Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah abnormalitas struktur
makroskopis jantung atau pembuluh darah besar intratoraks yang
mempunyai fungsi pasti atau potensial yang berarti. Kelainan ini
merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada bayi
baru lahir. Prevalensi penyakit jantung bawaan yang diterima secara
internasional adalah 0.8%, walaupun terdapat banyak variasi data
yang terkumpul, secara umum, prevalensi penyakit jantung bawaan
masih diperdebatkan. (Moons, et al. 2008)
Penelitian Wu di Taiwan menemukan prevalensi PJB dari
pasien yang lahir dari tahun 2000 sampai 2006 yang diidentifikasi dari
database National Health Insurance adalah 13.08 dari 1000 kelahiran
hidup dengan spesifikasi sebagai berikut : 12.05 (sederhana, 10.53;
berat, 1.51) pada bayi laki-laki dan 14.21 (sederhana, 12.90; berat,
1.32) pada bayi perempuan. Defek Septum Ventrikel (DSV; 4.0)
merupakan defek yang paling sering terjadi. (Wu, et al. 2009)
Menurut Sastroasmoro dan Madiyono (1994), dari 3602 pasien
baru yang diperiksa selama 10 tahun (1983-1992) di Poliklinik
Subbagian Kardiologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM,
Jakarta, terdapat 2091 penderita PJB. Sebagian besar adalah dari
jenis non-sianotik (1602 atau 76.7%) dan sisanya jenis sianotik (489
atau 23.3%). Distribusi umur pasien pada saat diagnosis dibagi atas
jenis PJB sianotik/ TOF dan non sianotik/DSV. Kelompok umur 1 12
bulan merupakan kelompok penderita dengan jumlah terbanyak (non
sianotik, 43.1%; sianotik, 42.4%), diikuti oleh kelompok umur 13
bulan 5 tahun (non-sianotik, 29.1%; sianotik, 27.7%), kelompok
umur 6 10 tahun (non-sianotik, 17.2%; sianotik, 17.2%), kelompok
umur 10 tahun ke atas (non-sianotik, 6..8%; sianotik, 6.9%), dan
kelompok umur 0 1 bulan (non-sianotik, 3.9%; sianotik, 5.8%).
Salah satu penyebab penting morbiditas dan mortalitas anak
dengan PJB kritis adalah instabilitas hemodinamik yang terjadi antara
kelahiran dan tindakan pembedahan atau intervensi transkateter.
(Schultz, et al. 2008)
Dengan berkembangnya tindakan operatif dan intervensi serta
perkembangan teknologi medis, angka harapan hidup anak dengan
PJB telah meningkat secara dramatis selama beberapa dekade
terakhir dan tetap berlangsung hingga saat ini. (Ihrar.Y, 2007)

1.2. Tujuan Khusus


Untuk mengetahui tipe Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
khususnya Ventral Septal Defek (VSD) dan Tetrallogy of Fallot (TOF).

1.3. Tujuan Umum


1. Mengetahui definisi dari VSD dan TOF
2. Mengetahui etiologi dari VSD dan TOF
3. Mengetahui epidemiologi dari VSD dan TOF
4. Mengetahui klasifikasi dari VSD dan TOF
5. Mengetahui faktor risiko dari VSD dan TOF
6. Mengetahui patofisiologi dari VSD dan TOF
7. Mengetahui manifestasi klinis dari VSD dan TOF
8. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari VSD dan TOF
9. Mengetahui penatalaksanaan dari VSD dan TOF
10. Mengetahui pencegahan dari VSD dan TOF
11. Mengetahui komplikasi dari VSD dan TOF
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Tetralogy of Fallot (TOF)


2.1.1. Definisi
Tetralogi of Fallot (TOF) adalah kelainan jantung dengan
gangguan sianosis yang ditandai dengan kombinasi 4 hal yang
abnormal meliputi defek septum ventrikel, stenosis polmunal,
overiding aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Komponen yang
paling penting dalam menentukan derajat beratnya penyakit
adalah stenosis polmunal dari sangat ringan sampai sangat
berat ,stenosis polmunal bersifat progresif, makin lama makin
berat. (C.Markum,1992).
Tetralogi of Fallot (TOF) adalah penyakit jantung
bawaan tipe sianotik. Kelainan yang terjadi adalah kelainan
pertumbuhan dimana terjadi defek atau lubang dari bagian
infundibulum septum intraventrikular (sekat antara rongga
ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama
besar dengan lubang aorta. Sebagai konsekuensinya,
didapatkan adanya empat kelainan anatomi sebagai berikut :
Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat
antara kedua rongga ventrikel
Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan klep
pembuluh darah yang keluar dari bilik kanan menuju paru,
bagian otot dibawah klep juga menebal dan menimbulkan
penyempitan
Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar
dari ventrikel kiri mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-
olah sebagian aorta keluar dari bilik kanan
Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel
kanan karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat
dari stenosis pulmonal
Pada penyakit ini yang memegang peranan penting
adalah defek septum ventrikel dan stenosis pulmonalis, dengan
syarat defek pada ventrikel paling sedikit sama besar dengan
lubang aorta. (C.Markum ,1992 ).

2.1.2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit
jantung bawaan tidak diketahui secara pasti. diduga karena
adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor faktor tersebut
antara lain :
Faktor endogen
Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom,
contohnya down syndrome, marfan syndrome.
Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung
bawaan misalnya VSD, pulmonary stenosis, and
overriding aorta.
Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti
diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi, penyakit
jantung atau kelainan bawaan
Faktor eksogen
Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB
oral atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter,
(thalidmide, dextroamphetamine. aminopterin,
amethopterin, jamu)
Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
Efek radiologi (paparan sinar X)
Ibu mengonsumsi alcohol dan merokok saat
mengandung.
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan
eksogen tersebut jarang terpisah menyebabkan penyakit
jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab
adalah multifactor (Fernando, Lenta.,2012).

2.1.3. Epidemiologi
Tetralogi of Fallot terjadi pada 3 dari setiap 10.000
kelahiran hidup. Ini adalah penyebab paling umum dari
penyakit jantung sianotik di pasien usia neonatal, dan hingga
sepersepuluh dari semua lesi jantung kongenital.
Tetralogy of fallot menempati angka 5-7% dari kelainan
jantung akibat congenital. Sampai saat ini para dokter tidak
dapat memastikan sebab terjadinya, akan tetapi ,penyebabnya
dapat berkaitan dengan factor lingkungan dan juga factor
genetic atau keduanya. Dapat juga berhubungan dengan
kromosom 22 deletions dan juga diGeorge syndrome.
Ia lebih sering muncul pada laki-laki daripada wanita.
Pengertian akan embryology daripada penyakit ini adalah
sebagai hasil kegagalan dalam conal septum bagian anterior,
menghasilkan kombinasi klinik berupa VSD, pulmonary
stenosis, and overriding aorta. Perkembangan dari hipertropi
ventricle kanan adalah oleh karena kerja yang makin meningkat
akibat defek dari katup pulmonal. Hal ini dapat diminimalkan
bahkan dapat dipulihkan dengan operasi yang dini. (Bailliard &
Anderson, 2009)
Sebuah penelitian di Denmark pada tahun 1984-1992
menemukan jika 26% bayi meninggal dunia, 54% berahan
pada 1 tahun kehidupannya dan 75% meninggal sebelum
menjalan operasi korektif. Bagaimanapun juga, di Malta,
prevalensi kelahiran untuk pasien TOF diantara tahun 1980-
1944 adalah 0,64 per 1000 kelahiran, mendorong spekulasi jika
TOF ini juga didukung oleh factor genetik (Supit, 2012)
Berdasarkan penelitian dari Agus Cahyono dan Machrus
A.Rahman pada tahun 2007 di RS dr.Soetomo Surabaya
selama periode 2004 sampai dengna 2006, 4 penyakit PJB
yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect
(VSD), Tetralogy Of Fallot (TOF), Atrial Septal Defect (ASD),
dan Patent Ductus Arteriosus (PDA)
ToF merupakan jenis penyakit jantung bawaan tersering.
Sekitar 3-5% bayi yang lahir dengan penyakit jantung bawaan
menderita jenis ToF. Di AS, 10% kasus penyakit jantung
kongenital adalah ToF, sedikit lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Seiring dengan meningkatnya angka
kelahiran di Indonesia, jumlah bayi yang lahir dengan penyakit
jantung juga meningkat. Dua per tiga kasus penyakit jantung
bawaan di Indonesia memperlihatkan gejala pada masa
neonatus. Sebanyak 25-30% penderita penyakit jantung
bawaan yang memperlihatkan gejala pada masa neonatus
meninggal pada bulan pertama usianya jika tanpa penanganan
yang baik. Sekitar 25% pasien ToF yang tidak diterapi akan
meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupan, 40% meninggal
sampai usia 4 tahun, 70% meninggal sampai usia 10 tahun,
dan 95% meninggal sampai usia 40 tahun.
(Ruslie &Darmadi, 2013)
2.1.4. Klasifikasi
Ada 4 varian TOF menurut Bailiard & Anderson
(2009),yaitu :
1. Tetralogy of Fallot with pulmonary atresia (Tetralogy of
Fallot dengan atresia paru)
Lesi ini merupakan lesi terparah dari penyimpangan
spectrum antero-cephalad pada saluran keluar septum.
Adakalanya, katup pulmonal dipengaruhi dalam isolasi, menjadi
imperforate (tidak dilubangi) bukan stenosis. Sekitar setengah
pasien dengan pulmonary atresia, arteri pulmoner kanan dan
kirinya menyatu, dengan darah yang menuju arteri pulmoner
mengalir terus-menerus melalui saluran arteri paten. Di saat
yang lain, persediaan arteri pulmoner adalah multifocal. Pada
pasien seperti ini, jika arteri pulmoner menyatu atau terus
menerus tidak berhenti, persediaan darah kemungkinan besar
hanya akan berawal dari arteri multiple aorto-pulmonary
collateral. Jika arteri pulmoner terputus atau tidak berfungsi,
persediaan darah ke paru-paru akan berasal dari arteri multiple
collateral, atau dari kombinasi arteri kolateral dan
pembuluh/saluran arteri.
Dalam kasus pasokan kompleks darah ke paru-paru,
maka perlu untuk menentukan proporsi parenkim paru yang
disuplai oleh arteri paru intrapericardial sebagai lawan bagian-
bagian yang disuplai secara eksklusif oleh arteri collateral.
Meskipun arteri collateral tidak tergantung pada
prostaglandin untuk patensi, mereka memiliki potensi untuk
stenose dari waktu ke waktu. Dalam kasus lain, arteri collateral
besar dapat memberikan arus terbatas ke paru-paru, sehingga
menghasilkan pembuluh darah paru hipertensi. Manajemen
jangka panjang pada suplai paru pada pasien dengan tetralogy
of Fallot dan atresia paru.
2. Tetralogy of Fallot with absent pulmonary valve (Tetralogi
of Fallot dengan ketiadaan katup paru)
Ketidaksejajaeran dari saluran keluar septum dengan
pembentuken dasar/ pembentukan belum sempurna selebaran
katup paru, yang disebut sindrom ketiadaan katup pulmoner,
terlihat pada satu dari dua puluh orang yang terdiagnosa
tetralogi Fallot. Adanya lembaran valvar dasar yang tersusun
dalam pola lingkaran pada persambungan ventrikulo pulmoner
menhasilkan muntahan pulmoner bebas dalam kehidupan
janin. Hasil akhirnya adalah beban volume kronis dari ventrikel
kanan ditransmisikan ke arteri paru , dengan pelebaran
bersamaan dari pembuluh darah tersebut. Dalam kasus yang
berat, pasien datang dengan inspirasi dan ekspirasi stridor
karena kompresi jalan nafas oleh dilatasi arteri pulmoner.
Meskipun kompresi dan obstruksi saluran udara ikut
bertanggung jawab terhadap sianosis, terdapat juga
penyempitan fokal di persambungan ventrikulo pulmoner ,
berkontribusi terhadap hipoksemia pada pasien. Dalam
kebanyakan kasus , tapi tidak semua, saluran arteri juga tidak
ada.
3. Tetralogy of Fallot with double outlet right ventricle
(Tetralogi of Fallot dengan saluran keluar ventrikel kanan
ganda)
Adanya override aorta, aorta menjadi lebih tertarik pada
ventrikel kanan daripada ventrikel kiri, menyebabkan banyak
masalah dalam sambungan ventrikulo-arterial pada jalan keluar
ganda ventrikel kanan. Meskipun fisiologi yang ditampilkan
mungkin tidak berubah, ada implikasi penting untuk
perencanaan operasi bedah. Pasien dengan permulaan aorta
sebagian besar dari ventrikel kanan mempunyai resiko yang
lebih tinggi untuk mengembangkan obstruksi pada
pembentukan sistem aliran baru pada ventrikel kiri, akhir
saluran yang dihasilkan oleh tambalan yang menutup defek
septal ventrikel sementara itu membangun terowongan pada
ventrikel kiri menuju aorta.
4. Tetralogy of Fallot with atrioventricular septal defect
(Tetralogi of Fallot dengan defek septum atrioventrikular)
Kombinasi defek septum atrioventrikular dengan
antrioventricular junction, umum ditemukan pada 2% penderita
tetralogi fallot. Pemberian dan manajemen medis awal tetap
tidak berubah, namun perbaikan bedah dan perawatan post-
operasi lebih kompleks.

2.1.5. Faktor Risiko


Kebanyakan penyebab dari kelainan jantung bawaan
tidak diketahui. Biasanya melibatkan berbagai faktor. Faktor
prenatal yang berhubungan dengan resiko terjadinya tetralogi
Fallot adalah:
Ibu terkena infeksi virus Rubella
Patogenesis Congenital Rubella Syndrome
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan
mengalami replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah
bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7
setelah terpajan virus rubella. Infeksi rubella menyebabkan
kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor,
misalnya oleh kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat
pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama
viremia ibu, menyebabkan daerah (area) nekrosis yang
tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel
kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa virus
rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Gmbaran
khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya
nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang
pendek. Organ janin dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah
sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella
juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara
apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester
pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi) dan beratnya derajat
kerusakan janin menurun secara tiba-tiba (drastis). Perbedaan
ini terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan melaju
(progresif) tanggap (respon) imun janin, baik yang bersifat
humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang
dialihkan (transfer) secara pasif.
Kelainan kardiovaskuler seperti periapan (proliferasi)
dan kerusakan lapisan seluruh (integral) pembuluh darah dapat
menyebabkan kerusakan yang membuntu (obstruktif) arteri
berukuran medium dan besar dalam sistem peredaran
(sirkulasi) pulmoner dan bersistem (sistemik) (Kadek &
Darmadi, 2007).
Gizi buruk selama kehamilan
Untuk pertumbuhan janin yang memadai diperlukan zat-
zat makanan yang cukup, dimana peranan plasenta besar
artinya dalam transfer zat-zat makanan tersebut (Suryani,
2002).
Plasenta bukan sekedar organ untuk transport makanan,
tetapi juga mampu menyeleksi zat-zat makanan yang masuk
dan proses lain (resintesis) sebelum mencapai janin. Suplai zat-
zat makanan ke janin yang sedang tumbuh tergantung pada
jumlah darah ibu yang mengalir melalui plasenta dan zat-zat
makanan yang diangkutnya. Efisiensi plasenta dalam
mengkonsentrasikan, mensintesis dan transport zat-zat
makanan yang menentukan suplai makanan ke janin.
Karbohidrat merupakan sumber utama bagi janin dan ini
diperoleh secara kontinu dari transfer glukosa darah ibu melalui
plasenta. Sedangkan lemak bukan sumber energi utama,
hanya ditransfer secara terbatas dalam bentuk asam lemak
melalui plasenta. Pertumbuhan sel janin adalah hasil dari
sintesis protein yang berasal dari asam amino yang ditransfer
melalui plasenta.
Ibu yang malnutrisi atau berasal dari golongan sosial
ekonomi rendah, mempunyai plasenta yang beratnya lebih
rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak malnutrisi. Dari
berbagai penelitian, penurunan berat plasenta berkisar 14-50
%, jumlah DNA juga menrun, rasio protein/DNA menurun,
permukaan villous berkurang, akibat pertukaran darah janin-ibu
yang menurun. Berat badan lahir mempunyai korelasi yang
bermakna dengan berat plasenta. Infeksi berat pada plasenta
karena malaria dapat mempengaruhi pertumbuhan janin. Dari
berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan jika
pertumbuhan janin dapat terganggu karena status gizi ibu yang
rendah.
Ibu Alkoholik
Adanya bahan-bahan yang bersifat teratogenik akan
menimbulkan gangguan pada sel-sel tubuh janin yang sedang
melakukan proses pembentukkan organ tersebut. Akibat
adanya gangguan tersebut, maka sel tidak dapat tumbuh dan
berkembang sebagaimana seharusnya dan menimbulkan
berbagai cacat lahir yang dapat terjadi pada organ luar maupun
organ dalam. Bahan teratogenik tidak hanya dapat
menyebabkan kecacatan fisik. Bahan tersebut juga dapat
menimbulkan kelainan dalam hal psikologis dan kecerdasan.
Hal ini berhubungan dengan adanya gangguan pada
pembentukan sel-sel otak bayi selama ia dalam kandungan..
Alkohol merupakan salah satu bahan kimia teratogenik.
Konsumsi alkohol pada ibu hamil selama kehamilannya
terutama di trisemester pertama, dapat menimbulkan
kecacatan fisik pada anak dan terjadinya kelainan yang dikenal
dengan fetal alkoholic syndrome . Konsumsi alkohol ibu dapat
turut masuk kedalam plasenta dan memperngaruhi janin
sehingga pertumbuhan otak terganggu dan terjadi penurunan
kecerdasan/retardasi mental. Alkohol juga dapat menimbulkan
bayi mengalami berbagai kelainan bentuk muka, tubuh dan
anggota gerak bayi begitu ia dilahirkan.
Usia Ibu di atas 40 tahun
Usia ibu di atas 40 tahun merupakan salah satu
kehamilan yang berresiko tinggi. Kehamilan dengan resiko
tinggi adalah kehamilan yang memiliki resiko meninggalnya
bayi, ibu atau melahirkan bayi yang cacat atau terjadi
komplikasi kehmailan, yang lebih besar dari resiko pada wanita
normal umumnya.
Perubahan yang terjadi oleh karena proses menjadi tua
dari jaringan alat reproduksi dan jalan lahir, cendrung untuk
berakibat buruk pada proses kehamilan dan persalinannya
lebih banyak dijumpai kelainan pada kelompok usia ini seperti
yang banyak dilaporkan pada berbagai penelitian bermacam-
macam penyulit kehamilan dan persalinan demikian pula
dengan jumlah persen dari kematian yang terjadi (Tjipta, G.D .
2004).
Ibu penderita Diabetes Melitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit
keturunan dengan ciri-ciri kekurangan atau tidak terbentuknya
insulin, akibat kadar gula dalam darah yang tinggi dan
mempengaruhi metabolisme tubuh secara menyeluruh dan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.
Masalah yang ditemukan pada bayi yang ibunya
menderita diabetes dalam kehamilan adalah kelainan bawaan,
makrosomia (bayi besar > 4 kg), hipoglikemia (kadar gula
darah rendah), hipokalsemia (kadar kalsium dalam tubuh
rendah), hiperbilirubinemia (bilirubun berlebihan dalam tubuh),
sindrom gawat napas, dan kematian janin. Faktor maternal
(pada ibu) yang berkaitan dengan peningkatan angka kejadian
makrosomia adalah obesitas, hiperglikemia, usia tua, dan
multiparitas (jumlah kehamilan > 4). Makrosomia memiliki risiko
kematian janin saat dilahirkan karena ketika melahirkan, bahu
janin dapat nyangkut serta dan peningkatan jumlah operasi
caesar. Hipoglikemia pada bayi dapat terjadi beberapa jam
setelah bayi dilahirkan. Hal ini terjadi karena ibu mengalami
hiperglikemia (kadar gula darah berlebihan) yang
menyebabkan bayi menjadi hiperinsulinemia (kadar hormone
insulin dalam tubuh janin berlebihan).
Anak dengan Down Syndrome
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal
sebagai trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down
memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai tiga
kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua
saja (Pathol, 2003).
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua
sistem organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum
fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang
signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan
survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami
keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan
tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Hasil analisis
molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom
21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital
pada penderita sindrom Down. (Mayo Clinic Internal Medicine
Review, 2008)

2.1.6. Patofisiologi
(terlampir)

2.1.7. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis sering khas. Karena aorta menerima
darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri dan yang tanpa
oksigen dari ventrikel kanan, maka terjadilah sianosis. Stenosis
pulmonalis membatasi aliran darah dari ventrikel kanan ke
dalam paru-paru dan apabila ini berat, untuk kelangsungan
hidupnya hanya mungkin apabila duktus arteriosus tetap
terbuka. Bising sistolik diakibatkan baik oleh defek septum
ventrikuler atau, bila berat, stenosis pulmonalis. Seperti juga
pada seluruh penderita yang hipoksia, konsentrasi hemoglobin
menunjukkan kenaikan. Gagal jantung kanan tidak dapat
dihindari dan endokarditis bakterialis akan terjadi.
Anak yang menderita dispnea akibat tetralogi fallot
kadang-kadang mempunyai posisi tubuh yang khas akibat
penyesuaian, dimana kedua kaki diletakkan berdekatan dengan
sendi paha, atau duduk dengan posisi kaki-dada. Keadaan ini
akan meningkatkan aliran balik vena dari tungkai bawah atau,
lebih spekulatif, untuk mengurangi perfusi arteri perifer, yang
karenanya akan meningkatkan aliran melalui duktus arteriosus
atau defek septum ventrikuler ke sirkulasi sebelah kanan.
Sebelum ada pengobatan operasi yang maju, sebagian besar
penderita akan meninggal dunia.(Underwood, 2010)
Serangan serangan dispnea paroksismal (serangan
serangan anoksia biru) terutama merupakan masalah selama 2
tahun pertama kehidupan penderita. Bayi tersebut menjadi
dispneis dan gelisah, sianosis yang terjadi bertambah hebat,
penderita mulai sulit bernapas dan disusul dengan terjadinya
sinkop. Serangan serangan demikian paling sering terjadi pada
pagi hari. Serangan serangan tersebut dapat berlangsung dari
beberapa menit hingga beberapa jam dan kadang kadang
berakibat fatal. Episode serangan pendek diikuti oleh kelemahan
menyeluruh dan penderita akan tertidur. Sedangkan serangan
serangan berat dapat berkembang menuju ketidaksadaran dan
kadang kadang menuju kejang kejang atau hemiparesis. Awitan
serangan biasanya terjadi secara spontan dan tidak terduga.
Serangan yang terjadi itu mempunyai kaitan dengan penurunan
aliran darah pulmonal yang memang mengalami gangguan
sebelumnya, yang berakibat terjadinya hipoksia dan asidosis
metabolis. (Mansjoer, 2009)
Adapun manifestasi dari tetralogi Fallot menurut Kowalak,
Jennifer P., William Welsh, dan Brenna Mayer (2011), yaitu :
Sianosis yang merupakan tanda utama tetralogi Fallot;
sianosis terjadi karena shunt dari kanan ke kiri
Serangan sianotik atau blue spells (Tet spells) yang ditandai
oleh dispnea; pernapasan yang dalam dan menarik napas
panjang, bradikardia, keluhan ingin pingsan, serangan kejang,
dan kehilangan kesadaran, yang semua ini dapat terjadi
setelah pasien melakukan latihan, menangis, mengejan,
mengalami infeksi, atau demam (keadaan ini dapat terjadi
karena penurunan oksigen pada otak akibat peningkatan
pemintasan atau shunting aliran darah dari kanan ke kiri yang
mungkin disebabkan oleh spasme jalur keluar ventrikel kanan,
peningkatan aliran balik sistemik atau penurunan resistensi
arterial sistemik)
Clubbing, penurunan toleransi terhadap latihan, peningkatan
gejala dispnea deffort, retardasi pertumbuhan dan kesulitan
makan pada anak-anak yang lebih besar sebagai akibat
oksigenasi yang buruk
Polisitemia
Berjongkok (setelah melakukan aktivitas fisik) disertai napas
sesak untuk mengurangi aliran balik vena darah kotor dari
tungkai dan untuk meningkatkan resistensi arteri sistemik,
sehingga dapat terjadi penurunan besar pirau kanan ke kiri
Bising sistolik yang keras dan terdengar paling jelas di
sepanjang tepi kiri sternum, yang dapat mengurangi atau
menyamarkan komponen pulmoner pada bunyi S2. Bising
sistolik ini menggambarkan defek septum ventrikel
Bising kontinu dari duktus arteriosus pada pasien paten
duktus arteriosus yang lebar; bising ini dapat menyamarkan
bising sistolik
Bunyi thrill pada tepi kiri sternum akibat aliran darah yang
abnormal melalui jantung
Impuls ventrikel kanan yang nyata dan sternum pars inferior
yang menonjol; kedua gejala ini berkaitan dengan hipertrofi
ventrikel kanan
Manifestasi yang sering terjadi pada bayi, adalah sebagai berikut
:
Anak yang menderita tetralogi Fallot biasanya tampak
kemerahan pada masa neonatus, meskipun mungkin terdengar
bising jantung akibat aliran darah melalui infundibulum atau katup
pulmonal yang menyempit. Sianosis timbul dan bertambah berat
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian.
Kadangkala bayi mungkin terlihat kemerahan saat istirahat, dan
hanya terlihat sianosis pada saat memeras tenaga seperti saat
menangis atau minum susu. Kadang-kadang terjadi serangan
sianosis. Bayi yang menderita tetralogi Fallot hamper sepanjang
waktu tampak relative sehat, namun rentan terhadap serangan,
yaitu saat bayi menjadi amat sianosis dan pucat serta seringkali
disertai penurunan kesadaran. Serangan demikian terjadi karena
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, sehingga
meningkatkan pirau kanan ke kiri dan mencegah darah mengalir
ke paru-paru (Hull, David and Derek I. Johnston. 2008).

2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik


a. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan
hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada
umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan
hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan
peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2),
penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan
PH.pasien dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin
menderita defisiensi besi. (Reni Prima Gusty, 2012)
Pada pemeriksaan laboratorium darah juga dapat
dijumpai peningkatan jumlah eritrosit dan hematokrit
(polisitemia vera) yang sesuai dengan desaturasi dan
stenosis.6 Oksimetri dan analisis gas darah arteri
mendapatkan saturasi oksigen yang bervariasi, tetapi pH
dan pCO2 normal kecuali pada kondisi tetspell. Oksimetri
berguna pada pasien kulithitam atau pasien anemia yang
tingkat sianotiknya tidak jelas. Sianosis tidak akan tampak
kecuali bila hemoglobin tereduksi mencapai 5 mg/dL.
Penurunan resistensivaskular sistemik selama aktivitas,
mandi, maupun demam akan mencetuskanpirau kanan ke
kiri dan menyebabkan hipoksemia (Ruslie H.R., 2013).
b. Radiologis
Pemeriksaan foto rontgen thorax dapat menemukan
gambaran jantung berbentuk sepatu (boot-shaped heart/
couer-en-sabot) dan penurunan vaskularisasi paru karena
berkurangnya aliran darah yang menuju ke paru akibat
penyempitan katup pulmonal paru (stenosis
pulmonal).Segmen pulmonal yang cekung.Apeks jantung
terangkat (hipertrofi ventrikel kanan) (Ruslie H.R., 2013).
c. MRI
MRI dapat mengukur volume ventrikel kanan dan kiri,
menilai jalur aliran darah ventrikel kanan, arteri pulmonal,
aorta, defek septum ventrikel. MRI juga dapat menilai
stenosis cabang arteri pulmonal yang berkontribusi dalam
menyebabkan insufi siensi pulmonal dan kolateral
aortopulmonal yang dapat menyebabkan overload volume
ventrikel kiri. Hal ini sering dijumpai pada pasien yang
disertai atresia pulmonal (Ruslie H.R., 2013).
d. Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menemukan
deviasi aksis ke kanan (+120 - +150), hipertrofi ventrikel
kanan atau kedua ventrikel, maupun hipertrofi atrium
kanan.Kekuatan ventrikel kanan yang menonjol terlihat
dengan gelombang R besar di sadapan prekordial anterior
dan gelombang S besar di sadapan prekordial
lateralis.Deviasi QRS ke kanan (Ruslie H.R., 2013).

Gambar Hasil EKG


e. Ekokardiografi
Ekokardiogram sangat membantu mengonfirmasi
diagnosis dan mengevaluasibeberapa masalah yang terkait
dengan ToF. Pembesaran ventrikel kanan, defek septum
ventrikel, overriding aorta, dan obstruksi saluran ventrikel
kanan dapat ditampilkan secara jelas; dapat ditunjukkan
shunting yang melewati VSD dan peningkatan kecepatan
aliran Doppler yang melewati ventrikel kanan. Ukuran
cabang utama arteri pulmonalis dan proksimal serta setiap
aliran darah tambahan lain menuju ke paru dapat
dievaluasi, tetapi arteri pulmonalis bagian distal tidak dapat
dengan mudah dilihat oleh ekokardiogram (Ruslie H.R.,
2013).
f. Angiografi
Angiografi merupakan bagian integral dari kateterisasi
jantung. Angiografi paru juga harus dilakukan untuk
mengetahui ukuran arteri pulmonalis utama dan cabang
serta untuk menyingkirkan kemungkinan adanya stenosis
cabang arteri pulmonal. Angiografi aorta juga diperlukan
untuk memvisualisasikan anatomi arteri koroner, terutama
untuk menyingkirkan adanya arteri koroner melintasi
infundibulum ventrikel kanan (Ruslie H.R., 2013).
g. Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk
mengetahui defek septum ventrikel multiple, mendeteksi
kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal
perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen,
peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan
pulmonalis normal atau rendah. (Reni Prima Gusty, 2012)

2.1.9. Penatalaksanaan
TERAPI DAN TINDAKAN YANG DIPERLUKAN
Bayi dengan riwayat spel hipoksia
Penatalaksanaan Spels Hipoksik pada TOF adalah
memutuskan rantai sirkulasi vitiosus dengan satu atau lebih
tindakan dibawah ini.
1. Bayi harus dipegang atau digendong orangtuanya dan
ditenangkan. Buat bayi dalam posisi knee chest potition
disertai dengan atau tanpa lengan bawah dibelakang
lutut, dan pegang bayi sambal menekuk kaki bayi
sehingga menahan darah vena sisstemik kembali ke
jantung dan menjaga bayi tenang. Posisi ini juga
meningkatkan sistemik vascular resistance (SVR). Pada
beberapa anak yang agitasi keadaan ini cenderung
memperjelek situasi dan merepotkan serta menambah
iritabilitas. Posisi lain yang juga efektif adalah dengan
menempatkan bayi atau anak diatas bahu orang tuanya
dengan lutut ditekuk serta orang lain memberikan
oksigen. Hindarkan agitasi iatrogenic seperti
pemeriksaan yang berlebihan dan vena pungsi.
2. Berikan morfin sulfat dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg secara
subcutan atau intravena yang bertujuan untuk menekan
sentra pernafasan dan mengurangi hyperpnea, juga
menurunkan tonus simpatetik dan menurunkan
konsumsi oksigen
3. Berikan oksigen untuk meningkatkan saturasi darah
arterial
4. Koreksiasi dosis dengan pemberian NaHCO3 1-2
mEq/kgBB secara IV. Dosis yang sama dapat diulangi
10-15 menit kemudian. NaCHO3 mengurangi respiratory
center stimulating effect acidocis. Dengan pengobatan
sebelumnya bayi biasanya akan berkurang sianosisnya,
dan bising jantung akan terdengar yang menandakan
meningkatnya alirand arah ke paru melalui RV outflow
tract yang stenotik. Jika keadaan diatas tidak member
respons yang baik, obat-obatan dibawah ini dapat
dicoba.
5. Vasokonstriksi lain seperti Fenilefrin (neo synephrine
yang akan meningkatkan SVR dapat diberikan dengan
dengan dosis 0,02 mg/kg BB secara IV.
6. Ketamin dengan dosis 1-3 mg/kg BB secara IV (rata-rata
2 mg/kg BB) dapat diberikan dalam waktu 60 detik. Obat
ini akan menambah SVR dan dapat memberikan efek
sedasi bayi.
7. Propanolol dengan dosis 0,01 mg 0,25 mg /kg BB
berikan secara intravena pelan-pelan selama 5 menit,
akan mengurangi denyut jantung dan mengurangi
spasme infundibulum serta mengatasi spel. Propranolol
tidak dianjurkan bila direncanakan open heart surgery.
Beta blocker lain yang dapat diberikan adalah Esmolol
(Breviblock) dengan dosis loading 500 ug/kg dalam 1
menit kemudian infuse dengan diagnosis 50-950
ug/kg/menit (dimulai dengan dosis 25-50 ug/kg/menit
dan dititrasi)
8. Propanolol oral dengan dosis 2-6 mg/kg BB/hari dalam
3-4 kali pemberian dapat diberikan untuk mencegah
berulannya spells hipoksik dan memperlambat prosedur
koreksi bedah pada kasus dengan resiko tinggi.
Bila spel hipoksia tak teratasi dengan pemberian
propanolo dan keadaan semakin memburuk, maka harus
secepatnya dilakukan operasi. Bila usia kurang dari 6 bulan
dilakukan operasi paliatif Blalock Taussig Shunt (BTS).
Sementara menunggu bayi lebih besar atau keadaan
umumnya lebih baik untuk operasi definitive (koreksi total).
Tetapi bila usia sudah lebih dari 6 bulan dapat langsung
dilakukan operasi koreksi total (penutupan lubang VSD dan
pembesaran alur keluar ventrikel kanan yang sempit)
Bila spel berhasil diatasi dengan propranolol dan
kondisi bayi cukup baik untuk menunggu, maka operasi
koreksi total dilakukan pada usia sekitar 1 tahun.
Bayi tanpa riwayat spel hipoksia
Bila tak ada riwayat spel hipoksia, umumnya operasi
koreksi total dilakukan pada usia sekitar 1 tahun.
Sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan sadap jantung
untuk menilai kondisi kedua arteri pulmonalis.
Syarat operasi koreksi total ialah:
Ukuran arteri pulmonalis kanan dan kiri cukup besar dan
memenuhi kriteria yang disesuaikan dengan berat
badan.
Ukuran dan fungsi ventrikel kiri harus baik agar mampu
menampung aliran darah dan memompanya setelah
terkoreksi.
Bila syarat di atas tidak terpenuhi maka harus
dilakukan operasi BTS dulu dengan tujuan memperbesar
diameter arteri pumonalis atau memperbaiki ventrikel kiri.
Anakusia 1 tahun
Pada anak usia sekitar atau lebih dari 1 tahun,
secepatnya dilakukan pemeriksaan sadap jantung untuk
menilai diameter arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya.
Bila ternyata ukuran arteri pulmonalis kecil maka harus
dilakukan operasi BTS dahulu.
Bayi atau anak yang telah menjalani BTS
Ukuran arteri pulmonalis harus dievaluasi sekitar 6-
12 bulan post BTS. Untuk ini dilakukan pemeriksaan sadap
jantung dan angiografi a. pulmonalis dengan cara
menyuntikan kontras di saluran BTS. Bila pertumbuhan
arteri pulmonalis cukup adekwat maka operasi koreksi total
dapat dilakukan. Bila belum maka dievaluasi 6 bulan lagi
atau dipertimbangkan memasang BTS lain di sisikontra.
(Rahayuningsih, Sri Endah. 2009)

OPERASI PALIATIF DAN KOREKTIF


Dapat dilakukan dua jenis operasi yakni operasi paliatif
dan operasi korektif. Operasi paliatif adalah dengan membuat
sambungan antara aorta dengan arteri pulmonal. Bentuk
operasi paliatif yang sering dikerjakan pada penyakit jantung
bawaan antara lain :
Banding arteri pulmonalis. Prosedur ini dilakukan dengan
memasang jerat pita dakron untuk memperkecil diameter
arteri pulmonalis. Banding arteri pulmonalis dilakukan pada
kasus dengan aliran pulmonal yang berlebihan akibat pirau
dari kiri kekanan di dalam jantung seperti pada defek
septum ventrikel besar, ventrikel kanan jalan keluar ganda
tanpa stenosis pulmonal, defek septum atrioventrikular,
transposisi arteri besar, dan lain-lain.
Pirau antara sirkulasi sistemik dengan pulmonal. Prosedur
ini dilakukan pada kelainan dengan aliran darah paru yang
sangat berkurang sehingga saturasi oksigen rendah, anak
menjadi biru dan sering disertai asidosis. Jenis-jenis
operasi pirau antara lain:
a. Blalock-Taussigklasik,
yaitumembebaskanarterisubklaviadanmenyambungkan
nyakearteripulmonaliskiriataukanan,
b. Modifikasi Blalock-Taussig, memasangpipaGore-Tex
antaraarterisubklaviadenganarteripulmonaliskananatau
kiri,
c. Pirausentral, membuathubunganantara aorta
denganarteripulmonalis (Waterson, Potts, denganGore-
Tex)
d. Pirauantara vena kava superior denganarteripulmonalis
(Glenn shuntataubidirectional cavo-pulmonary shunt).
Septostomi atrium. Prosedur ini dilakukan pada bayi sampai
usia 3 bulan, yakni dengan kateter balon melalui vena
femoralis. Tindakan ini dapat dilakukan di ruang perawatan
intensif dengan bimbingan ekokardiografi, atau dapat juga
dikerjakan di ruangan kateterisasi jantung. Pada anak yang
lebih besar, tindakan ini dilakukan menurut metode Blalock-
Hanlon. Septostomi atrium dilakukan pada transposisi arteri
besar untuk menambah percampuran darah, pada anomaly
parsial drainase v. pulmonalis untuk mengurangi bendungan
v. pulmonalis, dan pada atresia tricuspid untuk mengurangi
bendungan vena sistemik. (Mulyadi M. Djer,
BambangMadiyono. 2000)
Kemajuan yang pesat dalam pembedahan
memungkinkan dilakukannya tindakan korektif pada
penyakit jantung bawaan. Tindakan pembedahan korektif ini
terutama dilakukan setelah ditemukan rancang-bangun
oksigenator yang aman, khususnya pada bayi kecil. Metode
yang banyak dipakai adalah hentisirkulasi, sehingga
lapangan operasi menjadi bersih dari genangan darah dan
tidak terganggu oleh kanula vena. Ada beberapa kelainan
jantung bawaan yang memerlukan pembedahan korektif
pada usia neonates misalnya anomali total drainase vena
pulmonalis dengan obstruksi, transposisi tanpa defek
septum ventrikel, trunkus arteriosus dengan gagal jantung.
Sebagian lagi pembedahan dapat ditunda sampai usia lebih
besar, atau memerlukan operasi paliatif untuk menunggu
saat yang tepat untuk koreksi. (Nasution, Akhyar H. 2008)

2.1.10. Pencegahan
Langkah pencegahan untuk penyakit jantung
kongenital ini sebenarnya tidak diketahui tetapi langkah untuk
berjaga-jaga bisa diambil untuk mengurangi risiko mendapat
bayi yang mengidap masalah jantung, yaitu:
Sebelum mengandung seseorang wanita itu perlu
memastikan ia telah mendapatkan imunisasi rubella.
Jangan merokok, minum alkohol, dan menyalahgunakan
obat-obatan.
Ibu-ibu yang mengalami penyakit kronik seperti Diabetes,
Fenilketonuria (PKU), epilepsi dan kecacatan jantung perlu
mengunjungi dokter sebelum hamil.
Memeriksakan diri secara rutin pada masa kehamilan.
Tetralogy of Fallot dapat terlihat selama prosedur USG atau
dapat dipastikan dengan pemeriksaan diagnostic yang lain
seperti Echocardiogram.
Memperhatikan nutrisi yang adekuat terhadap janin selama
masa kehamilan serta mengurangi faktor-faktor risiko yang
lain.
Persatuan Jantung Amerika (AHA) mencadangkan
pemberian antibiotik pencegahan (prophylaxis) kepada anak-
anak yang menghidap endokarditis bakterialis apabila mereka
menjalani:
Pembedahan tonsil dan adenoid.
Pembedahan gastrointestinal, saluran reproduksi dan
saluran kemih.
Ampicillin 50mg/kg (maksimal 2 g) bersama gentamicin 2 mg
(maksimal 80 mg) diberi 30 menit sebelum dilakukan
prosedur berkenaan. Dan hendaknya diulang 6 jam
kemudian bagi kedua obat tersebut. Obat ulangan itu boleh
diganti dengan Amoxicillin 25 mg (maksimal 1.5 g) bagi
penderita dengan resiko rendah (mayoclinik.com).
Menurut Judarwanto, 2012 dalam artikelnya yang dikutip
dari Kompas.com menyebutkan Penyakit Jantung Bawaan
(PJB) dapat dicegah dengan cara :
a) Pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan saat kehamilan
yang rutin sangat diperlukan. Dengan control kehamilan
yang terastur, maka PJB dapat dihindari atau dikenali
secara dini
b) Kenali factor risiko pada ibu hamil (usia ibu di atas 40
tahun,ada riwayat dalam keluarga, kelainan genetic)
c) Pemeriksaan antenatal juga dapat mendeteksi adanya PJB
pada janin dengan ultrasonografi (USG). Umumnya PJB
dapat dideteksi pada saat USG dilakukan pada paruh kedua
kehamilan lebih dari 20 minggu. Apabila terdapat
kecurigaan adanya kelainan jantung pada janin, maka
penting untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan
ekokardiografi. Dengan pemeriksaan ini, gambaran jantung
dapat dilihat dengan teliti.
d) Tidak mengkonsumsi obat-obat tertentu saat kehamilan
e) Melakukan Skrining sebelum merencanakan kehamilan.
Skrining ini juga dikenal dengan skrining TORCH
(Toksoplasma, Rubela, SitoMegalovirus, dan Herpes).
Skrining TORCH ini rutin dilakukan oleh ibu-ibu hamil di
Negara maju, namun di Indonesia skrining ini jarang
dilakukan.
f) Hindari paparan asap rokok baik aktif maupun pasif dari
suami atau anggota keluarga di sekitarnya.
g) Hindari paparan sinar X atau radiasi dari foto rontgen
berulang pada masa kehamilan
h) Hindari polusi asap kendaraan dengan menggunakan
masker pelindung agar tidak terhisap zat-zat racun dari
karbondioksida (Judarwanto, 2012).

2.1.11.Komplikasi
Abses serebri
ToF yang tidak dioperasi merupakan faktor predisposisi
penting abses serebri. Kejadian abses serebri berkisar antara
5-18,7% pada penderita ToF, sering pada anak di atas usia 2
tahun.8 Beberapa patogen penyebabnya antara lain
Streptococcus milleri, Staphylococcus, dan Haemophilus. ToF
bisa menyebabkan abses serebri karena hipoksia, polisitemia,
dan hiperviskositas. Dampaknya adalah terganggunya
mikrosirkulasi dan menyebabkan terbentuk
mikrotrombus,ensefalomalasia fokal, serta terganggunya
permeabilitas sawar darah otak. Meningitis terjadi pada 20%
anak ToF dan septikemia terjadi pada 23% anak ToF.
Umumnya abses hanya tunggal, bisa ditemukan abses multipel
walaupun jarang. Lokasi tersering di regio parietal (55%), lokasi
lain yang sering adalah regio frontal dan temporal. Abses
multipel terutama ditemukan pada anak luluh imun
(immunocompromised) dan endokarditis.
Pada abses serebri terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak spesifik, seperti nyeri kepala, letargi, dan
perubahan tingkat kesadaran. Demam jarang ditemukan.
Sering muncul muntah dan kejang pada saat awal terjadinya
abses serebri. Makin banyak terbentuk abses, nyeri kepala dan
letargi akan makin menonjol. Defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan penglihatan juga
dapat muncul. Tanda lain defi sit neurologis adalah
papiledema, kelumpuhan nervus III dan VI menyebabkan
diplopia, apoptosis, hemiparesis. Perubahan tanda vital yang
dapat terjadi adalah hipertensi, bradikardi, dan kesulitan
bernapas. Ruptur abses dapat terjadi, ditandai dengan
perburukan semua gejala. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan darah tepi menemukan leukositosis dan LED
meningkat. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan CT-scan
kepala atau MRI.
Gagal Jantung
Gagal jantung sering ditemukan pada penderita ToF
yang tidak menjalani terapi bedah. Umumnya terjadi pada
penderita ToF usia dewasa, juga sering ditemukan pada usia
remaja. Penyebab gagal jantung multifaktorial, biasanya
bergantung pada besarnya pirau antara aorta dan arteri
pulmonalis. Gagal jantung juga dapat disebabkan oleh terapi
bedah yang tidak tuntas atau kurang tepat. Beberapa hal yang
sering menyebabkan gagal jantung akibat terapi bedah adalah
kerusakan septum ventrikal yang masih tersisa, kerusakan
pirau antara aorta dan arteri pulmonalis, tidak berfungsinya
ventrikel kanan, gangguan otot septum ventrikel, regurgitasi
katup pulmonal dan trikuspid, hipertensi arteri pulmonalis,
kerusakan ventrikel kiri karena terganggunya aliran darah
koroner, heart block, dan regurgitasi katup aorta. Gagal jantung
pada penderita ToF berkaitan erat dengan disfungsi miokard.
Miokard yang terkena tidak hanya di ventrikel kanan, namun
dapat pula diventrikel kiri akibat hipoksia yang berlangsung
lama. Selain itu gagal jantung bisa akibat polisitemia berat
menyebabkan trombo-emboli, oklusi koroner, berakibat iskemi
atau infark miokard yang dapat mencetuskan gagal jantung.
Hipoksia berat menyebabkan disfungsi miokard berat. Kondisi
yang sering menyertai terjadinya gagal jantung adalah anemia
dan endokarditis bakterial. Pada kondisi anemia yang berat,
gejala gagal jantung semakin terlihat.
Endokarditis
Kejadian endokarditis paling sering ditemukan pada ToF
di antara semua penyakit jantung bawaan sianotik. Penyebab
tersering adalah streptokokus. Beberapa hal dapat berkaitan
dengan terjadinya endokarditis pada ToF. Faktor pertama yang
penting adalah struktur abnormal jantung atau pembuluh darah
dengan perbedaan tekanan atau turbulensi bermakna yang
menyebabkan kerusakan endotel, yaitu mikrolesi pada
endokardium, dan pembentukan platelet, fi brin, trombus.
Faktor kedua adalah bakteremia. Bakteremia dapat terjadi
karena mikroorganisme di dalam darah menempel pada
mikrolesi sehingga menimbulkan proses peradangan selaput
endokardium. Gejala klinis endokarditis bervariasi. Demam
pada endokarditis biasanya tidak terlalu tinggi dan lebih dari
satu minggu. Anoreksia, malaise, artralgia, nyeri dada, gagal
jantung, splenomegali, petekie, nodul Osler, Roth spot, lesi
Janeway, dan splinter hemorrhage dapat dijumpai. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan kultur darah yang positif atau terdapat
vegetasi pada ekokardiografi .
Polisitemia dan Sindrom Hiperviskositas
Polisitemia pada ToF terjadi akibat hipoksemi kronik
karena pirau kanan ke kiri. Hal ini merupakan respons fi
siologis tubuh untuk meningkatkan kemampuan membawa
oksigen dengan cara menstimulasi sumsum tulang melalui
pelepasan eritropoetin ginjal guna meningkatkan produksi
jumlah sel darah merah (eritrositosis). Awalnya, polisitemia
menguntungkan penderita ToF, namun bila hematokrit makin
tinggi, viskositas darah akan meningkat yang dapat
mengakibatkan perfusi oksigen berkurang sehingga
pengangkutan total oksigen pun berkurang, akibatnya dapat
meningkatkan risiko venooklusi. Gejala hiperviskositas akan
muncul jika kadar hematokrit 65% berupa nyeri kepala, nyeri
sendi, nyeri dada, iritabel, anoreksia, dan dispnea. (Darmadi &
Rusli, 2013)
Komplikasi lain yang dapat terjadi akibat penyakit
tetralogi fallot adalah sebagai berikut: (Staf IKA, 2000)
1. Trombosis pulmonal
2. CVA trombosis
3. Abses otak
4. Perdarahan
5. Anemia relatif
Komplikasi lain menurut yayan (2010) yang dapat terjadi
pada penderita tetralogi Fallot antara lain :
- Infark serebral (umur < 2 tahun)
- Abses serebral (umur > 2 tahun)
- Polisitemia
- Anemia defisiensi Fe relatif (Ht < 55%)
- SBE
- DC kanan jarang
- Perdarahan oleh karena trombositopenia
Secara keseluruhan, pasien yang menjalani bedah
perbaikan untuk TOF memiliki prognosis yang sangat baik
dengan 20 tahun tingkat kelangsungan hidup lebih dari 90%.
Chronic heart failure bagi yang baru lahir
Endokarditis infektif
CVA ( cerebral vascular accident ) disebabkan oleh
trombosis akibat pernambahan viskositi darah atau hipoksia
yang teruk
Abses otak
Komplikasi bedah perbaikan TOF, antara lain :
Aritmia terutama takikardia ventrikel (VT)
Aritmia atrium
Hipertrofi ventrikel atau pembesaran karena stenosis
pulmonal residu dan aliran darah mundur ke ventrikel kanan
Komplikasi jangka panjang termasuk kebutuhan untuk
operasi tambahan, keterlambatan perkembangan saraf dan
fibrosis miokard. Pasien harus diikuti oleh ahli jantung anak
untuk memantau komplikasi jangka pendek dan jangka
panjang.
Komplikasi Post Operasi
Prosedur Pemasangan Shunt :
Perdarahan
Pneumothorax
Shunt yang >> Pulmonary blood flow meningkat
Pulmonary Edema inadequate systemic blood flow.
Shunt yang << perbaikan oksigenasi sedikit.
Trombosis pada shunt.
PA hypoplasia.
Koreksi Total
Komplikasi Segera :
Low output state
Obstruksi residual RVOT
Koagulopati
Heart Block
Gagal Ginjal
Trauma Neavus Phrenicus
Stroke
Infeksi
Komplikasi Lambat :
Obstruksi RVOT
Aneurysma RVOT
Disritmia dan Sudden Death
Insufisiensi Valvular (Nasution, Akhyar H., 2008).
2.2. Ventricular Septal Defect (VSD)
2.2.1. Definisi

Defek Septum Ventrikel atau VSD (ventricular septal


defect) adalah kelainan jantung bawaan berupa tidak
terbentuknya septum antara ventrikel jantung kiri dan kanan
sehingga antara keduanya terdapat lubang (tunggal atau
multiple) yang saling menghubungkan. Defek ini bisa muncul
sebagai kelainan tunggal (berdiri sendri) atau muncul bersama
dengan malformasi kongenital kardial lainnya, misalnya
stenosis pulmonal, duktus arteriosus persisten, koarktasio
aorta, tetralogi Fallot, transposisi arteri-arteri besar, atresia
pulmonal, dan lain-lain (Wahab, A. Samik; 2009).
Defek septum ventrikel adalah adanya lubang abnormal
antara ventrikel kanan dan kiri yang terjadi ketika dinding
antara kedua ventrikel gagal menutup secara sempurna selama
masa gestasi. Defek ini adalah defek kongenital jantung yang
paling sering terjadi. Ukuran defek menentukan keparahan
gejala (Corwin, E.J., 2009).
VSD merupakan salah satu kelainan yang paling sering
ditemukan pada penyakit jantung kongenital. Defisiensi di
dalam dinding di antara kedua ventrikel. Defek septum ventrikel
dapat ditemukan dengan ukuran dan lokasi yang bervariasi di
sepanjang permukaan septum, dan masing-masing
menghasilkan bising yang khas (Schwartz, M. William; 2004).
VSD (Ventricular Septal Defect), merupakan bentuk
CHD yang paling banyak ditemukan, merupakan lubang
abnormal antara ventrikel kiri dan kanan. (Muscari, 2005).
Defek Septum Ventrikel (VSD) merupakan salah satu
jenis penyakit jantung bawaan (PJB) yang ditandai adanya
defek pada septum ventrikel. (Rahayuningsih, 2011).
Pada ventricular SeptalDevect (VSD) atau defek septum
ventrikel yang ,erupakan gangguan jantung konginetal asianotik
yang paling sering ditemukan, keberadaan lubang pada septum
yang memisahkan kedua ventrikel memungkinkan adanya
pemintasan aliran darah antara ventrikel kiri dan kanan.
Keadaan ini mengakibatkan pemompaan jantung tidak efektif
dan pembesaran risiko gagal jantung (Kowalak, et. al., 2010)

2.2.2. Etiologi
Penyebab VSD adalah pada perkembangan Embrio
maka gabungan ventrikuler dan membranous terjadi saat
kehamilan umur 4 8 minggu. Perkembangan septum
muskular terjadi saat ventrikel kanan dan kiri membentuk
sumbu (fuse) sedangkan septum membranous terjadi akibat
pertumbuhan dari endocardial ciushius. Selama proses
pembentukan sekat ini dapat terjadi defek kongenital akibat
gangguan pembentukan ini.
VSD terjadi karena kegagalan penyatuan atau kurang
berkembangnya komponen atau bagian dari septum
interventricularis jantung (terutama pars membranacea).
Perkembangan ini terjadi pada hari ke-24 sampai ke-28 masa
kehamilan. Kegagalan gen NKX2.5 dapat menyebabkan
penyakit ini. Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-
obatan terlarang telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang
paling mungkin pada VSD.
Pada kebanyakan anak, penyebab VSD tidak diketahui.
Beberapa anak memiliki cacat jantung lainnya bersama dengan
VSD (American Heart Association,2009). Kebanyakan VSD
adalah jenis cacat jantung bawaan, yang berarti mereka hadir
pada saat lahir. Tidak jelas mengapa VSD berkembang, tetapi
genetika mungkin memainkan peran. Meskipun jarang,
beberapa VSD dapat terjadi setelah serangan jantung atau
trauma(Mccoy, 2013).
Beberapa teori etiologi antara lain :
1. Kromosomal : adanya beberapa kelainan kromosomdan
sindrom tertentu yang mencangkup VSD.Yaitu :
a. Sindrom Holt-Oram
b. Sindrom down (Trisomi 21)
c. Trisomi 13
d. Trisomi 18
2. Familial : sekitar 3 % anak dengan orang tua VSD juga
menderita VSD.
3. Geografis : populasi di Asia (jepang dan Cina mempunyai
insiden defek pulmonal lebih sering)
4. Lingkungan
Lebih dari 90% kasus penyakit jantung bawaan
penyebabnya adalah multi factor. Ada beberapa faktor yang
diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian
penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu :
Faktor prenatal (faktor eksogen)
Ibu menderita penyakit infeksi : Rubela
Ibu alkoholisme
Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
Ibu meminum obat-obatan penenang
Faktor genetic (faktor endogen)
Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ayah/ibu menderita PJB
Kelainan kromosom misalnya sindrom down
Lahir dengan kelainan bawaan yang lain
Kelainan ini merupakan kelainan terbanyak, yaitu sekitar
25% dari seluruh kelainan jantung. Dinding pemisah antara
kedua ventrikel tidak tertutup sempurna. Kelainan ini umumnya
congenital, tetapi dapat pula terjadi karena trauma. Kelainan
VSD ini sering bersama-sama dengan kelainan lain misalnya
trunkus arteriosus, Tetralogi Fallot. (Wahab, 2009)

2.2.3. Epidemiologi
Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan gangguan
jantung congenital asianotik yang paling sering ditemukan. Tiga
Puluh persen (30%) seluruh defek jantung congenital
merupakan VSD (Kowalak, 2011). Dari 82 pasien terdapat 43
laki-laki dan 39 perempuan. PJB yang paling sering adalah
Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu sebanyak 29% (Rahmi,
2010). Menurut penilitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam
Malik dari 43 pasien dengan sindrom down sebanyak 46,5 %
menderita penyakit jantung congenital dan prevalensi penyakit
jantung congenital yang paling sering terjadi adalah ventricular
septal defect yaitu 40% (Hurairah, 2011).
Defek septum ventrikel adalah kelainan jantung
kongenital yang paling sering ditemukan, yaitu:
1. 20-30% dari seluruh kasus kelainan jantung bawaan.
2. 1,5-3,5, dari kelahiran hidup.
3. Frekuensi pada wanita 56%, sedangkan laki-laki 44%.
4. Sering dijumpai padan sindrom down.
5. Kelainan tunggal dan kelainan jantung kongenital yang
muncul bersama dengan VSD adalah 50% dari seluruh
kasus kelahiran jantung kongenital.
6. Insiden tertinggi pada prematur dengan kejadian 2-3 kali
lebih sering. (Wahab, Samik, 2006)
VSD mempengaruhi 2-7% dari kelahiran hidup. Daerah
tempat tinggal pasien dapat mempengaruhi prevalensi VSD
yang diketahui. Sebuah studi ekokardigrafi mengungkapkan
tingginya insiden 5-50 setiap 1000 bayi baru lahir. VSD adalah
lesi yang paling umum pada beberapa sindrom kromosom,
termasuk trsomi 13, trisomi 18, trisomi 21 dan sindrom relatif
jarang. Bagiamanapun, lebih dari 95% dari pasien dengan
VSD, kecacatan tidak berhubungan dengan kelainan
kromosom.
VSD sedikit lebih umum pada pasien wanita
dibandingkan pada pasien laki-laki (56%, 44%). Laporan tidak
dapat disimpulkan mengenai perbedaan ras dalam distribusi
VSD. Namun, dua kali lipat terjadi pada populasi Asia, ini
merupakan 5% dari kecacatan Amerika Serikat tetapi 30% dari
mereka dilaporkan di Jepang (Ramaswary, 2013).
Dari semua kelahiran prevalensi CHD yaitu 26,6% dan
CHD yang paling sering ditemui yaitu Ventricular Septal Defect
(VSD,17,3 %) . Pada perempuan lebih dominan ditemui pada
CHD ringan (VSD, dan ASD) sedangkan pada laki laki lebih
sering dijumpai CHD berat (Zhao QM, Ma XJ, 2013)

2.2.4. Klasifikasi
Ventikel Septum Defek (VSD) di klasifikasikan menjadi
beberapa tipe, yaitu :
1. Defek Septum Ventrikel Perimembranus
Perimembranous (tipe paling sering, 60%) bila lubang
terletak di daerah pars membranaceae septum
interventricularis . Defek pada jaringan membranus disebut
sebagai defek septum ventrikel tipe membranus. Sering
defek ini melebar sampa jaringan muskuler sekitarnya. Oleh
karena itu banyak yang menyebutkan defek septum tipe peri
membranus. Dan karena letaknya di bagian superior
septum, kadang-kadang dikenal pula sebagai defek septum
ventrikel tipe tinggi.
2. Defek Septum Ventrikel Muskuler
Muskuler, bial lubang terletak di daerah septum muskularis
interventrikularis . Defek septum ventirkel tipe muskuler
sangat jarang terjadi. Kadang-kadang defek ini disebut
sebagai defek septum ventrikel tipe rendah (low ventricular
septal defect).Sesuai dengan lokasinya, ada defek septum
ventrikel tipe muskuler pada inlet (posterior), pada trabekel
(bagian sentral, atau apical) dan pada outlet (infundibuler).
Suatu defek multiple di bagian apical dikenal pula sebagai
defek septum ventrikel tipe swiss cheese.
3. Defek Septum Ventrikel Subarterial
Subarterial doubly commited, bial lubang terletak di daerah
septum infundibuler dan sebagian dari batas defek dibentuk
oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup pulmonal .
Defek ini sebenarnya termasuk tipe muskuler dan terdiri dari
defek subpulmonal (yang beradapersis di bawah katup
pulmonal) dan doubly committed subarterial (yang terletak
di bawah jaringan fibrus antara katup aorta dan katup
pulmonal)
Berdasarkan letaknya terhadap Krista Supraventrikuler
(lebih tepat disebut sebagai trabekel septomarginal). Defek
septum ventrikel tipe subpulmonal dan doubly committed
subarterial kadang-kadang dinamakan pula defek suprakista.
Dan defek septum ventrikel tipe perimembranus subaortik dan
subtrikuspid disebut defek infrakista.
Menurut ukurannya VSD dapat dibagi menjadi:
a. VSD kecil
Biasanya asimptomatik
Defek kecil 1-5 mm
Tidak ada gangguan tumbuh kembang
Bunyi jantung normal, kadang ditemukan bising
peristaltic yang menjalar ke seluruh tubuh pericardium
dan berakhir pada waktu distolik karena terjadi
penutupan VSD
EKG dalam batas normal atau terdapat sedikit
peningkatan aktivitas ventrikel kiri
Radiology: ukuran jantung normal, vaskularisasi paru
normal atau sedikit meningkat
Menutup secara spontan pada umur 3 tahun
Tidak diperlukan kateterisasi
b. VSD sedang
Sering terjadi symptom pada bayi
Sesak napas pada waktu aktivitas terutama waktu
minum, memerlukan waktu lebih lama untuk makan dan
minum, sering tidak mampu menghabiskan makanan
dan minumannya
Defek 5- 10 mm
BB sukar naik sehingga tumbuh kembang terganggu
Mudah menderita infeksi biasanya memerlukan waktu
lama untuk sembuh tetapi umumnya responsive
terhadap pengobatan
Takipneu
Retraksi bentuk dada normal
EKG: terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri
maupun kanan, tetapi kiri lebih meningkat. Radiology:
terdapat pembesaran jantung derajat sedang, conus
pulmonalis menonjol, peningkatan vaskularisasi paru
dan pemebsaran pembuluh darah di hilus.
c. VSD besar
Sering timbul gejala pada masa neonatus.
Dispneu meningkat setelah terjadi peningkatan pirau kiri
ke kanan dalam minggu pertama setelah lahir.
Pada minggu ke2 atau 3 simptom mulai timbul akan
tetapi gagal jantung biasanya baru timbul setelah
minggu ke 6 dan sering didahului infeksi saluran nafas
bagian bawah.
Bayi tampak sesak nafas pada saat istirahat, kadang
tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat
gangguan pernafasan.
Gangguan tumbuh kembang.
EKG terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kanan dan
kiri.
Radiology: pembesaran jantung nyata dengan conus
pulmonalis yang tampak menonjol pembuluh darah hilus
membesar dan peningkatan vaskularisasi paru perifer.
(Harimurti, G.M. 2007)

Diagnosis Defek Septum Ventrikel dapat dibedakan menjadi :


1. VSD kecil
Defek berdiameter sekitar <0,5 cm2, tekanan sistolik
ventrikel kanan <35 mmHg dan rasio aliran darah pulmonal
dengan sistemik <1,75 terdapat suara murmur pansistolik di
sekitar sela iga 3-4 kiri sternum pada waktu pemeriksaan
fisik. Semakin kecil ukuran defek septum ventrikel, maka
murmur pansistolik terdengar makin keras dan murmur ini
dikenal dengan murmur Roger. Bunyi jantung ke-1 dan ke-2
normal. Ukuran jantung pun relative masih normal pada
pemeriksaan elektrokardiografi dan fotothoraks.
Vaskularisasi parut tidak nyata meningkat. Pertumbuhan
anak normal walaupun ada kecenderungan terjadi infeksi
saluran pernafasan. Toleransi latihan normal, hanya pada
latihan yang lama dan berat pasien lebih cenderung lelah
dibandingkan dengan teman sebayanya . VSD kecil tidak
memerlukan tindakan bedah karena tidak menyebabkan
gangguan hemodinamik dan risiko opesi lebih besar
daripada risiko terjadinya endocarditis. Anak dengan VSD
kecil mempunyai prognosis baik dan dapat hidup normal.
Tidak diperlukan pengobatan. Bahaya yang mungkin timbul
adalah endocarditis infektif. Operasi penutupan dapat
dilakukan bila dikehendaki oleh orang tua. Pasien dengan
VSD kecil diperlakukan seperti anak normal dengan
pengecualian bahwa kepada pasien harus diberikan
pencegahan terhadap endocarditis.
2. VSD Moderat (Sedang)
Pada defek ini, diameter defek biasanya 0,5-1,0 cm2,
dengan tekanan sistolik ventrikel kanan 36-80 mmHg (lebih
kurang separuh tekanan sistemik) dan rasio aliran darah
pulmonal dengan sistemik >3. Perjalan defek septum
ventrikel yang moderat ini sangat bervariasi. Anak akan
lebih mudah sesak nafas, aktivitas terbatas, mudah terkena
batuk pilek dan tumbuh kembang lebih lambat di
bandingkan dengan anak yang normal.
Pada pemeriksaan fisik terdengar intensitas bunyi
jantung ke-2 yang meningkat, murmur pansistolik di sela iga
3-4 kiri sternum dan murmur ejeksi sistolik pada daerah
katup pulmonal. Murmur pansistolik terdengar kasar dan
keras. Pada elektrokardiografi, pembesaran jantung bias
berupa hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi atrium kiri dan
ventrikel kiri atau hipertrofibiventrikuler, karena beban
volume berlebih. Terdapat hipertensi pulmonal yang
hiperkinetik, dengan resistensi pulmonal yang relative masih
normal. Dengan demikian, gambaran hipertrofi ventrikel
kanan yang disebabkan oleh beban tekanan berlebih
biasanya belum tampak pada elektrokardiografi.
Foto thoraks menunjukkan pembesaran relative ventrikel
kiri atau kanan, dengan pinggang jantung rata dan konus
pulmonal menonjol. Konus aorta tampak normal atau sedikit
agakkecil.Vaskularisasi parut tampak meningkat.
3. VSD Besar
Diameter VSD lebih dari setengah ostium aorta atau
lebih dari 1 cm2, dengan tekanan sistolik ventrikel kanan>
80 mmHg (atau menyamai tekanan sistemik). Curah
sekuncup jantung kanan sering kali lebih dari 2 kali
sekuncup jantung kiri. Aliran darah melalui pirau inter
ventrikuler tercampur tanpa hambatan, menyebabkan
berbagai keluhan sejak anak masih kecil. Gejala-gejala
gagal jantung bias menonjol sewaktu-waktu. Dan resistensi
pulmonal bias berkembang melebihi resistensi sistemik,
sehingga tampak sianosis karena pirau dari kanan ke kiri.
Pada pemeriksaan fisik ,intensitas bunyi jantung ke-2
terdengar meningkat, karena adanya hipertensi pulmonal.
Terdengar bunyi murmur pansistoik pada sela iga 3-4 kiri
sternum dan murmur ejeksi sistolik pada daerah pulmonal di
selaiga 2-3 kiri sternum, serta murmur mid-diastolik pada
mitral.(Wong, Donna L.2004)

2.2.5. Faktor Risiko


Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat
diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian
penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu :
A. Faktor prenatal (faktoreksogen)
Ibu menderita penyakit infeksi seperti Rubella atau
infeksi virus lainnya pada saat hamil
Ibu alkoholisme
Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
Ibumeminumobat-obatanpenenang
B. Faktor genetic (faktor endogen)
Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ayah/ibumenderita PJB
Kelainankromosommisalnyasindrom down
Lahir dengan kelainan bawaan yang lain

Pertumbuhan pada anak dengan PJB, khususnya VSD


juga dipengaruhi oleh faktor prenatal seperti berat badan lahir
rendah, kelainan kromosom, potensi genetik, kelainan bawaan
lainnya serta faktor-faktor intrauterin. Interaksi antara faktor-
faktor risiko, temasuk penyakit ibu saat kehamilan semester I,
kelainan kromosom, ayah perokok dan golongan suku (ras)
juga berpengaruh. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan
terjadinya Ventricular Septal Defect :
a. Faktor maternal
Faktor maternal diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan
memainkan peranan penting dalam mencapai kejar tumbuh
setelah dilakukan koreksi bedah, dimana anak ini tidak
pernah mencapai pertumbuhan yang normal. Dapat
disebabkan oleh:
Penyakit ibu
Termasuk infeksi (rubella, parotitis epidemika),
metabolik (diabetes mellitus, fenilketonuria, lupus
eritematosus sistemik).
Obat-obatan
Variasi macam obat, dosis dan saat pemberian
diduga mempunyai efek teratogenik. Dibagi beberapa
kelas yaitu kelas I(teratogen potensial/ mempunyai efek
kuat) adalah: alkohol, trimetadion, litium dan talidomid,
kelas II (diduga keras sebagai teratogen), adalah
dekstroamfetamin, hidantoin dan hormon wanita (estrogen
dan progesteron), di samping beberapa obat yang masih
perlu pembuktian yaitu tranquilizer (meprobamate,
diazepam), beberapa antibiotika (derivat penisilin,
sulfazolon, tetrasiklin), beberapa analgesik ringan
(aspirin).
Syarat teratogen dapat menyebabkan PJB (atau VSD)
yaitu:
Harus ada predisposisi genetik untuk bereaksi
abnormal sehingga terjadi gangguan perkembangan.
Terjadi pada waktu yang peka yaitu masa
perkembangan embryo (vulnerable)
Demografi.
o Usia ibu: angka kejadian PJB meningkat dengan
bertambahnya usia ibu.
o Paritas: risiko meningkat terutama pada kehamilan ke-
8.
o Berat badan dan prematuritas
o Risiko bayi prematur untuk mendapatkan PJB 2,5 kali
lebih besar daripada bayi normal.
Geografis.
o Ketinggian suatu tempat: bila selama kehamilan
trimester pertama tinggal di dataran tinggi (4500-5000
meter di atas permukaan laut) maka kelak bayinya
mempunyai risiko mendapat duktus arteriosus
persisten 30 kali lebih besar (hipoksia kronis yang
diderita ibu).
o Kepadatan penduduk: beberapa jenis PJB jelas
didapatkan dua kali lebih banyak di daerah urban
daripada rural.
o Maternal hyperthermia: demam berkepanjangan atau
pengaruh lingkungan dengan suhu tinggi pada
kehamilan trimester pertama bisa mengakibatkan PJB
pada bayinya.
Hubungan darah antara ayah dan ibu
b. Kelainan Kromosom
Defek jantung sering terjadi pada aneuploid, delesi,
dan duplikasi. Aneuploid adalah Kondisi dimana tidak semua
kromosom tampak pada jumlah yang sama dan oleh karena
itu jumlah total tidak sepenuhnya merupakan perkalian dari
kumpulan haploid. Hal ini terjadi apabila kromosom gagal
memisahkan diri selama meiosis, gamet mungkin
kekurangan sebuah kromosom atau bahkan memiliki
kromosom tambahan. Kelainan kromosom yang
mempengaruhi pertumbuhan berupa: trisomi, delesi, dan
translokasi dimana didapatkan adanya sindrom kelainan
jantung, berat lahir rendah serta pertumbuhan yang lambat.
Semuanya itu bertanggung jawab terhadap retardasi
pertumbuhan yang menetap setelah koreksi bedah
dilakukan.
Sindrom Down (Trisomi-21) defek septum
Sindrom Klinefelter (XXY) defek septum
c. Kelainan Gen Tunggal
Biasanya faktor transkripsi yang turut mengatur
perkembangan embrionik jantung, atau gen yang mengkode
protein struktural (Davey P., 2006).
Faktor genetik dinilai sebagai salah satu faktor untuk
berbagai keadaan normal organisme, termasuk pula
manusia. Oleh karena itu, perubahan pada faktor genetik
dapat mempengaruhi keadaan normal sehingga timbul
kelainan atau penyimpangan. Kelainan atau penyimpangan
yang dasarnya karena perubahan pada faktor genetik
tersebut digolongkan sebagai penyakit atau kelainan
genetik, yang mungkin akan muncul sebagai kelainan bentuk
(morfologi), fungsi (fisiologi) atau gabungan dari keduanya.
Faktor genetik dapat diturunkan melalui autosom dominan,
autosom resesif maupun aberasi kromosom. Faktor risiko
anak akan meningkat dengan ayah dan ibu menderita PJB
(Wishnuwarhana M., 2006).

2.2.6. Patofisiologi
(terlampir)

2.2.7. Manifestasi Klinis


Berdasarkan klasifikasi:
VSD kecil
Biasanya asimptomatik
Defek kecil 1-5 mm
Tidak ada gangguan tumbuh kembang
Bunyi jantung normal, kadang ditemukan bising
peristaltic yang menjalar ke seluruh tubuh pericardium
dan berakhir pada waktu distolik karena terjadi
penutupan VSD
Pada EKG dalam batas normal atau terdapat sedikit
peningkatan aktivitas ventrikel kiri
Pada radiologi ukuran jantung normal, vaskularisai paru
normal atau sedikit meningkat.
Menutup secara spontan pada waktu umur 3 tahun
Tidak diperlukan kateterisai jantung.
VSD sedang
Sering terjadi simptom pada masa bayi
Sesak nafas pada waktu aktivitas terutama waktu
minum, memerlukan waktu lebih lama untuk makan
dan minum.
Defek 5-10 mm
Berat badan sukar naik sehingga tumbuh kembang
anak terganggu.
Mudah menderita infeksi pada paru-paru dan biasanya
memerlukan waktu lama untuk sembuh tetapi
umumnya responsive terhadap pengobatan
Takipnea
Retraksi pada jugulum, sela interkostal, dan region
epigastrium.
Bentuk dada normal.
Pada EKG terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri
maupun kanan, tetapi ventrikel kiri yang lebih
meningkat.
Pada radiologi terdapat pembesaran jantung derajat
sedang, conus pulmonalis menonjol, peningkatan
vaskularisasi paru dan pembesaran pembuluh darah di
hilus.
VSD besar
Sering timbul gejala pada masa neonatus
Dispnea meningkat setelah terjadi peningkatan pirau
kiri ke kanan dalam minggu pertama setelah lahir
Pada minggu ke-2 atau ke-3 simptom mulai timbul akan
tetapi gagal jantung biasanya baru timbul setelah
minggu ke-6 dan sering didahului infeksi saluran nafas
bagian bawah.
Bayi tampak sesak nafas pada saat istirahat, kadang
tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat
gangguan pernafasan.
Terdapat gangguan tumbuh kembang
Pada hasil EKG terdapat peningkatan aktivitas
ventrikel kanan dan kiri
Pada radiologi pembesaran jantung nyata dengan conus
pulmonalis yang tampak menonjol pembuluh darah hilus
membesar dan peningkatan vaskularisai paru ke perifer.

Manifestasi klinis:
Bayi yang kecil dan kurus dengan pertambahan berat
badan yang lambat kalau VSD yang lebar terjadi
bersama dengan gagal jantung
Bising sistolik yang keras, kasar, dan menjalar
secara luas kendati paling jelas terdengar di
sepanjang tepi sternum kiri pada sela interkosta
ketiga atau keempat; bising ini disebabkan oleh aliran
darah abnormal yang melewati VSD
Getaran atau thrill yang bisa diraba dan disebabkan
oleh aliran darah turbulen di antara kedua ventrikel
melalui VSD yang kecil
Komponen pulmoner yang keras dan terpecah lebar
dari bunyi S2 yang disebabkan oleh peningkatan
selisih tekanan lewat VSD
Pergeseran iktus kordis akibat hipertrofi jantung
Bagian anterior dada yang menonjol dan terjadi
sekunder karen hipertrofi jantung
Pembesaran hati, jantung, dan limpa karena kongesti
sistemik
Kesulitan menyusu yang menyertai gagal jantung
Diaphoresis, takikardia, dan pernapasan cepat
disertai bunyi mengorok karena gagal jantung
(Kowalak, Jennifer P. 2011)
2.2.8. Pemeriksaan Diagnostik
A. Anamnesis
1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan,
atau tanpa gejala (asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk
karena ditemukannya bising jantung (murmur) secara
kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan
S2 normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6
dengan punktum maksimum di interkostal 3-4 pada garis
parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan
berupa takipnea dan takikardia ringan. Bayi sering
mengalami kesulitan minum dan makan, dan sering
mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan
takipnea, retraksi interkostal atau suprasternal.
Pertambahan berat badan sangat lambat. Ditemukan
thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik
intensitas keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising
mid-diastolik sering ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat
gejala dan tanda gagal jantung kiri. Bayi mengalami
takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien tampak sesak,
tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering
mengalami ISPA berulang. Bising pansistolik akan
terdengar bernada rendah dan tidak terlokalisasi.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV
besar akan ditemukan LVH atau BVH.
2. Foto Rontgen toraks
Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal
dengan corakan vaskular paru normal. Pada DSV
sedang, terdapat kardiomegali dan peningkatan corakan
vaskular paru dan tampak penonjolan segmen pulmonal.
Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan
corakan vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan.
3. Ekokardiografi
Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan
Doppler berwarna dapat ditentukan besar defek, arah
pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi ventrikel.
4. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk
menilai besarnya pirau dari kiri ke kanan (QP/QS) dan
tingginya resistensi vaskular paru agar dapat ditentukan
apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi
pada DSV lebih ditujukan pada tindakan penutupan
transkateter.
5. Magnetic Resonance Imaging
Memberikan gambaran yang lebih baik terutama VSD
dengan lokasi apical yang sulit dilihat dengan
ekokardiografi juga dapat dilakukan besarnya curah
jantung, besaran pirau, dan evaluasi kelainan yang

Contoh VSD dengan Kardiomegali


2.2.9. Penatalaksanaan
A. Beberapa sifat alamiah VSD perlu dipertimbangkan
dalam penanganan penyakit ini
a. Sebagian besar defek kecil akan menutup spontan,
sedangkan defek sedang dan besar cenderung untuk
mengecil dengan sendirinya.
b. Defek besar dapat menyebabkan gagal jantung,
biasanya pada bulan kedua kehidupan. Penderita yang
sampai umur 1 tahun tidak mengalami gagal jantung,
biasanya tidak akan mengalaminya di kemudian hari,
kecuali bila terdapat faktor lain seperti anemia atau
pneumonia.
c. Perubahan vaskuler paru sudah dapat terjadi dalam 6-12
bulan pertama kehidupan. Pada defek berat, pada umur
2-3 tahuns udah dapat terjadi hipertensi pulmonal yang
ireversibel.
B. Medikamentosa
a. DSV kecil tanpa gejala tidak perlu terapi.
b. Pada gagal jantung diberikan diuretik misalnya
furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, vasodilator misalnya
kaptopril 0,5 1 mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kalau perlu
dapat ditambahkan digoksin 0,01 mg/kg/hari. Pemberian
makanan berkalori tinggi dilakukan dengan frekuensi
sering secara oral/enteral (melalui NGT). Anemia
diperbaiki dengan preparat besi.
c. Menjaga kebersihan mulut dan pemberian antibiotik
profilaksis terhadap infeksi endokarditis.
d. Penutupan DSV dapat dikerjakan dengan intervensi non-
bedah menggunakan Amplatzer VSD occluder atau
dengan tindakan bedah. (Depkes RI, 2007)
C. Penatalaksanaan VSD
1. VSD kecil
Penderita dengan VSD kecil tidak memerlukan
penanganan medik atau bedah karena tidak
menyebabkan gangguan hemodinamik. Anak dengan
VSD kecil mempunyai prognosis baik dan dapat hidup
normal, kecuali observasi kemungkinan infeksi paru dan
mencegah/mengobati endocarditis bila terjadi. Penderita
harus diobservasi sampai defeknya menutup.
VSD kecil dengan tahanan vaskular pulmonal yang
rendah. Ukuran shunt mengontrol aliran. Pasien tampak
asimptomatik. EKG dan rontgen normal. Defek ini tidak
perlu diterapi. (Samik Wahab, 2009)
2. VSD sedang
Terapi medic. Apabila gagal jantung telah dapat
diatasi, diperlukan digitalis dosis rumat (digoxin dan
diuretik misalnya lasix). Sebagian kecil tidak dapat
diatasi dengan digitalis saja, anak tetap dalam keadaan
gagal jantung kronik atau failure to thrive dan penderita
ini memerlukan koreksi bedah segera.
Terapi bedah. Penderita VSD sedang dengan
tahanan vaskuler paru normal dengan tekanan pulmonal
kurang dari setengah tekanan sistemik, kecil
kemungkinannya untuk menderita obstruksi paru.
Mereka hanya memerlukan terapi medik dan sebagian
akan menjadi simptomatik. Terapi bedah
dipertimbangkan bila setelah umur 4-5 tahun defek
kelihatannya tidak mengecil.
Defek sedang dengan tahanan vaskular pulmonal
yang bervariasi sehingga tekanan ventrikel kanan
meningkat tetapi kurang dari tekanan ventrikel kiri. Defek
ini tidak perlu operasi penutupan selama tahanan
pembuluh normal dan jumlah shunting < 2 kali aliran
sistemik. Apabila vaskular pulmonal meningkat baru
diperlukan tindakan pembedahan (Samik Wahab, 2009)
3. VSD besar
VSD besar dengan hipertensi pulmonal
hiperkinetik terapi medik yang diberikan sama seperti
VSD sedang dengan tahanan vaskuler paru normal. Bila
dengan terapi medik dapat memperbaiki keadaan, yang
dilihat dengan membaiknya pernapasan dan
pertambahan berat badan maka operasi dapat ditunda
sampai usia 2-3 tahun. Bila gagal jantung dapat diatasi
penderita harus diawasi ketat untuk menilai terjadinya
perburukan/ penyakit vaskuler paru. Bila terjadi
perburukan maka diperluka koreksi bedah.
Pada penderita VSD dengan hipertensi pulmonal
dilakukan uji oksigen atau tolazolin pada saat
kateterisasi jantung. Bila tahanan vaskuler paru masih
dapat menurun dengan bermakna (ditandai dengan
kenaikan saturasi dan penurunan tekanan arteri
pulmonalis), maka diperlukan operasi dengan segera.
Bila uji tersebut tidak menurunkan tahanan vaskuler paru
atau telah terjadi sindrom Eisenmenger, maka penderita
tidak dapat dioperasi dan terapi yang diberikan hanya
bersifat suportif simtomatik.
Defek besar dengan peningkatan tahanan
pulmonal ringan-sedang. Penderita menunjukkan tanda
dan gejala gagal jantung kongestif. EKG menunjukkan
hipertrofi ventrikel kiri dan atau hipertrofi ventrikel kanan
bila tahanan pulmonal meningkat. Rontgen menunjukkan
peningkatan ukuran jantung dan vaskularisasi pulmonal.
Terapi segera dimulai dengan pemberian digitalis,
diuretik reduktor afterload (misal., captopril). Bila terapi
berhasil, tindakan bedah bisa ditunda sambil menunggu
kemungkinan terjadinya penutupan defek yang spontan.
Defek perlu ditutup secara bedah bila:
Terapi obat tidak berhasil
Awal perkembangan yang irreversibel peningkatan
tahanan vaskular pulmonal (tahun kedua) (Samik
Wahab, 2009)
D. Jenis tindakan bedah pada Ventrikel Septum Defect
(VSD)
1. Operasi paliatif
Berupa binding/ penyempitan arteri pulmonalis
untuk mengurangi aliran darah ke paru-paru. Dengan
demikian maka gejala gagal jantung akan berkurang dan
kemungkina timbulnya penyakit vaskuler paru dapat
dikurangi atau dihambat. Penderita yang telah dilakukan
tindakan ini harus diikuti dengan operasi penutupan
defek sekaligus dengan membuka penyempitan arteri
pulmonalis. Tindakan ini hendaknya jangan dilakukan
terlalu lama karena penyempitan arteri pulmonalis dapat
menyebabkan konstriksi arteri pulmonalis yang mungkin
memerlukan koreksi bedah tersendiri. Berupa binding/
penyempitan arteri pulmonalis untuk mengurangi aliran
darah ke paru-paru.
2. Operasi korektif
Operasi dilakukan dengan sternotomi median
dengan bantuan mesin jantung paru. Keputusan untuk
melakukan operasi korektif sangat bergantung pada
kemampuan tim bedah dengan segala fasilitas
pendukungnya. Di negara maju terdapat kecenderungan
untuk langsung melakukan operasi penutupan defek
meskipun pada bayi kecil.Mortalitas keseluruhan akibat
operasi dilaporkan sekitar 5-15%. Prognosa operasi
makin baik bila tahanan paru-paru rendah dan penderita
dalam kondisi baik dengan berat badan diatas 15 kg.
1. Alat Yang Digunakan
Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer
VSD Occluder AVO) terdiri dari Amplatzer muscular VSD
occluder untuk DSV muskular, dan alat yang digunakan
untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer
Membranous VSD Occluder. ASO juga dapat digunakan
untuk menutup DSV tipe muskular jika letak defek jauh dari
katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi
kirinya asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak
0,5 mm dari pinggangnya, dan pada bagian bawah berjarak
5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol
(55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci
yang berbentuk wire mesh yang telah dijalin menjadi 2 buah
lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang
menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi
ketebalan septum atrium. Nitinol memiliki kemampuan
menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu
kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut
membuatnya dapat dimasukkan kedalam sheath atau
kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk
aslinya saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah
terbukti biokompatibilitasnya. Ukuran alat ini ditentukan oleh
diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4 mm
16 mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat
membesar hingga 40 mm). Kedua lempeng AVO akan
mengembang secara radial menjauhi pusat pinggangnya
untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat
lapisan dakron dari polyester yang terjahit kuat ke tiap
lempeng dan terhubung pula dengan pinggang alat dengan
tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk
memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery
system yang agak berbeda dengan delivery system untuk
ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari
delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading
catheter, tutup atau valve dan plastic versa. Pusher catheter
yang hanya ada pada delivery system AVO bertujuan untuk
mempertahankan agar AVO tidak berputar selama
prosedur, karena sisi apeks yang panjangnya 5 mm harus
tetap menghadap ke apeks selama berada dalam ventrikel
kiri.

2. Pemasangan Amplatzer Muscular VSD Occluder


(AMVO) untuk DSV tipe muskular
Pemasangannya menggunakan teknik kateter
(pendekatan melalui sisi kanan atau kiri). Pendekatannya
tergantung pada lokasi dari DSV tipe muskular. Umumnya
defek pada bagian atas septum dapat dilakukan pendekatan
melalui vena femoralis, sedangkan defek rendah lebih
mudah ditutup dengan cara pendekatan transjugular. Teknik
kateter harus dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum
dan ekokardiografi transesofagus. Tahap-tahapnya :
1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri
femoralis kiri ditusuk dengan cara yang biasa
menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan
pemasangan sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan
dilakukan evaluasi hemodinamik termasuk oksimetri dan
tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek
ke apeks dan katup aorta diukur. Ukuran defek yang
diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan sama
baiknya dengan ventrikulogram kiri.
3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri,
melewati katup aorta dan DSV masuk ke ventrikel
kanan.
4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan
Terumo guidewire 220 cm lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk
ke arteri pulmonalis.

5. Dari vena femoralis kanan, kateter


MP2 bersama dengan alat snare
dimasukkan untuk menarik guidewire
keluar dari sheath melalui vena
femoralis kanan. Teknik ini
membentuk arterio-venous
continuous access wire.
6. Delivery sheath dengan dilatornya dimasukkan melewati
akses vena menyusuri guidewire untuk masuk melewati
DSV dan masuk ke dalam ventrikel kiri. Medium kontras
disuntikkan untuk memastikan bahwa ujung sheath
dalam posisi yang benar di dekat apeks ventrikel kiri.
7. AMVO dipasang pada delivery cable, kemudian di-
loading ke dalam loading catheter dalam cairan garam
fisiologis (NaCl 0,9%). Loading catheter dimasukkan ke
dalam delivery sheath, kemudian didorong sampai ujung
distal AMVO membuka di ventrikel kiri.
Delivery sheath beserta kabel ditarik
sampai lempeng kiri AMVO menyentuh
septum. Untuk membuka bagian proksimal
AMVO, delivery sheath ditarik tanpa
menarik delivery cable, sehingga AMVO membuka di
dalam DSV.
8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam
posisi yang benar, alat dilepaskan dari delivery cable.
Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan kembali
ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran
yang lebih besar atau kecil. (Depkes RI, 2007)
Penanganan
Koreksi VSD dapat meliputi :
Koreksi dini dengan pembedahan untuk VSD yang besar
biasanya tindakan koreksi ini dilakukan dengan patch
graft seblum terjadi gagal jantung dan penyakit vaskuler
pulmonal yang irreversibel.
Pemasangan alat pacu jantung permanen dapat
diperlukan setelah tindakan koreksi VSD jika terjadi blok
jantung total karena berkas His terganggu selama
pembedahan dilakukan
Penutupan defek yang kecil dengan jahitan (keadaan ini
tidak perlu diperbaiki dengan pembedahan jika pasien
memiliki tekanan arteri pulmonalis yang normal dan
pintasan yang kecil).
Pemberian digoksin, diet rendah garam, dan pemberian
preparat diuretik sebelum pembedahan untuk mencegah
gagal jantung
Terapi profilaksis antibiotik sebelum dan sesudah
pembedahan untuk mencegah endokarditis infeksiosa.
(Jennifer P. Kowalak et al., 2011)
Pertimbangan Khusus
Orangtua bayi yang menderita VSD umumnya mencurigai
adanya masalah pada bayi mereka sebelum diagnosis
penyakit ditegakkan, mereka tetap membutuhkan dukungan
psikologis untuk membantu menerima kenyataan adanya
gangguan yang serius pada bayi mereka. Karena
pembedahan baru dapat dilakukan beberapa bulan sesudah
penegakkan diagnosis, penyuluhan pada orangtua sangat
penting untuk mencegah komplikasi sampai anak mereka
dijadwalkan untuk menjalani pembedahan atau sampai
defek tersebut menutup. Keterangan yang lengkap tentang
semua pemeriksaan yang perlu dilakukan juga sangt
penting.
Minta orangtua pasien untuk mengawasi kemungkinan
timbul tanda-tanda gagal jantung seperti bayi/anak tidak
mau menyusu/makan, berkeringat dan pernapasan
berat.
Jika anak yang menderita VSD mendapatkan digoksin
atau obat lain beri tahu orang tua tentang cara
pemberiannya dan cara mengenali efek obat yang
merugikan. Minta agar mereka berhati-hati dengan
menyimpan obat, diluar jangkauan anak-anak.
Tekankan pentingnya terapi profilaksis dengan
pemberian antibiotik sebelum dan sesudah pembedahan
(Jennifer P. Kowalak et al., 2011)
Sesudah pembedahan untuk mengoreksi VSD:
Lakukan pemantauan TTV dan asupan serta haluaran
cairan. Pertahankan suhu tubuh bayi dengan alat
penghangat yang ditempatkan diatas ranjangnya.
Berikan katekolamin, nitroprusid dan preparat diuretik
sebagaimana intruksi dokter dan preparat analgetik jika
diperlukan.
Lakukan pemantauan tekanan vena pusat, tekanan
darah intraarterial dan tekanan arteri pulmonal atau
atrium kiri. Lakukan penilaian terhadap frekuensi dan
irama jantung untuk menemukan tanda-tanda gangguan
hantara.
Cek oksigenisasi, khususnya pada anak yang
memerlukan ventilasi mekanis. Pengisapan lendir dari
jalan nafas diperlukan untuk menjaga patensi dan
mencegah atelektaksis serta pneumonia.
Lakukan pemantauan efektifitas alat pacu jantung, jika
diperlukan. Awasi kemungkinan timbul tanda-tanda
gagal jantung seperti bradikardi atau hipotensi
Tentramkan perasaan orangtua dan biarkan mereka
turut berpartisipasi dalam perawatan anak mereka.
(Jennifer P. Kowalak et al., 2011)

2.2.10. Pencegahan
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi
risiko kelainan jantung bawaan pada bayi, diantaranya:
Khusus untuk kelainan jantung karena Sindrom Rubella
sebenarnya bisa dicegah bila di saat kecilnya si ibu pernah
diimunisasi MMR. Setiap wanita yang merencanakan untuk
hamil, sebaiknya menjalani vaksinasi rubella. Dengan
imunisasi tersebut, seseorang diharapkan kebal terhadap
gondongan campak jerman. Jika sudah kebal, pada saat
hamil nanti ia tidak akan terkena campak jerman, yang bisa
membuat cacat janinnya.
Pencegahan lain adalah menjaga kesehatan saat hamil.
Sebelum dan selama hamil sebaiknya ibu menghindari
pemakaian alkohol, rokok dan mengontrol diabetesnya
secara teratur. Jangan makan obat&obatan sembarangan
dan lakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur.
Khususnya pada usia kehamilan trimester pertama, saat
sedang terjadi proses pembentukan organ&organ tubuh si
bayi.
Anak diberikan asupan kalori yang memadai agar mencapai
pertumbuhan yang optimal.
Menurut Artikel Ventricular Septum Defect pasien Small
Ventricular Septum Defect dengan tekanan arteri paru
normal, fungsi ventrikel normal, dan tidak ditemukan lesi
memiliki toleransi aktifitas yang normal dan tidak ada
batasan berolahraga. Sedangkan yang memiliki pulmonary
arterial hypertension biasanya memiliki batasan dalam
berolahraga. Dan juga pada wanita hamil dengan Small
Ventricular Septum Defect tanpa hipertensi paru tidak
menimbulkan resiko pada kehamilan. Sedangkan moderate
defects dapat meningkatkan aliran darah pada paru-paru
selama kehamilan.
Upaya pencegahan pada masa kehamilan
Persiapan kehamilan
Pada awal masa kehamilan terutama tiga bulan pertama
dimana terjadi pembentukan organ tubuh antara lain
jantung, sebaiknya ibu tidak mengkonsumsi jamu
berbahaya dan obat obat yang dijual bebas di pasaran.
Menghindari minuman beralkohol . Perbanyak asupan
makanan bergisi terutama yang mengandung protein
dan zat besi juga asam folat tinggi. Protein bisa didapat
dari sumber hewani, misal ikan, daging, telur dan susu
maupun tumbuh tumbuhan sayur mayur segar.
Pencegahan anemia dengan makan aneka sayuran
yang mengandung zat besi juga teratur mengkonsumsi
tablet zat besi yang diresepkan dokter atau bidan.
Menghindari paparan sinar X atau radiasi dari foto rontgen
berulang pada masa kehamilan, ibu hamil tidak merokok
baik secara aktif maupun terkena asap rokok dari suami
atau anggota keluarga disekitarntya. Hindari polusi asap
kendaraan dengan menggunakan masker pelindung agar
tidak terhisap zat - zat racun dari karbon dioksida.
Pencegahan infeksi pada masa hamil
Segera lakukan pencegahan sebelum masa kehamilan
seperti imunisasi MMR untuk mencegah penyakit morbili
(campak) dan rubella selama hamil. Pola hidup sehat dan
cukup olahraga yang sesuai dengan kondisi ibu hamil agar
meningkatkan daya tahan tubuh dan istirahat yang cukup
agar tidak mudah terserang penyakit infeksi sejak hamil
muda.
Ibu hamil dengan faktor resiko antara lain kehamilan
dengan usia ibu di atas 40 tahun, ada riwayat penyakit
dalam keluarga seperti diabetes, kelainan genetik down
sindrom, penyakit jantung dalam keluarga perlu waspada
dengan faktor resiko meskipun kecil kemungkinannya.

2.2.11.Komplikasi
1. Hipertensi pulmoner
Hipertensi pulmonal (HP) adalah tekanan arteri
pulmonalis lebih dari 25 mm Hg saat beristirahat dan lebih
dari 30 mm Hg saat beraktivitas. PJB menyebabkan
peningkatan aliran darah ke arteri pulmonalis. Lesi pada
jantung seperti Pirau dari kiri ke kanan seperti Defek
Septum Ventrikel (DSV) yang menyebabkan HP. HP
disebabkan oleh peningkatan aliran darah atau peningkatan
resistensi arteri pulmonalis. Peningkatan volume darah yang
menuju ke arteri pulmonalis menyebabkan perubahan pada
dinding arteri pulmonalis. Di samping akibat peningkatan
aliran darah, juga terjadinya kompensasi vasokonstriksi
arteri pulmonalis. HP hiperkinetik merupakan respon
kompensasi akibat peningkatan aliran darah dari kiri ke
kanan dan biasanya reversibel jika penyebabnya dikoreksi
sebelum terjadi perubahan permanen pada arteri
pulmonalis. Onset timbulnya HP hiperkinetik bervariasi dari
masa bayi sampai dewasa, namun paling sering terjadi
pada awal masa adolesen.
Gejala klinik pada bayi dan anak mungkin berbeda
dengan dewasa. Bayi menunjukkan gejala akibat penurunan
CO, seperti nafsu makan menurun, gagal tumbuh, letargi,
diaporesis, takipneu, takikardi, mual muntah dan iritabel.
Bayi atau anak mungkin sianosis saat beraktivitas atau saat
beristirahat akibat aliran darah dari kanan ke kiri. Pada
anak, sesak napas adalah gejala yang paling sering,
terutama saat latihan fisik akibat kegagalan meningkatkan
CO saat kebutuhan oksigen jaringan meningkat. Episode
sinkop lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada
dewasa karena terbatasnya CO yang timbul baik saat
latihan maupun saat di luar latihan akibat berkurangnya
aliran darah ke otak. Dilatasi pembuluh darah perifer saat
latihan juga memperberat sinkop.
Kebanyakan kasus HP sulit untuk diterapi dan sulit
kembali seperti normal, walaupun penyebabnya dapat
dieliminasi. Satu-satunya jalan adalah melakukan
pencegahan dan eliminasi penyebab sedini mungkin. Jika
penyebabnya adalah VSD maka tindakan yang dapat
dilakukan adalah mengeliminasi penyebab, seperti tindakan
pembedahan yang tepat waktu terhadap VSD dengan pirau
kiri ke kanan yang besar (Hartawan B., et al, 2008).
2. Sindrom Eisenmenger
Pasien dengan VSD dan hipertensi pulmonal akibat
penyakit vascular paru memperlihatkan dada menonjol
akibat pembesaran ventrikel kanan yang berat. Pada
peralihan antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri
seringkali pasien akan tampak lebih baik, lebih aktif, dengan
toleransi latihan yang relative lebih baik dibanding
sebelumnya. Dengan berlanjutnya kerusakan vascular paru,
akhirnya terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri, sehingga
pasien sianotik. Dalam tahapan ini kembali pasien
memperlihatkan toleransi latihan yang menurun, batuk
berulang dan infeksi saluran nafas berulang, dan gangguan
pertumbuhan yang makin berat (Sastroasmoro S., et al,
1994).
Sindrom Eisenmenger terjadi jika HP berat dan akan
timbul sianosis akibat aliran darah berbalik dari kanan ke kiri
yang menandakan perubahan ireversibel pada arteri
pulmonalis, atau telah terjadi pulmonary vascular
obstructive disease (PVOD).
Secara umum anak dengan DSV belum berkembang
menjadi PVOD dalam tahun pertama kehidupannya, namun
jika sejak awal lesi jantung disertai penyakit paru kronis
akan mempercepat perkembangan menuju ke PVOD.
Sindrom Down dengan pirau dari kiri ke kanan yang besar
akan menderita PVOD lebih awal dari anak yang tidak
menderita sindrom Down dengan kelainan yang sama
(Hartawan B., et al, 2008).
3. Endokarditis Infeksiosa
Endokarditis Infektif (EI) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi mikroba pada lapisan endotel
jantung dan pembuluh darah besar. Penyakit ini ditandai
dengan terbentuknya vegetasi yang dapat terjadi pada
katup jantung (baik katup buatan maupun katup natif),
endokardium dan benda asing intravaskular seperti benda
penutup defek atau membuat pirau intrakardial untuk
memperbaiki kelainan jantung bawaan.
Endokarditis Infektif lebih sering terjadi akibat komplikasi
penyakit jantung bawaan seperti defek septum ventrikel.
Pada umumnya organisme yang menyebabkan EI pada
anak adalah kokus gram positif, terutama kelompok
Streptococcus viridans (seperti S. sanguis, S. mitis, S.
mutans), Stafilokokus dan Enterokokus.
Endotelium jantung yang intak merupakan stimulator
yang buruk untuk terjadinya koagulasi darah dan bakteri
tidak mudah menempel. Endotelium yang rusak atau hilang
berpotensi menyebabkan trombogenesis dan membentuk
sarang yang menjadi tempat menempelnya bakteri dan
membentuk vegetasi yang terinfeksi. Pada anak dengan
penyakit jantung berhubungan dengan adanya aliran darah
bertekanan tinggi yang dapat merusak endotelium.
Trombogenesis terjadi pada tempat tersebut dan
menyebabkan deposisi trombosit, fibrin, sel darah merah
dan membentuk endokarditis trombotik nonbakterial. Bila
terjadi bakteriemia maka bakteri akan melekat pada lesi
endokarditis trombotik nonbacterial tersebut. Trombosit dan
fibrin akan terkumpul disekitar organisme dan menyebabkan
pembesaran vegetasi serta melindungi organisme tersebut
dari sel fagositik dan mekanisme pertahanan tubuh lain.
Gejala klinis EI biasanya tidak jelas, berupa panas badan
yang lama dan tidak begitu tinggi, cepat capai, atralgia,
mialgia, penurunan berat badan, splenomegali dan anemia
(Rahayuningsih S. E., 2004).
4. Pneumonia
Faktor predisposisi pneumonia adalah adanya kelainan
anatomi kongenital seperti VSD. Pneumonia terjadi bila
mekanisme pertahanan tubuh mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas
bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran
nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu
yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya. Pada
keadaan imnunokompromis seperti VSD, pemberian
antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumoni
didapatkan. Manifestasi bisa berat yaitu sesak, sianosis dan
dapat juga gejala tidak terlihat jelas pada neonatus (Retno
A. S., 2006).
5. Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang
disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot
jantung dalam mengantisipasi peningkatan beban volume
ataupun beban tekanan yang berlebih yang sedang
dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh
(Syofani S., 2002).
Gagal jantung kongestif pada anak dapat diakibatkan
karena kelainan kongenital maupun kelainan yang didapat,
tetapi sebagian besar diakibatkan oleh kelainan jantung
kongenital yang mengalami pemburukkan karena adanya
peningkatan beban volume dan atau peningkatan tekanan.
Mengingat penyebab tersering gagal jantung pada anak
adalah kelainan kongenital, maka terapi utama adalah
operasi. Terapi dengan obat-obatan bertujuan untuk
mempersiapkan anak menjalani operasi, mempertahankan
fungsi jantung dan mencegah penyakit menjadi progresif.
Jika operasi tidak dapat dilakukan maka terapi
medikamentosa menjadi terapi pilihan utama (Syofani S.,
2002).
6. Insufisiensi aorta
Pada pasien dengan defek septrum ventrikel
supracristal, insufisiensi aorta merupakan problem
tambahan. Pada defek septum ventrikel kecil akan
membebani ventrikel kiri, sedangkan defek septum ventrikel
besar akan membebani kedua ventrikel (Nasution A. H.,
2008). Defek subarterial dengan prolaps katup aorta dan
regurgitasi katup aorta yang bermakna merupakan indikasi
tindakan bedah. Apabila tidak dilakukan koreksi dapat
terjadi kerusakan katup aorta yang parah yang
membutuhkan penggantian katup (Sastroasmoro S., et al,
1994).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah abnormalitas struktur
makroskopis jantung atau pembuluh darah besar intratoraks yang
mempunyai fungsi pasti atau potensial yang berarti. Kelainan ini
merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada bayi
baru lahir. (Moons, et al. 2008)
Sebagian besar penderita PJB adalah dari jenis non-sianotik
dan sisanya jenis sianotik. Distribusi umur pasien pada saat diagnosis
dibagi atas jenis PJB sianotik/TOF dan non sianotik/VSD.
Dengan berkembangnya tindakan operatif dan intervensi serta
perkembangan teknologi medis, angka harapan hidup anak dengan
PJB telah meningkat secara dramatis selama beberapa dekade
terakhir dan tetap berlangsung hingga saat ini.

3.2. Saran
Sebagai perawat, kita harus bisa memahami situasi klien, dengan
mengetahui respon klien. Berikan asuhan secara holistik, tentang
bagaimana itu PJB tipe sianotik atau asianotik, penanganannya,
pencegahannya; serta jangan lupa untuk mengedukasi serta mengontrol
perkembangan penyakit klien. Sangat berperan penting pemahaman dan
kepedulian orang tua dalam mengontrol pemulihan kesehatan anak
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

TOF
Markum, C. 1992. Buku Ajar IlmuKesehatanAnakEdisi 15 Vol. 2.
Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.
Frenando, L. 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Tetralogi Of Fallot (TOF). Available from :
http://www.scribd.com/doc/114113693/Asuhan-Keperawatan-Tof.
Diakses pada 23 April 2014.
Bailliard, F., & Anderson, R. H. (2009). Tetralogy of Fallot. Orphanet
Journal of Rare Diseases, 4(2), 1-10.
Ruslie, R. H., & Darmadi. (2013). Diagnosis dan Tata Laksana
Tetralogy of Fallot. CDK-202, 40(3).
Supit, A.I & Kaunang, E.D. 2012. Tetralogii Fallot dan Atresia
Pulmonal. Jurnal Biomedik, Volume 4 (No.3):35-42.
Anderson, R.H & Bailiard, Frederique. 2009. Review : Tetralogy of
Fallot. Orphanet Journal of Rare Disease, Volume : 4 (2).
Abdullah, Rozi. 2012. Tetralogi Fallot.
http://bukusakudokter.org/2012/11/06/293/. Diakses tanggal 14 Juli
2014
Amit K. Ghosh, MD. 2008. Mayo Clinic Internal Medicine Review
Asad, Suryani. 2002. Gizi Kesehatan Ibu Dan Anak. Depdiknas :
Jakarta.
Baliff, J.P et a. 2003. New developments in prenatal screening for
Down syndrome. Am J Clin Pathol 2003;120(Suppl):S14. [PMID:
15298140]
Dunia Bunda. 2010. Bahan teratogenik dan kecacatan pada bayi.
http://www.duniabunda.com. Diakses tanggal 15 Juli 2014.
Kadek & Darmadi, S. 2007. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital)
Berdasarkan Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus (Congenital
Rubella Syndrome Based on Serologic and RNA Virus Examination).
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol.
13, No. 2 : 63-71.
Tjipta, G.D . 2004. Bayi Risiko Tinggi. USU Digital Library : Sumatra.
Underwood, J. C. E. 2010. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arief, dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapicus FKUI.
Nasution, A.H. 2008. Tetralogi Fallot. Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 41 No. 1 Maret 2008. Departemen/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik : Medan.
Hull, David dan Derek I. Johnston. 2008. Dasar-dasar Pediatri Edisi 3
Betz, Cecily . 2008. Buku Saku Keperawatan Bedah Pediatri. Edisi 3 .
EGC: Jakarta
Darmadi & Ruslie, R.H. (2013). Diagnosis dan Tata Laksana Tetralogy
of Fallot. RSUD ZA Pagar Alam, Kabupaten Way Kanan, Lampung,
Indonesia, vol. 40 no. 3
Reni Prima Gusty,dkk. 2012. Asuhan Keperawatan Anak dengan
Tetralogi of Fallot. Jakarta : FKUI
Tetralogy Of Fallot. 2006. Dikutip dari
http://www.mayoclinic.com/health. Diakses pada 26 April 2014.
Judarwanto ,widodo. 2012. 5 penyakit Jantung Bawaan dan
pencegahannya.
http://health.kompas.com/read/2012/12/24/17204326/5.Penyakit.Jantu
ng.Bawaan.dan.Pencegahannya. Diakses tgl 15 Juli 2014 jam 12.51
WIB
Israr, Yayan A. 2010. Tetralogi Fallot (TOF). FK Universitas Riau :
Pekanbaru. Available from :
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2010/01/files_of_drsmed_tetra
logi_fallot2.pdf. Diakses pada 24 April 2014.
Nasution, A.H. 2008. Tetralogi Fallot. Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 41 No. 1 Maret 2008. Departemen/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik : Medan.
VSD
Corwin E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Kowalak, J.P., Welsh, W., Mayer,B. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Muscari, M. E. (2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik.
Jakarta : EGC.
Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. EGC: Jakarta.
Rahayuningsih S.E., H Hamanoue, N Matsumoto-Sari Pediatri. 2011.
Peran Mutasi Gen CRELD1 pada Defek Septum Ventrikel dan
Hubungannya dengan Manifestasi Klinis (pdf). Available from:
saripediatri.idai.or.id.
Wahab, Samik A. 2006. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Kongenital
yang Tidak Sianootik. EGC: Jakarta
Wahab, A. Samik. 2009. Kardiologi Anak : Penyakit jantung congenital
yang tidak sianotik. Jakarta:EGC
American Heart Association.2009. Ventricular Septal Disease. Online.
Http://www.heart.org. Diakses pada tanggal 13 Juli 2014
Mccoy, Krisha. 2013. Ventricular Septal Defect. Online.
Http://medicine.med.nyu.edu. Diakses pada tanggal 13 Juli 2014
Hurairah, Khairul Aizat Abu. 2011. Prevalensi Kejadian Penyakit
Jantung Kongenital Pada Anak Penderita Sindrom Down Di RSUP
Haji Adam Malik pada Tahun 2008-2010. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
QM, Zhao, dan Ma QJ. 2013. Prevalence Of Congenital Heart Disease
at Live Birth : an Accurate Assement by Echocardiographic Screening.
Online. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed diakses pada tanggal 12
juli 2014
Rahmi. 2010. Prevalensi Penyakit Jantung Bawaan pada Anak
dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-
2009. Skripsi. FK Universitas Sumatera Utara
Ramaswamy, Prema. 2003. Ventricular Septal Defect. Medscape
Article.
Wahab, Samik A. 2006. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Kongenital
yang Tidak Sianotik. Jakarta: EGC
Harimurti, G.M. 2007. Penyakit Jantung Bawaan. Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, Pusat Jantung Nasional,
Harapan Kita: Jakarta
Wong, Donna L. 2004.Pedoman Klinis perawatan Pediatrik.
Jakarta:EGC
Aziz Alimul. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Edisi 2.
Jakarta: SalembaMedika
Cecily & Linda. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 5.
Jakarta: EGC.
Cecily L. Bets, Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatri Ed.3. EGC: Jakarta.
Davey P. 2006. At A Glance Medicine. Erlangga: Jakarta.
Harimurti, G.M. 2007. Penyakit Jantung Bawaan. Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, Pusat Jantung Nasional,
Harapan Kita: Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.
Cetakan Ketiga. Jakarta: SalembaMedika
Hull, D & Johnston, D.I. 2008. Dasar-dasar Pediatri (Ed. 3). EGC:
Jakarta.
Muscari, M. E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik (Ed.
3). EGC: Jakarta.
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia.2006.Ilmu Penyakit
Dalam. FKUI: Jakarta.
Roy & Simon. (2002). Lecture Notes Pediatrik, Jakarta : Erlangga.
Syaifuddin.(2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: SalembaMedika
Depkes RI. 2007. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan Tanpa
Bedah. Jakarta: Depkes
Syofani S., 2002, Peran Vasodilator pada Gagal Jantung Anak,
Medan: Sari Pediatri, Vol. 3, No. 4: 213 221
Rahayuningsih S. E., 2004, Penggunaan Sildenafil pada Anak dengan
Hipertensi Pulmonal, Bandung: Sari Pediatri, Vol. 6, No. 3: 125-128
Hartawan B., 2008, Hipertensi Pulmonal pada Anak, Denpasar:
Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 58, Nomor: 3
Retno A. S., 2006, Pneumonia, FK UNAIR, Ilmu Kesehatan Anak
XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI
Nasuiton A. H., 2008, Anestesi pada Ventrikel Septal Defek, Medan:
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 2
Sastroasmoro S., 1994, Buku Ajar: Kardiologi Anak, Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia
Mansjoer, Arief et al. 2000. Kardiologi Anak, Defek Septum Ventrikel :
Ilmu Kesehatan Anak, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilis 2.
Jakarta : Media Aesculapius.
Mayo Clinic Staff. 2011. Ventricular Septal Defect.
http://www.mayoclinic.org/. Diakses 12 April 2014

Anda mungkin juga menyukai