Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Penanganan Kegawatdaruratan Kasus Trauma Musculoskeletal


(Multiple Trauma)

Dosen Pembimbing : Ns. Wiyadi, S.Kep., M. Sc.

Kelompok 3B :

1. Atin Melisa Mahmuda (P07220221011)


2. Syifa Septira Rossa (P07220221044)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENTRIAN KESEHATAN

KALIMANTAN TIMUR

2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Penanganan Kegawatdaruratan Kasus Trauma
Musculoskeletal (Multiple Trauma)” ini dengan tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari bapak Ns. Wiyadi, S.Kep., M. Sc. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan mengenai penanganan kegawatdaruratan kasus trauma
musculoskeletal bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Ns. Wiyadi, S.Kep., M.


Sc. yang telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangunkan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga segala informasi dalam
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Samarinda, 19 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................2
D. Manfaat............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Patofisiologi, Farmakologi, dan Terapi diet.....................................3


B. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Kasus Trauma Muskuloskeletal
..........................................................................................................7
C. Upaya Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier pada Masalah
Kegawatandaruratan Trauma Muskuloskeletal................................16
D. Pemeriksaan, Pelaksanaan dan Paska Pemeriksaan Diagnostik dan
Laboratorium Trauma Muskuloskeletal...........................................18
E. Simulasi Pendidikan Kesehatan Kegawatan, Kedaruratan,
Kegawatdaruratan dengan Memperhatikan Aspek Legal dan Etis. .19
F. Hasil-hasil Penelitian dalam Askep Mengatasi Masalah dengan
Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal...................................20
G. Trend dan Issue Kasus Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal..21
H. Evidence Based Practice dalam Penatalaksanaan Kasus
Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal
..........................................................................................................
23

iii
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................26
B. Saran ................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................27

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apley Solomon (2010) menjelaskan bahwa fraktur dibagi menurut
garis patah tulang dan bentuk patah tulang. Trauma merupakan suatu
cedera atau rupa daksa yang bisa mencederai baik pada fisik maupun
psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus
(luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial
(sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh
darah dan gangguan saraf. Fraktur merupakan gangguan dari kontinuitas
yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di
sekitarnya juga sering kali terganggu. Pemeriksaan radiologi rongten dapat
menunjukkan tempat patah tulang, akan tetapi belum mampu
menggambarkan kondisi otot atau ligamen yang robek, saraf yang terputus,
atau adanya pembuluh darah yang pecah ( Black dan Hawks, 2014).
Cedera muskuloskeletal merupakan suatu cedera yang terjadi pada
sistem muskuloskeletal yang dapat bersifat akut yang dapat menyebabkan
disfungsi struktur di sekitar trauma dan struktur yang
dilindungi/disangganya, hal tersebut dapat mengakibatkan otot, tendon,
ligamen, persendian ataupun tulang tidak dapat berfungsi dengan baik
(Helmi, 2012). Menurut Humantech yang dikutip (Bukhori, 2010), pada
awal terjadinya cedera muskuloskeletal menyebabkan pasien mengalami
nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kaku, gemetar, gangguan pola tidur,
dan rasa terbakar, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan
ketidakmampuan pasien dalam melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan
anggota tubuh sehingga dapat mengakibatkan efisiensi kerja berkurang
dan produktivitas kerja juga menjadi turun.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa patofisiologi, farmakologi, dan terapi diet untuk kasus trauma
muskuloskeletal ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada kasus trauma
muskuloskeletal ?
3. Bagaimana upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier
kegawatdaruratan kasus trauma muskuloskeletal?
4. Apa saja pemeriksaan, pelaksanaan, dan paska pemeriksaan
diagnostik dan laboratorium kasus trauma muskuloskeletal?
5. Bagaimana simulasi pendidikan kesehatan kegawatdaruratan dengan
memperhatikan aspek legal dan etis ?
6. Apa saja hasil-hasil penelitian asuhan keperawatan dalam menangani
kasus trauma muskuloskeletal ?
7. Apa saja trend dan issue dalam kegawatdaruratan trauma
muskuloskeletal ?
8. Bagaimana evidence based dan practice dalam penatalaksanaan
kegawatdaruratan trauma muskuloskeletal?
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas dari Dosen Pembimbing.
2. Mengetahui peran penting mengenai penanganan kasus gawat darurat
trauma muskuloskeletal.
3. Mengetahui dan memahami tentang penanganan kasus gawat darurat
trauma muskuloskeletal.
D. Manfaat
1. Untuk Dosen: Sebagai referensi bahan ajar kepada mahasiswa.
2. Untuk penulis : Menambah wawasan serta pengetahuan tentang
penanganan kasus gawat darurat trauma muskuloskeletal.
3. Untuk Mahasiswa : Sebagai bahan referensi tambahan bagi yang
membacanya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Patofisiologi, Farmakologi, dan Terapi Diet Kasus Trauma


Muskuloskeletal (multiple trauma)
Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang,
otot, kartilago, ligamen, tendon, fascia, bursae, dan persendian. Trauma
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami cedera dan
mengakibatkan trauma yang disebabkan paling umum adalah kecelakaan
lalulintas, industri, olahraga, dan pekerjaan rumah tangga. Trauma
muskuloskeletal adalah kondisi dimana terjadinya cedera atau trauma pada
sistem muskuloskeletal yang menyebabkan disfungsi struktur disekitamya
dan struktur pada bagian yang dilindungi dan penyangganya (Wijaya,
2019, p. 204). Trauma muskuloskeletal merupakan suatu keadaan ketika
seseorang mengalami cedera pada sistem muskuloskeletal, yaitu tulang,
sendi otot, ligamen, kartilago, tendon, fascia, persendian dan brusae yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga dan rumah
tangga. Sehingga menyebabkan disfungsi pada struktur sistem
muskuloskeletal.
a. Patofisiologi
a) Fraktur
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh. yaitu stress,
gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik. Kemampuan
otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun
maka terjadi peubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup

3
akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
ganggguan rasa nyaman nyeri.
b) Kontosio
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit,
tanpa ada kerusakan kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana
pembuluh darah lebih rentan rusak dibanding orang lain. Saat
pembuluh darah pecah maka darah akan keluar dari
pembuluhnya ke jaringan, kemudianenggumpal, menjadi
kontusio atau biru. Kontusio memang dapat terjadi jika sedang
stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah
mudah menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut
menurun. Endapan sel darah pada jaringan kemudian
mengalami fagositosis dan didaur ulang oleh makrofag. Warna
biru atau ungu yang terdapat pada kontusio merupakan hasil
reaksi konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih
lanjut bilirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin yang
berwarna kecoklatan. Tubuh harus mempertahankan agar
darah tetap berbentuk cairan dan tetap mengalir dalam sirkulasi
darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh darah,
jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme
pembekuan darah yang harus baik. Pada purpura simplex,
penggumpalan darah atau pendarahan akan terjadi bila fungsi
salah satu atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu).
c) Traumatic joint dislocation
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan
Humerus terdorong kedepan merobek kapsul atau
menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang bagian
posterolateral kaput hancur. Mesti jarang prosesus akromium
dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio
erekta (dengan tangan mengarah lengan ini hampir selalu jatuh
membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid).

4
d) Strain
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma
langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera
ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah, kontraksi
otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi otot belum
siap, terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),
hamstring (otot paha bagian bawah) dan otot guadriceps.
Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar
cedera kontusio dan membengkak.
e) Sprain
Kekoyakan ( avulsion) seluruh atau sebagian dari dan
disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak
semestinya, pemelintiran atau mendorong mendesak pada saat
berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi
pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki,
pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan
ligment pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir
jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak
semestinya tanpa diselingi perbedaan.

b. Farmakologi
Salisilat menjadi perlindungan pertama artropati, selain itu
pada pasien trauma muskuloskeletal juga diberikan terapi
farmakologi seperti analgesik, nonsteroid anti- inflamasi,
kortikosteroid, dan skeletal muscle relaxant (Tscheschlog, 2015, p.
319). Berikut jenis obat untuk pasien trauma muskuloskeletal
menurut Ikhda et al., (2019):
1) Skeletal muscle relevant
a) Metaloxon
b) Ophenadine
2) Nonsteroid anti-inflamasi
a) Aspirin

5
b) Ibuprofen
c) Ketorolac
3) Kortikosteroid
a) Dexamethason
b) Methylprednisolone
4) Analgesik
a) Oxycodone Morphine

c. Terapi diet
Pada klien dengan trauma muskuloskeletal harus
mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
energi tinggi yaitu 40-45 kkal/kg BB sesuai dengan usia, Lemak
cukup yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total, kalsium tinggi, zat
besi, protein vitamin C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang.
a) Konsumsi Protein yang Cukup: Protein adalah bahan bangunan
utama untuk otot dan jaringan tubuh lainnya. Pastikan asupan
protein cukup untuk membantu memperbaiki dan membangun
kembali jaringan yang rusak akibat trauma. Sumber protein
yang baik termasuk daging tanpa lemak, ikan, kacang-
kacangan, produk susu rendah lemak, dan kedelai.
b) Asupan Kalori yang Sesuai: Pastikan mengonsumsi jumlah
kalori yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, terutama
jika Anda mengalami kehilangan berat badan akibat cedera.
Namun, hindari mengonsumsi kalori berlebihan, terutama jika
aktivitas fisik terbatas selama masa pemulihan.
c) Vitamin dan Mineral: Makan makanan kaya vitamin dan
mineral penting, seperti vitamin C, vitamin D, kalsium, dan
magnesium. Vitamin C membantu dalam pembentukan
kolagen, yang penting untuk penyembuhan jaringan,
sedangkan vitamin D, kalsium, dan magnesium mendukung
kesehatan tulang dan otot.

6
d) Anti-inflamasi Alami: Beberapa makanan memiliki sifat anti-
inflamasi alami dan dapat membantu mengurangi peradangan
di area cedera. Contoh makanan ini termasuk blueberry,
stroberi, salmon, kacang almond, dan sayuran hijau seperti
brokoli dan bayam.
e) Minum Air yang Cukup: Pastikan tetap terhidrasi dengan baik,
karena air penting untuk memastikan fungsi tubuh yang
optimal, termasuk proses penyembuhan.
f) Hindari Makanan Pro-Inflamasi: Selain memilih makanan anti-
inflamasi, hindari makanan yang dapat meningkatkan
peradangan seperti makanan olahan, makanan berlemak tinggi,
dan makanan tinggi gula.

B. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Kasus Trauma Muskuloskeletal


a. Pengkajian
1. Anamnesis
Pengkajian ini sangatlah penting untuk mengetahui apakah
penderita mengalami cedera dibagian ekstremitas atau tidak dan
mekanisme traumapun bisa menyebabakan cedera dibagian
ektremitas yang tampak tidak jelas pada pemeriksaan awal.Anamesa
ini dilakukan pada saat korban sadar dan apabila korban tidak
memiliki riwayat trauma maka dapat dikatakan korban mengalami
fraktur patologis.
Jika penolong cukup banyak, anamesa dapat dilakukan bersamaan
dengan primary survey. Apabila penolong terbatas tidak dianjurkan
untuk melakukan anamesa sebelum penolong memeriksa adanya
gangguan airway, breathing, dan sirkulasi serta mengatasinya.Pada
saat pengkajian Trauma harus diperjelas: Kapan terjadinya trauma,
Trauma berada dibagian mana, Jenis trauma, Arah trauma, Berat
ringanya trauma, dan ekstremitas yang bersangkutan atau bagian
tubuh pasien yang terkena trauma.Kemudian periksa kembali bagian

7
trauma ditempat lain secara sistemik mulai dari kepala, muka, leher,
dada dan perut.
Berikut bagian-bagian cedera yang dapat menyebabkan trauma yaitu:
a. Cedera dibagian kaki pada saat jatuh dari ketinggian sehingga
menyebabkan fraktur lumbal.
b. Cedera dibagian lutut pada saat posisi duduk dapat disertai
cedera dibagian sendi panggul begitupun sebaliknya.
c. Cederadibagian engkel dapat disertai cedera dibagian fibula
proksimal.
d. Cedera dibagian bahu harus dilakukan dengan teliti karena
cedera dibagian ini dapat menyebabkan cedera pada bagian
leher dan dada.
e. Biasanya ketika penderita mengalami fraktur pelvis, maka
penderita akan mengalami kehilangan banyak darah dan ketika
didiagnosis penolong harus memikirkan kemungkinan terjadinya
syok dan pemberian terapi yang tepat untuk diberikan.
2. Pemeriksaan Umum
Pada saat pemeriksaan survei primer , pemeriksaan yang kita
lakukan harus terfokus, apakah ada fraktur dibagian tulang pelvis
serta tulang besar lainya dan kita juga perlu mengontrol perdarahan.
Pada saat pemeriksaan sekunder yang perlu dilakukan adalah:
a. Inspeksi (look): Raut wajah penderita, Lihat kulit, Jaringan
lunak, Cara berjalan, duduk, tidur, Tulang dan Sendi. Mencari
deformitas, memar, pembengkakan dan luka terbuka.
b. Palpasi (Feel): Suhu kulit dingin atau panas, adakah spasame
otot, denyut nadi teraba atau tidak, nyeri tekan saat disentuh dan
rasakan area yang cedera untuk memeriksa adakah deformitas.
c. Kekuatan otot (Power): Grade 0,1,2,3,4,5 (Lumpuh S/D
Normal)
d. Pergerakan (Move): Penilaian dilakukan untuk mengetahui
adanya Range Of Motion (ROM), Pergerakan sendi: Adduksi,

8
Ekstensi, Fleksi, dan lain-lain. Apabila terjadinya fraktur tidak
boleh dilakukan sebelum diberikan fiksasi yang tepat.
e. Pengkajian ini dilakukan menggunakan 5 P:
1) Pain (PQRST)
2) Pulse
3) Polor (Warna)
4) Paralisis
5) Parasetesia
Kemudian mencari adanya kemungkinan komplikasi umum
seperti syok pada Fraktur pelvis, Fraktur multiple, Fraktur
terbuka: Tanda-tanda sepsis pada Fraktur terbuka yang
mengalami infeksi. (Pirton.L, 2015)

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terbagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
umum untuk mendapatkan gambaran umum dan pemerksaan lokal.
(Zairin, 2019)
1. Gambaran Umum
a. Keadaan Umum: Mencatat baik atau buruknya tanda-tanda
keadaan penderita seperti:
1) Kesadaran Penderita : Sopor, apatis, komah,
gelisah, komposmentis tergantung dari keadaan
pasien.
2) Keadaan penyakit, kesakitan: Ringan, sedang,
berat, akut, berat dan kasus fraktur biasanya akut.
b. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk
c. Pemeriksaan dari kepala ke ujung jari tangan/kaki
2. Keadaan Lokal:
a. Look: Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain adanya
suatu deformitas, jejas, terlihat adanya tulang yang keluar

9
dari jaringan lunak, sikatrik, benjolan, warna kulit,
pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa serta posisi dan bentuk dari ekstermitas. Adanya luka
kulit, perubahan warna dibagian distal luka meningkatkan
kecurigaan adanya fraktur terbuka. diinsturuksikan untuk
menggerakan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi
yang sehat.
b. Feel: Sangat penting memperhatikan respon pasien pada
saat melakukan palpasi.Adanya respon nyeri atau suatu
ketidaknyamanan dari pasien sangat menentukan kedalam
dalam melakukan palpasi. Ada beberapa hal yang harus
diperiksa, yaitu, fluktuasi pada pembengkakan, nyeri tekan,
suhu disekitar trauma, catat letak kelainan (1/3 Proksimal,
tengah, atau distal) dan Krepitasi. Jika ada benjolan perlu
dideskripsikan permukaanya, konsistensinya,
pergerakannya, permukaanya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c. Move: Menilai adanya gerakan abnormal (ROM). Mencatat
gerakan untuk mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Pemeriksaan ini di lakukan untuk menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif.

c. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini sebagai penunjang pada
diagnosis fraktur, pemeriksaan yang penting adalah
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan
gambar 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan ini diperlukan proyeksi tambahan

10
(khusus) dan adanya indikasi untuk memperlihatkan
patologi yang dicari karena adanya superposisi,
permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksa penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam
membaca gambaran radiologi adalah sebagai berikut
(Zairin, 2019) :
a. Anatomi (misal, proksimal tibia )
b. Articular (misal, intra-vsekstra-artikular )
c. Aligment (misalnya, first plane)
d. Apeks (fragmen distal fraktur)
e. Apposition

2. CT scan biasanya dilakukan pada beberapa kondisi


fraktur yang mana pemeriksaan radiografi tidak
mencapai kebutuhan diagnosis.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi seperti berikut :
a. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
b. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada
tahap penyembuhan tulang
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat
dehydrogenase (LDH-5), aspartat amino transferase
(AST), aldola semeningkat pada tahap penyembuhan
tulang.

4. Pemeriksaanlainnya
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tessensitivitas

11
b. Biopsy tulang dan otot
c. Elektromiografi
d. Indium imaging
e. MRI

d. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan
cedera fisik (Cedera jaringan lunak)
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler dan muskuloskeletal, nyeri post operasi.
3. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan imobilisasi
fisik, medikasi, bedah perbaikan, perubahan pigmentasi, dan
perubahan sensasi. (Pirton.L, 2015)
e. Intervensi
1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (mis. Amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan
fisik berlebihan)
a. Tujuan : pain level, pain control and comfort level
b. Kriteria hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri dan mencari bantuan)
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan
menggunakan manajemen nyeri
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
c. Intervensi
Pain management

12
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termaksud lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitas
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
6) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
7) Kurangi faktor presipitasi nyeri
8) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan interpersonal)
9) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
10) Ajarkan tentang tehnik nonfarmakologi
11) Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri
12) Evaluasi ketidakefektifan kontrol nyeri
13) Tingkatkan istirahat
14) Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
15) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
d. Analgesik manajemen
1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat
nyeri sebelum pemberian obat
2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan
frekuensi
3) Cek riwayat alergi
4) Pilih analgesik yang  diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu

13
5) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
beratnya nyeri
6) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian dan
dosis optimal
7) Pilih rute secara IV, IM, untuk pengobatan nyeri
secara teratur
8) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri
hebat
10) Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan
gejala. (Amin Huda Nurarif, 2015)

2. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur


tulang, penurunan kekuatan otot, gangguan muskuloskeletal
dan nyeri
a. Tujuan : Joint movement (active), mobility level, self care
(Adls)
b. Kriteria hasil :
1) Klien meningkatkan dalam aktivitas fisik
2) Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas
3) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan
kekuatan dan kemampuan berpindah
4) Memperagakan penggunaan alat
c. Intervensi :
1) Monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan
dan lihat respon pasie saat latihan
2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
ambulasi sesuai dengan kebutuhan
3) Bantu pasien untuk menggunakan tongkat saat
berjalan dan cegah terhadap cedera

14
4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
tehnik ambulasi
5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan Adls secara
mandiri sesuai kemampuan
7) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan pasien
8) Berikan alat bantu jika klien memerlukan
9) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan. (Amin Huda Nurarif,
2015)

3. Kerusakan integritas kulit b.d tekanan pada tulang,


gangguan turgor kulit dan fraktur terbuka
a. Tujuan : Tissue integrity (skin and mucous), membranes
and hemodyalis akses
b. Kriteria hasil :
1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
(sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi dan
pigmentasi) tidak ada luka atau lesi pada kulit dan
perfusi jaringan baik
2) Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan
kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang
3) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan
kelembapan kulit dan perawatan alami
c. Intervensi :
Pressure management
1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar
2) Hindari kerutan pada tempat tidur
3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

15
4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
jam sekali
5) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
6) Monitor status nutrisi pasien
7) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
d. Insision site care
1) Membersihkan, memantau dan menigkatkan proses
penyembuhan pada kulit luka yang ditutup dengan
jahitan, klip atau straples
2) Monitor proses kesembuhan area insisi
3) Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
4) Bersihkan area sekitar jahitan atau staples,
menggunakan lidi kapas steril dan gunakan preparat
antiseptic sesuai program
5) Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut) sesuai
program.
C. Upaya Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier pada Masalah
Kegawatandaruratan Trauma Muskuloskeletal
Pencegahan trauma muskuloskeletal adalah aspek penting dalam
upaya untuk mengurangi risiko cedera dan kegawatdaruratan. Pencegahan
dapat dibagi menjadi tiga tingkatan utama: primer, sekunder, dan tersier.
Berikut adalah penjelasan tentang masing-masing tingkatan pencegahan:
1) Pencegahan Primer: Pencegahan primer bertujuan untuk mengurangi
insiden trauma muskuloskeletal dengan mencegah cedera terjadi pada
awalnya. Beberapa langkah pencegahan primer meliputi:
a) Pendidikan dan Kesadaran: Penyuluhan dan kampanye
kesadaran tentang keselamatan di tempat kerja, di rumah, atau
saat berolahraga penting untuk membantu orang menghindari
situasi berisiko tinggi dan tahu cara mencegah cedera.

16
b) Penggunaan Alat Pelindung: Memastikan penggunaan alat
pelindung, seperti helm, peralatan pengaman saat bekerja, atau
berolahraga, dapat membantu melindungi tulang dan otot dari
cedera serius.
c) Keamanan Lalu Lintas: Menghormati aturan lalu lintas,
mengenakan sabuk pengaman di kendaraan, dan menghindari
mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan dapat
membantu mengurangi risiko kecelakaan yang mengakibatkan
trauma muskuloskeletal.
2) Pencegahan Sekunder: Pencegahan sekunder berfokus pada
identifikasi dini dan penanganan awal cedera untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut. Beberapa langkah pencegahan sekunder
meliputi:
a) Deteksi Dini: Deteksi dini cedera dan pemeriksaan medis
setelah kecelakaan atau cedera dapat membantu
mengidentifikasi cedera yang mungkin tidak terlihat pada
awalnya, dan tindakan dapat diambil lebih cepat.
b) Pengobatan Awal: Menangani cedera dengan benar dan segera
dapat membantu mengurangi risiko komplikasi lebih lanjut dan
mempercepat proses penyembuhan.
c) Rehabilitasi: Program rehabilitasi fisik yang tepat dapat
membantu memulihkan kekuatan, mobilitas, dan fungsi otot
dan tulang setelah trauma muskuloskeletal.
3) Pencegahan Tersier: Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi
dampak dan konsekuensi jangka panjang dari trauma muskuloskeletal
yang sudah terjadi. Beberapa langkah pencegahan tersier meliputi:
a) Terapi Fisik: Terapi fisik, termasuk latihan dan teknik
pengobatan tertentu, dapat membantu memulihkan fungsi dan
kekuatan otot dan mengurangi ketidaknyamanan setelah
cedera.

17
b) Penanganan Bedah: Jika diperlukan, tindakan bedah mungkin
diperlukan untuk memperbaiki cedera yang serius atau
memulihkan fungsi yang terganggu.
c) Edukasi dan Dukungan: Memberikan edukasi dan dukungan
kepada individu yang mengalami cedera dapat membantu
mereka memahami kondisinya, menghadapi tantangan
pemulihan, dan mencegah cedera yang berulang.

D. Pemeriksaan, Pelaksanaan dan Paska Pemeriksaan Diagnostik dan


Laboratorium Trauma Muskuloskeletal
Pemeriksaan diagnostik dan laboratorium pada kasus trauma
muskuloskeletal adalah langkah penting dalam menentukan tingkat cedera,
mengidentifikasi komplikasi potensial, dan merencanakan pengobatan
yang tepat. Berikut adalah gambaran umum tentang pemeriksaan,
pelaksanaan, dan paska pemeriksaan diagnostik dan laboratorium untuk
trauma muskuloskeletal:
a) Pelaksanaan Pemeriksaan:
Pelaksanaan pemeriksaan diagnostik biasanya dilakukan oleh tenaga
medis atau radiografer berlisensi. Untuk pemeriksaan CT scan dan
MRI, teknisi khusus akan membantu mengatur posisi pasien dan
mengoperasikan peralatan. Pada beberapa kasus yang lebih
kompleks, seorang radiolog atau dokter spesialis muskuloskeletal
dapat diperlukan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan
dengan tepat.
b) Pemeriksaan Diagnostik :
1) Radiografi (X-ray): Radiografi adalah pemeriksaan pencitraan
yang umum digunakan untuk mendeteksi fraktur tulang dan
deformitas tulang. Ini adalah salah satu alat diagnostik pertama
yang biasanya diperiksa ketika seseorang mengalami cedera
muskuloskeletal.
2) CT Scan (Computed Tomography): CT scan menyediakan
gambar yang lebih rinci dari struktur tulang dan jaringan lunak.
Ini membantu dalam penilaian cedera yang lebih kompleks,
seperti cedera tulang belakang atau cedera yang melibatkan
struktur yang lebih dalam.

18
3) MRI (Magnetic Resonance Imaging): MRI menggunakan
gelombang magnet dan gelombang radio untuk menciptakan
gambar detil dari jaringan lunak, seperti ligamen, tendon, dan
otot. MRI membantu dalam mendeteksi cedera jaringan lunak
yang tidak terlihat pada radiografi atau CT scan.
4) Ultrasonografi: Ultrasonografi dapat digunakan untuk
memvisualisasikan cedera jaringan lunak dan memantau
perubahan struktural atau edema (pembengkakan) yang terjadi
setelah trauma.
c) Pemeriksaan Laboratorium :
d) Paska Pemeriksaan:
Setelah pemeriksaan diagnostik selesai, langkah selanjutnya adalah
mengevaluasi hasil dan merencanakan pengobatan yang tepat. Hasil
pemeriksaan ini akan membantu dokter untuk:
1) Menentukan tingkat cedera dan tingkat keparahannya.
2) Merencanakan perawatan yang sesuai, seperti pembedahan jika
diperlukan.
3) Memantau perkembangan pemulihan selama perawatan.

Hasil pemeriksaan diagnostik juga dapat membantu dalam


merencanakan program rehabilitasi yang tepat, yang meliputi
fisioterapi dan terapi lainnya untuk memulihkan fungsi otot dan
mobilitas setelah trauma.

E. Simulasi Pendidikan Kesehatan Kegawatan, Kedaruratan,


Kegawatdaruratan dengan Memperhatikan Aspek Legal dan Etis
Simulasi pendidikan kesehatan kegawatdaruratan adalah metode
yang efektif untuk melatih tenaga medis dan calon tenaga medis dalam
menghadapi situasi darurat dan kegawatdaruratan dengan
mempertimbangkan aspek legal dan etis. Dalam menyusun simulasi ini,
berikut adalah beberapa langkah yang harus diperhatikan:
1) Menyusun Skenario yang Realistis: Skenario harus mencerminkan
situasi kegawatdaruratan yang mungkin terjadi di lingkungan
kesehatan. Pastikan skenario melibatkan berbagai aspek seperti
penilaian pasien, diagnosis, tindakan medis, komunikasi tim, dan
pengambilan keputusan yang tepat.
2) Mendokumentasikan dan Mendapatkan Persetujuan: Pastikan
simulasi didokumentasikan dengan baik dan setiap peserta

19
memberikan izin tertulis untuk berpartisipasi. Jelaskan kepada
peserta bahwa ini adalah simulasi untuk tujuan pelatihan dan bukan
situasi nyata.
3) Pilih Fasilitator yang Kompeten: Pilih fasilitator yang
berpengalaman dan kompeten dalam mengarahkan simulasi.
Fasilitator harus memastikan skenario berjalan dengan baik,
memberikan petunjuk saat diperlukan, dan memberikan umpan balik
yang konstruktif.
4) Tim Simulasi: Libatkan tim simulasi yang terdiri dari aktor yang
berperan sebagai pasien dan petugas kesehatan yang berperan
sebagai tim penanganan kegawatdaruratan. Tim ini harus terlatih dan
memahami peran mereka dengan baik.

Memperhatikan Aspek Legal dan Etis:

1) Kerahasiaan Pasien: Pastikan identitas pasien dirahasiakan selama


simulasi. Gunakan nama samaran atau nomor identifikasi unik untuk
setiap pasien yang terlibat.
2) Persetujuan dan Informed Consent: Pastikan setiap peserta simulasi
memberikan persetujuan tertulis sebelum berpartisipasi. Selain itu,
pastikan mereka memahami tujuan dan prosedur simulasi dengan
jelas.
3) Batasan Tindakan: Tetapkan batasan tindakan medis yang dapat
dilakukan dalam simulasi. Misalnya, jika simulasi melibatkan
pembedahan, tentukan batasan untuk memastikan keselamatan
peserta dan aktor.
4) Keamanan: Pastikan setiap tindakan yang dilakukan selama simulasi
aman dan tidak berbahaya bagi peserta dan aktor. Gunakan alat
simulasi yang aman dan pastikan lingkungan simulasi steril dan
bebas dari bahaya fisik.
5) Umpan Balik dan Evaluasi: Setelah simulasi selesai, berikan umpan
balik yang konstruktif kepada peserta dan tim simulasi. Evaluasi
pelaksanaan simulasi dan identifikasi area yang perlu ditingkatkan.

F. Hasil-hasil Penelitian dalam Askep Mengatasi Masalah dengan


Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal
Berdasarkan hasil gambaran penelitian dan pengolahan data untuk
perawat pelaksana yang melakukan teknik distraksi pada pasien fraktur
dengan menggunakan lembar observasi berupa ceklist di Irina A Bawah
BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, menjelaskan tentang perawat

20
yang melaksanakan dan tidak melaksanakan dapat dinyatakan dari 23
responden. Yang melaksanakan tindakan distraksi berjumlah 18 responden
yaitu (78.3%) dan tidak melaksanakan berjumlah 5 responden yaitu
(21.7%) yang diketegorikan dari 6-11 melaksanakan dan < 6 tidak
melaksanakan. Dilihat dari hasil yang didapat ternyata perawat pelaksana
yang ada di Irina A Bawah BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
sebagian besar melaksanakan tindakan distraksi ini yang dapat berguna
dalam pengalihan nyeri pada pasien trauma muskuloskeletal.
Dalam penelitian ini seperti dijelaskan dalam tabel 5 dimana
sebanyak 23 responden (100%) paling banyak mengajarkan pada pasien
cara bernapas pelan- pelan. Teknik tersebut dilakukan oleh seluruh
perawat karena dalam mengajarkan pasien cara bernapas pelan-pelan tidak
memerlukan media khusus sehingga memudahkan perawat dalam
melakukan teknik ini, selain itu teknik-teknik lain yang sering dilakukan
oleh perawat diantaranya perawat memberikan tindakan masase sambil
menarik napas pelan-pelan yaitu 19 responden (82.6%), perawat
menganjurkan pasien untuk mendengarkan music sebanyak 21 responden
(91.3%), perawat menganjurkan pasien untuk menonton yaitu 13
responden (56.6%), perawat menganjurkan pasien membayangkan hal- hal
yang indah sambil menutup mata yaitu 14 responden (60.9%) dan perawat
menganjurkan pasien untuk membaca koran sebanyak 14 responden
(60.9%).Paling sedikit teknik yang dilakukan oleh perawat antara lain
menganjurkan pasien melakukan kegemaran seperti menulis puisi, agenda,
dll yaitu 7 responden (30.4%), perawat menganjurkan pasien untuk
melihat pemandangan/gambar yang indah yaitu 11 responden (47.8%)
tidak mencapai setengah dari jumlah seluruh perawat.
Jadi, dalam penelitian kasus trauma muskuloskeletal perawat
memberikan distraksi kepada pasien trauma muskuloskeletal untuk
mengurangi rasa nyeri pada trauma muskuloskeletalnya dengan
mengajarkan pasien bernapas pelan-pelan, memberikan tindakan masase
sambil menarik napas pelan-pelan.
G. Trend dan Issue Kasus Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal
Trend dan isu dalam kasus kegawatdaruratan trauma
muskuloskeletal dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk perkembangan teknologi, gaya
hidup, dan perubahan demografis. Beberapa tren dan isu yang telah
diidentifikasi dalam kasus kegawatdaruratan trauma muskuloskeletal:
a. Trend: Meningkatnya Kasus Kegawatdaruratan Trauma
Muskuloskeletal akibat Kecelakaan Lalu Lintas di Perkotaan

21
Isu: Di banyak kota besar, terjadi peningkatan jumlah kasus
kegawatdaruratan trauma muskuloskeletal yang disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Tingginya kepadatan lalu lintas, tingginya
tingkat kecepatan, dan pelanggaran keselamatan berkendara
menjadi penyebab utama kecelakaan ini. Isu ini menuntut perhatian
lebih pada peningkatan kesadaran tentang keselamatan berkendara,
penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran lalu
lintas, dan pengembangan infrastruktur jalan yang lebih aman.
b. Trend: Meningkatnya Cedera Olahraga pada Anak dan Remaja
Isu: Dengan semakin populernya olahraga dan aktivitas fisik di
kalangan anak dan remaja, terjadi peningkatan kasus cedera
olahraga yang melibatkan trauma muskuloskeletal. Olahraga
ekstrim dan kebiasaan bermain gadget yang tidak seimbang
menyebabkan peningkatan cedera pada sendi, otot, dan tulang. Isu
ini menuntut perlunya edukasi yang lebih efektif tentang latihan
yang aman, penggunaan alat pelindung, dan pentingnya membatasi
durasi aktivitas gadget pada anak dan remaja.
c. Trend: Cedera Kerja di Sektor Industri Tertentu
Isu: Beberapa sektor industri, seperti konstruksi, manufaktur, dan
pertanian, memiliki risiko cedera muskuloskeletal yang lebih
tinggi. Ketidakpatuhan terhadap prosedur keselamatan kerja dan
penggunaan peralatan yang tidak sesuai menyebabkan insiden
kegawatdaruratan di tempat kerja. Isu ini menekankan pentingnya
penerapan langkah-langkah keselamatan kerja yang ketat, pelatihan
yang tepat bagi pekerja, dan upaya lebih lanjut untuk
meminimalkan risiko cedera di tempat kerja.
d. Trend: Penggunaan Peralatan Olahraga Ekstrem
Isu: Peningkatan popularitas olahraga ekstrem seperti selancar,
skateboard, dan bersepeda gunung telah menyebabkan
meningkatnya kasus cedera muskuloskeletal yang terkait dengan
aktivitas ini. Penggunaan peralatan pelindung, seperti helm dan
pelindung lutut, menjadi isu penting dalam upaya mengurangi
cedera pada olahraga ekstrem. Selain itu, edukasi tentang teknik
olahraga yang aman dan memahami batas kemampuan individu
juga harus ditekankan.
e. Trend: Peran Teknologi Pencitraan dalam Diagnosa
Isu: Teknologi pencitraan medis yang canggih seperti MRI dan CT
scan telah memberikan gambaran yang lebih tepat dan rinci tentang
cedera muskuloskeletal. Namun, biaya dan akses terhadap
teknologi ini mungkin menjadi isu bagi beberapa populasi atau

22
wilayah. Isu ini menekankan pentingnya kesetaraan akses terhadap
teknologi pencitraan medis yang canggih untuk memastikan
diagnosis yang akurat dan tepat waktu bagi pasien trauma
muskuloskeletal.

H. Evidence Based Practice dalam Penatalaksanaan Kasus


Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal
Beberapa penatalaksanaan yang dapt dilakukan antara lain (Alsheihly and
Alsheikhly, 2018, pp. 173-187; Pangaribuan, 2019):
1. Penatalaksanaan trauma muskulo dilakukan sesuai klasifikasi
kejadian, tindakan umum yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Menghilangkan nyeri akibat trauma.
b. Terapi obat-obatan, seperti analgetik, obat anti inflamasi
non-streroid, kartikosteroid.
c. Fisioterapi dan terapi okupasi
Тегарі ini digunakan dalam rangka membantu pasien
untuk menghilangkan rasa nyeri yang dialami, serta
menjaga rentang gerak agar tidak terdapat kekakuan,
menjaga kekuatan dan juga menyesunkan kegiatan aktivitas
sehari-hari sesuai dengan konsisi saat ini.

Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure) .
A. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai
adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas 6 harus memproteksi
tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien
dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif
B. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita
harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma.
Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah
yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-
rebreathing mask dengan reservoir bag

23
C. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus
patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi
atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh.
Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara
nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka,
penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan
D. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan
evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal
E. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring
dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien.
Setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien
tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti
fraktur adalah imobilisasi patah tulang.
A. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang
cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang
berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan tercapai dengan
melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan
dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu
menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah
kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup
sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan imobilisasi
sementara dengan traction splint. traction splint menarik bagian distal
dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint
didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai
tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. Pada cedera
lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi

24
dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi
dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan
pergelangan kaki.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang,
otol, kartilago, ligamen, tendon, fascia, bursae, dan persendian. Trauma
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami cedera dan
mengakibatkan trauma yang disebabkan paling umum adalah kecelakaan
lalulintas, industri, olahraga, dan pekerjaan rumah tangga. Trauma
muskuloskeletal adalah kondisi dimana terjadinya cedera atau trauma pada
sistem muskuloskeletal yang menyebabkan disfungsi struktur disekitamya
dan struktur pada bagian yang dilindungi dan penyangganya. Penanganan
pada trauma muskulo dapat dilakukan dengan memberi dukungan pada
bagian yang cedera sampai trauma hilang atau sembuh.

B. Saran
Penulis sadar makalah ini jauh dari kata sempuma, jadi pembaca
bisa memvalidasi dengan referensi yang tersedia untuk mendapatkan teori
yang lebih baik. Kritik dan saran penulis diharapkan demi perbaikan
makalah tentang trauma muskuloskeletal ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

Gede Rastu Adi Mahartha dkk, 2019. “Manajemen Fraktur pada Trauma

Muskuloskeletal”. Dalam E-Jurnal Keperawatan Gawat Darurat, Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, 2019.

Putu Sukma Parahita dkk, 2020. “Penatalaksanaan Kegawatdaruratan pada

Cedera Fraktur Ekstremitas”. Dalam E-Jurnal Keperawatan Gawat

Darurat, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2020.

Arif Pristianto dkk, 2022. “Kejadian Cedera Muskuloskeletal Saat Melakukan

Exercise Selama Masa Pandemi Covid-19”. Dalam E-Jurnal Kesehatan,

Vol 16, No. 1 Tahun 2022, Universtas Muhammadiyah Surakarta.

Pipin Yunus & Arifin Umar, 2020. “PENGETAHUAN DENGAN PERAN

PERAWAT DALAM PENANGANAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL DI

RUANG UGD RSUD Dr MM DUNDA LIMBOTO. Dalam E-Jurnal

Keperawatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo, 2020.

27

Anda mungkin juga menyukai