Anda di halaman 1dari 3

DHARMA WACANA

IMPLEMENTASI TRI PARARTHA, SEBAGAI DASAR DALAM KEHIDUPAN BERBIHNNEKA

Om Awignham Astu Namo Siddham


Nuwun sewu kanthi sungkem pangayubagya panganjali
Om Swastyastu,
Om Annobadrahkrtavoyantu Visvatah
( semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru )

Penghormatan :
Ingkang tuhu kinabekten para sesepuh aji sepuh ingkang sampun pana ing pamawas lebda ing
pitutur minangka pepoyaning kautaman inkang mahambek luhuring dharama
Para Pamiarso RRI ingkang satuhu bagia lan mulya
Umat sedharma ingkang kula hormati

Astungkara Rasa angayu bagya Saya haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas asung kertha wara nugraha Kita diberikan Suatau kenikmatan yaitu
Nikmat sehat dan sempat sehingga kita bisa bertemu melaui udara dengan suasana yang bahagia
Pada kesempatan ini Melaui RRI ijinkan saya Nama JUMAR Penyuluh Agama Hindu NON PNS pada
Bimas Hindu Jateng dengan Wilayah Binaan Kab.Temanggung menyampaikan dharma wacana yang
berjudul :

* Implementasi ajaran Tri Parartha, Sebagai Dasar Dalam Kehidupan Berbihnneka*

Bapak/ibu dan umat sedharma yang berbahagia

Seorang Mahakawi yang bergelar Mpu Tantular dalam karyanya Kitab Sutasoma
menyatakan :
“ Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”
Artinya: “ berbeda-beda itu, tetapi pada hakekatnya adalah satu, tidak ada kebenaran yang kedua.
Sebuah contoh, Pak Agung pagi hari pergi ke kantor mengenakan seragam dinas TNI disebutlah ia
“Pak Tentara”, sepulang dari kantor ia mengganti pakaiannya dan mengambil cangkul lalu pergi ke
sawah, maka disebutlah ia “Pak Tani”, ketika hari senja ia kembali ke rumah untuk berkumpul
bersama putra-putri dan istrinya, disebutlah ia “ayah dan suami”. Yang disebut Pak Tentara, Pak
Tani, Ayah dan Suami beliau adalah satu, yaitu Pak Agung.

Contoh lain dalam lingkup yang lebih luas, kita menjumpai tata cara mengamalkan Agama Hindu
yang didukung dengan tata cara adat istiadat Budaya Bali. Di Pulau Jawa tentunya didukung dan
diterapkan sesuai dengan adat istiadat Jawa. Demikian pula halnya di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan berbagai daerah lainnya. Antara satu orang dengan orang lain, antara satu daerah
dengan daerah lain, itu berbeda. Walaupun kita sama-sama Hindu, tetapi cara pengamalannya yang
berbeda.
Kita simak petikan sloka yang tertulis dalam Bhagawadgita: IV-11 berikut:
Ye yatha mam prapadyante,Tams tathai ‘va bhajami aham,Mama vartma ‘nuvartante, Manusyah
partha sarvasah.
Artinya :
Jalan manapun yang ditempuh manusia kepada-Ku semuanya Ku terima. Dari mana-mana mereka
semua menuju jalan-Ku.

Pertanyaanya : Lantas mengapa justru perbedaan itu senantiasa menimbulkan perpecahan?


Kita ketahui bersama, berbagai macam hiruk pikuk kehidupan begitu jelas terpangpang di depan
mata. Coba kita merenung sejenak,bagaimana sepak terjang manusia sekarang dalam menjalani
kehidupan ini, tidak jarang kita melihat di media massa maupun dilingkungan tempat tinggal kita
berbagai macam peristiwa yang membuat kita miris dan tercengang menyaksikanya.
Ada seorang filusuf Cina pada abad ke 400 SM yaitu Composius menyatakan :
“Dengan melihat aku tahu, dengan mendengar aku mengerti, dengan menjalani aku paham”.
Dalam realita, ada yang mengagung-agungkan Tuhannya sebagai yang paling mulia sehingga
menjelek-jelekkan kepercayaan atau agama lain, ada yang menganggap lingkungan daerahnya
yang paling bagus sehingga daerah lain merasa tidak perlu untuk dijaga, tidak perlu untuk
dilestarikan. Ada yang menyatakan orang-orang dikaumnyalah yang paling hebat, paling berkuasa,
sehingga orang lain menjadi tidak dihormati, saling menjatuhkan, saling cemburu dan
bermusuhan. Hal inilah pemicu timbulnya perpecahan, tidak ada rasa syukur hingga menjadi
konflik yang berkepanjangan, bahkan kerusuhan.

Umat sedharma yang berbahagia,


Manusia selain sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial, yang tidak akan terlepas
dari kehidupan bermasyarakat. Untuk menciptakan kehidupan yang tentram dan damai maka kita
harus menjaga hubungan yang harmonis yang dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Tri Hita
Karana, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta, antara manusia
dengan sesama manusia, begitu pula antara manusia dengan lingkungan alam.
Selain itu, upaya untuk mewujudkan tatanan hidup yang bahagia dan sejahtera dapat dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya dengan memahami dan menerapkan ajaran Tri Parartha
yakni asih, punya dan bhakti.
Tri Parartha adalah tiga prihal yang dapat menyebabkan terwujudnya kesempurnaan, kebahagiaan,
keselamatan, kesejahteraan, keagungan dan kesukaan hidup umat manusia.
Adapun tiga prihal yang dimaksudkan diantaranya :

1. Asih
Asih berarti cinta kasih atau kasih sayang. Kita mulai mencintai diri sendiri, mencintai sesama dan
mencintai alam lingkungan sekalipun kita berbeda.Melalui perbedaan ini akan memunculkan saling
introspeksi satu sama lain. Karena tidak satupun manusia diciptakan sempurna. Ketika kita
mencintai diri sendiri, sudah tentu pikiran, perkataan dan perbuatan kita jaga, itulah sesungguhnya
pengendalian indria yang diungkap dalam ajaran Tri Kaya Parisudha. Cinta kasih juga dapat kita
temukan dalam konsep Tat Twam Asi dengan hakekatnya bermuara dari kasih sayang yang
diaktualisasikan kedalam bentuk sikap yang memandang segala mahluk adalah sama, “vasudeva
kutumbakam”. Andai saja cinta kasih yang dimiliki setiap manusia dipelihara dan diarahkan
dengan baik, meskipun kita berbeda, kita akan temui ketentraman dan kedamaian itu.Cinta kasih
dalam pikiran adalah kebenaran, dalam ucapan adalah kejujuran, dalam perbuatan adalah kebajikan,
dan cinta kasih dalam perasaan adalah kedamaian.

Kitab suci Rg Veda, X. 191.4 menyebutkan sebagai berikut :


“ Samani va akutih, samana hrdayani vah,
Samanam astu vo mano, yatha va susahasati “
artinya:
“Samalah hendaknya tujuanmu, samalah hendaknya hatimu, samalah hendaknya pikiranmu, dengan
demikian semoga semua hidup bahagia bersama – sama”.

2. Punya
Punya berarti dermawan, tulus dan iklas.
Dalam Yajur Veda XL.1 disebutkan sebagai berikut :
“ Īsā vāsyam idam śarvam yat kim ca, jagatyām jagat tena tyaktena,
bhuñjῑthā mā gadhah kasya svid dhanam”
Yang artinya,
“Semestinya dipahami bahwa segalanya diresapi oleh Ida Sang Hyang Parama Kawi, segala yang
bergerak dan yang tak bergerak di alam semesta ini. Hendaknya, orang tidak terikat dengan
berbagai kenikmatan dan tidak rakus serta menginginkan milik orang lain”.
Punya dalam arti luas juga termasuk pelayanan, dalam bahasa Sansekerta disebut dengan sevanam
dan dalam bahasa Bali di identikkan dengan kata ngayah atau melayani. Berpunia
terhadap sesama ciptaan-Nya sekalipun antara satu dan yang lainnya tidaklah sama. Perbedaan
ini dimaksudkan agar kita mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing, sehingga bisa
untuk saling tolong menolong. Dan ketika kita memberikan pertolongan baik berupa jasa ataupun
materi, agar didasari oleh ketulusan dan keiklasan tanpa mengharapkan suatu imbalan.
3. Bhakti
Bhakti artinya hormat, sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena Ialah yang
menciptakan semua ini dan yang akan memberi kita keselamatan.
Pustaka suci Ṛgveda X.7.3 menyebutkan sebagai berikut :
“ Agniṁ manye pitaram agnim āpim agniṁ bhrātaraṁ sadami sakhāyam, agner anῑkaṁ bṛhatah
saparyaṁ divi śukraṁ yajataṁ sūryasya“
Yang artinya :
“Tuhan Yang Maha Kuasa yang kami yakini sebagai bapak kami, ibu kami, sanak saudara
dan keluarga kami, kami puja Engkau sebagai yang memiliki wajah yang agung, sinar suci Surya di
langit”.

Walaupun berbeda gelar yang diberikan kepada-Nya, berbeda tata cara untuk bersujud dan
berbhakti terhadap-Nya, namun ialah yang esa, ekam sat viprah bahuda vadanti. Begitu pula
halnya kepada sesama manusia kita harus saling hormat menghormati, harga menghargai karena
dihadapan-Nya kita semua sama, yang membedakan hanyalah amal perbuatan yang kita lakukan.
Asih, punya dan bhakti adalah ajaran agama yang patut dijadikan pedoman untuk menumbuhkan
sikap mental masing – masing pribadi agar tidak terikat oleh pengaruh benda duniawi. Cinta kasih
melandasi segalanya, kita melaksanakan punya karena cinta kasih dan berbhakti pula atas dasar
kasih sayang. Dengan mengamalkannya senantiasa mampu menciptakan keharmonisan dan
kedamaian, sesuai tujuan Agama Hindu yakni Moksartam Jagadhitaya Ca Iti Dharma.

Umat sedharma yang saya hormati,


Dapat disimpulkan : Bahwa perbedaan sebagai wahana untuk saling introspeksi diri,
mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga menimbulkan suatu interaksi,
hubungan timbal balik antar sesama, bukan untuk memecah melainkan untuk penyatuan.

Yakni dengan menjadikan ajaran Tri Parartha sebagai pondasinya.


1. Asih, yaitu cinta kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaan-Nya dalam
kehidupan yang paras paros sarpa naya salung – lung sabayan taka.
2. Punya, yaitu dermawan, tulus dan iklas. Ketika hidup berdampingan selalu saling tolong
menolong baik berupa jasa maupun materi tanpa mengharapkan suatu imbalan.
3. Bhakti, yaitu sujud kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta saling menghormati dan menghargai
antar sesama ciptaan-Nya.

Janganlah memandang pluralisme seperti memandang satu sisi mata uang yang hanya dapat kita
lihat dari satu sisinya saja, tetapi pandanglah pluralisme layaknya memandang hamparan laut yang
luas dengan karang dan bebatuan yang kita ibaratkan sebagai baik buruknya suatu perbedaan.
“Jadi orang yang dapat bersyukur dengan hadirnya pluralisme adalah orang-orang yang memiliki
cinta di hatinya”. bukan warna merah, kuning, hijau seperti yang kita kenal, tetapi agama yang
berbeda, suku bangsa yang berbeda, cara pandang yang berbeda, adat istiadat serta budaya yang
berbeda yang mewarnai seisi dunia. Tidak ada pelangi yang indah hanya dengan satu warna.

Umat Sedharma yang saya hormati


Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini mengenai Tri Parartha
dalam kaitannya dengan kebhinnekaan. Semoga dapat memberikan manfaat dan dijadikan sebagai
dasar dalam meniti kehidupan di dunia ini. Apabila ada hal – hal yang kurang berkenan mohon
dimaafkan, “Tan Hana Wwang Swasty Hayu Nulus” tidak ada manusia yang sempurna.

Om Santih, Santih, Santih Om

Anda mungkin juga menyukai