Pembimbing:
dr. Erni Handayani Situmorang,Sp.F.,MH **
Disusun Oleh :
Lestari Eka Putri Wanti G1A220050
Melania Ramadiny G1A220079
Ronald Septriando Gultom G1A220068
PEMBIMBING
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan clinical science session yang
berjudul “Sejarah dan Perundangan IDI, KKI, dan MKEK” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Forensik Dan Medikolegal RSUD.H
Abdul Manap Kota Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Erni Handayani Situmorang,Sp.F.,MH yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Forensik Dan Medikolegal RSUD.H Abdul Manap
Kota Jambi.
Penulis menyadari bahwa jurnal ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan referat ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Penulis
Perkumpulan Vereniging van Indische Artsen berubah namanya menjadi Vereniging Van
Indonesische Genesjkundigen (VGI). Menurut Prof. Bahder Djohan (Sekretaris VIG
selama 11 tahun -1928-1938), perubahan nama ini berdasarkan landasan politik yang
menjelma dari timbulnya rasa nasionalisme (dimana dokter pribumi dianggap sebagai
dokter kelas dua), sehingga membuat kata “indische” menjadi Indonesische” dalam VIG.
Dengan demikian, profesi dokter telah menimbulkan rasa kesatuan atau paling tidak
meletakkan sendi-sendi persatuan. Bahder Djohan mengatakan pula, “tujuan VIG ialah
menyuarakan pendapat dokter, dimana pada masa itu persoalan yang pokok ialah
mempersamakan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda dari segi
kualitasnya”.1
Tahun 1940
VIG mengadakan kongres di Solo. Kongres tersebut menugaskan Prof. Bahder Djohan
untuk membina, dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran. Saat itu telah
berkumpul 3000 istilah baru dalam dunia kedokteran. Usaha VIG lainnya adalah
peningkatan gaji (upah) dokter ‘melayu’ agar mempunyai derajat yang sama dengan
dokter Belanda, yang berhasil mencapai 70% dari jumlah semula (50%). Selain itu,
pemberian kesempatan dan pendidikan bagi dokter ‘Melayu’ menjadi asisten dengan
prioritas pertama.1
Tahun 1943: Dalam masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi
Jawa izi Hooko-Kai. 1
Lahirnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
30 Juli 1950
PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) yang diketuai Dr. Abdoelrasjid dan DP-PDI
(Perkumpulan Dokter Indonesia) menyelenggarakan rapat.; Atas usul Dr. Seno
Sastromidjojo dibentuklah panitia penyelenggara Muktamar Dokter Warganegara
Indonesia (PMDWNI), yang diketuai Dr. Bahder Djohan. Panitia ini bertugas
menyelenggarakan ‘Muktamar Dokter Warganegara Indonesia’. Kegiatan ini bertujuan
untuk ‘mendirikan suatu perkumpulan dokter warganegara Indonesia yang baru, dan
merupakan wadah representasi dunia dokter Indonesia, baik dalam maupun keluar
negeri’.1
Muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Deca Park yang kemudian
menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta. (sekarang telah digusur) Sebanyak 181
dokter WNI (62 diantaranya datang dari luar Jakarta) menghadiri Muktamar tersebut.
Dalam muktamar IDI itu, Dr. Sarwono Prawirohardjo (sekarang Prof.) terpilih menjadi
Ketua Umum IDI pertama. 1
24 Oktober 1950
Dr. Soeharto (pantia Dewan Pimpinan Pusat IDI waktu itu), atas nama sendiri, dan atas
nama pengurus lainnya, yakni Dr. Sarwono Prawirohardjo, Dr. R. Pringgadi, Dr. Puw
Eng Liang, Dr. Tan Eng Tie, dan Dr. Hadrianus Sinaga menghadap notaries R. Kadiman
untuk memperoleh dasar hokum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama ‘Ikatan
Dokter Indonesia’, yang dalam Anggaran Dasarnya pada tahun 1952 berkedudukan
“sedapat-dapatnya di Ibukota Negara Indonesia” dan didirikan untuk waktu yang tidak
ditentukan”. Kata ‘Ikatan” yang terdapat dalam nama perkumpulan ini merupakan usul
yang dikemukakan Dr. R. Soeharto. Dalam periode pengurusan IDI ini, Dr. Tan Eng Tie
(bendahara IDI enam kali berturut-turut) ditugaskan membeli gedung IDI (sekarang) di
Jalan Sam Ratulangie, Jakarta dari seorang warga Negara Belanda seharga Rp 300.000.
Sejak itulah, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melayarkan bahtera
organisasinya ditempat tersebut. 1
Tahun 1951: IDI pertama kali menerbitkan Majalah Kedokteran Indonesia (MKI) yang
kemudian ditetapkan sebagai majalah ilmiah resmi IDI. 1
Tahun 19531
1) IDI diterima menjadi anggota World Medical Association (WMA) yang menghimpun
semua organisasi kedokteran di dunia. Pada tahun ini, Dr.H.R. Soeharto terpilih kedua
kalinya menjabat sebagai Ketua Umum PB IDI
2) IDI memprakarsai berdirinya Confederation of Medical Associationin Asia and
Oceania (CMMAO) dan sejak itu, IDI aktif menjadi anggota organisasi tersebut.
Tahun 1955-1956 :Prof. Dr. Hendarmin terpilih menjadi Ketua Umum ketiga PB IDI. 1
Tahun 1956-1958 : Prof. Dr. M Djoewari menjabat sebagai Ketua Umum keempat PB
IDI. 1
Tahun 1958-1960: Dr. H. R Soeharto untuk ketiga kalinya menjabat sebagai Ketua
Umum PB IDI. 1
Tahun 1960-1970 : Dr. H. Amino Gondhohutomo menduduki jabatan sebagai Ketua
Umum PB IDI untuk keempat kalinya, yakni periode keempat, kelima, keenam dan
ketujuh. 1
Tahun 1969: IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Sosial Kedokteran Indonesia.
Musyawarah ini berhasil menyusun dan mensahkan Kode Etik Kedokteran Indonesia
(Kodeki). 1
Tahun 1970-1972: Prof. Dr. Sadatun Soerjohardjo menjabat sebagai Ketua Umum
kedelapan PB IDI. 1
Tahun 1972-1974: Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo menjabat sebagai Ketua Umum
kesembilan PB IDI. 1
Tahun 1974-1976: Untuk kelima kalinya, Dr. H. Amino Gondhohutomo mengisi jabatan
Ketua Umum kesepuluh PB IDI. 1
Tahun 1976: IDI menyelenggarakan Muktamar IDI di Semarang. Dalam Muktamar ini
terpilih Dr. Utojo Sukaton sebagai Ketua Umum kesebelas PB IDI.1
Tahun 1979: Untuk pertama kalinya, IDI menerbitkan Berita Ikatan Dokter Indonesia
(BIDI). BIDI berkembang menjadi media komunikasi resmi IDI. 1
Tahun 19801
1) IDI memprakarsai berdirinya Medical Association of ASEAN (MASEAN), dan sejak
itu menjadi anggota aktif organisasi tersebut.
2) IDI menyempurnakan Anggaran Dasar (Add)/Anggaran Rumah Tangga (ART) IDI
yang disahkan melalui Mukatamar Denpasar (1978).
3) Muktamar ketujuhbelas IDI dilaksanakan di Solo. Dr. Abdullah Cholil, MPH disahkan
sebagai Ketua Umum ketigabelas PB IDI.
Tahun 19811
1) IDI pertama kalinya aktif menyelenggarakan program Keluarga Berencana (KB).
Bersama BKKBN, IDI mengembangkan program itu menjadi program KB Mandiri.
2) IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran. Dalam
musyawarah tersebut Kodeki berhasil disahkan dan disempurnakan.
Tahun 19821
1) Dalam Muktamar Manado (1982), untuk pertama kalinya disusun Rencana Kerja
Jangka Panjang IDI. Pada Muktamar tersebut, Prof. Dr. Mahar Mardjono disahkan
sebagai Ketua Umum keempat belas PB IDI, dan periode kepengurusan diubah menjadi 3
tahun.
2) IDI pertama kali melaksanakan program pemberian penghargaan kepada para anggota
berprestasi di bidang pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran (penghargaan Dr.
Wahidin Soedirohusodo).
3) IDI pertama kalinya menyusun konsep Dokter Keluarga ssebagai alternative
pengembangan praktik dokter swasta di Indonesia.
Tahun 1985: Melalui Muktamar Bandung, IDI menetapkan Perhimpunan Dokter
Spesialis (PDSp) dan Perhimpunan Dokter Seminat (PDSm) sebagai badan kelengkapan
IDI yang bernaung di bawah IDI. Dr. Kartono Mohamad disahkan sebagai Ketua Umum
kelimabelas PB IDI. 1
Tahun 1989: IDI menjadi tuan rumah Kongres Confederation of Medical Association
and Oceania (CMMAO). Kongres yang digelar di Jakarta menetapkan Dr. Azrul Azwar
(Ketua Umum PB IDI) sebagai presiden CMMAO. 1
Tahun 1990: IDI menggelar Safe Motherhood Program. Program yang bertujuan
mempercepat penurunan angka kematian ibu ini merupakan kerjasama IDI dengan Japan
Medical Association. 1
Tahun 19911
1) Pertama kalinya IDI menyusun Standar Pelayanan Medis.
2) IDI mengadakan Muktamar keduapuluhsatu di Yogyakarta, Dr. Kartono Mohamad
disahkan untuk kedua kalinya sebagai Ketua Umum ketujuhbelas PB IDI. Pada muktamar
tahun 1991 ini, hymne IDI buah karya Ibu Tuti Nizar Z.A, secara resmi disahkan.
Tahun 19931
1) IDI menggelar Rapat Kerja Nasional MKEK dan MP2A. Rapat kerja ini berhasil
menyempurnakan pedoman pelaksanaan Kodeki dan tata cara pembelaan anggota.
2) IDI pertama kalinya aktif ikut melaksanakan kampanye HIV/AIDS dengan melatih
para dokter sebagai konselor HIV/AIDS.
Tahun 1994: Muktamar keduapuluh dua IDI di Ujungpandang, mencanangkan perlunya
dilaksanakan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit. Muktamar ini juga
mensahkan Dr. Azrul Azwar, MPH sebagai Ketua Umum kedelapan belas PB IDI.
Muktamar ini juga memilih Dr. Merdias Almatsier sebagai Ketua Terpilih IDI. 1
Tahun 1995: Bertempat di Bali, IDI melaksanakan kongres ke-47 World Medical
Association1.
Tahun 19961
1) Dr. Azrul Azwar, MPH terpilih sebagai Presiden WMA pada World Medical
Assembly ke-48 di Cape Town, Afrika Selatan.
2) IDI meluncurkan homepage IDI yang dapat diakses melalui www.idi.or.id
Tahun 19971
1) IDI mengalami perkembangan pesat. Tercatat jumlah cabang sebanyak 242, IDI
Wilayah sebanyak 24, PDSp sebanyak 24, PDSm sebanyak 23, dan anggota berjumlah
32.220 orang.
2) Muktamar kedua puluh tiga IDI diadakan di Padang, Sumatera Bara. Forum ini
mensahkan Dr. Merdias Almatsier sebagai Ketua Umum kesembilan belas PB IDI. IDI
pun memilih DR.Dr. Ahmad Djojosugito sebagai Ketua Terpilih IDI.
Tahun 1998: IDI melakukan persiapan pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran
Indonesia (MKKI), yaitu lembaga baru dilingkungan IDI yang mengkoordinasikan
seluruh kolegium ilmu dan bertanggung jawab dalam pendidikan profesi kedokteran, baik
pendidikan dokter umum maupun pendidikan dokter spesialis. 1
Tahun 2000 Oktober : IDI mendirikan Pusat Data dan Layanan Informasi IDI (Pusdalin
IDI). Lembaga ini bertujuan meningkatkan kinerja Kepengurusan IDI, dalam menghadapi
perkembangan zaman. Pusat data ini terbentuk berdasarkan SK PB No.
318/PBA4/10/2000. 1
Tahun 2001: PB IDI membentuk tim UU Kesehatan Pejabat Negara. Pembentukan tim
ini untuk memenuhi permintaan DPR RI yang akan menerbitkan RUU Kepresidenan. 1
Tahun 2002 Januari : PB IDI mengadakan satu Round Table Discussion (RTD) tentang
obat murah. Kegiatan ini berfungsi meluruskan berbagai isu yang menempatkan dokter
sebagai variable yang sangat menentukan terhadap tingginya harga obat. 1
Tahun 2008: IDI melaunching Kegiatan Dokter Kecil Award oleh Wakil Gubernur DKI
Jakarta, sekaligus workshop Dokter Kecil. 1
Tahun 2009: Muktamar IDI ke XVII Palembang mensahkan Dr. Prijo Sidipratomo,
Sp.Rad sebagai Ketua Umum ke Sembilan Belas PB IDI. 1
Tahun 2010 September 2010 : PB IDI mengeluarkan Surat Edaran nomor
1200/PB/A3/09/2010 tentang resertifikasi yang berisi antara lain pendaftaran administrasi
P2KB untuk dokter spesialis maupun dokter umum melalui IDI cabang dan IDI wilayah. 1
Tahun 2011: IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional di Pekanbaru, Riau. 1
Tahun 20121
1) Muktamar ke VIII di Makassar mensahkan Dr. Zaenal Abidin, MH sebagai Ketua
Umum kedua puluh PB IDI. Dan mensahkan Prof. Dr. I Oetama Marsis, Sp.OG (K)
sebagai Ketua Terpilih IDI.
2) PB IDI telah merenovasi gedung utama maupun gedung belakang yang digunakan
untuk operasional dan meningkatkan pelayanan
3) PB IDI telah melakukan kajian dan menetapkan tarif dokter spesialis yang digunakan
untuk negosiasi dengan BPJS
4) Oktober : IDI menandatangani deklarasi Gerakan Dokter Selamatkan Indonesia
bersama Komnas Pengendalian Tembakau
5) Penandatanagan MoU antara IDI dengan Mabes Polri
6) PB IDI bekerjasama dengan Singapore Medical Association (SMA) membuat
kesepakatan terkait pedoman dan kode etik iklan layanan kesehatan dan kegiatan ilmiah
di kedua Negara.
7) Kerjasama dalam penilaian medis dan second opinion terhadap saksi/
tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
8) Berdasarkan SK PB IDI nomor 2117/PB/A4/05/2012 tanggal 16 Mei 2012 diberikan
Penghargaan Keteladanan Dokter Indonesia kepada Dr. Endang Rahayu Soedyaningsih,
MPH, DR. PH
2) PERUNDANGAN IDI
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasal 1 : Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.2
UU No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran3
Pasal 1: Organisasi Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang
kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.
Pasal 5(2): Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan
Wahana Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
Pasal 7 (8): Program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diselenggarakan
secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit
pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia
Pasal 8 (4): Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-
subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Organisasi
Profesi
Pasal 11 (1): Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi atas nama perguruan
tinggi dalam mewujudkan tujuan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah
Sakit Pendidikan, Wahana Pendidikan Kedokteran, dan/atau lembaga lain, serta
berkoordinasi dengan Organisasi Profesi
Pasal 24 (1): Standar Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan
Organisasi Profesi.
Pasal 36 (3): Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama
dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi
dengan Organisasi Profesi.
Pasal 39 (2): Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan
Organisasi Profesi.
3) TUGAS DAN WEWENANG IDI4
a) Melaksanakan isi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan
yang telah ditetapkan Muktamar.
b) Mengumumkan kepada seluruh Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang yang
menyangkut pengambilan keputusan Organisasi kemudian
mempertanggungjawabkan kepada Muktamar berikutnya.
c) Membuat keputusan PB IDI untuk diteruskan ke Pengurus IDI Wilayah terhadap
anggota atas Sanksi MKEK Pusat dalam rangka Pembinaan Etik.
d) Melakukan pembinaan dan pengawasan internal organisasi
e) Melakukan advokasi kebijakan kesehatan kepada pembuat kebijakan.
f) Membina hubungan yang baik dengan semua aparat yang ada, pemerintah maupun
swasta didalam ataupun diluar negeri, khususnya dengan aparat yang berhubungan
dengan dunia kesehatan.
g) Memberikan akreditasi Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan tingkat nasional dan
regional.
h) Memberikan akreditasi Lembaga Penyelenggara Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan,
i) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada anggota melalui forum
Muktamar.
j) Menyelenggarakan Muktamar pada akhir periode.
k) Menyiapkan draft materi Muktamar melalui forum Rakernas.
l) Mengusulkan perubahan nama perhimpunan, perhimpunan baru dan pembubaran
perhimpunan di Muktamar.
m) Mengesahkan pengurus Wilayah, pengurusCabang, Pengurus Pusat Perhimpunan
dan Keseminatan, Pengurus Kolegium serta perangkat organisasi ditingkat pusat
lainnya.
4) KEANGGOTAAN4
1. Anggota Biasa adalah dokter warga negara Indonesia yang memiliki ijazah dokter
yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia serta terdaftar sebagai dokter
anggota IDI
2. Dokter Spesialis yang sudah menjadi anggota Biasa IDI otomatis menjadi anggota
PDSP setempat.
3. Anggota Luar Biasa adalah dokter warga negara asing yang teregistrasi (temporary
registered) sebagai dokter dan diakui oleh pemerintah Republik Indonesia
Konsil Kedokteran Indonesia atau KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri, non
struktural dan bersifat independen, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI. KKI didirikan
pada tanggal 29 April 2005 di Jakarta yang anggotanya terdiri dari 17 (tujuh belas) orang,
merupakan perwakilan dari :5
KKI mempunyai fungsi, dan tugas yang diamanatkan dalam pasal 7 Undang-undang Praktik
Kedokteran nomor 29 tahun 2004 (UUPK) yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi,
mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan
terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.5
Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UUPK di atas, KKI
mempunyai wewenang sesuai pasal 8 UUPK yaitu menyetujui dan menolak permohonan
registrasi dokter dan dokter gigi. Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi. Mengesahkan
standar kompetensi. Melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi.
Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Melakukan pembinaan
bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan
oleh organisasi profesi. Melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan
sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.5
VISI5
Menjadi regulator praktik kedokteran untuk terwujudnya profesionalisme dokter dan dokter gigi
di Indonesia yang melindungi masyarakat.
MISI5
a. Peduli (Care) : Peka, tanggap, dan menghargai serta melindungi kepentingan masyarakat
dan profesi.
b. Integritas (Integrity): Menjunjung tinggi prinsip kejujuran berdasarkan nurani dan
mewujudkan komitmen ke dalam tindakan nyata.
c. Profesionalisme (Professionalism): Memiliki kompetensi dan etika yang tinggi serta
menaati hukum dan melaksanakan disiplin.
d. Kemitraan (Partnership): Melakukan sinergi dengan para pemangku kepentingan.
a. Strategi 1
- Mengembangkan sistem analisis pendidikan dokter/dokter gigi, dokter spesialis/dokter
gigi spesialis berdasarkan kebutuhan nasional.
- Mengembangkan kebijakan pemberian rekomendasi pembukaan, pembinaan, dan
penutupan prodi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi.
b. Strategi 2
- Menyempurnakan standar pendidikan dan standar kompetensi dokter/dokter gigi,
dokter spesialis/dokter gigi spesialis.
- Memastikan penerapan standar pendidikan dan standar kompetensi oleh seluruh
institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi.
c. Strategi 3
- Mengembangkan rumusan jenjang pendidikan profesi kedokteran.
- Merumuskan pengembangan sistem akreditasi pendidikan dokter dan dokter gigi
termasuk didalamnya rumah sakit pendidikan bersama pemangku kepentingan.
- Melakukan evaluasi dokter/dokter gigi lulusan luar negeri.
- Merumuskan kebijakan reschooling dokter/dokter gigi, dokter spesialis/dokter gigi
spesialis yang terkena sanksi pelanggaran disiplin.
- Mengembangkan sistem penapisan teknologi kedokteran untuk melindungi
keselamatan pasien.
- Mengembangkan sistem penjaminan mutu lulusan dokter/dokter gigi dan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis
- Mengembangkan koordinasi sistem penjaminan mutu pelaksanaan CPD.
- Meningkatkan kemampuan leadership & manajemen untuk institusi pendidikan
kedokteran (IPK) & institusi pendidikan kedokteran gigi (IPKG).
d. Strategi 4
- Mengembangkan sistem analisis kebutuhan kewenangan tambahan atau kewenangan
lain bagi dokter dan dokter gigi.
- Mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaaan kewenangan
tambahan.
e. Strategi 5
- Menyempurnakan regulasi WNI dan WNA
- Meningkatkan kualitas pelayanan registrasi secara manual, offline, dan online.
- Mengembangkan sistem manajemen data dan informasi registrasi.
f. Strategi 6
- Mengembangkan sistem pembinaan dokter/dokter gigi, dokter spesialis/dokter gigi
spesialis, dan masyarakat penerima jasa pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi.
- Mengembangkan sistem kerja sama lintas sektor.
- Mengembangkan sistem penegakan disiplin dokter/dokter gigi dan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis.
- Meningkatkan pemahaman tentang profesionalisme dokter dan dokter gigi.
- Meningkatkan jaringan kerja MKDKI pada tingkat regional.
- Meningkatkan efektivitas disiplin kedokteran.
g. Strategi 7
- Mengembangkan sistem monev penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di
Indonesia.
- Mengembangkan sistem analisis (kajian-kajian) praktik kedokteran dalam rangka
memenuhi kebutuhan nasional dan internasional.
- Meningkatkan pembentukan dan reviu peraturan perundang-undangan.
h. Strategi 8
- Meningkatkan kualitas SDM.
- Mengembangkan konsep tupoksi Sekretariat KKI.
- Meningkatkan pelayanan administrasi dan perkantoran.
KKI mempunyai tugas (Pasal 7 Undang-undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004):5
KKI mempunyai fungsi (Pasal 6 Undang-undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004),
yaitu fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang
menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Ketua Konsil Kedokteran Gigi : Prof. Dr. drg. Melanie Hendriaty Sadono, M.Biomed, PBO
Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Gigi : drg. Nurdjamil Sayuti, MARS
Anggota Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Gigi : Drs. Mohammad Agus Samsudin, MM
Ketua Divisi Registrasi Konsil Kedokteran : dr. Pattiselano Roberth Johan, MARS
Ketua Divisi Registrasi Konsil Kedokteran Gigi : drg. Sri Rahayu Mustikowati, Mkes, CfrA
Anggota Divisi Registrasi Konsil Kedokteran Gigi : dr. Vonny Nouva Tubagus, Sp.Rad(K)
Ketua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran : Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp.Rad(K)
Anggota Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran : dr. Mariatul Fadilah, MARS, PhD
Ketua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran Gigi : drg. Ahmad Syukrul A., MM
A. Definisi
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah badan otonom Ikatan Dokter Indonesa
(IDI) yang bertanggung jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam
pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran,
yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas
kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya
dalam tingkatannya masing-masing, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia Ikatan
Dokter Indonesia (MKEK IDI) adalah lembaga yang mengeluarkan Kode Etik Kedokteran
Indonesia(KODEKI).
KODEKI sebagai acuan dasar substantif yang telah disepakati dan MKEK sebagai institusi
pelaksana penegakan diamalkannya kesepakatan dan fatwa-fatwa etika kedokteran dalam praktik
profesi yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku masih harus dilengkapi
dengan acuan dasar prosedural dalam bentuk Pedoman Organisasi dan Tata laksana Kerja
MKEK (selanjutnya disingkat Pedoman) sebagai lembaga yang menetapkan putusan dan sanksi
etik terhadap setiap dokter yang terbukti melakukan penyimpangan, kesalahan dan pelanggaran
etik dalam praktik kedokteran di Indonesia.
B. Landasan Hukum
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesinya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang
dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan
dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal
profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada
MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya
berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan
perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling
berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK
belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak
perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis
persidangan yang lebih tinggi dari pada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen
umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti
keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of
proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga
tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance
of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat
kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan.
Semakin serius dugaan pelanggaran dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang
dibutuhkan.
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan
kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan
tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
DAFTAR PUSTAKA