Anda di halaman 1dari 153

EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA BAUBAU

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister


Dalam Bidang Syariah/Hukum Islam Pada Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar Tahun Akademik 2015

Oleh :
ABDUL KAHAR SYARIFUDDIN
NIM: 80100212017

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Abdul Kahar Syarifuddin


NIM : 80100212017
Tempat/Tgl. Lahir : Tomba, 10 Nopember 1981
Program Study : Dirasah Islamiyah
Konsentrasi : Syari’ah/Hukum Islam
Alamat : Jl. Jendral Sudirman No. 42 A Kota Baubau
Prov. Sulawesi Tenggara
Judul : Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan
Agama Baubau

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh rasa kesadaran, bahwa tesis ini
benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya maka
tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 27 April 2015


Peneliti

Abdul Kahar Syarifuddin


NIM: 80100212017

ii
PENGESAHAN TESIS

Tesis yang berjudul, “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan

Agama Baubau. Yang disusun oleh Saudara Abdul Kahar Syarifuddin, NIM: 80100212017,

telah diujikan dan dipertahankan dalam Sidang Ujian Munaqasyah diselenggarakan pada

hari Rabu, 15 April 2015 M, bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ al-Sa>ni> 1437 H, dan

dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

dalam bidang Hukum Islam pada Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin

Makassar

PROMOTOR:
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag. ( ……………………………..)
KOPROMOTOR:
Dr. Nur Taufik Sanusi, M. Ag. ( ……………………………..)

PENGUJI:

1. Prof. Dr. Ali Parman, M.Ag. ( ……………………………..)

2. Dr. Halim Talli, M.Ag. ( ……………………………..)

3. Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag. ( ……………………………..)

4. Dr. Nur Taufik Sanusi, M. Ag. ( ……………………………..)

Makassar, 27 April 2015


Diketahui oleh:
Direktur Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar,

Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A.


NIP. 19540816 198303 1 004

iii
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم علي اشرف األنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلي اله‬
‫واصحابه اجمعين اما بعد‬

Syukur alhamdulillah, Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah swt.,

Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena atas izin dan kuasa-

Nyalah tahapan panjang dan proses melelahkan telah Allah akhiri dengan lahirnya

penulisan tesis yang berjudul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di

Pengadilan Agama Baubau” dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., suri teladan manusia dalam kehidupan.

Selanjutnya, penulis pun menyadari bahwa dalam penyelesaian studi maupun

penyusunan tesis ini tentunya tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moral maupun material. Kepada

mereka patutlah kiranya penulis dengan penuh kerendahan hati menyampaikan

penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya. selaku Pejabat Pengganti Sementara (Pgs)

Rektor UIN Alauddin Makassar yang telah berusaha mengembangkan dan

menjadikan kampus yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

2. Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana

UIN Alauddin Makassar.

iv
3. Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag, Dr. Nur Taufik Sanusi, M.Ag., sebagai

Promotor dan Kopromotor, atas saran, arahan, bimbingan, masukan dan

motivasinya dalam proses penyelesaian Tesis ini.

4. Para Guru Besar dan Dosen di lingkungan Program Pascasarjana UIN Alauddin

Makassar atas keikhlasannya memberikan ilmu yang bermanfaat selama proses

studi, serta segenap Staf Tata Usaha di lingkungan Program Pasacasarjana UIN

Alauddin Makassar yang telah banyak membantu penulis dalam berbagai urusan
administrasi selama perkuliahan hingga penyelesaian Tesis ini.

5. Kedua orang tua tercinta, Ibunda Hj. Aisyah, S.Pd, dan ayahanda Dr. H.

Syarifuddin Bone, SH, M.Si, MH, yang telah melahirkan, memelihara,

memberikan landasan pendidikan dan mendoakan penulis hingga dapat

menyelesaikan studi ini.

6. Dari relung hati yang paling dalam, penulis meyampaikan penghargaan dan

ucapan terima kasih kepada Kakak-kakakku yang tercinta St. Kurniawati

Syarifuddin, S. Ag., MA dan Zainal Abidin, S.Sos (kakak ipar), Darmawati, SE,

M.Ak dan Bambang Sulistiyo, SE (kakak ipar), Abdul Hamid, SE, serta adik-

adikku tersayang, Rahmad Syarifuddin, S.Pd, Ahmad Syaiful, SE, Ramli


Syarifuddin, SH, dan Yusuf Syarifuddin, dan Emelia, S.Pd, yang telah banyak

membantu dan memberi support juga semangat kepada penulis selama dalam

proses studi, serta anakku tercinta Asty Kamelia Putri, yang penuh dengan sabar

dan kerelaan untuk menunda kegembiraan dan kebersamaan, memberi lebih

banyak waktu kepada penulis untuk tetap fokus selama masa perkuliahan dan

penyelesaian tugas akhir studi ini. Tanpa dukungan serta ketulusan mereka

niscaya sulit bagi penulis menyelesaikan tugas ini.

v
7. Semua pihak dan rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Tahun

Akademik 2012-2013, yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang telah

memberikan bantuan, motivasi, kritik, dan kerjasamanya selama penyusunan

tesis ini.

Akhirnya kepada Allah swt, jualah kami memohon rahmat dan hidayah-Nya,

semoga tesis ini bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara. Amin.

Makassar, 27 April 2015

Peneliti

Abdul Kahar Syarifuddin


NIM: 80100212017

vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………... i
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS …………………………………….... ii
PERSETUJUAN PROMOTOR …………………………………….............. iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….... iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………..... xi
ABSTRAK …………………………………………………………………... xviii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….... 1-24


A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………….. 14
C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ………………….….. 15
D. Kajian Pustaka ………………….............................….......... 17
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………..……………. 23

BAB II TINJAUAN TEORITIS ……....................................................... 25-73


A. Pengertian Efektivitas ............................................................ 25
B. Pengertian Mediasi ……………………….....…………........ 28
C. Landasan Hukum Mediasi …………….……………………. 35
D. Peran dan Fungsi Mediator …………………………….…... 43
E. Pengertian Perceraiam ........................................................... 47
F. Tahap-tahap Proses Mediasi ……………………………….. 66
G. Kerangka Konseptual ………………………………………. 67
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 74-87
A. Jenis dan Lokasi Penelitian ……………………………….... 74
B. Pendekatan Penelitian ……………………………………… 76
C. Sumber Data ……………………………………………….. 77
D. Metode Pengumpulan Data ………………………………… 79
E. Instrumen Penelitian .............................................................. 81
F. Teknis Pengolahan dan Analisis Data ……………………… 82
G. Pengujian Keabsahan Data ………………………………… 85

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 87-117


A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Baubau …………….. 87
1. Dasar Hukum Berdirinya Pengadilan Agama Baubau ….. 87
2. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Baubau .......... 88

vii
3. Wilayah Yuridikasi Pengadilan Agama Baubau ……….. 90
4. Keadaan Pegawai Pengadilan Agama Baubau …………. 96
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Baubau ……….. 98
6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Baubau ……. 99
B. Efektivitas Mediasi dalam perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Baubau ....................................................................... 100
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi dalam perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Baubau ..................................................... 109
D. Faktor-faktor yang Menjadi Pendukung dan Penghambat
Keberhasilan Mediasi di Pengadilan Agama Baubau ………. 112

BAB V PENUTUP ……………………………………………………... 118-122


A. Kesimpulan ……………………………………………….. 118
B. Implikasi Penelitian ………………………………………... 121
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 123-126

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian dari Program Pascasarjana

Lampiran 2 : Izin/ Rekomendasi Penelitian dari BKPMD Sul-Sel

Lampiran 3 : Izin/ Rekomendasi Penelitian dari BKBDP Kota Baubau


Lampiran 4 : Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Pengadilan Agama Baubau

Lampiran 5 : Surat Keterangan Wawancara

Lampiran 6 : Pedoman Wawancara

Lampiran 7 : Foto Dokumentasi Penelitian

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Matriks Fokus Penelitian Dan Deskripsi Fokus ................................. 17

Tabel 2. Urutan Proses Mediasi ........................................................................ 71

Tabel 3. Kerangka Konseptual .......................................................................... 73

Tabel 4. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Baubau ................................ 89

Tabel 5. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Baubau ................................... 90

Tabel 6. Data Pegawai Pengadilan Agama Baubau .......................................... 96

Tabel 7. Prosedur Berperkara Pengadilan Agama Baubau ............................... 99

Tabel 8. Daftar Mediator Pengadilan Agama Baubau ...................................... 102

Tabel 9. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Pengadilan Agama

Baubau 2012 ........................................................................................ 109

Tabel 9. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Pengadilan Agama

Baubau 2013 ........................................................................................ 111

x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN

A. Transliterasi Arab-Latin
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada tabel berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan


‫ب‬ Ba B Be
‫ت‬ Ta T Te
‫ث‬ s\a s\ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ Jim J Je
‫ح‬ h}a h} ha (dengan titik di bawah)
‫خ‬ Kha Kh ka dan ha
‫د‬ Dal D De
‫ذ‬ z\al z\ zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ Ra R Er
‫ز‬ Zai Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin Sy es dan ye
‫ص‬ s}ad s} es (dengan titik di bawah)
‫ض‬ d}ad d} de (dengan titik di bawah)
‫ط‬ t}a t} te (dengan titik di bawah)
‫ظ‬ z}a z} zet (dengan titik di bawah)
‫ع‬ ‘ain ‘ apostrof terbalik
‫غ‬ Gain G Ge
‫ف‬ Fa F Ef
‫ق‬ Qaf Q Qi
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L El
‫م‬ Mim M Em
‫ن‬ Nun N En
‫و‬ Wau W We

xi
‫هـ‬ Ha H Ha
‫ء‬ hamzah ’ Apostrof
‫ى‬ Ya Y Ye
Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda
apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama


‫َا‬ fath}ah a a
َ‫ا‬ kasrah i i
َ‫ا‬ d}ammah u u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara


harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ‫ـَ ْى‬ fath}ah dan ya>’ ai a dan i

َ‫ـَْو‬ fath}ah dan wau au a dan u

Contoh:

َ‫ـف‬
َ ‫َك ْـي‬ : kaifa

ََ ‫َه ْـو‬
‫َل‬ : haula

3. Maddah

xii
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harakat dan Nama Huruf dan Nama


Huruf Tanda
‫ ََى‬...َ|َ‫َََا‬...
َ fath}ah dan alif atau ya>’ a> a dan garis di atas

‫ـِــى‬ kasrah dan ya>’ i> i dan garis di atas

‫ـُـو‬ d}ammah dan wau u> u dan garis di atas

Contoh:

َ‫ات‬
َ َ‫مـ‬ : ma>ta

‫َرَمـى‬ : rama>

‫قِ ْـي ََـل‬ : qi>la

َُ ‫يـَمـُْو‬
‫ت‬ : yamu>tu

4. Ta>’ marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup
atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah (t).
Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah (h).

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’
marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

َ‫ضـةَُاألَطْ َف ِال‬
َ ‫َرْو‬ : raud}ah al-at}fa>l

xiii
ُ‫اض ـلََة‬ِ ‫اَلْـم ِـديـنَـةَُاَلْـفـ‬ : al-madi>nah al-fa>d}ilah
َ ْ َ
ُ‫ْـم ـ َة‬ ِ
َ ‫اَلـْحـك‬ : al-h}ikmah

5. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydi>d ( ‫) ـّـ‬, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

َ‫َربـَّـنَا‬ : rabbana>

‫ـجـَْيــنَا‬
ّ َ‫ن‬ : najjaina>

َ‫ـحـق‬
َ ْ‫اَلـ‬ : al-h}aqq

َ‫نـُ ّعـِ َـم‬ : nu“ima

َ‫َع ُـدو‬ : ‘aduwwun

Jika huruf ‫ ى‬ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah
( ّ‫)ــــِـى‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi i>.

Contoh:

َ ِ‫َعـل‬
‫ـى‬ : ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

َ ِ‫َع َـربـ‬
‫ـى‬ : ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan hurufَ‫( ال‬alif

lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti
biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata

sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang

xiv
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis men-

datar (-).

Contoh:

َ‫ـس‬
ُ ‫لش ْـم‬ َّ َ‫ا‬ : al-syamsu (bukan asy-syamsu)

ُ‫اَ َّلزلـَْـزل ـََة‬ : al-zalzalah (az-zalzalah)

ُ‫اَل ـْ َفـ ْل َسـ َف َة‬ : al-falsafah

‫اَل ـْبـ ـِالَ َُد‬ : al-bila>du

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal
kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

َ‫تـَأْ ُم ُـرْون‬ : ta’muru>na

َ ‫اَل ـنَّ ْـو‬


ُ‫ع‬ : al-nau‘

َ‫َش ْـيء‬ : syai’un

َُ ‫أ ُِم ْـر‬
‫ت‬ : umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau
sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia
akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya,
kata al-Qur’an (dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-
kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransli-
terasi secara utuh. Contoh:

xv
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n

Al-Sunnah qabl al-tadwi>n

9. Lafz} al-Jala>lah (‫)اهلل‬

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf
hamzah.

Contoh:

َ ‫ ِديـْ ُن‬di>nulla>h ‫اهلل‬


ِ‫َاهلل‬ َِ ِ‫ ب‬billa>h
Adapun ta>’ marbu>t}ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al-jala>lah,
ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
ِ ‫هـم َِِفَرح ــم ِة‬
َ‫َاهلل‬ hum fi> rah}matilla>h
َْ َ ْ ْ ُ
10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat,
bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh
kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat,
maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang
didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam
catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l

Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan

Syahru Ramad}an> al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n

xvi
Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>

Abu>> Nas}r al-Fara>bi>

Al-Gaza>li>

Al-Munqiz\ min al-D}ala>l

Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu>
(bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus
disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:

Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu> al-Wali>d
Muh}ammad (bukan: Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad Ibnu)
Nas}r H{a>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r H{a>mid (bukan: Zai>d,
Nas}r H{ami>d Abu>)

B. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

swt. = subh}a>nahu> wa ta‘a>la>

saw. = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam

a.s. = ‘alaihi al-sala>m

H = Hijrah

M = Masehi

SM = Sebelum Masehi

l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)

w. = Wafat tahun

QS …/…: 4 = QS al-Baqarah/2: 4 atau QS A<li ‘Imra>n/3: 4


HR = Hadis Riwayat
xvii
ABSTRAK
Nama : Abdul Kahar Syarifuddin
Nim : 80100212017
Konsentrasi : Hukum Islam
Judul : Efektivitas Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Baubau

Tesis ini mengkaji “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di


Pengadilan Agama Baubau”. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap efektivitas
mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Baubau, mengungkap
tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Baubau, mengungkap faktor-
faktor yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan
Agama Baubau.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif kualitatif,
dengan mengambil lokasi di Pengadilan Agama Baubau. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan yuridis, teologis normatif, dan pendekatan sosiologis. Adapun
pengumpulan data yang diperoleh di lapangan dengan teknik observasi,
wawancara,/interview dan dokumentasi. Data yang dikumpulkan kemudian diolah
dengan menggunakan analisis reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisa efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Baubau, menunjukan bahwa mediasi belum efektif. Faktor-faktor
penyebabnya adalah: Tingkat kepatuhan masyarakat yang menjalani proses mediasi
sangat rendah. Fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Baubau masih
kurang memadai baik dari segi ruang mediasi maupun fasilitas penunjang
didalamnya. Selain Ketua Pengadilan Agama Baubau, hakim yang ditunjuk menjadi
mediator seluruhnya belum mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggrakan oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penempatan pelaksanaan mediasi di
Pengadilan Agama tidak tepat atau tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan
oleh Allah swt., dalam QS al-Nisa>’/4: 35, tentang kedudukan dan kewenangan
hakam (mediator) dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dalam rumahtangga.
Impilikasi dari penelitian ini adalah: Mahkamah Agung (selanjutnya disebut
MA) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat
Undang-Undang Dasar 1945, sekiranya dapat meninjau kembali Perma No. 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi khususnya terkait dengan penempatan pelaksanaan
mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama tentunya sesuai dengan apa
yang di kehendaki Allah swt., dalam QS al-Nisa>/4: 35. Sehingga apa yang
diharapkan dan dicita-citakan yaitu menjaga keutuhan dan kedamaian dalam bahtera
rumah tangga dapat tercapai dan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah
warahmah; Kementerian Agama yang membawahi Kantor Urusan Agama (KUA)
dan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan (BP4), agar
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang hendak
melangsungkan pernikahan. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan
yang cukup serta kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang
disebabkan ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini
sebagai tindakan preventif terhadap perceraian;

xviii
‫تجريد البحث‬
‫‪ :‬عبد القهار شريف الدين‬ ‫اسم الباحث‬
‫‪٧١٠١١٠٠٠١٠٨ :‬‬ ‫رقم التسجيل‬
‫‪" :‬فعالية الوساطة في قضايا الطالق في المحكمة الدينية باوباو"‪.‬‬ ‫موضوع البحث‬

‫هذاالبحث يستعرض عن "فعالية الوساطة في قضايا الطالق في المحكمة الدينية باوباو‪ .‬والغرض من‬
‫هذه الدراسة هو الكشف عن فعالية الوساطة في قضايا الطالق في المحكمة الدينية باوباو‪ ،‬تكشف عن نسبة نجاح‬
‫الوساطة في المحكمة الدينية باوباو‪ ،‬تكشف عن العوامل الداعمة والتي تحول دون نجاح الوساطة في المحكمة‬
‫الدينية باوباو‪.‬‬
‫هذا البحث هو حقل صفية النوعي‪ ،‬من تسديدة في الم حكمة الدينية باوباو‪ .‬النهج المتبع هو النهج‬
‫الالهوتية واالجتماعية المعيارية القانونية‪ .‬أما بالنسبة لجمع البيانات التي تم الحصول عليها في هذا المجال من‬
‫خالل المالحظة والمقابلة ‪ /‬مقابلة والتوثيق‪ .‬ثم تتم معالجة البيانات التي تم جمعها باستخدام التحليل اختزال‬
‫البيانات‪ ،‬وعرض البيانات واالستنتاج‪.‬‬
‫على أساس تحليل فعالية الوساطة في قضايا الطالق في المحكمة الدينية باوباو‪ ،‬وتبين بأن الوساطة لم‬
‫تكن فعالة‪ .‬العوامل‪,‬واألسباب هي‪ :‬مستوى المجتمع التقيد التي تمر عملية الوساطة منخفض جدا‪ ,‬ووسائل‬
‫الوساطة في المحكمة الدينية باوباو ال تزال غير كافية من حيث المساحة والمرافق المساندة فيه‪ .‬باإلضافة إلى‬
‫رئيس المحكمة الدينية باوباو‪،‬والقاضي الذي دل عليه وسيطا لم يشترك في عمل التدريب الوساطة التي انجز‬
‫من قبل المحكمة العليا االندونيسية‪ .‬موضع التنفيذ الوساطة غير الئق أوغيرمناسب مع ما حددها هللا‪ ،‬في سورة‬
‫النساء '‪ ،35 :4 /‬على وفق وساطة الحكم (الوسيط) في حل النزاع في األسرة‪.‬‬
‫اآلثار المترتبة على هذه البحوث هي‪ :‬المحكمة العليا (المشار إليها فيما يلي باسم ‪ )MA‬كما مرتكبي‬
‫أعلى سلطة قضائية في إندونيسيا النحو المنصوص عليه في دستور ‪ ،5445‬لو ممكن إعادة النظر بيرما رقم ‪5‬‬
‫لسنة ‪ 2002‬بشأن إجراءات الوساطة تتعلق على وجه التحديد موضع التنفيذ الوساطة في قضايا الطالق في‬
‫المحكمة وبطبيعة الحال الدين وفقا لما هو في شأن هللا‪ ،‬وفي سورة النساء ‪ .35 :4 /‬كما هو المتوقع والمنشود‬
‫وهو حفظ ويمكن تحقيق الكمال والسالم في تابوت المنزلية وتكون األسرة السكينة المودة و رحمة‪ .‬وزارة‬
‫الشؤون الدينية المسؤول عن مكتب الشؤون الدينية (كوا) والخدمات االستشارية وكالة والتنمية والحفاظ على‬
‫الزواج (‪ ،) BP4‬من أجل توفير التدريب والتوجيه لألزواج المحتملين الذين يرغبون في الزواج‪ .‬يتم ذلك حتى‬
‫يكون لد يهم ما يكفي من المعرفة واالستعداد العقلي سواء‪ ،‬وذلك تجنب الطالق بسبب عدم االستعداد حياتهم حياة‬
‫األسرة‪ .‬فمن كإجراء وقائي ضد الطالق‪.‬‬

‫‪xix‬‬
ABSTRACT

Name : Abdul Kahar Syarifuddin


Student Reg. No : 80100212017
Major : Islamic Law
Title : The Effectivity of Mediationon Divorce Affairsin Court of
Religious Affairs in Baubau

This thesis emphasized a lot upon“The Effectivity of Mediationon Divorce


Affairsin Court of Religious Affairsin Baubau”. The objective of the research is to
uncover and disclose The Effectivity of Mediationon Divorce Affairsin Court of
Religious Affairsin Baubau.
The mediation on divorce affairs in Court of Religious Affairs, Baubau
revealed the levels of successful mediation that occurred in Court of Religious
Affairs, Baubau. It uncovered and disclosed the factors that support and hinder
themin Court of Religious Affairs, Baubau. This research isa descriptive
qualitativefield researchthat took place in di Court of Religious Affairs,Baubau. The
approach used in this research is juridical, normative and theologicalsociologist. The
data collected in the field were taken and submitted through observationaltechnique,
interview and documentation. The data collected here are afterward submitted then
preceded through datareductionanalysis, data presentation and conclusion drawing.
Based on analysis result of the the effectivity of mediationon divorce
affairsin the Court of Religious Affairs in Baubau, showed that the mediation is not
yet effective. The causing factors are as follows: the level of obedience of the people
who went through the mediation way were still poor and low,the
mediationfacilitiesand infrastructure in Court of Religious Affairs, Baubauwere still
poor and loweither from the mediation part or from supporting facilitiesinside.
Besides the Chairman of the chief of Court of Religious Affairs, Baubau, the
assigned judges who are assigned to be the mediator all have not followed the
mediation training which was conducted by Supreme Court of IndonesiaRepublic.
The mediation assignment in Court of Religious Affairs was not correct of and was
not suitable withreligious teaching a.k.a. like what Allah already said in Holy Quran
(Al-Nisa/4:35)aboutposition and the authority of the judge (mediator) in solving and
overcoming the conflictthat usually happened and occurred in the household life or
family.
The implication from this research is: Supreme Court (continuously called as
MA) as the highest level of the legal powers in Indonesia based on Indonesian
constitution 1945, if only could possibly have possible be won by Perma No. 1 year
2008 about mediation procedure especially regarded on the placement of the

xx
Mediation execution tradition on divorce affairs in Religious affairs in religious
court, Baubau. Obviously, like what our God, Allah said in the Holy Quran (Al-
Nisa/4:35)so that, what have been dreamt of could be accomplished or achieved that
is to keep the marriage lives safe, nice and still under the God’s protection so as to
mke the marriage lives blissful, peaceful and grateful; Religious Affairs that ruled
the religious Ministrythat supervised Religious Affairs Office (KUA) and Advising,
Developing and Preserving the Marriage Life (BP4) in order to give the training and
development to the future couple who are going to get married. This is done in order
that they have sufficient knowledge as well as good mental readiness so that they
will be avoided and get way from getting divorce which is commonly caused by
unreadiness of the couple prior to go through their marriage lives. This served as a
preventive action toward getting divorce.

xxi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa manusia

lain, demikian pula interaksi sosial dalam masyarakat, baik dalam bentuk organisasi

yang besar seperti negara maupun organisasi terkecil seperti keluarga dalam rumah

tangga. Setiap makhluk hidup akan berusaha untuk tetap hidup dan menginginkan

terjadinya regenerasi. Atas dasar itulah, terjadi apa yang disebut perkawinan.

Perkawinan dalam syariat Islam adalah sesuatu yang sangat sakral dan suci. Islam

memberikan legalitas hubungan antara dua insan yang berlainan jenis melalui proses

akad nikah yang disebut ijab qabul.

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki

untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Bahkan Islam menganjurkan

agar tiap laki-laki dan perempuan menjalani perkawinan utuk menjalankan separoh

ibadah di dunia. Dengan berbagai keistimewaan yang digambarkan, Islam

menempatkan hakekat perkawinan sebagai sesuatu yang agung.1

Tidak hanya sebagai ikatan kontraktual antara satu individu dengan individu
lain, pernikahan dalam Islam menjadi suatu sarana terciptanya masyarakat terkecil

(keluarga) yang nyaman, tentram dan penuh kasih sayang. Pernikahan menjadi dasar

berlangsungnya kehidupan umat manusia, menyalurkan sifat alamiah manusia yang

hidup berpasang-pasangan, dan menjaga kesucian mereka.2

1
Wannimaq Habsul, Perkawinan Terselubung di Antara Berbagai Pandangan (Jakarta: PT.
Golden Terayon Press, 1994), h. 1.
2
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syahsiyyah fi Syariah al-Islamiyah. (Beirut: Dar al-
Qalam, tth), h. 15-16.

1
2

Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan nila-nilai sosial yang terjadi

di tengah masyarakat membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Gejolak yang

berkembang di masyarakat adalah kecenderungan pasangan suami istri yang

melakukan cerai dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam rumah

tangga. Jika pada masa lalu proses perceraian dalam perkawinan merupakan suatu

momok yang tabu dan aib untuk dilakukan, maka saat ini perceraian sudah menjadi

suatu fenomena yang umum di masyarakat. Ini dibuktikan dengan meningkatnya

angka perceraian setiap tahunnya.

Dasar terjadinya suatu perceraian tidak lepas dari berbagai macam faktor-

faktor penyebab yang mempengaruhi keutuhan ikatan perkawinan. Berbagai faktor

yang menjadi alasan untuk mengajukan perceraian, baik itu faktor ekstern dalam

rumah tangganya maupun faktor intern.

Kondisi masyarakat dewasa ini, perceraian masih banyak terjadi karena

dianggap sebagai jalan yang legal formal untuk mengatasi konflik perkawinan di

bawah payung hukum Indonesia dan hukum Islam yang telah diformalkan

(Kompilasi Hukum Islam) yang diakibatkan oleh perilaku suami atau istri.

Karenanya proses beracara yang mendukungnya mengharuskan jalan penyelesaian


yang tuntas, tanpa menimbulkan akibat hukum yang panjang di kemudian hari.

Fenomena putusnya ikatan perkawinan itu sudah ada sebelum datangnya

Islam dan pada abad modern ini, perceraian merupakan gejala sosial yang

menunjukkan suatu kecenderungan tertentu yang bisa meningkatkan laju perceraian.

Seperti halnya perkawinan, berusaha menghindarkan sebab-sebab terjadinya

perpecahan dalam rumah tangga.3


3
Harismudah Abd al-Ati, Family Stucture in Islam, terj. Anshari Thayib, dengan judul
“Keluarga Muslim” (Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 286.
3

Negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan

dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai katup

penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat. Peradilan dapat

dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga

secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan

menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).4

Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini

adalah ketidak efektifan dan ketidak efisienan sistem peradilan. Penyelesaian

perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding,

kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan

membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat dan tidak hanya bersifat formalitas

belaka.5

Mengatasi problematika sistem peradilan yang tidak efektif dan efisien, maka

muncul alternatif penyelesaian sengketa dengan perdamaian. Dalam hukum di

Indonesia didapati dalam pasal 130 Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya

disebut HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Voor De Buitengewesten

4
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Cet; VII, Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 229.
5
Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu asa sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Makna dan tujuan asas ini bukan sekedar menitikberatkan unsure kecepatan
dan biaya ringan. Bukan pula menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam waktu satu
atau dua jam. Yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang relative tidak memakan
waktu yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum itu sendiri. Apabila
hakim atau pengadilan sengaja mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional, maka hakim
tersebut tidak bermoral dan tidak professional, serta telah melanggar asas pengadilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Lihat Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia (Cet;
III, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 71-72.
4

(selanjutnya disebut R.Bg). kedua pasal dimaksud mengenal dan menghendaki

penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi.6

Jika pada hari yang dtentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan
negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan memperdamaikan mereka
itu.

Selanjutnya ayat (2) mengatakan:

Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu
bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan
untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan
berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.

Upaya perdamaian yang dimaksud oleh pasal 130 ayat (1) HIR bersifat

imperatif.7 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

sebelum dimulainya proses persidangan. Sang hakim berusaha mendamaikan dengan

cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak perlu ada proses persidangan

yang lama dan melelahkan. Walaupun demikian, upaya damai yang dilakukan tetap

mengedepankan kepentingan semua pihak yang bersengketa sehingga semua merasa

puas dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 melihat

pentingnya integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak dari ketentuan pasal

130 HIR/Pasal 145 R.Bg, MA memodifikasikannya kearah yang lebih bersifat

memaksa. Berangkat dari pemahaman demikian, maka diterbitkanlah Surat Edaran

Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA) Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal

30 Januari 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan

6
R. Tresna, Komentar HIR, (Cet; XVIII, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 110.
7
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 229.
5

Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR). Tujuan penertbitan SEMA adalah membatasi

perkara secara subtansif dan prosedural. Sebab apabila peradilan tingkat pertama

mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah

perkara pada tingkat kasasi.

Belum genap 2 (dua) tahun usia SEMA Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal

11 September 2003, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya

disebut PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 yang berjudul Prosedur Mediasi di

Pengadilan. Dalam konsiderans huruf e dikatakan salah satu alasan mengapa

PERMA diterbitkan karena SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke

dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan akibat

SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan

penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di

pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan permasalahan

yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk mendayagunakan mediasi

yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi PERMA Nomor 02 Tahun 2003 menjadi

Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Dalam konsideran huruf a PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa

mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan

murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk

menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Selanjutnya dalam huruf b disebutkan pengintegrasian mediasi ke dalam proses

beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi

masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan


6

fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses

pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).8

Dewasa ini pelembagaan dan pendayagunaan mediasi tidak hanya untuk

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, tetapi juga untuk menyelesaikan

sengketa yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan. Dengan adanya

PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yang kemudian direvisi dengan PERMA Nomor 1

Tahun 2008, Mahkamah Agung berpendapat bahwa prosedur berperkara melalui

mediasi dapat diintegrasikan dalam proses berperkara di pengadilan. Hal mana harus

dilakukan pada hari sidang pertama proses berperkara di pengadilan digelar.9

Jepang merupakan sebuah negara yang telah berhasil melembagakan upaya

perdamaian ke dalam sistem peradilan negara. Pengalaman Jepang ini memberi

inspirasi Mahkamah Agung untuk mengadopsi beberapa konsep atau pendekatan

upaya perdamaian dalam sistem hukum Jepang untuk dituangkan ke dalam PERMA

Nomor 1 Tahun 2008 setelah memberhentikan secara mendalam peluang-peluang

yang memunkinkan oleh sistem hukum Indonesia.10

Dari konsideran menimbang, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan diketahui

dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung melembagakan dan mendayagunakan

mediasi berbasis di pengadilan tersebut, yaitu:

8
Konsideran butir b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
9
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, h. 37
10
Mahkamah Agung, Jepan International Coorperation Agency dan Indonesia Institute for
Conflict Transformation.2008. Buku Tanya Jawab Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Mahkamah Agung, Japan
International Coorperation Agency dan Indonesia Institute for Conflict Transformation, h. 1
7

1. Dapat menjadi salah satu instrumen yang efektif mengatasi masalah

penumpukan perkara di pengadilan, termasuk mengurangi jumlah kasasi

di Mahkamah Agung.

2. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih

cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada

para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi

rasa keadilan.

3. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat

memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat

memutus (ajudikatif).11

Jadi berlakunya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dimaksudkan untuk

mengefesiensikan dan mengefektifkan penyelesaian sengketa melalui proses

perdamaian sehingga dapat menghasilkan penyelesaian yang berimbang dan dapat

diterima pihak-pihak yang bertikai. Sebelum gelar perkara dilanjutkan, hakim pada

setiap hari sidang mewajibkan para pihak yang bertikai untuk menempuh jalur

mediasi. Bahkan hakim mewajibakan pula untuk menunda proses persidangan


perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses

mediasi.

PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini secara fundamental telah merubah praktik

peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi

sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara bukan hanya

11
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan sebelum gelar perkara dalam Teori dan Praktik, h.
38
8

penting, tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya diperiksa. Kalau selama ini

upaya mendamaikan pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang

memeriksa perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk

memberi kesempatan kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.

Diberikan waktu dan ruang yang khusus untuk melakukan mediasi antara pihak-

pihak. Upaya mendamaikan bukanhanya formalitas, tetapi harus dilakukan dengan

sungguh-sungguh.12

Urgensi dan motifasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara

menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila

ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus

diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama

mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-

pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untu mencapai kata

sepakat apabila bertemu dengan sendirinya.. titik temu yang selama ini beku

mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang

mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-

pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk

menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai

mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antar mereka.13

Mediasi bukan hanya sekadar memenuhi syarat legalitas formal, tetapi

merupakan upaya sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait

12
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,
dalam www. Badilag net. 2009, h.2
13
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,
dalam www. Badilag net. 2009, h.2
9

yang mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang

berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan

kepentingan pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga

dengan demikain segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh

pihak-pihak yang berperkara. Di masa depan pengadilan diharapkan bisa menjadi

filter dari persoalan-persoalan dan pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat

sehingga masyarakat menjadi tenteram dan damai, bukan malah memunculkan

masalah-masalah yang baru pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan

pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada dalam kondisi konflik, maka

secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi terganggu yang pada gilirannya

akan memacetkan rencana pemberdayaan perekonomian masyarakat.14

Tujuan pekawinan berdasarkan penjelasan Undang-undang no. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal (mendapat keturunan) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam kenyataannya, relasi suami istri tidak selamanya dapat dipelihara

secara harmonis, terkadang suami istri gagal dalam membangun rumah tangganya

karena menemui beberapa masalah yang tidak dapat diatasi. Pada akhirnya upaya

mengakhiri kemelut berkepanjangan tersebut diselesaikan melalui alternatif talak

(perceraian). Dalam perkawinan tidak selalu yang diinginkan dalam tujuan

pernikahan itu tercapai, dengan demikian agama Islam membolehkan suami istri

14
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,
dalam www. Badilag net. 2009, h. 3
10

bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat

dibenci oleh Allah swt.15

Islam dengan tegas menyatakan dalam al-Qur’an bahwa perceraian itu adalah

suatu perbuatan halal, tetapi paling dibenci Allah. Faktanya perceraian itu menjadi

fenomena yang tidak dapat terhindarkan karena maraknya konflik rumah tangga

yang terjadi dalam masyarakat. Mulai dari perceraian yang disebabkan pertengkaran

secara terus menerus atau sebab lain.

Oleh karena itu, Allah memberikan solusi yang sangat bijak agar menunjuk

seorang hakam atau mediator yaitu juru penengah. Keberadaan mediator dalam

kasus perceraian merupakan penjabaran dari perintah al-Qur’an. Dalam al-Qur’an

disebutkan bahwa jika ada permasalahan dalam perkawinan, maka diharuskan

diangkat seorang hakam yang akan menjadi mediator.

Dengan demikian, landasan hukum pelembagaan dan pendayagunaan Perma

No 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Agama dalam kasus

perceraian tidak terlepas dari perintah agama, firman Allah swt, dalam QS al-Nisa>/

4: 35 yaitu :

            
          
Terjemahnya :
dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

15
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Cet; II, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 102.
11

Konsep Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui

perdamaian yang disebut dengan al-s}ulh}.16Islam menganjurkan pihak yang

bersengketa menempuh jalur damai, baik di depan pengadilan maupun di luar

pengadilan. Sulh} memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan

terbaik dalam penyelesaian sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat

pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar

agar sengketa dapat diakhiri. Anjuran al-Quran dan Nabi Muhammad dalam ajaran

Islam memilih s}ulh} sebagai sarana penyelesaian sengketa yang didasarkan pada

pertimbangan bahwa s}ulh} dapat memuaskan para pihak dan tidak ada pihak yang

merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa.17

Al-Qur’an menjelaskan tentang al-s}ulh} (perdamaian) dalam QS al-Nisa>/4:128

sebagai berikut:

             
             
    
Terjemahnya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz18 atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang
16
Secara bahasa, al-s}ulh} berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq
memberikan pengertian s}ulh} dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Lihat
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201. Muhammad Khatib al-
Syarbini menyebutkan s}ulh} sebagai suatu akad dimana para pihak bersepakat mengakhiri
persengkataan mereka. Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-
Fikr, t.t), h. 177.
17
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional (Cet; I, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 159-160.
18
Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap
isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Lihat, Departemen Agama RI,
al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2006), h. 99 dan 84.
12

sebenar-benarnya19, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun


manusia itu menurut tabiatnya kikir20. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.21
Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia tentunya

mengamalkan konsep s}ulh} yang merupakan ajaran Islam.22 Para hakim di Pengadilan

Agama harus selalu mengupayakan dua pihak yang bersengketa untuk menempuh

jalur damai, karena jalur damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan

mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak.

Di Indonesia telah berlaku berbagai macam peraturan perundang-undangan,

yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Menurut pasal 10 ayat (12) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tersebut

bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:23

1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama

19
Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali. Lihat,
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 99.
20
Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang
lain dengan seikhlas hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya,
Maka boleh suami menerimanya. Lihat, Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya,
h. 99.
21
Departemen Agama RI, al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syaamil Cipta
Media, 2006), h. 99.
22
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang termasuk
peradilan khusus bagi umat Islam. Eksistensinya terncatum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi:
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
23
Ridwan, Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum , ( Jakarta:
Pustaka Kartini, 1998), h. 247
13

3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Keempat badan peradilan tersebut mempunyai kewenangan yang sama, yaitu

menunjukkan terciptanya kebenaran serta keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Berdasarkan pasal 2 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama, maka telah di jelaskan kewenangan yuridis Pengadilan

Agama, yaitu mengadili perkara-perkara perdata dalam bidang-bidang perkawinan,

kewarisan, wasiat, hibah, sedekah dan perekonomian syariah bagi golongan rakyat

yang beragama Islam di Indonesia. Di dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) di sebutkan

bahwa yang dimaksud bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah perceraian karena talak serta

gugatan perceraian.

Dalam menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan

Agama tersebut, maka diberlakukan pula hukum acara, hal ini ditetapkan

berdasarkan pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa

hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama

adalah:
a. Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, dan

b. Hukum Acara Khusus yang berlaku pada pengadilan lingkungan peradilan

agama yang diatur dalam undang-undang ini.

Pengadilan Agama adalah peradilan perdata, oleh sebab itu hukum acara

yang berlaku pada pengadilan Negeri, di samping hukum acara yang berlaku pada

Pengadilan Agama karena spesifikasi hukum Islam yang mengharuskan demikian.


14

Dalam upaya penyelesaian, maka upaya yang terbaik dan pada dasarnya

merupakan fitrah manusia serta budaya masyarakat adalah mencapai penyelesaian

dengan damai, dan hal ini merupakan yang setia keberadaan manusia di muka bumi

ini.

Berangkat dari tujuan awal adanya mediasi yang diantara tujuannya adalah

untuk mengurangi jumlah perkara, maka penulis beranggapan perlu untuk dijadikan

objek penelitian dalam sebuah tesis. Tulisan ini ingin menganalisa efektifitas

mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah tesis dengan judul “Efektivitas Mediasi

Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Baubau”.

B. Rumusan Masalah

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat

dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak

menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan bertujuan menjadi

salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan

serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus


(ajudikatif).

Namun pada kenyataannya selama 2 (dua) tahun pengintegrasian ke dalam

proses beracara di pengadilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun

2008 belum mampu mengurangi perkara yang masuk ke persidangan. Belum terjadi

perubahan signifikan terhadap jumlah perkara yang masuk ke dalam proses

persidangan, sehingga pencapaian belum sesuai dengan harapan.


15

Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan masalah pokok yang menjadi

objek kajian dalam tesis ini;

1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama

Baubau?

2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Baubau?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan

mediasi di Pengadilan Agama Baubau?

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

Untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap fokus pembahasan dalam

penelitian ini dan juga menghindari kesalahpahaman (misunderstunding) terhadap

ruang lingkup penelitian yang dilakukan, maka yang perlu dikemukakan batasan

pengertian terhadap beberapa variabel yang tercakup dalam penelitian ini. Hal ini

perlu dilakukan agar penelitian ini dapat terfokus pada objek dan tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini.

Efektifitas mediasi dalam perkara perceraian merupakan suatu hal yang

sangat penting dalam menyikapi suatu perkara dalam hal ini adalah perceraian.

Pelembagaan dan pemberdayaan mediasi di pengadilan (court connected mediation)

juga tidak terlepas pula dari landasan filosofis yang bersumber pada dasar negara

kita, yaitu: Pancasila, terutama sila keempat yang berbunyi” Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Sila

keempat dari pancasila ini diantaranya menghendaki, bahwa upaya penyelesaian

sengketa/ konflik/ perkara dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat


16

yang diliputi oleh semangat kekeluargaan. Hal ini mengandung arti, bahwa setiap

sengketa/ konflik/ perkara hendaknya diselesaikan melalui proses perundingan atau

perdamaian diantara para pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan

bersama.

Semula mediasi di pengadilan bersifat fakultatif/sukarela, tetapi kini

mengarah pada sifat imperatif/ memaksa. Dapat dikatakan bahwa mediasi di

pengadilan merupakan hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan

perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 130 HIR/ 154 RBg,

yang mengharuskan hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-

sungguh mengusahakan perdamaian diantar para pihak yang berperkara. Namun

ternyata Mahkamah Agung mensinyalir, bahwa hakim tidak menerapkan ketentuan

ini hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian di hadapan para pihak yang

bersengketa.24

2. Deskripsi Fokus

Permasalahan ini muncul ketika dalam efektifitas mediasi dalam perkara

perceraian di pengadilan agama yang kenyataan praktik yang dihadapi, jarang

dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian

perkara yang diajukan kepadanya hampir seratus persen berupa putusan

konvensional yang bercorak menang atau kalah. Jarang ditemukan penyelesaian

berdasarkan konsep sama-sama menang. Berdasarkan fakta ini, kesungguhan,

kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat

24
Rahmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, (Cet; I, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 27
17

mandul. Akibatnya, keberadaan pasal 130 HIR/ pasal 154 RBg dalam hukum acara,

tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.25

Tabel 1. Matriks fokus penelitian dan deskripsi fokus

Fokus Penelitian Deskripsi Fokus


- Perundang-undangan
Efektifitas mediasi dalam perkara
- Perma No. 1 Tahun 2008
perceraian di Pengadilan Agama Baubau

Tingkat keberhasilan mediasi di - Kurang berhasil

Pengadilan Agama Baubau


- Substansi hukum
Faktor-faktor yang menjadi pendukung
- Struktur hukum
dan penghambat keberhasilan mediasi di - Kulture
Pengadilan Agama Baubau

D. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis berkenaan dengan

efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Baubau, baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada peneliti sebelumnya maupun

terhadap buku-buku yang diterbitkan, ditemukan berbagai hasil penelitian dan buku
yang relevan dengan pembahasan tesis ini.

Nur Taufiq Sanusi dalam bukunya “Fikih Rumah Tangga Perspektif al-

Qur’an dalam Mengelola Konflik Menjadi Harmonis ” dalam buku ini menggali
lebih jauh tentang bagaimana metode yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi

konflik antara suami isteri dalam rumah tangga menurut apa yang menjadi tuntunan

dalam al-Qur’an , sebagai sebuah rujukan utama bagi seorang muslim dan muslimat,

25
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 2008, Jakarata: Sinar Grafika, h. 241
18

dalam meniti kehidupan rumah tangga, agar tercipta keharmonisan dan kedamaian

menuju sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Rachmadi Usman dalam bukunya “Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan

Praktik” dalam buku ini menguraikan dan membahas prosedur mediasi di Pengadilan
sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Serta memaparkan

konsepsi dan rasionalitas penormaan dalam pengaturan mediasi di pengadilan

sebagaimana terdapat dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 serta persamaan dan

perbedaannya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003.

Menurut Abdul Manan dalam bukunya “Penerapan Hukum Acara Perdata di

Lingkungan Peradilan Agama” bahwa lembaga perdamaian salah satu lembaga yang
sampai sekarang dalam praktik pengadilan telah banyak mendatangkan keuntungan

bagi hakim maupun bagi pihak-pihak yang berperkara. Keuntungan bagi hakim,

dengan adanya perdamaian itu berarti para pihak yang bersengketa telah ikut

menunjang terlaksananya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Keuntungan bagi pihak yang bersengketa adalah dengan terjadinya perdamaian itu

berarti menghemat ongkos perkara, mempercepat penyelesaian, dan menghindari

putusan yang bertentangan. Apabila penyelesaian perkara berakhir dengan

perdamaian, maka akan menambah jalinan hubungan antara pihak-pihak yang

bersengketa, hubungan yang sudah retak dapat terjalin kembali seperti sediakala,

bahkan mungkin akan bertambah akrab persaudaraannya.26

Tahap pertama yang harus dilakukan oleh hakim dalam menyidangkan suatu

perkara yang diajukan kepadanya adalah mengadakan perdamaian kepada pihak yang

26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 152
19

besengketa. Perdamaian pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi

hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya. Apabila

peramaian dapat dilaksanakan, maka hal itu jauh lebih baik dalam mengakhiri suatu

sengketa. Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara itu merupakan prioritas

utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu

dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap

terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan. Jika tidak berhasil didamaikan oleh

hakim, maka barulah proses pemeriksaan perkara dilajutkan.27

Menurut Mardani dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama

dan Mahkamah Syar’iyah , bahwa dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran


para pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan.

Kedua belah pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih

kembali dan suasana rukun dan persaudaraan serta tidak dibebani dendam kesumat

yang berkepanjangan. Peranan hakim dalam mendamaikan para pihak yang

berperkara terbatas pada anjuran, nasihat, dan memberi bantuan dalam perumusan

sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak. Tanpa mengurangi arti keluhuran

perdamaian dalam segala bidang persengketaan, arti perdamaian dalam perkara


perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri, yaitu keutuhan ikatan perkawinan

dapat diselamatkan, pemeliharaan dan pembinaan anak secara normal dapat

diselamatkan, kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut, harta gono gini

dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga, suami isteri dapat terhindar dari

gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan, dan mental serta pertumbuhan kejiwaan

anak-anak terhindar dari perasaan asing dan minder dalam pergaulan hidup sehari-

27
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 152
20

hari. Memperhatikan itu semua, upaya mendamaikan perkara sengketa perceraian

bersifat impreatif. Usaha mendamaikan merupakan sesuatu yang diharuskan atau

diwajibkan hukum kepada hakim. Oleh karena itu, upaya mendamaikan dalam kasus

perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran harus secara optimal.28

Menurut ketentuan pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa

perdamaian adalah suatu persetujuan yang mana kedua belah pihak dengan

menyerah, menjanjikan atau menahan suatu barang guna mengakhiri suatu perkara

yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.29Dalam

Hukum Islam pengertian perdamaian dirumuskan sebagai “suatu jenis akad untuk

mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan”30.

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 menurut ketentuan imperatif bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan pasal

ini, Wahyu Erananingsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun

perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu di antara dua pihak

yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah,

tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami

(karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga

untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.31

28
Mardani, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah , (Cet. 2,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 41
29
Kitab Undang-undang hukum perdata pasal 1851
30
Sayyid Suabiq.Fiqh Assunnah,(Bairut, Darul Fikri,1993), h. 189
31
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Palembang: PT.
Rambang Palembang, 2006, h. 110-111
21

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul“Kedudukan

Kemenangan dan Acara Peradilan Agama”Perdamaian ditinjau dari KUH Perdata


(BW) maupun dari segi Islam termasuk pada bidang “perjanjian” yang menurut

syarat-syarat seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yakni; Pertama,

adanya “kesepakatan” berdasar kehendak bebas dari kedua belah pihak. Dalam

kesepakatan tersebut tidak boleh ada cacat yang mengandung (dwaling), paksaan

(dwang) dalam segala bentuk baik yang bersifat fisik dan psiknis atau penipuan
(bedrog). Syarat kedua, kecakapan untuk melakukan tindakan hukum. Syarat ketiga,
mengenai hal tertentu, dan syarat keempat didasarkan atas sebab yang halal.32

Frans Hendra Winarta dalam bukunya “Hukum Penyelesaian Sengketa

Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional ” buku ini mengupas secara detail
hukum penyelesaian sengketa di Indonesia dan Internasional; arbitrase;

perjanjiannya; klausul; hukum acaranya; pelaksanaan putusan arbitrase; pembatalan

putusan arbitrase; badan arbitrase nasional; jenis-jenis arbitrase institusional di

Indonesia; dan arbitrase Internasional.

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 menurut ketentuan imperatif bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan pasal

ini, Wahyu Erananingsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun

perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu di antara dua pihak

yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah,

tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami


32
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kemenangan dan Acara Peradilan Agama(Undang-undang
No. 7 thn 1989), ( Jakarta: Pustaka Kartini, 2001), h. 66.
22

(karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga

untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.33

Perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan dengan putusan

hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.34 Jadi pengertian

perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik dengan putusan

hakim atau tuntutan suami atau istri. Dengan adanya perceraian, maka perkawinan

antara suami dan isteri menjadi terhapus.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 60 ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang RI.

No. 48 Tahun 2009 pada dasarnya mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar

pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral

(nonintervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa

serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam

mediasi disebut “mediator” atau “ penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-

pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai

kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator disini hanya bertindak sebagai

fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah

atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya tidak berada di tangan

mediator, melainkan di tangan para pihak yang bersengketa.35

Dalam proses mediasi ini terjadi permufakatan diantara para pihak yang

bersengketa, yang merupakan kesepakatan (konsensus) bersama yang diterima para

pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi dilakukan

33
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Palembang: PT.
Rambang Palembang, 2006, h. 110-111
34
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Internusa, 1985, h. 42
35
Lihat ketentuan dalam pasal 60 ayat 2 dan 3 Undang-undnag RI. Nomor 48 Tahun 2009.
23

oleh para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator. Mediator disini

hendaknya berperan secara aktif dengan berupaya menemukan berbagai pilihan

solusi penyelesaian sengketa, yang akan diputuskan oleh para pihak yang

bersengketa secara bersama-sama. Penyelesaian sengeketa melalui mediasi tersebut

hasilnya di tuangkan dalam kesepakatan tertulis, yang juga bersifat final dan

mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.36

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui efektifitas mediasi dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama Baubau.

b. Untuk menganalisis tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara

perceraian di Pengadilan Agama Baubau.

c. Untuk menggali faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat

keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama

Baubau.

2. Kegunaan Penelitian

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat doperoleh suatu kegunaan, baik

kegunaan teoritis/ ilmiah maupun praktis, sebagai berikut:

a. Dengan mengetahui efektifitas mediasi dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama di Baubau maka, dapat dijadikan sebagai bahan

36
Takdir Rahmat, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2010, h. 24
24

rujukan ataupun pedoman bagi hakim dalam penyelesaian perkara dalam

perceraian.

b. Dengan mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan

penghambat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian maka, dapat

dijadikan sebagai bahan masukan kepada para hakim yang menyelesaikan

perkara dalam hal ini mediasi dalam perkara perceraian.

c. Dengan adanya penelitian ini diharapakan dapat menjadi salah satu upaya

dalam menerapkan efektifitas mediasi dalam hal perceraian agar

penyelesaian masalah penyelelesaian perkara dalam hal perceraian ini

dapat teratasi dengan baik.


25

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Efektivitas

Dalam ensiklopedi umum, efektivitas diartikan dengan menunjukkan taraf

tercapainya suatu tujuan. Maksudnya adalah sesuatu dapat dikatakan efektif apabila

usaha tersebut telah mencapai tujuan secara ideal. Efektivitas merupakan ukuran

yang menggambarkan sejauh mana sasaran yang dapat dicapai, sedangkan efisiensi

menggambarkan bagaimana sumber daya tersebut dikelola secara tepat dan benar.1

Menurut Ahli Manajemen Peter Drucker, efektivitas adalah melakukan

pekerjaan yang benar (doing the right things), sedangkan efisiensi adalah melakukan

pekerjaan dengan benar (doing things right).2

Efektivitas juga dapat dikatakan,3 adanya kesesuaian antara orang yang

melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan

perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun

sebelumya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.

Efektivitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu tujuan.

Kriteria yang menjadikan suatu tujuan atau rencana menjadi efektif, harus meliputi:

kegunaan, ketetapan dan objektifitas, adanya ruang lingkup (prinsip kelengkapan,

kepaduan dan konsisten), biaya akuntabilitas dan ketepatan waktu.

Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan

suatu hukum dalam menangani suatu permasalahan yang dapat diselesaikan oleh

1
T. Hani Handoko, Manajemen, (Cet. II; Yogyakarta: BPFE, 1998), h. 7.
2
T. Hani Handoko, Manajemen, h. 7.
3
T. Hani Handoko, Managemen, h.7.

25
26

keeksistensian hukum tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan

pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana hukum

yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial

atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.4

Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu

dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Namun agar

hukum dan peraturan benar-benar berfungsi secara efektif, senantiasa dikembalikan

pada penegak hukumnya, dan untuk itu sedikitnya memperhatikan lima faktor

penegakan hukum (law inforcement), yaitu:

1. Hukum atau aturan itu sendiri;

2. Penegak hukum;

3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum;

4. Masyarakat;

5. Kebudayaan.

Efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan dari

usaha yang telah dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan mediasi dalam perkara

perceraian di Pengadilan Agama. Seberapa besar kesuksesan yang diraih oleh

lembaga tersebut dalam melaksanakan usaha damai dalam wadah mediasi dengan

memperhatikan berbagai macam aturan yang ada, baik peraturan yang berasal dari

pemerintah maupun peraturan yang berasal dari agama.

Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak

efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam

4
E. Mulyana, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi (Jakarta: PT
Rosyda Karya, 2004), h. 82.
27

perspektif efektivitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau

pelaksanaan hukum yang kurang efektif. Pada hakikatnya persoalan efektivitas

hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan,

pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan

hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.5

Sumaryadi berpendapat bahwa organisasi dapat dikatakan efektif bila

organisasi tersebut dapat sepenuhnya mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

Efektivitas umumnya dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan operatif dan

operasional. Dengan demikian pada dasarnya efektifitas adalah tingkat pencapaian

tujuan atau sasaran organisasional sesuai yang ditetapkan. Hal tersebut dapat

diartikan bahwa apabila suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan

yang direncanakan, dapat dikatakan efektif tanpa memperhatikan waktu, tenaga dan

yang lain.6

Dalam bukunya Sujadi F. X disebutkan bahwa untuk mencapai efektivitas

dan efisiensi kerja haruslah dipenuhi syarat-syarat ataupun unsur-unsur sebagai

berikut :7

a. Berhasil guna, yaitu untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan

dengan tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan.

5
Ilham Idrus, Efektivitas Hukum, artikel diakses pada 12 Oktober 2014 dari
http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html
6
Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Bandung: Pustaka Setia,
2005), h. 35.
7
Sujadi F. X., Penunjang Keberhasilan Proses Manajement, (Jakarta: CV Masagung, 1990),
Cet. 3. h. 36.
28

b. Ekonomis, dilakukan dengan biaya sekecil mungkin sesuai dengan rencana serta

tidak ada penyelewengan.

c. Pelaksanaan kerja bertanggung jawab, yakni untuk membuktikan bahwa dalam

pelaksanaan kerja sumber-sumber telah dimanfaatkan dengan setepat-tepatnya

dan harus dilaksanakan dengan bertanggung jawab sesuai dengan perencanaan

yang telah ditetapkan, jadi apa yang telah dilaksanakan dapat dibuktikan

pertanggung jawabannya.

d. Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab, artinya wewenang haruslah

seimbang dengan tanggung jawab dan harus dihindari adanya dominasi oleh salah

satu pihak atas pihak lainnya.

e. Pembagian kerja yang sesuai, dibagi berdasarkan beban kerja, ukuran

kemampuan kerja dan waktu yang tersedia.

B. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang

berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak

ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan

sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus

berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia

harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan

sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang

bersengketa.8

8
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional (Cet.I; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2.
29

Pengertian mediasi dalam Kamus Hukum Indonesia adalah berasal dari

bahasa Inggris mediation yang berarti proses penyelesaian sengketa secara damai

yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima

pihak-pihak yang bersengketa.9

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS sebagaimana dikutip oleh Runtung,

memberikan batasan bahwa (mediation), mediasi: salah satu alternatif penyelesaian

sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau

penengah.10

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana

seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara pihak,

sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan

mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian

tetap berada di tangan para pihak sendiri.11

Penyelesaian sengketa dengan menengahi menunjuk pada peran yang

ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya untuk

menengahi dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak

yang bersengketa.12

9
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia (Cet.I; Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h .168.
10
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia:
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas
Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada tanggal 12 November 2014 dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf, h. 8.
11
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi (Jakarta: Proyek ELIPS, 1997), h. 42.
12
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, h. 2.
30

Dalam bahasa arab, perdamaian berasal dari terjemahan kata ُ‫لص ْلح‬
ُّ َ‫ ا‬, yang
merupakan bentuk masdar dari ‫ص ْلحا‬
ً - ُ‫صلح‬ ْ َ‫ ي‬- ‫صل َُح‬
13
َ yang berarti :
ُِ ‫الش ِريْ َع‬
ُ‫ت َعقدُ يَ ْرفَع‬ َّ ‫ف‬ ُِ ‫السالِ َمتُ بَ ْع َُد الْمىاََز َع‬
ُ ِ ‫ت َُو‬ ِ َّ ‫ف اللغَت اِسمُ ُال‬
ِ ُِ ‫اِل‬ ُ ِ ُ‫لص ْلح‬
َ ‫ت َوه َُى‬ َ ‫ص‬ َ ْ ُّ َ‫ا‬
َُ ‫الىِ َس‬
‫اع‬
Artinya :
“Ash-S}hulh}u (perdamaian) menurut bahasa merupakan suatu nama dari
maslahah yang artinya saling menyerah setelah adanya pertikaian. Dan secara
terminologi berarti suatu akad yang dapat menghilangkan pertikaian.”

Mohammad Anwar mendefinisikan perdamaian (s}ulh}u) menurut lughat ialah

memutuskan pertentangan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu perjanjian untuk

mendamaikan orang-orang yang berselisih.14

Sedangkan menurut Ranuhandoko dalam bukunya “Terminologi Hukum”

mediasi diartikan dengan pihak ketiga yang ikut campur dalam perkara untuk

mencapai penyelesaian.15

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai

proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai

penasihat.16

Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi

pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama

13
Ali Bin Muhammad Al Jarjani, Al-Ta’rifat, (Jedah: Al-Haramain, t.th), h. 143.
14
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 487.
15
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 399.
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 569.
31

dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh

kesepakatan perjanjian yang memuaskan.17

Menurut Rachmadi Usman, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa

melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (non-

intervensi) dan tidak berpihak (imparsial) kepada pihak-pihak yang bersengketa.


Pihak ketiga tersebut disebut “mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya

membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan

tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkatan lain,

mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan

dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak,

yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan

keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang

bersengketa.18

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian

adalah suatu akad atau perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri pertikaian antara

dua belah pihak yang sedang berselisih atau bersengketa secara damai.

Kata perdamaian atau is}hlah} merupakan istilah denotatif yang sangat umum,

dan istilah ini bisa berkonotasi perdamaian dalam lingkup keharta bendaan,

perdamaian dalam lingkup khusumat dan permusuhan, perdamaian dalam urusan

rumah tangga, perdamaian antara sesama muslim, dan sebagainya.19

17
Garry Goopaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian
Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993), h. 201.
18
Rachmadi Usman, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT Aditya Bakri,
2003), h. 82.
19
Helmi Karim, Fikih Muamalah, ( Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 49
32

Dalam perdamaian perlu adanya timbal balik dan pengorbanan dari pihak-

pihak yang berselisih dan bersengketa, atau dengan kata lain pihak-pihak yang

berperkara harus menyerahkan kepada pihak yang lebih dipercayakan untuk

menyelesaikan perkara yang sedang diperselisihkan oleh keduanya agar

permasalahannya dapat diselesaikan secara damai dan tidak ada permusuhan

diantara keduanya.

Dengan demikian perdamaian adalah merupakan putusan berdasarkan

kesadaran bersama dari pihak-pihak yang berperkara, sehingga tidak ada kata

menang ataupun kalah, semuanya sama-sama baik, kalah maupun menang.20

Perdamaian bukanlah putusan yang ditetapkan atas tanggung jawab hakim,

melainkan sebagai persetujuan antara kedua belah pihak atas tanggung jawab

mereka sendiri. Perdamaian yang terjadi di muka sidang pengadilan, majelis hakim

membuatkan akta perdamaian menurut kehendak pihak-pihak yang berperkara atau

pencabutan gugatan pada perkara perceraian. Itulah sebabnya menurut pasal 130

ayat (3) HIR, 154 ayat (3) RBg putusan perdamaian tidak dapat dimintakan

banding.21

Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum

pembacaan gugatan dari penggugat, hakim wajib memerintahkan para pihak untuk

lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan

perkara.
20
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ( Cet. II;
Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 47.
21
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia , (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2000), h. 94.
33

Apabila perdamaian di muka sidang pengadilan dapat dicapai, maka acara

berakhir dan majelis hakim membuatkan akta perdamaian (certificate of

reconciliation) antara pihak-pihak yang berperkara yang memuat isi perdamaian atau
perkara dicabut khusus untuk perkara perceraian, dan majelis hakim memerintahkan

para pihak agar mematuhi dan memenuhi isi perdamaian tersebut. Akta perdamaian

mempunyai kekuatan berlaku (force of execution) dan dijalankan sama dengan

putusan hakim (Pasal 130 ayat (2) HIR, 154 ayat (2) RBg).22

Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan pengertian mediasi adalah

cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.23

Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, menurut Siddiki

perlu dipahami tentang 3 (tiga) aspek dari mediasi sebagai berikut:24

1. Aspek Urgensi/Motivasi

Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara

menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila

ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus

diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama

mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-

pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata

sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku

22
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 94.
23
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
24
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana,Cepat, dan Biaya Ringan .
Artikel di akses pada tanggal 11 Nopember 2014 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
34

mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bias menjadi cair apabila ada yang

mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-

pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk

menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai

mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka.

2. Aspek Prinsip

Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 01

Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk

mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh

prosedur mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130

HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin

melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.

3. Aspek Substansi

Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui

untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah

proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian.

Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum

perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekedar untuk memenuhi syarat legalitas

formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh

pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya

pihak-pihak yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu

sendiri. Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan


35

mediator. Sehingga dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses

mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara.

Dalam kamus istilah hukum terdapat pengertian mediasi yang berbeda,

begitu pula para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Untuk

memudahkan dalam memahami pengertian mediasi, penulis berpendapat bahwa

untuk kemudahan dalam memahami mediasi dapat dilakukan dengan mengetahui

unsur-unsur yang terdapat dalam mediasi sebagai berikut:

1. Metode alternatif penyelesaian sengketa;

2. Bersifat non litigasi;

3. Menggunakan jasa mediator; dan

4. Kesepakatan sesuai keinginan para pihak.

C. Landasan Hukum Mediasi

Istilah mediasi dalam Islam dikenal dengan al-S}hulh}. Secara bahasa artinya

qat}h al-niz}a‟ yakni menyelesaikan pertengkaran. Pengertian dari al-S}hulh} sendiri


adalah:25

ُ‫عقدُوضعُلَِرفْ ِعُالنَ َاز َع ِة‬


Akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.
Hanabilah memberikan definisi al-Sulh} sebagai berikut:26

ُ‫صلُهبَاُإىلُاألصالحُبنيُال ْختَلِ ِف ْني‬


ّ ‫م َعاقَ َدةُيَتَ َو‬
Artinya :
Kesepakatan yang dilakukan untuk perdamaian antara dua pihak yang
bersengketa.
25
Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177.
Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201 dan Wahbah
Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 168.
26
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz 5, (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 3.
36

Praktik al-S}hulh} sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad saw. dengan

berbagai bentuk. Untuk mendamaikan suami istri yang sedang bertengkar, antara

kaum muslim dengan kaum kafir, dan antara satu pihak dengan pihak lain yang

sedang berselisih. Al-S}hulh} menjadi metode untuk mendamaikan dengan kerelaan

masing-masing pihak yang berselisih tanpa dilakukan proses peradilan ke hadapan

hakim. Tujuan utamanya adalah agar pihak-pihak yang berselisih dapat menemukan

kepuasan atas jalan keluar akan konflik yang terjadi. Karena asasnya adalah kerelaan

semua pihak.

Dalam perkara perceraian, al-Quran menjelaskan tentang al-S}hulh} dalam QS

an-Nisa> ayat 128 sebagai berikut:

               

             

  


Terjemahnya :
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyu>z} atau sikap acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang
sebenarbenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyu>z} dan sikap acuh tak acuh),
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.27
Terkait ayat ini, berbagai aneka sabab nuz}u>l ayat yang diriwayatkan oleh

para ulama kesemuanya berkaitan dengan kerelaan istri mengorbankan sebagian

haknya demi kelanggengan rumah tangga mereka. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa

istri Nabi saw., saudah binti Zam’ah khawatir dicerai oleh Nabi saw., maka dia

bermohon agar tidak dicerai dengan menyerahkan haknya bermalam bersama Rasul

27
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya (Cet. I;
Surabaya: UD. Halim, 2013), h. 99.
37

saw untuk istri Nabi saw., ‘Aisyah (istri Nabi saw., yang paling beliau cintai setelah

Khadijah).28

Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus

putri Muhammad Ibn Malamah yang akan dicerai oleh suaminya, lalu dia bermohon

agar tidak dicerai dan rela dengan apa saja yang ditetapkan suaminya. Mereka

berdamai dan turunlah ayat ini.29

Tafsir ayat ini juga ada dalam kitab S}hahih} al-Bukha>ri. Dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan wanita yang takut akan nusyu>z} atau sikap acuh tak acuh dari

suaminya adalah wanita yang suaminya tidak lagi ada keinginan terhadapnya, yaitu

hendak menceraikannya dan ingin menikah dengan wanita lain. Lalu si wanita

(isterinya) berkata kepada suaminya: “Pertahankanlah diriku dan jangan engkau

ceraikan. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain, engkau terbebas dari

nafkah dan kebutuhan untukku.” Maka firman Allah dalam ayat tersebut: Maka

tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-benarnya,


dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).30
Dari sebab turunnya ayat ini, penulis berpendapat bahwa Saudah saat itu

melakukan upaya perdamaian ketika ia khawatir akan terjadi perceraian. Ia berupaya


mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan merelakan jatah harinya

diberikan kepada Aisyah, isteri Rasulullah saw., ‘Aisyah. Dalam hal ini, memang

tidak ada pihak ketiga sebagai mediator. Namun apa yang dilakukan Saudah adalah

28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Cet. I;
Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 603.
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, h. 603.
30
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz 3, (Cet. I; Kairo: Dar al-Hadis,
2000), h. 647. Hadis No. 5206.
38

bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang kemudian ditegaskan dalam syariat

Islam dengan diturunkannya QS an-Nisa> ayat 128 tersebut.

Demikian cara Saudah mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan

cara memberikan jatah harinya untuk Aisyah. Pemberian jatah tersebut disebutkan

pula dalam hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:31

ُ‫ُأن ُع َروةُبن‬ ٍ ‫ب ُعنُيونسُعنُابن ُ ِش‬


َّ ‫هاب‬ ٍ ‫حدَّشناُأمحدبْن ُعمروبنُالسرحُأخبَ رناَ ُابْن ُوْه‬
َ َ َ
ُ‫ُكانُرسولُاهللُصلّىُاهلل‬:ُ‫يب ُصلّىُاهلل ُعليهُوسلّ َم ُقالت‬ َّ ّ‫وج ُالن‬
َ ‫ُعائشةُز‬
َ ‫الزبَ ِري ُحدَّشه ُأ ّن‬
ُّ
ُ‫ُامَرأ ٍَة‬
ْ ‫ُلكل‬
ِّ ‫قسم‬ِ ‫عليهُوسلّمُإذأُأرادُسفراُأقرعُبنيُنِسائِِهُفأَيَّت ه َّنُسهمهاُخرجُهباُمعهُوكانُي‬
َ َ ََ َ ْ َ َ ََ ً َ َ
ُ ُ‫ائشه‬
َ ‫ومهاُلع‬
َ َ‫ُوُهبَتُي‬
َ ‫معه‬ َ ‫ُبنتُز‬
َ ‫هاُوُليلتهاُ َغريُأَ ّنُسودة‬
َُ ‫وم‬ َ َ‫منه َّنُي‬
Artinya :
Berkata Ahmad bin Amr bin al-Sarh}, berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu
Syiha>b: Bahwasanya Urwah bin Zubair berkata kepadanya bahwa Aisyah
berkata: Rasulullah SAW bila hendak melakukan perjalanan melakukan undian
diantara isteri-isterinya. Siapa yang namanya keluar dalam undian akan ikut
bersamanya. Dan Rasulullah SAW membagi hari bagi tiap-tiap isterinya
kecuali Saudah bin Zam’ah memberikan jatah harinya untuk Aisyah.
Bentuk perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat dalam

QS al-Nisa>: 4/35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan konsep mediasi yang

ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

               
       
Terjemahnya :
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.32
31
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Juz 2, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Arabi, t.t.), h. 209. Hadis No. 2140.
32
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya (Cet. I;
Surabaya: UD. Halim, 2013), h. 84.
39

Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada syiqa>q/persengketaan antara suami

isteri, maka Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam

tersebut bertugas untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari jalan

keluar terbaik bagi mereka, apakah baik bagi mereka perdamaian atau pun

mengakhiri perkawinan mereka. Syarat-syarat hakam adalah:

1. Berakal.

2. Baligh.

3. Adil.

4. Muslim.

Tidak disyaratkan hakam berasal dari pihak keluarga suami maupun isteri.

Perintah dalam ayat 35 diatas bersifat anjuran.33 Bisa jadi hakam diluar pihak

keluarga lebih mampu memahami persoalan dan mencari jalan keluar terbaik bagi

persengketaan yang terjadi diantara suami isteri tersebut.

Penulis berpendapat bahwa perintah mendamaikan dalam ayat ini tidak jauh

berbeda dengan konsep dan praktik mediasi. Dimana hakim mengutus hakam yang

memenuhi syarat-syarat seperti layaknya seorang mediator profesional. Seorang

hakam juga berhak memberikan kesimpulan apakah perkawinan antara suami isteri

layak dipertahankan atau bahkan lebih baik bubar. Tidak berbeda dengan tugas

mediator yang melaporkan hasil mediasi dengan dua pilihan, berhasil atau gagal.

Konsep Islam dalam menghadapi persengketaan antara suami isteri adalah

menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tidak

33
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz II, h. 185.
40

mungkin dilewati tanpa adanya perbedaan sikap dan pendapat yang berakumulasi

pada sebuah konflik. Oleh karena itu, Islam selalu memerintahkan kepada

pemeluknya agar selalu berusaha menghindari konflik. Namun bila terjadi,

perdamaian adalah jalan utama yang harus diambil selama tidak melanggar syariat.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadis riwayat Ibnu Hibban sebagai

berikut:34

ُ‫ُالرمحنُال ُّدا ِرِمى‬ ِ ‫ُحدَّشناُعبد ُاهللُبن‬:ُ ‫ُقال‬


َّ ‫ُعبد‬ َ ‫ند‬ِ َ‫ُالسمسأ ِر ُبسمرق‬ َّ ‫ناُحممد ُبن ُال َفْت ِح‬
َّ ‫أَخرب‬
َْ
ِ
ُ‫شينُكشْي ر ُبن‬ ‫ُح ّدشناُسليمان ُبنُباللُح ّد‬:ُ‫اط ِرىُقال‬ ِ ّ‫ُبنُحمم ِد ُالط‬
َّ ‫ُح ّدشناُمروان‬:‫قال‬
ُ‫ُالصلح‬:ُ ‫ُقالُرسولُاهللُصلّىُاهللُعليهُوُسلّ َم‬:ُ‫ُعنُأىبُهريرةُقال‬ ‫اح‬
ٍ َ‫ُبنُرب‬ ِ ‫يد ُع ِن‬ ٍ‫ز‬
ُّ َ َ ‫ُالو ْليد‬ َ َ
ُ ‫ُحالل‬
ًُ ‫َوُحرَم‬
َُّ ‫ُحَر ًاماُأ‬
َ ‫َح َّل‬
َ ‫لحاُُأ‬
ً ‫ُص‬َ ّ‫ُبنيُالسلمنيُإال‬
َ ‫جاَئِز‬
Artinya :
Berkata Muhammad bin al-Fath} al-Samsar di Samarkand berkata Abdullah bin
Abd al-Rahman al-Darimi berkata Marwan bin Muhammad al- Thathari
berkata Sulaiman bin Bilal berkata Katsir bin Zaid dari al-Walid bin Rabah
dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu baik
antara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal.

Penulis berkesimpulan bahwa perdamaian dalam sengketa yang berkaitan

dengan hubungan keperdataan dalam Islam termasuk perkara perceraian adalah


boleh, bahkan dianjurkan. Maka mediasi dalam perkara perceraian tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keutuhan rumah

tangga. Bahkan menjadikan upaya perdamaian sebagai alternatif penyelesaian

sengketa suami isteri agar terhindar dari perceraian dengan tetap mengutamakan

kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga.

34
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibban
bin Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11, (Cet.II; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 488. Hadis No. 5091.
41

Kemudian dasar hukum mediasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

seperti dalam Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Pengadilan Agama, yang berbunyi:

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha


mendamaikan kedua pihak.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan.

Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, ketua Majelis Hakim

diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang berperkara.

Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum

majelis hakim menjatuhkan putusan. Perdamaian ditawarkan bukan hanya pada

sidang hari pertama, melainkan juga pada setiap kali sidang. Hal ini sesuai dengan

sifat perkara bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak, karenanya pihak-

pihak juga yang dapat mengakhirinya secara damai melalui perantaraan majelis

hakim di muka sidang pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, pengadilan tidak menutup kemungkinan untuk upaya penyelesaian

perkara pedata secara perdamaian.35

Mengenai pemeriksaan perkara perceraian di pengadilan, ada pasal-pasal lain

yang mengatur masalah perdamaian ini, yaitu dalam pasal 56 ayat (2), 65, 83

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan pasal 31, 33 PP

No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

35
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 93.
42

Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan kepada

Hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara di

dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

(2) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah


pihak.
(3) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
setiap sidang pemeriksaan.

Di dalam Hukum Perdata (BW) juga mengatur masalah perdamaian ini,

diantaranya Pasal 1851 BW tentang perdamaian mempunyai definisi Perdamaian

adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,

menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang

bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara”. Dalam pasal lain juga

dijelaskan tentang perdamaian pasal 1853 BW perdamaian yang menjelaskan

tentang kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan atau pelanggaran,

dapat diadakan perdamaian.”

Dalam Pasal 202 BW tentang pembubaran perkawinan juga menjelaskan

perdamaian yaitu “…pengadilan negeri harus memerintahkan kedua suami isteri,

supaya bersama-sama dan dengan diri sendiri, menghadap di muka seorang anggota

atau lebih dari pengadilan, yang mana nanti akan mencoba memperdamaikan kedua

belah pihak.” Dan juga pasal yang membahas hal sama yaitu Pasal 203 BW tentang

pembubaran perkawinan yang menjelaskan“…sementara itu pengadilan leluasa,

setelah selesainya pemeriksaan, mempertangguhkan putusnya selama enam bulan,

jika kiranya nampak olehnya kemungkinan-kemungkinan akan masih tercapainya

perdamaian.”
43

Begitu juga dalam Pasal 130 HIR/154 RBG.36 disebutkan bahwa Apabila

pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka pengadilan

dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.

(1) Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta
perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan
perjanjian itu; Akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan
sebagaimana putusan yang biasa.
(2) Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.

Dalam suatu sengketa antara dua pihak atau beberapa pihak, maka dapat

diupayakan untuk perdamaian. Perdamaian dapat dilakukan di luar pengadilan dan di

dalam pengadilan.

Di luar Pengadilan, mediasi dapat dilakukan di BP4 yang sekarang

kepanjangannya menjadi Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian

Perekawinan), dasar hukumnya seperti yang terdapat dalam Peraturan Menteri

Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 28 ayat (3) menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama

dalam berusaha mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada

Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) agar menasehati

kedua suami istri tersebut untuk hidup makmur lagi dalam rumah tangga”.

D. Peran dan Fungsi Mediator

Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediator adalah pihak netral yang

membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai

kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau

memaksakan sebuah penyelesaian.

36
Mohammad Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2004), h. 61.
44

Mediator artinya perantara (penghubung, penengah).37 Dalam Kamus Hukum

Indonesia, kata mediator berasal dari bahasa latin mediator yang berarti penengah;

pihak ketiga sebagai pemisah atau juru damai antara pihak-pihak yang

bersengketa.38

Mediator dalam Kamus Ekonomi ELIPS artinya penengah, yakni seseorang

yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa

dalam menyelesaikan sengketanya.39

Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses mediasi yang

dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua

sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal berupa kemampuan personal

dalam menjalankan tugasnya antara lain: kemampuan membangun kepercayaan para

pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan

reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam

proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak dan

permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut adalah

sebagai berikut:40
1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak;

2. Tidak mempunyai hubungan keluarga atau sedarah sampai dengan derajat kedua

dengan salah satu pihak yang bersengketa;

37
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 726.
38
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesi, h. 168.
39
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, h.
8.
40
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 60-65.
45

3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;

4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap

kesepakatan para pihak; dan

5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.

Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai kesepakatan

damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster sebagaimana dikutip

oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator memiliki beberapa peran penting

antara lain:41

1. Melakukan diagnosa konflik;

2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis;

3. Menyusun agenda;

4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;

5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar;

6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting;

7. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan; dan

8. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.

Dapat kita pahami bahwa seorang mediator memiliki peran yang sangat

penting bagi tercapainya kesepakatan damai diantara para pihak. Selain peran

tersebut diatas, menurut Fuller, mediator juga memiliki beberapa fungsi antara

lain:42

41
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. (Cet I; Bandung: Alfabeta, 2010), h.102.
42
Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency
(JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 16.
46

1. Sebagai katalisator, yakni menciptakan keadaan dan suasana baru dari sebuah

pertentangan ke arah kondisi kooperatif dalam forum kebersamaan.

2. Sebagai pendidik, yakni mampu memberikan arahan dan nasihat untuk

menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.

3. Sebagai penerjemah, yakni menerjemahkan konsep masing-masing pihak dan hal-

hal yang ingin dilakukan dan ditawarkan satu sama lain.

4. Sebagai narasumber, yakni mampu mendayagunakan atau melipatgandakan

kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.

5. Sebagai penyandang berita jelek, yakni menetralisir konflik dari berbagai

informasi yang bersifat negatif, memancing emosi, dan memperkeruh suasana.

6. Sebagai agen realitas, yakni menampung segala informasi baik berupa keluhan,

tuduhan maupun pengakuan dan menyalurkan informasi tersebut kepada pihak

lawan dengan bahasa yang tidak provokatif.

7. Sebagai kambing hitam, yakni siap menerima penolakan dan ketidakpuasan para

pihak terhadap solusi yang ditawarkan kepada para pihak.

Dengan demikian peranan mediator dalam usaha menyelesaikan perkara

secara damai adalah sangat penting. Jelas mediator mempunyai peranan penting

untuk menyelesaikan secara damai terhadap perkara perdata yang diperiksanya.

Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat pada

umunya dan khususnya orang yang mencari keadilan.


47

E. Pengertian Perceraian

Perceraian atau yang dikenal dalam istilah fikih dengan sebutan talak,

merupakan pemutusan hubungan suami isteri, baik yang ditetapkan oleh hakim

(disebut dengan cerai talak), ataupun ditinggal mati oleh pasangannya.43

Menurut WJS Poerwadarminta perceraian berasal dari kata “Cerai” yang

berarti talak atau putus hubungannya sebagai suami-isteri.44 Dan demikian pula

menurut Andi Hamzah bahwa talak berasal dari bahasa Arab, yang berarti

perpisahan antara suami-isteri.45

Menurut istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri sebagaimana dikutip Amiur

Nuruddin, talak adalah melepaskan ikatan (h}all al-qa>id) atau bisa juga disebut

pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentutukan.46

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan

ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.47

Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifaya>t al-Akhya>r yang

menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak

adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata

43
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, (Depok: Elsas, 2010), h. 173
44
WJS Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1999), h.
200.
45
Andi Hamsah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1986), h. 564.
46
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2004), h. 207.
47
Sayyid Sabiq, fiqh al-Sunnah, Juz II, h. 206.
48

untuk melapaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-kitab, hadis,

ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.48

Dari definisi talak di atas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi

yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian

ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik di

dalam fikih maupun di dalam Undang-undang Perkawinan.

Talak sebagai sebab putusnya perkawinan adalah institusi yang paling

banyak dibahas para ulama. Seperti apa yang dinyatakan oleh Sarakhsi sebagaimana

dikutip Amiur Nuruddin, Talak itu hukumnya dibolehkan ketika berada dalam

keadaan darurat, baik atas inisiatif suami (talak) atau inisiatif istri (khulu’).49

Sedangkan hadis yang dijadikan dasar hukum perceraian, antara lain hadis

yang diriwayatkan Abu> Da>ud, al-Hakim, dan Ibnu Ma>jah dari Ibnu Umar, Rasulullah

saw, bersabda:

.50‫ابغضُاِلاللُاىلُاهللُعزُوجلُالطالق‬

Artinya :
“Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah azza wajallah adalah talak”
(HR. Abu> Da>ud)
Dengan memahami hadis tersebut, sebenarnya Islam mendorong terwujudnya

perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian

(talak). Dapatlah dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk

terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal yang darurat.


48
Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t), h. 84.
49
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI , h. 208.
50
Abu> Da>ud, Sunan Abi Da>ud, juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), h. 661
49

Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan

rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu :51

1. Terjadinya nusyu>z dari pihak istri

Nusyu>z} bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap

suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan

dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan

hal ini al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyu>z} istri agar tidak

terjadi perceraian.

Allah swt. Berfirman di dalam QS an-Nisa>/4: 34.52

          

          
Terjemahnya:
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Berangkat dari QS an-Nisa>/4: 34 al-Qur’an memberikan opsi sebagai

berikut:

a. Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap

kekeliruan yang diperbuatnya;

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi istri dan

dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap

kekeliruannya.

51
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 269-272.
52
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syaamil Cipta
Media, 2006), h. 84.
50

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi

hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh

dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri, seperti

betisnya.53

2. Nusyu>z} suami terhadap istri

Kemungkinan nusyu>z} ternyata tidak hanya datang dari istri tetapi dapat juga

datang dari suami. Selama ini sering disalahpahami bahwa nusyu>z} hanya datang dari

pihak istri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyu>z} dari suami

seperti yang terlihat dalam QS an-Nisa>/4: 228.54

               

             

  


Terjemahnya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyu>z} dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.55

Kemungkinan nusyu>z}nya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari

pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun

nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadis Rasul saw. ada

dinyatakan, diantara kewajiban suami terhadap istri adalah: Pertama, memberi

53
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 270
54
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 94
55
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 99
51

sandang dan pangan. Kedua, tidak memukul wajah jika terjadi nusyu>z}, ketiga, tidak

mengolok-ngolok dengan mengucapkan hal-hal yang dibencinya. Keempat, tidak

menjauhi istri atau menghindari istri kecuali di dalam rumah. Inti hadis ini adalah

suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti

istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental.56 Jika ini terjadi dapat dikatakan

satu bentuk nusyu>z} suami kepada istri.

Jika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali

mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Qur’an seperti yang

terdapat dalam QS an-Nisa>/4:128 menganjurkan perdamaian dimana istri diminta

untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk

sementara waktu. Semuanya ini bertujuan agar perceraian tidak terjadi.

Inilah ayat yang menurut Sayuti Talib yang dijadikan dasar untuk

merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi taklik talak sebagai bentuk perjanjian

perkawinan, maksudnya untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai cara untuk

menyelesaikan masalah apabila suami melakukan nusyu>z}.57

Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, taklik talak adalah jalan terbaik untuk

melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pada suami. Sekiranya

seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak ketika akad nikah

dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian

56
Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain, (Yogyakarta: LKis, FK3, 2001), h. 16-17.
57
Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-
Lujjain, h. 94.
52

taklik talak dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar

perjanjian yang telah disepakati itu maka istri dapat meminta cerai kapada hakim

yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang.58

3. Terjadinya syiqa>q

Dalam menangani perkara syikak, Allah swt., menyampaikan pada para

suami-isteri yang sedang dilanda problem konflik, agar mencari bantuan pertama

kali kepada keluarga untuk ikut serta dalam upaya mendamaikan keduanya, setelah

secara personal suami-isteri tersebut sudah tidak dapat menyelesaikannya lagi. Hal

ini tergambar dalam QS al-Nisa>/4: 35, yang berbunyi59 :

               

       


Terjemahnya:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.60
Dari ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani problema
kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya h}akam61 (mediator) dari masing-masing
58
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan al-Hikmah, 2001)., h. 278.
59
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 120.
60
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 84
61
Dengan demikian, hakam memiliki kedudukan yang sangat penting untuk menangani
kasus-kasus perceraian. Begitu pentingnya sampai-sampai para ulama fiqih memberikan apresiasi
yang berbeda tentang keberadaan h}akam. Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid menyatakan
bahwa mengangkat hakam merupakan sebuah keharusan. Imam Syafi’I menyatakan mengangkat
hakam hukumnya wajib. Tampaknya Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya berpegang pada zahir
ayat QS an-Nisa> ayat 35 bahwa pengangkatan hakam dalam kasus syiqa>q adalah merupakan perintah
53

pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga

mereka sendiri. Ini lebih mudah untuk mendamaikan suami istri yang sedang

bertengkar.

Kata hakam, dari segi bahasa berarti ‫( الفيصل‬al-faishal), artinya wasit,

penengah atau juru damai.62 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hakam artinya

pengantara, pemisah atau wasit.63

Pengertian hakam dari segi istilah, para fuqaha berbeda pendapat dalam

mendefinisikan kata hakam.64 Al-Mara>ghi dalam tafsirnya mendefinisikan hakam

adalah orang yang mempunyai hak untuk menghukumi dan mendamaikan

(memutuskan perkara) diantara kedua belah pihak yang berselisih.65 Al-Shabu>ni,

dalam tafsirnya, memberi definisi bahwa hakam adalah orang yang berwenang untuk

wajib dengan menggunakan sighat amar. Berdasarkan kaidah ushul bahwa asal hukum bagi perintah
adalah wajib (al aslu> fi amri lil al wuju>b). Penegasan mazhab Syafi’i yang mewajibkan mengangkat
hakam yang berfungsi menangani perkara perceraian memberi kesan bahwa upaya-upaya yang
mengarah ke jalan perdamaian harus dilakukan dengan serius. Perceraian hanyalah jalan terakhir
manakala upaya-upaya perdamaian mengalami jalan buntuh. Dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, sebenarnya pengangkatan hakam dalam menangani perkara perceraian bukanlah hal
baru dan asing. Namun ternyata selama ini masih ditemui di sana sini pengangkatan hakam terkesan
formalitas sekedar memenuhi formalitas hukum acara. Mungkin ini disebabkan karena UU No. 7
tahun 1989 pasal 76 ayat 2 yang menegaskan bahwa kedudukan hakam tidak bersifat imperatif, tetapi
hanya fakultatif, maka para hakimpun mencukupkan eksistensi hakam dalam perkara perceraian
hanyalah sekedar formalitas. Lebih jelas bunyi pasal 76 tersebut adalah: Pengadilan setelah
mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami dan istri dapat mengangkat
seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk jadi hakam.
62
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Edisi II,
Cet; XIV. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 309.
63
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi II, Cet;
III. Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 335.
64
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 105.
65
Ahmad Musthafa> al-Mara>ghi, Tafsir al-Mara>ghi, (Juz IV-VI; Mesir: Matba’ah Musthafa al-
Ba>b al-Halab, t.th), h. 26.
54

menghukumi orang yang berselisih karena adanya perpecahan diantara kedua belah

pihak.66 Sedangkan Jamaludin al-Qosimi memberikan ta’rif mengenai hakam yaitu

orang saleh yang diberi hak untuk mendamaikan pihak yang bersengketa serta

mencegah perbuatan lalim atas kedamaiannya.67

Pengertian hakam dalam peraturan perundang-undangan disebutkan dalam

penjelasan pasal 76 Undang-undangn No. 76 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

bahwa yang dimaksud hakam adalah orang yang ditetapkan oleh pengadilan dari

pihak suami dan istri atau dari pihak lain untuk mengupayakan penyelesaian

perselisihan yang timbul.68

Terhadap kasus Syikak ini ditempuh cara bahwa kedua hakam itu bertugas

menyelidiki hakikat serta mencari asal muasal terjadinya syikak dimaksud dan

seberapa mungkin berusaha mendamaikannya dan kalau jalan damai tidak mungkin

ditempuh, maka kedua hakam berhak untuk mengambil prakarsa untuk

menceraikannya.69

66
Muhammad ‘Ali al-Shabu>, Tafsir Aya>t al-Ahka>m Min al-Qur’a>n, h. 332, Shafwah al-
Tafa>sir: Tafsir al-Qur’a>ni al-Karim, (Juz I; Libanon: Da>r al-Fikr, 2001), h. 252.
67
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 108. Lihat juga dalam Sa’di Abu Jayb, al-Qomu>s al-Fiqhiyyah: Lugatan wa
Istila>han, (Suriah: Da>r al-Fikri, 1998), h. 96.
68
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’a>n dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 108.
69
H. Zuhri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
di Indonesia. (Cet; ke-1, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), h. 91.
55

Para ulama telah sepakat bahwa mengutus hakam ketika terjadi perselisihan

diantara suami isteri, sebelum diketahui diantara mereka siapa yang berbuat nusyuz

atau memang diketahui bahwa keduanya berbuat nusyuz, sementara suami enggan

untuk memperlakukan isterinya dengan baik dan tidak menceraikannya dengan

baik.70 Menurut Imam Syafi’i, kata ‫( فابعثوا‬fab’atsu) dalam QS al-Nisa> ayat 35

bermakna wajib, untuk menghindari kemudlaratan.71

Oleh karena itu kedudukan (pengangkatan) hakam dalam perkara Syikak

(perselisihan suami isteri) untuk menghindari adanya percekcokan yang berlarut-

larut adalah wajib, untuk mencapai kemaslahatan.72

Adapun wewenang hakam dalam perkara Syikak menurut mazhab Hanafi,

hakam tidak berhak menceraikan, kecuali dengan kerelaan suami isteri, sebab hakam

hanya berstatus sebagai wakil suami isteri. Karena itu apapun keputusan yang

diambil harus mendapat persetujuan suami isteri.73

Disebabkan kewenangannya yang demikian, maka tidak boleh menjatuhkan

talak, karena suami tidak mewakilkan perkejaan itu kepadanya. Caranya yaitu

hakam melaporkan hasil pekerjaannya kepada hakim. Sesudah hakim

mempertimbangkan sepenuhnya dan ternyata mereka harus bercerai, dikarenakan hal

70
Ibnu Quda>mah, al-Mughni Syar Mukhtasyar al-Kharaqi, (Saudi: al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta>’ al-
Da’wah wa al-Irsya>d, tt) IX, h. 107.
71
Muhammad ‘Ali al-Shabu>, Rawa>’I al Baya>n Tafsir aya>t al-Ahka>m Min al-Qur’a>n, (Jakarta:
Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah), h. 337.
72
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 109.
73
Muhammad ‘Ali al-Shabu>, Rawa>’I al Baya>n Tafsir aya>t al-Ahka>m Min al-Qur’a>n, h. 471.
56

itu merupakan cara yang terbaik, maka hakim dapat memerintahkan hakam untuk

menceraikan mereka.74

Alasan mazhab hanafi yaitu sesungguhnya Allah swt., tidak menyerahkan

kepada kedua hakam ini melainkan hanya untuk mengishlahkan, sebagaimana firman

Allah swt., ُ‫( انُيريداُإصالحاُيوفقُاهلل‬jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan

perbaikan maka Allah akan memberi taufik) yang menunjukan bahwa diluar tugas
itu tidak ada. Dan keduanya (hakam) berstatus sebagai wakil, sehingga mereka tidak

mungkin melaksanakan keputusannya, melainkan harus dengan kerelaan yang

memberi wakil.

Al-Jashshash mengatakan, sahabat-sahabat kami berpendapat bahwa kedua

hakam ini tidak ada hak untuk menceraikan kecuali dengan kerelaan suami, sebab

sudah tidak ada yang berselisih lagi, bahwa suami kalau mengakui bersalah terhadap

isterinya, tidak boleh diceraikan antara kedua dan hakim pun tidak boleh memaksa

suami agar agar menceraikan isterinya, sebelum ada keputusan dari kedua orang

hakam. Begitu juga sebaliknya kalau isterinya telah mengakui bersalah, hakim tidak

boleh memaksa dia untuk meminta khulu’.75

Imam Malik dalam bukunya al-Muwaththa’ mengemukakan peran hakam

dalam masalah Syikak sangat diperlukan karena hal ini didasarkan pada peristiwa

yang terjadi saat ‘Ali bin Abi Thalib dalam menyelesaikan perselisihan suami isteri,

74
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Ahka> al-Qur’a>n, (Juz; V, Mesir: Da>r al-
Kitab al-Arabi, 1967), h. 176.
75
Al-Jashshash al-Hanafi, Ahkam al-Qur’a>n. (Jilid II; Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Arabiah),
h. 192.
57

yang sepenuhnya diserahkan kepada dua orang hakam untuk mengatasi kejadian

tersebut, juga firman Allah swt., dalam surat al-Nisa>’ (4): 35,76 mengenai wewenang

hakam dalam perkara Syikak Imam Malik berpendapat bahwa kewenangan hakam

adalah memisah atau mengumpulkan kembali suami isteri.

Menurut mazhab Maliki beserta murid-muridnya, kedua hakam bisa

mengadakan pemisahan atau pengumpulan antara suami isteri tanpa memerlukan

izin dan pemberian kuasa atau persetujuan suami isteri. Alasan mereka ialah riwayat

yang diterima dari ‘Ali bin Abi Tha>lib, bahwa ia mengatakan kepada kedua hakam
ِ
tersebut dengan: ‫ُواجلَ ْم ُع‬
َ ‫ني‬
َ ْ ‫ُالزْو َج‬
َّ ‫ني‬َ ْ َ‫ الَْي ِه َما ُالتَّ ْف ِرقَة ُب‬Dalam hal ini Imam Malik
mempersamakan hakam tersebut dengan penguasa. Sedangkan penguasa bisa

menjatuhkan talak karena ada tindakan yang merugikan, jika hal itu sudah nyata.77

Al-Zarqa>ni berpendapat bahwa wewenang hakam yang apabila telah

bersepakat untuk memutuskan, baik mendamaikan atau menceraikan suami isteri

yang berselisih, maka hal itu boleh dilakukan tanpa izin atau kerelaan suami isteri

tersebut. Karena sesungguhnya apabila suami isteri telah mewakilkan kepada hakam,

maka juga telah mewakilkan dalam talak dan khulu’. Sehingga perwakilan di sini

merupakan kerelaan atas putusan talak atau khulu’ atas mereka. Dan putusan

76
Malik bin Anas, al-Muwaththa, (Jilid II; Libanon: Da>r al-Kitab al-Arabi, tt), h. 584.
77
Abu> Muhammad al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu
Rusyd al-Qurthubi al-Andalu>si, Bida>yah al-Mujtahid, (diterjemahkan oleh ‘Abdurrahman, Cet; I, CV.
Al-Syifa<’: Semarang: 1990), h. 74.
58

perceraian antara mereka, apabila telah diketahui bahwa jalan perceraian antara

mereka, apabila telah diketahui bahwa jalan perceraian tersebut memang layak.78

Abu> Zahrah mengemukakan pendapat Imam Ma>lik, bahwa merupakan hak

mutlak hakam, baik hakam tersebut ingin memisahkan atau mendamaikannya,

sedangkan hakim memutuskan apa yang telah diputuskan oleh hakam. Pendapat

tersebut sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh ‘Ali bin Abi Tha>lib dan

‘Abdullah bin Abbas. Juga para sahabat bersepakat dengan memberikan argument

hadis Rasulullah saw., yang berbunyi: ُ‫ُضَر َار‬


َ َ‫ضَرَر َُوال‬
َ َ‫ ( ال‬tidak boleh membuat
kemudlaratan dan membalas kemudlaratan ) dan firmannya Allah swt, :
ٍ ‫ف ُاَو ُتَس ِريح ُبِاِحس‬
ُ‫ان‬ ِ ِ ِ
َ ْ ْ ْ ْ ‫( فَا ْم َسكُ ُِبَْعرْو‬Dan pergauilah isteri-isterimu dengan cara yang baik
atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula) yang maksudnya agar segala sesuatu
yang dilakukan berdasarkan pada kebaikan dan kemaslahatan.79

Kaitannya dengan perselisihan para sahabat Imam Ma>lik tentang putusan

hakam, Hasbi al-Shiddieqi menyebutkan bahwa menurut pendapat yang ra>jih dalam

mazhab Maliki, tidak disyaratkan terus menerus adanya kerelaan dari kedua belah

pihak sampai kepada diberikannya hukum. Tetapi apabila kedua-duanya menarik

pentahkimannya sebelum hukum ditetapkan, maka penarikan itu dibenarkan dan


tidak dapat lagi hakam memutuskan perkara tersebut.80

Menurut Imam Malik, sebagian yang lain pengikut Imam Hambali dan qaul

jaded-nya Imam Syafi’I, hakam itu adalah berarti hakim. Sebagai hakim, maka boleh

78
Al-Zarqa>ni, Syarh al-Muwaththa’ al-Ima>m Ma>lik, (Mesir: Syirkah Mathba’ al-Bab wa
Awlad, 1992), h. 139.
79
Muhammad Abu> Zahrah, al-Ahwa>l al-Syakhsiyah, (ttp, Da>r al-Fikr al-‘Arabi, tt), h. 423
80
TM. Hasbi as-Siddiqqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Cet; I, edisi kelima,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 84.
59

memberi keputusan sesuai pendapat keduanya tentang hubungan suami isteri yang

sedang berselisih itu, apakah ia akan memberikan keputusan perceraian atau ia akan

memerintahkan agar keduanya itu berdamai kembali.81

Pendapat di atas mempunyai alasan bahwa hakam sebagaimana dinyatakan

dalam al-Qur’a>n itu jelas bukan wakil suami isteri, sebab yang diperintahkan

mengangkat hakam bukan suami isteri yang bersangkutan, akan tetapi penguasa

(ulum amri), dalam hal ini adalah pengadilan. Oleh karena itu, kekuasaan hakam

untuk mengambil keputusan melangsungkan perkawinan atau menceraikan antara

suami isteri, telah memperoleh kekuatan dari ulil amri (penguasa). Khalifah ‘Utsma>n

pernah mengangkat Ibnu ‘Abba>s dan Mu’a>wiyah untuk bertindak sebagai hakam

antara Uqbal bin Abi Thalib dan isterinya Fatimah binti Atabah dengan memberi

kekuasaan penuh, apabila mereka mempertimbangkan yang lebih maslahat adalah

menceraikan antara suami isteri, maka hendaklah mereka menceraikan. Khalifah ‘Ali

juga pernah melakukan hal yang sama, member kekuasaan penuh kepada hakam

yang diangkatnya untuk mengambil keputusan mana yang lebih maslahat,

melangsungkan perkawinan atau menghentikannya.82

Mencermati pendapat diatas maka terlihat pendapat tersebut lebih

memberikan tanggungjawab kepada para hakam agar benar-benar bekerja dan


81
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Cet; III, Jakarta: Bulan
Bintang), h. 174. Dalam hukum Islam, hakim dipengadilan dapat berfungsi sebagai pelindung kaum
yang teraniaya serta kaum lemah yang memerlukan perlindungan, serta dituntut untuk membela serta
menegakkan keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu hakam adalah tempat mengadukan segala
keluhan dan hal ihwal suami isteri yang teraniaya dan menderita lahir batin dalam rumah tangganya,
baik atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh suaminya maupun oleh sebab-sebab yang
lain, lihat H. Zuhri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
Di Indonesia. (Cet; I, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), h. 90.
82
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 113.
60

mempertimbangkan masalah yang tengah dihadapi sehingga dalam mengambil

keputusan benar-benar dengan pertimbangan yang matang, dilihat dari beberapa segi

kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi secara komprehensif. Sehingga apa

yang telah diputuskan oleh hakam tinggal dikuatkan oleh pengadilan, dengan

demikian perselisihan yang terjadi antara suami isteri, apabila sebaiknya berakhir

dengan perceraian akan segera dapat menyelamatkan suami isteri dari penderitaan-

penderitaan batin (psikologis) yang tidak menguntungkan dalam hubungan

perkawinan mereka.83

Urgensi hakam dalam menangani perkara Syikak yang utama adalah untuk

islah (mendamaikan), dan hal ini menjadi satu kata kunci yang harus

dipertimbangkan, khususnya terkait dengan tugas dan wewenang hakam. Kalimat

‫ِّق ُاللَّه ُبَْي نَ ه َما‬ ْ ِ‫ إِ ُْن ُي ِريْ َد ُإ‬Kemudian difahami berbeda oleh para ulama, apakah islah
ْ ‫صالَ ًحاُي َوف‬
yang dimaksud ialah kemaslahatan yang dicari baik itu dapat dicapai dengan cara

mempersatukan lagi hubungan suami isteri dalam satu unit keluarga atau dengan

cara memutuskan hubungan ikatan perkawinan antara suami isteri tersebut, ataukah

kata islah yang dimaksud adalah merupakan kemaslahatan yang bermakna tugas

untuk bermusyawarah, menyelidiki akar perselisihan dan berupaya mencari jalan

atau solusi untuk memperbaiki hubungan suami isteri tersebut sehingga pemutusan

ikatan perkawinan bukan menjadi wewenang dari hakam. Pendapat Imam Malik

sebagian pengikut Hambali dan qaul jadid-nya Imam Syafi’i, tampaknya lebih

83
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 114.
61

cenderung pada pemahaman pertama, sementara pendapat Mazhab Hanafi lebih

cenderung pada pemahaman yang kedua.84

Hakam tidak mempunyai wewenang dalam hal ihwal pemutusan ikatan

suami-isteri, karena tidak ada indikasi selain kata islah (mendamaikan) dalm QS al-

Nisa> ayat 35 tersebut, sebagaimana yang ditegaskan oleh mazhab Hanafi dalam

kitabnya ‘Muhammad Ali al-Sabu>ni (Rawa>’i al-Baya>n Tafsir ayat al-Ahka>m Min al-

Qur’a>n).85

Penggunaan kata in yurida> (jika keduanya mengharapkan/mengiginkan)

dimaksudkan sebagai suatu hal yang selayaknya dimiliki dalam menangani konflik

seperti ini. Dan tidak ada kebaikan yang lebih tinggi yang bisa diharapkan /

diinginkan melainkan kedua pasangan suami isteri tetap bersama dan hidup secara

tentram dan damai. Oleh karena itu kata islaha>n (kebaikan), lebih tepat jika

diartikan dalam tujuan yang demikian itu.86

Pendapat yang menyatakan bahwa hakam sebagaimana dinyatakan dalam al-

Qur’an itu jelas bukan wakil suami-isteri, sebab yang diperintahkan mengangkat

hakam bukan suam-isteri yang bersangkutan, akan tetapi penguasa (ulul amri), Nur

Taufiq Sanusi, menjelaskan bahwa hal ini masih perlu untuk dicermati. Pada intinya

beliau sepakat bahwa yang diperintahkan mengangkat hakam ialah penguasa, namun

bukan berarti bahwa yang diangkat itu juga harus dari penguasa, karena penggunaan

84
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 114.
85
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 115.
86
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 115.
62

dlamir “hi” pada kata ahlihi ( ‫ ) أهله‬dan “ha” pada kata ahliha ( ‫ ) أ َْهلها‬dan penyebutan

2 kata hakam atau hakamain, menunjukan bahwa hakam yang diangkat oleh

penguasa itu merupakan wakil yang merepresentasikan masing-masing pihak, baik

dari pihak suami maupun isteri.87

Selanjutnya Nur Taufiq Sanusi, menjelaskan Hakam ialah sekelompok orang

(2 orang atau lebih) dari keluarga pihak-pihak yang berselisih, yang dipandang cukup

banyak mengetahui hal-ihwal pasangan dan problematika diseputar mereka, yang

dipilih oleh hakim (ulul amri) berdasarkan pada netralitas dan kesungguhan mereka

untuk mencari kemaslahatan, dan diangkat serta ditugaskan (diutus) untuk

bermusyawarah secara proaktif baik sesame hakam maupun dengan pasangan yang

berselisih (menjembatani dan mengengahi), untuk mencari akar permasalahan

sekaligus mengupayakan solusi jalan damai bagi keduanya. Solusi jalan damai itulah

yang kemudian ditawarkan kepada pasangan suami-isteri yang berselisih untuk

dijadikan jalan-jalan kesepakatan damai bagi keduanya.88

Jika kemudian solusi jalan damai tersebut ditolak dan menemui jalan buntu,

dan dengan demikian nyatalah bahwa telah terjadi syikak (perpecahan) pada

pasangan suami-isteri tersebut, maka amanah tugas dikembalikan pada sang hakim

untuk mengambil keputusan bagi pasangan tersebut. Adapun hasil penyelidikan dan

87
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 115.
88
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 116.
63

pendapat para hakam selama ditugaskan, menjadi salah satu bahan pertimbangan

ataupun alat bukti bagi hakim dalam memutuskan perkara nantinya.89

Terhadap pemeriksaan perkara-perkara perceraian dengan alasan Syikak, baik

itu cerai gugat ataupun cerai talak, ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh hakim

Pengadilan. Syarat ini bersifat imperatif dan Pengadilan tidak boleh melalaikannya.

Syarat dimaksud adalah bahwa dalam pemeriksaannya itu Pengadilan harus

mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri yang

bersengketa.90 Dalam hubungan dengan kewajiban mendengarkan keterangan dari

pihak keluarga serta orang-orang dekat dengan suami isteri yang bersengketa

tersebut, merupakan langkah kehati-hatian (iktiyat) dalam mengadakan

pemeriksaan, yang initinya adalah agar lembaga Pengadilan tersebut dalam

memeriksa perkara perceraian karena alasan Syikak benar-benar memperhatikan

ketentuan yang lebih menguntungkan terhadap pasangan suami isteri dan dapat

dipertanggungjawabkan secara moral, yaitu tentang keharusan mendengarkan

keterangan pihak keluarga suami isteri yang bersangkutan, disamping itu juga harus

menyelidiki siapa penyebab dari dari perselisihan tersebut secara intensif.91

Dengan demikian, maka tugas dan wewenang para hakam yang diutus dapat

dirumuskan sebagai berikut:92

89
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 116.
90
Pasal 22 PP. No. 9 Tahun 1975, jo 134 KHI.
91
Abdul Manaf, Teknis Pengangkatan Hakam Dalam Pemeriksaan Perkara Syiqa>q, (dalam,
Mimbar Hukum, No. 19 Tahun 1995), h. 79.
92
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 117.
64

1. Menjadi jembatan, penengah bagi pasangan yang berselisih;

2. Seorang hakam harus menyelidiki langsung pokok masalah yang menjadi

penyebab atau melatar belakangi perselisihan antara kedua belah pihak;

3. Mengupayakan solusi jalan damai bagi kedua pihak yang bersengketa; serta

4. Menjadi saksi dan mengemukakan pendapatnya kepada hakim, tentang apa yang

telah terjadi dan apa yang paling maslahat bagi kedua belah pihak, untuk

kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara.

Terkait dengan perbedaan pendapat para ulama mengenai wewenang dan

kedudukan hakam tersebut, ternyata juga berpengaruh pada syarat-syarat untuk

diutus menjadi hakam.

Bagi mereka yang berpendapat bahwa hakam adalah sebagai wakil dari para

pihak, maka hakam harus mempunyai syarat-syarat:93

1. Dari keluarga dan mendapat persetujuan dari para pihak.

2. Adil

3. Mukallaf

4. Mengetahui tugas dari seorang hakam

5. Hakam tidak harus laki-laki.

Mutawalli al-Sya’rawi menambahkan bahwa hakam dapat juga dari orang-orang


dekat (bukan keluarga) suami-isteri, dengan syarat:

6. Memiliki kepedulian atas keharmonisan dan keberlangsungan hubungan suami-

isteri.94

93
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 117.
94
Mutawalli al-Sya’rawi, Yas’alu>naka fi al-Di>n wa al-Haya>t, (Jilid I, Kairo: Maktabah at-
Taufiqiyyah, t.th), h. 312.
65

Menurut Zmakhsya>ri, seorang hakam itu ialah laki-laki yang dapat diterima

kesaksiannya, mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, adil/shaleh, mukallaf,

mengetahui tugas sebagai hakam, mempunyai niat untuk mencari kemaslahatan

bersama, serta disyari’atkan hakam itu dari pihak keluarga masing-masing.95

Adapun bagi mereka yang berpendapat bahwa hakam adalah sebagai hakim

atau muwali hakim, maka syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:96

1. Laki-laki;

2. Islam;

3. Adil;

4. Mukallaf;

5. Hakam harus seorang faqih, karena hakim harus ahli hukum.

Salam Madkur berpendapat hanya ada 4 syarat, yaitu: Laki-laki, Berakal,

Islam dan Adil, adapun syarat hakam harus seorang yang faqih dimasukkan dalam

pengertian syarat beraqal.97

Adapun khususnya di Indonesia, syarat hakam mengacu kepada Undang-

undang yang ada.98 Dengan memperhatikan criteria saksi dalam perkara syikak,

maka syarat hakam sedapat mungkin:99

1) Orang yang berasal dari keluarga suami-isteri;

95
Imam Abi al-Qaim Jar Allah Mahmud bin Umar bin Muhammad al-Zamakhsya>ri, Tafsir al-
Kasysya>f, (Jilid II, Cet; I. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 497-498.
96
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 118.
97
Salam Madkur, al-Qadla>’u fi al-Isla>m, (alih bahasa oleh Imron, AM, Peradilan dalam Islam,
(Cet; IV, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 53-61.
98
Sebagaimana ditetapkan dalam pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
99
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 11
66

2) Orang yang dekat dengan suami-isteri (mengetahui keadaan atau kondisi

hubungan suami-isteri);

3) Orang yang mampu menghilangkan benih-benih perselisihan dan sanggup

mengembalikan ketentraman rumah tangga.

4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fah}isya>h), yang menimbulkan

saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara

membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an. Li’an sesungguhnya

telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya.

Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubra>.100

Tawaran penyelesaian yang diberikan al-Qur’an adalah dalam rangka

antisipasi agar nusyu>z} dan syiqa>q yang terjadi tidak sampai mengakibatkan

terjadinya perceraian. Bagaimanapun juga perceraian merupakan sesuatu yang

dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagai cara yang telah

ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi

kedua belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing.

F. Tahap-tahap Proses Mediasi di Pengadilan

Berhasil atau tidaknya mediasi tergantung dari proses yang dijalankan. Bila

proses baik, tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Namun

sebaliknya, proses yang tidak baik akan menjadikan mediasi gagal. Berikut tahapan-

tahapan dalam proses mediasi yang diatur oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 :

1. Tahapan Pra Mediasi.

100
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h.274.
67

Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan. Kemudian

ketua pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa perkaranya.

Kewajiban melakukan mediasi timbul jika pada hari persidangan pertama para pihak

hadir. Majelis Hakim menyampaikan kepada penggugat dan tergugat prosedur

mediasi yang wajib mereka jalankan.

Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan

kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar mediator yang

terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak boleh memilih mediator

sendiri dengan syarat mediator tersebut telah memiliki sertifikat mediator. Bila

dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan mediator, Majelis

Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim Pemeriksa Perkara yang

bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang bersertifikat, salah satu anggota

Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan

fungsi mediator.

Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat puluh) hari

kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika diperlukan waktu

mediasi dapat diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 13 Ayat

(3) dan (4)).

2. Pembentukan Forum.
68

Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator yang

disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat

menyerahkan resume perkara101 kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis Hakim.

Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog. Mediator dapat

meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang bersengketa dan tidak

diwakili oleh kuasa hukum. Di forum tersebut, mediator menampung aspirasi,

membimbing serta menciptakan hubungan dan kepercayaan para pihak.

3. Pendalaman Masalah.

Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus102,

mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi kepentingan

para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan-kepentingan yang telah

diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak pada proses tawar menawar

penyelesaian masalah.

4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan.

Pada tahap penyelesaian akhir, para pihak akan menyampaikan kehendaknya

berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Mediator

akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan menuangkannya ke dalam

dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008

101
Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara
dan atau usulan penyelesaian sengketa. Lihat pasal 1 angka 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
102
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya. Lihat Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para
pihak dapat memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak
disampaikan disaat bertemu dengan pihak lawan.
69

disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam kesepakatan perdamaian adalah

sebagai berikut:

a. Sesuai kehendak para pihak;

b. Tidak bertentangan dengan hukum;

c. Tidak merugikan pihak ketiga;

d. Dapat dieksekusi; dan

e. Dengan iktikad baik.

Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut diatas,

mediator wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka bersikeras, mediator

berwenang untuk menyatakan bahwa proses mediasinya gagal dan melaporkan

kepada Hakim Pemeriksa Perkara.

Jika tercapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator

wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh

para pihak dan mediator. Dokumen kesepakatan damai akan dibawa kehadapan

Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian.

5. Kesepakatan di Luar Pengadilan.


Dalam Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak dengan

bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar

pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan

perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta

perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

Maksud dari pengajuan gugatan ini adalah agar sengketa para pihak masuk

dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada register perkara di


70

Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat menunjuk Majelis Hakim

yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk

umum (kecuali perkara yang bersifat tertutup untuk umum seperti perceraian).

6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi.

Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa atas

persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau

lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan

yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.

Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak

berdasarkan kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang dapat

dikategorikan sebagai ahli, sehingga penentuan siapa yang akan dijadikan ahli dalam

proses mediasi sesuai dengan rekomendasi mediator dan kesepakatan para pihak.

7. Berakhirnya Mediasi.

Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama, mediasi

berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para pihak, proses

perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan kesepakatan damai

menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan seperti layaknya Putusan


Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, proses mediasi menemukan

jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan. Proses mediasi di pengadilan yang gagal

akan dilanjutkan di siding pengadilan.

8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum.

Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya

perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau
71

peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat

banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.

Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA Nomor

1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat tahapan-

tahapan tersebut dapat dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2. Urutan Proses Mediasi

- Pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Perdata


Negeri/Agama
- Pembayaran Panjar Biaya Perkara dan
Penandatanganan Surat Kuasa untuk Membayar
(SKUM)

- Penunjukan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara


oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama

- Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menentukan


hari sidang dengan penetapan
- Juru Sita Pengadilan melakukan pemanggilan
kepada para pihak (Penggugat, Tergugat, dan
Turut Tergugat)

- Para pihak hadir - Para pihak tidak hadir


- Penyampaian proses mediasi - Dilakukan pemanggilan
oleh Ketua majelis Hakim ulang

- Pemilihan Mediator - Putusan Verstek/


- Penundaan sidang - Putusan Gugur
72

- Mediator mengadakan pertemuan awal


- Perkenalan dan penyampaian
informasi tentang prosedur mediasi

- Penyampaian dan pertukaran


resume
- Kaukus
- Melakukan dialog tentang
kemungkinan beberapa penawaran - Penyampaian
usulan/penawaran lain
- Negoisasi

- Perumusan butir-butir kesepakatan Proses mediasi gagal

- Penjelasan-penjelasan
- Analisis dan koreksi Proses persidangan
dilanjutkan

- Penyampaian Dokumen
Kesepakatan
- Kesepakatan perdamaian
- Damai kehadapan Majelis tidak dikukuhkan menjadi
hakimPemeriksa Perkara akta perdamaian
- Pengukuhan menjadi Akta - Perkara dicabut
Perdamaian

Eksekusi
73

Tabel 3. Kerangka Konseptual

Landasan Teologis Normatif : Landasan Yuridis Formal :


- Al-qur’an - Perundang-undangan
- Hadis - PERMA No. 1 Tahun 2008

Faktor yang mempengaruhi


Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian - Substansi hukum
Di Pengadilan Agama Baubau - Struktur hukum
- Kulture

Teknis Pelaksanaan Perdamaian Oleh Majelis Hakim

Hasil :
Damai
Tidak damai
74

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

metodologis dan konsisten dengan mengadakan analisis.1 Penelitian adalah

pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk

menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai

proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

dalam melakukan penelitian.2

Dengan demikian penelitian yang dilaksanakan tidak lain untuk memperoleh

data yang telah teruji kebenaran ilmiahnya. Namun untuk memperoleh kebenaran

tersebut ada dua pola pikir menurut sejarahnya, yaitu berpikir seacara rasional dan

berpikir secara empiris atau melalui pengalaman. Oleh karena itu untuk menemukan

metode ilmiah, maka dilakukan metode pendekatan rasional dan metode empiris, di

sini rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang logis sedangkan empirisme

merupakan kerangka pembuktian atau pengujian untuk memastikan kebenaran.

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis dan Lokasi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penulis

melakukan penelitian langsung ke lokasi untuk mendapatkan dan mengumpulkan

1
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatua Tinjauan Singkat
(Jakarta: Rajawali, !985), h. 1. Bandingkan dengan Abdul Kadir Muhammad , Hukum dan Penelitian
Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 57.
2
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UIN Press, 1980), h. 6.

74
75

data. Penelitian yang dilaksanakan di lapangan adalah meneliti masalah yang

sifatnya kualitatif, yakni penelitian yang dimaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.3

Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif artinya,

penulis menganalisis dan menggambarkan penelitian secara objektif dan mendetail

untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Secara teoretis, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksud untuk

mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan

gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan, sehingga hanya merupa-

kan penyingkapan fakta dengan menganalisis data.4 Penelitian ini memberikan

gambaran tentang efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan

Agama Baubau.

2. Lokasi penelitian

Adapun lokasi penelitian yang akan menjadi fokus penelitian adalah sesuai

dengan judul penelitian, maka penelitian ini berlokasi di Pengadilan Agama Baubau.

Adapun alasan dipilihnya pengadilan Agama Baubau sebagai lokasi penelitian ini

karena pengadilan Agama Baubau berada di salah satu kota yang memiliki penduduk

cukup padat yang perkara perceraian cukup tinggi dan otomatis telah menyelesaikan

banyak perkara yang belum diketahui bagaimana efektifitas mediasi yang dilakukan

oleh para hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut.

3
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),
h. 6.
4
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 234.
76

B. Pendekatan Penelitian.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, objek kajian tesis ini adalah efektivitas

mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Baubau, maka pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan multidisipliner karena sangat terkait dengan

beberapa disiplin ilmu lainnya, adapun pendekatan keilmuan yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah teologi normatif, yuridis dan sosiologis. Ketiga pendekatan ini

digunakan dengan pertimbangan.

1. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis yang digunakan mengacu pada keyakinan terhadap

ajaran agama, loyalitas terhadap mazhab sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi

serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif.5Pendekatan ini digunakan untuk

memahami landasan teologis normatif para pihak yang berpakara dan para hakim

mediator dalam menangani kasus-kasus perceraian yang seyogianya diselesaikan

dengan cara damai.

2. Pendekatan Yuridis

Pendekatan yuridis atau peraturan/perundang-undangan adalah suatu

pendekatan yang digunakan untuk menelaah peraturan/undang-undang yang terkait

dengan pembahasan. Hal ini mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan undang-undang lain yang

terkait.

5
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999),
h. 28.
77

3. Pendekatan Sosiologis

Sosiologis adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan

masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya

yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisa

dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial, serta

keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.6 Dengan

menggunakan pendekatan sosiologis akan ditemukan jawaban mengenai efektivitas

mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Baubau.

C. Sumber Data Penelitian

Pada penelitian kualitatif, sampel sumber data dipilih secara purposive, dan

bersifat snowball sampling.7Penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan

faktor-faktor kontekstual. Maksud sampling dalam hal ini adalah menjaring

sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber, dengan demikian

tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang

dikembangkan dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang

ada dalam ramuan konteks yang unik.

6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 39.
7
Purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang diharapkan,
atau dia sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang
ditelliti. Lihat Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 54.
Keputusan tentang penentual sampel, besarnya dan strategi samplingtergantung pada penetapan
satuan kajian. Kadang-kadang satuan kajian bersifat perorangan. Bila perseorangan itu sudah
ditetapkan, maka pengumpulan data dipusatkan di sekitarnya, yang dikumpulkan ialah kondisi dan
kronologis dalam kegiatan, yang memengaruhinya, sikapnya, dan semacamnya. Lexy J. Moleong,
Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 225. Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang
mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding yang lama
menjadi besar. Penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua
orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang
dipandang lebih tahu dan dapat melengkap data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya.
78

Maksud kedua dari sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi

dasar dari rancangan teori yang muncul, jadi pada penelitian kualitatif tidak ada

sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample).8 Teknik snowing sampling

dilakukan karena dari jumlah sumber data yang terbatas tersebut belum mampu

memberikan data yang konkrit dan lengkap, maka penulis mencari informan yang

dapat memberikan data yang menguatkan hasil penelitian (mengetahui secara jelas

data yang diinginkan).

Penelitian ini diperoleh dari buku-buku dan bahan bacaan yang relevan

dengan pembahasan tesis ini tentang prosedur mediasi di pengadilan. Dalam

penelitian ini menggunakan dua sumber data, lapangan dan data pustaka yakni data

primer dan data sekunder.

1. Data primer

Data adalah data yang diperoleh dari data empiris yang diperoleh di lapangan

bersumber dari informan maupun data yang diperoleh pada institusi Pengadilan

Agama Baubau. Lebih jelasnya berikut ini sumber data primer dalam penelitian ini

adalah:

a) Ketua Pengadilan Agama Baubau


b) Hakim Mediator Pengadilan Agama Baubau

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data pelengkap yang berhubungan dengan sumber

primer, seperti buku-buku yang terkait tentang pelaksanaan mediasi dalam perkara

perceraian di Pengadilan Agama Baubau, baik berupa kitab fikih, Undang-undang,

dan berbagai penelitian yang terkait dengan penelitian serta menelaah dokumen

8
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 224.
79

resmi Pengadilan Agama seperti laporan tahunan pemberdayaan lembaga

perdamaian Pengadilan Agama terkait kasus yang diteliti.

D. Metode Pengumpulan Data

Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam

penelitian ini. Strategi ini dipilih untuk membangun pemahaman terhadap fenomena

kompleks yang diteliti dan juga berguna untuk triangulasi. Dalam upaya peningkatan

kualitas data, memperoleh informasi dari berbagai sumber dengan cara yang

berbeda-beda, menghasilkan perbedaan situasi dan pemahaman sehingga dapat

membantu menggambarkan secara kompleksitas.9 Data yang dikumpulkan

merupakan data-data primer yang merupakan ekspresi dari pengalaman objek yang

meliputi hasil observasi, wawancara dan dokumentasi, juga data-data sekunder yang

diperoleh dari informan tambahan.

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

meliputi:

1. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk

menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan.10 Teknik

observasi yang digunakan ini adalah partisipan, yaitu peneliti terlibat secara

langsung di dalam aktivitas subjek observasi. Hal ini sangat perlu, guna

mendeskripsikan aturan hukum yang terjadi di pengadilan Agama Baubau khusunya

dalam efektivitas mediasi dalam perkara perceraian.

9
M. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 733.
10
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2009), h. 115
80

2. Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti

ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus

diteliti dan mengetahui hal-hal informan yang mendalam.11 Menurut Sutrisno Hadi

dalam Sugiyono mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti

dalam menggunkana metode interviu adalah sebagai berikut:

1) Bahwa subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.

2) Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan

dapat dipercaya.

3) Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh

peneliti.12

Penelitian ini menggunakan wawancara tidak terstruktur dan semistruktur,13

yakni dialog oleh peneliti dengan informan yang dianggap mengetahui jelas kondisi

mengenai efektifitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama

Baubau.

3. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang yang

tertulis. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-

11
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 72
12
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif dan R & D (Cet.VI; Bandung: Alpabeta,
2009),h. 138
13
Wawancara semistruktur termasuk dalam kategori in-dept interwiew, dimana dalam
pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuannya adalah
untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta
pendapat dan ide-idenya. Lihat Idem, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 73-74.
81

benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen

rapat, catatan harian dan sebagainya.14 Hasil penelitian dari observasi dan

wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya jika didukung oleh dokumentasi.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen merupakan perangkat lunak dari seluruh rangkaian proses

pengumpulan data penelitian di lapangan. Instrumen penelitian menempati posisi

teramat penting dalam hal bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk

memperoleh data di lapangan. Instrumen penelitian tidak berbeda dengan sebuah

“jala” atau “jaring” yang digunakan untuk menangkap dan menghimpun data

sebanyak dan sevalid mungkin.15

Peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul

data utama pada penelitian kualitatif. Hal tersebut dilakukan karena memanfaatkan

alat yang bukan manusia maka tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian

terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan, manusia sebagai alat saja yang

dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, manusia yang mampu

memahami kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di lapangan dan manusia pula

sebagai instrumen yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor penyebab

sehingga apabila sesuatu terjadi dapat disadari dan dapat pula mengatasinya.

Dalam melakukan observasi, instrumen yang peneliti gunakan adalah buku

catatan lapangan atau alat tulis. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa berbagai

14
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kulaitatif (Cet. V; Bandung: Remaja Rosdakarya,
20100, h. 186
15
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial lainnya (Cet. VI; Jakarta: Kencana, 2011), h. 104-105.
82

peristiwa yang ditemukan di lapangan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja,

diharapkan dapat tercatat dengan segera.

Dalam wawancara, instrumen pengumpulan data menggunakan pedoman

wawancara, handpone yang memiliki aplikasi rekaman dan kamera digital. Pedoman

wawancara digunakan untuk mengarahkan dan mempermudah peneliti mengingat

pokok-pokok permasalahan yang diwawancarakan. Slip digunakan untuk mencatat

hasil wawancara. Slip diberikan identifikasi, baik nomor maupun nama informan.

Adapun handpone dan kamera digital digunakan untuk merekam pembicaraan

selama wawancara berlangsung untuk diabadikan sebagai bukti penelitian.

Penggunaannya dapat meminimalisasi kemungkinan kekeliruan penulis dalam

mencatat dan menganalisis hasil wawancara.

F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.

Didasarkan atas asumsi awal tentang efektivitas mediasi di Pengadilan

Agama, maka ditemukan masalah pokok yang akan menjadi objek kajian. Bertolak

dari permasalahan tersebut, maka langkah awal yang peneliti tempuh adalah melihat,

mengkaji, dan menganalisis pandangan para ulama tentang hakam/mediator,

kemudian mengkaji dan menganalisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, khususnya yang berkaitan dengan

perkara perceraian di Pengadilan Agama.

Langkah selanjutnya, peneliti melihat dan mengkaji peraturan perundang-

undangan di Indonesia yang secara umum berhubungan dengan perceraian di

Pengadilan Agama dan secara khusus, mengenai peraturan tentang prosedur

pelaksanaan mediasi.
83

Sebagai langkah terakhir, peneliti mempelajari, mengkaji dan menganalisis

efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di wilayah hukum Pengadilan Agama

Baubau.

Dalam kajian ini, peneliti cenderung mengumpulkan data kualitatif, berupa

ulasan, gagasan, dan pendapat para pakar hukum atau hakim mediator. Data yang

dikumpulkan, diklarifikasi, kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan menggunakan teknik analisis

isi (content analysis).

Pada dasarnya analisis data adalah sebuah proses mengatur urutan data dan

mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori atau satuan uraian dasar

sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan kerja seperti yang disarankan oleh

data.16 Pekerjaan analisis data dalam hal ini mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikan data yang terkumpul baik

dari catatan lapangan, gambar, foto, atau dokumen berupa laporan.

Untuk melaksanakan analisis data kualitatif ini maka perlu ditekankan

beberapa tahapan dan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Miles dan Hubermen mengatakan bahwa reduksi data diartikan sebagai

proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Mereduksi data bisa berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.17

16
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 103.
17
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 92.
84

Tahapan reduksi dilakukan untuk menelaah secara keseluruhan data yang

dihimpun dari lapangan, yaitu mengenai efektivitas mediasi dalam perkara

perceraian di Pengadilan Agama Baubau, sehingga dapat ditemukan data-data dari

obyek yang diteliti tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam reduksi data ini

antara lain:

1) Mengumpulkan data dan informasi dari catatan hasil wawancara dan hasil

observasi;

2) Serta mencari hal-hal yang dianggap penting dari setiap aspek temuan

penelitian.

2. Penyajian Data

Miles dan Huberman dalam Imam Suprayogo dan Tobroni, mengatakan

bahwa yang dimaksud penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang

tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan.18

Penyajian data dalam hal ini adalah penyampaian informasi berdasarkan data

yang diperoleh dari Pengadilan Agama Baubau sesuai dengan fokus penelitian untuk

disusun secara baik, runtut sehingga mudah dilihat, dibaca dan dipahami tentang

suatu kejadian dan tindakan atau peristiwa yang terkait dengan efektivitas mediasi

dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Baubau dalam bentuk teks naratif.

Pada tahap ini dilakukan perangkuman terhadap penelitian dalam susunan

yang sistematis untuk mengetahui efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama Baubau. Kegiatan pada tahapan ini antara lain: 1) membuat

18
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosda-
karya, 2001), h. 194.
85

rangkuman secara deskriptif dan sistematis, sehingga tema sentral dapat diketahui

dengan mudah; 2) memberi makna setiap rangkuman tersebut dengan

memperhatikan kesesuaian dengan fokus penelitian. Jika dianggap belum memadai

maka dilakukan penelitian kembali ke lapangan untuk mendapatkan data-data yang

dibutuhkan dan sesuai dengan alur penelitian.

3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Menurut Miles dan Huberman dalam Harun Rasyid, mengungkapkan bahwa

verifikasi data dan penarikan kesimpulan adalah upaya untuk mengartikan data yang

ditampilkan dengan melibatkan pemahaman penulis.19Kesimpulan yang

dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten

saat penulis kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan merupakan

kesimpulan yang kredibel.20

Pada tahap ini dilakukan pengkajian tentang kesimpulan yang telah diambil

dengan data pembanding teori tertentu, melakukan proses member check atau

melakukan proses pengecekan ulang, mulai dari pelaksanaan pra survei (orientasi),

wawancara, observasi dan dokumentasi, kemudian membuat kesimpulan umum

untuk dilaporkan sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan.

G. Pengujian Keabsahan Data

Untuk menguji keabsahan data guna mengukur validitas hasil penelitian ini

dilakukan dengan trianggulasi. Triangulasi adalah tenik pengumpulan data yang

bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data

19
Harun Rasyid, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Ilmu Sosial dan Agama (Pontianak:
STAIN Pontianak, 2000), h. 71.
20
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 99.
86

yang ada. Pengamatan lapangan juga dilakukan, dengan cara memusatkan perhatian

secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan fokus penelitian, yaitu

efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Baubau,

selanjutnya mendiskusikan dengan orang-orang yang dianggap paham mengenai

permasalahan penelitian ini.

Konsistensi pada tahapan-tahapan penelitian ini tetap berada dalam kerangka

sistematika prosedur penelitian yang saling berkaitan serta saling mendukung satu

sama lain, sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Implikasi utama

yang diharapkan dari keseluruhan proses ini adalah penarikan kesimpulan tetap

signifikan dengan data yang telah dikumpulkan sehingga hasil penelitian dapat

dinyatakan sebagai sebuah karya ilmiah yang representatif.


87

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Baubau

1. Dasar hukum berdirinya pengadilan agama baubau

Pengadilan Agama Baubau sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, warisan dan

wasiat, wakaf, zakat, infak hibah, sedekah dan ekonomi syariah serta tugas dan

kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang.


Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-undang No.
4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam
melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi
harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang
sederhana, cepat, tepat dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Baubau
sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang
adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan
damai di bawah lindungan Allah swt” dan Misi “Menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia di
bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, sedekah dan
ekonomi syariah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
Dasar hukum terbentuknya Pengadilan Agama Baubau berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 dan Penetapan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1958.

87
88

2. Sejarah pembentukan pengadilan agama baubau


Kesultanan Buton sejak berdirinya tahun 948 H atau tahun 1542 M, telah
memberlakukan syari’ah / Hukum Islam sebagai hukum positif untuk seluruh daerah
kekuasaanya. Penerapan hukum Islam tersebut berlangsung sampai dengan
meleburnya Kesultanan Buton dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, sejak berdirinya
Kesultanan Buton telah ada badan/lembaga yang menangani kasus-kasus yang
bertalian dengan hukum agama.
Badan/lembaga dimaksud adalah Badan Peradilan Hukum yang perangkatnya
terdiiri dari Lakina Agama, Imam, dan Khatib. Juga dikenal istilah Moji, yakni
perangkat peradilan yang secara khusus menangani kasus pernikahan, talak, rujuk,
dan pembagian harta bersama. Sedang untuk perkara/fasakh adalah kewenangan
Lakina Agama dan Imam yang diselesaikan pada Peradilan Tingkat Pertama.1
Untuk perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan pada pengadilan tingkat
pertama, perkara tersebut dikirim pada Sultan pada Pengadilan tingkat banding yang
sekaligus Pengadilan Tingkat Akhir/Kasasi.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 dan
Penetapan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1958, maka Pengadilan Agama Baubau
dinyatakan berdiri pada wilayah hukumnya meliputi Kabupaten Sulawesi Tenggara
yang terdiri dari Kecamatan Kendari, Kecamatan Kolaka, Kecamatan Muna dan
Kecamatan Buton. Wilayah hukum Pengadilan Agama Baubau mulai dikurangi sejak
dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 87 Tahun 1966. Pengurangan
wilayah hukum terjadi dengan bertambahnya Pengadilan Agama yakni Pengadilan
Agama Kendari, Pengadilan Kolaka, Pengadilan Agama Raha. Sejak terbentuknya

1
Sumber: Kantor Pengadilan Agama Baubau tahun 2014
89

pengadilan agama yang baru, wilayah hukum Pengadilan Agama Baubau meliputi
Daerah Tingkat II Kabupaten Buton dan Kota Administratif (Kotif) Baubau (3
Kecamatan plus 1 Kecamatan persiapan) dan 14 Kecamatan lainnya.
Sejak terbentuknya Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Bombana yang
kesemuanya merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Buton dengan Ibukota
Baubau, kini Pengadilan Agama Baubau daerah hukumnya masih mewilayahi
daerah/kabupaten hasil pemekaran kabupaten buton tersebut.
Sejak terbentuknya Penghadilan Agama Pasarwajo tanggal 24 November
2011, Kabupaten Buton yang semula masuk wilayah yuridiksi Pengadilan Agama
Baubau berubah menjadi wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Pasarwajo. Sehingga
sekarang wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Baubau hanya meliputi Kota Baubau,
Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana.
Selama berdirinya Pengadilan Agama Baubau sejak tahun 1958 sampai

sekarang tahun 2014 telah dipimpin oleh 12 (dua belas) orang ketua, yang

keseluruhannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Table 4. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Baubau


PERIODE
NO. NAMA KETERANGAN
BERTUGAS
1. K.H. Muh. Asy’ari 1960 s/d 1971 Pensiun
2. La Ode Hibai 1971 s/d 1978 Pensiun
3. Haddad Ishak 1978 s/d 1981 Pensiun
4. Drs. Muh. Ridwan 1981 s/d 1989 Pindah ke PA Selayar
5. Drs. M. Hasyim H, SH 1989 s/d 1995 Pindah ke PA Bulukumba
6. Drs. H. Suyuthi, SH 1995 s/d 2000 Pindah ke PA Ambarawa
7. Drs. Majidah 2000 s/d 2004 Pelaksana tugas Ketua
8. Drs. H. Abdul Latif 2004 s/d 2006 Pindah ke Unaaha
9. Drs. H. Burhanuddin, SH 2006 s/d 2008 Pensiun
10. Drs. Adaming, SH., MH 2009 s/d 2010 Pelaksana tugas Ketua
11. Drs.H.A, Majid Jalaluddin,MH 2010 s/d 2013
12. Drs. Ihsan Halik, SH 2013 sekarang
Sumber data: Kantor Pengadilan Agama Baubau tahun 2014
90

3. Wilayah yuridiksi pengadilan agama baubau

Data dan keterangan wilayah hukum Pengadilan Agama Baubau saat ini

meliputi 3 (tiga) Kotamadya/Kabupaten, 37 Kecamatan dan 282 Kelurahan, yang

keseluruhannya penulis dapat rangkum dalam tabel di bawah ini :

Tabel 5. Wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Baubau


Kotamadya /
No. Kecamatan Kelurahan/Desa
Kabupaten
1. Baubau Wolio - Wale
- Batulo
- Tomba
- Bataraguru
- Wangkanapi
- Kadolokatapi
- Bukit Wolio Indah
Betoambari - Katobengke
- Lipu
- Sulaa
- Waborobo
- Labalawa
Sorawolio - Kaisabu Baru
- Karya Baru
- Gonda Baru
- Bugi
Bungi - Liabuku
- Karing-ngkaring
- Kampeonaho
- Waliabuku
- Tampuna
Murhum - Wajo
- Lamangga
- Tangana Pada
- Bone-bone
- Tarafu
- Wameo
- Kaobula
- Nganganaumala
- Lanto
- Melai
- Baadia
Kokalukuna - Kadolomoko
- Kadolo
- Waruruma
- Sukanaeyo
- Liwuto
- Lakologou
91

Lea-Lea - Lowu-lowu
- Kalialia
- Kolese
- Palabusa
- Kantalai

2. Wakatobi Binongko - Palahidu


- Rukuwa
- Taipabu
- Wali
- Makoro
- Lagongga
- Kampo-kampo
- Jaya Makmur
- Palahidu Barat
Togo Binongko - Popalia
- Sowa
- Waloindi
- Oihu
- Haka
Tomia - Onemai
- Waha
- Waith
- Waith Barat
- Lamanggau
- Tee Moane
- Kolo Soha
- Patua
- Patua II
- Runduma
Tomia Timur - Tongano Barat
- Tongano Timur
- Patipelong
- Timu
- Dete
- Bahari
- Kulati
- Kahianga
- Wawotimu
Kaledupa - Ambeua
- Laulua
- Lagiwae
- Buranga
- Sama Bahari
- Huruo
- Ollo
- Balasuna
- Ambeua Raya
- Lefuto
92

- Waduri
- Ollo Selatan
- Balasuna Selatan
- Mantigola
- Kalmas
- Sombano
Kaledupa Selatan - Langge
- Sandi
- Tanomeha
- Kaswari
- Tampara
- Lentea
- Darawa
- Pajam
- Tanjung
- Peropa
Wangi-wangi - Wanci
- Pongo
- Wandoka
- Wandoka utara
- Wandoka selatan
- Waetuno
- Sombu
- Waha
- Wapia-pia
- Koroe onawa
- Waelumu
- Patuno
- Longa
- Tindoi
- Tindoi timur
- Wanginopo
- Pada raya
- Posalu
- Maleko
- Poo kambua
Wangi-wangi Selatan - Mandati I
- Mandati II
- Mandate III
- Liya togo
- Liya mawi
- Kapota
- Kabita
- Mola utara
- Mola selatan
- Wungka
- Numana
- Komala
- Mola bahari
93

- Mola samaturu
- Mola nelayan bakti
- Liya bahari
- Kapota utara
- Liya one melangka
- Matahora
- Kabita togo
- Matahora
- Wisata kolo
3. Bombana Kabaena - Teomokole
- Rahampuu
- Tirongkotua
- Rahadopi
Kabaena utara - Tedubara
- Sangia makmur
- Ee’mokolo
- Mapila
- Wumbulasa
- Larolanu
Kabaena selatan - Batuawu
- Langkema
- Pongkalaero
- Puu nunu
Kabaena barat - Sikeli
- Baliara
- Baliara kepulauan
- Rahantari
- Baliara selatan
Kabaena timur - Dongkala
- Lambale
- Tapuhaka
- Toli-toli
- Bungi-bungi
- Balo
- Wumbuburo
Kabaena tengah - Lengora
- Lengora selatan
- Lengora pantai
- Enano
- Tangkeno
- Lamonggi
- Ulungkura
Rumbia - Kasipute
- Doule
- Lampopala
- Lameroro
- Lantawonua
94

Rumbia tengah - Lauru


- Poea
- Kampung baru
- Lampata
- Tapuhahi
Mata oleo - Lora
- Pomontoro
- Liano
- Toli-toli
- Tajuncu
- Pulau tambako
- Mawar
- Laloa
- Batu sempe
- Hambawa
Kep.Masaloka Raya - Masaloka
- Masaloka Selatan
- Masaloka Timur
- Masaloka Barat
- Batu Lamburi
Rarowatu - Taubonto
- Pangkuri
- Lakomea
- Rau-rau
- Rarowatu
- Ladumpi
- Lampeantani
- W. Kalangkari
Rarowatu Utara - Aneka Warga
- Wumbubangka
- Hukaea
- Lantowua
- Tembe
- W. Mentade
- Marga Jaya
- Tunas Baru
Mata Usu - Kolombi Mata Usu
- Morengke
- Wia-wia
- Lamuru
- Totole
Lantari Jaya - Lantari
- Lombakasi
- Langkowala
- Pasare Apua
- Anugerah
- Kalaero
- Tinabite
- Rarungkeu
- Watu-watu
95

Poleang Timur - Bambaea


- Puu Lemo\teppoe
- Biru
- Mambo
Poleang Utara - Toburi
- Tanah Poleang
- Tampabulu
- Karya Baru
- Wambarema
- Pusu’ea
- Rompu-rompu
- Lawatu’ea
Poleang Selatan - Batu Putih
- Kali Biru
- Waemputang
- Akacipong
- Laea
Poleang Tenggara - Larete
- Lamoare
- Marampuka
- Terapung
Poleang Barat - Rakadua
- Ranokomea
- Lameong-meong
- Timbala
- Pabiring
- Balasari
- Bulumanai
- Toari Buton
- Babamolingku
Poleang Tengah - Mulaeno
- Lebo’ea
- Paria
- Poleondro
Poleang - Boepinang
- Boepinang Barat
- Boeara
- Kastarib
- Barangga
- Kasabolo
- Palimae
- Pokurumba
- Salosa
- Matiro Walie
Tontonunu - Tongkoseng
- Tontonunu
- Tetehaka
- Watu Melomba
- Puu Wonua
Sumber data: Kantor Pengadilan Agama Baubau tahun 2014
96

4. Keadaan pegawai pengadilan agama baubau

Untuk pelayanan terhadap masyarakat di bidang hukum dan hal-hal yang

terkait dengannya, Pengadilan Agama Baubau memiliki 26 orang personil termasuk

Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan, Hakim, Panitera/Sekretaris, Panitera Pengganti,

Jurusita, Jurusita Pengganti, Pegawai/Staf yang keseluruhannya berstatus PNS,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6. Data Pegawai Pengadilan Agama Baubau


Pendidikan Terakhir
Nama / Tempat dan
No. Jabatan Tk.
Tgl. Lahir Nama Jurusan Tahun
Ijazah
1. Drs. Ihsan Halik, SH. /
Ketua STIH Ilmu Hukum S1 2007
U.Pandang, 7-6-1968
2. Drs.H.Abd Kadir W. SH.MH /
Wakil Ketua UMI Hukum Perdata S2 2001
Pompanua,29-3-1969
3. Muhammad Surur,S.Ag / Hakim Peradilan
IAIN S1 1995
Pallae, 3-7-1970 Agama
4. Riduan, S.HI /
Hakim STAIN Syari’ah S1 2007
Samarinda, 4-6-1979
5. Achmad Suryadi, S.HI /
Hakim STAI Al- Syakhsiyyah S1 2003
Pontianak, 23-10-1978
6. Mushlih, S.HI / Peradilan
Hakim IAIN S1 2004
U.Pandang, 13-4-1980 Agama
7. Hafidz Umami, S.HI / Perbdgn.
Hakim IAIN S1 2008
Pemalang, 1-1-1983 Mazhab
8. Marwan I. Piinga, S.Ag /
Hakim STAIN Syari’ah S1 2001
Batudaa, 19-8-1975
9. Drs. Hasnawir Badru, MH. / Panitera /
UIJ Hukum Perdata S2 2011
Palopo, 10-4-1958 Sekretaris
10. Abd. Rahim, S.Ag / Wakil Perbdgn.
IAIN S1 1995
Bune, 15-10-1969 Panitera Mazhab
11. Wa Ode Nurbaya, SH / Wakil
UMB Ilmu Hukum S1 2010
Masiri, 4-7-1969 Sekretaris
97

12. H. Syamsul Bahri, BA / Panmud


Unizar Pend. Agama - 1987
L.Banteng, 1954 Permohonan
13. Atirah, S.Ag., MH / Panmud
UIJ Hukum Perdata S2 2011
Mattoanging, 17-6-1970 Gugatan
14. Abd. Rahman, SH / Panmud
UMK Ilmu Hukum S1 2005
Bone, 1964 Hukum
15. La Basero La Ida / Kaur
KPAA - SLA 1991
Aerlow, 2-8-1959 Kepegawaian
16. Sri Daniyanti, S.Kom /
Kaur Umum UMI Tek. Informtk S1 2007
Baubau, 31-1-1985
17. Zulkifli, S. Kom / Kaur
STMIK Sistm. Info. S1 2004
Pohu (kolaka), 17-9-1978 Keuangan
18. La Nuru / Jurusita
SMA IPA SLA 1980
Baubau, 18-11-1961 Pengganti
19. La Ausa / Jurusita
MAN IPS SLA 1996
Buton, 15-2-1967 Pengganti
20. Sudirman, SH / Panitera
UMB Ilmu Hukum S1 2007
Kampung Baru, 1969 Pengganti
21. Dedy Supriadi, SH / Jurusita
UNID Ilmu Hukum S1 2003
Lombok Barat, 12-9-1982 Pengganti
22. Musmiran, SH / Jurusita
UMB Ilmu Hukum S1 2011
Enano, 11-4-1983 Pengganti
23. Lily Rahmi, S.HI / Staf
STAIN Syari’ah S1 2003
Baubau, 24-8-1980 Administrasi
24. Fadliyah Zainal, S.HI / Staf Panmud
STAIN Syari’ah S1 2003
Kendari, 28-9-1982 Gugatan
25. Besse Nurmiati, S.HI / Staf Kaur
UIN M Peradilan S1 2008
Toduma, 5-5-1986 Umum
26. Asril Amrah, S.HI / Calon STAI
Syari’ah S1 2011
Watampone, 22-10-1989 Jurusita DDI
Sumber data: Kantor Pengadilan Agama Baubau tahun 2014
98

5. Struktur organisasi pengadilan agama baubau

Untuk lebih memperjelas lagi mengenai jalur struktural kepegawaian di

lingkup Kantor Pengadilan Agama Baubau, dapat dilihat pada struktur organisasi di

bawah ini:

Struktur Organisasi Pengadilan Agama Baubau


99

6. Prosedur berperkara di pengadilan agama baubau

Sebelum perkara seorang pencari keadilan diajukan tentu menempuh beberapa

langkah agar perkara yang di ajukannya dapat di terima di Pengadilan Agama Baubau

dengan baik. Adapun prosedur berperkara di Pengadilan Agama Baubau dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 7. Prosedur berperkara Pengadilan Agama Baubau


100

B. Efektivitas Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Baubau.

Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto,2 efektif tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Faktor-

faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya

terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor pertama adalah faktor hukumnya

sendiri, yakni Undang-undang yang dalam penelitian ini adalah Undang-undang

Nomor 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Yang kedua adalah

faktor penegak hukum yakni para pegawai hukum pengadilan di lingkungan

Pengadilan Agama Baubau. Ketiga adalah faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung penegakan hukum, karena tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu,

maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Yang

keempat adalah masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan. Dan yang kelima adalah faktor kebudayaan yang pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang

merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga

ditaati dan apa yang dianggap buruk sehingga tidak ditaati.

Demikianlah 5 (lima) faktor keberhasilan mediasi yang dijadikan sebagai alat


ukur penelitian ini, dan berikut adalah penguraian mengenai analisa efektivitas

mediasi:

1. Tinjauan Yuridis Perma Nomor 1 Tahun 2008

Perma Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki

kekuatan mengikat dan daya paksa bagi para pihak yang berperkara di pengadilan,

2
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , (Jakarta : Raja
Grafindo), 2007. hlm. 7.
101

karena bila tidak melaksanakan mediasi, maka putusan pengadilan menjadi batal

demi hukum.

Setiap pemeriksaan perkara perdata di pengadilan harus diupayakan

perdamaian dan mediasi sendiri merupakan kepanjangan upaya perdamaian. Mediasi

akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan masalah yang buntu agar

mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka.

Berdasarkan teori efektivitas hukum yang penulis gunakan sebagai alat ukur

penelitian ini, Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan ada daya paksa bagi masyarakat. Oleh

karenanya, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1) Landasan yuridis Perma Nomor 1 tahun 2008 adalah peraturan perundang-

undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Perma merupakan pelengkap peraturan perundang-undangan yang

telah ada sehingga bertujuan mengisi kekosongan hukum.

2) Mahkamah Agung memiliki kewenangan membuat peraturan sebagaimana

diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Oleh karena itu,
penerbitan Perma tidak bertentangan dengan hukum dan aturan perundang-

undangan.

2. Kualifikasi Mediator

Mediator memiliki peran sangat penting akan keberhasilan mediasi. Oleh

karena itu, hakim mediator dituntut memiliki kemampuan yang baik agar proses

mediasi dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam

Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.


102

Pasal 9 Perma Nomor 1 tahun 2008 mengatur tentang daftar mediator pada

Ayat (1), bahwa untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan

menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama

mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para

mediator, akan tetapi penulis mendapatkan daftar mediator di Pengadilan Agama

Baubau tidak tercantum pengalaman yang dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) PERMA

Nomor 1 Tahun 2008.

Berikut daftar mediator di Pengadilan Agama Baubau yang penulis dapat

sajikan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 8. Daftar Mediator Pengadilan Agama Baubau

NAMA/NIP
NO PEKERJAAN KET.
TEMPAT TANGGAL LAHIR
Muhammad Surur, S.Ag / SK. Ketua P.A Baubau
1. 197007032000031001 Hakim Nomor: W21-
Pallae, 3-7-1970 A2/18/H.K. 05/I/2014
Tanggal 2 Januari 2014
Riduan, S.HI / SK. Ketua P.A Baubau
2. 197906042007041001 Hakim Nomor: W21-
Samarinda, 4-6-1979 A2/18/H.K. 05/I/2014
Tanggal 2 Januari 2014
Mushlih, S.HI / SK. Ketua P.A Baubau
3. 198004132008051001 Hakim Nomor: W21-
U. Pandang, 13-4-1980 A2/18/H.K. 05/I/2014
Tanggal 2 Januari 2014
Hafizd Umami, S.HI / SK. Ketua P.A Baubau
4. 198301012009041012 Hakim Nomor: W21-
Pemalang, 1-1-1983 A2/18/H.K. 05/I/2014
Tanggal 2 Januari 2014
Marwan Ibrahim Piinga, S.Ag / SK. Ketua P.A Baubau
5. 197508192009121002 Hakim Nomor: W21-
Batudaa (Gorontalo), 19-8-1975 A2/18/H.K. 05/I/2014
Tanggal 2 Januari 2014
Sumber data: Kantor Pengadilan Agama Baubau 2014
103

Selanjutnya penulis melihat kualifikasi mediator pada Pasal 9 Ayat (2)

sampai dengan Ayat (6) sebagai berikut :

(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki

sertifikat dalam daftar mediator.

(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang

bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat

ditempatkan dalam daftar mediator.

(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan

kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar, mediator

pada pengadilan yang bersangkutan.

(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan

menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.

(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar

mediator.

Pada Pasal-pasal di atas mengenai kualifikasi mediator di pengadilan, Hakim

di Pengadilan Agama Baubau belum ada yang memiliki sertifikat mediator sehingga

yang dimasukkan dalam daftar mediator adalah hakim pengadilan agama Baubau
yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan. Mengenai pembaruan daftar mediator,

Pengadilan Agama memperbarui dan mengevaluasinya setiap tahun, namun sejak

tahun 2013 tidak ada perubahan untuk daftar-daftar nama mediator.

Selain Ketua Pengadilan Agama Baubau, seluruh hakim mediator belum

memiliki sertifikat mediator dikarenakan belum mengikuti pelatihan yang

diselenggarakan Mahkamah Agung RI.3 Pelatihan mediator sangat terbatas


3
Wawancara dengan Ihsan Halik, Ketua Pengadilan Agama Baubau, juga sebagai Hakim
Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada tanggal 17 Nopember 2014.
104

jumlahnya karena diselenggarakan Mahkamah Agung RI secara nasional sehingga

pesertanya sangat terbatas. Idealnya Mahkamah Agung RI perlu memberikan

pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agar :

a. Para hakim mediator bisa bekerja maksimal sewaktu melakukan mediasi. Bila

telah mendapatkan pelatihan, mereka telah memiliki kemampuan sesuai

dengan fungsi dan peran mediator.

b. Mediasi berjalan efektif. Mediator yang terlatih akan mampu mengorganisir

proses mediasi dengan baik.

c. Menambah keterampilan hakim dalam melakukan mediasi. Mereka akan

memiliki teknik-teknik yang terprogram. Tugas mediator berbeda dengan

hakim saat di persidangan. Bila di persidangan hakim sangat menjaga wibawa

pengadilan, sedangkan saat menjadi mediator harus lebih komunikatif dan

tidak kaku, karena berfungsi sebagai penengah konflik antara para pihak.

Setelah melakukan penelitian, penulis merasa bahwa efektivitas mediasi

memang dipengaruhi oleh kualitas mediator, maka penulis memberikan kesimpulan

bahwasanya ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam hal kualifikasi mediator.

Yang pertama adalah bahwa sumber daya mediator harus diperbaiki dengan cara
memberikan pelatihan kepada hakim-hakim mediator. Mediasi adalah salah satu

bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa yang berbeda dengan litigasi sehingga

para hakim yang ditetapkan menjadi mediator wajib mendapatkan pelatihan yang

baik. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI yang harus mengambil inisiatif agar

pelatihan mediator dapat segera dilaksanakan lebih meluas lagi.

Hal lainnya adalah mengenai pemberian insentif bagi hakim yang berhasil

menjalankan fungsi mediator. Sampai saat ini Mahkamah Agung RI belum


105

menerbitkan Perma tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim

yang menjalankan fungsi mediator, yang sesungguhnya telah diamanatkan dalam

Pasal 25 Ayat (2) Perma Nomor 1 tahun 2008.4

3. Fasilitas dan Sarana

Ruang mediasi di Pengadilan Agama Baubau hanya ada 1 (satu) ruang yang

berukuran sekitar 5 meter x 4 meter, di dalamnya hanya ada 1(satu) meja dan 3

(tiga) kursi. Dalam ruang tersebut dapat dilakukan 1 (satu) kali proses mediasi.

Fasilitas ruang mediasi masih kurang ideal bagi proses mediasi. Faktor-faktor

yang menyebabkan tidak idealnya ruang mediasi adalah :

1) Tidak adanya keseimbangan antara ruangan dan laju jumlah perkara yang

masuk di Pengadilan Agama Baubau guna melakukan proses mediasi bagi

para pihak dikarenakan ruangan yang tersedia hanya 1 (satu), sehingga para

pihak seringkali terlihat mengantri.5

2) Tidak tersedianya ruang untuk kaukus. Padahal proses kaukus adalah sebagai

alternatif yang dapat diupayakan oleh mediator untuk proses perdamaian para

pihak.

3) Fasilitas pendukung yang kurang, seperti alat peraga, proyektor dan baiknya

diupayakan tersedianya Air Conditioner (AC) yang dapat menjadikan

ruangan mediasi terasa sejuk.6

4
Lihat Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
5
Wawancara dengan Muhammad Surur, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada
tanggal 24 Nopember 2014
6
Wawancara dengan Marwan Ibrahim Piinga, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau
pada tanggal 3 Desember 2014.
106

4. Kepatuhan Masyarakat

Mengenai kepatuhan masyarakat, penulis memberikan catatan mengenai

perilaku dan sikap para pihak selama proses mediasi yang mempengaruhi kepatuhan

mereka dalam menjalani proses mediasi, yakni sebagai berikut :

1) Seringkali salah satu pihak atau keduanya merasa paling benar. Mediator

kesulitan mendalami masalah karena sikap mereka yang tidak kooperatif

selama proses mediasi. Sikap egois sering muncul pula pada diri para pihak.7

2) Sebelum para pihak memasuki pemeriksaan perkara di persidangan, sering

kali mereka sudah bersepakat untuk memutuskan ikatan perkawinan.8

Sehingga saat dilakukan mediasi, sangat sulit bahkan gagal untuk

didamaikan.

3) Komunikasi para pihak sudah lama terputus. Konflik yang telah berlarut-larut

menyebabkan kedua belah pihak sudah tidak ada iktikad untuk damai.9

4) Para pihak ada juga yang kooperatif, namun sikap tersebut mereka lakukan

agar proses mediasi cepat selesai hingga dapat dilanjutkan ke proses

persidangan selanjutnya. Mereka mengikuti mediasi hanya sebagai

formalitas.10

7
Wawancara dengan Marwan Ibrahim Piinga, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau
pada tanggal 3 Desember 2014.
8
Wawancara dengan Marwan Ibrahim Piinga, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau
pada tanggal 3 Desember 2014.
9
Wawancara dengan Marwan Ibrahim Piinga, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau
pada tanggal 3 Desember 2014.
10
Wawancara dengan Muhammad Surur, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada
tanggal 24 Nopember 2014
107

5. Kebudayaan

Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perceraian pada Peradilan Agama

di tingkat pertama. Pertama adalah moral. Persoalan moral pun memberikan antil

untuk memantik krisis keharmonisan rumah tangga. Modusnya mengambil tiga

bentuk, yakni suami melakukan poligami tidak sesuai dengan aturan, krisis akhlak,

dan cemburu yang berlebihan. Kedua, meninggalkan kewajiban. Ini disebabkan salah

satu pihak tidak bertanggung jawab akan kewajibannya selama menjalani ikatan

perkawinan, seperti nafkah baik lahir maupun batin. Ketiga, kawin dibawah umur.

Biasanya terjadi pada pihak istri yang sejarah perkawinannya dipaksa oleh kedua

orang tuanya yang kemudian hari banyak menimbulkan ketidakharmonisan diantara

pasangan suami istri. Keempat, dihukum. Salah satu pihak dijatuhi hukum pidana

oleh pengadilan. Kelima, cacat biologis. Salah satu pihak memiliki cacat fisik yang

tidak dapat disembuhkan, sehingga menyebabkan tidak dapat melaksanakan

kewajiban. Keenam, terus menerus berselisih. Perselisihan dalam perkawinan yang

berujung pada peristiwa perceraian ini dapat disebabkan ketidakharmonisan pribadi,

gangguan pihak ketiga. Ketujuh, adalah faktor-faktor lainnya.


Faktor penyebab banyaknya angka perceraian serta tidak efektifnya
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian pada Pengadilan Agama Baubau
menurut penulis dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut :
1) Persepsi masyarakat muslim khususnya di Kota Baubau tentang perceraian
bahwa Islam mengajarkan talak adalah perbuatan halal walaupun dibenci
Allah. Terlebih apabila perceraian adalah satu-satunya jalan keluar dari
konflik rumah tangga yang akan membahayakan salah satu pihak atau
keduanya, maka tentulah masyarakat memilih perceraian sebagai pilihan
terakhir.
108

2) Semakin meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat terutama perempuan.


Maka istri yang berpendidikan tinggi jika diceraikan oleh suaminya tidak lagi
khawatir akan nafkah dirinya dan anak-anaknya. Dengan bekal pendidikan
yang dimilikinya, seorang wanita dapat mencari pekerjaan untuk pemenuhan
kebutuhannya.
3) Penempatan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama tidak tepat. Faktor
inilah yang paling mendasar tidak efektifnya mediasi di Pengadilan Agama.
Penulis berpendapat bahwa pelaksanaan mediasi harus dilakukan diluar
Pengadilan Agama oleh pihak keluarga suami-isteri yang diangkat
(ditugaskan) oleh hakim (ulul amri), yang dipandang cukup banyak
mengetahui hal-ihwal pasangan dan problematika di antara mereka untuk
mencari kemaslahatan dan bermusyawarah secara proaktif guna menemukan
akar permasalahan sekaligus mengupayakan solusi jalan damai bagi
keduanya.
Oleh karena keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar secara
psikologis dari pada orang lain, khususnya dalam mengungkap rahasia-rahasia
yang rumit dan pelik, karena sebab-sebab konflik adakalanya bersifat rahasia,
yang tidak mungkin diungkapkan kepada orang lain.
Jika kemudian solusi jalan damai tersebut ditolak dan menemui jalan buntu,
maka dengan demikian nyatalah bahwa telah terjadi syikak (perpecahan) pada
pasangan suami isteri tersebut, maka amanah tugas dikembalikan pada sang
hakim untuk mengambil keputusan bagi pasangan tersebut dengan tetap
menjadikan hasil penyelidikan dan pendapat para hakam sebagai bahan
pertimbangan dalam memutuskan perkara tersebut.
109

C. Tingkat Keberhasilan Mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama


Baubau
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama Baubau, penulis menggunakan Laporan Pemberdayaan Lembaga

Perdamaian Pengadilan Agama Baubau Tahun 2012 sampai dengan tahun 2013.

Data laporan tersebut merupakan laporan bulanan di Pengadilan Agama Baubau.

Didalamnya dapat diketahui perkara yang masuk ke lembaga perdamaian setiap

bulan dan dilaporkan hasil mediasi yang berhasil maupun yang tidak berhasil.

Sehingga dengan laporan ini, dapat diketahui dengan mudah jumlah perkara yang

dimediasi dan hasilnya.

Berikut penulis rangkum laporan pemberdayaan lembaga perdamaian perkara

perceraian di Pengadilan Agama Baubau, sebagaimana tertera pada tabel di bawah

ini:
Tabel 9. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian
Pengadilan Agama Baubau Tahun 2012
Jenis Perkara Keterangan
Berhasil Gagal
No. Bulan Cerai Cerai
Cerai Cerai Cerai Cerai Jumlah
Talak Gugat
Talak Gugat Talak Gugat
1. Januari 5 4 - 1 5 3 9
2. Februari 6 5 - - 6 5 11
3. Maret 4 4 - 1 4 3 8
4. April 1 2 - - 1 2 3
5. Mei 4 3 - - 4 3 7
6. Juni 8 5 - 1 8 4 13
7. Juli 1 2 - - 1 2 3
8. Agustus 4 2 - - 4 2 6
9. September 10 5 - - 10 5 15
10. Oktober 3 8 - - 3 8 11
11. Nopember 4 9 1 - 3 9 13
12. Desember 5 4 - - 5 4 9
Total 55 53 1 3 54 50 108
Sumber data: Kantor Pengadilan Agama Baubau tahun 2014
110

Dari tabel 9 di atas, diketahui bahwa perkara cerai talak yang dimediasi

berjumlah 55 perkara, sedikit lebih banyak daripada perkara cerai gugat yaitu

sebanyak 53 perkara. Diketahui pula angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai

talak di Pengadilan Agama Baubau tahun 2012 sebanyak 1 dari 55 perkara atau 1,82

%11. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 3 dari

53 perkara atau 5,66 %. Kemudian jumlah perkara yang gagal dimediasi pada

perkara cerai talak adalah 54 perkara atau 98,18 % dan jumlah perkara yang gagal

dimediasi pada perkara cerai gugat adalah 50 perkara atau 94,34 %.

Dari tabel di atas diperoleh keterngan bahwa jumlah perkara perceraian yang

berhasil dimediasi dari seluruh jumlah perkara perceraian baik perkara cerai talak

maupun cerai gugat di Pengadilan Agama Baubau pada tahun 2012, yaitu sebanyak 4

perkara atau 3,70 % dari jumlah total 108 perkara perceraian.

Selanjutnya penulis sajikan tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara

perceraian yang diperoleh dari data laporan pemberdayaan lembaga perdamaian

Pengadilan Agama Baubau tahun 2013.

11
Rumus yang digunakan untuk menghitung prosentase perkara yang berhasil/gagal
dimediasi adalah jumlah perkara cerai talak/cerai gugat dibagi dengan jumlah perkara cerai talak/cerai
gugat yang berhasil dimediasi. Hasil pembagian tersebut dikali 100 sehingga diperoleh jumlah
prosentase perkara cerai talak/atau cerai gugat yang berhasil dimediasi dengan rumus:
Jumlah perkara cerai talak/cerai gugat x 100 = . . . . . %
Jumlah perkara cerai talak/cerai gugat yang berhasil di mediasi
111

Tabel 10. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaiayan


Pengadilan Agama Baubau Tahun 2013
Jenis Perkara Keterangan
Berhasil Gagal
No. Bulan Cerai Cerai
Cerai Cerai Cerai Cerai Jumlah
Talak Gugat
Talak Gugat Talak Gugat
1. Januari 3 4 - 1 3 3 7
2. Februari 5 3 - - 5 3 8
3. Maret 2 4 - - 2 4 6
4. April 11 28 - - 11 28 39
5. Mei 6 18 2 - 4 18 22
6. Juni 5 19 - - 5 19 24
7. Juli 4 18 - - 4 18 22
8. Agustus 3 11 - - 3 11 14
9. September 6 25 - - 6 25 31
10. Oktober 7 24 - - 7 24 31
11. Nopember 9 27 - - 9 27 38
12. Desember 8 21 - - 8 21 29
Total 69 202 2 1 67 201 271
Sumber data: Kantor Pengadilan Agama Baubau tahun 2014

Dari data yang terdapat pada tabel 10 di atas, diperoleh keterangan bahwa

pada tahun 2013 jumlah perkara cerai gugat yang dimediasi adalah sebanyak 202

perkara, jauh lebih banyak daripada perkara cerai talak yaitu sebanyak 69 perkara.

Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan

cerai talak sepanjang tahun 2013.

Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2013 adalah 2

dari 69 perkara atau 2,90 %. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara

cerai gugat adalah 1 dari 202 perkara atau 0,50 %. Angka kegagalan mediasi pada

perkara cerai talak adalah 97,10 % dan angka kegagalan mediasi pada perkara cerai

gugat mencapai 99,50 %.


112

Dari tabel 9 dan 10 diatas, tergambar bahwa hasil pelaksanaan upaya

perdamaian majelis hakim dan hakim mediasi di wilayah Pengadilan Agama Baubau

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 menunjukan tingkat keberhasilan mediasi

belum maksimal, karena hanya 7 perkara yang berhasil didamaikan melalui proses

mediasi dari 379 perkara perceraian yang ditangani di Pengadilan Agama Baubau

atau hanya mencapai 1,85 % selama kurung waktu tahun 2012 – 2013.

D. Faktor-faktor yang Menjadi Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi

di Pengadilan Agama Baubau

Keberhasilan atau kegagalan mediasi sangat dipengaruhi faktor-faktor

pendukung dan penghambat selama proses mediasi. Berikut faktor-faktor pendukung

keberhasilan mediasi :

a. Kemampuan Mediator.

Mediator yang pandai mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga dapat

mengupayakan adanya titik temu antara para pihak akan mudah mendorong

terjadinya perdamaian. Oleh karena itu, kemampuan seorang mediator berpengaruh

akan keberhasilan mediasi.

Dibutuhkan pula kejelian mediator untuk mengungkap apakah permasalahan

diantara para pihak dan kebijaksanaan mediator dalam memberikan solusi, sehingga

para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya dengan damai dan baik.12

12
Wawancara dengan Riduan, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada tanggal
17 Nopember 2014.
113

b. Faktor Sosiologis dan Psikologis.

Kondisi sosial para pihak menentukan akan keberhasilan mediasi. Misalnya,

seorang wanita yang menggugat cerai suaminya akan berfikir akan nafkah dirinya

dan anak-anaknya. Bagi wanita yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki

penghasilan namun khawatir kekurangan akan berfikir ulang untuk menggugat cerai

suaminya. Namun, wanita yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan bahkan

penghasilan yang cukup, kecenderungan untuk berpisah dengan suaminya lebih kuat.

Kondisi psikologis para pihak dapat mempengaruhi keberhasilan mediasi.

Seseorang yang ingin berpisah dengan pasangannya pasti telah merasa

ketidaknyaman bahkan penderitaan fisik maupun psikis yang berlangsung lama.

Semakin besar tekanan yang ada pada diri seseorang, berarti semakin besar pula

keinginannya untuk berpisah dengan pasangannya.

Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan dapat mendukung

keberhasilan mediasi.13

c. Moral dan Kerohanian.

Prilaku para pihak yang baik dapat memudahkan mediator untuk

mengupayakan perdamaian. Namun, prilaku yang buruk dapat menjadikan salah satu

pihak tidak mau kembali rukun karena bila kembali dalam ikatan perkawinan akan

memperburuk kehidupannya. Begitu pula tingkat kerohanian seseorang berpengaruh

pada keberhasilan mediasi.14

13
Wawancara dengan Muhammad Surur, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada
tanggal 24 Nopember 2014.
14
Ketiga faktor tersebut disampaikan saat wawancara dengan Marwan Ibrahim Piinga dan
Riduan, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada tanggal 2 Desember 2014.
114

d. Iktikad Baik Para Pihak.

Saat proses mediasi berlangsung, mediator berperan sebagai penengah yang

berusaha mendamaikan para pihak. Namun sebaik apapun usaha yang dilakukan

mediator dalam mendamaikan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh iktikad

baik para pihak untuk dirukunkan serta kesadaran masing-masing pihak akan

kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan dan memulai hidup rukun kembali.

Terutama iktikad baik pihak Pemohon/Penggugat untuk berdamai dan menerima

Termohon/Tergugat untuk hidup bersama.15

Sedangkan faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi adalah sebagai

berikut :

a. Keinginan Kuat Para Pihak Untuk Bercerai.

Seringkali terjadi saat mediasi salah satu pihak bahkan keduanya sudah

sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Kedatangan mereka ke Pengadilan Agama

biasanya terjadi akibat tidak berhasilnya upaya perdamaian yang dilakukan oleh

pihak keluarga. Sehingga hal ini yang sering menyulitkan mediator untuk

mengupayakan perdamaian.16

b. Sudah Terjadi Konflik yang Berkepanjangan.

Konflik yang terjadi diantara para pihak sudah terjadi berlarut-larut, saat

mediasi para pihak tidak dapat diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat

menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri.17


15
Wawancara dengan Mushlih dan Muhammad Surur, Hakim Mediator di Pengadilan Agama
Baubau pada tanggal 2 Desember 2014.
16
Wawancara dengan Mushlih, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada tanggal 2
Desember 2014.
17
Wawancara dengan Ridwan, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada tanggal
17 Nopember 2014.
115

Bahkan, sering terjadi pihak Pemohon/Penggugat sudah tidak bisa

memaafkan pihak Termohon/Tergugat sehingga sulit untuk rukun lagi.18

c. Faktor Penempatan Pelaksanaan Mediasi.

Dari beberapa faktor-faktor pendukung dan penghambat keberhasilan

mediasi dalam menangani perkara perceraian di Pengadilan Agama sebagaimana

yang telah disebutkan di atas, menurut hemat penulis, hal penyebab utama yang

paling mendasar sehingga mediasi di Pengadilan Agama tidak berjalan efektif

adalah penempatan pelaksanaan mediasi itu sendiri yang tidak tepat, sesuai dengan

tujuannya yaitu untuk mendamaikan serta mempertahankan ikatan tali perkawinan

antara suami-isteri yang tengah dilanda konflik/perselisihan rumah tangga (syikak).

Para ulama telah sepakat bahwa mengutus hakam ketika terjadi perselisihan

diantara suami isteri, sebelum diketahui diantara mereka siapa yang berbuat nusyuz

atau memang diketahui bahwa keduanya berbuat nusyuz, sementara suami enggan

untuk memperlakukan isterinya dengan baik dan tidak menceraikannya dengan

baik.19 Menurut Imam Syafi’i, kata ‫( فابعثوا‬fab’atsu) dalam QS al-Nisa> ayat 35

bermakna wajib, untuk menghindari kemudlaratan.20

Terkait kedudukan dan kewenangan hakam para ulama berbeda pendapat


sebagaimana penulis telah uraikan pada bab sebelumnya. Penulis sediri lebih

cenderung kepada mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa hakam tidak mempunyai

wewenang dalam hal ihwal pemutusan ikatan suami-isteri, karena tidak ada indikasi

18
Wawancara dengan Ridwan, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Baubau pada tanggal
17 Nopember 2014.
19
Ibnu Quda>mah, al-Mughni Syar Mukhtasyar al-Kharaqi, (Saudi: al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta>’ al-
Da’wah wa al-Irsya>d, tt) IX, h. 107.
20
Muhammad ‘Ali al-Shabu>, Rawa>’I al Baya>n Tafsir aya>t al-Ahka>m Min al-Qur’a>n, (Jakarta:
Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah), h. 337.
116

selain kata islah (mendamaikan) dalam QS al-Nisa>’/4: 35 tersebut. Pada intinya

penulis sepakat bahwa yang diperintahkan mengangkat hakam ialah penguasa,

namun bukan berarti bahwa yang diangkat itu juga harus dari penguasa, karena

penggunaan dlamir “hi” pada kata ahlihi ( ‫ ) أهله‬dan “ha” pada kata ahliha ( ‫ ) أ َْهلها‬dan

penyebutan 2 kata hakam atau hakamain, menunjukan bahwa hakam yang diangkat

oleh penguasa itu merupakan wakil yang merepresentasikan masing-masing pihak,

baik dari pihak suami maupun isteri.21

Sehingga dapat dijelaskan, Hakam ialah sekelompok orang (2 orang atau

lebih) dari keluarga pihak-pihak yang berselisih, yang dipandang cukup banyak

mengetahui hal-ihwal pasangan dan problematika diseputar mereka, yang dipilih

oleh hakim (ulul amri) berdasarkan pada netralitas dan kesungguhan mereka untuk

mencari kemaslahatan, dan diangkat serta ditugaskan (diutus) untuk bermusyawarah

secara proaktif baik sesama hakam maupun dengan pasangan yang berselisih

(menjembatani dan mengengahi), untuk mencari akar permasalahan sekaligus

mengupayakan solusi jalan damai bagi keduanya. Solusi jalan damai itulah yang

kemudian ditawarkan kepada pasangan suami-isteri yang berselisih untuk dijadikan

jalan-jalan kesepakatan damai bagi keduanya.22

Jika kemudian solusi jalan damai tersebut ditolak dan menemui jalan buntu,

dan dengan demikian nyatalah bahwa telah terjadi syikak (perpecahan) pada

pasangan suami-isteri tersebut, maka amanah tugas dikembalikan pada sang hakim

21
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 115.
22
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 116.
117

untuk mengambil keputusan bagi pasangan tersebut. Adapun hasil penyelidikan dan

pendapat para hakam selama ditugaskan, menjadi salah satu bahan pertimbangan

ataupun alat bukti bagi hakim dalam memutuskan perkara nantinya.23

23
Nur Taufik Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola Konflik
Menjadi Harmoni, h. 116.
118

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisa efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama Baubau, menunjukan bahwa mediasi belum efektif. Adapun

faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:

a. Tingkat kepatuhan masyarakat yang menjalani proses mediasi sangat rendah.

Faktor ini yang menjadi penyebab utama belum efektifnya mediasi di

Pengadilan Agama Baubau.

b. Fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Baubau masih kurang

memadai baik dari segi ruang mediasi maupun fasilitas penunjang

didalamnya.

c. Selain Ketua Pengadilan Agama Baubau, hakim yang ditunjuk menjadi

mediator seluruhnya belum mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggrakan

oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

d. Penempatan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama tidak tepat atau tidak

sesuai dengan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah swt., dalam QS al-
Nisa>’/4: 35, tentang kedudukan dan kewenangan hakam (mediator) dalam

menyelesaikan konflik yang terjadi dalam rumahtangga.

2. Data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang pelaksanaan upaya

perdamaian majelis hakim dan hakim mediasi di wilayah Pengadilan Agama Baubau

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 menunjukan tingkat keberhasilan mediasi


belum maksimal, karena hanya 7 perkara yang berhasil didamaikan melalui proses

118
119

mediasi dari 379 perkara perceraian yang ditangani di Pengadilan Agama Baubau

atau hanya mencapai 1,85 % selama kurung waktu tahun 2012 – 2013.

3. Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan

mediasi di Pengadilan Agama Baubau, adalah :

1) Faktor pendukung diantaranya adalah:

a. Kemampuan mediator;

Mediator yang pandai mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga dapat

mengupayakan adanya titik temu antara para pihak akan mudah mendorong

terjadinya perdamaian. Oleh karena itu, kemampuan seorang mediator berpengaruh

akan keberhasilan mediasi.

b. Faktor Sosiologis dan Psikologis.

Kondisi sosial para pihak menentukan akan keberhasilan mediasi. Misalnya,

seorang wanita yang menggugat cerai suaminya akan berfikir akan nafkah dirinya

dan anak-anaknya. Bagi wanita yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki

penghasilan namun khawatir kekurangan akan berfikir ulang untuk menggugat cerai

suaminya. Namun, wanita yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan bahkan

penghasilan yang cukup, kecenderungan untuk berpisah dengan suaminya lebih kuat.
Kondisi psikologis para pihak dapat mempengaruhi keberhasilan mediasi.

Seseorang yang ingin berpisah dengan pasangannya pasti telah merasa

ketidaknyamanan bahkan penderitaan fisik maupun psikis yang berlangsung lama.

Semakin besar tekanan yang ada pada diri seseorang, berarti semakin besar pula

keinginannya untuk berpisah dengan pasangannya.

Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan dapat mendukung

keberhasilan mediasi.
120

c. Moral dan Kerohanian.

Prilaku para pihak yang baik dapat memudahkan mediator untuk

mengupayakan perdamaian. Namun, prilaku yang buruk dapat menjadikan salah satu

pihak tidak mau kembali rukun karena bila kembali dalam ikatan perkawinan akan

memperburuk kehidupannya. Begitu pula tingkat kerohanian seseorang berpengaruh

pada keberhasilan mediasi.

d. Iktikad Baik Para Pihak.


Saat proses mediasi berlangsung, mediator berperan sebagai penengah yang
berusaha mendamaikan para pihak. Namun sebaik apapun usaha yang dilakukan
mediator dalam mendamaikan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh iktikad
baik para pihak untuk dirukunkan serta kesadaran masing-masing pihak akan
kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan dan memulai hidup rukun kembali.
Terutama iktikad baik pihak Pemohon/Penggugat untuk berdamai dan menerima
Termohon/Tergugat untuk hidup bersama.
2) faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi adalah sebagai berikut:
a. Keinginan Kuat Para Pihak Untuk Bercerai.
Seringkali terjadi saat mediasi salah satu pihak bahkan keduanya sudah
sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Kedatangan mereka ke Pengadilan Agama
biasanya terjadi akibat tidak berhasilnya upaya perdamaian yang dilakukan oleh
pihak keluarga. Sehingga hal ini yang sering menyulitkan mediator untuk
mengupayakan perdamaian.
b. Sudah Terjadi Konflik yang Berkepanjangan.

Konflik yang terjadi diantara para pihak sudah terjadi berlarut-larut, saat

mediasi para pihak tidak dapat diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat
menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri.
121

Bahkan, sering terjadi pihak Pemohon/Penggugat sudah tidak bisa

memaafkan pihak Termohon/Tergugat sehingga sulit untuk rukun lagi.

c. Penempatan Pelaksanaan Mediasi tidak tepat.

Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam upaya

perdamaian (mediasi) di Pengadilan Agama. Allah swt., menjelaskan kepada kita

semua melalui firmannya dalam QS al-Nisa>/4: 35, bahwa ketika dikhawatirkan akan

terjadi syikak (perselisihan/konflik rumah tangga), agar melibatkan pihak keluarga

untuk ikut serta dalam upaya mendamaikan dan menyelamatkan ikatan pernikahan,

setelah secara personal sudah tidak dapat menyelesaikan dan menemui jalan buntu.

B. Implikasi Penelitian

Implikasi dari Penelitian ini adalah:

1. Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945,

mengingat hasil yang diperlihatkan dari proses pelaksanaan mediasi

khususnya terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama tidak maksimal,

sekiranya Mahkamah Agung dapat meninjau kembali Perma No. 1 Tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi khususnya terkait dengan penempatan


pelaksanaan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama. Hal ini

tentunya diharapkan dalam penempatan pelaksanaan mediasi sesuai dengan

apa yang di kehendaki Allah swt., dalam QS al-Nisa>/4: 35. Sehingga apa

yang diinginkan dan dicita-citakan yaitu menjaga keutuhan dan kedamaian

dalam bahtera rumah tangga dapat tercapai dan menjadi keluarga yang

sakinah mawaddah warahmah.


122

2. Kementerian Agama yang membawahi Kantor Urusan Agama (selanjutnya

disebut KUA) dan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian

Pernikahan (selanjutnya disebut BP4), agar memberikan pelatihan dan

pembinaan kepada calon pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan.

Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup serta

kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang disebabkan

ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini sebagai

tindakan preventif terhadap perceraian.

3. Kepada para akademisi hukum, agar memberikan pembelajaran tentang

mediasi secara komprehensif disertai dengan praktikum teknis bermediasi.

Hal demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia

hukum dan peradilan.


123

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.
Al-Bukhari, Muhammad bin „Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz 3. Kairo: Dar al-Hadis,
2000, Cet. Ke-1.
Ali, Achmad. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta:
Badan Penerbit IBLAM, 2004, Cet. Ke-1.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats. Sunan Abu Dawud. Juz 2. Beirut:
Dar al-Kutub al-„Arabi, t.t.
Al-Syarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Anas, Malik bin, al-Muwaththa, (Jilid II; Libanon: Da>r al-Kitab al-Arabi, tt).
Budiardjo, Ali. dkk. Law Reform in Indonesia: Diagnostic Assessment of Legal
Development in Indonesia: Result of a Research Study Undertaken for The
World Bank, vol. I. Jakarta: Cyber Consult.
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. (Bandung: Alfabeta, 2010, Cet.
Ke-1).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi II,
Cet; III. Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
Dewi, Gemala (ed.). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006, Cet. Ke-2.
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta:
UMS Press, 2004.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996, Cet. Ke-23.
Fauzan, M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
MahkamahSyari‟ah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005,
Cet. Ke-1.
Garner, Bryan A. (ed.). Black‟s Law Dictionary, 8th ed. USA: West, 2004.
Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. Jakarta:
Bumi Aksara, 2007, Cet. Ke-7.
Hamid, H. Zuhri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan di Indonesia. (Cet; ke-1, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978).
Hanafi, Al-Jashshash al-, Ahkam al-Qur’a>n. (Jilid II; Libanon: Da>r al-Kitab al-
‘Arabiah).
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kemenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
undang No. 7 thn 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini. 2001).

123
124

-----------, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke-
7.
-----------. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke- 2.
Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek ELIPS, 1997.
Hejazziey, Djawahir (ed.). Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum, 2007, Cet. Ke-1.
Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti.
Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu
106
Bilban. Juz 11. Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1993, Cet. Ke-2.
Ibnu Katsir, Abu al - Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al - Qurasy al - Dimasyqi.
Tafsir al - Quran al - Azhim, Juz 2. Riyad: Dar Thayibah, 1999, Cet. Ke- 2.
Ibnu Rusyd al-Qurthubi al-Andalu>si, Abu> Muhammad al-Walid Muhammad Ibnu
Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad, Bida>yah al-Mujtahid, (diterjemahkan
oleh ‘Abdurrahman, Cet; I, CV. Al-Syifa<’: Semarang: 1990).
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-3.
Intruksi Presiden RI. Nomor 1 Tahun 1999, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta.
Madkur, Salam, al-Qadla>’u fi al-Isla>m, (alih bahasa oleh Imron, AM, Peradilan
dalam Islam, (Cet; IV, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993).
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.
Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan
Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008.
------------, , Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Jakarta.
2009).
Manaf, H. Abdul, Teknis Pengangkatan Hakam Dalam Pemeriksaan Perkara Syiqa>q,
(dalam, Mimbar Hukum, No. 19 Tahun 1995).
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.
Mara>ghi, Ahmad Musthafa> al-, Tafsir al-Mara>ghi, (Juz IV-VI; Mesir: Matba’ah
Musthafa al-Ba>b al-Halab, t.th).
Marbun, B.N. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2006, Cet. Ke-1.
Mertokusuma, Sudikno, 1998.Hukum Acara Perdata di Indonesia.Yokyakarta:
Liberty
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Cet; III, Jakarta:
Bulan Bintang),
125

Mughni, Ibnu Quda>mah al-,Syar Mukhtasyar al-Kharaqi, (Saudi: al-‘Ilmiyyah wa al-


Ifta>’ al-Da’wah wa al-Irsya>d, tt) IX.
Muhammad ‘Ali al-Shabu>, Rawa>’I al Baya>n Tafsir aya>t al-Ahka>m Min al-Qur’a>n,
(Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah).
Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia.Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muktiarto, A. 1996. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap,
(Edisi II, Cet; XIV. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
Musthofa Sy. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2005, Cet. Ke-1.
Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju,
2008, Cet. Ke-1.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Cet; 4, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2014
Pengadilan Agama Depok. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Tahun
2009 dan 2010.
Qudamah, Ibnu. al-Mughni Juz 5. Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Cet. Ke-1.
Qurthubi, Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-, Ahka> al-Qur’a>n, (Juz; V, Mesir:
Da>r al-Kitab al-Arabi, 1967).
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000.
-----------. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Cet. Ke-2.
Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah Juz 3. Kairo: Dar al-Fath, 1990.
Sanusi, Nur Taufik, Fikih Rumah Tangga Perspektif Alqur’an dalam Mengelola
Konflik Menjadi Harmoni, (Depok: Elsas, 2010)
Shabu, Muhammad ‘Ali al- >, Tafsir Aya>t al-Ahka>m Min al-Qur’a>n, h. 332, Shafwah
al-Tafa>sir: Tafsir al-Qur’a>ni al-Karim, (Juz I; Libanon: Da>r al-Fikr, 2001).
Siddiqqie, TM. Hasbi as-, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Cet; I, edisi kelima,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997).
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
------------. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-5.
------------. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
RajaGrafindo, 2001.
126

-------------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.


-------------. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006,
Cet. Ke-5.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006, Cet. Ke-1.
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, penerbit: Buana Press,
Sutiyoso, Bambang. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi: Paparan Aktual
Berbagai Permasalahan Hukum dan Solusinya Selama Proses Reformasi di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Sya’rawi, Mutawalli al-, Yas’alu>naka fi al-Di>n wa al-Haya>t, (Jilid I, Kairo:
Maktabah at-Taufiqiyyah, t.th).
Syaifuddin, Muhammad,dkk. Hukum Perceraian, Cet.1; Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.
Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke-18.
Usman Rachmadi, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, Cet; 1, Jakarta:
Sinar Grafika, 2012
------------. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra
Adytia Bakti, 2003.
Winarta, Frens Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbirase Nasional Indonesia
dan Internasional, Cet;1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012
Zahrah, Muhammad Abu>, al-Ahwa>l al-Syakhsiyah, (ttp, Da>r al-Fikr al-‘Arabi, tt).
Zamakhsya>ri, Imam Abi al-Qaim Jar Allah Mahmud bin Umar bin Muhammad al-,
Tafsir al-Kasysya>f, (Jilid II, Cet; I. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995).
Zarqa>ni, Al-, Syarh al-Muwaththa’ al-Ima>m Ma>lik, (Mesir: Syirkah Mathba’ al-Bab
wa Awlad, 1992).
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
------------. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Abdul Kahar Syarifuddin, S.HI lahir di Tomba, 10


Nopember 1981 Lingkungan Kabumbu Kecamatan Wolio
Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan putra
ke 4 (empat) dari delapan bersaudara., dari buah pasangan
Dr. H. Syarifuddin Bone,SH.,M.Si., MH. dan Hj. Aiysah.
S.Pd. Menikah dengan gadis Lasalimu bernama Emelia,
S.Pd tahun 2003 dan telah dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Asti Kamelia Putri, usia 11 tahun.

Saat ini tinggal di Jalan Kembang Kelurahan Bone-bone Kecamatan Murhum


Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara. Jenjang Pendidikan berawal di Sekolah
Dasar Negeri 2 Baubau tamat tahun 1994, 1995 berangkat ke tanah Jawa guna
menempuh Sekolah Lanjutan Tingkat pertama pada MTs.S Al-Islam Kecamatan
Mlarak Desa Njoresan Kabupaten Ponorogo Jawa Timur sembari Mondok di Ponpes
Salafiyah Darul Hikam hingga tahun 1998, dan sempat melanjutkan pendidikan di
Ponpes Modern Cabang Gontor Al-Syakh Abdul Wahid Kota Baubau, hingga tamat
pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Baubau tahun 2000. Menempuh
Pendidikan Tinggi Strata Satu (S1) pada Fakultas Agama Islam jurusan Ahwal al-
Syakhshiyyah Universitas Muhammadiyah Buton dan tamat tahun 2011. Pada tahun
2012 menempuh Pendidikan Strata Dua (S2) pada Konsentrasi Hukum Islam
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Pengalaman organisasi sejak tahun 1998-1999 diberikan amanah menjadi


kepala Perpustakaan Ponpes Modern Al-Syakh Abdul Wahid, Sekretaris Umum
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah-Unismuh Buton periode 2007-2009. Pengalaman
Kerja, staf Tata Usaha Fakultas agama Islam Unismuh Buton periode 2004-2008,
Kepala Tata Usaha FAI Unismuh Buton periode 2008-2012, tenaga Pengajar FAI
Unismuh Buton 2011 sampai sekarang.
Karya Ilmiah: 1. Analisis Yuridis Perkara Perceraian Akibat Perkawinan Usia
Muda Di Kecamatan Betoambari Kota Baubau. 2. Efektivitas Mediasi dalam
Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Baubau. Email: kahar_umb@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai