REFERAT - STEMI - Grup G2
REFERAT - STEMI - Grup G2
Disusun Oleh :
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan referat berjudul ”ST Elevasi Miokardial Infark”. Referat ini disusun sebagai
salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
penulisan referat di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan
manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa mendatang.
Penulis
Nilai :
PENGUJI
BAB I ....................................................................................................................... 8
BAB II ................................................................................................................... 10
2.1 Definisi..................................................................................................... 10
Gambar 2. 1........................................................................................................... 13
Gambar 2. 2 Model presentasi pasien, komponen waktu iskemia, dan diagram
pemilihan strategi reperfusi......................................................... 28
Gambar 2. 3 Langkah – langkah pemberian fibrinolitik IMA-EST .................. 35
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Perubahan EKG berdasarkan daerah infark pada STEMI. 1 ............ 20
Tabel 2. 2 Lokasi infark pada arteri coronaria pada STEMI.1 ........................... 20
Tabel 2. 3 Perbedaan antara SAP, UAP, NSTEMI dan STEMI. 2....................... 26
Tabel 2. 4 Ringkasan rekomendasi waktu optimal pada IMA-EST ................... 29
Tabel 2. 5 Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang
menjalani IKP primer atau belum menjalani reperfusi ...................................... 32
Tabel 2. 6 Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang
menjalani IKP primer atau belum menjalani reperfusi ...................................... 33
Tabel 2. 7 Dosis fibrinolitik dan ko-terapi antitrombotik ................................... 34
Tabel 2. 8 Kontraindikasi terapi fibrinolitik ....................................................... 36
Tabel 2. 9 Regimen fibrinolitik untuk IMA ......................................................... 36
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma koroner akut merupakan sindroma klinis yang terdiri dari infark
miokard akut dengan atau tanpa elevasi segmen ST serta angina pectoris tidak stabil.
Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi.
Keluhan utama adalah nyeri dada dan klasifikasi berdasarkan gembaran
elektrokardiogram (EKG), yaitu yang pertama, pasien dengan nyeri dada khas disertai
elevasi segmen ST dimana terjadi oklusi total akut arteri koroner sehingga tujuan
utama pengobatan adalah reperfusi secara cepat dan komplit dengan fibrinolitik atau
angioplasti primer. Yang kedua adalah pasien dengan nyeri dada khas tanpa elevasi
segmen ST dimana gambaran EKG berupa depresi segmen ST persisten atau transien,
gelombang T yang inverse atau mendatar atau EKG normal. 2 Infark miokard dengan
ST elevasi (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya.10
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
5. Pola perilaku Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut
menimbulkan masalah pada jantung. Faktor psikososial seperti peningkatan
stress kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik,
ansietas dan depresi secara konsisten juga dapat meningkatkan resiko terkena
aterosklerosis.
2.4 Patofisiologi
1. Anamnesis Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina
tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri,
leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah,
nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai
pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina
setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. Nyeri
dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) :
a. Nyeri dada Keluhan yang khas pada penyakit ST-Elevasi Miokard Infark
(STEMI) yaitu nyeri dada retrosternal (di belakang sternum) seperti di
remas-remas, di tekan, di tusuk, panas, atau di tindih barang berat. Nyeri
juga dapat disertai rasa mual, muntah, sesak napas, pusing, keringat
dingin berdebar-debar, dan juga pasien sering tampak ketakutan. Nyeri
dada yang terjadi saat istirahat, nyeri menetap, durasi lebih dari 30 menit
dan tidak hilang dengan.
b. Sesak nafas sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak
tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa
menimbulkan hiper ventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak
nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala gastrointestinal peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual
dan muntah, biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi
diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
d. Gejala lain Palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan
gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstrimitas).
2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3),
ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
3. Pemeriksaan elektrokardiogram Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau
keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan
EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior (II, III, aVF). Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai
pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block), RBBB (Right Bundle
Branch Block) baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥ 20 menit) maupun
tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang
T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 lead
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar lead adalah 0,1 mV. Pada lead
V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan
jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3 pada pria usia
≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia.
4. Pemeriksaan marka jantung Troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyabab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan
kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard,
pemeriksaan troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 3- 6 jam setelah
pemeriksaan pertama jika diagnose infark belum bisa ditegakkan.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care
testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat
(15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat
diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral.
2.6 Diagnosis
2.6.1 Ananmnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya
berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, merokok, stress serta sakit jantung koroner pada keluarga. 10
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan
tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang
salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.10
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang
dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan
nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien IMA.10
10
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
1. Inspeksi
Pada inspeksi yang kita lihat yaitu pada kulit toraks apakah terjadi perubahan
warna kulit, apakah terdapat lesi kulit, benjolan, pelebaran kapiler (mis. Spider naevi)
dan sebagainya. Kemudian perhatikan bentuk toraks, apakah simetris atau asimetris,
dan apakah terdapat deformitas seperti pectus excavatum, pectus carinatum, barrel
chest, dan lain lain. Salah satu kelainan bentuk toraks yang dapat dijumpai adalah
Voussure cardia que (pectus carinatum), adalah tonjolan lokal yang lebar antara
sternum dan apex kordis. Di tempat tersebut sering dijumpai pulsasi jantung. Ictus
kordis akan tampak sebagai pulsasi dengan ventricular heaving yang kuat angkat dan
cepat, pada sela iga 3, 4 atau 5, disekitar linea medioklavikularis kiri. 1
2. Palpasi
Pada pemeriksaan palpasi dalam keadaan patologis dapat teraba adanya
pulsasi yang keras dan bergelombang, yang disebut ventricular heaving. Kelainan ini
sering dijumpai pada kasus mitral insufisiensi dan aneurisma ventricel. Sedangkan
pada pulsasi yang keras seperti pukulan di daerah ventrikel kanan disebut ventrikular
lift. Bila impuls apikal ini sulit diraba pasa posisi pasien berbaring terlentang,
mintalah pasien untuk berbaring miring ke sisi kiri (left lateral decubitus), dan
mintalah pasien untuk ekshalasi maksimal dan stop nafas untuk beberapa detik. 1
3. Perkusi
Dengan perkusi dapat ditentukan batas- batas jantung, yang pada keadaan
patologis seperti pembesaran jantung kanan maupun kiri, maka pinggang jantung
akan melebar ke arah kiri atau kanan, disertai menghilangnya pinggang jantung. 1
4. Auskultasi
Keadaan patologis yang harus diidentifikasi dengan cara auskultasi adalah
gallop dan murmur. Gallop yaitu bunyi jantung seperti derap kaki kuda yang sedang
berlari. Sering dijumpai pada decompensatio kordis. Murmur adalah bising jantung
yang harus didengar baik baik dan dibedakan. Ada pula aritmia yaitu denyut jantung
yang tidak teratur atau ireguller, yang dapat berupa percepatan atau perlambatan
irama sinus (takikardia dan bradikardia) atau irama yang melompat seperti pulsus
bigeminus, trigerminus dll, atau irama yang benar benar irreguler, yang dapat
ditemukan stenosis mitral, stenosis trikuspid.1
1. Elektokardiogram
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan
ada nekrosis jantung (infark miokard).10
a. CKMB meningkat setelah 4-6 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 12 jam dan kembali normal dalam 2 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
b. cTn ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTnT
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn 1 setelah 5-10
hari.
3. Ekokardiogram
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh
kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas
menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap
hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA. STEMI
merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina
pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI
umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. 10,4
3. Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari
beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan
berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable
angina pectoris = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam sindrom koroner
akut = "acute coronary syndrome" = ACS, yang memerlukan perawatan
khusus.
Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak termasuk
UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa
pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada
beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya).10,4
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai
akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya
iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut
sebagai "silent iskhemia" sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi
asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stres tes
pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada
beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya). 10,4
Menurut pedoman America Heart Association (AHA) angina tak stabil dan infark
tanpa elevasi (NSTEMI = non ST elevation myocardial infarktion) ialah apakah
iskemia yang timbul cukup berat sehingga menimbulkan kerusakan pada
miokardium, sehingga petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan sedangkan tak ada kenaikan
troponin maupun dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk seperti adanya depresi
segmen ST ataupun elavasi sebentar atau adanya gelombang T yang negatif kenaikan
enzim biasanya dalam waktu 12 jam tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali
tak bisa dibedakan dari NSTEMI.10,4
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab angina pektoris tak stabil, sehingga
tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya
mempunyai penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi,
adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila
trombus menutup pembuluh darah 100% terjadi infark dengan elevasi segmen ST,
sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis
yang berat akan terjadi angina tak stabil. 10,4
2.7.3 Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
Angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris= UAP) dan infark
miokard akut tanpa elevasi ST (non ST elevation miocardial infarction = NSTEMI)
diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri pda, yang menjadi salah sata gejala
yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD.10,4
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama <10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi :
a. Untuk fibrinolisis <30 menit
b. Untuk IKP primer <=90 menit di faskes dengan kemampuan fasilitas
IKP primer (kurang dari 120 menit bila pasien perlu ditransfer ke faskes
yang melakukan IKP primer).
Di faskes dengan IKP primer, target waktu antara KMP sampai wire melewati
lesi di arteri penyebab adalah <90 menit (atau < 80 menit dari diagnosis ditegakkan
sampai wire melewati lesi di areri penyebab). Keterlambatan yang terjadi
menggambarkan performa dan kualitas organisasi faskes tersebut.
Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka terapi fibrinolitik
sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis STEMI. Diagnosis STEMI
harus ditegakkan dalam waktu 10 menit dari KMP. Waktu absolut dari diagnosis
IMA-EST ke reperfusi IKP (wire crossing pada IRA) adalah 120 menit. Jika
diperkirakan lebih dari 120 menit, maka fibrinolitik menjadi pilihan.
IKP primer juga harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang berlangsung
>12 jam disertai :
2. Terapi Fibrinolitik
Absolut Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient ischaemic attack (TIA) dalam
penyebabnya belum diketahui, dengan 6 bulan terakhir
awitan kapanpun bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
Kerusakan sistem saraf sentral dan partum
neoplasma Tempat tusukan yang tidak dapat
Trauma operasi/trauma kepala yang dikompresi
berat dalam 3 minggu terakhir Resusitasi traumatik
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan Hipertensi refrakter (tekanan darah
terakhir sistolik
Penyakit perdarahan Penyakit perdarahan > 180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
Koterapi Kontraindikasi
Dosis awal
antitrombin spesifik
1,5 juta U dalam
100 mL
Dekstrose 596 Heparin i.v. selama Sebelum Sk atau
Streptokinase (Sk)
atau larutan salin 24-48 jam anistreplase
0,9% dalam waktu
30-60
menit
Bolus 15 mg
intravena 0,75
mg/kg selama 30 Heparin i.v. selama
Alteplase (tPA) menit, kemudian
0,5 mg/kg selama 24-48jam
60 menit
Dosis total tidak
lebih dari 100
mg
Dosis tunggal
bolus intravena
sesuai berat badan,
diberikan 24-48
jam selama 5
detik:
Heparin i.v. selama
Tenectaplase < 60 Kg; 30
mg 24-48 jam
60-70 Kg; 35
mg
70-80 Kg; 40
mg
80-90 Kg; 45
mg
> 90 Kg; 50
mg
3. Oksigen
4. Statin
1. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi bila revaskularisasi
dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis, mun apabila terjadi jejas transmural
dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda
dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik.
Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan
atau sebagai komplikasi mekanis.
a. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan
oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, nekrosis tubuler akut, dan berkurangnya output
urin.
b. Kongesti Paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
d. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6 – 10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%.
Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut,
namun biasanya tidak terdiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian
registry SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for
Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam
dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang
dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok. Pasien biasanya
datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat,
perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru.
a. Aritmia Supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi
atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang.
Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan pengobatan
selain antikoagulasi. Dalam beberapa kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat
menyebabkan gagal jantung sehingga perlu ditangani dengan segera. Kendali laju
yang cukup diperlukan untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat
dicapai dengan pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium, baik secara
oral maupun intravena.
b. Aritmia Ventrikular
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut
dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T
umum ditemukan.
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. papilaris, atau pecahnya ujung m. papilaris atau chordae
tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan
dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu
diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis
dan perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi darurat.
2. Ruptur Jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah
infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular
dengan disosiasi elektromekanis. Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi.
Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi
dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.
2.9.5 Perikarditis
Gejala perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam
dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan pernapasan.
Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan
progresif,
1. Bickley, Lynn. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi 8.
Jakarta : EGC;2009. h.220-1; 238-9; 266-9; 272-3; 279-80.
2. Dharma S. Pedoman praktis sistematika interpretasi EKG.
Jakarta:Erlangga;2009.h.72.
3. Hanna E.B., Glancy D.L., 2015. ST-segment elevation: Differential diagnosis,
caveats. Cleveland Clinic Journal Of Medicine, 82(6): 374-384
4. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (eds 13).
Volume 3. Jakarta: EGC;2008.h.1201-44.
5. Jensen, R.V., Hjortbak, M.V. and Bøtker, H.E. (2020) ‘Ischemic Heart Disease:
An Update’, Seminars in Nuclear Medicine. W.B. Saunders, pp. 195–207.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. PERKI 2018. https://inaheart.org/wp-
content/uploads/2021/07/Buku-ACS-2018.pdf
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018, Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga, Centra
Communications,Jakarta, p. 3-59.
8. Pollack, C. v. et al. (2020) ‘Contemporary NSTEMI management: the role of the
hospitalist’, Hospital practice (1995). NLM (Medline), pp. 1–11.
9. Sia, C.H. et al. (2021) ‘Association between smoking status and outcomes in
myocardial infarction patients undergoing percutaneous coronary intervention’,
Scientific Reports, 11(1)
10. Sudoyo Aru W, et all. Infark miokard dengan elevasi ST. Buku ajar ilmu
penyakit dalam Jilid 2. Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2009.h.1425-99.
11. Vernon, S. T. et al., 2019. ST‐Segment–Elevation Myocardial Infarction
(STEMI) Patients Without Standard Modifiable Cardiovascular Risk Factors.
Journal of the American Heart Association.
12. Vogel, B. et al. (2019) ‘ST-segment elevation myocardial infarction’, Nature
Reviews Disease Primers. Nature Publishing Group.
13. Wang, C. et al. (2022) ‘Interactions of ST-elevation myocardial infarction, age,
and sex and the risk of major adverse cardiovascular events among Chinese
adults: a secondary analysis of a single-centre prospective cohort’, BMJ Open,
12(7).