Anda di halaman 1dari 4

Praktikum ke-8 2011 MK Sosiologi Umum (KPM 130)

Hari/tanggal praktikum : Selasa, 3 Mei Kelas : A02

SISTEM STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT TERHADAP SISTEM STATUS YANG BERUBAH (W. F. Wertheim) SITUASI SOSIAL DUA KOMUNITAS DESA DI SULAWESI SELATAN (Mochtar Buchori dan Wiladi Budiharga) Oleh: Rizqi Adha Juniardi (E24100103) Asisten Praktikum: Dwi Agustina (I34080007) Debbie L. Prastiwi (I34080059) Ikhtisar I Pada zaman kolonial, Belanda menerapkan pelapisan masyarakat menurut garis ras, yang lazim terdapat di Jawa, mulai meluas ke pulau seberang. Tetapi pada abad XX terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola yang kaku tersebut dan meningkatkan mobilitas sosial. Uanglah yang melakukan pendobrakkan terhadap sistem yang lama. Semenjak tahun 1990, di Jawa terjadi peningkatan perbedaan profesi. Bertambah meluasnya ekonomi uang dan meningkatnya hubungan dengan Barat menimbulkan lapangan kerja baru. Orang Indonesia semakin banyak yang bekerja di bidang perdagangan, mulamula sebagai pedagang kecil, lalu menjadi pedagang menengah. Kelas pedagang sendiri tidak bertambah jumlahnya menurut Kahin. Ada pula sejumlah kecil orang Indonesia yang bekerja untuk pedagang-pedagang lain. Dalam penyelidikan tahun 1905, mereka dimasukkan ke dalam golongan yang lebih besar, yaitu orang yang bekerja di perdagangan, industri, dan pengangkutan. Pendidikan di sekolah dalam skala tradisional telah mendobrak struktur masyarakat pertanian. Orang-orang yang umumnya mendapatkan pendidikan pertanian atau pendidikan teknis sekalipun cenderung untuk mencari pekerjaan di kota-kota dimana mereka dapat mencapai prestise yang lebih tinggi. Sebabnya adalah dalam masyarakat Indonesia, yang lebih tinggi diberikan kepada kerja yang lebih intelek dan karena sedikitnya orang yang pandai baca-tulis, maka orang yang memiliki keahlian ini dapat menerima pendapatan yang relatif tinggi. Oleh karena itu, pendidikan telah menciptakan kelas baru yang

menduduki suatu posisi khusus dalam masyarakat. Hal ini membuat orang menjadi individualistis akibat ekonomi uang yang ditimbulkan di luar Jawa. Pengetahuan bahasa Belanda khususnya merupakan paspor untuk memperoleh jabatan yang tidak dapat dicapai oleh kebanyakan orang, maka pengetahuan itu juga telah terlibat dalam penentuan prestise kemasyarakatan. Pengangkatan yang meminta pendidikan tinggi pada umumnya sementara waktu hanya dapat diisi oleh orang-orang Indo, maka diadakan skala gaji khusus disesuaikan dengan tingkat hidup golongan Indo yang lebih tinggi, sedangkan jabatan-jabatan tertinggi diisi oleh tenaga yang didatangkan dari luar negeri. Dengan begini, maka jabatan yang mempunyai hak istimewa dari lapisan teratas Eropa dapat dipertahankan selama mungkin. Tetapi kemajuan bidang pendidikan menjadikan pangkat-pangkat semakin penting bagi orang Indonesia. Dengan bayaran tambahan semakin membuat proses peng-Indoan badan-badan administratif telah maju dengan cepat. Pendidikan model Barat, bahasa Belanda sebagai pengantar telah menimbulkan keintiman kebudayaan. Hal ini membuat dinding ras semakin hilang. Kendati pun telah berkembang suatu kelas menengah Indonesia yang terdiri dari pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan pedagang., perbedaan pendapatan masih terjadi. Orang Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan tidak menerima lagi pelapisan sosial kolonial berdasarkan ras sehingga lama kelamaan bangsa Eropa dan Cina menjadi setara dengan bangsa Indonesia karena pendidikan. Ikhtisar II Komunitas Maricaya Selatan terdiri dari lima golongan masyarakat yang menempati tiga lapisan pokok, yaitu golongan pejabat (kelompok profesional lapisan atas), golongan alim ulama-golongan pedaganggolongan pegawai (kelompok lapisan menengah), dan golongan buruh (lapisan bawah). Penduduk dari golongan mayoritas tampak terbuka untuk membentuk pola pergaulan sosial yang akrab dari golongan minoritas dan kelompok penduduk lapisan menengah dengan bentukbentuk usaha seperti PKK dan arisan. Dilihat dari segi ekonomi dalam masyarakat Maricaya Selatan terdapat tiga lapisan masyarakat, yaitu

lapisan ekonomi mampu (10%), lapisan ekonomi menengah (60%), dan lapisan ekonomi miskin (30%). Antara berbagai golongan masyarakat menengah masih mudah terjadi kontak sosial, maka antara golongan masyarakat golongan atas dengan bawah sukar timbul kontak sosial secara spontan. Masyarakat Maricaya Selatan memandang pendidikan sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan mereka. Media cetak yang beredar di masyarakat Maricaya Selatan lazimnya digemari dan dibeli oleh keluarga kalangan atas. Anggota masyarakat yang tidak mampu sering meminjam atau turut membaca dari mereka yang mampu. Keadaan ini dapat diartikan bahwa minat baca di kalangan anggota masyarakat golongan menengah cukup besar. Kesan umum yang dapat ditarik ialah masyarakat Maricaya Selatan berusaha memanfaatkan kesempatan yang tersedia seoptimal mungkin. Dalam masyarakat Polewali terlihat adanya tiga lapisan masyarakat yaitu kalangan atas (ulama, pemangku adat, dan pejabat), menengah (pedagang), dan bawah (buruh). Kedudukan pemangku adat dipegang oleh seorang Bugis, kelompok pejabat dan pegawai dari orang Mandat dan Toraja, kelompok pedagang dari orang Jawa dan Cina, dan kelompok buruh terdapat orang Jawa, Makassar, dan Toraja. Masyarakat Polewali pada dasarnya merupakan masyarakat yang lugas mengisi kehidupan mereka sehari-hari dengan pelbagai usaha untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan nyata yang terdapat di lingkungan mereka. Analisis No . 1. Bacaan I Bacaan II

Diferensiasi-Ketidaksetaraan (inequality) -Kepemilikan harta/uang pada -Dari segi ekonomi dalam golongan kolonial yang pemenuhan kebutuhan hidup membuat stratifikasi sosial sehari-hari, masyarakat Maricaya terbentuk dengan pedagang Selatan dibagi menjadi 3 Indonesia kelompok: lapisan ekonomi -Pendidikan model Barat pada mampu, lapisan ekonomi zaman kolonial yang dimiliki menengah, dan lapisan ekonomi oleh suatu individu karena miskin. dengan tingginya pendidikan -Pendidikan masyarakat Maricaya seseorang relatif mendapatkan Selatan bersifat homogen, yang penghargaan, pendapatan, dan membedakan hanyalah tingkat posisi yang lebih tinggi. pencapaian jenjang pendidikan

2.

3.

tersebut. Sistem stratifikasi berdasarkan ukurannya Awal mula zaman kolonial, Pada masyarakat Maricaya yang menjadi ukuran adalah Selatan, yang menjadi ukuran tingkat kekayaan, yaitu stratifikasi adalah ukuran harta/uang yang dimiliki kekayaan. Selain terlihat dari bangsa Belanda, pedagang kepemilikan harta/uang, tempat Indonesia, dan masyarakat tinggal masyarakat Maricaya bumiputera. Setelah Selatan juga berbeda kondisi berkembang, ukuran ilmu lingkungannya berdasarkan dari pengetahuan menjadi dominan golongan lapisan masyarakatnya. karena dengan ilmu Lama kelamaan ukuran ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan menjadi tolak ukur bahasa Belanda, didapatkan stratifikasi sosial masyarakat efek domino untuk Maricaya Selatan walaupun meningkatkan stratifikasi patokannya hanya jenjang yang seseorang dengan berbagai hal sudah dilakukan. terutama dalam pencapaian posisi di badan admininistratif kolonial. Mobilitas sosial Mobilitas sosialnya adalah Mobilitas sosialnya adalah vertikal vertikal naik dengan ukuran naik untuk golongan bawah pendidikan karena masyarakat masyarakat Maricaya Selatan Indonesia yang awalnya karena pendidikan yang mereka menduduki stratifikasi rendah miliki dan manfaatkan secara yaitu hanya menjadi pedagang optimal dapat mempekerjakan kecil atau pembantu, dengan angkatan kerja di suatu keluarga mendapatkan ilmu sehingga membuat derajat pengetahuan lama kelamaan keluarganya semakin naik dan menguasai posisi-posisi penting memiliki kemampuan ekonomi di badan-badan administratif yang cukup. Lain halnya dengan kolonial. keluarga pada golongan atas, pada mereka mobilitas sosialnya adalah horizontal karena tetap sederajat tingkat kemampuan ekonominya.

Anda mungkin juga menyukai