliti
menilai kategorisasi yang dilakukan Munawir Sjadzali cukup sederhana namun
bisa merangkul semua keragaman itu. Sjadzali mengelompokkan orientasi politik
Islam modern menjadi tiga, yaitu: Pertama, kelompok tradisional yang menolak
segala yang datang dari Barat dan menghendaki kepada Islam murni sebagaimana
yang terjadi pada masa Nabi dan salaf al-s}a>lih, khususnya di bidang politik
kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan
melingkupi sedala aspek kehidupan, karena itu Islam telah mencukupi dalam
pengaturan bidang sosial-politik sehingga tidak perlu lagi mengambil dari Barat.
Kelompok kedua juga menghendaki kepada kemurnian Islam, namun mereka
juga melihat perlunya dilakukan transformasi ajaran Islam ke zaman kekinian yang
memiliki perbedaan dengan era salaf al-s}a>lih. Terkait dengan bidang politik
kenegaraan, kelompok ini melihatnya sebagai bukan ibadah mahd}ah sehingga
memungkinkan umat Islam secara selektif mengambil konsep dan kelembagaan
politik dari Barat, karena bagaimanapun juga tatakelola politik pemerintahan Barat
memiliki banyak kelebihan. Menurut Sjadzali, kelompok ini menyadari bahwa
untuk melawan dominasi dan kolonialisasi Barat harus dilakukan dengan sikap
terbuka pada ide-ide kemajuan khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Berbeda dengan keduanya, kelompok ketiga juga ingin kembali kepada
kemurnian Islam, namun Islam yang mereka pahami adalah Islam sebagai semata-
mata agama sebagaimana yang terjadi di Barat. Bagi kelompok ini Islam adalah
agama yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan

164
Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan...,‛ h. 250-251

33
hubungan antar manusia, termasuk di bidang politik, seharusnya diatur oleh
manusia sendiri. 165
Berbeda dengan kebanyakan sarjana yang telah disebutkan sebelumnya,
Munawir Sjadzali tampak menghindari penggunaan istilah dan konsep-konsep
Barat dalam memetakan paradigma politik Islam moderm. Penghindaraan ini bisa
dipahami mengingat konsep-konsep tersebut memiliki konteks yang berbeda
dengan sosio-historis umat Islam, sehingga penggunaannya untuk melabeli
fenomena yang terjadi dalam konteks keislaman bisa menimbulkan bias dan
kesulitan konseptual. Kesulitan seperti ini dialami oleh Yusril Ihza Mahendra
ketika menggunakan konsep ‚modernisme‛ dan ‚fundamentalisme‛ untuk
mengategorisasikan partai politik Islam di Indonesia (Masyumi) dan Pakistan
(Jama’at-i Islami). Mahendra pun ‘terpaksa’ menggunakan istilah-istilah itu
dengan berbagai catatan. 166
Pada aras tiga kategori yang dibuat Sjadzali tersebut, penelitian ini
menempatkan Hamka ke dalam kelompok kedua yang menginginkan kemurnian
Islam dan mentransformasikannnya ke dalam kehidupan modern. Kesimpulan ini
setidaknya terlihat dari sikap Hamka yang bisa menerima konsep dan institusi
politik modern dengan tetap menekankan pada peran penting Islam. Hamka bukan
termasuk kelompok pertama yang menghendaki kembali kepada institusi politik
lama (salaf al-s}a>lih) yang menolak sama sekali ide-ide dan institusi politik modern,
namun dia juga bukan bagian dari kelompok ketiga yang menghendaki Islam hanya
sebagai agama, tanpa ikut terlibat dalam urusan politik kenegaraan.
Dalam posisi seperti ini, ide-ide dan perjuangan politik Hamka merupakan
sebuah upaya mengisi Indonesia modern dengan nilai-nilai Islam. ‚Hamka
memasang fondasi adicerita dengan menautkan Islam ke keresahan sosial dan
perubahan zaman, juga ke cita-cita politik Indonesia merdeka,‛ tulis James R
Rush.167 Pernyataan Rush ini menguatkan kesimpulan Deliar Noer tentang Hamka
sebelumnya, bahwa Hamka ‚memandang sejarah Indonesia melalui prisma Islam,
yang ajaran-ajarannya, ia yakini, telah membentuk sikap dan karakter sebagian
besar rakyat Indonesia.‛ Karena itu Noer menyimpulkan bahwa, Hamka
‚menyampaikan pandangan bahwa kesatuan Indonesia dapat dibangun tanpa
mengurangi dedikasi terhadap Islam‛, dan apa yang dilakukan Hamka itu
merupakan kelanjutan dari gagasan dan perjuangan HOS Tjokroaminoto dan H
Agus Salim. 168
Meski menggunakan kategorisasi yang dibuat oleh Sjadzali, namun pada
titik tertentu kategorisasinya Abdillah tentang tiga orientasi hubungan agama-
negara dalam konteks Indonesia di atas juga bisa dipakai untuk melihat praktik

165
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 115-116
166
Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), terutama Bab I
167
James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia
Modern, penerjemah Zia Anshor, (Jakarta: Gramedia, 2017), h. xxxiv
168
Deliar Noer, ‚Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,‛ dalam
Anthony Reid & David Marr (ed), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa
Lalunya, (Jakarta: Grafiti Press, 1983), h. 52

34
politik yang dilakukan Hamka, dengan catatan, ketiga kategori itu tidak diterapkan
secara kaku. Di sini peneliti melihat aktor politik (individu atau kelompok) bisa
memiliki orientasi politik berbeda sesuai dengan konteks dan dinamika politik
yang berubah.
Memang, di awal kemerdekaan kelompok-kelompok Islam memiliki
orientasi hubungan agama-negara yang integratif-formalistik dengan menempatkan
Islam secara formal sebagai ideologi Indonesia merdeka, seperti yang diperjuangan
tokoh-tokoh Islam di BPUPK hingga melahirkan Piagam Jakarta. Namun
kemudian mereka berubah sikap dengan mengendurkan tuntutannya ketika
menghadapi situasi yang menuntut untuk itu, sehari setelah proklamasi
kemerdekaan, dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta di PPKI. Pilihan
ini diambil dengan pertimbangan kedaruratan dan untuk kepentingan persatuan
bangsa yang baru lahir. Di kemudian hari kelompok Islam kembali ke orientasi
idealnya ketika mereka melihat peluang untuk mewujudkan aspirasi menempatkan
Islam sebagai dasar negara dalam Konstituante. Namun mereka akhirnya kembali
bersikap realistis ketika realitas politik tidak kondusif lagi setelah Dekrit Presiden
5 Juli yang mengembalikan keberlakuan UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar
negara.
Selain berorientasi pada modernisme politik, sikap idealis namun realistis
itu tampaknya menjadi ciri lain yang khas politik Islam di Indonesia. Dalam
ungkapan lain bisa dinyatakan bahwa politik Islam di Indonesia tidak pernah
bersifat mutlak-mutlakan. Politik Islam di Indonesia tidak mengenal jalan buntu
atau menempuh jalan ekstrim. Jalan tengah menjadi pilihan yang sering diambil
dalam perjuangan cita-cita idealnya. Memang ada beberapa kasus yang
menunjukkan ekstrimitas politik Islam di Indonesia seperti Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII), namun itu hanyalah arus pinggiran, bukan arus utama.
Dengan karakter seperti ini, sesungguhnya politik Islam di Indonesia tidak
pernah mengalami kekalahan sebagaimana yang disimpulkan Bahtiar Effendy.
Dalam kajiannya terhadap dinamika politik Islam di Indonesia, Effendy
menyimpulkan bahwa politik Islam di Indonesia mengalami beberapa kali
kekalahan dalam perjuangan cita politiknya. Penghapusan kalimat ‚Ketuhanan,
Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya‛ dalam sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan diganti dengan ‚Ketuhanan Yang Maha Esa,‛
dianggap Effendy sebagai kekalahan pertama kelompok Islam.169 Sementara
peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan
memberlakukan kembali UUD 1945/Pancasila,170 dinilainya sebagai kekalahan
kedua politik Islam Indonesia.171
Jika dicermati lebih mendalam, sebenarnya kesimpulan Effendy ini tidak
sepenuhnya tepat. Perjuangan menjadikan Islam secara formal menjadi dasar bagi
169
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 97
170
Remy Medinier, Partai Masjumi: Antara..., h. 311-312; Bahtiar Effendy, Islam
dan Negara..., h. 106-110; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam
Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 216-219
171
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., h. 118-119

35
negara Indonesia merdeka memang terhenti di Dekrit Presiden 5 Juli tersebut,
namun isi yang terkandung dalam Dekrit 5 Juli itu sendiri sesungguhnya
menunjukkan kesuksesan perjuangan politik Islam. Dalam Dekrit tersebut secara
eksplisit dinyatakan bahwa Piagam Jakarta ‚menjiwai‛ UUD 1945 dan merupakan
‚rangkaian kesatuan‛ dengan konstitusi tersebut. Konsideran ini dianggap
‚mendekati hasrat kelompok islami‛ sehingga, ujar Endang Saefuddin Anshari
mengutip BJ Boland, seandainya rumusan ini yang ditawarkan Presiden Soekarno
ke Konstituante besar kemungkinan dapat diterima oleh kelompok Islam.172
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, ujar Anwar Harjono, sila
‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dalam Pancasila memiliki makna tauhid karena
terikat pada Piagam Jakarta yang menjadi ‚jiwa‛-nya.173 Maka pada batas minimal,
adanya konsideran tersebut telah mengikat Pancasila pada ajaran Islam, dan
mencegahnya dari tafsir yang mistis, panteis, sekularistik, bahkan anti agama. Hal
ini tidak lepas dari kenyataan adanya keragaman tafsir Pancasila (khususnya sila
pertama) dari para pendukung Pancasila di Konstituante. Dari sekian banyak
tafsiran itu, para pendukung Pancasila dalam Konstituante memiliki pemahaman
yang tidak sama terhadap Pancasila, khususnya sila pertama. Dari sekian banyak
tafsiran, hanya M Hatta dan Arnold Mononutu yang menyatakan sila pertama
sebagai pokok dari Pancasila dan merupakan sumber moral-etik bagi sila-sila
lainnya.174
Sementara yang lainnya menafsirkan Pancasila, dan khususnya sila pertama,
secara panteistik seperti penafsiran Wongsonegoro atau teosofis seperti yang
dinyatakan Sudjatmoko. Ada juga yang mistik, sekularistik, bahkan
menafsirkannya sebagai ‚kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak
beragama‛ atau ‚kebebasan untuk melakukan propaganda anti agama‛
sebagaimana yang diungkapkan tokoh-tokoh PKI.175 Mengunci sila ‚Ketuhanan
Yang Maha Esa‛ pada tafsir tauhid itu menjadi keberhasilan minimal politik Islam
di Indonesia.
Lebih dari itu, Dekrit itu juga membuka peluang bagi pembuatan peraturan
perundang-undangan yang berdasar pada ajaran Islam. Ini juga keberhasilan lain
dari perjuangan politik Islam. Di sini Harjono mengutip jawaban Perdana Menteri
H Djuanda atas pertanyaan anggota DPR Ahmad Sjaichu:
‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dalam Pembukaan UUD 1945, dapat diberikan arti
‚ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam,‛
sehingga dengan dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk
agama Islam yang disesuaikan dengan syariat Islam. 176

172
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, terutama Bagian Kedua
poin 6.
173
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr. Anwar
Harjono, SH, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 345
174
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 214
175
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 207-208.
176
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 345-346. Jawaban tertulis
Perdana Menteri H Djuanda atas pertanyaan anggota DPR tersebut termuat dalam Surat
No 9761/59 Tanggal 25 Maret 1959, perihal ‚Pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam

36
Dengan demikian, perjuangan politik Islam di Indonesia tidak sepenuhnya
‚gagal‛ sebagaimana yang disimpulan Effendy di atas. Pada aspek tertentu politik
Islam di Indonesia justru berhasil mendapatkan sesuatu yang dekat dengan cita-cita
politiknya. Jika pada kasus pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta di PPKI
sikap realistik kelompok Islam berhasil mencegah disintegrasi negara yang baru
lahir, maka pada kasus Konstituante, sikap idealis-realistik kelompok Islam
berhasil ‚memaksa‛ Soekarno untuk mengakomodasi aspirasi politik Islam dengan
membuat dekrit yang merangkul Piagam Jakarta. Pada momen ini secara minimal
politik Islam telah berhasil mencegah Pancasila berwarna sekular sebagaimana
yang diinginkan oleh sebagian kelompok pendukung Pancasila di Konstituante, dan
lebih dari itu, juga memberi peluang bagi pembuatan perundang-undangan yang
bersumber dari syariat Islam bagi umat Islam, meski secara formal Indonesia bukan
negara Islam.
Politik Islam memang tampak ‚gagal‛ menjadikan Indonesia secara formal
menjadi negara berdasar Islam. Tetapi ini merupakan sebuah kewajaran yang
terjadi pada setiap proses tawar-menawar politik. Dalam proses seperti ini tiap-tiap
pihak yang terlibat harus sedia berkorban demi tercapai konsensus bersama.
Mereka pun dituntut untuk mengurangi ‚harga aspirasi politik‛-nya. Ternyata,
sebagaimana terlihat dari penjelasan di atas, kelompok politik Islam di Indonesia
bersedia mengendurkan aspirasi politiknya tanpa mengorbankan idealitas cita
politik yang diyakininya.
Memperhatikan hal-hal di atas, sesungguhnya kategorisasi Abdillah tersebut
masih bisa digunakan untuk memotret karakteristik politik Hamka, dan aktor
politik Islam di Indonesia lainnya, namun harus tetap memperhatikan kekhasan ini:
idealisme-realistik. Karakter ini juga sekaligus mengoreksi kesimpulan Abdillah
tentang kelompok idealis yang dinilainya cenderung absolutis, eksklusif, dan
minim orientasi kebangsaan. Di sini penelitian ini ingin menyatakan bahwa tidak
semua kelompok yang memiliki orientasi politik integrasi agama-negara bersifat
absolutis, eksklusif, dan lebih kuat komitmen keagamaannya daripada
kebangsaannya.

rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945‛, yang ditujukan kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat. Lihat Departemen Penerangan RI, Kembali Kepada Undang-Undang
Dasar 1945, Penerbitan Chusus 48-56-58.

37
BAB III
RIWAYAT HIDUP HAMKA

Manusia dan sejarah merupakan dua hal yang saling memberi pengaruh.
Manusia menjadi pembentuk sejarah, namun di saat bersamaan, sejarah juga
membentuk manusia. Demikian pula yang terjadi pada diri Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (HAMKA). Sebagai ulama dan pemikir dia telah memberikan
warna bagi sejarah intelektual dan pergerakan Islam di Indonesia, khususnya
Indonesia abad ke 20 M. Namun keberadaan Hamka juga dibentuk oleh situasi
historis yang melingkupinya.
Pada bab ini akan diuraikan biografi politik Hamka, serta variabel-variabel
yang memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan pribadi dan
intelektualnya sehingga dia bisa hadir sebagai salah satu pelaku penting dalam
sejarah Islam di Indonesia.
A. Nasab dan Keluarga Hamka
Hamka lahir di kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Maninjau,
Sumatera Barat pada Ahad 13 Muharram 1326 H atau 16 Februari 1908 M.177
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Syekh Dr H Abdul Karim Amrullah
(wafat tahun 1945 M) bin Syekh Muhammad Amrullah (Tuanku Kisai/Fakih Kisai,
lahir Kamis 6 Rajab 1256 H wafat 2-3 Rabi’ al-Awwal 1325 H/1907 M) bin
Tuanku Abdulla h Saleh (Tuanku Syekh Guguk Batur). Abdullah Saleh
merupakan murid dan menantu dari Syekh Abdullah Arif (Tuanku Pariaman).
Saleh menikah dengan Siti Saerah, putri Tuanku Pariaman. Tuanku Pariaman
sendiri merupakan tokoh perjuangan Paderi yang memimpin perlawanan di daerah
Lawang dan Andalas.178 Jalur nasab ini menunjukkan keluarga Hamka secara turun
temurun merupakan tokoh dan pejuang agama.
Kakek Hamka (Tuanku Kisai) belajar agama pertama kali pada ayahnya
(Abdullah Saleh). Pada umur 14 tahun Tuanku Kisai melanjutkan belajar kepada
kakeknya (Tuanku Pariaman) hingga umur 26 tahun. Dari kakeknya itu Tuanku
Kisai mendapatkan ijazah untuk mengajarkan Ilmu Tafsir, Fikih, Tasawuf, Nahwu,
Sharaf, Mantik, Ma’ani, Bayan dan Badi’. Tuanku Kisai juga menyebarkan ajaran
tarekat ke negeri-negeri sekitar Danau, Bukittinggi, dan Banuhampu.179 Selain itu,
Tuanku Kisai pun pergi ke Arab belajar pada Sayid Zaini Dahlan dan Syekh
Muhammad Hasbullah. Di antara teman belajarnya adalah Syekh Ahmad Khatib
dan Syekh Thahir Djalaluddin. Di Makkah dia menerima ijazah Tarekat
Naqsyabandiyah. Tuanku Kisai menikah delapan kali dan memiliki 46 anak, 15
anak di antaranya anak laki-laki. Salah satunya adalah Muhammad Rasul (Haji

177
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani. 2018), h. 5-7
178
Lihat secara rinci di Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim
Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, (Jakarta: Umminda, 1982), h.
khususnya bagian II. Gelar ‚H (Haji)‛ di awal nama HAMKA disematkan setelah ia
menunaikan ibadah haji yang pertama di tahun 1927.
179
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 40-42

38
Rasul) atau yang dikenal sebagai Dr H Abdul Karim Amrullah (HAKA), ayah dari
Hamka. 180
Haji Rasul lahir pada Ahad 17 Safar 1296 H (10 Pebruari 1879 M) di
kampung Kepala Kabun, Jorong Betung Panjang, nagari Sungai Batang, Maninjau,
dari pasangan Tuanku Kisai - Tarwasa. Rasul pertama kali belajar membaca al-
Qur’an kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Samnun pada usia 10 tahun.
Kemudian belajar menulis huruf Arab kepada Adam (anak Tuanku Said). Pada
umur 13 tahun Rasul mulai belajar Nahwu dan Sharaf kepada ayahnya. Kemudian
belajar kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan Tafsir Jalalain kepada
Tuanku Sutan Muhammad Yusuf di Sungai Rotan. Pada tahun 1312 H (1894 M),
Haji Rasul berangkat ke Makkah untuk belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi. Haji Rasul juga belajar kepada Syekh Abdullah Jamidin, Syekh
Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid
Jeddah, Syekh Sa’id Yaman, Syekh Yusuf Nabhani pengarang kitab al-Anwar al-
MuhammadiyahError! Reference source not found.. Dalam beberapa hal ia juga
belajar kepada Syekh Muhammad Jamil Jambek dan Syekh Thahir Djalaluddin.181
Berbeda dengan Syekh Amrullah yang berpegang pada adat dan
menyebarkan tarekat, Syekh Abdul Karim Amrullah menjadi pengritik keras adat
istiadat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tentu saja tarekat juga
menjadi sasaran kritiknya. Di kemudian hari dia menjadi salah satu pelopor
gerakan pembaharuan di Sumatera di abad ke 19- awal abad ke 20. Haji Rasul
sempat mengajar di Makkah beberapa saat lamanya. Dia juga sempat diminta
menjadi guru bagi Sultan Ternate. Namun karena urusan keluarga, dan atas
permintaan ayahnya, dia pun kembali pulang ke Minangkabau.182
Abdul Karim Amrullah menikah dengan Raihanah binti H Zakaria, dan
mempunyai dua orang anak: Fathimah dan seorang anak laki-laki yang meninggal
dunia sehari setelah kelahirannya di Makkah. Raihanah juga meninggal dunia di
sana lima bulan setelah melahirkan putranya itu. Haji Rasul kemudian menikah
lagi dengan adik istrinya, Syafiah. Pada Ahad malam Senin 13 Muharram 1326 H/
16 Pebruari 1908 M Syafiah melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Abdul
Malik. Perihal nama ini Hamka menulis, ‚nama Abdul Malik itu diambilnya dari
nama anak gurunya, Syekh Ahmad Khatib di Mekkah, yang bernama Abdul Malik
pula, yang di zaman pemerintahan Syarif Husain di Makkah, pernah menjadi Duta
Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir.‛183
Pada 5 April 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan
yang saat itu berusia 15 tahun. Umur Hamka saat itu 21 tahun. Mereka memiliki

180
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 43-47
181
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h.53-56
182
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 58-62
183
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup..., h. 63-64; Hamka, Kenang-kenangan Hidup...,
h. 5-6; James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia
Modern, penerjemah Zia Anshor, (Jakarta: Gramedia, 2017), h. xxxiv. Namun Rusydi
Hamka kurang tepat menulis tahun lahir Hamka. Rusydi Hamka menulis ayahnya
dilahirkan tahun 1325 H. Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka,
(Jakarta: Noura, 2016), h. 3

39
10 orang anak. Belum termasuk 2 anak yang meninggal di waktu kecil dan 2 lagi
keguguran.184 Anak pertama, Hisyam, meninggal di usia 5 tahun. Anak kedua,
Zaky, lahir di Makassar. Ketiga, Rusydi, lahir di Padang Panjang tahun 1935.
Kemudian lahir Fakhri, Azizah, Irfan, dan Aliyah di Medan. Lalu Fathiyah lahir di
Padang Panjang. Setelah pindah ke Jakarta pada Januari 1950, lahirlah Hilmi (lahir
10 April 1950), Afif (1952), dan Amir Shaqib Arselan (Syakib) pada 1955.185
Istri Hamka meninggal pada 1 Januari 1972 setelah mengidap sakit
komplikasi. Usianya saat itu 58 tahun. Atas desakan anak-anaknya Hamka
kemudian menikah lagi dengan wanita asli Cirebon, Siti Khadijah, pada Agustus
1973. Tentang pernikahannya itu Hamka menyatakan: ‚Kalau almarhumah Ummi
dulu dikatakan sebagai obat hati ayahku, karena aku mengawininya saat ayahku
dalam duka cita. Maka, Ibu Khadijah ini adalah obat hati anak-anakku, karena
duka cita kami ditinggalkan Ummi.‛186
B. Perkembangan Pribadi dan Intelektual Hamka
Fachry Ali menyebut beberapa variabel yang mempengaruhi Hamka di masa
kecil dan memberi warna hingga dewasa, yaitu: Pertama, peran sosial dan harapan-
harapan ayahnya terhadap Hamka; Kedua, kampung tempat dia dilahirkan; dan
ketiga, asimilasi ‚adat-Islam‛ yang mempengaruhi masyarakat Minangkabau.187
Sebenarnya bukan hanya ayahnya yang memberikan pengaruh besar pada diri
Hamka, HOS Tjokroaminoto juga memiliki tempat istimewa baginya. Tentang dua
orang ini Hamka menyatakan: ‚Syukurlah, karena di permulaan jalan, ayahnya
telah membawanya ke dalam kehidupan agama dan gurunya, Tjokroaminoto, telah
menunjukkan jalan berkhidmat kepada bangsa.‛188
Perjalanan intelektual Hamka dimulai dari keluarga dan surau. Ia pertama
kali belajar membaca huruf hijaiyah dari ayahnya. Kemudian kakaknya, Fatimah,
turut mengajarinya membaca al-Qur’an dan doa-doa shalat. Pada usia tujuh tahun
Hamka belajar di Sekolah Desa di Guguk Malintang, Padang Panjang. Ketika
Zainuddin Labay El Yunusy membuka Diniyah School pada 1916, Hamka pun ikut
belajar di sana. Ia kemudian keluar dari Sekolah Desa dan masuk ke Sumatera
Thawalib, dengan tetap melanjutkan belajar di Diniyah School. Perceraian orang
tuanya sempat mempengaruhi psikologinya. Hamka pun terombang-ambing. Saat
itu dia berusia 12 tahun. Atas perintah ayahnya, Hamka pun dibawa sang paman,
Engku Muaro, kepada Syekh Ibrahim Musa di Parabek untuk belajar.189
184
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 5, 26-27, dan 30; Yanuardi Syukur
dan Arlen Ara Guci, Buya Hamka: Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Solo: Tinda
Medina, 2017), h. 23-24
185
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 31-37; Yanuardi Syukur dan Arlen Ara
Guci, Buya Hamka: Memoar..., h. 25; Irfan Hamka, Ayah…, (Jakarta: Republika, 2013), h.
37-38; James R Rush, Adicerita Hamka..., 66-67
186
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 46-49
187
Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan
Riwayat dan Perjuangannya,‛ dalam Prisma, No 2, Tahun XII, Pebruari 1983, h. 50
188
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 172
189
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 22-51; Yanuardi Syukur dan Arlen Ara
Guci, Buya Hamka: Memoar..., h. 5-8 dan 12

40
Hamka belajar tentang ilmu-ilmu Islam kepada ayahnya, Haji Abdul Karim
Amrullah (HAKA) yang disebutnya sebagai ‚laksana lautan yang tidak pernah
kering airnya‛.190 Ayahnya pula yang memperkenalkan Hamka pada Muhammad
Abduh dan Tafsi>r al-Mana>r.191 Abdurrahman Wahid menjelaskan, dari didikan sang
ayah ini Hamka menguasai semua bidang-bidang ilmu keislaman secara
menyeluruh, ‚baik menyangkut ‘materi inti’ berupa ajaran-ajaran agama itu sendiri
dalam berbagai pembidangannya‛ maupun ‚metode-metode yang digunakan untuk
memahami ke semua materi itu dan menyusunnya ke dalam sebuah disiplin
tunggal.‛ Karena itu, tegas Wahid, pengetahuan Hamka tentang Islam sudah bulat,
utuh, dan begitu meyakinkan sehingga ‚terserah Buya Hamka sendiri akan
diapakan.‛ 192
Ayah Hamka sebagai pembentuk sistem lingkungan sosial merupakan salah
seorang pemimpin Kaum Muda sering menyerang paham dan tradisi keagamaan
yang berkembang saat itu.193 Didikan sang ayah dan guru-gurunya yang tergolong
Kaum Muda tersebut memberikan pengaruh dalam corak keagamaan dan pemikiran
Hamka di kemudian hari. Cara berfikir yang terbuka, rasional, mandiri, dan tidak
terikat pada pendapat tokoh tertentu (taklid) diwariskan ayahnya kepada Hamka
dan terbawa hingga dewasa.194 Meski demikian, penekanan pada rasio tidak
membuat Hamka terperosok pada pengabaian atas teks-teks agama, sebagaimana
yang disimpulkan Yunan Yusuf.195 Karakter pemikiran seperti ini lebih lanjut
diasah secara mandiri lewat bacaan-bacaannya yang kaya dan beragam, serta
pengalamannya bergaul dengan banyak tokoh pemikir dan pergerakan ketika itu.
Belajar sendiri (otodidak) menjadi jalan yang ditempuh Hamka. Saat belajar
pada El Yunusy ia lebih suka membaca buku-buku di tempat penyewaan buku yang
didirikan gurunya itu. Begitu pun ketika di Parabek, Hamka lebih banyak membaca
surat kabar dan buku-buku roman. Di sini dia sudah membaca surat kabar Cahaya
Sumatra, Sinar Sumatra, dan Hindia Baru pimpinan H Agus Salim.196 Di kemudian
hari setelah kembali dari Jawa, daftar surat kabar yang dibacanya semakin
bertambah dengan berlangganan Bendera Islam dan Seruan Azhar pimpinan
Mokhtar Luthfi dan Ilyas Ya’qub. Dari Seruan Azhar ini Hamka banyak
memperoleh informasi tentang dunia Islam secara global, seperti yang terjadi di
Turki dengan Mustafa Kemal, kemenangan Ibnu Saud di Hijaz, Saad Zaghlul Pasha

190
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h.112
191
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 60
192
Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah
Pengantar,‛ dalam Nasir Tamara, dkk. (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 30.
193
Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...,‛ h. 50
194
Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Minangkabau, dan Indonesia,‛ dalam Afif
Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 23
195
Lihat M Yunan Yusuf, ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah
Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1989
196
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 51

41
di Mesir, juga pergerakan Islam di Jawa.197 Saat memimpin Pedoman Masjarakat
di Medan, Hamka juga terus mengikuti perkembangan kesusastraan, kebudayaan,
dan pemikiran di Timur Tengah, khususnya Mesir, saat itu melalui buku-buku
berbahasa Arab.198
Di usia belasan itu pula Hamka telah membaca buku-buku berbahasa Melayu
asli dan terjemahan dari bahasa-bahasa asing. Usia belum sepuluh tahun dia sudah
membaca buku Hikayat Bakhtiar, Hikayat si Miskin, dan Hikayat Panji Semirang.
Dia juga sudah membaca beberapa buku terjemahan karya Shakespeare, dan karya
Mustafa Luthfi al-Manfaluthi, Shadiq ar-Rafii, Zaki Mubarak, Hafiz Ibrahim,
Syauqi Beiy, dan Khalil Mathran, dalam bahasa aslinya.199 Begitu pula ketika
Hamka pergi ke Makkah pertama kali. Selain berhaji, di sana dia banyak
mengakses buku-buku yang didapatkannya di percetakan tempat dia bekerja. Salah
satu buku yang dibacanya saat di percetakan ini adalah al-Siyasat al-`Usbu’iyah.200
Hamka juga sering bepergian ke berbagai tempat untuk belajar kaba (cerita-
cerita yang dibaca dengan iringan musik) dan berpidato dari para tetua adat dalam
berbagai kegiatan adat, belajar pantun dan silat pada kakeknya di pihak ibu.
Pantun-pantun ini banyak memberi warna pada karya-karya Hamka.201 Beberapa
kaba yang dinikmati Hamka sewaktu kecil adalah Kaba Malin Deman, Kaba Si
Murai Randin, Kaba Sutan Lembak Tuah, Kaba Rajo Unggeh Layang, Kaba Nan
Tunggal Megat Jabang, dan Kaba Cindur Mata.202
Penguasaan bahasa Arab yang baik membuat Hamka bisa memperdalam
berbagai disiplin keilmuan Islam, hingga Abdurrahman Wahid menyatakan,
‚Pengetahuannya tentang Islam sudah bulat dan meyakinkan...‛.203 Bahasa Arab
pulalah yang membantunya bisa mengakses pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh
besar Barat, meski tidak menguasai bahasa Belanda dan Inggris secara baik,
melalui buku-buku yang diterjemahkan ke bahasa Arab. ‚Jika pengarang-pengarang
atau wartawan-wartawan lain di masa itu mengambil ilham dari kesusastraan
Barat, terutama kesusastraan Belanda, kawan kita mendalami kesusastraan Arab,
puisi atau prosa-nya,‛ ujar Hamka mengaku.204 Yunan Nasution menceritakan,
Hamka memiliki buku Whither Islam karya H.A.R Gibb versi terjemahan bahasa
Arab Wijhatul Islam.205 Meski demikian, seringkali dia kurang tepat menuliskan

197
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 65-66
198
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 170
199
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 161-163
200
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 86
201
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxv-xxxvi; Yanuardi Syukur dan Arlen
Ara Guci, Buya Hamka: Memoar..., h. 9-15
202
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 145
203
Lihat Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah
Pengantar,‛ dalam Nasir Tamara, dkk. (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 30
204
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 162
205
Yunan Nasution, ‚Hamka Sebagai Pengarang dan Pujangga,‛ dalam Solichin
Salam, Kenang-kenangan 70 tahun..., h. 26. Lihat juga James R Rush, Adicerita Hamka...,
h. 5

42
nama tokoh pemikir Barat yang dikutipnya.206 Mun’im Sirry memberikan contoh
kekurangtepatan penulisan nama pemikir Barat dalam Tafsir al-Azhar. Di situ
Hamka menulis Adam Clark seharusnya Adam Clarke, Thomas Horn seharusnya
Thomas Horne.207 Menurut Rush, kesalahan tulis tersebut karena memang Hamka
menulis terlalu cepat, tergesa-gesa, dan sesekali semberono.208
Dalam hal ini pengaruh pemikiran Kaum Muda membawa Hamka untuk
menelaah karya-karya pembaharu Islam dari Timur Tengah. Gagasan pembaharuan
al-Afghani, Abduh, atau Rashid Rid}a> tampak mewarnai tulisan-tulisan Hamka.
Pengaruh itu terlihat setidaknya dalam Tafsir al-Azhar, seperti yang diungkap
Abdul Manan Syafi’i, Kevin W Fogg, dan Fachry Ali.209
Dalam konteks perkembangan intelektualitas Hamka, Yogyakarta dan
Medan menjadi dua kota yang memberikan arti penting baginya. Fachry Ali
menyebut, di Yogyakarta Hamka memperoleh kesadaran tentang Islam sebagai
sesuatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis.
Sementara Medan menjadi wadah bagi Hamka untuk mengembangkan bakat
intelektualnya, di mana dia dapat mengaktualkan potensi-potensi alamiahnya
sebagai seorang ulama-intelektual, dan intelektual-ulama. 210 Di Medan pula
Hamka secara intens terlibat dalam gerakan politik bersama Jepang karena percaya
pada janji kemerdekaan yang dijanjikannya. Tentu saja dengan kemampuannya
sebagai mubaligh dan penulis/wartawan.211
Kepergiannya ke Jawa pada tahun 1924, ketika usianya 15 tahun,
memberikan pengalaman mengesankan pada diri Hamka. Di Yogyakarta Hamka
sempat belajar tafsir Baidhawi pada Ki Bagus Hadikusumo. Di sini Hamka
menemukan metode pengajaran tafsir yang berbeda dari yang didapatkannya saat
belajar di Padang.212 Selain itu Hamka juga mengikuti kursus kaderisasi Sarikat
Islam (SI). Di sini Hamka belajar sosialisme pada Tjokroaminoto, sosiologi pada
RM Suryopranoto, dan agama Islam pada H Fakhruddin. Di Yogya Hamka sempat
mengikuti rapat pertama pendirian Jong Islamieten Bond dan mendengarkan
pidato Syamsu Rijal dan Kadhool. Juga ceramah Dr Sumowidagdo tentang tafsir
Surat al-Fatihah. Setelah dari Yogya, Hamka tinggal di Pekalongan selama 6
bulan. Di bawah bimbingan kakak iparnya yang tokoh Muhammadiyah, AR Sutan

206
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxv-xxxvi.
207
Lihat Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-
Qur’an Terhadap Agama Lain, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 189-190
208
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 5-6
209
Abdul Manan Syafi’i, ‚Pengaruh Tafsir al-Manar Terhadap Tafsir al-Azhar‛,
dalam Miqot, vol. XXXVIII, no 2, Juli-Desember 2014, h. 263-275; Kevin W Vogg,
‚Hamka’s Doctoral Address at Al-Azhar: The Influence of Muhammad Abduh in
Indonesia‛, Afkaruna, vol. 11, No 2, 2015, h. 125-126; Fachry Ali, ‚Hamka dan
Masyarakat...‛, h. 50-51
210
Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 53-56
211
Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 57
212
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 60

43
Mansur, Hamka merasa pengetahuan keagamaannya telah diberi ‚jiwa‛ oleh
iparnya itu.213 ‚Jiwa‛ yang dimaksud Hamka adalah ‚intisari perjuangan Islam‛.214
Tokoh lain yang turut memperkaya intelektualitas Hamka adalah H Agus
Salim. Hamka mengakui, sejak remaja dia sudah membaca buku-buku yang
diterjemahkan oleh tokoh SI itu. Tulisan H Agus Salim yang bergaya bahasa
lembut, dengan alunan Minang, telah meresap dalam jiwanya.215 Salim tidak hanya
mewarnai pribadi dan intelektualitas Hamka melalui tulisan-tulisannya saja,
namun juga melalui pertemuan langsung layaknya guru murid. Tentang H Agus
Salim ini Hamka mengenang:
Sampai bertahun-tahun kemudian apabila pikirannya tertumbuk, terutama ketika dia
hendak melepaskan dahaganya tentang falsafah Islam yang mendalam, dia datang
kepada pemimpin besar itu. Tidak bosan ia mendengarkan ucapannya sejam dua
jam, tentang tauhid, falsafah, tasawuf, dan politik. Orang tua itu pandai pula
menawan hatinya....216
Tinggal selama hampir setahun di Jawa dan belajar pada tokoh-tokoh
pergerakan Islam saat itu, begitu memberi kesan pada diri Hamka dan memberinya
perspektif baru tentang Islam. Tentang hal ini Hamka menceritakan,
.… Dari pemimpin-pemimpin itulah dia mengetahui bahwa Islam sebagai suatu yang
hidup. Dari merekalah dia tahu bahwa Islam adalah satu perjuangan, satu pendirian
yang dinamik. Apatah lagi setelah dilihatnya perbedaan yang jauh sekali, antara
Islam yang hidup di Minangkabau dengan di Jawa, terutama di Yogya.217
Pandangan baru tentang Islam itu membawa Hamka untuk aktif di dunia
pergerakan, dan di titik ini pula Hamka berbeda dengan ayahnya. Jika ayahnya
lebih fokus dalam berdakwah, dan enggan memasuki dunia politik praktis, Hamka
tidak merasa tabu terlibat dalam pergerakan politik, meski dia mengaku
sebenarnya itu bukan dunianya.
Selain faktor lingkungan sosial-kultural, kondisi geografis Minangkabau –
khususnya Maninjau- juga mejadi guru yang turut membentuk pribadi Hamka.
Lingkungan alam ini disebut Fachry Ali sebagai salah satu variabel yang
mempengaruhi perkembangan intelektual dan kepribadian Hamka. ‚Alam
sekitarnya yang sangat indah mempengaruhi daya imajinasi Hamka,‛ tulis Fachry
Ali.218 Keindahan Maninjau dengan danaunya yang luas, hamparan sawah, dan di
kelilingi pegunungan telah mengasah jiwa Hamka sejak kecil. Sopan santun,
kehalusan budi dan rasa, dan kekayaan bahasa Hamka diasah dari keindahan alam
Minangkabau itu.219 Ini menjadi salah satu variabel pengasah jiwa seni Hamka, dan
dari sini pula dapat dipahami kenapa Hamka ketika dewasa begitu mudah
memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya. Hamka memberikan gambaran
tentang keindahan alam Minangkabau yang inspiratif itu:

213
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 60-64
214
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 112
215
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 162
216
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 93
217
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 56-64
218
Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat...‛, h. 52
219
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 139

44
Dia sendiri adalah anak Minangkabau, lahir di desa atau kampung terpencil, di tepi
Danau Maninjau. Danau Maninjau sendiri terkenal indah dan menyayukan hati; di
sana, danau berpagar gunung, warna biru dari gunung dan bukit bertukar menjadi
warna danau di kala tidak ada angin yang menyebabkan riak. Seluruh alam
Minangkabau indah dengan pagar gunungnya: Merapi, Singgalang, Tandikat, Sago,
Talang Pasaman, Talaman, dan Kerinci! Pantai Lautan Hindi di sebelah barat
disebut Bandar Sepulug. Bagi Tuan Haji Kita, Pantai Bandar Sepuluh itu lebih indah
daripada Pantai Riviera di Eropa.220
Setelah kembali dari Jawa Hamka terlibat dalam mendirikan Tabligh
Muhammadiyah di Padang Panjang. Hamka semakin jauh terlibat dalam
Muhammadiyah ketika ia menjadi pendamping kakak iparnya, AR Sutan Mansur,
yang bertugas menjadi muballigh Muhammadiyah di Sumatera Barat. Pasca
Kongres Muhammadiyah ke 18 tahun 1928 di Solo, Hamka masuk ke jajaran
pimpinan Muhammadiyah Padang Panjang sebagai ketua bagian Taman Pustaka,
ketua Tabligh, hingga menjabat sebagai ketua cabang.221 Kemampuan pidato dan
keaktifannya membantu penyebaran Muhammadiyah di Sumatera mengantarkan
Hamka menjadi muballigh Muhammadiyah di Makassar pada 1931. Tugas
utamanya adalah menyiapkan Kongres Muhammadiyah ke 21 pada Mei 1932.
Tahun 1933 ia kembali ke Padang Panjang dan setahun kemudian menjadi Anggota
Tetap Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Ketika pindah ke Medan pada
Januari 1936 karena pekerjaan, Hamka tetap aktif di Muhammadiyah. Dia pun
sempat menjabat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur pada 1942-
1945.222 Selain aktif di Muhammadiyah, Hamka juga terlibat dalam kelompok
diskusi Ikhwanus Shafa yang terdiri tokoh-tokoh intelektual Medan seperti H
Abdul Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, Rahim Haitami, Abdurrahman Syihab,
Bustami Ibrahim, dan Teuku M Hasan. Hamka juga terlibat dalam Lembaga
Bahasa Indonesia.223
Keberadaannya sebagai pimpinan Muhammadiyah dan popularitasnya
sebagai penulis dan wartawan Pedoman Masyarakat membuat Hamka sering
bersentuhan dengan urusan sosial dan politik. Gesekan antara Muhammadiyah
dengan kelompok tradisi yang didukung kalangan penguasa kesultanan, mengasah
kemampuan diplomasi dan berpolitik Hamka. Kemampuan ini semakin terasah
ketika terjadi perang antara Belanda dengan Jepang. Dengan strategi ‚komidi
putar‛ yang dimainkannya, Hamka pun bergabung dalam pemerintahan Jepang di
Sumatera Timur.224
Ketika Jepang kalah oleh Sekutu, strategi ini ternyata menjerumuskan
dirinya karena dianggap sebagai kolaborator Jepang, dan memberikan bekas
traumatik pada diri Hamka. Namun demikian Hamka mampu bangkit untuk

220
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 134
221
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 4-5. Untuk sejarah perkembangan
Muhammadiyah di Sumatera Barat lihat Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau,
(Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1974).
222
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 5-6
223
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 189-120
224
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., terutama bagian ketiga

45
mengambil peran penting dalam pergerakan keagamaan dan kemerdekaan di
Sumatera. Setelah pindah ke Sumatera Barat pada Desember 1945, Hamka terpilih
sebagai Ketua Majelis Pemimpinan Muhammadiyah daerah itu dalam Konferensi
pada Mei 1946. Hamka juga terlibat dalam partai Masyumi dan Front Pertahanan
Nasional (FPN). Dalam FPN dia menjabat sebagai ketua. Posisi ini membuat
Hamka harus sering berkunjung ke daerah-daerah di Sumatera Barat untuk
membangkitkan semangat juang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan.225
Karir Hamka di Muhammadiyah terus menanjak. Dalam Kongres ke 32 di
Purwokerto pada 1953, dia terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Dia kembali terpilih dalam Kongres di Palembang, Yogyakarta,
Makassar, dan Padang. Pada Kongres di Makassar tahun 1971, Hamka tidak
bersedia dipilih kembali karena alasan usia dan kesehatan. Namun dia diberikan
posisi sebagai penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan ini tetap
diembannya hingga meninggal dunia.226 Sementara itu aktivitas politik Hamka
terus berlanjut di Masyumi. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Hamka maju
mewakili Masyumi untuk daerah Jawa Tengah dan terpilih sebagai anggota
Konstituante. Meski tidak begitu menonjol Hamka sempat memberikan peran
penting di partai ini. Ia pernah memberikan pidato di Konstituante mewakili
fraksinya. Keaktifannya di Masyumi membuat dia harus mundur dari pegawai
negeri di Departemen Agama.227
Beberapa waktu sebelum Masyumi dibubarkan oleh pemerintah Orde Lama,
Hamka mulai fokus di kegiatan dakwah. Ini pilihan realistis yang diambilnya di
tengah situasi politik yang totaliter, di mana kekuatan politik pro-demokrasi yang
dimainkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengalami tekanan luar
biasa dari rezim Demokrasi Terpimpin dan pengaruh PKI yang semakin dominan.
Hamka pun menjadi imam Masjid Agung al-Azhar Kebayoran. Di sini dia
menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Juli 1959-Agustus 1960) dan Gema Islam
(1962). Pada 1964 Hamka ditangkap dan menjadi tahanan politik pemerintahan
Orde Lama hingga 1966. Setelah keluar dari penjara Hamka makin intensif
berdakwah melalui Masjid Al-Azhar. Dia juga kembali menerbitkan Panji

225
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., terutama bagian keempat
226
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 6-7
227
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 8. Pada 27 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluaran Peraturan Presiden RI No 2 Tahun 1959 Tentang Larangan
Keanggotaan Partai Politik Bagi Pejabat Negara Republik Indonesia. Di Perpres itu
disebutkan bahwa pegawai Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah golongan F yang
digaji dari PGPN 1955, semua anggota Angkatan Perang dan Kepolisian Negara, anggota
direksi/pimpinan/staf pada badan-badan usaha/yayasan-yayasan/perusahaan-
perusahaan/lembaga-lembaga negara harus mengunduran diri dari keanggotaan di partai
politik, dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah berlakunya Perpres tersebut. Jika dalam
jangka waktu tersebut tidak mengundurkan diri maka akan diberhentikan secara terhormat.
Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaja (No 23 Th.
1959-LN 1959/139-TLN 1908) dan Peraturan-Peraturan Jang Berhubungan Dengan
Itu,diterbitkan oleh Inspektorat Djenderal Territorial dan Perlawanan Rakjat, 1959, h. 97-
101.

46
Masyarakat pada 1967. Hamka kemudian diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pertama pada 1975 hingga 1981. Pada 24 Juli 1981 Hamka
meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Dua bulan sebelumnya (18 Mei 1981)
Hamka mengundurkan diri dari Ketua MUI karena peristiwa fatwa haram bagi
umat Islam mengikuti perayaan natal.228 Pilihan Hamka untuk berjuang melalui
dakwah ini pun ‚diikuti‛ oleh rekan-rekannya eks pengurus Masyumi pasca
kegagalan rehabilitasi Masyumi dan pembatasan politik oleh rezim Orde Baru.
C. Karya-karya Hamka
Jejak kepenulisan Hamka dimulai pada 1925 ketika dia membuat majalah
Khatibul Ummah berisi kumpulan pidato. Buletin ini sempat terbit tiga edisi.229
Setelah kembali dari hajinya yang dramatik pada 1927, Hamka menuliskan kisah
perjalanannya itu dan dimuat di harian Pelita Andalas di Medan. Edisi 13 Agustus
menjadi awal baginya menggunakan nama HAMKA. Tahun 1928 Hamka menulis
novel Si Sabariyah dalam bahasa Minangkabau dan beraksara Arab Jawi. Tahun
1929 ia menulis buku tentang sejarah Abu Bakar Shiddiq, tentang dakwah, tentang
agama dan perempuan, serta beberapa tentang adat Minangkabau.
Karir kepenulisan Hamka berlanjut dengan menerbitkan majalah Kemauan
Zaman pada 1929. Saat bertugas sebagai muballigh Muhammadiyah di Makassar
1931-1933 Kemauan Zaman cuma terbit tiga edisi. Sementara Al-Mahdi terbit
hingga 9 edisi. Dia juga menjadi koresponden untuk majalah Pembela Islam yang
terbit di Bandung.230 Hamka juga mengirim artikel-artikelnya ke beberapa majalah
seperti Seruan Islam di Pangkalan Brandan, Nibras, Bintang Islam, dan Suara
Muhammadiyah di Yogyakarta.231 Sejak 22 Januari 1936 hingga 13 Maret 1942
Hamka menjadi pimpinan redaksi majalah Pedoman Masyarakat di Medan. 232
Pedoman Masyarakat menjadi momen Hamka dikenal sebagai penulis dan
ulama. Oplahnya terus meningkat hingga mencapai 4000 eksemplar. Sangat besar
untuk saat itu. Persebarannya pun meluas ke wilayah-wilayah lain di Indonesia,
bahkan ke Singapura dan Pulau Pinang Malaysia. Ini membuat nama Hamka
semakin dikenal di mana-mana. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai
hoofdredaktur Pedoman Masyarakat itu Hamka juga menulis beberapa buku, di
antaranya novel Tenggelamnya Kapal Van der Wick dan Tasawuf Modern.233
Pedoman Masyarakat dan buku-buku Hamka menjadi jembatan yang
menghubungkan persahabatan Hamka dengan Soekarno. Juga semakin
mengeratkan hubungannya dengan Haji Agus Salim yang sudah dianggap guru oleh

228
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 10-11, 245-259
229
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxvii; Hamka, Kenang-Kenangan
Hidup..., h. 251
230
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xli-xlii; Hamka, Kenang-kenangan Hidup...,
h. 121-122 dan 251. Menurut Hamka majalah-majalah itu tidak terbit lama karena
persoalan keuangan. Banyak pelanggan yang tidak membayar.
231
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 250-251
232
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 250-256
233
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 252-256

47
Hamka. Termasuk juga dengan Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, dan Isa
Anshori.234
Buah tulisan Hamka terus mengalir. Latar belakang Hamka yang agamis,
keterbukaannya pada ide-ide baru, dan keterlibatannya dalam dunia pergerakan
mewarnai tulisan-tulisannya di era Revolusi Fisik. Ketika kembali ke Sumatera
Barat dari Medan Hamka menerbitkan buku Revolusi Pikiran, Revolusi Agama,
Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Dibantingkan Ombak Masyarakat, dan
Negara Islam.235 Sebelumnnya di akhir pemerintahan Jepang dan untuk menyambut
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Hamka sempat menerbitkan buku Merdeka
(September 1949) serta Islam Dan Demokrasi (November 1949).236 Dari tulisan-
tulisan tersebut tergambar keinginan Hamka untuk mewarnai kemerdekaan
Indonesia dengan nilai-nilai keislaman. Hamka seakan menyatakan bahwa Islam
relevan untuk membangun sebuah negara merdeka yang modern. Gagasan tentang
relevansi Islam dengan politik modern ini menjadi paradigma politik Hamka yang
terus diperjuangkannya di kemudian hari.
Hamka kembali menerbitkan majalah ketika dia tinggal ke Jakarta. Bersama
KH Fakih Usman dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat pada Juli 1959.
Namun pada 17 Agustus 1960 majalah ini dibreidel oleh Presiden Soekarno karena
memuat karangan Mohammad Hatta berjudul ‚Demokrasi Kita.‛ Pada 1962
bersama dengan beberapa perwira TNI AD Letjen Sudirman dan Brigjen Muchlas
Rowi Hamka menerbitkan majalah Gema Islam. Majalah ini berhenti terbit saat
Hamka ditangkap pemerintah dengan tuduhan subversi. Setelah bebas, Hamka
kembali menghidupkan majalah Panji Masyarakat.237
Sepanjang kepindahannya ke Jakarta, banyak buku-buku yang dihasilkannya.
Buku Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai
Dajlah ditulis setelah dia kembali dari berhaji dan melawat ke beberapa negara
Arab.238 Buku 4 Bulan di Amerika ditulis setelah lawatan ke Amerika pada tahun
1952. Hamka juga sempat berpidato Pengaruh Mohammad Abduh di Indonesia
ketika dia berkunjung ke Mesir tahun 1958. Dari pidato inilah Hamka kemudian
diusulkan untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-
Azhar.239 Ada banyak tulisan-tulisan yang dihasikan Hamka. Rush mencatat sekitar
60-an judul buku Hamka. Beberapa di antaranya terdiri dari beberapa jilid, seperti
Kenang-kenangan Hidup (4 jilid), Empat Bulan di Amerika (2 jilid), Sejarah Umat
Islam (4 jilid), dan tentu saja magnum opus-nya Tafsir Al-Azhar (30 jilid).240

234
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 252-256; James R Rush, Adicerita
Hamka..., h. 79
235
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 64; Hamka, Kenang-kenangan
Hidup..., h. 458-459
236
Hamka, Kenang-kenangan Hidup..., h. 426-428
237
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 9-10
238
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 7
239
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 8-9
240
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 310-312. Beberapa buku Hamka ini kini
dicetak ulang dan digabungkan menjadi lebih ringkas. Buku Empat Bulan di Amerika
dicetak ulang menjadi 1 jilid. Demikan pula buku Kenang-kenangan Hidup dan Sejarah

48
Tulisan-tulisan Hamka banyak yang dicetak ulang dengan revisi di sana-sini, dan
seringkali dengan perubahan judul. Banyak pula tulisan-tulisannya yang semula
merupakan isi ceramah atau pidatonya, yang kemudian ditulis dan diterbitkan.
Nilai dan arti kehadiran seseorang, tulis Taufik Abdullah, harus ditempatkan
pada konteks kesejarahannya. Kehadiran orang tersebut akan dapat dipahami jika
dia ditempatkan di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam hal ini Abdullah melihat,
Hamka hadir dalam konteks masyarakat yang berubah, dari semula murni
masyarakat primordial, sebagai warisan dari nenek moyangnya, dengan hubungan
emosional yang kuat, melebar menuju ke komunitas yang ikut dibayangkan,
diperjuangkan, diciptakan, dan dipeliharanya, yaitu bangsa Indonesia, dengan pola
hubungan yang rasional. Di sini Hamka melakukan dialog dalam berbagai
intensitas emosional dan rasional dengan komunitas bangsanya tersebut.241

Umat Islam dicetak ulang menjadi 1 jilid. Tafsir al-Azhar dicetak ulang menjadi 9 jilid
tebal.
241
Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka, Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di
Indonesia,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed.), Buya Hamka, h. 5

49
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK DAN KEBANGSAAN HAMKA

Periode 1920-an dan awal 1930-an, tulis Taufik Abdullah, merupakan


‚dasawarsa ideologi‛ dalam sejarah modern Indonesia. Saat itu berbagai ideologi
mulai dirumuskan dan memberikan warna dalam perkembangan politik dan
keagamaan di Indonesia pada periode setelahnya. Di periode itu pula terjadi
perdebatan seputar strategi perjuangan kebangsaan.242 Tema utama perdebatannya
adalah seputar Islam dan kebangsaan, dan hubungan agama dengan negara. Di era
ini para inteligensia Muslim fase kedua merumuskan ideologi Islam dengan tema
besar ‚nasionalisme Islam‛ dan ‚negara Islam,‛ sebagai respons atas pemikiran
kelompok nasionalis sekular.243
Periode ideologi, menurut Kuntowijoyo, merupakan babakan kedua dari
kesadaran sejarah umat Islam, yang menjadi jembatan bagi periode mitos dan
ilmu.244 Perwujudan konkret dari periode ini adalah Pemilu tahun 1955 yang dilihat

242
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
LP3ES, 1996), h. 15.
243
Yudi Latif melihat sejarah pembentukan inteligensia Muslim di Indonesia terjadi
dalam beberapa babak. Generasi pertama terbentuk pada periode formatif di awal abad ke
20 (tahun 1900-1910-an). Isu yang dikembangkan sekitar kesejahteraan sosial dan gagasan
sosialisme Islam sebagai respons terhadap propaganda Marxisme-Sosialisme. Fase kedua
terbentuk pada tahun 1920-1930-an. pada periode ini wacana yang populer adalah tentang
nasionalisme dan negara merdeka. Rumusan wacana yang dikembangkan oleh intelegensia
Muslim periode ini adalah ‚nasionalisme Islam‛ dan ‚negara Islam.‛ Wacana ini terus
dilanjutkan pada fase ketiga yang berlangsung tahun 1940-1950-an awal. Pada periode ini
formulasi ideologi Islam yang dikembangkan adalah keseimbangan antara keislaman
dengan keindonesiaan.
Babakan pembentukan keempat terjadi pada akhir dekadi 1950-an dan tahun 1960-
an. Ada dua ideologi yang berkembang di kalangan inteligensia Muslim fase ini: ideologi
pembaharuan dan ideologi islamis (dakwah). Fase formatif kelima terbentuk pada periode
1970-an dan awal 1980-an. Di periode ini formulasi ideologi yang berkembang adalah
akomodasionisme dan rejeksionisme atas negara sekular Orde Baru. Sementara periode
1980-an dan 1990-an menjadi fase formatif generasi keenam. Ada dua formulasi ideologis
utama yang berkembang: revivalisme Islam dan liberalisme Islam. Meski demikian
sebagian besar intelegensia Muslim periode ini lebih suka menikmati hibriditas antara
keduanya. Lihat Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Jakarta: Democracy Project,
2012), h. 744-747
244
Kuntowijoyo membuat periodesasi sejarah umat Islam di Indonesia menjadi tiga
tahap: mitos, ideologi dan ilmu. Cara berfikir periode mitos bersifat pra-logis (mistik),
berbentuk magis, pergerakan politik bersifat pedesaan, lokal, dengan latar belakang agraris.
Masyarakat terbangun atas solidarits mekanis dengan kepemimpinan tokoh kharismatis.
Sementara periode ideologi dicirikan dengan cara berfikir rasional tetapi masih tetap non-
logis berbetuk pengetahuan apriori tentang nilai-nilai abstrak, berlokasi di perkotaan,
perkumpulan bersifat nasional, ekonomi komersial dan industri kecil, masyarakat
pedagang, solidaritas organis, dan kepemimpinan intelektual. Periode bermula pada era
Sarekat Islam (SI) hingga pertengahan Orde Baru. Sementara periode ilmu cara berfikirnya
bersifat logis berdasarkan fakta yang kongkret, obyektif, empiris, dan terbuka. Lihat

50
Kuntowijoyo sebagai wahana pertarungan ideologi-ideologi besar yang ada saat
itu: nasionalisme, komunisme, dan Islam yang terus berlangsung dalam
Konstituante dan peristiwa 1966.245 Gesekan ideologi telah dimulai pada peristiwa
penghinaan Nabi Muhammad oleh koran Djawi Hisworo tahun 1918 antara kaum
nasionalis Jawa (Groot Java) dengan tokoh-tokoh SI, perdebatan Soekarno dengan
Tjokroaminoto dan Agus Salim tentang Islam dan nasionalisme di tahun 1925-
1928, dan kemudian melibatkan A Hassan dan M Natsir di tahun 1940-an.246
Perdebatan tentang Islam dan ideologi negara itu kemudian ditarik ke dalam
sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di
tahun 1945 dan melahirkan konsensus berupa Piagam Jakarta.247
Di tengah suasana persaingan ideologi itulah Hamka banyak menulis dan
memberikan sumbangsih bagi pemikiran politik dan kebangsaan Indonesia. Hamka
memulai karier intelektual dan pengalaman politik pertama kali pada 1924. Di usia
remaja (umur 15-16 tahun) dia mengalami kesadaran baru sebagai Muslim setelah
belajar tentang Islam, politik, dan dunia pergerakan pada tokoh-tokoh inteligensia
Muslim awal seperti HOS Tjokroaminoto, Suryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, H
Fakhrudin, H Agus Salim, dan AR Sutan Mansur.
Pada bagian ini akan dikemukakan gagasan-gagasan politik dan kebangsaan
Hamka yang muncul dan matang di tengah suasana persaingan berbagai kelompok
ideologi. Pembahasan akan dimulai dengan tema hubungan agama dengan negara
dalam perspektif Hamka. Pembahasan ini didahulukan karena menjadi paradigma
bagi pemikiran dan aksi politik Hamka. Setelah itu baru pembahasan masuk ke
tema-tema lainnya. Tentang aktivitas politiknya akan dibahas di bagian lain
setelah bab ini.
A. Hubungan Agama-Negara Menurut Hamka
Pemikiran dan perilaku politik Hamka didasarkan pada pandangannya
tentang kesalingterkaitan antara agama dan negara. Tentang hal ini Hamka
menulis, ‚Islam tidak mengenal apa yang pernah dikatakan orang bahwa: ‘Agama
adalah urusan pribadi. Adapun soal-soal kehidupan ini tidaklah ada sangkut
pautnya dengan agama. Kita boleh mengatur peri hidup kita menurut kemauan kita
sendiri, dengan agama tak usah dicampur-adukkan ke dalamnya’.‛ 248

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 305-307. Dalam ideologi,
tulis Kuntowijoyo, kenyataan ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang diyakini
sebagai kebenaran. Sementara dalam ilmu kenyataan dilihat sebagai kenyataan yang
otonom dari kesadaran pemandangnya. Lihat Kuntowojoyo, Identitas Politik Umat Islam,
(Bandung: Mizan, 1997), h. 22-23
245
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat..., h. 17-22
246
Lihat Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, (Jakarta:
Teraju, 2002).
247
Tentang perdebatan-perdebatan di BPUPK lihat Endang Saefuddin Anshari,
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali, 1983); dan A.B. Kusuma, Lahirnya
Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2009).
248
Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 196

51
Islam, ungkap Hamka, tidak pernah memposisikan negara yang terpisah dari
agama, sebagai konsekuensi logis dari keserbamencakupan Islam. Islam mencakup
semua urusan: urusan dunia dan akhirat. Segala aspek kehidupan di dunia ini,
tulisnya, tidak bisa dilepaskan dari agama. Tidak mungkin manusia bisa
melepaskan aktivitas hidupnya dari agama, baik yang privat atau publik, karena
memang dunia ini merupakan jembatan bagi manusia untuk menuju ke akhirat.249
Termasuk juga dalam bernegara. Hamka menegaskan bahwa agama adalah pondasi
bagi negara. Jika negara terpisah dari agama, hilanglah dasar tempat negara itu
ditegakkan. Dalam perspektif Islam, jelasnya, negara adalah penyelenggara atau
pelayan (khadam) dari manusia, sedangkan manusia adalah kumpulan dari pribadi-
pribadi. Karena itu Hamka menyimpulkan, tidaklah dapat tergambar dalam
pemikirannya bahwa ketika seseorang telah bernegara maka secara otomatis dia
terpisah dari agama yang dianutnya.250 Baginya, pemisahan agama dari negara
adalah ‚pemisahan tubuh dengan nyawa.‛251
Keserbamencakupan Islam itu diwujudkan dengan apa yang disebut Hamka
sebagai ‚trias azasi‛ Islam yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, yaitu:
akidah, syariat, dan akhlak. Akidah merupakan pondasi bagi Islam yang di atasnya
terletak elemen-elemen lain yang bersatu padu membangun sebuah bangunan
Islam. Sebagai pondasi, akidah menjadi sumber energi yang membebaskan manusia
dari segala bentuk perbudakan kepada makhluk. Dengan demikian, akidah itu baru
bermakna jika ‚kita hidup di dunia ini menurut yang aturkan oleh Allah, atau
membuat undang-undang yang sesuai dengan syariat Allah. Hubungan
perseorangan dengan Allah, hubungan sesama manusia walaupun berlainan agama,
dan hubungan sesama pemeluk Islam,‛ jelas Hamka.252
Ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, ungkapnya,
berarti dia telah menyerahkan jiwa-raga dan seluruh harta-bendanya kepada Allah.
Hal ini membawa konsekuensi adanya kewajiban baginya untuk menegakkan
aturan-aturan Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, ke penjuru dunia ini, khususnya di negara Indonesia. Hamka menyebut
orang-orang yang telah bersyahadat sebagai ‚mujahid/pejuang agama Allah di
muka bumi ini.‛253
Karena menjadi bagian tak terpisahkan dari agama, tulisnya, umat Islam
wajib memperjuangkan keberlakuan syariat dalam segala segi kehidupan. Umat
Islam tidak bisa berlagak masa bodoh dalam soal kenegaraan. Ketika sudah
menyatakan dua kalimat syahadat, berarti umat Islam telah menyerahkan urusan
dunia dan agamanya kepada Nabi Muhammad, berdasarkan perintah Allah.254

249
Hamka, Studi Islam, h. 196-197. Lihat juga Ahmad Hakim dan M Thalhah,
Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, (Yogyakarta: UII Pres, 2005), h. 62
250
Hamka, Studi Islam, h. 206
251
Hamka, Revolusi Agama… Menudju Negara, (Jakarta: Pustaka Islam, 1952), h.
90
252
Hamka, Studi Islam, h. 202
253
Hamka, ‚Diri Ini Telah Terdjual,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 69, tahun IV,
Desember 1970, h. 3-4
254
Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 336

52
‚Islam telah mewajibkan bagi umatnya menegakkan atau memperjuangkan agar
syariat itu berjalan dan berlaku kuat kuasanya dalam diri sendiri, dalam rumah
tangga, dalam masyarakat, dan dalam negara. Dia wajib diikuti dan ditaati dengan
segala kemungkinan yang ada, semuanya hendaklah terlaksana,‛ tulisnya.255
Hamka menjelaskan, Islam bukan sekedar kepercayaan, namun juga aturan
hidup. Orang Islam yang sadar akan agamanya tidak sekedar mencukupkan
keislamannya pada Rukun-rukun Iman semata, lalu melaksanakan ibadah ritual
(Rukun Islam) semisal shalat, puasa, berzakat dan sedekah, dan naik haji. Sebagai
pedoman kehidupan, tegasnya, Islam menuntut umatnya untuk mengerjakan semua
bentuk ibadah ritual itu, kemudian melaksanakan hukum-hukum syariat dalam
pergaulan kesehariannya, dalam masyarakatnya, dan dalam keputusan hukum dan
pemerintahannya. Berdasarkan ini Hamka tidak sepakat dengan penyataan bahwa
‚Islam adalah agama dan negara‛. Menurutnya, rumusan yang tepat adalah ‚Islam
adalah agama!‛. Karena itu, simpulnya, mengurus negara merupakan salah satu
bagian integral dari agama (Islam).256
Keengganan mengamalkan Islam secara totalitas itu dapat mendorong
kepada kedzaliman, kefasikan, bahkan kekafiran. Karena inilah Hamka meyakini
umat Islam yang baik pasti memiliki cita-cita menerapkan aturan-aturan agama
dalam politik pemerintahan. Hamka berujar,
Agama Islam tidaklah tegak, kalau dia dijauhkan dari masyarakat. Dan pemeluknya
dicap oleh Tuhan sendiri sebagai orang yang ‚zalim‛ (aniaya), ‚kafir‛ (tiada percaya
sungguh) dan, ‚fasiq‛ (durjana), kalau sebagai orang Islam dia tidak bercita-cita
supaya hukum Allah berjalan dalam masyarakat. Sebab itu maka dengan sendirinya,
karena perintah agamanya, adalah seorang Islam mempunyai cita-cita perjuangan
bernegara….257
Untuk memperkuat pernyataannya, Hamka menggunakan beberapa nash al-
Qur’an dan Sunnah sebagai argumen. Di antaranya adalah:
          
‚…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.‛ (QS Al-Maidah: 44)
               

   


‚Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka

255
Hamka memahami syariat sebagai ‚sekalian tuntunan yang diturunkan Allah
kepada manusia dengan perantaraan nabi-nabi, yang diakhiri oleh kedatangan Nabi
Muhammad Saw.‛ Syariat bersifat luas dan mencakup banyak hal: akidah, ibadah,
muamalat, munakahat, jinayat, kenegaraan, dan meninggikan tingkat kerohanian melalui
akhlak/budi pekerti dan amar ma’ruf nahi munkar. Hamka, Studi Islam, h. 202-203
256
Hamka, Studi Islam, h. 205
257
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1984), h. 80; Hamka, ‚Diri Ini Telah...‛, h. 3-4.

53
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.‛ (QS. al-Nisa’: 65)
Hamka pun menegaskan, keberislaman itu tidak hanya berupa pengakuan
akan keesaan Allah. Namun juga harus diiringi dengan ketaatan kepada syariat
(peraturan) yang datang dari Allah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap
Muslim, baik secara individu maupun bermasyarakat, wajib beribadah,
berkepercayaan, dan setiap aktivitas hidupnya sesuai dengan aturan yang telah
digariskan syariat tersebut. Hal ini juga berlaku bagi setiap Muslim ketika mereka
bernegara dan membuat perundang-undangan.258
Selain itu juga banyak aspek-aspek syariat yang tidak bisa terwujud kecuali
melalui kekuasaan politik. Hamka menyatakan, bukan hanya syariat di bidang
publik semacam urusan perdata, pidana, hubungan antar pribadi dalam
bermasyarakat, atau hubungan antar negara, aspek ibadah ritual yang privat pun
(seperti shalat, puasa, zakat, atau haji) membutuhkan kekuasaan politik untuk
pelaksanaannya. Tanpa adanya kekuasaan untuk penerapan ajaran-ajarannya,
simpul Hamka, al-Qur’an akan menjadi sekedar ‚bacaan mati‛.259 Di sini Hamka
merujuk pada negara Madinah yang disebutnya sebagai perwujudan dari
keyakinannya di atas bahwa ‚cita-cita tauhid tidak dapat dilaksanakan, kalau tidak
disertai kekuasaan.‛ Karena itu Hamka menegaskan, pembentukan negara Madinah
tersebut hanyalah sebuah sarana dalam melaksanakan hukum Tuhan.260
Selain alasan normatif-doktrinal, Hamka juga mengajukan alasan historis
untuk memperkuat paradigma politiknya. Menurutnya, secara historis, sejak awal
mula Islam tidak pernah terpisah dari urusan politik kenegaraan. ‚Dan kaum
Muslimin harus bangga, karena agama Islam ini sejak mulai tegaknya, bukan saja
menjadi contoh bagaimana mengerjakan sembahyang yang diajarkannya, bahkan
bagaimana mendirikan suatu staat dan memegang politik, itupun terang
ditunjukkannya,‛ tulis Hamka.261
Dijelaskan, Muhammad Saw hadir di Jazirah Arab dengan membawa ajaran
tauhid dan telah mempersatukan suku-suku di sana hingga di kemudian hari
menjadi sebuah negara yang kuat dan bangsa yang dihormati.262 Secara resmi hal
itu terjadi setelah Rasulullah Saw hijrah ke Yatsrib yang kemudian diubah menjadi
Madinah.263 Bagi Hamka, pergantian nama Yatsrib menjadi Madinah merupakan
tanda penting dari dimulainya peran politik yang dimainkan Nabi Muhammad.
Madinah berarti ‚kota.‛ Dalam nama ini, jelasnya, terkandung cita-cita besar
bahwa di sana akan dibangun kehidupan berkota (bertamaddun). Tamaddun berarti
kemajuan (peradaban) atau civilization dalam bahasa Barat. ‚Madinah‛ juga

258
Hamka, Studi Islam, h. 129
259
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: Widjaya, 1951), h. 7
260
Hamka, ‚Perbandingan Sedjarah‛, dalam Hikmah, no 15-16, tahun V, 16 April
1952, h. 18
261
Hamka, ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dengan Hoekoem Politiek
(Habis)‛, dalam Pedoman Masjarakat, edisi 27 September 1939, h. 761
262
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89-90
263
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89-90

54
berarti polis, akar dari kata ‚politik‛. Dengan demikian, ujar Hamka, Madinah
‚menjadi suatu negara, suatu kemajuan dan peradaban, serta menjadi politik
pemerintahan.‛264
Negara Madinah menjadikan Muhammad Saw bukan saja seorang utusan
Allah, namun juga ‚kepala dari suatu masyarakat, yang akhirnya jadi semacam
negara, yang berbatas berbintalak, berdaerah kekuasaan, mempunyai undang-
undang sendiri.‛265 Hamka menyebut negara di Madinah yang dipimpin Nabi
Muhammad itu sebagai ‚Negara Qur’an.‛266 Hamka juga mempunyai sebutan lain
untuk negara Madinah tersebut: ‚Setelah terbuka jalan ke Madinah, beliau pun
pindah ke sana. Di sana beliau mendapat sambutan yang baik dan dapat
membentuk masyarakat sendiri: Masyarakat Islam dan negara sendiri: Negara
Islam.‛267
Hamka mendefinisikan ‚negara Islam (Da>r al-Isla>m)‛ sebagai ‚negara yang
berjiwa agama‛. Di sini Hamka membedakan antara Da>r al-Isla>m dengan Da>r al-
Sala>m. Menurutnya, Darul Islam adalah negara yang kehidupannya diatur sesuai
dengan aturan-aturan Islam. Namun Hamka menyadari, bagaimanapun juga Da>r al-
Isla>m tetap berada di dunia sehingga secara ideal tidak akan pernah seratus persen
sesuai dengan kehendak Islam. Idealitas kehidupan yang sesuai dengan aturan
Islam itu, tegasnya, baru bisa tercapai nanti di akhirat. Inilah yang disebut Hamka
sebagai Da>r al-Sala>m. Meski ‚Negara Islam‛ tidak bisa mewujudkan kondisi Islam
yang ideal, namun Hamka mengajak untuk bersikap positif dan optimis dengan
terus berupaya memwujudkannya semaksimal mungkin.268
Kekuasaan politik Madinah itu kemudian dilanjutkan oleh para sahabat-
sahabat beliau setelah kewafatannya. Dijelaskannya,
Sejak Rasulullah Saw. berhijrah dari Mekah ke Madinah, sehari setelah sampai di
Madinah telah berdiri suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam yang Nabi Saw.
sendiri memegang tampuk pemerintahan. Di kiri kanannya berdirilah beberapa
pembantu. Pembantu utama ialah empat orang: Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali…269
Menurut Hamka, posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul tidak bisa
digantikan oleh siapapun karena beliau telah menyatakan ‚tidak ada nabi
setelahku‛. Namun negara Madinah yang terlah terbentuk itu membutuhkan

264
Hamka, Di Tepi Sungai Dajlah, (Jakarta: Gema Insani, 2019), h. 16-17
265
Hamka, ‚Khilafaat,‛ dalam Panji Masyarakat, no 195, tahun XVII, 15 Maret
1976, h. 5
266
Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi & Medan: Firma Tjerdas, 1946), h. 9.
Buku ini tidak mencantumkan tahun terbitnya. Namun menurut beberapa sumber buku ini
pertama kali diterbitkan tahun 1946. Lihat James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam
Sang Penulis Besar Untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor (Jakarta: Gramedia,
2017). Penerbitan di tahun 1946 kemungkinan besar benar mengingat dalam memoarnya
Hamka menceritakan buku ini selesai ditulisnya di akhir November 1945. Lihat Hamka,
Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: GIP, 2018), h. 428
267
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 103.
268
Lihat Hamka, Tjahaja Baru, (Medan: Pustaka Nasional, 1950), h. 58-60
269
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 341

55
pemimpin yang menggantikan beliau. Melalui proses yang rumit terpilihlah para
pengganti beliau yang dimulai dari Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman dan Ali.
Meskipun ada dua tiga pendapat tentang siapa yang pantas jadi kepala negara itu,
golongan mana yang patut, namun akhirnya terpilihlah Abu Bakar Shiddiq untuk
menjabat pekerjaan baru itu. Pangkat menggantikan Rasul itu dinamai khilafat, yang
menyandang jabatan itu bernama Khalifah. Abu Bakar sendiri disebutlah diri beliau
Khalifatu Rasulillah!.270
Bagi Hamka, sejarah panjang peradaban Islam tersebut telah memberikan
gambaran jelas akan integrasi agama dengan negara. Secara tegas Hamka pun
menyimpulkan,
Asal orang sudi membaca riwayat, tidak ada orang yang akan memungkiri,
bahwasanya bangsa-bangsa yang telah memeluk dan menyiarkan agama Islam telah
pernah mendirikan kerajaan-kerajaan Islam yang besar-besar. Sejak dari kedaulatan
yang dibina oleh Nabi Muhammad di Madinah dan disambung oleh khalifahnya yang
berempat, lalu kepada kerajaan ‚Bani Umayyah‛, ‚Kerajaan Bani Abbasiyah‛,
‚Kerajaan Fatimiyah‛ di Afrika, ‚Bani Umayyah‛ di Andalusi, ‚Kerajaan Bani
Usman‛ di Turki dan lain-lain…271
… Sehingga dengan menyebut nama Islam saja, kita teringat kepada suatu agama,
yang mengatur hidup dunia dan akhirat, diri dan masyarakat bersama. Pendeknya
suatu agama negara, suatu negara agama… 272
Lebih jauh Hamka menjelaskan, kesalingterkaitan agama dengan politik
bukan hanya menjadi misi Nabi Muhammad saja, tapi juga menjadi misi nabi-nabi
lainnya, meskipun secara historis banyak nabi yang tidak memegang memegang
sendiri kekuasaan politik yang ada. ‚Perjuangan segala nabi-nabi menegakkan
agama, sejak syariat agama diturunkan Tuhan ke dunia ini, adalah untuk
mendirikan negara.‛273 Hamka memberi contoh perjuangan Nabi Musa melawan
kekuasaan Fir’aun dan membebaskan bangsa Yahudi dari kesewenang-
wenangannya. Contoh lainnya adalah perjuangan Nabi Ibrahim melawan Raja
Namrud. Lebih dari itu, ada beberapa Nabi yang juga menjadi pemimpin negara,
seperti Nabi Sulaiman dan Daud, atau Nabi yang menjadi pejabat negara seperti
Nabi Yusuf.274
Meski meyakini integrasi agama-negara dalam konsep ‚negara Islam,‛ tetapi
Hamka sadar bahwa Islam tidak pernah menentukan bentuk negara dan
pemerintahan secara baku. Karena itu Hamka memberikan kebebasan yang luas
kepada umat Islam untuk membentuk negara sesuai dengan kebutuhan zaman dan
kondisinya masing-masing,275 dengan melakukan ijtihad politik sesuai dengan
perubahan ruang dan waktu.276 Di titik ini bisa dimengerti jika Hamka

270
Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 5
271
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 7
272
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89-90
273
Hamka, Revolusi Agama (Sesudah Ditambah, Diperbaiki Diperluas), (T.Temp:
T.P, 1962), h. 120. Buku ini terbit pertama kali tahun 1946.
274
Hamka, Studi Islam, h. 120
275
Hamka, Studi Islam, h. 206; Tim Penulis, Ensiklopedia Buya Hamka, (Jakarta:
Suara Muhammadiyah, 2019), h. 306
276
Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 2002), h. 31

56
mendefinisikan ‚negara Islam‛ sebagai ‚negara yang berjiwa agama.‛ Pemilihan
diksi ‚berjiwa agama‛ tersebut menggambarkan penekanan Hamka pada substansi
dalam bernegara, bukan pada bentuk formalitasnya.
Islam tidak memasuki soal-soal kecil, yang dapat dipecahkan oleh manusia sendiri.
Menurut perubahan tempat dan zaman. Kalau soal itu dimasukinya pula, bekulah
pertumbuhan masyarakat dan kemanusiaan, dan sudah lama agama ini ‚gulung
tikar‛…277
Terlebih lagi dalam susunan negara. Amat besar kebebasan yang diberikan Nabi
Muhammad terhadap umatnya dalam menghadapi urusan perkembangan bernegara.
Sabda Nabi, ‘Kamu lebih tahu urusan duniamu’ adalah anak kunci yang senantiasa
dapat digunakan sehingga titah al-Qur’an dapat dipakai dalam segala zaman dan
segala tempat. Dan ketika beliau akan mati tidaklah beliau tinggalkan satu
testament politik yang tidak boleh diubah. Bahkan seketika ada sahabat yang
mendesak supaya meninggalkan wasiat dalam susunan pemerintahan, yang akan
dapat dipedomani, beliau menggelengkan kepalanya. 278
Bagi Islam, jelas Hamka, yang terpenting bukanlah bentuk negara dan
pemerintahan atau sebutan-sebutan tertentu untuk para pemimpinnya. Karena
semua itu hanyalah urusan teknis-birokratis belaka. Hamka menegaskan, substansi
dalam bernegara adalah tata kelola pemerintahan yang tidak menyalahi ketentuan-
ketentuan syariat dan hukum-hukumnya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.279
Inilah yang dimaksud Hamka sebagai ‚negara yang dijiwai agama.‛
Meski mengakui adanya kebebasan dalam membentuk negara, namun
Hamka tegas menolak bentuk negara teokrasi. Islam, jelasnya, berbeda dari Kristen
yang memiliki kepala agama, sehingga seorang muslim bisa berhubungan secara
langsung dengan Allah tanpa melalui perantaraan kepala agama tersebut.
Masyarakat muslim memang memiliki institusi ulama, namun ini bukanlah kasta
tersendiri. Hamka menegaskan, ulama hanyalah manusia biasa yang memiliki ilmu,
namun tidak memiliki hak menguasai agama. Pendapat seorang alim bisa dibantah
oleh ulama lainnya. Karena itu jika suatu golongan menguasai agama, padahal dia
tidak mendapat izin dari Allah, maka orang lain berhak mengambil kembali agama
itu dari mereka dan menegakkan kembali demokrasi. ‚Tidak ada suatu kekuasaan
memerintah atau kekuasaan politik yang boleh didakwakan datang dari langit,
yang kerap disebut teokrasi. Yang datang dari langit hanyalah akuan dan angkatan
Tuhan atas seorang manusia menjadi Nabi atau Rasul,‛ ujar Hamka.280

277
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 107-108
278
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 118
279
Hamka, Studi Islam, h. 205-206
280
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 101. Hamka menjelaskan, ulama’
merupakan jama’ dari kata ‚alim‛ yaitu orang yang berpengetahuan dalam artinya yang
umum. Meliputi pengetahuan agama dan dunia. Ulama merupakan orang yang luas
pemahamannya, jauh pandangannya, dan terus menerus meneliti. Namun setelah peradaban
Islam mengalami kemunduran, makna ulama’ dipersempit hanya mereka yang mengerti
kitab suci dan fikih. Lalu dipersempit lagi menjadi yang mengerti fikih di mazhabnya
sendiri. Pada era ini terjadi taklid dan kemandegan berfikir di kalangan umat. Lihat juga
Hamka, Revolusi Agama... Menudju..., h. 41-42.

57
Selain itu Islam juga memiliki institusi masjid. Namun Hamka membedakan
antara masjid dengan gereja, karena setiap masjid berdiri sendiri dengan
kepengurusan yang otonom, dan bisa diganti setiap saat. Demikian pula imam
shalat, khatib dan muazzin. Mereka semua bukan penguasa ruhani umat Islam
karena setiap Muslim bisa berhubungan langsung kepada Allah. Keberadaan
mereka dipilih oleh jamaah untuk mengurus masjid dan pelaksanaan ibadah
berdasarkan kemampuannya, seperti imam shalat yang dipilih karena kefasihannya
dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an. Kondisi seperti ini berbeda dengan Gereja
yang memiliki struktur hierarkhis dari pusatnya di Roma hingga ke gereja-geraja di
tingkat paling bawah. Dengan demikian, simpul Hamka, dalam Islam tidak pernah
ada istilah ‚memisahkan negara dari masjid,‛ sebagaimana di Barat yang
memisahkan negara dari Gereja.281
Penolakan Hamka terhadap teokrasi ini kemudian diteruskan dengan
penerimaannya pada konsep demokrasi, tentu saja demokrasi yang telah
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Hamka menyebut sintesis demokrasi dengan
Islam ini sebagai ‚Demokrasi Takwa.‛282 Konsep ini akan dibahas di bagian lain di
bab ini.
Dengan cara pandang di atas tampak posisi Hamka sebagai pemikir politik
yang tetap merujuk pada sumber-sumber fundamental Islam, namun di saat
bersamaan, berkeinginan untuk mentransformasikannya ke dalam konteks zaman
modern. Munawir Sjadzali menjelaskan, pemikir model ini memandang bidang
politik kenegaraan sebagai bukan bagian dari ibadah mahdah sehingga umat Islam
bisa secara selektif mengambil konsep dan kelembagaan politik dari Barat.
Kelompok pemikir yang seperti ini, jelas Sjadzali, berbeda dari kelompok
tradisional yang menolak segala yang datang dari Barat dan menghendaki Islam
murni sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi dan salaf al-s}a>lih. Juga berbeda
dari kelompok ketiga yang memandang Islam sebagai semata-mata agama yang
berkaitan dengan hubungan manusia-Tuhan. Sementara hubungan antar manusia
diatur oleh manusia sendiri.283
B. Gagasan Hamka Tentang Kebangsaan Indonesia
1. Kebangsaan yang Sesuai Islam Menurut Hamka
Bagi Hamka rasa cinta tanah air merupakan naluri atau fitrah manusia,
sebuah perasaan yang sangat halus dan mendalam di hati manusia. 284 Rasa ini
adalah ‚‘tabiat’ yang hidup dalam jiwa manusia yang berakal‛, ungkapnya.285
‚Cinta‛ dalam konteks ini dimaknai Hamka sebagai ‚condongnya tabiat pada

281
Hamka, Studi Islam, h. 142
282
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 17 dan 23. Lihat juga Hamka, Islam:
Revolusi Ideologi..., h. 128
283
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 115-116
284
Hamka, Lembaga Hidup, h. 229-230; Hamka, ‚Anda Bertanja Kami
Mendjawab,‛ h. 31
285
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ dalam
Pedoman Masjarakat, edisi 18 Januari 1939, h.52

58
barang suatu yang disukai. Jadi cinta itu adalah perasaan hati yang timbul dari
wijda>n.‛ Hamka menjelaskan, secara alamiah seseorang akan lebih mencintai
rumah orangtuanya di mana dia dilahirkan dulu, daripada rumah orang lain. Orang
itu juga akan lebih mencintai kampung halaman dan negerinya sendiri dibanding
kampung dan negeri orang lain. Hamka menulis, ‚yang cinta ialah anak tanah air
itu sendiri! Yang benci ialah musuh tanah air! Yang tidak ada apa-apa, ialah orang
lain yang berdagang ke tanah air itu, atau orang yang tidak tentu asal.‛286 Lebih
lanjut dijelaskannya:
Inilah dianya wijda>n, perasaan, yang mesti ada pada tiap-tiap hati yang sehat dan
merasa menanggung jawab. Kalau tidak ada kecintaan menurut logika tersebut di
atas, tandanya dia benci. Orang yang benci kepada tanah air itu, ialah orang yang
jadi musuh tanah air. Tetapi kalau dia tidak merasa apa-apa, tidak cinta dan tidak
benci, agaknya orang itu bukan orang di sini.287
Rasa seperti ini, ujarnya, muncul dengan sendirinya tanpa disuruh siapapun
juga. Perasaan inilah yang membuat seseorang berani berkorban jiwa dan raga
untuk tanah airnya, juga bisa melahirkan riwayat dan gagasan yang besar, serta
syair-syair yang indah. 288 ‚Perasaan itu ada pada tiap-tiap orang. Cinta pada tanah
air itulah yang dinyanyi disyairkan oleh manusia semenjak manusia pandai
bernyanyi dan bersyair. Khianat kepada tanah air itulah suatu kesalahan yang
dipandang paling besar oleh segenap bangsa yang ada mempunyai tanah air di
dunia ini‛, tulis Hamka.289
Karena bukan sebuah perasaan yang negatif, tegas Hamka, Islam tidak
pernah ‚memperkosa‛ rasa cinta pada tanah air itu. Hamka mengaku tidak
menemukan ayat al-Qur’an atau Hadits Nabi yang melarang mencintai tanah air.
Justru ia menemukan hadits ‚Hubb al-wat}an min al-i>ma>n‛ (cinta kepada tanah air
itu setengah daripada iman). Meski dhaif, namun Hamka menilai matan hadits itu
sahih dan bisa diterima.290
Hamka juga menolak pandangan bahwa Islam datang ke dunia untuk
meleburkan semua identitas kebangsaan menjadi satu, ‚bangsa Islam.‛ Ia
menjelaskan, orang yang punya pandangan seperti ini pernah menyatakan bahwa
ketika bangsa-bangsa tertentu memeluk Islam, maka identitas kebangsaannya jadi
hilang. ‚Tegasnya tiap-tiap pemeluk Islam itu telah lebur bangsanya, kalau dia
Arab tidak Arab lagi, kalau dia Persi tidak Persi lagi, tetapi menjadi bangsa baru,
yaitu bangsa Islam‛, tulisnya. Pandangan seperti ini, ungkap Hamka, ‚tidak pernah
terdengar di dalam Qur’an atau Hadits, lebih-lebih lagi di zaman sahabat dan
khalifah-khalifah yang datang di belakangnya.‛ Islam, lanjut Hamka, adalah suatu

286
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ dalam Pedoman
Masjarakat, edisi 11 Januari 1939, h. 27
287
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ h. 26
288
Hamka, Lembaga Hidup, h. 229-230
289
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ h. 26
290
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air,‛ h. 26

59
kepercayaan (i’tikad), bukan suatu kebangsaan. Islam boleh dan seharusnya dipeluk
oleh tiap manusia apapun bangsanya.291
Terhadap orang yang berpandangan ‚Islam meleburkan semua identitas
kebangsaan‛ itu Hamka menyarankan, ‚ada juga orang yang mengatakan bahwa
seluruh negeri Islam itu ialah tanah airnya dan bangsa Islam seluruhnya ialah
bangsanya. Orang yang berfaham begini lebih baik jangan pergi-pergi dari
kampungnya, supaya jangan tertumbuk keningnya kepada keadaan yang
sebenarnya.‛292
Hamka menegaskan, alih-alih menghapuskan, Islam justru mengakui adanya
kebangsaan. ‚Kebangsaan itu diakui Tuhan, bahkan dijadikan (oleh, pen) Tuhan,
bukan dihapuskan Tuhan,‛ tegas Hamka. Di sini Hamka mengutip QS. Al-Hujurat
ayat 13:
               

‚…Dan Kami jadikam kamu ber-shu’u>b (berbangsa-bangsa) dan berkabilah-


kabilah ialah supaya kamu kenal antara satu pihak dengan yang lain. Tetapi
yang semulia-mulia kamu pada sisi Allah, ialah yang paling taqwa kepada-
Nya.‛293
Lebih dari itu, Hamka menyatakan bahwa ‚bahkan cinta tanah air itu timbul
daripada iman yang sejati.‛ 294 Pernyataan ini ditegaskan dalam tulisannya yang
lain:
Kita percaya kepada Tuhan dan kita mengabdi kepada Tuhan. Kita bersyukur
kepada-Nya karena kita dilahirkan di atas setumpuk dunia yang indah. Tanah air
adalah nikmat Ilahi kepada kita. Di atas bumi-Nya kita dibesarkan, hasil buminya
yang kita makan, airnya yang mengalir yang kita minum. Jadi dapatlah dikatakan,
bahwasanya karena mencintai Tuhanlah maka timbul cinta kita kepada tanah air.
Rumpun cinta yang seperti ini dari tauhid asalnya.295
Hamka menjelaskan, Nabi Muhammad sendiri ketika mendakwahkan risalah
Islam dimulai kepada sanak kerabatnya dan di kampung halamannya sendiri,
Makkah. Sebagaimana yang tertuang dalam QS al-Shu`ara> ayat 214 dan al-Shu>ra>
ayat 7. Dari ayat-ayat ini Hamka menyimpulkan:
Di sini nyata sekali bahwa Allah Taala sendiri yang menuntun supaya seorang
manusia mencintai karib kerabatnya, bersusun sejak dari anak kandung sendiri
sampai kepada family yang karib, yang ba`i>d terus kepada suku, kepada kabilah,
kepada sejenis dan kepada sebangsa; setelah selesai itu semuanya, baru datang
giliran kepada orang lain.296

291
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 4 Januari
1939, h. 4
292
Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ dalam Pedoman
Masjarakat, edisi 1 Januari 1941, h. 27
293
Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 27
294
Hamka, Lembaga Hidup, h. 229-230
295
Hamka, Pandangan Hidup, h. 221
296
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta bangsa…,‛ h. 26-27. Ayat yang
dimaksud Hamka tersebut adalah: ‚Dan berilah pertakut kepada segala familimu yang
karib‛ (QS. al-Shu`ara>: 214), dan ‚Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau Qur’an

60
Lebih lanjut Hamka menjelaskan, meski mengakui kebangsaan, namun Islam
tetap memberikan bimbingan agar rasa cinta itu tidak terserang ‚penyakit
kebangsaan‛,297 tidak lepas dari akar tauhid,298 dan tidak tersesat.299 Penekanan
Hamka pada unsur agama (tauhid) sebagai pengikat asabiyah menampakkan
pengaruh dari pencetus teori asabiyah itu sendiri, Ibn Khaldun.300
Menurutnya, ada dua macam kebangsaan yang dilarang oleh Islam, yaitu
kebangsaan ala jahiliyah dan kebangsaan yang berlebih-lebihan. Kebangsaan yang
pertama disebut Hamka dengan istilah as}a>biyyah ja>hiliyyah, yaitu as}a>biyyah yang
sempit terbatas pada klan dan kaum saja. As}a>biyyah model inilah yang dilarang
oleh Nabi Muhammad dalam beberapa haditsnya, seperti ‚la> as}a>biyyah fi> al-Isla>m‛
atau ‚laysa minna> man da`a> ‘ila> `as}a>biyyah,‛ karena bisa menciptakan perpecahan.
Hadits-hadits tersebut, ujar Hamka, menegaskan bahwa Nabi Muhammad
menghapus As}a>biyyah di kalangan kelompok Muhajirin, Anshar, Aus, Khazraj, dan
lain sebagainya dan membawa ke As}a>biyyah yang lebih besar berupa ‚persatuan
kebangsaan Arab seluruhnya.‛301
Persatuan suku-suku Arab itu dibangun di atas pondasi tauhid. Hamka
menyatakan, ‚bangsa Arab yang berpecah belah dapat disatukan oleh ajaran
Muhammad Saw dan di bawah pimpinan Muhammad Saw berhala-berhala di
sekeliling Ka’bah diruntuhkan, dan seluruh bangsa Arab dibawa pada tauhid...‛.302
Ditegaskannya kembali:
Dalam daerah yang kecil dapatlah kita lihat contohnya seketika Nabi Muhammad
akan datang membawa syariat Islam. Setiap suku bangsa Arab mempunyai berhala
sendiri, dan dapat berpantun bersyair memuja kampung halaman dan sukunya.
Orang Arab pecah belah, yang satu menghinakan yang lain dan membanggakan
kabilahnya. Kedatangan Nabi Muhammad membawa kesatuan kepercayaan,
membawa tauhid. Karena tauhid sajalah yang dapat mempersatukan bangsa itu.303
Kebangsaan kedua yang dilarang oleh Islam adalah kebangsaan dengan
membangga-banggakan bangsa sendiri sembari memandang hina bangsa-bangsa
lain. Hamka menyebut kebangsaan ini sebagai ‚as}a>biyah jinsiyah.‛304 Menurut
Hamka, As}a>biyyah seperti ini merupakan ‚kebangsaan yang sempit‛ yang ‚dapat
merusak-binasakan iman‛ dan ‚menjadi pangkal segala bencana di atas dunia.‛305
Kebangsaan yang sempit akan mendorong suatu bangsa untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya bagi tanah airnya meski merugikan bangsa lain, karena mereka

dalam bahasa Arab supaya engkau peringatkan kepada penduduk Mekkah dan kepada yang
sekelilingnya‛ (QS. al-Shu>ra:> 7).
297
Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 26
298
Hamka, Pandangan Hidup, h. 221-222
299
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta bangsa…,‛ h. 26
300
Lihat pembahasan Deliar Noer tentang teori politik Ibn Khaldun, khususnya teori
asabiyah, dalam Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 69-86
301
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ dalam
Pedoman Masjarakat, edisi 18 Januari 1939, h. 52-53
302
Hamka, Di Tepi Sungai ..., h. 16
303
Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 64
304
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ h. 53
305
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 221-222

61
ingin diakui sebagai bangsa yang unggul dibanding yang lainnya. Peperangan dan
penjajahan di dunia, ujarnya, dengan dalih ‚tugas suci‛ memperadabkan bangsa-
bangsa ‚terbelakang‛ juga banyak yang lahir dari rasa kebangsaan seperti ini.
Secara lebih lengkap berikut pernyataan Hamka:
Pokok pangkalnya lain tidak hanyalah ‘kemegahan kebangsaan.’ Bangsakulah yang
di atas sekali, dan selalu harus di atas sekali. Kedatanganku menjajah suatu negeri
yang ‘masih terbelakang’ adalah didesak oleh ‘mission sacre,’ tugas yang amat suci
dan mulia, membawa peradaban. Padahal peradaban yang dari saat mulanya telah
menaruh dendam.306
Hamka memberi contoh negara-negara di Barat yang banyak terjebak pada
kebangsaan yang sempit. Inggris pernah berbangga menjadi negeri di mana
‚matahari tidak pernah tenggelam‛ karena begitu luas jajahannya. Hitler
mengklaim bangsa Jerman sebagai ‚bangsa yang di atas segala bangsa‛, karena itu
‚darah Aria adalah darah yang paling bersih, dan harus selalu bersih.‛ Hal serupa
juga terjadi pada Napoleon, Hitler, Musollini, serta Rusia yang mengaku
komunismenya sebagai ideologi internasional. Tidak lupa Hamka menyebut
Amerika Serikat yang banyak memberikan pinjaman besar-besaran kepada dunia
ketiga dengan tujuan ‚supaya bangsa-bangsa itu berdiri ‘di belakang’ Amerika
dalam menghadapi Rusia.‛307
Dalam konteks ini mission sacre sebagai motivasi penjajahan Belanda atas
negeri-negeri di Nusantara diwujudkan dengan membentuk dua lembaga, pertama
adalah NGB (Nedherlandch Bijbblegenootschap/Persekutuan Injil Belanda) dan
kedua adalah KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde). Jika
NGB bergerak di bidang penyiaran agama Kristen di negeri-negeri kepulauan
Nusantara untuk menyinari warga Bumiputera dengan cahaya Bibel, maka KITLV
bergerak di bidang penelitian bahasa, geografi, dan antropologi masyarakat
Nusantara.308
Bukan hanya bangsa-bangsa Eropa, bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang
baru merdeka pun sering terjebak ke dalam kebangsaan sempit. Hamka menyebut
Mesir yang sempat ditimpa kebangsaan sempit sehingga mereka membangga-
banggakan Fir’aun, Piramida, dan Sphinx, serta merasa tidak memiliki hubungan
dengan bangsa-bangsa Arab lainnya. Demikian pula di India, di mana sekelompok

306
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 223-224
307
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 223-225. Rasa bangga yang berlebihan
bukan hanya terjadi dalam rasa kebangsaan, namun juga terhadap kelompok agama. Hamka
menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai kelompok agama yang telah terhinggapi
penyakit kebanggaan berlebihan itu. Umat Islam, lanjutnya, juga dapat tertular penyakit
ini, apalagi jika mereka membaca QS Ali Imran ayat 110 secara sepintas lalu. Karena itu
Hamka mengajak umat Islam untuk hati-hati jangan sampai terjatuh dalam kesalahan yang
telah menimpa Kaum Yahudi dan Nasrani dengan membaca ayat tersebut secara lengkap
dan memahaminya secara benar. Menurutnya, ayat yang menegaskan keunggulan umat
Islam sebagai ‚sebaik-baik umat‛ itu memberikan syarat, yaitu: 1. Menyeru kepada
kebaikan, 2. Mencegah kemungkaran, dan 3. Beriman kepada Allah. Lihat Hamka, ‚Jang
Sebaik-baik Ummat,‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 2, tahun I, 1 Juli 1959, h. 4
308
Sudibyo, Dalam Bayang-bayang Kolonialisme: Filologi dan Studi Sastra
(Yogyakarta: FIB UGM, 2009), h. 12-13

62
warga Hindu Mahasabh merasa lebih unggul dibanding warga India Muslim dan
memusuhi warga Hindu lain yang dekat dengan warga Muslim. Bahkan penyakit
ini juga sempat terjangkit di Indonesia, ketika sebagian kelompok berkeinginan
untuk kembali ke kebudayaan Indonesia asli yang berakar dari tradisi Hindu-
Buddha. Hamka menganggap ‚kembali ke kebudayaan Indonesia asli‛ itu tidak
lebih dari upaya ‚menjawakan‛ kebudayaan Indonesia. Padahal ‚kebangsaan
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan-kebudayaan
sendiri.‛309
Akibat cara pandang yang sempit terhadap tanah air itu, muncul beberapa
negarawan dan pemikir yang bersuara lantang untuk menghentikannya agar umat
manusia tidak terus masuk ke dalam lobang kehancuran. Hamka menyebut Leo
Tolstoy dan Presiden AS Wilson sebagai beberapa di antara mereka. Tokoh-tokoh
ini, ujarnya, mengajak umat manusia untuk kembali kepada rasa kemanusiaan yang
memberikan posisi setara pada seluruh umat manusia. ‚Duduk sama rendah berdiri
sama tinggi‛, ujar Hamka. Rasa cinta tanah air yang diiringi dengan rasa
kemanusiaan seperti ini, jelasnya, merupakan ‚kebangsaan yang luas‛ yang
‚memandang umat manusia itu ‘satu’.‛ ‚Boleh kebangsaan, boleh nasionalisme,
tapi berilah batas dalam batas-batas kemanusiaan. Arti kemanusiaan ialah
‘memandang alam atau dunia sebagai suatu keluarga besar, terdiri dari
kekeluargaan kecil-kecil’‛, tegas Hamka.310
Hamka menjelaskan, rasa kemanusiaan akan mengikat manusia pada aturan
universal bahwa ‚semua bangsa, betapapun warna kulitnya, atau maju atau mundur
daerahnya, semuanya ingin kepada keadilan dan kebenaran. Semua bangsa selalu
terikat kepada muslihat bersama‛, karena mereka memiliki rasa hati dan
kecerdasan akal yang sama. Sementara perbedaan warna kulit (ras), bahasa dan
perangai hanyalah disebabkan oleh perbedaan iklim. Hamka menulis, ketika
manusia terikat pada satu kekeluargaan yang besar maka,
Yang kuat bertugas membela yang lemah, bukan menekannya supaya dia lebih
lemah. Yang salah diperbaiki bersama, yang celaka ditolong bersama. Yang besar
memberi kesempatan kepada yang kecil supaya dia besar pula. Yang lebih pandai
menuntun yang bodoh supaya sama pandai, yang kecil pun insyaf akan kecilnya
sehingga tidak ‘besar mulut.’311
Atas dasar inilah Hamka melihat bahwa kecintaan pada tanah air tidak
seharusnya membuat kita memandang rendah bangsa lain. Justru yang harus
dilakukan adalah menghormati keberadaan bangsa-bangsa lain itu. Hamka menulis,
… Namun cinta kita kepada tanah tumpah darah kita sendiri tidaklah boleh
menyebabkan kita benci kepada tanah air orang lain. Hiduplah dan biarkan pula
orang lain hidup… Jangan sampai suatu bangsa mencintai kebangsaannya sendiri
tetapi tidak teringat olehnya hendak menjaga kebangsaan orang lain, jangan sampai
hina…312

309
Hamka, Di Tepi Sungai Dajlah, h. 109
310
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 225-226
311
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 225-226
312
Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 27

63
Hamka menegaskan, Islam sangat menentang nasionalisme yang digunakan
untuk menindas dan menjajah bangsa lainnya, dan mendukung nasionalisme yang
dibatasi oleh kemanusiaan.313 Agar tragedi kemanusiaan atas nama kebangsaan
tidak terjadi, Hamka menyarankan agar rasa cinta tanah air harus segera
dikembalikan kepada keimanan pada Tuhan. Keimanan akan membuat manusia
sadar bahwa tanah airnya hanyalah sejumput kecil dari dunia yang luas ini, dan
dunia hanyalah setitik bintang kecil dari jutaan bintang di cakrawala.314 Hamka
juga yakin, bencana kemanusiaan yang telah melanda umat manusia dengan
berbagai peperangan akan membuat manusia kembali menoleh kepada agama.
Manusia akan menjadikan agama sebagai ‚sumber daripada cinta tanah air yang
murni.‛ Saat itu, lanjutnya, agama akan menjadi ‚pembongkar dari instink-instink
kekejaman dan haus darah, yang selama ini memenuhi isi hati alam. Akan berganti
dengan rasa kasih sayang dan perdamaian abadi dan persaudaraan manusia‛.315
Di titik ini Hamka mengajak umat Islam untuk kembali menggali khazanah
yang diwariskan Nabi Muhammad untuk dipergunakan bagi kalangan internal umat
Islam, yang kemudian dipersembahkan bagi umat manusia seluruhnya. Khazanah
yang dimaksudkan Hamka itu adalah ajaran tentang kesatuan umat manusia,
keterikatan umat manusia dalam persaudaraan semesta, serta Islam sebagai agama
perdamaian.316 Komitmen Islam pada nasionalisme yang luas itu terlihat dari nama
agama yang dibawa Nabi Muhammad itu sendiri, Islam. Kalimat ‚Isla>m‛ itu, ujar
Hamka, serumpun dengan kalimat ‚sala>m.‛ Ketika seseorang disebut ‚Muslim,‛
sesungguhnya dia ‚menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tidak ada keraguan.‛
Karena ‚Isla>m‛ artinya ‚penyerahan‛ dan ‚selamat.‛ Hamka menjelaskan, ‚dan dia
juga berarti ‘sala>m,’ artinya ‘damai.’ Apabila seseorang telah berdamai dengan
Tuhan, dengan sendirinya dia pun berdamai dengan sesama manusia, dengan
sendirinya diapun berdamai dengan sesamanya makhluk.‛317
Hamka memandang umat manusia sebagai satu kesatuan yang terikat dalam
‚persaudaraan semesta.‛ Kesatuan manusia berakar pada kesatuan keturunan, yaitu
berasal dari Adam dan Hawa. Meski terkadang terdapat struktur sosial yang
timpang, namun sesungguhnya mereka sama di hadapan Allah. Islam tidak
mengakui perbedaan berdasarkan ras, kelas atau kasta sosial.318 Selain sama-sama
berasal dari Adam dan Hawa, manusia juga diciptakan dari bahan yang sama, air
mani. Hamka kembali menegaskan kesatuan dan kesetaraan umat manusia itu
dengan menolak kelebihan raja dan bangsawan dari masyarakat biasa. Menurutnya,

313
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan,‛ h. 4
314
Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 64
315
Hamka, ‚Hari Depan Agama (1),‛ dalam Pandji Masjarakat, no 27, tahun II, 15
Juli 1960, h. 4-5
316
Hamka, ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II),‛ dalam Pandji
Masjarakat, no 31, tahun II, 15 September 1960, h. 4
317
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 228-229
318
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 229-230. Tujuan dari penetapan standar
kemuliaan pada iman dan takwa menurut Hamka adalah untuk menghapus perasaan
sebagian manusia yang menganggap dirinya lebih unggul dari yang lain. Lihat Hamka,
Tafsir al-Azhar Jilid 8 (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 431

64
perbedaan manusia hanya didasarkan pada amal ibadah dan ketakwaannya semata,
bukan berdasar status sosialnya. Hamka juga menolak penguasaan manusia atas
manusia yang lain, sebab mereka tercipta dari bahan yang sama, air mani.
Ditegaskannya, ‚asal dari tanah, hidup atas tanah, dan akan kembali ke
tanah…‛,319 karena itu ‚manusia ini adalah satu. Perlainan daerah, bumi tempat
mereka diam, perlainan bahasa dan warna kulit, bukanlah soal. Meskipun di zaman
purbakala manusia hanya mengenal daerahnya yang sempit dan sukunya yang kecil
jumlahnya, namun semuanya itu hanyalah keragaman di dalam satu kesatuan.‛320
Hamka mendasarkan pendapatnya pada pidato Nabi Muhammad saat Haji
Wada’. Pada momen itu Nabi menegaskan bahwa pada saat itu manusia tidak bisa
lagi membangga-banggakan keturunannya, karena semuanya berasal dari Adam,
dan Adam berasal dari tanah. Nabi juga menyatakan bahwa hak kehormatan
nyawa, harta benda, dan kehormatan diri telah dijamin pemeliharaannya. ‚Sama
sucinya dengan hari mengerjakan haji itu sendiri, sama sucinya dengan bulannya,
dan sama sucinya dengan tanah suci itu sendiri. Tidak boleh diganggu gugat oleh
siapa juapun kalau tidak menurut undang-undangnya yang tertentu‛, ungkapnya.
Saat itu pula Nabi mengutip Surat al-H}ujura>t ayat 13:
                

     

‚Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya telah Kami ciptakan kamu


daripada asal seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu kenal-mengenal; dan
sesungguhnya yang semulia-mulia kamu pada sisi Allah ialah yang setaqwa-
taqwa kamu.‛321
Dalam ayat ini, jelasnya, Islam mengajarkan agar umat manusia yang terdiri
dari berbagai bangsa itu saling menghargai satu di antara yang lain (ta`a>rafu).
Penghargaan ini akan bisa muncul kalau mereka sadar jika dirinya adalah sebuah
bangsa yang setara dengan yang lainnya. Hamka menjelaskan, ‚dalam sejarah
bangsa, bukanlah berkenalan sebagai persoon sesama persoon yang perlu, tetapi
berkenalan itu duduk sama rendah, tegak sama tinggi, sanggup membuat verdrag-
verdrag dalam hal ekonomi, industri, pendidikan, peradaban dan lain
sebagainya.‛322
Kesetaraan antara sesama bangsa ini menjadi dasar bagi Hamka untuk
meminta umat Islam di Indonesia agar tidak tergesa-gesa bergabung dalam politik
Pan Islamisme yang sedang marak di dekade 1920-1930-an. Hamka beralasan,
selama belum bisa menentukan nasib sendiri (merdeka), bangsa Indonesia belum
diakui setara dengan bangsa-bangsa Arab, dan dianggap masih di bawah mereka.
Bagi Hamka ntuk sementara cukuplah umat Islam di Indonesia bersatu dalam Pan

319
Hamka, ‚Djiwa Bebas Dengan Tauhid,‛ h. 9
320
Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 182
321
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 230-231
322
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan,‛ h. 5

65
Islamisme secara akidah dan peribadatan, bukan secara politik, karena puncak dari
kebersatuan umat Islam bukanlah khalifah atau khilafat, melainkan al-Qur’an.323
Hamka pun menyarankan agar ‚... janganlah orang tergesa hendak memasuki ‘Pan
Islamisme’ dengan artian politik, sebelum politik nasionalismenya sendiri belum
sempurna. Cukupkan hingga Pan Islamisme ibadat saja dahulu, yaitu pandangan
seluruh Muslimin itu saudaramu, walaupun apa bangsanya.‛324
Mendahulukan nasib bangsa sendiri daripada Pan Islamisme kembali
ditegaskan oleh Hamka, ‚oleh karena yang demikian, tidak ada masa Pan-
Islamisme pada waktu ini, tidak ada jalan ke sana. Yang harus ditempuh lebih
dahulu adalah nasionalisme, yaitu bergeraknya tiap-tiap bangsa memperbaiki diri
masing-masing, supaya dapat kemuliaannya.‛325 Meski demikian Hamka juga
mengingatkan agar umat Islam tidak egois hanya peduli pada persoalan bangsanya
sendiri. Baginya, seorang muslim nasionalis yang positif bukanlah orang yang rasa
cinta tanah airnya hanya terlingkup dalam daerahnya yang kecil hingga tidak
peduli pada dunia luar. Bukan pula mereka yang terbuai oleh angan-angan pada
Pan Islamisme hingga lupa pada kepentingan negerinya. Muslim-nasionalis yang
positif, tegasnya, adalah mereka yang rasa kebangsaannya didasarkan pada
keimanan kepada Tuhan dan, di saat bersamaan, menjadi ‚penganjur persatuan
barisan segenap tanah Islam.‛326

323
Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 8. Hamka memandang bahwa Pan Islamisme itu
merupakan jiwa Islam yang muncul dari rasa persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah).
Karena itu Pan Islamisme bukan dimulai dari gagasan politik yang dikampanyekan Sultan
Abdul Hamid atau Ibn Saud. Namun telah ada sejak umat Islam berada, dan akan terus ada
selama adzan masih berkumandang, Ka’bah masih menjadi kiblat umat Islam, dan Padang
Arafah masih menjadi tempat berkumpul umat Islam sedunia. Di sini Hamka memberi
catatan penting pada ibadah Haji yang dianggapnya sebagai ‚Muslim International
Congres.‛ Karena Pan Islamisme merupakan jiwa Islam yang berpotensi menggoyang
kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam, bangsa-bangsa penjajah itu begitu
waspada dan mengawasi ide Pan Islamisme itu. Lihat Hamka, ‚Al-Djami’atoel Islamijah
(Pan Islamisme),‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 38, tahun II, 11 November 1936, h. 741;
dan ‚Muslim International Congres,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 6, Tahun III, 21
Pebruari 1937, halaman tidak kelihatan. Karena itu Hamka menyambut baik seruan
persatuan negara-negara Islam, khususnya pasca pembakaran Masjid al-Aqsa tahun 1969,
dengan pendirian Rabitah Alam Islami. Lihat Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 8.
324
Hamka, ‚Pan Islamisme dan Nasional-Islamisme,‛ dalam Pedoman Masjarakat,
edisi 4 Mei 1938, h. 1. Hamka melihat, jika pada dekade 1930-an ide Pan Islamisme tidak
sesemarak dekade sebelumnya, itu bukan karena ide tersebut telah terkubur, namun lebih
karena bangsa-bangsa Islam saat itu tengah berupaya melepaskan diri dari penjajahan
bangsa-bangsa Eropa terlebih dahulu. Hal itu karena, ‚...amat timpang mencapai Pan
Islamisme jika soal yang pertama ini belum selesai.‛ Lihat Hamka, ‚Al-Djami’atoel
Islamijah (Pan Islamisme),‛ h. 742
325
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Diboeaikan Mimpi ‘Pan Islamisme’,‛ dalam
Pedoman Masjarakat, edisi 22 Pebruari 1939, h. 154
326
Hamka, ‚Nasionalist Muslim,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 2 November
1938, h. 869

66
Meski gerakan Pan-Islamisme berupaya menyatukan umat Islam se-dunia,
namun pada kenyataannya gerakan ini telah menginspirasi tumbuhnya semangat
dan gerakan kebangsaan pada bangsa-bangsa muslim, khususnya bangsa Muslim
Timur. Shari>f al-Muja>hid dengan mengutip Hans Kon menjelaskan, Pan Islamisme
telah menumbuhkan semangat anti Barat, mempercepat reformasi internal,
membangunkan kesadaran diri, merestorasi kepercayaan diri, dan menumbuhkan
rasa hormat di antara mereka. Pan Islamisme juga menyadarkan bangsa-bangsa
Muslim akan kekuatan tersembunyi mereka. Jadi, jelas al-Muja>hid, meskipun
berbasis keagamaan, namun Pan-Islamisme telah meratakan jalan bagi kesadaran
kebangsaan dan kebebasan, menstimulasi kecenderungan pembaharuan, mendorong
kemerdekaan keagamaan, dan mengantar era kebangkitan kembali Dunia Islam.
Dalam praktiknya, Pan Islamisme telah mewujudkan dirinya secara bervariasi di
banyak negara, dengan warna nasionalistik dan patriotiknya.327
Hamka menjelaskan, setelah menyatukan umat manusia pada asal usulnya,
Islam juga menyatukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, dan
melarang berbuat kerusakan di bumi. Keberadaan manusia yang beragam suku
bangsa, bahasa dan warna kulit bukanlah untuk memisah-misah kemanusiaan,
namun sebagai tanda-tanda kebesaran Allah yang dimaksudkan agar mereka
mengatahui jika mereka saling membutuhkan satu sama lain.328
Komitmen Islam pada kemanusiaan, lanjut Hamka, juga ditunjukkan pada
sikapnya yang mengakui keberadaan agama-agama yang dibawa para Nabi dan
Rasul sebelumnya. Bahkan Islam mengklaim dirinya sebagai kelanjutan risalah
para Nabi-nabi itu. ‚Inti wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, itu pulalah
yang diterima oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang sebelumnya,‛ tulis Hamka.
Dengan mengutip QS al-Baqarah ayat 62, Hamka menyatakan, umat yang hidup di
zaman Nabi-nabi itu, lalu beriman dan berbuat baik, maka mereka semua akan
mendapat pahala di sisi Allah. Hal itu karena, ‚... Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak,
Musa dan Isa dan Nabi-nabi yang lain pun adalah satu keluarga dengan Muhammad
karena persatuan tugas, yaitu memberi petunjuk kepada manusia di dalam
mencapai hidup yang benar dan kebenaran itu sendiri.‛329
Bukan hanya kemanusiaan yang satu, Hamka melihat alam semesta pun
terikat pada kesatuan peraturan. ‚Peraturan yang terdapat dalam ‘atom’ yang
paling kecil di bumi, setelah diselidiki sama saja halnya dengan peraturan yang
terdapat pada matahari dan satelitnya,‛ karena jika tidak terdapat kesaturan aturan
maka ‚...kacau balaulah alam ini; sejak dari bintang-bintang di cakrawala, sampai
kepada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi, tunduk belaka kepada satu
aturan,‛ ungkapnya. ‚Demikianlah kesatuan pada makhluk. Dan makhluk yang
berkesatuan itu diciptakan pula oleh Pencipta Yang Satu,‛ ujar Hamka
menyimpulkan.330
327
Shari>f al-Muja>hid, ‚Sayyid Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>: His Role in the Nineteenth
Century Muslim Awakening,‛ Thesis, Mc Gill University, 1954, h. 143-146
328
Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!,‛ h. 4
329
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 231-232
330
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 233-234; Hamka, ‚Tjinta Tanah Air,
Kemanusiaan, dan Islam (II),‛ h. 5

67
Setelah menetapkan kesatuan umat manusia, Hamka pun mengingatkan
bahaya cinta yang berlebihan terhadap tanah air. Baginya rasa cinta yang seperti
itu merupakan tindakan menyekutukan Allah (syirik) dalam bentuknya yang
modern, karena hal itu sama dengan mengakui adanya yang suci selain Tuhan.
Kalau telah ada sesuatu barang dipandang suci dan qudus di samping Allah,
seumpama ber’abdi (menyembah) kepada tanah air, memuja kepada ‘ibu pertiwi,’
sehingga menyamai, apalagi melebihi pemujaan kepada Tuhan Allah, niscaya
berbilanglah pemusatan, dan pecah-berderailah pribadi orang yang membuat pujaan
lain itu. Kalau diri pribadi telah pecah berderai, pecah berderai tempat berdiri dan
pecah berderai pulalah tujuan hidup. Itulah pangkal segala kehancuran…!‛ 331
Syirik ini sangat berbahaya bagi kemanusian karena dapat mendorong
terjadinya peperangan dan penjajahan, dan ini akan menghancurkan kemanusiaan.
Hamka menyatakan:
Ialah memperserikatkan Tuhan dengan tanah air… Tanah yang paling indah di dunia
ini adalah tanah airku. Bangsa yang paling tinggi adalah bangsaku. Dia senantiasa
dalam kebenaran, walaupun salah kata orang lain. ‘Benar atau salah adalah tanah
airku’. Darah bangsaku adalah darah yang paling bersih. Bangsakulah yang berhak
mengatur dunia. Bangsa lain yang menjadi tetanggaku haruslah menggabungkan diri
ke dalam tanah airku! Kalau mereka ingkar halallah diperangi….332
Manusia akan ditimpa siksa yang hebat dahsyat, perikemanusiaan akan hancur
berantakan jika dia keluar dari garis ini. Manusia akan tersiksa jiwanya jika dia
mensyerikatkan Tuhan dengan yang lain. Sebab yang lain tidak dapat berbuat apa-
apa. Dan keadilan tidaklah akan bertemu, dan kebenaran tidaklah akan berjumpa
kalau kemanusiaan pecah.333
Meski demikian Hamka juga melihat sisi baik kebangsaan. Hamka
mengungkapkan, dengan kebangsaan (nasionalisme) bangsa-bangsa akan terdorong
untuk berlomba-lomba mencapai kemajuan. ‚Sebab perlainan kebangsaan
menimbulkan perlombaan hendak meningkat kedudukan lebih mulia,‛ jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskan,
Perlombaan itu bukan sedikit mendatangkan keuntungan bagi kemajuan dunia.
Sebagaimana dua perkumpulan atau tiga perkumpulan berdiri dalam satu kota,
ketiganya mendirikan sekolah dan berlomba mencari murid, meskipun timbul
potong memotong di antara dia sama dia, tetapi anak-anak yang tidak kebahagian
sekolah tidak ada lagi, apalagi kalau berlomba pula menurunkan uang sekolah. Cuma
mana yang kurang hati-hati juga yang kerap kali kalah dan terledor.334
2. Islam Sebagai Ruh Kebangsaan Indonesia
Hamka melihat adanya kesamaan antara kebangsaan Indonesia dengan apa
yang dilakukan Nabi ketika mempersatukan suku-suku di Arab menjadi satu
identitas ‚Arab seluruhnya‛. Inilah ‘As}a>biyyah besar’ yang ‚berusaha
mempersatukan bahagian-bahagian dari negeri kita, menjadi persatuan Indonesia
Raya,‛ ungkapnya.335 Namun Hamka tetap menyadari bahwa keberhasilan

331
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 237
332
Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 63-64
333
Hamka, ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II),‛ h. 5
334
Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 28
335
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama,‛ h. 52

68
menyatukan suku-suku yang berbeda di wilayah Hindia Belanda itu baru tahap
awal dari kebangsaan Indonesia. Langkah selanjutnya adalah memasukkan bangsa-
bangsa lain (orang asing/non-pribumi) yang telah tinggal lama di wilayah
Indonesia dan berketurunan di sini ke dalam keluarga besar bangsa Indonesia. Bagi
Hamka hal ini merupakan tugas yang cukup sulit mengingat di banyak negara
Eropa hal seperti ini menjadi permasalahan yang serius, meski kemudian mereka
mampu menyelesaikannya. 336
Menurut Hamka Islam merupakan ruh yang membebaskan Indonesia dari
penjajahan dan mempersatukannya, karena ajaran tauhid telah memberi spirit
kebebasan dan kemerdekaan pada rakyat Indonesia untuk melawan penjajahan
kolonial Barat.337 Terbukti, pribadi-pribadi besar yang telah memulai perjuangan
kemerdekaan di tanah Indonesia ini adalah ‚manusia-manusia yang berkeyakinan
pada Ketuhanan Yang Maha Esa‛.338
Hamka menjelaskan, ruh tauhid ini telah menjiwai perjuangan para pahlawan
yang menggunakan senjata. Perlawanan yang yang dilakukan Diponegoro, Imam
Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin
Makassar, Maulana Hasanuddin Banten, hingga Sultan Khairun dan Baabullah di
Ternate, tegas Hamka, didasarkan pada spirit keislaman. Bahkan Pattimura di
Maluku dan Si Singamangaraja di Batak juga tidak lepas dari spirit ini. Perjuangan
Pattimura, jelasnya, tidak lepas dari dorongan gurunya, Sahid. Sementara Si
Singamangaraja terpengaruh oleh ajaran agama Permalim. Permalim sendiri, jelas
Hamka, merupakan ‚agama Islam yang belum selesai‛ akibat dakwah Islam yang
belum tuntas di daerah itu.339
Spirit iman yang mendasari perjuangan itu terlihat dari berbagai simbol
keislaman yang mereka gunakan. Gelar Amirul Mukminin dan Khalifatullah yang
digunakan Pangeran Diponegoro, serta lambang ‚bulan sabit‛ pada pelana kudanya
membuktikan hal itu, begitu juga dengan tasbih yang selalu dipegang oleh Tuanku

336
Hamka, ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep),‛ h. 26-27
337
Lihat Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 22-24
338
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 14
339
Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar...,‛ h. 102-103. Di tulisan lain Hamka menyebut
perjuangan Pattimura didampingi oleh ulama bernama Sayid Perintah dari Saparua.
Sementara Si Singamangaraja berjuang dengan didampingi oleh ulama-ulama dari Aceh
dan Minangkabau. Lihat Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 22 dan Hamka, Sedjarah Islam
di Sumatera, (Medan: Pustakan Nasional, 1950), h. 36. Lebih dari itu, A Mansur
Suryanegara malah menyebut Si Singamangaraja XII sebagai seorang Muslim. Nama
aslinya adalah Patuan Besar Ompu Pulo Batu. Dia keturunan ke 12 dari Dinasti Si
Singamangaraja dari keluarga Sinambela. Suryanegara mendasarkan kesimpulannya pada
cap stempel Singamangaraja XII yang bertuliskan ‚Inilah Cap Maharaja Di Negeri Toba
Kampung Bakara Nama Kotanya. Hijrah Nabi 1304‛, dan diperkuat dengan gambar
bendera yang tampak dipengaruhi Islam. Suryanegara juga mengutip surat kabar Belanda
yang menulis: ‚Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang semenjak 5 tahun
yang telah lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula ia tidak menekan supaya
orang-orang sekelilingnya menukar agama.‛ Lihat A Mansur Suryanegara, ‚Si
Singamangaraja XII Gugur Sebagai Pahlawan Islam,‛ dalam Panji Masyarakat, no 207,
tahun XVIII, 15 September 1976, h. 34-37

69
Imam Bonjol. Teuku Cik Ditiro menamakan pasukannya dengan ‚Muslimin‛.
Bahkan Raja Aji meninggal dengan memegang kitab Dalailul Khairat dalam
pertempuran melawan Belanda di pantai Malaka.340
Dalam tulisannya yang lain Hamka juga memberikan gambaran hal itu pada
kisah Sentot AliError! Reference source not found. Basyah yang ditangkat Belanda.
Kemudian dibuang ke Sumatera. Di sana dia dibujuk oleh Belanda untuk
memerangi pasukan Paderi di Minangkabau. Dengan segenap pasukannya Sentot
pun berangkat berperang. Namun mereka kaget ketika mendengar suara azan di
daerah yang akan diserang itu. Sementara pasukan Paderi juga kaget saat
mengetahui pasukan Sentot yang menggunakan serban. Kedua pasukan itu pun
kemudian menghentikan pertempuran dan sepakat bersekutu untuk memerangi
Belanda. Meskipun persekutuan itu gagal karena Belanda terlebih dulu
mengetahuinya.341
Spirit tauhid inilah yang dilihat Hamka sebagai pembeda antara revolusi
yang terjadi di negara-negara Barat (Perancis dan Rusia) dengan
revolusi/perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Dalam revolusi Perancis dan Rusia
tergambar kebosanan rakyat pada agama. Ajaran Voltaire, tulis Hamka,
memperdalam rasa bosan rakyat Perancis pada kaum agamawan yang berkuasa
sejak Abad Pertengahan. Sementara ajaran Karl Marx yang memandang agama
sebagai candu dan angan-angan rakyat akibat tekanan ekonomi mendorong
terjadinya revolusi di Rusia. Namun tidak demikian yang terjadi di Indonesia.
Justru agama (Islam) lah yang memberikan dorongan terjadinya revolusi itu.
Hamka menyatakan, ‚… Di dalam anasir atau bahan penglaksanaan revolusi
Indonesia, ada termasuk di antara lain-lain satu cita-cita yang tersimpan di dalam
hati tiap-tiap kaum Muslimin, tiap-tiap pengikut Nabi Muhammad, seluruh dunia
Islam. Yaitu menegakkan suatu negara yang diridhai Allah…‛342
Tauhid juga memberi jiwa bagi perjuangan dengan organisasi pergerakan
seperti HOS Tjokroaminoto. Bahkan perjuangan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta
pun, menurut Hamka, didasarkan pada spirit ini, seperti yang ditulisnya, ‚tidak ada
perhitungan, hanya satu saja, Ketuhanan Yang Maha Esa. Cobalah tanyai kepada
Bung Karno, kepada Bung Hatta, bukankah hanya itu saja modal yang ada dalam
hati mereka di waktu itu?‛.343 Perjuangan berdasar iman ini pun disambut oleh
rakyat dengan semangat keimanan. Dasar keimanan inilah yang dilihat Hamka
sebagai sumber energi bagi rakyat Indonesia bisa bertahan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, apapun resikonya, hingga Sukarno-Hatta ditangkap dan
dibuang ke Bangka. ‚Musuh menyangka bahwa akan padamlah perjuangan bangsa
Indonesia, tetapi tidak padam. Karena bukan Sukarno dan bukan Hatta yang
mereka jadikan sandaran, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa saja‛, ujarnya.344

340
Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar...,‛ h. 105-107
341
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 69-70
342
Hamka, Revolusi Agama (Jakarta: Pustaka Antara, 1949), h. 11; Hamka,
‚Pertjaja Kepada Allah,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 23, tahun II, 15 Mei 1960, h. 4
343
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 15
344
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 16

70
Tentang dasar iman dalam perjuangan kemerdekaan tersebut Hamka
menulis,
Cahaya telah bertemu dengan cahaya. Cahaya iman kedua pemimpin itu (Soekarno-
Hatta, pen) telah membangkitkan cahaya iman yang terpendam dalam hati kaum
Muslimin, hingga mereka telah bangun, mengambil keris pusakanya, pedang
janawinya, bambu runcingnya, dan kitab suci di tangan kanannya. Turut tampil ke
muka, ke medan perjuangan, ke medan pemberontakan, ke medan penentuan
bersama-sama dengan saudara-saudara yang lain.345
Karena itu Hamka mengingatkan agar perjuangan membela tanah air harus
selalu diniatkan karena Allah semata. Perjuangan yang bukan karena Allah dinilai
Hamka sebagai ‚bertumpang di biduk lapuk‛. Hal itu karena tanah air hanyalah
makhluk Allah yang tidak bisa memberi pahala atas perbuatan-perbuatan manusia.
Apalagi perjuang itu pasti lintas generasi dan lebih lama daripada usia manusia.
‚Tak dapat kita mengubah keyakinan kita, bahwa jika kita anak Indonesia hendak
memuliakan, memerdekakan ‘ibu’ Indonesia, hendaklah kita mengikhlaskan diri
karena Allah‛, ungkapnya.346 Lebih lanjut dinyatakan:
Kalau bukan karena Allah, guna apa kita bekerja? Perjuangan itu selalu lebih besar
susahnya daripada mudahnya. HOS Tjokroaminoto meninggal, Indonesia masih
korat karit. Soetomo wafat, Indonesia masih kocar kacir. Rivai mati, Indonesia
masih begitu juga. Maka mana yang bergerak tidak karena Allah, badan payah
keringat mengalir, upahnya belum juga dilihat atas diri sendiri.
Karena Allah, bergeraklah karena Allah, walaupun perkumpulan itu politik
kebangsaan yang tidak menuliskan ‘berdasar Islam’. 347
Hamka menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang
sempit (chauvinisme), yaitu kebangsaan yang dibangun di atas identitas dan
kejayaanan masa lalu suku-suku yang ada di Nusantara. Kebangsaan berdasar suku,
jelasnya, hanya akan melahirkan reaksi dari suku-suku lainnya sehingga persatuan
tidak akan tercapai. Agar bangsa Indonesia bisa selamat, Hamka kembali
menegaskan jalan yang harus ditempuh, yaitu kebangsaan yang berpadu dengan
kesadaran keagamaan. Hamka menulis, ‚apabila telah berpadu kesadaran bangsa
dengan kesadaran beragama, jayalah kita di dunia dan jayalah kita sampai ke
akhirat...‛.348 Karena itu bangsa Indonesia harus ‚...berpegang teguh kepada Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu sajalah yang akan menjamin selamatnya
kebangsaan Indonesia ini. Dialah yang akan sangat progressief jika keadaannya
mesti berubah‛.349
Bagi Hamka, kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keislaman.
Identitas kebangsaan itu telah terbentuk sejak lama, jauh sebelum Indonesia
merdeka. Umat Islam sejak awal secara tegas telah mengakui identitas tersebut.

345
Hamka, Tjahaja Baru, h. 20
346
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa
Asing,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 1 Pebruari 1939, h. 93
347
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: Gerakan Politiek ...,‛ h. 94
348
Hamka, ‚Djakarta Lambang Kemenangan Islam,‛ dalam Gema Islam, no 12,
tahun I (15 Juli 1962), h. 7
349
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 28-33; H Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan
Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka,‛ dalam Asy-Syir’ah, vol 43, no 1, 2009, h. 239

71
Bahkan Hamka mengklaim, justru umat Islamlah yang terlebih dahulu memiliki
kesadaran kebangsaan daripada kaum intelektual hasil didikan sekolah-sekolah
Belanda. Identitas kebangsaan itu berupa kesadaran sebagai ‚Bangsa Jawi‛.
Sudah beratus-ratus tahun lebih dahulu sebelum pergerakan kebangsaan, orang Islam
yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai di ‘Ba>b al-Su’al’ (pintu pertanyaan)
siapa nama dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si fulan dan saya
bangsa JAWA!.
Satu masa nama kita semuanya bangsa Melayu. Satu masa lagi nama kita bangsa
JAWA, dan baru sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 kita bernama Bangsa
Indonesia. Bukan nama bangsa yang penting, tetapi rasa kebangsaanlah yang
dahulu!.350
Hamka menjelaskan, ketika bertemu dengan bangsa-bangsa lain di luar
negeri, umat Islam selalu menyebut dirinya sebagai bangsa Jawa/Jawi terlebih
dahulu. Baru kemudian menyebut nama suku-bangsanya. Maka dikenallah ‚Jawa-
Padang‛, ‚Jawa-Sunda‛, ‚Jawa-Madura‛, ‚Jawa-Banjar‛, atau ‚ Jawa-Bugis.‛
Sementara untuk orang Jawi yang berasal dari suku Jawa menyebut dirinya sebagai
‚Jawa-Mriki.‛ Perubahan dari identitas ‚bangsa Jawi‛ menjadi ‚bangsa Indonesia‛,
jelasnya, adalah bertujuan agar orang-orang suku Jawa tidak merasa lebih tinggi
dari suku lain, dan suku-suku lainnya tidak merasa inferior dari suku Jawa.
Hal ini berbeda dengan orang-orang berpendidikan Belanda yang belum
tegas menyatakan identitas kebangsaannya, bahkan pun setelah Sumpah Pemuda
diikrarkan. Demikian Hamka mengritik mereka, ‚Padahal orang-orang
berpendidikan Belanda kalau datang ke negeri Belanda tidaklah dapat memberikan
jawab setegas itu. Padahal sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang ada baru
‘Jong Java’, ‘Jong Sumatera’, ‘Jong Celebes’, dan berbagai macam Jong?.‛351
Dengan pandangan seperti ini Hamka tegas menolak jika kebangsaan
Indonesia dirujukkan kepada unsur-unsur non-Islam. ‚… Hingga jelaslah bahwa
bukan jiwa Kejawen, jiwa Majapahit, jiwa Sriwijaya yang dibangunkan kembali
untuk masa depan, tetapi jiwa Nabi Muhammad,‛ tulisnya.352 Hamka mengakui,
memang ada tiga unsur yang mempengaruhi kepribadian bangsa Indonesia: Hindu-
Buddha, Islam, dan peradaban Barat. Namun Hamka merasa aneh karena pasca
kemerdekaan banyak kebudayaan non-Islam yang bebas hidup dan memberikan
pengaruhnya terhadap kepribadian nasional Indonesia. Sementara kebudayaan
Islam terkesan dikesampingkan bahkan diberi label ‚kebudayaan Arab‛ dengan
nada peyoratif. Padahal Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Islam
juga telah memberi kontribusi bagi bangsa Indonesia untuk tetap bertahan meski
selama berabad-abad ditekan oleh kekuatan kolonial Barat. Baginya, Islam adalah
‚satu kebudayaan yang telah mempertahankan pribadi Indonesia sehingga tidak
dapat ditelan mentah-mentah oleh penjajah, sebagaimana telah tertelannya Indian

350
Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!‛, h. 3-4
351
Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!‛, h. 4
352
Hamka, Tjahaja Baru, h. 23

72
di Amerika dan bangsa asli Australia.‛353 Hamka kembali menegaskan peran
penting Islam bagi Indonesia:
Lepas dari benar tidaknya bilangan tahun masuknya Islam di Indonesia, dan dengan
tidak mengindahkan pula bahwa di antara 90% itu ada yang Islam-islaman saja,
namun agama Islam sudah tidak dapat disangkal lagi paling besar modalnya dalam
membina kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan pengaruh-pengaruh
lainnya‛.354
Bukan hanya menjaga eksistensi bangsa Indonesia, Hamka juga meyakini,
hanya dengan kebangsaan yang berakar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sajalah
perdamaian dan tata dunia baru yang adil dan makmur sebagaimana yang dicitakan
dalam Pembukaan UUD 1945 akan dapat diwujudkan.
Tidak lagi surut ke belakang sejarah, membanggakan kebesaran yang lampau;
‘kebudayaan asli’, yang definisi aslinya itu tidak dapat pula ditunjukkan. Dan sila
dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu telah mengajarkan, bahwasanya seluruh bangsa
adalah kawan, seluruh manusia adalah sahabat, dan tujuan yang paling akhir ialah
perdamaian kemanusiaan menegakkan dunia yang baru yang adil dan makmur‛355
Hal itu karena ‚Lantaran berjuang dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
itu saja, maka dengan sendirinya mereka telah mempunyai peri-kemanusiaan yang
tinggi. Karena manusia dan kemanusiaan yang setinggi-tingginya, pada keyakinan
dan kepercayaan mereka, dan dalam praktek hidup mereka, ialah yang paling dekat
hubungannya dengan Tuhan‛, tegasnya.356
Meski begitu menekankan peran penting Islam bagi pembentukan
kebangsaan Indonesia, Hamka tetap menyadari realitas sosial politik yang ada,
khususnya menjelang kemerdekaan. Hamka menjelaskan, di awal-awal
pertumbuhannya, gerakan kebangsaan dipegang oleh tokoh-tokoh Islam semacam
HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim. Namun pasca Tjokroaminoto, kendali
kepemimpinan pergerakan kebangsaan Indonesia dipegang oleh tokoh-tokoh yang
secara ideologi berbeda dengan keduanya, seperti Soekarno dan Hatta. Sementara
dari kelompok Islam belum muncul sosok yang bisa menggantikan Tjokroaminoto.
Hal itu membuat cita-cita menegakkan nasionalisme berbasis Islam menjadi sulit
tercapai.357
Keberadaan umat agama lain pun tidak luput dari perhatian Hamka. Di sini
Hamka bersikap terbuka dan positif pada mereka. Ini setidaknya terlihat dari
penolakannya atas adanya peraturan-peraturan yang memberikan keistimewaan
pada umat Islam. Pertama, Hamka menolak usulan bahwa yang berhak menjadi
kepala pemerintahan (staatshoofd) Indonesia adalah orang yang beragama Islam.

353
Hamka, ‚Kebudajaan Arab atau Kebudajaan Islam,‛ dalam Pandji Masjarakat, no
16, tahun II, 1 Pebruari 1960, h. 3
354
Hamka, ‚Keutamaan Mu’min,‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 24, tahun II, 1 Juni
160, h. 3
355
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 33. Hamka menganggap kebudayaan asli
tersebut tidak lebih dari upaya jawanisasi Indonesia. Lihat Hamka, Di Tepi Sungai Dajlah,
h. 109
356
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 17
357
Hamka, ‚Undang-undang Dasar Indonesia dan Tjita-tjita Islam,‛ dalam Hikmah,
no 10, tahun IX, 17 Maret 1956, h. 7

73
Kedua, Ia juga menolak usulan tentang dua pertiga anggota kabinet harus orang
Islam. Ketiga, Hamka menolak usulan bendera kebangsaan Indonesia merah-putih
diberi tambahan gambar bulan sabit.
Sikap Hamka in dinyatakan secara tegas sebagai tanggapan atas proposal
(voostel) Dewan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang akan dibawa ke dalam
musyawarah yang melibatkan organisasi-organisasi Islam yang menjadi
anggotanya. Dalam draf usulan itu terdapat empat hal yang akan diajukan, selain
tiga yang disebutkan di atas, Dewan MIAI juga mengusulkan adanya kementerian
khusus yang mengurus kepentingan umat Islam (Ministerie van Islamietische
Zaken). 358 Usulan ini juga disampaikan juru bicara MIAI, Wondoamiseno, kepada
GAPI (Gabungan Politik Indonesia) ketika federasi pergerakan politik yang
didirikan tahun 1939 itu menyusun suatu memorandum tentang konstitusi
Indonesia masa depan. Wondoamiseno menyatakan, MIAI mendukung upaya ini
asal memuat keempat hal di atas.359
Dalam tanggapannya, Hamka menyatakan belum memberikan komentar
tentang kementerian khusus tersebut. Namun dia memberikan sikapnya terkait tiga
usulan lainnya. Menurutnya, sulit untuk menerima aturan tentang kepala
pemerintahan harus beragama Islam secara hitam putih termaktub dalam Undang-
undang Dasar (grondwet). Karena hal itu akan membuat renggang hubungan
dengan umat agama lain di negeri ini. Bahkan Hamka memandang hal tersebut
sebagai sesuatu yang tidak perlu. Sebab mayoritas rakyat Indonesia telah beragama
Islam. Pun demikian mayoritas pemimpin yang terlibat dalam pergerakan politik,
baik yang berasas Islam atau bukan Islam, dan mayoritas anggota Dewan Rakyat
(Volksraad) juga beragama Islam. Hamka menjelaskan:
Untuk menciptakan seorang Staatshoofd muslim, bukanlah dari kini membuat
aturan demikian, karena dari bermula hal itu sudah bisa menimbulkan sakit hati
dengan kawan lain yang bukan seagama. Menciptakan seorang Staatshoofd Islam,
ialah dengan jalan membanyakkan persoon-persoon muslim yang berkaliber besar,
yang luas faham, yang bisa diakui oleh segala pihak bahwa dia penganjur mereka,
bapak mereka, walaupun dia seorang Islam yang besar dan taat di dalam

358
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ dalam Pedoman Masjarakat, No 21, Tahun VII (21
Mei 1941), h. 401-402. MIAI dibentuk di Surabaya atas inisiatif Mas Mansur
(Muhammadiyah), Muhammad Dahlan dan Wahab Hasbullah (NU), serta W
Wondoamiseno (SI) pada 21 September 1937. MIAI merupakan federasi dari pergerakan
Islam saat itu. Di awal mula ada 7 anggota. Kemudian menjadi 21 pada tahun 1941. Untuk
mewujudkan persatuan antara pergerakan-pergerakan Islam saat itu, MIAI aktif
menyelenggarakan Kongres Al-Islam. Lihat Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 262-267.
Meski tidak sependapat dengan beberapa usulan MIAI tersebut, Hamka sejak awal
mendukung pendirian MIAI. Bahkan sejak sebelum federasi itu berdiri. Menurutnya,
sebuah lembaga yang menyatukan semua elemen umat Islam di Indonesia amat penting
berdiri untuk ‚membicarakan kepentingan umat Islam umum‛ dan ‚berikhtiar
mempertinggi martabat umat,‛ yang manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat Islam.
Bukan hanya kelompok-kelompok tertentu saja. Lihat Hamka, ‚Madjlis ‘Oelama Tinggi,‛
dalam Pedoman Masjarakat, No 5, Tahun III (14 Pebruari 1937), h. 97
359
Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Bandung: Mizan, 2000), h.
20-21

74
keislamannya. Jangan orang-orang yang setelah maju di dalam Islam dia menjadi
seorang yang fanatik, buta faham, sempit pendirian, sehingga hanya pihaknya saja
yang mengakuinya, pihak lain tidak. 360
Untuk mewujudkan pribadi pemimpin yang seperti itu, tulis Hamka,
tempatnya bukan di dalam perundang-undangan, namun di dalam dakwah dan
penyiaran agama. ‚Oleh sebab itu maka perjuangan buat mencapai maksud ini
bukanlah di dalam grondwet tempatnya, tetapi di dalam jalan propaganda agama
dan penyiarannya, serta pergaulan yang rapat di antara kaum intelektueel dan
ulama‛, ujarnya.361 Dari sekian banyak tokoh politik muslim saat itu, hanya sedikit
yang dinilai Hamka memenuhi kriteria tersebut. Di antara yang sedikit itu, Hamka
menyebut HOS Tjokroaminoto dan Mohammad Hatta. Menurutnya, keduanya itu
merupakan tokoh nasionalis yang besar, juga muslim yang taat, dan semua
golongan memandangnya sebagai penganjurnya yang besar.362
Alasan serupa juga digunakan Hamka untuk menolak usulan dua pertiga
menteri kabinet harus beragama Islam. Hamka mengungkapkan:
Yang kedua, supaya 2/3 dari para wazir (ministers) hendaklah beragama Islam.
Hampirlah sama dengan yang di atas itu. Di Volksraad sekarang saja, sudah tercapai
9/10 dari anggota bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini akan terjadi
senantiasa, kalau sekiranya golongan Islam bertambah banyak yang aktif di dalam
perjuangan politik tanah air.363
Karena itu Hamka menyambut baik keterlibatan tokoh-tokoh pergerakan
Islam dalam medan perjuangan politik, seperti kemunculan Partai Islam Indonesia
(PII). Apalagi para pengurus partai tersebut selama itu dikenal sebagai aktivis
Islam seperti RM Wiwoho, Dr Soekiman, Wali Al-Fatah, Mr Kasmat, A Kahar
Moezakkir, Farid Ma’roef, M Rasjidi, Ki Hadikoesoemo, dan HM Soedjak.
Menurut Hamka, keberadaan PII akan membuat gerakan Islam di Indonesia
kembali bersemangat, ‚Kebangunan kebangsaan Indonesia, selama ini terpegang
oleh tangan orang-orang yang tidak mengerti agama, sekarang akan diambil over
kembali, sekurangnya, kaum gerakan agama akan turut dalam barisan membela
kebangsaan kita, walaupun kaum yang tidak perduli kepada kepentingan Indonesia
ini, tidak juga akan menerima.‛364
Hamka juga menolak penambahan gambar bulan sabit pada bendera merah
putih, karena hal itu akan mendorong pihak agama lain meminta hal serupa. Orang
Kristen, ujarnya, akan meminta gambar Salib ditambahkan. Tuntutan serupa juga
bisa muncul dari umat Hindu di Bali. Hamka bersepakat dengan cukup ‚merah
putih‛ sebagai warna bendera karena itu merupakan bendera persatuan yang telah

360
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 401
361
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402
362
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 401
363
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402
364
Hamka, ‚Samboetan Kita Atas: Party Islam Indonesia,‛ dalam Pedoman
Masjarakat, edisi 14 Desember 1938, h. 1008. Partai Islam Indonesia (PII) didirikan pada 4
Desember 1938 dengan Wiwoho sebagai ketuanya. Wiwoho merupakan mantan aktivis JIB
dan saat itu menjadi anggota Volksraad. Di tingkat pusat pimpinan PII mayoritas terdiri
dari tokoh-tokoh Muhammadiyah. Menurut Deliar Noer PII lahir dari perpecahan yang
terjadi dalam tubuh PSII. Lihat Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 175-179

75
disepakati bersama,365 apalagi Hamka melihat warna merah putih tersebut
bersesuaian dengan warna bendera kesultanan di Solo.366 Persoalan lainnya yang
dikemukakan Hamka adalah mengenai validitas bulan sabit sebagai simbol Islam.
Di sini Hamka mempertanyakannya sebagai simbol Islam, ‚atau hanyakah itu
simbol bendera kerajaan Usmaniyah, yang kemudian disambung oleh bendera
Turki sekarang dan bendera Mesir? Kalau tidak, mengapa Persi, Irak dan Saudi
Arabia tidak menggunakan simbol itu?‛.367
Sikap terbuka Hamka juga diperlihatkan pada respons positifnya atas asas
‚kebangsaan‛ yang dianut beberapa pergerakan nasional, salah satunya Permi
(Persatuan Muslimin Indonesia). Permi didirikan tahun 1930 dengan basis
utamanya pada pelajar dan alumni Thawalib di Sumatera. Pada 1932 Permi
berubah menjadi partai politik dengan mencantumkan asas ‚Islam dan
kebangsaan.‛368 Asas ini dipilih oleh pendirinya, Haji Ilyas Yakub dan H Mukhtar
Lutfi, berdasar atas pengalaman keduanya selama belajar di Mesir dan dari
pengamatan mereka terhadap pertentangan antara SI dengan PNI mengenai Islam
dan kebangsaan.369
Meski diniatkan untuk menampung aspirasi umat Islam di Sumatera, asas
Permi ini mendapat tanggapan negatif dari para tokoh-tokoh pembaharu. Deliar
Noer menulis AR Sutan Mansur dan Hamka yang didukung Haji Rasul mengritik
asas Permi tersebut. Menurut mereka, tulis Noer, Islam tidak perlu ditambahi
dengan kebangsaan, karena Islam telah telah cukup, telah sempurna. Untuk
menyerang Permi, kalangan Persis membuat slogan ‚ada Islam yang pakai ‘dan’,‛
dan ‚ada Islam yang tak pakai ‘dan’,‛. Persis dan kelompok non-Permi mengklaim
diri mereka sebagai kelompok terakhir ini.370

365
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402
366
Hamka, ‚Islam dan Kebangsaan: ‘Dan’, Bendera dan Lagoe,‛ dalam Pedoman
Masjarakat, edisi 15 Februari 1939, h. 127. Dalam tulisan ini Hamka menjelaskan bahwa
bendera dan lagu kebangsaan merupakan urusan adat istiadat dan kebangsaan yang mubah
dalam agama, bukan termasuk urusan ibadah. Umat Islam boleh menggunakan bendera dan
lagu kebangsaan. Serta berdiri memberi hormat kepadanya. Penghormatan itu sendiri bukan
sebagai bentuk ibadah dan tidak berarti menganggap bendera sebagai Tuhan. Tidak ada
nash yang melarangnya. Di zaman Rasul sendiri telah digunakan bendera dalam
peperangan. Lagu-lagu juga dinyanyikan sebagai penguat semangat pasukan perang.
367
Hamka, ‚Tjita-tjita MIAI,‛ h. 402
368
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 ,(Jakarta: LP3ES,
1991), h. 59-60, 284.
369
Firdaus Syam, Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan
Politik, (Jakarta: Dyatama Milenia, 2004), h. 135
370
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam..., h. 284-285. Namun pada tulisannya yang
lain Noer menyatakan bahwa Hamka sepakat dengan kalangan Persis dalam hal
nasionalisme sekular yang memiliki pandangan chauvinistik sebagai As}abiyyah. Meski
demikian, tulis Noer, Hamka bisa memahami posisi kaum nasionalis yang netral agama.
Karena itu Hamka berupaya menyerasikan kebangsaan dengan Islam. Di titik inilah, simpul
Noer, letak perbedaan Hamka dengan Persis. Dari sini tampaknya Noer mulai memandang
Hamka secara lebih detail. Lihat Deliar Noer, ‚Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju

76
Penyantuman nama Hamka sebagai salah satu pihak yang menolak asas
kebangsaan itu kiranya perlu ditinjau kembali. Mengingat dalam banyak tulisannya
di Pedoman Masjarakat, Hamka tidak pernah mempermasalahkannya, bahkan dia
bisa menerima asas tersebut. Menurut Hamka, tuduhan men-dan-kan atau
menyandingkan Islam dengan kebangsaan dalam asas pergerakan sebagai
mencampuradukkan yang haq dengan yang batil itu sesungguhnya tidak tepat.
Khususnya dalam kasus asas ‚Islam dan kebangsaan‛ pada Permi. Berikut
penjelasan Hamka:
Setelah diselidiki ternyatalah bahwa kebangsaan yang mereka maksudkan ialah
kebangsaan yang diizinkan Islam, diridhai Islam, kebangsaan yang memang diakui
oleh Islam. Mereka ‘dan’-kan Islam dengan dia untuk penjelaskan program yang
mereka kerjakan, bukan sekali-kali kebangsaan Hindu atau hendak kembali ke
zaman Minangkabau lama atau ke zaman Hindu Majapahit.371
Hamka mengakui Islam memang telah sempurna dan mencukupi, temasuk
juga mencakup kebangsaan. Namun menambahkan kata ‚dan kebangsaan‛
bukanlah suatu kesalahan. Secara kebahasaan, jelasnya dengan mengutip
pernyataan Permi, penambahan itu berarti sebuah penekanan. Ini seperti perintah
Allah kepada kaum muslimin untuk menjaga shalat lima waktu dan shalat wust}a>
(pertengahan). Shalat wust}a> itu, jelasnya, sudah tercakup dalam shalat lima waktu,
namun tetap saja disebut oleh Allah. Sama juga seperti perintah ‚taat kepada
Allah, Rasul, dan ulil amri‛. Perintah ‚taat kepada Allah‛ sesungguhnya sudah
mencukupi dan mencakupi ‚kepada Rasul‛ serta ‚ulil amri‛, namun Allah tetap
saja menyebut keduanya.372
Jadi men-‘dan’-kan Islam dengan kebangsaan – karena demikianlah maksudnya-
tidaklah salah. Yang salah ialah tergesa menerka maksud orang lain, sebelum
diketahui sedalam-dalamnya maksud orang itu…
Sebab itu tidaklah salah kalau ada orang menamai dirinya ‘Nasionalis Muslim
Indonesia’ untuk membedakannya dengan ‘Nasionalis Kristen Indonesia’, malah
lebih baik lagi supaya nyata bahwa nasionalisme yang dianutnya itu tidak akan
keluar dari garis Islam.373
Hamka juga tidak mempermasalahkan pergerakan nasional lainnya yang
hanya mencantumkan asas kebangsaan, karena dia memandang kebangsaan itu
tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan Hamka menyatakan bahwa pergerakan
yang berasas kebangsaan seperti Parindra (Partai Indonesia RayaError! Reference
source not found.) perlu untuk dibantu. ‚Kalau sesuatu pergerakan politik bangsa
Indonesia itu, tujuannya hendak menyelamatkan rakyat, masyarakat dan
mengangkat derajat bangsa dan nusa, adalah fardhu kifayah dimasuki umat Islam‛,
ujarnya. Akan lebih baik lagi, lanjut Hamka, ketika umat Islam masuk ke dalam
pergerakan yang berasas kebangsaan itu juga melakukan dakwah di dalamnya.374

Identitas Indonesia,‛ dalam Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga
Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 44
371
Hamka, ‚ ‘dan’, Bendera dan Lagoe‛, h. 126
372
Hamka, ‚ ‘dan’, Bendera dan Lagoe‛, h. 126
373
Hamka, ‚ ‘dan’, Bendera dan Lagoe‛, h. 126-127
374
‚Thamrin dan Hamka di Kalimantan,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 43, tahun
III, 10 November 1937, h. 864

77
Meski demikian Hamka kembali mengingatkan agar dalam perjuangan itu
tetap diniatkan karena mencari ridha Allah. ‚Karena Allah, bergeraklah karena
Allah, walaupun perkumpulan itu politik kebangsaan yang tidak menuliskan
‘berdasar Islam’,‛ ujarnya. Pergerakan tanpa niat karena Allah itu percuma, tidak
akan mendapatkan balasan. Meski demikian, lanjutnya, ‚niat karena Alah‛ itu
tidak harus disebutkan dalam statuten pergerakan. Hamka menyatakan:
Tetapi apakah perlu ‘karena Allah’ itu dituliskan pula di dalam statuten? Tidak
perlu! Karena itu hanya mengajar riya semata-mata. Menyebutkan karena Allah
supaya lepas dari tuduhan manusia bergerak tidak karena Allah, adalah suatu
perbuatan yang telah terlepas dari karena Allah.
Karena Allah itu adalah ‘ikhlas’, dan ikhlas bukan tertulis di dalam kertas, tetapi
terlukis di dalam hati.375
Sikap terbuka dan kurang berminat pada formalisme agama dalam politik
seperti ini tentu saja berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Hamka di zaman
pasca kemerdekaan, khususnya di era demokrasi parlementer di mana Hamka
begitu tegas memperjuangkan simbol-simbol Islam dalam kenegaraan, seperti
tuntutannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dalam Konstituante.
Perubahan seperti ini sesungguhnya bukan sebuah pergeseran mendasar pada
pemikiran politiknya, namun lebih sebagai sebuah sikap yang secara kontekstual
disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Secara paradigmatik Hamka tetap
meyakini akan saling terkaitnya agama dengan politik. Namun bagaimanapun juga
Hamka menyadari tantangan dan kebutuhan zaman saat itu.
Di dekade 1930-an tersebut Hamka melihat bahwa kebutuhan bangsa
Indonesia saat itu adalah terwujudnya persatuan antar kelompok anak bangsa demi
memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kondisi seperti ini, tuntutan pada hal-hal
yang bersifat formal dan simbolik tentu saja tidak mendukung bagi upaya
persatuan tersebut. Atas pertimbangan semacam inilah Hamka berani mengambil
sikap berbeda dari banyak tokoh politik Islam saat itu dengan gagasannya yang
terbuka dan merangkul kelompok-kelompok yang berbeda. Kondisi berbeda
dihadapi Hamka di Konstituante, di mana kemerdekaan telah diraih dan kebutuhan
bangsa ketika itu adalah mengisi kemerdekaan tersebut. Dalam situasi seperti
inilah, Hamka pun menawarkan Islam sebagai isi bagi Indonesia merdeka.
Sebagai sebuah tawaran, adalah sebuah kewajaran jika Hamka lebih menonjolkan
segala macam keunggulan Islam dibanding dengan Pancasila yang ditawarkan
kelompok lain.
C. Sintesis Islam-Demokrasi Menurut Hamka
Hamka mengakui gagasan kenegaraan modern berasal dari pemikir-pemikir
Barat abad ke 17/18 semacam Rousseau, Montesquieu, atau Voltaire. Mereka
hendak melepaskan akal fikiran manusia dari belenggu Gereja. Juga menentang
persekutuan antara para raja dengan kardinal yang sering melakukan penindasan.376
375
Hamka, ‚Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing,‛ dalam Pedoman
Masjarakat, edisi 1 Pebruari 1939, h. 94
376
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 22-23. Hamka menyebut Eropa abad
pertengahan sebagai abad iman. Sedangkan Eropa abad modern disebutnya sebagai abad
gelombang ilmu (science). Namun Hamka juga menyebut abad modern tersebut sebagai era

78
Memang Eropa Abad Pertengahan diwarnai dengan kekuasaan Gereja yang begitu
dominan. Para raja membutuhkan Paus sebagai pemberi legitimasi atas kekuasaan
mereka. Mereka tidak berani melawan Paus, karena mahkota yang ada di kepala
mereka diletakkan oleh Paus. Atas legitimasi Paus inilah mereka bisa berkuasa atas
nama Tuhan. ‚Pemerintahan Raja adalah atas kehendak Tuhan sebagai wahyu suci
yang tidak dapat dibantah,‛ tulis Hamka.377
Para pemikir yang disebut Hamka di atas memang lahir dalam konteks Eropa
abad ke 17 yang saat itu sedang didominasi oleh praktik politik monarkhi absolut
dengan agama sebagai basis legitimasinya. Sistem politik seperti ini merupakan
jawaban atas kondisi Eropa yang kacau, sering terjadi perang saudara dan perang
agama antara kaum Katolik dengan Protestan. Monarkhi absolut dianggap sebagai
jalan keluar terbaik demi mewujudkan tertib sosial saat itu. Namun ternyata sistem
politik ini justru melahirkan pemerintahan tiran. Merespon hal ini, para pemikir itu
pun menawarkan ide-ide politik alternatif yang mendorong pada perlindungan
terhadap hak-hak sipil dan kebebasan. Pada titik ini kontrak sosial dan pembatasan
kekuasaan melalui pembagian kekuasaan menjadi solusi bagi negara yang
melindungi kebebasan dan hak-hak individu tersebut.378
Meski dipopulerkan oleh Barat modern, namun Hamka melihat
sesungguhnya demokrasi memiliki akar yang kuat dalam Islam, baik secara
teologis maupun empiris. Secara teologis konsepsi demokrasi Hamka berangkat
dari penafsirannya terhadap posisi manusia sebagai khalifah Allah (pembahasan
tentang ini akan diuraikan dalam bagian tersendiri). Sementara secara empiris
demokrasi pernah terwujud dalam praktik pemerintahan Islam di masa lalu,
khususnya di era empat khalifah utama. Namun kehidupan demokratis itu
kemudian berhenti ketika Muawiyah menjadi khalifah yang menunjuk putranya,
Yazid, sebagai penggantinya.379 Hamka menjelaskan:
Muawiyah bin Abi Sufyan memandang bahwa pemilihan secara khalifah berempat
tidak mungkin dilakukan lagi. Sebabnya ialah karena umat Islam telah berlipat
ganda banyaknya, negeri Islam telah melebar ke Timur dan ke Barat. Sebab itu

kekufuran Eropa. Saat itu pengaruh science telah meliputi dunia Barat, dan pengaruh
agama mulai berkurang. Kalangan terpelajar Eropa menghindar dari agama. Ilmu
pengetahuan yang dibangun pun dimulai dari skeptisisme. Akibatnya ilmu pengetahuan
juga menghasilkan skeptisisme (ketidakpercayaan). Agama/gereja diserang dengan
perkataan dan perbuatan. Lihat Hamka, ‚Ilmu dan Agama,‛ dalam Pandji Masjarakat, no
21, tahun II, 15 April 1960, h. 4; Hamka, ‚Kufur dan Iman,‛ dalam Pandji Masjarakat, no
17, tahun II, 15 Pebruari 1960, h. 4.
377
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 27
378
Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Darul Falah, 1999), khususnya
bahasan tentang John Montesquieu, Locke, dan Rousseau.
379
Lihat Hamka, ‚Parlement dan Doenia Islam I,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 1,
tahun VII, 1 Januari 1941, halaman hilang/tidak kelihatan; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan
Islam I,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 7, tahun VII, 12 Pebruari 1941, h. 126-127;
‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam II,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 8, tahun VII, 19
Pebruari 1941, h. 154-155; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ dalam Pedoman
Masjarakat, no 9, tahun VII, 26 Pebruari 1941, h. 174

79
setelah beliau sampai ke jabatan itu sesudah konferensi di Daumatul Jandal, beliau
mengambil langkah baru, yaitu mencalonkan putranya akan menggantikan beliau
setelah beliau meninggal, sebagaimana Abu Bakar mencalonkan Umar. Dan anak
yang beliau calonkan itu supaya diterima oleh kaum muslimin. Sejak zaman
Muawiyah itu jabatan khalifah menjadi pegangan dinasti (keturunan). Sebab itu
maka sifat khalifah sudah lebih merupakan Raja, bukan lagi dekat jabatan
‚kepresidenan‛.380
Meski menganggap Muawiyah telah membuat kocar-kacir dan hancur
susunan masyarakat Islam,381 karena telah mengubah ‚demokrasi dan pemerintahan
yang begitu murni‛ selama pemerintahan empat khalifah utama, namun Hamka
bisa memahami keputusan itu. Menurut Hamka, saat itu kekuasaan Islam telah
meluas meliputi Mesir, Yaman, Irak, dan Syam, bahkan hingga perbatasan Persia
dan India. Sementara jalur perhubungan transportasi dan komunikasi masih sangat
sulit. Jika pemerintahan musyawarah model empat khalifah sebelumnya tetap
diteruskan, maka akan terjadi kekacauan, apalagi dalam hal pergantian
kepemimpinan. Hamka mengakui perubahan sistem pemerintahan menjadi monarki
bisa menjadi solusi sementara. ‚Ideal terpaksa dikalahkan oleh hal yang real, oleh
kenyataan,‛ jelas Hamka. Lebih lanjut Hamka menjelaskan, ‚Setengah ahli tarikh
menyalahkan Muawiyah sebab telah merubah dasar shu>ra>, dasar musyawarat yang
begitu agung kepada pemerintahan monarki! Tetapi orang yang melihat biografi
dan mengetahui tarikh tidak dapat menyalahkan perbuatan itu, bahkan
mengakui.‛382
Perubahan sistem pemerintahan itulah, ujar Hamka, yang membuat
Muawiyah tidak dimasukkan ke dalam bagian al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n. Hamka
menjelaskan, ‚Waktu itu tertutuplah pintu ‘shu>ra>’, pintu pemilihan khalifah atau
‘kepala negara’ yang telah dimulai oleh Abu Bakar dan Umar dahulu. Dan
sepakatlah ahli tarikh tidak memasukkan Muawiyah lagi di dalam golongan
‘khulafaur rasyidin’. Hanya diakui sebagai seorang ‘raja besar’ yang mula-mula
mendirikan Kerajaan Bani Umayyah.‛383 Pemerintahan monarki itu pun berlanjut
pada era Bani Abbasiyah, Bani Umayyah II di Andalusia, Fatimiyyah, hingga
Turki Utsmani. Lebih lanjut Hamka menjelaskan:
…bertambah jauhlah kaum Muslimin dari pada pemilihan khilafat secara yang
dibentuk oleh Abu Bakar itu. Tiap-tiap negeri telah berdiri dengan rajanya sendiri-
sendiri meskipun ada jabatan khalifah misalnya di Baghdad dari Bani Abbas, di
Andalus dari Bani Umayyah, dan di Mesir dari kerajaan Fatimiyah, tetapi tidak
bertemu lagi jejak dan bekas demokrasi atau pemilihan yang secara shu>ra> itu.384

380
Hamka, ‚Khilafaat,‛ h. 6
381
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 106
382
Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ h. 174
383
Hama, Islam dan Demokrasi, h. 17. Meski menilai pemerintahan 4 khalifah utama
sebagai yang terbaik, namun Hamka melihat pemerintahan yang paling mendekati idealitas
Islam di antara keempat khalifah itu adalah periode Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
‚Abu Bakar dan Umar adalah contoh yang setinggi-tingginya daripada pemerintahan yang
dikehendaki Islam. Dan sesuai pula dengan suasana zaman pada waktu itu,‛ tulisnya. Lihat
Hamka, ‚Perbandingan Sedjarah‛, dalam Hikmah, no 15-16, tahun V, 16 April 1952, h. 19
384
Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ h. 174

80
Model pemerintahan monarki inilah yang kemudian tersebar ke seluruh
dunia Islam. Di Nusantara sendiri, ujar Hamka, sistem pemerintahan monarki Islam
itu muncul dan melanjutkan monarki Hindu yang pernah ada sebelumnya. Kerajaan
Melayu Islam Malaka di abad ke 14 adalah pergantian dari Melayu Hindu di
Tumasik. Demikian pula kerajaan Demak dan Mataram di Jawa yang merupakan
kelanjutan dari kerajaan Majapahit.385 Sebagai akibat sejarah panjang monarki
absolut seperti itulah umat Islam jadi lupa pada ajaran agamanya tentang
pergantian kepemimpinan. Hal ini membuat Dunia Islam ‚tidak lagi mengenal
pilihan imam atau kepala negara dengan jalan shu>ra> (pilihan orang banyak),
sehingga lantaran tidak ada kemajuan itu, orang menyangka cara demikianlah
pemerintahan yang dikehendaki Islam,‛ ujarnya.386
Terdapat beberapa kata kunci penting dalam konsep Demokrasi Takwa yang
dibangun Hamka, yaitu: penafsiran tentang manusia sebagai khalifah di muka
bumi, musyawarah, dan masyarakat yang bertakwa. Berikut ini akan diuraikan
lebih lanjut.
1. Manusia sebagai Khalifah Allah di Bumi
Bagi Hamka, doktrin Islam tentang manusia sebagai wakil Allah di muka
bumi (khali>fat Alla>h fi> al-ard}) adalah landasan normatif utama akan sistem
demokrasi dalam Islam. Ayat tentang khalifah Allah ini termaktub dalam Surat
al-Baqarah ayat 30:
                

             
Dalam ayat ini, jelas Hamka, Allah menyatakan maksudnya kepada
malaikat-Nya bahwa Dia hendak melantik khalifah-Nya di atas bumi. Karena itu
Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama yang akan menjadi khalifah.
Khalifah berarti pengganti, pelaksana, atau penerus pekerjaan.387 ‚Khalifah adalah
orang yang diserahi melanjutkan kehendak orang yang mengkhalifahinya,‛ tulis
Hamka.388 Atas tugas berat ini Allah pun memberi bekal kepada manusia berupa
‚akal‛.389

385
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 25
386
Hamka, Lembaga Hidup, h. 78
387
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 36. Hamka menjelaskan ada dua pendapat tentang
makna manusia sebagai ‚khalifah‛ sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat
30. Pertama, manusia adalah khalifah Allah. Kedua, manusia adalah khalifah (pengganti)
dari makhluk-mahluk yang telah lalu di muka bumi, seperti jin, iblis, dewa-dewa, dan lain-
lainnya yang dahulu kala menjadi penguasa bumi. Lihat Hamka, Dari Hati Ke..., h. 37.
Lihat juga Hamka, ‚Kedudukan Manusia,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 5, tahun I, 5
Desember 1966, h. 9; Hamka, ‚Theorie Darwin dan Islam,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no
33, tahun II, 30 September 1936, h. 643-644
388
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 15
389
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 37

81
Sebagai khalifah manusia mempunyai posisi istimewa yang sering kali
disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk berkuasa secara absolut dan
bertindak secara sewenang-wenang sebagaimana yang terjadi dalam negara-negara
monarki dan sistem teokrasi. Namun tidak demikian pemahaman khalifah menurut
Hamka. Posisi khalifah itu bukanlah sebuah legitimasi bagi sebagian orang untuk
bertindak sewenang-wenang atas nama Tuhan terhadap orang lain. Hal itu karena
Hamka memahami bahwa yang berposisi sebagai khalifah itu bukan satu dua orang
atau golongan tertentu dari umat manusia belaka, tapi seluruh umat manusia
adalah khalifah Allah di muka bumi ini.390 Jadi, simpul Hamka, ‚amat berat dan
amat mulialah beban manusia ketika dia dianugerahi hidup dalam dunia ini.
Mereka semuanya dipandang satu dan sama memikul tanggung jawab, hendak
menyempurnakan kehendak Allah di atas bumi. Mereka semuanya adalah khalifah
Tuhan di bumi.‛391
Dengan demikian semua umat manusia memiliki posisi yang sama. Tidak
ada keunggulan satu orang terhadap orang lain. Karena itu tidak boleh seseorang
mengklaim berkuasa atas nama Tuhan.392
Semua manusia sama mulianya dan sama asalnya dan sama kedudukannya di
hadapan Tuhan. Dengan ajaran ini, habislah kepercayaan kuno turun-temurun
tentang dewa-dewa manusia keturunan langit, yang mempunyai darah lain dari
darah orang lain, manusia yang turun dari atas keindraan untuk dipuja dan
dilebihkan dari manusia lain.393
Hamka mendasarkan pemahamannya ini pada Surat al-Baqarah ayat 213
yang menjelaskan tentang kesatuan umat manusia. Dan diperkuat oleh Surat
Faathir ayat 39, al-A’raf ayat 68, al-Naml ayat 62, Yunus ayat 14 dan al-An`am
ayat 165:
             
‚Dan Dialah yang menjadikan kamu menjadi khalifah-khalifah di bumi, dan
diangkatnya derajat setengah dari yang setengah, supaya diberi ujian kamu
pada barang yang diberikan atas kamu itu." (QS. al-An`am: 165)
Karena itu Hamka secara tegas menyatakan,
Tidak ada lagi satu manusiapun yang boleh mengambil tempat istimewa untuk
merendahkan manusia yang lain... Dan dengan ajaran ini terbantahlah dasar
pemerintahan lama dari manusia, di dalam mendirikan negara dan masyarakat, yaitu
memandang raja, atau nenek atau dukun sebagai Tuhan… Bukanlah menuhankan
seorang manusia, mensucikannya dan yang lain bersedia menjadi budaknya, dan
menurut apa yang diaturnya, dan beliau tidak boleh disalahkan, dan dipandang tidak
pernah bersalah!.394

390
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16
391
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16
392
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 101
393
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 39
394
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16-17. Dalam sistem politik kerajaan dan
kepercayaan lama diyakini bahwa raja merupakan orang istimewa yang memiliki garis
keturunan hingga ke dewa atau makhluk adidokrati lainnya. Seperti dalam kepercayaan

82
Kesederajatan umat manusia yang menjadi prinsip demokrasi ini tercermin
dalam shalat berjamaah. Hamka menulis,
Jiwa yang terkandung dalam masjid adalah jiwa demokrasi. Siapa yang dahulu
masuk masjid, walaupun dia tukang becak dan tukang rumput, dia mendapat pahala,
karena duduk dalam s}aff pertama. Siapa yang kemudian masuk, walaupun dia
kepala negara, dia mendapat saf di belakang, dan dilarang melangkahi kuduk orang.
Bagaimana di tempat yang begitu demokrasi, malahan lebih tinggi daripada
demokrasi, dicoba menanamkan feodalisme? Dan disandarkan pula kepada
agama?.395
Jika kemudian Allah mengutus manusia-manusia tertentu (para rasul dan
nabi), jelas Hamka, itu hanyalah untuk menuntun manusia agar bisa memikul
beban berat tersebut (sebagai khalifah). Namun sayangnya, ketika para rasul
datang dengan membawa kitab-kitabnya, justru sebagian manusia menjadi
berselisih dan bertengkar karena mereka mengingkarinya, sehingga petunjuk dalam
kitab-kitab itu pun hanya didapatkan oleh orang-orang yang percaya. Mereka ini,
ungkap Hamka, adalah orang-orang yang menginginkan kebenaran sehingga lepas
dari perselisihan itu.
Konsep khalifah seperti yang dijelaskan Hamka tersebut merupakan dasar
dari pemerintahan Islam. Hal ini, simpulnya, merupakan demokrasi. Bahkan
Hamka menilainya sebagai lebih tinggi dari demokrasi karena Hamka melihat
demokrasi yang digaungkan oleh Barat masih bersifat diskriminatif. Bangsa-
bangsa Barat yang mengaku menganut demokrasi ternyata masih suka menjajah
dan menghisap darah bangsa lain yang lemah,396 karena memang demokrasi di
Barat tidak berlandaskan pada tauhid.397
Padahal, ungkap Hamka, tujuan demokrasi adalah kemanusiaan yang
merdeka. Bagi Hamka, cita seperti ini hanya bisa diraih melalui kemerdekaan
pikiran dan jiwa. ‚Dari pada pikiran yang merdeka akal yang merdeka dan jiwa
yang merdeka, tidak dapat tidak, akan menimbulkan kemanusiaan yang merdeka,‛
tegasnya. Untuk mencapai hal itu, demokrasi perlu dibangun di atas landasan
Tauhid, karena ‚tauhid menghendaki kemerdekaan akal dan fikiran manusia;
supaya jangan dibelenggu oleh fanatik, turut-turutan pada adat yang telah terbiasa.
Berfikir yang merdeka, itulah kehendak Islam.‛398

Jawa pada masa kekuasaan Mataram Islam yang menyebutkan bahwa Sultan Mataram
(Panembahan Senopati) memiliki garis keturunan pada raja-raja Majapahit. Sementara raja-
raja Majapahit merupakan anak keturunan dari Raden Panji yang memiliki jalur keturunan
hingga ke Parikesit (Raden Panji putra dari Getayu, Getayu putra dari Joyoboyo putra dari
Parikesit). Parikesit putra dari Abimanyu, putra dari Arjuna, putra dari Brahmana, putra
Betara Guru, putra dari Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal berasal dari Sang
Hyang Wening, dari Sang Hyang Nur Rasa, dari Sang Hyang Nur Cahaya. Untuk semakin
memperkuat kharisma dan kesakralan, raja-raja Mataram juga disebut menikah dengan Nyi
Roro Kidul penguasa Laut Selatan Jawa (Samudera Hindia). Lihat Hamka, Perkembangan
Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 12-13
395
Hamka, Tjahaja Baru, h. 55-56
396
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 16-17
397
Hamka, Pelajaran Agama, h. 66
398
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 44

83
Tauhid inilah yang menjadikan demokrasi dalam Islam sebagai ‚demokrasi
sejati‛ karena dimulai dari jiwa dan dipraktekkan dalam masyarakat, dan semua itu
telah tercakup dalam dua kalimat syahadat.399 Ketika tauhid telah tertanam dalam
diri seseorang, jelasnya, ia akan membentuk pandangan hidup orang itu. Akan
hilanglah rasa takutnya pada selain Allah. Hamka menyebutnya sebagai ‚revolusi
mental yang berpangkal dari tauhid‛. Orang yang di hatinya telah tertanam ajaran
ini, jelasnya, ‚tidak lagi merasa takut kepada sesama manusia, walaupun manusia
itu raja, kepala negara, presiden, hantu, atau segala macam dewa sekalipun.‛400 Ini
akan membawa manusia pada kemerdekaan yang sejati, bukan sekedar tangan yang
bebas dari belenggu dan tubuh tidak dipenjara. Lebih dari itu, Hamka menjelaskan
bahwa kemerdekaan sejati adalah kemampuan menguasai diri dan mengendalikan
hawa nafsu serta keberanian melawan perbudakan dari orang lain.401 ‚Tidak
diperintah oleh tradisi yang tidak sesuai dengan timbangan akalmu yang murni,
dan hidupmu tidak habis musnah hanya karena dorongan syahwat dan nafsu
belaka,‛ jelasnya.402
Dalam ungkapan lain Hamka mendefinisikan kemerdekaan sejati sebagai
komitmen berpegang teguh kepada kebenaran. ‚Memperhambakan diri atau
mengakui diri jadi budak dari kebenaran,‛ ungkap Hamka menjelaskan. 403 Dengan
memegang komitmen kepada kebenaran inilah orang Islam harus menggunakan
kebebasannya dalam lingkup batas-batas yang telah ditentukan agama.404 Hamka
menjelaskan:
Tujuan Islam ialah untuk kesempurnaan diri dan menciptakan masyarakat yang
tinggi nilainya dan bebas merdeka. Jelas semua itu dalam filsafat ajarannya. Jelas
dalam bekas dan hasilnya. Tidak mungkin ajaran itu ditimbulkan menjadi suatu
kenyataan, kalau kekuasaan tidak berdiri. Sebab itu, maka mendirikan masyarakat
yang teratur dan pemerintahan yang teratur, adalah perlu, supaya cita-cita hidup
yang demikian dapat tercapai.405
Hamka menyatakan, tauhid dapat menimbulkan suatu kekuatan dan harga
diri kepada penganutnya, sebab mereka percaya bahwa hanya Allah saja yang
berkuasa atas segala sesuatu. Kepercayaan seperti ini dengan sendirinya akan
menimbulkan keyakinan bahwa yang lain tidak ada yang berkuasa. Selain Allah
adalah sama dengan mereka, yaitu alam belaka,406 sehingga manusia bukanlah
budak dari segala macam makhluk yang ada di alam ini. ‚Di hari pertama, di
wahyu pertama telah tertanam kemerdekaan jiwa, bahwa manusia ini hanya sama!
Ini sudah menanamkan revolusi dalam jiwa, sehingga tidak akan merasa segan

399
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 92
400
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 42
401
Hamka, Studi Islam, h. 103
402
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 12-13
403
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 12-13
404
Hamka, Studi Islam, h. 127
405
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 93
406
Hamka, ‚Kesatuan Sedjati,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 15, tahun II, 15 Januari
1960, h. 4.

84
takut lagi kepada sesama manusia karena pangkat, karena jabatan, karena dia raja,
karena dia kaya,‛ ujarnya.407
Ketika iman sudah tertancap dalam jiwa, lanjutnya, tidak ada satu pun
makhluk yang dapat mengikat dan membatasinya. Dia tidak takut kepada satu
apapun. Rasa takutnya hanya kepada Allah Swt. Bahkan ketika melihat dunia yang
tidak adil, penjajahan misalnya, dia akan berjuang melepaskan belenggu penjajahan
itu.408 ‚Lantaran hati telah sepenuhnya diserahkan kepada Allah, yang bernama
Islam; Maka rasa takut kepada apapun, tidak ada lagi. Takut hanya kepada Allah
saja. Yang penting ialah mencapai cita-cita mencari dan menegakkan kebenaran‛,
tegas Hamka.409
Hamka mengibaratkan iman dengan senjata. Iman, jelasnya, merupakan
senjata ampuh bagi umat Islam karena ia yang menentukan seseorang menjadi
manusia yang merdeka.410 Dengan demikian, seseorang yang tidak beriman sama
saja dengan tentara yang pergi ke medan juang tanpa membawa senjata untuk
melawan musuhnya.‛411 Ketika manusia sudah terbebas dari ketakutan selain dari
Allah, maka dia akan memiliki kemerdekaan kemauan (iradah, will). Orang yang
telah memiliki kemerdekaan kemauan, akan lahir dalam dirinya dua keberanian:
Berani menyatakan pendapat-pendapatnya dan membela yang ma’ruf, serta
keberanian menentang yang munkar. Hamka menjelaskan:
…Orang yang beriman kepada Allah, bebas merdekalah dia dari pengaruh yang lain,
sebab yang lain makhluk Allah semata. Keimanan kepada Allah menghilangkan
ketakutan dan duka cita, menimbulkan daya hidup. Tegasnya juga menimbulkan
dinamika hidup. Itulah jiwa bebas! Maka dengan sendirinya kemerdekaan jiwa
karena tauhid itu menimbulkan pula kemerdekaan kemauan (iradah, will)…
Kemerdekaan kemauan menimbulkan kelanjutannya, yaitu kemerdekaan
menyatakan pikiran, menentang hal yang dipandang munkar. 412
Keimanan inilah yang dilihat Hamka sebagai dasar perjuangan Nabi
Muhammad Saw. Iman pula yang menjadi pondasi bagi negara yang didirikan Nabi
di Madinah, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya hingga
membentuk sebuah peradaban yang gemilang selama berabad-abad.413 Kejayaan
negara yang dibangun Nabi Muhammad di masa lalu itu, jelas Hamka, karena dua
hal: kebersihan jiwa dan undang-undang yang meliputi seluruh warga negara. Jiwa
manusia dibersihkan dari syirik. Dorongan-dorongan hawa nafsu dikanalisasi dan

407
Hamka, ‚Djiwa Bebas Dengan Tauhid,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 4, tahun I,
20 Nopember 1966, h. 9-10.
408
Hamka, Pelajaran Agama, h. 66
409
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 13
410
Hamka memaknai ‚merdeka‛ sebagai: Mengetahui hak dan kewajiban kepada
masyarakat serta memenuhi kewajiban itu, bebas mengembangkan diri mengikuti suara
hati, bebas menyuarakan pendapat asal tetap menghormati kebebasan orang lain, bebas
berserikat dan bekumpul, dan memiliki hak untuk mengurus negeri sendiri. Lihat Hamka,
‚Bagaimana Soepaja Kita Merdeka?,‛ dalam Pedoman Masjarakat, edisi 18 Oktober 1939,
h. 825
411
Hamka, Doktrin Islam Yang ..., h. 3
412
Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 41-43
413
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 43

85
diarahkan ke hal-hal yang sesuai dengan syariat. Dengan modal inilah, simpulnya,
masyarakat yang adil dapat terwujud.414
Dengan demikian, ujar Hamka, ajaran tauhid dengan sendirinya membawa
akibat penghapusan kekuasaan yang sewenang-wenang dan menindas. Tauhid
memberantas penindasan manusia terhadap manusia lainnya, juga menolak klaim
keunggulan manusia atas dasar keturunan, kebangsaan, dan ras. 415 Dari konsep
manusia sebagai khalifah tersebut Hamka dengan tegas menyimpulkan adanya
integrasi agama dengan negara. Filsafat ajaran ‘Khalifatullah’ ini, ujar Hamka
menyimpulkan, ‚yang menumbuhkan keyakinan dalam hati kaum Muslimin,
bahwasanya urusan negara dengan agama tidaklah pernah terpisah, dan urusan
kerja usaha jiwa dan badan, rohani dan jasmani tidak tercerai.‛416
Lebih lanjut Hamka menjelaskan, sistem demokrasi yang merupakan
pemerintahan dengan prinsip kedaulatan rakyat bersesuaian dengan sabda Nabi
Saw: ‚Tangan Tuhan adalah bersama dengan kumpulan orang banyak.‛ Karena itu
Nabi menjamin kesepakatan kumpulan orang banyak itu lebih banyak benarnya.
‚Tidaklah akan berhimpun umatku atas kesesatan,‛ tulis Hamka mengutip sabda
Nabi Muhammad.417
Hamka juga memandang konsep kontrak sosial yang dirumuskan JJ
Rousseau telah terwujud dalam Islam melalui persetujuan kaum Muhajirin dan
Anshar pada kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah, dan berlanjut pada
kepemimpinan setelah beliau.418 Terkait hal ini Hamka memberikan contoh kasus
pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad, sebagai berikut:
Bahwasanya yang empunya hak, adalah bersama. Abu Bakar tidak mencapai
kedudukannya yang mulia tetapi berat itu, kalau belum diakui oleh bersama. Jadi
sebetulnya yang berdaulat ialah persamaan tadi. Dan seketika dia diangkat diadakan
‘baiat’, suatu macam ‘serah terima’ di antara yang mengangkat dengan yang
diangkat. Yang mengangkat berjanji akan taat kepada perintahnya, selama dia masih
tetap berjalan di garis yang ditentukan, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul.419
Karena itu Hamka berani menegaskan, ‚kalau begitu nyatalah bahwa dasar
demokrasi itu telah cukup di dalam ajaran agama kita. Jika di zaman akhir ini kita
melihat kezaliman raja-raja Islam, aniayanya kepada rakyat yang diberinya
bertopeng agama, janganlah kita jadikan hal itu jadi ukuran.‛420
Melalui doktrin manusia sebagai khalifah Allah seperti ini lah Hamka telah
berupaya menyelesaikan dilema antara demokrasi dengan Islam; antara kedaulatan
rakyat yang menjadi doktrin asasi dari demokrasi, dengan kedaulatan Tuhan yang
terkandung dalam doktrin agama. Hamka menjelaskan, ‚Sebagaimana telah
diketahui di atas tadi, daulat yang sejati adalah di tangan Allah, dan diserahkannya

414
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 6-7
415
Hamka, ‚Tjinta Tanah Air Kemanusiaan dan Islam (III Habis),‛ dalam Pandji
Masjarakat, no 32/33, tahun II, 1/15 Oktober 1960, h. 4
416
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 17
417
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 45
418
Hamka, Renungan Tasawuf, h. 30-31
419
Hamka, Lembaga Hidup, h. 73-74
420
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 47

86
daulat itu kepada manusia, dengan mengangkat manusia itu menjadi khalifah-
Nya.‛421 Lebih lanjut dijelaskan:
Manusia di dunia ini adalah khalifah Tuhan, wakil Tuhan mengatur dunia. Maka
kalau ada pemimpin, baik raja atau presiden diserahi memimpin suatu negara,
penyerahan itu bukanlah datang dari langit yang langsung diberikan kepadanya.
Bukan sebagai perkataan Lodewick ke –XIV yang berkata ‘Sayalah negara.’ Atau
Willem II yang berkata, ‘Saya memerintah atas kehendak Tuhan.’ Tetapi kepala
negara memerintah atas kehendak rakyat. Rakyat itulah yang berdaulat, yang
berkuasa. Dialah khalifah Tuhan. Semua!. Dan susunan masyarakat manusia itu,….
adalah amanat belaka dari Allah, barang Tuhan yang dipercayakan kepada insan. 422
2. Musyawarah Sebagai Pondasi Hidup Bermasyarakat
Setelah menempatkan manusia pada posisi yang setara sebagai khalifah
Allah, Hamka kemudian masuk ke dalam kata kunci kedua, yaitu musyawarah
(shu>ra>). Hamka menyebut ini sebagai ‚pokok yang utama sekali yang diajarkan
oleh al-Qur’an di dalam membentuk suatu masyarakat atau jamaah sampai kepada
negara ialah ajaran yang dinamai shu>ra>.‛423 Shu>ra> atau musyawarah, jelasnya,
merupakan hal yang pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam.
‚Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang
dan damai, ketika aman atau ketika terancam dalam bahaya,‛ ungkapnya.424
Hamka merujuk kepada Surat al-Shu>ra> ayat 38:
           
‚Dan orang-orang yang selalu siap melaksanakan panggilan Tuhan, dan
mereka mendirikan sembahyang, dan segala urusan mereka, mereka
musyawaratkan di antara mereka, dan dari rezeki yang Kami berikan,
mereka belanjakan.‛
Juga berdasar pada Surat Ali Imran ayat 159:
                 

                
‚Jika engkau terlalu kaku dan kesat hati, niscaya mereka akan bercerai berai
dari kelilingmu. Sebab itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun
untuk mereka dan ajaklah mereka musyawarat pada urusan. Maka apabila
telah bulat pendapat engkau, bertawakkallah kepada Allah.‛
Musyawarah menjadi poin penting dari konsep demokrasi takwa karena
Hamka membagi urusan agama menjadi dua: ta`abbudi (murni agama) dan ta`aqquli
(urusan yang bisa difikirkan dan dimusyawarahkan). Dalam soal yang pertama,
Hamka menegaskan keharusan umat Islam untuk menerima ketentuan dari Allah
dan Rasul-Nya tanpa ada perbantahan. Sementara pada persoalan yang kedua, Nabi

421
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 24
422
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952), h. 24-25
423
Hamka, Studi Islam, h. 116
424
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104

87
Muhammad memberi kebebasan pada manusia untuk menentukannya sendiri
melalui sabdanya: ‚Kalian lebih mengetahui urusan duniamu.‛ Pada poin ini
pertimbangan mas}lahah dan mafsadat menjadi sangat penting bagi pengambilan
keputusan (lihat sub bab ‚sekularisme‛ di atas).
Karena umat manusia berkedudukan sama sebagai khalifah Allah, dan
banyak urusan kehidupan bersama (politik-kemasyarakatan) yang masuk dalam
domain ta`aqquli, maka musyawarah menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakkan.
Bahkan, ujar Hamka, musyawarah merupakan konsekuensi logis dari adanya
jamaah (komunitas).425‚Rakyat sesamanya wajib bermusyawarat memilih bentuk
pemerintahan dan kalau ada yang terpilih memegang kekuasaan, maka si pemegang
kekuasaan itu wajib bermusyawarat pula kembali dengan yang memberi
kekuasaan‛, jelasnya.426 Hal ini, lanjut Hamka, memang disengaja oleh Allah untuk
‚menumbuhkan akal fikiran manusia sebagai khalifah-Nya‛. 427
Meski musyawarah merupakan bagian dari urusan yang ta`aqquli, namun
Hamka melihat prinsip ini memiliki kedekatan dengan urusan ta`abbudi semacam
shalat. Perintah shalat berjamaah di masjid, ujar Hamka, secara tidak langsung
mendorong pembentukan masyarakat yang rukun dan bergotong royong, hingga
pada akhirnya terbentuklah shu>ra>.428 Indikasi ini juga dilihat Hamka pada kasus
pensyariatan shalat Jumat yang terjadi di Quba beberapa saat sebelum Nabi
Muhammad tiba di Madinah untuk membangun tatanan masyarakat baru. Ketika
tiba di Madinah, hal pertama yang dikerjakan Nabi adalah membangun masjid
sebagai tempat pertemuan memadukan pikiran menjadi satu, menyelesaikan
permasalahan yang rumit, dan menerima utusan dari luar.429 Maka wajar jika Surat
al-Shu>ra> ayat 38 memposisikan musyawarah sejajar dengan beriman kepada Allah,
mendirikan shalat, dan berinfaq. Hamka menyatakan, ‚akan mengerjakan shalat
saja sudah mulai ada musyawarah, yaitu memilih siapa yang akan menjadi imam
jamaah dalam kalangan mereka. Dengan suburnya jamaah, timbullah usaha
mengerjakan atau mengeluarkan harta untuk keperluan umum.‛430
Meski demikian, Hamka mengingatkan hal prinsipil yang tidak boleh
dilanggar oleh manusia, yaitu prinsip dasar bahwa Tuhan tetaplah Tuhan, dan
manusia bukanlah Tuhan. Tidak boleh seorang manusia pun yang mengangkat
dirinya sendiri sebagai Tuhan. Seseorang juga tidak boleh menerima pengangkatan
dirinya oleh orang lain untuk menjadi Tuhan.431 Pelanggaran prinsip dasar ini akan
merusak konsep manusia sebagai khalifah Allah sebagaimana yang dijelaskan
Hamka di atas. Karena itu, ujar Hamka, pernyataan Nabi ‚Kamu lebih tahu urusan
duniamu‛ bukanlah cek kosong bagi manusia untuk berbuat semaunya. Kebebasan
yang diberikan untuk mengurusi urusan yang ta`aqquli itu, ujar Hamka, harus tetap
berada dalam tilikan Tuhan. Karena dunia yang dikehendaki oleh Islam adalah
425
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104
426
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 25
427
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 18
428
Hamka, Iman dan Amal..., h. 74
429
Hamka, Dari Lembah Cita-cita ,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 27
430
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104
431
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 18

88
tempat bagi manusia untuk menanam kebaikan demi memanen hasilnya di akhirat
kelak.432
Dengan prinsip ini maka musyawarah harus berada dalam koridor ketuhanan.
Demikian pula ketika terjadi perselisihan, harus dikembalikan kepada ketentuan
Allah dan Rasulullah juga. ‚Baik yang berupa nash dari al-Qur’an dan hadits,
ataupun kepada roh syariat, dengan menilik pendapat ahli-ahli Islam yang
terdahulu atau dengan memakai qiyas perbandingan,‛ jelas Hamka.433 Selain itu
juga musyawarah hendaknya memperhatikan pertimbangan suara mayoritas dalam
pengambilan keputusan.434
Berdasar prinsip seperti ini Hamka bisa memahami mengapa Rasulullah
wafat tanpa meninggalkan wasiat siapa pengganti beliau. Menurutnya, Nabi
melakukan itu karena para sahabat berhak memilih bentuk dan kepala
pemerintahan sendiri. Hamka menyebut hal itu sebagai right of self determination
mereka. Apalagi para sahabat tersebut telah mukallaf, dewasa (ba>lig})} dan berakal
sehat.435 Hamka menegaskan bahwa praktik shu>ra> benar-benar dilaksanakan oleh
para sahabat, baik dalam proses pemilihan khalifah,436 maupun dalam praktik
pemerintahan yang dijalankan oleh empat khalifah utama Islam.437 Praktik seperti
ini, ungkapnya, memiliki akar pada praktik serupa yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad semasa hidup. Hamka menyatakan, ‚waktu di Mekah, mereka masih
golongan kecil, maka tumbuhlah shu>ra> dalam kelompok kecil. Setelah pindah ke
Madinah, telah tumbuh masyarakat Islam dalam jamaah besar, maka tumbuhlah
musyawarah secara jamaah besar pula.‛438
Hamka menegaskan, musyawarah adalah prinsip dasar, sementara bentuk
dan tatacara pelaksanaannya diserahkan kepada umat Islam sendiri. ‚Rasulullah
Saw. tidaklah meninggalkan wasiat politik yang terperinci tentang teknik cara
bagaimana menyusun shu>ra> itu,‛ ungkap Hamka. Umat Islam, lanjutnya, dapat
berijtihad tentang teknis pelaksanaannya.439 Umat Islam boleh membentuk suatu
pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradabannya, dan juga
boleh mengadopsi sistem politik dari peradaban lain yang dianggap tepat selama
prinsip musyawarah tersebut tetap dijaga. Hamka menulis, ‚pilih dan contohlah
mana yang baik untuk zaman dan tempat kita. Namun, prinsip tidak kita lepaskan:

432
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 130
433
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 344
434
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 26
435
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h.19. Hamka menyebut right of self
determination sebagai hak setiap bangsa untuk memilih bentuk dan susunan pemerintahan
dan negaranya. Lihat Hamka, Lembaga Hidup, h. 13
436
Lihat Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam I,‛ h. 126-127; ‚Riwajat
Ringkas Pemerintahan Islam II,‛ h. 154-155; ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III,‛ h.
174
437
Lihat Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 45-46
438
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 104
439
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 105

89
shu>ra>. Karena kita semua adalah khalifatullah di bumi-Nya.‛440 Di tempat lain ia
juga menulis:
Bangsa yang akan kekal tegaknya di dalam dunia ialah bangsa yang sanggup
mencari suatu peraturan hidup di dunia, yang cocok dengan zaman. Dan pergantian
peraturan urusan dunia itu menurut zaman, telah diberi pula izin lebih dahulu oleh
Nabi, menurut bunyi hadits yang kita salinkan tadi, yaitu ‘pekerjaan agama serahkan
kepadaku, dan pekerjaan dunia, kamulah yang lebih tahu’.441
Musyawarah tersebut bisa dilaksanakan dengan membentuk ahl al-h}all wa
al-`aqd, yaitu ‚ahli-ahli terkemuka yang memegang peranan penting dalam negara
Islam, seperti pemegang pemerintahan, ahli-ahli fikir dan filsafat, wartawan dan
ahli masyarakat yang menguasai opini masyarakat,‛ jelas Hamka.442 Juga bisa
berupa lembaga perwakilan seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).443 Hamka juga mengungkapkan bahwa
sesungguhnya tradisi bermusyawarah telah kuat melekat dalam masyarakat
Indonesia sejak lama. Ketika Islam datang, tradisi tersebut pun diperkuat oleh
ajaran Islam tentang shu>ra> tersebut. Ini tampak pada istilah ‚mufakat‛ yang selalu
mengiringi kata ‚musyawarah‛ sehingga menjadi ‚musyawarah mufakat‛. Meski
demikian, ujar Hamka, tradisi itu kemudian dirusak oleh kaum feodal dan penjajah
Barat. Di era Indonesia merdeka, lanjutnya, tradisi tersebut juga dirusak oleh
orang-orang yang suka menjilat pemimpinnya. Hamka menyebut mereka ini
sebagai ‚orang-orang yang hanya bertindak ABS (Asal Bapak Suka) dan ‘yes men’
saja kepada atasannya‛.444
Penekanan pada shu>ra> menjadi perhatian penting dalam pemikiran politik
Islam modern. Rid}a> yang disebut Enayat sebagai salah satu pemikir yang
mentrasnformasikan konsep politik Islam modern juga menekankan pentingnya
shu>ra>. Salah satu tujuan yang ingin dicapai Rid}a> adalah menghindarkan
kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Hal ini tidak lepas dari kondisi
institusi politik Islam klasik (khilafah Utsmani) yang cenderung memberikan
kekuasaan mutlak kepada penguasa sehingga mereka bisa bersikap sekehendak
hatinya.
3. Takwa Sebagai Landasan Moral Masyarakat
Konsekuensi logis dari pelaksanaan musyawarah antara pemimpin dan
rakyat melalui wakil-wakilnya adalah munculnya kewajiban di antara mereka,
yaitu berupa kewajiban sebagai pemimpin, karena setiap individu telah ditetapkan
Allah sebagai pemimpin. Kewajiban seperti ini memestikan adanya tanggung
jawab, baik kepada sesama manusia maupun, utamanya, kepada Allah. Pada titik
inilah mereka dituntut untuk memiliki iman dan berkomitmen melakukan
perbuatan yang baik.445 Hamka menjelaskan, ‚untuk itu, pertama beriman kepada
440
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 21
441
Hamka, ‚Parlement dan Doenia Islam I,‛
442
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 107-108; Hamka, Lembaga Hidup, h. 74
443
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 105
444
Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 4, tahun I, 20
November 1966, h. 4
445
Hamka, Renungan Tasawuf, h. 32-33

90
Tuhan Allah Swt. Kedua bekerja dengan amal yang saleh. Di situ akan tercapailah
‘baldat t}ayyibat wa rabb g}afu>r,’ negara makmur penuh ampunan Tuhan. Ini akan
mengatasi, misalnya kemelut politik, karena politik itu pasang naik pasang
surut.‛446
Bagi Hamka, iman dan takwa merupakan prasyarat utama agar musyawarah
tetap berada dalam tilikan Tuhan, seperti yang dicitakan Hamka di atas. Maka
wajar jika ia pun menjadikan ketakwaan masyarakat sebagai salah satu elemen
penting dalam konsep Demokrasi Takwa-nya. Dijelaskannya, ‚dasar-dasar
kehidupan masyarakat yang ada dalam al-Qur’an, yang jauh lebih tinggi mutunya
daripada demokrasi Barat, yaitu takwa bagi pribadi dan shu>ra> bagi binaan
masyarakat.‛447
Meski dalam sebuah negara terdapat undang-undang dan aparatur negara,
namun dorongan hawa nafsu dapat membuat manusia melakukan keingkaran. Insaf
atas kelemahan manusia inilah, ungkap Hamka, Islam menekankan pentingnya rasa
takut kepada Allah sebagai pengontrol. Apalagi, lanjutnya, Islam memandang
kebersihan jiwa sebagai unsur terpenting dalam membangun negara, bukan bentuk,
susunan, dan tatacara pemerintahan, karena itu Islam pun tidak mengatur hal-hal
teknis seperti ini. Pun demikian, sebaik apapun teori pemerintahan yang dibuat
tetap akan terdapat cacat jika jiwa masyarakatnya tidak bersih.448 Lebih lanjut
dijelaskan:
Kalau rasa takut kepada Allah, tidak menjadi ‘kontrol’ daripada hati sanubari yang
sangat di dalam itu, yang tidak pernah berbohong itu, tidaklah ada kehakiman
mendapat jaminan. Karena undang-undang buatan manusia ini, dapat diputar-putar
oleh manusia, dapat diregang dirunyut, untuk melepaskan diri, atau untuk
mengelabui mata hakim dan kadi, dan manusia. 449
Ketakwaan inilah yang dinilai Hamka sebagai pembeda antara demokrasi
dalam Islam dengan demokrasi ala Barat. Menurutnya, meski demokrasi telah
berlaku di negeri-negeri Barat, namun mereka belum bisa menghapus kebencian
rasial terhadap warga kulit hitam, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan
Afrika Selatan saat itu. ‚Islam tidak memandang ada seorang yang lebih daripada
yang lain, karena harta benda, karena kekayaan, karena keturunan, karena dia

446
Hamka, Renungan Tasawuf, h. 41. Hamka melihat hubungan erat antara iman
dan amal salih. Hal itu karena tauhid memiliki tiga bagian: 1. Penuh kepercayaan bahwa
alam ini dijadikan oleh zat Yang Kuasa; 2. Penuh kepercayaan kepada alam gaib, yaitu
alam akhirat sebagai tujuan hidup manusia; 3. Dengan keyakinan seperti inilah manusia
dituntut mengerjakan perbuatan baik dan yang bermanfaat bagi diri dan masyarakat. Lihat
Hamka, Dari Lembah, h. 26. Lebih lanjut dijelaskan, hubungan antara akidah dengan akhla
bagaikan kuku dengan dan daging. Akidah pasti menegakkan akhlak. Orang yang memiliki
akidah yang kuat pasti berani berbuat baik dan memperjuangkan kebenaran. Lihat Hamka,
‚Harapan Kepada Pemuda,‛ dalam Panji Masyarakat, no 108, tahun XIII, 1 Agustus 1972,
h. 4.
447
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 126
448
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 28
449
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 37

91
‘orang alim’. Semua orang, kaya dan miskin, sama dekat dan jauhnya di sisi Allah.
Kelebihan seseorang dari yang lain, adalah karena taqwanya,‛ tulis Hamka. 450
Atas dasar inilah Nabi Muhammad terlebih dahulu melakukan pembersihan
jiwa pengikutnya dengan menanamkan tauhid terlebih dahulu, baru kemudian
membangun susunan masyarakat dan negara di Madinah. Dengan tauhid manusia
dibebaskan dari segala belenggu perbudakan dan perhambaan kepada selain Allah.
Kediktatoran sekelompok manusia terhadap manusia lain juga diberangus, karena
hanya Allah saja yang berkuasa atas diri manusia. Hamka menjelaskan:
Dan tidaklah pantas, dan ditolak pula oleh akal fikiran yang teratur, jika sesama
manusia dijadikan tuhan-tuhan pula. Seorang manusia tidak lebih dari yang lain,
hanya karena amalnya dan taqwanya. Bukankah di sini diberantasnya semangat
diktator, semangat mendewakan pemimpin, dan hanya satu tujuan, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa?.451
Bahkan Nabi Muhammad pun diingatkan oleh Allah tentang posisinya
sebagai hamba-Nya, agar umat pengikutnya tidak silap dengan menuhankannya.452
Dengan ajaran-ajaran keimanan yang demikian itu, jelas Hamka, Nabi Muhammad
telah sanggup mendirikan sebuah negara. Setelah beliau wafat, sahabat-sahabatnya
telah memperluas dan memperkembangkan negara itu, sampai berpuluh dan
beratus tahun kemudian.453 Tentang ini Hamka menyatakan:
Nabi Muhammad Saw mengajarkan bahwa budi adalah permulaan dari pembinaan
masyarakat yang adil dan makmur. Semasa umatnya memegang teguh teori itu,
berhasillah dia menduduki tempat yang layak di dalam tarikh. Dan setelah itu
ditinggalkannya, barulah dia turut runtuh, sebagai keruntuhan yang lain pula. Kalau
aku disuruh memilih, aku akan tetap memilih: ‘Dari pembinaan budi, kepada
pembinaan negara.’454
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad ini, jelas Hamka, sesungguhnya tidak
berbeda dengan yang dilakukan Nabi Isa, yaitu membersihkan jiwa dan
memperbaiki moralitas terlebih dahulu. Namun sayangnya kaum Kristiani hanya
berhenti di aspek memerdekakan jiwa dari tarikan kelezatan hidup duniawi dan
dorongan syahwat, tidak melangkah lebih lanjut seperti yang dilakukan Nabi
Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Pengikut Nabi Isa itu justru membangun cita-
cita ‚Kerajaan Langit‛ dengan menolak kenikmatan hidup sebagai langkah untuk
menjamin kemerdekaan jiwa tersebut.455
Hamka bisa memahami kondisi tersebut. Menurutnya, konteks kesejarahan
juga mendukung Nabi Muhammad untuk melangkah lebih jauh dari Nabi Isa.
Tanah Arab khususnya Hijaz, ungkap Hamka, merupakan wilayah yang relatif
otonom dari dominasi politik tertentu. Kondisi politik di sana pun cenderung labil
dan belum mapan, di mana para aristokrat Quraisy sering terlibat perebutan
pengaruh, terutama antara klan Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Ini berbeda
dengan wilayah di luar Hijaz, seperti Syam yang berada di bawah kekuasaan
450
Hamka, Tjahaja Baru, h. 65
451
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 21
452
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 136-139
453
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 43
454
Hamka, Tjahaja Baru, h. 71
455
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 136-137

92
Romawi atau Yaman yang masuk dalam pengaruh bangsa Persia dan Habsyi.
Kondisi Hijaz seperti itu diperparah dengan sistem kepercayaan yang didominasi
oleh paganisme pemujaan terhadap berhala.456
Di tengah kondisi seperti inilah Muhammad diutus oleh Allah. Tugas
utamanya adalah melepaskan manusia dari perhambaan selain Allah.457 Namun
permusuhan para aristokrat Arab terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya
memaksa mereka hijrah ke Yatsrib, dan di sana Nabi pun membangun tatanan
masyarakat dan politik yang stabil dan kuat di kota itu agar bisa bertahan dari
gangguan luar, khususnya dari serangan penguasa Makkah.458 Dari sinilah cikal
bakal tatanan masyarakat politik Islam terbentuk. Nabi Muhammad
menyempurnakan sistem kemasyarakatan Arab yang belum tumbuh sempurna itu
dan mempertinggi peradabannya. Muhammad juga menyatukan bangsa Arab yang
sebelumnya terpecah belah. Apa yang telah dimulai Nabi Saw itu di kemudian hari
dilanjutkan oleh para sahabatnya setelah beliau wafat.459
Kondisi seperti ini tentu berbeda dengan yang terjadi pada Nabi Isa. Seperti
yang telah dijelaskan di bagian lain di bab ini, Isa muncul di tengah masyarakat
politik yang telah mapan, bangsa Yahudi berada di bawah kekuasaan Romawi.
Mereka telah memiliki sistem hukum yang bersumber dari Taurat, meski
dilaksanakan dengan tidak konsisten. Kondisi sosial-politik yang telah mapan ini
membuat ruang gerak Isa jadi cukup terbatas. Dakwah Nabi Isa belum menyentuh
tatanan sosial politik, karena belum adanya tuntutan mendesak untuk merombak
sistem politik yang sudah mapan itu. Maka wajar bila Isa memfokuskan
dakwahnya untuk menangani kerusakan moral masyarakatnya terlebih dulu. Usia
Nabi Isa yang pendek membuat dakwah itu terhenti di perbaikan moral.460
Menurut Hamka, penekanan pada iman dan takwa sebagai basis
pembangunan masyarakat politik seperti ini tentu bertentangan dengan kaidah
yang umum berlaku dalam politik, di mana opini publik menjadi pedoman dalam
membuat kebijakan politik. Padahal, ujar Hamka, ‚pendapat suara ramai itu
senantiasa tidak tetap‛, berbeda dengan itu ‚budi pekerti diambil dari timbangan
akal yang sedang tenteram.‛461 Karena itulah Hamka menekankan, ‚sebab itu
haruslah hukum kesopanan itu menjadi didikan yang terutama kepada segenap
insani. Adapun didikan hukum siasat, sebagaimana kita nyatakan di nomor yang
lalu, tak usah dididikkan, karena itu bukan tujuan asli dari manusia, itu hanya
penyakit yang hinggap sezaman-sezaman.‛462
Gagasan Hamka tentang Demokrasi Takwa ini sesungguhnya menarik jika
dielaborasi lebih jauh dan dibawa ke ranah teoritis, apalagi praktis. Ini tentu patut

456
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 14-16
457
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 17
458
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 25-26
459
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 89
460
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 77-80
461
Hamka, ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dan Hoekoem Politiek,‛ dalam
Pedoman Masjarakat, edisi 20 September 1939, h. 745
462
Hamka, ‚Hoekom Kesopanan dan Hoekoem Politiek (Habis),‛ dalam Pedoman
Masjarakat, edisi 27 September 1939, h. 760

93
disayangkan mengingat saat membahas demokrasi sebagai sistem politik dari
Barat Hamka merujuk pada tokoh-tokoh pencetusnya. Apalagi kemudian dia
terlibat langsung dalam dinamika politik praktis di Masyumi, dan di pemerintahan
sebagai anggota Konstituante dan pegawai tinggi di Kementerian Agama.
Sayangnya, pengalaman lapangannya ini tidak dimanfaatkannya untuk
merumuskan lebih rinci konsepnya tersebut, sehigga gagasannya itu hanya
bergerak di wilayah filosofis dan normatif.
Sebagai misal Hamka tidak menjawab apakah sistem demokrasi parlementer
ataukah presidensil yang sesuai dengan Islam dan cocok untuk konteks Indonesia,
atau mungkin ada tawaran yang baru dan berbeda dari itu. Hamka hanya
menyerahkannya pada masyarakat sesuai kebutuhan mereka. Permasalahan lain
yang juga perlu dijelaskan lebih jauh adalah soal ketentuan orang-orang bertakwa
yang bermusyawarah itu, ‚bagaimana membuat mekanisme yang bisa menjamin
parlemen memang diisi oleh orang-orang bertakwa sehingga hasil musyawarah
mereka tidak keluar dari ketentuan agama?‛ atau ‚bagaimana menjamin agar
produk permusyawaratan di parlemen atau di eksekutif tidak keluar dari jalur
agama?‛. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini belum terungkap dari
tulisan-tulisannya. Padahal pengetahuan teoritis dan pengalaman praktis Hamka
tersebut bila digunakan untuk merumuskan gagasannya tentang Demokrasi Takwa
tentu akan melahirkan teori-teori politik yang khas Indonesia dengan warna Islam.
D. Respons Hamka Terhadap Konsep Politik Barat
1. Respons Terhadap Sekularisme
Paradigma Hamka tentang integrasi negara dengan agama membawa
konsekuensi pada penolakannya terhadap ide pemisahan antara keduanya
(sekularisme). Di era pra kemerdekaan hubungan agama dan negara pernah menjadi
tema perdebatan sengit di antara tokoh-tokoh pergerakan nasional di Indonesia.
Suhelmi mencatat perdebatan tentang persoalan ini telah terjadi antara Soekarno
dengan M Natsir dan A Hassan di tahun 1940-an. Polemik antara keduanya
bermula dari artikel Soekarno, ‚Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara‛
dan ‚Saya Kurang Dinamis,‛ yang dimuat Pandji Islam antara Mei hingga Juli
1940.463 Dalam tulisan-tulisannya itu Soekarno mengadopsi gagasan yang muncul
Eropa tentang pemisahan agama dan negara. Agama diposisikan sebagai aturan-
aturan spiritual, sementara negara dan pemerintahan adalah masalah duniawi
(sekular). Jika disatukan, tegas Soekarno, agama akan dimanfaatkan sebagai alat
kekuasaan. Untuk menguatkan idenya itu Soekarno mengutip pendapat
cendekiawan Turki Mahmud Essad Bey, Mustofa Kemal hingga sarjana Mesir Ali
Abd al-Raziq.464
Gagasan Soekarno kontan ditolak oleh M Natsir. Menggunakan nama pena
A Muchlis, Natsir menulis di media massa yang sama antara Juli hingga September

463
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 79. Lihat keterangan edisi
penerbitan artikel itu catatan akhir (end note) no 2 di halaman 135. Lihat juga Muhammad
Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan Staat Islam: Wacana Negara Islam dalam Berita
Nahdlatoel Oelama (BNO)‛, Ahkam, vol. 5, no 1, Juli 2017, h. 167.
464
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 79, h. 80-86.

94
1940 untuk menanggapi tulisan-tulisan Soekarno itu. Bagi Natsir agama tidak bisa
dipisahkan dari negara. Kenegaraan, menurutnya, merupakan bagian integral dari
risalah Islam. Gambaran negatif tentang penyatuan agama dengan negara seperti
yang ditulis Soekarno adalah hasil dari kesalahpahaman atas pemerintahan Islam.
Lebih jauh Natsir menyatakan, negara merupakan alat untuk merealisasikan
aturan-aturan Islam, karena banyak ajaran Islam seperti kewajiban zakat dan
larangan zina tidak bisa diwujudkan tanpa adanya negara.465 Selain Natsir, tokoh
lain yang menanggapi tulisan Soekarno tersebut adalah A Hassan. Tokoh Persatuan
Islam (Persis) ini menganggap Soekarno tidak mengetahui latar belakang
pemisahan politik dari agama yang terjadi di Barat. Menurutnya, Barat mengambil
langkah seperti itu karena memang agama Kristen tidak memiliki aturan tentang
politik.466
Bukan hanya kalangan modernis, kelompok tradisionalis juga memberikan
reaksi. Melalui corong resminya, Berita Nahdlatoel Oelama (BNO), tanggapan
Nahdlatul Ulama (NU) dimuat pada edisi 1 dan 15 Juni, 15 Agustus, 15 September
1940, serta 1 dan 15 Oktober 1940. Secara tegas NU menganggap tulisan-tulisan
Soekarno mencerminkan kekurangpahamannya terhadap Islam, kekanak-kanakan
(t}ufayl), dan menimbulkan kekacauan dalam Islam.467 NU menilai Soekarno telah
terkontaminasi oleh ide-ide Barat dan kurang akses pada kitab-kitab agama
berbahasa Arab karena keterbatasannya dalam berbahasa Arab.468 Pendirian negara
Islam, tegas NU, didasarkan pada totalitas Islam dalam segala aspek kehidupan
manusia. Bagi NU Islam adalah ‚sekumpulan undang-undang dari Tuhan yang
menyusun dan memimpin manusia menuju arah kebajikan dan kepentingannya di
dalam perikehidupan dan perikeakhiratannya.‛469
Sekularisme berasal dari kata ‚saeculum‛ yang memiliki arti ganda. Makna
pertama terkait dengan waktu (time) yang berarti zaman sekarang (now) atau saat
ini (present). Makna kedua terkait dengan lokasi (location), yaitu dunia (world)
atau yang bersifat duniawi (worldly). Padanan kata saeculum adalah mundus.
Meski demikian kedua kata ini memiliki titik tekan yang berbeda. Saeculum lebih
cenderung ke makna waktu (time). Sementara mundus maknanya lebih berkonotasi
pada ruang.470 Menurut Masykuri Abdillah, sekularisme merupakan ideologi di
mana para pendukungnya mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga
yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau
anti agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.471 Ada dua

465
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 87-90
466
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam..., h. 7-8
467
M Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan…,‛ h. 171
468
M Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan…,‛ h. 174
469
M Ainun Najib, ‚NU, Soekarno, dan…,‛ h. 175-176
470
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan
Pemikiran Islam Kontemporer,‛ Madania, vol. 20, no 2, Desember 2016, h. 219. Lihat juga
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),
h. 16.
471
Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi
Politik Di Era Reformasi,‛ Ahkam, vol. XIII, no. 2, Juli 2013, h. 248

95
bentuk sekularisme, yaitu Laicite atau assertive secularism yang secara aktif
mendukung pengusiran agama dari negara dan kehidupan publik. Sebalik dari itu
adalah sekularisme pasif.472
Sebagai sebentuk ideologi yang berupaya menjauhkan negara dan segala
aspek kehidupan manusia dari pengaruh agama. Sementara proses menuju itu
disebut sebagai sekularisasi. Dengan mengutip Peter L Berger, Abdillah
menjelaskan bahwa sekularisasi merupakan ‚sebuah proses di mana sektor-sektor
kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-
lembaga dan simbol-simbol keagamaan‛.473 Proses ini meliputi tiga hal: Pertama,
pengosongan dunia dari kepercayaan akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasai dunia (Disenchantment of nature/ die Entzauberung der Welt). Kedua,
desakralisasi kehidupan politik (desacralization of politics). Ketiga, penyingkiran
kehidupan manusia dari kemutlakan nilai-nilai agama (deconsecration of values).474
Senada dengan itu, Hamka juga melihat adanya dua macam sekularisme,
yaitu sekularisme lunak (moderat) dan sekularisme radikal. Sekularisme lunak
merujuk kepada kelompok yang masih mengakui keberadaan agama, namun
mereka memisahkannya dari kehidupan sehari-hari. Bagi mereka agama hanya
terkait dengan hubungan antara pribadi dengan Tuhan. Sementara ekonomi,
politik, kehakiman, dan negara adalah urusan masyarakat atau negara yang tidak
boleh dicampuri oleh agama. Hamka menyebut kelompok ini sebagai mereka ‚yang
menoleh ke Barat menurut faham demokrasi dan liberalisme‛.475
Sementara yang kedua bersikap lebih keras lagi. Inilah orang-orang yang
berpaham Marxisme. Mereka memusuhi agama karena dianggap telah turut serta
melanggengkan cengkeraman imperialisme-kapitalisme. Menurut mereka agama
adalah racun yang menghancurkan semangat perlawanan kaum proletar. Agama
dijadikan alat kaum kapitalis untuk meninabobokkan kaum proletar agar tidak
bangkit melawan. Karena itu kaum Marxis menganggap agama sebagai candu bagi
rakyat yang memberikan mimpi-mimpi indah di dalam derita kesengsaraan
jasmani.476 Bahasan lebih lanjut tentang marxisme menurut Hamka akan diuraikan
setelah bagian ini.
Menurut Hamka, kemunculan sekularisme tidak lepas dari akar sejarah
peradaban Barat Kristen, terutama sebelum terjadi perpecahan antara Katolik
dengan Protestan. Ketika itu, jelas Hamka, dengan mengatasnamakan Tuhan dan
melaksanakan hukum Tuhan, Gereja Katolik memiliki kekuasaan pada
pemerintahan duniawi sehingga para raja-raja harus meminta restu kepada Paus
untuk menempati kursi singgasananya. Kekuasaan Gereja itu biasa disebut sebagai
teokrasi.477

472
Erin K Wilson, After Secularism: Rethinking Religion in Global Politics, (New
York: Palgrave MacMillan, 2012), h. 30-31
473
Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan...,‛ h. 248
474
AK Fata & SM Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan...,‛ h. 220
475
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 74
476
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 74
477
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisasi Undang-undang Dasar ‘45,‛ dalam Panji
Masyarakat, no 212, tahun XVIII, 1 Desember 1976, h. 19-20

96
Lebih dari itu, Hamka menjelaskan bahwa sekularisme Barat memiliki akar
yang dalam hingga ke era Nabi Isa AS yang berdakwah mengajarkan penyucian
jiwa kepada bangsa Yahudi yang hidup di bawah kekuasaan (jajahan) bangsa
Romawi dengan sistem hukum dan pemerintahannya yang mapan.478 Di kalangan
bangsa Yahudi sendiri telah berlaku aturan-aturan hukum sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Perjanjian Lama. Namun mereka menjalankannya secara kaku
dan di aspek luarnya saja, tidak meresap ke dalam intinya. Mereka membaca yang
tersurat, tidak masuk ke makna yang tersirat. Ini membuat sering terjadinya
pertengkaran dalam persoalan kecil dan remeh temeh di antara mereka, sehingga
melupakan persoalan inti yang lebih besar. Kondisi ini membuat Nabi Isa belum
perlu masuk ke wilayah politik dan hukum pemerintahan. Perhatian utama Nabi Isa
masih diarahkan ke perbaikan aspek dalam (batin) bangsa Yahudi yang tengah
kering dan rusak.479
Ajaran Nabi Isa ini terus dilanjutkan oleh murid-muridnya. Mereka
menyebar ke pelosok negeri hingga mampu masuk ke pusat kekuasaan Romawi.
Persebaran yang massif membuat ajaran Kristiani akhirnya bisa diterima oleh
penguasa Roma. Namun kristianitas tetap saja bergerak di wilayah rohani dan
moral. Penguasa Romawi menerima Kristianitas hanya sekedar kepercayaan
belaka. Itu pun sudah banyak dilakukan perubahan, khususnya di ajaran Trinitas
(Hamka menyebutnya Trimurti). Kristianitas tidak turut campur di bidang politik
pemerintahan. Sementara di bidang hukum Romawi mengambil dari khazanah
hukum warisan Yunani dan Romawi sendiri. Hal inilah yang kemudian membentuk
pandangan hidup Barat yang sekuler. Barat yang memposisikan ‚agama adalah
hubungan masing-masing orang dengan Tuhannya.‛ Sementara hubungan antar
manusia dan antar negara menjadi urusan manusia itu sendiri, dan agama dilarang
ikut campur. Di bidang ini berlaku peraturan Romawi yang telah mapan tersebut.
Kaidah yang berlaku adalah ‚Berikanlah kepada Allah hak Allah, dan kepada
kaisar hak kaisar.‛480
Menurut Hamka, pemisahan urusan negara dari agama di dunia Kristen
dengan berdasar kaidah tersebut sesungguhnya merupakan sebentuk
kesalahpemahaman. Kaidah itu semula memang merupakan pernyataan Nabi Isa,
namun bukan dimaksudkan untuk memisahkan antara keduanya. Hamka
menjelaskan, sebenarnya Nabi Isa hendak berfokus pada perbaikan jiwa bangsa
Yahudi terlebih dahulu. Setelah berhasil dibawa keluar dari Mesir ke Tanah Yang
Dijanjikan oleh Nabi Musa, bangsa Yahudi mendirikan negara dengan berhukum

478
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 77
479
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 78-79. Meski demikian Hamka melihat
sesungguhnya Nabi Isa datang bukan tanpa membawa syariat atau aturan-aturan kehidupan
sama sekali. Kedatangan Isa adalah untuk menggenapkan ajaran nabi sebelumnya, Musa.
Isa memerintahkan kepada pengikutnya untuk menjalankan aturan-aturan yang dibawa
Nabi Musa. Dengan hati yang bersih dan penuh ketulusan. Dengan demikian, aturan-aturan
yang diberlakukan zaman Isa adalah aturan-aturan Musa yang telah disempurnakan. Lihat
Hamka, Studi Islam, h. 198-199
480
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 80-82. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar
Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 703-704.

97
pada Taurat. Seiring berjalannya waktu, jiwa bangsa Yahudi menjadi lemah.
Mereka kehilangan energi dinamisnya. Di kemudian hari mereka ditaklukkan dan
dijajah bangsa Romawi. Pada saat itulah Nabi Isa datang untuk kembali
membangkitkan bangsa Yahudi dengan memperbaiki jiwa dan moralitas mereka
terlebih dahulu. Karena di situlah terletak kekuatan dinamis bangsa Yahudi yang
telah hilang tadi. Jadi, ungkap Hamka berkesimpulan, yang dilakukan Nabi Isa
sesungguhnya adalah sebuah perlawanan terhadap bangsa Romawi, meski bersifat
halus lembut.481
Di zaman pertengahan para pemimpin agama Kristen (Bapa-bapa Gereja)
mulai terdorong untuk meluaskan otoritasnya. Bukan hanya di bidang kerohanian,
namun juga di bidang politik. Di akhir abad keempat Kerajaan Romawi pecah jadi
dua: Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel dan Romawi Barat di Roma.
Pasang surut kekuasaan para kaisar memberi kesempatan bagi pimpinan Gereja
untuk meraih kekuasaan politik. Gereja pun akhirnya memiliki kekuasaan, wilayah,
dan tentara sendiri. Di era kekuasaan Gereja inilah Barat memasuki Era Kegelapan.
Tugas Gereja adalah ‚mengendalikan jiwa rakyat banyak agar tunduk kepada
kekuasaan dengan janji-janji ‘Kerajaan Surga’.‛ Inilah yang disebut Hamka sebagai
zaman feodal. Di era ini Gereja menjadi pusat kebenaran. Mereka memosisikan
dirinya sebagai ‚wakil Tuhan.‛ Semua rakyat harus taat kepada Bapa-bapa Gereja.
Tidak boleh ada yang ingkar. Keingkaran pada Bapa Gereja sama dengan melawan
Tuhan. Gereja pun menerapkan hukuman yang keras pada mereka yang ingkar.482
Kemunculan Aufklarung dan Revolusi Perancis menjadi era perlawanan
terhadap kekuasaan Gereja. Pada akhirnya kekuasaan Gereja meredup dan kalah.
Revolusi Perancis menjadi pintu gerbang kebebasan (liberalisme) dan
universalisme. Ketika itu kepemilikan terhadap sains, modal, dan industri menjadi
sumber kekuasaan. Sementara Gereja kembali tersudut di ruang gelap yang hanya
mengurusi hubungan pribadi hamba dengan Tuhan.483 Hamka menjelaskan:
Sejak semula sudah kita ketahui bahwa timbulnya peradaban Eropa modern ialah
setelah pemberontakan kaum borjuis terhadap Gereja. Tantangan terhadap agama
menyebabkan teori pemisahan urusan kenegaraan dengan Gereja. Tetapi pemisahan
ini bukan lagi semata pemisahan, bahkan dicampuri oleh tantangan dan kebencian.
Sebab itu untuk selanjutnya menjadi faham hidup sekuler yang berakibatkan
memisahkan segala yang berbau keagamaan dari kegiatan hidup.484

481
Hamka, Revolusi Agama (Sesudah Ditambah…), h. 121-122
482
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 83-84; Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h.
704-705
483
Meski demikian, Hamka melihat, kaum agamawan Katolik kemudian menyadari
ketertinggalannya dari para filosof dan saintis sekular. Mereka pun kemudian mempelajari
filsafat dan ilmu-ilmu sekular sehingga bisa menyejajarkan dirinya dengan mereka. Bahkan
mereka lebih unggul karena bisa menyatukan ilmu-ilmu sekular itu dengan agamanya.
Namun sayangnya, Hamka tidak menyebut contoh tokoh Katolik yang telah mencapai
kemampuan ini. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar jilid 2, h. 33-34
484
Hamka, ‚Renungan Melihat Eropa‛, dalam Panji Masyarakat, no 202, tahun
XVIII, 1 Juli 1976, h. 7

98
Pemisahan agama dan negara menurut tafsir Barat yang sekarang bukanlah
satu undang-undang yang mutlak dari kehidupan. Itu hanyalah satu akibat dari
insiden, karena salah mempergunakan kekuasaan.485
Meski telah terlanjur mengambil jalan sekularisme, namun Hamka melihat
pengaruh agama di Barat tidak bisa hilang begitu saja. Ini tampak dari banyaknya
negara Barat yang tetap mencantumkan nama Tuhan di mata uang mereka.
Vatikan juga tetap memiliki pengaruh ke jemaatnya yang tersebar di seluruh dunia
dan ke banyak negara-negara Barat. Karena itu Hamka menyimpulkan bahwa yang
terjadi sesungguhnya bukan pemisahan agama dari negara, tapi pemisahan Gereja
Katolik dari urusan pemerintahan. Namun sayangnya, justru yang diekspor ke
dunia Islam adalah ‚pemisahan agama dari negara.‛486
Kekuasaan kaum feodal, raja, dan kaum Gereja yang surut itu pun berganti
dengan kekuasaan kaum kapitalis.487 Di era ini terjadi kebangkitan liberalisme,
kapitalisme, dan imperialisme yang memunculkan kolonialisasi ke penjuru dunia.
Negeri-negeri Islam pun tidak luput sebagai sasaran kolonialisasi. Hamka
melanjutkan penjelasannya:
Individualisme menimbulkan liberalisme. Liberalisme menimbulkan materialisme.
Kapitalisme mesti menimbulkan imperialisme. Mengutamakan diri sendiri mesti
menimbulkan keinginan kemajuan hidup diri sendiri. Kemajuan hidup sendiri mesti
menimbulkan perbuatan kebendaan. Perbuatan kebendaan mesti menimbulkan
pertumpukan modal. Modal yang telah tertumpuk, sendirinya menumbuhkan
keinginan mencari pasaran, yaitu jajahan.‛ 488
Hamka menjelaskan, orang yang berpaham kebendaan (materialisme) akan
memandang segala sesuatu dari keuntungan yang akan didapatkannya. Mereka
menghargai manusia bukan karena kemanusiaannya, namun atas dasar tenaga yang
bisa dimanfaatkan untuk keuntungannya. ‚Dinilainya manusia sekedar keuntungan
yang akan didapatnya daripadanya,‛ ungkap Hamka.489
Selain faktor ekonomi, kolonialisasi juga menyimpan motivasi keagamaan.
Penyebaran agama Kristen menjadi salah satu tujuan mereka. Lebih dari itu
penjajahan terhadap negeri-negeri Muslim, termasuk di kepulauan Nusantara,
ungkap Hamka, merupakan kelanjutan dari Perang Salib yang didorong oleh
fanatisme agama.490 ‚Penjajahan negara-negara Barat ke negeri Timur, terutama
kerajaan-kerajaan Kristen ke Dunia Islam, sejak pangkal abad ke enam belas,
adalah lanjutan belaka dari Perang Salib itu,‛ simpul Hamka.491
Di sini Hamka melihat sikap mendua penjajah Barat. Di satu sisi, di negeri
sendiri mereka tidak peduli pada agama. Bahkan cenderung meninggalkan dan
485
Hamka, Revolusi Agama (Sesudah ...), h. 124
486
Lihat Hamka, Studi Islam, h. 207-211
487
Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 33
488
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 86-87
489
Hamka, ‚Tidak Semata-mata Benda,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 16, tahun II, 1
Pebruari 1960, h. 4-5
490
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 112; Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera,
(Medan: Pustakan Nasional, 1950), h. 18.
491
Hamka, ‚Hari Depan Agama (III Habis),‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 29, tahun
II, 15 Agustus 1960, h. 4

99
memusuhinya. Namun di negara-negara jajahan mereka mendukung penyebaran
agama Kristen ke tengah-tengah masyarakat jajahan.492 Hamka melihat agama
hanya dijadikan sebagai alat penjajahan belaka, karena di Barat sendiri cahaya
agama sedang redup.493 Hamka menyatakan, ‚berhenti Perang Salib pada lahir,
tetapi tidak berhenti dalam batin. Zending dan missi lebih digiatkan dalam negeri
Islam, padahal jelas sekali bahwa di negara-negara Barat sendiri, karena pengaruh
sekuler, sudah lama agama tidak diperdulikan orang lagi.‛494
Penyebaran ajaran agama ke negeri-negeri jajahan bertujuan mengerdilkan
kekuatan Islam yang dianggap sebagai penghalang bagi penjajahan. Hamka
mengutip pidato Alfonso d’Albuquerque ketika hendak menyerang Malaka di
tahun 1911: ‚Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan
dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan
menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi
cahayanya di sini buat selama-lamanya.‛495
Namun Hamka menemukan adanya hal positif dari kolonialisasi yang terjadi
di kepulauan Indonesia. Hamka melihat, ketika Barat datang dengan kekuatan
senjata, justru terjadi proses penguatan sentimen keislaman di tengah-tengah
masyarakat Nusantara kala itu. Seandainya Barat datang dengan damai dan
membawa kemajuan ilmu pengetahuannya, Hamka memperkirakan Islam sudah
hancur di Nusantara ini. ‚Jika sekiranya agama Islam masih ada di sini, itu adalah
hanya sebagai reaksi dari rasa permusuhan. Kaum Muslimin mendindingi dirinya
bukanlah dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan perkembangan akal, hanyalah
dengan taklid dan fanatik. Demikianlah keadaan kita kira-kira 300 tahun lamanya‛,
ungkapnya.496

492
Hamka, ‚Ilmu dan Agama,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 21, tahun II, 15 April
1960, h. 5
493
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 734. Hamka menyebut imperialisme Barat itu
merupakan gabungan dari tiga hal, yaitu serbuan militer, serbuan zending-misi Kristen, dan
serbuan menanam kapital. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 743. Meski cahaya
agama di Barat tengah meredup namun Hamka masih melihat pengaruh agama dalam
kehidupan publik (politik pemerintahan) di Amerika Serikat. Dalam deklarasi
kemerdekaannya, pendiri Amerika menyebut nama Tuhan. Demikian juga di mata uang dan
pelantikan presiden yang menyebut nama Tuhan. Pengajaran agama juga diberikan di
akademi militer Amerika. Begitu pun pemelihan presiden yang masih mempertimbangkan
asal usul agama sang capres: Protestan atau Katolik. Lihat Hamka, 4 Bulan di Amerika,
(Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 96-99
494
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 260
495
Hamka, ‚Tanggung dJawab Angkatan Muda Islam,‛ dalam Pandji Masjarakat, no
106, tahun XIII, 1 Juli 1972, h. 4
496
Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 65. Selain
faktor ini, faktor lain yang turut berperan mempertahankan Islam di Indonesia adalah
‚kesadaran bahwa nasib agama kita tidak boleh digantungkan kepada penjajah itu.‛
Kesadaran ini telah mendorong sejumlah pelajar Indonesia pergi ke Tanah Arab untuk
belajar Islam langsung di sumbernya. Di antara mereka ada yang menetap di sana dan ada
yang kembali. Dari mereka lah dipertahankan semangat dan keilmuan Islam di tengah-
tengah masyarakat Indonesia yang terjajah. Dari mereka juga disebarkan semangat

100
Di bawah cengkeraman kekuasaan kolonial, Islam memainkan peran penting
bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Islam, ujar Hamka, memberikan ruh bagi
bangsa Indonesia untuk melawan kekuasaan kolonial Barat. Ruh inilah yang telah
menjiwai perjuangan hingga mencapai kemerdekaan. Dalam pidatonya mewakili
Fraksi Masyumi di Konstituante, Hamka menjelaskan bahwa semangat dan jiwa
proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah Pancasila, tapi keimanan di hati rakyat.
Pancasila, ujar Hamka, merupakan sesuatu yang baru dikenal oleh Bangsa
Indonesia,
Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai proklamasi tanggal 17 Agustus,
bukan Pancasila. Sungguh saudara ketua, Pancasila itu belum pernah dan tidak
pernah dikenal, tidak populer dan belum pernah terdengar! Yang terdengar hanya
sorak ‚Allahu Akbar‛. Dan api yang nyala di dalam dada ini sampai sekarang,
saudara ketua, bukanlah Pancasila, tetapi ‚Allahu Akbar!‛.497
Kesimpulan Hamka ini senada dengan salah satu teori yang dikemukakan
oleh Azyumardi Azra. Menurut Azra, salah satu faktor pendorong intensifikasi
penyebaran Islam di Nusantara adalah identifikasi kaum kolonial sebagai orang
kafir. Hal ini membuka jalan bagi Islam untuk tampil secara gagah sebagai satu-
satunya wadah yang bisa memberikan identitas diri dan pemersatu bagi masyarakat
pribumi yang beragam. Islam pun menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan
kaum kolonial Barat. Ini ditandai dengan penggunaan simbol-simbol keislaman
dalam berbagai perlawanan terhadap kolonial.498
Daya tahan ini mau tidak mau memaksa kaum kolonial untuk menerapkan
strategi lain. Jalur kebudayaan pun diambil. Politik etis dan politik asosiasi
diterapkan guna menarik warga pribumi ke dalam kebudayaan Barat. Melalui
pendidikan, mereka berupaya menjauhkan warga pribumi dari agamanya.499
Dengan begitu, ujar Ahmad Baso, jika nanti akhirnya penjajah Barat harus keluar
dari negeri jajahannya, setidaknya masih ada sekelompok pribumi yang tetap
tinggal di negeri itu dan bisa melanjutkan warisan kolonial di sana.500
Yudi Latif mengakui, politik etis dan asosiasi memang sengaja dicipta untuk
‚bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara negeri Hindia dan negeri
Belanda.‛ Jalur pendidikan diambil sebagai strategi utama, selain juga strategi
irigasi dan transmigrasi. Pada jalur pendidikan ini, Latif menulis, pemerintah

perlawanan terhadap penjajahan. Lihat Hamka, ‚Orang-orang Jang Kembali,‛ dalam Gema
Islam, no 2, tahun I, 1 Pebruari 1962, h. 11
497
Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar Negara,‛ dalam Yusran R (ed.), Debat Dasar
Negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 100
498
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 38
499
Hamka, Iman dan Amal Shaleh, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 7. Hamka
mengakui semula pendidikan Barat di negara-negara terjajah dimaksudkan untuk
menciptakan suatu kelas dalam masyarakat yang digunakan untuk melancarkan kekuasaan
kolonial tersebut. Namun kemudian tujuan itu dikembangkan dengan berupaya
memisahkan masyarakat terjajah dari agamanya. Karena ‚apabila agama bangsa yang
menjajah dengan bangsa yang dijajah masih berlainan, akhir kelaknya bangsa ini akan
melawan juga.‛ Lihat Hamka, ‚Orang-orang Jang...,‛ h. 11.
500
Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial, (Jakarta: Pustaka Afid, 2016), h.90

101
kolonial Belanda bertujuan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang
berorientasi Barat demi ‚merawat masyarakat Hindia modern seiring dengan garis-
garis kebijakan asosiasi.‛ Untuk itu pendidikan yang dipromosikan Belanda adalah
yang netral agama agar bisa ‚mengemansipasi elit baru dari ikatan
keagamaannya.‛ Latif menjelaskan, yang dimaksud emansipasi dalam konteks ini
adalah ‚menjauhkan elit baru dari Islam.‛501
Pemerintah Kolonial pun mendirikan sekolah-sekolah yang netral agama
tanpa ada pelajaran agama. Pendidikan netral agama itu hanya diberlakukan untuk
murid-murid warga pribumi muslim, dan tidak diberlakukan kepada murid yang
beragama Kristen. Mereka tetap mendapatkan pengajaran agamanya.502 Akibatnya,
ujar Hamka, banyak lulusan sekolah-sekolah itu yang tidak mengenal agamanya.
Jauh dari Islam. Bahkan memusuhinya.503 Anehnya, jauh dari agama itu justru
membuat mereka merasa sebagai intelek sejati yang serupa dengan bangsa Barat.
Padahal, lanjutnya, mereka tidak lebih dari sekedar burung Beo yang menuruti apa
yang dibicarakan tuannya itu, Barat.504 Demikian Hamka menyatakan:
Tetapi orang Islam yang keluar dari sekolah pemerintah yang netral itu betul-betul
kosong dari agama. Seakan-akan memegang teguh agama Islam, adalah tanda dari
kefanatikan. Dan ciri yang khas dari seorang terpelajar kalau pandangannya sinis
terhadap agama.505
Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya;
mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang
masuk akal. Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga
kebenaran tidak bisa masuk lagi.506
Tujuan lain strategi pendidikan netral agama adalah sebagai langkah
melemahkan pengaruh pesantren di Indonesia. Selama itu, ungkap Hamka,
pesantren menjadi sumber energi Islam di Indonesia. ‚al-Fisantrinu `imadul Islam fi
Indonesia (Pesantren adalah tiang agama Islam di Indonesia),‛ tegas Hamka.
Tentang peran pesantren ini Hamka menulis: ‚Bagaimana supaya pengaruh pondok
ini hilang di Indonesia? Inilah penyelidikan yang sangat mendalam dan hati-hati
dari Pemerintah Kolonial. Inilah yang menyebabkan Prof Snouck Hurgronje duduk

501
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Jakarta: Democracy Project, 2012),
h. 90-93
502
Hamka, Iman Dan Amal..., h. 10. Hamka pernah menyoroti kasus pemberian
pelajaran agama Kristen di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Inggris di
Semenanjung Melayu. Semula, tulisnya, di sekolah-sekolah tersebut hanya diajarkan
pelajaran-pelajaran umum yang netral agama. Namun kemudian pelajaran agama Kristen
juga diajarkan di sana. Termasuk kepada anak-anak Muslim Melayu. Menyikapi hal ini
Hamka menyeru kepada tokoh-tokoh Islam di Semenanjung untuk melawannya. Karena hal
itu merupakan upaya kristenisasi yang halus. Lihat Hamka, ‚Didikan Kristen dan Didikan
Neutraal,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 37, tahun II, 31 Oktober 1936, h. 721
503
Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 11; Hamka, Iman dan Amal..., h. 8; Hamka,
Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi & Sekularisasi, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 64
504
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 191-192; Hamka, ‚Ilmu dan Agama,‛ h. 5
505
Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 64; Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 31
506
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 716

102
di Aceh bertahun-tahun dan sampai ziarah ke Mekkah dan menukar namanya
dengan Abdul Gaffar Snauk al Hulandy‛.507 Dalam hal ini Latif menuturkan,
Snouck Hurgronje memandang kaum Muslim Hindia yang taat beragama,
kebanyakan lahir dari pesantren, tidak bisa dipercaya untuk melestarikan ikatan
dengan negeri Belanda. Sementara elit tradisional (priyayi lama) dianggapnya
terlalu konservatif untuk mengusung tujuan jangka panjang pemerintah kolonial.
Karena itu perlu diciptakan elit baru yang berorientasi Barat melalui lembaga
pendidikan yang netral agama.508
Bukan hanya di Nusantara, program seperti ini juga diberlakukan secara
umum di dunia Islam. ‚Bangsa yang menang dan penjajah pun memasukkan pula
pendidikan ‘netral’ agama kepada anak-anak Islam yang dididiknya. Sebab itu
maka orang yang mendapat didikan Barat pada umumnya bertambah jauhlah
daripada bangsanya sendiri yang memang telah menjauhkan diri itu‛, ujar
Hamka.509 Di level sekolah tinggi Belanda memang mengajarkan agama Islam.
Namun mereka mengajarkan Islam dari perspektif luar Islam, atau dalam ungkapan
Hamka, Islam yang diajarkan adalah ‘agama Islam’ dari segi ‘ilmu pengetahuan’.510
Kajian seperti ini disebut Hamka sebagai ‚studi terpimpin‛. Tujuannya
adalah ‚mengelabui mata orang yang menerima Islam sebagai agama pusaka nenek
moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk mempelajari Islam dari
sumbernya sendiri.‛511 Hamka memberi contoh Recht Hooge School di Batavia
yang memberikan pelajaran Hukum Islam. Namun buku pegangan yang digunakan
bukan karya ulama-ulama Islam sendiri. Karya-karya orientalis semisal Wensinck
dan Schrieke yang dijadikan rujukan karena dianggap lebih kritis dan obyektif. Hal
ini membuat para pelajar di sekolah-sekolah itu menjadi terasing dari agama dan
masyarakatnya. Serta memperlebar jurang antara lulusan sekolah Belanda itu
dengan kalangan agamawan (ulama).512

507
Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982), h. 11
508
Latif, Inteligensia Muslim dan..., h. 91-92
509
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 104
510
Hamka, Iman dan Amal..., h. 8
511
Hamka, Doktrin Islam Yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian,
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1975), h. 15
512
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 9-11; Hamka, Studi Islam, h. 154. Meski
demikian Hamka bukannya menolak sama sekali menjadikan karya-karya kaum Orientalis
sebagai rujukan. Hanya saja, ujarnya, karya-karya itu cukup dijadikan tinjauan belaka,
bukan sebagai pegangan utama. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 720. Menurut
Hamka, salah satu penyebab kalangan intelektual itu jauh dari ulama (dan sebaliknya)
adalah perbedaan cara berfikir mereka. Kaum intelektual berfikir secara kritis dan bebas.
Sementara kaum ulama hanya mengikuti pendapat guru dan mazhab yang dianutnya
(taklid). Lihat Hamka, ‚Intellektueel dan Oelama,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 25,
tahun VII, 18 Juni 1941, h. 483. Meski demikian Hamka membedakan dua macam
agamawan (dalam istilah Hamka: kehidupan beragama) di Indonesia saat itu (pra
kemerdekaan), yaitu: mereka yang hidup di sekeliling kiai dan mereka yang hidup dalam
dunia pergerakan. Umat Islam yang cenderung taklid adalah mereka yang hidupnya berada

103
Hamka juga menyebut, sikap seperti ini tidak lepas dari peran orientalis
yang berupaya mengaburkan ajaran Islam dan membangun propaganda negatif
terhadapnya. Mereka menyiarkan beberapa isu negatif tentang Islam, seperti Islam
itu fanatik, disiarkan dengan kekerasan, tidak toleran terhadap agama lain,
mengajarkan poligami, mengekang hak-hak perempuan, atau al-Qur’an bukan dari
Allah tapi karangan Muhammad. 513 Mereka juga melakukan upaya pengaburan
atas sejarah Islam, termasuk di Nusantara. Bekerjasama dengan zending dan missi
Kristen, kaum orientalis mengembangkan isu bahwa Islam di Indonesia merupakan
Islam yang tidak murni dan bersifat mistik sinkretis. Mereka juga melakukan
pemutarbalikkan fakta sejarah Islam di Indonesia.514 Tujuan utamanya adalah
menjauhkan generasi muda Islam dari sumber sejarahnya sehingga mudah
dikendalikan oleh kekuatan asing tersebut.515 Hamka menyatakan:
Hanya buku-buku hasil usaha orientalis itulah yang harus dimasukkan, ditekankan,
ditanamkan dalam hati anak Islam, sehingga akhir kelaknya anak Islam itu,
agamanya masih Islam, tetapi caranya berfikir sudah Kristen! Atau hilang sandaran
berfikir sama sekali! Sehingga dia merasa malu jika dikatakan Islam! 516
Dan insaflah bahwasanya rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena
propaganda terus menerus dari kaum penjajah selama berpuluh beratus tahun,
sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiri pun kemasukan rasa
takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.517
Sikap netral agama yang diiringi dengan penyebaran hasil kajian kaum
orientalis yang cenderung peyoratif terhadap Islam itu, jelas Hamka, merupakan
benih-benih bagi tumbuhnya paham sekularisme di Indonesia. ‚Setelah Indonesia
merdeka, lanjutan dari netralisme itu ialah sekularisme,‛ ungkapnya. Benih
tersebut terus berkembang meski penjajah telah pergi dari ibu pertiwi. Tujuan
utama mereka adalah menekan umat Islam agar tidak menjadikan agamanya
sebagai pegangan hidup. Mereka juga terus berupaya agar umat Islam tetap
menjadi kelas bawah (orang suruhan).518 Menurut mereka, jika Indonesia ingin
maju, maka harus menyingkirkan ajaran agama dari dirinya.519 Hamka menulis:
... Meskipun angkatan perang besar-besaran secara lama di atas nama agama tidak
dikirimkan lagi, dialihlah caranya caranya dengan cara yang baru. Di setiap negeri-
negeri Islam yang terjajah dengan berangsur tetapi teratur dibolehkan pendidikan
anak-anak Islam agar mereka lepas dari agamanya. Dikirimlah zending dan missi,

di sekeliling kiai. Lihat Hamka, ‚Pemandangan Oemoem Tentang Soeasana Islam di Tanah
Air Kita,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 26, tahun VII, 25 Juni 1941, h. 513
513
Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 65-66; Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h.
734-735. Pandangan orientalis tentang poligami dan perempuan, dan kritik Hamka
terhadapnya lihat Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1996).
514
Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 32
515
Hamka, 1001 Soal Kehidupan , (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 125
516
Hamka, ‚Hari Depan Agama (III Habis),‛ dalam Pandji Masjarakat, no. 29, tahun
II, 15 Agustus 1960, h. 4
517
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 706
518
Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 64; Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 31
519
Hamka, ‚Didikan Kristen dan ...,‛ h. 722

104
diberi belanja yang besar. Dikerahkan ahli-ahli ilmu pengetahuan yang bernama
kaum orientalis untuk menyelidiki rahasia kekuatan Islam. 520
Sayangnya, meski Indonesia telah merdeka namun upaya memberikan
pengajaran agama di sekolah-sekolah tetap dihambat dan dihalang-halangi.521
Bahkan diciptakan kesan bahwa agama adalah sumber kekolotan dan kemunduran.
Agar bisa maju, umat harus meninggalkan agamanya dan menjadi manusia
modern.522 Namun, ujar Hamka, modernisasi yang mereka lakukan adalah
‚modernisasi terpimpin‛, yaitu modernisasi ‚yang dipimpinkan oleh orang-orang
dari luar Islam.‛ Modernisasi model ini tidak lain adalah ‚sekularisasi, pemisahan
antara agama dengan negara. Mengisolasi agama di masjid.‛523 Hamka menyebut
proyek tersebut sebagai bagian dari Ghazw al-Fikr, yaitu:
Sebuah teknik propaganda yang hebat, melalui segala jalan, baik kasar atau halus,
baik secara kebudayaan atau secara ilmiah, agar cara dunia Islam berubah dari
pangkal agamanya dan dengan tidak disadarinya dia berfikir bahwa jalan benar satu-
satunya supaya orang Islam maju adalah meninggalkan pikiran Islam. Untuk itu
tidak usah menukar agama. Biar tetap jadi orang Islam juga, tetapi tidak lagi
meyakini dan melaksanakan ajaran Islam. 524
Dalam tulisan lain Hamka mendefinisikan Ghazw al-Fikr sebagai ‚percobaan
besar-besaran hendak menaklukkan alam fikiran kita, bentuk rohani kita, agar
berubah dari berfikir seorang penganut Islam yang sadar dalam Islam menjadi
orang yang masih memeluk Islam, tetapi tidak lagi berfikir dalam Islam, malahan
melihat Islam dari luar.‛525
Meski terdapat orientalis yang bersikap obyektif dan jujur dalam melakukan
studi keislaman demi kepentingan ilmu pengetahuan. Namun Hamka melihat
kebanyakan kajian kaum orientalis bertujuan untuk melanggengkan penjajahan
politik Barat terhadap negeri-negeri Islam. Yang kemudian dilanjutkan dengan

520
Hamka, ‚Hari Depan Agama (III Habis),‛ h. 4.
521
Hamka, ‚Harapan Kepada Pemuda,‛ h. 4-5. Hamka menyambut baik kesepakatan
Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dengan Menteri PPK Dr Bahder Djohan tentang
pengajaran agama di sekolah-sekolah umum negeri. Meski akan menghadapi banyak
kendala, seperti kualitas dan kuantitas guru agama, namun Hamka yakin ke depannya
masalah-masalah itu akan dapat diatasi seiring pendirian berbagai sekolah dan pendidikan
pendidikan guru agama. Namun Hamka juga melihat masalah baru terkait dengan
pengajaran agama di tingkat universitas. Di mana para pengajarnya masih terpengaruh
pemikiran orientalis yang menjadikan agama hanya sebagai ilmu tanpa penghayatan dan
pengamalan. Padahal di saat bersamaan para orientalis itu tetap dipengaruhi oleh
subyektivitasnya. Lihat Hamka, ‚Islamologi di Universitas,‛ dalam Pandji Masjarakat, no
14, tahun II, 1 Januari 1960, h. 3.
522
Hamka, ‚Rasa Rendah Diri‛, dalam Pandji Masjarakat, no 117, tahun XIII, 15
Desember 1972, h. 5
523
Hamka,‛Modernisasi Terpimpin‛, dalam Pandji Masjarakat, no 96, tahun VI, 1
Pebruari 1972, h. 4-5
524
Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h. 61; Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 29
525
Hamka, ‚Pembangunan Da’wah Islamiyah di Indonesia,‛ dalam Panji
Masyarakat, no 203, tahun XVIII, 15 Juli 1976, h. 9; Lihat juga Hamka, Pandangan Hidup
Muslim, h. 259-260

105
penjajahan peradaban setelah negeri-negeri Islam itu mencapai kemerdekaannya.526
Karena inilah Hamka menganggap orientalisme merupakan sebentuk Perang Salib
model baru atau kelanjutan darinya.527
Mengutip pendapat Guru Besar Universitas Ain al-Shams Mesir, Ali Husny
al-Kharbuthly, Hamka menyebut tiga motif utama orientalisme, yaitu: 1. Untuk
kepentingan penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, 2. Untuk
kepentingan penjajahan, 3. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata-mata.
Dari ketiga itu, kelompok orientalis dengan motif missi Kristen dan kolonialisme
sering berdiri bersama-sama dalam satu barisan.528 Seringkali, tulisnya, kaum
orientalis jenis ini menutupi maksud-tujuannya itu dengan dalih kajian ‚ilmiah‛.
Padahal apa yang mereka lakukan tidak lebih dari ‚menyelidiki Islam secara
mendalam untuk mencari cacat dan kelemahannya.‛529 Program utamanya adalah
‚Membelokkan cara berfikir orang Islam dari agama tauhidnya, dan tunduk pada
cara mereka berfikir, yaitu memisahkan agama dari kegiatan sosial, dan mengurung
agama itu dalam Gereja saja.‛530
Banyak sarjana Muslim yang terpengaruh oleh mereka. Salah satu yang
disebut Hamka adalah AliError! Reference source not found. Abd al-Raziq yang
menulis buku al-Isla>mError! Reference source not found. wa Us}u>l al-H}ukm. Dalam
buku itu, jelas Hamka, Raziq menyatakan bahwa Islam hanya semata-mata agama,
tidak mengandung kenegaraan. Nabi Muhammad tidak menganjurkan mendirikan
suatu negara, cukup agama saja. Islam hanya semata-mata ibadat dan jalan
keakhiratan saja. Islam tidak memiliki konsepsi mengatur negara.531
Hamka secara tegas menolak gagasan Raziq tersebut. Menurutnya argumen
yang dikemukakan Raziq itu hanya ‚dibikinkan‛ oleh pihak lain. Tidak memiliki
dasar yang kuat dalam khazanah keislaman.‛532 Dengan mengutip pernyataan
ayahnya yang baru kembali dari Arab tahun 1926 guna mengikuti Kongres
Khilafah yang digelar di Mesir, Hamka menyatakan bahwa Raziq hanya melihat
sisi gelap kekhilafahan di masa lalu dan telah mengingkari kenyataan sejarah
panjang kekuasaan para khalifah di masa lalu. Sejak era empat khalifah utama
hingga kekhilafahan Turki Utsmani. Lebih dari itu, gagasan Raziq tersebut juga
berupaya merombak struktur Islam dengan memisahkan agama dari negara dan
menggantinya dengan sistem pemerintahan ala Barat.533
Untuk saat ini, ungkap Hamka, gagasan Raziq itu tergolong ide yang telah
usang. Banyak sarjana dan pemikir muslim yang telah membantah buku Raziq
tersebut. Karena itu orang yang mengikutinya pun termasuk ketinggalan zaman.534

526
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 638
527
Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 124
528
Hamka, Studi Islam, h. 22
529
Hamka, ‚Bagaimana Cara Menghadapi,‛ dalam Panji Masyarakat, no 211, tahun
XVIII, 15 November 1976, h. 5
530
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 9, h. 638
531
Hamka, ‚Bagaimana Cara Menghadapi‛, h. 5
532
Hamka, Studi Islam, h.150-151
533
Hamka, Studi Islam, h. 19
534
Hamka, Studi Islam, h. 26

106
Hamka menjelaskan, ide Raziq tersebut muncul saat kekuatan politik Islam dalam
kondisi sedang terpuruk. Pasca penghapusan kekhilafahan Turki Utsmani oleh
Kemal Attaturk pada 1924, banyak upaya yang dilakukan para pemimpin negara-
negara Islam untuk mengembalikan kekhilafahan, namun semua mengalami
kegagalan.535
Upaya menegakkan kembali khilafah dilakukan oleh Syarif Husain dengan
membentuk Dewan Khalifah pada tahun 1924. Panitia yang terdiri dari 9 orang
sayyid dan 19 orang perwakilan daerah/negara lain. Namun usaha ini gagal. Syarif
Husain kehilangan kekuasaannya setelah kemenangan kelompok Wahabi. Pada
1925 direncanakan digelar kongres dunia Islam yang akan membahas tentang
persoalan khalifah di Kairo. Namun kemudian batal dan baru terlaksana pada 13-19
Mei 1926. Kongres ini disokong Raja Fuad yang diam-diam berharap dirinya
dipilih menjadi khalifah. Kongres memang mengakui pentingnya khalifah untuk
mengagungkan kalimat Allah dan mempertahankan kebesaran Islam. Namun itu
hanya terwujud di masa lalu. Di saat ini, ketika kongres berlangsung, peserta
kongres menilai hampir mustahil menegakkan kekuasaan khalifah kembali. Mereka
pun menyarankan supaya tidak melanjutkan gagasan ini. Upaya lain dilakukan di
Makkah pada 1 Juni 1926 dan dilanjutkan kongres kedua pada 1927 atas prakarsa
Raja Ibnu Saud. Namun di kongres Makkah ini tidak dihasilkan kesepakatan
mengembalikan jabatan khalifah.536
Dalam momen kegagalan membangun kembali kekhilafahan itulah buku Ali
Abd al-Raziq terbit dan menghebohkan dunia Islam. Jadi, simpul Hamka, gagasan
Raziq tersebut sesungguhnya muncul ‚dari rasa rendah diri, kagum dan silau,
disertai ‘menjilat’ intelektual Barat.‛ Di kemudian hari banyak sarjana dan pemikir
Muslim yang bangkit dan membantah gagasan Raziq tersebut. Hingga kemudian
al-Azhar pun mencabut gelar Shaha>dah `A>limiyyah Ali Abd al-Raziq. Pasca Perang
Dunia II, ungkap Hamka, semakin banyak bermunculan sarjana dan pemikir
Muslim generasi baru yang membangkitkan kembali hakikat Islam yang asli secara
ilmiah. Di kemudian hari Hamka mendengar Ali Abd al-Raziq pun mulai
memperbaiki dirinya dan memperluas wawasannya.537 Dan pada akhirnya nama al-
Raziq direhabilitasi atas usaha kakaknya ketika dia menjabat sebagai Shaykh al-
Azhar.538 Tentang hal ini Hamka menulis: ‚Syaikh `Ali Abd al-Raziq dan beberapa
penulis lain yang telah hanyut berfikir secara ‘sekuler,’ mencoba menyebarkan
ajaran pemisah agama dengan negara. Karena hendak mengekor kepada teori Barat
yang memisahkan negara dengan gereja. Padahal dalam Islam tidak pernah ada
pemisahan di antara negara dengan masjid.‛539
Meski demikian terdapat beberapa kalangan yang membela pemikiran
tokoh-tokoh yang telah terbaratkan itu. Sekaligus menyerang pemikir dan sarjana
Muslim yang menolak pemikiran mereka. Salah satu tokoh yang disorot Hamka
535
Hamka, Studi Islam, h. 12-18.
536
Lihat H Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h.
86-90.
537
Hamka, Studi Islam, h. 28-29
538
Hamka, Studi Islam, h. 73
539
Hamka, Studi Islam, h. 188

107
adalah Nurcholish Madjid. Madjid menilai, tulis Hamka, gagasan yang
menonjolkan Islam sebagai sistem lengkap yang mencakup segala bidang
kehidupan seperti yang diungkapkan para pemikir Muslim yang menolak ide-ide
Barat sebagai sebentuk pembelaan diri (apologia). Akibat dari rasa rendah diri dan
silau berhadapan dengan kemajuan bangsa-bangsa Barat.
Hamka menolak tuduhan Madjid ini. Alih-alih sebuah apologia, Hamka
melihat gagasan dan upaya mengembalikan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan
yang komplit tersebut merupakan bukti bahwa para pemikir dan tokoh-tokoh
Muslim tersebut ‚telah mendapatkan kembali kepribadiannya, setelah menderita
tekanan bathin hampir dua abad lamanya‛. Sebaliknya, Hamka menegaskan, justru
yang bersikap apologia adalah Ali Abd al-Raziq dan pemikir-pemikir yang telah
terbaratkan lainnya.540 ‚Dan jelaslah sekarang yang apologi, timbul dari rasa
rendah diri, kagum dan silau, disertai ‘menjilat’ kepada inteligensia Barat ialah
orang yang semacam Syaikh Ali Abd al-Raziq, Dr Manshur Fahmi dan Dr Thaha
Husain setengah abad yang lalu itu‛, ujar Hamka.541
Kritik Hamka terhadap Ali Abd al-Raziq tersebut merupakan refrleksi dari
paradigma politik integratifnya. Baginya Islam bukan sekedar agama yang
berurusan dengan ritual hubungan manusia dengan Tuhan. Namun juga agama
yang berhubungan dengan urusan hubungan antar manusia. Hamka senantiasa
berjuang mewujudkan pandangan politiknya ini dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Hamka mencita-citakan Indonesia merdeka harus menerapkan hukum
dan perundang-undangan syariat dan meninggalkan perundang-undangan warisan
kolonial Barat:
Sebenarnya belumlah berisi dan belumlah berarti kemerdekaan negara kita kalau
Undang-undang yang kita perturun penaik siang dan malam, petang dan pagi masih
sisa-sisa penjajahan. Wajarlah jika di dalam negeri yang penduduknya sebagian

540
Hamka, Studi Islam, h. 26-28. Hamka menyebut tokoh-tokoh lain yang
terbaratkan, di antaranya Thaha Husain yang menulis buku al-Shi’r al-Ja>hili> dan Mustaqbal
al-Thaqafi> fi> Mis}r, Zaki Mubarak yang menulis buku al-Akhla>q `Inda al-G}azali>, serta
Mansur Fahmi yang mengritik pribadi Nabi Muhammad. Namun di kemudian hari tokoh
terakhir ini sadar dan kembali ke jalan yang benar setelah mengkaji literatur-literatur Islam
dari sumber utamanya mengikuti saran Shaykh al-Azhar Ahmad al-Zhawabiry. Lihat juga
Hamka, ‚Bagaimana Cara Menghadapi‛, h. 5. Meski mengritik gagasan Nurcholish Madjid,
namun Hamka tetap bersikap tasamuh dan terbuka pada muridnya tersebut. Ini terlihat dari
pemuatan tulisan-tulisan Madjid di majalah Panji Masyarakat dan tanggapan beberapa
tokoh lainnya, seperti HM Rasyidi, Endang Saefuddin Anshari, dan lain-lainnya. Polemik
tentang pembaharuan Islam dan sekularisasi ala Madjid itu dimuat dalam Panji Masyarakat
edisi No 111, tahun XIII, 15 September 1972; No 112, tahun XIII, 1 Oktober 1972; No 113,
tahun XIII, 15 Oktober 1972; No 114, tahun XIII, 1 November 1972; No 15, tahun XIII, 15
November 1972; Dan no 116, tahun XIII, 1 Desember 1972. Peneliti tidak menemukan
tanggapan Hamka sendiri terhadap gagasan Madjid di Panji Masyarakat pada edisi-edisi
tersebut. Mungkin di Panji Masyarakat edisi tahun berikutnya atau di kesempatan/media
massa yang lain. Yang pasti peneliti justru menemukan tanggapan tersebut dalam buku
Studi Islam yang merupakan kumpulan tulisan Hamka yang disunting oleh Rusydi Hamka.
541
Hamka, Studi Islam, h. 29

108
besar beragama Islam ini ada cita-cita kembali memakai Hukum Syariat menjadi
Undang-undang. 542
Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu,
hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan
menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?’ Janganlah
berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang bahwa cita-cita
kami memang itu. Memang hendaknya berjalan hukum Allah dalam negara yang
kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Allah
dalam al-Qur’an itu kita mungkiri?.543
Penggunaan diksi ‚kembali memakai Hukum Syariat menjadi Undang-
undang‛ tampaknya sengaja digunakan Hamka untuk mengingatkan pada sejarah
Nusantara pra kolonial, di mana saat itu negeri-negeri di Nusantara sudah
menerapkan perundang-undangan yang digali dari ajaran Islam. Di Kesultanan
Aceh Sultan Malikuzh Zhahir memerintah dengan berpedoman pada Mazhab
Syafii. Demikian pula di Malaka di mana kitab al-Muhazzab menjadi pegangan
hukum di sana. Hukum Islam juga diterapkan di Kesultanan Banten, Palembang,
atau pun Banjarmasin. Di negeri-negeri itu juga dibuat institusi mufti sebagai
penjaga dan penegak hukum syariat,544 namun semua itu berubah tatkala Barat
masuk dan menguasai negeri-negeri di kepulauan Nusantara.
Setelah sekian lama kian masuk cengkeraman kuku penjajahan Belanda di
negeri ini, sesuai dengan ‘Mission Sacre’ Kristennya, diusahakanlah
menghilangkan pengaruh Syariat Islam, lalu ditonjolkanlah ‘Hukum Adat’. Dengan
paksaan kekuasaan Ummat Islam yang telah maju selangkah dikembalikan kepada
Hukum Jahiliyyah.545
… Dan setelah kekuasaan jatuh ke tangan penjajah, kekuasaan syariat inilah yang
dipatahkan terlebih dahulu lalu menggantinya dengan hukum adat yang tidak berbau
Islam, mereka tidak mau mengakuinya.546
Faktor sejarah ini pula yang dijadikan dasar bagi Hamka untuk tidak
memisahkan Indonesia dari agama. ‚Alhasil tidaklah ada satu sebab dan alasan
bagi kita dalam masyarakat Indonesia khususnya, buat menyisihkan agama dengan
masyarakat, dengan negara. Karena tidak begitu tabiatnya dan tidak begitu
sejarahnya. Jauh berbeda daripada pertumbuhan agama Nasrani di Eropa, yang
memisahkan agama dengan dunia…‛, jelas Hamka.547
Di era penjajahan memang masih terdapat lembaga peradilan syariat di
beberapa daerah. Namun seiring waktu kewenangan lembaga tersebut terus
dipersempit. Di Jawa dan Madura, tulisnya memberi contoh, pengadilan agama
yang didirikan pemerintah kolonial semula menangani perkara-perkara sipil yang
lebih luas, seperti warisan, nikah, talak, rujuk dan beberapa hal lainnya. Namun

542
Hamka, Studi Islam, h.150-151
543
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 706
544
Hamka, Studi Islam, h. 152-153
545
Hamka, Studi Islam, h. 153
546
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 205
547
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 105-106

109
kewenangannya kemudian dikurangi hingga tersisa nikah, talak dan rujuk saja.
Perkara warisan diserahkan ke pengadilan negeri.548
Bukan hanya di bidang hukum, di bidang bahasa pun demikian. Penyingkiran
terhadap pengaruh Islam perlahan-lahan dilakukan oleh kolonial di bidang ini.
Hamka menyatakan:
Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan
negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh
ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berfikir
dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan
terpengaruh dengan peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya.
Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya
berfikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi
ialah bangsa yang menjajahnya itu.549
Salah satu yang terjadi dalam penjajahan bahasa di Nusantara adalah kasus
penggusuran aksara (huruf) Jawi atau Melayu digantikan oleh aksara latin.
Padahal, tegas Hamka, aksara Jawi yang diadopsi dari huruf Arab itu merupakan
bagian dari khazanah bangsa yang dikembangkan oleh masyarakat Muslim di
Nusantara selama berabad-abad. Ulama seperti Ar-Raniri, Hamzah Fansuri,
Abdurrauf As-SingkiliError! Reference source not found., Syamsuddin al-Sumatrani,
Fadhlullah dan lain-lainnya disebut Hamka sebagai pihak yang berperan penting
dalam penyebaran Islam melalui Bahasa Melayu.550 Mereka pula yang berperan
penting bagi memperkaya kesusastraan Melayu dengan ajaran Islam.551
Usaha para ulama tersebut kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh semisal
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dan Raja Ali Haji.552 Hamka menjelaskan peran
penting aksara MelayuError! Reference source not found. tersebut:
Dengan huruf itu, pengarang-pengarang besar, sejak dari Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel menuliskan
bahasa Melayu lama, yang kemudian kita lantik menjadi bahasa Indonesia (1928).
Tun Sri Lanang pun menulis dengan huruf Arab. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
pun menulis bahasa Melayu dengan huruf Arab. Ulama-ulama Islam yang besar,
sejak Syaikh Nawawi Bantam, Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mukhtar Cianjur
di Makkah, dan Syaikh Arsyad Banjar, semuanya kerajaan-kerajaan di Indonesia,
tidak ada wakil-wakil bangsa asing yang dapat menyampaikan kehendaknya kepada

548
Hamka, Studi Islam, h. 153
549
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 716
550
Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu,‛ dalam Panji Masyarakat, no
206, tahun XVIII, 1 September 1976, h. 28.
551
Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (Sambungan),‛ dalam Panji
Masyarakat, no 207, tahun XVIII, 15 September 1976, h. 7.
552
Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (Sambungan),‛ h. 8. Bahasa
Melayu dengan aksara Arab telah menjadi ikatan kultural keagamaan Muslim Nusantara
yang tersebar di banyak kerajaan sejak abad ke 13 M. Ulama di Nusantara telah
menggunakan huruf Jawi itu dalam berbagai karyanya. Seperti Syamsuddin Sumatrani pada
abad ke 16 menulis buku ‚Mir’atul Mu’minin‛. Demikian pula ulama di kerajaan-kerajaan
Nusantara sebelah Timur (Ternate, Tidore, Bacan). Lihat Jajat Burhanudin, ‚Islam dan
Negara Bangsa: Melacak Akar-akar Nasionalisme Indonesia‛, dalam Studia Islamika, vol
11, no. 1, 2004, h. 171.

110
raja-raja Indonesia, kalau dia tidak menulis surat resmi dalam bahasa Indonesia
lama, huruf Arab...553
Penggunaan huruf Jawi/Melayu, jelasnya, bermula dari pengajaran al-Qur’an
setiap hari kepada anak-anak di kepulauan Melayu. Kemudian diadopsi oleh ulama-
ulama dengan penyesuaian terhadap bahasa dan pengucapan yang berlaku di tanah
Melayu.554 Pengembangan sastra Melayu Islam ini makin intensif dengan
penerjemahaan dan penyaduran cerita-cerita Arab dan Persia ke dalam Bahasa
Melayu. Hamka menyebut kisah Malin Dagang di Malaysia, Malin Demam di
Minangkabau, dan Malin Dewa di Aceh yang merupakan saduran dari kisah 1001
malam. Kemudian muncul cerita-cerita asli Melayu dengan kisah perlawanan
terhadap para penjajah Barat semisal Si Jobang.555 ‚Sebelum dikalahkan oleh huruf
Latin yang dimasukkan Belanda bersama penjajahannya, huruf Arab-lah huruf
kesatuan bangsa Indonesia, setelah disesuaikan dengan keperluan bahasa itu. Di
tanah Melayu diberi nama ‘Huruf Jawi’ di Jawa sendiri dinamai ‘Huruf Melayu’
dan ‘Huruf Pegon’‛, ujar Hamka.556
Penyingkiran huruf Arab dan digantikan dengan huruf Latin menurut Hamka
bermula dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda yang tidak megajarkan huruf
Arab. ‚Dengan adanya HIS, Mulo dan HBS mulailah selangkah demi selangkah
huruf Arab itu disingkirkan ke tepi,‛ ujar Hamka. Upaya itu dilanjutkan dengan
pembentukan Balai Pustaka. Saat itulah, ungkapnya, kita harus menerima
kenyataan huruf Latinlah yang harus kita pakai. Dan mulai saat itu pula, lanjutnya,
orang yang tidak bisa membaca huruf Latin dipandang sebagai buta huruf. Hamka
menyatakan, ‚setelah Kongres Pemuda (1928) meresmikan menukar nama bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia, dengan sendirinya huruf Arab menjadi jauh.
Dahulu bahasa Melayu bertiang pada huruf Arab, sekarang bahasa Indonesia
bertiang pada huruf Latin‛.557

553
Hamka, ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa,‛ dalam Hikmah, no 7, tahun
V, 16 Pebruari 1952, h. 18
554
Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam…‛, h. 26
555
Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam ... (sambungan)‛, h. 7-8
556
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 274
557
Hamka, ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa,‛ h. 18. Dalam sidang
Konstituante yang membahasa tentang bahasa, Hamka dan Masyumi mengusulkan supaya
bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa resmi negara. Bukan sebagai ‚bahasa nasional
atau bahasa kebangsaan.‛ Hamka beralasan, semua bahasa daerah di Indonesia merupakan
bahasa kebangsaan dan bahasa nasional. Hal ini sesuai dengan semboyan ‚Bhinneka
Tunggal Ika‛. Bahasa-bahasa daerah itu, jelas Hamka, merupakan kekayaan nasional
bangsa Indonesia. Dalam bahasa-bahasa itu tersimpan ‚kekayaan kita sebagai bangsa‛ dan
‚pusaka nenek moyang kita yang mendalam dan juga filsafat dan hikmahnya.‛ Bahkan
lebih dari itu di dalam bahasa daerah itulah ‚terletak sandaran kebangsaan kita‛. Pun
demikian, secara rasa bahasa (Balaghah) penyebutan ‚bahasa resmi ialah bahasa Indonesia‛
terasa lebih mudah diucapkan daripada ‚bahasa kebangsaan adalah bahasa Indonesia‛.
Mengingat sebegitu penting keberadaan bahasa daerah, Masyumi melalui Hamka
mengusulkan agar pelestarian bahasa daerah diatur dalam undang-undang, bukan melalui
peraturan menteri. Lihat penyampaian Hamka tersebut dalam Konstituante Republik
Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 180-181.

111
Persoalan lain yang diungkap Hamka terkait dengan huruf Latin adalah
‚amat miskin untuk menumpahkan rasa keislaman‛.558 Hamka melihat pertukaran
ke huruf Latin itu memiliki pengaruh besar dalam membelokkan cara berfikir kita
dari rumpun agama kepada rumpun peradaban lain. Dan kelanjutannya ialah bahwa
hilangnya huruf Arab pun membawa hilangnya perhatian orang kepada al-Qur’an.
‚Malahan lama-lama sudah ada yang berani mengatakan: ‘al-Qur’an itu tidak
bahasa kita! Itu adalah bahasa asing!’‛, ungkap Hamka kuatir.559
Selain mengganti huruf, politik bahasa juga terjadi melalui penyingkiran
pengaruh Arab dalam Bahasa Indonesia. Ini terjadi melalui penggantian kosakata
Melayu dengan kosakata lokal, khususnya Jawa, yang bersumber dari Bahasa
Sansekerta. Atau juga dengan menggunakan bahasa asing non Arab. Hamka
memberikan contoh penggantian kata ‚pelancongan‛ atau ‚tamasya‛ menjadi
‚pariwisata‛. ‚Takziah‛ menjadi ‚belasungkawa‛. ‚Tahniah‛ menjadi ‚ucapan
selamat‛. ‚Iktisad‛ menjadi ‚ekonomi‛. ‚Siasat‛ menjadi ‚politik‛. Hal ini, jelas
Hamka, memiliki beberapa efek negatif, yaitu: Pertama, akan memutuskan ikatan
generasi mendatang dengan khazanah nenek moyangnya. Kedua, Perubahan itu
juga akan mencabut Bahasa Melayu/Indonesia dari sumbernya yang asli, Bahasa
Arab.560 Hamka menulis,
Entah disengaja entah tidak, kata-kata Arab yang telah ada dalam bahasa
Indonesia, kian lama kian diketepikan. Buat digantinya ialah bahasa Belanda yang
di-Indonesiakan. Bilamana tuan mendengar pidato radio kalau tuan hanya mengerti
Bahasa MelayuError! Reference source not found. itulah yang diindonesiakan, tuan

558
Hamka, ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa,‛ h. 19
559
Hamka, ‚Agama Bisa Hapus Sadja,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 94, tahun VI, 1
Januari 1972, h. 6
560
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 240-241;
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 88. Menurut Hamka, saat
berlangsung revolusi tahun 1945 mulailah dilakukan politik bahasa melalui ‚Ejaan
Suwandi‛ dengan menghilangkan pengaruh asing dalam bahasa Indonesia, termasuk Bahasa
Arab. Maka kemudian diubahlah beberapa kosakata yang diambil dari Bahasa Arab. Seperti
kata ‚zaman‛ ditulis dengan ‚jaman‛, ‚Mohammad Syarif‛ ditulis ‚Moamat Sarip‛,
‚akhir‛ ditulis ‚akir‛, ‚khabar‛ ditulis ‚kabar‛, ‚fikir‛ menjadi ‚pikir‛. Tanda ain berupa
(‘) diganti dengan k, seperti ‚ni’mat‛ menjadi ‚nikmat‛. Namun pada Maret 1972 diadakan
seminar bahasa di Puncak Bogor terjadi perubahan lagi. Diputuskan untuk kembali ke
penulisan sebelumnya karena ternyata di masyarakat umum tetap digunakan ejaan lama itu.
Lihat Hamka, ‚Pengaruh Islam Dalam…‛, h. 27. Tentang hasil seminar Bahasa Indonesia
Maret 1972 tersebut lihat ‚Seminar Bahasa Indonesia‛ dan ‚Keputusan2 Dari Seminar
Bahasa Nasional 1972‛, dalam Pandji Masjarakat, no 99, tahun VI, 15 Maret 1972, h. 4-6.
Meski demikian bukan berarti Hamka anti terhadap bahasa asing. Bagi Hamka, meski
bahasa asing itu banyak ruwetnya, namun perlu juga dimasukkan ke dalam bahasa
Indonesia untuk memperkayanya setelah dilakukan penyesuaian dengan lidah bangsa
Indonesia. Khususnya terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern yang
semakin pesat. Dalam hal ini Hamka memandang bahasa Arab bukanlah bahasa asing
karena memang menjadi sumber bagi bahasa Indonesia. Lihat Konstituante Republik
Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h. 182

112
akan bingung dan tidak mengerti. Sebab hampir tiap susun kata di-‘sempurnakan’
dengan Bahasa Belanda.561
Pendidikan ala pemerintah kolonial Hindia Belanda memiliki pengaruh kuat
dalam mengubah cara berfikir dan bersikap sebagian rakyat Indonesia, terutama di
kalangan pemimpinnya, dan itu terus berlanjut meski Indonesia telah merdeka.
Dan setelah bangsa-bangsa itu merdeka, penyerangan dari segi kebudayaan itu
masih diteruskan. Bahkan kadang-kadang pada beberapa negeri, pemerintahan yang
menggantikan bekas penjajah itu sendiri, cara berfikirpun sudah jauh dari
kepribadian sebagai Muslim, malahan menyalin kepribadian guru yang mereka
gantikan, sehingga setelah merdeka, kembali kepada Islam adalah dipandang satu
bahaya besar, dan mengikuti selangkah demi selangkah kepada cara-cara Barat, lalu
dinamai modernisasi, jauh lebih hebat, dan lebih maju dari pada masa dijajah itu
sendiri.562
Hamka menyebut mereka sebagai orang Muslim yang berkepribadian asing:
Dan banyak yang mengakui dirinya Islam, tetapi segala gerak langkah hidupnya
sangatlah jauh daripada yang diajarkan oleh Islam. Dasar dalam jiwanya masih tetap
Hindu, Mahabharata dan Ramayana, atau dia berfikir dalam Islam, secara
Keristen!563
Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah
hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada
bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka berkeberatan lagi menjual agama dan
bangsanya dengan harga murah… Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah.
Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu
bintang!...564
Bagi Hamka, modernisasi dalam masyarakat muslim seharusnya dimaknai
sebagai kebebasan fikiran dan keluasan ilmu, sehingga umat Islam dapat turut
menentukan nasib dunia ini. Jadi, ujar Hamka, yang harus dimodernisasi dan
direformasi adalah cara berfikir umat terhadap agama. Bukan agama itu sendiri.
Modernisasi seperti ini akan tercapai kalau umat Islam memiliki pola pikir yang
tidak sempit, selalu menambah pengetahuan, dan memperluas pandangan terhadap
seluruh persoalan kehidupan. 565 Hamka menjelaskan:
Islam itu sendiri dalam kedudukannya sebagai agama tidaklah berubah. Dia harus
diterima sebagai suatu yang mutlak dari Allah dengan perantaraan Rasul-Nya
Muhammad Saw. Tetapi cara kita memikirkannya haruslah sesuai dengan tantangan
zaman. Itulah sebabnya maka Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa setiap sekali
100 tahun harus ada mujaddid, yaitu pembaharu. Bukan agama yang dibaharui,
tetapi fikiran terhadapnya yang selalu harus diperbaharui, sehingga kita tidak
ketinggalan zaman.566

561
Hamka, ‚Pengaruh Huruf Atas...‛, h. 19
562
Hamka, ‚Agama Bisa Hapus…‛ h. 6
563
Hamka, ‚Agama Bisa Hapus…‛, h. 27
564
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 717
565
Hamka, ‚Orthodox dan Modernisasi,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 2, tahun I, 1
Juli 1959, h. 24-25
566
Hamka, ‚Chittah Pandji Masjarakat,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 9, tahun I, 15
Oktober 1959, h. 27

113
Dalam proses modernisasi pemikiran umat Islam itu, Hamka menekankan
pentingnya menjadikan al-Qur’an, hadits, dan akal sebagai pegangan. Karena itu,
ungkap Hamka, seorang pembaharu harus mengerti inti dari al-Qur’an dan hadits,
membebaskan jiwanya dari taklid, dan memahami kebudayaan dan memiliki ilmu
pengetahuan yang luas.567 Namun demikian, Hamka mengingatkan, modernisasi
seperti ini tidak berlaku untuk bidang akidah dan ibadah. Di dua bidang ini umat
Islam harus bersikap ortodok, dalam artian kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
Nabi seperti yang dilakukan mazhab Salaf.568 ‚Dalam hal ini kita tidak mau
modernisasi! Sebab kalau pokok yang dari Nabi itu kita ubah, modernisasi akan
berubah jadi bid’ah! Sebab Nabi Muhammad lebih pintar dari kita‛, ujarnya.569
Bagi Hamka, orang Islam yang menganggap agama hanya sebagai urusan
pribadi yang tidak terkait dengan muamalat (pergaulan sesama manusia) sebagai
orang yang telah mengikuti langkah-langkah setan. Dalam hal ini mereka telah
mengikuti setan dalam bentuk manusia, yaitu kaum kolonial yang telah menjajah
negeri-negeri Islam.570 Bahkan Hamka menyebut mereka sebagai ‚pengawal-
pengawal penjajah yang sangat terpercaya‛.571
Mereka ini dikelompokkan oleh Hamka ke dalam golongan munafik, yaitu
‚orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara setengah-
setengah.‛ Orang seperti ini mengaku beragama Islam dan menjalankan ibadah,
tetapi tidak yakin lagi terhadap Syariat Islam. Bahkan mereka dengan tegas
menolak setiap upaya menjadikan Syariat sebagai dasar bagi negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam, meski keberlakuan Syariat itu hanya
untuk umat Islam saja, tidak untuk seluruh warga negara. Alih-alih menegakkan
syariat untuk penduduk beragama Islam, mereka lebih suka mengambil aturan-
aturan warisan penjajah atau hukum-hukum dari Barat untuk diadopsi sebagai
hukum negara. Padahal aturan-aturan yang bersumber selain dari Allah merupakan
peraturan t}a>gu>t yang akan membawa kesesatan bagi mereka yang mengikutinya.
Sesungguhnya mereka itu, tegas Hamka, telah mencampur keimanannya dengan
syirik. 572
Hamka menyandarkan pandangannya ini pada ayat:

567
Hamka, ‚Chittah Pandji Masjarakat,‛ h. 27
568
Hamka, ‚Orthodox dan Modernisasi,‛ h. 24-25
569
Hamka, ‚Orthodox dan Modernisasi,‛ h. 24. Menurut Hamka bid’ah yang
dilarang oleh agama adalah bid’ah dalam bidang akidah dan ibadah. Lafadz ‚kullu‛ dalam
hadits yang berbunyi ‚Kullu bid’ah d}ala>lah,‛ itu hanya berlaku pada dua bidang itu.
‚Karena kalau segala bid’ah dimasukkan ke dalam kullu, dengan tidak menentukan di
dalam ibadat dan akidah, akan sangat banyaklah yang bid’ah dalam Islam.‛ Lihat Hamka,
‚Anda Bertanja Kami Mendjawab,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 8, tahun I, 1 Oktober
1959, h. 31.
570
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 249-350
571
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 657
572
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 350-353

114
               

              
‚Tidakkah engkau lihat kepada orang-orang yang berkata bahwa mereka
telah beriman dengan apa yang tlah diturunkan kepada engkau dan apa
yang diturunkan sebelum engkau, padahal mereka meminta hukum
kepada thagut sedang mereka sudah diperintah supaya jangan percaya
kepadanya! Dan ingatlah setan hendak menyesatkan mereka, sesat yang
sejauh-jauhnya.‛ (QS. al-Nisa’: 60)
Tumbuhnya kepribadian seperti ini di tengah-tengah umat, tegasnya, dapat
mengancam eksistensi Islam di Indonesia. Karena itu Hamka mengajak untuk
kembali kepada Islam. Dengan mengutip pernyataan KH Ahmad Dahlan, Hamka
menjelaskan, ‚Islam bisa saja hilang dari Indonesia ini, yang beliau maksud ialah
bahwa Islam akan tetap hidup selama pemeluknya atau ummatnya itu masih sadar
akan dirinya dan masih yakin akan pandangan hidupnya, masih belum menukari
dengan kesadaran atau tidak sadar segala pelajaran pusaka Nabi Muhammad itu
dengan ajaran lain atau pusaka lain.‛573
Seperti yang dipaparkan di bab sebelum ini, Islam sendiri sejak awal mula
tidak memisahkan antara urusan agama dengan politik-pemerintahan. Bahkan
Islam memposisikan urusan yang terakhir itu sebagai bagian tak terpisahkan dari
agama (Islam). Rumusan yang digunakan Hamka yaitu ‚Islam adalah agama!‛.
Agama di sini memiliki makna yang luas mencakup semua urusan manusia baik
yang privat maupun yang publik. Meski tak terpisahkan, jelas Hamka, ketika
menjadi pemimpin di Madinah Nabi tetap melakukan pembagian kerjanya: urusan
yang murni agama dan urusan dunia. 574 Dalam tulisannya yang lain Hamka
menjelaskan, urusan agama terbagi menjadi dua: ta`abbudi dan ta`aqquli. Ta`abbudi
inilah yang disebutnya sebagai ‚urusan agama murni.‛ Sementara ta`aqquli adalah
urusan yang bisa difikirkan dan dimusyawarahkan bersama, seperti urusan bentuk
pemerintahan.575
Mana yang mengenai urusan agama, yaitu ibadah, syariat, dan hukum dasar
adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semuanya wajib tunduk. Akan
tetapi, urusan yang berkenaan dengan duniawi, misalnya perang dan damai,
menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan hubungan-hubungan biasa antara
manusia (human relation), hendaklah dimusyarawahkan. Berdasar kepada
pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang
membahayakan).576
Urusan keagamaan semata-mata menunggu perintah dari Rasul dan Rasul menunggu
perintah wahyu dari Allah. Tetapi urusan umum seumpama perang dan damai…

573
Hamka, ‚Tanggung dJawab Angkatan…,‛ h. 4
574
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 103
575
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 19
576
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 103

115
diserahkan kepada kamu sendiri. Tetapi dasar utamanya ialah shu>ra>, yaitu
permusyawaratan….577
Musyawarah (shu>ra>) menjadi poin penting dari pemikiran politik Hamka. Ini
merupakan salah satu kata kunci dari Demokrasi Takwa yang dikonsepkan Hamka.
Pembahasan tentang Demokrasi Takwa ala Hamka telah dibahas di sub bab
tersendiri di bab ini.
Meski membedakan antara keduanya, di masa itu kedua urusan tersebut
bersatu dipegang oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, jelas Hamka, Nabi
Saw memegang dua tampuk kekuasaan: kepemimpinan agama dan kepemimpina
dunia. Pasca wafatnya Nabi Saw. kedua tampuk kepemimpinan itu diteruskan oleh
para sahabat sesudahnya, yaitu empat khalifah utama (al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n).
Namun demikian, dalam hal kepemimpinan agama, para pengganti beliau itu hanya
berperan untuk meneruskan praktik ajaran-ajaran yang ditinggalkan Nabi
Muhammad, karena risalah kenabian telah berhenti seiring dengan meninggalnya
Nabi Muhammad Saw.578 ‚… Sebab itu di samping urusan agama, maka urusan
dunia, yaitu urusan staat mereka pegang pula….‛, tulis Hamka.579
2. Respons Terhadap Komunisme
Di sub bab sebelum ini disebutkan bahwa Hamka menggolongkan kelompok
Marxisme-Komunisme sebagai sekularis radikal yang begitu memusuhi agama.
Persentuhan Hamka dengan kelompok ini pertama kali terjadi di tahun 1923.
Ketika itu Sumatra Thawalib telah mendapat warna baru yang lebih revolusioner
setelah kepulangan murid ayahnya dari tanah Jawa, yaitu Haji Dt Batuah bersama
Natar Zainuddin yang kembali ke Sumatra Thawalib dengan membawa paham
baru, komunisme, dan menyebarkannya ke kalangan murid-murid di sana.580
Paham ini segera disambut oleh banyak murid-murid Thawalib karena
keadaan saat itu cukup kondusif bagi perkembangannya. Di mana, ungkap Hamka,
murid-murid Thawalib saat itu sedang melawan gurunya, Haji Abdul Karim
Amrullah (HAKA).581 Sebabnya adalah ketidakpuasan mereka terhadap sikap dan
beberapa kebijakan ayah Hamka itu. Setidaknya ada lima hal pemicu perlawanan
tersebut: 1) Pemukulan terhadap murid-murid HAKA yang ketahuan bermain ceki
(koa) padahal mereka tidak menggunakan taruhan, hanya sekedar permainan; 2)
Pada tahun 1922 HAKA mengharamkan permainan sepakbola dan melarang murid-
muridnya bermain olahraga itu. Padahal di saat bersamaan adik HAKA sendiri
Muhammad Amin Amrullah masuk klub sepakbola. Demikian pula keponakannya,
Abdul Muin. Meski HAKA tidak mengetahuinya, namun hal itu menimbulkan
ketidakpuasan; 3) Sikapnya yang keras dan suka memerintah; 4). Salah satu murid
kesayangan HAKA, Zainuddin Labai mulai menjauh darinya; 5). Ketidakpuasan di

577
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 2, h. 341; Hamka, Islam dan Demokrasi, h. 9-10
578
Hamka, ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam (I),‛ dalam Pedoman Masjarakat,
no 7, tahun VII, 12 Pebruari 1941, h. 126
579
Hamka, ‚Parlement dan Doenia Islam I,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 1, tahun
VII, 1 Januari 1941, halaman hilang/tidak kelihatan.
580
Hamka, Sedjarah Islam di..., h. 40-41
581
Hamka, Ayahku , (Jakarta: Umminda, 1982), h. 144

116
kalangan pengurus Sumatra Thawalib pasca kekalahan di pengadilan dalam kasus
buku ‚Pertimbangan Adat Minangkabau‛. Denda yang besar membuat kas lembaga
terkuras.
Akumulasi dari ketidakpuasan tersebut akhirnya melahirkan krisis di
Thawalib. Banyak murid-murid HAKA yang melawan. Sementara murid-murid
terdekatnya sedang berada jauh atau menjauh darinya. HAKA pun menarik diri
dari Thawalib dan hanya bersedia mengajar di rumahnya sendiri. Dalam kondisi
krisis itulah Dt Batuah datang dengan membawa ajaran-ajaran komunisme. Meski
demikian, Hamka melihat sebab lain yang lebih penting bagi perkembangan paham
ini di Sumatra, yaitu secara psikologis masyarakat Minang kental dengan semangat
keislaman dan spirit perlawanan terhadap hal-hal yang dianggap tidak sesuai
dengan keyakinan. Dalam hal ini semangat anti terhadap pemerintah kolonial telah
lama terpendam di kalangan masyarakat Minang, namun belum memiliki saluran
yang tepat.582
Semangat anti kolonialisme inilah yang ditangkap oleh Dt Batuah dan
dimanfaatkan untuk menyebarkan pahamnya. Untuk kepentingan ini Batuah
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat perjuangan yang banyak
termuat dalam Surat al-Anfal dan al-Taubah. Batuah juga memanfaatkan ayat-ayat
yang berisi kebencian kepada orang kafir untuk digunakan sebagai propaganda
melawan penjajahan Belanda yang dianggap kapitalis dan imperialis.583 Tentang
hal ini Hamka menjelaskan:
Rasa melawan dan tidak puas kepada pemerintah Belanda sajalah yang
menyebabkan mereka memasuki komunis. Kursus berdalam-dalam tentang Histori
Materialisme belumlah dimasukkan kepada mereka. Yang terpenting lebih dahulu
ialah rasa menentang ‘Kapitalisme Imperialisme’. Di Minangkabau belum ada
pergerakan rakyat yang radikal… Maka mana yang masuk lebih dahulu, itulah yang
lebih dahulu pula akan dimakan mereka. Rasa benci kepada penjajahan telah tersalur
dalam komunis.584
Pemanfaatan nash-nash agama untuk menyebarkan paham komunisme itu
dinilai Hamka tidak beda dengan apa yang dilakukan H Misbach di Jawa. Ketika
menyebarkan paham komunisme Misbach dan kawan-kawannya juga rajin
mengutip ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, ujarnya, komunisme yang mereka
terima adalah komunisme yang tidak terpisah dari Islam. Hanya mengisahkan:
Maka berkatalah mereka itu bahwasanya komunis itu sesuai dengan Islam. Sebab
Islam adalah anti penjajahan, maka komunis pun anti penjajahan. Apa ayatnya kyai?
Kyai pun menjawan: ‘La> yattahid} al-mu’mini>n al-ka>firi>na awliya>!’ (Janganlah
mengambil orang yang beriman akan orang kafir menjadi pemerintahnya)...585

582
Hamka, Ayahku, h. 141-144
583
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 57. Lihat juga
Hamka, Ayahku, h. 144
584
Hamka, Ayahku, h. 143
585
Hamka, ‚Semua ‘Sesuai’‛, dalam Pandji Masjarakat, no 22, tahun II, 1 Mei 1960,
h. 3. Terhadap mereka ini Hamka bertanya, ‚Kalau dalam Islam ada ajaran anti penjajahan,
yang cukup alasan dalam al-Qur’an, mengapa dia akan memakai ayat itu untuk
menegakkan komunis? Bukankah itu menunjukkan tidak Islam lagi, hanya meminjam ayat
al-Qur’an buat menguatkan alasan faham komunisnya?‛.

117
Menurutnya, kekomunisan Dt Batuah itu lebih disebabkan oleh
kepribadiannya yang sejak semula memang sudah radikal, bukan karena
pemahamannya tentang pokok-pokok ajaran Karl Marx. Hamka menyebut Dt
Batuah hanya ‚menumpang kapal Karl Marx tentang teori ekonominya, tetapi
tidak sampai hati meninggalkan kepercayaan kepada Tuhan.‛ Komunis seperti ini
disebut Hamka sebagai ‚Komunis Islam‛ atau ‚Islam revolusioner/Islam Repolisi
(Revolusi) yang diberi nama komunis‛.586 Komunis yang seperti ini dianggap
Hamka sebagai bukan komunis yang sejati:
Kencang sekali propaganda partij kominis itu di dalam kalangan penuntut-penuntut
agama Islam yang datang sendiri dari seluruh Sumatera itu. Tetapi jika sekiranya
Lenin menyaksikan gerakan itu, tentu dia tidak akan mengakuinya komunis sejati,
sebab didasarkan kepada agama, padahal komunis anti agama.587
Meski dikemas dalam simbol-simbol keislaman, Hamka tetap bersikap anti
terhadap komunisme. Sikap ini diwarisi dari ayahnya yang gigih menolak dan
menyerang Dt Batuah dengan komunismenya. Hamka menceritakan, setelah
membaca buku karya Jamaluddin al-Afghani, al-Radd `ala> al-Dahriyyi>n, ayahnya
jadi mengetahui bahwa hakikat dari paham yang dikembangkan Batuah itu adalah
menentang semua agama. Dari sinilah ayah Hamka tersebut mulai gencar menolak
komunisme.588 Sang ayah pun mewanti-wanti Hamka untuk tidak mengikuti
paham anti agama itu:
Pernah ayahnya berkata, ‘Malik, apakah engkau masuk komunis pula?’
‘Tidak, Abuya,’ jawab pemuda kita
‘Hati-hati! Pengalamanmu belum ada.
Lahirnya komunis di sini membawa-bawa agama; pada batinnya hendak menghapus
agama’.589
Persentuhan Hamka dengan paham komunisme semakin intensif tatkala dia
merantau pertama kali ke Jawa pada 1924. Ketika itu di Jawa sedang terjadi
konflik panas antara Sarekat Islam Putih dengan Sarekat Islam Merah hingga
menimbulkan perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI). SI Merah yang basis
utamanya di Semarang pun di kemudian hari menjadi Partai Komunis Indonesia

586
Hamka, ‚Semua ‘Sesuai’‛, h. 144; Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 57-58;
Hamka, Sedjarah Islam di..., h. 40. Selain H Dt Batuah, terdapat tokoh agama dengan gelar
‚Haji‛ lainnya yang bergabung dengan komunis. Mereka adalah H Misbach, H Moh Siradj,
dan H Muchlas. H Misbach berasal dari Surakarta. Ia semula merupaan aktivis SI sekaligus
menjadi wakil presiden ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging). Untuk
menyebarkan paham komunisme, H Misbach membentuk organisasi persatuan buruh dan
tani, dan menerbitkan ‚Islam Bergerak‛. H Moh Siradj berasal dari Tegal. Sementara H
Muchlas pernah dibuang ke Boven Digul. Anaknya yang bernama Mohamad Hatta Lukman
menjadi anggota CC PKI dengan sebutan MH Lukman. Pasca kemerdekaan Muchlas
sempat pulang ke Jawa, namun kemudian tewas dibunuh tentara Darul Islam. Lihat Imam
Achmad & Dirgantara Wicaksono, Marxisme dan Kehancuran PKI, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2013), h. 68-69
587
Hamka, Sedjarah Islam di..., h. 41
588
Hamka, Ayahku, h.144-145
589
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 58

118
(PKI).590 Semangat permusuhan terhadap kaum komunis itu diwarisi Hamka secara
lebih mendalam saat dia mengikuti kursus-kursus pengaderan dan kegiatan-
kegiatan SI. Hamka belajar tentang Islam dan sosialisme langsung kepada HOS
Tjokroaminoto dan tentang sosiologi pada RM Suryopranoto. Materi sosialisme
yang disampaikan Tjokroaminoto dalam kursus-kursus itu kemudian diterbitkan
dalam sebuah buku berjudul Islam dan Sosialisme.591
Sosialisasi Hamka dalam dunia pergerakan juga terjadi melalui organisasi
pelajar Muslim saat itu, Jong Islamieten Bond (JIB). Di sini dia bisa mengenal
tokoh-tokoh muda seperti Samsuridjal, Kadhool, Osman Pujotomo, Muhammad
Roem, dan Iskandar Idris.592 JIB merupakan organisasi pemuda pelajar Muslim
yang berdirinya didasari oleh kekecewaan terhadap Jong Java karena tidak
mengajarkan pelajaran agama Islam kepada anggota-anggotanya. Mentor utama
JIB adalah ideolog SI Haji Agus Salim. 593
JIB dan juga SIS (Studenten Islam Studieclub), menjadi wadah kaderisasi
tokoh-tokoh inteligensia Muslim pasca Tjokroaminoto dan H Agus Salim, seperti
Samsuridjal, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Syafruddin Prawiranegara,
Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Daliono, Yusuf Wibisono, dan
AliError! Reference source not found. Akbar.594 Mereka itu merupakan tokoh-tokoh
muda ‚kernligaam (kader inti)‛ JIB yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utama
Partai Masyumi.595 Masyumi sebagai partai yang dikelola kader-kader didikan
tokoh-tokoh SI, tulis Kuntowijoyo, merupakan pewaris ideologi Tjokroaminoto
dan sekaligus mewarisi musuh utama SI, yaitu PKI.596
Bekal sikap anti komunis yang diterima dari sang ayah, kemudian diperkuat
dan diperkaya oleh ajaran-ajaran tokoh SI, membuat Hamka bersemangat
membantu ayahnya melawan ideologi anti Tuhan itu. Sekembali dari Jawa pada
Juni 1925, Hamka pun berkeliling ke daerah-daerah. Dia berpidato dan
memberikan kursus-kursus melawan ajaran Dt Batuah yang sedang berkembang
itu. Buku yang menjadi pegangan utamanya adalah Islam dan Sosialisme-nya
Tjokroaminoto dan Islam dan Materialisme yang disalin AD Hani dari karya
Jamaluddin al-Afghani. Selain itu Hamka juga berlangganan surat kabar Hindia
Baru yang dipimpin H Agus Salim, serta Seruan Azhar yang dipimpin Mokhtar
Luthfi dan Ilyas Ya’qub di Mesir, serta Bendera Islam.597

590
Hamka, ‚HOS Tjokroaminoto,‛ dalam Pedoman Masjarakat, no 14, tahun VII, 2
April 1941, h. 266
591
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 61-65
592
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 61-65
593
Kajian lengkap tentang JIB lihat Dardiri Husni, ‚Jong Islamieten Bond: A Study
of a Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era, 1924-1942,‛
MA Thesis, Institute of Islamic Studies McGill University Canada, 1998.
594
Yudi Latief, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi,
2012), h. 733-734
595
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 111
596
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 78
597
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 65

119
Komunisme, ujar Hamka, berakar pada sosialisme ilmiah Karl Marx dan
Frederich Engels dengan teori dialektikanya: tesis, anti-tesis, dan sintesis. Hamka
menyebut ini sebagai teori perjuangan, yaitu teori tentang perubahan-perubahan
masyarakat di alam ini. Hamka menjelaskan, pengikut faham Marx ini kemudian
terbagi menjadi tiga golongan: sosial demokrat yang bekerjasama dengan kaum
pemodal; sosialisme yang menghendaki perubahan secara berangsur-angsur dan
mengakui adanya demokrasi; serta kaum komunis yang menghendaki perubahan
cepat, pengambilan kekuasaan dengan kekerasan, dan terwujudnya diktator
proletariat.598 Dijelaskan pula, komunisme merupakan paham yang berakar dari
materialisme.599
Hamka menyebut beberapa poin penting ajaran komunisme, yaitu:
pandangan hidup hanya dari segi kepentingan ekonomi, teori sejarah alam
kebendaan (materialisme historis), dan pertentangan kelas. Pertentangan kelas ini
akan menghasilkan kemenangan kelas proletar atas kelas borjuis, sehingga akan
terwujud masyarakat ideal tanpa kelas ala komunis.600
Komunisme tidak mengakui Tuhan (ateis). Bagi mereka agama hanyalah
ciptaan manusia belaka. Komunisme, ungkap Hamka, meyakini bahwa agama
hanyalah lapis atas (super structure) dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh
lapisan bawah (basic structure) berupa ekonomi. ‚Tegasnya, Tuhan bagi paham
komunis adalah sesuatu yang ditentukan perut semata,‛ simpul Hamka.601 Bagi
mereka agama hanyalah ‘dongeng’ buatan manusia.602 Menurut Marx, ujar Hamka,
‚agama hanyalah angan-angan atau buatan-buatan manusia; hasil daripada keluhan
jiwa karena tekanan ekonomi.‛603
Bukan sekedar tidak percaya Tuhan (ateis), Hamka juga memandang
komunisme sebagai paham yang anti terhadap agama, karena itu tidak mungkin
syiar agama dapat ditegakkan dalam negara komunis.604 Komunisme begitu
memusuhi agama, maka antara keduanya tidak akan bisa disatukan. Bagi Hamka
orang Islam yang menganut paham komunis adalah muslim yang belum matang.
Orang seperti ini harus memilih salah satu: Islam atau komunisme.605 Hamka
menulis,
Mungkin sekali dia hanya Islam karena keturunan, sehingga tidak mengerti hakikat
pokok ajaran Islam, yaitu percaya kepada Tuhan. Lalu lantara tidak tahu, dia pun
masuk komunis. Atau dia tidak mendapat keterangan tentang hakikat komunis yang
sebenarnya, sehingga dia terperosok masuk. Atau dengan mulut manis mengaku
Islam, padahal dia adalah komunis. Sebab dalam ajaran komunis tidak apa
berbohong untuk mencapai tujuan, yaitu kekuasaan.606
598
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h 24
599
Hamka, Studi Islam, h. 141
600
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 128
601
Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 86
602
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 19
603
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. xiv
604
Hamka, Studi Islam, h. 72
605
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 86-87
606
Lihat rubrik ‚Tanja-Djawab,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 31, tahun II, 15
September 1960, h. 32

120
Meski anti agama, namun mereka sering juga memanfaatkan agama untuk
kepentingannya. Bagi mereka agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai
tujuan perjuangan, bukan sebagai keyakinan.607 Mereka sering mencari-cari ayat-
ayat al-Qur’an yang dimanfaatkan untuk mendukung program dan rencana-
rencananya.608 Karakter kaum komunis, jelas Hamka, ketika berkuasa mereka akan
menekan dan memusuhi agama (Islam), dan ketika sedang tidak mendominasi,
mereka akan menyusup ke kelompok-kelompok Islam berpura-pura menjadi orang
yang taat beragama. Ketika memiliki kesempatan, mereka akan menyebarkan
pengaruhnya untuk menghancurkan Islam.609
Hamka memberi contoh kasus komunisme di Uni Soviet yang secara agresif
berupaya menghapuskan agama Islam di negeri itu. Bukan hanya di negara-negara
Uni Soviet, mereka juga mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghapuskan
Islam di negara-negara yang mereka kuasai. Salah satu cara yang mereka gunakan
adalah melakukan indoktrinasi terhadap anak-anak muda Muslim dengan ajaran
yang jauh dari agama dan menentang semua kepercayaan kepada yang gaib,
sehingga anak-anak muda itu tidak lagi mengenal agamanya, meski mereka
memiliki nama yang mencerminkan identitas keislaman.610 Tentang hal ini Hamka
menyatakan,
Ingatlah negeri Rusia (Soviet) yang berpenduduk 500 juta, diperintah oleh hanya
10% orang komunis, sampai sekarang tidak percaya kepada tuhan, dan ingatlah
negeri Cina yang berpenduduk lebih dari 600 juta, diperintah oleh tidak lebih dari
12% orang komunis, kian lama kian hancur segala nilai keruhanian.611
Karena itulah Hamka menolak upaya Bung Karno untuk menyandingkan
agama dengan komunisme dalam Nasakom (Nasionalisme, agama, dan
komunisme).612 Akibat dari sikap ini pada Januari 1964 hingga Mei 1966 Hamka
ditangkap dan dipenjara oleh rezim Orde Lama.613 Hamka menceritakan, dalam
sebuah khutbah di Masjid Agung Al-Azhar tahun 1960 dirinya menyatakan bahwa
Islam sedang dalam bahaya karena kaum komunis semakin diberi peluang oleh
presiden Soekarno. Khutbah itu kemudian dijawab oleh Soekarno: ‚Islam tidak
dalam bahaya, yang dalam bahaya ialah yang berkhutbah itu sendiri.‛ ‚Yang beliau
katakan tersebut beberapa waktu kemudian telah terjadi. Bahaya tersebut telah
dilalui oleh yang berkhutbah ‘Islam Dalam Bahaya’, ujar Hamka.‛614
Selain komunisme, Hamka juga menyebut paham-paham lain yang juga
tidak bertuhan (ateis): Eksistensialisme Jean Paul Sartre, evolusi Darwin, dan
607
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 77
608
Hamka, ‚Rasa Rendah Diri,‛ h. 5
609
Hamka, Prinsip & Kebijakan Dakwah Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 49
& 269
610
Hamka, ‚Agama Bisa Hapus Sadja‛, dalam Pandji Masjarakat, no 94, tahun VI, 1
Januari 1972, h. 5
611
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 235. Ini merupakan isi khutbah Idul Fithri yang
disampaikan Hamka di Istana Negara pada 1 Januari 1968/ 1 Syawal 1387 H.
612
Hamka, Prinsip & Kebijaksanaan..., h. 49; Hamka, Dari Hati Ke..., h. 251-252
613
Hamka, ‚Khutbah `Idul Fithri 1 Syawal 1396 H: Bersyukur Atas Kemerdekaan
Jiwa,‛ dalam Panji Masyarakat, no 209, tahun XVIII, 15 Oktober 1976, h. 8
614
Hamka, Dari Hati Ke..., h. 227-228

121
psikoanalisa Sigmund Freud yang menyatakan bahwa yang menggerakkan manusia
dalam hidup ialah nafsu bersetubuh (libido).615 Ideologi-ideologi inilah yang
menjadi intisari dari modernisme.616 Tentang eksistensialisme Sartre itu Hamka
berkomentar,
Segala ajaran agama, segala nilai-nilai akhlak, moral, mental dan sebagainya itu,
hanya dibuat-buat saja oleh manusia, untuk meniadakan dirinya yang ada. Jika
segala nilai itu diperturutkan, kosonglah arti wujud kita di dunia. Maka bebaslah
orang berkawan, dengan tidak usah menikah.617
Sebagai paham yang sekular, bahkan sekularme tingkat tinggi, kelahiran
komunisme tidak lepas dari realitas sejarah Barat yang traumatik terhadap agama,
di mana ketika cengkeraman kaum kapitalis begitu kuat, pihak Gereja justru
mengampanyekan ‚Kerajaan Surga‛ yang akan diterima oleh umat yang mau
bersabar di akhirat kelak. 618 Pun demikian, atas nama agama kaum pendeta
ortodok Rusia melakukan pemerasan kepada rakyat.619 Di saat itulah Karl Marx
hadir dengan kritik kerasnya, ‚Agama adalah candu rakyat!.‛ Hamka menulis,
Si buruh mendapat ‘nabi baru’, ‘Yesus baru’; agama, Tuhan, salib, kerajaan syurga,
semua adalah nonsens! Yang perlu sekarang adalah rotimu! Darahmu telah dihisap!
Musuhmu yang sebesar-besarnya ialah borjuis, kapitalis-kapitalis. Dan kaum agama
masuk ke dalam barisan mereka. Perutmu mesti makan; sekarang! Sekarang juga,
bukan di syurga kelak, setelah kamu kembali jadi tanah! Kamu mesti makan. Dunia
ini tidak adil. Rezeki mesti dibagi. 620
Tentu saja tuduhan ‚agama adalah candu masyarakat‛ itu ditolak keras oleh
Hamka. Hamka menjelaskan, dalam konteks masyarakat Barat mungkin saja hal itu
terjadi, namun tidak demikian dalam Islam dan masyarakat Muslim. Di Indonesia
yang mayoritas Muslim, Islam telah menjadi kekuatan perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme. Semangat itu kemudian diwariskan kepada tokoh-
tokoh pergerakan kebangsaan modern semisal HOS Tjokroaminoto.

615
Hamka, ‚Pokok Pegangan Hidup Kita,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 107, tahun
XIII, 15 Juli 1972, h. 5. Menurut Hamka sesungguhnya teori evolusi Darwin memiliki
kemiripan dengan teori yang dikemukakan oleh para ilmuan Muslim di masa lalu. Namun
Darwin terbentur pada missing link perubahan dari hewan (monyet) menjadi manusia. Dia
tidak mempercayai adanya takdir Ilahi. Sementara ilmuan Muslim tetap percaya kepada hal
itu. Lihat Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 82-86. Hamka melihat teori struggle for life
dalam evolusi Darwinian telah mengubah alur filsafat transendensialisme yang menjadi
pandangan hidup masyarakat Amerika ke arah pragmatisme. Tokoh aliran ini adalah
William James dan John Dewey. Berbeda dengan transendensialisme yang menekankan
pada makna dan hakikat segala sesuatu, pragmatisme mengukur kebenaran segala sesuatu
pada kemanfaatannya. Lihat Hamka, 4 Bulan di Amerika, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h.
219-227
616
Hamka, ‚Jiwa yang Hampa Dengan Apa Diisi?,‛ dalam Pandji Masjarakat, no
113, tahun XIII, 15 Oktober 1972, h. 4-9. Lihat juga Hamka, ‚Renungan Melihat Eropa‛, h.
5-8
617
Hamka, Ghirah dan Tantangan..., h. 36
618
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 88
619
Hamka, Revolusi Agama… Menudju..., h. 19
620
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 88

122
Muso dan Alimin, Darsono, Marko, Misbach dan Fachrudin. Dan kemudiannya
sekali pemuda Sukarno, dicetus belaka semangatnya dalam rumah saluran semangat
Islam Tjokro! Candu apakah yang disuruhnya isap kepada mereka, sehingga mereka
semuanya telah menggoncangkan kekuasaan Belanda?. Kita akui, memang
kemudiannya faham telah berbeda-beda dan masing-masing telah mencari tempat
tegak sendiri-sendiri, tetapi bahwa asal semuanya itu dari Tjokro, janganlah
dimungkiri…621
Selain lahir sebagai reaksi terhadap kaum agamawan (Gereja), komunisme
juga muncul sebagai kritik terhadap kapitalisme.622 Hamka menulis:
Kehidupan modern adalah hasil pertentangan yang hebat manusia dengan dengan
‘exploitasi manusia atas manusia’ yang berlaku di zaman tengah... Tetapi yang
timbul mula-mula adalah ialah kapitalisme dan kapitalisme memerlukan sangat
imperialisme. Tetapi kapitalisme ditentang keras oleh klas rakyat tertindas yang
diikat oleh belenggu ikatan besi – yang kaum buruh dan tani tidak dapat melepaskan
diri daripadanya, maka timbullah sosialisme dan komunisme.623
Meski demikian, Hamka melihat pada hakikatnya komunisme dan
kapitalisme itu satu: materialisme, yaitu ‚blok yang disesatkan oleh kebendaan,‛624
yang berakar pada filsafat Yunani.625 Pertentangan yang terjadi antara komunisme
dan kapitalisme dilihat Hamka sebagai persaingan memperebutkan kedaulatan atas
paham kebendaan (materialisme). Hamka menjelaskan,
Keduanya adalah hasil dari individualisme yang telah timbul sejak abad kedelapan
belas. Mulanya diberi kebebasan satu pribadi merebut rezeki sebanyak-banyaknya.
Hasilnya ialah yang cerdik mendapat banyak, yang bodoh menjadi alat mesin bagi si
cerdik. Oleh sebab itu maka mesinlah yang menimbulkan kapitalis, dan kapitalislah
yang dengan sendirinya menimbulkan komunisme.626
Karena keduanya sama-sama paham kebendaan (materialisme), maka lawan
yang sebenarnya bagi mereka adalah kelompok yang memiliki pandangan hidup
kerohanian. Di sini Hamka memperhadapkan antara blok materialisme (kapitalis-
komunis) versus blok kerohanian.627 Dalam konteks ini Hamka memposisikan
Kristianitas dalam blok kerohanian karena titik tekan ajarannya pada kemurnian
jiwa dan kebersihan ruh. Dengan demikian, sebenarnya Islam bukanlah lawan

621
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 75-76
622
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 87-88
623
Hamka, ‚Renungan Melihat Eropa,‛ h. 5
624
Hamka, ‚Haluan Hidup... (Peringatan Idul Fithri 1371),‛ dalam Hikmah, edisi
lebaran, no 24-25, tahun V, 21 Juni 1952, h. 13
625
Hamka, ‚Orang-orang Jang Kembali,‛ h. 11
626
Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 81-83. Hamka melihat sesungguhnya
kaum komunis itu juga individualis. Komunisme, jelasnya, ‚tidak bisa subur, kalau tidak
didasarkan pada dengki, dendam dan benci. Dan semuanya itu adalah akibat-akibat
daripada individualisme.‛ Lihat Hamka, ‚Individualisme,‛ dalam Hikmah, no 14, tahun IV,
29 Desember 1951, h. 17-18
627
Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 84. Hamka melihat, meski antara
pengikut paham materialisme dengan paham kerohanian memiliki sejumlah perbedaan.
Namun sebenarnya mereka memiliki kesamaan. Kesamaannya adalah keduanya sama-sama
egois. Hanya berfikir tentang ‚aku‛ tanpa peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya.
Lihat Hamka, ‚Tidak Semata-mata Benda,‛ h. 4; Hamka, ‚Individualisme,‛ h. 17-18.

123
langsung dari Materialisme (Komunisme), karena Islam berdiri di tengah-tengah
antara kedua blok tersebut. Islam tidak memisahkan atau mempertentangkan
antara kebutuhan rohani dengan keinginan jasmani, lahir dengan batin, jiwa dengan
tubuh, dan antara idealisme dengan realisme. Islam, ungkap Hamka
menyimpulkan, memandang kemanusiaan dari segala seginya. 628
Lebih lanjut Hamka menjelaskan, meski Karl Marx orang Jerman, namun
ajaran-ajarannya justru mendapatkan tanah subur di Rusia. Di bawah pimpinan
tokoh-tokoh komunis Rusia semisal Lenin dan Stalin, pada tahun 1917 berhasil
didirikan pemerintahan kaum buruh/proletar. Perjuangan mengganti diktator gereja
menjadi diktator proletar itu dipenuhi dengan penumpahan darah ‚yang menganak
sungai‛. 629 Di zaman kekuasaan kaum buruh inilah agama dihapuskan karena
dianggap sebagai alat imperialisme.630
Setelah kaum buruh mencapai kekuasaan, sendirinya dendamnya dilepaskan
dengan amat hebatnya. Tsar sendiri kepala gereja yang terbesar, dibunuh bersama
seluruh keluarganya. Istana Kremlin yang indah tempat Tsar bersemayam menjadi
istananya kaum buruh. Diktatuur Tsar dengan staf-stafnya, jenderal-jenderal,
Graaf-graaf, bishop-bishop, bankier, dan kaum kapitalis, diganti dengan
kediktaturnya kaum buruh, dikepalai oleh Lenin dan dilanjutkan oleh Stalin dan
staf-stafnya pula.631
Hamka melihat tidak semua ajaran Marxisme keliru. Terdapat beberapa poin
yang bersesuaian dengan ajaran agama, salah satu titik temunya adalah penolakan
terhadap kapitalisme dan imperialisme yang penuh keganasan itu. Di sini Hamka
mengutip pernyataan sejarawan Arnold Toynbee yang menyebut bahwa Marxisme
hanya mengambil sehelai daun ajaran kitab suci Kristen, lalu menganggap itu
sebagai seluruh kitab suci. Hamka juga mengutip pernyataan Syafruddin
Prawiranegara, ‚Faham Marx telah mendapat separo dari kebenaran, kita akui,
tetapi mereka belum mendapat kebenaran yang separo lagi.‛632 Senada dengan
Toynbee, Hamka melihat perjuangan Karl Marx membebaskan kaum proletar dari
penindasan kaum borjuis ‚hanyalah satu tafsir kecil dari pada kesusasteraan
Muhammad,‛ sembari mengutip ayat ‚tahukah engkau orang yang mendustakan
agama...‛.633
Namun demikian, tegas Hamka, bukan berarti komunisme bisa diterima,
karena bagaimanapun juga komunisme itu ateis. Hamka menulis, ‚Sudah terang
bahwa kaum komunis tidak menyukai agama. Tidak menyukai agama adalah dasar,
adalah urat, adalah pokok dari kepercayaan komunis...‛.634 Di tempat lain ia juga
menyatakan,

628
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 127-128.
629
Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 18-19
630
Hamka, Revolusi Agama…Menudju..., h. 37
631
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 18-19
632
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 55
633
Hamka, ‚Nabi Muhammad Dan Kesusasteraan,‛ dalam Hikmah, No. 11, Tahun
IV (8 Desember 1951), h. 11.
634
Hamka, ‚Peladjaran Agama di Sekolah Pemerintah,‛ dalam Hikmah, no 23, tahun
V, 7 Juni 1952, h. 18

124
Datang teori Karl Marx tentang ekonomi, yang didasarkannya kepada Historis
Materialisme. Satu perkara, yaitu perkara pokok, jelas selisih kita dengan dia! Yaitu
tidak mengakui Tuhan, dia memandang agama hanyalah sebagai akibat dari
ekonomi, dan kadang-kadang agama itu sebagai musuh yang akan menghalangi
tumbuhnya diktator proletar dan Revolusi Dunia!. Tentang ini bersimpang jalan
kita. Dan inilah prinsip! Maka tentang ini bersedialah Umat Islam mempertahankan
prinsipnya!635
Selain itu, penolakan terhadap komunisme juga disebabkan oleh penjajahan
baru berupa kekuasaan yang diktator.636 Hamka menyebut, alih-alih mencapai
masyarakat sosialis ideal seperti yang mereka impikan, pemerintahan kaum buruh
di Rusia itu justru melahirkan diktator baru.637
Telah ternyata sekarang, bahwa memberikan nama ‘blok Sosialisme’ kepada Russia,
tidak tepat lagi. Sebab nafsu penjajahan, nafsu kapitalisme, dengan sendirinya telah
tumbuh di Russia. Kedaulatan Kaum Buruh dan Tani telah menjadi nama
‘semboyan’ saja, sebab kian lama kian tumbuhlah perbudakan yang diatur oleh
negara, sebagai kebalikan daripada perbudakan yang tadinya diatur oleh
perseorangan.638
Hamka menjelaskan, di bawah kekuasaan kapitalisme penindasan tersebar di
tangan pemilik-pemilik modal, maka di bawah kekuasaan komunisme penindasan
itu berkumpul di satu tangan pemerintah diktator. Pemerintahan yang memiliki
kekuasaan yang sangat luas tanpa batas sehingga pribadi-pribadi tertekan tanpa
kemerdekaan. Tidak ada kebebasan bersuara. Bahkan buruh pun dilarang
melakukan aksi pemogokan. Padahal mereka mengklaim sebagai pemerintahan
kaum buruh.639
Pada akhirnya Hamka melihat komunisme pun telah menjadi semacam
agama. Das Kapital-nya Karl Marx dan Engels lebih dihormati oleh orang
komunis daripada Perjanjian Baru bagi orang Kristen atau al-Qur’an oleh orang
Islam. Mereka yang tidak taat dan mengikuti ajaran-ajaran Marxisme akan
dimasukkan ke dalam ‘neraka’ di Siberia untuk menjalani kerja paksa. Alhasil
komunisme dan paham-paham materialisme lainnya, simpul Hamka, telah
membebaskan diri manusia dari kepercayaan kepada Tuhan untuk membuat suatu
agama tanpa Tuhan.640
Selain faktor ateisme, komunisme – dan juga kapitalisme- dikritik Hamka
karena telah salah membangun konsepsi tentang posisi manusia dalam perputaran
ekonomi. Kedua ideologi itu menganggap manusia hanyalah alat ekonomi yang

635
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 21-22. Hamka melihat kapitalisme hanya
bisa tegak jika diiringi dengan imperialisme. Sementara komunisme hanya bisa tegak
dengan menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan. Lihat Hamka, ‚Menegakkan Agama
Dengan Harta,‛ dalam Hikmah, no 40, tahun V, 4 Oktober 1952, h. 23
636
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 75-78
637
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 38
638
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 78-82
639
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 98-99
640
Hamka, ‚Bebas Merdeka,‛ dalam Panji Masyarakat, no 208, tahun XVIII, 1
Oktober 1976, h. 5-6

125
tidak memiliki akal, budi dan jiwa. Sehingga manusia menjadi serupa dengan
barang (komoditas) atau binatang yang berputar di sekitar proses ekonomi.641
Memang! Manusia menghasilkan dan manusia memakai menurut unsur ilmu
ekonomi. Tetapi ingatlah bahwa di samping itu dia mempunyai pula segi lain, yaitu
segi budi, segi pergaulan hidup dan segi kejiwaan. Semuanya ikut serta, di dalam
membina manusia sebagai manusia, dan membina manusia sehingga mempunyai apa
yang dinamai kemanusiaan.642
Komunisme dilihat Hamka sebagai paham yang tidak mengakui adanya
keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan agama, moralitas, dan masyarakat.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan pandangan agama (Islam) yang selalu
mengaitkan segala aktivitas manusia dengan agama dan moralitas. Hamka
mencontohkan ajaran Islam tentang larangan riba. Jika dilihat hanya dari perspektif
ekonomi yang nir-moralitas, riba tidak berbeda dengan aktivitas jual beli lainnya.
Namun, jelas Hamka, hal tersebut tidak patut menurut moralitas. Sebab riba akan
merusak hubungan antara pemberi utang dengan pihak yang menerima utang. 643
‚Ajaran Marx mengajarkan pertentangan, perjuangan klas. Ajaran Islam
menganjurkan perdamaian di antara yang sanggup dengan yang tidak sanggup,
yang punya dengan yang tidak punya‛, tulisnya.644
Hamka menyatakan, ada banyak ajaran moral agama dalam urusan ekonomi,
seperti ajaran tentang zakat, infaq dan sedekah, waris, hibah, dan tolong-menolong.
Ajaran-ajaran ini juga diperkuat dengan ajaran lain berupa larangan hidup
bermewah-mewahan, boros, menumpuk-numpuk harta, bakhil dan lain sebagainya.
Dalam semua itu terdapat pesan moral akan pentingnya kasih sayang di antara
orang kaya dengan kaum papa. Karena, tegas Hamka, dasar hubungan antar
manusia adalah cinta bukan kebencian, keseimbangan bukan pertentangan.
Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bahagian hartanya untuk membantu yang
miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau ini terjadi,
pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang, pelepasan dendam
yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya, dan miskin terlalu
miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali halus yang
menghubungkan, tali bakti kepada Tuhan dalam masyarakat. 645
3. ResponsTerhadap Konsep HAM Barat
Hak Asasi Manusia (HAM) dianggap sebagai hak yang secara kodrati
dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya. Hak-hak ini dianggap bersifat
universal karena menjadi bagian dari kemanusiaan tanpa memandang ras, suku
bangsa, jenis kelamin, budaya dan agama.646

641
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 98
642
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 97-98
643
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 100
644
Hamka, Tjahaja Baru, h. 65
645
Hamka, Keadilan Sosial Dalam..., h. 100-101
646
Lihat Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, ‚HAM Islam dan Duham PBB:
Sebuah Ikhtiar Mencari Titik Temu‛, dalam Miqot, vol XLI, no 2, Juli-Desember 2017, h.
430

126
Ide tentang HAM di Barat memiliki akar pada pemikiran John Locke.
Sementara catatan sejarah perjuangan HAM di Barat bermula dari Magna Charta
Libertatum tahun 1215. Piagam ini ditandatangani oleh Raja John Lockland
sebagai hasil dari kesepakatan dengan para bangsawan di sana. Dalam piagam ini
termaktub pengaturan tentang pengakuan atas hak-hak para bangsawan dan
pembatasan kekuasaan raja. Pada tahun 1689 muncul Bill of Rights (1689) yang
memberi penekanan yang kuat terhadap hak warga negara dan aturan tentang
pergantian raja. Kedua perjanjian ini terjadi di Inggris.
Kemudian di Amerika keluar Declaration of Independence tahun 1776
sebagai proklamasi kemerdekaan mereka dari Inggris. Di Perancis juga terdapat
Declaration des droits de l’ homme et du citoye (tahun 1789) yang menjadi dasar
bagi Revolusi Perancis. Dalam piagam ini termuat aturan-aturan tentang pokok-
pokok rule of law, pemerintahan konstitusional, dan hak-hak dasar warga negara.
Puncaknya terjadi pada tahun 1948 ketika Perserikatan Bangsa-bangsa
mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia) yang berisi 30 pasal. 647
Menurut Hamka sejarah panjang tersebut merupakan ‚usaha masyarakat
Barat membebaskan diri dari perbudakan, mencari kemerdekaan sejati, baik bagi
pribadi atau bagi bangsa, dan juga karena mengelakkan bahaya perang.‛ Meski
disebut universal, namun Hamka melihat dalam pelaksanaannya deklarasi tersebut
ternyata juga diskriminatif, hanya berlaku untuk bangsa-bangsa Barat dan tidak
untuk bangsa-bangsa lainnya. Pada poin ini Hamka memberikan contoh kasus
penjajahan yang dilakukan bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur, di
mana hak-hak bangsa-bangsa non-Barat itu baru bisa dipenuhi jika mereka
berjuang berdarah-darah merebutnya dari penjajahan Barat.648
Secara umum Hamka bisa menerima isi dari Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tersebut.
Namun ada dua materi yang dipersoalkannya, yaitu tentang hak manusia untuk
menikah tanpa melihat agamanya (Pasal 16 ayat 1) dan tentang hak berpindah
agama (Pasal 18).649 Menurutnya, hak untuk menikah tanpa memandang suku dan
bangsa, seperti yang tercantum dalam Pasal 16 ayat 1, sudah sesuai dengan spirit
ajaran Islam.
Sebab apabila orang telah sama kepercayaannya dalam Islam, tergabunglah dia
menjadi satu ummat, yaitu umat Islam. Asal ada persesuaian kedua belah pihak, dan
halal kawin menurut agama, karena tidak ada pelanggaran kepada ketentuan-
ketentuan dalam al-Qur’an yang dinamai mahram, bolehlah berkawin mendirikan
rumah tangga.650
Namun untuk pernikahan tanpa melihat agama sebagaimana lanjutan dari
Pasal 16 ayat 1 tersebut Hamka tegas menolaknya, karena Islam telah memberikan
batasan-batasan pernikahan, yaitu: Pertama, larangan menikahi pezina.
Berdasarkan Surat al-Nur ayat 3:

647
Izzuddin Washil dan AK. Fata, ‚HAM Islam dan...‛, h. 431
648
Hamka, Studi Islam, h. 228-230
649
Hamka, Studi Islam, h. 231
650
Hamka, Studi Islam, h. 231

127
                 

 
‚Seorang laki-laki pezina tidak boleh mengawini kecuali perempuan yang
pezina pula atau perempuan musyrik. Dan seorang perempuan pezina tidak
boleh dinikahinya, kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik, dan haram yang
demikian itu atas orang-orang yang beriman.‛651
Kedua, larangan menikah orang musyrik/kafir berdasarkan pada Surat al-
Baqarah ayat 221 dan Surat Mumtahanah ayat 10:652
               

                 

           
‚Dan janganlah kamu kawinkan perempuan yang musyrik sebelum dia
mengakui percaya, dan sesungguhnya hamba sahaya yang percaya lebih baik
dari pada perepuan yang musyrik, meskipun dia mempesonakan kamu. Dan
janganlah kamu kawinkan orang-orang laki-laki yang musyrik sampai dia
beriman. Dan seorang hamba sahaya yang beriman lebih baik dari pada yang
musyrik, walaupun dia mempesonakan kamu. Sebab mereka semuanya itu
akan membawa kamu ke neraka, sedang Allah menyeru kamu kepada surga
dan ampunan, dengan izinNya. Dan dia menyatakan perintah-perintahNya
kepada manusia supaya mereka itu ingat benar-benar.‛
             

                 

              

                 
‚Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; Jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal

651
Hamka, Studi Islam, h. 232. Meski demikian Hamka memberikan kelonggaran
dengan membolehkan menikahi pezina (pelacur) yang memang sudah bertaubat. Lihat
Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 277-282.
652
Hamka, Studi Islam, h. 232-233; Hamka, 1001 Soal Kehidupan..., h. 256-258

128
pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka mahar yang
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.‛
Larangan menikahi orang musyrik ini dikecualikan bagi perempuan
terhormat dari kalangan Ahl al-Kita>b. Hamka berpegangan pada Surat al-Maidah
ayat 5:
            …

    


‚Dan makanan Ahlul Kitab halal bagi kamu dan makanan kamu halal bagi
mereka, dan perempuan-perempuan yang terbenteng dari orang-orang ahlul
kitab.‛
Namun Hamka menjelaskan pengecualian ini berlaku setelah masyarakat
Islam menjadi kuat dan kokoh.653 Meski demikian penguasa Islam tetap berhak
campur tangan jika wanita Ahl al-Kita>b itu dianggap tidak tepat. Pendapat Hamka
ini didasarkan pada perintah Khalifah Umar bin Khattab kepada Huzaifah bin
Yaman yang menikahi wanita Yahudi di Kufah untuk bercerai demi menghidari
fitnah. Meski dibolehkan, Hamka tampaknya cenderung untuk tidak
merekomendasikan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al-Kita>b. Dengan
mengutip pernyataan Abdullah bin Umar, Hamka menulis: ‚Saya tidak tahu lagi
syirik yang lebih besar dari pada kata perempuan itu, bahwa Tuhannya ialah
Isa.‛654 Selain karena persoalan perbedaan teologis ini, sikap Hamka juga
didasarkan pada kenyataan bahwa pernikahan seringkali menjadi alat bagi
pemurtadan.655
Pernikahan beda keyakinan juga bisa menimbulkan kebingungan pada anak-
anaknya. Tentang hal ini Hamka menyatakan,
Perlainan agama yang dianut di antara suami istri, demi cinta, hanyalah semata
memuaskan hati mereka berdua, tidak memikirkan hari depan dari anak mereka. Ada
yang dengan secara mudah saja berkata; ‘Beri kebebasan anak-anak itu memilih
agamanya kelak!’. Padahal agama -menurut dasar ilmu jiwa sendiri- haruslah
ditanamkan di waktu kecil. Anak kecil belumlah punya kebebasan buat memilih soal
yang begitu peka, yang begitu halus, mengenai akidah dan pegangan hidup yang

653
Hamka, Studi Islam, h. 232-233
654
Hamka, Studi Islam, h. 235-236
655
Kesan ini terlihat jelas dari pesan-pesan yang terkandung dalam beberapa tulisan
Hamka, seperti ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama,‛ dalam Panji Masyarakat, no 197, tahun
XVIII, 15 April 1976, h. 5-6; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama II,‛ dalam Panji Masyarakat,
no 198, tahun XVIII, 1 Mei 1976, h. 5-7; dan ‚Pemurtadan dan Perkawinan: Kisah Farida
Perempuan Jakarta,‛ dalam Panji Masyarakat, no 206, tahun XVIII, 1 September 1976, h.
5-7.

129
akan menentukan hari depan. Maka dari manakah seorang anak akan mengambil suri
teladan? Padahal seorang di antara orang tuanya ke gereja dan yang seorang lagi ke
masjid?.656
Ketentuan lain dalam DUHAM PBB yang tidak diterima oleh Hamka adalah
Pasal 18 tentang hak berpindah agama. Pasal ini menurut Hamka lahir dari
pengalaman konflik dan peperangan antar agama, khususnya antara Katolik dengan
Protestan, yang terjadi dalam sejarah Eropa. Hamka menilai pasal ini sangat
bertentangan dengan pokok ajaran Islam. ‚Dalam Islam, seorang yang
meninggalkan Islam, sehingga tidak beragama sama sekali, atau pindah kepada
agama lain murtad namanya,‛ tegasnya. 657 Terhadap orang Islam yang menerima
hak berpindah agama versi DUHAM PBB ini Hamka menyatakan, ‚Kalau ada
orang-orang yang mengaku Islam menerima hak pindah agama ini buat diterapkan
di Indonesia, peringatkanlah kepadanya bahwa ia telah turut dengan sengaja
menghancurkan ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an. Dengan demikian Islamnya
sudah diragukan.‛658
Sikap Hamka ini berpijak pada Surat al-Baqarah ayat 217:
             ‫وال‬

              

  


‚Dan mereka akan selalu memerangimu, sampai mereka dapat memalingkan
kamu dari agama kamu; jika mereka bisa. Dan barangsiapa yang berpaling
(murtad) di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati, padahal dia tetap
kafir, maka gugurlah amalan mereka di dunia dan akhirat, dan mereka itu
ialah ahli neraka, yang kekal di dalamnya.‛
Hamka menjelaskan, ayat ini memberi dua peringatan: Pertama, bahwa
selalu ada orang yang berusaha agar kaum Muslimin murtad. Mulai dengan jalan
kekerasan, penjajahan, tipu daya, hingga pendidikan.659 Dalam beberapa tulisannya
yang lain Hamka menceritakan berbagai cara pemurtadan, seperti melalui
pernikahan, pemberian bantuan sosial, penguasaan tanah-tanah daerah milik umat
Islam hingga mengadopsi anak-anak terlantar.660 Kedua, penegasan bahwa orang

656
Hamka, ‚Untuk Kita Fikirkan…‛, h. 6. Lihat juga Hamka, Ghirah Dan
Tantangan..., h. 47
657
Hamka, Studi Islam, h. 239. Peperangan antara Kaum Katolik yang menyukai
Paus dengan kaum Protestan terjadi selama 80 tahun. Dengan korban yang sangat banyak.
Negeri-negeri Eropa yang berdarah Jerman banyak yang memilih ajaran Luther. Sementara
yang latin tetap berpegang pada Paus. Lihat Hamka, Revolusi Agama… Menudju..., h. 32
658
Hamka, Studi Islam, h. 241
659
Hamka, Studi Islam, h. 239-240
660
Seperti tulisan-tulisan Hamka berikut ini, ‚Kewaspadaan Kita,‛ dalam Panji
Masyarakat, no 111, tahun XIII, 15 September 1972, h. 4-5; ‚Adopsi Memungut Anak,‛
dalam Panji Masyarakat, no 196, tahun XVII, 1 April 1976, h. 5-7; ‚Untuk Kita Fikirkan
Bersama I,‛ dalam Panji Masyarakat, no 197, tahun XVIII, 15 April 1976, h. 5-6; ‚Untuk

130
yang murtad dan mati dalam kekafiran, maka semua amal perbuatannya tidak
diterima oleh Allah dan akan menjadi penghuni neraka. Bahkan dalam sebuah
hadits Hamka menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan untuk
membunuh orang yang menukar agamanya.661
Sikap tegas Hamka terhadap hak berpindah agama dan keyakinan dalam
DUHAM PBB ini didasari oleh keyakinannya bahwa Islam merupakan sebuah
sistem kehidupan. Bukan sekedar ajaran peribadatan belaka. Islam tidak pernah
memaksa seseorang untuk masuk ke dalam sistem ini. Namun setiap orang yang
sudah menyatakan dirinya sebagai bagian dari Islam, maka mereka dengan penuh
kedisiplinan harus terikat pada sistem hidup yang ada. Hamka menilai orang yang
berpindah agama sebagai pembangkang dan pengacau dari tatanan yang ada.
Hamka memberi ibarat sebuah negara dengan struktur dan segala aturan-aturannya.
Warga negara boleh melakukan apapun, bahkan beroposisi terhadap pemerintah,
selama tidak menentang dasar dan susunan negara. Namun ketika mereka
melakukan hal-hal yang mengancam sistem yang ada, maka dia sudah dianggap
sebagai ‘murtad’ dan layak diperangi. ‚Seketika seorang dukun jahat bernama
Mbah Suro di Jawa Tengah ternyata ‘murtad’ dari Pancasila, lalu membuat negara
sendiri yang ternyata di belakangnya berdiri kaum Komunis, bukankah Mbah Suro
diperangi dan setelah dapat lalu dibunuh?‛, tegasnya.662
Selain menerima hak-hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam
DUHAM PBB tersebut, dengan pengecualian dua hal di atas, Hamka juga memberi
tambahan hak-hak asasi manusia yang disarikannya dari ajaran Islam, yaitu:
a) Hak beramar ma’ruf (menyatakan apa yang baik bagi masyarakat
menurut keyakinan kita).
b) Hak nahi munkar (menyatakan sanggahan terhadap hal yang kita yakin
bahwa itu salah).
c) Beriman kepada Allah.663
Hamka memaknai hak beramar ma’ruf sebagai kemerdekaan jiwa, nahi
munkar adalah kemerdekaan menyatakan pendirian, dan beriman kepada Allah
sebagai pondasi bagi tempat tegak berdirinya kedua hal itu.664 Kemerdekaan jiwa
akan membawa kebebasan kemauan (Hamka menyebutnya sebagai ‚iradat‛ atau
‚karsa‛), kemerdekaan menyatakan pendirian melahirkan kebebasan menyatakan

Kita Fikirkan Bersama II,‛ dalam Panji Masyarakat, no 198, tahun XVIII, 1 Mei 1976, h. 5-
7; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama III,‛ dalam Panji Masyarakat, no 199, tahun XVIII, 15
Mei 1976, h. 5-7; ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama IV,‛ dalam Panji Masyarakat, no 200,
tahun XVIII, 1 Juni 1976, h. 5-7; dan ‚Pemurtadan dan Perkawinan: Kisah Farida
Perempuan Jakarta,‛ dalam Panji Masyarakat, no 206, tahun XVIII, 1 September 1976, h.
5-7; ‚Dialog,‛ dalam Panji Masyarakat, no 203, tahun XVIII, 15 Juli 1976, h. 5-7;
‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama, Munafiq?,‛ dalam Panji Masyarakat, No
204, tahun XVIII, 1 Agustus 1976, h. 5-8. Lihat juga Hamka, Umat Islam Menghadapi..., h.
1-58.
661
Hamka, Studi Islam, h. 240-241
662
Hamka, Studi Islam, h. 243-244
663
Hamka, Prinsip & Kebijaksanaan..., h. 99
664
Hamka, Islam: Revolusi Ideologi..., h. 111

131
pikiran (Hamka menyebutnya sebagai ‚periksa‛), dan iman kepada Allah
merupakan kebebasan jiwa dari keraguan (disebutnya sebagai ‚rasa‛).665
Apabila seseorang mempunyai kebebasan iradat, kemauan atau karsa,
ungkap Hamka, niscaya dia berani menjadi penyuruh dan pelaksana dari yang
ma’ruf. Hamka menyebut itu semua merupakan modal bagi para pemimpin untuk
membawa umatnya ke arah kemajuan yang dicitakan.666
Kebebasan berfikir dan kebebasan menyatakan fikiran akan melahirkan
keberanian menentang kemunkaran. Kedua hal ini merupakan dari kemerdekaan
jiwa dari belenggu-belenggu kebendaan. Karena itu jiwa harus dibebaskan dari
belenggu kebendaan dan dibawa kepada pembuat benda itu, yaitu Tuhan. Dalam
hal ini Hamka menulis,
Percaya kepada Tuhan Yang Satu adalah dinamo yang menghidupkan auto-activitiet
dalam diri. Sehingga hidup itu datang dari dalam, bukan dipompakan dari luar.
Itulah yang memberikan petunjuk mana yang salah, mana yang benar. Mana yang
ma’ruf, mana yang munkar. Mana yang haq, mana yang batil!.667

Gagasan politik Hamka merupakan respons atas kondisi yang terjadi saat itu,
juga cerminan atas realitas sosial-politik yang ada. Sebagai pemikir yang
senantiasa mendialogkan keyakinannya dengan kondisi yang zaman yang terus
berubah, tampak ada hal-hal yang berubah pada pemikiran dan respons Hamka.
Terdapat pula konsistensi pada pemikirannya. Perubahan dan konsistensi itu
menjadi gambaran betapa intens keterlibatan Hamka dalam proses perubahan
bangsanya. Namun sayang, intensitas keterlibatan itu tidak mendorongnya untuk
memberikan penjelasan detail terhadap gagasan-gagasannya itu. Ini membuat ide-
ide Hamka hanya bersifat filosofis dan tidak melahirkan teori politik yang khas.

665
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 64
666
Hamka, ‚Jang Sebaik-baik Ummat,‛ h. 3
667
Hamka, ‚Jang Sebaik-baik Ummat,‛ h. 4

132
BAB V
PERAN HAMKA DI PENTAS POLITIK NASIONAL

Selain banyak menulis tentang politik dan kebangsaan, Hamka juga seorang
aktor politik. Tidak hanya di ranah politik moral (high politics), aksi politiknya
juga bergerak di ranah praktis. Bab ini akan mengulas peran Hamka di ranah
politik dengan penekanan pada peranannya di tingkat nasional, yaitu ketika Hamka
berada di era demokrasi perlementer/liberal, demokrasi terpimpin, dan Orde Baru.
Bahasan tentang peran politiknya di era Orde Baru akan difokuskan pada posisinya
sebagai Ketua Umum MUI.
A. Hamka Dalam Dinamika Politik Masyumi
Karir politik Hamka telah dirintis tatkala dia pergi ke Jawa untuk pertama
kalinya pada tahun 1924, dan belajar tentang Islam dan pergerakan pada tokoh-
tokoh Islam terkemuka saat itu. Setelah belajar pada Ki Bagus Hadikusumo, HOS
Tjokroaminoto, H Fakhrudin, RM Suryopranoto, AR Sutan Mansur, serta beberapa
kali mengikuti kegiatan Jong Islamieten Bond (JIB), Hamka mengaku
mendapatkan perspektif baru tentang Islam yang dinamis.668 Sekembalinya ke
Sumatera Hamka bergerak membantu ayahnya melawan pengaruh komunis yang
mulai menyebar di sana, khususnya di kalangan Thawalib. Dia juga memdampingi
kakak iparnya AR Sutan Mansur mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera.669
Keterlibatan Hamka dalam dinamika politik menjadi semakin intens ketika
dia tinggal di Medan menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat dan
pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur. Peran ini membawa Hamka ke
popularitasnya sebagai penulis dan tokoh Muhammadiyah yang cukup disegani.
Mau tidak mau Hamka pun sering bersentuhan dengan dinamika politik saat itu. 670
Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang membuatnya semakin jauh terlibat
dalam politik. Apalagi penguasa Jepang di Sumatera Timur mengangkat dirinya
sebagai anggota Dewan Penasehat Sumatera Timur (Shu Sangi Kai) bagi Chokan
(Gubernur) Jend Tetsuzo Nakashima.671
Di era Revolusi Fisik Hamka terpilih menjadi Ketua Front Pertahanan
Nasional (FPN) dan pimpinan Sekretariat Badan Pengawal Negeri dan Kota
(BPNK) di Sumatera Barat pada 1947. FPN merupakan aliansi seluruh kekuatan
pergerakan nasional di Sumatera Barat untuk mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia dari agresi Belanda. Selain di FPN Hamka juga terlibat dalam
Muhammadiyah dan Masyumi Sumatera Barat. Di Masyumi ia sempat menjadi
anggota formatur untuk menyusun pimpinan Masyumi pada Juli 1947, Ketua
Dewan Pembelaan yang bertugas menyusun Hizbullah dan Sabilillah dalam satu

668
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Gema Insani: 2018), h. 60-63
669
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 65-66, 112
670
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Noura, 2016), h. 5-
6. Lihat juga Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 250-257
671
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, terutama bagian ketiga

133
pimpinan, dan menjadi pembela (advokat) bagi beberapa anggota Hizbullah dan
Masyumi yang dituduh terlibat dalam beberapa aksi kerusuhan.672
Kepindahan Hamka ke Jakarta pada Januari 1950 membuat langkah
politiknya semakin luas. Karir politik yang telah dilakoninya selama di Sumatera
membuat Hamka tidak terlalu sulit terlibat dalam dinamika politik nasional. Di ibu
kota Hamka pun mengembangkan karir politiknya di tingkat nasional.
Meski secara formal tidak masuk dalam struktur kepengurusan inti Dewan
Pimpinan Pusat Masyumi,673 namun itu bukan berarti Hamka tidak memiliki posisi
dan peran penting dalam partai itu. Emzita mencatat, di tahun 1950-an Hamka
sudah sering berkunjung ke kantor Masyumi.674 Dia juga terlibat dalam ‚klub
makan siang‛ di mana tokoh-tokoh penting Masyumi mendiskusikan berbagai
berita dan berbagi informasi rahasia. Selain itu Hamka juga aktif mengikuti
kongres, rapat, perdebatan publik, perundingan dan strategi politik di belakang
layar. Emzita menceritakan, jika memiliki masalah berat Natsir sering datang
malam-malam ke rumah Hamka dan berdiskusi dengannya.675
Secara formal posisi Hamka di Masyumi adalah anggota Fraksi Masyumi di
Konstituante. Yusril Ihza Mahendra juga menyebut posisi Hamka lainnya di
Masyumi: anggota Dewan Partai.676 Dewan Partai masuk dalam struktur Masyumi
pada tahun 1950. Pada kepengurusan Masyumi yang pertama tidak terdapat
struktur ini.677 Dalam Anggaran Dasar (AD) Masyumi disebutkan bahwa anggota
Dewan Partai terdiri dari: Anggota-anggota Pimpinan Partai; Tiga orang utusan
Wilayah, seorang di antaranya Muslimat, yang dipilih oleh Konferensi Wilayah;
Dua orang dari setiap anggota istimewa; Tiga orang dari Fraksi Masyumi di
Dewan Perwakilan Rakyat; Dua orang dari setiap Badan Khusus.678

672
Lihat Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 505-559
673
Dari enam kali pergantian kepengurusan (tahun 1949, 1951, 1952, 1954, 1956,
dan 1959) tidak ditemukan nama Hamka di dalamnya. Lihat Syaifullah, Gerak Politik
Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Jakarta: Grafiti, 1997), h. 147-157; SU Bajasut dan
Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, (Jakarta:
Kompas, 2014), h. 479. Syaifullah mencatat pergantian kepengurusan Masyumi kedua
terjadi tahun 1951, namun Deliar Noer mencatatnya tahun 1950. Lihat Deliar Noer, Partai
Islam di Pentas Nasional, (Bandung: Mizan, 2000), h. 74-76
674
Emzita, ‚Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia‛, dalam Solichin Salam
dkk (ed), Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979),
h. 98-99
675
Emzita, ‚Seorang Ulama dan...‛, h. 99 dan 103; James R Rush, Adicerita Hamka:
Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor, (Jakarta:
Gramedia, 2017), h. 146
676
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999), h. 136.
677
Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 74-76
678
Lihat SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 430.
Kemungkinan besar Hamka masuk ke dalam Dewan Partai sebagai wakil dari
Muhammadiyah karena dia bukan anggota DPR dari Fraksi Masyumi. Hamka baru masuk
ke Konstituante setelah Pemilu 1955. Sementara dia telah menjabat anggota Dewan Partai
sebelum itu. Kemungkinan ini diperkuat pernyataan Hamka bahwa dia bersama Fakih

134
Di awal mula pembentukan Masyumi diniatkan untuk menjadi wadah
tunggal bagi perjuangan umat Islam Indonesia melalui jalur politik. Niat itu
diwujudkan melalui Kongres Umat Islam I di Yogyakarta, 7-8 November 1945.679
Meski memiliki nama yang sama dengan Masyumi yang dibentuk oleh pemerintah
Jepang, namun Masyumi hasil Kongres ini bukan merupakan singkatan dari
Majelis Syura Muslimin Indonesia. Secara lengkap nama partai ini adalah Partai
Politik Islam Indonesia Masyumi.680 Remy Madinier menduga pemilihan nama
Masyumi itu juga bertujuan memanfaatkan jaringan Masyumi buatan Jepang yang
masih aktif di berbagai daerah.681
Sebagai partai yang sejak awal mula dimaksudkan untuk menjadi satu-
satunya saluran politik Islam di Indonesia, Masyumi pun mencoba merangkul
semua kalangan umat Islam.682 Selain menerima anggota dari perorangan yang
berusia 18 tahun ke atas, Masyumi juga memiliki anggota istimewa berupa
organisasi Islam. Beberapa anggota istimewa Masyumi di antaranya:
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Ummat Islam, Persatuan
Ummat Islam Indonesia, Persatuan Islam (Persis), al-Irsyad, al-Jam’iyatul
Washliyah, al-Ittihadiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pasca

Usman dan Kasman Singodimedjo adalah perwakilan Muhammadiyah. Lihat Hamka,


Muhammadijah-Masjumi, (Jakarta: Masjarakat Islam, tt), h. 3
679
Samsuri, ‚Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi,‛ dalam
Millah, vol 1, no 1, Agustus 2001, h. 101
680
Deliar Noer mencatat, sebagian peserta kongres mengusulkan nama Partai Rakyat
Islam. Mereka menolak nama Masyumi karena dinilai identik dan mengingatkan pada
Masyumi bentukan Jepang. Namun hasil voting memenangkan nama Masyumi dengan
perolehan 52:50 suara. Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 51; Yusril Ihza
Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 62-64. Meski bukan merupakan
singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia, namun Partai Masyumi sering disebut
dengan nama panjang itu. Dalam persidangan-persidangan di Konstituante, seringkali
pimpinan dan anggota-anggotanya menyebut Masyumi sebagai Majelis Syura Muslimin
Indonesia. Bahkan Hamka sendiri juga menyebut demikian. Seperti dalam Konstituante
Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h 107.
681
Remy Madinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral,
penerjemah Tonny Pasuhuk, (Bandung: Mizan, 2013), h. 67; Masykuri Abdillah, Islam dan
Demokrasi, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), h. 33
682
Keinginan itu tercermin dalam struktur kepemimpinan Masyumi hasil Kongres
Umat Islam 7-8 November 1945 di Yogyakarta tersebut. Pada level Majelis Syura terdapat:
KH Hasyim Asy’ari (Ketua/NU), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I/Muhammadiyah),
KH Abdul Wahid Hasyim (Ketua Muda II/NU), Kasman Singodimedjo (Ketua Muda III),
dan beberapa anggotanya: Syaikh Djamil Jambek (ulama Sumatera Barat), KH Abd Wahab
(NU), H Agus Salim (Gerakan Penyadar), RHM Adnan (Persatuan Penghulu dan Pegawai),
dan KH Sanusi (Persatuan Umat Islam). Di level Pengurus Besar terdiri atas: Dr Soekiman
(Ketua/PSII), Abikoesno Tjokrosoejoso (Ketua Muda I/PSII), Wali Al-Fatah (Ketua Muda
II/Partai Islam Indonesia-PII), Harsono Tjokroaminoto (Sekretaris I/PSII), Prawoto
Mangkusasmito (Sekretaris II/Muhammadiyah). Pada Bagian Pemuda terdapat:
Mohammad Natsir (Persis), SM Kartosoewirjo (PSII), Mohammad Roem (Penyadar), KH
Faqih Utsman (Muhammadiyah), dan Anwar Tjokroaminoto (PSII). Lihat Artawijaya,
Belajar Dari Partai Masjumi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), 58-59.

135
Perjanjian Meja Bundar semakin banyak organisasi Islam di daerah-daerah yang
bergabung dengan Masyumi, seperti Mathlaul Anwar di Banten dan Nahdlatul
Wathan di Lombok. Meski demikian ada pula pergerakan Islam yang ditolak
masuk, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Lahore karena dianggap bukan bagian dari
Ahlus Sunnah wal Jamaah.683
Syafii Maarif melihat, kelahiran Masyumi bukanlah sebuah kebetulan dalam
sejarah (an historical accident), namun sebuah kemestian sejarah (an historical
necessity) perjalanan politik umat Islam Indonesia. Menurutnya, Masyumi
merupakan kelanjutan dari kesadaran politik umat Islam di zaman modern yang
berakar pada Sarekat Islam (SI), kemudian berkembang pada MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia), sebuah organisasi federatif yang didirikan di Surabaya pada 21
September 1937 untuk menyatukan pergerakan-pergerakan Islam saat itu. 684
Maarif kemudian menyimpulkan, secara ideologis ‚Masyumi adalah kelanjutan
dari MIAI, tapi kali ini mengkhususkan perjuangannya di bidang politik dalam
rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka.‛685 Selain
mewarisi ideologi SI, Masyumi juga mewarisi musuh SI, yaitu kaum komunis.
Karena itu buku Islam dan Sosialisme karya Tjokroaminoto menjadi salah satu
pegangan penting bagi kalangan Masyumi.686 Permusuhan dengan komunis ini
kemudian akan menjadi salah satu warna dominan dalam perjalanan politik
Masyumi.
Masyumi didirikan dalam suasana revolusi yang serba cepat dan mendadak.
Kekalahan Jepang melawan Sekutu, diikuti gerak cepat proklamasi kemerdekaan
Indonesia, serta kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi tentara Belanda
untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan kekuasaan Belanda atas
Indonesia. Dalam suasana yang serba cepat itulah terjadi persaingan pengaruh di

683
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 52-54, dan 59. Tentang gabungnya PUI
dan PUII ke dalam Masyumi lihat ‚Berfusi untuk Keselamatan Umat,‛ Hikmah, no 11,
tahun V, 15 Maret 1952, h. 7-8. Sementara tentang keanggotaan Masyumi lihat Sekretariat
Umum Masyumi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi Ditambah
Anggaran Dasar STII, SDII, SBII, (T.Temp: T Penerbit, Tt). Lihat juga Bajasut dan
Hakiem, Alam Pikiran, h. 427-447. Semula Masyumi didirikan oleh ormas-ormas dan
pergerakan Islam di Indonesia sehingga bersifat federatif. Namun sejak PSII dan NU keluar,
Masyumi menjadi partai politik tersendiri. Karena bukan merupakan fusi dan federasi,
maka bentuk baru hubungan Masyumi dengan ormas-ormas itu berupa ‚anggota istimewa.‛
Namun karena sering terjadinya tumpang tindih peran antara anggota istimewa dengan
gerak Masyumi, serta banyaknya anggota ormas-ormas itu yang menjadi anggota Masyumi
secara pribadi, dicarilah bentuk baru hubungan antara Masyumi dengan para anggota
istimewanya. Ketika tekanan politik terhadap Masyumi semakin kuat di era Demokrasi
Terpimpin, antara Masyumi dan para anggota istimewa tersebut bersepakat untuk membagi
tugasnya dengan melepas posisi anggota istimewa, sehingga anggota Masyumi hanya
terdiri dari perseorangan. Lihat ‚Pembagian Tugas,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 8, tahun
I, 1 Oktober 1959, h. 3
684
A Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 17
685
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 30
686
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 78

136
antara pergerakan-pergerakan kebangsaan dengan berbagai ideologinya. Beberapa
ideologi utama yang bertarung ketika itu adalah: Islam, nasionalisme sekular, dan
komunisme. Ada juga kelompok sosialis. Namun pertarungan sengit terjadi antara
ketiga aliran pertama tersebut.687 Kondisi pertarungan ideologi pada dekade 1950-
an ini disebut Taufik Abdullah sebagai ‚seakan-akan menghidupkan kembali
suasana pertengahan 1920-an dan 1930-an (a ‘decade of ideologies’ dalam sejarah
modern Indonesia), ketika berbagai corak ideologi diperkenalkan kepada
masyarakat kota yang mulai menyadari makna kolonialisme.‛688
Dalam persaingan tersebut, kelompok Islam tampak mengalami kekalahan.
Kekalahan utama terjadi pada penghapusan Piagam Jakarta di sidang PPKI 18
Agustus 1945, beberapa bulan sebelum pendirian Partai Masyumi. Dengan
demikian, salah satu alasan utama pendirian Masyumi adalah melanjutkan
perjuangan Islam di bidang politik pasca penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta
sehari setelah proklamasi.689 Kekalahan kelompok Islam berlanjut dalam Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan sementara yang dipilih oleh
presiden dengan fungsi legislasi. Dari 136 anggota KNIP, hanya 15 orang yang
dianggap sebagai mewakili kelompok Islam, dan dari 15 anggota Badan Pekerja
(BP) KNIP hanya 2 orang (A Wahid Hasyim dan Syafruddin Prawiranegara) yang
dianggap wakil Islam. Wakil Islam kemudian bertambah satu orang lagi (M Natsir)
ketika BP KNIP ditambah menjadi 17 orang, kemudian menjadi 4 orang saat M
Zein Djambek masuk menjadi anggotanya. Di pemerintahan juga hanya Abikusno
Tjokrosujoso dan A Wahid Hasyim yang masuk kabinet. Abikusno menjabat
sebagai Menteri Pekerjaan Umum, dan Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama.690
Persaingan antar kelompok ideologi itu sesungguhnya sudah terjadi jauh
sebelum kemerdekaan. Rapat-rapat BPUPK menjelang kemerdekaan dan PPKI di
saat kemerdekaan menjadi pertarungan itu. Pertarungan itu kemudian terjadi lagi
dalam sebuah majelis yang bertugas membentuk undang-undang dasar permanen
bagi Negara Republik Indonesia, Konstituante. Salah satu sebab ketegangan antar
kelompok-kelompok ideologis tersebut di awal kemerdekaan adalah keputusan
687
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 66-67. Lihat juga
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 30; Artawijaya, Belajar Dari Partai..., h. 48-51;
Rizki Lesus, Perjuangan Yang Dilupakan: Mengulas Perjuangan Umat Islam yang
Ter(di)lupakan dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2017), Khususnya
Bagian Kedua.
688
Taufik Abdullah, ‚Demokrasi Parlementer, Optimisme Yang Terabaikan‛, dalam
Tempo, Edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 36-37
689
Artawijaya, Belajar Dari Partai..., h. 54; Rizki Lesus, Perjuangan Yang
Dilupakan...,, h. 100.
690
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 49-50; Remy Madinier, Partai
Masjumi..., h. 64-66. KNIP semula dibentuk hanya sebagai lembaga penasehat presiden,
namun kemudian ‚kaum demokrat‛ dari anggota KNIP mengajukan petisi kepada presiden
untuk mengubah KNIP menjadi lembaga dengan kekuasaan legislatif. Petisi ini disetujui
Soekarno-Hatta dan pada 16 Oktober 1945 Soekarno secara resmi mengumumkan
perubahan itu. Lihat Fachry Ali, ‚Pengantar: Dinamika Sosial-Politik Indonesia Tahun
Lima Puluhan,‛ kata pengantar untuk buku Boyd R Compton, Kemelut Demokrasi
Liberal, penerjemah Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. xviii

137
PPKI untuk menetapkan PNI (Partai Nasional Indonesia) sebagai satu-satunya
partai politik di Indonesia merdeka. Partai ini biasa disebut dengan PNI Staatpartij
(partai negara). Keputusan ini ditolak oleh berbagai kelompok karena dianggap
sebagai cerminan sistem negara fasis, bukan negara demokrasi. Mereka juga
mencurigai keberadaan partai tunggal itu sebagai salah satu cara kalangan
nasionalis sekular untuk menguasai politik nasional.691 KNIP sendiri pada 22
Agustus 1945 menolak sistem partai tunggal PNI Staatpartij karena beraroma
otoriterian, dan menuntut pemberlakuan sistem multi partai.692
Merespons penolakan tersebut, Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1945
akhirnya menangguhkan PNI Staatpartij. Tiap kelompok ideologi itu pun
kemudian mendirikan partai politik menurut alirannya masing-masing, sesuai
dengan ‚Pengumuman Pemerintah pada tanggal 3 November 1945‛. Maka
muncullah PBI (Partai Buruh Indonesia) pada 15 September 1945, PKI (Partai
Komunis Indonesia) pada 21 Oktober 1945, dan PARSI (Partai Sosialis Indonesia)
pada 1 November 1945. PNI Staatpartij pun kemudian direorganisasi menjadi PNI
yang baru pada akhir Oktober 1945. Dalam suasana persaingan aliran-aliran
ideologi yang seperti inilah Masyumi didirikan sebagai partai modern yang
menawarkan solusi-solusi bagi berbagai persoalan Indonesia dengan berlandaskan
pada Islam.693 Senada dengan itu, Maarif menulis:
Bila dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi adalah
dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai cermin dari potensi mereka
yang sangat besar dan konkret. Menurut pengamatan pada masa itu, suatu massa
konkret tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam akan mudah jatuh ke
tangan mereka yang sudah sejak semula menentang implementasi syariat dalam
kehidupan bernegara pada pasca kemerdekaan Indonesia. 694
Meski diniatkan sebagai satu-satunya wadah saluran politik Islam di
Indonesia, namun tujuan itu tidak bisa terwujud dengan keluarnya beberapa
pergerakan Islam dari Masyumi. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) keluar pada
tahun 1947 dan menjadi partai sendiri setelah Masyumi menolak masuk dalam
kabinet Amir Syarifuddin. PSII pun ikut serta dalam kabinet tersebut dengan
mengirim 4 kadernya sebagai menteri. Sebelum itu Perti (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah) juga enggan masuk ke dalam Masyumi. Posisi Masyumi sebagai satu-
satunya wadah perjuangan politik Islam semakin pudar setelah NU keluar pada
tahun 1952.695

691
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 49; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme
dan Fundamentalisme..., h. 67-68
692
Fachry Ali, ‚Pengantar: Dinamika Sosial-Politik...‛, h. xvii
693
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 68-70
694
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstituante, (Bandung: Mizan, 2017), h. 151
695
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 58. Ada beberapa alasan kenapa Perti
enggan bergabung dengan Masyumi dan memilih menjadi partai sendiri. Yaitu: Pertama,
merasa tidak cocok karena melihat Masyumi didominasi kalangan modernis. Kedua,
Mereka melihat urgensi politik dalam mempertahankan paham keagamaannya, dan itu lebih
mudah dilakukan dengan mengubah organisasinya menjadi partai politik tersendiri daripada
bergabung dalam Masyumi. Ketiga, ambisi beberapa pimpinan Perti untuk berperan dalam

138
Keputusan keluar dari Masyumi bermula dari rapat Pengurus Besar NU di
Surabaya 5 April 1952. Kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU di Palembang
akhir April 1952. Dalam muktamar ini juga dibentuk panitia yang bertugas
berunding dengan pimpinan Masyumi untuk membuat kesepakatan tentang
mekanisme pemisahan diri tersebut. Secara resmi NU memisahkan diri pada 31 Juli
1952 melalui penarikan anggota NU dari kepengurusan Masyumi, kemudian
dilanjutkan dengan penarikan kader NU di DPR dan membentuk fraksi tersendiri
lepas dari Masyumi pada 17 September. Sementara persoalan keanggotaan ganda
NU dan Masyumi disepakati diselesaikan paling lambat pada 31 Oktober 1952.696
Beberapa sebab NU keluar dari Masyumi adalah: Pertama, perubahan AD-
ART Masyumi pada kongres di Yogyakarta akhir tahun 1949, yang memposisikan
Majelis Syura hanya sebagai badan penasehat saja, bukan badan legislatif lagi
seperti sebelumnya. Kalangan NU menganggap perubahan itu telah mengubah
Masyumi dari partai yang memberi tempat terhormat kepada ulama menjadi tidak
menghormatinya. Kedua, Persoalan dengan wakil ketua Masyumi, Sukiman.
Pimpinan NU merasa tidak puas dengan kebijakan partai yang dinilai turut
menyebabkan kabinet Sukiman jatuh. KH Wahab Hasbullah terus memperjuangkan
agar Sukiman kembali menjadi perdana menteri atau wakil perdana menteri pada
kabinet yang akan dibentuk oleh Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sidik
Djojosukarto dari PNI, serta kabinet yang dibentuk oleh Wilopo (PNI) dan
Prawoto, setelah Prawoto dan Sidik gagal membentuk kabinet.697 Pada
pembentukan kabinet ini KH Wahab kembali kecewa pada kebijakan partainya.

kancah politik nasional. Lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 78-79; A Syafii
Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 150-151. Ketegangan antara Perti dengan kaum reformis
dalam Masyumi terus berlanjut dalam beberapa momen politik. Seperti saat Natsir menjadi
ketua formatur untuk membentuk kabinet. Natsir tidak mengikutsertakan PKI, PNI, dan
Perti. Untuk PKI karena pertimbangan ideologis. Sementara PNI karena tidak terjadi
kesepakatan jatah kursi. PNI minta kursi menteri sama dengan jatah Masyumi. Sementara
Perti tidak dihubungi Natsir untuk bergabung dalam kabinetnya. Karena itu Perti bersikap
kritis dan skeptis terhadap program-program kabinet Natsir. Bahkan Perti menganggap
Natsir lebih suka bekerjasama dengan pihak Kristen daripada dengan kawan yang seagama.
Lihat Alaiddin Koto, Pemikiran Politik Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) 45-70,
(Jakarta: Nimas Multima, 1997), h. 184-185. Sementara untuk PSII, selain alasan di atas,
Noer juga mengungungkapkan alasan lain. Menurutnya beberapa pimpinan PSII juga tidak
setuju dengan sikap beberapa pimpinan Masyumi seperti M Natsir dan M Roem yang
mereka anggap bersikap lunak dan kompromistis terhadap Belanda. Selain juga karena
desakan dari berbagai pengurus daerah agar PSII berdiri sendiri sebagai partai politik. Lihat
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 81-82.
696
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, penerjemah Farida
Wajidi & Mulni Adelina B, (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. 126-133.
697
Majalah Hikmah menulis, kegagalan formatur Sidik-Prawoto disebabkan oleh
ketidaksepakatan dalam pembagian kursi kabinet. Hikmah menyebut Sidik hanya
memperjuangkan kepentingan partainya dan melihat Prawoto sebagai lawan yang harus
diawasi. Bukan sebagai kawan koalisi. Sidik juga berupaya memecah belah Masyumi
dengan terus menerus mengungkit faksi-faksi dalam partai Islam itu. Ini berbeda dengan
Wilopo yang berkeinginan untuk mencari jalan tengah di antara kepentingan partai-partai

139
Faktor ketiga pemisahan NU dari Masyumi terkait dengan posisi menteri
agama. KH Wahab pada 20 Maret 1952 mengirim surat berisi ultimatum kepada
pimpinan Masyumi untuk memberikan kursi kementerian itu kepada wakil NU.
Surat ini diperkuat oleh surat Majelis Pertimbangan Politik (MPP) NU di tanggal
yang sama. Pada 23 Maret digelar rapat pimpinan Masyumi membahas hal itu.
Namun KH Wahab merasa tidak puas atas keputusan rapat yang dianggapnya tidak
tegas memberikan kursi menteri agama kepada organisasinya. KH Wahab
kemudian mendatangi Wilopo untuk menyampaikan keinginannya itu. Dia juga
memberitahu Wilopo bahwa NU akan keluar dari Masyumi jika tuntutannya tidak
dipenuhi. Atas sikap KH Wahab ini pimpinan Masyumi pun kemudian melakukan
rapat dan memutuskan memilih KH Fakih Usman dari Muhammadiyah untuk
duduk di kursi menteri agama dalam kabinet Wilopo. Padahal pada rapat pimpinan
Masyumi tanggal 19 dan 23 Maret yang juga dihadiri KH Wahab dihasilkan
kesepakatan untuk menyerahkan nama-nama calon menteri kepada formatur untuk
dipilih. 698 Keputusan ini diambil mengingat bukan hanya NU yang menuntut kursi
menteri agama. Muhammadiyah, Jamiyatul Washliyah, dan beberapa anggota
perseorangan juga menuntut hal serupa.699

yang ada. Lihat ‚Dari Prawoto-Sidik ke Wilopo,‛ Hikmah, no 13, tahun V, 29 Maret 1952,
h. 6-7. Majalah mingguan yang diterbitkan tokoh-tokoh Masyumi itu juga memuji susunan
kabinet yang diajukan Wilopo yang dianggapnya ‚mengandung harapan baik‛ karena
‚mendekati keinginan Presiden dan harapan orang banyak.‛ Lihat ‚Sekitar Pembentukan
Kabinet,‛ Hikmah, no 14, tahun V, 5 April 1952, h. 6-7.
Menurut Fealy, di dalam Masyumi terdapat dua kubu yang saling bersaing: kubu
Sukiman dan tokoh-tokoh senior Jawa semisal Jusuf Wibisono, Mr Samsudin, Abu
Hanifah, dan Wali Alfatah. Mereka ini dekat dengan NU, Soekarno, dan PNI. Di sisi lain
terdapat kubu Natsir dan para modernis muda. Mereka kebanyakan berasal dari luar Jawa
(Sumatera). Kubu ini lebih dekat kepada PSI. NU lebih menyukai kubu Sukiman karena
dianggap lebih luwes dan bisa mengakomodasi kepentingannya. Lihat Greg Fealy, Ijtihad
Politik Ulama..., h. 95-96
698
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 86-96. Susunan Kabinet Wilopo sebagai
berikut: 1. Perdana Menteri: Wilopo (PNI); 2. Wakil PM: Prawoto Mangkusasmito
(Masyumi); 3. Menteri Luar Negeri: Mukarto (PNI); 4. Menteri Dalam Negeri: Moh Roem
(Masyumi); 5. Menteri Pertahanan: Sultan Jogja (Non Partai); 6. Menteri Perdagangan &
Perindustrian: Sumanang (PNI); 7. Menteri Keuangan: Sumitro Djojohadikusumo (PSI); 8.
Menteri Kehakiman: Lukman Wiriadinata (PSI); 9. Menteri Agama: Fakih Usman
(Masyumi); 10. Menteri Pertanian: Sardjan (Masyumi); 11. Menteri PP dan K: Bahder
Djohan (Non Partai); 12. Menteri Kesehatan: J Leimana (Parkindo); 13. Menteri Urusan
Pegawai: RP Suroso (Parindra); 14. Menteri Perburuhan: Tedjasukmana (Partai Buruh); 15.
Menteri Perhubungan: Djuanda (Non Partai); 16. Menteri Sosial: Anwar Tjokroaminoto
(PSII); 17. Menteri Pekerjaan Umum: Suwarto (Partai Katolik); 18. Menteri Penerangan: A
Mononutu (PNI). Lihat ‚Sekitar Pembentukan Kabinet,‛ Hikmah, no 14, tahun V, 5 April
1952, h. 6.
699
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 134. Majalah
Hikmah yang diterbitkan tokoh-tokoh Masyumi menyebutkan, jika NU sebagai anggota
istimewa Masyumi meminta jatah kursi dalam kabinet (Menteri Agama) maka setiap
anggota istimewa Masyumi lainnya seperti Al-Washliyah, PUI, dan PUII juga harus
mendapatkan jatah juga. Ini merupakan hal yang tidak mungkin. Hikmah juga menyebut

140
Hamka termasuk pihak yang tidak setuju dengan tuntutan dan langkah KH
Wahab tersebut. Menurutnya persoalan kursi menteri adalah urusan partai, bukan
urusan organisasi anggota istimewa. Keinginan organisasi anggota istimewa
seharusnya disalurkan melalui partai, bukan bertindak sendiri-sendiri tanpa
koordinasi. Hamka juga menyatakan sebaiknya NU melepaskan tuntutannya atas
posisi menteri agama karena telah tiga kali berturut-turut jabatan itu dipegang
kader NU. ‚Hendaknya digantikan dengan Muhammadiyah, karena dapat
menimbulkan semangat dan gairah baru dalam kementerian,‛ kata Hamka.700
Persoalan Kementerian Agama ini menjadi sorotan tajam di internal
Masyumi. Selain dominasi NU atas kursi menteri di kementerian tersebut, sorotan
juga tertuju pada beberapa kesalahan tata kelola seperti tentang kasus korupsi dan
kegagalan jamaah haji berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1951. Pada tahun 1951
Kementerian Agama menyewa kapal-kapal non-Belanda untuk memberangkatkan
jamaah haji, namun kemudian batal sehingga jamaah haji gagal berangkat. Meski
Wahid Hasyim selaku Menteri Agama saat itu diyakini tidak terlibat dalam
korupsi di lembaganya, namun bagaimanapun juga dia punya tanggung jawab atas
hal tersebut.701 Kementerian Agama juga disoroti karena lebih banyak

bahwa pemisahan diri NU hanyalah terkait dengan persoalan insidentil berupa posisi
menteri agama. Persoalan ini ternyata ditiupkan oleh sebagian kalangan untuk memecah
belah persatuan umat. Manurut Hikmah, pemisahan NU itu telah membuat umat bingung
dan terpecah. Namun Hikmah juga melihat, sesungguhnya bukan umat tidak terpecah
belah., justru para pemimpinnya lah yang menjadi sebab dari perpecahan itu. Lihat
‚Nahdlatul Ulama dan Masjumi,‛ Hikmah, no 15-16, tahun V, 16 April 1952, h. 7. Ada dua
orang tokoh yang dianggap mempercepat pemisahan diri NU dari Masyumi: KH Wahab
Hasbullah dan M Natsir. Greg Fealy menilai keduanya sebagai orang yang berpendirian
keras dan tidak mau berkompromi demi mencegah terjadinya perpecahan. Natsir dianggap
Fealy telah bersikap keras tidak mau menyerahkan posisi Menag kepada NU. Sementara
KH Wahab dengan kekuasaannya yang besar di NU dan kelihaian politiknya bersikeras
menuntut jabatan itu untuk NU. Meski demikian Fealy tetap menganggap KH Wahab
bukan faktor utama perpisahan itu mengingat semangat anti Masyumi telah merebak di
arus bawah NU akibat perasaan terpinggirkan dalam Masyumi. Greg Fealy, Ijtihad Politik
Ulama..., h. 132-133.
700
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h.. 236. Sebenarnya banyak pihak
meminta NU untuk tidak berpisah dari Masyumi. Salah satunya datang dari wakil GPII
(Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yang hadir dalam Muktamar NU dan diberi kesempatan
berbicara di forum tersebut. Wakil GPII itu menyatakan, ‚Janganlah hendaknya kurang
puas atau kecewa terhadap padi, yang diganggu dalam lumbung oleh orang-orang atau
tikus-tikus luaran, lantas lumbung dan padi dibakar habis-habisan.‛ Namun kehadiran
tokoh Masyumi Sukiman dalam Muktamar tersebut disebut malah memperkuat hasrat
perpisahan itu. Atas kehadiran Sukiman itu majalah Hikmah yang dekat dengan Natsir dkk
menulis, meski tidak memberikan pernyataan sedikit pun saat pada muktamar tersebut,
namun kehadiran Sukiman turut memberikan dukungan moral kepada PB NU untuk
meminta persetujuan muktamirin agar pisah dari Masyumi. Lihat ‚Nahdlatul Ulama
Memisahkan Diri,‛ Hikmah, no 19, tahun V, 10 Mei 1952, h. 6-7
701
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 100. Lihat catatan kaki no 19; Lihat juga
Abdul Razak, ‚Apakah Sukarno Berperan Dalam Perpecahan Masyumi,‛ Al-Muslimun, No.
335, Tahun XXVIII (Pebruari 1998), h. 51

141
dimanfaatkan untuk kelompok sendiri daripada kepentingan umat secara umum.
Bukan hanya internal Masyumi, pihak luar pun menyoroti permasalahan-
permasalahan tersebut, hingga Partai PIR (Persatuan Indonesia Raya) mengajukan
tuntutan pembubaran Kementerian Agama.702
Persoalan kursi Menteri Agama dilihat Noer sebagai faktor yang secara
langsung membuat NU menarik diri dari Masyumi. Noer juga melihat pemisahan
diri itu merupakan puncak dari ketidakserasian hubungan antara berbagai elemen
dalam Masyumi, khususnya antara kalangan santri pesantren (NU) dengan lulusan
sekolah-sekolah Belanda.703 Senada dengan itu Maarif juga melihat potensi
perpecahan NU dari Masyumi sebenarnya telah tertanam sejak lama, yaitu ketika
struktur partai berubah dengan memposisikan Majelis Syura sekedar sebagai
dewan penasehat. Sementara kursi menteri agama hanyalah faktor yang
mempercepat proses perceraian itu.704
Perpecahan itu membuat Hamka prihatin. Menurutnya, perpecahan itu
merupakan ‚puncak percobaan Tuhan‛ yang diberikan dalam perjuangan
menegakkan kalimat-Nya.705 Dalam hal ini Hamka melihat adanya campur tangan
lawan-lawan politik dalam perpisahan NU dari Masyumi. Pihak yang dituduh
Hamka adalah PNI dan PKI, mengingat partai-partai ini merupakan pihak yang
paling berkepentingan mengalahkan Masyumi dalam Pemilihan Umum. ‚Partai-
partai yang berkuasa itu, utamanya PNI, insyaf bahwa kekuatan mereka tidak besar
pada massa‛, ujarnya. Lebih lanjut dinyatakannya:
PNI sangat berbesar hati karena perpecahan lawan politiknya itu. Niscaya NU
didekati oleh PNI. Almarhum Siddik Djojosukarto mendapat penghargaan besar dari
partainya, karena PNI memandang bahwasanya tangan almarhum Siddik amat
banyak menolong lekasnya perpecahan itu.
Dalam pada itu PKI pun bekerja keras pula, menuduh bahwa Masyumi itu adalah
berhubungan rapat dengan DI-TII. Dan NU dipuji-puji, dikatakan lebih progresif
daripada golongan Islam yang lain.706

702
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 101. Lihat catatan kaki No 22. Fealy
mencatat, di tahun 1950-an NU merupakan ‚partai yang paling banyak dikotori skandal
korupsi setelah PNI‛. Bukan hanya soal kegagalan pemberangkatan haji, banyak tokoh-
tokoh NU yang juga disebut-sebut terlibat dalam korupsi dan pemanfaatan jabatan. Fealy
menyebut beberapa tokoh NU yang sempat terseret kasus tersebut: Zainul Arifin saat
menjadi pembantu Perdana Menteri, Djamaluddin Malik di masa Kabinet Ali kedua,
Kafrawi ketika menjabat Sekjen Kementerian Agama, Tan Eng Hong (anggota Fraksi NU
di DPR), Masykur dan M Dachlan dalam kasus Bank Masjarakat, Idham Chalid dan
Mohammad Ilyas dalam kasus jual beli tekstil, Wahib Wahab dalam kasus mata uang asing,
dan Wahab Chasbullah yang dituduh menekan Menteri Bidang Ekonomi Burhanuddin (NU)
untuk menyetujui pengambilalihan PT Sri Gula dari CV Nivas. Selain korupsi, skandal
pemanfaatan jabatan/pengaruh dan salah manajemen juga meluas melibatkan tokoh-tokoh
dan lembaga NU. Lihat Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h. 244-255
703
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 86-96
704
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 159-164
705
Emzita, ‚Seorang Ulama dan...‛, h. 100
706
Hamka, ‚Undang-undang Dasar Islam dan Tjita-tjita Islam,‛ dalam Hikmah, no
10, tahun IX, 17 Maret 1956, h. 9

142
Tentu saja, ungkap Hamka, hal itu akan membuat Masyumi tidak leluasa lagi
menentang lawan-lawan politiknya karena ‚ada kawan kita sendiri yang diletakkan
orang di front muka‛. Hamka menyebut NU dan PSII sebagai kawan sendiri karena
keduanya tidak memiliki perbedaan ideologis dengan Masyumi. Meski demikian,
Hamka tetap mengajak anggota-anggota Masyumi untuk tetap tegar
menghadapinya laksana walau terasa seperti menelan ‚pil kinini yang terkupas
gulanya‛. Hamka juga mengajak untuk memperkuat iman dan tetap yakin akan
merebut kemenangan.707
Tuduhan Hamka terhadap pihak lain terlibat dalam perpecahan Masyumi itu
juga dilihat oleh Fealy. Di sini Fealy menilai adanya peran Soekarno atas keluarnya
NU dari partai tersebut. Indikasinya, pada 29 Pebruari 1952 KH Wahab bertemu
dengan Soekarno di Istana Kepresidenan. Meski saat itu KH Wahab menyatakan
bahwa pertemuan tersebut tidak membahas persoalan politik, namun Fealy
mendapat informasi bahwa belakangan KH Wahab mengaku kepada keponakannya
jika saat itu dia memang membahas politik dengan Soekarno.708 Meski demikian,
Razak menilai peran yang dimainkan Soekarno tersebut bersifat tidak langsung.
Dia hanya memanfaatkan kondisi konflik yang ada di Masyumi untuk
kepentingannya.709
Sebagai wakil Muhammadiyah di Masyumi Hamka memiliki peran penting
menjaga persyarikatannya tetap berada dalam Masyumi. Menurut Syaifullah
hubungan Muhammadiyah-Masyumi mengalami dinamika dalam tiga tahap, yaitu:
hubungan mesra yang berlangsung dari 1945 hingga 1955; hubungan renggang
pada tahun 1956-1959; akhir hubungan antara keduanya pada 8 September 1959.710
Meski menyebut periode 1956-1959 sebagai tahap kerenggangan hubungan antara
Muhammadiyah dan Masyumi, namun Muhammadiyah tidak pernah lepas dari
posisinya sebagai anggota istimewa Masyumi. Sesungguhnya yang terjadi di
periode ini adalah munculnya aspirasi dari beberapa kalangan di internal
Muhammadiyah yang mempertanyakan relevansi dan urgensi Muhammadiyah
tetap dalam Masyumi. Aspirasi ini mengemuka dalam sidang tanwir
Muhammadiyah tahun 1956 di Kaliurang, Yogyakarta.
Syaifullah mencatat setidaknya ada empat corak aspirasi yang mengemuka
saat itu. Pertama, mereka yang menghendaki Muhammadiyah keluar dari Masyumi
dan menjadi partai politik sendiri. Kedua, mereka yang menghendaki
Muhammadiyah keluar dari Masyumi dan fokus sebagai gerakan dakwah.
Sementara jalur politik biar dimasuki kader-kader Muhammadiyah sebagai
personal, bukan secara intitusional. Ketiga, mirip dengan aspirasi pertama di mana
Muhammadiyah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri, lalu
bersama-sama dengan partai Islam yang lain (seperti NU dan PSII) membentuk
federasi. Keempat, aspirasi yang menginginkan Muhammadiyah sebagai bagian
dari Masyumi.711
707
Emzita, ‚Seorang Ulama dan...‛, h. 100
708
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama..., h 104. Lihat catatan kaki no 26
709
Abdul Razak, ‚Apakah Sukarno Berperan...‛, h. 52
710
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 190.
711
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 190-198

143
Tanwir pun membentuk tim perumus yang terdiri dari empat orang, yaitu:
AR Fachruddin, M Junan Nasution, HA Malik Ahmad, dan Hamka. Tim Perumus
kemudian memutuskan dua hal: satu, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah,
berjalan menurut khittahnya, sedang yang berkenaan dengan politik praktis
disalurkan dan diatur bersama Masyumi, dan anggota-anggota Muhammadiyah
yang berkeinginan berjuang di lapangan politik secara langsung dianjurkan untuk
masuk Masyumi; dua, menerima secara aklamasi hasil musyawarah PP
Muhammadiyah dengan PP Masyumi beberapa hari sebelum sidang tanwir 1956.
Dalam musyawarah ini kedua Pimpinan Pusat sepakat untuk menghapus
keanggotaan istimewa ormas di Masyumi karena dinilai tidak wajar, di mana pada
prakteknya posisi anggota istimewa ternyata menjadi sejajar dengan anggota
perorangan. Malik Ahmad pun mengusulkan istilah ‚anggota teras‛ sebagai ganti
anggota istimewa bagi ormas anggota Masyumi.712
Namun hingga pelepasan ormas-ormas anggota Masyumi dari posisi anggota
istimewa pada tanggal 8 September 1959, belum ada keputusan akhir tentang
bentuk baru hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi. Pelepasan anggota
istimewa itu sendiri didasari oleh realitas politik di mana saat itu Masyumi dalam
posisi terjepit akibat peristiwa PRRI, dan dengan pertimbangan penyelamatan
organisasi, khususnya anggota-anggota istimewa Masyumi.713 Dengan demikian,
meski sempat muncul aspirasi dari sebagian anggota Muhammadiyah untuk
memisahkan diri dari Masyumi, namun hingga setahun sebelum partai Islam itu
dibubarkan Soekarno, Muhammadiyah tetap menjadi bagian dari Masyumi.
Dari empat aspirasi tersebut, Hamka sendiri termasuk dalam kelompok yang
menginginkan hubungan Muhammadiyah-Masyumi tetap seperti sedia kala sebagai
anggota istimewa, sepanjang belum ada ketentuan lainnya, seperti jika Masyumi
menghapuskan keanggotaan istimewa.714 Dalam pidatonya di sidang Tanwir tahun
1956, Hamka mengibaratkan hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi bagaikan
‚kuku dengan daging‛ yang tidak terpisahkan.715 Menurutnya, Muhammadiyah dan
Masyumi memiliki tujuan yang satu, yaitu ‚berdirinya agama Islam dan
terwujudnya masyarakat Islam‛. Hanya saja bidang memulainya berbeda,
‚Masyumi dalam lapangan politik, dan Muhammadiyah dalam lapangan
pembangunan amal! Masyumi mencapai kekuasaan Islam, Muhammadiyah mengisi
kekuasaan itu.‛716
Munculnya keinginan agar Muhammadiyah lepas dari Masyumi dan menjadi
partai politik dinilai Hamka merupakan provokasi lawan-lawan politik Masyumi
karena mereka mengetahui kekuatan Muhammadiyah dalam menopang partai
Islam itu.717 Meski sempat mempengaruhi beberapa pengurus, namun Hamka
bersyukur Muhammadiyah masih memiliki pimpinan yang berwawasan luas dan
bervisi ke depan hingga tidak terpengaruh oleh provokasi tersebut. Hamka pun
712
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 204-205
713
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 221
714
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah..., h. 201.
715
Hamka, Muhammadijah-Masjumi, (Jakarta: Masjarakat Islam, tt), h. 9
716
Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 8
717
Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 3-5

144
mengingatkan bagaimana upaya keras Muhammadiyah untuk membentuk
Masyumi di perguruan Muhammadiyah Yogyakarta dulu, dan antara keduanya
memiliki ideologi yang sama.718
Hamka menegaskan, pemisahan Muhammadiyah dari Masyumi dan menjadi
partai politik sendiri justru akan membuat perpecahan di kalangan umat dan
Muhammadiyah akan diadu-domba dengan kelompok Islam lain. Hal ini akan
semakin menjauhkan umat Islam dari cita-citanya. ‚Dan Masyumi? Porak
porandalah partai yang telah didirikan dengan darah dan air mata itu. Karena kalau
Muhammadiyah telah mulai keluar, yang lain pun akan mengikut, maka pecahlah
gabungan yang telah didirikan dahulu itu. Kalau akan bersatu juga, bukan lagi
persatuan cita-cita, tetapi karena kepentingan!,‛ ujarnya.719
Isu lain yang mengemuka dalam hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi
adalah keterlibatan anggota Muhammadiyah (secara individual) dalam Kabinet
Karya yang ditentang Masyumi. Keikutsertaan Moelyadi Djoyomartono sebagai
Menteri Sosial dalam Kabinet Karya mengundang kritikan Hamka. Ia menganggap
kader Muhammadiyah tersebut telah mengusik soliditas dan memunculkan
keretakan dalam tubuh persyarikatan. Bukan hanya Moelyadi, kritikan Hamka juga
ditujukan kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya yang mendukung keputusan
Moelyadi tersebut. Dalam artikelnya di Harian Abadi Hamka menyebut adanya
dua golongan dalam Muhammadiyah: golongan istana dan golongan hutan. Hamka
menyebut mereka sebagai ‚golongan istana‛ yang ada di dalam Muhammadiyah.
Golongan ini disebutnya hendak membawa Muhammadiyah ke dalam lingkaran
kekuasaan. Di antara golongan ini adalah KH Farid Ma’ruf, salah satu anggota PP
Muhammadiyah.
Tak pelak kritik tajam Hamka tersebut semakin memanaskan suasana
internal persyarikatan, yang memang sejak semula mayoritas warga
Muhammadiyah sejalan dengan sikap Masyumi menolak campur tangan Presiden
dalam membentuk kabinet.720 Sikap Hamka tersebut didasari oleh kekhawatiran
bahwa Muhammadiyah dan dakwah Islam secara umum akan limbung di ketiak
penguasa. Apalagi Hamka melihat keakraban Bung Karno dengan kalangan
komunis.721
B. Perjuangan Hamka di Konstituante
1. Perdebatan tentang Islam dan Pancasila di Konstituante
Persoalan dasar negara Indonesia menjadi diskusi hangat di antara para
pendiri bangsa dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK). Sebagian anggota BPUPK menghendaki agar Indonesia merdeka
berdasarkan Islam, namun sebagian yang lain menghendaki sebuah negara yang

718
Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 6-8
719
Hamka, Muhammadijah-Masjumi, h. 8-9
720
Djarnawi Hadikusuma, ‚Buya Genius Hamka,‛ dalam Salam (ed), Kenang-
kenangan 70 Tahun..., h. 32; Yusuf Maulana, Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat,
(Yogyakarta: Pro-U Media, 2018), 253-254
721
Djarnawi Hadikusuma, ‚Buya Genius Hamka‛, h. 253-254; Yusuf Maulana, Buya
Hamka: Ulama..., h. 256

145
berdasarkan kebangsaan tanpa terkait dengan ideologi agama tertentu.722 Pada 22
Juni 1945 kompromi kedua kubu tersebut menghasilkan rumusan Piagam Jakarta
dengan sila pertama yang berbunyi: ‚Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariatError! Reference source not found. Islam bagi pemeluk-pemeluknya.‛723
Tetapi sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang pembahasan Undang-undang Dasar
(UUD) memutuskan untuk mengubah beberapa hal, di antaranya perubahan sila
pertama Piagam Jakarta dari ‚Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛ menjadi ‚Ketuhanan Yang Maha Esa.‛ Dalam
pidatonya selaku pimpinan PPKI Soekarno menyatakan bahwa UUD yang dibuat
itu adalah UUD sementara, UUD kilat, atau revolutie grondwet karena dibuat
dalam suasana darurat. Nanti, ujar Soekarno, ketika negara dalam keadaan lebih
tenteram akan dibuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.724
Janji untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna tersebut
terwujud pada tahun 1956 dengan terbentuknya Konstituante sebagai badan
pembentuk UUD. Konstituante sendiri dihasilkan dari pemilihan umum tanggal 15
Desember 1955 di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap dari Partai
Masyumi. Adnan Buyung Nasution mencatat, masa kampanye yang lama, sekitar
12 hingga 17 bulan antara waktu pendaftaran dan saat pemilihan, telah
mengakibatkan polarisasi ideologis antara partai-partai politik Islam dan non-Islam
makin mengeras. Polarisasi ini kemudian berlanjut dalam Konstituante. Secara
resmi anggota Konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956 oleh
Presiden Soekarno. 725
Pada Pemilihan Umum tahun 1955 itu Hamka maju sebagai calon anggota
Konstituante dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Menurut Rusydi Hamka, semula
Hamka menolak mencalonkan diri, namun Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah saat itu, AR Sutan Mansur, mengirimkan telegram kepadanya
agar bersedia untuk maju, ketika itu Hamka sedang mengajar di Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Hamka pun bersedia maju sebagai calon
anggota Konstituante dengan tujuan mengumpulkan suara.726 Hamka maju dari
wilayah Jawa Tengah, karena daerah ini merupakan daerah basis dari lawan-lawan
politik Masyumi seperti NU, PKI, dan PNI. Di sini Hamka ingin meraup suara
dengan memanfaatkan popularitasnya sebagai mubaligh dan penulis. Pilihan
Hamka tepat. Popularitas mengantarkannya menjadi anggota Konstituante.
Semula ada tiga rancangan dasar negara yang diajukan tiga kelompok di
Konstituante: Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. Dasar negara Islam diusung

722
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta:
Rajawali,1986), h. 3
723
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 29-48
724
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 49-52
725
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti, 2001), h. 29-30;
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 74
726
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Noura, 2016), h. 8.

146
oleh partai Masyumi (112 anggota), Nahdlatul Ulama (NU, 91 anggota), PSII (16
anggota), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti, 7 anggota), dan empat partai kecil
lainnya sehingga total 230 orang. Sementara Pancasila didukung PNI (116
anggota), PKI termasuk fraksi Republik Proklamasi (80 anggota), Partai
KristenError! Reference source not found. Indonesia (Parkindo, 16), Partai Katolik
(10), Partai Sosialis Indonesia (PSI, 10), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI, 8), dan partai-partai kecil lainnya dengan total pendukung sejumlah 273
orang. Sedangkan dasar negara sosial-ekonomi diusulkan partai Murba (5 orang)
dan partai Buruh (4 orang). Namun kemudian usulan terakhir ini tidak dibahas
sehingga polarisasi mengerucut ke kelompok pendukung dasar negara Islam dan
kelompok yang mendukung dasar negara Pancasila.727
Di bulan-bulan terakhir tahun 1957 pembahasan tentang dasar negara
tersebut dilakukan dengan debat yang panas dan cenderung mengarah ke
perpecahan. Masing-masing pengusul mengajukan argumennya secara ideologis
dan mutlak-mutlakan sehingga pada 6 Desember 1957 pembahasan tentang dasar
negara ini ditangguhkan. Sidang Pleno kemudian menugaskan Panitia Persiapan
KonstitusiError! Reference source not found. untuk mempersiapkan sebuah rumusan
yang bisa diterima semua pihak. Pemerintah menganggap pertentangan ideologis
antar kelompok ini sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional, namun
Konstituante menganggapnya sebagai bagian dari proses demokrasi. 728
Hamka termasuk anggota yang aktif terlibat dalam berbagai perdebatan di
Konstituante, khususnya terkait dengan ideologi negara. Sebagai bagian dari
kelompok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia, isi
pidato Hamka lebih banyak menekankan keunggulan Islam dibanding Pancasila.
Dalam pidato pada Sidang III, Rapat ke 72 (lanjutan), Kamis 28 November 1957,
Hamka membantah argumen kelompok pendukung Pancasila yang menyatakan
bahwa ‚Proklamasi 17 Agustus‛ didasarkan pada semangat Pancasila. Menurutnya,
bukan Pancasila yang melandasi proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi ‚semangat
merdeka, semangat tidak mau dijajah lagi‛-lah dasar dari proklamasi tersebut.
Hamka pun menegaskan bahwa semangat tidak bersedia dijajah itu dijiwai oleh
ajaran agama, dalam hal ini adalah agama Islam.729

727
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 85-86; Ahmad Syafii
Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam
Konstituante, (Bandung: Mizan, 2017), h. 170. Menurut Adnan Buyung Nasution,
Pancasila didukung 274 orang dari 24 partai dan pribadi. Sementara dasar negara Islam
didukung 8 partai dan pribadi yang berjumlah 230 orang, dan sosial-ekonomi didukung 10
orang dengan rincian 5 orang dari partai Buruh, 4 partai Murba dan 1 dari Acoma. Lihat
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-
Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti, 2001), h. 32-33.
728
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional, h. 40-42
729
Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid
VII, h. 108-109. Pidato Hamka tentang dasar negara di Konstituante kemudian dimuat
dalam sebuah buku kumpulan pidato tokoh-tokoh Masyumi di Konstituante yang dieditori
Yusran R berjudul Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2001). Buku ini memuat dua tulisan Hamka, yaitu ‚Islam Sebagai Dasar

147
Untuk memperkuat pernyataannya ini Hamka merujuk kepada sejarah
perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Barat di seantero Nusantara. Pangeran
Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar Djohan Pahlawan,
Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Maulanan Hasanuddin Banten, Sultan
Khairun dan Babullah, Raja Aji, hingga Iskandar Muda Mahkota Alam dari Aceh
disebut Hamka dalam pidatonya. Hamka juga menyebut tokoh perjuangan modern
semisal HOS Tjokroaminoto. Menurutnya, semua pahlawan tersebut bergerak
melawan penjajahan karena dasar agama. Pernyataan Hamka ini merupakan
bantahan terhadap pidato pihak sebelah yang menyebutkan bahwa keinginan
mengganti Pancasila dengan dasar lain sebagai sebuah pengkhiatan terhadap arwah
para pemimpin di masa lalu. Perujukan kepada perjuangan para pahlawan tersebut
menjadi pernyataan tegas Hamka bahwa aspirasi membangun Indonesia di atas
dasar Islam bukan sebuah pengkhiatan. Sebaliknya, aspirasi itu justru memiliki
landasan historis yang kokoh. 730
Hamka juga berupaya menepis kekhawatiran sebagian kalangan tentang
bayangan negara berdasar Islam akan menjadi seperti Pakistan atau Arab Saudi.
Juga menepis kekhawatiran kalangan minoritas tentang diskriminasi yang bakal
mereka alami jika Indonesia berdasar Islam.731 Di bagian penutup pidatonya
Hamka mengkhawatirkan dua hal. Pertama, Pancasila yang sekular akan
melahirkan berbagai rentetan keraguan hidup bagi umat beragama. Di sini Hamka
memberikan contoh berbagai perilaku dari mereka yang mengaku sebagai
pendukung Pancasila, seperti ritual bertafakkur di makam Semaki, menyampaikan
hajat dan permohonan kepada penghuni makam sembari membakar obor tepat
tengah malam. Setelah itu obor dibawa ke Kalibata, dan mengheningkan cipta di
sana. Bahkan ada pula yang mengangkat Soekarno sebagai nabi yang menerima
wahyu berupa Pancasila.732
Kekhawatiran kedua berkaitan dengan dukungan kaum komunis terhadap
Pancasila. Hamka mencurigai dukungan tersebut karena sejak awal mula
komunisme itu paham yang anti Tuhan. 733 Kecurigaan terhadap dukungan kaum

Negara‛ dan ‚Urat Tunggang Pancasila.‛ Namun tulisan yang benar-benar berasal dari
pidato Hamka di Konstituante hanya yang berjudul ‚Islam Sebagai Dasar Negara‛.
Sementara ‚Urat Tunggang Pancasila‛ berasal dari buku tipis yang ditulis Hamka yang
terbit pertama kali pada tahun 1951.
730
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h.
110-111; Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III,
(Bandung: Konstituante RI, 1958), h. 59-60
731
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h.
109-134; Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, h. 62-
63.
732
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, h. 77-
78
733
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII, h.
128-131; Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Djilid III, h. 78
Dalam materi kampanye untuk pemilihan Konstituante, PKI menyatakan sikapnya
mendukung ‚Negara Pancasila‛ dan menolak menggantinya dengan ‚Negara Islam‛. PKI
juga menegaskan sikap politik mereka yang tidak akan mendirikan ‚Negara Komunis‛.

148
komunis atas Pancasila sejak lama sudah ditampakkan Hamka. Dalam sebuah
artikelnya di Hikmah Hamka menegaskan sikapnya untuk tidak bekerjasama
dengan komunis di Konstituante. ‚Komunis menolak segala macam cita yang
hendak menegakkan ketuhanan,‛ ungkapnya memberi alasan. Sikap kaum komunis
yang seolah-olah dekat dan mendukung kelompok nasionalis pun dicurigainya
hanya sebagai ‚kuda-kuda di dalam mencapai maksudnya.‛ Hal itu karena pada
hakikatnya komunis itu menolak ideologi nasionalisme.734
Pidato Hamka pun mendapat banyak tanggapan dari kubu pendukung
Pancasila. Fraksi Katolik melalui PS Da Cunha menolaknya, karena ‚iman kami,
kepercayaan kami kepada kebenaran agama kami yang absolut itu, tidak
mengizinkan kami menerima Islam sebagai dasar negara,‛ ujarnya. Sementara
Njoto dari PKI menilai Hamka telah mencoba merenggut Pancasila dari semangat
dan jiwa merdeka. ‚Usahanya ini sama sia-sianya dengan usaha memisahkan sisi
muka dari sisi belakang medali yang satu dan sama,‛ ungkap Njoto.735
Perjuangan membangun Indonesia secara formal berdasarkan Islam dalam
Konstituante terhenti setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekrit yang membubarkan Konstituante itu menjadi tanda berlakunya kembali
UUD 1945 dan berakhirnya demokrasi parlementer. Ide kembali ke UUD 45
sesungguhnya telah berulangkali disuarakan AH Nasution sejak 1954 dan telah
beberapa kali disampaikan ke Presiden. Soekarno pun menerima usul itu. Pada 19
Pebruari 1959 pemerintahan Kabinet Djuanda secara resmi mengajukan usulan
kepada Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Usulan ini kemudian
dipertegas pada sidang Konstituante pada 22 April 1959 dengan agenda
‚Mendengarkan Amanat Paduka Yang Mulia Presiden Dr Ir Soekarno.‛ Pada
kesempatan itu, Soekarno juga berupaya menenteramkan hati kalangan Islam yang
menuntut pengembalian Piagam Jakarta. Menurutnya, Piagam Jakarta diakui
sebagai dokumen historis yang memiliki arti besar bagi perjuangan bangsa
Indonesia dan sebagai bahan dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945, yang
menjadi bagian dari Konstitusi Proklamasi.736
Rencananya, jika usulan pemerintah tersebut diterima oleh Konstituante,
maka akan dituangkan ke dalam sebuah piagam kesepakatan yang disebut Piagam
Bandung. Di dalam rancangan Piagam Bandung yang dilampirkan dalam pidato
presiden itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta sebagai ‚dokumen historis‛, dan
yang menjiwai penyusunan Pembukaan UUD 1945, dan menjadi bagian dari pada
konstitusi tersebut.737

Lihat PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam
Kampanje Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun, h. 6.
734
Hamka, ‚Undang-undang Dasar Indonesia dan Tjita-tjita Islam,‛ dalam Hikmah,
no 10, tahun IX, 17 Maret 1956, h. 7
735
Hendaru Tri Hanggoro, ‚Menjajal Medan Konstituante‛, dalam Historia, no 21,
tahun II, 2015, h. 45
736
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 28
737
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
60-62

149
Usulan pemerintah Djuanda untuk kembali kepada UUD 1945, yang
kemudian dikuatkan dengan pidato Soekarno, itu pun menjadi kontroversi di
Konstituante. Pro-kontra mewarnai persidangan-persidangan dalam majelis itu.
Beberapa pihak mendukung usulan itu. Asmara Hadi, salah satu pendukung
Soekarno, bahkan menganggap kembali ke UUD 1945 itu sebagai jembatan
Shirathal Mustaqim yang akan membimbing menuju taman Firdaus masyarakat
yang adil dan makmur. Juga akan melepaskan diri bangsa Indonesia dari ‚kubur
demokrasi liberal yang telah busuk.‛738
Salah satu pihak yang tegas menolak adalah Masyumi. Pandangan Masyumi
terhadap pidato Presiden itu disampaikan oleh Prawoto Mangkusasmito, A Kahar
Muzakkir, S Mangunpuspito, Dachlan Lukman, dan Hamka. Dalam tanggapannya
pada Sidang I, Rapat ke 5, Senin 4 Mei 1959, Ketua Umum Masyumi Prawoto
Mangkusasmito mengingatkan Soekarno akan pernyataannya sendiri yang
disampaikan dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rapat yang
mencoret tujuh kata Piagam Jakarta itu, Soekarno selaku pimpinan PPKI
menyatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD sementara, UUD kilat. Nanti ketika
keadaan telah tenteram, ungkap Prawoto mengutip Soekarno, akan dibentuk MPR
untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna. Namun ketika kesempatan
itu telah datang dan akan menghasilkan sesuatu yang lebih memuaskan, lanjutnya,
secara tiba-tiba pemerintah hadir dengan usulan kembali kepada UUD 1945. Hal
ini dipandang Prawoto sebagai ‚seperti hendak memenangkan Pancasila.‛ Usulan
itu, ujarnya lagi, merupakan sesuatu yang tragis dan dirasakan oleh umat Islam
sebagai ‚kita diegoisi lagi untuk kedua kalinya. Jalan kita dipotong lagi.‛739
Wakil Masyumi lainnya Abdul Kahar Muzakkir mengaku kaget dan heran
dengan usulan pemerintah tersebut. Menurutnya, Konstituante telah bekerja
selama 2 tahun lebih dan sudah menghasilkan banyak karya. Bahkan, dengan
mengutip pernyataan Ketua Konstituante Wilopo dalam penutupan Panitia
Persiapan Konstitusi tanggal 18 Pebruari 1959, Kahar Muzakkir menyebut 90%
tugas Konstituante telah tercapai. Usulan Pemerintah itu dipandangnya sebagai
‚sedikit-dikitnya akan menghilangkan atau menyia-nyiakan karya kita selama dua
tahun setengah itu.‛ Ini dinilainya sebagai ‚terang dan jelaslah menyinggung
perasaan dan kehormatan‛. Dengan usulan itu Kahar Muzakkir menilai pemerintah
Djuanda telah bermain politik ‚membikin barang sesuatu menurut kehendak yang
membikinnya itu sendiri.‛740
Jika Kahar Muzakkir mengaku kaget dan heran, setelah mengkaji secara
seksama isi pidato tersebut Hamka mengaku kehilangan rasa kagum dan bangga

738
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
212-213
739
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
198. Tanggapan Prawoto ini kemudian dimasukkan dalam buku yang disunting SU Bajasut
dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 90-105.
740
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h.
505-506

150
kepada Soekarno.741 Dalam tanggapannya yang disampaikan pada Sidang I, Rapat
ke-9, Rabu 6 Mei 1959, Hamka membantah tuduhan Soekarno bahwa Konstituante
bertele-tele dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya, ‚menciptakan suatu
Undang-undang Dasar pun bukanlah laksana menggosok lampu Aladin.‛ Dalam
proses pembuatan aturan dasar negara itu, jelasnya, memang ditemukan banyak
pikiran yang berbeda dan berbagai macam kesulitan lainnya. Namun melalui proses
musyawarah akhirnya ditemukan juga kata sepakat di antara kelompok-kelompok
yang ada. ‚Cuma satu yang belum, yaitu dasar negara,‛ tegasnya. Karena itu
Hamka meminta semua pihak untuk bersabar menanti Konstituante menyelesaikan
pekerjaannya. ‚Oleh sebab itu, baik pun kita tetap memakai Undang-undang Dasar
1950, atau sabar sebentar menunggu selesai Undang-undang Dasar yang sedang
disusun dengan memakai belanja berjuta-juta...,‛ pintanya. 742
Keinginan kembali ke UUD 1945 dianggap Hamka tidak lebih dari sekedar
untuk mewujudkan Demokrasi Terpimpin yang sudah diimpikan Soekarno sejak
lama.743 Tujuan dari demokrasi semacam ini, menurut Hamka, adalah untuk
‚dimenangkanlah Dasar Negara Pancasila, dan Dasar Negara Islam telah
dikalahkan!‛. Pernyataan Soekarno tentang Piagam Jakarta sebagai dokumen
historis dipandang Hamka hanya sekedar menjadi ‚sedikit ‘obat hati’.‛ Hamka
memang sepakat dengan Soekarno tentang kondisi bangsa yang saat itu sedang
sakit. Namun obat yang ditawarkan Soekarno itu dinilainya bagaikan memberi
‚obat yang berlipat ganda dari takaran‛ kepada pasien. Tentu saja bukan
kesembuhan yang didapatkan, namun ‚si pasien akan mati segera karena terlalu
banyak makan obat.‛ Karena itulah Hamka menyamakan Soekarno dengan
seorang dokter yang sedang dilanda kecemasan saat mengobati pasien. Karena
dipenuhi rasa cemas, si dokter pun memberikan obat berlipat ganda melebihi
takaran yang justru menyebabkan pasien malah lekas mati.744
Hamka juga balas menyerang Soekarno. Menurutnya, klaim Soekarno bahwa
kembali ke UUD 1945 merupakan kehendak massa yang tidak dapat ditahan dan
dihalang-halangi lagi tidak lebih dari sekedar slogan kampanye dan agitasi semata.
Hamka menyatakan,
Soalnya saudara ketua, bukanlah soal massa, tetapi soal cukup alat dan kekayaan
dan perlengkapan, dan kekuasaan buat mengerahkan massa. Massa yang tidak
menyetujui pun banyak, massa yang mempunyai konsepsi sendiri sebagai tegen-
conceptie pun banyak, massa yang menerima kembali ke Undang-undang Dasar
tahun 1945, tetapi dengan syarat pun banyak. Tetapi sayang tidak mempunyai alat,
tidak menguasai radio, tidak mempunyai truck-truck buat mengangkut orang, dan
diikat pula oleh Staat van Oorlog en Beleg, oleh Undang-undang Keadaan dalam

741
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
362
742
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
360
743
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
360.
744
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
368-369

151
Bahaya, yang melarang mengadakan rapat-rapat politik kalau tidak izin penguasa
perang.745
Karena hanya menjadi alat kampanye, Hamka menilai seruan kembali ke
UUD 1945 itu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan segera ‚hilang saja
setelah selesai dipidatokan atau dikampanyekan dengan berapi-api.‛ Hamka
melanjutkan, suatu saat nanti ketika mengalami kegagalan dia pun akan
‚menumpahkan kemarahan hatinya kepada orang lain, dan tidak mau sama sekali
menilik kesalahan dirinya sendiri.‛ Hamka melihat berbagai aksi massa yang sering
terjadi merupakan bagian dari upaya Soekarno untuk menekan dan mengancam
Konstituante agar menuruti keinginannya kembali ke UUD 1945. Selain pula
ancaman yang berbentuk verbal dalam berbagai pidato Soekarno. Atas ancaman ini
Hamka menyatakan, ‚kecut dan gentarlah hati kalau iman kurang kuat, serasa-rasa
anggota Konstituante ‘yang terhormat’ hanya laksana murid-murid sekolah yang
sedang dimarahi guru, entah apa sebabnya, atau laksana pesakitan yang sedang
menghadapi putusan hakim.‛746
Penggunaan cara-cara intimidatif itu membuat Hamka menduga sebenarnya
Soekarno tidak sepenuhnya yakin pada kebenaran pendapatnya sendiri. Bagi
Hamka, ‚suatu cita atau pikiran yang diyakini kebenarannya oleh penciptanya,
tidaklah perlu dilancarkan dengan ancaman.‛ Jika gagasan kembali ke UUD 1945
itu diyakini benar oleh Soekarno, lanjutnya, tentu tanpa diragukan lagi ‚cukup kuat
untuk mempertahankan dirinya.‛ Hamka juga mengajak untuk menghentikan cara-
cara seperti itu, serta membicarakan persoalan-persoalan yang ada secara baik-baik
dan dengan pikiran terbuka. ‚Sedianya janganlah sampai demikian.
Ketengahkanlah hitungan dan kemarikanlah usul. Dan mari kita bicarakan baik-
baik dengan hati yang sama-sama terbuka. Tidak ada orang lain di sini. Semuanya
adalah wakil daripada rakyat yang 85 juta, putera dari Indonesia yang jaya, di
bawah naungan Sang Saka‛, ujarnya.747
Hamka juga mengritik Asmara Hadi yang mengatakan bahwa kembali ke
UUD 1945 merupakan ‚jembatan Shirathal Mustaqim yang akan membimbing
menuju taman Firdaus masyarakat yang adil dan makmur.‛ Bagi Hamka, Asmara
Hadi telah salah menempatkan istilah tersebut. Alih-alih menempuh Shirathal
Mustaqim, ujar Hamka, kembali ke UUD 1945 itu merupakan jalan yang berkelok-
kelok. Bahkan jalan menuju ke arah neraka Jahim. Secara lugas Hamka
menyatakan, ‚ash-Shirathal Mustaqim artinya ialah jalan yang lurus. Garis lurus
ialah jarak yang sedekat-dekatnya di antara dua titik. Geweten dan logika yang

745
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
364
746
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
360- 361, 364-365
747
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
360-361; Lihat juga Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 217; A
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 243- 244; Bonnie Triyana, ‚Ikhtiar Terhenti Di...,‛
h. 59

152
sehat akan mengatakan bahwa jalan yang ditempuh ini bukan lurus tetapi berbelok-
belok, berliku-liku. Lebih tepat kalau beliau pakai ‘Ash-Shirat ilal Jahim’‛.748
Meski getol menolak usulan Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945,
namun pada akhirnya atas usul KH Masjkur dan disetujui fraksi-fraksi Islam,
mereka pun mengendorkan tuntutannya. Golongan Islam pun membuat tuntutan
baru: bisa menerima UUD 1945 asal diamandemen dengan memasukkan Tujuh
Kata Piagam Jakarta ke dalam Mukaddimah. Pilihan ini kemudian diputuskan
melalui voting terbuka di Konstituante. Pemungutan suara pertama dilakukan pada
Sidang I Rapat ke 25, Sabtu 30 Mei 1959. Voting ini untuk memilih ‚Setuju‛ atau
‚Tidak Setuju‛ atas tuntutan golongan Islam agar UUD 1945 diamandemen
dengan memasukkan kalimat ‘Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi
Pemeluk-pemeluknya’. Dari 470 anggota Konstituante yang hadir, sebanyak 466
anggota yang memberikan suara, dengan hasil: 201 suara menyatakan ‚setuju‛, dan
265 suara yang ‚tidak setuju‛. Karena pihak yang setuju amandemen kurang dari
dua pertiga suara, maka tuntutan amandemen dengan memasukkan Tujuh Kata
Piagam Jakarta itu pun kandas.749
Setelah tuntutan amandemen kandas, selanjutnya Konstituante menggelar
pemungutan suara dengan pilihan: ‚Setuju atau tidak setuju terhadap Undang-
undang Dasar 1945 keseluruhannya,‛ sebagaimana yang diusulkan pemerintah.
Dari 474 anggota yang hadir didapat hasil 199 suara tidak setuju dan 269 suara
menyatakan setuju. Hasil pemungutan suara ini kembali tidak mencapai 2/3 suara
dari anggota yang hadir. Maka pilihan menerima UUD 1945 secara keseluruhan
pun kandas, sehingga harus diadakan pemungutan suara ulang.750
Pemungutan ulang dilaksanakan Senin 1 Juni 1949 pada Sidang I, Rapat ke
26, secara tertutup. Dari 468 anggota yang hadir, sebanyak 264 suara menyatakan
setuju dan 204 suara tidak setuju. Dengan demikian pilihan ‚kembali kepada UUD
1945 secara keseluruhan‛ kembali tidak mencapai batas minimal 2/3 suara yang
hadir.751 Ulangan pemungutan suara ketiga dengan pilihan yang sama digelar pada
Sidang I, Rapat ke 27, Selasa 2 Juni 1959. Dalam pemungutan terbuka sebanyak
263 suara menyatakan setuju. Sementara yang tidak setuju berjumlah 203 suara.
Lagi-lagi tidak tercapai kata putus karena kedua pihak belum mencapai 2/3 suara
dari 468 anggota Konstituante yang hadir.752
Sidang ini menjadi yang terakhir bagi Konstituante karena mereka akan
memasuki masa reses. Dalam reses itu akan dilakukan perundingan dengan

748
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
365
749
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
1084. Voting dengan pilihan ‚menerima UUD 1945 dengan amandemen yang memasukkan
Tujuh Kata Piagam Jakarta‛ dilakukan sekali atas permintaan pengusulnya.
750
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
1102
751
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
1114
752
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
1131

153
pemerintah terkait dengan penyusunan Undang-undang Dasar. Saat itu pemerintah
menyatakan tidak memberikan tanggapannya atas hasil di Konstituante.753
Tanggapan pemerintah keluar sebulan kemudian melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang memutuskan kembali ke UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Atas pembubaran tersebut M Natsir memberikan apresiasi kepada Konstituante
yang dinilainya ‚bubar dengan terhormat‛ karena ‚tidak bersedia menjualbelikan
prinsip dan martabatnya.‛ ‚Kita memberi salut kepada para anggota Konstituante
yang telah berhasil sampai pada saat yang terakhir mempertahankan martabat
lembaga demokrasi tertinggi di Indonesia,‛ tulisnya.754
Pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden diiringi dengan tuduhan
kegagalan Konstituante melaksanakan tugas membentuk UUD yang permanen.
Namun tuduhan ini ditolak banyak pihak. Menurut Ketua Konstituante Wilopo,
saat itu Konstituante sudah menyelesaikan 90 persen tugasnya. Mereka tinggal
mencari kompromi terkait masalah dasar negara. Kemungkinan kompromi dapat
tercapai seandainya Konstituante tidak digagalkan oleh intervensi luar, karena saat
Dekrit dikeluarkan posisi Konstituante sedang reses. Sedangkan Ketua Umum PNI
Soewirjo dan Ketua Umum Masyumi Prawoto sudah bertemu untuk mencari
kesepakatan bersama. Pembicaraan keduanya juga sudah mendekati kesepakatan
kompromi.755
Meski keras menolak Dekrit tersebut, Masyumi akhirnya terpaksa bersikap
realistis. Mereka pun menerima pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai sebuah
kenyataan. Masyumi pun bisa menerima isi dari Dekrit tersebut, hanya saja partai
ini menolak cara pemberlakuannya yang dilakukan melalui Dekrit. Masyumi
menilai Dekrit sebagai sebuah tindak kekuatan, bukan hasil musyawarah. Tentang
hal ini menarik pernyataan Ketua Fraksi Masyumi di DPR Mohammad Sardjan
seperti yang dikutip Mahendra berikut ini:
Sardjan mengatakan, meskipun Masyumi menentang dekrit sebagai ‘prosedur’ untuk
memberlakukan UUD 1945, tetapi Masyumi ‘dapat’ menerima ‘berlakunya UUD
1945 sebagai suatu realitas’. Sardjan mengibaratkan sikap partainya itu dengan
seorang yang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Orang yang
dipenjara itu, kata Sardjan, boleh menolak dakwaan bahwa ia bersalah. Tetapi ia
tidak dapat menolak realitas bahwa ia dimasukkan ke dalam penjara. Masyumi,

753
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
1132
754
M Natsir, Capita Selecta 3, h. 275
755
Lihat Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta:
Rajawali, 1986), h. 99; Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan:
Biografi Dr Anwar Harjono, SH, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 190-191. Pernyataan
Wilopo bahwa Konstituante telah menyelesaikan 90 persen pembahasan UUD baru juga
disampaikannya dalam persidangan di Konstituante dan diungkapkan ulang oleh banyak
anggotanya. Sebagai contoh lihat Kahar Muzakkir yang mengutip pernyataan Wilopo
tersebut menyatakan ‚Saya perhatikan dari kata-kata penutupan Sidang Panitia Persiapan
Konstitusi hari ini, dengan jelas beliau mengatakan bahwa Konstituante sudah
menyelesaikan 90% dari tugasnya.‛ Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah
Perundingan 1959 Djilid II, h. 505.

154
tambah Sardjan, akhirnya ‘menyerah kepada sejarah, apakah dekrit itu benar atau
salah’.756
Penerimaan itu ditandai dengan sikap Fraksi Masyumi di DPR, yang
bersama-sama dengan fraksi-fraksi lainnya, secara aklamasi menerima Dekrit
tersebut. Sebelum akhirnya DPR pilihan rakyat itu juga turut dibubarkan Soekarno
dan digantikan dengan DPR-GR (DPR-Gotong Royong) karena menolak RAPBN
yang diajukan pemerintah.757 Madinier pun mencatat, pada akhir Juli 1959 Prawoto
Mangkusasmito selaku Ketua Umum Masyumi memberitahu Presiden Soekarno
tentang kesediaan partainya untuk tunduk pada UUD 1945, dengan tambahan
bahwa dirinya pun berhak meminta semua pihak, termasuk presiden dan
pemerintah, untuk mematuhi seluruh tata aturan kenegaraan yang berlaku.758
Ada hal menarik di sini, jika diperbandingkan isi Dekrit dengan Rancangan
Piagam Bandung yang ditawarkan pemerintah melalui pidato Presiden Soekarno
tanggal 22 April 1959, sesungguhnya tidak ada perbedaan yang terlalu jauh. Dalam
Piagam Bandung yang dilampirkan dalam pidato presiden itu disebutkan bahwa
Piagam Jakarta sebagai ‚dokumen historis‛ yang menjiwai penyusunan Pembukaan
UUD 1945, dan menjadi bagian dari pada konstitusi tersebut.759 Sementara dalam
Dekrit juga disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Di sini tampak
adanya perubahan sikap pemerintah, dari semula memposisikan Piagam Jakarta
hanya sebagai dokumen historis yang menjiwai Pembukaan UUD 1945 menjadi
menjiwai keseluruhan UUD 1945, dari pembukaan hingga batang tubuhnya.
Sebelum keluarnya dekrit, pemerintah tampak ragu-ragu mengakui dan
menempatkan posisi Piagam Jakarta dalam UUD 1945, sebagaimana yang terlihat
dari penjelasan pemerintah yang berubah-ubah. Anshari mencatat empat penjelasan
pemerintah sebelum dekrit: pertama, rumusan Kabinet 19 Pebruari 1959 yang
hanya mengakui adanya Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kedua, Dalam keterangan di
DPR pada 2 Maret 19459 pemerintah mengakui Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang
mendahului pembentukan UUD 1945. Ketiga, Dalam pidato presiden di
Konstituante tanggal 22 April 1959, Soekarno menyatakan Piagam Jakarta adalah
‘dokumen historis’ yang mempelopori dan mempengaruhi pembentukan UUD
1945, dan keempat dalam jawaban pemerintah di Konstituante 21 Mei 1959
pemerintah mengakui adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis yang
menjiwai penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang menjadi bagian daripada
konstitusi.760

756
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 221-222; Lukman
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 192
757
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 192; Prawoto
Mangkusasmito, ‚Masyumi, Pancasila, dan Revolusi Kiri atau Kanan,‛ dalam SU Bajasut
dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 262
758
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 221; Remy
Madinier, Partai Masjumi..., h. 256
759
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
60-62
760
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni..., h. 117-118

155
Tampaknya pemerintah ‚terpaksa mengalah‛ pada keteguhan sikap yang
ditunjukkan wakil-wakil golongan Islam di Konstituante. Meski secara jumlah
tidak lebih banyak dari pada lawannya, namun mereka tetap teguh
memperjuangkan cita-cita politiknya, seperti yang diceritakan oleh Saifuddin
Zuhri. Di suatu malam di awal bulan Juli 1959, Saifuddin Zuhri dan Idham Chalid
didatangi dua perwira tinggi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia, sekarang
jadi disebut TNI – Tentara Nasional Indonesia) Jend. AH Nasution dan Letkol
CPM R. Rush. Keduanya meminta masukan materi apa yang perlu dimasukkan jika
presiden mengeluarkan dekrit. Secara tegas keduanya meminta pemerintah
memperhatikan aspirasi kelompok Islam di Konstituante. Ketika ditanya apa
konkritnya aspirasi itu, secara tegas dijawab: ‚Agar Piagam Jakarta diakui
kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945.‛761 Atas hal ini Boland,
sebagaimana yang dikutip Anshari, menyatakan, seandainya rumusan yang
menyebut secara eksplisit bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai UUD 1945 dan
merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut yang ditawarkan
pemerintah, kemungkinan besar akan diterima oleh kelompok Islam di
Konstituante sehingga tidak diperlukan adanya dekrit.762
Perjuangan mewarnai Indonesia dengan nilai-nilai keislaman dalam
Konstituante bukan hanya dilakukan Hamka dengan mangusulkan Islam sebagai
dasar negara. Dalam persidangan yang membahas tentang bahasa nasional Hamka
juga memberikan penekanan pada peran Islam dan Arab bagi bahasa Indonesia.
Menurutnya bahasa Indonesia yang ada saat ini bersumber dari bahasa Melayu,
yang merupakan lingua franca bagi penduduk di berbagai kepulauan Nusantara dan
bahasa diplomasi di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, jauh sebelum
Portugis datang ke Nusantara pada 1511. Di abad ke 16-17 bahasa Melayu menjadi
bahasa ilmu pengetahuan keislaman di Nusantara. Para ulama dan sarjana menulis
karya-karyanya dalam berbagai bidang keilmuan seperti Tasawuf, Kalam, dan
Fikih dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab (Arab
Melayu/Jawi/Pegon). 763
Melayu juga menjadi bahasa hukum yang digunakan untuk menuliskan
undang-undang di berbagai kesultanan di Nusantara. Undang-undang
Peutumuruhum di Kesultanan Aceh dan UU Simburtjahaja di Kesultanan
Palembang ditulis dalam bahasa Melayu. Termasuk juga UU di Kesultanan
Banjarmasin di zaman Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Bahasa Melayu juga terus
digunakan dalam pergerakan-pergerakan kebangsaan modern di abad ke 20, seperti
yang dilakukan HOS Tjokroaminoto dan Sarekat Islam. Atas dasar itu Hamka yang
mewakili Masyumi mengusulkan dua hal: 1. Bahasa resmi negara adalah bahasa
Indonesia; dan 2. Pemeliharaan dan pemakaian bahasa daerah diatur oleh undang-
undang. Pada usulan pertama Masyumi tidak menggunakan rumusan ‚Bahasa
kebangsaan atau bahasa nasional adalah bahasa Indonesia,‛ karena memandang

761
Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 575
762
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni..., h. 127.
763
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h.
177

156
bahwa bahasa daerah pun sesungguhnya merupakan bahasa kebangsaan dan bahasa
nasional. Dalam rumusan ‚Bahasa nasional/kebangsaan adalah bahasa Indonesia,‛
tegas Hamka, seolah menyatakan bahwa bahasa daerah bukanlah bahasa bangsa
Indonesia, dan itu, menurutnya, telah menyinggung perasaan.764
Dalam sidang pembahasan tentang bahasa itu pula Hamka meminta agar
bahasa Arab tidak dikategorikan sebagai bahasa asing. Karena, ungkap Hamka
beralasan, bahasa Arab telah menjadi bagian hidup bangsa Indonesia, khususnya
yang beragama Islam. Sejak dini, jelasnya, orang Islam telah menggunakan bahasa
Arab melalui adzan yang diperdengarkan pada bayi-bayi yang baru lahir. Pun
demikian setiap hari umat Islam selalu mendengarkan bahasa Arab setidak-
tidaknya lima kali sehari melalui adzan shalat fardhu. Lebih dari itu bahasa Arab
adalah bahasa kitab suci bagi umat Islam, al-Qur’an. Hamka juga mengingatkan
bahwa upaya penyingkiran bahasa Arab dari kehidupan umat Islam akan sia-sia
belaka, sembari memberi contoh kasus sekularisme Turki pada zaman Mustafa
Kemal. 765
2. Sikap Hamka Terhadap Pancasila
Berkaitan dengan persoalan Pancasila, tampak terlihat perbedaan sikap pada
diri Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi ketika berada di dalam dan di luar
Konstituante. Saat berada di Konstituante Hamka, Masyumi, dan partai-partai
Islam tegas menolak Pancasila sebagai dasar negara, dan mati-matian
menginginkan Indonesia berdasarkan Islam. Namun demikian, jika diamati secara
mendalam akan terlihat konsistensi di balik penampakan luar itu, yaitu keinginan
untuk menjadikan agama sebagai pondasi bagi pembangunan Indonesia merdeka.
Sesungguhnya Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi memiliki sikap yang
positif terhadap Pancasila. Mereka menilai Pancasila telah sesuai dengan kehendak
Islam, seperti yang dicatat oleh Yusril Ihza Mahendra: ‚Dr Hamka, seorang
pengurus Dewan Partai, mempunyai pandangan yang positif mengenai Pancasila.
Menurutnya kelima sila di dalam Pancasila itu adalah asas-asas yang sesuai dengan
Islam‛.766 Lalu kenapa Hamka dan kelompok-kelompok Islam (khususnya
Masyumi di mana Hamka aktif) dalam Konstituante menginginkan sebuah negara
yang berdasarkan Islam?
Sebagaimana yang telah disinggung di awal sub bab ini, Masyumi dan
partai-partai Islam lainnya lahir dalam situasi ‚persaingan ideologi‛
memperebutkan pengaruh atas negara yang masih muda. Dalam suasana seperti ini
adalah wajar bila masing-masing aliran berupaya menampilkan keunggulan dan
wajah ideal dari pahamnya masing-masing. Konstituante sebagai lembaga resmi
‚pertarungan ideologi‛ menjadi ajang bagi setiap aliran menawarkan idealitas
ideologinya. Dalam konteks ini Masyumi dan kelompok Islam lainnya membuat

764
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h.
178
765
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V, h.
180-183
766
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 135

157
strategi ‚tidak lantas menerima Pancasila sebagai dasar negara‛ seperti yang
diajukan oleh golongan-golongan lain.767
Strategi ini dilanjutkan dengan strategi lain, yaitu penetapan tujuan
maksimal dan tujuan minimal dalam perjuangan di Konstituante. Tujuan
maksimalnya, seperti yang nyatakan pimpinan Masyumi Zainal Abidin Ahmad,
adalah ‚memperjuangkan ideologi Islam menjadi ideologi negara‛.768 Lebih lanjut
dijelaskan, tujuan maksimal tersebut adalah ‚Menjadikannya negara Islam dalam
arti yang sesungguhnya,‛ yaitu: ‚Negara Islam Indonesia itu, bukan saja
menempatkan Islam sebagai dasar negara secara formal, tetapi prinsip-prinsip yang
dipergunakan dalam menyelenggarakan negara seluruhnya didasarkan kepada
hukum-hukum Islam.‛769
Namun jika tujuan maksimal itu tidak tercapai, tujuan minimal yang ingin
dicapai Masyumi adalah ‚menerima Pancasila sebagai ideologi negara, dengan
memasukkan dan mengisinya dengan jaminan cita-cita dan kehendak umat
Islam‛.770 Strategi seperti ini jelas tergambar dari pernyataan Hamka:
Bagi orang Islam sendiri dapatlah Ketuhanan Yang Maha Esa itu ditafsirkan dengan
tauhid. Sebab di sana nyata Ke-Esaan menjadi pokok Ketuhanan. Dan bilamana
yang pertama telah diterima, sebagai muslim tidaklah apriori akan menolak yang
empat belakangan. Sebab yang empat di belakang itu adalah konsekuensi yang
sewajarnya daripada yang pertama. Tetapi tidak dapat menolak, bukanlah artinya
telah puas! Karena yang dicita ialah agar nama ISLAM itu terang-terang
tercantum.771
Meskipun tokoh-tokoh Masyumi mengakui bahwa Pancasila ‚telah
mencerminkan kehendak Islam‛, bahkan UUD 1950 yang berlaku saat itu dianggap
telah ‚melampaui garis tengah negara yang dikehendaki Islam‛. Namun Masyumi
tetap terlebih dahulu mengajukan cita-citanya yang maksimal berupa Islam secara
nyata tertulis sebagai dasar negara. Untuk strateginya ini, dalam Rancangan
Undang-undang Republik (Islam) Indonesia yang disusun Masyumi dirumuskan
dua alternatif dasar negara, yaitu: ‚Republik Indonesia Berdasarkan Islam‛ atau
‚Republik Islam Indonesia Berdasarkan Pancasila,‛ dengan satu acuan bahwa
rancangan tersebut bukan ‚harga mati‛. Dengan demikian, simpul Mahendra,
rancangan tersebut merupakan gambaran ideal cita-cita maksimal Masyumi.772

767
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 206
768
Lihat Zainal Abidin Ahmad, ‚Konstitusi dan Pantja Sila,‛ dalam Hikmah, no 43-
44, tahun VIII, 26 Oktober 1955, h. 10; Bonnie Triyana, ‚Ikhtiar Terhenti di
Konstituante‛, dalam Historia, no 16, tahun II, 2013, h. 58
769
Lihat Ideologi Masyumi, dokumen tidak diterbitkan, h. 36
770
ZA Ahmad, ‚Konstitusi dan Pantja Sila...,‛ h. 10; Bonnie Triyana, ‚Ikhtiar
Terhenti di...,‛ h. 58
771
Hamka, ‚Undang-undang Dasar Indonesia...,‛ h. 8. Kata ‚ISLAM‛ dicetak kapital
berasal dari penulisnya sendiri.
772
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 206-207. UUD
1950 merupakan UUD hasil kesepakatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan
Republik Indonesia (RI) setelah Mosi Integral Natsir diterima dan negara-negara bagian
RIS kembali melebur ke dalam RI. Pada tanggal 20 Juli 1950 kedua pemerintah
menyepakati suatu UUD Sementara yang kemudian dikenal sebagai UUDS 1950. UUD ini

158
Strategi tersebut diambil berdasarkan dua pertimbangan. Pertama, terkait
dengan persoalan tafsir atas Pancasila. Masyumi, jelas Mahendra, ingin
mengetahui secara pasti maksud dari Pancasila yang diajukan kelompok seberang,
karena memang Pancasila tidak hanya didukung oleh kalangan nasionalis sekular,
namun juga partai Kristen, Katolik, sosialis, kejawen, bahkan komunis. Kedua,
Masyumi ingin memenuhi janjinya kepada konstituennya pada Pemilu 1955
sebagai sebuah amanah yang harus ditunaikan.773
Memang, para pendukung Pancasila dalam Konstituante memiliki
pemahaman yang tidak sama terhadap Pancasila, khususnya sila pertama.
Mahendra mencatat, Wongsonegoro - seorang Kejawen tokoh Partai Indonesia
Raya- memaknai Ketuhanan sebagai panteisme. Aidit, Njoto, dan Sakirman dari
PKI memaknainya sebagai ‚kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak
beragama,‛ bahkan ‚kebebasan untuk melakukan propaganda anti agama.‛
Sudjatmoko dari Partai Sosialis memahaminya dari sudut pandang teosofi.
Sementara tokoh-tokoh PNI ada yang menafsirkan ‚Ketuhanan‛ secara Kristiani,
mistik, bahkan sekuleristik. Keragaman penafsiran tentang Pancasila bukan hanya
pada Sila Ketuhanan, namun juga Sila Keadilan Sosial.774
Dari seluruh pendapat yang disampaikan tokoh-tokoh pengusung Pancasila,
Maarif melihat hanya pendapat M Hatta dan Arnold Mononutu yang mengatakan
bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pokok dari Pancasila dan merupakan
sumber moral-etik bagi sila-sila lainnya.775 Dengan demikian, sesungguhnya
Pancasila yang didukung oleh beberapa fraksi di Konstituante pada hakikatnya
bukanlah Pancasila yang bersumber dari Piagam Jakarta, namun Pancasila menurut
penafsiran masing-masing pendukungnya di badan pembentuk UUD tersebut.776
Konsep Pancasila yang non-agamis seperti ini juga mendapat dukungan penuh dari
kaum Komunis. Bahkan dalam sidang-sidang Konstituante mereka berupaya
membawa Sila Ketuhanan pada pengertian kebebasan beragama seperti di atas.777
Selain itu, kalangan Islam juga telah belajar dari masa-masa sebelumnya.
Pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK, Soekarno mengusulkan nama
‚Pancasila‛ dengan menempatkan sila ‚Ketuhanan‛ di posisi terakhir. Menurut M
Yamin, Soekarno menggali Pancasila dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia
jauh sebelum Islam. Ketuhanan dalam Pancasila versi Soekarno tidak memiliki

merupakan gabungan dari permulaan Pembukaan UUD 1945 dan akhiran Mukadimah UUD
RIS. Dalam UUDS 1950 ini rumusan Pancasila berbunyi: Pengakuan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa; Peri-Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Lihat Prawoto
Mangkusasmito, ‚Apakah Arti Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959?,‛ dalam
SU Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan..., h. 402-406. Jika dibandingkan
Mukaddimah UUDS 1950 ini dengan Pembukaan UUD 1945 tidak terlihat perbedaan yang
substansial antara keduanya. Dengan demikian dapat disimpulkan, tokoh-tokoh Masyumi
pun melihat UUD 1945 telah ‚ melampaui garis tengah negara yang dikehendaki Islam.‛
773
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 207-208.
774
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 207-208.
775
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 214
776
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 86-87
777
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 194-197.

159
kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun. Ketuhanan dalam konsepsi
ini bersifat sosiologis, dan karenanya, bersifat relatif dan bisa diperas dengan
menghilangkan Sila Ketuhanan sebagaimana yang dilakukan Soekarno dalam
konsep Eka Sila yang cuma berisi Gotong Royong. 778 Ternyata tafsiran yang
sosiologis dan non-agamis atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa kembali disuarakan
Soekarno beberapa saat sebelum pemilihan umum 1955, yaitu pada kuliah umum di
Makassar tanggal 5-6 Mei 1954, dan saat Soekarno bertemu dengan Gerakan
Pembela Pancasila pada 17 Juni 1954.779
Kekhawatiran pihak Islam atas sila pertama Pancasila yang ditafsirkan
secara semena-mena itu tampak dari pidato Hamka di Konstituante. Saat itu
Hamka menyatakan bahwa pihaknya cemas pada cara berfikir yang sekular atas
Pancasila karena dapat melahirkan ‚keragu-raguan hidup‛. Selain itu Hamka juga
cemas dengan dukungan kalangan komunis terhadap Pancasila, padahal secara
pandangan hidup komunisme bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.780
Dalam situasi seperti inilah taktik ‚tidak lantas menerima Pancasila sebagai
dasar negara‛ digunakan oleh kelompok Islam untuk memastikan bahwa Pancasila
memang tidak bermakna sekuler. Namun ternyata perbedaan pemahaman dari para
pendukung Pancasila di Konstituante membuat kalangan Islam belum bisa
teryakinkan dengan Pancasila.781 Dalam kerangka seperti inilah dapat dipahami
jika sikap tokoh-tokoh kelompok Islam, termasuk Masyumi dan Hamka di
dalamnya, terhadap Pancasila terlihat berbeda saat berada dalam Konstituante
dengan di luar Konstituante.
Sikap positif Hamka terhadap Pancasila sesungguhnya sudah terlihat sejak
awal kemerdekaan. Dalam buku berjudul Islam dan Demokrasi yang terbit tahun
1946, Hamka secara tegas menyambut baik kemerdekaan Indonesia. Hamka juga
mengajak rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan dan demokrasi itu.
Apalagi, tegasnya, ‚di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Pasal XI sudah dilukiskan dasar asli negara kita, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha
Esa’.‛782
Di tahun yang sama Hamka juga menerbitkan buku berjudul Revolusi
Agama. Dalam buku ini Hamka memandang bahwa dasar utama revolusi
kemerdekaan Indonesia adalah ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ yang kemudian
ditulis dalam UUD. Karena itu, jelasnya, ‚revolusi Indonesia‛ telah menjadi
revolusi ibadat kepada Allah Swt.783 Sementara di dalam buku Keadilan Sosial
Dalam Islam Hamka menulis, ‚Kita susun negara Indonesia merdeka. Dan kita
jadikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, menjadi sunting dari kehidupan kita. Kita

778
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 194-197.
779
Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 81-82
780
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Djilid III..., h. 78
781
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 197-198
782
Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi – Medan: Firma Tjerdas, 1946), h. 48
783
Hamka, Revolusi Agama, (Jakarta: Pustaka Antara, 1949), h. 11-12. Buku ini
terbit pertama kali tahun 1946. Dalam tulisan ini digunakan edisi kedua tahun 1949 setelah
ada penambahan dan perluasan.

160
akan merasa bahagia berlindung di bawahnya.‛784 Penerimaan Hamka terhadap sila
‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ sangat terlihat dalam bukunya Urat Tunggang
Pantjasila.785
Penjelasan lain diberikan Deliar Noer. Menurutnya perbedaan situasilah
yang membuat Hamka melakukan pendekatan yang berbeda terhadap Pancasila.
Jika dalam Konstituante dia punya pilihan antara dasar negara Pancasila atau
Islam, sementara di luar itu, khususnya pasca Konstituante, pilihan itu tidak ada
lagi. Ketika tidak tersedia peluang memilih, yang dilakukan Hamka adalah
bagaimana memandang Pancasila itu sendiri. Di sinilah Hamka melakukan
pembacaan secara holistik terhadap Pembukaan UUD 1945. Dari kalimat ‚berkat
rahmat Allah yang Mahakuasa‛ yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945,
Hamka menyimpulkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merujuk pada
konsep yang tauhidik.786
Ada dua poin penting yang dicatat Hamka dalam alinea itu. Pertama,
kalimat ‚Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,‛ dan kedua ‚didorongkan
oleh keinginan luhur.‛ Hamka menjelaskan, dari dua kalimat tersebut terlihat
kesadaran bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan yang diraihnya merupakan hasil
dari pertemuan antara takdir Allah dengan kehendak manusia. Kesadaran seperti
itu muncul dari ajaran al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam Surat al-Ra’d
(Surat ke 13) ayat 11 yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.787
Ini kemudian diperkuat dengan sila pertama Pancasila yang secara tegas
menyebut ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dan juga dalam Pasal 29 UUD 1945.788
Bahkan, tegas Hamka, sila pertama ini merupakan inti sebagai ‚urat tunggang‛
dari Pancasila itu sendiri. Inilah sila yang tetap dan tidak boleh berubah meski sila-
sila yang lain dapat diubah.789 ‚Saya sebagai seorang Muslim tidak dapat berfikir
lain, dan tidak dapat dipaksa berfikir lain dari bahwa sila yang pokok ialah Sila
pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa!‛, tegasnya. 790
Sikap tegas Hamka ini tampak dari pernyataannya berikut ini:
Tidak! Bagi kita Dasar Negara yang pertama itu adalah prinsip hidup kita.
Misalkanlah berubah dasar negara ini, misalkanlah komunis yang mengadakan kup
pada 30 September 1965 itu berhasil, lalu dasar negara ini mereka robah, namun kita

784
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: Widjaja, 1951), h. 117
785
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila....
786
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, (Bandung: Mizan, 2001), h.
77-78. Kalimat yang terdapat dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu secara
lengkap berbunyi: ‚Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.‛
787
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18
788
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ H. 18; Hamka, Doktrin Islam Yang...,
h. 25
789
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 35-36
790
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18

161
kaum muslimin akan tetap mempertahankan Dasar Negara ini, Ketuhanan Yang
Maha Esa ini, sampai saat menghembuskan nafas yang penghabisan…791
Sebagai ‚urat tunggang‛ Pancasila, sila pertama itu memberikan jiwa bagi
sila-sila yang lain. Tanpa jiwa ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ itu, keempat sila
lainnya tidak akan dapat terlaksana. Hamka beralasan, ‚...bilamana berjuang
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja, dijamin, akan terpeliharalah Sila Yang
Empat lagi,‛ hal itu disebabkan oleh ‚Ketuhanan Yang Maha Esa! Sumber hakiki
dari segala sila dan kesusilaan‛.792 ‚Sebab orang yang percaya kepada Tuhan pasti
berperi-kemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan
Persatuan Indonesia, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab Persatuan Indonesia
itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar. Janji itu adalah Jakarta Charter 22
Juni 1945‛, tulisnya.793
Hamka tegas menolak upaya sebagian kelompok yang mencoba memaknai
kata ‚Tuhan‛ dalam Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ‚bukanlah Tuhan sebagai
yang diajarkan oleh suatu agama‛ atau ‚Ketuhanan yang bersumber dari jiwa
bangsa Indonesia sendiri lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia.‛ Bagi
Hamka ‚Tuhan‛ dalam ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ tersebut jelas-jelas merujuk
kepada tauhid.794 Hamka merujukkannya pada Pembukaan UUD 1945 yang secara
jelas menyebut ‚Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.‛ Sementara yang
disembah dalam kepercayaan-kepercayaan nenek moyang Indonesia ketika masih
primitif (Animisme–Dinamisme) menurutnya bukanlah Tuhan, tetapi Hantu.795
‚Dasarnya yang pertama ialah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Tuhan itu ialah
Allah… Karena Allah yang tertulis di Mukaddimah UUD 1945 itu bukanlah Allah
yang lain, tetapi Allah yang kita sembah sekurangnya lima waktu sehari semalam
itu‛, jelasnya.796
Demikian pula Hamka menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu
telah menjadikan negara Indonesia sebagai bukan negara sekular dan bukan pula
negara liberal. Sebab menurut falsafah hidup bangsa kita, ujarnya, agama tidak
dapat dipisahkan dari negara.797
Maka kalimat berkat dan rahmat yang telah terlukis di dalam preambule Undang-
undang Dasar itu tidaklah boleh dipandang ringan. Kemerdekaan adalah anugerah
Ilahi! Sebab itu maka dari permulaan sampai pada akhir perjalanan, tidaklah boleh

791
Hamka, ‚Siapa Anti Pantjasila!,‛ h. 3
792
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 35-36
793
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18. Menurut Hamka sila Persatuan
Indonesia merupakan hasil perjanjian antara tiga golongan di Indonesia: nasionalis
(diwakili Sukarno, Hatta, M Yamin dan Soebardjo), golongan Islam (diwakili Agus Salim,
Abikusno Cokrosuyoso, Wahid Hasyim dan Abdul Kahar Muzakkir), dan golongan Kristen
(diwakili AA Maramis), dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ketiga golongan
tersebut telah mencerminkan keragaman di Indonesia. Perjanjian semacam ini, jelasnya,
adalah sah dalam Islam dan harus ditepati. Lihat juga Hamka, ‚Moral Pancasila,‛ h. 5
794
Hamka, ‚Moral Pancasila,‛ dalam Panji Masyarakat, no 207, tahun XVIII, 15
September 1976, h. 6
795
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 19
796
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 26
797
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 18

162
kita melepaskan dari Allah. Dan dengan demikian dengan sendirinya pula, disadari
atau tidak disadari, kekuasaan Allah tidaklah pernah dan tidak akan pernah tanggal
dari negara kita ini.798
Namun demikian bukan berarti Indonesia menganut sistem teokrasi. Bagi
Hamka, dalam Islam urusan kenegaraan harus diurus melalui musyawarah.
Sementara pokok-pokok permusyawaratan sebagaimana yang terkandung dalam
UUD 1945 telah sesuai dengan ajaran Islam. Hamka menjelaskan,
Sedang dalam ajaran yang pokok dalam Islam sendiri, sebagaimana yang dilakukan
oleh Nabi Saw yang mendapat wahyu dari langit, namun urusan negara yang
dinamai urusan duniawi dan hendaklah semuanya itu dilakukan oleh musyawarat.
Baik musyawarat yang dikehendaki oleh penguasa (wa sha>wirhum fi> al-‘amr), atau
musyawarat yang timbul atas inisiatif pemuka-pemuka masyarakat itu sendiri (wa
‘amruhum shu>ra> baynahum).
Pokok musyawarat dalam UU Dasar 45 telah sesuai dengan kehendak agama
Islam;…799
Meski Pancasila sebagai falsafah bernegara merupakan sesuatu yang baru,
namun Hamka menekankan bahwa jiwa Pancasila telah ada sejak bangsa Indonesia
mengenal Islam.800 ‚Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu
sejak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia,‛
ungkapnya.801 Ruh inilah yang kemudian menjiwai perjuangan para pahlawan
bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.802 Karena itu, Hamka
berkesimpulan, Pancasila akan tetap lestari jika urat tunggangnya, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, terus dipupuk.803 Caranya, jelasnya, umat Islam yang menjadi
mayoritas di negeri ini senantiasa berupaya menjadi pribadi muslim yang baik804
dan bersama-sama menghidupkan ajaran agama Islam dalam masyarakat.805
‚Pancasila sebagai Falsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnya dan
dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan
agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah
hidupnya‛, ujar Hamka.806
Hamka memang mengakui jika Pancasila merupakan ‚sebahagian dari ajaran
Islam‛ sehingga umat Islam bersedia memegang teguh, menjunjung tinggi dan
mengamalkannya dengan sepenuh hati. Namun demikian Hamka juga
mengingatkan agar Pancasila tidak diposisikan layaknya agama, apalagi memaksa
umat Islam untuk mengganti agamanya dengan Pancasila. Menurutnya, ajakan
seperti ini pasti gagal, apalagi ‚...kalau pemimpin-pemimpin yang menganjurkan
dan yang menyorak-nyorakkan Pancasila itu ialah pelanggar yang sebenarnya.

798
Hamka, ‚Moral Pancasila,‛ h. 5
799
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 20
800
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 25
801
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 38
802
Hamka, ‚Islam Sebagai Dasar Negara,‛ h. 97-108
803
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, h. 38
804
Hamka, Doktrin Islam Yang..., h. 25-26
805
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila..., h. 38
806
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila..., h. 37

163
Apatah lagi kalau perbuatan-perbuatan mereka dengan terang-terang seakan-akan
menantang kemurkaan kaum muslimin…‛, ungkap Hamka.807
Berdasar kerangka seperti ini, Hamka kemudian memberikan tafsir yang
tauhidik terhadap Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 tentang jaminan atas kebebasan
memeluk agama dan beribadah. Secara lengkap ayat tersebut berbunyi: ‚Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.‛ Dalam
hal ini yang menjadi fokus perhatian Hamka adalah tentang makna kata
‚kepercayaan‛. Apa yang dimaksud dengan ‚kepercayaan‛ dalam ayat tersebut?
Bagi Hamka ‚kepercayaan‛ dalam ayat tersebut bermakna ‚iman‛. Bukan
bermakna yang lainnya. Makna ini, menurutnya, sesuai dengan maknanya dalam
Bahasa Melayu yang merupakan sumber dari Bahasa Indonesia. Hal lain yang
disorot Hamka adalah keberadaan kata ganti ‚itu‛ setelah ‚kepercayaannya‛.
Hamka menjelaskan, keberadaan kata ‚itu‛ menjadi petunjuk bahwa
‚kepercayaan‛ dalam ayat tersebut tidak bisa dilepaskan dari ‚agama.‛ Dengan
demikian, simpulnya, Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tidak bisa digunakan untuk
melegitimasi ‚aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa‛ sebagai setara
dengan agama.
Saya sebagai seorang penganut faham demokrasi sejati, Demokrasi Pancasila,
tidaklah keberatan kalau di negara kita ini ada golongan yang mengakui diri mereka
percaya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, asal Tuhan itu jangan Allah; dan
mereka tidak mau beragama, sebab itu mereka mau nikah dengan upacara sendiri,
mengubur mayat dengan mengarang upacara sendiri, tetapi adalah suatu hal yang
tidak logis kalau mereka musti dimasukkan pula sebagai golongan suatu yang sama
duduknya dengan satu agama. 808
Sikap Hamka seperti ini pernah disampaikannya kepada Presiden Soeharto
melalui tulisan. Djarnawi Hadikusuma menceritakan, Hamka pernah mengirimkan
surat yang tebal kepada Presiden Soeharto sebagai pertimbangan tentang
permasalahan aliran kepercayaan. Dalam surat tersebut Hamka menjelaskan
pikiran-pikirannya dengan nada emosional namun sopan, dan dengan kalimat-
kalimat yang jelas dan tuntas. Hadikusuma menceritakan, dalam surat itu Hamka
memberikan pentimbangan tentang madharat apabila aliran kepercayaan
disetarakan dengan agama. Baik bahaya bagi agama, khususnya Islam, maupun
bahaya bagi bangsa dan negara.809
C. Peran Politik Hamka di Era Demokrasi Terpimpin
1. Respons Hamka Terhadap Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara resmi menandai berlakunya sistem
Demokrasi Terpimpin yang telah lama diimpikan Soekarno dan mengakhiri

807
Hamka, ‚Chutbah Hari Raja `Idil Fithri (1 Syawal 1386),‛ dalam Pandji
Masjarakat, no 8, 20 Januari 1967, h. 5
808
Hamka, ‚Pembahasan Darihal Intisari...,‛ h. 21.
809
Namun sayangnya Hadikusuma tidak menjelaskan madharat apa saja yang
disampaikan Hamka kepada Presiden. Lihat Djarnawi Hadikusuma, ‚Buya Genius Hamka,‛
dalam Solichin Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta: Yayasan
Nurul Islam, 1979), h. 34

164
demokrasi parlementer. Secara resmi pemerintah mengajukan Demokrasi
Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 melalui surat yang dikirim Perdana
Menteri Djuanda kepada DPR tanggal 21 Pebruari 1959, yang berisi keputusan
sidang Dewan Menteri tanggal 19 Pebruari 1959. Dalam sidang tersebut Dewan
Menteri secara bulat menyepakati pelaksaan Demokrasi Terpimpin dan kembali
kepada UUD 1945. Dewan Menteri juga menyatakan bahwa UUD 1945 adalah
cukup demokratis dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia berupa
‚Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan‛ sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga
lebih menjamin terlaksananya prinsip Demokrasi Terpimpin, karena ‚Demokrasi
Terpimpin ialah demokrasi‛ itu sendiri. Dewan Menteri juga menyatakan bahwa
UUD 1945 akan menjamin pemerintahan yang stabil selama lima tahun sesuai
dengan Pasal 7 daripada Undang-undang Dasar Sementara yang berlaku saat itu,
karena yang bisa menjatuhkan presiden adalah MPR bukan DPR.810
Dalam keterangannya di hadapan rapat pleno DPR, Senin 2 Maret 1959,
Djuanda menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin diambil oleh pemerintah dan
ditawarkan kepada parlemen didasari oleh kesulitan-kesulitan di bidang politik,
ekonomi-keuangan, militer, dan kemasyarakatan ‚yang dihadapi oleh negara dan
masyarakat kita semenjak kemerdekaan Indonesia diakui, pada akhir tahun 1949,
yang semakin lama makin bertambah.‛ Di bidang politik, Djuanda menyebut
sistem multi partai dalam demokrasi liberal yang berlaku saat itu sebagai sebuah
persoalan karena menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan dan tidak sesuai
dengan kepribadian Indonesia. Padahal, ujarnya, demokrasi hanyalah alat untuk
mewujudkan masyarakat yang adil-makmur. Masyarakat seperti ini menurut
Djuanda hanya bisa diwujudkan dalam sistem demokrasi yang disiplin dan
mempunyai pimpinan.811 Djuanda sendiri menyebut Demokrasi Terpimpin
sebagai ‚demokrasi karya yang teratur dan terencana‛, yang sangat berbeda dari
‚demokrasi liberal yang bebas dan merdeka,‛ dan berbeda pula dari otokrasi dan
diktator.812
Pada 22 April 1959, Soekarno menyampaikan pidato ‚Amanat Presiden‛ di
Konstituante, yang mengajak untuk kembali kepada UUD 1945, menegakkan
Demokrasi Terpimpin, dan pembentukan Front Nasional yang melibatkan
kelompok-kelompok fungsional. Soekarno juga menegaskan bahwa keputusan
Dewan Menteri tersebut bukan keputusan yang diambil secara tergesa-gesa.

810
Lihat ‚Putusan Dewan Menteri Mengenai Pelaksaan Demokrasi Terpimpin
Dalam Rangka Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945,‛ dalam Kembali Kepada
Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, tt), h. 5-6
811
Lihat ‚Keterangan Pemerintah Mengenai Pelaksaan Demokrasi Terpimpin Dalam
Rangka Kembali Ke UUD 1945,‛ dalam Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945,
(Jakarta: Departemen Penerangan RI, tt), h. 37-39
812
Lihat ‚Djawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Konstituante Mengenai
Amanat Presiden Tanggal 22 April 1959 dan Anjuran Pemerintah Untuk ‘Kembali Kepada
Undang-undang Dasar 1945’,‛ disampaikan oleh Perdana Menteri H Djuanda dalam Rapat
Pleno Konstituante di Bandung, pada tanggal 21 Mei 1959, dalam Kembali Kepada
Undang-undang Dasar 1945, Departemen Penerangan RI, h. 232-333

165
Keputusan itu diambil dengan pertimbangan yang matang dan dirumuskan dalam
susunan redaksi yang terbaik, serta diyakini sebagai jalan terbaik bagi bangsa
untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.Soekarno menjadikan tawaran ‚kembali ke
UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin‛ dalam satu paket karena menurutnya UUD
1945 ‚lebih menjamin terlaksananya prinsip Demokrasi Terpimpin.‛813 Tawaran ini
merupakan pengulangan kesekian kalinya dari Soekarno. Sejak 1956 dia sudah
beberapa kali menyampaikan keinginannya itu.
Dalam pidatonya itu Soekarno mengulangi kembali beberapa poin penting
pidatonya dahulu pada saat pelantikan anggota Konstituante tanggal 10 November
1956. Hal-hal penting itu adalah: Pertama, Konstituante harus menjadi
penyambung lidah rakyat; Kedua, Dalam menyusun UUD yang baru harus sesuai
dengan jiwa, watak, dan kepribadian bangsa Indonesia. Yang dimaksud Soekarno
dengan jiwa, watak dan kepribadian bangsa tersebut adalah ‚demokrasi
terbimbing‛ atau ‚demokrasi terpimpin‛ di segala bidang kenegaraan,
kemasyarakatan, politik, militer, dan sosial-ekonomi; Ketiga, Konstituante tidak
menjadi ajang perdebatan yang bertele-tele, dan harus berupaya mencari jalan
keluar. Bukan jalan buntu.814
Soekarno juga mengklaim sudah berbicara dengan beberapa pihak tentang
kondisi negara dan masyarakat. Dari pembicaraan itu dia semakin yakin akan
perlunya sebuah perubahan yang revolusioner dalam sistem kenegaraan dan
kemasyarakatan. Karena itu dia minta supaya proses pembuatan UUD lebih
dipercepat lagi. Sementara untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang
dihadapi Konstituante, Soekarno mengajak untuk kembali kepada UUD 1945.
Soekarno pun minta supaya Konstituante segera menerima usulan tersebut dengan
segera. Dengan begitu Konstituante telah ‚melakukan suatu tindakan bersejarah
yang bernilai tinggi di zaman Revolusi Nasional kita dan dalam riwayat Bangsa
Indonesia,‛ karena bisa memahami sedalam-dalamnya jiwa, watak dan kepribadian
bangsa Indonesia.815
Soekarno juga mengulangi pidato Konsepsinya pada 21 Pebruari 1957 yang
mengecam sistem kepartaian yang berlaku saat itu dan menolak adanya oposisi.
Dia menegaskan sistem demokrasi liberal ala Barat tidak sesuai dengan dengan
iklim Indonesia sehingga menimbulkan berbagai ekses. Untuk itu dirinya akan
membubarkan partai-partai yang ada dan mengondisikan keadaan kepartaian agar
sesuai dengan suasana Demokrasi Terpimpin biar bisa kembali sehat. Hal itu

813
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 19.
Pidato Presiden Soekarno yang disampaikan pada sidang yang dipimpin Ketua
Konstituante Wilopo itu kemudian dicetak dengan judul itu berjudul ‚Res Publica, Sekali
Lagi Res Publica‛. Sidang itu sendiri dihadiri 464 anggota Konstituante, serta 25 orang
wakil pemerintah yang terdiri dari Perdana Menteri, Wakil-wakil Perdana Menteri dan
jajaran menteri Kabinet Djuanda. Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah
Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 3-7
814
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h. 9-
10
815
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
11-13

166
dilakukan dengan meninjau kembali Maklumat Pemerintah Republik Indonesia
tanggal 3 November 1945. 816 Saat itu Soekarno membedakan Demokrasi
Terpimpin dari diktatorisme, demokrasi sentralisme, dan demokrasi liberal.
Demokrasi Terpimpin dalam definisi Soekarno adalah ‚demokrasi
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.‛ Baginya, konsep ini merupakan demokrasi yang cocok dengan
‚kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia,‛ karena berinti pada musyawarah.
Meski demikian, jelasnya, musyawarah dalam Demokrasi Terpimpin bukanlah
‚perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan
penghitungan suara pro dan kontra,‛ tetapi ‚suatu permusyawaratan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan.‛817
Dalam pernyataannya yang lain Soekarno memberikan pengertian yang lebih
jelas tentang idenya itu, yaitu demokrasi yang mendasarkan sistem
pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kesatuan
sentral di tangan seorang ‘sesepuh’ yang ‘memimpin’ dan ‘mengayomi’, bukan
mendiktatori. Demokrasi model ini dianggap Soekarno sebagai demokrasi yang
memancarkan kepribadian bangsa Indonesia, sebuah Demokrasi Timur yang telah
berlangsung di Indonesia sejak zaman purbakala. Dengan konsep Demokrasi
Terpimpin ini Maarif melihat Soekarno sebenarnya berkeinginan menempatkan
dirinya sebagai ayah bagi suatu keluarga besar rakyat Indonesia. Seorang ayah
dengan kekuasaan yang sepenuhnya terpusat di tangannya.818
Mimpi itu telah lama diungkap Soekarno. Pada pidato tanggal 28 dan 30
Oktober 1956 Soekarno menilai demokrasi parlemeter telah gagal. Dia pun
menyatakan keinginannya untuk ‚mengubur‛ partai-partai, dan menerapkan sebuah
‚Demokrasi Terpimpin‛ yang dinilainya sebagai demokrasi yang sesuai dengan
kondisi Indonesia.819 Pidato itu pun menuai kontroversi. Dari partai-partai yang
ada hanya PKI dan PRI (Partai Rakyat Indonesia) yang tegas mendukungnya.
Masyumi, PSI, PNI dan NU menolaknya. Namun beberapa bulan kemudian tinggal
Masyumi dan PSI yang menolak keinginan Soekarno itu.820
Demokrasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia ala Soekarno itu kembali
dipertegas dalam pidato Konsepsi Presiden tanggal 21 Pebruari 1957 untuk
‚Menyelamatkan Republik Proklamasi‛. Selain berkeinginan meninggalkan
demokrasi Barat, Soekarno juga menginginkan pembentukan Kabinet Gotong

816
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
32-33
817
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
19-20
818
A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., h. 249
819
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 211
820
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 213; Lihat ‚Djawaban Pemerintah atas
Pemandangan Umum Konstituante Mengenai Amanat Presiden Tanggal 22 April 1959 dan
Anjuran Pemerintah Untuk ‘Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945’,‛ disampaikan
oleh Perdana Menteri H Djuanda dalam Rapat Pleno Konstituante di Bandung, pada
tanggal 21 Mei 1959, dalam Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, Departemen
Penerangan RI, h. 218-219

167
Royong dan Dewan Nasional yang terdiri dari ‚golongan fungsional‛ mewakili
seluruh elemen rakyat Indonesia. Masyumi dan Partai Katolik tegas menolak. PKI,
PNI, Partai Murba, dan PRN (Partai Rakyat Nasional) tegas mendukung.
Sementara NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI memberikan beberapa keberatan
terhadap Konsepsi tersebut. Ada dua alasan utama penolakan Masyumi: Bahwa
demokrasi itu bersifat universal tidak membedakan Timur dan Barat, dan
kekhawatiran akan kemungkinan PKI berpartisipasi dalam pemerintahan.821
Terhadap pidato presiden tersebut Hamka menyatakan adanya dua tujuan
yang ingin diraih Soekarno, yaitu: ‚Pertama membulatkan kuasa kepada Presiden,
dengan redaksi ‘menyatukan pemerintahan dengan pimpinan revolusi’; dan tujuan
yang kedua ialah memelihara ‘Pancasila’ yang sekarang tengah digoncangkan oleh
perjuangan kaum Muslimin. Untuk maksud itu dinamailah dianya ‘Demokrasi
Terpimpin’.‛822
Hamka melanjutkan, ketika terwujud Demokrasi Terpimpin negara akan
dikelola sesuai keinginan Presiden sendiri dengan mengatasnamakan ‚hikmat
kebijaksanaan‛. DPR, MPR, DPA, dan Front Nasional akan dibentuk dengan
Peraturan Pemerintah, dan akan berisi orang-orang yang disukai Presiden dengan
mengatasnamakan ‚hikmat kebijaksanaan‛. Trias Politica jadi jadi kabur. Oposisi
akan mati dan tidak akan ada lagi demokrasi karena semua kekuasaan (legislatif,
yudikatif, dan eksekutif) akan terpusat di tangan Presiden. Pada akhirnya
terciptalah totalitarianisme. Sementara Front Nasional dianggap Hamka tak
ubahnya sebagai staat-partij (partai negara). ‚Dalam jalan berpikir yang logis,
apabila kekuasaan seluruhnya telah terkumpul ke dalam satu tangan, atau total ke
dalam satu tangan, bernamalah dia ‘totaliter’. Tetapi karena nama totaliter tidak
populer, ditukarlah jadi ‘demokrasi terpimpin’‛, ungkapnya.823
Karena itu, Hamka tegas menolak usulan kembali kepada UUD 1945 dan
Demokrasi Terpimpin. Menurutunya, usulan itu bukanlah obat yang dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang akut saat itu. Obat yang
sepadan dengan penyakit itu menurut Hamka dan Masyumi adalah membentuk
pemerintahan presidensial dengan mengembalikan kepemimpinan Dwi Tunggal
Soekarno – Hatta, dengan dibantu oleh kabinet yang profesional dan
berintegritas.824
Pernyataan keras Hamka tersebut mendapat respon sengit dari pendukung
Soekarno di Konstituante. Wakil dari PKI MA Chanafiah menyerang pribadi
Hamka dengan mengungkit masa lalunya yang sempat menjadi penasehat Jepang

821
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 221-222
822
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
365
823
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
365-366. Tuduhan Hamka tentang Trias Politica yang jadi kabur tersebut dilatarbelakangi
oleh kenyataan pemusatan kekuasaan semua lembaga negara ke dalam satu kekuatan.
Dalam hal ini Soekarno mengangkat Ketua Mahkamah Agung dan para ketua DPR-GR dan
MPRS sebagai menteri. Lihat Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh, h. 251
824
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I, h.
369

168
di Sumatera. ‚Ucapan saudara yang terhormat itu sungguh tidak mengherankan,
karena memang surganya terletak di bawah telapak kaki Jepang. Dengan runtuhnya
Jepang, runtuh pulalah surganya,‛ kata Chanafiah menyerang.825
Sementara dalam tanggapannya Perdana Menteri Djuanda sebagai wakil
pemerintah membantah usulan pemerintah tersebut ‚mengandung tujuan
membubarkan Konstituante‛. Djuanda juga membantah pernyataan wakil-wakil
Fraksi Masyumi dan Fraksi Partai Buruh yang menuduh Demokrasi Terpimpin
sebagai pemerintahan diktator.826 Bantahan juga diberikan Djuanda atas
pernyataan Hamka bahwa Demokrasi Terpimpin akan mengaburkan prinsip Trias
Politica, dan merupakan sebuah totalitarianisme, serta Front Nasional tak ubahnya
‚staat partij‛. Bahkan Djuanda balik menyerang dengan menyebut pernyataan
Hamka itu bersifat mengejek, ‚personlijk,‛ dan ‚provokatif‛.827 Serangan dari
Chanafiah tentang Hamka sebagai kolaborator Jepang dan tuduhan Djuanda
bahwa pernyataan Hamka bersifat mengejek, personal, dan provokatif tersebut
disampaikan ulang oleh anggota Konstituante Fraksi Gerakan Pembela
PancasilaError! Reference source not found. (GPPs), Anwar Nasution.828
Pernyataan Hamka bahwa Demokrasi Terpimpin adalah totaliter,
mengaburkan trias politica, dan kembali ke UUD 1945 sebagai jalan menuju ke
arah neraka mendapat beragam respons. Selain dari kalangan internal Konstituante,
kalangan di luar Konstituante pun banyak yang tersengat. Muhammad Yamin dan
Soekarno termasuk orang yang disebut-sebut tersinggung terhadap pernyataan itu.
Inilah yang diduga menjadi salah satu sebab kenapa di kemudian hari Hamka turut
ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Soekarno.829 Sebaliknya, sikap tegas
Hamka itu mendapat apresiasi dari M Natsir. Rekan Hamka di Masyumi yang saat
itu sedang berada di Sumpur Kudus Sumatera Barat itu pun memuji tanggapan
tersebut. ‚Suara Hamka demikian itu, kami rasakan bagai halilintar di siang hari,
yang tadinya kami tak duga-duga,‛ ungkap Natsir. Natsir pun kemudian mengubah
sebuah puisi untuk Hamka yang disiarkan melalui radio PRRI.830
825
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h.
783.
826
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h.
802
827
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II, h.
803
828
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
849
829
Lihat Artawijaya, Belajar Dari, h. 148-149; Maulana, Buya Hamka, h. 288
830
M Natsir, ‚Dua Kali Kami Berjumpa‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70
Tahun..., h. 5-7; M Natsir, Capita Selecta 3, (Jakarta: Abadi & Panitia Peringatan Refleksi
Seabad M Natsir, 2008), h. 308-309. Puisi Natsir itu berjudul ‚Daftar‛. Selengkapnya
berbunyi: Saudaraku, Hamka// Lama// Suaramu tak ku dengar lagi// Lama...// Kadang-
kadang,// Di tengah si pongang mortir dan mitraleur// Dentuman bom dan meriam sahut
menyahut// Ku dengar tingkahan irama sajakmu itu// Yang pernah kau hadiah kepadaku//
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ‚daftar‛// Tiba-tiba// Di tengah gemuruh
ancaman dan gertakan// Rayuan umbuk dan umbai silih berganti// Melantang menyambar
api kalimah-hak dari mulutmu// Yang biasa bersenandung itu// Seakan tak kau hiraukan

169
Hamka tidak puas atas jawaban PM Djuanda tersebut. Pada sidang tanggal
25 Mei 1959 ia kembali memberikan tanggapan atas jawaban Djuanda sekaligus
merespons serangan atas dirinya dari beberapa anggota Konstituante lainnya.
Menurut Hamka, pemerintah tidak mempunyai ‚daya upaya buat mengubah jalan
pikiran saya‛ sehingga untuk ‚menyembunyikan ketidakmampuan itu dituduh
sajalah saya mengejek‛. Hamka pun semakin yakin dengan pernyataannya
sebelumnya bahwa kebenaran itu kuat dan mampu mempertahankan dirinya
sendiri. Namun sayangnya, ujarnya, ‚Kebenaran yang kuat dan dapat
mempertahankan diri itulah rupanya yang belum kompak dalam pendirian
pemerintah.‛831
Hamka juga membantah pidatonya bersifat provokatif. Ia balik menyerang
dengan menyatakan bahwa ‚pidato amanat pemerintah sendiri yang terang
provokatif dan berisi intimidasi.‛ Di sini Hamka mengutip pernyataan yang
dianggapnya provokatif dalam pidato Presiden Soekarno yang telah diterbitkan
dengan judul ‚Res Publica Sekali Lagi Res Publica‛ itu: ‚Jagalah jangan sampai
negara dan rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga rakyat nanti terpaksa
bertindak sendiri, sebagaimana kita saksikan sendiri pada permulaan revolusi
nasional kita‛.832 Bukan hanya pidato Soekarno tersebut yang dianggapnya
provokatif, pernyataan-pernyataan dari para pendukung UUD 1945 juga disebut
Hamka sebagai provokatif. Di sini Hamka mempermasalahkan pernyataan-
pernyataan Njoto dari PKI yang mencaci maki M Hatta. Bahkan Hamka juga
mengutip pidato provokatif dari Residen Banyumas Raden Sumardjito pada 20
Mei 1959: ‚Siapa yang tidak setuju kembali kepada Undang-undang Dasar 1945
dan tidak setuju Demokrasi Terpimpin supaya keluar dari Indonesia!‛.833
Tentang tuduhan pidatonya menyinggung pribadi, Hamka menyatakan
dirinya hanya menanggapi pidato Presiden yang disampaikan di depan majelis
Konstituante. Berdasar prinsip demokrasi, ungkapnya, tidak masalah dirinya
mempermasalahkan kekuasaan Presiden yang begitu besar. Namun demikian,
lanjutnya, jika membantah pidato Presiden dianggap merendahkan pribadi dan
marwah kepala negara, maka itu merupakan ‚cara yang dulu dipakai dalam negara-
negara totaliter atau zaman baheula, zaman feodal, atau digabung keduanya‛.834
Justru yang menyinggung person, ungkap Hamka, adalah pernyataan Anwar
Nasution tentang dirinya sebagai kolaborator Jepang. Tentang hal ini Hamka
membandingkan apa yang dilakukannya dulu itu belum sebanding dengan yang

olehmu bahaya mengancam// Pancangkan!// Pancangkan olehmu, wahai Bilal!//


Pancangkan panji-panji kalimah tauhid// Walau karihal kafirun!...// Berjuta kawan sefaham
bersiap masuk// Ke dalam ‚daftarmu‛....
831
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
874
832
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
875
833
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
875
834
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h.
876

170
telah dilakukan Soekarno. ‚Beliau sampai dapat bintang ‘Ratna Suci Kelas I’ dari
Tenno Heika dan saya tidak dapat bintang,‛ jelasnya. Hamka mengaku,
kedekatannya dengan Jepang di masa lalu itu telah mendapat restu dari Soekarno
saat dia berkunjung ke kediamannya di Pegangsaan Timur 56 pada April 1944.835
Meski secara resmi baru berjalan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun
sesungguhnya Soekarno telah memulai pelaksanaan demokrasi impiannya itu sejak
beberapa waktu sebelum itu. Momen Soekarno selaku Presiden RI yang memilih
dirinya sendiri sebagai warga negara menjadi formatur untuk membentuk Kabinet
Karya dipandang sebagai praktik nyata pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Pelaksanaan itu pun dilakukan dengan memanfaatkan gejolak politik di beberapa
daerah, di mana beberapa kelompok ‚dewan-dewan‛ muncul dan mengambil alih
pemerintahan di daerah, seperti Dewan Banteng dipimpin Kol Ahmad Husein di
Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin Kol Maludin
Simbolon, dan di Sulawesi muncul Dewan Perjuangan Semesta yang dipimpin Kol
Sumual.
Dari gejolak ini kemudian lahir lah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) di Sumatera dan Permesta di Sulawesi yang dibidani para perwira
tersebut, dan kemudian melibatkan beberapa tokoh Masyumi dan PSI. Selain
faktor persaingan antar perwira militer, pergolakan di beberapa daerah itu juga
disebabkan oleh ketidakpuasan daerah-daerah luar Jawa atas hubungan pusat-
daerah yang timpang, di mana pembangunan hanya terpusat di Jakarta, sementara
daerah-daerah di luar Jawa menjadi tidak terperhatikan. Salah satu tuntutan utama
mereka adalah otonomi daerah. Atas peristiwa ini Presiden dengan dukungan
Panglima TNI AH Nasution menyatakan Keadaan Darurat Perang (SOB – Staat
von Orloog en Beleg) pada 14 Maret 1957.836
Setelah Soewirjo (Ketua PNI) gagal membentuk kabinet baru pengganti
Kabinet Ali Sastroamidjojo II, pada 4 April Soekarno mengangkat dirinya sendiri
sebagai formatur. Maka terbentuklah Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet
Karya pada 8 April.837 Masyumi mengecam campur tangan Presiden dalam
pemerintahan itu. Mereka menilai Presiden telah melanggar UUD. Pun demikian
alasan SOB yang digunakan Presiden untuk bertindak membentuk kabinet ‚secara
mutlak‛ itu. Masyumi menilai hal itu tidak sesuai dengan pasal-pasal dalam
undang-undang itu sendiri. Masyumi pun melarang anggotanya berpartisipasi
dalam Kabinet Karya. Meski demikian ada dua pimpinan Masyumi yang terlibat

835
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III,
h. 876
836
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 268-270, 290-307; ‚Pemberontakan
Separuh Jalan,‛ dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 46-49.
Kehadiran dan keterlibatan tokoh-tokoh Masyumi M Natsir, Syafruddin Prawiranegara,
dan Burhanuddin Hararap dalam PRRI disebut justru menghalangi keinginan beberapa
perwira militer di Sumatera untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Sehingga
hanya melahirkan PRRI sebagai sebuah alternatif pemerintahan bagi pemerintahan RI di
Jakarta. Lihat Hendri F Isnaeni, ‚Trio Masyumi dalam PRRI‛, dalam Historia, no 16,
tahun II, 2013, h. 60-61. k
837
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 222-223.

171
dalam Kabinet Djuanda: Pangeran Mohammad Noor sebagai Menteri Pekerjaan
Umum dan Moelyadi Djoyomartono sebagai Menteri Sosial. Akhirnya Pangeran
Mohammad Noor dipecat dari partai. Sementara Moelyadi mengundurkan diri.838
Pemerintah pun kemudian membentuk Dewan Nasional seperti keinginan
Presiden sejak semula. Mulai bertugas pada 12 Juli 1957, Dewan Nasional
memiliki 42 anggota yang dipilih Presiden dari kalangan militer dan kepolisian,
wakil daerah dan golongan fungsional. Meski secara resmi bukan mewakili partai-
partai namun Madinier mencatat tidak adanya simpatisan Masyumi yang
dilibatkan dalam dewan ini. PNI dan PKI membagi rata kursinya bagi kelompok
petani, buruh, pemuda dan wartawan. Sementara NU memberikan kursinya bagi
golongan ulama. Masyumi menilai pembentukan institusi baru ini sebagai tidak
konstitusional dan suatu jalan menuju pemberlakuan Demokrasi Terpimpin impian
Soekarno.839 Benar saja dugaan Masyumi, sejak Juli hingga November 1948 Dewan
Nasional terus memunculkan berbagai usulan untuk mengurangi peran partai-partai
politik sekaligus memberikan peran penting bagi golongan fungsional. Dewan juga
membentuk sebuah komisi yang diketuai Ahem (aktivis Buruh dari PNI) untuk
mengajukan gagasan AH Nasution agar kembali kepada UUD 1945.840 Atas peran
seperti inilah Adnan Buyung Nasution menilai posisi Dewan Nasional ‚tak
ubahnya Konstituante tandingan yang ditawarkan Soekarno‛.841
Setelah sukses membubarkan Konstituante dan memaksa kembali ke UUD
1945 melalui Dekrit, Soekarno semakin leluasa memusatkan kekuasan negara di
tangannya. Pada 20 Maret 1960 dia membubarkan parlemen hasil pilihan rakyat
karena menolak usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) yang diajukan pemerintah. Kemudian pada 24 Juni 1960 dia membentuk
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Anggota-anggota DPR-
GR dipilih oleh Soekarno tanpa melibatkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia

838
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 389
839
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 225-226. Pelibatan perwira militer dalam
Dewan Nasional dinilai Andi Widjajanto sebagai ‚memberi jalan bagi pelibatan organisasi
TNI ke arena politik nasional.‛ Sebelumnya perwira militer telah dilibatkan dalam politik
secara individual dalam Kabinet Karya yang dibentuk pada 9 April 1957. Pelibatan militer
dalam politik semakin mendalam tatkala diterapkan doktrin perang teritorial. Pada 1959
dibentuk 16 Kodam menggantikan keberadaan Tujuh Tentara & Teritorium yang dibentuk
pada 20 Juli 1950. Lihat Andi Widjajanto, ‚Nasution, Jalan Tengah, dan Politik Militer,‛
dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 92-93
840
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 249. Kembali kepada UUD 1945 menjadi bagian
penting bagi doktrin perang gerilya-nya AH Nasution. Widjajanto mencatat, doktrin
tersebut mengharuskan militer untuk menumbuhkan militansi rakyat untuk berjuang
bersama dan mewujudkan kepemimpinan yang kuat. Dengan doktrin ini militer merasa
memiliki tanggungjawab untuk mengangkat kualitas kepemimpinan sipil. Hal ini
mendorong Nasution untuk memperjuangkan gerakan kembali ke UUD 1945, karena dapat
menciptakan sistem presidensial yang menghilangkan persaingan pengaruh antara presiden,
perdana menteri, menteri pertahanan, dan DPR. Lihat Andi Widjajanto, ‚Nasution, Jalan
Tengah,...‛ h. 93
841
Lihat ‚Panas di Sidang, Akrab di Luar,‛ dalam Tempo, edisi khusus
kemerdekaan, 13-19 Agustus 2007, h. 42

172
(PSI), karena keduanya dianggap ‚merintangi revolusi kita.‛ Keduanya juga
dituduh terlibat dalam pergolakan di beberapa daerah. Dari 283 anggota DPR GR
hanya terdapat 43 orang wakil partai-partai Islam: NU 36 orang, PSII 5, dan Perti
2. Sementara ada 94 kursi untuk PNI dan afiliasinya, 81 untuk PKI dan afiliasinya.
Jika ditotal seluruh wakil Islam dari partai-partai tersebut dan golongan ulama
yang mendapat 24 kursi, maka seluruh wakil Islam dalam DPR-GR hanyalah 67
orang.842
Saat itu Soekarno membagi anak bangsa menjadi kekuatan ‚revolusioner‛
dan ‚kontra revolusioner‛. Soekarno sendiri berposisi sebagai ‚pemimpin besar
revolusi.‛843 Ukuran revolusioner adalah dukungannya terhadap Demokrasi
Terpimpin dan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Semakin loyal
mendukung Nasakom, semakin dianggap revolusioner. Sebaliknya juga, yang
mengritik Nasakom dan Demokrasi Terpimpin diposisikan sebagai kelompok
kontra revolusioner.844 Pada titik ini Masyumi dan PSI merupakan kekuatan oposisi
yang selalu mengritik kebijakan-kebijakan Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Kelompok oposisi ini disebut sebagai ‚merintangi revolusi kita‛ oleh Soekarno,
atau ‚golongan kepala batu‛ menurut PKI.845
Langkah Soekarno terus dilakukan dengan membentuk Dewan Pertimbangan
Agung (Dikenal sebagai DPA-S, DPA Sementara) menggantikan Dewan Nasional,
Badan Perancang Nasional, Badan Pengawas Penertiban Aparatur Negara, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S), serta Front Nasional.846
Keanggotaan MPR-S terdiri dari anggota DPR-GR dan ditambah dengan utusan
daerah/golongan. Mereka itu pun dipilih dan diangkat oleh Soekarno. MPR-S
memiliki 616 anggota. Salah satu wakil ketuanya adalah Aidit dari PKI. Dengan
demikian PKI ikut serta dalam setiap lembaga pemerintahan kecuali kabinet. Dan
ini merupakan perwujudkan dari mimpi Soekarno untuk menyatukan kelompok
nasionalis, agama dan komunis dalam satu koalisi pemerintahan.847

842
‚Panas di Sidang, Akrab...,‛ h. 250-253; Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h.
392-393. Sebenarnya ada dua pimpinan Masyumi yang ditawari masuk dalam DPR-GR,
yaitu Soekiman dan Jusuf Wibisono. Namun Soekiman menolak karena jika menerima
berarti dia merasa bukan sebagai seorang yang berjiwa perwira dan menjadi seseorang yang
rendah budi. Sementara Wibisono menerimanya sebagai wakil dari SBII (Serikat Buruh
Islam Indonesia) setelah keluar dan memutus semua ikatan dari Masyumi. Lihat R
Madinier, Partai Masjumi..., h. 261-262. Dalam sebuah pernyataan anggota Konstituante
Fraksi Murba Sudijono Djojoprajitno terungkap bahwa Wibisono pada 10 Mei 1959 telah
mendukung usulan Soekarno untuk kembali pada UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin.
Lihat Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III, h. 968
843
Taufik Abdullah, ‚Demokrasi Parlementer, Optimisme...‛ h. 37; Firdaus Syam,
Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup. Pemikiran dan Tindakan Politik, (Jakarta:
Dyatama Milenia, 2004), h. 179
844
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 96-97
845
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., h. 250
846
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394. Lihat juga Deliar Noer, Mohammad
Hatta: Hati Nurani Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2012), h. 155
847
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, penerjemah Tim Penerjemah
Serambi, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 556

173
Maarif mencatat DPA-S, yang dipimpin sendiri oleh Soekarno dengan Wakil
Ketua Roeslan Abdoelgani (PNI), yang mengusulkan kepada MPR-S agar pidato
kenegaraan Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul ‚Menemukan Kembali
Revolusi Kita‛ dijadikan sebagai Manifesto Politik (Manipol). Manifesto ini
kemudian dikembangkan menjadi Manipol-Usdek.848 Abdoelgani menyebut pidato
tersebut sebagai semacam verantwoording atau ‚pertanggungjawaban‛ presiden
kepada rakyat atas keputusannya mengeluarkan Dekrit 5 Juli. Sedangkan DPA-S
menyebutnya sebagai ‚penjelasan resmi‛ dari dekrit, dan karenanya, merupakan
satu kesatuan tak terpisahkan dari Dekrit 5 Juli. DPA-S sendiri memutuskan secara
bulat Manipol Usdek sebagai GBHN pada sidang pertama dan kedua sekitar
Agustus-September 1959. Keputusan ini diambil karena saat itu belum terbentuk
MPR, sementara UUD ’45 mengamanahkan keharusan adanya GBHN. Keputusan
DPA-S ini kemudian diusulkan kepada Presiden, dan disetujui oleh presiden,
Depernas, dan Kabinet Kerja secara bulat.849 Di kemudian hari usulan ini pun
disahkan oleh MPR-S menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).850
Manipol merupakan akronim dari Manifesto Politik. Abdoelgani
menjelaskan, istilah ‚Manifesto‛ pertama kali digunakan oleh Menteri Penerangan
Maladi jauh hari sebelum isi pidato itu selesai dibuat, yaitu tanggal 30 Juli 1959.
Sementara Usdek akronim dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Usdek dianggap
Abdoelgani sebagai intisari dari Manipol.851 Manipol-Usdek kemudian menjadi
ideologi Demokrasi Terpimpin yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Para
penolak Manipol-Usdek dan Demokrasi Terpimpin menghadapi tekanan yang besar
dari penguasa. Melalui Peperti No 10/1960 pemerintah memerintahkan semua
media massa membuat pernyataan menyetujui dan mendukung Manipol-Usdek.
Media massa yang menolak Manipol-Usdek diberangus. 852 Kejaksaan Agung

848
A Syafii Maarif, Islam dan Politik..., 53. Lihat juga Artawijaya, Belajar Dari
Partai..., h.120-121
849
Roeslan Abdulgani, Pendjelasan Manipol dan Usdek,(Jakarta: Departemen
Penerangan RI, 1960), h. 6-8.
850
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394.
851
Maarif menyebut USDEK sebagai akronim dari UUD 45, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial. Lihat A Syafii Maarif,
Islam dan Politik..., h. 53. Sementara Madinier menyebut USDEK sebagai UUD 45,
Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Nasional. Lihat R Madinier, Partai Masjumi..., h. 257 catatan kaki no 123. Akronim ini
sama dengan yang ditulis MC Ricklefs (lihat MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern..., h.
553); dan Ahmad Mansur Suryanegara -lihat Api Sejarah 2, (Bandung: Salamadani, 2014)-
h. 392. Di sini akronim yang digunakan Madinier, Ricklefs dan Suryanegara yang
digunakan karena Hamka pun menyebut akronim Usdek seperti itu. Roeslan Abdulgani
selaku Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Ketua Panitia Pembina Djiwa
Revolusi juga menyebut akronim USDEK sama seperti yang disebut Hamka tersebut, lihat
Roeslan Abdulgani, Pendjelasan Manipol dan..., h. 9
852
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern..., h. 553. Lihat juga Fajar Riadi,
‚Menegaskan Kawan dan Lawan‛, dalam Historia, no 16, tahun II, 2013, h. 49

174
melarang ceramah dan pembicaraan politik di masjid.853 Kegiatan-kegiatan
masyarakat yang tidak bersifat murni ibadah keagamaan namun terkait dengan
keagamaan diharuskan memiliki izin dari pemerintah. Permohonan izin harus
diajukan paling lambat 7 hari sebelum kegiatan dilaksanakan dengan menyertakan
materi ceramah/khutbah yang akan disampaikan secara lengkap.854 Bahkan anggota
MPRError! Reference source not found.-S pun harus menyatakan ikrar setia kepada
manifesto tersebut.855
Di Bandung, lima mantan anggota Konstituante dari Masyumi ditangkap
karena mengecam konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menuduhnya sebagai arah
menuju diktatorial.856 Media massa pun coba dikendalikan pemerintah. Media
massa yang tidak mau mengikuti keinginan penguasa terancam dibreidel. Smith
mencatat, pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan 125 tindakan kepada pers.
Mulai dari interogasi dan peringatan, pembreidelan, hingga penahanan dan
pemenjaraan wartawan. Tuduhan yang diberikan pun bermacam-macam, mulai dari
pemuatan berita tidak benar, penghinaan terhadap pemerintah atau pejabat
pemerintah, hingga tanpa memberikan alasan sama sekali.857 Pada tahun 1958

853
Mohamad Roem, ‚Politik Hamka‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70
Tahun..., h. 9; Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983) h. 103-104. Namun demikian aparatur pemerintah bisa memanfaatkan khutbah itu
untuk kepentingan politiknya. Hamka pernah menceritakan, pada tahun 1964 juru bicara
Manipol Usdek Roeslan Abdulgani menggunakan kesempatan sebagai khatib hari raya di
halaman Masjid Agung al-Azhar untuk mengadakan indoktrinasi. Namun kemudian
mendapat perlawanan halus dari para jamaah. Satu persatu mereka pergi dari barisan
sehingga ‚tinggallah beliau di atas mimbar dengan serba salah; akan diteruskan semangat
sudah mulai patah, akan turun saja khutbah belum habis,‛ kisah Hamka. Lihat Hamka,
‚Bismillah Dengan Orde Baru‛, dalam Pandji Masjarakat, no 8, 20 Januari 1967, h. 2
854
‚Kegiatan Agama‛, dalam Pandji Masjarakat, no 4, tahun I, 1 Agustus 1959, h. 3.
Peraturan ini dikeluarkan karena saat itu Presiden Soekarno menetapkan negara dalam
Keadaan Bahaya berdasar pada UU Keadaan Bahaja No 74 tahun 1957. Kemudian hari UU
Keadaan Bahaja tahun 1957 ini diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No 23 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Selain karena UU No 74/1957 itu
telah habis masa berlakunya pada tanggal 16 Desember 1959, saat itu juga telah berlaku
UUD 1945 menggantikan UUDS melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kelurnya PERPPU
ini juga melanjutkan penetapan negara dalam kondisi bahaya (perang). Meski saat itu
beberapa pemberontakan dan pergolakan telah selesai, namun Presiden tetap melanjutkan
negara dalam keadaan bahaya dengan alasan ‚masih harus melakukan konsolidasi dan
stabilisasi territorial sepenuhnya bagi keamanan rakyat, -konsolidasi dan stabilisasi yang
merata, yang memerlukan waktu yang lama.‛ Lihat Amanat Presiden Berhubung Dengan
Pernjataan Negara Dalam Keadaan Perang, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tentang Keadaan Bahaja (No 23 Th. 1959-LN 1959/139-TLN 1908) dan
Peraturan-Peraturan Jang Berhubungan Dengan Itu, diterbitkan oleh Inspektorat Djenderal
Territorial dan Perlawanan Rakjat, 1959, h. 72-73
855
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394.
856
‚Tak Pasti Karena Si Bung‛, dalam Tempo, edisi khusus kemerdekaan, 13-19
Agustus 2007, h. 56
857
Edward C Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, penerjemah Atmakusumah,
dkk., (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1986), h. 169-170

175
jumlah tindakan pemerintah terhadap pers sebanyak 95 kali.858 Tahun 1959
sebanyak 73 tindakan,859 tahun 1960 sebanyak 93 tindakan,860 tahun 1961 sebanyak
52 tindakan,861 tahun 1962 ada 16 tindakan,862 tahun 1963 ada 6 tindakan, 863 dan
masing-masing ada 10 tindakan pada tahun 1964 dan 1965.864
Pembubaran beberapa partai politik (Masyumi dan PSI) pada 1960
menjadikan posisi Soekarno semakin kuat. Saat itu hanya ada 8 partai politik yang
dibolehkan hidup: PKI, PNI, NU, PSII, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Partindo.
Namun demikian melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada April 1961
Soekarno memiliki kekuasaan untuk membubarkan partai politik yang ada jika
tidak mengikuti, apa yang disebut Edward C Smith sebagai ‚ideologi progresif
kiri‛, pemerintah.865 Hal ini membuat Soekarno semakin leluasa membentuk
berbagai institusi yang memperkuat Demokrasi Terpimpinnya.866 Dia menjadi
pusat kekuasaan yang mengendalikan dua kekuatan besar yang ada di sekitarnya:
TNI (khususnya Angkatan Darat/AD) dan PKI. Sesungguhnya dua kekuatan ini
secara diam-diam saling bersaing memperebutkan pengaruh, dan pada titik tertentu
menjadi persaingan terbuka dan konflik fisik.867 Totalitarianisme Soekarno
semakin memuncak ketika MPR-S mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup
pada tahun 1962.868

858
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 181
859
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 208
860
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 210
861
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 212
862
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 214
863
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 216
864
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 218 dan 220
865
EC Smith, Pembreidelan Pers Di..., h. 153
866
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 256-257
867
Firdaus Syam, Yusril Ihza Mahendra..., h. 178. Beberapa sarjana menyebut,
sebenarnya persaingan terjadi antara Soekarno dengan AD. Soekarno pun berusaha
memperkuat posisinya dengan merangkul PNI dan NU, dan terutama pada PKI. Lihat
Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, (Jakarta: Rajawali, 1984), h. 14-15.
Berbeda dengan ini, Herbert Feith melihat kekuasaan di era Demokrasi Terpimpin tidaklah
terpusat pada Soekarno seorang, namun presiden berbagi kekuasaan dengan militer.
Hubungan keduanya bukan sebagai pemimpin-pengikut, namun sebagai dua mitra yang
berhubungan secara kooperatif dan kompetitif. Keduanya sama-sama tidak suka pada
parpol-parpol, liberalisme, dan percekcokan antar kelompok. Menurut Feith, kekuasaan
Soekarno pada bidang artikulasi nilai-nilai, perumusan ideologi negara dan penanaman
kesetiaan kepadanya, penciptaan lambang-lambang, pemeliharaan semangat perjuangan,
politik luar negeri, dan prakarsa politik secara umum. Sementara militer menentukan dalam
bidang pemerintahan daerah, pengelolaan kembali perusahaan-perusahaan bekas Belanda,
pada taraf tertentu di bidang administrasi secara umum, dan penanganan masalah
pemberontakan. Lihat Feith, Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1995), h. 30-31
868
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas..., h. 394; Deliar Noer, Mohammad Hatta:
Hati Nurani Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2012), h. 155. Pada 24 Desember 1962
Musyawarah Persatuan Karyawan Perusahaan Negara memunculkan gagasan agar

176
2. Perjuangan Melalui Jalur Non-Politik
Cengkeram kekuasaan Soekarno yang begitu kuat melahirkan berbagai
serangan, teror, dan intimidasi kepada lawan-lawan politiknya. Tokoh-tokoh yang
kritis terhadap rezim menjadi sasaran teror mereka. Kondisi ini membuat beberapa
pimpinan Masyumi harus hijrah ke Sumatera. Sementara tokoh-tokoh Masyumi
yang tidak ikut ke Sumatera terus menjadi sasaran teror.869
Dalam surat pribadinya kepada Soekarno tertanggal 27 Februari 1957, Bung
Hatta mengecam teror yang terjadi pada tokoh-tokoh oposisi. Bung Hatta
menceritakan,
Bung Tomo didatangi oleh seorang dengan bersenjata untuk memaksakan, supaya ia
menyetujui ‚konsepsi Bung Karno‛... Djamaludin Malik sudah dua kali diancam
dengan pistol, sehingga dia sekarang menyingkir ke Sumatra Tengah. Kiai Dahlan
didatangi di rumahnya dan diancam supaya menyetujui konsepsi Bung itu. Ny Maria
Ulfah Santoso dibawa dengan paksa dengan jeep dari gedung sensor film ke markas
besar pemuda TP di Jalan Waringin... Banyak pula pemimpin-pemimpin lain yang
didatangi seperti Mr Tambunan, Sdr. Natsir dan lain-lainnya...870
Teror terus berlangsung hingga beberapa tahun kemudian. Pada November
1961 Achmad Soebardjo (mantan menteri luar negeri) dan Dr Syahriar Rasad
ditangkap. Prof Bahder Djohan dan Maria Ulfa Santoso juga mengalami teror dari
‚orang tak dikenal.‛ Pada Januari 1962 rezim Soekarno menangkapi tokoh-tokoh
oposisi, seperti Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, Prawoto
Mangkusasmito, Yunan Nasution, IsaError! Reference source not found. Anshary,
Mochtar Ghozali, Muttaqien, dan Moh Roem. Mereka ini adalah tokoh-tokoh dari
PSI dan Masyumi.871
Selain itu pemerintah juga semakin ketat mengawasi dan mengekang
rakyatnya. Pada Juni 1959 Peperpu (Penguasa Perang Pusat) mengeluarkan aturan
tentang perizinan kegiatan masyarakat. Di dalamnya memuat aturan bahwa:
‚Dalam pada itu untuk mengadakan ibadah-ibadah agama, upacara-upacara/
pendidikan-pendidikan/ penerangan-penerangan agama yang khusus bersifat agama
dan upacara-upacara adat yang khusus bersifat adat tidak memerlukan izin.‛
Sebaliknya, ‚Mengadakan upacara-upacara, pidato-pidato, khutbah-khutbah,
kursus-kursus, ceramah-ceramah, siaran-siaran, lukisan-lukisan, pendidikan-
pendidikan, penerangan-penerangan, yang bersangkut paut dengan agama dan adat,
diharuskan minta izin lebih dahulu kepada bahagian umum Paperda...‛. Dengan
ketentuan, pengajuan izin paling lambat 7 hari sebelum kegiatan dan harus
menyertakan materi ceramah, khutbah, dan lainnya secara lengkap. Atas terbitnya
aturan ini majalah Pandji Masjarakat yang dikelola Hamka dan KH Fakih Usman

Soekarno dijadikan presiden seumur hidup. Gagasan ini kemudian disambut oleh Chaerul
Saleh selaku Ketua MPRS dan disahkan secara resmi oleh MPRS. Lihat Mochtar Lubis,
Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno 1957-
1965, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), h. 18
869
R Madinier, Partai Masjumi..., h. 233-235; Rusydi Hamka, Pribadi dan
Martabat..., h. 174-175; Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 49
870
Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 18.
871
Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 68-69

177
menulis, ‚Segala kegiatan yang mengenai politik kita hentikan sementara, karena
kita ingin pulihnya keamanan. Tetapi kegiatan beragama tidaklah sekali-kali boleh
dihentikan.‛872
Pemberangusan oposisi dan pemusatan kekuasaan di satu tangan menjadikan
Soekarno semakin di puncak kekuasaannya. Partai-partai yang ada hanya
mengikuti apa kehendaknya, bahkan semakin menguatkan totalitarianisme itu
dengan mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. NU sebagai partai
Islam terbesar saat itu juga melegitimasinya dengan dalil-dalil agama. Sementara
kekuatan masyarakat (civil society) menjadi tidak berdaya, bahkan turut
memberikan legitimasi pada Soekarno. Muhammadiyah menyebut Soekarno
sebagai ‚Pengayom Agung Muhammadiyah‛, Universitas Muhammadiyah Jakarta
memberikan gelar doktor kehormatan bidang Falsafah Ilmu Tauhid, dan
musyawarah dekan-dekan IAIN yang dipimpin Prof R.H.A. Soenarjo memberi
gelar Waliyyul Amri kepadanya. Gelar ini merupakan penguat atas gelar serupa
yang pernah diberikan NU dan Perti.873
Dalam kondisi politik seperti inilah Hamka mengambil pilihan yang realistik
untuk kondisi saat itu: meninggalkan gelanggang politik praktis dan kembali ke
jalur dakwah. Pada pilihan ini Hamka mengambil beberapa peran sekaligus:
sebagai juru dakwah, penulis/jurnalis, dan jalur kesenian. Di sini Hamka
menjadikan Masjid Agung Al-Azhar yang baru selesai pembangunannya sebagai
pusat perjuangan. Dalam sebuah ceramahnya di hadapan jamaah masjid tersebut
Hamka pernah menyatakan, ‚Kita mulai perjuangan dari masjid, selama ini kita
lalai memperhatikan masjid karena terlalu sibuk di parlemen.‛ 874
Hamka bersama KH Fakih Usman mendirikan majalah Pandji Masyarakat
pada 1959. Pada edisi perdana majalah ini mencantumkan mottonya sebagai
‚Penyebar kebudayaan dan pengetahuan selaras dengan perjuangan reformasi dan
modernisasi Islam‛.875 Nama Pandji Masjarakat merupakan gabungan dari dua

872
‚Kegiatan Agama‛, dalam Pandji Masjarakat, h. 3
873
Lihat Syafii Maarif, Islam dan Politik Di Indonesia..., h.109-120; Greg Fealy,
Ijtihad Politik Ulama..., 170-175
874
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174-175.
875
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174-175. Dalam tulisannya ini Rusydi
Hamka menyebut penerbitan majalah Pandji Masjarakat bersama KH Faqih Usman dimulai
bulan Juli 1959. Catatan Rusydi ini tampaknya kurang tepat karena peneliti mendapatkan
Pandji Masjarakat edisi No 1, Tahun I, tertanggal 15 Juni 1959/8 Dzulhijjah 1379. Dalam
edisi perdana ini struktur pengelola Pandji Masjarakat adalah: Moh Fakih Usman
(Pimpinan Umum), Hamka dan Jusuf Abdullah Puar (Pimpinan Redaksi), M Joesoef Ahmad
(Pimpinan Usaha). Di situ juga mecantumkan alamat redaksi: Jl Majapahit 28/3 Jakarta.
Lihat Pandji Masjarakat, no 1, tahun I, 15 Juni 1959, h. 3. Hamka menceritakan, pada
Januari 1950 dirinya bersama M Yusuf Ahmad, M Yunan Nasution, M Zain Djambek dan
beberapa rekannya yang lain membicarakan rencana menerbitkan sebuah majalah
pengetahuan dan kebudayaan Islam sebagai kelanjutan dari Pedoman Masjarakat. Namun
karena berbagai sebab rencana itu baru terwujud pada pertengahan Juni 1959 dengan nama
Pandji Masjarakat. Hamka sendiri baru bisa secara penuh waktu mengurus majalah Pandji
Masjarakat itu setelah dirinya keluar dari pegawai negeri pada 31 Agustus 1959. Sehingga
mulai 1 September Hamka yang memimpin langsung Pandji Masjarakat. Lihat Hamka,

178
majalah Islam yang pernah terbit di Medan sebelum kemerdekaan: Pandji Islam
yang dipimpin Zainal Abidin Ahmad dan M Joesoef Ahmad, dan Pedoman
Masjarakat yang dipimpin Hamka. Dengan demikian Pandji Masjarakat diharapkan
menjadi pelanjut dari kedua majalah yang cukup berpengaruh di era sebelum
kemerdekaan itu.876
Meski bergerak di bidang pengetahuan dan kebudayaan, namun tak pelak
Pandji Masjarakat sering juga memuat kritik terhadap Soekarno. Banyak kebijakan
Soekarno yang mendapat tanggapan dari majalah ini. Dalam Pandji Masjarakat
Desember 1959 misalnya, Hamka menolak ‚Kepribadian Nasional‛ dalam ideologi
Manipol Usdek yang dimaknai sebagai kebudayaan Hindu Buddha dan Animisme-
Dinamisme. Menurutnya, kepribadian bangsa Indonesia adalah Islam, karena Islam
telah memberi jiwa dan warna dalam kehidupan keseharian bangsa Indonesia.
Sebegitu kuat pengaruh Islam itu hingga penjajahan Barat yang berlangsung
berabad-abad tidak bisa mengubahnya. 877
Karena itu, jelas Hamka, berbagai perayaan keagamaan seperti shalat Id atau
menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang secara
kolosal dilaksanakan umat Islam di Indonesia hendaklah menjadi momen yang
melahirkan kesadaran diri sebagai umat Islam. ‚Pada Hari Raya Id ini anda
mulailah membuka jalan dengan tekad kembali kepada kepribadian mukmin yaitu
yang konsepsinya dari Tuhan,‛ jelasnya.878 Kepribadian yang dijiwai dengan Islam
inilah yang dilihat oleh Hamka sebagai faktor penting bangsa Indonesia tidak bisa
musnah ‚ditelan mentah-mentah‛ oleh para kolonial Barat. Sebagaimana yang
pernah terjadi pada bangsa asli Amerika dan Australia.879
Setelah Orde Lama jatuh, Hamka kembali mempersoalkan istilah
‚Kepribadian Nasional‛ itu. Menurut Hamka terminologi itu masih samar dan
tidak memiliki pengertian yang jelas. Sembari mengutip tajuk harian ‚Kami‛
tanggal 3 Maret 1967 Hamka menyatakan, ‚Sekian tahun Soekarno memerintah,
sekian tahun pula dia tak putus-putusnya bicara tentang ‘Kepribadian Indonesia’.
Tapi juga sekian tahun lamanya dia tak kunjung menjelaskan apa yang
dimaksudkannya.‛880 Ketidakjelasan itu, lanjutnya, memang sengaja dilakukan oleh
Soekarno. Karena jika masyarakat terpelajar mengetahui maksud dari ‚Kepribadian
Nasional‛ yang diinginkannya, tentu mereka akan tegas menolaknya. Meski harus
dengan mengorbankan nyawanya.

‚Utjapan Sjukur dan Terimakasih‛, dalam Pandji Masjarakat, no 6, tahun I, 1 September


1959, h. 4
876
Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama Buya Hamka‛, dalam Salam (ed),
Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 226
877
Hamka, ‚Kebudayaan Nasional‛, dalam Pandji Masjarakat, no 12, tahun I, 1
Desember 1959, h. 3
878
Hamka, ‚Keutamaan Mu’min‛, dalam Pandji Masjarakat, no 24, tahun II, 1 Juni
1960, h. 3
879
Hamka, ‚Kebudayaan Arab atau Kebudayaan Islam,‛ dalam Pandji Masjarakat,
no 16, tahun II, 1 Pebruari 1960, h. 3
880
Hamka, ‚Kepribadian Indonesia,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 11, Maret 1967, h.
8

179
Hamka menjelaskan, sebagai bagian dari Manipol-Usdek, ‚Kepribadian
Nasional‛ yang dikampanyekan Soekarno merupakan alat yang digunakannya
untuk menyukseskan otoritarianisme Demokrasi Terpimpinnya. Hamka
berargumen, dengan merujukkan ‚Kepribadian Nasional‛ ke zaman Sriwijaya dan
Majapahit seperti yang diinginkan Soekarno, berarti dia ingin agar rakyat
Indonesia bersikap taat dan tunduk patuh menyerahkan jiwa raga kepadanya
sebagaimana yang berlaku di zaman kerajaan-kerajaan itu. Jadi, simpulnya,
‚Kepribadian Nasional‛ yang diinginkan Soekarno adalah kepribadian rakyat
sebagai budak dan dia sebagai baginda raja. Hamka menulis:
Dan kepribadian seperti ini belum hilang sampai sekarang, masih berkesan dalam
bahasa kita sehari-hari. Selain dari kata ‘aku’, tidak ada suku-suku bangsa Indonesia
yang membahasakan diri sebagai budak. Kata-kata saya (dari sahaya), hamba, kulo,
abdi, ulun, perhamba adalah kata yang belum hilang, dan oleh Soekarno tidak boleh
hilang, malah harus diartikan dengan sepenuhnya, supaya ‘pribadi’ itu tumbuh
kembali. Jangan sampai ‘dirusakkan’ oleh demokrasi liberal, oleh ajaran Barat atau
ajaran Islam. Kamu ini adalah sahaya, hamba, abdi (budak) kawulo dari ‘Gustimu’.
Dan yang berhak mengucapkan diri sebagai beta atau aku hanyalah ‘Pemimpin
Besar Revolusi’-mu.881
Pada edisi 1 Agustus 1959 Pandji Masjarakat menanggapi aturan yang
dikeluarkan Peperpu (Penguasa Perang Pusat) yang mengatur kegiatan keagamaan
masyarakat. Dalam ‚editorial‛-nya Pandji Masjarakat menyatakan tunduk kepada
aturan tersebut dengan menghentikan sementara kegiatan politik. Meski demikian,
kegiatan agama tidak boleh dihentikan. ‚Syukurlah bahwa perintah Penguasa
Perang tidak berlawanan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga
kita masih tetap melancarkan perintah Ilahi dengan sepenuh hati dan sepenuh
iman!,‛ tulis Pandji Masjarakat. Karena itu Pandji Masjarakat mengajak untuk
memperkuat iman dengan memperbanyak ibadah dan memperdalam pengetahuan
agama. Pandji juga mengajak untuk memperkuat ukhuwah islamiyah, tolong-
menolong di antara sesama Muslim, dan memperjuat dakwah dan jamaah.882
Banyak tulisan-tulisan di Pandji Masjarakat yang mengritik pemerintahan
Soekarno. Seperti pada edisi 1 September 1959 editorial Pandji menurunkan judul
‚Masjarakat Adil dan Ma’mur.‛ Pandji menyebut bahwa keadilan itu adalah alat
untuk mencapai kemakmuran, bukan tujuan itu sendiri. Semua orang harus
menegakkan keadilan. Bukan hanya masyarakat secara pribadi, namun terlebih lagi
pemimpin harus berbuat adil dan meninggalkan kedzaliman. Pemimpin tidak boleh
menyuruh rakyatnya hidup sederhana, tahan menderita lapar, tidur di kolong
jembatan, sementara dia bebas hidup mewah dan tinggal di gedung megah. Sikap
seperti ini dianggap Pandji sebagai sebentuk kedzaliman pemimpin. Jika rakyat
menemukan pemimpin yang seperti ini, mereka wajib menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar dan menegur pemimpinnya. Bila keadilan telah terwujud, lanjutnya,

881
Hamka, ‚Kepribadian Indonesia,‛ h. 8
882
‚Kegiatan Agama,‛ Pandji Masjarakat, h. 3

180
maka akan tercipta kemakmuran, yaitu ‚terasa di sana, terasa di sini, bukan terasa
di sana saja!.‛883
Kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1950-an dan 1960-an memang sedang
krisis berat. Inflasi menjulang tinggi hingga 600-an persen. Harga-harga kebutuhan
pokok semakin mahal. Harga beras yang semula Rp4,50 perkilo naik menjadi
Rp60-70 perkilo. Tarif listrik, air, gas, bus, trem, dan kereta api juga naik drastis.
Kehidupan rakyat makin terjepit, namun pejabat pemerintah memamerkan
kehidupan yang mewah. Mochtar Lubis menceritakan gaya hidup Soekarno saat
itu:
... Malahan Presiden Soekarno dan orang-orang sekelilingnya memamerkan pola
hidup yang mewah tanpa malu-malu. Soekarno juga tiap sebentar melakukan
perlawatan ke luar negeri, sebuah hobby yang amat disukainya, membawa
rombongan besar, menteri dan pejabat tinggi, wartawan. Cerita-cerita yang tersiar di
kalangan masyarakat tentang kunjungan-kunjungan Soekarno ke luar negeri penuh
cerita seks dan penghamburan dana rakyat yang luar biasa...884
Mungkin serangan terberat yang diberikan Hamka dan Pandji Masjarakat
terhadap Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah keberaniannya memuat tulisan
mantan wakil presiden M Hatta berjudul Demokrasi Kita. Tulisan yang dimuat
dalam Pandji Masjarakat edisi No 22, 1 Mei 1960, itu menggugat praktik
pemerintahan yang dilaksanakan Soekarno yang dinilai Hatta ‚kelihatan makin
jauh dari demokrasi yang sebenarnya.‛ Hatta menyebut beberapa hal untuk
meneguhkan pernyataannya itu. Pertama, Ketika Soekarno mengangkat dirinya
menjadi formatur kabinet dan membentuk Kabinet Djuanda. Meski melanggar
UUD 1950, namun parlemen ‚tiada menyatakan keberatan prinsipil,‛ malah ada di
antara mereka yang membela dengan dengan dalih ‚keadaan darurat‛.885
Kedua, melalui sebuah dekrit Presiden membubarkan Konstituante yang
dipilih oleh rakyat sebelum usai membuat UUD yang baru. Meski tindakan itu
termasuk pelanggaran konstitusi dan merupakan sebuah kudeta (coup d`etat), ujar
Hatta, namun mayoritas DPR membenarkannya. Sementara kelompok minoritas
yang menganggap tindakan Soekarno itu sebuah pemerkosaan terhadap konstitusi
terpaksa harus menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada. Ketiga, ketika
Presiden membubarkan DPR pilihan rakyat akibat berselisih dengannya dalam
persoalan APBN. Kemudian menggantikannya dengan DPR baru menurut
‚konsepsinya sendiri‛. Dengan perubahan DPR yang ada sekarang, tulis Hatta,
‚lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan.‛ Sementara ‚demokrasi
terpimpin Soekarno menjadi suatu diktatur yang didukung oleh golongan-golongan
yang tertentu.‛ 886
Hatta juga mengritik sistem pemerintahan parlementer yang disebutnya
sebagai ‚semangat yang ultra-demokratis yang merajalela dalam dada pemimpin-

883
‚Masjarakat `Adil dan Ma’mur‛, dalam Pandji Masjarakat, no 6, tahun I, 1
September 1959, h. 3
884
Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 68
885
Mohammad Hatta, ‚Demokrasi Kita‛, dalam Pandji Masjarakat, no 22, tahun II, 1
Mei 1960, h. 3
886
Hatta, ‚Demokrasi Kita,‛ h. 3

181
pemimpin‛. Padahal, ujarnya, Indonesia yang saat ini sedang dalam era peralihan
menuju pemerintahan nasional yang demokratis membutuhkan pemerintahan yang
kuat. Sementara sejarah Indonesia menunjukkan pemerintahan yang kuat itu
terjadi dalam sistem presidensiil.887
Akibat serangan ini, Pandji Masjarakat dilarang terbit oleh pemerintah.
Bersama Pandji terdapat juga Harian Indonesia RayaError! Reference source not
found. pimpinan Mochtar Lubis, Harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar,
Harian Abadi milik Masyumi, dan Nusantara.888 Cetak ulang artikel Demokrasi
Kita dalam bentuk buku pun diberangus.889 Sementara Hatta sendiri mendapatkan
larangan bepergian ke luar negeri dan juga dilarang memberi kuliah/ceramah di
berbagai kampus.890 Lebih dari itu, Hamka bersama tokoh-tokoh oposisi (Masyumi
dan PSI) ditangkap dan dimasukkan ke penjara tanpa proses peradilan.891
Tentang penahanannya ini Hamka menceritakan, dirinya ditangkap pada
Senin siang tanggal 27 Januari 1964 seusai mengisi pengajian ibu-ibu di Masjid
Agung al-Azhar, dan dibawa ke Puncak Bogor. Di sana ia bertemu Kasman
Singodimedjo yang telah ditahan selama dua bulan lebih. Hamka sendiri tidak
mengetahui tuduhan kepadanya. Pada pemeriksaan yang dilaksanakan pertama kali
pada Sabtu pagi tanggal 1 Pebruari 1964, Hamka baru tahu tuduhan itu, terlibat
dalam kelompok GAS yang berencana melakukan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno.892
Selain menentang totalitarianisme Soekarno, Hamka juga melanjutkan
perjuangannya melawan kaum komunis yang mendapat angin segar di era
Demokrasi Terpimpin, atau dalam bahasa Feith, ‚tetap mempertahankan prestise
dan semangat juangnya‛.893 Sesungguhnya anti-komunisme menjadi salah satu
warisan Sarekat Islam (SI) bagi Masyumi.894 Pernyataan Kuntowijoyo ini terbukti

887
Hatta, ‚Demokrasi Kita,‛ h. 3
888
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 174; Mochtar Lubis, Hati Nurani
Melawan..., h. 14. Peneliti masih menemukan Pandji Masjarakat edisi no 32-33, 1-15
Oktober 1960. Kedua edisi tersebut digabung menjadi satu terbitan. Kemungkinan
pelarangan terbit setelah edisi tersebut atau pada bulan November 1960. Pada edisi tersebut
(No 32-33) redakturnya membuat tajuk rencana tentang hijrah Nabi Muhammad Saw
dengan catatan penjelasan: ‚Sedianya dimuat dalam memperingati hari hijrah beberapa
waktu lalu‛. Lihat ‚Hidjrah,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 32-33, tahun II, 1-15 Oktober
1960, h. 3. Sebagai tambahan lihat Feith, Soekarno-Militer Dalam..., h. 80-86
889
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh..., h. 251
890
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani..., h. 162
891
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani..., h. 162
892
Lihat Hamka, ‚Catatan Dalam Tahanan Rezim Soekarno‛, dalam Rusydi Hamka,
Pribadi dan Martabat..., h. 262-296
893
Feith, Soekatno-Militer Dalam..., h. 29
894
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, h. 78. Meski memusuhi komunisme, namun
secara umum dalam Masyumi terdapat cara yang berbeda dalam permusuhannya itu. Di
satu sisi terdapat Isa Anshary yang keras dalam menentang komunisme sehingga cenderung
ke arah konfrontasi, namun di sisi lain terdapat Natsir yang mengambil cara lain. Lihat
Boyd R Compton, Kemelut Demokrasi Liberal, penerjemah Hamid Basyaib, (Jakarta:
LP3ES, 1992), 224-226; Pepen Irpan Fauzan & Ahmad Khoirul Fata, ‚Portraying Political

182
dalam sejarah perjalanan Masyumi dan tokoh-tokohnya, tidak terkecuali Hamka
yang sejak remaja memang telah tertanam rasa permusuhan terhadap ‚paham anti
Tuhan‛ itu. Selain diwarisi dari para gurunya di SI semacam Tjokroaminoto dan H
Agus Salim, semangat anti komunisme itu juga ditanamkan oleh ayahandanya,
Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA).
Sepanjang sejarahnya di pemerintahan, Masyumi tidak pernah terlibat dalam
koalisi di kabinet bersama dengan PKI,895 bahkan pimpinan Masyumi menentang
pembentukan Koalisi Nasional yang luas yang melibatkan PKI dalam
pemerintahan. Atas penolakan ini PKI menilai penolakan tersebut sebagai bukan
sikap rakyat Indonesia, namun sikap musuh rakyat Indonesia.896
Dalam Fatwa Majelis Syura Partai Masyumi pada Muktamar VII di
Surabaya, 3-7 Desember 1954, tentang ideologi komunisme dengan merujuk ke
berbagai tulisan Karl Marx dan Engels langsung serta beberapa tulisan tokoh
komunis lainnya, dihasilkan kesimpulan bahwa secara akidah dan syariah Islam
ideologi komunisme itu hukumnya kufur, dan orang Islam yang menganut ideologi
itu dengan keyakinan dan kesadaran sendiri tanpa paksaan pihak luar, maka dia
telah kafir. Sementara yang sekedar ikut-ikutan tanpa memahami ideologi tersebut
dihukumi sesat. Mereka ini wajib untuk segera bertaubat meminta ampun kepada
Allah Swt. Majelis Syura melihat komunisme ‚sepanjang sejarahnya adalah
bertentangan, menentang dan memusuhi hukum syariat Islam serta umat Islam.‛
Mereka adalah kelompok yang suka menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuannya. Hal ini jelas sangat membahayakan, terutama, bagi tujuan Masyumi. 897
Fatwa Majelis Syura pusat itu menguatkan fatwa yang telah dikeluarkan
Majelis Syura Masyumi Jawa Barat pada 24 Oktober 1954, yang memutuskan:
a) Ideologi komunisme adalah satu ideologi yang sangat bertentangan
dengan ajaran dan hukum Islam, dan merupakan bahaya besar bagi
kehidupan agama dan Negara Republik Indonesia;
b) Umat Islam yang menganut ideologi komunisme terang MURTAD
dari agama Islam;
c) Haram hukumnya umat Islam masuk menjadi anggota Partai Komunis
Indonesia dan partai-partai dan organisasi-organisasi yang sudah
terang hendak menegakkan hukum dan ideologi komunisme di
Indonesia;

Polarization in Persatuan Islam in the Case of Mohamad Natsir vs Isa Anshari,‛ Journal of
Contemporary Islam and Muslim Society, vol. 3, no 2, 2019, h. 205-232
895
Tentang susunan kabinet-kabinet selama pemerintahan Orde Lama lihat Deliar
Noer, Partai Islam Di Pentas..., khususnya Bab IV dan V. Dari susunan itu kelihatan
Masyumi pernah satu kabinet dengan partai-partai nasionalis, kristen, dan sosialis. Tapi
tidak pernah duduk bersama PKI dalam satu kabinet.
896
PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam
Kampanje Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun, h. 3
897
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 142; Samsuri,
‚Komunisme Dalam Pergumulan...,‛ h. 113-114

183
d) Kalau ada orang yang menganut paham komunisme (PKI) yang
meninggal dunia, tidak wajib disembahyangkan dan dikuburkan secara
Islam;
e) Menyetujui berdirinya ‚Front Anti Komunis‛ yang dibentuk oleh para
pemimpin Masyumi Jawa Barat, dan menganjurkan kepada segenap
kaum Muslimin seluruh Indonesia supaya membentuk ‚Front Anti
Komunis‛ di daerah masing-masing, sebagai pernyataan pendirian
tegas dan tantangan perlawanan terhadap ideologi komunisme;
f) Bersikap diam terhadap aliran dan ideologi komunisme yang
diperjuangkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) berarti
membiarkan dan ridha berkembang dan berkuasanya satu ideologi yang
sangat dimurkai oleh Allah Swt.;
g) Menyerukan kepada segenap umat Islam Indonesia terutama para
ulama dan zu`amma Islam agar melaksanakan ajaran Islam, ialah
membentuk front persatuan Islam yang kuat dan kukuh, guna
membendung aliran dan ideologi yang membahayakan itu;
h) Menyerukan kepada segenap aliran partai-partai politik yang anti-
komunis, agar mereka mengentikan kerja sama mereka dengan Partai
Komunis Indonesia.898
Namun Majelis Syura tidak memberi fatwa tentang hukum berkoalisi dengan
kaum komunis. Meski demikian, Pimpinan Masyumi sejak awal telah menolak
kerjasama dengan mereka dalam bentuk apapun.899 Namun ini bukan berarti
Masyumi sama sekali tidak bersedia kerjasama dengan kalangan komunis. Di
zaman Revolusi Fisik Laskar Hizbullah pernah berjuang bersama-sama dengan
Komunis aliran Trotskis di bawah pimpinan Tan Malaka.900 Hamka pun bersikap
demikian, seperti pada tahun 1947 ketika berbagai elemen masyarakat di Sumatera
bergabung dan membentuk Front Pertahanan Nasional (FPN) untuk
mempertahankan Republik yang baru berdiri dari serbuan tentara Belanda. Di
antara pergerakan yang bergabung dalam front tersebut adalah PKI yang diwakili
H. Dt. Batuah. Dalam FPN itu Hamka berposisi sebagai ketua.901 Namun demikian,
setelah peristiwa pemberontakan kelompok Komunis Stalinis di bawah pimpinan

898
Samsuri, ‚Komunisme Dalam Pergumulan...,‛ h. 114-115. Front Anti Komunis
didirikan Isa Anshary pada 1953 sebagai pengembangan dari Front Ketuhanan dan
Demokrasi yang berdiri setahun sebelumnya. Pendirian front ini dilatarbelakangi oleh
kerisauan Isa Anshary dan beberapa pimpinan Masyumi atas perkembangan paham
komunisme yang semakin pesat. Meski demikian front ini tidak memiliki hubungan
struktural dengan Masyumi. Lihat h. 117. Menurut Anshary perkembangan komunisme
selama beberapa tahun terakhir itu terjadi karena dua hal: pertama, perlindungan yang
diberikan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kedua adalah pembukaan kedutaan
Moskow dan Peking di Jakarta. Menurut Anshary, keduanya ini memberi dukungan dan
nasihat kepada PKI. Lihat Boyd R Compton, Kemelut Demorasi Liberal, penerjemah
Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 213
899
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 142
900
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 82
901
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gema Insani, 2018), h. 519

184
Muso di Madiun tahun 1948, Masyumi pun membuat keputusan tidak lagi
membuka pintu kerjasama dengan ‚kaum anti Tuhan, anti agama, dan anti
demokrasi‛ itu.902
Sikap Masyumi terhadap komunisme juga tercermin pada majalah Hikmah.
Dalam mingguan yang dikelola para pemimpin Masyumi seperti Natsir, Zainal
Abidin Ahmad, AR Baswedan, Hamka dan lainnya itu terdapat rubrik Lawan &
Kawan. Secara tegas dalam artikel-artikel dalam rubrik tersebut Hikmah
menempatkan komunisme sebagai lawan. Setiap edisi, rubrik tersebut membahas
segala hal seputar komunisme dan dosa-dosanya. Seperti pada edisi 5 Juli 1952,
Hikmah menurunkan tulisan berjudul Komunisme dan Islam dalam rubrik Lawan
& Kawan. Dalam artikel itu Hikmah menulis tentang perlakuan kelompok komunis
di Soviet terhadap umat beragama, khususnya umat Islam.
Hikmah menceritakan kasus Abdureza, seorang warga Bulgaria keturunan
Turki, yang harus kehilangan tanah warisan kakek dan orangtuanya, serta harta
bendanya karena dideportasi oleh pemerintah komunis. Dia juga terpisah dari anak
laki-lakinya yang berusia 9 tahun karena diambil pemerintah untuk kerja paksa di
Trudovak. Kisah lain terjadi pada Tashmuhamed warga Uzbekistan yang dilarang
beribadah, masjid di desanya ditutup dan dijadikan musium Anti-Tuhan, dan
dipaksa menandatangani pernyataan berbunyi: ‚Tidak ada Tuhan, tidak ada agama,
tidak ada sesuatu selain Stalin, tidak ada sesuatu selain komunisme.‛903
Sikap tegas Masyumi terhadap PKI menjadi semakin mengeras di era
Demokrasi Terpimpin. Pemusatan kekuasaan negara ke tangan Soekarno yang
turut memperkuat kedudukan PKI dalam pemerintahan menjadi sebabnya. Salah
satu amunisi yang digunakan PKI untuk menyerang Masyumi adalah kasus Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1949 di Jawa Barat. DI/TII terus
dikaitkan dengan Masyumi karena gerakan tersebut dipimpin salah satu mantan
tokoh Masyumi, Kartosoewirjo. Padahal, jelas Mahendra, Masyumi menentang
aksi DI/TII tersebut. Dalam Tafsir Azas Masyumi sendiri disebutkan bahwa dalam
mencapai cita-citanya Masyumi akan menempuh jalan yang sah dan demokratis,
serta menentang cara-cara kekerasan dan paksaan. 904 Meski memanfaatkan isu
DI/TII untuk menyerang Masyumi, PKI sendiri tersandera peristiwa
pemberontakan di Madiun tahun 1948.
Hamka sendiri melihat apa yang dilakukan Kartosoewirjo tersebut sebagai
sebuah kesalahan. Kartosoewirjo, tulisnya, adalah ‚mujtahid politik yang salah
melakukan ijtihad, karena sempit pandangan atas kemungkinan!‛. Menurutnya,
semua orang Islam memiliki cita-cita untuk menegakkan negara berdasar Islam,
termasuk dirinya sendiri. Namun, tegas Hamka, dia bukanlah pengikut
Kartosoewirjo, karena ia dan kelompok-kelompok Islam semacam Masyumi, NU,
PSII, PUSA, atau pun Al-Washliyah menempuh jalan mewujudkan cita-cita ‚Darul
902
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 84
903
‚Komunisme dan Islam,‛ dalam Hikmah, no 27, tahun V, 5 Juli 1952, h. 13
904
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 84-85. Tentang
hal ini lihat materi kampanye PKI untuk pemilihan Konstituante, PKI dan Konstituante
(Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam Kampanje Pemilihan Konstituante),
Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun, h. 7.

185
Islam‛ tersebut secara damai dan konstitusional, tidak dengan kekerasan. Langkah
itu adalah sah dan legal sesuai dengan ‚jiwa demokrasi dalam pemerintahan yang
teratur,‛ tegas Hamka sembari mengutip pernyataan M Hatta. Belajar dari
kegagalan DI-nya Kartosoewirjo, Hamka pun mengajak untuk memperjuangkan
cita-cita ‚Darul Islam‛ secara legal, bukan dengan kekerasan. Hamka juga melihat
adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk mematahkan perjuangan Islam dengan
memanfaatkan isu kesalahan Kartosoewirjo tersebut.905
Perang sengit antara Masyumi dengan PKI sebenarnya telah terjadi dalam
Konstituante. Mahendra menceritakan, tokoh-tokoh Masyumi semacam Kasman
Singodimedjo dan Isa Anshary menuduh dukungan PKI terhadap Pancasila sebagai
dukungan palsu. Ahmad Dasuki Siradj, seorang kyai tokoh PKI, balik menyerang
dengan menyatakan bahwa yang dimusuhi PKI itu bukan Islam, tetapi Masyumi.
Menurutnya, Masyumi merupakan partai borjuis yang selama berkuasa selalu
merugikan rakyat jelata. Tidak lupa Dasuki Siradj juga menyebut DI/TII. 906
Jawaban Dasuki Siradj itu pun dikuatkan oleh Njoto dengan pernyataan yang
serupa. Dalam pidatonya di Konstituante Njoto juga kembali mengungkit
persoalan DI/TII. 907
Di luar parlemen, Masyumi dan PKI juga terlibat perang propaganda melalui
media massa, kampanye, dan pamflet-pamflet. Hamka masuk dalam peperangan
itu, bahkan dia menjadi salah satu korban propaganda PKI. Serangan bermula dari
artikel Hamka, Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia? karya Abdullah Said Patmadji
di Bintang Timur edisi 7 September 1962. Dalam tulisannya itu Patmadji menuduh
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick sebagai jiplakan dari novel karya
sastrawan Mesir Mustafa al-Manfaluthi berjudul al-Majdulin. Kontroversi pun
muncul menghiasi jagad sastra Indonesia saat itu. Para sastrawan dan media massa
yang berafiliasi ke PKI gencar mempropagandakan isu ini.
Sebaliknya, pembelaan pun bermunculan dari banyak sastrawan lainnya.
Usmar Ismail, A Rahim Mufty, Ali Audah, HB Jassin, dan Anas Ma’ruf menjadi
pembela Hamka. Dalam tulisannya di Berita Minggu edisi 7 Oktober 1962 Anas
Ma’ruf menganggap pernyataan Abdullah SP tidak meyakinkan. Ma’ruf
menjelaskan, hal pokok seperti gagasan, tema, plot cerita dalam keseluruhannya
kurang disinggung oleh Abdullah SP. Sebelumnya, pada 30 September 1962 di
media yang sama HB Jassin juga menyatakan, jika dibandingkan tulisan Hamka
dengan Manfaluthi, maka jelas karya Hamka itu masih ada pemikiran-pemikiran,
penghayatan dan pengalaman Hamka sendiri. Karena itu Rahim Mufty

905
Hamka, Tjahaja Baru, (Medan: Pustaka Nasional, 1950), h. 90-93
906
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 210-211. Pidato
KH Muhammad Isa Anshary dan KH Ahmad Dasuki Siradj bisa dilihat dalam Tentang
Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid II, h. 175-296 untuk Isa
Anshary dan h. 326-336 untuk Dasuki Siradj. Sementara pidato Kasman Singodimedjo bisa
dilihat dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I, h.
166-189.
907
Lihat pidato Njoto dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam
Konstituante Djilid III, h. 83-111

186
menganggap Hamka hanya dipengaruhi oleh Manfaluthi, bukan menjiplak.908 Hal
serupa juga ditegaskan oleh putra Hamka sendiri, Rusydi.909
Hamka sendiri tidak membalas serangan itu. Secara lugas ia menyatakan
tidak akan membalas segala caci maki tersebut. Ia juga menegaskan, segala
tuduhan dan caci maki itu tidak akan dapat menjatuhkan dan menghancurkan
dirinya, sebagaimana yang mereka inginkan. Karena, ujar Hamka beralasan, yang
mempercayai tuduhan itu hanyalah orang-orang yang selama ini telah
memusuhinya. Sedangkan orang-orang yang sebelumnya telah bersimpati
kepadanya akan tetap membelanya. Untuk menyelesaikan tuduhan penjiplakan
Hamka pun menyarankan agar dibentuk sebuah ‚Panitia Kesusasteraan yang
bersifat ilmiah di bawah naungan salah satu universitas; lebih baik Universitas
Indonesia‛. Jika panitia ini terbentuk Hamka mengaku siap memberi keterangan
dan penjelasan tentang karyanya itu.910 Menurut Amura, dia bersama beberapa
orang dari Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) datang ke Hamka dan
memintanya untuk tidak membalas tuduhan itu. ‚Karena tujuannya jelas untuk
menjatuhkan nama baik Buya Hamka,‛ tulisnya.911
Hamka tetap konsentrasi di jalur dakwah yang sedang dijalaninya bersama
beberapa kawannya di Masjid Agung al-Azhar. Hamka menyebut langkah yang
dijalaninya itu sebagai ‚membina umat melalui masjid dan meningkatkan dakwah
Islam‛. Namun demikian salah satu tujuan yang hendak diraihnya adalah melawan
pengaruh komunisme yang semakin merebak di masyarakat.912 Karena itu, dalam
berbagai ceramahnya Hamka sering membahas ketauhidan, sesuai saran
sahabatnya KH Fakih Usman, dengan tujuan ‚agar jamaah tidak hanyut dalam
indoktrinasi Manipol-Usdek‛.913 Di sini terlihat sikap realistis Hamka dengan
perhitungan untung-rugi dalam perjuangan. Meski realistis, Hamka tetap menjaga
idealismenya untuk menjaga agama dan melawan komunisme.
Hamka menceritakan, pada tahun 1960 dia pernah berkhutbah di Masjid
Agung al-Azhar tentang bahaya komunisme. Hamka mengatakan bahwa saat itu
Islam tengah berada dalam bahaya karena kaum komunis semakin diberi hati oleh
presiden. Di saat yang bersamaan kelompok Kristen juga tengah gencar melakukan
gerakan missinya. Sementara banyak ulama yang terlena dalam fasilitas pemberian

908
‚Polemik Kapal Van Der Wick‛, dalam Historia, no 21, tahun II, 2015, h. 46-47
909
Lihat Rusjdi, ‚‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’ Apakah Suatu Karja
Plagiat?‛, dalam Gema Islam, no 17, tahun I, 1 Oktober 1962, h. 19-22; Rusjdi,
‚‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’ Apakah Suatu Karja Plagiat? II‛, dalam Gema
Islam, no 18, tahun I, 15 Oktober 1962, h. 8-10. Selain tulisan Rusjdi tersebut Gema Islam
juga menurunkan tulisan M Junus Amir Hamzah berjudul ‚Suatu Penjelidikan Pendahuluan
Tentang: ‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’‛, dalam Gema Islam, no 18, tahun I, 15
Oktober 1962, h. 19-21
910
‚Sambutan Hamka Atas Heboh Mengenai ‘Tenggelamnja Kapal Van Der
Wijck’‛, dalam Gema Islam, no 17, tahun I, 1 Oktober 1962, h. 25
911
Amura, ‚Dengan Buya Hamka Dalam Berbagai Peristiwa‛, dalam Salam (ed),
Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 214
912
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 176-177
913
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 122.

187
penguasa sehingga lupa pada tugasnya. Khutbah ini pun ditanggapi oleh Soekarno
dengan menyatakan: ‚Islam tidak dalam bahaya, yang dalam bahaya ialah yang
berkhutbah sendiri.‛914
Selain melalui dakwah di masjid, perlawanan terhadap komunisme juga
dilakukan dengan berbagai jalur. Bekerjasama dengan Brigjen Sudirman
(Komandan Seskoad saat itu) dan Letkol Muchlas Rowi (Kepala Pusroh Islam
Angkatan Darat) Hamka mendirikan Yayasan Perpustakaan Islam. Mereka juga
menerbitkan majalah baru, Gema Islam, dengan isi dan semangat yang serupa
dengan Pandji Masjarakat yang dibreidel oleh Soekarno tahun 1960. Tentang hal
ini Sudirman menyatakan, ‚Kita harus bekerjasama, yah saling menunggangi untuk
menyelamatkan bangsa dari bahaya komunis.‛ 915 Memang, ketika Demokrasi
Terpimpin diberlakukan, tulis Nazaruddin Sjamsuddin, ‚Sejak itu partai-partai
politik kecuali PKI mulai kehilangan pengaruhnya.‛916 Namun kemudian tentara
mulai melawan pengaruh PKI itu dengan cara khusus.917
Rusydi menceritakan, Brigjen Sudirman dan Letkol Muchlas Rowi datang ke
Hamka membawa pesan dari Jend AH Nasution. Mereka mengajak Hamka untuk
kembali menerbitkan majalah Islam. Nasution mengusulkan nama majalah itu
Gema Islam. Atas tawaran itu, Hamka kemudian bermusyawarah dengan KH Fakih
Usman. Keduanya pun sepakat menerima tawaran tersebut dengan syarat namanya
tidak dicantumkan sebagai pemimpin redaksi. Maka yang menjadi pemimpin
umum adalah Brigjen Sudirman dan pemimpin redaksinya Letkol Muchlas Rowi.
Sementara Hamka dan tokoh-tokoh Islam lainnya hanya masuk dalam ‚pembantu‛.
Dalam posisi ini dimasukkan beberapa nama dari partai-partai dan ormas-ormas
Islam untuk mencerminkan persatuan umat Islam.918
Edisi perdana Gema Islam terbit pada 15 Januari 1962. Tagline-nya mirip
dengan milik Pandji Masjarakat: ‚Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan‛. Pada
edisi ini dijelaskan, Gema Islam merupakan majalah yang diterbitkan oleh Yayasan
Perpustakaan Islam Pusat yang berakte notaris R Soerojo Wongsowidjojo No 29/
tgl 11 November 1961). Sementara Gema Islam sendiri telah mendapatkan izin
terbit dari Peperda Jakarta Raya No 222 tanggal 15 Desember 1951. Dalam
susunan kepengurusan Yayasan tersebut yang berposisi sebagai pelindung adalah
Menteri Agama KH A Wahib Wahab, Menteri Keamanan Nasional/Kastaf AD
Jend A Harris Nasution, dan Menteri Kesejahteraan Sosial R Muljadi
Djojomartono. Sementara yang menjadi ketua umum adalah Brigjen Sudirman, dan
Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua. Hamka sendiri menjadi wakil ketua.
Sedangkan susunan pengelola Gema Islam sebagai berikut: Brigjen Sudirman
(Pemimpin Umum); Letkol Muchlas Rowi (Penanggungjawab); H Anwar
Tjokroaminoto, A Mukti Ali, A Musa Idris, dan Mahbub Junaidi (Dewan Redaksi);
Rusydi Hamka (Sekretaris Redaksi); M Joesoef Ahmad (Pemimpin Usaha). Hamka
914
Hamka, ‚Beratnja Kewadjiban Kita‛, dalam Pandji Masjarakat, no 13, April
1967, h. 2
915
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 176-178.
916
N Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, h. 11
917
EC Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia..., h. 149
918
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 176-178.

188
berposisi sebagai ‚Para Pembantu‛ bersama Fakih Usman, Jusuf Abdullah Puar,
Sidi Gazalba, Imran Rosyadi, Aboebakar Atjeh, Osman Raliby, Abdullah Sjahir,
Bahrum Rangkuti, Aisyah Aminy, S Baroroh Baried, Mahmudah Mawardi, dan
Musyaffa Basyir. 919 Meski di posisi ‚Pembantu‛ namun hampir di setiap edisi
terlihat tulisan Hamka,920 bahkan dia menjadi penggerak majalah tersebut.921
Rosihan Anwar menyebut Gema Islam terbit atas dasar keprihatinan akan
kedudukan umat Islam yang kala itu semakin terjepit dan terdesak. Ada dua
kekuatan yang membuat terdesak, yaitu PKI dan kristenisasi yang semakin marak.
PKI yang secara politik saat itu sedang di atas angin memanfaatkan posisinya
untuk memojokkan kekuatan Islam dari gelanggang politik. Sementara di saat
bersamaan gelombang kristenisasi oleh para missionaris dan zending begitu marak
mencari pengikut di kalangan umat Islam. Tentang hal ini Anwar menulis: ‚Dalam
keadaan demikianlah ‘Gema Islam’ berusaha memanggil umat Islam untuk
merapatkan barisannya. Dan para pengarang dan serta penulis Islam mengangkat
pena mereka menyumbangkan tulisan untuk ‘Gema Islam’ dengan tujuan
memelihara dan mempertahankan identitas umat Islam.‛922
Jika pada era Pandji Masjarakat masih tampak sikap sebagai oposan terhadap
Demokrasi Terpimpin Soekarno, di era Gema Islam ini sikap itu tidak
diperlihatkan. Majalah ini lebih menfokuskan pada isu-isu dakwah, ilmu
pengetahuan, seni-budaya Islam, dan tentu saja isu kristenisasi seperti yang
diungkap Rosihan Anwar di atas. Dalam majalah ini perlawanan terhadap
komunisme tidak lagi tampil dalam wacana politik, namun lebih ditekankan pada
pemikiran dan kebudayaan. Tampaknya ‘trauma’ atas pembreidelan Pandji
Masjarakat dan tekanan yang begitu kuat dari penguasa dan kelompok komunis
yang melatari pilihan ini.
Trauma itu pula yang membuat Hamka dan kawan-kawannya bersedia
menerima tawaran kerjasama yang diulurkan beberapa eksponen Angkatan Darat
yang saat itu juga sedang bergesekan dengan PKI. Dalam hal ini Hamka dan
kawan-kawannya melihat AH Nasution sebagai ‚Satu-satunya yang bisa dijadikan
tulang punggung untuk melancarkan dakwah di mana-mana.‛923 Apalagi saat itu
sudah banyak tokoh-tokoh Masyumi dan PSI yang hilang atau ditangkap aparat
pemerintah. Pertimbangan inilah yang disampaikan Fakih Usman kepada Hamka,
‚Kita terima saja, saya tak keberatan nama saya dicantumkan, meskipun saya tidak

919
Lihat Gema Islam, no 1, tahun I, 15 Januari 1962, h. 2-3
920
Amura, ‚Dengan Buya Hamka Dalam Berbagai Peristiwa‛, h. 214
921
Rosihan Anwar, ‚Hamka dan ‘Gema Islam’ dan Kumandang Da’wah‛, dalam
Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 156. Rosihan Anwar mengaku dirinya juga
terlibat dalam majalah Gema Islam. Namun namanya tidak tercantum dalam susunan
redaksi. Anwar mengasuh rubrik ‚Kronik dan Komentar Islam‛ dengan menggunakan nama
samaran Al-Bahits. Nama yang berarti ‚Sang Pembahas‛ ini diberikan langsung oleh
Hamka.
922
Rosihan Anwar, ‚Hamka dan ‘Gema Islam’ dan Kumandang Da’wah‛, h. 156
923
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 183-184

189
mengarang, agar umat tahu bahwa kita belum hilang. Dengan tercantumnya nama
kita di situ, kalau kita sampai hilang, tentu orang akan bertanya-tanya juga.‛924
Tampaknya kerjasama dengan militer itu cukup membuat Hamka bisa
bernafas bebas lebih lama daripada kawan-kawannya yang lain. Pada akhir Januari
1962 Isa Anshary ditangkap di Bandung. Kemudian menyusul yang lainnya:
Prawoto Mangkusasmito, Moh Roem, M Yunan Nasution, Sutan Sjahrir, dan Anak
Agung Gde Agung. Hamka sendiri punya waktu dua tahun untuk mengembangkan
Gema Islam sebelum akhirnya pada 27 Januari 1964 dia ditangkap dengan tuduhan
subversi.925
Sesungguhnya perlawanan terhadap komunisme secara kebudayaan telah
lama dilakukan Hamka. Dalam berbagai kegiatan kebudayaan, Hamka selalu
menyampaikan gagasan tentang kebudayaan dengan warna Islam, sebagai
penyeimbang dari gagasan-gagasan kebudayaan dengan warna komunisme atau
nilai-nilai non-Islam lainnya. Seperti yang disampaikan Hamka ketika menjadi
salah satu pembicara dalam Kongres Kebudayaan Nasional pertama di Bandung
(1953) dan Kongres kedua di Solo (1955) yang diadakan oleh Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN).926
Dalam Kongres kedua tersebut Hamka sempat bertemu dengan beberapa
budayawan muslim muda dan mengutarakan niatnya untuk mendirikan Badan
Musyawarah Kebudayaan Islam Indonesia (BMKII) jika seandainya Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat)927 bisa mendominasi BMKN. Saat itu BMKN
menjadi wadah yang menampung para seniman dan budayawan dari berbagai

924
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 178-179.
925
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 178-179. Setelah Orde Lama tumbang
Hamka menulis bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Isa Anshary disebabkan
karena kegigihannya dalam menentang komunisme. Salah satu peran yang dimainkan
Anshary terjadi pada Muktamar Ulama Seluruh Indonesia di Palembang, 8-11 September
1957. Muktamar yang membahas komunisme itu menghasilkan sebuah resolusi yang mirip
dengan fatwa Majelis Syura Masyumi Jawa Barat (lihat sub bab C. Melawan Komunisme).
Resolusi itu ditandatangani oleh Isa Anshary (Ketua) dan Ghazali Hassan (Sekretaris).
Lihat Hamka, ‚Mari Kita Segarkan Kembali Ingatan,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 10,
1967, h. 2
926
Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama...‛, h. 224-225. Saat Kongres di
Bandung itu, ungkap Hamka, wakil-wakil Lekra secara terang-terangan mengemukakan
prinsipnya menolak Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hamka hal
tersebut wajar saja karena kaum komunis memang tidak menyukai agama. Ini adalah dasar,
urat, dan pokok dari kepercayaan komunisme. Lihat Hamka, ‚Peladjaran Agama di Sekolah
Pemerintah,‛ dalam Hikmah, no 23, tahun V, 7 Juni 1952, h. 18
927
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan di Jakarta pada 17 Agustus 1950
oleh beberapa tokoh komunis Indonesia, yaitu A.S Dharta, M.S Ashar, Henk Ngantung,
Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, Njoto, dan DN Aidit. Semula Lekra
direncanakan menjadi lembaga tink-thank kebudayaan semata. Namun kemudian
berkembang dan membuka cabang ke daerah-daerah melalui PKI di daerah. Meski secara
resmi tidak menjadi organisasi underbuow dari PKI, namun keduanya memiliki kedekatan
ideologis dan personil, sehingga keduanya sangat sulit untuk dipisahkan. Lihat Tempo,
edisi khusus Lekra, 30 September – 6 Oktober 2013.

190
aliran: Islam, nasionalis, dan komunis. Dalam berbagai diskusi dan musyawarah di
Kongres, budayawan Lekra tampak agak memaksakan ide-idenya mewarnai
Kongres. Ternyata rencana Hamka itu juga akan diikuti oleh para budayawan yang
berafiliasi ke PNI yang berencana mendirikan organisasi kebudayaan Pancasila.
Namun rencana mendirikan BMKII itu urung terwujud karena militansi para
budayawan muda muslim itu mampu mengimbangi militansi Lekra di Kongres.928
Perlawanan terhadap Lekra terwujud dalam bentuk Himpunan Seni Budaya
Islam (HSBI). HSBI dibentuk sebagai respons terhadap keberadaan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada PKI. Lekra menjadikan kesenian
untuk menanamkan ide-ide komunisme kepada masyarakat (seni untuk ideologi).
Ide tentang kesenian untuk tujuan tertentu, bukan hanya untuk seni
sendiri/kesenangan, semula disuarakan pada zaman kolonialisme Jepang oleh
Usmar Ismail. Dengan semboyan ‚Seni untuk bangsa, tanah air, dan agama,‛
Usmar Ismail mengritik ide ‚seni untuk seni semata‛. Namun kemudian Lekra dan
PKI memanfaatkan ide ini dengan menggunakan kesenian sebagat alat perjuangan
ideologisnya.929
Bagi Lekra, tulis Hersri Setiawan, seniman dan ilmuan tidak boleh
mengisolasi diri dari rakyat dan tak acuh pada nasib mereka. Mantan Sekretaris
Umum Lekra Yogyakarta dan Jawa Tengah itu menegaskan, Lekra tidak ingin
kehidupan kebudayaan dikuasai kaum priyayi kota dan desa, yang secara tidak
sadar –apalagi dengan sadar- menjadi kepanjangan tangan kapitalisme asing dan

928
Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama...‛, h. 225-226. Meski tidak jadi
terbentuk saat itu, di kemudian hari dibentuklah BMKI (Badan Musyawarah Kebudayaan
Islam) yang merupakan federasi dari lembaga-lembaga kebudayaan Islam seperti HSBI,
Lesbumi, Laksmi, Leksi, ISBM, dan beberapa organisasi kebudayaan Islam lokal. BMKI
menggelar Musyawarah Kerja I-nya di Masjid Al-Azhar pada 22-23 Agustus 1963. Lihat
‚Musjawarah Kerdja I Badan Musjawarah Kebudajaan Islam 22-23 Agustus 1963,‛ Gema
Islam, no 59, tahun III, 1 Oktober 1964, h. 25. Penyebutan tahun 1963 sebagai tahun
pelaksanaan Musyker I BMKI tampaknya salah karena 1) Dalam artikel tersebut
disebutkan bahwa Musyker pertama tersebut digelar beberapa hari setelah pidato Presiden
Soekarno yang berjudul Vivere Pericoloso. Pidato ini sendiri terjadi pada 1964; 2) Di
artikel itu juga disebutkan bahwa pelaksanaan Musyker I itu merupakan amanat dari Munas
Pembangunan Moral dan Seni Islam yang dilaksanakan pada Desember 1963. Jadi tidak
mungkin Musyker I BMKI itu dilaksanakan beberapa bulan sebelum Munas Pembangunan
Moral dan Seni Islam tersebut. Lihat juga ‚Menyambut Musjawarah Nasional
Pembangunan Moral dan Seni Islam‛, Gema Islam, no 15, tahun II, 15 November 1963, h.
22-23; ‚Manifes Kebudajaan dan Kesenian Islam‛, Gema Islam, no 45, tahun II, 1 Januari
1964, h. 9
929
Taufiq Idris, ‚Seni Sebagai Media Dakwah‛, Serial Media Dakwah, no 88,
Oktober 1981, h. 28. Perlawanan terhadap ideologi seni Lekra tersebut juga datang dari
banyak seniman non-komunis lainnya. Pada 17 Agustus 1963 dicetuskan Manifesto
Kebudayaan oleh para budayawan yang tetap mendukung seni untuk menyempurnakan
keadaan hidup manusia dan tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai falsafah
kebudayaan mereka. Lihat Mochtar Lubis, Hati Nurani Melawan..., h. 77

191
feodalisme pribumi.930 Karena itulah Lekra menempatkan politik sebagai panglima
bagi kesenian, karena menurut mereka ‚rakyat adalah satu-satunya pencipta
kebudayaan.‛ Sikap ini secara tegas dinyatakan Njoto dalam pidato Kongres I
Lekra di Taman Sriwedari Solo di pekan terakhir Januari 1959, ‚kekeliruan besar
mempersilakan kebudayaan berjalan sendiri, polos, tanpa bimbingan politik.‛931
Penempatan politik sebagai pemandu bagi kesenian dirumuskan dalam resolusi
hasil Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner yang digelar PKI pada
akhir Agustus 1964, ‚seni dan sastra revolusioner harus mengakui dan menaati
pimpinan partai.‛932
Di tahun 1956, bertepatan dengan ulang tahunnya, Lekra menerbitkan ulang
manifesto yang pernah dirumuskan pada tahun 1950 dengan beberapa revisi.
Banyak istilah-istilah Arab dalam manifesto baru ini. Meski demikian manifesto
tersebut berisi serangan terhadap seniman-budayawan Islam. Atas hal ini kalangan
seniman dan budayawan Muslim pun membentuk HSBI. Inisiator lembaga ini
adalah Muhammad Aidid dan M Nur Alian, dan didukung oleh Menteri Agama
Muhammad Ilyas dari NU. HSBI didirikan pada 24 September 1956. M Nur Alian
menjabat sebagai ketuanya. Sementara Muh Aidid pindah ke Yordania menjadi
Kuasa Usaha di sana. Meski secara struktural independen, namun HSBI dekat
dengan Masyumi.933
Pada lima tahun pertama belum tampak peran signifikan yang dimainka
HSBI. Baru pada era kepemimpinan Junan Helmy Nasution (terpilih pada
Muktamar HSBI I, Januari 1961), HSBI bergeliat dan menunjukkan perannya.
Selain karena didukung militer (Junan Helmy adalah perwira menengah yang
memimpin Pusat Rohani (Pusroh) Islam III di TNI AD), dukungan dari Gema Islam
juga turut menggerakkan HSBI.934 Helmy Nasution menjelaskan, dalam HSBI
terdapat dua badan: Pertama, badan pekerja yang terdiri dari ‚karyawan seniman
pekerja‛. Mereka ini masuk dalam Pimpinan Pusat HSBI. Badan yang kedua adalah
(Musyawarah Seniman Budayawan Islam) MASBI yang terdiri dari para ulama,
zuama dan seniman-budayawan. Helmy Nasution menyebut mereka sebagai
‚Karyawan Seniman-Budayawan Pemikir‛ sebagai ‚otak‛ dari HSBI yang
930
Hersri Setiawan, ‚Mengapa Saya Memilih Lekra,‛ Tempo, edisi khusus Lekra,
30 September-6 Okotober 2013, h. 102-103
931
‚Turba dan Jurus 1-51,‛ Tempo, edisi khusus Lekra, 30 September-6 Okotober
2013, h. 70-71
932
‚Satu Ayah Lain Rumah,‛ Tempo, edisi khusus Lekra, 30 September-6 Okotober
2013, h. 88
933
Lihat Choirotun Chisaan, ‚In Search of an Indonesian Islamic Cultural Identity,
1956-1965‛, dalam Jennifer Lindsay & Maya HT Liem (ed), Heirs to World Culture: Being
Indonesia, 1950-1965, (Leiden: Brill, 2012), 284 & 295.
934
Chisaan, ‚In Search of an Indonesian...‛, h. 298-299; Hendri F Isnaeni,
‚Himpunan Seni Budaya Islam: Melawan Lekra, Menghalalkan Seni‛, dalam Historia, no
16, tahun II, 2013, h. 55. Berbeda dengan ini, Junan Helmy Nasution menyebut HSBI
sebagai ide murni dari Menag KH Moh Iljas pada tahun 1956. Lihat Kapten Junan Helmy
Nasution, ‚Tudjuh Tahun HSBI: 24 Sept 1956-24 Sept 1963‛, dalam Gema Islam, no 40,
tahun II, 15 September 1963, h. 20. Tentang Helmy Nasution lihat ‚Tokoh Pentas Islam:
Yunan Helmy Nasution‛, Gema Islam, no 36/37, tahun II, 1 Agustus 1963, h. 21-23

192
membuat ‚blue-print dan sketsa-sketsa kesenian Islam yang henda dipahat‛.
MASBI diketuai oleh Hamka.935
MASBI dibentuk karena tantangan HSBI bukan hanya dari Lekra, tetapi juga
dari sebagian kalangan tokoh Islam. Ternyata, banyak di antara tokoh-tokoh Islam
yang menganggap kesenian sebagai sesuatu yang haram. Hal ini membuat kegiatan
kesenian yang akan ditampilkan para seniman HSBI di berbagai tempat menjadi
terhambat karena mengalami penolakan dari mereka. Padahal di saat bersamaan
Lekra begitu bebas menggelar kegiatan seni di tengah-tengah masyarakat. Atas
persoalan ini Ketua HSBI Junan Helmy Nasution bersama pengurus HSBI
menemui Hamka. Setelah berdiskusi mereka pun sepakat untuk membentuk
MASBI. 936
Amura menyatakan, MASBI merupakan amanat Muktamar I HSBI pada
Januari 1960 yang menghimpun para ulama, cendekiawan dan sarjana yang berjiwa
Islam dari berbagai golongan tanpa memandang orientasi politiknya.937 Setelah
membentuk MASBI, mereka pun mengadakan Musyawarah Seniman Budayawan
Islam untuk membahas persoalan kesenian dalam pandangan Islam. Tujuannya
adalah ‚mendudukkan masalah-masalah yang oleh sebagian besar umat Islam di
Indonesia masih merupakan tanda tanya‛. Rencana tersebut pun terlaksana di Aula
Lembaga Administrasi Negara, tanggal 15-17 Desember 1961. Ada 100-an ulama,
sarjana, cendekiawan, dan seniman-budayaan Islam yang terlibat, dengan 20 orang
pemrasaran.938
Dalam kesimpulannya, peserta musyawarah menyatakan bahwa
‚Kebudayaan ialah manifestasi ruh, dzauq, iradah dan amal (cipta, rasa, karsa, dan
karya) dalam seluruh segi kehidupan insani sebagai fitrah, ciptaan karunia Allah.‛
Sementara kebudayaan Islam didefinisikan sebagai manifestasi dari keempat hal
itu ‚yang bersumber atau berunsur ajaran Islam‛. Musyawarah juga merumuskan
tujuan kebudayaan bagi bagi kaum muslimin adalah untuk ‚ibadah, perhambaan,
dan kebaktian kepada Allah dan amal salih terhadap sesama manusia, dengan
mempergunakan nikmat karunia Allah untuk mewujudkan aman, tenteram sentosa
dan makmur lahir batin bagi setiap pribadi dan masyarakat umat manusia.‛ Karena
itu usaha berkesenian dan berkebudayaan harus dilaksanakan dalam batas-batas
yang telah ditentukan oleh Allah. Mereka pun menolak kaidah ‚seni untuk seni‛
atau ‚seni untuk rakyat‛. Kaidah yang tepat dan luhur adalah ‚seni untuk
kebaktian ke hadirat Allah‛, karena dalam rumusan ini sudah terkandung makna
kemanfaatan bagi kemanusiaan secara lahir dan batin.939
Atas dasar itu semua, Musyawarah pun mengeluarkan fatwa bahwa ‚Islam
memperkenankan karya segala cabang kesenian untuk keluhuran budi (akhlak) dan
untuk takwa ke hadirat Allah dan tidak berunsur asusila, maksiat, cabul dan syirik
serta melanggar larangan Allah dan Rasul.‛ Sementara untuk seni pahat,
935
Helmy Nasution, ‚Tudjuh Tahun HSBI...‛, h. 20
936
Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama Buya Hamka‛, h. 227
937
Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman dan Kebudayaan Islam‛, dalam Gema Islam,
no 1, tahun I, 15 Januari 1962, h. 25
938
Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman...‛, h. 26
939
Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman...‛, h. 26

193
Musyawarah memfatwakannya sebagai ‚diperkenankan‛ untuk tujuan perhiasan,
permainan, dan pengajaran. Namun seni patung yang diperuntukkan penyembahan
(ta’abbud) berhukum syirik. Sedangkan yang bertujuan asusila, maksiat, dan
pengagungan dihukumi haram.940 Bermodal fatwa inilah para seniman HSBI mulai
leluasa bergerak di tengah masyarakat melawan pengaruh kesenian Komunis yang
disebarkan Lekra. 941
Sementara dalam sambutannya, Hamka menjelaskan pentingnya kegiatan
tersebut karena menyangkut sesuatu ‚yang menentukan nasib hidup dan matinya
agama kita Islam di tanah air kita ini.‛ Hamka juga menekankan betapa
kebudayaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dan kebudayaan
Islam, ungkapnya, sesungguhnya telah lama terwujud di Indonesia yang ‚terbentuk
menurut corak ragam Indonesia sendiri, ditentukan oleh ruang dan waktunya.‛
Pada kesempatan itu Hamka memberi contoh mulai dari berbagai arsitektur masjid
hingga nyanyi-nyanyian dan tari-tarian di Indonesia. Bahkan, ujarnya, pengaruh
Islam juga meresap dalam karya sastra dan tradisi Nusantara yang dianggap
bercorak non-Islam.
Bahkan dalam filsafat ‘Kejawen’ buah tanggan Ronggowarsito yang terkenal.
Masuklah pengaruh Islam. Ke dalam ceritera wayang dengan usaha Sunan Kalijogo,
pun masuklah pengaruh Islam. Bahkan ke dalam dongeng ‘Dewa Ruci’ atau ‘Bima
Sakti’ masuk juga kisah Nabi Khidhir yang terkenal itu. Bahkan, kononnya, ke
dalam salah satu kesusasteraan Bali terdapat kisah Bagindo Ali, atau Sayidina Ali.
Dan dalam mantera orang Batak yang masih pelbagu, yang belum Kristen dan belum
Islam masuk pula kata ‘Bismillah’. 942
Namun demikian Hamka juga mengingatkan, kebudayaan Islam di Indonesia
saat itu tengah terjepit di antara dua kebudayaan besar: Kebudayaan Hindu Shiwa-
Buddha yang diwarisi dari nenek moyang bangsa Indonesia, dan kebudayaan Barat
yang tengah melanda masyarakat Muslim saat itu. Di tengah himpitan dua
kebudayaan besar itu, lanjutnya, kini kebudayaan Islam di Indonesia juga mendapat
serangan dari kebudayaan Kristen dan dari sebelah kiri pun datang serangan
‚kebudayaan kaum yang tidak mempercayai Tuhan‛ yaitu komunis. ‚Sekarang
gerakan kebudayaan telah tumbuh di mana-mana di tanah air kita ini. Ada yang
entah hendak kemana perginya, entah kembali ke Hindu atau dibawa hanyut oleh
arus Barat. Ada gerakan kebudayaan Kristen. Dan ada gerakan kebudayaan Lekra.
Lembaga Kebudayaan Rakyat, alat komunis‛, ungkapnya.943
Terkait dengan fatwa MASBI yang menghalalkan kesenian, Hamka
menyatakan bahwa fatwa tersebut sebagai sebuah ijtihad semata. Bukan sebuah
ikhtiar mencari-cari dalil agama yang digunakan untuk menghalalkan sesuatu yang
haram, sebagaimana yang disangka oleh sebagian pihak. Atas fatwa tersebut
Hamka pun menyatakan, ‚Dalam simpulan yang telah kita dapati, dan keputusan

940
Amura, ‚Musjawarah Besar Seniman...‛, h. 26
941
Sidi Gazalba, ‚Beberapa Peristiwa Bersama...‛, h. 227
942
‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa: Sambutan Ketua
MASBI Dr Hamka Pada Malam Penutupan Musyawarah HSBI tgl. 15-17 Desember 1961
di Jakarta,‛ dalam Gema Islam, no 1, tahun I, 15 Januari 1962, h. 11
943
‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa...,‛ h. 12-13

194
yang telah kita rumuskan, timbullah kesan kepada yang mulia ulama-ulama, bahwa
kalau demikian halnya, aku pun adalah orang-orang kebudayaan‛.944
Selain menggelar MASBI, HSBI juga aktif mengadakan pentas seni Islami di
berbagai daerah. Salah satu kegiatan yang dilakukan HSBI adalah peringatan
Maulid Nabi tahun 1961 di halaman Masjid Agung al-Azhar dengan pergelaran
drama. Pementasan ini diapresiasi banyak pihak karena ‚tidak biasa‛ peringatan
Maulid Nabi dengan menggelar drama kolosal yang melibatkan artileri berkuda.
Pada pertunjukan ini Hamka menjadi konsultan yang membaca dan memberi
masukan terhadap skrip sebelum dimainkan.945
Pada peringatan Maulid tahun berikutnya, HSBI bersama Masjid Agung al-
Azhar kembali menyajikan pementasan drama. Selain drama bertema kelahiran
Nabi Muhammad yang melibatkan anggota TNI berkuda, juga digelar drama ‚Jihad
Diponegoro‛ oleh perkumpulan sandiwara ‚Ratu Asia‛ pimpinan Sjamsuddin
Syafei. Juga diadakan pemutaran film, pameran lukisan sejarah perjuangan Islam
di Indonesia, bazar, berbagai perlombaan, dan tentu saja tabligh akbar dengan
penceramah Anwar Tjokroaminoto dan Hamka. Terhadap pementasan drama
tersebut Gema Islam berkomentar:
Kesan yang kita dapat dari pementasan-pementasan itu adalah, bahwasanya
sandiwara amat baik digunakan untuk medium dakwah. Kita dapat membandingkan
antara jumlah pengunjung tabligh akbar dengan malam-malam pementasan itu.
Nyata benar bedanya, apalagi dengan adanya bantuan dari Djawatan Angkutan
Angkatan Darat, dengan meminjamkan beberapa ekor kuda serta penunggang-
penunggangnya, pementasan cerita-cerita yang tersebut di atas menjadi semarak
benar.946
Bagaimana pandangan Hamka sendiri tentang seni dan kebudayaan?
Sebagai seorang pecinta seni yang ulama,947 Hamka selalu mengaitkan segala
ide-ide dan inspirasinya dengan nilai-nilai keislaman. Termasuk dalam bidang
kesenian dan kebudayaan. Budaya, jelas Hamka, terdiri dari dua kata: Budi dan
daya. ‚Budi‛ berarti ‚cahaya atau sinar yang terletak di dalam batin manusia‛.
Cahaya ini dapat memberikan pengaruh pada pandangan manusia terhadap
kehidupan. Juga menimbulkan dalam diri manusia pertimbangan tentang yang baik
dan jahat. Sementara ‚daya‛ adalah ‚usaha atau keaktifan manusia melaksanakan
dengan anggotanya apa yang digerakkan oleh budinya.‛
Apabila cahaya dalam batin itu telah semakin terang benderang, maka budi
telah menjadi tinggi, dan dengan sendirinya timbul daya upaya untuk
melaksanakan petunjuk cahaya itu di dalam kehidupan. Hamka mendefinisikan
kebudayaan sebagai ‚Usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan kehendaknya

944
‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa...,‛ h. 14
945
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 177
946
‚Pekan Maulid Ke-II Di Mesdjid Agung ‘Al-Azhar’ Kebajoranbaru‛, dalam Gema
Islam, no 15, tahun I, 1 September 1962, h. 13-15
947
Hamka mengaku dirinya adalah pecinta seni. Dia menyerahkan kepada
masyarakat untuk menilai apakah dia layak menyandang gelar seniman atau pujangga.
Lihat Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, dalam Hikmah, no 8, tahun IV, 16 November 1951, h.
20

195
buat hidup dengan alam yang ada di kelilingnya.‛ Karena itu kebudayaan memiliki
cakupan yang begitu luas. Seni masuk ke dalamnya bersama dengan filsafat dan
ilmu pengetahuan. 948
Jika kaum komunis yang memosisikan agama sebagai bagian dari
kebudayaan karena merupakan ‚buatan manusia, yang bersangkut paut dengan
tekanan ekonomi‛, tidak demikian halnya dengan Hamka. Baginya agama adalah
wahyu yang datang dari Tuhan. Bukan hasil dari perbuatan manusia. Sebab itu
agama bukanlah bagian dari kebudayaan, justru agama (Islam) adalah sumber dari
kebudayaan. Karena memang iman itu belum sempurna jika tidak dilanjutkan
dengan amal salih. Bagi umat Islam, jelasnya, iman itu memberikan cahaya kepada
akal budi. Akal budi tersebut akan melahirkan budi daya berupa amal salih. Dari
sini Hamka pun menyimpulkan ‚bahwasanya seorang muslim pun adalah seorang
budayawan‛. 949 Meski mengakui semua manusia yang berbudi pasti berbudaya,
namun Hamka melihat kebudayaan yang muncul dari jiwa tauhid itu berbeda dari
kebudayaan yang non-agama. 950
Terkait dengan seni, bagi Hamka sisi estetika dalam seni hanyalah ‚belahan
yang kedua dari keindahan yang asli‛. Hamka membagi keindahan menjadi dua:
asli dan tiruan. Keindahan yang asli adalah alam ciptaan Allah yang ada di
sekeliling kita. Sementara seni hanyalah ‚usaha manusia menumbuhkan kesan rasa
dalam jiwa karena pengaruh keindahan sekeliling‛. Wujud dari usaha ini bisa
berbentuk pantun, prosa, puisi, pahat, ukir, dan sebagainya.951 Karena itu setiap
hasil kesenian selalu terbatas oleh ruang dan waktu. ‚Syair atau prosa manusia,
bagaimanapun hangat dan indah menurut nilai suatu masa; Dingin dan basi,
menurut nilai masa yang lain,‛ tulis Hamka. Hal ini berbeda dengan nilai sastra al-
Qur’an yang mengatasi ruang dan waktu. Sebab al-Qur’an merupakan puncak dan
sumber dari kesusasteraan. Ungkapan yang digunakan Hamka untuk
menggambarkan al-Qur’an adalah ‚kepadanyalah berhimpun segala kesusasteraan,
dan dari padanya tercipta beberapa kesusasteraan.‛952
Hamka melihat bahwa kaidah ‚seni itu untuk seni‛ yang diikuti sebagian
seniman sebagai sesuatu yang belum mencukupi. Memang, ujarnya, seni itu
merupakan cerminan pribadi si seniman, ‚adakah dia realis atau idealis, adalah dia
seorang eksistensialis atau seorang surealis! Adakah dia seorang fasik atau
mukmin,‛ ujarnya.953 Namun demikian, tegas Hamka, seorang seniman adalah
bagian dari anggota masyarakat. Dia tidak akan bisa melepaskan dirinya dari
masyarakat. ‚Sebab seorang tidak akan tumbuh bakat seninya, jika dia hanya

948
Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari Segi Adjaran Islam (Prasaran Dr. Hamka
Pada Seminar Kebudayaan Nasional Pada Tanggal 26-29 Mei 1960 di Semarang)‛, dalam
Pandji Masjarakat, no 24, tahun II, 1 Djuni 1960, h. 4; Hamka, ‚Kongres Lembaga
Kebudajaan Indonesia di Bandung,‛ dalam Hikmah, no 2, tahun IV, 6 Oktober 1951, h. 19
949
Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari...‛, h. 4-5
950
Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari...‛, h. 5-6
951
Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?,‛ h. 20
952
Hamka, ‚Nabi Muhammad Dan Kesusasteraan,‛ dalam Hikmah, no. 11, tahun IV,
8 Desember 1951, h. 11.
953
Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, h. 20

196
memahat patung di dalam kamar, menulis gubahan dalam notes, dengan tidak ada
keinginan memperlihatkan hasil ciptaannya kepada masyarakat. Perseorang dan
masyarakat adalah beri-memberi. Oleh sebab itu, maka seni yang tidak untuk
masyarakat tidaklah ada,‛ tulisnya. Karena itu, lanjutnya, ketika mengemukakan
seni kepada masyarakat ‚hendaklah seni itu mengandung kebenaran. Jangan
menipu masyarakat.‛ Sebab dia dapat memberi pendidikan baik dan buruk kepada
mereka.954
Pada titik ini Hamka menyebut slogan ‚seni untuk rakyat‛ sebagaimana
yang dipropagandakan kalangan komunis sebagai ‚penuh dengan kebohongan‛.
Hamka menjelaskan, kesenian rakyat atau seni untuk rakyat yang dipropagandakan
sebagai tantangan kepada kesenian feodal itu dalam prakteknya tidak lebih dari
sebentuk ‘neo-feodalisme.’ Seni yang seperti ini, simpul Hamka, tidak lebih dari
‚mendustai kesenian itu sendiri!‛. Lebih lanjut dijelaskan, dalam slogan ‚seni
untuk rakyat‛ itu terkandung filsafat pertentangan. Kata-kata ‚rakyat‛ dalam
slogan tersebut, ungkapnya, terkandung semangat permusuhan dan kebencian.
Tentu saja hal ini bertentangan dengan filosofi seni yang dianut oleh Hamka, yaitu
kedamaian.955 Karena bagi Hamka, seni itu bermula dari rasa cinta, bukan takut.956
Bagi seniman atau budayawan yang akal budi-nya disinari oleh cahaya
tauhid, jelas Hamka, kebudayaan tidak bisa lepas dari pengaruh Allah. Orang
seperti ini memandang alam lingkungan semata-mata sebagai bahan mentah yang
disediakan Allah untuk diolah. Bukan faktor pembentuk akal budi dan kebudayaan.
Dengan pandangan tauhid, jelasnya, seorang muslim ketika berfilsafat,
berkesenian, dan mencari ilmu pengetahuan selalu memegang prinsip manfaat dan
madharatnya bagi kehidupan. ‚Seorang muslim akan bertanya: ‘hendak kemana
semua ini?’,‛ ujar Hamka. Dengan pertimbangan ini pula, seorang muslim ketika
berkesenian akan melihat manfaat seni itu bagi kedekatan dirinya dengan Allah.
Sehingga terhindar dari memuja dan menyembah produk kesenian. 957
Puncak dari kesenian menurut Hamka adalah ‚gabungan di antara rasa
keindahan (jama>l), dan rasa kesempurnaan (kama>l)Error! Reference source not
found., dan rasa kemuliaan (jala>l).‛ Seni seperti ini dinilai Hamka memiliki nilai
yang tinggi karena dapat menyebabkan ‚si seniman lebur di bawah cerpu telapak
kaki budi (etika) dengan kebenaran (al-h}aqq),‛ sehingga membawa ‚si seniman
fana>, hilang ke dalam yang Baqa‛. Dari sini Hamka pun menyimpulkan bahwa
‚batas antara seorang seniman dan seorang shufi tipis sekali!‛. Karena itu,

954
Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, h. 19
955
Hamka, ‚Untuk Siapa Seni?‛, h. 20.
956
Lihat Hamka, ‚Kufur dan Iman‛. dalam Pandji Masjarakat, no 17, tahun II, 15
Pebruari 1960, h. 5. Memang, cinta dan kedamaian menjadi pegangan Hamka dalam
berkesenian. Ini ditegaskan oleh Hamka pada ceramah sastra-nya di Taman Ismail Marzuki,
tanggal 11 Maret 1970. ‚Dasar dari kepengarangan saya adalah cinta,‛ tulis Iwan
Simatupang mengutip pidato Hamka malam itu. Bagi Simatupang, Hamka adalah prototipe
cendekiawan yang berhasil menempatkan inteleknya di bawah naungan Ka’bah. Lihat Iwan
Simatupang, ‚Ceramah Sastra Hamka: Kisah Dari Suatu Kepengarangan Berdasarkan
Cinta‛, dalam Salam (ed), Kenang-kenangan 70 Tahun..., h. 238-239
957
Hamka, ‚Kebudajaan Dipandang Dari...‛ h. 6

197
jelasnya, ketika seseorang sedang menikmati keindahan, lalu spontan dia teringat
kepada Allah dan menyebut nama-Nya, maka berarti dia ‚telah sampai‛ kepada
kesatuan yang sejati, yaitu tauhid.958 Karena baginya, ‚Dari jendela yang mana pun
anda meninjau, baik dari jendela ilmu atau jendela seni, anda hanya melihat
kesatuan! Anda hanya melihat tauhid!‛.959 ‚Bagiku seni adalah untuk kesenian
yang Mutlak, untuk keindahan yang Mutlak. Yang di baliknya tidak ada
keindahan lagi. Yang padanya berkumpul puncaknya segenap keindahan
(aesthetica), segenap budi (ethica), dan segenap mantik (logica). Huwal Haqqu
(Dialah kebenaran itu!),‛ tegas Hamka.960
Inilah yang disebut Hamka, dengan mengutip Imam al-Ghazali, sebagai
‚ma’rifatullah.‛ ‚Maka tidaklah syak lagi –demikian Ghazali- bahwasanya puncak
dan puncaknya segala keindahan, kepuasan, dan kebahagiaan ialah mengetahui
pokok pangkal segala kejadian, pokok pangkal segala keindahan. Itulah Allah,‛
ungkap Hamka. Karena itu manusia harus melampaui inderanya dan beralih ke
dalam hatinya. ‚Pusat indera yang sebenarnya ialah hati,‛ ujar Hamka, dan telah
menjadi kewajiban hati untuk mengetahui sumber dari keindahan itu. ‚Karena seni
adalah tiruan daripada keindahan, dan sumber keindahan adalah alam yang dapat
disaksikan di dalam alam ini, dipandang dan direnungi oleh hati sanubari yang fana>
di dalam cinta, dan baqa’ lantaran ma’rifat,‛ tulisnya. 961
Peran Hamka dalam melawan Komunisme pun berhenti ketika dia ditangkap
dan dipenjarakan selama dua tahun lebih tanpa proses persidangan. Setelah bebas
dari penjara, pada tahun 1966 Hamka kembali menerbitkan Pandji Masjarakat. Di
edisi-edisi awal era penerbitan kedua inilah permusuhan terhadap komunisme
mendapatkan salurannya yang bebas dan keras.
D. Peran Politik Hamka di Era Orde Baru
Berpolitik lewat dakwah yang dilakoni Hamka terus berlanjut hingga
pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto. Pasca kejatuhan
Orde Lama Hamka pun dikeluarkan dari penjara pada Januari 1966 sebagai tahanan
rumah, pada Maret menjadi tahanan kota, dan pada Mei resmi berstatus bebas.
Kejaksaan Agung dan Kepolisian menyatakan Hamka tidak bersalah.962 Rekan-
rekan Hamka lainnya juga turut dibebaskan. Hamka pun kembali beraktivitas di
Masjid al-Azhar, berdakwah, dan kembali menerbitkan majalah Panji Masyarakat
yang sempat dibreidel rezim Orde Lama.
Pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru sempat melahirkan
harapan baru pada Hamka dan rekan-rekannya eks pimpinan Masyumi. Hamka

958
Hamka, ‚Dari Djendela Seni‛, dalam Pandji Masjarakat, no 14, tahun II, 1 Januari
1960, h. 4-5.
959
Hamka ‚Kesatuan Sedjati‛, dalam Pandji Masjarakat, no 15, tahun II, 15 Januari
1960, h. 4.
960
Hamka, ‚Seni Untuk Siapa?‛, h. 20. Cetak tebal kalimat ‚Huwal Haqqu‛ dari
Hamka sendiri.
961
Hamka, ‚Filsafat Ghazali (Tentang Ma’rifat dan Keindahan)‛, dalam Hikmah, no
12, tahun IV, 15 Desember 1951, h. 18
962
Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 192

198
pernah mengungkapkan kebahagiannya karena Orde Baru bersikap anti-komunis.
Secara tegas Hamka menyatakan sikapnya untuk terus menerus berkonfrontasi
terhadap Orde Lama ‚hingga hancur dan tidak bangun lagi,‛ karena menurutnya
‚di antara Orde Lama dengan komunis tidaklah dapat dipisahkan‛.963 Ia juga
menyebut Orde Lama sebagai ‚pemerintahan yang paling buruk di negeri kita.‛964
Terhadap Soekarno, secara pribadi Hamka menyarankan agar mantan presiden itu
sering-sering ke masjid untuk memperbanyak ibadah.965
Namun harapan itu segera luntur. Bulan madu itu hanya berlangsung singkat.
Sebabnya, upaya rehabilitasi Partai Masyumi ditolak pemerintah. Bahkan tokoh-
tokoh eks Masyumi dihalang-halangi untuk memimpin partai pengganti Masyumi,
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia).966 Bukan hanya dihalangi menjadi pimpinan
partai baru itu, para aktivis Masyumi dan PSI juga dilarang untuk dipilih pada
Pemilu 1971.967 Menurut Rush, pihak militer masih menyimpan memandang
negatif keterlibatan beberapa pimpinan Masyumi dalam pergolakan PRRI. 968
Upaya lain dilakukan M Hatta bersama mantan aktivis HMI dan PII untuk
mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), namun juga gagal karena
tidak direstui pemerintah.969
Di periode ini narasi yang dikembangkan Hamka tidak lagi mengembalikan
rumusan Piagam Jakarta atau secara formal menghendaki Indonesia berdasar Islam
sebagaimana yang ia perjuangkan di era demokrasi liberal. Bukan berarti keinginan
memperjuangkan kembali Piagam Jakarta hilang sama sekali di awal-awal Orde
Baru. Hingga akhir dekade 1960 atau awal 1970 saat Pemilu pertama kali di era
Orde Baru, wacana tentang Piagam Jakarta masih sempat terdengar. Pada tanggal

963
Hamka, ‚Bismillah Dengan Orde Baru,‛ h. 3
964
Hamka, ‚Tugas Kita Sekarang‛, dalam Pandji Masjarakat, no. 12, Maret 1967, h.
2
965
Hamka, ‚Kembalilah ke Mesdjid,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 6, 20 Desember
1966, h. 3-4.
966
Optimisme menyambut Orde Baru juga diungkapkan tokoh-tokoh Masyumi
lainnya. Dalam pidato tasyakuran di Pontianak atas pembebasannya dan para tokoh
Masyumi lainnya, mantan Ketua Umum Masyumi terakhir Prawoto Mangkusasmito
menyatakan, pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintahan baru adalah
mengembalikan mengembalikan UUD 1945 ke posisi yang sebenarnya setelah sekian lama
diselewengkan oleh Orde Lama. Prawoto juga menuntut agar partai-partai oposisi yang
sempat dibubarkan oleh Soekarno – Masyumi dan PSI- untuk segera direhabilitasi karena
pembubaran itu dinilainya tidak sah secara juridis formil, lihat ‚Langkah Pertama
Menegakkan Orba: Merehabilitir Kedudukan UUD -45‛, Pandji Masjarakat, no 6, 20
Desember 1966, h. 2. Rehabilitasi Masyumi menjadi persoalan awal yang membuat
kekecewaan tokoh-tokoh Masyumi terhadap Orde Baru, dan kemudian berlanjut dengan
larangan terhadap tokoh-tokoh Masyumi untuk aktif di partai baru pengganti Masyumi,
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
967
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr. Anwar
Harjono, SH, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 235
968
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 199
969
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 243, 244-246

199
29 Juni 1968 misalnya, pernah diadakan peringatan Hari Piagam Jakarta di Gedung
Pola yang dihadiri Menteri Agama Moch Dahlan. Dalam Sidang Umum MPRS
1968 juga dimunculkan wacana legalisasi Piagam Jakarta hingga membuat
persidangan di Komisi I dan II mandeg. Namun kerinduan pada Piagam Jakarta dan
politik aliran segera menepi. Pemerintah Orde Baru dengan program pembangunan
ekonominya tidak menyukai hal-hal yang berbau politik ideologis. Untuk
menyukseskannya, pemerintah melakukan pengawasan dan kontrol ketat terhadap
kekuatan politik Islam. Proses deideologisasi politik dilakukan secara terencana.970
Menyadari hal ini, para eks pimpinan Masyumi segera mengalihkan strategi
perjuangannya. Jika semula mereka getol berjuang di jalur politik kepartaian, kini
jalur dakwah menjadi pilihan yang realistis. Pada Pebruari 1967 mereka mendirikan
Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Para pendirinya adalah:
Mohammad Natsir, HM Rasjidi, Daud Dt.Palimo Kayo, Taufiqurrahman, Hasan
Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, Abdul Malik
Ahmad, dan Buchari Tamam.971 Hamka berpusat pada upaya menjaga akidah
umat Islam dari pengaruh ideologi/keyakinan lain dan efek negatif modernisasi. Di
periode ini Hamka juga berjuang untuk mengintegrasikan Islam dengan
keindonesiaan.
Pilihan ini didasarkan pada tantangan yang dihadapi saat itu. Pertama,
propagandis Kristen makin berani dan terang-terangan mempropagandakan
agamanya ke umat Islam dengan berbagai cara, termasuk dengan bujukan bantuan
sembako dan pendirian gereja yang massif di tengah-tengah masyarakat Muslim.
Ini membuat keresahan umat Islam, dan di beberapa derah menimbulkan konflik
antar umat beragama. Tantangan kedua terkait dengan masih kuatnya sikap saling
mencurigai antara pemerintah dengan umat Islam. Sebagian kalangan menuduh
umat Islam menentang program pembangunan yang sedang digalakkan Orde Baru.
Sementara umat Islam sering melihat curiga setiap kebijakan pemerintah.972
Hamka menilai sikap curiga dan tidak suka dari sebagian pihak di pemerintahan itu
berakar dari pendidikan yang ditanamkan sejak zaman penjajahan. Hamka dan
rekan-rekannya mantan pimpinan Masyumi pun mengkhawatirkan terjadinya
proses peminggiran umat Islam 973
Bila rekan-rekan Hamka mulai beralih ke jalur dakwah pasca kegagalan
rehabilitasi Masyumi dan pembatasan-pembatasan politik pada mereka, maka
Hamka sejak awal telah memulai itu. Terhitung semenjak pembubaran
Konstituante dan pembubaran partai Masyumi Hamka telah mengalihkan medan
juangnya ke ranah dakwah, dengan menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai
pusatnya. Langkah ini terus dilakukan pasca dia dikeluarkan dari penjara pada
tahun 1966. Jika di era Orde Lama dakwah Hamka ditekankan pada membendung
pengaruh komunisme, maka di era Orde Baru dakwahnya difokuskan pada
970
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 243-244
971
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan..., h. 235-236
972
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 186-187; James R Rush, Adicerita
Hamka..., h. 202-203
973
Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 200-201

200
beberapa tema: membendung kristenisasi, mengurangi kecurigaan kalangan
terdidik dan birokrat pada umat Islam, serta mengisi program modernisasi dan
pembangunan dengan nilai-nilai Islam.974 Jika di masa Demokrasi Terpimpin
Hamka melakukan dakwahnya dengan mendekat kepada militer (Angkatan
Darat/AD) demi melawan pengaruh komunisme yang diberi angin oleh Soekarno,
maka di era Orde Baru strategi yang dilakukannya adalah mendekati dan mengajak
kelas menengah dan birokrat untuk belajar Islam.975 Tentang hal ini Rusydi
menceritakan,
Kita sekarang masih berhadapan dengan satu lapisan masyarakat yang terdidik
dengan cara berpikir dan sistem kolonial. Mereka itu beragama Islam, tapi takut
pada Islam, karena begitulah Belanda mengajarnya dulu...
Oleh karena itu, para mubalig harus memanggil mereka dengan dakwah, jangan
terus menerus memusuhi mereka, dakwah mencari kawan, bukan lawan...976
Usaha Hamka berlangsung baik. Dia pun sering diundang memberi pengajian
ke instansi pemerintahan dan rumah-rumah pejabat negara. Secara rutin Hamka
juga memberi ceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan TVRI.977 Bahkan
pada Idul Fitri tahun 1969, Hamka diminta menjadi khatib shalat Id di Masjid
Baitul Rahim di Istana Merdeka. Kesempatan ini dimanfaatkan Hamka untuk
menjelaskan hubungan Islam dengan Pancasila.978 Tampaknya Hamka ingin
meyakinkan Soeharto akan komitmen umat Islam pada Pancasila.
Selain mendekati kalangan pemerintahan, Hamka juga terus mendakwahi
kelas menengah non-pemerintahan, sesuatu yang telah dirintisnya sejak era
sebelumnya. Masjid Al-Azhar yang sejak semula berdiri di sekitar pemukiman
pedagang dan kelas menengah yang mulai tumbuh di Jakarta bagian selatan
menjadi pusat dakwahnya. Hamka dan Al-Azhar pun semakin lebar membuka
tangannya untuk merangkul mereka. Pada tahun 1964 Al-Azhar membuka Taman
Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) yang diperuntukkan bagi anak-anak
kelas menangah yang menginginkan pendidikan modern dengan warna keislaman.
Lembaga pendidikan Islam modern ini terus berkembang. Pada 3 Januari 1971
berdiri Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 3 Januari 1976 berdiri Sekolah
Menengah Atas (SMA).979
Dengan peran yang dimainkannya ini Hamka pun menjelma menjadi ‚ulama
kota‛ menurut Fachry Ali. Popularitasnya menjangkau masyarakat yang terdidik
secara modern dengan pengetahuan yang belum mendalam dan terkonsentrasi di
974
Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 185-206; James R Rush,
Adicerita Hamka..., h. 201-203.
975
Hamka pernah bertemu dan berdikusi dengan tokoh-tokoh HMI (Sulastomo, Ekki
Syahruddin, dan Mar’ie Muhammad) tentang strategi dakwah di zaman yang kritis saat
PKI begitu agresif dan mendapat sokongan Soekarno. Dia menekankan agar bekerjasama
dengan AD demi melancarkan dakwahnya. Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h.
183
976
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 204
977
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 203-204
978
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 190-192
979
Lihat Tim Historia, Hamka: Ulama Serba Bisa Dalam Sejarah Indonesia,
(Jakarta: Kompas, 2018), h. 125-134

201
daerah perkotaan. Dengan kemampuan baca tulisnya itu mereka pun berupaya
memperdalam pengetahuan agamanya, dan buku-buku Hamka menjadi salah satu
pilihan utama.980 Dalam istilah lain Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai
‚ulama nasional‛, yaitu ulama yang dipercaya untuk mengurus masalah-masalah
makro. Karena itu Hamka kurang menjadi rujukan dalam kaitan dengan masalah-
masalah khusus sehingga dia kurang populer di kalangan pesantren.981 Namun
demikian, Wahid mengakui peran Hamka sebagai ‚tokoh penghubung dan
komunikator antara begitu banyak kelompok masyarakat yang beraneka ragam
keinginan dan kecenderungan masing-masing‛.982 Posisinya sebagai ‚ulama
nasional‛ dan kemampuannya menjembatani berbagai kelompok dan kepentingan
inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah bisa menerima Hamka menjadi
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).983
Posisi sebagai ‚ulama nasional‛ itu makin kokoh dengan terpilihnya Hamka
sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 27 Juli 1975,
sehari setelah pembentukan lembaga itu. MUI sendiri lahir dari keinginan
pemerintah untuk menciptakan persatuan dan kerukunan umat beragama demi
menyukseskan program pembangunan. Keinginan ini diungkapkan Presiden
Soeharto pada Lokakarya Muballigh se Indonesia di Istana Negara pada 30
Nopember 1974,984 dan diulangi lagi pada 24 Mei 1975, ketika presiden menerima
delegasi Dewan Masjid Indonesia.985
Pidato presiden itu kemudian ditindaklanjuti dengan instruksi Menteri
Dalam Negeri untuk membentuk majelis ulama di tingkat daerah. Pada Mei 1975
telah terbentuk majelis itu di seluruh daerah tingkat I (Provinsi). Sementara untuk
tingkat pusat, melalui Surat Keputusan No 28 Tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama
membentuk Panitia Musyawarah. Sebagai ketua adalah Letjen H Soedirman
dengan tiga orang tim penasehat: Hamka, KH Abdullah Syafii, dan KH Syukri
Ghozali. Panitia ini ditugaskan untuk mengadakan musyawarah alim ulama pada
21 hingga 27 Juli 1975. Pihak-pihak yang diundang adalah 4 orang perwakilan dari
majelis ulama di tiap-tiap daerah tingkat I (provinsi), 1 orang perwakilan tiap-tiap
ormas Islam di tingkat pusat (berjumlah 14 orang), perwakilan dari Dinas-dinas
Rawatan Rohani Islam ABRI, dan 12 tokoh-tokoh ulama pusat dan daerah. Hasil
permusyawaratan itu adalah pembentukan MUI pada 26 Juli, dan pemilihan Ketua
Umum sehari setelahnya.986

980
Fachry Ali, ‚Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan
Riwayat dan Perjuangannya,‛ Prisma, no 2, tahun XII (Pebruari 1983), h. 49
981
Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?: Sebuah
Pengantar,‛ dalam Nasir Tamara, dkk (ed.), Hamka Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 36.
982
Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka...‛, h. 50
983
Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 210
984
Sekretariat MUI, Majelis Ulama Indonesia 1976, (Jakarta: Sekretariat MUI,
1976), h. 9
985
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 55
986
Sekretariat MUI, Majelis Ulama Indonesia 1976, h. 10

202
Meski demikian, sesungguhnya keinginan pemerintah untuk membentuk
majelis ulama telah dinyatakan beberapa tahun sebelum pidato presiden 30
November 1974. Mudzhar mencatat, pada konferensi ulama yang diselenggarakan
Pusat Dakwah Islam di Jakarta, 30 September – 4 Oktober 1970, Menteri Agama
KH Muhammad Dahlan mengajukan saran untuk membentuk sebuah wadah bagi
ulama Indonesia yang bertugas memberikan fatwa.987 Dalam konferensi ini Prof
Ibrahim Hosen mengusulkan lembaga ulama yang akan dibentuk bertugas
mengeluarkan fatwa kolektif dengan melibatkan sarjana-sarjana non-agama.
Namun usulan ini ditolak Hamka karena kuatir lembaga seperti itu akan
didominasi dan dipengaruhi oleh satu kelompok Islam yang dekat dengan
Departemen Agama. Saat itu yang menjabat Menteri Agama adalah KH Moh
Dahlan dari NU. Pada akhirnya tidak tercapai keputusan pembentukan lembaga
ulama tersebut. Beberapa tahun kemudian Hamka setuju dengan pembentukan
lembaga tersebut, bahkan bersedia menjadi Ketuanya. Di saat ini yang menjadi
Menteri Agama adalah Mukti Ali yang dekat dengan kelompok Islam modernis.
Menurut Hosen, sikap ini menunjukkan betapa rentannya hubungan antara
kelompok-kelompok dalam Islam.988
Selain faktor masih tersimpannya saling curiga antar kelompok dalam umat
Islam (antara ‚tradisionalis‛ dengan ‚modernis‛), kemungkinan lain penolakan
Hamka tersebut juga dilatari oleh ingatannya pada lembaga ulama di era
Demokrasi Terpimpin, yang dibentuk untuk memperkuat rezim. Pada Oktober
1962, pemerintah membentuk sebuah wadah Madjlis Ulama yang berfungsi
‚sebagai penghubung dari masyarakat Islam kepada pemerintah‛. Selain itu juga
sebagai ‚tempat mengkoordinir segala usaha umat Islam dalam bidang
pembangunan mental/rohani/agama,‛ dan menjadi ‚tempat menampung segala
persoalan-persoalan umat Islam‛.989 Pembentukan lembaga ini dilatari oleh
kebijakan pemerintah yang membagi masyarakat ke dalam dua golongan: golongan
partai dan golongan karya/fungsional. Golongan karya (disebut karyawan) dibagi
menjadi empat: karyawan angkatan bersenjata, karyawan materiil, karyawan
spirituil, dan karyawan rohani/agama. Dari keempat ini, ulama masuk dalam
golongan karyawan bidang rohani/agama. Baik golongan partai atau pun karya,
keduanya dikoordinasikan dalam sebuah organisasi massa bernama Front Nasional,
sebuah wadah bersama yang dibentuk untuk ‚menyelesaikan revolusi kita‛. 990
Kekhawatiran lembaga ulama hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan ini
bukan hanya dirasakan Hamka, rekan-rekannya Hamka lainnya sesama eks
Masyumi juga merasakan hal yang sama. Sebab itu Mohammad Natsir menentang
pembentukan MUI, demikian pula Mohammad Roem. Jika Roem juga tidak setuju
Hamka menjadi Ketua Umum MUI dan menyebutnya sebagai ‚naif‛, Natsir
bersikap sebaliknya: menyarankan Hamka untuk menerima posisi itu. Namun
987
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 54.
988
Nadirsyah Hosen, ‚Behind The Scenes: Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia
(1975-1998)‛, Journal of Islamic Studies, 15/2, 2004, h. 179
989
‚Keterangan Resmi Tentang Madjlis Ulama,‛ Gema Islam, no 30, tahun II, 15
April 1963, h. 6
990
‚Keterangan Resmi Tentang ...‛, h. 6

203
Natsir memberi nasihat agar Hamka ‚tetap merdeka‛ dan ‚jangan berbicara atas
nama pemerintah. Ingat tanggung jawabmu adalah mewakili umat Islam di
hadapan pemerintah, bukan mewakili pemerintah di hadapan umat Islam.991
Latar belakang inilah yang membuat usulan pembentukan majelis ulama di
1970 itu baru direspons umat Islam lima tahun kemudian. Mudzhar melihat,
tenggang waktu yang lama itu tidak lepas dari kondisi politik ‚saling curiga‛
antara umat Islam dengan pemerintah.992 Karena itu Menteri Agama Mukti Ali
menilai pembentukan MUI merupakan momen mengubur rasa tidak saling percaya
dan saling curiga antara kaum ulama dengan pemerintah.993 Namun demikian,
sebagian sarjana melihat pembentukan MUI tidak lebih dari upaya pemerintah
untuk mengontrol aspirasi umat Islam.994
Hosen menyebut beberapa karakter MUI, yaitu: MUI bertugas memberi
nasihat dan mengeluarkan fatwa, baik kepada pemerintah maupun umat Islam
secara umum. MUI tidak membuat program praktis seperti organisasi Islam
lainnya dan tidak menjalankan peran politik seperti partai politik; MUI
mengakomodasi kelompok-kelompok Islam yang ada di Indonesia. Karenanya
kepengurusan MUI merepresentasikan semua kelompok, baik yang tradisionalis
maupun yang modernis; karakter lainnya adalah, bahwa MUI merupakan jembatan
yang menghubungkan antara umat Islam dengan pemerintah.995
Kesediaan Hamka menjadi Ketua Umum MUI sempat diprotes secara keras
oleh sekelompok pemuda Islam yang datang ke rumahnya. Beberapa mubaligh juga
mengejek Hamka di masjid dan di hadapan publik atas pilihannya itu.996 Namun
Hamka tetap bergeming. Setelah melakukan shalat istikharah dan berkonsultasi
dengan pimpinan Muhammadiyah, ia pun menerima posisi itu. Ada beberapa
pertimbangan yang dipakai Hamka: Pertama, untuk mengisi program ‚Ketahanan
Nasional‛. Hamka memaknai ‚Ketahanan Nasional‛ sebagai ketahanan ideologi
rakyat menghadapi komunisme, dan pembangunan moral bangsa; Kedua, untuk
menghilangkan rasa dendam dan saling curiga antara umat Islam dengan
pemerintah. Menurutnya, perasaan seperti itu masih tertanam sebagai akibat dari
indoktrinasi yang ditanamkan PKI dan Orde Lama. ‚Akibatnya, apapun yang
hendak kita lakukan, selalu dicurigai,‛ ujarnya. Sikap sebaliknya juga ditunjukkan
umat Islam yang selalu apriori terhadap kebijakan pemerintah.997
Hamka menggambarkan hubungan yang tidak harmonis itu dalam beberapa
kejadian yang menimpa dirinya. Pada tahun 1970 ia dan Mohamad Mawardi selaku

991
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 211-212. Tentang pernyataan Roem bahwa
Hamka itu naif lihat catatan akhir no 1052.
992
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 62
993
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 62-63; Sekretariat MUI, Majelis
Ulama Indonesia 1976, h. 10-11
994
Lihat Mun'im Sirry, ‚Fatwas and their controversy: The case of the Council of
Indonesian Ulama (MUI)‛, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 44, no. 1, Pebruari
2013, h. 100-117.
995
Nadirsyah Hosen, ‚Behind the Scenes...,‛ h. 152-154
996
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 64 & 211
997
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 209-210.

204
pimpinan Muhammadiyah turun ke cabang-cabang Muhammadiyah di Jawa Timur.
Ketika tiba di Tulungagung, tiba-tiba kegiatan mereka urung dilaksanakan karena
adanya larangan dari pimpinan militer setempat. Peristiwa larangan berdakwah
juga dialami Hamka di tahun 1973. Ketika itu ia sedang berada di Payakumbuh.
Warga Muhammadiyah di sana pun memintanya untuk memberi ceramah. Namun
penguasa setempat melarang dengan alibi Presiden Soeharto sedang berkunjung ke
Padang. Bahkan Hamka pernah dilarang menghadiri acara halal bi halal warga
Sumbar di Cirebon ketika ia sedang liburan ke kampung halaman istri (kedua)
Hamka di sana.998
Alasan logis yang dijadikan dasar pertimbangan Hamka mengambil
keputusan itu terlihat masih selaras dengan pandangan hidupnya tentang
ketidakterpisahan Islam dengan urusan bermasyarakat. Meski tidak lagi bergerak
di wilayah politik praktis, Hamka tetap berupaya menjadikan Islam sebagai
panduan bagi kehidupan bermasyarakat melalui aktivitas dakwah yang dijalaninya.
Dalam hal ini Hamka melihat perlunya kerjasama yang baik antara ulama dengan
umara. Dengan pembentukan MUI, ungkapnya, ‚kita baru saja berangsur
membangun pandangan yang demikian.‛999 Sikap seperti ini ditegaskan Hamka
kepada jamaah masjid al-Azhar: ‚Kita tidak mengartikan amar ma’ruf nahi munkar
itu sebagai oposisi. Tapi dengan sikap itu, tidak berarti kita menjilat kepada
pemerintah.‛1000 ‚Yang penting dalam menentukan langkah-langkah ini ialah,
jangan menyimpang dari tujuan,‛ ujar Hamka. Hamka menyebut strateginya ini
sebagai ‚Pegang pangkal bedil supaya tidak kena di ujungnya.‛1001
Secara umum hubungan Hamka dengan pemerintah Orde Baru berjalan baik.
Hamka sering bertemu dengan presiden dan pejabat negara lainnya. Pemerintah
juga memfasitasi kebutuhan MUI. Di saat bersamaan, MUI juga sering mendukung
program-program pemerintah melalui fatwa-fatwanya.1002 Namun demikian, bukan
berarti hubungan tersebut tanpa dinamika dan ketegangan sama sekali. Meski
terlihat dekat dengan kekuasaan, sikap ‚bukan oposisi, tetapi tidak menjilat kepada
pemerintah‛ yang diambil Hamka membuatnya tidak mudah dikendalikan oleh
penguasa. Independensi ini sejak awal telah ditegaskan Hamka ketika MUI akan
dibentuk. M Roem mengutip pernyataan Hamka tentang sikapnya itu: ‚Kalau saya
diminta menjadi anggota majelis ulama saya terima, akan tetapi ketauhilah saya
sebagai ulama tidak bisa dibeli.‛1003
Maka anggapan bahwa MUI merupakan alat pemerintah untuk
mengendalikan aspirasi umat Islam kurang relevan di era Hamka. Dalam beberapa

998
Hamka, ‚Ulama dan Pemerintah‛, dalam Panji Masyarakat, no 210, tahun XVIII,
1 November 1976, h. 7
999
Hamka, ‚Ulama dan Pemerintah,‛ h. 7
1000
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 211
1001
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 206
1002
Seperti fatwa tentang anjuran hidup sederhana, tanggal 10 Pebruari 1976 dan
fatwa tentang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1978, tanggal
16 Pebruari 1978.
1003
Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
h. 107

205
hal memang fatwa MUI tampak sejalan dengan keinginan pemerintah, seperti
fatwa tentang anjuran hidup sederhana yang mendukung ajakan Presiden Soeharto,
atau fatwa tentang Sidang Umum MPR tahun 1978 yang menyatakan MUI
mendukung suksesnya sidang tersebut. Dalam beberapa hal lainnya Hamka dan
MUI juga cenderung mengambil posisi aman. Contoh kasus terakhir ini adalah
pernyataan MUI menjelang Pemilu 1977. Pada Mei 1977, sebulan sebelum Pemilu,
MUI mengeluarkan ‚Pernyataan Majelis Ulama Indonesia Menghadapi Pemilu‛.
Dalam pernyataannya, MUI menghimbau masyarakat untuk menyukseskan agenda
nasional itu tanpa menyatakan dukungan kepada salah satu peserta Pemilu. Hanya
saja dalam pernyataan itu MUI juga menghimbau para ulama untuk tidak
menyampaikan khutbah berisi politik.1004 Dengan pernyataan itu sesungguhnya
MUI sedang mengambil posisi tengah-tengah sesuai dengan karakternya yang
tidak terlibat dalam politik praktis.
Sikap seperti MUI seperti itu tidak lepas dari sikap Ketua Umumnya,
Hamka, yang menjaga jarak dari politik praktis. Sikap tidak mau terlibat politik
praktis sebenarnya telah diambil Hamka sejak sejak pembubaran Masyumi di tahun
1960. Pilihan ‚berpolitik lewat jalur dakwah‛ terus digenggamnya ketika Orde
Baru berdiri. Pada Pemilu pertama di era Orde Baru sikap Hamka itu ditegaskan
dengan pernyataannya ‚Lapangan politik bukan bidangku, aku dikenal tetap
pujangga yang bersayap terbanglah laju, alat juangku tetaplah pena.‛ Karena itu
Hamka tidak mau terlibat dalam dukung-mendukung kekuatan politik yang ada.
Namun Hamka menolak jika sikapnya yang demikian itu dianggap sebagai tidak
loyal kepada pemerintah. Baginya, loyalitas berarti turut membangun negara sesuai
dengan bidangnya. Hamka pun mengaku akan tetap memilih dalam Pemilu dengan
pilihan yang tidak diketahui pihak lain.1005
Meski tidak terlibat langsung dalam politik praktis, namun Hamka tetap
menggunakan hak pilihnya dengan mengikuti pilihan politik ‚pemimpin yang lebih
ahli‛ yaitu Natsir dan Sutan Mansur. Namun demikian, namun setiap ditanya
tentang pilihannya dia tidak memberikan jawaban. ‚Sebagai warga negara dia akan
turut menyukseskan Pemilu. Namun apa pilihannya adalah rahasia, sesuai dengan
asas itu sendiri,‛ ujar Rusydi. Kepada pengurus MUI, Hamka pun memberikan
kebebasan untuk memilih. Ia juga menolak ketika diajak untuk kampanye
mendukung Golkar.1006 Karena itu dalam kepengurusan MUI terdapat keragaman
orientasi politik. Sekjen MUI Kafrawi dan Habib Habsyi cenderung kepada Golkar.
Sementara KH Syukri Ghozali, KH Abdullah Syafii, dan Amiruddin kepada PPP
(Partai Persatuan Pembangunan), bahkan ketiganya menjadi juru kampanye untuk
partai itu.

1004
Muhammad As’ad, ‚Official Ulama in Indonesian Politics: Study on the
Attitudes of the Indonesian Council of Ulama in the General Elections‛, makalah
dipresentaskan pada International Conference Is Indonesian Islam Different? Islam in
Indonesia in an International Comparative Perspective, Jakarta, 24-26 Januari 2011, h. 5
1005
Lihat Hamka, ‚Loyalitas,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 80, tahun V, 1 Juni
1971, h. 4-5.
1006
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 234-236.

206
Di sisi lain MUI di era Hamka juga pernah bersikap yang tidak sejalan
dengan pemerintah. Pada suatu kasus bahkan sempat menimbulkan ketegangan.
Hubungan yang dinamis antara Hamka dan MUI dengan pemerintah adalah terkait
dengan isu kristenisasi dan kerukunan umat beragama, khususnya tentang perayaan
natal bersama, serta mengenai Aliran Kepercayaan. Jika dalam persoalan
kristenisasi sikap Hamka dan MUI tampak sejalan dengan pemerintah, tidak
demikian halnya dengan persoalan Aliran Kepercayaan dan kegiatan Natal
bersama. Pada kasus Aliran Kepercayaan, meski sempat mengalami ketegangan,
namun pada akhirnya Hamka, MUI, dan pemerintah bisa menemukan titik temu.
Sementara pada kasus natal bersama, ketegangan antara kedua pihak sulit
dipertemukan sehingga Hamka selaku Ketua Umum MUI harus rela menjadi
korban atas independensi sikapnya. Dinamika ini menjadikan relasi kedua belah
pihak bersifat fluktuatif, atau dalam istilah Sirry sebagai rumit (complexity),1007
khususnya pada periode kepemimpinan Hamka.1008
Periode awal-awal Orde Baru diwarnai dengan gesekan yang terjadi antar
umat beragama, khususnya umat Islam dengan Kristen. Isu utamanya adalah
kristenisasi yang mewabah di masyarakat. Sebenarnya ketegangan antara dua umat
itu telah terjadi sejak lama. Salah satu sebab utama kelahiran Muhammadiyah pada
1912 adalah massifnya gerakan kristenisasi yang didukung pemerintah kolonial.
Ketegangan ini terus berlanjut pasca proklamasi dan masih berlangsung hingga era
Orde Baru, dengan berbagai isu yang memanaskannya.1009 Meski demikian,
Mujiburrahman mencatat, sempat terjalin kerjasama antara kedua umat itu secara
singkat sewaktu melawan PKI tahun 1965-1966.1010 Dalam banyak tulisannya di
Pandji Masjarakat Hamka memberikan contoh-contoh kristenisasi yang makin
massif di era Orde Lama dan terus berlangsung di era Orde Baru:
Ini di dekat rumah kami, di Senayan, di zaman Orde Lama dirampas tanah penduduk
Jakarta asli yang semuanya orang Islam taat. Katanya karena hendak mendirikan
rumah sakit ‘Sari Asih’. Tetapi kemudian dengan diam diserahkan kepada Kristen
Adventis. Sebuah masjid didesak supaya dibongkar, karena di samping rumah sakit
itu akan didirikan gereja.‛1011
Kristenisasi berlangsung dengan berbagai cara. Selain mendirikan gereja-
gereja dan rumah sakit di daerah-daerah berpenduduk muslim, kristenisasi juga
marak dilakukan dari rumah ke rumah. Para missionaris datang ke rumah orang-
orang Islam, membagi-bagi buku kekristenan, menjelaskan keunggulan Kristen
daripada agama tuan rumah, dan mengajak untuk pindah agama. Keluarga Hamka

1007
Mun’im Sirry, ‚Fatwas and Their Controversy...,‛ h. 103
1008
Wildan Insan Fauzi, ‚Hamka Sebagai Ketua Umum MUI (Majelis Ulama
Indonesia) Dalam Menghadapi Masalah Sosial Politik Pada Masa Orde Baru 1975-1981,‛
Factum, Vol 6, No 2 (Oktober 2017), h. 278-295
1009
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 74-75.
1010
Lihat Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in
Indonesia’s New Order‛, disertasi, ISIM/Amsterdam University, 2006, h. 21-28
1011
Hamka, ‚Tjuma Untuk Orang Mukmin‛, dalam Pandji Masjarakat, no 19,
Oktober 1967, h. 4

207
sendiri pernah mengalami peristiwa seperti ini.1012 Bukan hanya mengajak, mereka
bahkan lebih berani lagi melakukan tindakannya, sebagaimana yang diceritakan
Hamka:
Pada suatu malam beliau (KH SS Djam’an, ulama di Jakarta, red) mengadakan suatu
pertemuan pengajian. Beliau mengupas dan menafsirkan ayat al-Qur’an, Surat ke 18,
al-Kahfi ayat 4 dan 5... Tidak beberapa saat sehabis beliau memberikan penerangan
itu rumah beliau dikepung oleh beberapa pemuda Kristen yang galak gagah berani.
Beliau dituduh karena membuka tafsir ayat itu, bahwa beliau anti Pancasila!1013
Hamka menyebut kristenisasi terhadap umat Islam itu sebagai ‚toleransi
dibalas dengan tamparan‛.1014 Meski demikian Hamka melihat penyebab hal
tersebut bukanlah orang-orang Kristen asli Indonesia. Karena bagaimana pun
hubungan Islam-Kristen di Indonesia selama itu tidak pernah bermasalah serius.
Justru, ujarnya, kristenisasi itu bersumber dari zending dan missi luar negeri yang
‚hendak meneruskan penjajahan dalam negeri ini dengan berkedok agama.‛1015
Amos Sukamto mengakui terjadinya gesekan antara kedua umat tersebut
telah terjadi sejak sebelum kemerdekaan. Namun ketegangan yang melibatkan akar
rumput dan mengakibatkan konflik fisik antara kedua umat tersebut terjadi pasca
peristiwa 1965. Untuk menghilangkan pengaruh komunisme, pemerintah Orde
Baru mewajibkan semua penduduk memeluk salah satu agama. Di saat inilah
terjadi pertumbuhan besar pengikut Kristen di Indonesia. Di Gereja Batak Karo
Sumatera Utara saja, tulis Sukamto, per Juni 1966 hingga November 1967 terjadi
kenaikan jumlah jamaah hingga 83 persen.1016 Secara nasional beberapa sumber
menyebut kenaikan jumlah umat Kristen sekitar dua juta orang.1017
Ketegangan itu menimbulkan gesekan fisik di berbagai daerah, seperti di
Meulaboh di awal tahun 1967 dan Makassar pada Oktober 1957.1018 Merespons ini
pemerintah pun mengadakan pertemuan antar kelompok agama pada 30 November
1967. Dalam sambutannya, Soeharto selaku Pejabat Presiden menyerukan agar
terwujud perdamaian di antara umat beragama, maka seharusnya orang-orang yang
sudah beragama tidak menjadi obyek propaganda agama lain. ‚Atau untuk
memperbanyak pemeluk janganlah orang yang telah ada agamanya dijadikan
sasaran propaganda,‛ tulis Hamka yang turut dalam kegiatan itu. Seruan ini

1012
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 22
1013
Hamka, ‚Toleransi dibalas Dengan Tamparan,‛ dalam Pandji Masjarakat, no 16,
Agustus 1967, h. 4
1014
Istilah ini menjadi judul tulisan Hamka di Pandji Masjarakat. Lihat Hamka,
‚Toleransi dibalas Dengan Tamparan‛, dalam Pandji Masjarakat, no 16, Agustus 1967, h.
4-5
1015
Hamka, ‚Toleransi Agama‛, dalam Pandji Masjarakat, no 17, 1967, h. 3-4
1016
Amos Sukamto, ‚Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama
Sampai Awal Orde Baru‛, Jurnal Teologi Indonesia, vol 1, no 1, Juli 2013, h. 25-47
1017
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 75. Ada banyak versi berapa
jumlah konversi ke Kristen. Data lebih detail lihat Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛
h. 28-29
1018
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 75; Amos Sukamto,
‚Ketegangan Antar Kelompok..,‛ h. 36-37

208
beberapa kali diulangi oleh Soeharto ketika memberikan sambutan acara Isra’
Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Maulid Nabi, dan ketika pidato di DPR.1019
Selain Hamka, dari kalangan Islam yang hadir antara lain M Natsir, M
Rasjidi, Fakih Usman, dan Prawoto Mangkusasmito. Sementara dari pihak Kristen
ada TB Simatupang, Tambunan, Kasimo, dan Harry Chan. Ada dua agenda utama
pertemuan itu: pertama, untuk membentuk sebuah badan konsultasi antaragama;
kedua, untuk membuat kesepakatan bahwa penyebaran suatu agama hendaklah
tidak ditujukan kepada salah satu dari pemeluk lima agama yang diakui negara.
Namun pertemuan itu gagal mencapai kesepakatan. Kelompok Kristen menolak
poin kedua karena menganggap bahwa penyebaran agama Kristen kepada orang
non-Kristen merupakan tugas suci. Karenanya tidak perlu diatur.1020 Secara
sarkastik Hamka menulis, penolakan itu disebabkan oleh keyakinan kelompok
Kristen bahwa ‚menyampaikan Injil kepada umat manusia adalah termasuk iman
Kristen, karena mereka menganggap yang agama hanya Kristen, yang lain
tidak!.‛1021
Menanggapi kegagalan itu Hamka berkomentar, meski menolak isu akan
mengkristenkan Indonesia dalam waktu 50 tahun, namun pernyataan Tambunan
bahwa menyebarkan Kristen kepada umat lain itu sebagai misi suci membuktikan
adanya keinginan mereka untuk mengubah Indonesia menjadi Kristen. Hanya saja
tenggat waktunya tidak harus 50 tahun. Pengakuan itu juga mengonfirmasi ayat al-
Qur’an tentang ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani selama orang Islam tidak
mengikuti agama mereka. Karena itu Hamka mengingatkan umat Islam untuk
waspada atas apa yang disebutnya sebagai ancaman ‚Perang Salib baru gaya baru‛
yang dibiayai luar negeri.1022
Penolakan terus disuarakan kelompok Kristen. Dalam Kongres Dewan
Gereja di Salatiga (Juli 1976), pemimpin tertinggi Katolik di Indonesia
Darmoyuwono bahkan menyatakan bahwa mengagamakan orang yang belum
beragama sebagai munafik. Pernyataan ini disambut oleh tokoh Protestan TB
Simatupang yang kembali menolak usulan Presiden Soeharto itu. Hamka bereaksi
atas pernyataan Darmoyuwono itu. Ketua Umum MUI itu menilai keberanian
kalangan Kristen untuk bersuara keras itu ‚karena mereka sudah merasa kuat,‛ dan
memaknai konsep toleransi sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Lebih lanjut
Hamka menyatakan,
Dan mafhum dari ucapan itu ialah bahwa usaha mereka yang sejati, yang bukan
munafik, usaha yang sungguh-sungguh demi iman Kristen ialah meng-kristenkan
orang yang telah beragama. Logika dari ucapan itu ialah bahwa sebab pemeluk

1019
Hamka, ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama, Munafiq?‛, dalam Panji
Masyarakat, no 204, tahun XVIII, 1 Agustus 1976, h. 5
1020
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 75-76; Rusydi Hamka, Pribadi
dan Martabat..., h. 188. Menurut Mudzhar, kalangan Islam menolak agenda yang pertama
(membentuk badan antaragama) dan menerima agenda yang kedua. Sebaliknya kalangan
Kristen menyetujui agenda yang pertama dan menolak yang kedua.
1021
Hamka, ‚Mengagamakan Orang Yang...‛, h. 5
1022
Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 47; Rusydi Hamka, Pribadi dan
Martabat..., h. 188-189

209
agama Islam lah golongan yang terbesar di tanah Indonesia ini, maka usaha mereka
yang sejati, yang bukan munafik ialah meng-kristenkan umat Islam.1023
Isu kristenisasi menjadi ‘misi pertama’ yang dibawa Hamka sebagai Ketua
Umum MUI. Dalam pertemuan pimpinan MUI dengan Presiden Soeharto untuk
yang pertama kali pada 17 September 1975, Hamka mengemukakan persoalan
kristenisasi yang meresahkan umat Islam itu. Beberapa kasus diungkap oleh
Hamka, seperti kristenisasi dengan membagi-bagi sembako, pendirian gereja di
tengah perkampungan umat Islam, serta pembangunan rumah sakit Baptis di
Bukittinggi. Hamka menyebut hal itu telah membuat umat Islam resah dan bisa
menganggu kerukunan umat beragama. Karena itu Hamka meminta presiden
membuat aturan larangan penyebaran agama kepada orang yang sudah beragama.
Soeharto merespons positif usulan Hamka ini. Soeharto bahkan menyebut
penyebaran agama dengan iming-iming materi sebagai ‚sangat tercela‛. Terkait
rumah sakit Baptis di Bukittinggi, Hamka meminta Presiden untuk membelinya
dan mengubahnya menjadi rumah sakit pemerintah. Meski Soeharto menyambut
baik usul tersebut dan berjanji akan memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk
membelinya. Namun, menurut Mudzhar, rencana tersebut tidak pernah
terwujud.1024
Pada Maret 1978 terjadi pergantian menteri agama dari Mukti Ali ke
Alamsjah Ratu Prawiranegara. Alamsjah mengeluarkan dua keputusan penting
terkait kerukunan antara umat beragama pada Agustus 1978. Surat Keputusan
Menteri Agama No 70 mengatur persoalan penyebaran agama. Sementara
keputusan yang kedua (No 77) mengatur persoalan bantuan luar negeri untuk
lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia. Keputusan yang pertama melarang
beberapa hal: 1) menyebarkan agama kepada orang yang telah memeluk agama; 2)
menggunakan uang, pakaian, obat-obatan dan lain-lainnya untuk mengajak orang
lain masuk agama tertentu; 3) menyebarkan pamflet, buku, majalah, dan
sebagainya ke rumah-rumah pemeluk agama lain; 4) mendatangi rumah-rumah
pemeluk agama lain untuk menyebarkan agama. Sementara keputusan kedua
mengatur, segala bentuk bantuan, baik personel maupun materiil, dari luar negeri
kepada lembaga keagamaan di Indonesia harus dengan persetujuan atau
rekomendasi dari Menteri Agama. 1025
Langkah Alamsjah ini tergolong berani. Sejak tahun 1967 kedua isu tersebut
telah dibahas di antara tokoh-tokoh agama yang berbeda. Namun blm tercapai
kesepakatan karena adanya penolakan dari kelompok Kristen. Apalagi keputusan
itu dikeluarkan tanpa diskusi terlebih dahulu dengan kelompok-kelompok agama
yang ada. Meski demikian Keputusan Menteri Agama ini diterima dengan baik
oleh kelompok Islam, Hindu, dan Budha. Dalam keterangannya kepada pers pada 9
September 1978, Hamka selaku Ketua MUI menilai keputusan tersebut secara

1023
Hamka, ‚Mengagamakan Orang Yang...‛, h. 6-7
1024
Hasan Basri, ‚Catatan Kenangan Untuk Buya‛, dalam Salam (ed), Kenang-
kenangan 70 tahun..., h. 79-80; Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 214-216; MA
Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 76
1025
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 77; Mujiburrahman, ‚Feeling
Threatened...,‛ h. 81

210
signifikan dapat mencegah radikalisasi di kalangan umat Islam. Dijelaskan,
kegiatan misionaris yang mendatangi rumah-rumah orang Islam dapat
menimbulkan keresahan dan konflik fisik. Beberapa hari kemudian Parisada Hindu
Dharma dan Perwalian Umat Budha Indonesia juga menyatakan dukungannya.1026
Sementara kalangan Kristen, baik Katolik maupun Protestan, secara tegas
menolak keputusan Menteri Agama itu. Sebuah sikap yang telah mereka tunjukkan
sejak pertemuan tahun 1967. Mereka dua kali mengirim surat kepada Presiden
Soeharto untuk membatalkan kedua keputusan tersebut. Juga meminta audiensi
kepada Presiden. Namun Soeharto tidak meresponnya. Mereka hanya bisa bertemu
dengan Wakil Presiden Adam Malik, Sekretaris Negara Sudharmono, Menteri
Sosial Surono, dan Menteri Agama. Alasan pokok penolakan itu adalah
‚kemerdekaan beragama‛ yang dilindungi oleh Konstitusi dan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan PancasilaError! Reference source not found.). Menurut
mereka, kemerdekaan beragama ini mencakup beberapa poin penting, termasuk: 1)
kebebasan menyebarkan agama kepada umat agama yang berbeda, 2) kebebasan
untuk berpindah atau berganti agama bagi seseorang, dan 3) kebebasan untuk
menjalin kerjasama dengan pihak yang memiliki kesamaan keyakinan di manapun
di penjuru dunia.1027
Pemerintah tetap pada sikapnya. Pada 10 Oktober 1978 Presiden Soeharto
memerintahkan Menteri Agama untuk melaksanakan Keputusan itu. Bahkan
kemudian pada 2 Januari 1979 dibuat Keputusan Bersama antara Menteri Agama
dengan Menteri Dalam Negeri yang mengatur penyiaran agama dan bantuan luar
negeri untuk lembaga keagamaan. Secara garis besar Keputusan Bersama itu sesuai
dengan dua Keputusan Menteri Agama sebelumnya.1028 Sikap pemerintah ini
dianggap sebagai upaya mengakomodasi aspirasi umat Islam Indonesia. Keresahan
umat atas maraknya kristenisasi, yang kemudian disampaikan Hamka kepada
Presiden disambut dengan peraturan menteri. Hal ini turut memupuk rasa percaya
umat Islam kepada pemerintah, juga kepada Alamsjah sebagai Menteri Agama
yang berasal dari kalangan militer.
Upaya pemerintah untuk menjalin hubungan baik dengan umat Islam juga
dilakukan dengan keluarnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No 44/1978,
Instruksi Menteri Agama No 9/1978, dan Surat Edaran Menteri Agama No 3/1978,
mengenai dakwah dan agama dan siaran agama di radio, di mana pemerintah tidak
lagi menempatkan dakwah agama ke dalam ranah keamanan sebagaimana
sebelumnya. Dengan demikian kegiatan dakwah dan siaran agama di radio tidak
lagi memerlukan izin selama tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945,
serta tidak mengganggu stabilitas dan program-program pemerintah. Kebijakan ini
dikeluarkan oleh Menteri Agama setelah berdiskusi dengan Pangkopkamtib
(Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).1029
1026
Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 82
1027
MA Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., h. 77; Mujiburrahman, ‚Feeling
Threatened...,‛ h. 83
1028
Mujiburrahman, ‚Feeling Threatened...,‛ h. 85-86
1029
Abdul Syukur, ‚Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Agama (Kajian Atas
Relasi Agama dan Negara)‛, Sosio-Politica, vol. 1, no 2, Juli-Desember 2012, h. 1-13

211
Ketegangan antaumat beragama yang sejak awal mewarnai Orde Baru
membuat pemerintah menjadi peka terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hal
tersebut. Untuk itu sejak 1969 pemerintah telah mengeluarkan Proyek
Pengembangan Kerukunan Beragama. Di awal 1970-an digelar sejumlah pertemuan
dan dialog antara umat beragama, khususnya Islam dan Kristen. Pada 1975
dibentuk MUI yang salah satu fungsinya adalah wakil pihak Islam dalam
pertemuan antaragama. Di tahun 1978 dikeluarkan keputusan Menteri Agama yang
mengatur kegiatan penyebaran agama dan bantuan keagamaan dari luar negeri,
yang kemudian dikuatkan dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dengan
Menteri Dalam Negeri yang mengatur pendirian rumah ibadah. Setahun kemudian
Badan Konsultasi Antar Umat Beragama berhasil dibentuk. Dalam konteks seperti
inilah keluar fatwa MUI tentang larangan bagi umat Islam untuk mengikuti
kegiatan Natal. Fatwa ini, ungkap Mudhzar, merupakan pukulan bagi upaya
pemerintah untuk menyuburkan kerukunan antaragama.1030
Fatwa yang dikeluarkan pada Maret 1981 itu dilatari oleh fenomena
maraknya perayaan Natal dengan melibatkan umat Islam. Dengan dalih kerukunan,
toleransi, dan Pancasila kalangan Kristen mengajak serta umat Islam untuk
merayakan Natal. Bukan hanya di gereja-gereja, perayaan itu juga digelar di
sekolah, tempat-tempat bekerja, perumahan, bahkan di kantor pemerintahan.
Dalam banyak kasus, murid-murid yang beragama Islam diwajibkan terlibat dalam
perayaan Natal oleh pihak sekolah, khususnya di lembaga pendidikan Kristen.
Bentuknya bermacam-macam, mulai dari penarikan iuran hingga menyanyikan
lagu-lagu Kristiani dalam perayaan tersebut. Begitu juga lembaga-lembaga
pemerintahan banyak yang menggelar perayaan Natal dengan melibatkan pegawai
yang non-Kristen.1031
Menurut catatan Rush, fenomena perayaan natal bersama ini bermula dari
impian Soeharto untuk mengintegrasikan seluruh lapisan masyarakat untuk
menghidari pertentangan dan ketegangan yang menjadi sumber perpecahan dan
luka nasional. Impian ini kemudian diterjemahkan oleh beberapa menteri dengan
menggabungkan perayaan Natal dengan perayaan Idul Fitri, khususnya Halal Bi
Halal. Kebetulan pada tahun 1968 dua hari raya itu waktunya berdekatan, Idul Fitri
pada tanggal 21 Desember dan Natal 25 Desember.1032
Massifitas perayaan Natal bersama diiringi dengan munculnya pandangan
yang menyamakan perayaan Natal dengan peringatan maulid Nabi Muhammad
Saw di tengah-tengah masyarakat Muslim. Padahal Maulid bukanlah sebentuk
ibadah dalam Islam. Bagi kaum kristiani sendiri, pelibatan umat Islam itu
merupakan upaya mereka mendekatkan umat non Kristen kepada kekristenan.
Sementara MUI memandang fenomena Natal bersama dapat mengganggu
keyakinan umat Islam, dan karenanya, tidak bisa ditoleransi lagi. 1033 Dengan latar
sosio-historis inilah MUI kemudian mengeluarkan fatwa tersebut. Hamka sendiri
1030
MA Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama..., h. 122
1031
‚Heboh Tentang Natal Bersama,‛ Serial Media Dakwah, no 85, Juli 1981, h. 35
1032
James R Rush, Adicerita Hamka..., h. 204
1033
MA Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama..., h. 117-118; Mujiburrahman,
‚Feeling Threatened...‛, h. 96

212
sebelum fatwa tersebut keluar, telah menyatakan sikapnya tentang kegiatan Natal
bersama. Bukan hanya melarang, Hamka bahkan menyatakan orang Islam yang
mengikuti upacara Natal sebagai kafir dan musyrik.1034
Dalam fatwa tersebut MUI tidak membedakan antara kegiatan Natal yang
bersifat ritual maupun yang merupakan selebrasi. Dengan demikian larangan itu
mencakup semua kegiatan perayaan Natal. Dalil-dalil yang digunakan MUI pun,
ungkap Mudzhar, sangat terperinci dan sangat kuat. Bahkan, lanjutnya, ‚mungkin
sekali fatwa tersebut adalah yang paling kuat dalilnya yang pernah disusun dalam
fatwa-fatwa MUI‛. Hal ini, ujar Mudzhar berkesimpulan, menunjukkan betapa
MUI bersungguh-sungguh dalam menghadapi permasalahan Natal bersama.1035
Selain berdasar landasan teologis normatif, fatwa tersebut juga tidak bisa
dilepaskan dari trauma para ulama atas kristenisasi yang massif belum lama
berselang. Pun demikian, kepercayaan para ulama terhadap pemerintah juga belum
pulih benar. Malah beberapa kejadian membuat trauma dan rasa curiga itu terus
terpupuk dalam ruang batin mereka. Seperti kasus pelarangan pencantuman tafsir
Surat al-Ikhlas dalam buku pelajaran PMP (Pendidikan Moral PancasilaError!
Reference source not found.) oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) Jawa
Timur dengan alasan toleransi. Hamka pun sempat memprotes hal itu.1036
Di saat bersamaan, pemerintah mengeluarkan Pedoman Perpustakaan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan daftar buku-buku bacaan yang dianjurkan
untuk siswa SLTA, di mana sebagian besarnya merupakan buku-buku pelajaran
agama Kristen. ‚Jadi lebih dari 80 judul buku adalah uraian agama Kristen belaka.
Yang mengenai agama Islam hanya satu buku saja No 297 (agama Islam), itu pun
digolongkan dalam perbandingan agama.1037 Maka fatwa tersebut bisa dinilai
sebagai gambaran masih adanya rasa kurang percaya kepada pemerintah, yang
sedikit banyak turut mendorong kegiatan Natal bersama. Juga menjadi peringatan
bagi kalangan Kristen untuk tidak memanfaatkan proyek kerukunan sebagai alat
kristenisasi.
Kekhawatiran akan rusaknya proyek kerukunan yang tengah dijalankan
membuat pemerintah bereaksi keras terhadap fatwa tersebut. Mereka pun
mendesak MUI untuk mencabut fatwa tersebut. Namun di sisi yang lain, keteguhan
pada sikap pada keyakinan agama, yang dirangkai dengan trauma atas kristenisasi
dan rasa kurang percaya pada pemerintah menjadikan MUI begitu kukuh
memegang fatwanya. Kondisi ini membuat hubungan kedua lembaga tersebut
menjadi tegang. Harmoni yang belum lama terjalin pun terancam retak.
Di titik didih inilah, Hamka ‚mengalah‛ dan menyatakan pengunduran
dirinya sebagai Ketua Umum MUI, dengan tetap tidak bersedia mencabut fatwa
tersebut. Pilihan ini diambil oleh Hamka demi menjaga keberadaan MUI, dan
menjaga hubungan antara ulama dengan pemerintah.1038 Hamka juga menegaskan
1034
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 241-242
1035
MA Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama..., h. 118-121
1036
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 242-243
1037
Hamka, ‚Pedoman Perpustakaan SLTA‛, dalam Panji Masyarakat, no 315, tahun
XXII, 21 Pebruari 1981, h. 7-8
1038
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat..., h. 246-247

213
bahwa keputusannya itu bukanlah sebuah manuver politik. Ia hanya ingin
pemerintah mempercayai MUI dan menghilangkan kecurigaan atasnya. Kritik-
kritik yang selama ini ia lancarkan kepada pemerintah, tegas Hamka, dilandasi oleh
niat baik dan demi kebaikan bersama.1039
Dinamika hubungan MUI dengan pemerintah yang fluktuatif dan complexity
itu tidak terlepas dari karakter Ketua Umumnya Hamka yang tegas, namun
moderat dan fleksibel.1040 Sikap ini membuat Hamka bisa menjalin hubungan yang
baik, bekerjasama, dan membangun kompromi dengan pihak-pihak lain yang
berbeda. Karakter ini juga membuat Hamka bersikap terbuka atas segala pilihan
yang ada dalam memperjuangkan cita-citanya. Tidak terpaku pada satu pilihan
yang kaku. Ketika suatu jalan perjuangan dinilainya tertutup atau sukar dilalui,
Hamka akan membuka peluang jalan-jalan lain yang dianggapnya cukup efektif
dalam berjuang, sehingga terkesan ia bersikap pragmatis.
Namun demikian, ikatan kuat nilai dan cita-citanya membuat Hamka
bersikap tegas pada sesuatu yang dianggapnya bertentangan dengan idealisme itu.
Inilah yang menjadikan langkah Hamka tetap pada panduan cita ideal sebuah Islam
yang diyakininya, meski gerak langkah politiknya terkesan berkelok-kelok.

1039
Hamka, ‚Niat Yang Tulus‛, dalam Panji Masyarakat, no 325, tahun XXII, 1 Juni
1981, h. 7
1040
WI Fauzi, ‚Hamka Sebagai Ketua...‛, h. 293

214
BAB VI
KESIMPULAN

Hamka lahir dalam situasi dunia Islam yang sedang berubah, khususnya di
bidang politik. Keruntuhan sistem politik Islam lama (dengan dihapuskannya
khilafah Utsmani), penjajahan bangsa-bangsa Barat atas negeri-negeri Islam, serta
keinginan untuk bangkit kembali melalui gerakan pembaharuan dan perjuangan
lepas dari penjajahan menjadi variabel-variabel penting yang melatari sejarah
kehidupan Hamka. Dalam situasi seperti ini, pencarian bentuk pemerintahan dan
sistem politik yang tepat bagi umat Islam di zaman baru itu menjadi tantangan
tersendiri bagi para pemikir politik Islam.
Konteks dunia Islam ini juga terjadi dalam lingkup yang lebih kecil
Indonesia, di mana para tokoh-tokohnya juga disibukkan dengan pencarian bentuk
politik yang tepat untuk bangsanya tanpa menyalahi ajaran agamanya. Kegagalan
berbagai Kongres Khilafat, yang juga diikuti tokoh-tokoh Islam Indonesia itu,
memantapkan mereka untuk mengadopsi sistem politik baru yang berasal dari
Barat. Format negara kebangsaan dengan sistem republik menjadi pilihan yang
mereka pilih. Ini merupakan kekhasan politik Islam di Indonesia, di mana sejak
awal mula para tokoh pemikir dan pergerakan Islam telah ‚bersikap terbuka pada
gagasan dan sistem politik modern‛. Karakter seperti ini merata di semua tokoh
pergerakan Islam Indonesia saat itu, apapun orientasi keagamaannya (tradisionalis
atau modernis). Dengan demikian, dalam konteks pemikiran politik, para tokoh
pemikir dan pergerakan Islam di Indonesia tergolong modernis, karena keterbukaan
dan penerimaan mereka pada ide-ide dan lembaga politik Barat modern. Dikotomi
modernisme-tradisionalisme tidak berlaku dalam politik Islam Indonesia saat itu.
Namun sebagai Muslim mereka tidak serta merta menelan mentah-mentah
sistem politik baru itu. Upaya menyuntikkan nilai-nilai keislaman ke dalam sistem
politik baru itu menjadi kisah perjuangan yang mewarnai sejarah politik Islam
Indonesia di paro pertama abad ke 20. Dalam dinamika sejarah seperti inilah
Hamka turut bermain dan memberikan kontribusinya. Realitas Indonesia yang
beragam menjadi tantangan bagi perjuangan itu. Tantangan datang bukan hanya
dari kelompok beda agama dan keyakinan, namun juga dari rekan seagama yang
memiliki orientasi dan ideologi politik yang berbeda. Dengan dinamikanya yang
keras, mereka pun dituntut memperjuangkan nilai dan visi politik Islamnya tanpa
mengorbankan agenda bersama: Indonesia Raya. Di titik inilah politik Islam
Indonesia menunjukkan karakter khasnya yang lain, ‚sikap luwes tanpa lepas dari
keyakinannya‛.
Dua karakter khas ini, terbuka pada ide-ide politik baru dan bersikap luwes
tanpa lepas dari keyakinan agama, juga menjadi karakter yang tampak pada
pemikiran dan perilaku politik Hamka. Hamka bisa menerima ide-ide dan konsep
politik baru (Barat modern), namun tidak serta merta menerimanya. Catatan-
catatan kritis Hamka pada konsep politik Barat, serta upayanya untuk
mensintesiskan demokrasi Barat dengan Islam dalam konsep ‚Demokrasi Takwa‛
merupakan bagian dari upaya mendialogkan ide-ide baru yang diterima dengan

215
nilai-nilai agama yang diyakininya. Di sini terlihat karakter terbuka tanpa menelan
mentah-mentah pada pemikiran politik Hamka.
Selain ide-ide politik baru dari Barat dan nilai-nilai Islam, upaya dialog itu
juga memperhatikan realitas historis yang sedang terjadi saat itu. Konteks
keindonesiaan yang berubah menjadi variabel penting yang membuat pemikiran
politik Hamka tampak mengalami perubahan. Sebelum kemerdekaan, di dekade
1930-an, gagasan-gagasan politik Hamka tampak sangat terbuka. Di periode ini
Hamka menolak formalisme agama yang diusulkan MIAI. Sementara di periode
1950-an, khususnya di Konstituante, Hamka justru menperjuangkan apa yang dulu
dia tolak itu.
Perubahan sikap ini sesungguhnya bagian dari responnya terhadap situasi
yang berubah-ubah. Di era pra kemerdekaan, Hamka melihat yang dibutuhkan saat
itu adalah persatuan antar seluruh elemen bangsa demi merebut kemerdekaan.
Menonjolkan hal-hal yang formal di saat seperti ini tentu bisa kontra produktif
dengan cita-cita persatuan itu. Hal ini berbeda dengan kondisi tahun 1950-an, di
mana terbuka kesempatan luas untuk memberi isi ideologi pada negara yang baru
merdeka.
Karakter terbuka dan luwes dengan tetap berpedoman pada visi politik
dalam gagasan dan perjuangan politik Hamka, dan juga tokoh-tokoh politik Islam
saat itu, berangkat dari paradigma bahwa Islam merupakan agama yang mencakup
segala aspek kehidupan, termasuk politik-kenegaraan. Dengan demikian, Hamka
meyakini akan integrasi politik dengan agama. Namun di saat bersamaan Hamka
dan yang lainnya juga menyadari bahwa Islam tidak menentukan bentuk dan
rincian sistem politik-kenegaraan itu, sehingga memberi ruang yang luas bagi
umat Islam untuk berijtihad menetukan sistem politik dan pemerintahan yang
sesuai dengan kebutuhannya.
Berangkat dari paradigma seperti inilah, Hamka dan tokoh-tokoh pergerakan
politik Islam saat itu pun menentukan batas minimal-maksimal dalam cita-cita
perjuangan politiknya. Pada garis minimalnya, mereka memperjuangkan agar
sistem politik-kenegaraan Indonesia tidak menyalahi, apalagi menentang, nilai-
nilai agama. Di sini letak politik Islam yang substansial itu. Pada titik
maksimalnya, perjuangan politiknya bertujuan menjadikan Indonesia sebagai
negara secara formal berdasarkan Islam melalui pengembalian Piagam Jakarta
dalam konstitusi negara. Dalam ruang batas minimal-maksimal inilah mereka
bergerak dengan keluwesannya.
Penentuan batas minimal-maksimal ini juga menjadikan politik Islam
Indonesia menampakkan karakter khasnya yang lain, yaitu ‚tidak mengenal jalan
buntu‛. Dalam memperjuangkan cita-citanya, para tokoh politik Islam di
Indonesia, khususnya Hamka, menempuh cara-cara yang damai dan konstitusional.
Debat dan musyawarah dengan orientasi mencari titik temu menjadi pilihannya.
Perjuangan melalui jalan ekstrim memang pernah ada, namun itu bukan arus utama
politik Islam di Indonesia.
Adanya batas minimal-maksimal membuat perjuangan politik Islam di
Indonesia tidak mengenal kata gagal. Meski upaya mengembalikan Piagam Jakarta
tidak tercapai, namun perjuangan itu tidaklah gagal. Pancasila yang menempatkan

216
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama menjadi wujud ketidakgagalan
perjuangan itu. Meski secara formal bukan negara Islam, namun sila pertama ini
telah menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler. Sila ini telah
menempatkan agama menjadi elemen penting bagi pembangunan negara Indonesia
merdeka. Apalagi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara tegas disebutkan bahwa
Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
konstitusi itu. Dengan adanya konsideran ini sesungguhnya Indonesia merupakan
negara yang sistem kenegaraannya telah melewati batas tengah negara yang
ditetapkan Islam.
Dalam kerangka seperti ini bisa dipahami jika ada perbedaan strategi dalam
perjuangan politik yang dilakoni Hamka di masa hidupnya, khususnya di era
demokrasi parlemeter, demokrasi terpimpin, dan Orde Baru. Di era demokrasi
parlementer perjuangan politik Hamka bertujuan untuk ‚mengintegrasikan Islam
dalam konstitusi negara‛, dengan cara secara formal menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Di era demokrasi terpimpin perjuangannya lebih ditekankan pada
‚menjaga umat Islam dari pengaruh ideologi anti agama (komunisme)‛, melalui
gerakan dakwah dan budaya. Sementara di era Orde Baru perjuangan politik
Hamka bertujuan ‚mengintegrasikan umat Islam dalam kehidupan bernegara,‛
dengan strategi berpolitik melalui gerakan dakwah.
Meski berbeda strategi, namun tujuan perjuangan politik Hamka tidaklah
berubah. Boleh dikata, ketiga tujuan perjuangan politik Hamka di tiga zaman yang
berbeda itu merupakan penerjemahan yang lebih teknis atas satu tujuan besar yang
tetap dan tidak berubah ini, yaitu: ‚menjadikan Islam dan umat Islam sebagai
bagian penting bagi Indonesia merdeka‛. Allahu a’lam.

217
DAFTAR PUSTAKA
A. Primer

‚Berfusi untuk Keselamatan Umat.‛ Hikmah. No 11. Tahun V (15 Maret 1952).
‚Dari Prawoto-Sidik ke Wilopo.‛ Hikmah. No 13. Tahun V (29 Maret 1952)
‚Heboh Tentang Natal Bersama.‛ Serial Media Dakwah, No 85 (Juli 1981)
‚Hidjrah.‛ Pandji Masjarakat. No 32-33. Tahun II (1-15 Oktober 1960).
‚Kebudayaan Islam adalah Mazhar Dari Tauhid dan Taqwa: Sambutan Ketua MASBI Dr
Hamka Pada Malam Penutupan Musyawarah HSBI tgl. 15-17 Desember 1961 di
Jakarta.‛ Gema Islam. No 1. Tahun I (15 Januari 1962).
‚Kegiatan Agama.‛ Pandji Masjarakat. No 4. Tahun I (1 Agustus 1959).
‚Komunisme dan Islam.‛ Hikmah. No 27. Tahun V (5 Juli 1952).
‚Langkah Pertama Menegakkan Orba: Merehabilitir Kedudukan UUD -45,‛ Pandji
Masjarakat, No 6 (20 Desember 1966)
‚Manifes Kebudajaan dan Kesenian Islam,‛ Gema Islam, No 45, Tahun II (1 Januari 1964)
‚Masjarakat `Adil dan Ma’mur.‛ Pandji Masjarakat. No 6. Tahun I (1 September 1959).
‚Menyambut Musjawarah Nasional Pembangunan Moral dan Seni Islam,‛ Gema Islam, No
15, Tahun II (15 November 1963)
‚Musjawarah Kerdja I Badan Musjawarah Kebudajaan Islam 22-23 Agustus 1963,‛ Gema
Islam, No 59, Tahun III (1 Oktober 1964)
‚Nahdlatul Ulama dan Masjumi.‛ Hikmah. No 15-16. Tahun V (16 April 1952).
‚Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri.‛ Hikmah. No 19. Tahun V (10 Mei 1952).
‚Pekan Maulid Ke-II Di Mesdjid Agung ‘Al-Azhar’ Kebajoranbaru.‛ Gema Islam. No 15.
Tahun I (1 September 1962).
‚Pembagian Tugas.‛ Pandji Masjarakat. No 8. Tahun I (1 Oktober 1959).
‚Sambutan Hamka Atas Heboh Mengenai ‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’.‛ Gema
Islam. No 17. Tahun I (1 Oktober 1962).
‚Sekitar Pembentukan Kabinet.‛ Hikmah. No 14. Tahun V (5 April 1952).
‚Seminar Bahasa Indonesia‛ dan ‚Keputusan2 Dari Seminar Bahasa Nasional 1972‛.
Dalam Pandji Masjarakat No 99 tahun VI (15 Maret 1972).
‚Tanja-Djawab.‛ Pandji Masjarakat. No 31. Tahun II (15 September 1960)
‚Thamrin dan Hamka di Kalimantan.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 43. Tahun III (10
November 1937).
‚Tokoh Pentas Islam: Yunan Helmy Nasution.‛ Dalam Gema Islam, No 36/37, Tahun II (1
Agustus 1963)
Ahmad, Zainal Abidin. ‚Konstitusi dan Pantja Sila.‛ Dalam Hikmah, No 43-44, Tahun
VIII (26 Oktober 1955).
Amura. ‚Musjawarah Besar Seniman dan Kebudayaan Islam.‛ Dalam Gema Islam. No 1.
Tahun I (15 Januari 1962).
Departemen Penerangan RI, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945, Penerbitan
Chusus 48-56-58.
Hamka. ‚Adopsi Memungut Anak.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 196. Tahun XVII (1 April
1976).
Hamka. ‚Agama Bisa Hapus Sadja‛. Dalam Pandji Masjarakat. No 94. tahun VI (1 Januari
1972).
Hamka. ‚Al-Djami’atoel Islamijah (Pan Islamisme).‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 38.
Tahun II (11 November 1936).
Hamka. ‚Anda Bertanja Kami Mendjawab.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 8. Tahun I (1
Oktober 1959)

218
Hamka. ‚Bagaimana Cara Menghadapi.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 211. Tahun XVIII
(15 November 1976).
Hamka. ‚Bagaimana Soepaja Kita Merdeka?.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi (18
Oktober 1939).
Hamka. ‚Bebas Merdeka.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 208. Tahun XVIII (1 Oktober
1976)
Hamka. ‚Beratnja Kewadjiban Kita.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 13 (April 1967).
Hamka. ‚Bismillah Dengan Orde Baru.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 8 (20 Januari 1967).
Hamka. ‚Chittah Pandji Masjarakat.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 9. Tahun I (15 Oktober
1959).
Hamka. ‚Chutbah Hari Raja `Idil Fithri 1 Syawal 1386.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 8 (20
Januari 1967)
Hamka. ‚Dari Djendela Seni.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 14. Tahun II (1 Januari 1960).
Hamka. ‚Dialog.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 203. Tahun XVIII (15 Juli 1976).
Hamka. ‚Didikan Kristen dan Didikan Neutraal.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 37.
Tahun II (31 Oktober 1936).
Hamka. ‚Diri Ini Telah Terdjual,‛ dalam Pandji Masjarakat, No 69, Tahun IV (Desember
1970).
Hamka. ‚Djakarta Lambang Kemenangan Islam.‛ Dalam Gema Islam. No 12. Tahun I (15
Juli 1962).
Hamka. ‚Djiwa Bebas Dengan Tauhid.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 4. Tahun I (20
Nopember 1966).
Hamka. ‚Filsafat Ghazali (Tentang Ma’rifat dan Keindahan),‛ dalam Hikmah, No 12,
Tahun IV (15 Desember 1951)
Hamka. ‚Filsafat Ghazali Tentang Ma’rifat dan Keindahan.‛ Dalam Hikmah. No 12. Tahun
IV (15 Desember 1951).
Hamka. ‚Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing.‛ Dalam Pedoman Masjarakat.
Edisi 1 Pebruari 1939.
Hamka. ‚Haluan Hidup... (Peringatan Idul Fithri 1371).‛ Dalam Hikmah. Edisi Lebaran No
24-25. Tahun V (21 Juni 1952)
Hamka. ‚Harapan Kepada Pemuda.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 108. Tahun XIII (1
Agustus 1972)
Hamka. ‚Harapan Kepada Pemuda.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 108. Tahun XIII (1
Agustus 1972).
Hamka. ‚Hari Depan Agama 1.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 27. Tahun II (15 Juli 1960).
Hamka. ‚Hari Depan Agama III (Habis).‛ Dalam Pandji Masjarakat. No. 29. Tahun II (15
Agustus 1960).
Hamka. ‚Hoekom Kesopanan dan Hoekoem Politiek (Habis).‛ Dalam Pedoman Masjarakat.
Edisi 27 September 1939.
Hamka. ‚HOS Tjokroaminoto.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 14. tahun VII (2 April
1941).
Hamka. ‚Ilmu dan Agama.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 21. Tahun II (15 April 1960)
Hamka. ‚Individualisme.‛ Dalam Hikmah. No 14. Tahun IV (29 Desember 1951)
Hamka. ‚Intellektueel dan Oelama.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 25. Tahun VII (18
Juni 1941).
Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 4 Januari 1939.
Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: ‘Dan’, Bendera dan Lagoe.‛ Dalam Pedoman Masjarakat.
Edisi 15 Februari 1939.
Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Diboeaikan Mimpi ‘Pan Islamisme’.‛ Dalam Pedoman
Masjarakat. Edisi 22 Pebruari 1939.

219
Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Gerakan Politiek Tidak Menerima Bangsa Asing.‛ Dalam
Pedoman Masjarakat. Edisi 1 Pebruari 1939.
Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Kebangsaan Yang Dilarang Agama.‛ Dalam Pedoman
Masjarakat. Edisi 18 Januari 1939.
Hamka. ‚Islam dan Kebangsaan: Tjinta Bangsa dan Tanah Air.‛ Dalam Pedoman
Masjarakat. Edisi 11 Januari 1939.
Hamka. ‚Islamologi di Universitas.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 14. Tahun II (1 Januari
1960)
Hamka. ‚Jang Sebaik-baik Ummat.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No. 2. Tahun I (1 Juli
1959).
Hamka. ‚Jiwa yang Hampa Dengan Apa Diisi?.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 113. Tahun
XIII (15 Oktober 1972).
Hamka. ‚Kebangsaan Sebagai Sendi III (Penoetoep).‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 1
Januari 1941.
Hamka. ‚Kebudajaan Arab atau Kebudajaan Islam.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 16.
Tahun II (1 Pebruari 1960).
Hamka. ‚Kebudajaan Dipandang Dari Segi Adjaran Islam Prasaran Dr. Hamka Pada
Seminar Kebudayaan Nasional Pada Tanggal 26-29 Mei 1960 di Semarang.‛
Dalam Pandji Masjarakat. No 24. Tahun II (1 Djuni 1960).
Hamka. ‚Kebudajaan Nasional.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 12. Tahun I (1 Desember
1959).
Hamka. ‚Kebudayaan Arab atau Kebudayaan Islam.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 16.
Tahun II (1 Pebruari 1960)
Hamka. ‚Kebudayaan Nasional.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 12. Tahun I (1 Desember
1959)
Hamka. ‚Kedudukan Manusia.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 5. Tahun (I 5 Desember
1966).
Hamka. ‚Kembalilah ke Mesdjid,‛ dalam Pandji Masjarakat, No 6 (20 Desember 1966)
Hamka. ‚Kepribadian Indonesia.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 11 (Maret 1967)
Hamka. ‚Kesatuan Sedjati.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 15. Tahun II (15 Januari 1960).
Hamka. ‚Kesatuan Sedjati.‛ dalam Pandji Masjarakat. No 15. Tahun II (15 Januari 1960).
Hamka. ‚Keutamaan Mu’min.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No. 24. Tahun II (1 Juni 1960)
Hamka. ‚Kewaspadaan Kita.‛ dalam Panji Masyarakat. No 111. tahun XIII (15 September
1972).
Hamka. ‚Khilafaat.‛ dalam Panji Masyarakat. No 195. Tahun XVII 15 Maret 1976.
Hamka. ‚Khutbah `Idul Fithri 1 Syawal 1396 H: Bersyukur Atas Kemerdekaan Jiwa.‛
Dalam Panji Masyarakat. No 209. Tahun XVIII (15 Oktober 1976)
Hamka. ‚Kongres Lembaga Kebudajaan Indonesia di Bandung.‛ Dalam Hikmah. No 2.
Tahun IV (6 Oktober 1951).
Hamka. ‚Kufur dan Iman.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 17. Tahun II (15 Pebruari 1960).
Hamka. ‚Loyalitas,‛ dalam Pandji Masjarakat, No 80, Tahun V (1 Juni 1971)
Hamka. ‚Madjlis ‘Oelama Tinggi.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 5. Tahun III (14
Pebruari 1937).
Hamka. ‚Mari Kita Segarkan Kembali Ingatan.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 10 (1967).
Hamka. ‚Menegakkan Agama Dengan Harta.‛ Dalam Hikmah. No 40. Tahun V (4 Oktober
1952)
Hamka. ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama, Munafiq?,‛ dalam Panji
Masyarakat, No 204, Tahun XVIII (1 Agustus 1976)
Hamka. ‚Mengagamakan Orang Yang Belum Beragama. Munafiq?.‛ Dalam Panji
Masyarakat. No 204. Tahun XVIII (1 Agustus 1976).

220
Hamka. ‚Modernisasi Terpimpin.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 96. Tahun VI (1 Pebruari
1972).
Hamka. ‚Moral Pancasila.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 207. Tahun XVIII (15 September
1976).
Hamka. ‚Muslim International Congres.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 6. Tahun III (21
Pebruari 1937).
Hamka. ‚Nabi Muhammad Dan Kesusasteraan.‛ Dalam Hikmah. No. 11. Tahun IV (8
Desember 1951)
Hamka. ‚Nasionalist Muslim.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 2 November 1938.
Hamka. ‚Niat Yang Tulus.‛ Dalam Panji Masyarakat, No 325, Tahun XXII (1 Juni 1981)
Hamka. ‚Orang-orang Jang Kembali.‛ Dalam Gema Islam. No 2. Tahun I (1 Pebruari
1962).
Hamka. ‚Orthodox dan Modernisasi.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 2. Tahun I (1 Juli
1959).
Hamka. ‚Pan Islamisme dan Nasional-Islamisme.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi 4
Mei 1938.
Hamka. ‚Parlement dan Doenia Islam I.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 1. Tahun VII (1
Januari 1941).
Hamka. ‚Pedoman Perpustakaan SLTA.‛ Dalam Panji Masyarakat, No 315, Tahun XXII
(21 Pebruari 1981)
Hamka. ‚Peladjaran Agama di Sekolah Pemerintah.‛ Dalam Hikmah. No 23. Tahun V (7
Juni 1952).
Hamka. ‚Pemandangan Oemoem Tentang Soeasana Islam di Tanah Air Kita.‛ Dalam
Pedoman Masjarakat. No 26. tahun VII (25 Juni 1941).
Hamka. ‚Pembahasan Darihal Intisasi Undang-undang Dasar ‘45.‛ Dalam Panji
Masyarakat. No 212. Tahun XVIII (1 Desember 1976).
Hamka. ‚Pembangunan Da’wah Islamiyah di Indonesia.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 203.
Tahun XVIII (15 Juli 1976).
Hamka. ‚Pemurtadan dan Perkawinan: Kisah Farida Perempuan Jakarta.‛ Dalam Panji
Masyarakat. No 206. Tahun XVIII (1 September 1976).
Hamka. ‚Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa.‛ Dalam Hikmah. No 7. Tahun V (16
Pebruari 1952).
Hamka. ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (Sambungan).‛ Dalam Panji Masyarakat.
No 207. Tahun XVIII (15 September 1976).
Hamka. ‚Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 206. Tahun
XVIII (1 September 1976).
Hamka. ‚Perbandingan Sedjarah.‛ Dalam Hikmah. No 15-16. Tahun V (16 April 1952).
Hamka. ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dan Hoekoem Politiek.‛ Dalam Pedoman
Masjarakat. Edisi 20 September 1939.
Hamka. ‚Perbandingan: Hoekoem Kesopanan dengan Hoekoem Politiek (Habis).‛ Dalam
Pedoman Masjarakat. Edisi 27 September 1939.
Hamka. ‚Pertjaja Kepada Allah.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 23. Tahun II (15 Mei
1960).
Hamka. ‚Pokok Pegangan Hidup Kita.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 107. Tahun XIII (15
Juli 1972)
Hamka. ‚Rasa Rendah Diri.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 117. Tahun XIII (15 Desember
1972)
Hamka. ‚Renungan Melihat Eropa.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 202. Tahun XVIII (1 Juli
1976).

221
Hamka. ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam I.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 7.
Tahun VII (12 Pebruari 1941).
Hamka. ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam II.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 8.
Tahun VII (19 Pebruari 1941).
Hamka. ‚Riwajat Ringkas Pemerintahan Islam III.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 9.
Tahun VII (26 Pebruari 1941).
Hamka. ‚Samboetan Kita Atas: Party Islam Indonesia.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. Edisi
14 Desember 1938.
Hamka. ‚Semua ‘Sesuai’.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 22. Tahun II (1 Mei 1960).
Hamka. ‚Siapa Anti Pantjasila!.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 4. Tahun I (20 November
1966)
Hamka. ‚Tanggung dJawab Angkatan Muda Islam.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 106.
Tahun XIII (1 Juli 1972)
Hamka. ‚Theorie Darwin dan Islam.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 33. Tahun II (30
September 1936)
Hamka. ‚Tidak Semata-mata Benda.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 16. Tahun II (1
Pebruari 1960).
Hamka. ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam III (Habis).‛ Dalam Pandji Masjarakat.
No 32/33. Tahun II (1/15 Oktober 1960).
Hamka. ‚Tjinta Tanah Air, Kemanusiaan, dan Islam (II).‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 31.
Tahun II (15 September 1960).
Hamka. ‚Tjita-tjita MIAI.‛ Dalam Pedoman Masjarakat. No 21. Tahun VII (21 Mei 1941).
Hamka. ‚Tjuma Untuk Orang Mukmin.‛ Dalam Pandji Masjarakat, No 19 (Oktober 1967)
Hamka. ‚Toleransi Agama.‛ Dalam Pandji Masjarakat, No 17 (1967)
Hamka. ‚Toleransi Dibalas Dengan Tamparan.‛ Dalam Pandji Masjarakat, No 16 (Agustus
1967)
Hamka. ‚Tugas Kita Sekarang,‛ dalam Pandji Masjarakat, No. 12 (Maret 1967)
Hamka. ‚Ulama dan Pemerintah.‛ Dalam Panji Masyarakat, No 210, Tahun XVIII (I
November 1976)
Hamka. ‚Undang-undang Dasar Indonesia dan Tjita-tjita Islam.‛ Dalam Hikmah, No 10,
Tahun IX (17 Maret 1956)
Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama I.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 197. Tahun XVIII
(15 April 1976).
Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama II.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 198. Tahun XVIII
(1 Mei 1976).
Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama III.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 199. Tahun
XVIII (15 Mei 1976).
Hamka. ‚Untuk Kita Fikirkan Bersama IV.‛ Dalam Panji Masyarakat. No 200. Tahun
XVIII (1 Juni 1976).
Hamka. ‚Untuk Siapa Seni?.‛ Dalam Hikmah. No 8. Tahun IV (16 November 1951).
Hamka. ‚Utjapan Sjukur dan Terimakasih.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 6. Tahun I (1
September 1959).
Hamka. 1001 Soal Kehidupan. Jakarta: Gema Insani. 2016.
Hamka. 4 Bulan di Amerika. Jakarta: Gema Insani. 2018.
Hamka. Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatra. Jakarta: Umminda. 1982.
Hamka. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: GIP. 2016.
Hamka. Dari Hati Ke Hati: Tentang Agama, Sosial, Budaya dan Politik. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2002.
Hamka. Dari Lembah Cita-cita. Jakarta: Bulan Bintang. 1982.

222
Hamka. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1994.
Hamka. Di Tepi Sungai Dajlah. Jakarta: Gema Insani. 2019.
Hamka. Doktrin Islam Yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan
Idayu. 1975.
Hamka. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika. 2015.
Hamka. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982.
Hamka. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982.
Hamka. Islam dan Demokrasi. Bukittinggi – Medan: Firma Tjerdas. 1946.
Hamka. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984.
Hamka. Keadilan Sosial Dalam Islam. Jakarta: Widjaja. 1951.
Hamka. Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1996.
Hamka. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Gema Insani. 2018.
Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1991.
Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika. 2015.
Hamka. Muhammadijah-Masjumi. Jakarta: Masjarakat Islam, tt.
Hamka. Muhammadiyah di Minangkabau. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1974.
Hamka. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang. 1992.
Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1956.
Hamka. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 1971.
Hamka. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani. 2014.
Hamka. Prinsip & Kebijakan Dakwah Islam. Jakarta: Gema Insani. 2018.
Hamka. Renungan Tasawuf. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2002
Hamka. Revolusi Agama Sesudah Ditambah, Diperbaiki, Diperluas. T.Temp: T.P. 1962.
Hamka. Revolusi Agama. Jakarta: Pustaka Antara. 1949.
Hamka. Revolusi Agama… Menudju Negara. Jakarta: Pustaka Islam. 1952.
Hamka. Sedjarah Islam di Sumatera. Medan: Pustaka Nasional. 1950.
Hamka. Studi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983.
Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 1. Jakarta: Gema Insani. 2015.
Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 2 Jakarta: Gema Insani. 2015.
Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 3. Jakarta: Gema Insani. 2015.
Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 8. Jakarta: Gema Insani. 2015.
Hamka. Tafsir al-Azhar Jilid 9. Jakarta: Gema Insani. 2015.
Hamka. Tjahaja Baru. Medan: Pustaka Nasional. 1950.
Hamka. Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003.
Hamka. Urat Tunggang Pantjasila. Jakarta: Pustaka Keluarga. 1952.
Hamzah, M Junus Amir. ‚Suatu Penjelidikan Pendahuluan Tentang: ‘Tenggelamnja Kapal
Van Der Wijck’.‛ Dalam Gema Islam. No 18. Tahun I (15 Oktober 1962).
Hatta, Mohammad. ‚Demokrasi Kita.‛ Dalam Pandji Masjarakat. No 22. Tahun II (1 Mei
1960).
Ideologi Masyumi, dokumen tidak diterbitkan.
Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid V.
Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII.
Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid I.
Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II.
Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid III.
Majalah Gema Islam. No 1. Tahun I (15 Januari 1962).
Majalah Pandji Masjarakat. No 1. Tahun I (15 Juni 1959).
Nasution, Junan Helmy. ‚Tudjuh Tahun HSBI: 24 Sept 1956-24 Sept 1963.‛ Dalam Gema
Islam. No 40. Tahun II (15 September 1963).

223
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaja (No 23 Th.
1959-LN 1959/139-TLN 1908) dan Peraturan-Peraturan Jang Berhubungan
Dengan Itu, diterbitkan oleh Inspektorat Djenderal Territorial dan Perlawanan
Rakjat, 1959
PKI dan Konstituante (Pokok2 Fikiran Yang Dikemukakan oleh PKI Dalam Kampanje
Pemilihan Konstituante), Depatgiprop CC PKI, tanpa tahun
Rusjdi. ‚‘Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck’ Apakah Suatu Karja Plagiat?.‛ Dalam
Gema Islam. No 17. Tahun I (1 Oktober 1962).
Sekretariat Umum Masyumi. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi
Ditambah Anggaran Dasar STII. SDII. SBII.
Suryanegara, A Mansur. ‚Si Singamangaraja XII Gugur Sebagai Pahlawan Islam.‛ dalam
Panji Masyarakat. No 207. Tahun XVIII (15 September 1976)
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid II .
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I.
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III.
UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

B. Sekunder
1. Buku, Bagian dari Buku, Disertasi & Tesis
Abdillah, Masykuri. Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap
Konsep Demokrasi 1966-1993. Jakarta: Prenada. 2015.
Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
2011
Abdulgani, Roeslan. Pendjelasan Manipol dan Usdek. Jakarta: Departemen Penerangan RI,
1960
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.
1996.
Abdullah, Taufik. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra
1927-1933. Singapura: Equinox. 2009.
Achmad, Imam & Dirgantara Wicaksono. Marxisme dan Kehancuran PKI. Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2013.
Adnan. Pergulatan Politik Elit NU dan Muhammadiyah Masa Reformasi. Gorontalo: Sultan
Amai Press. 2011.
Ahmad EQ, Nurwajah. ‚Pemahaman Hamka dan TM Hasbi Ash-Shidiqy Mengenai Ayat
Yang Berkaitan dengan Politik, Ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan.‛ Disertasi.
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1998.
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia. Jakarta:
Al-Kautsar. 2014
Akhmad, Wardini. ‚Kongres Al Islam 1922-1941: Satu Telaah Tentang Integrasi dan
Disintegrasi Organisas-organisasi Islam di Indonesia Dalam Perkembangan
Pergerakan Nasional.‛ Disertasi Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. 1989.
Akram, Ejaz. ‚The Muslim World and Globalization: Modernity anda the Roots of
Conflict.‛ dalam Joseph EB Lumbard. Islam, Fundamentalism, and the Betrayal
of Tradition. Indiana: World Wisdom. 2004.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC. 1993.
Ali, Fachry. ‚Pengantar: Dinamika Sosial-Politik Indonesia Tahun Lima Puluhan,‛ Kata
Pengantar untuk buku Boyd R Compton. Kemelut Demokrasi Liberal.
Penerjemah: Hamid Basyaib. Jakarta: LP3ES, 1992
Ali, Fachry. Golongan Agama dan Etika Kekuasaan. Surabaya: Risalah Gusti. 1996.

224
al-Muja>hid, Shari>f. ‚Sayyid Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>: His Role in the Nineteenth Century
Muslim Awakening.‛ MA Thesis. Mc Gill University. 1954
Amin, Muhammad. ‚Kualitas Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir al-Azhar.‛ Disertasi. SPS UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.
Amir, Mafri. Reformasi Islam Dunia Melayu-Indonesia: Studi Pemikiran, Gerakan, dan
Pengaruh Syaikh Muhammad Thahir Jalal al-Din. Jakarta: Balitbang-Diklat
Kemenag RI, 2008.
Anis, Muhammad. Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah al-Faqih. Jakarta: Mizan
Publika. 2013.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945:Sebuah Konsensus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia. Jakarta: GIP. 1997
Anwar, M Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina. 1995.
Anwar, Rosihan. ‚Hamka dan ‘Gema Islam’ dan Kumandang Da’wah.‛ Dalam Solichin
Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan
Nurul Islam. 1979.
Arnold, Sir Thomas W. The Caliphate. London: Routledge & Kegan Paul LTD. 1965
Artawijaya. Belajar Dari Partai Masjumi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2014.
Asshiddiqie, Jimly. ‚Keislaman dan Keindonesiaa: Kiprah dan Pemikiran Buya Hamka.‛
Dalam Afif Hamka. dkk (ed). Buya Hamka. Jakarta: Uhamka Press. 2008.
Audi, Robert (Ed). The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge
University Press, 1995
Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam. Tangerang
Selatan: Alvabet. 2016
Azra, Azyumardi (ed). Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan.
Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009.
Azra, Azyumardi. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi.
Jakarta: Prenada & PPIM UIN Jakarta. 2016.
Azwar, Alfi Julizun. ‚Dimensi Tasawuf Dalam Karya Hamka: Analisis Roman ‘ Di Bawah
Lindungan Ka’bah’ dan ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk’.‛ Disertasi. SPS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Bachtiar, Tiar Anwar. Jas Mewah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah & Dakwah.
Yogyakarta: Pro-U Media. 2018.
Bachtiar, Tiar Anwar. Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik Terhadap
Islam Liberal Dari HM Rasjidi Sampai INSIST. Jakarta: al-Kautsar, 2017
Bajasut, SU & Lukman Hakiem (Ed). Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto
Mangkusasmito. Jakarta: Kompas. 2014.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 2002
Baso, Ahmad. Islam Pasca Kolonial. Jakarta: Pustaka Afid, 2016
Bawazir, Tohir. Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekularisme.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015.
Belkeziz, Abdelillah. The State in Contemporary Islamic Thought: A Historical Survey of
the Major Muslim Political Thinkers of the Modern Era . London: IB Tauris &
Co.Ltd. 2009.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Penerjemah: Daniel Dakhidae. Jakarta:
Pustaka Jaya. 1980.

225
Black, Anthony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the
Present. Edinburgh: Edinburgh University Press. 2011.
Bruinessen, Martin Van (ed). Conservative Turn: Islam Indonesia Dalam Ancaman
Fundamentalisme. Bandung: Mizan. 2014
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2013.
Chisaan, Choirotun. ‚In Search of an Indonesian Islamic Cultural Identity. 1956-1965.‛
Dalam Jennifer Lindsay & Maya HT Liem ed. Heirs to World Culture: Being
Indonesia, 1950-1965. Leiden: Brill. 2012.
Compton, Boyd R. Kemelut Demorasi Liberal. Penerjemah: Hamid Basyaib. Jakarta:
LP3ES, 1992
Crone, Patricia. Medieval Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University
Press. 2005.
Dami>ji>, `Abd Alla>h ibn `Umar ibn Sulayma>n al-. Al-Ima>mah al-Ud}ma> `Inda Ahl al-Sunnah
wa al-Jama>`ah. Riya>d}: Da>r T}ayyibah, 1408 H.
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy Central Sumatera
1784-1847. London and Malmo: Curzon Press. 1983.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia. Jakarta: Paramadina. 2009.
Emzita. ‚Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed).
Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979.
Enayat, Hamid. Modern Islamic Political Thought. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
2001
Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah: Farida Wajidi &
Mulni Adelina B. Yogyakarta: LKiS. 2007.
Gani, MA. Cita Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Gazalba, Sidi. ‚Beberapa Peristiwa Bersama Buya Hamka.‛ Dalam Solichin Salam dkk
(ed). Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam.
1979.
Gunawan, Akmal Rizki. Dimensi Politik Tafsir al-Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai
Pancasila. Ciputat: Cinta Buku Media. 2016.
Hadikusuma, Djarnawi. ‚Buya Genius Hamka.‛ Dalam Solichin Salam. Kenang-kenangan
70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979.
Hakiem, Lukman. Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono,
SH. Jakarta: Media Dakwah. 1993.
Hakim, Ahmad dan Thalhah, M. Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka.
Yogyakarta: UII Press. 2005.
Haris, Abd. ‚Etika Islam: Studi Pemikiran Hamka.‛ Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2005.
Haris, Abd. Etika Hamka: Konstruksi Etika Berbasis Rasional Religius. Yogyakarta: LkiS.
2010.
Hazleton, Lesley. After The Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni Split. New York:
Anchor Book, 2009.
Heriyanto, Husain. Paradigma Holistik. Jakarta: Teraju. 2003.
Hidayat, Komaruddin (ed). Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Bandung:
Mizan. 2014
Hilmy, Masdar. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2010.
Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

226
Husni, Dardiri. ‚Jong Islamieten Bond: A Study of a Muslim Youth Movement in
Indonesia During the Dutch Colonial Era. 1924-1942.‛ MA Thesis. Institute of
Islamic Studies McGill University Canada. 1998.
Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM. 2002.
Jamil, M. ‚Metode Istinbat Hukum Hamka: Studi Terhadap Ayat-ayat Ahkam Tafsir al-
Azhar.‛ Disertasi. SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008.
Jaylani, Timur. ‚The Sarekat Islam Movement: Its Contribution to Indonesian
Nationalism.‛ MA Thesis. Institute of Islamic Studies. Mc Gill University
Canada. 1959.
Kahfi, Erni Haryanti. ‚Haji Agus Salim: His Role in Nationalist Movements in Indonesia
During The Early Twentieth Century.‛ MA Thesis. Institute of Islamic Studies
McGill University Canada. 1996.
Kahin, Audrey R. Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of
Mohammad Natsir. Singapore: NUS Press. 2012.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana. 2013
Kartodirjo, Sartono. Sejarah Pergerakan Nasional 2: Dari Kolonialisme Sampai
Nasionalisme. Yogyakarta: Ombak. 2014
Khair, Abd. ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan Sosial
Politik.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah. 1996.
Khan, M.A. Muqtader. ‚What Is Islamic Democracy? The Three CS of Islamic
Governance.‛ Dalam Timothy Poirson & Robert L Oprisko (ed). Caliphates And
Islamic Global Politics. Bristol: E-International Relations. 2014.
Khatib, Adrianus. ‚Kaum Paderi Dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau.‛ Disertasi.
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991.
Koto, Alaiddin. Pemikiran Politik Perti Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70. Jakarta:
Nimas Multima. 1997.
Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New York:
Columbia University Press. 1986.
Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Penerjemah: Tjun Surjaman.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan. 2001.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan. 1994.
Kuntowojoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan. 1997.
Kusuma, A.B. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. 2009.
Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. London & New
York: Routletdge Curzon, 2003.
Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam: an Introduction to the Study
of Islamic Political Theory: The Jurists. New York: Routledge Curzon. 1991.
Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa. Jakarta: Democracy Project. 2012.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas. Rasionalitas. dan Aktualitas Pancasila . Jakarta:
Gramedia. 2015.
Lesus, Rizki. Perjuangan Yang Dilupakan: Mengulas Perjuangan Umat Islam yang
Terdilupakan dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pro-U Media. 2017.
Lewis, Bernard, dkk. Islam Liberalisme Demokrasi. Mun’im A Sirry (ed). Jakarta:
Paramadina. 2002.
Lewis, Bernard. The Political Languange of Islam. Chicago & London: The University of
Chicago Press. 1988.
Lubis, Mochtar. Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta Kepada
Presiden Soekarno 1957-1965. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1986.

227
Ma’mur, Ilzamudin. ‚Abul A’la Mawdudi’s and Mohammad Natsir’s Views on Statehood:
A Comparative Studies.‛ Thesis Master. Mc Gill University, Montreal Canada.
1995.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
Maarif, Ahmad Syafii. ‚Hamka, Pribadi Multitalenta, Minangkabau, dan Indonesi.‛ Kata
Pengantar untuk buku James R Rush. Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis
Besar untuk Indonesia Modern. Penerjemah: Zia Anshor. Jakarta: Gramedia.
2017
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante. Jakarta: LP3ES. 1987.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstituante. Bandung: Mizan. 2017.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. 2006
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin
1959-1965. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988.
Machmudi, Yon. ‚Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous
Justice Party (PKS).‛ Disertasi. Faculty of Asian Studies, The Australian
National University. 2006
Madinier, Remy. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral. Penerjemah:
Tonny Pasuhuk Bandung: Mizan. 2013.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. 1998.
Mahendra, Yusril Ihza. Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Pro
Deleader, tt.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Mangkusasmito, Prawoto. ‚Apakah Arti Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959?.‛
Dalam Bajasut, SU & Lukman Hakiem. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan
Prawoto Mangkusasmito. Jakarta: Kompas. 2014.
Mangkusasmito, Prawoto. ‚Masyumi. Pancasila. dan Revolusi Kiri atau Kanan.‛ Dalam
Bajasut, SU & Lukman Hakiem. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto
Mangkusasmito. Jakarta: Kompas. 2014.
Maqdisi, Abu Muhammad al-. Democracy: A Religion!. Perjemah dari Arab ke Inggris:
Abu Muhammad al-Maleki. Australia: al-Furqan Islamic Information Centre.
2012.
Maulana, Yusuf. Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat. Yogyakarta: Pro-U Media.
2018.
Moten, Abdul Rashid. Political Science: an Islamic Perspective. London: MacMillan Press,
1996.
Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993
Muhajir, Afifuddin. Fiqh Tata Negara: Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam.
Yogyakarta: Ircisod. 2017
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 2012
MUI, Sekretariat. Majelis Ulama Indonesia 1976. Jakarta: Sekretariat MUI, 1976
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, Dan Partisipasi Politik Di
Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2007

228
Mujiburrahman. ‚Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New
Order.‛ Disertasi. ISIM/Amsterdam University. 2006.
Nabhani. Taqiy al-Din al-. Nid}a>m al-Isla>m. Ttemp: Hizbut Tahrir, 2001.
Nasihin. Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Nasution, Muslim. ‚Pemikiran Dr Abdul Karim Amrullah Tentang Purifikasi Ajaran Islam
pada Masyarakat Minangkabau.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2000
Natsir, M. ‚Dua Kali Kami Berjumpa.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan
70 tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979.
Natsir, M. Capita Selecta 3. Jakarta: PT Abadi & Panitia Peringatan Refleksi Seabad M
Natsir. 2008.
Nazar, Muhammad. ‚Intelektualitas Dakwah Prof Dr Hamka: Kajian Tentang Konsep Dan
Pendekatan.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000.
Niel, Robert Van. Munculnya Elite Modern Indonesia. Penerjemah: Zahara Deliar Noer.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1984
Noer, Deliar. ‚Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia.‛ Dalam Anthony
Reid dan David Marr. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa
Lalunya. Jakarta: Grafiti Pers. 1983.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1991.
Noer, Deliar. Islam & Politik. Jakarta: Yayasan Risalah. 2003.
Noer, Deliar. Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas, 2012
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisa Perkembangan Politik
Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan. 2000.
R, Yusran (ed). Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957. Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2001.
Rambe, Safrizal. Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942.
TT: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia. 2008.
Ranuwijaya, Utang. ‚Hadis-hadis Pada Kitab Tafsir al-Azhar Hamka: Analisis Sanad Pada
Ayat-ayat Hukum Bidang Perkawinan.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 1998.
Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan
Perdagangan Global. Penerjemah: RZ Leirissa & P Soemitro. Jakarta: Pustaka
Obor. 2015.
Ricklefs, MC. Mengislamkan Jawa. Penerjemah: FX Dono Sunardi & Satrio Wahono.
Jakarta: Serambi. 2013.
Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Penerjemah: Tim Penerjemah
Serambi. Jakarta: Serambi, 2008
Roem, Mohamad. Bunga Rampai Dari Sejarah 3. Jakarta: Bulan Bintang. 1983.
Rosenthal, E.I.J. Political Thought in Medieval Islam: an Introductory Outline. London:
Cambridge University Press. 1962.
Rush, James R. Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern.
Penerjemah: Zia Anshor. Jakarta: Gramedia. 2017.
Hamka, Rusydi. Buya Hamka. Jakarta: Noura. 2016.
Sahal, Akhmad. ‚Khilafah: Antara Api Islam dan Abunya.‛ Dalam Komaruddin Hidayat
ed. Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Bandung: Mizan. 2014.
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad
XX. Jakarta: Serambi. 2004.
Simatupang, Iwan. ‚Ceramah Sastra Hamka: Kisah Dari Suatu Kepengarangan
Berdasarkan Cinta.‛ Dalam Solichin Salam dkk (ed). Kenang-kenangan 70 tahun
Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1979.

229
Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap
Agama Lain Jakarta: Gramedia. 2012.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran . Jakarta: UI
Press. 1993
Sjamsuddin, Nazaruddin. PNI dan Kepolitikannya. Jakarta: Rajawali, 1984
Smith, Edward C. Pembreidelan Pers Di Indonesia. Penerjemah Atmakusumah, dkk.
Jakarta: Pustaka Grafiti. 1986.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19 . Jakarta:
Bulan Bintang. 1984.
Sudibyo. Dalam Bayang-bayang Kolonialisme: Filologi dan Studi Sastra. Yogyakarta: FIB
UGM, 2009.
Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Teraju. 2002.
Suja’i, Achmad. ‚Konsep Khilafah Dalam Tafsir Sayyid Quthb dan Tafsir Hamka.‛
Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000.
Suminto, H Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1985.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani. 2014.
Syaifullah. Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Jakarta: Grafiti. 1997.
Syam, Firdaus. Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Tindakan Politik.
Jakarta: Dyatama Milenia. 2004.
Syamsuddin, M Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos. 2001
Syukur, Yanuardi dan Arlen Ara Guci. Buya Hamka: Memoar Perjalanan Hidup Sang
Ulama. Solo: Tinda Medina. 2017.
Tamara, Nasir, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (ed). Hamka Di Mata Hati Umat.
Jakarta: Sinar Harapan. 1983
Tempo, Tim. Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim. Jakarta: Tempo & KPG. 2011.
Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Tibbi, Bassam. Islam’s Predicament with Modernity: Religious Reform and Cultural
Change. London & New York: Routledge. 2009.
Tim Penulis. Ensiklopedia Buya Hamka. Jakarta: Suara Muhammadiyah. 2019.
Wahid, Abdurrahman (ed). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. 2009.
Watt, W Montgomery. Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburh University Press.
2003.
Wilson, Erin K. After Secularism: Rethinking Religion in Global Politics. New York:
Palgrave MacMillan. 2012.
Yusuf, M Yunan. ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Tentang
Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam.‛ Disertasi. IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 1989
Zallum, Abd al-Qadim. Democracy is a System of Kufr: It is Forbidden to Adopt,
Implement or Call for It. Ttemp.: al-Khilafah Publication. 1995
Zallum, Abd al-Qadim. Nid}a>m al-H}ukm fi al-Isla>m. Ttemp: Hizb al-Tahrir. 2002.

2. Artikel Jurnal dan Konferensi/Seminar


Abdullah, Abdul Hafiz bin & Mohd Ya’qub Zulkifli bin Mohd Yusoff. ‚Islam dan Keadilan
Sosial Menurut Pandangan Hamka Dalam Tafsir al-Azhar: Tumpuan Khusus
Kepada Kepentingan Zakat.‛ Seminar Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat,
Fakultas Usuluddin, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam, 24-
25 Februari 2010.

230
Abdillah, Masykuri. ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik
Di Era Reformasi‛. Ahkam. Vol. XIII, No. 2 (Juli 2013). h. 247-258
Ali, Muhamad. ‚The Rise of Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia.‛ The
American Journal of Islamic Social Sciences. 22:1 (winter 2005). h. 1-26.
Ali, Fachry. ‚Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan Riwayat dan
Perjuangannya.‛ Prisma. No 2, Tahun XII (Pebruari 1983). h.48-60
Amir, Ahmad N., Abdi O. Shuriye, & Ahmad F. Ismail. ‚Muhammad Abduh’s
Contributions To Modernity.‛ Asian Journal Of Management Sciences And
Education. Vol. 1, No. 1 (2012). h. 63-75
Amir, Ahmad N., Abdi O. Shuriye, & Jamal I. Daoud. ‚Muhammad Abduh’s Influence in
Southeast Asia.‛ Middle-East Journal of Scientific Research. Vol. 13 (2013). h.
124-138
As’ad, Mahrus. ‚Pembaruan Pendidikan Islam KH Hasyim Asy’ari.‛ Tsaqafah. Vol 8, No 1
(2012). h. 105-134
As’ad, Muhammad. ‚Official Ulama in Indonesian Politics: Study on the Attitudes of the
Indonesian Council of Ulama in the General Elections.‛ International Conference
Is Indonesian Islam Different? Islam in Indonesia in an International
Comparative Perspective, Jakarta, 24-26 Januari 2011
Azra, Azyumardi. ‚Book Review: Islamisasi Jawa.‛ Studia Islamika. Vol 20. No 1 (2013).
h. 169-178
Bruinessen, Martin van. ‚Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia.‛
South East Asia Reseach. Vol 10, No 2 (2002), 117-154
Burhanuddin, Nunu. ‚Konstruksi Nasionalisme Religius: Relasi Cinta dan Harga Diri
Dalam Karya Sastra Hamka.‛ Episteme. Vol 10, No 2 (2015), h. 353-384
Burhanudin, Jajat. ‚Islam dan Negara Bangsa: Melacak Akar-akar Nasionalisme
Indonesia.‛ Studia Islamika. Vol 11. No. 1 (2004). h. 171-175.
El Moudden, Abderrahmane. ‚The Idea of the Caliphate between Moroccans and
Ottomans: Political and Symbolic Stakesin the 16th and 17th Century-Maghrib.‛
Studia Islamika. No. 82 (1995), h. 103-112.
Fata, Ahmad Khoirul & Fauzan. ‚Kritik ‘INSIST’ Terhadap Gagasan Pluralisme Agama.‛
Kalam. Vol 11, No 1 (2017), 31-56
Fata, Ahmad Khoirul. ‚Membangun Sains Berbasis Iman.‛ Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS) XXII , Surabaya, 5-8 November 2012.
Fata, Ahmad Khoirul & Siti Mahmudah Noorhayati. ‚Sekularisme dan Tantangan
Pemikiran Islam Kontemporer.‛ Madania. Vol. 20, No 2 (Desember 2016).
Fata, Ahmad Khoirul. ‚Hadits Ghadir Khum: Mandat Kepemimpinan Untuk Ali?.‛ Jurnal
Studi Islam. Vol II, No 3 (2017). h. 71-90
Fata, Ahmad Khoirul. ‚Kepemimpinan dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam.‛ Jurnal
Review Politik. Vol 02, No. 01 (2012). h. 1-15
Fauzan, Pepen Irpan & Ahmad Khoirul Fata. ‚Portraying Political Polarization in Persatuan
Islam in the Case of Mohamad Natsir vs Isa Anshari.‛ Journal of Contemporary
Islam and Muslim Society. Vol. 3, No 2 (2019). h. 205-232
Fauzi, Wildan Insan. ‚Hamka Sebagai Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Dalam Menghadapi Masalah Sosial Politik Pada Masa Orde Baru 1975-1981.‛
Factum. Vol 6, No 2 (Oktober 2017). h. 278-295
Fuad, Fokky. ‚Kehancuran Nilai Kemanusiaan Reaktualisasi Pemikiran Hamka Dalam
Hukum.‛ Lex Jurnalica. Vol 13. No 1 (2016), h. 35-45.
Fuad, Fokky. ‚Moral Hukum dan Nilai-nilai Kebangsaan: Sebuah Refleksi Pemikiran Buya
Hamka.‛ Mimbar Demokrasi. Vol 16. No 1 (2016), h. 71-85

231
Haddad, Mahmood. ‚Arab Religious Nationalism In The Colonial Era: Rereading Rashid
Rida's Ideas On The Caliphate.‛ Journal of the American Oriental Society . Vol.
117, No. 2 (April - Juni 1997), h. 253-277
Hilmi, Masdar. ‚Akar-akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).‛
Islamica. Vol 6, No 1 (2011), h. 1-13
Hosen, Nadirsyah. ‚Behind The Scenes: Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia (1975-
1998).‛ Journal of Islamic Studies. 15/2 (2004), h. 147-179
Husda, Husaini. ‚Islamisasi Nusantara: Analisis Terhadap Discursus Para Sejarawan.‛
Adabiya. Vol 18, No 35 (2016), h. 17-30
Ilyas, Ahmad Fauzi. ‚Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Dan Polemik Tarekat
Naqsyabandiyah Di Nusantara.‛ Journal Of Contemporary Islam And Muslim
Societies. Vol. 1, No. 1 (2017), h. 86-112.
Indrawati, Nadia Nur. ‚Peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi 1860-1916 M Dalam
Islamisasi Nusantara.‛ Tamaddun. Vol. 4. No 1 (2016). h. 177-200.
Ismail, Faisal. ‚The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the
Establishment of Indonesia State.‛ Journal of Indonesian Islam. Vol 5. No 2
(2011). h. 248-282
Jalil, Muhammad Hilmi dan Fakhrul Adabi Abdul Kadir. ‚Kepentingan Kesihatan Diri
Dalam Pembangunan Insan: Analisis Karya Falsafah Hamka.‛ Jurnal Hadari. Vol
5. No 2 (2013), h. 69-84
Zarkasyi, Hamid Fahmy. ‚Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam.‛ Islamia. No 2,
Tahun II (2005), h. 9-20
Maksum, Ali. ‚Diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia Kontemporer: Telaah
Pemikiran Jaringan Islam Liberal dan Hizbut Tahrir Indonesia.‛ Proceedings
Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII . Surabaya tgl 5-
8 November 2012, h. 2340-2361.
Mantovani, Sarah Larasati & M Abdul Fattah Santoso. ‚Pemikiran Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (Hamka) Tentang Partisipasi Politik Perempuan di Tahun
(1949-1963).‛ Profetika. Vol 16. No 1 (2015), 83-92.
Margono, Hartono. ‚KH Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan
Kontemporer.‛ Media Akademika. Vol 26. No 3 (2011). h. 335-349
Muzakki, Akh. ‚Perseteruan Dua kutub Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer: Jaringan
Islam Liberal dan Media Dakwah.‛ Jurnal Universitas Paramadina. Vol 3. No 1
(2003), h. 40-62
Najib, Muhammad Ainun. ‚NU. Soekarno. dan Staat Islam: Wacana Negara Islam dalam
Berita Nahdlatoel Oelama BNO.‛ Ahkam. Vol. 5. No 1 (Juli 2017).
Najjar, Fauzi M. ‚Islam and Modern Democracy.‛ The Review of Politics. Vol 20. No 2
(April 1958), h. 164-180
Nashir, Abdul. ‚Buya Hamka dan Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam.‛ At-
Ta’dib. Vol 3. No 1 (Shafar 1428), h. 59-81.
Osman, Mohamed Nawab Mohamed. ‚The Transnational Network of Hizbut Tahrir
Indonesia.‛ South East Asia Research. Vol 8 No 4 Special Issue (Dec 2010), h.
735-755.
Rahman, Rini. ‚Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 Studi Kasus Sumatera
Barat.‛ Humanis. Vol XIV. No 2 (2015), h. 174-182
Rowi, M Roem. ‚Hamka Wujuduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim bi Indunisiy fi Kitabih al-
Azhar.‛ Journal of Indonesian Islam. Vol 03. No 2 (2009), h. 421-451
Samsuri. ‚Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi.‛ Millah. Vol 1. No 1
(Agustus 2001).

232
Shobahussurur. ‚Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka.‛ Jurnal Asy-
Syir’ah. Vol 43, No 1 (2009), h. 231-245
Sidik. ‚Deradikalisasi Pemaknaan Negara dan Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar.‛ Jurnal
Analisa. Vol 19, No 1 (2012), h. 69-82
Sirry, Mun'im. ‚Fatwas and their controversy: The case of the Council of Indonesian Ulama
(MUI),‛ Journal of Southeast Asian Studies. Vol. 44, No. 1 (Pebruari 2013), h.
100-117.
Sukamto, Amos. ‚Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai
Awal Orde Baru.‛ Jurnal Teologi Indonesia. Vol 1, No 1 (Juli 2013), h. 25-47
Syafi’i, Abdul Manan. ‚Pengaruh Tafsir al-Manar Terhadap Tafsir al-Azhar.‛ Miqot, Vol.
XXXVIII, No 2 (Juli-Desember 2014), h. 263-275
Syukur, Abdul. ‚Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Agama (Kajian Atas Relasi
Agama dan Negara).‛ Sosio-Politica. Vol. 1, No 2(Juli-Desember 2012), h. 1-13
Tahzeeb, Sana. ‚A Comparative Study of Islam and Modern Democratic Ideals.‛ Journal of
Islamic Studies and Culture. Vol 2. No 1. (March 2014), h. 47-54.
Taufiq, Imam. ‚Membangun Damai Melalui Mediasi: Studi terhadap Pemikiran Hamka
Dalam Tafsir al-Azhar.‛ Jurnal al-Tahrir. Vol 14. No 2 (2014), h. 297-320
Vogg, Kevin W. ‚Hamka’s Doctoral Address at Al-Azhar: The Influence of Muhammad
Abduh in Indonesia.‛ Afkaruna. Vol. 11, No 2 (2015), h. 125-126
Wahid, Abdul. ‚Sosial Politik Dalam Tafsir Hamka.‛ Conference proceedings, Ar-Raniry
International Conference on Islamic Studies (ARICIS) I , Banda Aceh 26-27
Oktober 2016. h. 328-340
Wahid, Din. ‚PhD Thesis Summary: ‘Nurturing Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantren
in Contemporary Indonesia.‛ Wacana. Vol 15. No 2 (2014), h. 367-376
Wahid, Din. ‚The Challenge of Democracy in Indonesia: The Case of Salafi Movement.‛
Islamika Indonesia. Vol I. No 1 (2014), h. 51-64
Washil, Izzuddin dan Ahmad Khoirul Fata. ‚Hadis Gadir Khum Dalam Pandangan Syiah
dan Sunnah.‛ Al-Dzikra. Vol 12. No 1 (2018). h. 51-74
Washil, Izzuddin dan Ahmad Khoirul Fata. ‚HAM Islam dan Duham PBB: Sebuah Ikhtiar
Mencari Titik Temu.‛ Miqot. Vol XLI. No 2 (Juli-Desember 2017).
Yaakob, Zul `Azmi. ‚Falsafah Alam Dalam Konteks Falsafah Ketuhanan Menurut Hamka.‛
International Journal of Islamic Thought. Vol 1 (June 2012), h. 74-86.
Yakin, Ayang Utriza. ‚Islamisasi dan Syariatisasi Samudera Pasai Abad ke 14 M‛.
Islamica. Vol 9 No 2 (2015). h. 270-294
Yusoff, Zulkifli Mohd dan Abdullah, Abdul Hafiz. ‚Pemimpin Menurut Pandangan Hamka:
Satu Tinjauan Dalam Tafsir Al-Azhar.‛ Jurnal Al-Tamaddun, Vol 8, No 1
(2013), h. 17-38.
Zakariya, Hafiz. ‚Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Shaykh Tahir
Djalaluddin.‛ Intellectual Discourse. Vol 13. No 1 (2005). h. 49-72.

3. Koran, Majalah, dan Media Online


‚Pemberontakan Separuh Jalan.‛ Tempo. Edisi Khusus Kemerdekaan (13-19 Agustus
2007).
Abdullah, Taufik. ‚Demokrasi Parlementer, Optimisme Yang Terabaikan.‛ Dalam Tempo,
edisi khusus Kemerdekaan (13-19 Agustus 2007).
Hanggoro, Hendaru Tri. ‚Menjajal Medan Konstituante.‛ Dalam Historia, No 21. Tahun II
(2015).
Hanggoro, Hendaru Tri. ‚Sekolah Islam ala Hamka.‛ Dalam Historia, No 21. Tahun II
(2015).

233
Isnaeni, Hendri F. ‚Himpunan Seni Budaya Islam: Melawan Lekra, Menghalalkan Seni.‛
Dalam Historia, No 16. Tahun II (2013).
Isnaeni, Hendri F. ‚Trio Masyumi dalam PRRI.‛ Dalam Historia, No 16. Tahun II (2013).
Madjid, Nurcholish. ‚Natsir itu Tulus Kepada Pancasila.‛ Dalam Harmonis, No 431 (Maret
1993).
Mukhti, MF. ‚Di Balik Jerajak Besi Penguasa.‛ Dalam Historia, No 21, Tahun II (2015)
Mukthi, MF. ‚Di Balik Jerajak Besi Penguasa.‛ Dalam Historia, No 21. Tahun II (2015).
Triyana, Bonnie. ‚Ikhtiar Terhenti di Konstituante.‛ Dalam Historia, No 16. Tahun II
(2013).
Widjajanto, Andi. ‚Nasution. Jalan Tengah. dan Politik Militer.‛ Dalam Tempo, edisi
Khusus Kemerdekaan (13-19 Agustus 2007).

234
GLOSARIUM
ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(R)APBN : (Rencana) Anggaran Pendapatan Belanja Negara
BMKII : Musyawarah Kebudayaan Islam Indonesia
BMKN : Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
BPNK : Badan Pengawal Negeri Dan Kota
BPUPK : Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
DDII : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPA(S) : Dewan Pertimbangan Agung (Sementara)
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
DPRS : Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(DU)HAM : (Deklarasi Universal) Hak Asasi Manusia
Dwi Tunggal : Soekarno-Hatta
FPN : Front Pertahanan Nasional
GAPI : Gabungan Politik Indonesia
GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara
GPII : Gerakan Pemuda Islam (Indonesia)
GPPs : Gerakan Pembela Pancasila
HAKA : Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka)
HSBI : Himpunan Seni Budaya Islam
HT/HTI : Hizbut Tahrir/ Hizbut Tahrir Indonesia
Icoma : Ikatan Comunis Muda
IPKI : Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia
ISBM : Ikatan Seni Budaya Muhammadiyah
ISDV : Indische Sociaal Democratische Vereeniging
JAT : Jamaah Ansharut Tauhid
JIB : Jong Islamieten Bond
JIL : Jaringan Islam Liberal
KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde
KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat
Lekra : Lembaga Kebudayaan Rakyat
Lesbumi : Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia
Manipol-USDEK: Manifesto Politik- UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional
MASBI : Majelis Seni Budaya Islam
Masyumi/Masjumi: Majelis Syura Muslimin Indonesia
MIAI : Majelis Islam A’la Indonesia
MMI : Majelis Mujahidin Indonesia
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MUI : Majelis Ulama Indonesia
MURBA : Musyawarah Rakyat Banyak
NASAKOM : Nasionalis, Agama, Komunis
NGB : Nedherlandch Bijbblegenootschap/Persekutuan Injil Belanda
(PB) NU : (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama
P4 : Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila
Pangkopkamtib : Panglima Komando Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban
Parindra : Partai Indonesia Raya

235
Parkindo : Partai Kristen Indonesia
Parmusi : Partai Muslimin Indonesia
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PBI : Partai Buruh Indonesia
PEPERDA : Penguasa Perang Daerah
PEPERPU : Penguasa Perang Pusat
PERSIS : Persatuan Islam
PERTI : Persatuan Tarbiyah Islamiyah
PGAI : Persatuan Guru-guru Agama Islam
PII : Partai Islam Indonesia
PKI : Partai Komunis Indonesia
PMP : Pendidikan Moral Pancasila
PNI : Partai Nasional Indonesia
PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PPP : Partai Persatuan Pembangunan
PRI : Partai Rakyat Indonesia
PRRI : Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
PSI : Partai Sosialis Indonesia
PSII : Partai Syarikat Islam Indonesia
PUI : Persatuan Umat Islam
PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh
PUSROH : Pusat Rohani
SDI/SI : Sarikat Dagang Islam/Sarekat Islam
Shumubu : Kantor Urusan Agama Zaman Jepang
SIS : Studenten Islam Studieclub
SOB : Staat Von Orloog En Beleg/ Negara Dalam Keadaan Darurat
TNI-AD : Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat
UMI : Universitas Muslim Indonesia
Volksraad : Dewan Rakyat zaman Hindia Belanda

236
INDEKS

1 Juni 1945 .........................................159 Aisyah Aminy .....................................189


22 Juni11, 36, 51, 146, 147, 154, 159, akal budi .....................................196, 197
160, 162 akhlak ................. 33, 52, 53, 91, 122, 193
a ‘decade of ideologies .......................137 akidah19, 52, 53, 66, 91, 114, 129, 183,
A Hassan ................................... 51, 94, 95 200
A Muchlis .............................................94 Akidah ............................................52, 91
A Rahim Mufty ..................................186 Akram .............................................14, 15
Abad Pertengahan .......................... 70, 79 Aksara Jawi ........................................110
Abd al-Qadim Zallum...........................19 Aksara Melayu....................................110
Abduh ........................... 18, 22, 30, 43, 48 Al-Afghani ......................................18, 43
Abdul Gaffar Snauk al Hulandy .........103 Alamsjah .....................................210, 211
Abdul Hamid ........................................66 Alamsjah Ratu Prawiranegara ............210
Abdul Karim Amrullah10, 38, 39, 116, al-Anwar al-Muhammadiyah ................39
183 al-Aqsa ..................................................66
Abdulkadir Munsyi .............................110 alat ekonomi .......................................125
Abdullah bin Umar .............................129 al-Azhar6, 8, 28, 46, 100, 107, 108, 175,
Abdullah Said Patmadji......................186 182, 187, 195, 198, 205
Abdullah Sjahir...................................189 Alfonso d’Albuquerque ......................100
Abdullah SP ........................................186 al-h}aqq ................................................197
Abdullah Syafii........................... 202, 206 Ali6, 16, 19, 22, 30, 34, 40, 41, 43, 44,
Abdurrahman Syihab ............................45 55, 56, 62, 77, 87, 94, 106, 107, 108,
Abdurrauf As-Singkili ........................110 137, 138, 184, 188, 203, 204, 210
Abikoesno Tjokrosoejoso ...................135 Ali Abd al-Raziq..... 30, 94, 106, 107, 108
Abikusno Tjokrosujoso ......................137 Ali Akbar ............................................119
Aboebakar Atjeh ................................189 Ali Audah ...........................................186
Abu Bakar ..................... 47, 55, 56, 80, 86 Ali Sastroamidjojo .....................171, 184
Aceh.......... 8, 69, 103, 109, 111, 148, 156 Alim ........................................57, 92, 202
Achmad Soebardjo .............................177
Acoma ................................................147 Aliran Kepercayaan ....................164, 207
Adam .................... 39, 43, 64, 65, 81, 211 Al-Irsyad .............................................135
AD-ART .............................................139 Al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm.................106
Adat Minangkabau ...............................47 Al-Ittihadiyah .....................................135
Adnan Buyung Nasution .... 146, 147, 172 Aliyah ...................................................40
Adventis .............................................207 Al-Jam’iyatul Washliyah ....................135
Afif .......................................................40 Al-Kawakibi ...................................16, 17
Agama dan negara .. 28, 29, 51, 53, 94, 99 Al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n ........29, 80, 116
Agus Salim34, 41, 44, 47, 51, 73, 119, Allahu Akbar ......................................101
135, 162, 183 Al-Mahdi ..............................................47
AH Nasution ....... 149, 171, 172, 188, 189 Al-Majdulin ........................................186
Ahem ..................................................172 Al-Manar ..............................................43
Ahl al-h}all wa al-`aqd ............................90 Al-Manfaluthi ...............................42, 186
Ahl al-Kita>b ........................................129 Al-Mawdudi ...................................30, 31
Ahmad Dahlan ....................................115 Al-Qur’an10, 13, 19, 21, 23, 28, 31, 39,
Ahmad Dasuki Siradj .........................186 40, 52, 53, 54, 57, 58, 59, 66, 86, 87,
Ahmad Husein ....................................171 89, 91, 104, 109, 111, 112, 114, 117,
Ahmad Sjaichu .....................................36 121, 125, 127, 130, 157, 161, 196, 208,
Ahmadiyah .........................................136 209

237
Al-Radd `ala> al-Dahriyyi>n ...................118 Azra ............................ 13, 15, 17, 19, 101
Amerika16, 21, 48, 62, 72, 91, 100, 122, Azyumardi Azra13, 15, 17, 18, 20, 29,
127, 179 101
Amir Shaqib Arselan ............................40 Baabullah ..............................................69
Amir Syarifuddin ................................138 Badan Konsultasi Antar Umat Beragama
Amiruddin ..........................................206 ........................................................212
An historical accident ........................136 Badan Musyawarah Kebudayaan
An historical necessity .......................136 Nasional (BMKN) ..........................190
Anak Agung Gde Agung ...... 26, 177, 190 Badan Pengawal Negeri dan Kota ......133
Anas Ma’ruf........................................186 Badan Pengawas Penertiban Aparatur
Anggaran Dasar .......................... 134, 136 Negara.............................................173
Anggaran Rumah Tangga ...........136, 224 Badan Penyelidik Usaha-usaha
Anggota istimewa134, 135, 136, 140, Kemerdekaan ............................51, 145
141, 143, 144 Badan Perancang Nasional .................173
Anggota perorangan ...........................144 Badi’ .....................................................38
Anggota teras .....................................144 Baghdad ................................................80
Angkatan Darat .......... 176, 188, 189, 195 Bagindo Ali ........................................194
Animisme–Dinamisme .......................162 Bahasa Arab .................................17, 112
Anshar ............................................61, 86 Bahasa Belanda ..................................113
Anti Tuhan ................. 119, 148, 183, 185 Bahasa daerah .............................111, 156
Anwar Nasution.......................... 169, 170 Bahasa Indonesia ........................112, 164
Anwar Tjokroaminoto ................ 135, 140 Bahasa kebangsaan .....................111, 157
APBN .................................................181 Bahasa Melayu ... 110, 111, 112, 113, 156
Aqidah ..............................................7, 10 Bahasa nasional ..........................111, 156
AR Baswedan .....................................185 Bahder Djohan .................... 105, 140, 177
AR Fachruddin ...................................144 Bahrum Rangkuti ...............................189
AR Sutan Mansur44, 45, 51, 76, 133, Bahtiar Effendy ....................3, 26, 28, 35
146 Bajasut ................ 134, 136, 150, 155, 159
Arab16, 17, 18, 22, 28, 30, 38, 39, 42, 47, Baldat t}ayyibat wa rabb g}afu>r ..............91
48, 54, 59, 61, 62, 65, 68, 72, 92, 93, Bangsa Islam ............................59, 60, 66
95, 100, 106, 110, 111, 112, 156, 157, Bani Abbas ...........................................80
179, 192 Bani Abbasiyah ..............................56, 80
Aria .......................................................62 Bani Hasyim .........................................92
Arnold Toynbee ..................................124 Bani Umayah ............................29, 56, 92
Ar-Raniri ............................................110 Bani Umayyah ................................29, 80
Arsyad Banjar .....................................110 Banjarmasin ................................109, 156
Artawijaya .................. 135, 137, 169, 174 Banten .......................... 69, 109, 136, 148
as}a>biyah jinsiyah ..................................61 Banyumas ...........................................170
as}a>biyyah ........................................61, 68 Baqa’ ..................................................198
As}a>biyyah .............................................61 Barat3, 5, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 22,
As}a>biyyah ja>hiliyyah ............................61 28, 30, 31, 32, 33, 34, 38, 42, 43, 45,
Ashabiyah .............................................76 48, 54, 58, 62, 66, 67, 69, 70, 72, 78,
Ash-Shirat ilal Jahim ..........................153 79, 83, 90, 91, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
Ash-Shirathal Mustaqim ....................152 100, 101, 102, 103, 105, 106, 107, 108,
Asosiasi ........................................21, 101 109, 111, 113, 114, 122, 126, 127, 133,
Assertive secularism .............................96 135, 148, 166, 167, 179, 180, 183, 184,
Ateis ................................... 120, 121, 124 185, 190, 194
Ateisme ..............................................125 Baroroh Baried ...................................189
Aufklarung............................................98 Batak ....................................69, 194, 208
Azizah ...................................................40 Batavia................................................103

238
Bayan ....................................................38 Declaration des droits de l’ homme et du
Belanda19, 32, 42, 45, 62, 69, 70, 72, citoye ..............................................127
101, 103, 109, 111, 112, 117, 123, 133, Declaration of Independence ..............127
136, 139, 142, 184 Dekrit Presiden25, 35, 36, 149, 154, 159,
Bendera Islam ...............................41, 119 164, 171, 175, 176
Berita Minggu ....................................186 Deliar Noer11, 25, 26, 27, 32, 34, 74, 75,
Berita Nahdlatoel Oelama ..............94, 95 76, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 141,
berjiwa agama.......................................57 142, 161, 171, 172, 173, 174, 175, 176,
berpolitik lewat jalur dakwah .............206 182, 183
Bibel .....................................................62 Demak...................................................81
Bid’ah ...........................................31, 114 Demokrasi4, 5, 12, 15, 19, 20, 21, 22, 23,
Bill of Rights ......................................127 26, 30, 31, 32, 36, 46, 57, 58, 79, 80,
Bima Sakti ..........................................194 81, 83, 84, 86, 87, 91, 96, 120, 138,
Bintang Islam .......................................47 147, 149, 150, 151, 154, 160, 164, 165,
Bintang Timur ....................................186 166, 167, 168, 170, 171, 180, 181, 185,
BMKII ................................................190 186, 199
BMKN ................................................190 Demokrasi karya .................................165
BNO................................................ 94, 95 Demokrasi Kita .............. 26, 48, 181, 182
Borjuis .................. 98, 120, 122, 124, 186 Demokrasi liberal .......................165, 167
BPNK .................................................133 Demokrasi sentralisme .......................167
BPUPK ................... 35, 51, 137, 145, 159 Demokrasi Takwa............. 58, 81, 91, 116
Buddha.................................. 72, 179, 194 Demokrasi Terpimpin4, 25, 26, 46, 136,
Budi daya ............................................196 151, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170,
Bulan sabit ................................ 69, 73, 75 171, 172, 173, 174, 175, 181, 182, 185,
Bumiputera ...........................................62 188, 189, 235
Bung Hatta ...................................70, 177 Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Bung Karno .......................... 70, 121, 145 Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya ...153
Burhanuddin Harahap .........................146 Departemen Agama ..............................46
Bustami Ibrahim ...................................45 Dewa Ruci ..........................................194
Cahaya iman .........................................71 Dewa-dewa .....................................81, 82
Cahaya Sumatra ...................................41 Dewan Banteng ..................................171
Ceramah Sastra Hamka ......................197 Dewan Gajah ......................................171
Chanafiah............................................169 Dewan Masjid Indonesia ....................202
Chauvinisme .........................................71 Dewan Menteri ...................................165
Chokan................................................133 Dewan Nasional............ 25, 168, 172, 173
Cirebon .........................................40, 205 Dewan Partai ..............................134, 157
Da>r al-h}arb ............................................15 Dewan Pembelaan ..............................133
Da>r al-Isla>m ....................................15, 55 Dewan Penasehat Sumatera Timur ....133
Da>r al-Sala>m .........................................55 Dewan Perjuangan Semesta ...............171
Dachlan Lukman ................................150 Dewan Pertimbangan Agung 25, 173, 174
Dakwah . 6, 27, 36, 93, 121, 154, 191, 212 Dewan Perwakilan Rakyat25, 37, 90,
Dalailul Khairat ....................................70 134, 172
Darmoyuwono ....................................209 Dewan Rakyat ......................................74
Darsono ..............................................123 DI .................................. 35, 142, 185, 186
Darul Islam ............. 35, 55, 118, 185, 186 DI/TII..........................................185, 186
Darwin .................................. 81, 121, 122 Dialah kebenaran itu...........................198
Dasawarsa ideologi...........................2, 50 diktator proletar..................................124
Dasuki Siradj ......................................186 diktator proletariat .............................120
Daud .....................................................56 diktatorisme........................................167
DDII......................................................27 Din Syamsuddin .......................27, 29, 30

239
Din Wahid ............................................20 Fatimiyyah............................................80
Dinas Rawatan Rohani Islam ABRI ...202 Fatwa MUI ......................... 206, 212, 213
Diniyah School .....................................40 Federasi ........................ 74, 136, 143, 191
Diplomasi ............................... 15, 45, 156 Fikih......................................................57
Diponegoro ........................... 69, 148, 195 Fikih..............................................38, 156
Djamaludin Malik...............................177 Filsafat10, 84, 90, 98, 111, 122, 123,
Djamil Jambek ....................................135 194, 196, 197
Djarnawi Hadikusuma ................ 145, 164 Fir’aun ............................................56, 62
Djawi Hisworo .....................................51 Formatur ............. 133, 139, 140, 171, 181
Djuanda140, 149, 150, 165, 166, 169, FPN .......................................46, 133, 184
170, 171, 181 Fraksi Republik Proklamasi ...............147
Doktor Honoris Causa ..........................48 Front Anti Komunis ...........................184
DPA Sementara ..................................173 Front Nasional ............ 165, 168, 169, 173
DPA-S ........................................173, 174 Front Pertahanan Nasional ...46, 133, 184
DPR25, 36, 90, 134, 139, 154, 155, 165, Fundamentalisme11, 12, 22, 34, 35, 36,
168, 172, 173, 181, 209 134, 135, 137, 138, 140, 152, 155, 157,
DPR-GR ............................... 25, 155, 172 158, 159, 183, 184, 185, 186
Drama .................................................195 GAPI .....................................................74
DUHAM ............................. 127, 130, 131 Garis-garis Besar Haluan Negara
Dunia Islam .............................. 67, 81, 99 (GBHN) ....................................27, 174
Dwi Tunggal .................................70, 168 GAS ....................................................182
Eka Sila ..............................................160 GBHN ...........................................27, 174
Ekonomi23, 26, 28, 50, 65, 70, 96, 99, Gema Islam9, 46, 48, 71, 101, 187, 188,
112, 115, 120, 125, 126, 147, 165, 166, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195
181, 196 Gerakan Pembela Pancasila ................160
Ekonomi Terpimpin ................... 174, 235 Gerakan Pembela Pancasila (GPPs) ...169
El Yunusy .......................................40, 41 Gerakan Pemuda Islam Indonesia ......141
Empat khalifah utama23, 79, 80, 89, 106, Gereja58, 78, 96, 98, 99, 106, 122, 123,
116 208
Enayat ........................... 15, 18, 22, 23, 90 Ghazali................................ 190, 198, 219
Endang Saefuddin Anshari11, 36, 51, Ghazw al-Fikr .....................................105
108, 146, 147, 154, 159, 160 Golkar ...........................................27, 206
Engels ................................. 120, 125, 183 Golongan fungsional...................168, 172
Engku Muaro ........................................40 Golongan kepala batu .........................173
Era Kegelapan ......................................98 GPII ....................................................141
Eropa14, 15, 16, 18, 30, 45, 62, 66, 69, Greg Fealy ..................................139, 141
78, 79, 94, 98, 109, 122, 123, 130 H Abdul Halim Hasan ..........................45
Fadhlullah ...........................................110 H Djuanda .............................36, 165, 167
Fakhri....................................................40 H Fakhruddin ........................................43
Fakih Usman48, 135, 140, 177, 178, 187, H Fakhrudin ..................................51, 133
188, 189, 209 H Mukhtar Lutfi ...................................76
Falsafah ........................ 44, 162, 163, 191 Habib Habsyi ......................................206
Fana> ............................................197, 198 Hafiz Ibrahim........................................42
Fanatik ...................... 69, 75, 83, 100, 104 Haji ............................... 38, 53, 54, 65, 72
Fanatisme agama ..................................99 Haji Ilyas Yakub ...................................76
Farid Ma’roef .......................................75 Haji Rasul .......................................39, 76
Farid Ma’ruf .......................................145 Haji Wada’ ...........................................65
Fasiq .....................................................53 Hak Asasi Manusia .................4, 126, 127
Fathimah ...............................................39 Hak berpindah agama ......... 127, 130, 131
Fathiyah ................................................40 HAKA........................... 39, 116, 117, 183

240
HAM ..................................... 31, 126, 127 Ibadah33, 38, 53, 54, 58, 65, 66, 76, 114,
Hamzah Fansuri ..................................110 115, 175, 177, 180, 193, 199, 212
Harian Abadi ..............................145, 182 Ibn Saud ................................................66
Harian Indonesia Raya .......................182 Ibn Taymiyah .......................................20
Harian Pedoman .................................182 Ibnu Saud ......................................41, 107
Harry Chan .........................................209 Idealisme................... 23, 30, 37, 124, 214
Harsono Tjokroaminoto .....................135 Identitas kebangsaan ............................71
Hasyim Asy’ari ...................................135 Ideologi2, 3, 14, 17, 19, 21, 22, 26, 33,
Hasyimiyah ...........................................39 35, 50, 51, 62, 73, 95, 96, 119, 122,
Hatta25, 26, 36, 48, 70, 71, 73, 75, 118, 125, 136, 137, 138, 145, 146, 147, 149,
137, 159, 162, 168, 170, 173, 176, 177, 157, 158, 174, 176, 179, 183, 184, 191,
181, 182, 186 200, 204
Hawa .....................................................64 Ideologi negara ................... 3, 33, 51, 158
HB Jassin ............................................186 Ijtihad ............................. 23, 56, 185, 194
Hegemoni .............................................14 Ijtihad .........................................139, 141
Hibah ..................................................126 Ikhwanus Shafa ....................................45
Hijaz ................................... 19, 20, 41, 92 Ilmu pengetahuan13, 15, 33, 79, 100,
hijrah ............................... 54, 93, 177, 182 103, 105, 106, 112, 114, 156, 189, 196,
Hikmah9, 54, 73, 80, 111, 123, 124, 125, 197
136, 139, 140, 141, 142, 149, 158, 185, Ilmu Tafsir ............................................38
190, 195, 196, 198 Ilyas Ya’qub .................................41, 119
Hilmi...........................................6, 30, 40 Imam Bonjol ...........................69, 70, 148
Himpunan Seni Budaya Islam187, 191, imperialisme13, 96, 99, 100, 122, 123,
192 124, 125
Hindia Baru ..................................41, 119 Imran Rosyadi ....................................189
Hindia Belanda ............... 18, 69, 107, 113 India ..........................................17, 62, 80
Hindu63, 72, 75, 77, 81, 113, 179, 194, Indian ....................................................72
210 Individualisme ..............................99, 123
Hindu-Buddha ......................................63 Indoktrinasi ................ 121, 175, 187, 204
Historis Materialisme .........................125 Indonesia Raya .............................68, 159
Hisyam..................................................40 Infaq....................................................126
Hitler ....................................................62 Infiltrasi ................................................18
Hizbullah ....................................133, 184 Inggris ....................... 21, 42, 62, 102, 127
Hizbut Tahrir Indonesia .......................30 Injil ...............................................62, 209
HM Soedjak ..........................................75 Instruksi Menteri Agama No 9/1978 ..211
HSBI ........... 187, 191, 192, 193, 194, 195 Instruksi Menteri Dalam Negeri.........202
HT............................... 19, 20, 22, 30, 192 Integrasi negara dengan agama ............94
HTI ................................................. 30, 31 Inteligensia ..................... 50, 51, 108, 119
Hubungan Agama-Negara ....................51 IPKI .................................... 147, 168, 176
Hukum Adat .......................................109 Iradah ............................................85, 193
Hukum Allah ........................ 53, 109, 129 Iradat ..........................................131, 132
Hukum Islam ...................... 103, 109, 202 Irak..................................................76, 80
Hurgronje ............................................102 Iran..................................................19, 23
Huruf Arab..................................110, 111 Irfan ......................................................40
Huruf Jawi ..........................................111 Isa48, 67, 92, 93, 97, 129, 182, 184, 186,
Huruf Latin .................................111, 112 190
Huruf Melayu .....................................111 Isa Anshary ................. 177, 184, 186, 190
Huruf Pegon........................................111 ISBM ..................................................191
Husny al-Kharbuthly ..........................106 ISDV ...................................................118
Isla>m ................................... 19, 55, 61, 64

241
Islam adalah agama ................ 33, 53, 115 Kafir 20, 53, 101, 117, 128, 130, 183, 213
Islam Dalam Bahaya...........................121 Kafrawi ...............................................206
Islam dan Demokrasi9, 10, 22, 23, 26, Kahar Muzakkir .................. 150, 154, 162
55, 56, 79, 80, 81, 83, 86, 89, 99, 116, Kairo ...................................................107
135, 160 Kalam ................................. 6, 30, 41, 156
Islam Dan Demokrasi ...........................48 Kalibata ..............................................148
Islam dan kebangsaan ...........................76 kalimat syahadat .............................52, 84
Islam dan Materialisme ......................119 Kaliurang ............................................143
Islam dan Sosialisme ..................119, 136 kama>l ..................................................197
Islam sebagai dasar negara4, 35, 147, kapitalisme 12, 96, 99, 123, 124, 125, 191
149, 156, 158 kardinal .................................................78
Isra’ Mi’raj .........................................209 Karl Marx70, 118, 120, 122, 124, 125,
istikharah ............................................204 183
Iwan Simatupang ................................197 karsa.................................... 131, 132, 193
jala>l .....................................................197 Kartosoewirjo .............................135, 185
jama>l ...................................................197 Kasimo ................................................209
Jamaluddin al-Afghani ......... 18, 118, 119 Kasman Singodimedjo27, 119, 135, 182,
Jamiyatul Washliyah ..........................140 186
JAWA ...................................................72 Kasmat..................................................75
Jawa Tengah ................. 46, 131, 146, 191 Katolik96, 98, 99, 100, 130, 140, 149,
Jawa Timur .................................205, 213 159, 168, 176, 209, 211
Jawa-Banjar ..........................................72 kaum buruh ......................... 123, 124, 125
Jawa-Bugis ...........................................72 Kaum Muda ....................................41, 43
Jawa-Madura ........................................72 Keadaan Darurat Perang .....................171
Jawa-Mriki............................................72 Keadilan Sosial Dalam Islam2, 9, 54,
Jawa-Padang .........................................72 160, 161
Jawa-Sunda ...........................................72 kebangsaan2, 3, 4, 5, 7, 8, 11, 12, 16, 32,
Jawi ......................... 47, 72, 110, 111, 156 33, 37, 50, 51, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
Jean Paul Sartre ..................................121 67, 68, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 78, 86,
Jepang43, 45, 48, 133, 135, 136, 168, 111, 122, 137, 146, 156, 161
169, 170, 191 Kebangsaan8, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 65,
Jerman .................................. 62, 124, 130 66, 68, 69, 71, 76, 159
JIB .................................... 2, 75, 119, 133 kebendaan ..................... 99, 120, 123, 132
jihad ..................................................8, 13 kebudayaan14, 42, 63, 72, 73, 101, 105,
jinayat ...................................................53 110, 113, 114, 178, 179, 189, 190, 191,
jiwa Islam .............................................66 193, 194, 195, 196, 197
John Locke..........................................127 kebudayaan Indonesia ....................63, 73
John Lockland ....................................127 kebudayaan Indonesia asli ....................63
Jong Celebes .........................................72 kebudayaan Islam . 72, 178, 191, 193, 194
Jong Islamieten Bond (JIB) .... 2, 119, 133 Kejaksaan Agung................................174
Jong Java ......................................72, 119 kejawen ...............................................159
Jong Sumatera ......................................72 Kejawen ................................72, 159, 194
Junan Helmy ............................... 192, 193 kekhalifahan Islam................................. 4
Junan Nasution ...................................144 kekuasaan3, 4, 14, 17, 19, 20, 21, 23, 26,
Jusuf Abdullah Puar ................... 178, 189 28, 54, 55, 56, 57, 79, 80, 83, 84, 86,
Ka’bah ................................ 6, 61, 66, 197 88, 90, 92, 93, 94, 96, 97, 98, 99, 101,
kaba ......................................................42 106, 107, 109, 116, 120, 123, 124, 125,
Kabinet Djuanda.................................172 127, 133, 136, 137, 144, 145, 151, 163,
Kabinet Gotong Royong ....................168 167, 168, 170, 176, 177, 185, 198, 205
Kabinet Karya .................... 145, 171, 172 Kemal Attaturk ............................18, 107

242
kemanusiaan57, 63, 64, 67, 68, 73, 83, klub makan siang ................................134
124, 126, 162, 193 KNIP ...........................................137, 138
Kemauan Zaman ...................................47 kolonial26, 27, 69, 72, 101, 102, 103,
kembali ke UUD 1945 ........ 150, 152, 172 108, 109, 110, 113, 114, 117, 148, 179,
kepribadian bangsa Indonesia72, 159, 207
165, 166, 167, 179 kolonial Barat .......................................72
Kepribadian Nasional ......... 174, 179, 180 kolonialisasi ................ 14, 16, 33, 99, 100
Keputusan Bersama .................... 211, 212 kolonialisme13, 18, 66, 106, 117, 122,
Keputusan Menteri Agama ........210, 211 137, 191
kerajaan20, 56, 76, 80, 81, 82, 99, 110, komidi putar .........................................45
122, 156, 180 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Kerajaan Langit ....................................92 ........................................................137
Kerajaan Surga ............................. 98, 122 Komunis Islam....................................118
kerukunan umat beragama . 202, 207, 210 Komunis Stalinis ................................184
kesadaran kebangsaan .................... 67, 72 komunisme4, 51, 116, 117, 118, 120,
kesenian Islam ....................................193 121, 122, 123, 124, 125, 137, 148, 182,
kesenian rakyat ...................................197 183, 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191,
Kesultanan ..................................109, 156 198, 204, 208
Ketahanan Nasional ...........................204 Komunisme4, 116, 120, 123, 124, 126,
Ketuhanan Yang Maha Esa35, 36, 69, 135, 183, 184, 185, 190, 198
70, 71, 73, 92, 146, 158, 159, 160, 161, Konferensi Nasional Sastra dan Seni
162, 163, 190 Revolusioner ...................................192
Ketuhanan, Dengan Kewajiban Kongres Dewan Gereja .......................209
Menjalankan Syariat Islam Bagi Kongres Kebudayaan Nasional ..........190
Pemeluknya ......................................35 Kongres Khilafah................................106
Ketuhanan, dengan kewajiban Kongres Khilafat ..................................18
menjalankan syariat Islam bagi Kongres Muhammadiyah .....................45
pemeluk-pemeluknya......................146 Kongres Umat Islam ...........................135
KH Faqih Utsman...............................135 Koninklijk Instituut voor Taal Land en
KH Moh Dahlan .................................203 Volkenkunde .....................................62
KH Sanusi...........................................135 konsepsi Bung Karno..........................177
KH SS Djam’an ..................................208 konservatif ..........................................103
KH Wahab Hasbullah ................. 139, 141 Konstituante9, 12, 26, 32, 35, 36, 37, 46,
khali>fat Alla>h fi> al-ard ..........................81 51, 101, 111, 112, 134, 135, 137, 138,
khalifah17, 19, 22, 23, 29, 59, 66, 67, 79, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152,
80, 81, 82, 83, 86, 87, 88, 89, 106, 107, 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160, 161,
116 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172,
Khalifah .......................... 56, 81, 107, 129 173, 175, 181, 183, 185, 186
Khalifah Allah ......................................81 Konstitusi ................... 149, 150, 158, 211
khalifah Tuhan................................ 82, 87 konsultasi ......................................13, 209
Khalifatullah ...................................69, 86 kontra revolusioner .............................173
Khalil Mathran .....................................42 Kristen14, 15, 16, 17, 57, 62, 75, 77, 95,
Khatib ..................................... 38, 39, 110 96, 97, 98, 99, 100, 102, 104, 106, 110,
Khatibul Ummah ..................................47 124, 125, 139, 159, 162, 187, 194, 207,
khilafah8, 18, 19, 20, 22, 29, 30, 32, 90, 208, 209, 210, 211, 212, 213
107 kristenisasi27, 102, 189, 207, 208, 210,
khilafat................................ 18, 56, 66, 80 211, 213
Ki Bagus Hadikusumo .... 43, 51, 133, 135 kudeta ...........................................26, 181
KITLV ..................................................62 kuku dengan daging ............................144
klan ................................................. 61, 92 Kuntowijoyo ........... 50, 51, 119, 136, 182

243
Lahore .................................................136 Makkah ... 17, 38, 39, 42, 60, 93, 107, 110
Laicite...................................................96 Maklumat Pemerintah Republik
Laksmi ................................................191 Indonesia.........................................167
lampu Aladin ......................................151 maksiat ...............................................193
Lawan & Kawan .................................185 Malaka .................... 70, 81, 100, 109, 184
Leimana ..............................................140 Malik Ahmad ......................................144
Lekra ................... 190, 191, 192, 193, 194 Maludin Simbolon ..............................171
Leksi ...................................................191 Maluku ..................................................69
Lembaga Bahasa Indonesia ..................45 Manfaluthi ..........................................186
Lembaga Kebudayaan Rakyat190, 191, Mangunpuspito ...................................150
194 Manifesto Politik ................................174
Lenin ...........................................118, 124 Maninjau ............................. 38, 39, 44, 45
Leo Tolstoy ..........................................63 Manipol .............. 174, 175, 179, 180, 187
Lesbumi ..............................................191 Manipol-Usdek ...................................174
liberal16, 22, 150, 162, 165, 166, 180, Manshur Fahmi ...................................108
199 Mantik ..................................................38
liberalisme .......................... 50, 96, 98, 99 Maramis ..............................................162
libido...................................................122 Maria Ulfah Santoso ..........................177
lingua franca .......................................156 Marx ........................... 118, 120, 124, 126
LIPIA ....................................................28 Marxis ...................................................96
Logika.................................................209 Marxisme ........ 50, 96, 116, 118, 124, 125
Lokakarya Muballigh se Indonesia.....202 Marxisme-Sosialisme ...........................50
Lukman Wiriadinata...........................140 Mas Mansur ..........................................74
M Joesoef Ahmad ............... 178, 179, 188 MASBI ....................... 192, 193, 194, 195
M Nur Alian .......................................192 masjid28, 58, 83, 88, 105, 107, 130, 175,
M Zein Djambek.................................137 178, 185, 187, 188, 194, 199, 204, 205,
MA Chanafiah ....................................168 207
Ma’ani ..................................................38 Masjid Agung Al-Azhar .....................121
ma’rifat ...............................................198 Masykuri Abdillah10, 15, 22, 26, 28, 29,
ma’rifatullah .......................................198 31, 32, 33, 95, 96, 135
Maarif1, 7, 25, 26, 32, 36, 136, 137, 138, Masyumi2, 9, 11, 12, 26, 27, 28, 34, 46,
139, 142, 147, 152, 159, 160, 167, 173, 47, 101, 111, 119, 133, 134, 135, 136,
174 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144,
Madinah16, 17, 18, 29, 54, 55, 56, 85, 145, 146, 147, 150, 154, 155, 156, 157,
86, 88, 89, 92, 115 158, 159, 160, 167, 168, 169, 171, 172,
Madiun................................................185 173, 175, 176, 177, 182, 183, 184, 185,
Madjid ..........................................28, 108 186, 189, 190, 192, 199, 206
Magna Charta Libertatum ..................127 Mataram .........................................81, 83
Mahasabh..............................................63 materialisme ........... 15, 99, 120, 123, 125
Mahmudah Mawardi ..........................189 Mathlaul Anwar..................................136
Majapahit............ 72, 77, 81, 83, 178, 180 Maulana Hasanuddin ............................69
Majelis Islam A’la Indonesia ........74, 136 Maulid Nabi ................................195, 209
Majelis Permusyawaratan Rakyat25, 26, Mazhab Syafii.....................................109
90, 146, 173, 205 Mbah Suro ..........................................131
Majelis Permusyawaratan Rakyat Medan2, 9, 40, 42, 43, 45, 47, 48, 55, 69,
Sementara (MPRS) ...........................26 99, 133, 149, 160, 179, 186
Majelis Syura ...... 139, 142, 183, 184, 190 Media Dakwah............................191, 218
Majelis Syura Muslimin Indonesia .....135 Melayu42, 72, 81, 102, 110, 111, 112,
Majelis Syuro Muslimin Indonesia ....135 156, 164
Makassar ....... 40, 45, 46, 47, 69, 146, 208 menikah tanpa melihat agamanya ......127

244
menteri agama ............ 140, 141, 142, 210 Muhammad Dahlan ......................74, 203
Menteri Agama105, 137, 140, 142, 188, Muhammad Ilyas ................................192
192, 202, 203, 210, 211, 212 Muhammadiyah2, 32, 43, 45, 46, 47, 56,
merah-putih ..........................................73 74, 75, 133, 134, 135, 140, 141, 143,
merintangi revolusi kita .....................173 144, 145, 146, 204, 205, 207
Mesir16, 17, 18, 31, 39, 42, 48, 62, 76, MUI4, 12, 47, 202, 204, 205, 206, 207,
80, 94, 97, 106, 119, 186 209, 210, 212, 213, 214
Meulaboh ............................................208 Mukaddimah UUD 1945 ....................162
MIAI ................................. 74, 75, 76, 136 Mukarto ..............................................140
militer14, 16, 17, 27, 100, 165, 166, 171, muktamar ....................................139, 141
172, 190, 192, 205, 211 Muktamar Ulama Seluruh Indonesia ..190
Minangkabau39, 40, 44, 45, 47, 48, 69, Muljadi Djojomartono ........................188
70, 77, 111, 117 munakahat ............................................53
Minhajut Thalibin ................................39 Munawir Sjadzali ........... 3, 18, 33, 34, 58
missi ................................... 100, 104, 106 mundus .................................................95
mission sacre ........................................62 Murba ................................. 168, 173, 176
Mission Sacre .....................................109 murtad ........................................130, 131
missionaris ..................................189, 207 Muslim Hindia ....................................103
mistik .............................. 36, 50, 104, 159 Muslim International Congres..............66
mitos .....................................................50 Muslim-nasionalis ................................66
Mochtar Ghozali .................................177 Muso ...........................................123, 185
Mochtar Lubis ...... 26, 177, 181, 182, 191 Musollini ..............................................62
modernis11, 30, 31, 32, 95, 138, 203, 204 Mustafa Kemal .............................41, 157
modernisasi ... 27, 105, 113, 114, 178, 200 Musyaffa Basyir .................................189
Modernisasi ...... 15, 16, 95, 105, 113, 114 musyawarah13, 18, 74, 80, 81, 87, 88,
modernisasi terpimpin ........................105 89, 90, 91, 144, 151, 154, 163, 167,
Modernisme11, 12, 14, 31, 34, 35, 36, 191, 193, 202
134, 135, 137, 138, 140, 152, 155, 157, Musyawarah Kebudayaan Islam
158, 159, 183, 184, 185, 186 Indonesia (BMKII) .........................190
Moelyadi Djoyomartono ............ 145, 172 Musyawarah Seniman Budayawan Islam
Mohamad Mawardi ............................204 ........................................................193
Mohammad Atho Mudzhar ................202 Muttaqien ...........................................177
Mohammad Noor................................172 Nabi Muhammad29, 51, 52, 53, 54, 55,
Mohammad Roem ...................... 119, 135 56, 57, 60, 61, 64, 65, 67, 70, 72, 85,
Mokhtar Luthfi ............................. 41, 119 86, 88, 89, 92, 93, 106, 108, 114, 115,
monarki ............................... 29, 80, 81, 82 116, 124, 131, 182, 195, 196, 212
Mononutu ............................. 36, 140, 159 Nahdlatul Ulama .... 32, 95, 135, 141, 147
Montesquieu .........................................78 Nahdlatul Wathan ..............................136
moralitas ..................... 14, 92, 95, 98, 126 Nahwu.............................................38, 39
Mosi Integral ......................................158 Namrud .................................................56
MPR25, 90, 150, 165, 168, 173, 174, Napoleon...............................................62
176, 205, 206 Nasakom .....................................121, 173
MPR-S ................................ 173, 174, 175 nasionalis Jawa .....................................51
muamalat ......................................53, 114 Nasional-Islamisme ..............................66
Muawiyah .......................................79, 80 nasionalisme2, 4, 15, 16, 17, 18, 22, 32,
Muchlas Rowi ............................... 48, 188 50, 51, 63, 64, 66, 68, 73, 76, 77, 137,
Mudzhar203, 204, 207, 208, 209, 210, 149
211, 212, 213 nasionalisme Arab ................................16
Muhajirin ........................................61, 86 Natal bersama ..................... 207, 212, 213
Muhammad Aidid...............................192 Natar Zainuddin .................................116

245
nation state .....................................15, 31 Pancasila8, 9, 10, 20, 27, 28, 32, 33, 35,
Natsir2, 6, 11, 25, 26, 27, 28, 48, 51, 94, 36, 37, 101, 131, 138, 139, 142, 145,
119, 134, 135, 137, 139, 141, 154, 158, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 155,
169, 171, 177, 182, 185, 206, 209 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164,
Nawawi .........................................39, 110 167, 168, 186, 190, 191, 208, 211, 212
negara bangsa .................................15, 31 pandangan dunia .............................14, 30
negara Islam12, 15, 18, 22, 28, 29, 37, Pandji Islam ..................................94, 179
50, 55, 56, 66, 87, 90, 95, 107, 146, Pandji Masjarakat9, 52, 62, 64, 70, 72,
147, 158 73, 79, 81, 84, 85, 86, 90, 99, 100, 104,
Negara Islam48, 51, 55, 94, 95, 101, 147, 105, 112, 113, 114, 117, 120, 121, 122,
148, 151, 158 136, 164, 175, 177, 178, 179, 180, 181,
negara Madinah .............................. 54, 55 182, 188, 189, 190, 196, 197, 198, 199,
Negara Qur’an ......................................55 206, 207, 208
negara yang berjiwa agama ............55, 57 Pandji Masyarakat ..............................178
neo-feodalisme ...................................197 Pangkopkamtib (Panglima Komando
netral agama ......................... 76, 102, 104 Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)
NGB......................................................62 ........................................................211
NGB (Nedherlandch Pan-Islamisme ..........................18, 66, 67
Bijbblegenootschap/Persekutuan Injil Panitia Pembina Djiwa Revolusi ........174
Belanda) ............................................62 Panitia Persiapan Kemerdekaan
Nibras ...................................................47 Indonesia...................................35, 146
Njoto ........... 149, 159, 170, 186, 190, 192 Panitia Persiapan Konstitusi ......147, 154
non-Islam ...................... 72, 146, 190, 194 Panji Masyarakat9, 46, 47, 48, 55, 69,
NU26, 32, 74, 94, 95, 135, 136, 138, 139, 91, 96, 98, 105, 106, 108, 110, 121,
140, 141, 142, 143, 146, 147, 167, 168, 125, 129, 130, 162, 198, 205, 209, 213,
172, 173, 176, 185, 192, 203 214
Nurcholish Madjid ........................ 28, 108 pantun ...........................................42, 196
Nusantara62, 71, 81, 99, 100, 101, 103, Parabek ...........................................40, 41
104, 109, 110, 148, 156, 182, 194 Paradigma ........................... 15, 28, 30, 94
Nuzulul Qur’an ...................................209 Parindra ........................................77, 140
Nyi Roro Kidul .....................................83 Parkindo.............................. 140, 147, 168
oposisi... 21, 166, 173, 177, 182, 199, 205 parlementer ..................... 5, 149, 165, 181
Orde Baru4, 5, 12, 26, 27, 28, 30, 47, 50, Parmusi ...................................26, 27, 199
175, 198, 199, 205, 206, 207, 208, 212 Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ...26
Orde Lama4, 5, 10, 12, 26, 28, 46, 121, PARSI .................................................138
179, 183, 190, 198, 199, 204, 207, 208 partai Buruh ........................................147
orientalis ..................... 103, 104, 105, 106 Partai Buruh........................ 138, 140, 169
ortodok .......................................114, 122 Partai Indonesia Raya ...........................77
Osman Raliby ............................... 27, 189 Partai Islam Indonesia ..................75, 135
otodidak ................................................41 Partai Katolik .....................................147
Otokrasi ..............................................165 Partai Komunis Indonesia118, 138, 183,
otonomi daerah ...................................171 184
otoritas...................................... 13, 20, 23 Partai Kristen Indonesia .....................147
P4 (Pedoman Penghayatan dan partai Murba .......................................147
Pengamalan Pancasila) ...................211 Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
Paderi ..............................................38, 70 ........................................................135
Pakistan .................................. 19, 34, 148 Partai Sosialis Indonesia46, 138, 147,
Palembang ............ 46, 109, 139, 156, 190 172
Pan Islamisme ............... 15, 18, 65, 66, 67 Pasal 29 ayat 2 ....................................164
Pan-Arabisme .......................................17 Pattimura ..............................................69

246
Paus ........................................ 79, 96, 130 Permi ..............................................76, 77
Payakumbuh .......................................205 Pernyataan Majelis Ulama Indonesia
PB NU ................................................141 Menghadapi Pemilu ........................206
PBB ............................ 126, 127, 130, 131 Persatuan Islam (Persis) .........32, 95, 135
PBI (Partai Buruh Indonesia) .............138 persatuan kebangsaan Arab seluruhnya61
Pedoman Masjarakat2, 9, 42, 54, 58, 59, Persatuan Muslimin Indonesia .............76
60, 61, 66, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79, Persatuan Penghulu dan Pegawai .......135
81, 85, 93, 102, 103, 116, 119, 133, Persatuan Tarbiyah Islamiyah138, 139,
178, 179 147
Pedoman Masyarakat .....................45, 47 Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
Pegangsaan Timur ..............................171 ........................................................135
Pegon ..................................................156 Persatuan Umat Islam ........................135
Pekalongan ...........................................43 Persatuan Ummat Islam Indonesia .....135
pelajaran umum ..................................102 persaudaraan Islam ...............................66
Pelita Andalas.......................................47 Persia ......................................80, 93, 111
pembaharuan2, 3, 18, 23, 32, 39, 43, 50, Persis ................................ 32, 76, 95, 135
67, 108 personlijk ............................................169
pembangunan26, 87, 93, 144, 157, 202, Perti .............................. 26, 138, 147, 173
204, 210 pesantren...............................32, 102, 142
Pembukaan UUD 194573, 149, 159, 161, Pesantren ......................................20, 102
165 Peter L Berger ......................................96
Pemerintah Revolusioner Republik Piagam Jakarta11, 35, 36, 37, 51, 137,
Indonesia.........................................171 146, 147, 149, 150, 151, 153, 154, 159,
pemikiran politik Islam ..........................3 160, 162, 199
Pemilu ... 20, 25, 27, 46, 50, 134, 159, 206 PII .................................................75, 135
pemimpin besar revolusi.....................173 pindah agama ..............................130, 207
pemurtadan .................................129, 130 PKI26, 36, 46, 118, 119, 138, 139, 142,
Pencerahan ............................................14 146, 147, 148, 149, 159, 167, 168, 170,
Pendidikan netral agama ....................102 172, 173, 176, 183, 184, 185, 186, 188,
Penguasa Perang Pusat ............... 177, 180 189, 190, 191, 192, 204, 207
penjajah66, 72, 90, 99, 100, 101, 103, PMP (Pendidikan Moral Pancasila) ....213
104, 109, 110, 111, 113, 114 PNI76, 138, 139, 140, 142, 146, 147,
penjajahan3, 14, 62, 66, 68, 69, 85, 99, 154, 159, 167, 168, 171, 172, 173, 174,
100, 101, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 176, 188, 191
117, 125, 127, 130, 148, 179, 208 PNI Staatpartij ...................................138
Penyadar .............................................135 politik etis...........................................101
penyakit kebangsaan ............................61 politik Islam3, 4, 5, 11, 13, 15, 16, 18,
Peperpu .......................................177, 180 19, 22, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34,
peradaban13, 14, 15, 17, 19, 54, 56, 57, 35, 36, 37, 90, 93, 107, 135, 138, 146
62, 65, 72, 85, 89, 96, 98, 106, 110, politik modern4, 10, 15, 16, 23, 29, 32,
112 34, 48
Perancis .................................. 70, 98, 127 Pontianak ............................................199
Perang Dunia I ......................................18 Portugis ..............................................156
Perang Salib .................. 99, 100, 106, 209 PPKI ....................... 35, 37, 137, 146, 150
Perikatan Ummat Islam ......................135 PPP .....................................................206
periode formatif ....................................50 Prawoto26, 119, 134, 135, 139, 140, 150,
Perjanjian Lama ....................................97 154, 155, 159, 177, 190, 199, 209
Perjanjian Meja Bundar ......................136 PRI (Partai Rakyat Indonesia) ............167
Permalim ..............................................69 pribumi ......................... 69, 101, 102, 192
Permesta .............................................171 priyayi ...................................26, 103, 191

247
proklamasi35, 48, 101, 127, 136, 137, Res Publica .................................166, 170
147, 207 Revolusi Fisik ............... 2, 7, 48, 133, 184
Proklamasi 17 Agustus 1945 ..............146 revolusi mental .....................................84
proletar ......................... 96, 120, 124, 125 Revolusi Perancis ...................14, 98, 127
propaganda36, 50, 75, 104, 105, 117, revolutie grondwet .............................146
118, 159, 186, 208 RHM Adnan .......................................135
Protestan ............... 96, 100, 130, 209, 211 riba ......................................................126
provokatif ...................................169, 170 Ricklefs ........................... 27, 28, 173, 174
PRRI ................................... 144, 169, 171 Ridha ...................... 18, 22, 23, 30, 43, 90
PS Da Cunha ......................................149 RIS ......................................................158
PSI26, 46, 140, 147, 167, 168, 171, 173, Risalah Perundingan9, 111, 112, 135,
176, 177, 182, 189, 199 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154,
PSII26, 75, 135, 136, 138, 139, 140, 143, 156, 157, 166, 167, 168, 169, 170, 171,
147, 168, 173, 176, 185 173, 223
puasa ...............................................53, 54 Roem6, 10, 26, 27, 119, 139, 140, 175,
Puisi Natsir .........................................169 177, 190, 205
Purwokerto ...........................................46 Roeslan Abdoelgani ............................174
PUSA ..........................................135, 185 Romawi ....................................93, 97, 98
Pusat Dakwah Islam ...........................203 Rosihan Anwar ...........................182, 189
Pusroh .........................................188, 192 Rousseau .........................................78, 86
Qadian ................................................136 RP Suroso ...........................................140
qanun ....................................................23 Rukun Islam..........................................53
Quraisy ...........................................17, 92 rumah sakit Baptis ..............................210
R Soerojo Wongsowidjojo..................188 Rusia ............... 62, 70, 121, 122, 124, 125
Raden Sumardjito ...............................170 Rusydi39, 40, 45, 46, 47, 48, 108, 146,
Rahim Haitami .....................................45 177, 178, 182, 187, 188, 189, 190, 195,
Rahim Mufty ......................................186 204, 205, 206, 208, 209, 210, 213
Raihanah ...............................................39 Sabilillah .............................................133
raja64, 69, 78, 80, 82, 84, 85, 86, 87, 96, saeculum ...............................................95
99, 111, 127, 180 sala>m .....................................................64
Raja Aji.........................................70, 148 salaf al-s}a>lih .................. 20, 30, 33, 34, 58
Raja Ali Haji .......................................110 Salafi ...............................................20, 22
Raja Fuad ............................................107 salafisme ...............................................18
RAPBN .......................................155, 172 Samsuridjal .........................................119
ras ..................................... 63, 64, 86, 126 santri .............................................26, 142
Ratna Suci Kelas I ..............................171 Sardjan ........................................140, 154
Ratu Asia ............................................195 Sarekat Islam2, 32, 50, 118, 136, 156,
realisme ........................................30, 124 182
realistis ........................... 35, 46, 154, 187 Sari Asih .............................................207
Recht Hooge School ...........................103 sastrawan ....................................3, 7, 186
reformasi ................................. 16, 67, 178 Saudi Arabia .........................................76
Reformasi ..................... 14, 15, 32, 43, 95 sayyid..................................................107
Rehabilitasi Masyumi.........................199 Schrieke ..............................................103
Remy Madinier ............. 11, 135, 137, 155 sedekah .........................................53, 126
Renaisans ......................................14, 101 Sejarah2, 3, 10, 48, 50, 58, 137, 139, 173,
Republik Indonesia Berdasarkan Islam 174, 175, 205
........................................................158 Sekolah Desa ........................................40
Republik Islam................................ 19, 23 sekular15, 16, 17, 18, 22, 37, 50, 76, 94,
Republik Islam Indonesia Berdasarkan 98, 122, 137, 138, 148, 159, 162
Pancasila .........................................158

248
sekularisme14, 21, 30, 88, 94, 95, 96, 97, Soekarno4, 9, 25, 26, 36, 37, 46, 47, 48,
99, 104, 157 51, 70, 71, 73, 94, 95, 121, 137, 138,
sekularisme lunak .................................96 144, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153,
sekularisme pasif ..................................96 154, 155, 159, 164, 165, 166, 167, 168,
sekularisme radikal ...............................96 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176,
Sekutu ...........................................45, 136 177, 179, 180, 181, 182, 185, 188, 189,
seni44, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 191, 198, 199
197, 198 Soekiman ..............................75, 135, 173
seni itu bermula dari rasa cinta ..........197 Soewirjo......................................154, 171
seni untuk kebaktian ke hadirat Allah 193 Solo ........................... 40, 45, 76, 190, 192
seni untuk rakyat ........................ 193, 197 sosial-ekonomi ....................................147
seni untuk seni ............................ 191, 193 sosialis ........................ 125, 137, 159, 183
seni untuk seni semata........................191 sosialisme ............... 43, 50, 119, 120, 123
Sentot ...................................................70 Sosialisme Indonesia ..................174, 235
Sentot Ali Basyah ................................70 spirit perlawanan ................................117
Seruan Azhar ................................41, 119 Sriwijaya .......................................72, 180
Seruan Islam .........................................47 staatshoofd ...........................................73
Shadiq ar-Rafii .....................................42 Stalin ..........................................124, 185
shalat 40, 53, 54, 58, 77, 83, 88, 157, 204 Studenten Islam Studieclub ...............119
shalat Id ..............................................179 studi terpimpin ...................................103
Sharaf .............................................38, 39 Suara Muhammadiyah ..........................47
Shari>f al-Muja>hid ........................... 18, 67 Subadio Sastrosatomo ........................177
Shaykh al-Azhar. ................................107 Sudijono Djojoprajitno .......................173
Shu Sangi Kai .....................................133 Sudirman ......................................48, 188
shu>ra>13, 23, 30, 80, 81, 87, 88, 89, 90, Sudjatmoko ..................................36, 159
91, 116, 163 Suhelmi .....................................51, 94, 95
SI 2, 32, 43, 44, 50, 51, 74, 76, 118, 119, Sukarno-Hatta ......................................70
136, 182 Sukiman ......................................139, 141
SI Merah .............................................118 suku bangsa .............. 61, 63, 67, 126, 180
Si Sabariyah..........................................47 Sulaiman ...............................................56
Si Singamangaraja ................................69 Sultan Adam Al-Watsiq Billah ..........156
sidang tanwir .............................. 143, 144 Sultan Jogja ........................................140
Siddik Djojosukarto ................... 139, 142 Sultan Khairun .............................69, 148
Sidi Gazalba 179, 189, 190, 191, 193, 194 Sultan Malikuzh Zhahir ......................109
Sigmund Freud ...................................122 Sultan Ternate ......................................39
silat .......................................................42 Sumanang ...........................................140
Simburtjahaja .....................................156 Sumatera Barat .....................46, 133, 169
Sinar Sumatra .......................................41 Sumatera Thawalib ..............................40
Singapura ..............................................47 Sumitro Djojohadikusumo .................140
sinkretis ..............................................104 Sumpah Pemuda ...................................72
SIS ......................................................119 Sumpur Kudus ....................................169
Siti Khadijah ........................................40 Sumual ................................................171
Siti Raham ............................................39 Sunan Kalijogo ...................................194
Sjahrir ............................. 25, 26, 177, 190 Sungai Batang ................................38, 39
Sjamsuddin Syafei ..............................195 Sunnah .......... 19, 52, 53, 57, 86, 114, 136
SOB ....................................................171 Sunni .....................................................17
SOB – Staat von Orloog en Beleg......171 Surat Edaran Menteri Agama No 3/1978
Soeharto26, 164, 198, 202, 205, 206, ........................................................211
208, 209, 210, 211 Surat Keputusan Menteri Agama No 70
........................................................210

249
Suryopranoto .................. 43, 51, 119, 133 Taufik Abdullah ............... 2, 50, 137, 173
Sutan Mansur ............................. 133, 206 tauhid13, 36, 44, 54, 60, 61, 69, 70, 83,
Suwarto ..............................................140 84, 85, 86, 91, 92, 158, 162, 170, 196,
Syafiah ..................................................39 197, 198
Syafii Maarif .............................. 136, 174 Taurat .............................................93, 98
Syafruddin Prawiranegara119, 124, 137, TB Simatupang ..................................209
171 Tedjasukmana .....................................140
Syahriar Rasad ....................................177 tegen-conceptie ..................................151
Syaifullah ........................... 134, 143, 144 Teistik Demokrasi ................................. 2
Syakib ...................................................40 Tenggelamnya Kapal Van Der Wick..186
Syam ......................... 76, 80, 92, 173, 176 Tenno Heika .......................................171
Syamsuddin al-Sumatrani ..................110 Tentara Islam Indonesia ...............35, 185
syariah .................. 13, 15, 23, 30, 33, 183 teo-demokrasi .......................................31
syariat13, 19, 36, 37, 52, 53, 54, 56, 57, Teo-demokrasi ....................................... 2
61, 86, 89, 97, 108, 109, 114, 115, 138, teokrasi ........... 21, 29, 57, 58, 82, 96, 163
146, 183 teologis ........................... 19, 79, 129, 213
Syarif Husain ................................ 39, 107 Tetsuzo Nakashima ............................133
Syauqi Beiy ..........................................42 Teuku Cik Ditiro ....................69, 70, 148
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Teuku M Hasan ....................................45
..........................................................39 Thaha Husain ......................................108
Syekh Amrullah ....................................39 Thahir Djalaluddin .........................38, 39
Syekh Ibrahim Musa.............................40 Thawalib ....................... 76, 116, 117, 133
Syiah .....................................................23 tidak lantas menerima Pancasila sebagai
syirik ....................... 68, 85, 114, 129, 193 dasar negara ............................158, 160
Syria .....................................................17 TII ................................. 35, 142, 185, 186
Syukri Ghozali ............................ 202, 206 Tjokroaminoto34, 40, 43, 51, 70, 71, 73,
t}a>g}u>t......................................................20 75, 119, 122, 133, 136, 148, 156, 183,
t}a>gu>t....................................................114 188, 195
ta`abbudi .................................. 87, 88, 115 TNI ............... 48, 171, 172, 176, 192, 195
ta`aqquli ................................... 87, 88, 115 toleransi .............................. 208, 212, 213
Tabligh .................................................45 totalitarianisme .................. 168, 169, 182
Tafsir al-Azhar6, 7, 8, 10, 43, 49, 52, 55, totaliter ......................... 46, 168, 169, 170
64, 80, 85, 87, 88, 89, 90, 97, 98, 100, tradisional ............. 14, 15, 30, 33, 58, 103
102, 103, 104, 106, 109, 110, 112, 113, tradisionalis ...................... 22, 32, 95, 204
114, 115, 116 trias azasi ..............................................52
Tafsir Azas .........................................185 Trias Politica ..............................168, 169
Tafsir Jalalain .......................................39 trias politika .........................................21
taklid ....................... 41, 57, 100, 103, 114 Trimurti ................................................97
Takwa ...................................................90 Trinitas .................................................97
Taman Ismail Marzuki .......................197 Tujuh Kata ..........................................153
Taman Pustaka .....................................45 Tulungagung .......................................205
Taman Sriwedari ................................192 Tun Sri Lanang ...................................110
Tambunan ...................................177, 209 Turki15, 16, 17, 18, 22, 29, 41, 56, 76,
tanah air58, 59, 60, 63, 64, 68, 71, 75, 80, 94, 106, 107, 157, 185
191, 194 ukhuwah islamiyah .......................66, 180
Taqiy al-Din al-Nabhani................. 19, 30 ulama3, 7, 20, 23, 31, 38, 43, 47, 57, 69,
tarekat .............................................38, 39 75, 103, 110, 111, 135, 139, 156, 172,
Tarekat Naqsyabandiyah ......................38 173, 184, 187, 192, 193, 195, 202, 203,
Tasawuf6, 7, 10, 38, 47, 56, 86, 90, 91, 205, 206, 208, 213
100, 156, 223 ultimatum ...........................................140

250
Umar ............. 19, 55, 56, 69, 80, 129, 148 Wensinck ............................................103
Umar bin Khattab ................... 19, 80, 129 Wibisono ............................................173
umara ..................................................205 wijda>n ...................................................59
Umayyah ..............................................29 Wilopo ................ 139, 140, 150, 154, 166
Undang-undang Dasar 1950 ...............151 Wilson ............................................63, 96
Undang-undang Peutumuruhum .........156 Wondoamiseno .....................................74
Uni Soviet ..........................................121 Wongsonegoro ..............................36, 159
Universal Declaration of Human Rights worldview .......................................14, 15
........................................................127 Yahudi ................ 56, 62, 93, 97, 129, 209
Universitas Muslim Indonesia (UMI) 146 Yaman .............................. 39, 80, 93, 129
urat tunggang ............................. 161, 162 Yamin ..................... 34, 76, 159, 162, 169
Usdek .................. 174, 175, 179, 180, 187 Yatsrib ............................................54, 93
Usmar Ismail .............................. 186, 191 Yayasan Perpustakaan Islam ..............188
Utsman ...........................................55, 56 Yazid ....................................................79
UUD35, 36, 73, 146, 149, 150, 151, 152, Yogyakarta2, 8, 11, 43, 46, 47, 52, 62,
153, 154, 155, 158, 159, 160, 161, 162, 135, 136, 137, 139, 143, 145, 191
163, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 171, Yudi Latif ......................... 3, 50, 101, 102
172, 173, 174, 175, 181, 199, 211, 235 Yunan Nasution ............ 27, 177, 178, 190
UUD 194535, 36, 149, 150, 151, 152, Yunan Yusuf .....................................6, 41
153, 154, 155, 159, 161, 162, 163, 164, Yusril Ihza Mahendra3, 7, 11, 12, 34, 35,
165, 166, 168, 169, 170, 172, 173, 174, 36, 76, 134, 135, 137, 138, 140, 152,
175, 199, 211, 235 155, 157, 158, 159, 173, 176, 183, 184,
UUD kilat ...................................146, 150 185, 186
UUDS 1950 ........................................158 Yusuf Wibisono ..................................119
Vatikan .................................................99 Zainal Abidin Ahmad ......... 158, 179, 185
Vivere Pericoloso ...............................191 Zainal Arifin Abbas ..............................45
Volksraad ........................................74, 75 Zainuddin Labai .................................116
Voltaire ...........................................70, 78 zakat ................................. 13, 54, 95, 126
Wahab ........... 74, 135, 139, 140, 141, 188 Zaki Mubarak ...............................42, 108
Wahabi..........................................22, 107 Zaky ......................................................40
Wahid Hasyim ............ 105, 135, 137, 162 zalim .....................................................53
wakil Allah .....................................19, 81 zending ....................... 100, 104, 189, 208
Wali Al-Fatah ............................... 75, 135 Zending ...............................................100
waris ...................................................126 Zia Gokalp ............................................17
wartawan 3, 42, 43, 45, 90, 172, 175, 181

251
Lampiran I

252
Lampiran VIII

260

Anda mungkin juga menyukai