Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

“PENANGANAN KEGAWATDARURATAN KASUS TRAUMA KEPALA”

Dosen Pembimbing :
Ns. Wiyadi, S. Kep., M. Sc

Disusun Oleh : Kelompok 3

Amanda Raya Fadila P07220221007


Anjelika Maharani P07220221009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN
TIMUR PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah swt. yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Kami ucapkan banyak rasa syukur kepada Allah swt. atas segala
limpahan rahmat, berkah, serta hidayah-Nya sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Penanganan Kegawatdaruratan Kasus
Trauma Kepala”. Shalawat serta salam tak henti-hentinya tercurahkan kepada Nabi
besar kita Muhammad SAW. yang telah membimbing kita umatnya dari jaman
jahiliyah hingga jaman terang benderang seperti saat ini, semoga kelak kita mendapat
safaatnya di hari akhir.
Makalah ini merupakan hasil kerja kelompok kami yang telah disusun
sedemikian rupa guna menyelesaikan tanggung jawab atas tugas yang diberikan
dalam mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan. Kami menyadari dalam
penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yakni teman-
teman serta dosen pengampu, oleh karena itu kami ingin mengucapkan banyak terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan kepada kami dalam
penyusunan makalah ini.
Terlepas dari ketidaksempurnaan dalam penulisan makalah ini, Kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta memberikan inspirasi bagi para
pembaca. Maka dari itu kami dengan penuh keikhlasan menerima segala saran serta
kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 23 Juli 2023

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................3
C. Tujuan..............................................................................................................4
D. Manfaat............................................................................................................5
E. Sistematika Penulisan.......................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................7
A. Patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada trauma kepala........................7
B. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan trauma kepala..................................9
C. Upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada trauma kepala...........22
D. Persiapan, pelaksanaan, dan pasca pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
pada trauma kepala
23
E. Simulasi pendidikan kesehatan kegawatdaruratan trauma kepala.................26
F. Hasil-hasil penelitian dalam asuhan keperawatan trauma kepala..................29
G. Trend dan issue terkait kasus trauma kepala.................................................31
H. Evidence based practice dalam penatalaksanaan kasus trauma kepala..........32
BAB III PENUTUP....................................................................................................38
A. Kesimpulan....................................................................................................38
B. Saran...............................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................40

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Penyebab terjadinya cedera kepala salah
satunya karena adanya benturan atau kecelakaan. Cedera kepala mengakibatkan
pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis dan akibat
paling fatal adalah kematian. Asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala
memegang peranan penting terutama dalam pencegehan komplikasi (Muttaqin,
2008) Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi dan perdarahan. Hampir
separuh dari seluruh kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera kepala.
Cedera kepala merupakan keaadan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortalitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya
pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram,
2007). Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera
kepala, 2 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007). Ada
1,25 juta kematian lalu lintas diseluruh dunia setiap tahunnya, dengan jutaan
lainnya menderita luka serius dan hidup dengan konsekuensi kesehatan jangka

2
panjang yang merugikan secara global, kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab utama kematian di kalangan anak muda, dan penyebab utama
kematian diantara mereka yang berusia 15-29 tahun. Hampir setengah dari
setengah kematian di jalan-jalan dunia termasuk di antara mereka yang paling
tidak memiliki pengaman pada pengendara sepeda motor, pengendara sepeda
dan pejalan kaki. Presentase jenis kelamin laki-laki lebih tinggi mengalami
cedera kepala disbanding dengan perempuan (WHO, 2015)
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018,
jumlah data yang dianilis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua
umur.Adapun responden yang tidak pernah mengalami cedera 942.984 orang
dan yang pernah mengalami cedera 84.774 orang. Sebanyak 34.409 kasus
cedera disebabkan karena transportasi sepeda motor, yang menjadi penyebab
cedera kedua tertinggi (40,6%) setelah jatuh (40,9%). Pravelensi cedera secara
nasional adalah 8,2% dan pravalensi angka cedera yang disebabkan oleh sepeda
motor di Sumatera Barat 49,5%. Pravalensi cedera tertinggi berdasarkan
karakterisitik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%) dan
pada laki-laki (10,1%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
berdasarkan latar belakang tersebut adalah :
1. Patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada trauma kepala?
2. Asuhan keperawatan kegawatdaruratan trauma kepala
3. Upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada trauma kepala
4. Persiapan, pelaksanaan, dan pasca pemeriksaan diagnostik dan
laboratorium pada trauma kepala
5. Simulasi pendidikan kesehatan kegawatdaruratan trauma kepala
6. Hasil-hasil penelitian dalam asuhan keperawatan trauma kepala
3
7. Trend dan issue terkait kasus trauma kepala
8. Evidence based practice dalam penatalaksanaan kasus trauma kepala

C. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai
dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Umum
Secara umum penyusunan makalah ini bertujuan untuk mempelajari
penanganan kegawatdaruratan kasus trauma kepala.
b. Khusus
Secara khusus makalah ini bertujuan untuk lebih mengetahui dan
memahami mengenai patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada trauma
kepala, asuhan keperawatan kegawatdaruratan trauma kepala, upaya
pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada trauma kepala, persiapan,
pelaksanaan, dan pasca pemeriksaan diagnostik dan laboratorium pada
trauma kepala, simulasi pendidikan kesehatan kegawatdaruratan trauma
kepala, hasil-hasil penelitian dalam asuhan keperawatan trauma kepala, tren
dan issue terkait kasus trauma kepala, evidence based practice dalam
penatalaksanaan kasus trauma kepala.

D. Manfaat
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka makalah ini diharapkan
mempunyai manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, Adapun
manfaat penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penyusunan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu:
a) Memberikan informasi mengenai patofisiologi, farmakologi dan terapi
diet pada trauma kepala, asuhan keperawatan kegawatdaruratan trauma

4
kepala, upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada trauma
kepala, persiapan, pelaksanaan, dan pasca pemeriksaan diagnostik dan
laboratorium pada trauma kepala, simulasi pendidikan kesehatan
kegawatdaruratan trauma kepala, hasil-hasil penelitian dalam asuhan
keperawatan trauma kepala, tren dan issue terkait kasus trauma kepala,
evidence based practice dalam penatalaksanaan kasus trauma kepala.
b) Sebagai referensi bacaan dalam pembelajaran mata kuliah keperawatan
kegawatdaruratan.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penyusunan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
berikut:
a) Bagi penulis
Dapat menambah wawasan mengenai penanganan kegawatdaruratan
kasus trauma kepala.
b) Bagi dosen
Untuk menilai kinerja mahasiswa dalam penyusunan makalah mengenai
penanganan kegawatdaruratan kasus trauma kepala dalam mata kuliah
keperawatan kegawatdaruratan.
c) Bagi Pembaca
Dapat mengetahui patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada trauma
kepala, asuhan keperawatan kegawatdaruratan trauma kepala, upaya
pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada trauma kepala, persiapan,
pelaksanaan, dan pasca pemeriksaan diagnostik dan laboratorium pada
trauma kepala, simulasi pendidikan kesehatan kegawatdaruratan trauma
kepala, hasil-hasil penelitian dalam asuhan keperawatan trauma kepala,
tren dan issue terkait kasus trauma kepala, evidence based practice
dalam penatalaksanaan kasus trauma kepala.

5
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyelesaian dari penyusunan makalah ini, maka
penulis menyusun sistemaika penulisan sebagai berikut :
1. Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan,
manfaat, dan sistematika penulisan.
2. Bab II Pembahasan, berisi pembahasan dari permasalahan yang
disampaikan.
3. Bab III Penutup, berisi kesimpulan dan saran dari permasalahan yang
disampaikan.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet pada Trauma Kepala


I. Patofisiologi
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Patofisiologis dari cedera
kepala traumatik dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Cedera kepala primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera
kepala primer dapat menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak ke
pala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
Cedera kepala ini dapat berlanjut menjadi cedera sekunder. Kerusakan
sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel otak sehingga
menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah ke otak
menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan
metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan
tekanan darah. Penurunan tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal
mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi kebocoran
cairan kapiler. Trauma kepala dapat menyebabkan odeme dan hematoma
pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.

7
Sehingga pasien akan mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah
kepala (Padila, 2012).
II. Farmakologi
Obat-obatan yang dapat digunakan dalam manajemen cedera kepala
antara lain :
a) Obat Anti Kejang Profilaksis
Anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma.
Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam.
Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan
setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan risiko kejang fase
lanjut pasca trauma. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk
mencegah kejang fase dini pasca trauma.
b) Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis
Manitol membantu menurunkan tekanan intrakranial pada pasien COB
(cedera otak berat). Pemberian dengan dosis 0,25–1gr/kgBB lebih
dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus.
c) Analgetik
Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma
kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. Obat-obatan
antiinflamasi nonsteroid lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa
diberikan per-oral. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp
bermanfaat mengurangi nyeri pada pasien COR (cedera otak ringan).
d) Pemberian profilaksis antibiotik
Untuk mencegah infeksi dan pneumonia.

III. Terapi Diet


Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,
kehilangan kurang lebih15% beratbadan tubuh perminggu. Penurunan
berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. Diberikan
8
kebutuhan metabolisme istirahat dengan 140% kalori/hari dengan formula
berisi protein >1% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat
mencegah kejadian hiperglikem, infeksi. (Sezane C, Smelzer & Brenda G,
Bare. 2013)

B. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Trauma Kepala

Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan


secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien,
merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy dalam Andra,
dkk. 2013). Menurut Rendi dan Margareth. (2012), asuhan keperawatan pada
pasien cedera kepala meliputi:

I. Pengkajian
1. Primary Survey (Survey Primer)
Semua prosedur penanganan gawat darurat dengan kejadian trauma, maka
langkah pertama yang dilakukan sejak detik pertama pasien masuk instalasi
gawat darurat adalah pemeriksaan secara cepat dan efisien disebut sebagai
primary survey. Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis,
pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah
yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan.Dasar dari pemeriksaan primary survey adalah ABCD, yaitu
Airway (jalan nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi darah),
Disability (status neurologi) (Wahjoepramono, (2005)

a. Airway ( Menjaga Jalan Nafas) dengan kontrol servikal


Airway Manajemen merupakan suatu hal yang terpenting dalam
melakukan resusitasi dan membutuhkan ketrampilan khusus dengan

9
penanganan keadaan gawat darurat. Oleh sebab itu, hal yang pertama
harus segera dinilai adalah kelancaran jalan nafas, meliputi pemeriksaan
jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring (Dewi, 2013 dalamSetyawan, 2015).
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan
ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara
atau bernafas dengan bebas?
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical
chest movements
 Sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang

10
 Gigi palsu
 Trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi

b. Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada
pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan
adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax,
closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :
1) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.

11
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien
jika perlu.
3) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4) Penilaian kembali status mental pasien.
5) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
7) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya
dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

c. Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum
pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan
adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup
aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.

12
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi
melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Pada shock hipovolemik ini dibatasi dengan tekanan darah kurang
dari 90 mmHg dan dapat mengalami penurunan tekanan darah yang
berpengaruh terhadap tingkat kinerja otak (Arifin, 2013). Oleh sebab itu,
hal yang pertama harus segera dinilai adalah mengetahui sumber
perdarahan eksternal dan internal, tingkat kesadaran, nadi dan periksa
warna kulit dan tekanan darah (Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011&
ATLS 2004), yaitu:
1) Tingkat kesadaran yaitu ketika volume darah menurun perfusi
otak juga berkurang yang dapat menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
2) Warna Kulit, yaitu berupa wajah yang keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.
3) Nadi adalah pemeriksaan nadi yang dilakukan pada nadi terbesar
seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan
nadi, kecepatan dan irama.

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,


antara lain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya

13
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
5) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
6) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

d. Disabilities
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat (ATLS, 2004). Selain itu,Pemeriksaan neurologis
secara cepat yaitu dengan menggunakan metode AVPU (Allert, Voice
respone, Pain respone, Unrespone) (Pusbankes 118, (2015). Hal ini yang
dinilai yaitu tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS/PTS, ukuran
dan reaksi pupil (Musliha, (2010). Dalam hal ini, penurunan kesadaran
dapat disebabkan oleh adanya penurunan oksigenasi atau perfusi ke otak
serta trauma langsung (Pusbankes 118, 2015). Menurut Greenberg, (2005)
dalam Arsani 2011 bahwa nilai pupil dilihat dari besarnya isokor, reflek
cahaya, awasi adanya tanda-tanda lateralisasi, evaluasi maupun Re-
evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi serta circulation.
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.

14
e. Exposure
Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien
harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan
thoraks kemudian diberikan selimut hangat, cairan intravena yeng telah
dihangatkan dan ditempatkan pada ruangan cukup hangat ini dilakukan
pada saat dirumah sakit (Musliha, 2010). Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara long roll(Dewi 2013). Pemeriksaan
seluruh bagian tubuh harus segera dilakukan tindakan agar mencegah
terjadinya hiportermia.
Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada survey primer,
yaitu pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto thoraks,
dan foto polos abdomen. Tindakan lainnyaseperti pemasangan monitor
EKG, kateter dan NGT Pusbankes 118, (2015).
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi
in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai
dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.

2. Secondary survey
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan

15
dipastikan airway, breathing dan sirkulasidapat membaik. Prinsip survey
sekunder adalah memeriksa ke seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari
ujung rambut sampai ujung kaki ( head to toe) baik pada tubuh dari bagian
depan maupun belakang serta evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital
penderita. Dimulai dengan anamnesa yang singkat meliputi AMPLE (allergi,
medication, past illness, last meal dan event of injury). Pemeriksaan penunjang
ini dapat dilakukan pada fase meliputi foto thoraks (Pusbankes 118, (2015).
Penanganan klinis mempunyai tahap yang menggunakan prosedur
5B,menurut Wahjoepramono (2005), yaitu :
a. Breathing
Perhatikan adanya frekuensi dan jenis pernafasan, pembebasan obstruksi
jalan nafas, oksigenasi yang cukup, atau adanya hiperventilasi jika
diperlukan.
b. Blood
Pada pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium seperti Hb
dan leukosit.
c. Brain
Langkah awal penilaian ditentukan pada respon mata, motorik, dan verbal
(GCS). Ketika memburuk perlu pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan
bola mata.
d. Bladder
Kandung kemih segera dikosongkan dengan pemasangan kateter.
e. Bowel
Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan intrakranial dan
pemeriksaan

II. Diagnosa Keperawatan


a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d mengeluh nyeri (D.0077)
b. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis cedera kepala
d.d cedera kepala (D.0005)
c. Resiko perfusi serebral tidak efektif d.d cedera kepala (D.0017)
16
III. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi Keperawatan (SIKI)


Keperawatan Kriteria Hasil
(SDKI) (SLKI)
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
Agen tindakan Observasi
pencedera keperawatan, maka 1.1 Identifikasi lokasi, karekteristik,
fisik (D.0077) diharapkan tingkat durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri menurun nyeri
dengan kriteria 1.2 Identifikasi skala nyeri
1.3 Identifikasi respons nyeri non verbal

17
hasil : 1.4 Identifikasi faktor yang memperberat
- Keluhan nyeri dan memperingan nyeri
menurun 1.5 Identifikasi pengetahuan dan
- Meringis keyakinan tentang nyeri
menurun 1.6 Identifikasi pengaruh budaya
- Sikap protektif terhadap respon nyeri
menurun 1.7 Identifikasi pengaruh nyeri pada
- Gelisah kualitas hidup
menurun 1.8 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
1.9 Monitor efek samping penggunaan
analgesic
Terapeutik
1.10 Berikan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
1.11 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
1.12 Fasilitasi istirahat dan tidur
1.13 Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi

18
1.14 Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
1.15 Jelaskan strategi meredakan nyeri
1.16 Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
1.17 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
1.18 Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1.19 Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

2. Pola nafas Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi (I.01014)


tidak efektif tindakan
Observasi
b.d gangguan keperawatan, maka
neurologis diharapkan pola 2.1 Monitor frekuensi, irama,
cedera kepala nafas membaik kedalaman, dan upaya napas
(D.0005) dengan kriteria 2.2 Monitor pola napas (seperti
hasil : bradipnea, takipnea,
- Frekuensi nafas hiperventilasi, Kussmaul,
membaik Cheyne- Stokes, Biot, ataksik)
- Dispnea 2.3 Monitor kemampuan batuk efektif
menurun 2.4 Monitor adanya produksi sputum
- Penggunaan 2.5 Monitor adanya sumbatan jalan napas
otot bantu 2.6 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
nafas menurun 2.7 Auskultasi bunyi napas
- Pemanjangan 2.8 Monitor saturasi oksigen

19
fase ekspirasi 2.9 Monitor nilai AGD
menurun 2.10 Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

2.11 Atur interval waktu


pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
2.12 Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

2.13 Jelaskan tujuan dan prosedur


pemantauan
2.14 Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
3. Resiko Setelah dilakukan Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)
perfusi tindakan Observasi
serebral tidak keperawatan, maka 3.1 Observasi penyebab peningkatan TIK
efektif d.d diharapkan perfusi (mis. Lesi menempati ruang,
cedera kepala serebral meningkat gangguan metabolism, edema sereblal,
(D.0017) dengan kriteria peningkatan tekanan vena, obstruksi
hasil : aliran cairan serebrospinal, hipertensi
- Tingkat intracranial idiopatik)
kesadaran 3.2 Monitor peningkatan TD
meningkat 3.3 Monitor pelebaran tekanan
- Tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)
intrakranial 3.4 Monitor penurunan frekuensi jantung
menurun 3.5 Monitor ireguleritas irama jantung
- Sakit kepala 3.6 Monitor penurunan tingkat kesadaran

20
menurun 3.7 Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon
pupil
3.8 Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalm rentang yang
diindikasikan
3.9 Monitor tekanan perfusi serebral
3.10 Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
3.11 Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
3.12 Ambil sampel drainase
cairan serebrospinal
3.13 Kalibrasi transduser
3.14 Pertahankan sterilitas
system pemantauan
3.15 Pertahankan posisi kepala dan
leher netral
3.16 Bilas sitem pemantauan, jika perlu
3.17 Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
3.18 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
3.19 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
3.20 Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
21
IV. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat ketika di RS.
Catat hasil dari implementasi yang dilakukan. Pastikan implementasi
dilakukan secara baik dan benar sesuai SOP yang dianjurkan. Sertakan
tanggal, nama terang dan TTD ketika membuat dokumentasi evaluasi
sebagai legalitas.

V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi
adalah kegiatan yang disengaja dan terus –menerus dengan melibatkan
klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini di
perlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan strategi
evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana
keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang
(Padila, 2012).

C. Upaya Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier Pada Trauma Kepala


I. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu
peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko yang mendukung terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti: tidak
mengemudi dengan gangguan kesehatan (terlalu lelah, mengantuk, di
bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol), pengendalian kecepatan
kendaraan/ tidak mengebut, penggunaan helm dan sabuk pengaman,
muatan penumpang tidak berlebihan, dan membuat jalanan yang lebih
aman dan nyaman (tidak macet, kondisi tidak berlubang-lubang, tidak
berkelok-kelok).

22
II. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau
mengurangi perkembangan penyakit atau cedera kepala ke arah kerusakan
dan ketidakmampuan.

III. Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah komplikasi cedera kepala yang
lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan
sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama
perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah
bagian penting dari proses pemulihan penderita cedera kepala. Tujuan
rehabilitasi setelah cedera kepala yaitu untuk meningkatkan kemampuan
penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam
masyarakat.

D. Persiapan, Pelaksanaan, Dan Pasca Pemeriksaan Diagnostik Dan


Laboratorium Pada Trauma Kepala
I. Foto Rontgen Polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan.Bila
lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior- posterior. Bila lesi
terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior- anterior. Bila lesi terdapat
di daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada
sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis
kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan
sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis
(tulang rahang bawah).

23
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral
untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak
mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan
intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.

II. Computed Temografik Scan (CT-scan)


Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield dan
Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke
dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama
isinya tergambar dalam foto dengan jelas.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) kepala merupakan standard baku
untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semuapasien dengan glasglow
coma scale (GCS) <12 sebaiknya menjalankan pemeriksaan Computed
Temografik Scan (CT-Scan), sedangkan pada pasien dengan glasglow
coma scale (GCS) >12 Computed Temografik Scan (CT-Scan) dilakukan
hanya dengan indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-
tandafraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih
dari satu kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan kesadaran
atau anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan
obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan
atau berjalan, gangguan orientasi,berbicara, membaca, dan menulis.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto yang
membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar
dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh
komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan
dalam). Foto Computed Temografik Scan (CT Scan) akan tampak sebagai
penampang-penampang melintang dari objeknya. Dengan Computed
Temografik Scan (CT- Scan) isi kepala secara anatomis akan tampak
dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan
24
tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat,
2006). Indikasi pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) pada
kasus trauma kepala adalah seperti berikut (Irwana, 2009):
a. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedangdan
berat
b. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d. Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e. Sakit kepala yang berat
f. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi
jaringan otak
g. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral Pemeriksaan
Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih merupakan gold
standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala. Berdasarkan
gambaran Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala dapat
diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien
cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada Computed Temografik
Scan (CT-scan) kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-ray
foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah.

III. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan
Computed Temografik Scan (CT-Scan). Kelainan yang tidak tampak pada
Computed Temografik Scan (CT-Scan) dapat dilihat dengan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih
lama dibandingkan dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan)
sehingga tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.

25
IV. Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG): Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus pada pasien rawat
inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif
tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa
perlambatan yang parah pada pemantauan Electroencephalogram (EEG)
terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola
penekananmelonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga
dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.

26
E. Algoritma Penanganan Trauma Kepala

27
Gambar 5.1 Algoritma Penanganan Trauma Kepala Ringan, Sedang, dan Berat
(American Collage Surgeon, 2012)

F. Simulasi Pendidikan Kesehatan Kegawatdaruratan Trauma Kepala

1) Pendidikan Kesehatan Mengenai Pertolongan Pertama Cedera Kepala


a. Periksa jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi
jantung (circulation) pada orang tersebut. Bila perlu, lakukan bantuan
napas dan resusitasi (CPR).
b. Jika orang tersebut masih bernapas dan denyut jantungnya normal,
tetapi tidak sadarkan diri, stabilkan posisi kepala dan leher dengan
tangan atau collar neck (bila ada). Pastikan kepala dan leher tetap lurus
dan sebisa mungkin hindari menggerakkan kepala dan leher.
c. Bila ada perdarahan, hentikan perdarahan tersebut dengan menekan
luka dengan kuat menggunakan kain bersih. Pastikan untuk tidak
menggerakkan kepala orang yeng mengalami cedera kepala tersebut.
Jika darah merembes pada kain yang ditutupkan tersebut, jangan
melepaskan kain tersebut, tetapi langsung merangkapnya dengan kain
yang lain.
28
d. Jika dicuriga ada patah tulang tengkorak, jangan menekan luka dan
jangan mencoba membersihkan luka, tetapi langsung tutup luka
dengan pembalut luka steril.
e. Jika orang dengan cedera kepala tersebut muntah, miringkan posisinya
agar tidak tersedak oleh muntahannya. Pastikan posisi kepala dan leher
tetap lurus.
f. Jangan mencoba mencabut benda apapun yang tertancap di kepala.
Langsung bawa ke unit gawat darurat terdekat.

Pertolongan Pertama Pada Cedera Kepala Dengan Komplikasi

a. Primary Survey
1. Airway (Cek Jalan Napas)
Lakukan dengan teknik “Lihat Dengar Rasakan” selama 5-10 detik.
Waspadai masalah yang muncul seperti sumbatan jalan napas
2. Breathing (Cek Pernapasan)
Hitung frekuensi napas, lihat pergerakan dada, berikan bantuan
resusitasi jika perlu.
3. Circulation (Cek Sirkulasi Nadi)
Identifikasi tingkat kesadaran, warna kulit dan frekuensi nadi.
4. Disability (Cek Kesadaran)
Periksa skala GCS (hanya untuk orang terlatih), dan refleks cahaya
pada pupil.

b. Secondary Survey
1. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Hati-hati saat
pemeriksaan bagian kepala
2. Periksa apakah ada perdarahan dan fraktur (patah tulang)

29
3. Tekan daerah perdarahan dengan kain bersih, jangan lepaskan
sampai perdarahan berhenti
4. Waspada jika terdapat fraktur atau cedera spinal (cedera pada
saraf tulang belakang)
5. Jangan beri makan dan minum
6. Pindahkan korban dengan posisi sejajar, perhatian penuh
daerah kepala
7. Hubungi tenaga medis segera untuk penanganan lebih lanjut

2) Pendidikan Kesehatan Mengenai Pencegahan Cedera Kepala


a. Jatuh merupakan penyebab utama cedera kepala, terutama pada anak-
anak dan lansia. Meminimalisir kejadian jatuh dapat dilakukan dengan
cara memastikan lantai tidak licin, menggunakan alat bantu jalan, dan
melakukan pengawasan pada saat anak atau lansia berada di kamar
mandi atau berjalan di tangga.
b. Rutin cek kendaraan
Rutin cek kendaraan secara berskala merupakan langkah pertama agar
terhindar dari kecelakaan lalu lintas. Jika tidak diberi perawatan yang
optimal kendaraan juga akan terkendala saat dalam perjalanan sehingga
bisa membahayakan diri sendiri dan pengemudi lainnya.
c. Jaga Kecepatan
Jaga kecepatan, jangan tergesa gesa dalam berkendara. Selalu jaga
kecepatan dan patuhi rambu rambu lalu lintas.
d. Menggunakan alat pelindung diri
Menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika sedang mengendarai
kendaraan sangat penting yang dapat menyelamatkan nyawa saat terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan. Seperti hal nya di
rumah sakit seorang Tenaga Kesehatan menggunakaan alat pelindung
diri seperti masker dan sarung tangan sedangkan kita dijalan sebagai
30
pengemudi kita juga harus menggunakan helm atau sabuk pengaman
sebagai pelindung diri.
e. Hindari Menggunakan Telepon Genggam
Menggunakan telpon genggam harus dihindari saat mengendarai
kendaraan karena bisa mengalihkan pandangan pada jalan sehingga
risiko terjadinya kecelakaan, sebaiknya menepi terlebih dahulu untuk
menghindarkan kecelakaan.
f. Jaga Jarak Aman
Agar terhindar dari hal yang tidak diinginan seperti mobil didepannya
berhenti secara tiba- tiba sehingga mengakibatkan kecelakaan,
sebaiknya selalu memperhatikan jarak aman saat berkendara.

G. Hasil-Hasil Penelitian Dalam Asuhan Keperawatan Trauma Kepala


Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. A
dengan Cedera Kepala Ringan di ruang Ambun Suri lantai 2 RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2019 di dapatkan pembahasan
sebagai berikut :
I. Cedera kepala merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi
penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera
kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan
cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan
intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak (Morton,2012)
II. Setelah dilakukan pengkajian pada 19 juni 2019 didapatkan keluhan pasien
mengatakan nyeri pada bagian kepala belakang, nyeri seperti ditusuk-tusuk.
Skala nyeri 4, pasien mengatakan tidak ada mandi selama dirawat di RS,
rambut pasien tampak kotor ditandai dengan adanya ketombe, mulut dan
31
gigi pasien kotor ditandai dengan mulut berbau dan telinga pasien tampak

32
kotor ditandai dengan adanya serumen, pasien mengatakan badan terasa
lemas, pasien mengatakan nafsu makan menurun dan menghabiskan porsi
makan sebanyak ½ saja, klien mengatakan tidur tidak nyenyak.
III. Diagnosis yang muncul pada Ny. A yaitu antara lain :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d tampak meringis
b. Defisit Perawatan Diri b.d kelemahan di buktikan dengan tidak
mampu mandi/ mengenakan pakaian/ke toilet / berhias secara
mandiri
c. Resiko defisit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolis
d. Gangguan pola tidur b.d kurang kontrol tidur di buktikan dengan
mengeluh sering terjaga
IV. Intervensi yang dilakukan pada Ny. A yaitu pada diagnosa nyeri akut yaitu
identifikasi skala nyeri, identifikasi yang memperberat dan memperingan
nyeri, pada diagnose defisit perawatan diri yaitu identifikasi aktivitas
perawatan diri sesuai usia, anjurkan melakukan perawatan diri sesuai
kemampuan, pada diagnosa, pada diagnosa resiko defisit nutrisi yaitu
timbang berat badan secara rutin, ajarkan pengaturan diet yang tepat, pada
diagnosa gangguan pola tidur yaitu identifikasi pola aktivitas dan tidur.
V. Pada Implementasi yang dilakukan terdiri dari tindakan mandiri,
pendidikan kesehatan, kolaborasi dengan keluarga untuk merawat pasien
sedangkan untuk implementasi lain dilanjutkan ke perawat ruangan.
VI. Evaluasi pada diagnosa nyeri pada kepala bagian belakang sebelah kanan
sudah berkurang, masalah teratasi sebagian dan dilanjutkan dengan
mengidentifikasi skala nyeri, mengidentifikasi yang memperberat dan
memperingan nyeri.
Evaluasi pada diagnosa defisit perawatan diri : pasien sudah bisa mandi
sendiri, masalah defisit perawatan diri mandi teratasi dan dilanjutkan ke
perawat ruangan, evaluasi pada diagnosa nyeri akut :, evaluasi pada
diagnosa resiko defisit nutrisi : pasien sudah nafsu makan, masalah teratasi
33
dan dilanjutkan dengan menimbang berat badan secara rutin, mengajarkan
pengaturan diet yang tepat, evaluasi pada gangguan pola tidur : pasien
sudah tidur nyenyak, masalah teratasi sebagian dan dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola aktivitas dan tidur.

H. Trend dan Issue Terkait Kasus Trauma Kepala


Cedera kepala adalah trauma pada kepala yang dapat berdampak langsung
pada fungsi otak selaku pusat koordinasi semua sistem pada tubuh manusia.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan
akibat trauma di banyak negara berkembang (Madikian & Giza, 2006; Tjahjadi
et al., 2013). Kejadian Trauma Brain Injury (TBI) atau cedera kepala meningkat
tajamterutama karenameningkatnya penggunaan kendaraanbermotordi berbagai
negara berkembang (Lee et al, 2015).
Trend peningkatan kejadian cedera kepala dipengaruhi oleh berbagai
faktor, diantaranya perubahan populasi penduduk disuatu wilayah,
perkembangan modalitas transportasi, budaya masyarakat, dan kemajuan
teknologi yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat (Faul et al, 2015; Irawan
et al., 2010;Tjahjadi et al, 2013). Perubahan gambaran kejadian kasus cedera
kepala perlu mendapatkan perhatian, hal itu berpengaruh pada tingkat kesiapan
tenaga kesehatan khususnya di IGD dalam menangani kasus cedera kepala.
Kejadian cedera kepala di seluruh dunia pada tahun 2010 sekitar 2,5 juta orang,
dan sudah mengakibatkan beban biaya ekonomi diperkirakan hampir 76,5
miliar dollar Amerika. Insidennyabervariasi dari 67 hingga 317 kasus per
100.000 individu dan angka kematiannya dari berkisar 4% sampai 7% untuk
cedera otak sedang, sekitar 50% untuk psien dengan cedera otak berat (Lee et
al, 2015).
Berdasarkan perkiraan National Institute of Health Concencuss
Development Pannel of Rehabilitation of Persone kejadian cedera kepala
menunjukkan angka 2.5 hingga 6.5 juta orang Amerika menderita disabilitas
34
(Mahdian, 2014). Tingginya angka kejadian cedera kepala yang diikuti dengan
adanya peningkatan angka mortalitas akan berdampak pada peningkatan beban
kerja dokter maupun perawat yang bertugas di IGD. Beban kerja yang terlalu
tinggi dapat berdampak pada penurunan kualitas pelayanan, sehingga dapat
menurunkan outcome perawatan terutama pada klien cedera kepala (Li et al,
2014).
Dibutuhkannya kesiapan dan kewaspadaan tim perawatan khususnya di
IGD agar dapat mencegah kondisi terburuk yang dapat terjadi pada klien cedera
kepala. Kesiapan dan kewaspadaan itu dapat dibangun dan dimulai dari
mengantisipasi setiap perubahan data dari kejadian kasus cedera kepala. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran klien cedera kepala terutama yang mengalami trauma mayor.

I. Evidence Based Practice Dalam Penatalaksanaan Kasus Trauma


Kepala Jurnal 1
 Judul
PERUBAHAN TINGKAT KESADARAN PADA PASIEN CEDERA
KEPALA SEDANG (CKS) DENGAN TERAPI OKSIGEN DAN
POSISI HEAD UP 30°
 Pembahasan
Pasien dengan cidera kepala sedang membutuhkan oksigen dan
elevasi kepala 30 derajat dalam upaya peningkatan kesadaran. Penurunan
kesadaran disebabkan oleh gangguan sentral otak dan batang otak.
Dimana otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Otak dapat menoleransi kekurangan oksigen selama 5 menit,
lebih dari 5 menit dapat terjadi kerusakan otak secara permanen.
Pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan dimana target saturasi
>92%.

35
Penatalaksanaan pemberian oksigen pada pasien CKS menggunakan
rebreathing mask dan simple mask yang diberikan 8-10 liter/menit
ataupun sesuai kebutuhan pasien dengan saturasi oksigen 95%-100%.
Indikasi pemberian oksigen disebabkan oleh hipoksia sedang dan berat.
Konsentrasi oksigen yang lebih tinggi akan meningkatkan pemenuhan
oksigen. Indikasi pemberian elevasi kepala 30 derajat disebabkan oleh
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan adanya nyeri
kepala akibat trauma pada bagian otak, tekanan darah yang meningkat,
mual muntah, perubahan perilaku. Elevasi kepala 30 derajat akan
meningkatkan aliran vena jugularis yang tidak berkatup sehingga mampu
menurunkan volume darah vena yang menurunkan volume darah vena
sentral yang dapat menurunkan tekanan intrakranial sehingga nyeri
kepala, peningkatan tekanan darah, mual muntah, dan perubahan perilaku
dapat teratasi.
Pemberian oksigen dengan elevasi kepala 30 derajat pada pasien
cidera kepala ringan, sedang, dan berat mampu meningkatkan aliran vena
melalui vena jugular sehingga oksigen dapat adekuat sampai ke otak dan
berdampak pada peningkatan kesadaran pada pasien cidera kepala sedang
menjadi ringan. Soemarno, M (2018) dalam Ginting, L.R et al (2020)
menjelaskan bahwa pada pasien CKS mempunyai masalah salah satunya
adalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral akibat situasi O2 di
dalam otak dan nilai Gaslow Coma Scale (GCS) mengalami penurunan.
Keadaan ini mengakibatkan disorientasi pada pasien cedera kepala.
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral apabila tidak tertangani dengan
segera akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial, dengan ini perlunya
dilakukan tindakan pembebasan jalan nafas dan mencegah terjadinya sel
kematian otak yaitu dengan dilakukanya tindakan head up 15°-30°.
Setyanegara (2010) dalam Dewi (2019) menjelaskan bahwa,
memposisikan head up 30° sangat efektif menurunkan tekanan
36
intrakranial tanpa menurunkan nilai Cerebral Perfusion Pressure (CPP)
serta menganggu perfusi oksigen ke serebral dan dapat memperbaiki
tingkat kesadaran serta kestabilan hemodinamik.
Perlu juga memperhatikan kelancaran jalan nafas pasien (airway),
dikarenakan obstruksi jalan nafas sering terjadi pada pasien yang tidak
sadarkan diri, yang disebabkan karena adanya benda asing, muntahan,
jatuhnya pangkal lidah menelungkup ke belakang, atau fraktur pada area
wajah. Dalam melakukan pembebasan jalan nafas harus melindungi
vertebra sevikalis, dimana tidak diperbolehkan melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebih dari leher. Dalam keadaan ini dapat
melakukan tindakan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan
nafas yang keluar melalui hidung. Apabila terdapat sumbatan dapat
dibersihkan dengan jari atau suction jika alat tersedia.
 Metode
Desain penelitian ini adalah literature review. Penelusuran artikel
dilakukan melalui Google Scholar, DOAJ, Pubmed. Kriteria inklusi
meliputi a) publikasi artikel dalam sepuluh tahun terakhir 2011-2021, b)
artikel menggunakan Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Inggris dan
memiliki fulltext, c) studi yang terdiri dari randomized control trial,
cohort study dan quantitative study, sedangkan kriteria ekslusi meliputi
artikel yang tidak memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Dalam
penelitian ini terdapat 3 artikel yang dianalisa.
 Hasil
Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa intervensi pemberian terapi
oksigen dengan posisi head up 30° efektif dalam meningkatkan
kesadaran, menurunkan tekanan intrakranial, meningkatkan cerebral
perfusion pressure (CPP), meningkatkan SpO2 dan, perbaikan
hemodinamik pada pasien CKS.

37
Jurnal 2
 Judul
KORELASI ANTARA ROTTERDAM CT SCORE SEBAGAI
PREDIKTOR MORTALITAS PADA PENDERITA CEDERA
KEPALA DI RSUD DR ABDUL AZIZ KOTA SINGKAWANG
TAHUN 2016-2018
 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis secara statistik dari
38 data, terdapat korelasi positif yang kuat antara Rotterdam CT Score
dan mortalitas pada pasien cedera kepala sedang dan berat dengan nilai r
mencapai 0,650 menggunakan perhitungan spearman’s rho. Hal ini sesuai
dengan landasan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai
Rotterdam maka semakin tinggi angka mortalitas. Hasil penelitian yang
didapatkan sesuai dengan hipotesis peneliti yang menyatakan terdapat
korelasi positif antara Rotterdam CT Score dengan mortalitas cedera
kepala sedang dan berat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai
Rotterdam CT Score maka semakin banyak kerusakan dan perdarahan
yang terjadi di dalam otak. Kerusakan di dalam otak seperti pergeseran
garis tengah dan tertekannya hingga hilangnya sisterna basalis dapat
menyebabkan kematian pada penderita cedera kepala. Perdarahan yang
terjadi di dalam otak seperti perdarahan epidural, subdural, subarakhnoid,
intraserebral serta intraventrikular juga berperan dalam penyebab
kematian pada penderita cedera kepala. Sehingga, jika faktor penyebab
kematian semakin banyak ditemukan pada satu penderita cedera kepala,
maka angka mortalitas akan semakin tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammadifard, yang meneliti 150
pasien cedera kepala sedang dan berat pada tahun 2018 di Rumah Sakit

38
Pendidikan Birjand, Universitas Birjand, Birjand, Iran, mendapatkan
kesimpulan penelitian dengan korelasi positif kuat antara Rotterdam CT
Score dan mortalitas. Penelitian yang dilakukan oleh Talari, yang meneliti
150 pasien cedera kepala sedang dan berat pada tahun 2016 di Kashan,
Iran, juga mendapatkan kesimpulan penelitian dengan korelasi positif
kuat antara Rotterdam CT Score dan mortalitas. Penelitian yang
dilakukan oleh Sunil Munakomi, yang meneliti 634 pasien cedera kepala
ringan hingga berat pada tahun 2014 di Bharatpur, Nepal, juga
mendapatkan kesimpulan penelitian dengan korelasi positif kuat antara
Rotterdam CT Score dan mortalitas. Penelitian yang dilakukan oleh
Charry, yang meneliti 127 pasien cedera kepala pada tahun 2017 di
Kolombia, juga mendapatkan kesimpulan penelitian dengan korelasi
positif kuat antara Rotterdam CT Score dan mortalitas.
Dalam penelitian ini ditemukan peningkatan angka mortalitas pada
Rotterdam kategori satu hingga empat, sedangkan untuk Rotterdam
kategori lima dan enam didapatkan hasil mortalitas yang sama, yakni
100%. Seharusnya jika merujuk pada berbagai landasan teori, semakin
tinggi nilai Rotterdam maka semakin tinggi pula nilai mortalitas yang
didapatkan dari nilai sebelumnya, termasuk pada Rotterdam kategori 5
dan 6. Sedangkan untuk hasil dari tiap kategori penilaian Rotterdam
masih sesuai dengan berbagai sumber landasan teori dan penelitian yang
serupa.
 Metode
Penelitian ini sifatnya analitik, yaitu menggunakan pendekatan
potong lintang. Penelitian ini dilakukan di RSUD DR Abdul Aziz Kota
Singkawang. Populasi penelitian ini adalah pasien cedera kepala di DR
Abdul Aziz Kota Singkawang dengan pemilihan sampel menggunakan
metode total sampling dengan jumlah sampel minimal sebanyak 30 orang

39
yang memenuhi kriteria penelitian. Variabel yang diteliti adalah
Rotterdam CT Score dan mortalitas. Data penelitian ini dikumpulkan
melalui rekam medis dan CT Scan kepala penderita cedera kepala,
selanjutnya melakukan analisis univariat dan bivariat. Analisis bivariate
merupakan uji korelasi Spearman’s rho.
 Hasil
Analisis data dengan uji Spearman’s rho didapatkan nilai r=0,650
mengindikasikan adanya korelasi positif yang kuat antara Rotterdam CT
score dan mortalitas (p=0,0000). Terdapat korelasi positif yang kuat
antara Rotterdam CT Score dan mortalitas pada penderita cedera kepala
sedang dan berat di RSUD DR Abdul Aziz Kota Singkawang.

40
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Patofisiologis dari cedera kepala
traumatik dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Pencegahan trauma
kepala dapat di lakukan dengan Primer, Sekunder, Dan Tersier. Pencegahan
primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu peristiwa terjadi.
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau mengurangi
perkembangan penyakit. Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah komplikasi
cedera kepala yang lebih berat atau kematian. Trend peningkatan kejadian
cedera kepala dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya perubahan populasi
penduduk disuatu wilayah, perkembangan modalitas transportasi, budaya
masyarakat, dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi gaya hidup
masyarakat.

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan kepada semua pembaca agar
dapat mengetahui dan memahami penanganan kegawatdaruratan kasus trauma
kepala.

41
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Taqiyyah dan Mohammad Jauhar. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan


Lengkap Menjadi Perawat Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Hidayati, Afif Nurul, Muhammad Ilham Aldika Akbar, Alfian Nur Rosyid, dkk.
(2018). Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: AIRLANGGA
UNIVERSITY PRES.

Irwana, O. (2009). Cedera Kepala. Majalah Kedokteran Universitas Riau . Diakses


pada tanggal 25 Juli 2022.

Kumar, dkk. (2013). Buku Ajar Patologis Robbin, Ed.7, Vol. 2. Jakarta: Buku
Kedokteran ECG.

Madikian A, Giza C. (2006). A Clinician’s Guide to The Pathophysiology of


Trauma Brain Injury. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT). 3(1).9 – 11.

Mahdian, Mehrdad, Fazel, Mohammad Reza, Fakharian, Esmaeil, Akbari, Hossein, &
Mahdian, Soroush. (2014). Cerebral state index.

Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2012).


Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi I. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
42
Price, Sylvia. A dan Loraine M. Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
– Proses Penyakit, Ed. 6, Vol 2. Jakarta: EGC.

Rendi, M. Clevo dan Margareth TH. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal


Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Safrizal, dkk. (2013). Hubungan Nilai Oxygen Delivery Dengan Outcome


Rawatan Pasien Cedera Kepala Sedang. http://jurnal.fk.unand.ac.id.

Sastrodiningrat, A. G. (2006). Memahami Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Prognosa Cedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara. 39 (3).

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai