Anda di halaman 1dari 43

REFARAT 2022

Tatalaksana Acute Decompensanted Heart Failure

Pada Pasien Dengan Tetralogy Of Fallot

Disusun oleh
Nama : Salmia
NIM : N 111 21 069

PEMBIMBING KLINIK :
dr. Hasannudin, Sp. JP. FIHA

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
2
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Salmia

No. Stambuk : N 111 21 069

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul Refarat : Tatalaksana Acute Decompensanted Heart Failure

Pada Pasien Dengan Tetralogy Of Fallot

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD UNDATA Palu

Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, 2022
Pembimbing Dokter Muda

dr. Hasannudin, Sp. JP. FIHA Salmia

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................4
BAB III TINJAUAN KASUS ....................................................................................18
BAB IV PEMBAHASAN ..........................................................................................24
BAB V KESIMPULAN .............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital


merupakan abnormalitas dari struktur dan fungsi sirkulasi jantung pada semasa
kelahiran. Malformasi kardiovaskuler kongenital tersebut berasal dan
kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin.1
Penyakit jantung bawaan (PJB) atau defek jantung bawaan merupakan kelainan
struktur jantung dan pembuluh darah yang muncul sejak lahir dan menjadi
penyebab utama kematian anak dari semua kelainan bawaan. 2

Secara umum PJB di negara maju maupun negara berkembang sekitar


6-10 kejadian dari 1000 kelahiran, dengan rerata persentase sekitar 8 anak
setiap 1000 kelahiran hidup. Prevalensi PJB di Eropa akhir-akhir ini dilaporkan
oleh 2 makalah utama, dari data pusat untuk 29 populasi di 16 Negara
menunjukkan prevalensi 8 per 1000 kejadian. Diperkirakan di Eropa, sekitar
3600 anak lahir dengan PJB dan 3000 meninggal dikarenakan PJB. Di
Indonesia sendiri terdapat sekitar 40.000 sampai 50.000 bayi lahir dengan cacat
jantung bawaan. Menurut Perimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (PERKI), penyakit jantung menempati peringkat pertama dari semua
penyakit yang menyerang bayi.2

Penyakit jantung bawaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu PJB dan
PJB non sianotik (asianotik). Pada penyakit jantung kongenital sianotik terjadi
sianosis sentral oleh karena aliran darah paru berkurang akibat obstruksi aliran
keluar ventrikel kanan sehingga terjadi pirau kanan ke kiri.3 sedangkan PJB
asianotik pada anak tidak ditandai dengan sianosis dan memiliki kebocoran
pada sekat jantung disertai dengan adanya pirau atau tidak. Contoh dari pada
PJB sianotik ialah tetralogi Fallot (TOF), transposisi arteri besar, dan atresia
trikuspid, sedangkan contoh PJB asianotik ialah defek septum ventrikel, defek

1
septum atrium, atau tetap terbukanya pembuluh darah seperti seperti pada
duktus arteriosus persisten.2

Tetralogy of Fallot (ToF) merupakan penyakit jantung kongenital


sianotik yang paling banyak ditemukan, yakni lebih kurang 10% dari seluruh
kejadian penyakit jantung congenital pada anak-anak. Tetralogy of fallot
memiliki empat kelainan khas, yaitu ventricular septal defect (VSD), overriding
aorta, stenosis pulmonal, serta hipertrofi ventrikel kanan. Kelainan yang
menentukan derajat beratnya penyakit, adalah stenosis pulmonal, yang
bervariasi dari sangat ringan hingga berupa atresia pulmonal.3

Penyakit jantung bawaan (CHD) adalah istilah umum yang menunjuk


kelainan jantung atau pembuluh darah besar yang hadir pada saat lahir. Dalam
jangka waktu yang lama, pada beberapa kasus saat tindakan bedah tidak
berhasil. Perubahan telah terjadi pada paru-paru ataupun miokard yang
berkelanjutan bersifat irreversibel. Kondisi yang demikian akan berakhir pada
kondisi gagal jantung.4

World Health Organization (WHO) menggambarkan bahwa


meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk Asia
diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia,
dan diabetes. Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring dengan
bertambahnya usia. Menurut studi yang dilakukan Framingham, insiden
tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat
dari 3% pada usia 50-59 tahun menjadi 27% pada usia 80-89 tahun, sementara
wanita memiliki insiden gagal jantung yang relatif lebih rendah dibanding pada
laki–laki (wanita sepertiga lebih rendah). 5

Gangguan fungsi jantung pada gagal jantung dapat berupa gangguan


fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, kelebihan preload,
kelebihan afterload dan gangguan kontraktilitas. Keadaan ini dapat

2
menyebabkan kematian pada pasien. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal
jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi
gagal jantung akut dan gagal jantung kronik. Gagal jantung akut dapat berupa
gagal jantung akut yang baru terjadi pertama kali (de novo) dan gagal jantung
dekompensasi akut (acute decompensated heart failure).5 ADHF merupakan
perburukan dari gagal jantung dengan onset cepat dan tiba-tiba, biasanya
mengakibatkan edema perifer dan dyspnea sebagai akibat dari kongesti paru.
Penyebab ADHF diantaranya 70% penyakit jantung koroner, penyakit katup
sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%.6

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tetralogi Of Fallot
2.1.1. Definisi
ToF adalah malformasi jantung kongenital sianotik dengan komponen
stenosis pulmonal, defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta yang
menyebabkan pangkal aorta melewati septum ventrikel/ over-riding aorta, serta
hipertrofi ventrikel kanan.3 Pada pasien dengan kelainan jantung kongenital
tipe sianotik, terdapat shunt dari kanan ke kiri pada aliran darah jantung dimana
aliran tersebut tidak melewati sirkulasi pulmonal. Sehingga bakteri yang ada di
dalam pembuluh darah tidak difiltrasi di sirkulasi pulmonal, yang dimana
terjadi proses fagositosis pada sirkulasi pulmonal. 7
2.1.2. Epidemiologi
Kelainan kongenital pada jantung dan sistem kardiovaskular terjadi pada 7
hingga 10 bayi tiap 100 kelahiran (0.7% ke 1.0%). Penyakit jantung kongenital
adalah jenis yang paling sering ditemukan dalam penyakit kongenital yaitu
sekitar 30% dari total insiden penyakit kongenital.7
Tetralogy of Fallot merupakan kelainan jantung sianotik kongenital yang
paling sering terjadi dengan perkiraan kejadian 1 per 3500 kelahiran hidup.
Sebanyak 7-10% malformasi jantung kongenital adalah Tetralogy of Fallot.8
Di AS, 10% kasus penyakit jantung kongenital adalah ToF, sedikit lebih banyak
pada laki-laki dibandingkan perempuan. Seiring dengan meningkatnya angka
kelahiran di Indonesia, jumlah bayi yang lahir dengan penyakit jantung juga
meningkat. Dua per tiga kasus penyakit jantung bawaan di Indonesia
memperlihatkan gejala pada masa neonatus. Sekitar 25% pasien ToF yang tidak
diterapi akan meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupan, 40% meninggal
sampai usia 4 tahun, 70% meninggal sampai usia 10 tahun, dan 95% meninggal
sampai usia 40 tahun.9

4
2.1.3. Etiologi
Penyakit jantung kongenital yang salah satunya ToF, disebabkan oleh
gangguan perkembangan sistem kardiovaskular pada masa embrio. Terdapat
peranan faktor endogen, eksogen, dan multifaktorial. Para ahli cenderung
berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang secara
terpisah menyebabkan penyakit jantung kongenital.10 Faktor –faktor tersebut
antara lain adalah 1) Faktor endogen yaitu berbagai jenis penyakit genetik
(kelainan kromosom); anak yang lahir sebelumnya menderita penyakt jantung
bawaan; adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung dan kelainan bawaan. 2) Faktor eksogen yaitu
riwayat kehamilan ibu : sebelum ikut program KB oral atau suntik, minum obat-
obatan tanpa resep dokter, (thalidmide, dextroamphetamine, aminopterin,
amethopterin, jamu); ibu menderita penyakit infeksi (rubella); pajanan terhadap
sinar-X.
2.1.4. Patofisiologi
Sirkulasi darah penderita ToF berbeda dibanding pada anak normal.
Kelainan yang memegang peranan penting adalah stenosis pulmonal dan VSD.
Tekanan antara ventrikel kiri dan kanan pada pasien ToF adalah sama akibat
adanya VSD. Hal ini menyebabkan darah bebas mengalir bolak-balik melalui
celah ini. Tingkat keparahan hambatan pada jalan keluar darah di ventrikel
kanan akan menentukan arah aliran darah pasien ToF. Aliran darah ke paru
akan menurun akibat adanya hambatan pada jalan aliran darah dari ventrikel
kanan; hambatan yang tinggi di sini akan menyebabkan makin banyak darah
bergerak dari ventrikel kanan ke kiri. Hal ini berarti makin banyak darah miskin
oksigen yang akan ikut masuk ke dalam aorta sehingga akan menurunkan
saturasi oksigen darah yang beredar ke seluruh tubuh, dapat menyebabkan
sianosis. Jika terjadi hambatan parah, tubuh akan bergantung pada duktus
arteriosus dan cabang-cabang arteri pulmonalis untuk mendapatkan suplai
darah yang mengandung oksigen. Onset gejala, tingkat keparahan sianosis yang

5
terjadi sangat bergantung pada tingkat keparahan hambatan yang terjadi pada
jalan keluar aliran darah di ventrikel kanan.11,12

Gambar 1 Sirkulasi darah pada ToF11

Komponen yang paling penting, yang menentukan derajat beratnya


penyakit, adalah stenosis pulmonal, yang bervariasi dari sangat ringan sampai
sangat berat, bahkan dapat berupa atresia pulmonal. Stenosis pulmonal ini
bersifat progresif, semakin lama semakin berat. Tekanan yang meningkat akibat
stenosis pulmonal menyebabkan darah yang terdeoksigenasi (yang berasal dari
vena) keluar dari ventrikel kanan menuju ventrikel kiri melalui defek septum
ventrikel dan ke sirkulasi sistemik melalui aorta, menyebabkan hipoksemia
sistemik dan sianosis.3 Bila stenosis pulmonal makin berat, maka makin banyak
darah dari verrtrikel kanan menuju ke aorta. Pada stenosis yang ringan, darah
dari ventrikel kanan menuju ke paru, dan hanya pada aktivitas fisik akan terjadi
pirau dari kanan ke kiri.12 Semakin bertambahnya usia, maka infundibulum
akan semakin hipertrofik, sehingga pasien akan semakin sianotik. Obstruksi
pada jalan keluar ventrikel kanan ini menyebabkan kurangnya aliran darah ke
paru yang menyebabkan hipoksia, maka kompensasi untuk hipoksia adalah
terjadinya polisitemia dan dibentuknya sirkulasi kolateral (jangka panjang).3
Polisitemia pada ToF terjadi akibat hipoksemi kronik karena pirau kanan ke
kiri. Hal ini merupakan respons fisiologis tubuh untuk meningkatkan
kemampuan membawa oksigen dengan cara menstimulasi sumsum tulang
melalui pelepasan eritropoetin ginjal guna meningkatkan produksi jumlah sel
darah merah (eritrositosis). Awalnya, polisitemia menguntungkan penderita

6
ToF, namun bila hematokrit makin tinggi, viskositas darah akan meningkat
yang dapat mengakibatkan perfusi oksigen berkurang sehingga pengangkutan
total oksigen pun berkurang, akibatnya dapat meningkatkan risiko
venooklusi.11
2.1.5. Manifestasi Klinik
Derajat stenosis pulmonal berpengaruh langsung pada berbagai macam
manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pasien ToF. Manifestasi klinis
paling umum adalah murmur asimtomatik dan sianosis. Jari tabuh pada
sebagian besar pasien sudah mulai tampak setelah usia 6 bulan. Salah satu
manifestasi yang penting pada tetralogi Fallot adalah terjadinya serangan
sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal hyperpnea) yang ditandai
oleh timbulnya sesak napas mendadak, napas cepat dan dalam, sianosis
bertambah, lemas, bahkan dapat pula disertai kejang atau sinkop. Serangan
yang hebat dapat berakhir dengan koma, bahkan kematian.11 Pasien dengan
hypercyanotic spell akan melakukan gerakan jongkok (squating), agar aliran
darah ke paru menjadi bertambah, dan serangan sianosis dan sesak menjadi
berkurang. Pada pasien ToF, biasanya dijumpai keterlambatan pertumbuhan,
tinggi dan berat badan dan ukuran tubuh kurus yang tidak sesuai dengan usia
anak.
Temuan klinis yang umum pasca bedah reparasi TOF adalah: komponen S2
terpisah lebar , bising fase akhir diastolik bernada rendah menandai pulmonary
regurgitation (PR) berat. Bising sistolik ejeksi yang panjang dan keras
mengindikasikan adanya right ventricular outflow tract obstruction (RVOTO),
bising diastolik bernada tinggi akibat aortic regurgitation (AR), dan bising
pansistolik menunjukkan adanya VSD residual. EKG sering menunjukkan
RBBB komplit bergantung pada pendekatan bedah. Lebar QRS juga dapat
dipengaruhi oleh derajat dilatasi RV.8

7
2.1.6. Diagnosis
ToF dapat didiagnosis sebelum bayi lahir saat gambaran anatomi jantung
mulai terlihat jelas pada fetal echocardiography, biasanya pada usia gestasi 12
minggu. Segera setelah ToF didiagnosis, disarankan pengamatan antenatal
serial dengan interval 6 minggu untuk mengikuti pertumbuhan arteri
pulmonalis, untuk menilai kembali arah arteri paru utama dan aliran duktal dan
untuk mengevaluasi, jika ada, kelainan di luar jantung.9
 Anamnesis
Pada pasien ToF biasanya terdapat keluhan utama sianosis,
pernafasan cepat. Selanjutnya perlu ditanyakan kepada orang tua atau
pengasuh pasien, kapan pertama kali munculnya sianosis, apakah sianosis
ditemukan sejak lahir, tempat sianosis muncul, misalnya pada mukosa
membran bibir dan mulut, jari tangan atau kaki, apakah munculnya tanda-
tanda sianosis didahului oleh faktor pencetus, salah satunya aktivitas
berlebihan atau menangis. Riwayat serangan sianotik (hypercyanotic spell)
juga harus ditanyakan kepada orang tua pasien atau pengasuh pasien. Jika
anak sudah dapat berjalan apakah sering jongkok (squating) setelah berjalan
beberapa langkah sebelum melanjutkan kembali berjalan. Penting juga
ditanyakan faktor risiko yang mungkin mendukung diagnosis ToF yaitu
seperti faktor genetik, riwayat keluarga yang mempunyai penyakit jantung
bawaan. Riwayat tumbuh kembang anak juga perlu ditanyakan,
pemeriksaan tumbuh kembang dapat digunakan juga untuk mengetahui
apakah terjadi gagal tumbuh kembang akibat perjalanan penyakit ToF.
 Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral dapat diamati pada sebagian besar kasus ToF;
desaturasi arteri ringan mungkin tidak menimbulkan sianosis klinis.
Clubbing fingers dapat diamati pada beberapa bulan pertama kehidupan.
Tanda-tanda gagal jantung kongestif juga jarang ditemukan, kecuali pada

8
kasus regurgitasi pulmonal berat atau ToF yang dibarengi dengan tidak
adanya katup pulmonal.
Impuls ventrikel kanan yang lebih kuat mungkin didapatkan pada
palpasi. Systolic thrill bisa didapatkan di perbatasan sternal kiri bawah.
Murmur sistolik grade III dan IV disebabkan oleh aliran darah dari ventrikel
kanan ke saluran paru. Selama serangan hypercyanotic spell muncul,
murmur menghilang atau menjadi sangat lembut. Sama halnya pada ToF
dengan atresia paru, tidak akan terdengar murmur karena tidak ada aliran
darah balik ke ventrikel kanan. Aliran darah yang menuju atau melewati
celah antar ventrikel tidak menimbulkan turbulensi, sehingga biasanya
tidak terdengar kelainan auskultasi. Murmur ejeksi sistolik tergantung dari
derajat obstruksi aliran darah di ventrikel kanan. Makin sianosis berarti
memiliki obstruksi lebih hebat dan murmur lebih halus. Sering pula pasien
ToF mengalami skoliosis dan retinal engorgement.
 Pemeriksaan Penunjang
 Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat dijumpai peningkatan
jumlah eritrosit dan hematokrit (polisitemia vera) yang sesuai dengan
desaturasi dan stenosis. Oksimetri dan analisis gas darah arteri
mendapatkan saturasi oksigen yang bervariasi, tetapi pH dan pCO2
normal kecuali pada kondisi tet spell. Oksimetri berguna pada pasien
kulit hitam atau pasien anemia yang tingkat sianotiknya tidak jelas.
Sianosis tidak akan tampak kecuali bila hemoglobin tereduksi mencapai
5 mg/dL.
 Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menemukan deviasi aksis ke
kanan (+120° - +150°), hipertrofi ventrikel kanan atau kedua ventrikel,
maupun hipertrofi atrium kanan. Kekuatan ventrikel kanan yang
menonjol terlihat dengan gelombang R besar di sadapan prekordial
anterior dan gelombang S besar di sadapan prekordial lateralis.

9
 Pemeriksaan foto rontgen thorax dapat menemukan gambaran jantung
berbentuk sepatu (boot-shaped heart/ couer-en-sabot) dan penurunan
vaskularisasi paru karena berkurangnya aliran darah yang menuju ke
paru akibat penyempitan katup pulmonal paru (stenosis pulmonal)
 MRI dapat mengukur volume ventrikel kanan dan kiri, menilai jalur
aliran darah ventrikel kanan, arteri pulmonal, aorta, defek septum
ventrikel. MRI juga dapat menilai stenosis cabang arteri pulmonal yang
berkontribusi dalam menyebabkan insufi siensi pulmonal dan kolateral
aortopulmonal yang dapat menyebabkan overload volume ventrikel
kiri.
 Ekokardiogram sangat membantu mengonfirmasi diagnosis dan
mengevaluasi beberapa masalah yang terkait dengan ToF. Pembesaran
ventrikel kanan, defek septum ventrikel, overriding aorta, dan obstruksi
saluran ventrikel kanan dapat ditampilkan secara jelas; dapat
ditunjukkan shunting yang melewati VSD dan peningkatan kecepatan
aliran Doppler yang melewati ventrikel kanan.
 Kateterisasi bukan pemeriksaan yang rutin; Tujuan kateterisasi jantung
adalah untuk menilai ukuran anulus pulmonal dan arteri pulmonal,
menilai keparahan obstruksi aliran darah ventrikel kanan, lokasi dan
ukuran defek septum ventrikel, serta menyingkirkan kemungkinan
anomali arteri koroner. Angiografi merupakan bagian integral dari
kateterisasi jantung. Angiografi paru juga harus dilakukan untuk
mengetahui ukuran arteri pulmonalis utama dan cabang serta untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya stenosis cabang arteri pulmonal.
2.1.7. Tatalaksana
Tatalaksana ToF tergantung dari beratnya gejala dan dari tingkat hambatan
pulmoner. Operasi merupakan satu-satunya terapi kelainan ini, bertujuan
meningkatkan sirkulasi arteri pulmonal. Prostaglandin (0,2 μg/kg/menit) dapat
diberikan untuk mempertahankan duktus arteriosus sambil menunggu operasi.

10
Dapat dilakukan dua jenis operasi yakni operasi paliatif dan operasi korektif.
Operasi paliatif adalah dengan membuat sambungan antara aorta dengan arteri
pulmonal. Metode yang paling dikenal ialah Blalock-Taussig shunt, yaitu
a.subklavia ditranseksi dan dianastomosis end-to-side ke a.pulmonal ipsilateral.
Tingkat mortalitas metode ini dilaporkan kurang dari 1%.9
Bedah koreksi menjadi pilihan tata laksana ToF ideal yang bertujuan
menutup defek septum ventrikel, reseksi area stenosis infundibulum, dan
menghilangkan obstruksi aliran darah ventrikel kanan. Kebanyakan pusat
kesehatan hanya akan melakukan operasi korektif pada usia tiga sampai enam
bulan. Jika operasi harus dilakukan sebelumnya, maka operasi paliatif menjadi
pilihan utama.5,14
Hypercyanotic spell
Pengobatan harus fokus pada mengurangi resistensi pulmonal, dan
meningkatkan resistensi sistemik untuk mendorong aliran kiri ke kanan (left to
right shunt) melalui VSD ke saluran keluar ventrikel kanan.9 Pengobatan bayi
dengan serangan hipersianosis antara lain sebagai berikut:
 Bayi harus ditempatkan dalam posisi knee-chest 15
 Oksigen diberikan untuk mengurangi vasokonstriksi perifer paru, juga akan
meningkatkan oksigenasi ke paru-paru
 Pemberian morfin sulfate, 0,1-0,2 mg/kg im atau sc untuk menekan pusat
pernapasan di sistem saraf pusat, mengurangi hyperpnea, menurunkan
venous return sistemik, dan mengurangi spasme infundibulum
 Propanolol dapat digunakan apabila serangan masih berlanjut; dapat
diberikan secara intravena perlahan-lahan dengan pemantauan tanda-tanda
bradikardia (jika mungkin dengan EKG). untuk membantu memperbaiki
obstruksi aliran keluar ventrikel kanan dengan mengendurkan otot.

11
 fenilefrin 0,02 mg/kg intravena untuk meningkatkan afterload
sistemik. Jika gagal jantung berkembang, digoxin dan diuretik loop adalah
pilihan terapi farmakologis yang baik.11
 Atasi asidosis dengan natrium bikarbonat untuk menurunkan efek asidosis
pada pusat pernapasan.
 Penggunaan dexmedetomidine IV untuk mengatasi hipersianosis harus
dititrasi dari dosis sangat rendah 0,1-0,125 μg/kg/jam (tanpa bolus).
2.1.8. Komplikasi
 Abses serebri
Beberapa patogen penyebabnya antara lain Streptococcus milleri,
Staphylococcus, dan Haemophilus.9 ToF bisa menyebabkan abses serebri
karena hipoksia, polisitemia, dan hiperviskositas.
 Gagal Jantung
Gagal jantung sering ditemukan pada penderita ToF yang tidak
menjalani terapi bedah. Umumnya terjadi pada penderita ToF usia dewasa, juga
sering ditemukan pada usia remaja. Penyebab gagal jantung multifaktorial,
biasanya bergantung pada besarnya pirau antara aorta dan arteri pulmonalis.
Gagal jantung juga dapat disebabkan oleh terapi bedah yang tidak tuntas atau
kurang tepat. Gagal jantung pada penderita ToF berkaitan erat dengan disfungsi
miokard. Miokard yang terkena tidak hanya di ventrikel kanan, namun dapat
pula di ventrikel kiri akibat hipoksia yang berlangsung lama.12
 Endokarditis
Kejadian endokarditis paling sering ditemukan pada ToF di antara
semua penyakit jantung bawaan sianotik. Penyebab tersering adalah
streptokokus
 Polisitemia dan Sindrom Hiperviskositas
Polisitemia pada ToF terjadi akibat hipoksemi kronik karena pirau
kanan ke kiri. Hal ini merupakan respons fisiologis tubuh untuk meningkatkan

12
kemampuan membawa oksigen dengan cara menstimulasi sumsum tulang
melalui pelepasan eritropoetin ginjal guna meningkatkan produksi jumlah sel
darah merah.9
2.1.9. Prognosis
Prognosis pasien Tetralogy of Fallot secara keseluruhan yang telah
dilakukan operasi korektif memiliki prognosis yang sangat baik dengan tingkat
kelangsungan hidup lebih dari 90% dapat mencapai usia 25 tahun.3

2.2.Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)


2.2.1. Definisi
ADHF merupakan onset cepat, atau perubahan gejala dan tanda dari
Heart Failure dimana bisa menjadi kondisi yang mengancam jiwa dan harus
segera mendapatkan penanganan yang tepat.16 Hal ini dapat terjadi sebagai
manifestasi pertama dari gagal jantung awal atau merupakan dekompensasi dari
gagal jantung kronik.17
2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat dijabarkan melalui dua kategori yakni
kelainan struktur jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan
kapasitas fungsional dari New York Heart Assosciation (NYHA).5
Tabel 1 Klasifikasi Gagal Jantung
Berdasarkan Kelainan Struktur Berdasarkan kapasitas
Jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki resiko tinggi untuk Tidak ada batasan aktivitas fisik.
berkembang menjadi gagal jantung. Aktivitas fisik sehari-hari tidak
Tidak terdapat gangguan struktural atau menimbulkan kelelahan,
fungsional jantung, dan juga tidak berdebar atau sesak nafas.
tampak tanda atau gejala.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk kelainan pada struktur Terdapat batasan aktivitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas fisik

13
perkembangan gagal jantung tapi tidak sehari - hari menimbulkan
terdapat tanda atau gejala. kelelahan, berdebar atau sesak
nafas.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktivitas yang
berhubungan dengan penyakit struktural bermakna. Tidak terdapat
jantung yang mendasari keluhan saat istirahat, namun
aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktivitas
gejala gagal jantung yang sangat fisik tanpa keluhan. Terdapat
bermakna muncul saat istirahat gejala saat istirahat. Keluhan
walaupun sudah mendapat terapi meningkat saat melakukan
farmakologi maksimal (refrakter) aktivitas.

2.2.3. Tanda dan Gejala


Tabel 2 Gejala dan Tanda Gagal Jantung5
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan:
Gejala khas gagal jantung: Sesak nafas saat istirahat atau aktivitas,
kelelahan, edema tungkai.
DAN
Tanda khas gagal jantung: takikardia, takipneu, ronkhi paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.
DAN
Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istirahat,
kardiomegali, suara jantung tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik.
Tabel 3 Manifestasi Klinis Gagal Jantung5
GEJALA TANDA
Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe - Suara jantung S3 (gallop)
- Toleransi aktivitas yang - Apex jantung bergeser ke
berkurang lateral

14
- Cepat lelah - Murmur jantung
- Bengkak pada pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Tipikal
- Batuk di malam hari/dini hari - Edema perifer
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah >2 - Suara pekak di basal paru
kg/minggu pada saat perkusi
- Berat badan turun (gagal jantung - Takikardia
stadium lanjut) - Nadi ireguler
- Kembung/begah - Nafas cepat
- Nafsu makan menurun - Hepatomegali
- Perasaan bingung (terutama - Asites
pasien usia lanjut) - Kaheksia
- Depresi
- Berdebar
- Pingsan

2.2.4. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klinis
menggunakan kriteria klasik Frangmingham: bila terdapat paling sedikit satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Kriteria Mayor:
- Paroxysmal nocturnal dyspnea
- Distensi vena-vena leher
- Peningkatan vena jugularis
- Refluks hepatojugular positif
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop bunyi jantung III
- Ronki18
Kriteria Minor:
- Edema ekstremitas
- Batuk malam

15
- Dispnea d’effort
- Hepatomegali normal
- Efusi pleura
- Takikardia (>100 kali/menit)
- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal18
Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang untuk diagnosis gagal jantung:
1. Laboratorium rutin: darah tepi lengkap, elektrolit, BUN, kreatinin, enzim
hepar, serta urinalisis.
2. EKG: pada gagal jantung, interprestasi EKG yang dicari adalah ritme, ada atau
tidaknya hipertrofi ventrikel kiri, serta ada atau tidaknya infark (riwayat atau
sedang berlangsung).
3. Rontgen toraks: dapat dinilai ukuran dan bentuk jantung, serta vaskularisasi
paru dan kelainan non-jantung lainnya (hipertensi pulmonal, edema intertisial)
4. Pemeriksaan fungsi ventrikel kiri: Ekokardiogram untuk menilai ukuran dan
fungsi ventrikel kiri, serta kondisi katup dan gerakan dinding jantung.
5. Pemeriksaan biomarka: Brain Natriuteric Peptide (BNP) dan pro-BNP
sensitif untuk mendeteksi gagal jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai
BNP≥100 pg/mL atau NT-proBNP≥300 pg/mL.19
2.2.5. Patomekanisme gagal jantung akut dekompensasi
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang disebabkan kerusakan
struktur dan fungsi pada myocardium yang dapat diakibatkan oleh beberapa
etiologi, di antaranya adalah iskemia, hipertensi, dan diabetes. Kerusakan
tersebut akan menyebabkan gangguan pada pemompaan darah dan aliran balik
vena. Organ jantung pada pekan pertama hingga keempat setelah terjadi
gangguan awal akan mengalami keseimbangan antara perbaikan fisiologis dan
kerusakan patologis. Namun, apabila berlangsung lebih dari empat pekan, gagal
jantung akan berprogresi menuju gagal jantung kronik yang memiliki
probabilitas untuk mengalami keadaan inflamasi yang lebih parah. Kemudian,

16
gagal jantung kronik yang mengalami deteriorasi lebih lanjut akan
menyebabkan penderitanya mengalami gagal jantung akut dekompensasi.20
2.2.6. Manajemen
Manajemen terhadap gagal jantung akut dekompensasi berpusat pada
stabilisasi hemodinamik, penunjang untuk oksigenasi dan ventilasi, dan
peringanan gejala-gejala. Injeksi intravena dari diuretik, seperti furosemid dan
bumetanid, telah umum digunakan untuk mengurangi penumpukan cairan
berlebih. Apabila pasien tidak memberikan respons pada diuretik, maka
manajemen ultrafiltrasi dapat dilaksanakan. Vasodilator, seperti nitrat dan
hidralazin, dapat digunakan pada pasien dengan peningkatan pada tekanan
pengisian dan afterload dari ventrikel kiri. Apabila pasien tidak merespons baik
pada vasodilator atau memiliki tekanan sistolik di bawah 90 mmHg, inotrop,
seperti dobutamin, dapat diberikan pada pasien tersebut. Oksigenasi pasien
dapat diperbaiki dengan terapi suplemen oksigen melalui nasal kanul, masker
oksigen, atau ventilator mekanik. Terkait salah satu gejala gagal jantung akut
dekompensasi, nitrid yang diberikan melalui intravena dapat digunakan untuk
meringankan dispnea yang dialami pasien. Walaupun manajemen-manajemen
tersebut lazim digunakan, dalam praktiknya masih terdapat berbagai
kekurangan. Penggunaan diuretik yang dapat memperbaiki oksigenasi melalui
perbaikan kongesti paru ternyata tidak mampu untuk mengubah faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut dekompensasi. Alternatif
diuretik berupa ultrafiltrasi menunjukkan efikasinya yang mengecewakan dan
peningkatan kejadian adverse effects. Nitrat yang ditujukan sebagai vasodilator
pun tidak mampu mencapai tujuannya pada beberapa pasien gagal jantung.
Alternatif vasodilator tersebut yang berupa inotrop juga menunjukkan hasil
yang tidak baik dimana fungsinya dalam stabilisasi hemodinamik hanya
berlangsung dalam jangka pendek saja.20

17
BAB III
TINJAUAN KASUS

Seorang pasien laki-laki berusia 19 tahun datang ke Rumah Sakit


Undata dengan keluhan sesak napas yang dialami 5 hari sebelum masuk RS.
Sesak napas dipicu oleh aktivitas ringan, durasi ±2 menit dengan frekuensi ±5
kali. Pasien datang dalam keadaan bagian ekstremitas dan wajah yang sudah
membiru. Keluhan disertai nyeri dada tembus belakang dan kadang-kadang
menjalar ke lengan kiri, nyeri dirasakan secara tiba-tiba, keluhan dirasakan tiga
kali dalam sehari selama 5 hari secara berturut-turut. Gambaran nyeri seperti
ditusuk-tusuk, durasi nyeri ±3 menit dengan skala nyeri 8 lokasi nyeri pada
thorax. Keluhan sering terjadi pada malam hari ketika sedang beristirahat.
Pasien juga mengeluhkan perut kembung, mual, muntah, batuk berlendir yang
dirasakan secara bersamaan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggul dan kedua
ektremitas bawah, tampak clubbing finger dan nyeri pada kedua mata. BAK
tidak lancar. Riwayat penyakit jantung diketahui ketika usia 8 bulan, pasien
lahir kembar cukup bulan dengan berat lahir 2,5 kg. Ibu pasien memiliki riwayat
hipertensi yang terkontrol.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan dengan kesadaran compos mentis.


Pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah: 100/70 mmHg, Nadi:
86 x/menit, Respirasi: 34 x/menit, Suhu tubuh: 36,5oC, dan Saturasi Oksigen:
87 %. Pada pemeriksaan kepala kesan normal, tidak terdapat anemis pada kedua
mata dan tidak terdapat ikterik pada kedua mata, bibir tampak sianosis dan
kering. Pada pemeriksaan leher, terdapat peningkatan dari jugular Vein
Pressure sebesar 5+7 cm H20, dan tidak terdapat pembesaran kelenjar. Pada
pemeriksaan thoraks didapatkan pengembangan dada simetris, tidak terdapat
bunyi wheezing maupun ronkhi, saat dilakukan auskultasi pada bagian dada
didapatkan bunyi vesikuler. Pada pemeriksaan jantung: inspeksi ictus cordis

18
tampak kesan kardiomegali dengan ictus cordis teraba di Spatium intercostal
VI linea axillaris anterior sinistra. Batas atas: Spatium intercostal II linea
parasternalis sinistra, Batas kanan: Spatium intercostal II Linea parasternalis
dextra, Batas Kiri: Spatium intercostal VI linea axilaris anterior, Pada saat
auskultas terdengar murmur pada jantung. Pada pemeriksaan abdomen: perut
tampak cembung, Hipertimpani di seluruh lapang abdomen, nyeri tekan
epigastrium dan Hipokondrium dextra. Pemeriksaan pada bagian ekstremitas
didapatkan ekstremitas atas: akral dingin pada kedua ekstremitas atas, tidak
terdapat edema dan terdapat clubbing finger. Pada bagian ekstremitas bawah:
akral dingin pada kedua ekstremitas bawah , edema pada kedua ekstremitas dan
terdapat clubbing finger.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin: 22,6
g/dl, Leukosit: 5,4 ribu/uL, eritrosit: 8,32 juta/uL, hematocrit: 68,2 %,
trombosit: 118 ribu/ uL, RDQW-CV: 18,2%, limfosit: 40,9 %. Pada
pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan kadar ureum: 36 mg/dl, kreatinin: 0,46
mg/dl dan asam urat: 9,1 mg/dl. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan kadar
SGOT: 17 U/L dan SGPT: 10 U/L. Pada pemeriksaan GDS: 107 mg/dl, GDP:
63 mg/dl, Kolestrol total: 146 mg/dl, LDL: 111 mg/dl, HDL: 32 mg/dl,
Trigliserida: 117 mg/dl.

19
Gambar 3.1. EKG
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan Irama : sinus ritme
regular, Heart rate: 74 kali per menit, Axis: Right Axis Deviation, Gelombang
P: Normal, Interval PR: Memanjang (0,2), Gelombang Q: patologis,
Gelombang QRS (lead I, V1 dan V6): >0,12 detik Gelombang T inverted (V1-
V3), Segmen ST: Depresi, Interval QTc: memanjang. Kesimpulan: Sinus
reguler, Axis Right Axis Deviation, Interval PR memanjang, Interval QTc
memanjang dan terdapat Right Bundle Branch Block.

20
Gambar 3.2. Foto Thorax PA: Kardiomegali
Pada pemeriksaan foto dada posterior anterior didapatkan hasil
o Corakan bronchovaskuler prominent
o Cor membesar ke kiri dan kanan
o Sinus dan diafragma baik
o Tulang-tulang intak
Kesan
Cardiomegaly susp. cardiomyopathy

21
Gambar pemeriksaan Echocardiography 3.3
Berdasarkan hasil pemeriksaan Echocardiography didapatkan hasil
Situs solitus AV-VA concordance. Kontraktilitas Left Ventricular menurun,
Ejection Fraction 21%, Kontraktilitas Right ventricular menurun, Tapse 0,7 cm,
terdapat Ventricular Septal defect membranous septum bidirectional shunt,
diameter 1,2 cm, Overiding aorta, Katup-katup (Aorta, Mitral, Tricuspid, dan
pulmonal dalam batas normal), terdapat Efusi perikard, Kesan: Ventricular
Septal defect bidirectional shunt diameter 1,2 cm
Berdasarkan hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis pasien adalah Acute
Decompensated Heart Failure ec Tetralogy Of Fallot. Penatalaksanaan pada
pasien ini diberikan terapi Oksigen dengan nasal canul 5 lpm, Dobutamin 5

22
mcg/kgbb/menit, Furosemide injeksi 20 mg/8 jam/IV, Bisoprolol 2,5 mg 1-0-
0, Ramipril 2,5 mg 0-0-1, Aspilet 80 mg 1-0-0, Spironolactone 25 mg 0-1-0.

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosis Acute Decompensated Heart Failure ec Tetralogy


Of Fallot. Pasien ini didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang diperoleh yaitu sesak napas, sianosis, tampak
clubbing finger, edema perifer, adanya murmur jantung, apex jantung bergeser
kelateral. Riwayat penyakit jantung bawaan diketahui ketika usia 8 bulan.
 Pada anamnesis diperoleh Keluhan pasien ketika masuk RS yaitu sesak
nafas sianosis. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa disebabkan
oleh hemoglobin tereduksi lebih dari 5 g/dL dalam sirkulasi. Sianosis
ditemukan sejak lahir, tempat sianosis muncul yaitu mukosa membran bibir
dan mulut, jari tangan dan kaki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Artika dkk bahwa Sebagian besar pasien dengan TOF
menunjukkan gejala sianosis sejak lahir atau ditunjukkan pada usia 1 tahun
pertama. Pasien tampak mudah lelah saat beraktivitas. Bila beraktivitas
berjalan, pasein bisa mengambil posisi squatting kemudian kembali
melanjutkan aktivitasnya. Posisi tersebut meningkatkan tekanan pada
resistensi vaskular sistemik dan mengurangi aliran darah balik vena.
Dengan demikian dapat mengurangi jumlah pirau dari kanan ke kiri
sehingga diharapkan dapat mengurangi keadaan hipoksia.
 Pada pemeriksaan fisik ditemukan tampakan Clubbing fingers pada pasien.
Clubbing finger dapat timbul karena adanya penambahan jaringan ikat yang
terjadi di bagian jaringan lunak akibat pelepasan dari growth factor di dasar
kuku yang berkaitan dengan kekurangan oksigen kronik/hipoksia kronik.
Pada pemeriksaan auskultasi jantung terdengar suara murmur sistol pada
daerah garis sternum kiri akibat aliran darah melewati katup pulmonal
stenosis. Keadaan gagal jantung kongestif jarang terjadi akibat VSD
berukuran besar, kondisi ini disebabkan tekanan intraventrikel terhadap

24
beban jantung dalam keadaan seimbang. Pasien ini juga memiliki saturasi
oksigen sebesar 87% ketika masuk Rumah sakit. Sebab-sebab terjadinya
serangan hipoksia diduga karena otot infundibulum ventrikel kanan
berkontraksi, sehingga aliran darah ke dalam paru berkurang. Pada
pemeriksaan JVP pada pasien didapatkan adanya peningkatan yaitu sebesar
5+7 cmH2O. Peningkatan JVP merupakan tanda klasik hipertensi vena
(gagal jantung kanan). Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena
juguler. Pada keadaan gagal jantung maka tekanan vena jugularis akan
meningkat, yang menunjukkan terhambatnya pengisian ventrikel.
 Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat dijumpai peningkatan jumlah
eritrosit dan hematokrit (polisitemia vera) yang sesuai dengan desaturasi
dan stenosis. Oksimetri dan analisis gas darah arteri mendapatkan saturasi
oksigen yang bervariasi, tetapi pH dan pCO2 normal kecuali pada kondisi
tet spell. Keadaan hipoksia akan menimbulkan mekanisme kompensasi
berupa timbulnya sirkulasi kolateral dan terjadinya polisitemia. Gejala
hipoksia biasanya mulai timbul pada usia 18 bulan. Untuk pembentukan
sirkulasi kolateral diperlukan waktu bertahun-tahun, sedangkan positemia
sudah dapat terjadi sejak bayi. Sianosis kadang tidak tampak pada bulan-
bulan pertama. Pada waktu anak bangun tidur malam atau tidur siang, atau
sesudah makan, atau pada waktu menangis, sianosis bertambah jelas.
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit ini merupakan mekanisme
kompensasi akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya
hemoglobin dipertahankan antara 16-18 g/dl, sedangkan hematokrit antara
50-65 % . Bila kadar hemoglobin dan hematokrit melampaui batas tersebut
timbul bahaya terjadinya kelainan trombo-emboli, sebaliknya bila kurang
dari batas bawah tersebut berarti terjadi anemia relatif yang harus diobati.
 Pada pemeriksaan Foto Thorax di dapatkan Corakan bronchovaskuler
prominent, Cor membesar ke kiri dan kanan, didapatkan kesan
kardiomegali. Jantung membesar karena hipertrofi ventrikel kanan dan

25
penyempitan mediastinum akibat arteri pulmonalis hipoplasia (konus
pulmonalis menghilang) . Umumya corakan vaskular paru berkurang. Bila
terdapat kolateral ekstensif, corakan vaskular paru dapat ditemukan normal
atau bahkan meningkat . Aorta proksimal sering lebih besar daripada
normal, dan garis tengah trunkus pulmonalis berkurang. Rongga jantung di
sisi kiri jantung berukuran normal, sedangkan ketebalan dinding ventrikel
kanan mungkin setara atau bahkan melebihi yang di kiri. VSD terletak di
dekat bagian membranosa septum antarventrikel dan mungkin
menghilangkan seluruh atau sebagian septum membranosa. Katup aorta
terletak tepat di atas VSD. Saluran keluar pulmonalis menyempit dan, pada
beberapa kasus, katup pulmonalis itu sendiri mungkin stenotik. Kelainan
tambahan terdapat pada sebagian kecil kasus, termasuk PDA atau ASD.
Kelainan ini bersifat protektif karena memungkinkan sebagian darah
mengalir ke paru.
 Berdasarkan hasil pemeriksaan Echocardiography didapatkan hasil Situs
solitus AV-VA concordance. Kontraktilitas Left Ventricular menurun,
Ejection Fraction 21%, Kontraktilitas Right ventricular menurun, Tapse 0,7
cm, terdapat Ventricular Septal defect membranous septum bidirectional
shunt, diameter 1,2 cm, Overiding aorta, Katup-katup (Aorta, Mitral,
Tricuspid, dan pulmonal dalam batas normal), terdapat Efusi perikard,
Kesan: Ventricular Septal defect bidirectional shunt diameter 1,2 cm.
Ejeksi fraksi mengalami penurunan karena adanya kegagalan pada
fungsi memompa maupun pengisian dari ventrikel kiri, hal tersebut akan
berpengaruh terhadap stroke volume dan akan mempengaruhi pula cardiac
output atau jumlah darah yang akan dipompakan dalam 1 menit ke seluruh
tubuh. Ejeksi fraksi yang menurun dipengaruhi oleh adanya hipertrofi
ventrikel kiri dan Ventricular Septal Defect.
Ventricular Septal Defect (VSD) adalah lubang di antara ventrikel yang
akan menyebabkan darah yang kurang akan oksigen bercampur dengan

26
darah yang kaya akan oksigen. Stenosisi pulmonalis merupakan
penyumbatan yang terjadi dari ventrikel ke paru-paru yang disebabkan oleh
blockade aliran darah dari ventrikel kanan ke paruparu karena pembuluh
yang menyempit kearah arteri pulmonaris, biasanya bersamaan dengan
katup pulmonari yang abnormal. Disamping itu, overriding aorta di antara
ventrikel akan membiarkan darah yang kurang oksigen mengalir ke aorta
yang juga disebabkan oleh penebalan dan pembesaran otot jantung pada
ventrikel kanan (hipertropi ventrikel kanan). Bersama dengan defek septum
ventrikel dan stenosis pulmonalis, overriding aorta menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah menjadi rendah. Hal ini menyebabkan terjadinya
penampakkan kebiruan atau sianosisi karena darah yang kurang oksigen
dialirkan ke seluruh tubuh.
Tetralogi Fallot (TOF) adalah salah satu gangguan yang paling umum
dari penyakit jantung bawaan (PJB). Kondisi ini diklasifikasikan sebagai
gangguan jantung sianosis,dimana terdapat aliran darah ke paru-paru yang
tidak memadai untuk oksigenasi (right-to-left shunt). Tetralogi of fallot
(TOF) merupakan penyakit jantung congenital tipe sianotik yang paling
banyak didapatkan, dimana kelainannya terdiri dari defek septum ventrikel
(VSD), overriding aorta, stenosis pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan
(RVH). Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara
kedua rongga ventrikel. Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan klep
pembuluh darah yang keluar dari bilik kanan menuju paru, bagian otot
dibawah klep juga menebal dan menimbulkan penyempitan. Aorta
overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari Ventrikel kiri
mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari
bilik kanan. Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel
kanan karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis
pulmonal.

27
 Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria tanda dan
gejala tipikal gagal jantung diperoleh pasien cepat Lelah, Bengkak pada
kedua pergelangan kaki dan Toleransi aktivitas yang berkurang. Tanda dan
gejala spesifik didapatkan adanya peningkatan Jugular Vein Pressure, Apex
jantung bergeser ke lateral dan murmur jantung.
Berdasarkan kriteria forrester dengan melihat adanya perfusi dan kongesti.
Pasien ini ditemukan adanya hipoperfusi yaitu akral dingin, urine output
sedikit, terdapat tanda kongesti yaitu (sesak nafas, edema pretibial, jugular
vein pressure meningkat). Sehingga masuk kategori forrester kelas IV yaitu
Cold and wet.

Gambar 4.1. Profil Hemodinamik Pasien dengan Gagal Jantung Akut.


 Salah satu terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian oksigen.
Terapi oksigen direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung akut
dengan SpO2 <90% untuk memperbaiki hipoksemia. Pada kasus ini saturasi
oksigen awal pasien adalah 87% dan sesak nafas (dengan pernafasan 34 kali
per menit) sehingga diberikan oksigen dan dievaluasi terjadi peningkatan
saturasi oksigen sebesar 99%. Oksigen yang diberikan pada pasien ini
adalah menggunakan nasal kanul 5 lpm.

28
Pasien juga diberikan Dobutamin, bisoprolol, furosemide, ramipril
spironolactone dan juga aspilet. Pemberian obat golongan beta blockers ini
untuk menurunkan frekuensi denyut jantung dan meningkatkan resistensi
vaskular sistemik. Selain itu, juga menstabilkan reaktivitas vaskular arteri
sistemik sehingga mencegah penurunan mendadak resistensi vaskular
sistemik. Dobutamin adalah agonis B pilihan untuk penatalaksanaan pasien
disfungsi sistolik stadium akhir dan CHF. efek hemodinamik utama
dobutamin adalah peningkatan volume sekuncup karena kerja inotropik
positif. Infus dobutamin biasanya menyebabkan tahanan sistemik dan
tekanan pengisian intrakardial menurun dengan tingkat sedang. Dobutamin
tidak mengaktifkan reseptor dopaminergik. Efek samping utama dobutamin
adalah takikardia dan aritmia berlebih, yang mungkin mengharuskan
pengurangan dosis. Spironolatone merupakan salah satu diuretik hemat
kalium, pada dasarnya bekerja di saluran pengumpul nefron dan
menghambat saluran konduktans natrium di membran apeks dalam sel
epitelium atau bekerja sebagai antagonis aldosteron. Obat ini merupakan
diuretik lemah sehingga tidak efektif untuk menurunkan volume. Obat-obat
ini telah digunakan untuk membatasi pembuangan kalium dan magnesium
ginjal dan/atau untuk memperbesar respons diuretik terhadap senyawa lain.
Pasien ini diberikan diuretik loop untuk mempertahankan euvolemia.
Pasien yang secara klinis mengalami retensi cairan akan diberikan
furosemide, biasanya dimulai dengan dosis 40 mg sekali atau dua kali sehari
dan ditingkatkan sampai dicapai diuresis yang cukup. Begitu retensi
cairannya sudah terselesaikan, dosis dari diuretik dapat dikurangi sampai di
dosis minimal untuk tahap pemeliharaan. Pasien ini diberikan juga
spironolakton untuk mencegah apabila terjadi abnormalitas elektrolit
seperti hipokalemia sebagai efek dari pemberian furosemide. Ramipril salah
satu ACE-inhibitor yg cepat diabsorpsi (konsentrasi puncak tercapai dalam
1 jam) dan berperan dalam mengurangi kadar angiotensin II. Memiliki efek

29
mengurangi peningkatan konsentrasi aldosteron sebagai respon terhadap
kehilangan Natrium. Aspilet berfungsi dalam memblok produksi
antitromboksan A2 yaitu suatu produk dari siklooksigenase yang
merupakan suatu penginduksi agregasi platelet yang labil dan
vasokontriktor yang kuat. Pemberian aspirin ditujukan untuk mencegah
terjadinya agregasi trombosit yang dapat menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah arteri koroner, hal ini dikarnakan pada temuan objektif
yaitu ekg pasien, adanya segmen ST depresi dan gelombang T inversi pada
lead V1-V3 atau sisi anterior jantung yang menandakan adanya iskemik.
Mekanisme kerja aspirin yang paling banyak diketahui adalah sebagai
inhibitor permanen aktivitas COX dari prostaglandin H-sintase-1 dan
prostaglandin H-sintase-2 (juga disebut COX-1 dan COX-2). Isozim COX
mengkatalisis langkah pertama biosintesis prostanoid yaitu konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin H2 (PGH2). PGH2 adalah prekursor
langsung dari tromboksan A2 (TXA2) dan prostaglandin I2 (PGI2).
Trombosit dan sel endotel vaskular memproses PGH2 untuk menghasilkan
TXA2 dan PGI2. TXA2 menginduksi agregasi trombosit dan
vasokonstriksi, sedangkan PGI2 menghambat agregasi trombosit dan
menginduksi vasodilatasi. Karena TXA2 sebagian besar berasal dari COX-
1 (pada trombosit) maka sangat sensitif terhadap inhibisi aspirin.
Sebaliknya, meskipun PGI2 vaskular dapat diturunkan dari COX-1, sumber
utamanya adalah COX-2.
Tujuan utama terapi ADHF adalah untuk mencapai status volume
yang optimal, cara mengurangi atau meminimalisir gejala dan tanda
kongesti. Pada pasien dengan profil B ("basah dan hangat"), hal tersebut
dapat dicapai dengan pemberian diuretik intravena dosis tinggi dua atau tiga
kali sehari, atau yang lebih efektif dengan snails kontinyu. Penambahan
thiazide atau metolazone akan meningkatkan efek diuresis dengan cara
mengurangi reabsorbsi di tubulus distalis.

30
Pasien dengan profil C (basah dan dingin), konsep terapinya adalah
mereka "dihangatkan" sebelum dikeringkan" Identifikasi subset klinis ini
lebih problematik. Penambahan obat vasodilator intravena seperti
nitroprusside, nitroglycerin, atau yang lebih baru yaitu neseritide mungkin
bisa berguna. Obat dengan efek inotropik intravena dosis rendah seperti
dobutamine 1-3 mcg/kgBB mungkin dapat membantu diuresis, namun hati-
hati dengan risiko aritmia dan iskemia dibandingkan dengan vasodilator
lainnya.

Gambar 2. Konsep terapi inisial pasien gagal jantung akut berdasarkan


profil hemodinamik

Terapi AHF tidak memiliki "evidence based" seperti terapi pada


gagal jantung kronis namun, terapi inti pada pasien gagal jantung akut
meliputi oksgenasi, diuretik, dan vasodilator. Opiate dan inotropik
digunakan pada pasien-pasien dengan lebih selektif. Alat bantu mekanis
untuk membantu sirkulasi lebih jarang digunakan. Ventilasi non invasif
juga banyak digunakan pada berbagai senter, sedangkan ventilasi
invasif digunakan pada sebagian kecil pasien.

31
BAB V
KESIMPULAN

Tetralogi Of fallot (ToF) adalah kelainan jantung bawaan tipe sianosis yang
ditandai dengan kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi defek septum ventrikel,
stenosis pulmonal, overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan. Dalam jangka
waktu yang lama, pada beberapa kasus dalam jangka waktu yang lama tanpa tindakan
bedah, Perubahan dapat terjadi pada paru-paru ataupun miokard yang berkelanjutan
bersifat irreversibel. Kondisi yang demikian akan berakhir pada kondisi gagal jantung.
Pasien ini didiagnosis masuk rumah sakit dengan diagnosis Acute
Decompensated Heart Failure (ADHF). Gagal jantung akut didefinisikan sebagai
serangan cepat/onset atau adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda dari
gagal jantung yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent.
Berdasarkan kriteria forrester dengan melihat adanya perfusi dan kongesti.
Pasien ini ditemukan adanya hipoperfusi yaitu akral dingin, urine output sedikit,
terdapat tanda kongesti yaitu (sesak nafas, edema pretibial, jugular vein pressure
meningkat). Sehingga masuk kategori forrester kelas IV yaitu Cold and wet.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan meliputi kombinasi diuretik, vasodilator,
dan terkadang inotropik untuk pasien syok, yang semuanya bertujuan untuk mencapai
status euvolemia dan perfusi yang adekuat bagi pasien. Penatalaksanaan pada pasien
Tetralogy Of Fallot meliputi medikamentosa, non medikamentosa, kateterisasi jantung,
dan apabila keadaan umum memburuk dapat dilakukan pembedahan. Bedah koreksi
menjadi pilihan tata laksana ToF ideal yang bertujuan menutup defek septum ventrikel,
reseksi area stenosis infundibulum, dan menghilangkan obstruksi aliran darah ventrikel
kanan.

32
33
iv
DAFTAR PUSTAKA

1. Khotimah, Jaya IF, Sihombing, et al. Penyakit Gangguan Sistem Tubuh. Medan :
Yayasan Kita Menulis. 2022
2. Manopo BR, Kaunang ED, Umboh A. Gambaran Penyakit Jantung Bawaan di
Neonatal Intensive Care Unit RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2013
– 2017. Jurnal e-Clinic (eCl). 2018;6(2):87
3. Anggarani W, Christiono S, Agusmawanti P. Oral And Dental Management In
Children With Tetralogy Of Fallot : A Literature Review. ODONTO Dental
Journal. 2021;8(1):108-113
4. Cotran RS and Robbins SL. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins. Singapura:
Elsevier Saunders
5. Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Tatalaksana Penyakit Jantung
Bawaan Dewasa (PJBD). PERKI, 2020.
6. Dahn R & Walker S. New Medications in the Treatment of Acute Decompensated
Heart Failure. Hospital Pharmacy. 2018. 53(2): 85-7.
7. Harahap, Muh Wirawan. "Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien
Labiognatopalatoschizis dengan Tetralogy of Fallot." Green Medical Journal 1.1
2019: 128-138.
8. Villafane J, Feinstein JA, Jenkins KJ, et al. Hot Topics in Tetralogy of Fallot. J Am
Coll Cardiol. 2013 Dec10;62(23):2155 LP-2166.
9. Riska H, R., Darmadi. Diagnosis dan Tata Laksana Tetralogy of Fallot. CDK. 2013:
40 (3); 177-181
10. Departemen Neurologi RSUP Sanglah Denpasar. Bali Neurology Update tropical
disease and Neuoropediatric cases. Bali : Udayana Press. 2018.
11. Josue D.F., Melissa G. Tetralogy of Fallot. Januari 2022.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513288/

iv
12. Breitbart R, Flyer D. Tetralogy of fallot. In: Flyer DC, editor. Nadas’ Pediatric
Cardiology 2ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier,2006.
13. Nova R. Penyulit pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Palembang: Subbagian
Kardiologi IKA FK Unsri; 2010
14. Apitz C, Webb GD, Redington AN. Tetralogy of Fallot. Lancet 2009; 374(9699):
1462–71.
15. Arsy F D and Wan F. Penatalaksanaan Anestesi Pasien Tetralogy of Fallot pada
Operasi Mouth Preparation. Jurnal Anestesi Perioperatif. 2013;1(2):119-22
16. Fox D, Devendra GP, Hart SA, Krasuski RA. When ‘blue babies’ grow up: What
you need to know about tetralogy of Fallot. Cleve Clin J Med. 2010;77(11):821-8
17. Nova R. Penyulit pada Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Palembang: Subbagian
Kardiologi IKA FK Unsri; 2010.
18. Artika I G N R, Pratomo BY, Setiawan YB. Penatalaksanaan Anestesi Colostomy
Pada Pasien Atresia Ani Dengan Tetralogi Of Fallot (TOF). Jurnal Komplikasi
Anestesi. 2016;3(3):25-39
19. Dahn R & Walker S. New Medications in the Treatment of Acute Decompensated
Heart Failure. Hospital Pharmacy. 2018. 53(2): 85-7.
20. Vazir A, & Cowie MR. Assessing Acute Decompensated Heart Failure-Strategies
and Tools. European Cardiology. 2012. 8(2): 129.

Anda mungkin juga menyukai