PENDAHULUAN
2.1.2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit
jantung bawaan tidak diketahui secara pasti. diduga karena
adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor faktor tersebut
antara lain :
Faktor endogen
Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom,
contohnya down syndrome, marfan syndrome.
Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung
bawaan misalnya VSD, pulmonary stenosis, and
overriding aorta.
Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti
diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi, penyakit
jantung atau kelainan bawaan
Faktor eksogen
Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB
oral atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter,
(thalidmide, dextroamphetamine. aminopterin,
amethopterin, jamu)
Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
Efek radiologi (paparan sinar X)
Ibu mengonsumsi alcohol dan merokok saat
mengandung.
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan
eksogen tersebut jarang terpisah menyebabkan penyakit
jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab
adalah multifactor (Fernando, Lenta.,2012).
2.1.3. Epidemiologi
Tetralogi of Fallot terjadi pada 3 dari setiap 10.000
kelahiran hidup. Ini adalah penyebab paling umum dari
penyakit jantung sianotik di pasien usia neonatal, dan hingga
sepersepuluh dari semua lesi jantung kongenital.
Tetralogy of fallot menempati angka 5-7% dari kelainan
jantung akibat congenital. Sampai saat ini para dokter tidak
dapat memastikan sebab terjadinya, akan tetapi ,penyebabnya
dapat berkaitan dengan factor lingkungan dan juga factor
genetic atau keduanya. Dapat juga berhubungan dengan
kromosom 22 deletions dan juga diGeorge syndrome.
Ia lebih sering muncul pada laki-laki daripada wanita.
Pengertian akan embryology daripada penyakit ini adalah
sebagai hasil kegagalan dalam conal septum bagian anterior,
menghasilkan kombinasi klinik berupa VSD, pulmonary
stenosis, and overriding aorta. Perkembangan dari hipertropi
ventricle kanan adalah oleh karena kerja yang makin meningkat
akibat defek dari katup pulmonal. Hal ini dapat diminimalkan
bahkan dapat dipulihkan dengan operasi yang dini. (Bailliard &
Anderson, 2009)
Sebuah penelitian di Denmark pada tahun 1984-1992
menemukan jika 26% bayi meninggal dunia, 54% berahan
pada 1 tahun kehidupannya dan 75% meninggal sebelum
menjalan operasi korektif. Bagaimanapun juga, di Malta,
prevalensi kelahiran untuk pasien TOF diantara tahun 1980-
1944 adalah 0,64 per 1000 kelahiran, mendorong spekulasi jika
TOF ini juga didukung oleh factor genetik (Supit, 2012)
Berdasarkan penelitian dari Agus Cahyono dan Machrus
A.Rahman pada tahun 2007 di RS dr.Soetomo Surabaya
selama periode 2004 sampai dengna 2006, 4 penyakit PJB
yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect
(VSD), Tetralogy Of Fallot (TOF), Atrial Septal Defect (ASD),
dan Patent Ductus Arteriosus (PDA)
ToF merupakan jenis penyakit jantung bawaan tersering.
Sekitar 3-5% bayi yang lahir dengan penyakit jantung bawaan
menderita jenis ToF. Di AS, 10% kasus penyakit jantung
kongenital adalah ToF, sedikit lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Seiring dengan meningkatnya angka
kelahiran di Indonesia, jumlah bayi yang lahir dengan penyakit
jantung juga meningkat. Dua per tiga kasus penyakit jantung
bawaan di Indonesia memperlihatkan gejala pada masa
neonatus. Sebanyak 25-30% penderita penyakit jantung
bawaan yang memperlihatkan gejala pada masa neonatus
meninggal pada bulan pertama usianya jika tanpa penanganan
yang baik. Sekitar 25% pasien ToF yang tidak diterapi akan
meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupan, 40% meninggal
sampai usia 4 tahun, 70% meninggal sampai usia 10 tahun,
dan 95% meninggal sampai usia 40 tahun.
(Ruslie &Darmadi, 2013)
2.1.4. Klasifikasi
Ada 4 varian TOF menurut Bailiard & Anderson
(2009),yaitu :
1. Tetralogy of Fallot with pulmonary atresia (Tetralogy of
Fallot dengan atresia paru)
Lesi ini merupakan lesi terparah dari penyimpangan
spectrum antero-cephalad pada saluran keluar septum.
Adakalanya, katup pulmonal dipengaruhi dalam isolasi, menjadi
imperforate (tidak dilubangi) bukan stenosis. Sekitar setengah
pasien dengan pulmonary atresia, arteri pulmoner kanan dan
kirinya menyatu, dengan darah yang menuju arteri pulmoner
mengalir terus-menerus melalui saluran arteri paten. Di saat
yang lain, persediaan arteri pulmoner adalah multifocal. Pada
pasien seperti ini, jika arteri pulmoner menyatu atau terus
menerus tidak berhenti, persediaan darah kemungkinan besar
hanya akan berawal dari arteri multiple aorto-pulmonary
collateral. Jika arteri pulmoner terputus atau tidak berfungsi,
persediaan darah ke paru-paru akan berasal dari arteri multiple
collateral, atau dari kombinasi arteri kolateral dan
pembuluh/saluran arteri.
Dalam kasus pasokan kompleks darah ke paru-paru,
maka perlu untuk menentukan proporsi parenkim paru yang
disuplai oleh arteri paru intrapericardial sebagai lawan bagian-
bagian yang disuplai secara eksklusif oleh arteri collateral.
Meskipun arteri collateral tidak tergantung pada
prostaglandin untuk patensi, mereka memiliki potensi untuk
stenose dari waktu ke waktu. Dalam kasus lain, arteri collateral
besar dapat memberikan arus terbatas ke paru-paru, sehingga
menghasilkan pembuluh darah paru hipertensi. Manajemen
jangka panjang pada suplai paru pada pasien dengan tetralogy
of Fallot dan atresia paru.
2. Tetralogy of Fallot with absent pulmonary valve (Tetralogi
of Fallot dengan ketiadaan katup paru)
Ketidaksejajaeran dari saluran keluar septum dengan
pembentuken dasar/ pembentukan belum sempurna selebaran
katup paru, yang disebut sindrom ketiadaan katup pulmoner,
terlihat pada satu dari dua puluh orang yang terdiagnosa
tetralogi Fallot. Adanya lembaran valvar dasar yang tersusun
dalam pola lingkaran pada persambungan ventrikulo pulmoner
menhasilkan muntahan pulmoner bebas dalam kehidupan
janin. Hasil akhirnya adalah beban volume kronis dari ventrikel
kanan ditransmisikan ke arteri paru , dengan pelebaran
bersamaan dari pembuluh darah tersebut. Dalam kasus yang
berat, pasien datang dengan inspirasi dan ekspirasi stridor
karena kompresi jalan nafas oleh dilatasi arteri pulmoner.
Meskipun kompresi dan obstruksi saluran udara ikut
bertanggung jawab terhadap sianosis, terdapat juga
penyempitan fokal di persambungan ventrikulo pulmoner ,
berkontribusi terhadap hipoksemia pada pasien. Dalam
kebanyakan kasus , tapi tidak semua, saluran arteri juga tidak
ada.
3. Tetralogy of Fallot with double outlet right ventricle
(Tetralogi of Fallot dengan saluran keluar ventrikel kanan
ganda)
Adanya override aorta, aorta menjadi lebih tertarik pada
ventrikel kanan daripada ventrikel kiri, menyebabkan banyak
masalah dalam sambungan ventrikulo-arterial pada jalan keluar
ganda ventrikel kanan. Meskipun fisiologi yang ditampilkan
mungkin tidak berubah, ada implikasi penting untuk
perencanaan operasi bedah. Pasien dengan permulaan aorta
sebagian besar dari ventrikel kanan mempunyai resiko yang
lebih tinggi untuk mengembangkan obstruksi pada
pembentukan sistem aliran baru pada ventrikel kiri, akhir
saluran yang dihasilkan oleh tambalan yang menutup defek
septal ventrikel sementara itu membangun terowongan pada
ventrikel kiri menuju aorta.
4. Tetralogy of Fallot with atrioventricular septal defect
(Tetralogi of Fallot dengan defek septum atrioventrikular)
Kombinasi defek septum atrioventrikular dengan
antrioventricular junction, umum ditemukan pada 2% penderita
tetralogi fallot. Pemberian dan manajemen medis awal tetap
tidak berubah, namun perbaikan bedah dan perawatan post-
operasi lebih kompleks.
2.1.6. Patofisiologi
(terlampir)
2.1.9. Penatalaksanaan
TERAPI DAN TINDAKAN YANG DIPERLUKAN
Bayi dengan riwayat spel hipoksia
Penatalaksanaan Spels Hipoksik pada TOF adalah
memutuskan rantai sirkulasi vitiosus dengan satu atau lebih
tindakan dibawah ini.
1. Bayi harus dipegang atau digendong orangtuanya dan
ditenangkan. Buat bayi dalam posisi knee chest potition
disertai dengan atau tanpa lengan bawah dibelakang
lutut, dan pegang bayi sambal menekuk kaki bayi
sehingga menahan darah vena sisstemik kembali ke
jantung dan menjaga bayi tenang. Posisi ini juga
meningkatkan sistemik vascular resistance (SVR). Pada
beberapa anak yang agitasi keadaan ini cenderung
memperjelek situasi dan merepotkan serta menambah
iritabilitas. Posisi lain yang juga efektif adalah dengan
menempatkan bayi atau anak diatas bahu orang tuanya
dengan lutut ditekuk serta orang lain memberikan
oksigen. Hindarkan agitasi iatrogenic seperti
pemeriksaan yang berlebihan dan vena pungsi.
2. Berikan morfin sulfat dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg secara
subcutan atau intravena yang bertujuan untuk menekan
sentra pernafasan dan mengurangi hyperpnea, juga
menurunkan tonus simpatetik dan menurunkan
konsumsi oksigen
3. Berikan oksigen untuk meningkatkan saturasi darah
arterial
4. Koreksiasi dosis dengan pemberian NaHCO3 1-2
mEq/kgBB secara IV. Dosis yang sama dapat diulangi
10-15 menit kemudian. NaCHO3 mengurangi respiratory
center stimulating effect acidocis. Dengan pengobatan
sebelumnya bayi biasanya akan berkurang sianosisnya,
dan bising jantung akan terdengar yang menandakan
meningkatnya alirand arah ke paru melalui RV outflow
tract yang stenotik. Jika keadaan diatas tidak member
respons yang baik, obat-obatan dibawah ini dapat
dicoba.
5. Vasokonstriksi lain seperti Fenilefrin (neo synephrine
yang akan meningkatkan SVR dapat diberikan dengan
dengan dosis 0,02 mg/kg BB secara IV.
6. Ketamin dengan dosis 1-3 mg/kg BB secara IV (rata-rata
2 mg/kg BB) dapat diberikan dalam waktu 60 detik. Obat
ini akan menambah SVR dan dapat memberikan efek
sedasi bayi.
7. Propanolol dengan dosis 0,01 mg 0,25 mg /kg BB
berikan secara intravena pelan-pelan selama 5 menit,
akan mengurangi denyut jantung dan mengurangi
spasme infundibulum serta mengatasi spel. Propranolol
tidak dianjurkan bila direncanakan open heart surgery.
Beta blocker lain yang dapat diberikan adalah Esmolol
(Breviblock) dengan dosis loading 500 ug/kg dalam 1
menit kemudian infuse dengan diagnosis 50-950
ug/kg/menit (dimulai dengan dosis 25-50 ug/kg/menit
dan dititrasi)
8. Propanolol oral dengan dosis 2-6 mg/kg BB/hari dalam
3-4 kali pemberian dapat diberikan untuk mencegah
berulannya spells hipoksik dan memperlambat prosedur
koreksi bedah pada kasus dengan resiko tinggi.
Bila spel hipoksia tak teratasi dengan pemberian
propanolo dan keadaan semakin memburuk, maka harus
secepatnya dilakukan operasi. Bila usia kurang dari 6 bulan
dilakukan operasi paliatif Blalock Taussig Shunt (BTS).
Sementara menunggu bayi lebih besar atau keadaan
umumnya lebih baik untuk operasi definitive (koreksi total).
Tetapi bila usia sudah lebih dari 6 bulan dapat langsung
dilakukan operasi koreksi total (penutupan lubang VSD dan
pembesaran alur keluar ventrikel kanan yang sempit)
Bila spel berhasil diatasi dengan propranolol dan
kondisi bayi cukup baik untuk menunggu, maka operasi
koreksi total dilakukan pada usia sekitar 1 tahun.
Bayi tanpa riwayat spel hipoksia
Bila tak ada riwayat spel hipoksia, umumnya operasi
koreksi total dilakukan pada usia sekitar 1 tahun.
Sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan sadap jantung
untuk menilai kondisi kedua arteri pulmonalis.
Syarat operasi koreksi total ialah:
Ukuran arteri pulmonalis kanan dan kiri cukup besar dan
memenuhi kriteria yang disesuaikan dengan berat
badan.
Ukuran dan fungsi ventrikel kiri harus baik agar mampu
menampung aliran darah dan memompanya setelah
terkoreksi.
Bila syarat di atas tidak terpenuhi maka harus
dilakukan operasi BTS dulu dengan tujuan memperbesar
diameter arteri pumonalis atau memperbaiki ventrikel kiri.
Anakusia 1 tahun
Pada anak usia sekitar atau lebih dari 1 tahun,
secepatnya dilakukan pemeriksaan sadap jantung untuk
menilai diameter arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya.
Bila ternyata ukuran arteri pulmonalis kecil maka harus
dilakukan operasi BTS dahulu.
Bayi atau anak yang telah menjalani BTS
Ukuran arteri pulmonalis harus dievaluasi sekitar 6-
12 bulan post BTS. Untuk ini dilakukan pemeriksaan sadap
jantung dan angiografi a. pulmonalis dengan cara
menyuntikan kontras di saluran BTS. Bila pertumbuhan
arteri pulmonalis cukup adekwat maka operasi koreksi total
dapat dilakukan. Bila belum maka dievaluasi 6 bulan lagi
atau dipertimbangkan memasang BTS lain di sisikontra.
(Rahayuningsih, Sri Endah. 2009)
2.1.10. Pencegahan
Langkah pencegahan untuk penyakit jantung
kongenital ini sebenarnya tidak diketahui tetapi langkah untuk
berjaga-jaga bisa diambil untuk mengurangi risiko mendapat
bayi yang mengidap masalah jantung, yaitu:
Sebelum mengandung seseorang wanita itu perlu
memastikan ia telah mendapatkan imunisasi rubella.
Jangan merokok, minum alkohol, dan menyalahgunakan
obat-obatan.
Ibu-ibu yang mengalami penyakit kronik seperti Diabetes,
Fenilketonuria (PKU), epilepsi dan kecacatan jantung perlu
mengunjungi dokter sebelum hamil.
Memeriksakan diri secara rutin pada masa kehamilan.
Tetralogy of Fallot dapat terlihat selama prosedur USG atau
dapat dipastikan dengan pemeriksaan diagnostic yang lain
seperti Echocardiogram.
Memperhatikan nutrisi yang adekuat terhadap janin selama
masa kehamilan serta mengurangi faktor-faktor risiko yang
lain.
Persatuan Jantung Amerika (AHA) mencadangkan
pemberian antibiotik pencegahan (prophylaxis) kepada anak-
anak yang menghidap endokarditis bakterialis apabila mereka
menjalani:
Pembedahan tonsil dan adenoid.
Pembedahan gastrointestinal, saluran reproduksi dan
saluran kemih.
Ampicillin 50mg/kg (maksimal 2 g) bersama gentamicin 2 mg
(maksimal 80 mg) diberi 30 menit sebelum dilakukan
prosedur berkenaan. Dan hendaknya diulang 6 jam
kemudian bagi kedua obat tersebut. Obat ulangan itu boleh
diganti dengan Amoxicillin 25 mg (maksimal 1.5 g) bagi
penderita dengan resiko rendah (mayoclinik.com).
Menurut Judarwanto, 2012 dalam artikelnya yang dikutip
dari Kompas.com menyebutkan Penyakit Jantung Bawaan
(PJB) dapat dicegah dengan cara :
a) Pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan saat kehamilan
yang rutin sangat diperlukan. Dengan control kehamilan
yang terastur, maka PJB dapat dihindari atau dikenali
secara dini
b) Kenali factor risiko pada ibu hamil (usia ibu di atas 40
tahun,ada riwayat dalam keluarga, kelainan genetic)
c) Pemeriksaan antenatal juga dapat mendeteksi adanya PJB
pada janin dengan ultrasonografi (USG). Umumnya PJB
dapat dideteksi pada saat USG dilakukan pada paruh kedua
kehamilan lebih dari 20 minggu. Apabila terdapat
kecurigaan adanya kelainan jantung pada janin, maka
penting untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan
ekokardiografi. Dengan pemeriksaan ini, gambaran jantung
dapat dilihat dengan teliti.
d) Tidak mengkonsumsi obat-obat tertentu saat kehamilan
e) Melakukan Skrining sebelum merencanakan kehamilan.
Skrining ini juga dikenal dengan skrining TORCH
(Toksoplasma, Rubela, SitoMegalovirus, dan Herpes).
Skrining TORCH ini rutin dilakukan oleh ibu-ibu hamil di
Negara maju, namun di Indonesia skrining ini jarang
dilakukan.
f) Hindari paparan asap rokok baik aktif maupun pasif dari
suami atau anggota keluarga di sekitarnya.
g) Hindari paparan sinar X atau radiasi dari foto rontgen
berulang pada masa kehamilan
h) Hindari polusi asap kendaraan dengan menggunakan
masker pelindung agar tidak terhisap zat-zat racun dari
karbondioksida (Judarwanto, 2012).
2.1.11.Komplikasi
Abses serebri
ToF yang tidak dioperasi merupakan faktor predisposisi
penting abses serebri. Kejadian abses serebri berkisar antara
5-18,7% pada penderita ToF, sering pada anak di atas usia 2
tahun.8 Beberapa patogen penyebabnya antara lain
Streptococcus milleri, Staphylococcus, dan Haemophilus. ToF
bisa menyebabkan abses serebri karena hipoksia, polisitemia,
dan hiperviskositas. Dampaknya adalah terganggunya
mikrosirkulasi dan menyebabkan terbentuk
mikrotrombus,ensefalomalasia fokal, serta terganggunya
permeabilitas sawar darah otak. Meningitis terjadi pada 20%
anak ToF dan septikemia terjadi pada 23% anak ToF.
Umumnya abses hanya tunggal, bisa ditemukan abses multipel
walaupun jarang. Lokasi tersering di regio parietal (55%), lokasi
lain yang sering adalah regio frontal dan temporal. Abses
multipel terutama ditemukan pada anak luluh imun
(immunocompromised) dan endokarditis.
Pada abses serebri terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak spesifik, seperti nyeri kepala, letargi, dan
perubahan tingkat kesadaran. Demam jarang ditemukan.
Sering muncul muntah dan kejang pada saat awal terjadinya
abses serebri. Makin banyak terbentuk abses, nyeri kepala dan
letargi akan makin menonjol. Defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan penglihatan juga
dapat muncul. Tanda lain defi sit neurologis adalah
papiledema, kelumpuhan nervus III dan VI menyebabkan
diplopia, apoptosis, hemiparesis. Perubahan tanda vital yang
dapat terjadi adalah hipertensi, bradikardi, dan kesulitan
bernapas. Ruptur abses dapat terjadi, ditandai dengan
perburukan semua gejala. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan darah tepi menemukan leukositosis dan LED
meningkat. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan CT-scan
kepala atau MRI.
Gagal Jantung
Gagal jantung sering ditemukan pada penderita ToF
yang tidak menjalani terapi bedah. Umumnya terjadi pada
penderita ToF usia dewasa, juga sering ditemukan pada usia
remaja. Penyebab gagal jantung multifaktorial, biasanya
bergantung pada besarnya pirau antara aorta dan arteri
pulmonalis. Gagal jantung juga dapat disebabkan oleh terapi
bedah yang tidak tuntas atau kurang tepat. Beberapa hal yang
sering menyebabkan gagal jantung akibat terapi bedah adalah
kerusakan septum ventrikal yang masih tersisa, kerusakan
pirau antara aorta dan arteri pulmonalis, tidak berfungsinya
ventrikel kanan, gangguan otot septum ventrikel, regurgitasi
katup pulmonal dan trikuspid, hipertensi arteri pulmonalis,
kerusakan ventrikel kiri karena terganggunya aliran darah
koroner, heart block, dan regurgitasi katup aorta. Gagal jantung
pada penderita ToF berkaitan erat dengan disfungsi miokard.
Miokard yang terkena tidak hanya di ventrikel kanan, namun
dapat pula diventrikel kiri akibat hipoksia yang berlangsung
lama. Selain itu gagal jantung bisa akibat polisitemia berat
menyebabkan trombo-emboli, oklusi koroner, berakibat iskemi
atau infark miokard yang dapat mencetuskan gagal jantung.
Hipoksia berat menyebabkan disfungsi miokard berat. Kondisi
yang sering menyertai terjadinya gagal jantung adalah anemia
dan endokarditis bakterial. Pada kondisi anemia yang berat,
gejala gagal jantung semakin terlihat.
Endokarditis
Kejadian endokarditis paling sering ditemukan pada ToF
di antara semua penyakit jantung bawaan sianotik. Penyebab
tersering adalah streptokokus. Beberapa hal dapat berkaitan
dengan terjadinya endokarditis pada ToF. Faktor pertama yang
penting adalah struktur abnormal jantung atau pembuluh darah
dengan perbedaan tekanan atau turbulensi bermakna yang
menyebabkan kerusakan endotel, yaitu mikrolesi pada
endokardium, dan pembentukan platelet, fi brin, trombus.
Faktor kedua adalah bakteremia. Bakteremia dapat terjadi
karena mikroorganisme di dalam darah menempel pada
mikrolesi sehingga menimbulkan proses peradangan selaput
endokardium. Gejala klinis endokarditis bervariasi. Demam
pada endokarditis biasanya tidak terlalu tinggi dan lebih dari
satu minggu. Anoreksia, malaise, artralgia, nyeri dada, gagal
jantung, splenomegali, petekie, nodul Osler, Roth spot, lesi
Janeway, dan splinter hemorrhage dapat dijumpai. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan kultur darah yang positif atau terdapat
vegetasi pada ekokardiografi .
Polisitemia dan Sindrom Hiperviskositas
Polisitemia pada ToF terjadi akibat hipoksemi kronik
karena pirau kanan ke kiri. Hal ini merupakan respons fi
siologis tubuh untuk meningkatkan kemampuan membawa
oksigen dengan cara menstimulasi sumsum tulang melalui
pelepasan eritropoetin ginjal guna meningkatkan produksi
jumlah sel darah merah (eritrositosis). Awalnya, polisitemia
menguntungkan penderita ToF, namun bila hematokrit makin
tinggi, viskositas darah akan meningkat yang dapat
mengakibatkan perfusi oksigen berkurang sehingga
pengangkutan total oksigen pun berkurang, akibatnya dapat
meningkatkan risiko venooklusi. Gejala hiperviskositas akan
muncul jika kadar hematokrit 65% berupa nyeri kepala, nyeri
sendi, nyeri dada, iritabel, anoreksia, dan dispnea. (Darmadi &
Rusli, 2013)
Komplikasi lain yang dapat terjadi akibat penyakit
tetralogi fallot adalah sebagai berikut: (Staf IKA, 2000)
1. Trombosis pulmonal
2. CVA trombosis
3. Abses otak
4. Perdarahan
5. Anemia relatif
Komplikasi lain menurut yayan (2010) yang dapat terjadi
pada penderita tetralogi Fallot antara lain :
- Infark serebral (umur < 2 tahun)
- Abses serebral (umur > 2 tahun)
- Polisitemia
- Anemia defisiensi Fe relatif (Ht < 55%)
- SBE
- DC kanan jarang
- Perdarahan oleh karena trombositopenia
Secara keseluruhan, pasien yang menjalani bedah
perbaikan untuk TOF memiliki prognosis yang sangat baik
dengan 20 tahun tingkat kelangsungan hidup lebih dari 90%.
Chronic heart failure bagi yang baru lahir
Endokarditis infektif
CVA ( cerebral vascular accident ) disebabkan oleh
trombosis akibat pernambahan viskositi darah atau hipoksia
yang teruk
Abses otak
Komplikasi bedah perbaikan TOF, antara lain :
Aritmia terutama takikardia ventrikel (VT)
Aritmia atrium
Hipertrofi ventrikel atau pembesaran karena stenosis
pulmonal residu dan aliran darah mundur ke ventrikel kanan
Komplikasi jangka panjang termasuk kebutuhan untuk
operasi tambahan, keterlambatan perkembangan saraf dan
fibrosis miokard. Pasien harus diikuti oleh ahli jantung anak
untuk memantau komplikasi jangka pendek dan jangka
panjang.
Komplikasi Post Operasi
Prosedur Pemasangan Shunt :
Perdarahan
Pneumothorax
Shunt yang >> Pulmonary blood flow meningkat
Pulmonary Edema inadequate systemic blood flow.
Shunt yang << perbaikan oksigenasi sedikit.
Trombosis pada shunt.
PA hypoplasia.
Koreksi Total
Komplikasi Segera :
Low output state
Obstruksi residual RVOT
Koagulopati
Heart Block
Gagal Ginjal
Trauma Neavus Phrenicus
Stroke
Infeksi
Komplikasi Lambat :
Obstruksi RVOT
Aneurysma RVOT
Disritmia dan Sudden Death
Insufisiensi Valvular (Nasution, Akhyar H., 2008).
2.2. Ventricular Septal Defect (VSD)
2.2.1. Definisi
2.2.2. Etiologi
Penyebab VSD adalah pada perkembangan Embrio
maka gabungan ventrikuler dan membranous terjadi saat
kehamilan umur 4 8 minggu. Perkembangan septum
muskular terjadi saat ventrikel kanan dan kiri membentuk
sumbu (fuse) sedangkan septum membranous terjadi akibat
pertumbuhan dari endocardial ciushius. Selama proses
pembentukan sekat ini dapat terjadi defek kongenital akibat
gangguan pembentukan ini.
VSD terjadi karena kegagalan penyatuan atau kurang
berkembangnya komponen atau bagian dari septum
interventricularis jantung (terutama pars membranacea).
Perkembangan ini terjadi pada hari ke-24 sampai ke-28 masa
kehamilan. Kegagalan gen NKX2.5 dapat menyebabkan
penyakit ini. Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-
obatan terlarang telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang
paling mungkin pada VSD.
Pada kebanyakan anak, penyebab VSD tidak diketahui.
Beberapa anak memiliki cacat jantung lainnya bersama dengan
VSD (American Heart Association,2009). Kebanyakan VSD
adalah jenis cacat jantung bawaan, yang berarti mereka hadir
pada saat lahir. Tidak jelas mengapa VSD berkembang, tetapi
genetika mungkin memainkan peran. Meskipun jarang,
beberapa VSD dapat terjadi setelah serangan jantung atau
trauma(Mccoy, 2013).
Beberapa teori etiologi antara lain :
1. Kromosomal : adanya beberapa kelainan kromosomdan
sindrom tertentu yang mencangkup VSD.Yaitu :
a. Sindrom Holt-Oram
b. Sindrom down (Trisomi 21)
c. Trisomi 13
d. Trisomi 18
2. Familial : sekitar 3 % anak dengan orang tua VSD juga
menderita VSD.
3. Geografis : populasi di Asia (jepang dan Cina mempunyai
insiden defek pulmonal lebih sering)
4. Lingkungan
Lebih dari 90% kasus penyakit jantung bawaan
penyebabnya adalah multi factor. Ada beberapa faktor yang
diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian
penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu :
Faktor prenatal (faktor eksogen)
Ibu menderita penyakit infeksi : Rubela
Ibu alkoholisme
Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
Ibu meminum obat-obatan penenang
Faktor genetic (faktor endogen)
Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ayah/ibu menderita PJB
Kelainan kromosom misalnya sindrom down
Lahir dengan kelainan bawaan yang lain
Kelainan ini merupakan kelainan terbanyak, yaitu sekitar
25% dari seluruh kelainan jantung. Dinding pemisah antara
kedua ventrikel tidak tertutup sempurna. Kelainan ini umumnya
congenital, tetapi dapat pula terjadi karena trauma. Kelainan
VSD ini sering bersama-sama dengan kelainan lain misalnya
trunkus arteriosus, Tetralogi Fallot. (Wahab, 2009)
2.2.3. Epidemiologi
Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan gangguan
jantung congenital asianotik yang paling sering ditemukan. Tiga
Puluh persen (30%) seluruh defek jantung congenital
merupakan VSD (Kowalak, 2011). Dari 82 pasien terdapat 43
laki-laki dan 39 perempuan. PJB yang paling sering adalah
Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu sebanyak 29% (Rahmi,
2010). Menurut penilitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam
Malik dari 43 pasien dengan sindrom down sebanyak 46,5 %
menderita penyakit jantung congenital dan prevalensi penyakit
jantung congenital yang paling sering terjadi adalah ventricular
septal defect yaitu 40% (Hurairah, 2011).
Defek septum ventrikel adalah kelainan jantung
kongenital yang paling sering ditemukan, yaitu:
1. 20-30% dari seluruh kasus kelainan jantung bawaan.
2. 1,5-3,5, dari kelahiran hidup.
3. Frekuensi pada wanita 56%, sedangkan laki-laki 44%.
4. Sering dijumpai padan sindrom down.
5. Kelainan tunggal dan kelainan jantung kongenital yang
muncul bersama dengan VSD adalah 50% dari seluruh
kasus kelahiran jantung kongenital.
6. Insiden tertinggi pada prematur dengan kejadian 2-3 kali
lebih sering. (Wahab, Samik, 2006)
VSD mempengaruhi 2-7% dari kelahiran hidup. Daerah
tempat tinggal pasien dapat mempengaruhi prevalensi VSD
yang diketahui. Sebuah studi ekokardigrafi mengungkapkan
tingginya insiden 5-50 setiap 1000 bayi baru lahir. VSD adalah
lesi yang paling umum pada beberapa sindrom kromosom,
termasuk trsomi 13, trisomi 18, trisomi 21 dan sindrom relatif
jarang. Bagiamanapun, lebih dari 95% dari pasien dengan
VSD, kecacatan tidak berhubungan dengan kelainan
kromosom.
VSD sedikit lebih umum pada pasien wanita
dibandingkan pada pasien laki-laki (56%, 44%). Laporan tidak
dapat disimpulkan mengenai perbedaan ras dalam distribusi
VSD. Namun, dua kali lipat terjadi pada populasi Asia, ini
merupakan 5% dari kecacatan Amerika Serikat tetapi 30% dari
mereka dilaporkan di Jepang (Ramaswary, 2013).
Dari semua kelahiran prevalensi CHD yaitu 26,6% dan
CHD yang paling sering ditemui yaitu Ventricular Septal Defect
(VSD,17,3 %) . Pada perempuan lebih dominan ditemui pada
CHD ringan (VSD, dan ASD) sedangkan pada laki laki lebih
sering dijumpai CHD berat (Zhao QM, Ma XJ, 2013)
2.2.4. Klasifikasi
Ventikel Septum Defek (VSD) di klasifikasikan menjadi
beberapa tipe, yaitu :
1. Defek Septum Ventrikel Perimembranus
Perimembranous (tipe paling sering, 60%) bila lubang
terletak di daerah pars membranaceae septum
interventricularis . Defek pada jaringan membranus disebut
sebagai defek septum ventrikel tipe membranus. Sering
defek ini melebar sampa jaringan muskuler sekitarnya. Oleh
karena itu banyak yang menyebutkan defek septum tipe peri
membranus. Dan karena letaknya di bagian superior
septum, kadang-kadang dikenal pula sebagai defek septum
ventrikel tipe tinggi.
2. Defek Septum Ventrikel Muskuler
Muskuler, bial lubang terletak di daerah septum muskularis
interventrikularis . Defek septum ventirkel tipe muskuler
sangat jarang terjadi. Kadang-kadang defek ini disebut
sebagai defek septum ventrikel tipe rendah (low ventricular
septal defect).Sesuai dengan lokasinya, ada defek septum
ventrikel tipe muskuler pada inlet (posterior), pada trabekel
(bagian sentral, atau apical) dan pada outlet (infundibuler).
Suatu defek multiple di bagian apical dikenal pula sebagai
defek septum ventrikel tipe swiss cheese.
3. Defek Septum Ventrikel Subarterial
Subarterial doubly commited, bial lubang terletak di daerah
septum infundibuler dan sebagian dari batas defek dibentuk
oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup pulmonal .
Defek ini sebenarnya termasuk tipe muskuler dan terdiri dari
defek subpulmonal (yang beradapersis di bawah katup
pulmonal) dan doubly committed subarterial (yang terletak
di bawah jaringan fibrus antara katup aorta dan katup
pulmonal)
Berdasarkan letaknya terhadap Krista Supraventrikuler
(lebih tepat disebut sebagai trabekel septomarginal). Defek
septum ventrikel tipe subpulmonal dan doubly committed
subarterial kadang-kadang dinamakan pula defek suprakista.
Dan defek septum ventrikel tipe perimembranus subaortik dan
subtrikuspid disebut defek infrakista.
Menurut ukurannya VSD dapat dibagi menjadi:
a. VSD kecil
Biasanya asimptomatik
Defek kecil 1-5 mm
Tidak ada gangguan tumbuh kembang
Bunyi jantung normal, kadang ditemukan bising
peristaltic yang menjalar ke seluruh tubuh pericardium
dan berakhir pada waktu distolik karena terjadi
penutupan VSD
EKG dalam batas normal atau terdapat sedikit
peningkatan aktivitas ventrikel kiri
Radiology: ukuran jantung normal, vaskularisasi paru
normal atau sedikit meningkat
Menutup secara spontan pada umur 3 tahun
Tidak diperlukan kateterisasi
b. VSD sedang
Sering terjadi symptom pada bayi
Sesak napas pada waktu aktivitas terutama waktu
minum, memerlukan waktu lebih lama untuk makan dan
minum, sering tidak mampu menghabiskan makanan
dan minumannya
Defek 5- 10 mm
BB sukar naik sehingga tumbuh kembang terganggu
Mudah menderita infeksi biasanya memerlukan waktu
lama untuk sembuh tetapi umumnya responsive
terhadap pengobatan
Takipneu
Retraksi bentuk dada normal
EKG: terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri
maupun kanan, tetapi kiri lebih meningkat. Radiology:
terdapat pembesaran jantung derajat sedang, conus
pulmonalis menonjol, peningkatan vaskularisasi paru
dan pemebsaran pembuluh darah di hilus.
c. VSD besar
Sering timbul gejala pada masa neonatus.
Dispneu meningkat setelah terjadi peningkatan pirau kiri
ke kanan dalam minggu pertama setelah lahir.
Pada minggu ke2 atau 3 simptom mulai timbul akan
tetapi gagal jantung biasanya baru timbul setelah
minggu ke 6 dan sering didahului infeksi saluran nafas
bagian bawah.
Bayi tampak sesak nafas pada saat istirahat, kadang
tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat
gangguan pernafasan.
Gangguan tumbuh kembang.
EKG terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kanan dan
kiri.
Radiology: pembesaran jantung nyata dengan conus
pulmonalis yang tampak menonjol pembuluh darah hilus
membesar dan peningkatan vaskularisasi paru perifer.
(Harimurti, G.M. 2007)
2.2.6. Patofisiologi
(terlampir)
Manifestasi klinis:
Bayi yang kecil dan kurus dengan pertambahan berat
badan yang lambat kalau VSD yang lebar terjadi
bersama dengan gagal jantung
Bising sistolik yang keras, kasar, dan menjalar
secara luas kendati paling jelas terdengar di
sepanjang tepi sternum kiri pada sela interkosta
ketiga atau keempat; bising ini disebabkan oleh aliran
darah abnormal yang melewati VSD
Getaran atau thrill yang bisa diraba dan disebabkan
oleh aliran darah turbulen di antara kedua ventrikel
melalui VSD yang kecil
Komponen pulmoner yang keras dan terpecah lebar
dari bunyi S2 yang disebabkan oleh peningkatan
selisih tekanan lewat VSD
Pergeseran iktus kordis akibat hipertrofi jantung
Bagian anterior dada yang menonjol dan terjadi
sekunder karen hipertrofi jantung
Pembesaran hati, jantung, dan limpa karena kongesti
sistemik
Kesulitan menyusu yang menyertai gagal jantung
Diaphoresis, takikardia, dan pernapasan cepat
disertai bunyi mengorok karena gagal jantung
(Kowalak, Jennifer P. 2011)
2.2.8. Pemeriksaan Diagnostik
A. Anamnesis
1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan,
atau tanpa gejala (asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk
karena ditemukannya bising jantung (murmur) secara
kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan
S2 normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6
dengan punktum maksimum di interkostal 3-4 pada garis
parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan
berupa takipnea dan takikardia ringan. Bayi sering
mengalami kesulitan minum dan makan, dan sering
mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan
takipnea, retraksi interkostal atau suprasternal.
Pertambahan berat badan sangat lambat. Ditemukan
thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik
intensitas keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising
mid-diastolik sering ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat
gejala dan tanda gagal jantung kiri. Bayi mengalami
takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien tampak sesak,
tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering
mengalami ISPA berulang. Bising pansistolik akan
terdengar bernada rendah dan tidak terlokalisasi.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV
besar akan ditemukan LVH atau BVH.
2. Foto Rontgen toraks
Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal
dengan corakan vaskular paru normal. Pada DSV
sedang, terdapat kardiomegali dan peningkatan corakan
vaskular paru dan tampak penonjolan segmen pulmonal.
Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan
corakan vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan.
3. Ekokardiografi
Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan
Doppler berwarna dapat ditentukan besar defek, arah
pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi ventrikel.
4. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk
menilai besarnya pirau dari kiri ke kanan (QP/QS) dan
tingginya resistensi vaskular paru agar dapat ditentukan
apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi
pada DSV lebih ditujukan pada tindakan penutupan
transkateter.
5. Magnetic Resonance Imaging
Memberikan gambaran yang lebih baik terutama VSD
dengan lokasi apical yang sulit dilihat dengan
ekokardiografi juga dapat dilakukan besarnya curah
jantung, besaran pirau, dan evaluasi kelainan yang
2.2.10. Pencegahan
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi
risiko kelainan jantung bawaan pada bayi, diantaranya:
Khusus untuk kelainan jantung karena Sindrom Rubella
sebenarnya bisa dicegah bila di saat kecilnya si ibu pernah
diimunisasi MMR. Setiap wanita yang merencanakan untuk
hamil, sebaiknya menjalani vaksinasi rubella. Dengan
imunisasi tersebut, seseorang diharapkan kebal terhadap
gondongan campak jerman. Jika sudah kebal, pada saat
hamil nanti ia tidak akan terkena campak jerman, yang bisa
membuat cacat janinnya.
Pencegahan lain adalah menjaga kesehatan saat hamil.
Sebelum dan selama hamil sebaiknya ibu menghindari
pemakaian alkohol, rokok dan mengontrol diabetesnya
secara teratur. Jangan makan obat&obatan sembarangan
dan lakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur.
Khususnya pada usia kehamilan trimester pertama, saat
sedang terjadi proses pembentukan organ&organ tubuh si
bayi.
Anak diberikan asupan kalori yang memadai agar mencapai
pertumbuhan yang optimal.
Menurut Artikel Ventricular Septum Defect pasien Small
Ventricular Septum Defect dengan tekanan arteri paru
normal, fungsi ventrikel normal, dan tidak ditemukan lesi
memiliki toleransi aktifitas yang normal dan tidak ada
batasan berolahraga. Sedangkan yang memiliki pulmonary
arterial hypertension biasanya memiliki batasan dalam
berolahraga. Dan juga pada wanita hamil dengan Small
Ventricular Septum Defect tanpa hipertensi paru tidak
menimbulkan resiko pada kehamilan. Sedangkan moderate
defects dapat meningkatkan aliran darah pada paru-paru
selama kehamilan.
Upaya pencegahan pada masa kehamilan
Persiapan kehamilan
Pada awal masa kehamilan terutama tiga bulan pertama
dimana terjadi pembentukan organ tubuh antara lain
jantung, sebaiknya ibu tidak mengkonsumsi jamu
berbahaya dan obat obat yang dijual bebas di pasaran.
Menghindari minuman beralkohol . Perbanyak asupan
makanan bergisi terutama yang mengandung protein
dan zat besi juga asam folat tinggi. Protein bisa didapat
dari sumber hewani, misal ikan, daging, telur dan susu
maupun tumbuh tumbuhan sayur mayur segar.
Pencegahan anemia dengan makan aneka sayuran
yang mengandung zat besi juga teratur mengkonsumsi
tablet zat besi yang diresepkan dokter atau bidan.
Menghindari paparan sinar X atau radiasi dari foto rontgen
berulang pada masa kehamilan, ibu hamil tidak merokok
baik secara aktif maupun terkena asap rokok dari suami
atau anggota keluarga disekitarntya. Hindari polusi asap
kendaraan dengan menggunakan masker pelindung agar
tidak terhisap zat - zat racun dari karbon dioksida.
Pencegahan infeksi pada masa hamil
Segera lakukan pencegahan sebelum masa kehamilan
seperti imunisasi MMR untuk mencegah penyakit morbili
(campak) dan rubella selama hamil. Pola hidup sehat dan
cukup olahraga yang sesuai dengan kondisi ibu hamil agar
meningkatkan daya tahan tubuh dan istirahat yang cukup
agar tidak mudah terserang penyakit infeksi sejak hamil
muda.
Ibu hamil dengan faktor resiko antara lain kehamilan
dengan usia ibu di atas 40 tahun, ada riwayat penyakit
dalam keluarga seperti diabetes, kelainan genetik down
sindrom, penyakit jantung dalam keluarga perlu waspada
dengan faktor resiko meskipun kecil kemungkinannya.
2.2.11.Komplikasi
1. Hipertensi pulmoner
Hipertensi pulmonal (HP) adalah tekanan arteri
pulmonalis lebih dari 25 mm Hg saat beristirahat dan lebih
dari 30 mm Hg saat beraktivitas. PJB menyebabkan
peningkatan aliran darah ke arteri pulmonalis. Lesi pada
jantung seperti Pirau dari kiri ke kanan seperti Defek
Septum Ventrikel (DSV) yang menyebabkan HP. HP
disebabkan oleh peningkatan aliran darah atau peningkatan
resistensi arteri pulmonalis. Peningkatan volume darah yang
menuju ke arteri pulmonalis menyebabkan perubahan pada
dinding arteri pulmonalis. Di samping akibat peningkatan
aliran darah, juga terjadinya kompensasi vasokonstriksi
arteri pulmonalis. HP hiperkinetik merupakan respon
kompensasi akibat peningkatan aliran darah dari kiri ke
kanan dan biasanya reversibel jika penyebabnya dikoreksi
sebelum terjadi perubahan permanen pada arteri
pulmonalis. Onset timbulnya HP hiperkinetik bervariasi dari
masa bayi sampai dewasa, namun paling sering terjadi
pada awal masa adolesen.
Gejala klinik pada bayi dan anak mungkin berbeda
dengan dewasa. Bayi menunjukkan gejala akibat penurunan
CO, seperti nafsu makan menurun, gagal tumbuh, letargi,
diaporesis, takipneu, takikardi, mual muntah dan iritabel.
Bayi atau anak mungkin sianosis saat beraktivitas atau saat
beristirahat akibat aliran darah dari kanan ke kiri. Pada
anak, sesak napas adalah gejala yang paling sering,
terutama saat latihan fisik akibat kegagalan meningkatkan
CO saat kebutuhan oksigen jaringan meningkat. Episode
sinkop lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada
dewasa karena terbatasnya CO yang timbul baik saat
latihan maupun saat di luar latihan akibat berkurangnya
aliran darah ke otak. Dilatasi pembuluh darah perifer saat
latihan juga memperberat sinkop.
Kebanyakan kasus HP sulit untuk diterapi dan sulit
kembali seperti normal, walaupun penyebabnya dapat
dieliminasi. Satu-satunya jalan adalah melakukan
pencegahan dan eliminasi penyebab sedini mungkin. Jika
penyebabnya adalah VSD maka tindakan yang dapat
dilakukan adalah mengeliminasi penyebab, seperti tindakan
pembedahan yang tepat waktu terhadap VSD dengan pirau
kiri ke kanan yang besar (Hartawan B., et al, 2008).
2. Sindrom Eisenmenger
Pasien dengan VSD dan hipertensi pulmonal akibat
penyakit vascular paru memperlihatkan dada menonjol
akibat pembesaran ventrikel kanan yang berat. Pada
peralihan antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri
seringkali pasien akan tampak lebih baik, lebih aktif, dengan
toleransi latihan yang relative lebih baik dibanding
sebelumnya. Dengan berlanjutnya kerusakan vascular paru,
akhirnya terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri, sehingga
pasien sianotik. Dalam tahapan ini kembali pasien
memperlihatkan toleransi latihan yang menurun, batuk
berulang dan infeksi saluran nafas berulang, dan gangguan
pertumbuhan yang makin berat (Sastroasmoro S., et al,
1994).
Sindrom Eisenmenger terjadi jika HP berat dan akan
timbul sianosis akibat aliran darah berbalik dari kanan ke kiri
yang menandakan perubahan ireversibel pada arteri
pulmonalis, atau telah terjadi pulmonary vascular
obstructive disease (PVOD).
Secara umum anak dengan DSV belum berkembang
menjadi PVOD dalam tahun pertama kehidupannya, namun
jika sejak awal lesi jantung disertai penyakit paru kronis
akan mempercepat perkembangan menuju ke PVOD.
Sindrom Down dengan pirau dari kiri ke kanan yang besar
akan menderita PVOD lebih awal dari anak yang tidak
menderita sindrom Down dengan kelainan yang sama
(Hartawan B., et al, 2008).
3. Endokarditis Infeksiosa
Endokarditis Infektif (EI) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi mikroba pada lapisan endotel
jantung dan pembuluh darah besar. Penyakit ini ditandai
dengan terbentuknya vegetasi yang dapat terjadi pada
katup jantung (baik katup buatan maupun katup natif),
endokardium dan benda asing intravaskular seperti benda
penutup defek atau membuat pirau intrakardial untuk
memperbaiki kelainan jantung bawaan.
Endokarditis Infektif lebih sering terjadi akibat komplikasi
penyakit jantung bawaan seperti defek septum ventrikel.
Pada umumnya organisme yang menyebabkan EI pada
anak adalah kokus gram positif, terutama kelompok
Streptococcus viridans (seperti S. sanguis, S. mitis, S.
mutans), Stafilokokus dan Enterokokus.
Endotelium jantung yang intak merupakan stimulator
yang buruk untuk terjadinya koagulasi darah dan bakteri
tidak mudah menempel. Endotelium yang rusak atau hilang
berpotensi menyebabkan trombogenesis dan membentuk
sarang yang menjadi tempat menempelnya bakteri dan
membentuk vegetasi yang terinfeksi. Pada anak dengan
penyakit jantung berhubungan dengan adanya aliran darah
bertekanan tinggi yang dapat merusak endotelium.
Trombogenesis terjadi pada tempat tersebut dan
menyebabkan deposisi trombosit, fibrin, sel darah merah
dan membentuk endokarditis trombotik nonbakterial. Bila
terjadi bakteriemia maka bakteri akan melekat pada lesi
endokarditis trombotik nonbacterial tersebut. Trombosit dan
fibrin akan terkumpul disekitar organisme dan menyebabkan
pembesaran vegetasi serta melindungi organisme tersebut
dari sel fagositik dan mekanisme pertahanan tubuh lain.
Gejala klinis EI biasanya tidak jelas, berupa panas badan
yang lama dan tidak begitu tinggi, cepat capai, atralgia,
mialgia, penurunan berat badan, splenomegali dan anemia
(Rahayuningsih S. E., 2004).
4. Pneumonia
Faktor predisposisi pneumonia adalah adanya kelainan
anatomi kongenital seperti VSD. Pneumonia terjadi bila
mekanisme pertahanan tubuh mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas
bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran
nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu
yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya. Pada
keadaan imnunokompromis seperti VSD, pemberian
antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumoni
didapatkan. Manifestasi bisa berat yaitu sesak, sianosis dan
dapat juga gejala tidak terlihat jelas pada neonatus (Retno
A. S., 2006).
5. Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang
disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot
jantung dalam mengantisipasi peningkatan beban volume
ataupun beban tekanan yang berlebih yang sedang
dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh
(Syofani S., 2002).
Gagal jantung kongestif pada anak dapat diakibatkan
karena kelainan kongenital maupun kelainan yang didapat,
tetapi sebagian besar diakibatkan oleh kelainan jantung
kongenital yang mengalami pemburukkan karena adanya
peningkatan beban volume dan atau peningkatan tekanan.
Mengingat penyebab tersering gagal jantung pada anak
adalah kelainan kongenital, maka terapi utama adalah
operasi. Terapi dengan obat-obatan bertujuan untuk
mempersiapkan anak menjalani operasi, mempertahankan
fungsi jantung dan mencegah penyakit menjadi progresif.
Jika operasi tidak dapat dilakukan maka terapi
medikamentosa menjadi terapi pilihan utama (Syofani S.,
2002).
6. Insufisiensi aorta
Pada pasien dengan defek septrum ventrikel
supracristal, insufisiensi aorta merupakan problem
tambahan. Pada defek septum ventrikel kecil akan
membebani ventrikel kiri, sedangkan defek septum ventrikel
besar akan membebani kedua ventrikel (Nasution A. H.,
2008). Defek subarterial dengan prolaps katup aorta dan
regurgitasi katup aorta yang bermakna merupakan indikasi
tindakan bedah. Apabila tidak dilakukan koreksi dapat
terjadi kerusakan katup aorta yang parah yang
membutuhkan penggantian katup (Sastroasmoro S., et al,
1994).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah abnormalitas struktur
makroskopis jantung atau pembuluh darah besar intratoraks yang
mempunyai fungsi pasti atau potensial yang berarti. Kelainan ini
merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada bayi
baru lahir. (Moons, et al. 2008)
Sebagian besar penderita PJB adalah dari jenis non-sianotik
dan sisanya jenis sianotik. Distribusi umur pasien pada saat diagnosis
dibagi atas jenis PJB sianotik/TOF dan non sianotik/VSD.
Dengan berkembangnya tindakan operatif dan intervensi serta
perkembangan teknologi medis, angka harapan hidup anak dengan
PJB telah meningkat secara dramatis selama beberapa dekade
terakhir dan tetap berlangsung hingga saat ini.
3.2. Saran
Sebagai perawat, kita harus bisa memahami situasi klien, dengan
mengetahui respon klien. Berikan asuhan secara holistik, tentang
bagaimana itu PJB tipe sianotik atau asianotik, penanganannya,
pencegahannya; serta jangan lupa untuk mengedukasi serta mengontrol
perkembangan penyakit klien. Sangat berperan penting pemahaman dan
kepedulian orang tua dalam mengontrol pemulihan kesehatan anak
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
TOF
Markum, C. 1992. Buku Ajar IlmuKesehatanAnakEdisi 15 Vol. 2.
Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.
Frenando, L. 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Tetralogi Of Fallot (TOF). Available from :
http://www.scribd.com/doc/114113693/Asuhan-Keperawatan-Tof.
Diakses pada 23 April 2014.
Bailliard, F., & Anderson, R. H. (2009). Tetralogy of Fallot. Orphanet
Journal of Rare Diseases, 4(2), 1-10.
Ruslie, R. H., & Darmadi. (2013). Diagnosis dan Tata Laksana
Tetralogy of Fallot. CDK-202, 40(3).
Supit, A.I & Kaunang, E.D. 2012. Tetralogii Fallot dan Atresia
Pulmonal. Jurnal Biomedik, Volume 4 (No.3):35-42.
Anderson, R.H & Bailiard, Frederique. 2009. Review : Tetralogy of
Fallot. Orphanet Journal of Rare Disease, Volume : 4 (2).
Abdullah, Rozi. 2012. Tetralogi Fallot.
http://bukusakudokter.org/2012/11/06/293/. Diakses tanggal 14 Juli
2014
Amit K. Ghosh, MD. 2008. Mayo Clinic Internal Medicine Review
Asad, Suryani. 2002. Gizi Kesehatan Ibu Dan Anak. Depdiknas :
Jakarta.
Baliff, J.P et a. 2003. New developments in prenatal screening for
Down syndrome. Am J Clin Pathol 2003;120(Suppl):S14. [PMID:
15298140]
Dunia Bunda. 2010. Bahan teratogenik dan kecacatan pada bayi.
http://www.duniabunda.com. Diakses tanggal 15 Juli 2014.
Kadek & Darmadi, S. 2007. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital)
Berdasarkan Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus (Congenital
Rubella Syndrome Based on Serologic and RNA Virus Examination).
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol.
13, No. 2 : 63-71.
Tjipta, G.D . 2004. Bayi Risiko Tinggi. USU Digital Library : Sumatra.
Underwood, J. C. E. 2010. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arief, dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapicus FKUI.
Nasution, A.H. 2008. Tetralogi Fallot. Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 41 No. 1 Maret 2008. Departemen/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik : Medan.
Hull, David dan Derek I. Johnston. 2008. Dasar-dasar Pediatri Edisi 3
Betz, Cecily . 2008. Buku Saku Keperawatan Bedah Pediatri. Edisi 3 .
EGC: Jakarta
Darmadi & Ruslie, R.H. (2013). Diagnosis dan Tata Laksana Tetralogy
of Fallot. RSUD ZA Pagar Alam, Kabupaten Way Kanan, Lampung,
Indonesia, vol. 40 no. 3
Reni Prima Gusty,dkk. 2012. Asuhan Keperawatan Anak dengan
Tetralogi of Fallot. Jakarta : FKUI
Tetralogy Of Fallot. 2006. Dikutip dari
http://www.mayoclinic.com/health. Diakses pada 26 April 2014.
Judarwanto ,widodo. 2012. 5 penyakit Jantung Bawaan dan
pencegahannya.
http://health.kompas.com/read/2012/12/24/17204326/5.Penyakit.Jantu
ng.Bawaan.dan.Pencegahannya. Diakses tgl 15 Juli 2014 jam 12.51
WIB
Israr, Yayan A. 2010. Tetralogi Fallot (TOF). FK Universitas Riau :
Pekanbaru. Available from :
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2010/01/files_of_drsmed_tetra
logi_fallot2.pdf. Diakses pada 24 April 2014.
Nasution, A.H. 2008. Tetralogi Fallot. Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 41 No. 1 Maret 2008. Departemen/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik : Medan.
VSD
Corwin E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Kowalak, J.P., Welsh, W., Mayer,B. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Muscari, M. E. (2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik.
Jakarta : EGC.
Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. EGC: Jakarta.
Rahayuningsih S.E., H Hamanoue, N Matsumoto-Sari Pediatri. 2011.
Peran Mutasi Gen CRELD1 pada Defek Septum Ventrikel dan
Hubungannya dengan Manifestasi Klinis (pdf). Available from:
saripediatri.idai.or.id.
Wahab, Samik A. 2006. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Kongenital
yang Tidak Sianootik. EGC: Jakarta
Wahab, A. Samik. 2009. Kardiologi Anak : Penyakit jantung congenital
yang tidak sianotik. Jakarta:EGC
American Heart Association.2009. Ventricular Septal Disease. Online.
Http://www.heart.org. Diakses pada tanggal 13 Juli 2014
Mccoy, Krisha. 2013. Ventricular Septal Defect. Online.
Http://medicine.med.nyu.edu. Diakses pada tanggal 13 Juli 2014
Hurairah, Khairul Aizat Abu. 2011. Prevalensi Kejadian Penyakit
Jantung Kongenital Pada Anak Penderita Sindrom Down Di RSUP
Haji Adam Malik pada Tahun 2008-2010. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
QM, Zhao, dan Ma QJ. 2013. Prevalence Of Congenital Heart Disease
at Live Birth : an Accurate Assement by Echocardiographic Screening.
Online. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed diakses pada tanggal 12
juli 2014
Rahmi. 2010. Prevalensi Penyakit Jantung Bawaan pada Anak
dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-
2009. Skripsi. FK Universitas Sumatera Utara
Ramaswamy, Prema. 2003. Ventricular Septal Defect. Medscape
Article.
Wahab, Samik A. 2006. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Kongenital
yang Tidak Sianotik. Jakarta: EGC
Harimurti, G.M. 2007. Penyakit Jantung Bawaan. Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, Pusat Jantung Nasional,
Harapan Kita: Jakarta
Wong, Donna L. 2004.Pedoman Klinis perawatan Pediatrik.
Jakarta:EGC
Aziz Alimul. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Edisi 2.
Jakarta: SalembaMedika
Cecily & Linda. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 5.
Jakarta: EGC.
Cecily L. Bets, Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatri Ed.3. EGC: Jakarta.
Davey P. 2006. At A Glance Medicine. Erlangga: Jakarta.
Harimurti, G.M. 2007. Penyakit Jantung Bawaan. Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, Pusat Jantung Nasional,
Harapan Kita: Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.
Cetakan Ketiga. Jakarta: SalembaMedika
Hull, D & Johnston, D.I. 2008. Dasar-dasar Pediatri (Ed. 3). EGC:
Jakarta.
Muscari, M. E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik (Ed.
3). EGC: Jakarta.
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia.2006.Ilmu Penyakit
Dalam. FKUI: Jakarta.
Roy & Simon. (2002). Lecture Notes Pediatrik, Jakarta : Erlangga.
Syaifuddin.(2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: SalembaMedika
Depkes RI. 2007. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan Tanpa
Bedah. Jakarta: Depkes
Syofani S., 2002, Peran Vasodilator pada Gagal Jantung Anak,
Medan: Sari Pediatri, Vol. 3, No. 4: 213 221
Rahayuningsih S. E., 2004, Penggunaan Sildenafil pada Anak dengan
Hipertensi Pulmonal, Bandung: Sari Pediatri, Vol. 6, No. 3: 125-128
Hartawan B., 2008, Hipertensi Pulmonal pada Anak, Denpasar:
Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 58, Nomor: 3
Retno A. S., 2006, Pneumonia, FK UNAIR, Ilmu Kesehatan Anak
XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI
Nasuiton A. H., 2008, Anestesi pada Ventrikel Septal Defek, Medan:
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 2
Sastroasmoro S., 1994, Buku Ajar: Kardiologi Anak, Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia
Mansjoer, Arief et al. 2000. Kardiologi Anak, Defek Septum Ventrikel :
Ilmu Kesehatan Anak, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilis 2.
Jakarta : Media Aesculapius.
Mayo Clinic Staff. 2011. Ventricular Septal Defect.
http://www.mayoclinic.org/. Diakses 12 April 2014