Anda di halaman 1dari 111

TESIS

PENGARUH PEMBERIAN MASSAGE ABDOMEN TERHADAP


PENURUNAN KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE ISKEMIK
di RUANG PERAWATAN NEUROLOGI DAN BRAIN CENTER
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

THE EFFECT OF ABDOMINAL MASSAGE TO DECREASE


CONSTIPATION in STROKE ISCHEMIC PATIENTS at THE
DEPARTMENT OF NEUROLOGI AND BRAIN CENTER
DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO HOSPITAL
MAKASSAR

FERLY YACOLINE PAILUNGAN


P4200215019

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PENGARUH PEMBERIAN MASSAGE ABDOMEN TERHADAP
PERUBAHAN KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE ISKEMIK
di RUANG PERAWATAN NEUROLOGI DAN BRAIN CENTER
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan

Disusun dan diajukan oleh:

FERLY YACOLINE PAILUNGAN


P4200215019

Kepada:

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama : Ferly Yacoline Pailungan
NIM : P4200215019
Program Studi : MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
Fakultas : KEPERAWATAN
Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN MASSAGE ABDOMEN
TERHADAP PENURUNAN KONSTIPASI PADA
PASIEN STROKE ISKEMIK DI RUANG
PERAWATAN NEUROLOGI DAN BRAIN CENTER
RSUP DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR.

Menyatakan bahwa tesis saya ini asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Magister baik di Universitas Hasanuddin maupun di
Perguruan Tinggi lain. Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan
dicantumkan dalam daftar rujukan.
Apabila dikemudian hari ada klaim dari pihak lain maka akan menjadi
tanggung jawab saya sendiri, bukan tanggung jawab dosen pembimbing atau
pengelola Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Unhas dan saya bersedia
menerima sanksi akademik sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk
pencabutan gelar Magister yang telah saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada
paksaan dari pihak manapun

Yang menyatakan,

Makassar, 30 November 2017

Materai
Rp 6.000
Ferly Yacoline Pailungan
PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Pengaruh Pemberian Massage Abdomen Terhadap Penurunan Konstipasi Pada

Pasien Stroke Iskemik di Ruang Perawatan Neurologi dan Brain Center RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2017”. Maksud dan tujuan penyusunan

tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh program strata

dua pada Program Magister Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin.

Hal yang melatar belakangi penelitian tersebut yaitu berdasarkan

pengamatan penulis sebelumnya ditemukan tingginya kejadian konstipasi pada

pasien stroke dan hal tersebut jika tidak ditangani maka akan menimbulkan masalah

baru atau komplikasi lainnya yang dapat memperlama perawatan pasien. Massage

Abdomen diajukan sebagai salah satu solusi untuk menurunkan konstipasi pada

pasien dan menjadi fokus utama dalam penelitian ini.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam penyusunan tesis ini.

Akan tetapi berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, maka tesis ini dapat

selesai pada waktunya. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis pertama-tama ingin

menyampaikan terima kasih kepada dr.Cahyono Kaelan., Ph.D.,Sp.PA(K).,Sp.S

selaku ketua komisi penasehat serta Rini Rachmawaty,S.Kep.,Ns.,MN.,Ph.D

sebagai sebagai anggota komisi penasehat, atas bantuan dan bimbingan yang telah

diberikan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan

penulisan tesis ini. Kedua, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Takdir

Tahir S.Kep.,Ns.,M.Kes, Syahrul, S.Kep.,Ns.,M.Kes.,Ph.D dan Dr.dr. Ilhamjaya


Patellongi, M.Kes, sebagai tim penguji atas segala masukan dan kritikan

membangun yang diberikan pada penulis selama ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ingin haturkan pada

Direktur RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar beserta jajarannya yang telah

memberikan penulis kesempatan untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit ini,

serta rekan-rekan perawat di ruang Perawatan Neurologi Lontara 3 dan Brain

Center yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Tak lupa pula penulis

menyampaikan rasa haru dan bangga atas dukungan tak terhingga dari kedua orang

tua dan keluarga penulis yang memberikan dukungan moril dan materil agar

penelitian ini bisa tetap terwujud meski dengan segala keterbatasan yang dimiliki.

Terakhir, penulis tulus menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka yang

namanya tidak dapat dicantumkan satu persatu tetapi telah berkontribusi besar

dalam membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis mengharapkan penyusunan tesis ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak dan juga semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua pihak

yang telah berjasa kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan dengan

segala kebaikan.

Makassar, 30 November 2017

Ferly Yacoline Pailungan


ABSTRAK

Ferly Yacoline Pailungan. Pengaruh Pemberian Massage Abdomen terhadap


penurunan konstipasi pada pasien stroke iskemik di Ruang perawatan Neuro dan
Brain Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (dibimbing oleh
Cahyono Kaelan dan Rini Rachmawaty)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan skor konstipasi berdasarkan
Constipation Assensment Scale (CAS) pada pasien stroke iskemik yang menjalani
rawat inap di ruang perawatan Neurologi dan Brain Center RSUP Dr Wahidin
Sudirohusodo Makassar setelah penerapan massage abdomen. Massage Abdomen
dapat menurunkan konstipasi melalui beberapa mekanisme yang berbeda-beda
antara lain dengan menstimulasi sistem persarafan parasimpatis sehingga
menurunkan tegangan otot abdomen, meningkatkan motilitas sistem pencernaan
serta memberikan efek pada relaksasi sfingter.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Quasy Eksperiment pendekatan
longitudinal study dengan tehnik pengambilan sampel, yaitu penyampelan
konsekutif. Responden penelitian sebanyak 30 orang dibagi ke dalam 2 kelompok,
yaitu kelompok intervensi yang diberikan massage abdomen dan mobilisasi
sebanyak 15 orang dan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan mobilisasi
sebanyak 15 orang. Pada kelompok intervensi massage abdomen diberikan sekali
dalam sehari selama 3 hari berturut-turut. Jenis uji statistik yang digunakan untuk
melihat perbedaan skor konstipasi antara kelompok intervensi dan kontrol adalah
uji repeated measures ANCOVA.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa diperoleh nilai p=0,001 berarti p<0,05
sehingga hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada skor
konstipasi (CAS) antara kelompok intervensi massage abdomen dan kelompok
kontrol. Massage Abdomen terbukti memiliki pengaruh terhadap penurunan
konstipasi.
Kata kunci: Stroke, Massage Abdomen, Konstipasi, CAS
ABSTRACT

Ferly Yacoline Pailungan. The Effect of Abdominal Massage Constipation to


Decreasing Constipation in Ischemic Stroke patients at Neuro Care Unit and
Center Brain RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (supervised by
Cahyono Kaelan and Rini Rachmawaty)
This research aims to determine the Constipation Assesment Scale (CAS)
in ischemic stroke patients who undergo hospitalization at Neurologi Care Unit and
Brain Center RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar after application of
abdominal massage. Abdominal Massage can decrease constipation through several
different mechanisms, among others, by stimulating the parasympatic innervation
system, decreasing abdominal muscle tension, improving digestive system motility
and giving effect to sphincter relaxation.
This research is a type of Quasy Experiment study of longitudinal study
approach with sampling technique, that is consecutive sampling. The research
respondents were 30 people divided into 2 groups, i.e intervention group given
abdominal massage and mobilization as many as 15 people and the control group
who only get 15 people mobilization. In the intervention group the abdominal
massage given once a day for three consecutive days. The type of statistical test
used to see the difference in constipation score between the intervention and control
group was the repeated measures ANCOVA.
The result of the statistic test indicate the value of p = 0,001 means p <0.05
so it shows that there is a significant difference of Constipation Assesment Scale
(CAS) between the abdominal massage intervention group and the control group.
Abdominal massage is shown to have an effect on decreasing constipation.
Keywords: Stroke, Abdominal Massage, Constipation, CAS
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
LEMBAR PENGAJUAN TESIS........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS........................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.................................................................... iv
PRAKATA............................................................................................................. v
ABSTRAK.............................................................................................................vii
ABCTRACT....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xii
DAFTAR GRAFIK........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian.................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian.................................................................................. 10
E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian........................................................ 11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur................................................................................... 13
B. Konsep Teori Keperawatan .................................................................... 46
C. Kerangka Teori........................................................................................ 53
BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konsep Penelitian................................................................... 54
B. Variabel Penelitian.................................................................................. 54
C. Hipotesis Penelitian................................................................................ 55
D. Definisi Operasional & Kriteria Objektif................................................. 56
BAB IV. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian.................................................................................... 58
B. Tempat dan Waktu Penelitian................................................................ 59
C. Populasi,Tehnik Sampling dan Sampel.................................................. 59
D. Instrumen, Metode & Prosedur Pengumpulan Data.............................. 60
E. Analisa Data........................................................................................... 66
F. Etik Penelitian......................................................................................... 68
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian......................................................................................... 73
B. Pembahasan.............................................................................................. 81
C. Keterbatasan Penelitian............................................................................ 88
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 89
B. Saran........................................................................................................ 89
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Tabel 1 Klasifikasi terapi laksatif ................................................... 32
Tabel 2 Skala penilaian konstipasi (Constipation Assesment Scale) ... 41
Tabel 3 Definisi Operasional ....................................... ...................... 56
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Demografi Responden .......................... 75
Tabel 5 Distribusi Frekuensi karakteristik status klinik....................... 76
Tabel 6 Gambaran status BAB....................................................... .... 77
Tabel 7 Perbedaan Skor Konstipasi (CAS) sepanjang pengukuran .... 78
Tabel 8 Perbedaan Skor Konstipasi (CAS) antara kelompok.............. 80
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
Gambar 1 Pengosongan katup ileosekal .................................................... 23
Gambar 2 Refleks Defekasi ....................................................................... 24
Gambar 3 Managemen konstipasi ............................................................... 37
Gambar 4 Proses massage abdomen ............................................................... 43
Gambar 5 Framework Teori Self Care................................................................. 50
Gambar 6 Kerangka Teori..................................................................................... 53
Gambar 7 Kerangka Konsep Penelitian................................................................. 54
Gambar 8 Alur Pelaksanaan Penelitian................................................................. 61
Gambar 9 Proses pengambilan sampel penelitian ................................................ 63
DAFTAR GRAFIK

Nomor Halaman
Grafik 1 Perbedaan Skor CAS antara kelompok............................. 80
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Permohonan Menjadi Resonden


Lampiran 2 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3 : Kuesioner Data Demografi Responden
Lampiran 4 : Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Massage Abdomen
Lampiran 5 : Lembar Monitoring Responden
Lampiran 6 : Hasil Uji Statistik
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan satu dari beberapa penyakit penyebab kematian di

dunia utamanya Indonesia. Selain kematian stroke juga menimbulkan kecacatan

neurologis dan beberapa komplikasi. Menurut WHO (2010) setiap tahunnya

diseluruh dunia terdapat 15 juta orang yang menderita stroke, sekitar 6 juta

orang mengalami kematian dan 6 juta orang lagi mengalami kecacatan

permanen. Diprediksikan angka kematian tersebut akan terus meningkat

menjadi 8 juta ditahun 2030.

Di Indonesia sendiri stroke merupakan penyebab kematian utama yang

ditemukan di rumah sakit pemerintah, diperkirakan sekitar 15% kematian di

rumah sakit disebabkan oleh stroke dan kecacatan mencapai 65% . Prevalensi

stroke yang diperoleh dari data RIKESDA adalah sebesar 7 per mil dan yang

gejalanya terdiagnosis oleh tenaga kesehatan yaitu sebesar 12,1 per mil.

Sekitar 2,5 persen dari jumlah total penderita stroke di Indonesia meninggal

dunia dan sisanya mengalami gangguan atau cacat ringan maupun berat pada

tubuhnya post stroke. Tingkat kejadian stroke berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan dengan gejala tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan

(17,9‰), kemudian disusul oleh DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah

(16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil (Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia, 2013).


Di kota Makassar sendiri penyakit stroke termasuk dalam 10 jenis

penyakit penyebab utama kematian dengan angka kejadian sebesar 96 orang

ditahun 2013 (Dinas kesehatan Kota Makassar, 2013).

Data pasien stroke di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo khususnya di

ruang perawatan neuro sejak bulan Oktober – Desember 2016 adalah sekitar 86

pasien, yaitu pada bulan Oktober sebanyak 29 pasien stroke, 12 pasien

hemoragik stroke (HS) dan 17 pasien non hemoragik stroke (NHS), pada bulan

November terdapat 25 pasien stroke, 8 pasien HS dan 17 pasien NHS serta pada

bulan Desember dirawat 32 pasien stroke, 14 pasien HS dan 18 NHS, (rekam

medik RSWS, 2016). Berdasarkan data – data yang dipaparkan diatas, jelas

bahwa angka kejadian stroke khususnya stroke iskemik (NHS) di RSUP Dr

Wahidin Sudirohusodo masih sangat tinggi (Rekam Medik RSUP Dr Wahidin

Sudirohusodo, 2016).

Selain kematian, pasien yang terkena serangan stroke akan mengalami

masalah kecacatan, seperti hemiparese, hemiplegia, paraparese, paraplegia,

disfagia dan afasia. Ini tergantung bagian mana yang mengalami masalah.

Lemahnya bagian tubuh pasien menyebabkan pasien immobilisasi sehingga

dapat terjadi beberapa komplikasi seperti dekubitus, atrofi otot dan salah

satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah konstipasi.

Konstipasi merupakan salah satu masalah gastrointestinal dimana

terjadi gangguan motilitas usus yang ditandai dengan adanya perubahan pola

eliminasi defekasi atau buang air besar dimana terjadi penurunan frekuensi

defeksi, sensasi tidak puas setelah defekasi, dan defekasi terjadi kurang dari 3
kali seminggu atau lebih dari 2 hari tidak defekasi (Smeltzer & Bare, 2013;

Hadi, 2013; Sinclair, 2010).

Pada pasien stroke yang mengalami immobilisasi konstipasi dapat

terjadi karena pada saat pasien mengalami penurunan aktivitas akan

menyebabkan penurunan fungsi otot abdominal, penurunan peristaltik usus

yang dapat memperlama pasase feses sehingga pasien mengalami penurunan

frekuensi defekasi atau BAB, feses keras dan sulit dikeluarkan dan pasien

mengeluh nyeri saat BAB, (Smeltzer & Bare, 2013; Sinclair, 2010; Hadi, 2013;

Douglas, Nicol & Robertson; 2014).

Angka kejadian konstipasi cukup tinggi pada penderita stroke hal

ini dibuktikan dalam penelitian (Su et al, 2009). Penelitian ini dibuat untuk

menyelidiki prevalensi kejadian konstipasi, faktor resiko dan dampaknya

setelah serangan stroke pertama. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa

kejadian konstipasi setelah stroke itu bervariasi sekitar 30% - 60%. Kesimpulan

dari penelitian ini menyebutkan bahwa konstipasi adalah komplikasi umum dari

stroke akut dan kejadiannya berhubungan dengan immobilisasi dan penggunaan

pispot untuk buang air besar.

Penelitian lain yang mendukung penelitian diatas adalah penelitian

(Lim et al, 2015) yang membahas tentang kejadian konstipasi pada pasien

stroke dibandingkan dengan pasien ortopedi dirumah sakit. Kesimpulan dari

hasil penelitian ditemukan bahwa kejadian konstipasi lebih tinggi pada pasien

stroke dibanding pasien gangguan orthopedi.

Dari hasil survey awal diruang perawatan Neurologi RS Dr Wahidin

Sudirohusodo pada bulan November – Desember 2016, ditemukan bahwa dari


35 orang pasien stroke iskemik yang mengalami immobilisasi, terdapat 32

(91,4%) pasien yang mengalami konstipasi. Berdasarkan penelitian dan data

yang ada maka sangat jelas bahwa masalah konstipasi sering terjadi pada

pasien yang mengalami stroke iskemik khususnya pasien dengan

immobilisasi.

Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit tetapi gejala atau masalah

yang ditimbulkan karena penyakit tertentu, namun jika tidak diatasi maka akan

menimbulkan komplikasi lain. Dalam (Williams & Hopper, 2007) dijelaskan

bahwa komplikasi yang bisa terjadi jika konstipasi pada pasien diabaikan

diantaranya Impaksi fekal, hal ini dapat terjadi ketika feses begitu kering

sehingga tidak bisa dikeluarkan. Iritasi pada mukosa usus akibat feses yang

mengeras, jika pasien memiliki riwayat gagal jantung, hipertensi, infark

miokard, mengedan kuat saat BAB dapat mengakibatkan peningkatan kerja

pada jantung, pecahnya pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan

kematian. Dapat juga terjadi pelebaran usus atau megacolon, obstruksi usus,

hemoroid, hernia, penurunan sensitivitas anus dan distensi abdomen. Melihat

komplikasi yang ada maka sangat penting melakukan penanganan yang tepat

pada kasus – kasus konstipasi.

Penanganan konstipasi saat ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Terapi farmakologis yang

dapat dilakukan adalah pemberian laksatif berupa Forming Laxatives, Stool

Softeners Docusate Sodium, Osmotic Lasatives seperti Magnesium Sulfate,

Stimulants (Senna) , Suppository dan Enema sedangkan terapi non


farmakologi berupa exercise, mobilisasi, pemberian cairan, diet tinggi serat

dan toileting regimen (Folden, 2002 ; Kyle, 2011).

Sanburg, McGuire & Lee dalam Folden 2002 juga menjelaskan

bahwa ada berbagai macam jenis laksatif dan itu tidak diberikan begitu saja

tetapi diberikan secara bertahap. Dalam (Folden, 2002 ; Kyle, 2011) sudah

dipaparkan secara jelas bahwa untuk manajemen atau penanganan konstipasi

tidak hanya dilakukan dengan terapi farmakologi saja tetapi ada juga terapi

nonfarmakologi, namun pada kenyataannya yang paling sering kita temukan

di rumah sakit untuk penanganan konstipasi adalah pemberian laksatif.

Sama seperti terapi farmakologi lainnya penggunaan terapi laksatif

pada pasien konstipasi juga memiliki efek samping. Menurut (Sinclair, 2010)

penggunaan laksatif dalam jangka waktu yang lama justru akan

menyebabkan efek samping yang berbahaya termasuk peningkatan konstipasi

dan fecal impaction, serta dapat menjadi faktor resiko untuk timbulnya kanker

colorectal. Dalam (Williams & Hopper, 2007) juga disebutkan bahwa

penggunaan pencahar secara terus menerus dapat menyebabkan atrofi

mukosa kolon, penebalan otot dan fibrosi serta dapat mengakibatkan

perforasi usus besar.

Dalam (Kim & Bae, 2013; Silva & Motta, 2013; Kyle, 2011; Lamas,

2011; Sinclair, 2010; Emly, 2007) dijelaskan bahwa selain menggunakan

terapi medik, konstipasi pada pasien juga dapat diatasi dengan berbagai

terapi komplementer seperti, latihan otot perut, breathing exercise, dan salah

satu terapi komplementer yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah dan
mengatasi masalah konstipasi pada pasien stroke adalah dengan massage

abdomen.

Massage abdomen merupakan intervensi yang sangat efektif dalam

mengatasi konstipasi, selain itu terapi ini juga tidak menimbulkan efek

samping berbahaya karena merupakan tindakan non invasif, dapat dilakukan

oleh pasien sendiri dan relatif murah. Pada massage abdomen, dilakukan

tekanan langsung pada dinding abdomen yang dilakukan secara berurutan dan

kemudian diselingi dengan waktu relaksasi sehingga dengan cepat dapat

meningkatkan refleks gastrokolik dan meningkatkan kontraksi dari usus dan

rektum (Kyle,2011; Lamas, 2011; Sinclair, 2010; Emly, 2007).

Lamas, (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Massage

abdominal dapat menurunkan konstipasi melalui beberapa mekanisme yang

berbeda - beda antara lain dengan menstimulasi sistem persyarafan

parasimpatis sehingga dapat menurunkan tegangan pada otot abdomen,

meningkatkan motilitas pada sistem pencernaan , meningkatkan sekresi pada

sistem intestinal serta memberikan efek pada relaksasi sfingter.

Penelitian terkait tentang pengaruh massage abdomen terhadap

kejadian konstipasi diantaranya penelitian Kim & Bae (2013) di Seoul, Korea

Selatan. Pada penelitian ini peneliti melakukan massage abdomen

menggunakan aroma oils pada 20 pasien lansia yang mengalami stroke

dengan keluhan konstipasi. Intervensi massage abdomen ini dilakukan 6 kali

seminggu, dalam kurun waktu 2 minggu. Dalam penelitian ini penilaian

dilakukan setiap minggunya pada hari ke tujuh menggunakan Constipation

Assesment Scale (skala penilaian konstipasi) dan dari hasil yang diperoleh
dapat dilihat bahwa skor CAS mengalami penurunan setelah 6x pemberian

massage abdomen jadi dapat disimpulkan bahwa massage abdomen dengan

menggunakan minyak pijat aroma oils sangat efektif dalam mengatasi

konstipasi pada pasien stroke usia lanjut. Dalam penelitian ini juga jelas bahwa

efek dari massage abdomen nampak pada hari ketujuh.

Penelitian lain tentang massage abdomen adalah penelitian (Silva &

Motta, 2013) yang meneliti tentang penggunaan abdominal muscle training,

breathing exercise, massage abdomen untuk mengatasi konstipasi kronik pada

anak. Penelitian dilakukan pada 72 anak usia 4 -18 tahun yang mengalami

konstipasi kronik selama 6 minggu. Penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, 32

anak pada kelompok intervensi (fisioterapi + obat pencahar magnesium

hidrosida) dan 32 anak kelompok kontrol (obat pencahar magnesium hidrosida).

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa peningkatan frekuensi defekasi lebih

tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan pada kelompok kontrol.

Di Indonesia sendiri dilakukan penelitian oleh Theresia, Setyani dan Estri,

(2014) tentang pengaruh massage abdomen dalam upaya pencegahan konstipasi

pada pasien yang menjalani rawat inap. Hasil yang diperoleh adalah setelah

melakukan massage abdomen pada kelompok intervensi selama 3 x 24 jam

ditemukan adanya perbedaan nilai CAS antara kelompok control dan kelompok

intervensi. Nilai CAS pada kelompok intervensi mengalami penurunan yang

signifikan setelah diberikan massage abdomen selama 3 hari.

Sudah ada beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa konstipasi

merupakan salah satu masalah atau komplikasi yang paling sering terjadi pada

pasien yang mengalami stroke dengan immobilisasi namun kenyataannya


perhatian tenaga medis utamanya perawat terhadap kejadian tersebut

masih sangat kurang, khususnya dalam hal pemberian intervensi mandiri

terkait masalah konstipasi, sehingga pada masalah konstipasi terapi

farmakologi yaitu pemberian laksatif yang selalu menjadi hal utama.

Berdasarkan pengamatan peneliti selama 2 bulan diruang perawatan

neurologi dan brain center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar,

massage abdomen belum tidak pernah digunakan perawat sebagai terapi untuk

mengatasi masalah konstipasi pada pasien, padahal sudah banyak penelitian

yang membuktikan bahwa massage abdomen dapat digunakan untuk masalah

konstipasi tanpa memberikan efek samping. Oleh karena itu peneliti bertujuan

untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian massage abdomen

terhadap penurunan konstipasi pada pasien stroke iskemik di ruang perawatan

neurologi dan brain center RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.

B. Rumusan Masalah

Pada kasus non hemoragik stroke (NHS) bagian otak mengalami

iskemik karena suplai darah dan O2 tidak sampai ke area otak, sehingga pasien

dapat mengalami berbagai manifestasi klinis dan manifestasi yang paling

sering terjadi adalah gangguan pada fungsi motorik seperti parese atau plegia.

Pada keadaan tersebut pasien mengalami penurunan kekuatan otot sehingga

mengalami kesulitan bahkan tidak mampu untuk bergerak, berpindah atau

melakukan aktivitasnya. Pada keadaan immobilisasi tersebut pasien mengalami

penurunan fungsi otot abdominal, penurunan peristaltik usus yang dapat

memperlama pasase feses sehingga pasien mengalami penurunan frekuensi


defekasi yang disebut sebagai konstipasi. Untuk masalah konstipasi ada

berbagai macam penanganan yang dapat diberikan baik itu secara farmakologi

maupun secara nonfarmakologi. Saat ini penanganan konstipasi lebih

cenderung ketindakan farmakologi yaitu pemberian laksatif atau obat

pencahar, namun dilihat dari efek samping yang ditimbulkan seperti

peningkatan konstipasi, perforasi usus besar, serta dapat menjadi faktor resiko

timbulnya kanker colorectal maka sebaiknya penggunaan laksatif dikurangi

dan dikombinasikan dengan terapi nonfarmakologi berupa terapi

komplementer. Salah satu terapi yang diharapkan mampu mengatasi masalah

konstipasi adalah massage abdomen.

Dari berbagai penelitian yang ada massage abdomen diketahui dapat

meningkatkan frekuensi defekasi dengan cara menstimulasi sistem saraf

parasimpatis sehingga dapat menurunkan tegangan pada otot abdomen,

meningkatkan motilitas pada sistem pencernaan , meningkatkan sekresi pada

sistem intestinal serta memberikan efek pada relaksasi sfingter. Adapun

rumusan masalah pada penelitian ini adalah “belum diketahuinya pengaruh

pemberian massage abdomen terhadap penurunan konstipasi pada pasien

stroke iskemik di ruang neurologi dan brain center RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo Makassar”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian

massage abdomen terhadap penurunan konstipasi pada pasien stroke


iskemik diruang perawatan neuro dan brain center RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran skor konstipasi berdasarkan CAS pada

baseline, hari ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3 pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol.

b. Untuk mengetahui perubahan rerata skor konstipasi dari baseline hari

ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3 pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol.

c. Untuk mengetahui adanya perbedaan rerata skor konstipasi dari

baseline, hari ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3 pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan oleh peneliti dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Keilmuan

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah khususnya pada sistem

persyarafan dan pencernaan, serta sebagai acuan bagi penelitian yang

akan datang.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan research dalam dunia keperawatan.


2. Manfaat Aplikatif

Adapun hasil dari penelitian ini nantinya dapat memberikan

sumbangsih ilmu pengetahuan bagi seluruh tenaga kesehatan khususnya

bagi tenaga perawat di ruang perawatan saraf. Karena perawat merupakan

salah satu tenaga kesehatan yang memiliki waktu paling banyak dalam

berinteraksi atau kontak langsung dengan pasien,.maka sebagai perawat

profesional kiranya senantiasa dapat melakukan pencegahan terhadap

terjadinya komplikasi atau keluhan yang dialami pasien yang mengalami

stroke termasuk masalah konstipasi. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan

bagi perawat diruang perawatan saraf (neurologi) dalam penyusunan

Standar Operasional Prosedur (SOP).

E. Ruang Lingkup/ batasan Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pasien stroke Iskemik yang

mengalami konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek atau

pengaruh pemberian massage abdomen terhadap penurunan konstipasi

pada pasien stroke iskemik selama 3 hari intervensi. Intervensi massage

abdomen akan dilakukan di ruang perawatan neurologi dan brain center

RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar sehingga dapat

memudahkannya dilakukan pelaksanaan intervesi pada pasien yang

memenuhi kriteria inklusi seperti yang telah ditentukan peneliti.

Kebutuhan eliminasi fekal merupakan kebutuhan dasar manusia yang

harus terpenuhi , sehingga masalah konstipasi pada pasien stroke dapat

berdampak pada kenyamanan fisik dan psikologi pasien sehingga


membutuhkan penanganan segera. Diharapkan setelah memberikan

massage abdomen, konstipasi pasien dapat teratasi. Proses defekasi atau

eliminasi BAB pasien dapat lancar sehingga pasien merasakan kenyamanan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti akan membahas teori dari variabel independen dan

variabel dependen beserta kerangka teorinya.

A. Tinjauan Literatur

1. Stroke

a. Definisi.

Stroke merupakan penyakit cerebrosvaskular yang mengacuh

pada gangguan neurologis dimana terjadi kehilangan fungsi otak

yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak.

Gangguan suplai darah terjadi bisa disebabkan karena penyumbatan

aliran darah ke otak akibat thrombosis atau embolik dan dapat juga

terjadi karena pecahnya pembuluh darah diotak (Black & Hawks, 2014;

Price & Wilson, 2014; Smeltzer & Bare, 2013; Ginsberg, 2007)

b. Klasifikasi

Dalam (Muttaqin, 2011) stroke dibedakan menurut patologi

dan serangannya yaitu:

1) Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang

akut dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang

terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, namun

karena pecahnya pembuluh arteri , vena dan kapiler.


2) Stroke Non hemoragik

Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis cerebri,

biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat , baru bangun tidur

atau dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia

yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema

sekunder, kesadaran umumnya baik.

c. Etiologi

Batticaca (2011) mengemukakan bahwa ada 3 hal penyebab dari

stroke, yaitu :

1) Kekurangan suplai oksigen menuju otak.

2) Pecahnya pembuluh darah otak karena kerapuhan pembuluh

darah otak

3) Adanya sumbatan bekuan darah di otak

Dalam (Muttaqin, 2011) dijelaskan ada beberapa hal yang

merupakan faktor penyebab stroke antara lain :

1) Hipertensi, merupakan faktor resiko utama

2) Penyakit kardiovaskuler - embolisme serebri berasal dari

jantung: penyakit arteri coroner, gagal jantung kongestif,

hipertrofi ventrikel kiri, gangguan irama (khususnya fibrilasi

atrium).

3) Kolesterol tinggi

4) Obesitas

5) Peningkatan hematokrit, meningkatkan resiko infark serebri.


6) Diabetes, dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi.

7) Kontrasepsi oral (kadar estrogen tinggi).

8) Merokok, penggunaan obat (khususnya kokain, konsumsi

alkohol).

d. Patofisiologi

Pada dasarnya otak manusia sangat sensitif terhadap kondisi

penurunan atau hilangnya suplai darah. Hipoksia dapat menyebabkan

iskemik serebral karean tidak seperti jaringan pada bagian tubuh lain,

misalnya otot. Otak tidak bisa menggunakan metabolisme anaerobic

jika terjadi kekurangan oksigen atau glukosa. Otak diperfusi dengan

jumlah yang cukup banyak dibanding organ lain yang kurang vital untuk

mempertahankan metabolisme serebral. Iskemik jangka pendek dapat

mengarah kepada penurunan sistem neurologis sementara atau TIA. Jika

aliran darah tidak diatasi maka terjadi kerusakan yang tidak dapat

diperbaiki pada jaringan otak atau infark dalam hitungan menit. Luasnya

infark bergantung pada lokasi dan ukuran arteri yang tersumbat dan

kekuatan sirkulasi kolateral ke area yang disuplai.

Iskemia dengan cepat bisa mengganggu metabolisme. Kematian

sel dan perubahan yang permanen dapat terjadi dalam waktu 3-10 menit.

Tingkat oksigen dasar kline dan kemampuan mengompensasi

menentukan seberapa cepat perubahan - perubahan yang tidak bisa

diperbaiki akan terjadi. Aliran darah dapat terganggu oleh masalah

perfusi lokal, seperti pada stroke atau gangguan perfusi secara umum,

misalnya pada hipotensi atau henti jantung. Tekanan perfusi cerebral


harus turun dua pertiga dibawah nilai normal (nilai tengah tekanan

arterial sebanyak 50 mmHg atau dibawahnya dianggap nilai normal)

sebelum otak tidak menerima aliran darah yang adekuat. Dalam waktu

yang singkat, klien yang sudah kehilangan kompensasi autoregulasi

akan mengalami manifestasi dari gangguan neurologis.

Penurunan perfusi cerebral biasanya disebabkan oleh sumbatan

di arteri serebral atau perdarahan intracerebral. Sumbatan yang terjadi

mengakibatkan iskemik pada jaringan otak yang mendapatkan suplai

dari arteri yang terganggu dan karena adanya pembengkakan di

jaringan sekelilingnya. Sel - sel dibagian tengah atau utama pada lokasi

stroke akan mati dengan segera setelah kejadian stroke terjadi. Hal ini

dikenal dengan istilah cedera sel – sel saraf primer (Primary Neuronal

Injury). Daerah yang mengalami hipoperfusi juga terjadi disekitar

bagian utama yang mati. Bagian ini disebut Penumbra . Ukuran dari

bagian ini tergantung pada jumlah sirkulasi kolateral yang ada. Sirkulasi

kolateral merupakan gambaran pembuluh darah yang memperbesar

sirkulasi pembuluh darah utama dari otak. Perbedaan dalam ukuran dan

jumlah pembuluh darah utama dari otak. Perbedaan dalam ukuran dan

jumlah pembuluh darah koleteral dapat menjelaskan berbagai macam

tingkat keparahan manifestasi stroke yang dialami oleh klien di daerah

anatomis yang sama.

Beberapa proses reaksi biokimia akan terjadi dalam hitungan

menit pada kondisi iskemik serebral. Reaksi – reaksi tersebut seperti

neurotoksin, oksigen radikal bebas (Oxygen Free Radikals), nitro oxide


dan glutamate yang akan dilepaskan. Asidosis local juga akan

terbentuk. Depolarisasi membrane juga akan terjadi sebagai hasilnya

akan terjadi edema sitotoksik dan kematian sel. Hal ini dikenal dengan

perlukaan sel-sel saraf sekunder (secondary neural injury). Bagian

neuron penumbra paling dicurigai terjadi sebagai akibat dari iskemik

serebral. Bagian yang membengkak setelah terjadi iskemik bisa

mengarah kepada penurunan fungsi saraf sementara. Edema bisa

berkurang dalam beberapa jam atau hari dank lien bisa mendapatkan

kembali beberapa fungsi-fungsinya (Black & Hawks, 2014).

e. Manifestasi Klinis

Dalam (Batticaca, 2011) dikemukakan bahwa gejala klinis yang

timbul pada stroke itu tergantung tergantung dari jenis stroke, yaitu;

1) Gejala klinis pada stroke hemoragik berupa:

a) Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal

yang terjadi pada saat istirahat atau bangun pagi.

b) Kadang tidak terjadi penurunan kesadaran.

c) Terjadi terutama pada usia >50 tahun.

d) Gejala Neurologis yang timbul bergantung pada berat.

ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya.

2) Gejala klinik pada stroke akut berupa :

a) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya

hemiparesis) yang timbul mendadak.

b) Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (Gangguan

hemisensorik).
c) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium,

letargi, stupor, atau koma).

d) Afasia (tidak dapat bicara atau tidak lancar).

e) Ataksia

f) Disfagia (gangguan menelan).

g) Vertigo (mual, muntah, nyeri kepala).

f. Penatalaksanaan

Pada pasien fase akut yang mengalami koma saat masuk ke

rumah sakit dipertimbangkan mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya

pasien sadar penuh prognosisnya lebih baik. Fase akut biasanya berakhir

48-72 jam. Dengan mempertahankan jalan napas dan ventilasi adekuat

adalah prioritas dalam fase akut ini.

1) Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan

kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral

berkurang.

2) Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien

dengan stroke massif, karena henti pernapasan biasanya faktor

yang mengancam kehidupan pada situasi ini.

3) Pasien dipantau untuk adanya komplikasi pulmonal (aspirasi,

atelektasis, pneumonia,) yang mungkin berkaitan dengan

kehilangan reflex jalan napas, imobilitas atau hipoventilasi.

4) Jantung diperiksa untuk abnormalitas dalam ukuran dan irama

serta tanda gagal jantung kongestif.


Tindakan medis terhadap pasien stroke meliputi diuretic

untuk menurunkan edema serebral, yang mencapai tingkat maksimum

3 – 5 hari setelah infark serebral. Antikoagulan diberikan untuk

mencegah terjadinya atau memberatnya thrombosis atau embolisasi

dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler. Medikasi antitrombosis

dapat diresepkan karena trombosit memainkan peran sangat penting

dalam pembentukan thrombus dan embolisasi

g. Komplikasi

Berbagai komplikasi dari penyakit stroke antara lain;

pneumonia, infeksi saluran kemih, dekubitus atau ulkus tekan, atrofi

otot dan konstipasi.

1) Dekubitus

Ulkus tekan atau dekubitus merupakan cedera lokal pada

kulit dan jaringan lain yang berada dibawahnya, biasanya diatas

penonjolan tulang, akibat tekanan atau kombinasi tekanan

dengan friksi atau pergeseran (Black & Hawks, 2014). Ulkus

decubitus ini timbul selama periode yang lebih singkat dari

tekanan yang intens, dengan lokasi utama cedera adalah otot.

Oleh karena itu immobilitas dan inaktivitas adalah faktor risiko

utama.

Pada klien dengan tirah baring, reposisi yang kurang

sering, kurangnya bantalan pada permukaan – permukaan yang

barsentuhan (misalnya lutut) dapat menyebabkan kerusakan

jaringan. Selain itu pasien yang terbaring sering kali diposisikan


pada posisi semi-fowler untuk memfasilitasi pernapasan atau

makan. Posisi semi-fowler meningkatkan resiko dekubitus pada

sacrum dan tumit. Ischia adalah lokasi umum ulkus decubitus

pada klien yang terbatas bergerak hanya dikursi terutama jika

mereka duduk tegak dikursi.

Pasien stroke cenderung mengalami decubitus karena

immobilisasi sehingga perlu penanganan awal untuk mencegah

terjadinya luka tekan tersebut.

2) Konstipasi atau sembelit

Dalam Klaus & Laurberg (2009) dipaparkan bahwa

sembelit kronis sangat terkait dengan stroke. Dengan

menggunakan kriteria Roma II ditemukan 54% pasien stroke

tanpa konstipasi mengalami konstipasi setelah 4 minggu pasca

stroke. Konstipasi terjadi pada pasien stroke disebabkan karena

immobilisasi.

Immobilisasi menyebabkan penurunan tekanan intra

abdomen dan rangsangan pada saraf parasimpatis diusus

berkurang sehingga refleks gastrokolon berkurang dan

menyebabkan penurunan motilitas usus yang berakibat

pergerakan sisa makanan di colon melambat, absorpsi air dan

elektrolit meningkat sehingga feses menjadi keras dan kering

serta sulit dikeluarkan (Hadi, 2013; Sherwood, 2011; Guyton,

2007)
Penelitian prospective cohort yang dilakukan oleh Lim et

al, 2015 juga membuktikan bahwa penderita stroke sebagian

besar mengalami konstipasi. Penelitian tersebut dilakukan untuk

menyelidiki prevalensi konstipasi pada pasien stroke serangan

pertama dan hasil yang diperoleh bahwa dari 154 pasien stroke

yang menjadi responden terdapat 55,2% responden yang

mengalami konstipasi pada minggu ke-4 perawatan.

Penelitian Engler et al , 2014 juga ingin mengetahui

angka kejadian disfungsi usus seperti konstipasi, frekuensi

defekasi pada pasien stroke yang menjalani rawat inap serta

prevalensi penggunaan pencahar pada pasien konstipasi.

Penelitian yang dilakukan selama 6 bulan dengan desain study

cross sectional yang melibatkan 98 pasien ini memperoleh hasil

bahwa disfungsi usus setelah serangan stroke meningkat

menjadi 55,21 % dari 23,96 % dan disfungsi yang paling sering

terjadi adalah konstipasi.

2. Defekasi

Sherwood (2011) dan Guyton (2007) menjelaskan awalnya makanan

yang masuk lalu dikunyah dalam mulut ditelan menuju esophagus sampai

ke gaster, setelah melalui proses pencernaan digaster makanan dalam bentuk

kimus menuju ke usus halus. Di usus halus terjadi absorbsi air dan elektrolit

serta terjadi pergerakan usus dimana terjadi kontraksi mencampur dan

mendorong. Setelah di usus halus makanan masuk kedalam usus besar

melalui katup ileosekalis yaitu katup yang terdapat antara usus ileum dan
seikum (usus buntu),fungsi utama katup ileosekal ini adalah mencegah

aliran balik feses dari kolon ke dalam usus halus.Katup ileo sekalis

menonjol ke dalam lumen sekum sehingga menutup bila sekum terisi.Katup

ileosekal dapat menahan tekanan balik sebesar 50-60 cm air.

Derajat kontraksi sfingter Ileosekal utamanya diatur oleh refleks

yang berasal dari sekum. Bila sekum teregang maka derajat kontraksi

sfingter ileosekal diperkuat, yang sangat menghambat pengosongan kimus

tambahan dari ileum. Setipa iritan pada sekum juga menyebabkan kontraksi

sfingter ileosekal.Refleks – refleks dari sekum ke sfingter ileosekal ini

diperantarai oleh pleksus mienterikus.

Setelah masuk dalam kolon makanan dalam bentuk kimus melalui

proses absorpsi air dan elektrolit, dikolon juga terjadi penyimpanan feses

sampai dapat dikeluarkan. Dalam kolon juga terdapat gerakan motilitas usus

namun lebih lambat dibanding pada usus halus. Pada kolon terdapat “mass

movement” yaitu gerakan peristaltik yang mendorong massa ke arah anus.

Gerakan ini biasanya terjadi hanya beberapa kali setiap hari, paling banyak

selama sekitar 15 menit selama satu jam pertama atau lebih setelah makan

pagi. Timbulnya “mass movement” setelah makan umumnya sebagian

disebabkan oleh refleks gastrokolika dan duodenokolika. Refleks – refleks

ini terjadi akibat peregangan lambung dan duodenum, yang dihantar melalui

pleksus mienterikus.
Gambar 1. Pengosongan pada katub ileosekalis & proses absorpsi serta

penyimpanan di usus besar dalam Guyton (2007)

Dalam Black & Hawks (2014) Sherwood (2011) ; Guyton (2007)

juga dipaparkan bahwa sebelum proses defekasi rektum pada umumnya

kosong. Ketika terjadi pergerakan massa dikolon , maka rectum akan terisi

sehingga terjadi peregangan yang merangsang refleks di dinding rectum.

Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus (otot polos) melemas atau

relaksasi sedangkan rectum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika

sfingter ani ekternus (otot rangka) juga melemas maka ini akan memicu

terjadinya defekasi. Karena otot rangka, sfingter ani eksternus berada

dibawah kontrol volunter. Kanalis analis normalnya dalam kondisi


tertutup. Relaksasi volunter dari sfingter eksternal akan menyebabkan

defekasi dimulai dan dibantu oleh peningkatan tekanan intra abdominal.

Gambar 2.Refleks Defekasi dalam Guyton (2007)

3. Konstipasi

a. Definisi

Dalam (Black & Hawks, 2014) dipaparkan bahwa konstipasi adalah

defekasi yang tidak teratur, berkurangnya frekuensi buang air besar, tidak

defekasi selama lebih dari 2 hari atau kurang dari 3 kali seminggu, sulitnya

pengeluaran feses, karena feses yang keras padat dan kering dan

menimbulkan nyeri saat defekasi . Konstipasi merupakan manifestasi yang

umum disebabkan oleh asupan cairan yang tidak adekuat, blokade

mekanis dari pengeluaran isi usus (oleh tumor )atau dapat terjadi karena

lambatnya atau menurunnya peristaltik usus. Sedangkan dalam Douglas,


Nicol & Robertson (2013) dijelaskan bahwa konstipasi merupakan suatu

keadaan pasase feses yang jarang karena adanya gangguan motilitas

kolon, obstruksi fisik, gangguan sensasi rektum, disfungsi anorektal yang

menyebabkan anismus (gangguan proses evakuasi).

Konstipasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi

tapi pengobatan masih sangat jauh dari memuaskan. Meskipun masalah

semakin luas, literature keperawatan terus mengacuh kepada pengelolaan

sembelit lebih ke arah pencegahan dan penanganan farmakologi, yang

jarang dibahas adalah masalah serius yang dapat diterjadi jika konstipasi

diabaikan dan intervensi keperawatan yang dapat diberikan (Kyle, 2011).

b. Klasifikasi

Dalam Hadi (2013) dijelaskan bahwa konstipasi dibagi menjadi 2 yaitu :

1) Konstipasi yang disebabkan gangguan fungsi atau konstipasi simple

atau konstipasi temporer, yang terdiri atas:

a) Rektal stasis (Dyschezia), hal ini disebabkan karena kebiasaan

yang salah seperti menunda waktu defekasi, rasa nyeri pada

anus, inefektif pada otot – otot abdomen dan lesi pada diskus

spinalis.

b) Kolon statis, yang terjadi karena intake cairan berkurang,

dehidrasi, insufisiensi residu selulose dalam persediaan

makanan.

2) Konstipasi simtomatik merupakan konstipasi yang terjadi sebagai

gejala suatu penyakit akut atau kronis, misalnya :


a) Pada penyakit infeksi akut akan disertai dengan peningkatan suhu

tubuh seperti pada pneumonia, meningitis pada stadium

permulaan, demam tipoid. Suhu tubuh yang tinggi dapat

menyebabkan berkurangnya cairan tubuh sehingga menyebabkan

konstipasi.

b) Obstruksi intestinal yang akut biasa memberikan gejala utama

adanya konstipasi. Apendiks akut juga biasanya menimbulkan

konstipasi.

c) Penyakit atau kelainan pada traktus gastrointestinal seperti:

stenosis pilorikum, kelainan kolon seperti karsinoma kolon,

divertikuliosis, megakolon (Hirschsprung), kelainan dari rectum

seperti karsinoma rectum, abses.

c. Epidemiologi

Konstipasi merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang

sering dikeluhkan dengan prevalensi terbesar pada usia lanjut. Keluhan

konstipasi terus meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi

konstipasi pada orang dewasa diatas usia 60 tahun adalah 33% . Sedangkan

prevalensi keseluruhan orang dewasa adalah sekitar 16% . Dan paling

sering ditemukan pada wanita. Di Inggris, 30% lansia berusia 60 tahun

merupakan konsumen obat pencahar. Di Australia terdapat sekitar 20%

dari populasi lansia berusia 60tahun sering mengalami konstipasi dan lebih

banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Beberapa penelitian terkait

konstipasi menyebutkan bahwa kejadian konstipasi lebih banyak terjadi


pada wanita dewasa dibandingkan pada pria (Costilla & Foxx-Orenstein,

2014).

d. Etiologi

Dalam Sherwood (2011); Kyle (2011); Williams & Hopper (2007);

Guyton (2007); Silbernagl dan Lang (2006); dipaparkan bahwa penyebab

konstipasi adalah sebagai berikut:

1) Diet rendah serat dan kurangnya asupan cairan karena motilitas usus

bergantung pada volume isi usus. Semakin besar volume usus maka

motilitas usus semakin meningkat. Sebaliknya kurangnya asupan

serat dan cairan sehingga kurangnya volume usus yang

menyebabkan menurunnya motilitas usus. Penurunan motilitas usus

tersebut menyebabkan lamanya waktu transit isi usus, sehingga

meningkatkan absorbsi dan menyebabkan feses keras dan kering oleh

karena itu menjadi sulit untuk keluarkan.

2) Gangguan refleks dan psikogenik, hal ini temasuk fisura ani yang

terasa nyeri dan secara refleks meningkatkan tonus otot sfingter ani

sehingga semakin meningkatkan nyeri. Anismus (obstruksi pintu

bawah panggul), yaitu kontraksi (normalnya relaksasi) dasar pelvis

saat rectum teregang. Refleks palsu seperti ini umumnya ditemukan

pada perempuan yang mengalami penyiksaan ketika anak - anak,

tetapi dapat juga terjadi pada pasien Parkinson. Ileus paralitik

(Pseudo-obstruksi akut), yang dapat disebabkan secara refleks setelah

operasi terutama abdomen, trauma atau peritonitis dan dapat menetap

dikolon selama beberapa hari.


3) Penyebab Neurogenic. Tidak adanya sel ganglion didekat anus karena

kelainan kongenital (aganglionosis pada Penyakit Hirschsprung)

menyebabkan spasme yang menetap dari segmen yang terkena akibat

kegagalan relaksasi reseptif dan tidak ada refleks penghambat

anorektal (sfingter ani internal gagal membuka saat rectum mengisi).

Pada penyakit chagas, organisme penyebabnya trypanasoma cruci,

menghilangkan persarafan ganglia usus sehingga menyebabkan

dilatasi kolon (megakolon). Selain itu penyakit saraf sistemik

(penyakit parkinson, polineuropati diabetikum, neuritis virus, tabes

dorsalis, sclerosis multiple) atau lesi saraf dan medulla spinalis,

diantaranya menurunkan reflex sepanjang usus sehingga dapat

menyebabkan obstruksi.

4) Obstruksi mekanis dilumen usus (benda asing, cacing gelang /ascaris),

di dinding usus (misalnya tumor, diverticulum, stenosis, striktur,

hematoma, infeksi) atau berasal dari luar (misalnya kehamilan,

perlekatan, hernia volvulus, tumor, kista) yang mengakibatkan

penyumbatan usus secara mekanis.

5) Obat - obatan tertentu (antikolinergik, opioid, antasida dengan

aluminium). Penggunaan opioid dapat menyebabkan gangguan

motilitas usus, tertundanya pengosongan lambung dan meningkatnya

waktu transit usus, yang menyebabkan distensi abdomen dan

ketidaknyamanan. Opioid juga menghambat sekresi usus, sehingga

penyerapan air dan elektrolit meningkat, membuat materi fekal lebih

keras dan kering. Opioid meningkatkan tonus sphincter ani internal


sehingga melemahkan reflex defekasi dan mengakibatkan kurangnya

rangsangan untuk defekasi.

6) Kelemahan atau kelumpuhan menyebabkan immobilisasi yang dapat

mempengaruhi motilitas usus dan ketidakmampuan untuk

meningkatkan tekanan intraabdomen untuk mempermudah pasase

feses. Kurang olahraga atau latihan dianggap sebagai faktor resiko

terjadinya konstipasi. Secara tradisional hal ini berkaitan dengan

aktivitas fisik, dengan asumsi latihan yang menurun maka masa

transit usus menurun (De Schryver et al, 2005). Towers et al (1994)

dalam Kyle (2011) melakukan penelitian menggunakan studi kohort

pada kelompok kecil dan menemukan bahwa subyek yang

mengalami konstipasi cenderung kurang berolahraga dibandingkan

kelompok kontrol. Penelitian lain yang dipaparkan dalam

(Kyle,2011) adalah penelitian Kinnunen (1991) yang menemukan

bahwa peningkatan risiko konstipasi yang signifikan secara statistik

adalah pada orang - orang yang berjalan kurang dari 0,5 km setiap

hari. Penelitian ini juga mengidentifikasi risiko yang terkait dengan

pasien berjalan dengan bantuan, yang duduk atau yang hanya

berbaring di tempat tidur. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa

Istirahat atau periode immobilisasi dapat mengakibatkan

melemahnya otot - otot dinding perut yang menurunkan tekanan

intra-abdomen sehingga tekanan cukup untuk buang air besar

berkurang . Dalam penelitian Kinnunen disimpulkan bahwa berjalan

minimal 0.5 km dalam sehari cukup untuk mencegah sembelit.


7) Penggunaan obat pencahar dalam jangka waktu yang lama dapat

mendukung terjadinya konstipasi karena obat pencahar dapat

menghilangkan kemampuan usus mengenali dorongan defekasi/

BAB.

e. Patofisiologi

Dalam (Smeltzer & Bare, 2013; Kyle, 2011; Sherwood, 2011;

Guyton, 2007; Williams & Hopper, 2007) dijelaskan bahwa konstipasi

berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon;

transport mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon),

aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal dan kerja propulsive),

atau proses defeksi. Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang

oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja yaitu : rangsangan reflex

penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relsaksasi sfingter

eksternal dan otot dalam region pelviks dan meningkatnya tekanan intra-

abdomen. Gangguan salah satu dari keempat proses ini dapat

menimbulkan konstipasi.

Penyumbatan total menyebabkan penimbunan gas dan cairan

dibagian proksimal yang menyebabkan dilatasi usus, yang pada awalnya

akan menimbulkan kontraksi dan terasa nyeri bila beberapa menit. Jika

terutama usus halus bagian proksimal yang terkena, dilatasi lebih lanjut

akan menghambat aliran darah sehingga menyebabkan muntah dan terjadi

dehidrasi (hypovolemia). Hal ini dapat berkembang dengan cepat karena

peningkatan jumlah cairan yang disekresikan kedalam usus. Selain

dilatasi, naiknya bakteri dari usus besar ke usus halus juga dapat
menyebabkan endotoksin bakteri yang mengakibatkan pelepasan VIP,

PGI2, dan PGF2. Inflamasi yang disebabkan oleh bakteri, bersama dengan

pembentukan edema di dinding,usus dan peritonitis serta kemungkinan

terjadi iskemia yang dapat dengan cepat mengancam nyawa. Jika obstruksi

terletak jauh dari anus, mungkin terjadi megakolon. Keadaan ini dapat

terjadi secara akut pada kasus colitis fulminant, volvulus atau tanpa

penyebab yang dapat diketahui.

Konstipasi terjadi jika massa feses berada di rongga rektum dalam

jangka waktu yang lama. Ketika feses berada dalam jangka waktu yang

lama di rectum, air diserap lebih banyak karena terjadi peningkatan

absorbsi air, sehingga membuat feses lebih kering, lebih keras, sulit untuk

dikeluarkan. Konstipasi yang lama/kronik disebut obstipasi. Jika pasien

berulangkali mengabaikan keinginan untuk defekasi, otot dan mukosa

rektal dapat menjadi tidak sensitif terhadap adanya feses. Akhirnya

stimulus yang kuat diperlukan untuk merangsang (menghasilkan)

peristaltik usus yang diperlukan untuk defekasi (Sherwood,2011; Guyton,

2007).

f. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borborigimus

(gemuruh usus), rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit

kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap,

merasa tidak puas setelah BAB, mengedan saat defekasi, dan eliminasi

volume feses sedikit, keras dan kering (Smeltzer & Bare, 2013).
g. Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan atau manajemen konstipasi adalah

mencegah dan mengatasi konstipasi. Mengembalikan fungsi usus

kembali normal dan tindakan yang diberikan harus mencegah terjadinya

konstipasi kembali. Proses pencernaan ideal jika proses defekasi diawali

oleh sebuah dorongan atau keinginan untuk defekasi, saat defekasi tidak

ada masalah, tinja keluar dengan lancar dan diikuti oleh perasaan puas

serta nyaman setelah defekasi.

Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konstipasi

baik dengan terapi farmakologi ataupun non farmakologi.

1) Terapi farmakologi

Dalam (Kyle, 2011; Coggrave, Wiesel, & Norton, 2006;

Folden, 2002) dijelaskan bahwa obat pencahar merupakan intervensi

farmakologis yang paling sering digunakan untuk mengatasi

konstipasi. Kelompok obat pencahar yang saat ini paling sering

digunakan adalah Bulk forming, Stimulant, dan Osmotic agens,

suppository, enema, stool softener. Berdasarkan mekanisme kerjanya

laksatif dibagi menjadi beberapa golongan seperti dalam tabel

dibawah ini:

Tabel 1; Klasifikasi terapi laksatif diadopsi dari Tramonte,S.M., Brand, M.


B., Mulrow, C.D., Amato, M.G., O'Keefe, M.E., & Ramirez, G. (1997). The
treatment of chronic constipation in adults. A systematic review. Journal of
General Internal Medicine, dalam Folden, 2002

No Golongan Contoh Lokasi kerja Cara kerja

1 Osmotic Magnesium Usus halus dan Menarik/


hydroxide (saline usus besar menyimpan air di
Osmotic), Sorbitol (colon) lumen usus
meningkatkan
tekanan
intraluminal
2 Irritant or Senna, Bisacodyl, Colon Efek kerja
peristaltic Danthron, Cascara langsung pada
stimultant mukosa usus,
merangsang pleksus
myenteric, dan
mengubah air serta
sekresi elektrolit
3 Bulk or Plantain usus halus dan menahan air dalam
Hydrophilic derivatives usus besar feses dan distensi
Methylcellulose, (colon) mekanik.
Psyllium,
Ispaghula, Dietary
bran, Celandrin,
Alovera
4 Surfactant Docusate Usus halus dan Melunakkan tinja
or softener Poloxalkol usus besar dengan
or wetting (colon) memfasilitasi
agen campuran lemak
dan air untuk
melunakkan tinja

Weeks et al (2002) dalam Kyle (2011) menjelaskan

bahwa saat ini belum ada bukti yang kuat jika obat pencahar

dapat mencegah konstipasi terutama pada pasien lansia namun

laksatif atau obat pencahar hanya direkomendasikan untuk

“membersihkan usus”, hal ini menunjukkan bahwa obat pencahar

hanya sebagai pilihan pengobatan yang diperlukan untuk

konstipasi yang parah.

2) Terapi non farmakologi

Pengobatan ditujukan pada penyebab dasar konstipasi.

Penatalaksanaan mencakup penghentian penyalahgunaan laksatif,

menganjurkan diet tinggi serat, peningkatan asupan cairan, membuat


program latihan rutin untuk memperkuat otot abdomen. Umpan

balik biologis adalah tehnik yang dapat digunakan untuk membantu

pasien belajar merelaksasi mekanisme sfingter untuk mengeluarkan

feses. Dalam(Smeltzer & Bare, 2013; Kyle, 2011; Lamas, 2011)

dijelaskan terapi non farmakologi antara lain:

a) Peningkatan asupan cairan (intake oral), makanan utamanya diet

tinggi serat.

Peningkatan asupan cairan, makanan, utamanya yang

berserat tinggi dapat mempengaruhi volume usus, sehingga

merangsang motilitas. Semakin besar volume usus maka

motilitas usus semakin meningkat. Sebaliknya kurangnya

asupan serat dan cairan menyebabkan kurangnya volume usus

sehingga menurunnya motilitas usus. Sebuah studi prospektif

yang dilakukan oleh (Dukas et al, 2003) adalah dari 3327 wanita

yang dijadikan responden menemukan bahwa konsumsi serat

lebih dari 20g/hari secara signifikan mengurangi kemungkinan

untuk konstipasi.

b) Meningkatkan mobilisasi

Ada beberapa bukti yang telah menunjukkan bahwa

aktivitas, olahraga teratur yang dilakukan berhubungan dengan

fungsi usus. Dalam Kyle (2011) dipaparkan Sebuah studi

penelitian yang dilakukan oleh De Schryver et al (2005) selama

12 minggu pada pasien berusia menengah yang mengalami

konstipasi. Pasien menjalani aktivitas fisik secara teratur dan


hasil yang ditunjukkan positif yaitu waktu transit kolon dan

rektosigmoid menurun secara signifikan. Bukti ini

menunjukkan bahwa aktivitas atau olahraga teratur, terutama

untuk orang tua mempengaruhi pergerakan motilitas usus

sehingga dapat mengatasi konstipasi.

c) Massage abdomen

Massage abdomen adalah merupakan salah satu terapi

komplementer, dimana terapi komplementer adalah berbagai

terapi alternatif yang dapat dipilih oleh pasien dalam mengatasi

masalah atau penyakitnya disamping melakukan terapi medis.

Massage Abdomen yang juga disebut sebagai pijat usus

atau kolon ini telah diakui oleh beberapa praktisi sebagai

pilihan manajemen yang efektif untuk mengatasi konstipasi

dengan keuntungan tambahan, massage abdomen ini mudah

dilakukan, bahkan bisa dilakukan oleh pasien dan keluarganya

sendiri, membuat pasien lebih relaks, selain itu waktu yang

dihabiskan dengan pasien selama pijat perut dapat membantu

pasien untuk merasa baik terhadap diri mereka sendiri dan

kemudian meningkatkan harga diri mereka. Penelitian lebih

lanjut diperlukan untuk menunjukkan secara meyakinkan bahwa

pijat perut adalah alternatif yang dapat diandalkan untuk terapi

pencahar.
d) Anal irrigation (irigasi anal)

Irigasi anal dapat menjadi pilihan lain dalam

pengelolaan inkontinensia feses dan konstipasi (Crawshaw et al,

2004). Pedoman ini ditunjukkan dalam National Institute of

Clinical Excellence untuk inkontinensia feses (NICE, 2007).

Hal baru dalam sistem irigasi anal adalah memberikan individu

kebebasan dalam melakukan penanganan defekasi mereka. Baru

- baru ini percobaan pada penggunaan sistem irigasi melalui

anal pada pasien dengan cedera tulang belakang atau spinal

menunjukkan penurunan inkontinensia feses, sembelit dan

meningkatkan kualitas hidup (Christensen et al, 2006). Namun,

penelitian lebih lanjut sekarang diperlukan untuk menilai dan

menetapkan pilihan khasiat ini sebagai manajemen baru.

Penelitian Systematic review yang dilakukan oleh Lim &

Childs (2012) menemukan hasil bahwa managemen usus yang rutin

dilakukan pada pasien stroke yang mengalami konstipasi akan

meningkatkan fungsi usus. Secara perlahan – lahan terjadi perubahan

pada gangguan fungsi usus.

Dalam Folden (2002) diadopsi dari Sanburg, McGuire dan Lee

(1996) dijelaskan bahwa untuk menangani masalah konstipasi ada

enam tahapan yang harus diperhatikan, yaitu: tahap 1 adalah

Exercise, pemenuhan cairan, serat dan toileting regimen. Tahap 2

pemberian bulk-forming laxatives, tahap 3 pemberian stool softeners,


tahap 4 pemberian osmotic laxatives, tahap 5 pemberian stimultants

dan terakhir tahap 6 adalah pemberian suppository, enema. Dalam

Folden (2002) juga dipaparkan tentang aturan pemberian terapi. Jika

pasien 3 hari tidak defekasi maka diberikan tahap 1,2 dan dilanjutkan

sampai dengan langkah ke 5 sesuai kebutuhan. Jika pasien 4 hari tidak

defekasi maka tetap diberikan tahap 1 dan diulang tahap ke 2 sampai

ke 5. Namun jika pasiennya tidak defekasi sejak 5 hari atau lebih

maka dilanjutkan pada langkah ke-6 yaitu pemberian suppositoria

atau enema.

Gambar 3. Bagan pendekatan bertahap dalam Managemen Konstipasi

Dalam (Folden, 2002) diadopsi dari Sanburg, McGuire dan Lee (1996)
h. Komplikasi

Berbagai masalah dapat terjadi dari sembelit atau konstipasi

diantaranya Impaksi fekal, hal ini dapat terjadi ketika massa tinja

begitu kering sehingga tidak bisa dikeluarkan. Tekanan pada mukosa

usus akibat feses yang mengeras dapat menyebabkan luka dan dapat

meluas, seringkali dapat terjadi feses berbentuk cair (diare palsu),

Berusaha keras untuk defekasi, mengedan kuat dapat mengakibatkan

komplikasi pada jantung, saraf dan pernapasan. Jika pasien memiliki

riwayat gagal jantung, hipertensi, infark miokard, mengedan dapat

menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan kematian. Pelebaran usus

dikenal juga sebagai megacolon, dimana massa tinja kering dan

menghalangi usus besar sehingga distensi abdomen dapat terjadi. Feses

yang menumpuk dapat menyebabkan distensi abdomen, selain hal

tersebut konstipasi juga dapat menyebabkan iritasi pada anus,

munculnya hemoroid, hernia.

Penggunaan obat pencahar secara terus menerus dapat

menyebabkan atrofi mukosa kolon, penebalan otot dan fibrosi. Kondisi

ini dapat mengakibatkan perforasi usus besar. Selain itu penggunaan

laksatif terus – menerus juga dapat menyebabkan peningkatan

konstipasi dan fecal impaction, konstipasi terjadi karena obat pencahar

dapat menghilangkan kemampuan usus mengenali dorongan defekasi

atau BAB sehingga feses menumpuk pada colon dan rectum. Dalam

(Sinclair, 2011) juga dipaparkan bahwa efek lain dari penggunaan

laksatif adalah efek kimia obat – obat tersebut jika digunakan terus
menerus dapat menjadi faktor resiko untuk timbulnya kanker

kolorectal.

i. Penilaian Konstipasi

Dalam (Sharma & Agarwal, 2012) dipaparkan bahwa melihat

konstipasi sebagai masalah pencernaan yang paling sering terjadi

namun tidak adanya kriteria baku yang dibuat untuk mendiagnosis

masalah tersebut sehingga beberapa ahli tahun 1980-an membentuk

suatu komite untuk merancang kriteria penilaian yang dapat

digunakan untuk mendiagnosis masalah tersebut. Adapun beberapa

kriteria penilaian konstipasi yang sudah baku diantaranya Patient

Assessment of Constipation-Symptom, Patient Assessment of

Constipation-Quality of Life Questionnaire (PAC-QoL, Visual Scale

Analog Questionnaire, Chinese Constipation Questionnaire, Knowles

Eccersley Scott Symptom Score, Longo scoring systems for ODS namun

yang paling sering digunakan adalah Kriteria Roma II dan III serta

Constipations Assesment Scale (CAS)

1) Kriteria Roma

Kriteria roma merupakan kriteria penilaian konstipasi yang

pertama, tahun 1999 Kriteria ini dimodifikasi atas dasar pengetahuan

baru yang diperoleh menjadi kriteria Roma II. Kriteria Roma II

didefinisikan sebagai konstipasi fungsional yang terjadi atas 2 atau

lebih dari gejala berikut selama minimal 12 minggu, yang tidak perlu

berturut - turut, dalam 12 bulan sebelumnya. Kriteria Roma II untuk

diagnosis konstipasi kronis . Berbeda dari Roma I kriteria Roma II


memasukkan dua gejala baru untuk mengidentifikasi masalah

konstipasi pada individu yaitu saat sulit defekasi terjadi

penyumbatan anal sehingga manual manuver untuk mengeluarkan

feses. Selain itu apakah ada sindrom iritasi usus besar.

Kriteria Roma III adalah perubahan pada Roma II pada tahun

2006, dalam kriteria ini para ahli menambahkan beberapa poin

untuk kriteria yang ada yaitu: kadang – kadang mengalami diare

tanpa menggunakan pencahar dan ada kriteria cukup untuk IBS.

Kriteria ini harus dipenuhi untuk 3 bulan terakhir dengan gejala onset

setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis. Telah diamati oleh berbagai

peneliti bahwa prevalensi sembelit berbeda ketika kriteria yang

berbeda digunakan. Oleh karena itu untuk membawa keseragaman

dalam uji klinis dan studi epidemiologi di seluruh dunia kriteria

Roma yang sering digunakan (Drossman, 2006). Namun dalam

(Molin et al., 2012) dipaparkan bahwa bahwa Roma Kriteria III telah

disepakati oleh sebagian besar penulis dapat membantu dalam

evaluasi secara objektif konstipasi tetapi tidak dapat membedakan

atau menilai keparahan dari konstipasi.

2) Constipation Assesment Scale (CAS)

Constipation Assesment Scale (CAS) oleh McShane dan

McLane (2001) adalah kriteria penilaian konstipasi yang terdiri

dari delapan item yang dirancang untuk menilai gejala dan keparahan

dari konstipasi pada pasien kanker yang mengkonsumsi opioid atau

alkaloid, dan kehamilan. Delapan karakteristik termasuk dalam


evaluasi dari CAS antara lain: distensi abdomen atau perut kembung,

perubahan jumlah gas melewati rektal, penurunan frekuensi buang air

besar, mengeluarkan tinja cair, tekanan pada rektum, nyeri pada anus

saat buang air besar, volume kecil dari feses dan ketidakmampuan

untuk mengeluarkan feses. poin yang dijumlahkan dan dibagi dalam

3 skala penilaian yaitu: 0 = tidak ada masalah, 1 = cukup menimbulkan

masalah, 2 = masalah berat. Skor total dihitung yang dapat berkisar

dari 0 (tidak konstipasi), Skor 1-8 menunjukkan adanya konstipasi

ringan dan skor 9-16 (konstipasi berat). Molin et al (2012) telah

melakukan uji validitas dan reliabilitas pada Constipation Assesment

Scale (CAS) dan hasilnya instrument CAS valid dan dapat digunakan

untuk penilaian konstipasi.

Tabel 2. Constipation Assessment Scale diadopsi berdasarkan

McShane dan McLane (2001)

Ada
Tidak ada Masalah
No Kriteria sedikit
masalah berat
masalah
Distensi
1 abdomen/ perut
terasa penuh
Perubahan
2 jumlah buang
angin
Berkurang
3 frekuensi
defekasi

4 Ada feses cair

Tekanan dan
5
penumpukan
feses pada
rektum
Nyeri saat
6
defekasi
Ukuran feses
7 potongan bulat-
bulat kecil
Perasaan ingin
8 defekasi tapi
sulit dikeluarkan

4. Massage Abdomen

a. Definisi

Dalam (Emly, 2007) dipaparkan bahwa massage abdomen itu

merupakan pemijatan searah jarum jam yang dilakukan diatas

abdomen atau perut dan membutuhkan waktu sekitar 10 - 20 menit.

Massage Abdomen dapat dilakukan dalam posisi berbaring, duduk atau

berdiri. Massage Abdomen ini merupakan salah satu terapi

komplementer yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi

masalah konstipasi tanpa menimbulkan efek samping.

b. Proses pemberian massage Abdomen

Pemberian Massage Abdomen dilakukan 1 kali sehari sekitar 10-

20 menit setiap pagi hari sebelum makan. Ada 8 step atau langkah yang

dapat diberikan pada massage abdomen ini yaitu :

Langkah 1 : Mengusap abdomen keatas sebanyak 3 kali.

Langkah 2 : Mengusap dari atas kebagian bawah abdomen sebanyak 3

kali.
Langkah 3 : Melakukan effleurage or circular atau tehnik mengusap

secara melingkar.

Langkah 4 : Melakukan Palmer Kneading yaitu gerakan mengurut

abdomen dengan satu tangan dan segera diikuti tangan

yang lain, bergerak turun.

Langkah 5 : Sama dengan gerakan ke 4 namun bergerak ke atas.

Langkah 6 : Mengulangi langkah 4 dan 5.

Langkah 7 : Dilakukan dengan mengusap abdomen pasien dari sisi kiri

ke kanan dan sebaliknya.

Langkah 8 : Dilakukan dengan menggetarkan tangan didaerah abdomen

diatas pusar.

Gambar 4. Proses Massage Abdomen berdasarkan (Emily,2007)


c. Manfaat

Adapun manfaat dari massage abdomen adalah:

a. Mengurangi kebutuhan obat pencahar dalam jangka waktu yang

lama.

b. Membantu meredakan perut kembung (masuk angin) atau

konstipasi.

c. Mengurangi terjadinya overloading usus dan masalah kesehatan

akibat konstipasi.

d. Indikasi

Massage abdomen ini dapat diindikasikan pada:

a. Pasien dengan sembelit akut ataupun kronis.

b. Kram perut karena kembung.

c. Pasien yang memiliki masalah dengan pengosongan perut.


d. Pasien yang menggunakan laksatif secara teratur untuk

merangsang pengeluaran feses.

e. Kontraindikasi;

a. Seseorang yang memiliki riwayat obstruksi usus akibat

pertumbuhan jaringan abnormal atau tumor malignant.

b. Pasien yang memiliki penyakit radang usus seperti, penyakit

crohn atau colitis ulserativa.

c. Spactic colon, Irritable Bowel Syndrome (IBS).

d. Cedera tulang belakang.

e. Post Operasi pada daerah abdomen atau adanya jaringan

parut pada area abdomen.

f. Pada ibu hamil

g. Pasien yang memiliki riwayat hernia

Lamas, (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Massage

abdominal dapat mencegah, menurunkan bahkan mengatasi konstipasi pada

pasien melalui beberapa mekanisme yang berbeda - beda antara lain dengan

menstimulasi sistem persyarafan parasimpatis sehingga dapat menurunkan

tegangan pada otot abdomen, meningkatkan motilitas pada sistem pencernaan,

meningkatkan sekresi pada sistem intestinal serta memberikan efek pada

relaksasi sfingter.

Penelitian terkait tentang pengaruh massage abdomen terhadap

kejadian konstipasi diantaranya penelitian Kim & Bae ( 2013) di Seoul, Korea

Selatan. Pada penelitian ini peneliti melakukan massage abdomen


menggunakan aroma oils pada 20 pasien lansia yang mengalami stroke

dengan keluhan konstipasi. Intervensi massage abdomen ini dilakukan 6 kali

seminggu, dalam kurun waktu 2 minggu. Dalam penelitian ini penilaian

dilakukan setiap minggunya pada hari ke tujuh menggunakan Constipation

Assesment Scale (skala penilaian konstipasi) dan dari hasil yang diperoleh

disimpulkan bahwa massage abdomen dengan menggunakan minyak pijat

aroma oils sangat efektif dalam mengatasi konstipasi pada pasien stroke

usia lanjut.

Penelitian lain tentang massage abdomen adalah penelitian (Silva &

Motta, 2013) yang meneliti tentang penggunaan abdominal muscle training,

breathing exercise, massage abdomen untuk mengatasi konstipasi kronik pada

anak. Penelitian dilakukan pada 72 anak usia 4 -18 tahun yang mengalami

konstipasi kronik selama 6 minggu. Penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, 32

anak pada kelompok intervensi (fisioterapi + obat pencahar magnesium

hidrosida) dan 32 anak kelompok kontrol (obat pencahar magnesium

hidrosida). Dari hasilnya diperoleh bahwa peningkatan frekuensi defekasi lebih

tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan pada kelompok kontrol.

B. Konsep Teori Keperawatan

Untuk memberikan pelayanan yang bermutu maka para ahli dalam

bidang keperawatan termotivasi untuk terus melakukan penelitian, membuat

dan mengembangkan teori- teori keperawatan dan salah satu ahli keperawatan

ternama yang memberikan konstribusi dalam dunia keperawatan dengan

mengembangkan salah satu teori keperawatan adalah Dorothea Orem.


Orem mengembangkan teori Self-Care Deficit sebagai teori umum yang

terdiri dari 3 teori yang saling berkaitan. Ketiga teori tersebut adalah; Self Care

Theory, Self Care Deficit Theory, Theory of nursing systems

Teori Orem ini merupakan suatu pendekatan yang dinamis dimana

peran perawat hanya memberikan bantuan kepada pasien jika pasien memang

tidak memiliki kemam puan untuk merawat dirinya sendiri, tidak membuat

pasien ketergantungan kepada perawat.

Alligood, (2014) memaparkan mengenai teori konsep utama dari teori

Orem terdiri dari 4 bagian yaitu:

1. Teori perawatan diri (Self Care Theory)

Perawatan diri (self care) adalah upaya individu yang berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhannya dan berfokus pada kemampuan pasien

dalam merawat dirinya sendiri dengan melakukan kegiatan yang dapat

membantu mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, mempertahankan

hidup, dan meningkatkan kesejahteraan kesehatan. Jika perawatan diri

efektif maka hal tersebut dapat membantu individu mengembangkan

potensi dirinya.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perawatan diri

individu diantaranya; usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial,

budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup,

lingkungan, dukungan keluarga dan status ekonomi.


2. Teori ketergantungan perawatan, teori defisit perawatan diri (The Theory of

Self Care Defisit)

Ketergantungan keperawatan mengacu pada pasien yang tidak mampu

melakukan kegiatan atau aktivitas sehari-hari akibat dari berbagai faktor

seperti usia yang tua dan masalah kesehatan (penyakit) yang dialami

sehingga mempengaruhi kehidupan pasien. Untuk membantu pasien agar

mampu memenuhi kebutuhannya diperlukan bantuan orang terdekat seperti

keluarga dan teman-teman dalam memberikan perawatan sehingga pasien

mampu memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun dalam kondisi yang tidak

sehat.

3. Self Care Demand (Teori permintaan perawatan diri)

Tindakan mandiri yang dilakukan dalam memenuhi perawatan diri

secara mandiri dengan menggunakan alat dan metode dalam kurun waktu

tertentu. Pada teori permintaan perawatan diri dibagi dalam 3 kelompok

sebagai berikut:

a. Universal Self Care

Pada universal self care merujuk pada kebutuhan dasar

manusia, dimana pasien diharapkan mampu memenuhi kebutuhan

perawatan diri untuk mempertahankan siklus kehidupannya baik secara

fisiologis maupun psikologis. Orem membagi kebutuhan dasar manusia

yaitu : kebutuhan udara, makanan, air, eliminasi, aktivitas dan istirahat,

interaksi sosial, peningkatan fungsi individu, pencegahan bahaya,

kesejahteraan manusia, perkembangan individu dalam kelompok sosial


dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh individu

tersebut.

b. Development Self Care

Development self care membahas tentang perkembangan

manusia mulai lahir sampai bertumbuh dan berkembang menjadi

dewasa. Berikut adalah 3 tahapan dalam development self care untuk

meningkatkan perawatan diri manusia yaitu :

1) Penyediaan fasilitas dalam promosi perkembangan

2) Keterlibatan dalam pengembangan diri

3) Pencegahan dan penanggulangan terhadap faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi perkembangan manusia secara negatif

c. Health Deviasi Self Care

Pada tahap ini berfokus pada perawatan diri yang diberikan pada

pasien yang sakit (gangguan patologis) atau terluka. Keadaan sakit

dapat mengganggu aktivitas kehidupan pasien, perhatian dan perawatan

dari keluarga dan perawat sangat dibutuhkan untuk membantu dalam

pemenuhan kebutuhan pasien agar tetap terpenuhi walau mengalami

gangguan kesehatan.

4. Nursing System Teory (Teori sistem keperawatan)

Sistem keperawatan adalah merupakan serangkaian tindakan

ataupun pendidikan kesehatan yang dirancang atau dibentuk oleh perawat

dan ditujukan bagi orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan terkait

dengan perawatan diri orang tersebut sehingga mampu memandirikan

pasien atau mencapai pemenuhan kebutuhan perawatan diri.


Gambar 5.Framework teori Orem, (Alligood, 2014)

Orem membagi tiga sistem pelayanan keperawatan yang telah

diidentifikasi yaitu:

a. Wholly Compensatory System (Sistem bantuan total atau penuh)

Pemberian tindakan keperawatan secara total/ penuh ditujukan bagi

pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri secara

mandiri baik kebutuhan jasmani seperti makan dan minum serta kebutuhan

pergerakan dan ambulasi sehingga tidak mampu melakukan aktivitasnya

sehari-hari. Contoh pada pasien dengan penurunan kesadaran (koma).

b. Partially Compensatory System (Sistem bantuan parsial atau sebagian)

Pemberian tindakan keperawatan secara parsial ditujukan pada

pasien yang memerlukan bantuan perawatan diri secara minimal. Misalnya

pada pasien pasca operasi yang memerlukan bantuan ambulasi dan

perawatan lukanya.

c. Sistem Supportif Edukatif

Pada sistem supportif dan edukatif, perawat berperan dalam

memberikan dukungan dan penyuluhan terkait masalah kesehatan dan


perawatan diri sehingga pasien mampu mememuhi perawatan diri secara

mandiri untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Riegel, Jaarsma and Strömberg (2012) menyatakan ada beberapa

faktor yang mempengaruhi perawatan diri yaitu:

1) Pengalaman dan keterampilan

Pengalaman mampu mengajarkan seseorang untuk tanggap terhadap

situasi yang dialami, mampu mengidentifikasi tindakan yang sebaiknya

dilakukansesuai dengan masalah perawatan yang dihadapi sehingga

mampu meningkatkan keterampilan dalam melakukan perawatan diri

secara mandiri. Selain itu keterampilan juga dibutuhkan pasien dalam

melakukan perawatan diri kemampuan untuk merencanakan, menetapkan

tujuan, serta pengambilan keputusan sangat berpengaruh terhadap

perawatan diri pasien yang optimal.

2) Motivasi

Motivasi sangat penting untuk mendukung perawatan diri pasien.

motivasi dapat berasal dari pasien itu sendiri maupun berasal dari orang

lain seperti keluarga dan kerabat dekat pasien. adanya keinginan dan

kemauan dari dalam diri pasien serta dukungan dari orang lain akan

mencapai tujuan perawatan diri secara mandiri yang diharapkan.

3) Keyakinan dan nilai budaya

Keyakinan dan nilai budaya juga berpengaruh terhadap perawatan

diri pasien. pada beberapa negara, daerah, dan suku yang ada di dunia

tindakan perawatan diri untuk memenuhi kebutuhan pasien terkadang

bertentangan dengan keyakinan serta nilai dan budaya dari suatu daerah,
sehingga mereka tidak akan melakukan hal tersebut demi menghormati

dan menghargai nilai budaya daerah pasien tersebut.

4) Kebiasaan

Kebiasaan dianggap sebagai salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap perawatan diri pasien. Jika pasien memiliki kebiasaan yang baik

dalam perawatan diri pasti akan memperoleh hasil yang baik, begitupun

sebaliknya. Ketika kebiasaan yang dilakukan tidak sejalan dengan

perawatan diri yang diberikan, maka tujuan tidaka akan tercapai.

5) Kemampuan fungsional dan kognitif

Perawatan diri membutuhkan kemampuan fungsional. Masalah

seperti gangguan pendengaran, penglihatan, dan energi yang berkurang

membuat pemenuhan perawatan diri menjadi sulit. Selain itu pengetahuan

yang kurang juga akan mengganggu perawatan diri pasien, tetapi dengan

pengetahuan yang baik, pasien mampu melakukan pemenuhan perawatan

diri dengan baik dan optimal.

6) Akses perawatan

Penyedia pelayanan keperawatan sangat penting demi menunjang

perawatan diri dari pasien. Melalui akses pelayanan keperawatan, pasien

mampu memperoleh informasi – informasi terkini untuk meningkatkan

pengetahuan sehingga mampu melakukan perawatan diri dengan baik.

Namun ada beberapa kendala yang dihadapi oleh pasien seperti lokasi dan

kurangnya dana yang dimiliki.


BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan tentang kerangka konseptual,

definisi operasional dan hipotesis penelitian serta menjelaskan setiap variabel

penelitiannya berdasarkan teori yang ada.

A. Kerangka Konseptual Penelitian

Variabel independent Variabel dependent

Kelompok intervensi :
Pemberian Massage
Pasien stroke iskemik
yang mengalami abdomen + Mobilisasi Penurunan skor
konstipasi (tidak Konstipasi
mengalami defekasi (Berdasarkan nilai
Kelompok kontrol:
selama >2 hari) CAS)
Pemberian Mobilisasi

Gambar 7. Kerangka konseptual penelitian

B. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa variabel yang nampak yaitu:

1. Variabel Independen

Merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen.Variabel ini disebut sebagai

variabel stimulus, predictor, actecendent atau variabel bebas (Sugiono,


2016). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah terapi

komplementer pemberian massage abdomen disertai pemberian mobilisasi

dan pemberian mobilisasi saja pada kelompok kontrol.

2. Variabel Dependen

Merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2016). Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel dependennya adalah skor konstipasi berdasarkan

Constipation Assesmant Scale (CAS) sebelum intervensi (baseline), pada

hari pertama, hari ke-2, dan hari ke-3 setelah dilakukan pemberian massage

abdomen plus mobilisasi pada kelompok intervensi dan pemberian

mobilisasi pada kelompok kontrol.

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis alternatif (Ha)

1. Pemberian massage abdomen pada pasien stroke iskemik yang mengalami

konstipasi lebih efektif dalam menurunkan konstipasi dibandingkan dengan

yang tidak diberikan.


D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Tabel 3. Defenisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor

Independen : Sekelompok pasien yang Dilakukan dengan Prosedur kerja yang Nominal
1. Massage menerima intervensi berupa frekuensi 1x sehari , pada diadaptasi dari Guy’s And St
Abdomen massage abdomen yaitu pagi hari sebelum makan Thomas NHS Foundation
+ tindakan pemijatan searah selama 15-20 Menit Trust “Abdominal Massage
Mobilisasi jarum jam yang dilakukan dalam kurun waktu 3 hari For Constipation (2014)
diatas abdomen dan disertai
pemberian pergerakan
pasien.

2. Mobilisasi Nominal
Sekelompok pasien yang Dilakukan perubahan Pemberian mobilisasi sesuai
hanya diberikan posisi pasien tiap 2 jam dengan SOP yang ada di
pergerakan, miring kiri dan selama 3 hari, di mulai Rumah Sakit
kanan tiap 2 jam tanpa ada pada hari pertama setelah
intervensi tambahan. pengukuran CAS.
Dependen: Sekelompok pasien yang Observasi Pengkajian konstipasi yang Interval Skor konstipasi merupakan
Konstipasi mengalami penurunan diadaptasi dari CAS penjumlahan dari 8
frekuensi defekasi kurang (Constipation Assessment pertanyaan tentang
dari 3x seminggu atau Scale), oleh McShane dan konstipasi yang berkisar
keadaan tidak defekasi dari 0-16
McLane, yang terdiri dari
lebih dari 2 hari, disertai tidak ada = 0
frekuensi defeksi,frekuensi konstipasi ringan = 1-8
dengan pengerasan pada buang angin (flatus), konstipasi berat = 9-16
feses, nyeri saat defekasi, bentuk karakteristik feses, kategori ini akan digunakan
distensi abdomen, feses untuk menegakkan
adanya distensi abdomen
berbentuk bulat-bulat kecil. kesimpulan.
pengukuran dilakukan
pada hari 1,2 dan 3
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan membahas tentang metode penelitian yang akan

digunakan meliputi desain penelitian yang digunakan, waktu dan tempat penelitian,

populasi dan sampel, alur penelitian, sampai kepada prosedur etik yang akan

digunakan dalam penelitian ini.

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Quasy eksperiment dimana

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari massage abdomen

terhadap penurunan skor konstipasi pada pasien stroke iskemik yang

mengalami konstipasi. Peneliti ini menggunakan desain penelitian

longitudinal study, dimana pengumpulan data dilakukan secara berulang kali

pada subyek yang sama. Kedua kelompok yang ada merupakan kelompok

kontrol dan kelompok intervensi.

Kelompok intervensi dalam penelitian ini merupakan kelompok pasien

stroke iskemik dengan konstipasi yang akan diberi tindakan pemberian

mobilisasi dan massage abdomen selama 1 kali sehari dalam jangka waktu 3

hari, sedangkan kelompok kontrol hanya dilakukan mobilisasi sesuai dengan

standar operasional prosedur diruangan perawatan neurologi dan brain center

RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo. Pada kedua kelompok dilakukan pengukuran

skor CAS pada baseline, hari pertama, hari kedua dan hari ketiga post

intervensi.
B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang Perawatan Neurologi Lontara 3

bawah dan di brain center RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 1

Agustus – 16 September 2017, selama ±7 minggu.

C. Populasi, Tehnik Sampling dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke iskemik yang

mengalami konstipasi di ruang perawatan neurologi dan brain center

RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar sebanyak 38 orang.

2. Sampel

Sampelnya dalam penelitian ini adalah pasien stroke iskemik di

ruang perawatan neurologi dan brain center RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo Makassar yang memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi yang

telah ditetapkan sebagai subjek penelitian yang berjumlah 30 orang. Tehnik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability

sampling jenis Consecutive sampling dimana tehnik ini dilakukan dengan

memilih individu yang ada dalam populasi sesuai dengan kriteria sampel

inklusi dan eksklusi:

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien yang didiagnosa stroke iskemik yang mengalami konstipasi

(tidak defekasi >2 hari )

2) Usia >18 tahun


3) Compos mentis

4) Bersedia menjadi responden

5) Asupan cairan terpenuhi berdasarkan balance cairan

6) Asupan serat terpenuhi,dilihat dengan adanya konsumsi buah dan

sayur.

7) Pasien yang belum pernah mendapat terapi laksatif.

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien Stroke Haemoragik

2) Pasien dengan penyakit lainnya seperti; Tumor pada abdomen, Ca

usus, obstruksi usus, cedera medulla spinalis, perdarahan intestinal.

3) Pasien yang mengalami afasia.

D. Instrumen Penelitian, Alur, Metode dan Prosedur Pengumpulan Data

1. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

kuisioner berisi pengkajian data karakteristik responden seperti umur,

jenis kelamin. Untuk menilai konstipasi yang dialami pasien peneliti

menggunakan pengkajian konstipasi yang diadaptasi dari Constipation

Assesment Scale (CAS). Skala penilaian konstipasi terdiri dari 8 item

yaitu adanya distensi abdomen, perubahan jumlah buang angin (flatus),

berkurang frekuensi defekasi, adanya feses cair, tekanan dan

penumpukan feses pada rektum, nyeri saat defekasi, ukuran feses

berbentuk potongan atau bulat - bulat kecil, perasaan ingin defekasi

tapi sulit dikeluarkan. Penilaiannya dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 0 =


Tidak ada masalah, 1 = masalah ringan (cukup menimbulkan masalah),

dan 2 = masalah berat. Skor total dihitung yang dapat berkisar dari 0

(tidak kostipasi), skor 1-8 menunjukkan adanya konstipasi ringan dan

skor 9-16 menunjukkan konstipasi berat.

2. Alur

Gambar 8. Alur Penelitian

Penyusunan Proposal

Seminar Proposal

Komisi Etik

Izin Penelitian ke RS

Pasien Stroke iskemik di ruang


perawatan Neurologi & brain center

Penentuan Sampel

Informed Consent

Menilai konstipasi dengan


CAS

Intervensi : Massage Abdomen


Consent

Pengolahann data
deskriptik dan analitik Melakukan pengukuran Perubahan konstipasi;
CAS pada hari 1,2 dan 3 Peningkatan frekuensi
defekasi, feses lunak, mudah
Seminar Hasil dikeluarkan, tidak nyeri saat
defekasi
3. Metode dan prosedur pengumpulan data.

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang metode dan langkah

kerja penelitian dimana ada dua metode pengumpulan data yang akan

digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer dikumpulkan oleh peneliti sendiri terhadap subjek

penelitian dari masing-masing kelompok seperti pemeriksaan riwayat

konstipasi, frekuensi defekasi, karakteristik feses subjek penelitian serta

melakukan auskultasi peristaltik usus. Sedangkan data sekunder diambil

dari rekam medik dan wawancara dengan tenaga kesehatan yang

bertugas di ruang perawatan neuro. Prosedur pengumpulan data diawali

setelah proposal penelitian diujiankan dan disetujui maka peneliti

mulai mengurus izin etik penelitian, baik dari pihak komisi etik FK

Universitas Hasanuddin maupun pihak RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo Makassar sebagai tempat penelitian akan dilakukan.

Selanjutnya jika izin penelitian telah diberikan maka selanjutnya

peneliti membuat pedoman massage abdomen untuk menurunkan

konstipasi dan melakukan presentasi proposal, sosialisasi rencana

penelitian pada dokter, kepala ruangan dan perawat diruang perawatan

saraf atau tempat penelitian, dalam hal ini peneliti menjelaskan tujuan

penelitian, manfaat serta prosedur penelitian.


Melihat dokumen/ status pasien

Mengkaji pasien yang masuk


kriteria inklusi

Tidak memenuhi kriteria Memenuhi kriteria

Dikeluarkan dari Memberikan penjelasan tentang penelitian


penelitian Massage Abdomen dan memberikan lembar
persetujuan ikut dalam penelitian, melakukan
penilaian CAS dan auskultasi peristaltik usus.

Membagi secara rata responden


berdasarkan nilai CAS dalam 2
kelompok

Kelompok Kontrol Kelompok intervensi


(hanya pemberian Massage Abdomen +
mobilisasi) mobilisasi

Gambar 9. Bagan proses rekruitmen sampel penelitian

Tahapan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Rekruitmen subjek penelitian berdasarkan kriteria inklusi yang

telah ditentukan. Adapun proses rekruitmen dapat dilihat pada

bagan diatas.

b. Hal yang harus dilakukan berikutnya yaitu perkenalan pada

pasien termasuk melakukan bina hubungan saling percaya

dengan subjek penelitian beserta keluarga yang mendampingi.

c. Peneliti memberikan informasi atau penjelasan tentang tujuan,

manfaat, efek samping, pembiayaan serta prosedur intervensi

massage abdomen yang akan dilakukan kemudian diminta untuk

menjadi responden penelitian.


d. Jika pasien sudah memahami penjelasan peneliti dan setuju

menjadi responden maka pasien diberikan lembar informed

consent untuk ditanda tangani.

e. Kemudian peneliti melakukan random assignment untuk

menempatkan sampel secara acak ke dalam kelompok intervensi

(pemberian massage abdomen + mobilisasi) dan kelompok

kontrol (pemberian mobilisasi) berdasarkan penomoran.

f. Selanjutnya pada kedua kelompok tersebut dilakukan sebagai

berikut:

1) Kelompok intervensi (pemberian massage abdomen dan

mobilisasi).

a. Peneliti memberikan penjelasan kembali kepada

responden mengenai pengertian, tujuan, cara,

manfaat massage abdomen bagi responden dan

waktu pelaksanaan massage abdomen, serta

petunjuk pengisian kuesioner.

b. Peneliti membagikan kuesioner

c. Peneliti menilai konstipasi dengan menggunakan

skala penilaian konstipasi CAS ) dan auskultasi

peristaltik usus pada baseline (Pre intervensi )

d. Peneliti melakukan terapi massage abdomen

selama 1 kali sehari pada pagi hari sebelum makan

selama 15-20 menit dalam kurun waktu 3 hari.


e. Peneliti menilai skor konstipasi setelah pemberian

intervensi massage abdomen pada hari pertama, ke-

2 dan ke-3.

f. Jika pasien tetap mengalami konstipasi maka

diberikan laksatif sesuai indikasi dokter.

g. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada

responden atas keterlibatannya dalam penelitian.

2) Kelompok kontrol (pemberian mobilisasi)

a. Peneliti memberikan penjelasan mengenai petunjuk

pengisian kuesioner.

b. Peneliti membagikan kuesioner

c. Peneliti menilai konstipasi dengan menggunakan

skala penilaian konstipasi dan auskultasi peristaltik

usus pada baseline (pre intervensi)

d. Selama penelitian, peneliti memastikan pasien

mendapatkan mobilisasi sesuai SOP rumah sakit.

h. Peneliti mengukur skor konstipasi dan auskultasi

peristaltic usus pada hari pertama,ke-2 dan ke-3

Jika pasien tetap mengalami konstipasi maka

diberikan laksatif sesuai indikasi dokter.

e. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada

responden atas keterlibatannya dalam penelitian.


Pengumpulan data dihentikan jika jumlah sampel telah sesuai

dengan yang ditentukan. Seluruh responden mengikuti prosedur penelitian

selama 3 hari.

E. Analisa Data

Setelah semua prosedur penelitian selesai, data kemudian

dikumpulkan dan dilakukan pengolahan data, kelengkapan yang

dilanjutkan dengan pengolahan data. Pengolahan data hasil penelitian

dilakukan melalui tahapan editing, skoring, entering data dan recoding

variabel. Tahap editing adalah tindakan pengecekan data yang telah

diperoleh untuk menghindari kekeliruan yang kemudian dilanjutkan

dengan mengalokasikan data-data tersebut dalam bentuk yang telah

ditentukan. Tahapan selanjutnya adalah scoring yaitu pemberian nilai pada

data sesuai dengan skor yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang

tersusun. Setelah itu entering data, yaitu memasukkan data dari lembar

kuesioner ke dalam master tabel di Microsoft excel. Kemudian pada mesin

pengolah data (SPSS), membuat nama untuk setiap variabel pada

“variabel view” lalu selanjutnya pada “data view” masukkan data sesuai

dengan nama pada variabel yang telah dibuat. Terakhir adalah dengan

melakukan recording variables. Pada “variabel view” setiap kategorik

dilakukan koding di value label sesuai dengan kriteria objektif pada tabel

defenisi operasional.

Proses selanjutnya adalah menganalisa hasil penelitian dengan

menggunakan analisa univariat dan bivariat yaitu sebagai berikut:


1. Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap data karakteristik subjek

penelitian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada

variabel numerik seperti usia, jenis kelamin, skor konstipasi (CAS)

digunakan uji independent t test. Mean dan standard deviasi digunakan

pada variabel-variabel tersebut. Sedangkan untuk variabel - variabel

kategorik seperti jenis kelamin menggunakan uji chi square dengan

melihat persentase (%) dan frekuensi.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat berguna untuk mengetahui apakah ada hubungan

yang signifikan antara dua variabel atau apakah ada perbedaan yang

signifikan antara dua atau lebih kelompok (Sugiyono, 2011). Analisa

bivariat yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perubahan skor konstipasi pada setiap waktu pengukuran

pada masing – masing kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Analisa bivariat yang digunakan adalah uji komparatif numerik tidak

berpasangan 2 kelompok komparatif yaitu uji t independent jika

sebaran data normal, dan uji mann whitney jika sebaran datanya tidak

normal. Sebelum melakukan uji statistik, untuk mengetahui sebaran data

normal atau tidak maka dilakukan uji normalitas pada setiap variabel

dengan menggunakan uji skewness.


3. Analisa Multivariat

Pada penelitian ini untuk mengetahui perbedaan skor konstipasi

pada kelompok massage abdomen dengan kelompok kontrol sepanjang

pengukuran uji statistik yang digunakan adalah uji repeated ANCOVA.

F. Etik Penelitian

2. Prinsip Dasar Etik Penelitian

Etik dalam penelitian menunjuk pada prinsip-prinsip etik yang

diterapkan dalam kegiatan penelitian. Etika dalam penelitian keperawatan

menurut Milton (1999) dalam Dharma (2011) meliputi:

a. Menghormati harkat dan martabat manusia (Respect for Human

Dignity).

Penelitian harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi harkat

dan martabat manusia. Subjek memiliki hak asasi dan kebebasan untuk

menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian. Tidak boleh ada

paksaan atau penekanan tertentu agar subjek bersedia ikut dalam

penelitian. Pada penelitian ini, subjek dalam penelitian ini mendapatkan

informasi yang jelas dan lengkap tentang pelaksanaan penelitian

meliputi tujuan dan manfaat penelitian, prosedur, resiko penelitian,

keuntungan yang mungkin didapat dan kerahasiaan informasi.

Dalam penelitian ini pertama-tama peneliti memberikan

penjelasan yang lengkap tentang tindakan yang akan diberikan kepada

pasien sehingga pasien dapat mempertimbangkannya dengan baik,

apakah akan ikut serta atau menolak sebagai subjek penelitian. Setelah
itu peneliti memberikan informed consent yaitu persetujuan untuk

berpartisipasi sebagai subjek penelitian setelah mendapatkan penjelasan

yang lengkap dan terbuka dari peneliti tentang keseluruhan pelaksanaan

penelitian. Informed consent tersebut yang akan melindungi partisipan

dan peneliti dari eksplotatif (Rachmawaty, 2017). Dalam penelitian ini

pasien berhak menolak dan peneliti tidak memaksa pasien untuk

menjadi responden. Peneliti juga menjaga segala bentuk kerahasiaan

informasi yang berkaitan dengan responden.

b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek (respect for privacy and

confidentiality).

Manusia sebagai subjek penelitian memiliki privasi dan hak asasi

untuk mendapatkan kerahasiaan informasi. Namun tidak dapat

dipungkiri bahwa penelitian menyebabkan terbukanya informasi

tentang subjek. Pada penelitian ini, peneliti merahasiakan berbagai

informasi yang menyangkut privasi subjek yang tidak ingin identitas dan

segala informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain. Hal ini

dilakukan dengan cara memberikan inisial nama, tidak menuliskan

alamat tempat tinggal subjek dan melakukan pengkodean terhadap

subjek di masing-masing kelompok.

c. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for just inclusiveness).

Prinsip Justice harus ditegakkan dalam penelitian hal ini

dipaparkan dalam (Rachmawaty, 2017) dimana hal ini dapat

memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak eksplotatif tapi

bermanfaat bagi semua partisipan. Prinsip keadilan mengandung makna


bahwa setiap responden berhak memperoleh keuntungan dan beban

yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan responden.

Dalam penelitian ini prinsip justice diaplikasikan dengan cara

tidak membeda-bedakan setiap partisipan yaitu dengan pemberian

massage abdomen dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum

pada booklet, serta diskusi dengan tenaga kesehatan yang berada di

ruang perawatan tentang kondisi pasien . Setiap pasiaen yang ada

dalam kelompok intervensi pemberian massage abdomen dilakukan

gerakan dan durasi waktu yang sama. Pasien tetap diberikan obat

pencahar (laksatif) setelah 3 hari intervensi sesuai dengan instruksi

dokter. Untuk melihat efek massage abdomen maka pada penelitian ini

dilakukan pengukuran CAS berulang-ulang setelah pemberian massage

abdomen dan mobilisasi yaitu pada hari pertama, ke-2, dan ke-3.

Sebab konstipasi tidak bisa dinilai dan ditegakkan hanya dengan

melihat keadaan pasien sehari. Prinsip justice juga diterapkan dengan

memberikan tindakan yang sama yaitu massage abdomen pada

kelompok kontrol setelah 3 hari intervensi. Namun sebelumnya subjek

dari kelompok kontrol diberikan penjelasan yang sama dengan

kelompok intervensi terkait massage abdomen. Jika subjek setuju untuk

diberikan tindakan maka peneliti memberikan massage abdomen selama

hari sama seperti yang dilakukan pada kelompok intervensi tapi jika

subjek menolak, maka peneliti akan menghargai keputusan klien untuk

tidak memberikan massage abdomen. Jika pasien mengalami konstipasi

maka segera diberikan laksatif sesuai indikasi dokter


d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harm and benefits).

Prinsip beneficence berarti bahwa setiap penelitian harus

memberikan manfaat yang besar bagi responden atau subjek

penelitian. Dalam penelitian ini peneliti harus benar – benar

memastikan bahwa pasien merasa nyaman saat penelitian berlangsung

dan tidak menimbulkan kerugian bagi pasien yang menjadi subjek

penelitian. Prinsip beneficene diaplikasikan oleh peneliti dengan cara

melakukan penelitian setelah mendapatkan persetujuan etik dari

komisi etik (Rachmawaty, 2017). Setelah itu peneliti memberikan

penjelasan pada subjek penelitian tentang manfaat dan efek dari

tindakan yang akan diberikan. Manfaat massage abdomen pada pasien

yang mengalami konstipasi adalah dapat melancarkan BAB dan

menurunkan kejadian konstipasi. massage abdomen tidak

membutuhkan biaya, gerakan massage abdomen sangat sederhana

sehingga tidak menimbulkan adanya efek samping dan tidak

mengganggu aktivitas subjek karena hanya dilakukan 1 kali sehari

sekitar 10-20 menit.

e. Confidentiality

Peneliti menjamin kerahasiaan responden dan data yang diberikan.

Hal ini dilakukan dengan cara memusnahkan data (dihapus dan dibakar)

setelah data-data tersebut telah selesai digunakan dalam penelitian. Data

yang ditampilkan merupakan data yang relevan dengan tujuan

penelitian.
3. Prosedur Etik Sebelum Penelitian

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari komite etik Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dengan nomor

513/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2017. Peneliti melakukan beberapa hal

yang berhubungan dengan informed consent antara lain:

a. Mempersiapkan formulir persetujuan yang akan ditandatangani oleh

subjek penelitian.

b. Memberikan penjelasan langsung kepada subjek mencakup seluruh

penjelasan yang tertulis dalam formulir informed consent dan penjelasan

lain yang diperlukan untuk memperjelas pemahaman subjek tentang

pelaksanaan penelitian.

c. Memberikan kesempatan kepada subjek untuk bertanya tentang aspek-

aspek yang belum dipahami dari penjelasan peneliti dan menjawab

seluruh pertanyaan subjek dengan terbuka.

d. Memberikan waktu yang cukup kepada subjek untuk menentukan

pilihan mengikuti atau menolak ikut serta sebagai subjek penelitian.

e. Meminta subjek untuk menandatangani formulir informed consent, jika

subjek menyetujui ikut serta dalam penelitian.


BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas mengenai data dan hasil temuan yang diperoleh

melalui prosedur yang diuraikan sebelumnya. Selain itu, bab ini juga berisi paparan

data yang disajikan dengan topik sesuai pertanyaan penelitian, tujuan penelitian dan

hipotesis penelitian. Selanjutnya terdapat pula gagasan peneliti, posisi temuan

terhadap teori dan temuan sebelumnya, serta penafsiran dan penjelasan dari temuan/

teori yang diungkap dari lapangan.

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap 30 responden yaitu pasien stroke iskemik

yang menjalani rawat inap di ruang perawatan Neurologi dan ruang Brain Center

RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Responden yang direkrut dalam

penelitian ini adalah sejumlah 38 responden yang semuanya masuk ke dalam

kriteria inklusi sampel, namun sepanjang penelitian ada sebanyak 6 responden yang

drop out dengan alas an responden yang kurang kooperatif, pemberian terapi

massage abdomen untuk hari kedua dan ketiga kali tidak memungkinkan, 2

responden didrop out karena keluarganya memberikan laksatif sebelum hari ke 3.

Responden yang berjumlah 30 orang dibagi kedalam dua kelompok yaitu 15

responden sebagai kelompok intervensi yaitu yang akan menerima intervensi

massage abdomen dan mobilisasi dan 15 responden sebagai kelompok kontrol

yaitu kelompok pasien yang hanya dilakukan mobilisasi. Data penelitian

dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner dan auskultasi peristaltik

usus. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan analisis data secara
univariat dan bivariat dengan menggunakan SPSS versi 22. Adapun hasil

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden

Sebaran distribusi frekuensi karakteristik responden yang meliputi jenis

kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, dan umur dari masing-masing

kelompok dapat dilihat pada karakteristik responden tabel 5.1.

Data tersebut menunjukkan bahwa dari 30 responden yang menjadi

sampel dalam penelitian ini terdiri dari 15 responden kelompok massage

abdomen dan 15 responden kelompok kontrol. Berdasarkan jenis kelamin

persentase terbesar pada kelompok massage abdomen adalah laki-laki (53,3%)

sedangkan pada kelompok kontrol persentase jenis kelamin terbesar adalah

laki-laki (66,7%). Pendidikan terbanyak pada kelompok massage abdomen SD

dan SMA masing-masing (30%) dan kelompok kontrol adalah S1 (40%). Untuk

pekerjaan pada kelompok massage abdomen sebagian besar adalah IRT (30%)

dan tidak bekerja (30%) dan untuk kelompok kontrol adalah pekerjaan

terbanyak adalah PNS (33,3%) dan Tidak bekerja (33,3%). Suku terbanyak

pada kelompok massage abdomen Toraja (60%) dan kelompok kontrol adalah

suku Toraja (33,3%). Umur rata - rata responden yang menjadi sampel pada

kelompok intervensi massage abdomen adalah 59 tahun sedangkan rata-rata

umur pada kelompok kontrol adalah 54 tahun.

Hasil uji statistik pada semua data demografi menunjukkan tidak ada

perbedaan bermakna antara kelompok intervensi (massage abdomen) dengan

kelompok kontrol (p > 0.05) yang berarti bahwa semua karakteristik yang

dijadikan sampel penelitian adalah homogen.


Tabel 4. Distribusi Frekuensi Demografi Responden di RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar (n: 30)

Variabel Kelompok Massage Kelompok p value


Abdomen (n=15) Kontrol
(n= 15)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 8 (53,3%) 10 (66,7%) 0,228Ϯ
Perempuan 7 (46,7%) 5 (33,3%)
Tingkat
Pendidikan
Tidak Sekolah 3 (20,0%) 1 (6,7%)
SD 3 (20,0%) 4 (26,7%)
SMP 2 (13,3%) 1 (6,7%) 0,140ϮϮ
SMA 3 (20,0%) 2 (13,3%)
DIII 1 (6,7%) -
S1 2 (13,3%) 6 (40%)
S2 1 (6,7%) 1 (6,7%)
Pekerjaan
Tidak Bekerja 4 (26,7%) 5 (33,3%)
IRT 4 (26,7%) 2 (13,3%)
Petani 2 (13,3%) - 0,312ϮϮ
Wiraswasta 1 (6,7%) 1 (6,7%)
PNS 3 (20,0%) 5 (33,3%)
Pegawai Swasta 1 (6,7%) 2 (13,3%)
Suku
Bugis 3 (20%) 4 (26,7%)
Makassar 4 (26,7%) 4 (26,7%)
Toraja 6 (40%) 5 (33,3%)
0,389ϮϮ
Mandar 2 (13,3%) -
Jawa - 1 (6,7%)
Ambon - 1 (6,7%)
Umur
Mean (SD) 59,33 (11,1) 54,47 (11,0)
0,119ϮϮϮ
Min-Max 42-86 38-76
Ϯ
Uji Chi-Square, ϮϮUji Mann Whitney, ϮϮϮUji independent t test

Untuk melihat karakteristik status klinik responden meliputi lama rawat

inap, lama hari tidak BAB, CAS baseline dan peristaltik baseline dapat dilihat

pada tabel 5.2. Pada tabel ini dipaparkan bahwa rata-rata lamanya rawat inap

responden sebelum pengambilan data awal adalah 5 hari pada kelompok

intervensi dan pada kelompok kontrol rata-rata lama rawat inapnya juga 5 hari.

Untuk data berapa lama pasien sulit atau tidak bisa BAB ditemukan bahwa
responden pada kelompok intervensi rata-rata sulit atau tidak BAB selama 4

hari sedangkan responden pada kelompok kontrol rata-rata sulit atau tidak bisa

BAB selama 3 hari. Untuk skor baseline konstipasi (CAS) ditemukan bahwa

pada kelompok intervensi skor konstipasi (CAS) rata-rata 8,87 sedangkan pada

kelompok kontrol skor CAS baseline 8,13 Untuk peristaltik baseline ditemukan

bahwa pada kelompok intervensi peristaltik rata-rata 2x/menit sedangkan pada

kelompok kontrol rata-rata peristaltik 3x/menit. Hasil uji statistik pada variabel

penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok

intervensi (massage abdomen) dengan kelompok kontrol (p > 0,05) yang berarti

bahwa semua variabel penelitian pada kedua kelompok adalah homogen.

Tabel 5. Distribusi frekuensi karakteristik status klinis responden pada


baseline di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar (n=30)
Variabel Kelompok Massage Kelompok Kontrol p value
Abdomen (n=15) (n=15)
Lama rawat inap
Mean (SD) 5,43 (4,65) 5,07 (4,57) 0,392Ϯ
Min-Max 1-17 2-21
Lama hari tidak BAB
Mean (SD) 4,47 (1,84) 3,87 (1,30) 0,156Ϯ
Min-Max 3-9 3-8
CAS Baseline
Mean (SD) 8,87 (3,11) 8,13 (4,15) 0,294Ϯ
Min-Max 4-15 3-14
Peristaltik Baseline
Mean (SD) 2,53 (1,187) 3,27 (1,223) 0,053Ϯ
Min-Max 0-4 1-5

Ϯ
uji Independent t test
2. Gambaran status BAB pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

(n=30) selama 3 hari.

Gambaran status BAB pada kelompok intervensi massage abdomen dan

kelompok kontrol selama tiga hari dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabael ini

menunjukkan presentase status BAB responden.

Tabel 6.Gambaran status BAB pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol selama tiga hari.

Status BAB Kelompok

Intervensi (n=15) Kontrol (n=15)

BAB hari 1 0 (0%) 0 (0%)

BAB hari 2 9 (60,0%) 0 (0%)

BAB hari 3 5 ( 33,3%) 0 (0%)

Belum BAB 1 (6,7%) 15 (100%)

total 15 (100 %) 15 (100%)

Tabel ini memaparkan bahwa pada kelompok intervensi dari 15

responden terdapat 14 orang (93,33%) yang sudah BAB setelah 3 hari

intervensi dan 1 diantaranya (6,7%) belum BAB. Sedangkan pada

kelompok kontrol dari 15 orang responden terdapat 15 orang (100%) yang

belum BAB sampai pada hari ke-3.

Dalam tabel ini juga dijelaskan bahwa pada kelompok intervensi

sebagian besar responden yaitu 9 orang (60,0%) yang mengalami defekasi

(BAB ) setelah intervensi hari kedua.


3. Perbedaan Skor Constipation Assesment Scale (CAS) sepanjang

pengukuran mulai dari baseline, hari pertama, kedua dan ketiga

setelah mengontrol lamanya tidak BAB berdasarkan kelompok

Perbedaan skor konstipasi (CAS) sepanjang pengukuran mulai

dari baseline, hari pertama, kedua dan ketiga setelah mengontrol lama

hari pasien tidak BAB berdasarkan kelompok dapat dilihat pada tabel

5.4. Tabel ini menunjukkan adanya perbedaan skor konstipasi (CAS)

sepanjang pengukuran dengan nilai p = 0,000 serta power yang tinggi

sebesar 100%

Tabel 7. Perbedaan Skor Constipation Assesment Scale (CAS)


sepanjang pengukuran mulai dari baseline, hari
pertama, kedua dan ketiga setelah mengontrol lamanya
tidak BAB berdasarkan kelompok (n=30)

Mean rerata skor CAS


kelompok
Waktu p value Power
Massage
Kontrol
Abdomen
Baseline 8,322 8,688
Hari 1 8,322 8,688
Hari 2 4,811 9,755 0,000 1,000
Hari 3 0,931 11,375
Ϯ
Uji repeated ANCOVA

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok massage

abdomen tidak mengalami perubahan skor konstipasi dari baseline

kepengukuran hari pertama begitu pula dengan kelompok kontrol.

Kemudian nilai mean skore konstipasi (CAS) pada kelompok massage

abdomen menurun dari hari pertama ke hari kedua yaitu sebesar 3,511
dan pada hari kedua ke hari ketiga mengalami penurunan sebesar 3,88.

Sedangkan pada kelompok kontrol di hari pertama ke hari kedua skor

konstipasi (CAS) mengalami peningkatan sebesar 1,067 dan pada hari

kedua ke hari ketiga skor konstipasi (CAS) mengalami peningkatan lagi

sebesar 1,623. Pada tabel ini dapat dilihat dengan jelas bahwa pada

kelompok intervensi massage abdomen skor konstipasi (CAS)

mengalami penurunan rata-rata sebesar 7.391 sedangkan pada

kelompok kontrol sebaliknya mengalami total peningkatan rata-rata

skor konstipasi (CAS) sebesar 2,69. Hasil ini menunjukkan bahwa

Massage abdomen dapat menurunkan skor konstipasi (CAS) secara

signifikan.

4. Perbedaan skor konstipasi (CAS) antara kelompok massage abdomen

dan kelompok kontrol

Perbedaan skor konstipasi (CAS) antara kelompok intervensi

massage abdomen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan skor konstipasi

(CAS) antara kelompok massage abdomen dengan kontrol dengan nilai

p= 0,001 dengan power 0,959 (95%)

Pada tabel ini menunjukkan bahwa rata-rata skor konstipasi (CAS)

antara kelompok massage abdomen dan kelompok kontrol memiliki

rerata yang jauh berbeda dimana perbedaan nilai rerata skor konstipasi

antara kedua kelompok tersebut adalah 4,03. Secara klinis skor rerata

konstipasi (CAS) pada kelompok massage abdomen lebih rendah

dibandingkan rerata skor konstipasi pada kelompok kontrol. Hasil ini


menunjukkan bahwa terjadi perbedaan skor konstipasi antara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol.

Tabel 8. Perbedaan Skor Constipation Assesment Scale (CAS)


pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (n=30)

Kelompok Mean p value Power


Kelompok Massage Abdomen 5,597
0,001Ϯ 0,959
Kelompok kontrol 9,627
Ϯ
U
Ϯ
Uji Repeated ANCOVA

5. Grafik

a. Grafik perbedaan skor konstipasi (CAS) sepanjang pengukuran


dimulai dari baseline, hari pertama, kedua dan ketiga berdasarkan
kelompok
Setelah diberikan perlakuan selama 3 hari, nilai rerata skor
konstipasi dimulai dari baseline, hari pertama, kedua dan ketiga dalam
setiap kelompok berdasarkan kelompok dapat digambarkan pada grafik 1.
Grafik.1 Perbedaan Skor konstipasi (CAS) sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, hari pertama, kedua dan ketiga berdasarkan
kelompok.
Pada grafik terlihat bahwa pada kelompok intervensi (massage

abdomen), tidak mengalami perubahan rerata skor konstipasi (CAS)

pada hari pertama namun dihari kedua dan ketiga mengalami penurunan

rerata skor konstipasi yang signifikan. Sedangkan pada kelompok

kontrol responden sebaliknya mengalami peningkatan rerata skor

konstipasi (CAS) pada hari kedua dan ketiga

C. Pembahasan

Pada bagian ini akan memaparkan mengenai hasil – hasil penelitian

dan membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

dikaitkan dengan teori – teori yang mendukung atau bertolak belakang

dengan penelitian ini. Pembahasan akan membahas tentang hasil uji beda

rata-rata pada masing-masing variabel setelah mengontrol lamanya hari

tidak BAB. Pada status responden, secara klinis terdapat perbedaan rata-

rata lama tidak BAB antara kelompok kontrol dan kelompok massage

abdomen. Dimana responden pada kelompok kontrol rata-rata tidak BAB

selama 3 hari sedangkan pada kelompok massage abdomen rata-rata

responden tidak BAB selama 4 hari. Pada penelitian ini menjelaskan bahwa

lamanya tidak BAB sebagai variabel perancu seharusnya dikontrol karena

lamanya tidak BAB dapat mempengaruhi konstipasi pasien. Semakin lama

pasien tidak BAB maka semakin berat konstipasinya karena ketika feses

berada dalam jangka waktu yang lama dicolon dan rektum maka air akan

terserap lebih banyak karena terjadi peningkatan absorbsi, sehingga


membuat feses lebih kering, keras dan sulit dikeluarkan (Sherwood,2011:

Guyton,2007).

Bagian akhir pada bab ini akan membahas keterbatasan penelitian,

implikasi dan tindak lanjut hasil penelitian yang dapat diterapkan dan

diaplikasikan pada praktik keperawatan untuk meningkatkan kualitas dari

asuhan keperawatan khususnya pada pasien stroke yang mengalami

konstipasi akibat dari immobilisasi.

1. Perbedaan skor konstipasi (CAS) sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline sepanjang pengukuran mulai dari baseline, hari

pertama, kedua dan ketiga setelah mengontrol lama tidak BAB

berdasarkan kelompok.

Setelah mengontrol lama hari tidak BAB yang merupakan

variabel perancu atau variabel confounding diperoleh adanya

perbedaan skor konstipasi sepanjang pengukuran mulai dari baseline,

hari pertama, hari ke-2 dan hari ke-3 pada kelompok intervensi

(massage abdomen) dengan kelompok kontrol. Skor konstipasi (CAS)

pada kelompok massage abdomen menunjukkan adanya penurunan dari

pengukuran baseline sampai pengukuran pada hari ketiga. Sedangkan

pada kelompok kontrol mengalami peningkatan rerata skor konstipasi

(CAS) pada hari kedua dan hari ketiga pengukuran. Dengan adanya

hasil diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa terapi massage

abdomen disertai dengan pemberian mobilisasi yang diberikan pada

kelompok intervensi sangat efektif dalam menurunkan skor konstipasi


pada pasien stroke iskemik yang mengalami konstipasi dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang hanya diberikan mobilisasi.

Menurut pandangan peneliti hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa massage abdomen yang dilakukan pada pasien stroke yang

mengalami konstipasi sangat efektif dalam menurunkan skor konstipasi

(CAS) responden. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa massage

abdomen merupakan intervensi yang efektif yang dapat dilakukan

perawat dalam menangani masalah konstipasi pada pasien stroke yang

mengalami kesulitan BAB. Pandangan peneliti sesuai dengan hasil

pada penelitian (Lamas, 2011) yang dalam penelitiannya menjelaskan

bahwa massage abdomen dapat menurunkan konstipasi melalui

beberapa mekanisme yang berbeda-beda antara lain dengan

menstimulasi sistem persyarafan parasimpatis sehingga dapat

menurunkan tegangan pada otot abdomen, meningkatkan motilitas pada

sistem pencernaan, meningkatkan sekresi pada sistem intestinal serta

dapat memberikan relaksasi sfingter.

Hal yang sama diungkapkan dalam penelitian (Kyle,2011; Lamas,2011;

Sinclair 2010; dan Emily; 2007) bahwa pada massage abdomen,

dilakukan tekanan langsung pada dinding abdomen yang dilakukan

secara berurutan dan kemudian diselingi dengan waktu relaksasi

sehingga dengan cepat dapat meningkatkan refleks gastrokolik dan

meningkatkan kontraksi dari usus dan rectum sehingga merangsang

peristaltik usus. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis penelitian

yaitu ada perbedaan skor konstipasi (CAS) pada baseline, hari pertama,
hari kedua dan hari ketiga antara kelompok intervensi dengan

kelompok kontrol.

2. Perbedaan skor konstipasi (CAS) setelah mengontrol lama tidak

BAB antara kelompok massage abdomen dengan kelompok

kontrol

Setelah mengontrol lama hari tidak BAB, maka ditemukan hasil

bahwa terdapat perbedaan signifikan rerata skor konstipasi (CAS)

antara kelompok massage abdomen dengan kelompok kontrol dimana

rerata skor konstipasi kelompok massage abdomen lebih rendah

dibanding kelompok kontrol yaitu 5.597 sedangkan pada kelompok

kontrol rerata skor konstipasinya adalah 9,627. Hasil penelitian ini telah

menunjukkan bahwa pemberian massage abdomen dapat menurunkan

skor konstipasi dibandingkan dengan kelompok yang hanya

mendapatkan mobilisasi.

Hal ini sejalan dengan pendapat (Kyle, 2011) yang menjelaskan

bahwa Massage abdomen merupakan salah satu terapi komplementer,

dimana terapi komplementer adalah berbagai terapi alternatif yang

dapat dipilih oleh pasien dalam mengatasi masalah atau penyakitnya

disamping melakukan terapi medis. Massage Abdomen yang juga

disebut sebagai pijat usus atau kolon ini telah diakui oleh beberapa

praktisi sebagai pilihan manajemen yang efektif untuk mengatasi

konstipasi dengan keuntungan tambahan, massage abdomen ini mudah


dilakukan, bahkan bisa dilakukan oleh pasien dan keluarganya sendiri,

membuat pasien lebih relaks.

Penelitian lain yang mendukung tentang pengaruh massage

abdomen terhadap penurunan konstipasi diantaranya penelitian Kim

& Bae ( 2013) di Seoul, Korea Selatan. Pada penelitian ini peneliti

melakukan massage abdomen menggunakan aroma oils pada 20

pasien lansia yang mengalami stroke dengan keluhan konstipasi.

Intervensi massage abdomen ini dilakukan 6 kali seminggu, dalam

kurun waktu 2 minggu. Dalam penelitian ini penilaian dilakukan

setiap minggunya pada hari ke tujuh menggunakan Constipation

Assesment Scale (skala penilaian konstipasi) dan dari hasil yang

diperoleh disimpulkan bahwa massage abdomen dengan

menggunakan minyak pijat aroma oils sangat efektif dalam mengatasi

konstipasi pada pasien stroke usia lanjut.

Tidak hanya itu Penelitian lain tentang massage abdomen

adalah penelitian (Silva & Motta, 2013) yang meneliti tentang

penggunaan abdominal muscle training, breathing exercise, massage

abdomen untuk mengatasi konstipasi kronik pada anak. Penelitian

dilakukan pada 72 anak usia 4 -18 tahun yang mengalami konstipasi

kronik selama 6 minggu. Penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, 32

anak pada kelompok intervensi (fisioterapi + obat pencahar

magnesium hidrosida) dan 32 anak kelompok kontrol (obat pencahar

magnesium hidrosida). Dari hasilnya diperoleh bahwa peningkatan


frekuensi defekasi lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan

pada kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian yang ada maka mendukung

hipotesis penelitian sebelumnya bahwa ada pengaruh massage

abdomen terhadap penurunan konstipasi pada pasien stroke iskemik.

Pada penelitian ini ditemukan hasil dari 15 orang responden dari

kelompok massage abdomen terdapat 14 orang (93,33%) yang dapat

BAB dan 1 orang (6,67%) belum bisa BAB sedangkan pada kelompok

kontrol dari 15 orang responden belum ada yang mengalami BAB.

Dalam kelompok intervensi (massage abdomen) 14 orang

(93,33%) responden mengalami defekasi sepanjang pengukuran sampai

hari ketiga. hal ini jelas dikarenakan efek dari pemberian massage

abdomen. Secara teori Refleks defekasi ditimbulkan karena rangsangan

intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat. Saat feses

masuk ke dalam rektum terjadi peregangan dinding rektum sehingga

menimbulkan rangsangan aferen yang menyebar melalui pleksus

mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltik di dalam kolon

desenden, sigmoid dan rektum, serta mendorong feses ke arah anus.

Sewaktu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani internus

direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienterikus, jika

sfingter ani eksternus secara sadar, secara volunter berelaksasi dan bila

terjadi pada waktu yang bersamaan maka akan terjadi proses defekasi.

Pada pasien stroke iskemik yang mengalami immobilisasi terjadi

penurunan peristaltik sehingga massage abdomen membantu


merangsang peristaltik usus dan meningkatkan tekanan intraabdomen

sehingga memudahkan proses defekasi.

Massage abdomen telah dibuktikan efektif mengatasi konstipasi

dari beberapa penelitian. Menurut Liu, et al., (2005), masase abdomen

dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen. Pada kasus-kasus

neurologi masase abdomen dapat memberikan stimulus terhadap rektal

dengan somato-autonomic reflex dan adanya sensasi untuk defekasi.

Hal yang sama diungkapkan dalam penelitian (Kyle,2011; Lamas,2011;

Sinclair 2010; dan Emily; 2007) bahwa pada massage abdomen,

dilakukan tekanan langsung pada dinding abdomen yang dilakukan

secara berurutan dan kemudian diselingi dengan waktu relaksasi

sehingga dengan cepat dapat meningkatkan refleks gastrokolik dan

meningkatkan kontraksi dari usus dan rectum sehingga merangsang

peristaltik usus.

Namun ada 1 orang pada kelompok intervensi yang belum bisa

defekasi (BAB) sampai hari ketiga. Hal ini bisa disebabkan karena

berbagai faktor seperti yang dijelaskan dalam Sherwood (2011); Kyle

(2011); Williams & Hopper (2007); Guyton (2007); Silbernagl dan

Lang (2006) bahwa ada berbagai penyebab dan faktor resiko terjadinya

konstipasi seperti diet rendah serat,obstruksi mekanik, penyebab

neurogenik, gangguan refleks dan psikogenik serta obat-obatan

tertentu. Pada responden tersebut semua kebutuhan cairan, serat dan

mobilisasi terpenuhi namun yang menjadi masalah mengapa pasien

belum BAB meski telah diberi intervensi sampai hari ketiga adalah
pasien mengalami ileus paralitik dan hal ini baru terdiagnosa setelah

beberapa hari setelah intervensi. Ileus paralitik atau adynamic ileus

paralitik adalah keadaan di mana usus gagal atau tidak mampu

melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya (Guyton,

2007). Pasien juga mengalami konstipasi cukup lama sebelum di

berikan intervensi yaitu 9 hari, sehingga kemungkinan pasien sudah

mengalami impaksi fekal sehingga feses sangat sulit dikeluarkan meski

dengan massage abdomen. Dalam Sherwood (2011); (Guyton, 2007)

menjelaskan bahwa ketika feses berada dalam jangka waktu yang lama

di rectum, air diserap lebih banyak karena terjadi peningkatan absorbsi

air, sehingga membuat feses lebih kering, lebih keras, sulit untuk

dikeluarkan.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur ilmiah, namun

demikian masih memiliki berbagai keterbatasan, diantaranya:

1. Adanya responden yang tidak menepati kontrak dan aturan

penelitian seperti penggunaan laksatif sebelum 3 hari intervensi, hal

ini yang membuat pasien di drop out

2. Ukuran sampel dalam penelitian ini terlalu sedikit sehingga belum

dapat secara representatif menggambarkan perbedaan skor

konstipasi (CAS) antara laki-laki dan perempuan secara statistik.


BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan untuk melihat

pengaruh dari massage abdomen terhadap perubahan konstipasi pada pasien

stroke iskemik yang menjalani rawat inap di ruang perawatan neurologi dan

brain center RSUD Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Terdapat perubahan rerata skor konstipasi (CAS) pada kelompok

massage abdomen dan kelompok kontrol setelah pengukuran baseline,

hari pertama, hari kedua dan ketiga. Dimana pada kelompok kontrol

mengalami peningkatan skor CAS sedangkan pada kelompok intervensi

mengalami penurunan skor CAS.

2. Terdapat perbedaan terhadap rerata skor konstipasi (CAS) pada

kelompok intervensi yaitu pasien yang mendapatkan massage abdomen

+ mobilisasi dengan kelompok kontrol, pasien yang hanya

mendapatkan mobilisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa massage

abdomen benar-benar memiliki efek terhadap penurunan konstipasi.

B. Saran

Pada penelitian ini terdapat keterbatasan yang dialami oleh peneliti

yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya sehingga adapun saran yang

dapat peneliti berikan sebagai berikut:


1. Massage abdomen dapat dilakukan oleh perawat sebagai salah satu

intervensi keperawatan dalam mengatasi masalah konstipasi pada pasien

sebelum melakukan tindakan kolaborasi (pemberian obat pencahar).

2. Setiap rumah sakit sebaiknya mempunyai SOP massage abdomen dan

adanya program rutin pemberian pelatihan massage abdomen khususnya

diruang perawatan pasien stroke guna memandirikan pasien dan keluarga

untuk mencegah dan mengatasi masalah konstipasi yang bisa timbul akibat

immobilisasi.

3. Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya menambahkan jumlah sampel

sehingga hasilnya lebih representatif.


DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M & Tomey, A. (2014). Nursing Theorists and Their Work , Evolution
of Nursing Theories. (8th editions). United States of America: Elsevier.
Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10846995.

Batticaca, F. B. (2011). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah; Manajemen


klinis untuk hasil yang diharapkan (edisi 8). Jakarta: Salemba Medika

Coggrave, M., Wiesel, P. H., & Norton, C. (2006). Management of faecal


incontinence and constipation in adults with central neurological diseases. The
Cochrane Database of Systematic Reviews, (2), CD002115.
http://doi.org/10.1002/14651858.CD002115.pub3

Costilla, V. C., & Foxx-Orenstein, A. E. (2014). Constipation in Adults:


Diagnosis and Management. Current Treatment Options in
Gastroenterology, 12(3), 310–321. https://doi.org/10.1007/s11938-014-0025-
8

Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: Panduan


melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: CV. Trans Info
Media.

Dinas kesehatan Kota Makassar. (2013). Profil Kesehatan Kota Makassar.


Makassar. Retrieved from http;//doi.org/10.1073993104.

Douglas, G., Nicol, F., Robertson,C., (2014) Macleod's Clinical Examination. (13th
edition). Singapore:Elsevier
Drossman, D. a. (2006). The Functional Gastrointestinal Disorders and the Rome
III Process. Gastroenterology, 130(5), 1377–1390.
http://doi.org/10.1053/j.gastro.2006.03.008

Emly, M. C. (2007). Abdominal massage for constipation. Therapeutic


Management of Incontinence and Pelvic Pain: Pelvic Organ Disorders, 223–
225. http://doi.org/10.1007/978-1-84628-756-5_34

Engler, T.M., Dourado,C.C., Amancio, T.G., Farage. L., Mello, PA.,Padula, M.


P.C. (2014) Stroke: Bowel Dysfunction in Patients Admitted for
Rehabilitation. The Open Nursing Journal, 2014,8,43-47.
http://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/)

Folden, S. L. (2002). Practice guidelines for the management of constipation in


adults. Rehabilitation Nursing, 27(5), 169–175. http://doi.org/10.1002/j.2048-
7940.2002.tb02005.x

Ginsberg, L. (2007). Lecture Notes: Neurologi (8th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Guyton, A.C & Hall. J (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (edisi 11),
Jakarta:EGC

Hadi,S.(2013). Gastroenterologi.(edisi 3).Jakarta: P.T.ALUMNI

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil Kesehatan Republik


Indonesia tahun 2013. Jakarta.

Kim, Y.G., & Bae, H.S. (2013). The Effect of Abdominal Massage with Aroma
Oils on Constipation in Elderly Stroke Patients.Reseach Article vol
11.No.5,883-890.

Krogh, K., & Laurberg, S. (2009). Constipation in the elderly: Investigation and
management. Aging Health, 5(5), 671–682. http://doi.org/10.2217/ahe.09.64

Kyle, G. (2011). Constipation : review of management and treatment. Journal


Community Nursing, 25(6).
Lamas, K. (2011). Using Massage to Ease Constipation. Nursing Times, 107(4),
26–27.

Lim, S. F., Ong, S. Y., Tan, Y. L., Ng, Y. S., Chan, Y. H., & Childs, C. (2015).
Incidence and predictors of new-onset constipation during acute
hospitalisation after stroke. International Journal of Clinical Practice, 69(4),
422–428. http://doi.org/10.1111/ijcp.12528

Lim, S. F & Childs, C (2012). A Systematic Review of The Effectiveness of Bowel


Management Strategies for Constipation in Adults with Stroke. International
Journal of Nursing Studies 50 (2013)1004-1010. Elsevier.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2012.12.002

Molin, A. D., McMillan, S., Zenerino, F., Rattone, V., Grubich, S., Guazzini, A., &
Rasero, L. (2012). validity and reliability of the Constipation Assessment
Scale. Internasional Journal of Paliiative Nursing, 18, 321–325.

Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2014). Patofisiologi; Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit (6th ed.). Jakarta: EGC.

Rachmawaty, R. (2017). Ethical issues in action-oriented research in Indonesia.


Nursing Ethics, 24(6), 686–693. https://doi.org/10.1177/0969733016646156

Rekam Medis .(2016). RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar

Sherwood, Lauralee. (2011).Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. (edisi: 6).


Jakarta:EGC

Sharma, S., & Agarwal, B. B. (2012). Scoring Systems in evaluation of constipation


and Obstructed Defecation Syndrome (ODS). Journal International Medical
Sciences Academy, 25(1), 57–59.
Silva, C. A. G., & Motta, M. E. F. A. (2013). The use of abdominal muscle training
, breathing exercises and abdominal massage to treat paediatric chronic
functional constipation, 7–9. http://doi.org/10.1111/codi.12160

Sinclair, M. (2011). The use of abdominal massage to treat chronic constipation.


Journal of Bodywork and Movement Therapies, 15(4), 436–445.
http://doi.org/10.1016/j.jbmt.2010.07.007

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah;
Brunner & Suddarth (edisi 8). Jakarta: EGC.

Silbernagl, S & Lang,F.(2006). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC

Su, Y., Zhang, X., Zeng, J., Pei, Z., Cheung, R. T. F., Zhou, Q., … Zhang, Z. (2009).
New-Onset Constipation at Acute Stage After First Stroke Incidence, Risk
Factors,and Impact on The Stroke Outcome. Stroke, 40(4), 1304–1309.
http://doi.org/10.1161/StrokeAHA.108.534776

Williams, L. S., & Hopper, P. D. (2007). Understanding medical-surgical nursing.


http://doi.org/10.1002/1521-3773(20010316)40:6<9823::AID-
ANIE9823>3.3.CO;2-C

Anda mungkin juga menyukai