Anda di halaman 1dari 32

CLINICAL SCIENCE SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220050/G1A220079/ G1A220068/ April 2022


** Pembimbing/ dr. Erni Handayani Situmorang,Sp.F.,MH

SEJARAH DAN PERUNDANGAN IDI, KKI DAN MKEK

Lestari Eka Putri Wanti, S.Ked*

Melania Ramadiny, S.Ked* 

Ronald Septriando Gultom, S.Ked* 

Pembimbing:
dr. Erni Handayani Situmorang,Sp.F.,MH **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RSUD.H ABDUL
MANAP KOTA JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION

SEJARAH DAN PERUNDANGAN IDI, KKI DAN MKEK

Disusun Oleh :
Lestari Eka Putri Wanti G1A220050
Melania Ramadiny G1A220079
Ronald Septriando Gultom G1A220068

Kepaniteraan Klinik Senior 


Bagian Ilmu Forensik Dan Medikolegal RSUD.H Abdul Manap Kota
Jambi  Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi 2022

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada April 2022

PEMBIMBING

dr. Erni Handayani Situmorang,Sp.F.,MH


KATA PENGANTAR

          Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan clinical science session yang
berjudul “Sejarah dan Perundangan IDI, KKI, dan MKEK” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Forensik Dan Medikolegal RSUD.H
Abdul Manap Kota Jambi.
   Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Erni Handayani Situmorang,Sp.F.,MH yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Forensik Dan Medikolegal RSUD.H Abdul Manap
Kota Jambi.
        Penulis menyadari bahwa jurnal ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan referat ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, April 2022

Penulis

A. SEJARAH DAN PERUNDANGAN IDI


1) SEJARAH IDI
 Tahun 1926

Perkumpulan Vereniging van Indische Artsen berubah namanya menjadi Vereniging Van
Indonesische Genesjkundigen (VGI). Menurut Prof. Bahder Djohan (Sekretaris VIG
selama 11 tahun -1928-1938), perubahan nama ini berdasarkan landasan politik yang
menjelma dari timbulnya rasa nasionalisme (dimana dokter pribumi dianggap sebagai
dokter kelas dua), sehingga membuat kata “indische” menjadi Indonesische” dalam VIG.
Dengan demikian, profesi dokter telah menimbulkan rasa kesatuan atau paling tidak
meletakkan sendi-sendi persatuan. Bahder Djohan mengatakan pula, “tujuan VIG ialah
menyuarakan pendapat dokter, dimana pada masa itu persoalan yang pokok ialah
mempersamakan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda dari segi
kualitasnya”.1

 Tahun 1940

VIG mengadakan kongres di Solo. Kongres tersebut menugaskan Prof. Bahder Djohan
untuk membina, dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran. Saat itu telah
berkumpul 3000 istilah baru dalam dunia kedokteran. Usaha VIG lainnya adalah
peningkatan gaji (upah) dokter ‘melayu’ agar mempunyai derajat yang sama dengan
dokter Belanda, yang berhasil mencapai 70% dari jumlah semula (50%). Selain itu,
pemberian kesempatan dan pendidikan bagi dokter ‘Melayu’ menjadi asisten dengan
prioritas pertama.1

 Tahun 1943: Dalam masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi
Jawa izi Hooko-Kai. 1
Lahirnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
 30 Juli 1950

PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) yang diketuai Dr. Abdoelrasjid dan DP-PDI
(Perkumpulan Dokter Indonesia) menyelenggarakan rapat.; Atas usul Dr. Seno
Sastromidjojo dibentuklah panitia penyelenggara Muktamar Dokter Warganegara
Indonesia (PMDWNI), yang diketuai Dr. Bahder Djohan. Panitia ini bertugas
menyelenggarakan ‘Muktamar Dokter Warganegara Indonesia’. Kegiatan ini bertujuan
untuk ‘mendirikan suatu perkumpulan dokter warganegara Indonesia yang baru, dan
merupakan wadah representasi dunia dokter Indonesia, baik dalam maupun keluar
negeri’.1

 22-25 September 1950

Muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Deca Park yang kemudian
menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta. (sekarang telah digusur) Sebanyak 181
dokter WNI (62 diantaranya datang dari luar Jakarta) menghadiri Muktamar tersebut.
Dalam muktamar IDI itu, Dr. Sarwono Prawirohardjo (sekarang Prof.) terpilih menjadi
Ketua Umum IDI pertama. 1

 24 Oktober 1950

Dr. Soeharto (pantia Dewan Pimpinan Pusat IDI waktu itu), atas nama sendiri, dan atas
nama pengurus lainnya, yakni Dr. Sarwono Prawirohardjo, Dr. R. Pringgadi, Dr. Puw
Eng Liang, Dr. Tan Eng Tie, dan Dr. Hadrianus Sinaga menghadap notaries R. Kadiman
untuk memperoleh dasar hokum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama ‘Ikatan
Dokter Indonesia’, yang dalam Anggaran Dasarnya pada tahun 1952 berkedudukan
“sedapat-dapatnya di Ibukota Negara Indonesia” dan didirikan untuk waktu yang tidak
ditentukan”. Kata ‘Ikatan” yang terdapat dalam nama perkumpulan ini merupakan usul
yang dikemukakan Dr. R. Soeharto. Dalam periode pengurusan IDI ini, Dr. Tan Eng Tie
(bendahara IDI enam kali berturut-turut) ditugaskan membeli gedung IDI (sekarang) di
Jalan Sam Ratulangie, Jakarta dari seorang warga Negara Belanda seharga Rp 300.000.
Sejak itulah, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melayarkan bahtera
organisasinya ditempat tersebut. 1
 Tahun 1951: IDI pertama kali menerbitkan Majalah Kedokteran Indonesia (MKI) yang
kemudian ditetapkan sebagai majalah ilmiah resmi IDI. 1
 Tahun 19531
1) IDI diterima menjadi anggota World Medical Association (WMA) yang menghimpun
semua organisasi kedokteran di dunia. Pada tahun ini, Dr.H.R. Soeharto terpilih kedua
kalinya menjabat sebagai Ketua Umum PB IDI
2) IDI memprakarsai berdirinya Confederation of Medical Associationin Asia and
Oceania (CMMAO) dan sejak itu, IDI aktif menjadi anggota organisasi tersebut.
 Tahun 1955-1956 :Prof. Dr. Hendarmin terpilih menjadi Ketua Umum ketiga PB IDI. 1
 Tahun 1956-1958 : Prof. Dr. M Djoewari menjabat sebagai Ketua Umum keempat PB
IDI. 1
 Tahun 1958-1960: Dr. H. R Soeharto untuk ketiga kalinya menjabat sebagai Ketua
Umum PB IDI. 1
 Tahun 1960-1970 : Dr. H. Amino Gondhohutomo menduduki jabatan sebagai Ketua
Umum PB IDI untuk keempat kalinya, yakni periode keempat, kelima, keenam dan
ketujuh. 1
 Tahun 1969: IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Sosial Kedokteran Indonesia.
Musyawarah ini berhasil menyusun dan mensahkan Kode Etik Kedokteran Indonesia
(Kodeki). 1
 Tahun 1970-1972: Prof. Dr. Sadatun Soerjohardjo menjabat sebagai Ketua Umum
kedelapan PB IDI. 1
 Tahun 1972-1974: Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo menjabat sebagai Ketua Umum
kesembilan PB IDI. 1
 Tahun 1974-1976: Untuk kelima kalinya, Dr. H. Amino Gondhohutomo mengisi jabatan
Ketua Umum kesepuluh PB IDI. 1
 Tahun 1976: IDI menyelenggarakan Muktamar IDI di Semarang. Dalam Muktamar ini
terpilih Dr. Utojo Sukaton sebagai Ketua Umum kesebelas PB IDI.1
 Tahun 1979: Untuk pertama kalinya, IDI menerbitkan Berita Ikatan Dokter Indonesia
(BIDI). BIDI berkembang menjadi media komunikasi resmi IDI. 1
 Tahun 19801
1) IDI memprakarsai berdirinya Medical Association of ASEAN (MASEAN), dan sejak
itu menjadi anggota aktif organisasi tersebut.
2) IDI menyempurnakan Anggaran Dasar (Add)/Anggaran Rumah Tangga (ART) IDI
yang disahkan melalui Mukatamar Denpasar (1978).
3) Muktamar ketujuhbelas IDI dilaksanakan di Solo. Dr. Abdullah Cholil, MPH disahkan
sebagai Ketua Umum ketigabelas PB IDI.
 Tahun 19811
1) IDI pertama kalinya aktif menyelenggarakan program Keluarga Berencana (KB).
Bersama BKKBN, IDI mengembangkan program itu menjadi program KB Mandiri.
2) IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran. Dalam
musyawarah tersebut Kodeki berhasil disahkan dan disempurnakan.
 Tahun 19821
1) Dalam Muktamar Manado (1982), untuk pertama kalinya disusun Rencana Kerja
Jangka Panjang IDI. Pada Muktamar tersebut, Prof. Dr. Mahar Mardjono disahkan
sebagai Ketua Umum keempat belas PB IDI, dan periode kepengurusan diubah menjadi 3
tahun.
2) IDI pertama kali melaksanakan program pemberian penghargaan kepada para anggota
berprestasi di bidang pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran (penghargaan Dr.
Wahidin Soedirohusodo).
3) IDI pertama kalinya menyusun konsep Dokter Keluarga ssebagai alternative
pengembangan praktik dokter swasta di Indonesia.
 Tahun 1985: Melalui Muktamar Bandung, IDI menetapkan Perhimpunan Dokter
Spesialis (PDSp) dan Perhimpunan Dokter Seminat (PDSm) sebagai badan kelengkapan
IDI yang bernaung di bawah IDI. Dr. Kartono Mohamad disahkan sebagai Ketua Umum
kelimabelas PB IDI. 1
 Tahun 1989: IDI menjadi tuan rumah Kongres Confederation of Medical Association
and Oceania (CMMAO). Kongres yang digelar di Jakarta menetapkan Dr. Azrul Azwar
(Ketua Umum PB IDI) sebagai presiden CMMAO. 1
 Tahun 1990: IDI menggelar Safe Motherhood Program. Program yang bertujuan
mempercepat penurunan angka kematian ibu ini merupakan kerjasama IDI dengan Japan
Medical Association. 1
 Tahun 19911
1) Pertama kalinya IDI menyusun Standar Pelayanan Medis.
2) IDI mengadakan Muktamar keduapuluhsatu di Yogyakarta, Dr. Kartono Mohamad
disahkan untuk kedua kalinya sebagai Ketua Umum ketujuhbelas PB IDI. Pada muktamar
tahun 1991 ini, hymne IDI buah karya Ibu Tuti Nizar Z.A, secara resmi disahkan.
 Tahun 19931
1) IDI menggelar Rapat Kerja Nasional MKEK dan MP2A. Rapat kerja ini berhasil
menyempurnakan pedoman pelaksanaan Kodeki dan tata cara pembelaan anggota.
2) IDI pertama kalinya aktif ikut melaksanakan kampanye HIV/AIDS dengan melatih
para dokter sebagai konselor HIV/AIDS.
 Tahun 1994: Muktamar keduapuluh dua IDI di Ujungpandang, mencanangkan perlunya
dilaksanakan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit. Muktamar ini juga
mensahkan Dr. Azrul Azwar, MPH sebagai Ketua Umum kedelapan belas PB IDI.
Muktamar ini juga memilih Dr. Merdias Almatsier sebagai Ketua Terpilih IDI. 1
 Tahun 1995: Bertempat di Bali, IDI melaksanakan kongres ke-47 World Medical
Association1.
 Tahun 19961
1) Dr. Azrul Azwar, MPH terpilih sebagai Presiden WMA pada World Medical
Assembly ke-48 di Cape Town, Afrika Selatan.
2) IDI meluncurkan homepage IDI yang dapat diakses melalui www.idi.or.id
 Tahun 19971
1) IDI mengalami perkembangan pesat. Tercatat jumlah cabang sebanyak 242, IDI
Wilayah sebanyak 24, PDSp sebanyak 24, PDSm sebanyak 23, dan anggota berjumlah
32.220 orang.
2) Muktamar kedua puluh tiga IDI diadakan di Padang, Sumatera Bara. Forum ini
mensahkan Dr. Merdias Almatsier sebagai Ketua Umum kesembilan belas PB IDI. IDI
pun memilih DR.Dr. Ahmad Djojosugito sebagai Ketua Terpilih IDI.
 Tahun 1998: IDI melakukan persiapan pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran
Indonesia (MKKI), yaitu lembaga baru dilingkungan IDI yang mengkoordinasikan
seluruh kolegium ilmu dan bertanggung jawab dalam pendidikan profesi kedokteran, baik
pendidikan dokter umum maupun pendidikan dokter spesialis. 1
 Tahun 2000 Oktober : IDI mendirikan Pusat Data dan Layanan Informasi IDI (Pusdalin
IDI). Lembaga ini bertujuan meningkatkan kinerja Kepengurusan IDI, dalam menghadapi
perkembangan zaman. Pusat data ini terbentuk berdasarkan SK PB No.
318/PBA4/10/2000. 1
 Tahun 2001: PB IDI membentuk tim UU Kesehatan Pejabat Negara. Pembentukan tim
ini untuk memenuhi permintaan DPR RI yang akan menerbitkan RUU Kepresidenan. 1
 Tahun 2002 Januari : PB IDI mengadakan satu Round Table Discussion (RTD) tentang
obat murah. Kegiatan ini berfungsi meluruskan berbagai isu yang menempatkan dokter
sebagai variable yang sangat menentukan terhadap tingginya harga obat. 1
 Tahun 2008: IDI melaunching Kegiatan Dokter Kecil Award oleh Wakil Gubernur DKI
Jakarta, sekaligus workshop Dokter Kecil. 1
 Tahun 2009: Muktamar IDI ke XVII Palembang mensahkan Dr. Prijo Sidipratomo,
Sp.Rad sebagai Ketua Umum ke Sembilan Belas PB IDI. 1
 Tahun 2010 September 2010 : PB IDI mengeluarkan Surat Edaran nomor
1200/PB/A3/09/2010 tentang resertifikasi yang berisi antara lain pendaftaran administrasi
P2KB untuk dokter spesialis maupun dokter umum melalui IDI cabang dan IDI wilayah. 1
 Tahun 2011: IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional di Pekanbaru, Riau. 1
 Tahun 20121
1) Muktamar ke VIII di Makassar mensahkan Dr. Zaenal Abidin, MH sebagai Ketua
Umum kedua puluh PB IDI. Dan mensahkan Prof. Dr. I Oetama Marsis, Sp.OG (K)
sebagai Ketua Terpilih IDI.
2) PB IDI telah merenovasi gedung utama maupun gedung belakang yang digunakan
untuk operasional dan meningkatkan pelayanan
3) PB IDI telah melakukan kajian dan menetapkan tarif dokter spesialis yang digunakan
untuk negosiasi dengan BPJS
4) Oktober : IDI menandatangani deklarasi Gerakan Dokter Selamatkan Indonesia
bersama Komnas Pengendalian Tembakau
5) Penandatanagan MoU antara IDI dengan Mabes Polri
6) PB IDI bekerjasama dengan Singapore Medical Association (SMA) membuat
kesepakatan terkait pedoman dan kode etik iklan layanan kesehatan dan kegiatan ilmiah
di kedua Negara.
7) Kerjasama dalam penilaian medis dan second opinion terhadap saksi/
tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
8) Berdasarkan SK PB IDI nomor 2117/PB/A4/05/2012 tanggal 16 Mei 2012 diberikan
Penghargaan Keteladanan Dokter Indonesia kepada Dr. Endang Rahayu Soedyaningsih,
MPH, DR. PH
2) PERUNDANGAN IDI
 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasal 1 : Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.2
 UU No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran3
Pasal 1: Organisasi Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang
kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.
Pasal 5(2): Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan
Wahana Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
Pasal 7 (8): Program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diselenggarakan
secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit
pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia
Pasal 8 (4): Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan
program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-
subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Organisasi
Profesi
Pasal 11 (1): Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi atas nama perguruan
tinggi dalam mewujudkan tujuan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah
Sakit Pendidikan, Wahana Pendidikan Kedokteran, dan/atau lembaga lain, serta
berkoordinasi dengan Organisasi Profesi
Pasal 24 (1): Standar Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan
Organisasi Profesi.
Pasal 36 (3): Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama
dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi
dengan Organisasi Profesi.
Pasal 39 (2): Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan
Organisasi Profesi.
3) TUGAS DAN WEWENANG IDI4
a) Melaksanakan isi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan
yang telah ditetapkan Muktamar.
b) Mengumumkan kepada seluruh Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang yang
menyangkut pengambilan keputusan Organisasi kemudian
mempertanggungjawabkan kepada Muktamar berikutnya.
c) Membuat keputusan PB IDI untuk diteruskan ke Pengurus IDI Wilayah terhadap
anggota atas Sanksi MKEK Pusat dalam rangka Pembinaan Etik.
d) Melakukan pembinaan dan pengawasan internal organisasi
e) Melakukan advokasi kebijakan kesehatan kepada pembuat kebijakan.
f) Membina hubungan yang baik dengan semua aparat yang ada, pemerintah maupun
swasta didalam ataupun diluar negeri, khususnya dengan aparat yang berhubungan
dengan dunia kesehatan.
g) Memberikan akreditasi Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan tingkat nasional dan
regional.
h) Memberikan akreditasi Lembaga Penyelenggara Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan,
i) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada anggota melalui forum
Muktamar.
j) Menyelenggarakan Muktamar pada akhir periode.
k) Menyiapkan draft materi Muktamar melalui forum Rakernas.
l) Mengusulkan perubahan nama perhimpunan, perhimpunan baru dan pembubaran
perhimpunan di Muktamar.
m) Mengesahkan pengurus Wilayah, pengurusCabang, Pengurus Pusat Perhimpunan
dan Keseminatan, Pengurus Kolegium serta perangkat organisasi ditingkat pusat
lainnya.

4) KEANGGOTAAN4

1. Anggota Biasa adalah dokter warga negara Indonesia yang memiliki ijazah dokter
yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia serta terdaftar sebagai dokter
anggota IDI

2. Dokter Spesialis yang sudah menjadi anggota Biasa IDI otomatis menjadi anggota
PDSP setempat.

3. Anggota Luar Biasa adalah dokter warga negara asing yang teregistrasi (temporary
registered) sebagai dokter dan diakui oleh pemerintah Republik Indonesia

4. Keanggotaan IDI diberikan berdasarkan KTP/ domisili/ tempat kerja/ tempat


praktek
5. Setiap anggota hanya boleh memiliki satu kartu tanda anggota IDI
5) STRUKTUR KEPENGURUSAN4

Diagram 1.1 Struktur pengurus besar IDI4


TUGAS, POKOK, dan FUNGSI
1. Ketua Umum4
a. Mengkoordinasikan secara terintegrasi dengan ketua MKKI, MKEK, MPPK
dalam musyawarah pimpinan Pusat.
b. Ketua Umum dibantu ketua MKKI, MKEK, MPPK yang masingmasing memiliki
kewenangan secara internal organisasi dan bertanggung jawab kepada muktamar.
c. Ketua Umum melaksanakan kegiatan eksekutif, kegiatan organisasi dan
bertanggung jawab untuk dan atas nama organisasi.
d. Membuat dan menandatangani surat keputusan:
 Personalia PB IDI, Majelis, Wilayah, Cabang dan Perhimpunan.
 Sanksi etika atas rekomendasi MKEK.
 Sanksi organisasi atas rekomendasi dewan pertimbangan.
2. Ketua Umum Terpilih dan /atau Wakil Ketua lainnya4
a. Membantu Ketua Umum PB IDI dalam menjalankan tugasnya terutama dalam
menjalankan fungsi eksekutif organisasi;
b. Melaksanakan tugas dan kewajiban Ketua Umum PB IDI apabila Ketua Umum
PB IDI tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara tetap.
c. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Umum PB IDI;
d. Dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua Umum PB IDI;
dan
e. Membantu Ketua Umum PB IDI menyusun dan menetapkan kebijakan
organisasi
3. Sekretaris Jenderal4
a. Membantu Ketua Umum PB IDI dalam menjalankan tugas Organisasi.
b. Memimpin dan mengkoordinasikan kesekretariatan serta bertanggungjawab atas
kelancaran administrasi umum.
c. Mendisposisikan surat-surat atas arahan Ketua Umum PB IDI.
d. Menerima pendelegasian tugas dari Ketua Umum PB IDI.
e. Mengkoordinir penyusunan rancangan peraturan, keputusan dan pelaksanaan
program.
f. Bersama Ketua Umum PB IDI menandatangani surat-surat dan keputusan-
keputusan PB IDI. g) Menandatangani surat-surat internal organisasi.
g. Bersama wakil-wakil sekretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara menyusun dan
merencanakan anggaran pendapatan dan belanja rutin serta mengusahakan dan
melengkapi perangkat pendukung kesekretariatan.
4. Wakil Sekretaris Jenderal4
a. Membantu tugas-tugas Kesekretariatan berdasarkan bidang tugas masing-
masing.
b. Menyiapkan (drafting) dan mereview surat-surat yang akan di tandatangani oleh
Seketaris Jenderal.
c. Mewakili Sekretaris Jenderal apabila berhalangan.
d. Melaksanakan tugas khusus yang menyangkut urusan rutin dan pemantapan
program sesuai tupoksi masing-masing sesuai arahan Sekretaris Jenderal.
e. Menangani pelaksanaan tugas khusus lain berdasarkan arahan Seketaris
Jenderal.
5. Bendahara Umum4
a. Menghimpun serta mengembangkan dana dan aset organisasi dari segala sumber
yang halal dan tidak mengikat.
b. Membuat kebijakan tertulis serta petunjuk teknis tentang tata cara pengelolaan
keuangan. c) Membuat inventarisasi dan kebijakan pedayagunaan semua aset PB
IDI.
c. Mengatur, mencatat, mengelola dan mengontrol penerimaan, penyimpanan,
pengeluaran uang dan cek serta surat-surat/ barang-barang berharga serta semua
aset PB IDI.
d. Melakukan audit internal dan menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk
diaudit.
e. Bersama wakil Bendahara, Sekretaris Jenderal menyusun dan merencanakan
Anggaran pendapatan dan belanja rutin serta anggaran program IDI.
f. Meminta laporan keuangan secara tertulis dari setiap unsur di PB IDI yang
melakukan kegiatan yang berdasarkan dana yang didapatkan dari PB IDI
dan/atau dari pihak sponsor yang tidak mengikat.
g. Membuat laporan tertulis situasi keuangan dan kekayaan PB IDI setiap triwulan
dari tahunan kepada rapat pleno.
6. Wakil Bendahara Umum : Membantu bendahara umum dalam melaksanakan tugas-
tugas organisasi4
7. Dewan-Dewan4
a) Dewan Pertimbangan
i. Mempunyai garis konsultatif dengan Ketua Umum PB IDI;
ii. Melakukan pembinaan dan pengawasan internal organisasi termasuk
memberikan rekomendasi sanksi organisasi;
iii. Memberikan pertimbangan terkait kebijakan strategis organisasi; dan
iv. Membantu Ketua Umum PB IDI Dalam mengembangkan dan
memformulasikan kebijakan strategis.
v. Melakukan Pertemuan rutin minimal 6 (enam) bulan sekali atau sewaktu-waktu
jika diperlukan.
b) Dewan Pakar4
i. Memberi masukan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepakarannya/
keahliannya.
ii. Dewan Pakar berfungsi untuk memberikan pemikiran, pendapat, ide-ide untuk
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pengurus sesuai dengan program kerja
yang telah dicanangkan dalam satu periode kepengurusan.
iii. Memberikan rekomendasi kepada Pengurus di dalam merumuskan dan
melaksanakan suatu kebijaksanaan organisasi sesuai dengan kepakarannya.
iv. Dewan Pakar melakukan pengkajian terhadap dinamika roda organisasi untuk
selanjutnya dirumuskan sebagai saran kepada Pengurus.
v. Membantu Ketua Umum PB IDI Dalam mengembangkan dan
memformulasikan kebijakan strategis.
vi. Melakukan Pertemuan rutin minimal 6 (enam) bulan sekali atau sewaktu-waktu
jika diperlukan.
8. Koordinator Bidang dan Bidang-Bidang4
a. Mengkoordinir kegiatan dan program bidang.
b. Menyusun dan menjalankan program kerja bidang berdasarkan visi/misi dan
rencana strategis Pengurus Besar IDI.
c. Membantu ketua umum Pengurus Besar IDI dalam rangka melaksanakan
kebijakan operasional organisasi.
d. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diarahkan oleh wakil ketua umum sesuai
pembidangan tugas.
9. Badan4
a. Badan adalah instansi organisasi yang bersifat taktis dan dibentuk untuk
menunjang program-program IDI yang terdiri dari Badan Kelengkapan dan Badan
Khusus.
b. Badan Kelengkapan terdiri dari : Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan
Anggota (BHP2A), Badan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan
(BP2KB), Badan Data dan Informasi (BADIN).
c. Badan Khusus merupakan badan atau lembaga milik PB IDI yang berbadan
Hukum sendiri dan bertanggung jawab kepada PB IDI untuk melaksanakan
kegiatan khusus seperti antara lain : Penanggulangan Bencana, Lembaga Riset
dan lainnya sesuai kebutuhan organisasi.
6) SANKSI DAN PEMBINAAN ANGGOTA IDI4
1. Anggota dapat diberikan sanksi berupa;
a) teguran lisan;
b) teguran tertulis;
c) pencabutan rekomendasi ijin praktik;
d) pencabutan keanggotaan sementara; dan
e) pemberhentian tetap sebagai anggota.
2. Sanksi diberikan untuk pelanggaran:
a) Bertindak bertentangan dan/atau tidak mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga dan/atau ketentuanketentuan lain yang telah ditetapkan Ikatan
Dokter Indonesia;
b) Bertindak merugikan atau mencemarkan nama baik Ikatan Dokter Indonesia; dan
c) Tidak hadir memenuhi panggilan pengurus IDI sesuai tingkatan 3 kali berturut-
turut dengan tenggat waktu minimal 3 hari, tanpa alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Kategori sanksi berdasarkan pertimbangan:
a) Menimbulkan dampak terhadap kepentingan umum;
b) Menimbulkan dampak terhadap nama baik organisasi;
c) Motif yang mendasari timbulnya pelanggaran;
d) Tidak beritikad baik sebagai anggota dalam turut menyelesaikan kasus;
e) Ketidakhadiran atas pemanggilan pengurus IDI sesuai tingkatan; dan
f) Pendapat dan pandangan BHP2A
4. Anggota yang diduga melakukan pelanggaran dapat dilaporkan dan/ atau oleh
pengurus IDI sesuai tingkatan.
5. Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran oleh anggota dilakukan tim khusus yang
dibentuk oleh Pengurus IDI sesuai tingkatan.
6. Anggota yang diduga melakukan pelanggaran berhak mendapat pendampingan dan
pembinaan dari BHP2A.
7. Hasil Penilaian terhadap sanksi pelanggaran anggota diserahkan kepada Dewan
Pertimbangan IDI atau kepada ketua IDI sesuai tingkatan.
8. Keputusan hasil penilaian point 7 diatas diputuskan melalui rapat khusus oleh
pengurus IDI sesuai tingkatan dengan diteruskan ke Pengurus IDI secara berjenjang.
9. Apabila sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud point 1 huruf b diatas telah
disampaikan sebanyak 3 (tiga) kali kepada anggota yang melanggar dengan tenggang
waktu minimal 1(satu) minggu, tetapi tidak menjalankan sanksi atau mengulangi
pelanggaran akan dilanjutkan dengan pemberian sanksi pencabutan rekomendasi ijin
praktik.
10. Anggota yang mendapat sanksi teguran tertulis yang terakhir dan pencabutan
rekomendasi ijin praktik, dapat mengajukan keberatan kepada pengurus IDI
diatasnya secara berjenjang.
11. Pengajuan keberatan sebagai mana point 10 diajukan maksimal 14 (empat belas) hari
kerja setelah sanksi diberlakukan.
12. Pencabutan Keanggotaan Sementara dan Pemberhentian Tetap Sebagai Anggota
dilakukan oleh Pengurus Besar IDI.
13. Mantan anggota yang mendapatkan sanksi pemberhentian tetap, dapat melakukan
pembelaan dalam forum khusus sebagai undangan pada muktamar IDI.
4) SANKSI DAN PEMBINAAN APARAT ORGANISASI4
1. Pengurus IDI atau Perhimpunan dan Keseminatan dapat diberikan sanksi berupa;
a) teguran lisan;
b) teguran tertulis;
c) Pemberhentian sebagai pengurus;
2. Sanksi diberikan untuk pelanggaran:
a) Bertindak bertentangan dan/atau tidak mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga dan/atau ketentuanketentuan lain yang telah ditetapkan Ikatan
Dokter Indonesia;
b) Bertindak merugikan atau mencemarkan nama baik Organisasi;
c) Bertindak merugikan anggota tanpa alasan yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
d) Tidak hadir memenuhi panggilan pengurus IDI sesuai tingkatan 3 kali berturut-
turut dengan tenggat waktu minimal 3 hari, tanpa alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
e) Tidak mentaati kebijakan Organisasi
3. Kategori sanksi berdasarkan pertimbangan:
a) Menimbulkan dampak terhadap kepentingan umum;
b) Menimbulkan dampak terhadap nama baik organisasi;
c) Motif yang mendasari timbulnya pelanggaran;
d) Tidak beritikad baik sebagai Pengurus dalam turut menyelesaikan kasus;
e) Ketidakhadiran atas pemanggilan pengurus IDI sesuai tingkatan; dan
f) Pendapat dan pandangan BHP2A.
4. Pengurus yang diduga melakukan pelanggaran dapat dilaporkan dan/atau oleh
pengurus sesuai tingkatan atau setingkat diatasnya.
5. Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran oleh Pengurus dilakukan tim khusus yang
dibentuk oleh Pengurus satu tingkat diatasnya.
6. Pengurus yang diduga melakukan pelanggaran berhak mendapat pendampingan dan
pembinaan dari BHP2A.
7. Hasil Penilaian terhadap sanksi pelanggaran Pengurus diserahkan kepada Dewan
Pertimbangan IDI atau kepada ketua IDI satu tingkat diatasnya.
8. Keputusan hasil penilaian point 7 diatas diputuskan melalui rapat khusus oleh
pengurus satu tingkat diatasnya dengan diteruskan ke Pengurus IDI secara
berjenjang.
9. Apabila sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud point 1 huruf b diatas telah
disampaikan sebanyak 3 (tiga) kali kepada Pengurus yang melanggar dengan
tenggang waktu minimal 1(satu) minggu, tetapi tidak menjalankan sanksi atau
mengulangi pelanggaran akan dilanjutkan dengan pemberian sanksi Pemberhentian
sebagai pengurus.

B. SEJARAH DAN PERUNDANGAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

1) SEJARAH KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

Konsil Kedokteran Indonesia atau KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri, non
struktural dan bersifat independen, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI. KKI didirikan
pada tanggal 29 April 2005 di Jakarta yang anggotanya terdiri dari 17 (tujuh belas) orang,
merupakan perwakilan dari :5

1. Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia : 2 (dua) orang,


2. Kolegium Kedokteran Indonesia : 1 (satu) orang,
3. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia : 2 (dua) orang,
4. Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi Indonesia : 2 (dua) orang,
5. Persatuan Dokter Gigi Indonesia : 2 (dua) orang,
6. Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia : 1 (satu) orang,
7. Tokoh Masyarakat : 3 (tiga) orang,
8. Departemen Kesehatan : 2 (dua) orang,
9. Departemen Pendidikan Nasional : 2 (dua) orang.

KKI mempunyai fungsi, dan tugas yang diamanatkan dalam pasal 7 Undang-undang Praktik
Kedokteran nomor 29 tahun 2004 (UUPK) yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi,
mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan
terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.5

Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UUPK di atas, KKI
mempunyai wewenang sesuai pasal 8 UUPK yaitu menyetujui dan menolak permohonan
registrasi dokter dan dokter gigi. Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi. Mengesahkan
standar kompetensi. Melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi.
Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Melakukan pembinaan
bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan
oleh organisasi profesi. Melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan
sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.5

2) VISI DAN MISI KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

VISI5

Menjadi regulator praktik kedokteran untuk terwujudnya profesionalisme dokter dan dokter gigi
di Indonesia yang melindungi masyarakat.

MISI5

1. Meningkatkan dan menjaga penerapan standar tertinggi pendidikan kedokteran dan


kedokteran gigi.
2. Memelihara dan meningkatkan profesionalisme dokter dan dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran melalui upaya pemeliharaan registrasi, pembinaan, dan
penegakan disiplin profesi dalam rangka melindungi masyarakat.
3. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas menajemen dalam mendukung penyelenggaraan
program KKI.

3) TATA NILAI KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA5

a. Peduli (Care) : Peka, tanggap, dan menghargai serta melindungi kepentingan masyarakat
dan profesi.
b. Integritas (Integrity): Menjunjung tinggi prinsip kejujuran berdasarkan nurani dan
mewujudkan komitmen ke dalam tindakan nyata.
c. Profesionalisme (Professionalism): Memiliki kompetensi dan etika yang tinggi serta
menaati hukum dan melaksanakan disiplin.
d. Kemitraan (Partnership): Melakukan sinergi dengan para pemangku kepentingan.

4) STRATEGI KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA5

a. Strategi 1
- Mengembangkan sistem analisis pendidikan dokter/dokter gigi, dokter spesialis/dokter
gigi spesialis berdasarkan kebutuhan nasional.
- Mengembangkan kebijakan pemberian rekomendasi pembukaan, pembinaan, dan
penutupan prodi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi.

b. Strategi 2
- Menyempurnakan standar pendidikan dan standar kompetensi dokter/dokter gigi,
dokter spesialis/dokter gigi spesialis.
- Memastikan penerapan standar pendidikan dan standar kompetensi oleh seluruh
institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi.
c. Strategi 3
- Mengembangkan rumusan jenjang pendidikan profesi kedokteran.
- Merumuskan pengembangan sistem akreditasi pendidikan dokter dan dokter gigi
termasuk didalamnya rumah sakit pendidikan bersama pemangku kepentingan.
- Melakukan evaluasi dokter/dokter gigi lulusan luar negeri.
- Merumuskan kebijakan reschooling dokter/dokter gigi, dokter spesialis/dokter gigi
spesialis yang terkena sanksi pelanggaran disiplin.
- Mengembangkan sistem penapisan teknologi kedokteran untuk melindungi
keselamatan pasien.
- Mengembangkan sistem penjaminan mutu lulusan dokter/dokter gigi dan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis
- Mengembangkan koordinasi sistem penjaminan mutu pelaksanaan CPD.
- Meningkatkan kemampuan leadership & manajemen untuk institusi pendidikan
kedokteran (IPK) & institusi pendidikan kedokteran gigi (IPKG).
d. Strategi 4
- Mengembangkan sistem analisis kebutuhan kewenangan tambahan atau kewenangan
lain bagi dokter dan dokter gigi.
- Mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaaan kewenangan
tambahan.
e. Strategi 5
- Menyempurnakan regulasi WNI dan WNA
- Meningkatkan kualitas pelayanan registrasi secara manual, offline, dan online.
- Mengembangkan sistem manajemen data dan informasi registrasi.
f. Strategi 6
- Mengembangkan sistem pembinaan dokter/dokter gigi, dokter spesialis/dokter gigi
spesialis, dan masyarakat penerima jasa pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi.
- Mengembangkan sistem kerja sama lintas sektor.
- Mengembangkan sistem penegakan disiplin dokter/dokter gigi dan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis.
- Meningkatkan pemahaman tentang profesionalisme dokter dan dokter gigi.
- Meningkatkan jaringan kerja MKDKI pada tingkat regional.
- Meningkatkan efektivitas disiplin kedokteran.
g. Strategi 7
- Mengembangkan sistem monev penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di
Indonesia.
- Mengembangkan sistem analisis (kajian-kajian) praktik kedokteran dalam rangka
memenuhi kebutuhan nasional dan internasional.
- Meningkatkan pembentukan dan reviu peraturan perundang-undangan.
h. Strategi 8
- Meningkatkan kualitas SDM.
- Mengembangkan konsep tupoksi Sekretariat KKI.
- Meningkatkan pelayanan administrasi dan perkantoran.

5) TUGAS DAN FUNGSI KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

Tugas konsil kedokteran Indonesia:

KKI mempunyai tugas (Pasal 7 Undang-undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004):5

1. Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;


2. Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi;
3. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan
bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

Fungsi konsil kedokteran Indonesia:5

KKI mempunyai fungsi (Pasal 6 Undang-undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004),
yaitu fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang
menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.

6) STRUKTUR ORGANISASI KKI5

Ketua KKI : dr. Putu Moda Arsana, Sp.PD-KEMD., FINASIM

Wakil Ketua I : drg. Andriani, Sp.Ort, FICD

Wakil Ketua II : Prof. Intan Ahmad M., PhD

Ketua Konsil Kedokteran : Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, PhD

Ketua Konsil Kedokteran Gigi : Prof. Dr. drg. Melanie Hendriaty Sadono, M.Biomed, PBO

Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran : Dr. dr. Dollar, SH, MH


Anggota Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran : Drs. Hisyam Said, MSc

Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Gigi : drg. Nurdjamil Sayuti, MARS

Anggota Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Gigi : Drs. Mohammad Agus Samsudin, MM

Ketua Divisi Registrasi Konsil Kedokteran : dr. Pattiselano Roberth Johan, MARS

Anggota Divisi Registrasi Konsil Kedokteran : dr. Ni Nyoman Mahartini, Sp.PK(K)

Ketua Divisi Registrasi Konsil Kedokteran Gigi : drg. Sri Rahayu Mustikowati, Mkes, CfrA

Anggota Divisi Registrasi Konsil Kedokteran Gigi : dr. Vonny Nouva Tubagus, Sp.Rad(K)

Ketua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran : Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp.Rad(K)

Anggota Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran : dr. Mariatul Fadilah, MARS, PhD

Ketua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran Gigi : drg. Ahmad Syukrul A., MM

Anggota Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran Gigi : drg. Nadhyanto, Sp.Pros


C. SEJARAH DAN PERUNDANGAN MKEK

A. Definisi
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah badan otonom Ikatan Dokter Indonesa
(IDI) yang bertanggung jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam
pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran,
yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas
kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya
dalam tingkatannya masing-masing, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia Ikatan
Dokter Indonesia (MKEK IDI) adalah lembaga yang mengeluarkan Kode Etik Kedokteran
Indonesia(KODEKI).

KODEKI sebagai acuan dasar substantif yang telah disepakati dan MKEK sebagai institusi
pelaksana penegakan diamalkannya kesepakatan dan fatwa-fatwa etika kedokteran dalam praktik
profesi yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku masih harus dilengkapi
dengan acuan dasar prosedural dalam bentuk Pedoman Organisasi dan Tata laksana Kerja
MKEK (selanjutnya disingkat Pedoman) sebagai lembaga yang menetapkan putusan dan sanksi
etik terhadap setiap dokter yang terbukti melakukan penyimpangan, kesalahan dan pelanggaran
etik dalam praktik kedokteran di Indonesia.

MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga yang


berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.3 Etika
seorang dokter sudah sewajarnya dilandaskan norma-norma etik yang mengatur hubungan
manusia pada umumnya, dan asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang di terima dan di
kembangkan terus. khusus di indonesia, asas itu adalah pancasila yang sama-sama kita akui
sebagai landasan idiil dan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan struktural

B. Landasan Hukum

Pasal 8 Huruf f UU Praktik Kedokteran


Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Pasal 24 UU Kesehatan
a) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
b) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
oleh organisasi profesi.
c) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;


2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

C. Pembentukan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


Susunan pengurus MKEK sekurang-kurangnya terdiri dari seorang Ketua merangkap
anggota, Wakil ketua merangkap anggota, seorang Ketua Divisi Kemahkamahan merangkap
anggota, seorang Ketua Divisi Pembinaan Etika Profesi merangkap anggota, seorang Sekretaris
merangkap anggota dan beberapa anggota lainnya.
1. MKEK dibentuk pada tingkat pusat yang disebut MKEKPusat, pada tingkat provinsi yang
disebut sebagai MKEK Wilayah, dan pada tingkat kabupaten/kota yang disebut sebagai MKEK
Cabang.
2. Pembentukan MKEK Pusat dan MKEK Wilayah adalah wajib sedangkan pembentukan
MKEK Cabang adalah sesuai kebutuhan.
3. Pembentukan MKEK Wilayah hanya dibenarkan jika di provinsi tersebut telah terbentuk
pengurus IDI Wilayah dan pembentukan MKEK cabang hanya dibenarkan jika di
kabupaten/kota tersebut telah terbentuk pengurus IDI Cabang.
4. Usulan pembentukan MKEK Wilayah dilakukan oleh Pengurus Wilayah setempat secara
tertulis kepada MKEK Pusat dan kemudian dilakukan analisis dan mendapat persetujuan MKEK
Pusat.

D. Tugas dan Wewenang MKEK


Tugas MKEK melalui divisi kemahkamahan sesuai yurisdiksinya sebagai lembaga etika
yang memeriksa, menyidangkan, membuat putusan setiap konflik etikolegal yang berpotensi
sengketa medikdi antara perangkat dan jajaran IDI dan setiap sengketa medik antara dokter
pengadunya yang belum atau tidak ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
a. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan yang
ditetapkan muktamar.
b. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik kedokteran,
termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisiluhur kedokteran.
c. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
d. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar,
pengurus wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia.
e. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik profesi,
baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
f. Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.
I. Proses pengadilan MKEK

Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesinya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang
dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan
dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.

 MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal
profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada
MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya
berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan
perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling
berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK
belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.

Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.

Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :

1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak
perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis
persidangan yang lebih tinggi dari pada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen
umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti
keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).

Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of
proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga
tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance
of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat
kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan.
Semakin serius dugaan pelanggaran dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang
dibutuhkan.

Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan
kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan
tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK.

Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sejarah Ikatan Dokter Indonesia, dikutip dari http://idionline.org/


2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
3. Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
4. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Tatalaksana Organisasi. Jakarta: PB IDI. 2019
5. Konsil Kedokteran Indonesia, dikutip dari http://kki.go.id/
6. Agus Purwadianto, 2008, Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran, cet-1, Jakarta, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia,

Anda mungkin juga menyukai