Anda di halaman 1dari 28

BAB I

KONSEP MEDIS
A. Definisi
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Sectio Caesaria
ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan diatas 500 gram
melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh . Sectio caesaria adalah
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan
dinding rahim (Muchtar. 2014).
Sectio Caesarea (SC) adalah suatu persalinan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.1 Kemajuan di
bidang teknologi kedokteran khususnya dalam metode persalinan ini jelas
membawa manfaat besar bagi keselamatan ibu dan bayi serta mempermudah
proses persalinan sehingga banyak ibu hamil yang lebih senang memilih jalan
ini walaupun sebenarnya mereka bisa melahirkan secara normal.
Tindakan SC dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan
menyebabkan risiko pada ibu ataupun pada janin seperti proses persalinan
normal lama atau kegagalan proses persalinan normal, plasenta previa,
panggul sempit, distosia serviks, pre eklamsi berat, ruptur uteri iminen,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, janin letak lintang, letak bokong,
fetal distres dan janin besar melebihi 4.000gram (Salawati, 2013).
B. Klasifikasi
1. Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi memanjang pada
corpus uteri yang mempunyai kelebihan mengeluarkan janin lebih
cepat,tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, dan
sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal . Sedangkan
kekurangan dari cara ini adalah infeksi mudah menyebar secara intra
abdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik danuntuk
persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan.
b. Sectio caesarea profunda : dengan insisi pada segmen bawah rahim
dengan kelebihan penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan
reperitonealisasi yang baik, perdarahan kurang dan kemungkinan
rupture uteri spontan kurang/lebih kecil. Dan memiliki kekurangan
luka dapat melebar kekiri, bawah, dan kanan sehingga mengakibtakan
pendarahan yang banyak serta keluhan pada kandung kemih.
c. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan
dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila :
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
3. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira 10cm.
Kelebihan :
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan
pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu
yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -
kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya adalah
memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini
maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen
bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan :
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan
lebih kecil
Kekurangan :
a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan
yang banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
C. Indikasi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi
dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Beberapa
penyebab dilakukan sectio caesarea yaitu :
1. Cephalo pelvic disproportion/ disproporsi kepala panggul yaitu apabila
bayi terlalu besar atau pintu atas panggul terlalu kecil sehingga tidak dapat
meleawati jalan lahir dengan aman, sehingga membawa dampak serius
bagi ibu dan janin.
2. Plasenta previa yaitu plaesenta melekat pada ujung bawah uterus sehingga
menutupi serviks sebagian atau seluruhnya, sehingga ketika serviks
membuka selama persalinan ibu dapat kehilangan banyak darah, hal ini
sangat berbahaya bagi ibu maupun janin.
3. Tumor pelvis (obstruksi jalan lahir, dapat menghalangi jalan lahir
akibatnya bayi tidak dapat dikeluarkan melalui vagina. Kelainan tenaga
atau kelainan his, misalnya pada ibu anemia sehingga kurang
kekuatan/tenaga ibu untuk mengedan dapat menjadi rintangan pada
persalinan, sehingga persalinan mengalai hambatan/kemacetan.
4. Ruptura uteri imminent (mengancam) yaitu adanya ancaman akan terjadi
ruptur uteri bila persalinan spontan. Kegagalan persalinan : persalinan
tidak majui dan tidak ada pembukaan, disebabkan serviks yang kaku,
sering terjadi pada ibu primi tua atau jalan persalinan yang lama.
5. Pertimbangan lain yaitu ibu dengan resiko tinggi persalinan,apabila telah
mengalami sectio caesarea atau menjalani operasi kandungan sebelumya,
ruptur uteri bisa terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi
sectio caesarea klasik, miomektomi, misalnya ibu dengan riwayat mioma
sehingga dilakukan miomektomi
(Manuaba, 2007).
D. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia,
distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu
adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan
diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan,
pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan
rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi
akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan
baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.
E. Manifestasi Klinik
Persalinan dengan Sectio Caesaria, memerlukan perawatan yang lebih
koprehensif yaitu: perawatan post operatif dan perawatan
post partum. Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Doenges
(2001), antara lain :
b. Nyeri akibat ada luka pembedahan
c. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
d. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
e. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea
tidak banyak)
f. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-
800ml
g. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan
ketidakmampuan menghadapi situasi baru
h. Biasanya terpasang kateter urinarius
i. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
j. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
k. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
l. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham
prosedur
m. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar
pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit
G. Penatalaksanaan
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit
agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan
RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb
rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam
pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
a) Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
b) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
c) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
d) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
e) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
f) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
a) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap
institusi
b) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
 Supositoria : ketopropen sup 2x/24 jam
 Oral             : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
 Injeksi         : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
6. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti
7. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi,dan pernafasan.
8. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan
tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan
payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa
nyeri.
(Manuaba, 1999)
H. Komplikasi
1. Infeksi, Lokasinya pada rahim dapat meluas ke organ-organ dalam rongga
panggul disekitarnya. Faktor-faktor predisposisi partus lama, ketuban
pecah dini, tindakan vaginal sebelumnya.
2. Pendarahan bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri
uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Luka kandung kemih.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga bisa terjadi ruptur
uteri pada kehamilan berikutnya.
5. Ruptur uteri pada kehamilan berikutnya
(Wiknjosastro, 2005).
I. Definisi Plasenta Previa
Menurut Nugroho (2010) Plasenta previa yaitu plasenta yang letaknya
abnormal, karena plasenta terletak pada segmen bawah rahim sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostinum uteri internum.
Adapun menurut Chalik dalam Prawirohardjo (2009) plasenta previa
adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim demikian rupa
sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostinum uteri internum.
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal) dan oleh karenanya bagian terendah
sering kali terkendala memasuki Pintu Atas Panggul (PAP) atau menimbulkan
kelainan janin dalam rahim.
J. Etiologi
Penyebab pasti dari placenta previa belum diketahui sampai saat ini.
Tetapi berkurangnya vaskularisasi pada segmen bawah rahim karena bekas
luka operasi uterus, kehamilan molar, atau tumor yang menyebabkan
implantasi placenta jadi lebih rendah merupakan sebuah teori tentang
penyebab palcenta previa yang masuk akal.
Selain itu, kehamilan multiple/lebih dari satu yang memerlukan
permukaan yang lebih besar untuk implantasi placenta mungkin juga menjadi
salah satu penyebab terjadinya placenta previa. Dan juga pembuluh darah yang
sebelumnya mengalami perubahan yang mungkin mengurangi suplai darah
pada daerah itu, faktor predisposisi itu untuk implantasi rendah pada
kehamilan berikutnya.
K. Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin
juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak
plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk
dari jaringan maternal yaitu bagian dari desidua basalis yang tumbuh menjadi bagian
dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka
plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat
pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks
mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian dari tapak plasenta yang
terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi
maternal yaitu dari ruangan intersilus dari plasenta. Oleh karena fenomena
pembentukan segmen bawah rahim tersebut maka perdarahan pada plasenta previa
berapapun pasti akan terjadi (Chalik, 2009).
Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen
bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot
yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah ditempat itu tidak
akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan terhenti jika terjadi pembekuan
kecuali jika ada laserasi yang mengenai sinus yang besar dimana perdarahan akan
berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah
rahim tersebut akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan
mengulang kejadian perdarahan (Chalik, 2009).
Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa disertai rasa nyeri. Pada plasenta
yang menutupi seluruh ostium internum perdarahan terjadi lebih awal dalam
kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah
yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsialis atau letak
rendah, perdarahan baru terjadi pada saat mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan
pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya.
Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada usia kehamilan dibawah 30 minggu tetapi
lebih separuh kejadiannya pada usia kehamilan 34 minggu ke atas (Chalik, 2009).
Berhubung tempat perdarahan dekat dengan ostium uteri internum, maka
perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim dan tidak membentuk hematoma
retroplasenta yang dapat merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke
sirkulasi maternal. Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta
previa (Chalik, 2009).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah segmen bawah rahim yang berdinding
tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat
lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan inkreta, bahkan
plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli dan
ke rektum bersama plasenta previa. Segmen bawah rahim yang rapuh dan mudah
robek karena kurangnya elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini
berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa,
misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retensio
plasenta) atau setelah uri terlepas karena segmen bawah rahim tidak mampu
berkontraksi dengan baik (Chalik, 2009).
L. Klasifikasi Plasenta Previa
Menurut Nugroho, 2012 dikenal 4 klasifikasi dari plasenta previa :
1. Plasenta previa totalis : Plasenta menutupi seluruh ostinum uteri internum
2. Plasenta previa lateralis : Plasenta menutupi sebagian dari ostium uteri
intenum
3. Plasenta previa marginalis tepi plasenta berada tepat pada tepi ostinum
uteri internum
4. Plasenta letak rendah : Plasenta berada 3 – 4 cm pada tepi ostium uteri
internum
M. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nugroho, 2012 pada plasenta previa pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah :
a. USG untuk diagnosis pasti yang menentukan letak plasenta
b. Pemeriksaan darah : hemoglobin dan hematocrit
N. Manifestasi Klinis
Menurut Nugroho (2012) manifestasi klinis plasenta previa diantara lain:
1. Anamnesa
a. Perdarahan jalan lahir berwarna merah segar tanpa rasa nyeri, tanpa
sebab
b. Terutama pada multi gravida pada kehamilan setelah 20 minggu
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan luar bagian terbawah janin biasaanya belum masuk pintu
atas panggul.
b. Pemeriksaan inspekulo : perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum.
O. Penatalaksanaan
Menurut Nugroho, 2012 penatalaksanaan plasenta previa diantara lain:
1. Harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas operasi.
2. Sebelum dirujuk, anjurkan pasien untuk tirah baring total dengan
menghadap kekiri, tidak melakukan senggama, menghindari peningkatan
tekanan rongga perut (misal batuk, mengedan karena sulit buang air besar).
3. Pasang infus NaCl fisiologis, bila tidak memungkinkan berikan peroral.
4. Pantau tekanan darah dan frekuensi nadi pasien secara teratur tiap 15
menit untuk mendeteksi adanya hipotensi atau syok akibat pendarahan.
5. Bila terjadi renjatan, segera lakukan pemberian cairan dan tranfusi darah.
6. Pengelolaan plasenta previa tergantung dari banyaknya perdarahan, umur
kehamilan dan derajat plasenta previa.
7. Jangan melakukan pemeriksaan dalam atau tampon vagina, karena akan
memperbanyak perdarahan dan menyebabkan infeksi.
Bila usia kehamilan <37 minggu dan TBF <2500 gram
1. Perdarahan sedikit keadaan ibu dan anak baik maka biasanya penanganan
konservatif sampai umur kehamilan aterm. Penangan berupa tiring baring,
hematinic, antibiotika dan tokolitik bila ada his. Bila selama 3 hari tidak
ada perdarahan pasien mobilisasi bertahap. Bila pasien berjalan tetap taka
da perdarahan pasien boleh pulang. Pasien dianjurkan agar tidak coitus,
tidak bekerja keras dan segera ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Nasihan ini juga dianjurkan bagi pasien yang didiagnosis plasenta previa
dengan USG namun tidak mengalami perdarahan.
2. Jika perdarahan banyak dan diperkirakan membahayakan ibu dan janin
maka dilakukan resusitasi cairan dan penanganan secara aktif.
Bila usia kehamilan >37 minggu/ lebih dan TBF <2500 gram
Pada kondisi ini maka dilakukan penanganan secara aktif yaitu segera
mengakhiri kehamilan, baik secara pervaginam atau perabdominal.
1. Persalina pervaginam diindikasikan pada plasenta previa marginalis,
plasenta previa letak rendah dan plasenta previa lateralis dengan
pembukaan 4 cm atau lebih.
2. Pada kasus tersebut bila tidak banyak perdarahan maka dapat dilakukan
pemecahan kulit ketuban agar bagian bawah anak dapat masuk pintu atas
panggul menekan plasenta yang berdarah.
3. Bila his tidak adekuat dapat diberikan pitosin drip. Namun bila perdarahan
tetap ada maka dilakukan seksio sesar.
4. Persalinan dengan seksio sesar diindikasikan untuk plasenta previa totalis
baik janin mati atau hidup, plasenta previa lateralis.
P. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang
menderita plasenta previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan
yang cukup banyak dan fatal (Prawirohardjo, 2009; h.499).
1. Oleh karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka
pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan
semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah
sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.
2. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan
sifat segmen ini yang tipis mudah jaringan trofoblas dengan kemampuan
invasinya menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke
perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta bahkan
perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih
kuat tetapi villinya masih belum masuk ke miometrium. Walaupun
biasanya tidak seluruh permukaan maternal plasenta mengalami akreta
atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi resiko retensio plasenta
dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbulah perdarahan dalam
kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang penah seksio
sesaria.
3. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah
sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. Oleh
karena itu harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat
ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen
bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada
retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak
yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti
penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterina, ligasi arteria
ovarika, pemasangan tampn, atau ligasi arteria hipogastrika, maka pada
keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan
histerektmi total.
4. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini
memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala
konsekuensinya.
5. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkaan sebagian
oleh karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam
kehamilan belum aterm. Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan
amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian
kartikosteroid untuk mempercepat kematangan paru janin sebagai upaya
antisipasi.
6. Komplikasi lainnya yaitu solusio plasenta (resiko relatif 13,8), seksio
sesaria (RR 3,9), kelainan letak janin (RR2,8), perdarahan post partum
(RR 1,7), kematian maternal akibat perdarahan (50%) dan disseminated
intravascular coagulation (DIC) 15,9%.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pre Operasi
Pengkajian pasien Pre operatif (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi:
1. Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat,
status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang
mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.
2. Keluhan utama
3. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
4. Data Riwayat penyakit
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit
dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah pasien operasi.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang,
Maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama
(Plasenta previa).
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
d. Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada
juga mempunyai riwayat persalinan plasenta previa.
5. Keadaan klien meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit
vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan
trombus.
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress
multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ;
stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk
hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane
mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra
operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ;
Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan
penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat
keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit
hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah
koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan,
analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat
yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol
(risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan
anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).
Intra Operasi
Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke instalasi bedah
dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup
aktivitas keperawatan mencakup :
1. Pemasangan IV cath
2. Pemberian medikasi intaravena
3. Melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien
Contoh : memberikan dukungan psikologis selama induksi anstesi, bertinda
k sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja
operasi denganmenggunakan prinsip-prinsip dasar kesimetrisan tubuh.
Perawat yang bekerja di kamar bedah harus telah mengambil program
proregristation education courses in anasthetic and operating theater nursing.
Dalam pembedahan perawat disebut  scrubbed nurse yang bertindak sebagai
asisten ahli bedah. Perawat bertanggung jawab akan pemeliharaan sterilitas
daerah pembedahan dan instrument dan menjamin ketersediaan peralatan ahli
bedah untuk terlaksananya pembedahan yangdirencanakan. Circulating nurse
bertanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya perlengkapanyang
dibutuhkan oleh scrubbed nurse dan bertanggung jawab terhadap observasi
dan perawatan pasien tanpa menimbulkan kontaminasi daerah steril.
Intra Operatif
1. Ruang Sementara (Holding area)
Perawat dapat menjelakan tahap-tahap yang akan dilaksanakan untuk
menyiapkan klien menjalani pembedahan. Perawat diruang tahanan sementara
biasanya adalah bagian dari petugas ruang oprasi dan menggunakan pakaian,
topi, dan alas kaki khusus ruang oprasi sesuai dengan kebijakan pengontrolan
infeksi rumah sakit. Pada beberapa tempat bedah sehari, perawat primer
perioperatif menerima kedatangan klien, menjadi perawat sirkulator selama
prosedur berlangsung, dan mengelola pemulihan serta kepulangan klien.
Di dalam ruangan tahanan sementara, perawat, anestesi, atau ahli
anestesi memasang kateter infus ke tangan klien untuk memberikan prosedur
rutin penggantian cairan dan obat-obatan melalui intravena. Biasanya
menggunakan kateter IV yang berukuran besar agar pemasukan cairan menjadi
lebih mudah. Perawat juga memasang manset tekanan darah. Manset juga
terpasang pada lengan klien selama pembedahan berlangsung sehingga ahli
anestesi dapat mengkaji tekanan darah klien.
2. Kedatangan ke Ruang Operasi
Perawat ruang opersi identifikasi dan kardeks klien, melihat kembali
lembar persetujuan tindakan, riwayat kesehatan, hasil pemeriksaan fisik, dan
berbagai hasil pemeriksaan. Pastikan bahwa alat prostese dan barang berharga
telah dilepas dan memeriksa kembali rencana perawatan preoperatif yang
berkaitan dengan intraoperatif.
3. Pemberian Anestesi
a. Anestesi Umum
Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluluh sensasi
dan kesadarannya. Relaksasi mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Klien juga mengalami amnesia tentang seluruh proses yang terjadi selama
pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur
mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
Ahli anestesi memberi anestesi umum melalui jalur IV dan inhalasi
melalui empat tahap anestesi. Tahap 1 dimulai saat klien masih sadar.
Klien menjadi pusing dan kehilangan kesadaran secara bertahap, dan status
analgesic dimulai. Tahap 2 adalah eksitasi. Otot kilen kadang-kadang
menegang dan hampir kejang. Reflek menelan dan mudah tetap ada, dan
pola nafas klien mungkin menjadi tidak teratur. Tahap 3 dimulai pada saat
irama pernafasan mulai teratur. Fungsi vital terdepresi. Tahap 4 adalah
tahap depresi pernafasan lengkap.
b. Anestesi Regional
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah
tubuh tertentu. Selama pembedaan berlangsung klien dengan anestesi
regional akan tetap sadar kecuali jika dokter memprogramkan pemberian
tranquilizer yang dapat menyebabkan klien tidur. Perawat harus ingat
bahwa luka bakar dan cidera lainnya dapat terjadi pada bagian tubuh yang
berada dibawah pengaruh anestesi tanpa disadari oleh klien. Oleh karena
itu posisi ekstermitas dan kondisi kulit klien perlu sering observasi.
c. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan (mis, adanya sel tumbuh pada kulit atau kornea mata). Obat
anestesi (mis, lidokain ) menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi
kedalam sirkulasi. Klien akan kehilangan rasa nyeri dan sentuhan,
aktifitas motorik, dan otonom.
4. Pengaturan Posisi Klien Selama Pembedahan
Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi yaitu pengaturan
posisi karena posisi yang diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman
pasien dan keadaan psikologis pasien. Faktor yang penting untuk diperhatikan
dalam pengaturan posisi pasien adalah :
a. Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.
b. Umur dan ukuran tubuh pasien.
c. Tipe anaesthesia yang digunakan.
d. Nyeri/Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan
(arthritis).
Hal-hal yang dilakukan oleh perawat terkait dengan pengaturan posisi
pasien meliputi :
a. Kesejajaran fungsional
Maksudnya adalah memberikan posisi yang tepat selama operasi. Operasi
yang berbeda akan membutuhkan posisi yang berbeda pula. Contoh :
1) Supine (dorsal recumbent) : hernia, laparotomy, laparotomy eksplorasi,
appendiktomi, mastectomy atau pun reseksi usus.
2) Pronasi : operasi pada daerah punggung dan spinal. Misal :
Lamninectomy
3) Trendelenburg : dengan menempatkan bagian usus diatas abdomen,
sering digunakan untuk operasi pada daerah abdomen bawah atau
pelvis.
4) Lithotomy : posisi ini mengekspose area perineal dan rectal dan
biasanya digunakan untuk operasi vagina. Dilatasi dan kuretase dan
pembedahan rectal seperti : Hemmoiroidektomy
5) Lateral : digunakan untuk operasi ginjal, dada dan pinggul.
b. Pemajanan area pembedahan
Pemajanan daerah bedah maksudnya adalah daerah mana yang akan
dilakukan tindakan pembedahan. Dengan pengetahuan tentang hal ini
perawat dapat mempersiapkan daerah operasi dengan teknik drapping
c. Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi
Posisi pasien di meja operasi selama prosedur pembedahan harus
dipertahankan sedemikian rupa. Hal ini selain untuk mempermudah proses
pembedahan juga sebagai bentuk jaminan keselamatan pasien dengan
memberikan posisi fisiologis dan mencegah terjadinya injury.
5. Peran Perawat Selama Pembedahan
a. Perawat instrumentator (scrub nurse)
Perawat instrumentator (scrub nurse) atau perawat sirkulator memberikan
intrumen dan bahan-bahan yang di butuhkan oleh dokter bedah selam
pembedahan berlangsung dengan menggunakn tehnik aspek pembedahan
yang ketat dan terbiasa dengan intrumen pembedahan.
b. Perawat Sirkulator
Perawat Sirkulator adalah asisten perawat intrumentator dan dokter bedah.
Perawat sirkulator membantu mengatur posisi klien dan menyediakan alat
dan duk bedah yang di butuhkan dalam pembedahan. Perawat sirkulator
menyediakan bahan-bahan yang di butuhkan perawat instrumentator,
membuang alat dan spon kasa yang telah kotor, serta tetap hitung instrument
jarum dan spon kasa yang telah di gunakan. Perawat sirkulator juga dpat
membantu mengubah posisi klien atau memindahkan posisi lampu opersi.
Perawat sirkulator juga menggunakan teknik aseptik bedah. Apabila teknik
aseptik telah hilang, Perawat sirkulator membantu anggota tim bedah
dengan mengganti dan memakai gaun dan sarung tangan steril. Prosedur ini
mencegah tertinggalnay bahan-bahan tersebut di dalam luka bedah klien.
Post Operatif
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif.
Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kondisi
pasien pada keadaan equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan
pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu
pasien kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.
Perawatan post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah:
1. Pemindahan Pasien Dari Kamar Operasi Ke Ruang Pemulihan
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit
perawatan pasca anastesi (PACU: post anasthesia care unit) memerlukan
pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak
incisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Letak incisi bedah harus
selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operatif dipidahkan. Banyak
luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan
untuk mencegah regangan sutura lebih lanjut. Selain itu pasien diposisikan
sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang
drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu
posisi ke posisi lainnya. Seperti posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari
posisi lateral ke posisi terlentang. Bahkan memindahkan pasien yang telah
dianastesi ke brankard dapat menimbulkan masalah gangguan vaskuler juga.
Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah
pasien dipindahkan ke barankard atau tempat tidur, gaun pasien yang basah
(karena darah atau cairan lainnnya) harus segera diganti dengan gaun yang
kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut
pasien diselimuti dan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail
harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury. Selain hal tersebut diatas
untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan
peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi dengan
optimal. Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler
dan perawat anastesi dengan koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung
jawab.
2. Perawatan Post Anastesi Di Ruang Pemulihan (Recovery Room)
Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di
ruang pulih sadar (recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak
mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke
ruang perawatan (bangsal perawatan).
PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini
disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk :
a. Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi)
b. Ahli anastesi dan ahli bedah
c. Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan
penilaian terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah
alat bantu pernafasan : oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan
bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan suction. Selain itu di
ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk memantau status
hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika,
seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set
intravena, set pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-
bahan balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi
dan peralatan drainase.
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan
pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses
bagi pasien, seperti : pemindahan darurat. Dan dilengkapi dengan kelengkapan
yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail,
tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan. Pasien
tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh anastesi,
yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen minimal
95% dan tingkat kesadaran yang baik. Kriteria penilaian yang digunakan untuk
menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah :
a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
e. Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam kontrol
g. Nyeri minimal
B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operatif
1. Resiko cedera janin berhubungan dengan ketidakadekuatan perfusi
plasenta
2. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang SC, kurang
pengetahuan tehadap efek samping
Intra Operatif
3. Deficit volume cairan berhubungan dengan perdarahan akibat insisi
pembedahan
4. Resiko penurunan cardiac output berhubungan dengan tindakan anastesi
spinal : bupivakain & fentanil
Post Operatif
5. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin &
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (sectio caesarea)
6. Gangguan rasa nyaman mual muntah berhubungan dengan efek anastesi
spinal
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan

1. Pre Operatif Tujuan a. Kaji respon psikologis a. Keberadaan sistem


Ansietas Ansietas klien berkurang terhadap kejadian dan pendukung klien (misalnya
berhubungan Kriteria hasil : ketersediaan sistem pasangan) dapat memberikan
dengan minimnya a. Klien terlihat lebih tenang pendukung dukungan secara psikologis
informasi tentang dan tidak gelisah b. Observasi respon non verbal b. Ansietas seringkali tidak
SC, kurang b. Klien mengungkapkan klien (misalnya : gelisah) dilaporkan secara verbal
pengetahuan bahwa ansietasnya berkaitan dengan ansietas namun tampak pada perilaku
tehadap efek berkurang yang dirasakan klien secara nonverbal
samping c. Dukung dan arahkan c. Mendukung mekanisme
kembali mekanisme koping koping dasar, meningkatkan
rasa percaya diri klien
sehingga menurunkan
ansietas
d. Berikan informasi mengenai d. Mendukung mekanisme
perosedur pembedahan, koping, menambah informasi
penyembuhan dan klien terhadap informasi yang
perawatan post operasi dimiliki sebelumnya
e. Diskusikan pengalaman e. Klien dapat mengalami
harapan kelahiran anak pada penyimpangan memori dari
masa lalu melahirkan
2. Intra Operatif Tujuan : a. Kaji tingkat kekurangan a. Memberikan informasi untuk
Deficit volume Deficit volume cairan teratasi volume cairan membantu dalam
cairan Kriteria hasil : menentukan intervensi
berhubungan a. Pasien menyatakan tidak b. Monitor masukan dan b. Memantau keseimbangan
dengan haus dan lemas keluaran cairan cairan
perdarahan akibat b. Akral kulit hangat c. Monitor tanda-tanda vital c. Perubahan tanda-tanda vital
insisi pembedahan c. Input dan Output dapat diakibatkan oleh respon
seimbang tubuh terhadap dehidrasi.
Kekurangan cairan
menyebabkan terlepasnya
hormon renin yang
menimbulkan kenaikan
tekanan darah, nadi
d. Kolaborasi pemberian cairan d. Rehidrasi akan
infus dengan dokter mengembalikan cairan yang
hilang
Resiko penurunan Tujuan : a. Monitor vital sign a. Hipotensi serta nadi yang tidak
cardiac output Penurunan curah jantung kuat merupakan salah satu
berhubungan tidak terjadi tanda terjadinya penurunan
dengan tindakan Kriteria hasil : cardiac output
anastesi spinal : Tekanan darah dalam batas b. Pertahankan hidrasi adekuat b. Dengan mempertahankan
bupivakain & normal / tidak terjadi hidrasi adekuat dengan
fentanil hipotensi pemberian kristaloid,
pemberian cairan (RL) dapat
3. mempertahankan aliran balik
vena & curah jantung sehingga
mengatasi hipotensi
c. Catat suhu kulit atau warna c. Kulit hangat, merah muda dan
dan kualitas atau kesamaan nadi kuat indikator curah
nadi perifer jantung adekuat
d. Berikan oksigen tambahan d. Meningkatkan oksigenasi
sesuai indikasi maksimal
4. Post Operatif Tujuan : a. Lakukan pengkajian secara a. Memperngaruhi pilihan
Nyeri akut Nyeri dapat bekurang komprehensif tentang nyeri pengawasan keefektifan
berhubungan Kriteria hasil : meliputi lokasi, intervensi
dengan pelepasan a. Klien melaporakan nyeri karakteristik, durasi,
mediator nyeri berkurang/terkontrol frekuensi, kualitas, intensitas
(histamin & b. Skala nyeri 0-2 nyeri, dan faktor presipitasi
prostaglandin) c. Wajah klien nampak b. Observasi respon nonverbal b. Tingkat ansietas dapat
akibat trauma rileks dari ketidaknyamanan (mis. mempengaruhi
jaringan dalam d. Klien dapat beristirahat Wajah meringis) terutama persepsi/reaksi terhadap nyeri
pembedahan ketidakmampuan untuk
(sectio caesarea) berkomunikasi secara efektif
c. Ajarkan menggunakan c. Memfokuskan kembali
tekknik nonanalgetik latihan perhatian, meningkatkan
nafas dalam) kontrol nyeri dan
meralaksasikan
d. Kontrol faktor-faktor d. Memberikan ketenangan
lingkungan yang dapat kepada pasien sehingga nyeri
mempengaruhi respon tidak bertambah
pasien terhadap
ketidaknyamanan
Gangguan rasa Tujuan : a. Monitor tanda-tanda vital a. Mual dapat terjadi karena
nyaman mual Rasa mual muntah pasien tekanan darah yang turun
muntah berkurang b. Kaji rasa mual pasien b. Mengetahui masukan dan
berhubungan Kriteria Hasil : keluaran cairan selama intra
dengan efek d. Tanda-tanda vital stabil anestesi
anastesi spinal dalam batas normal c. Atur posisi kepala pasien c. Posisi kepala lateral dapat
(TD: Sistole 119-90/ lateral mencegah terjadinya aspirasi
5. Diastole 90-70, N 60- d. Beri aromatherapi dengan d. Menurunkan respon awal
100 x/menit, RR 16-24 bau pepermint ketika pasien mengeluh mual
x/menit) setelah operasi
e. Pasien menyatakan e. Ajarkan teknik relaksasi e. Relaksasi nafas dalam
mual berkurang nafas dalam dilakukan untuk mengurangi
f. Pasien tidak muntah mual yang dirasakan klien
dengan menghirup
aromatherapi
DAFTAR PUSTAKA

Chalik, TMA. 2009. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan dalam Buku
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Muchtar. 2014. Obstetri patologi, Cetakan 3. Jakarta : EGC

Nugroho, T. 2010. Kasus Emergency Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika


________________________. 2012. Obsgyn Obstetri dan Ginekologi. Yogyakarta :
Nuha Medika
Prawirohardjo, S 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka prawirohardjo.
Salawati, L.(2013). Profil Sectio Caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah
DR.Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2011. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala. 13 (3).

Anda mungkin juga menyukai