Sumber :
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAINNYA/SUGENG_PRIYADI/
UPI_Bhn_Kuliah_MRL-2.pdf
http://berita.smk-mapen.com/post/sejarah-penerbangan-dunia
https://id.wikipedia.org/wiki/Wright_Bersaudara
Sementara dari dalam negeri kita juga memiliki Bacharuddin Jusuf Habibie
Sulit rasanya untuk
mengesampingkan BJ Habibie dari
sederet tokoh yang berkontribusi
besar bagi bangsa Indonesia. Ia
merupakan salah satu tokoh panutan
dan menjadi kebanggaan bagi
banyak orang di tanah air. Selain
dikenal sebagai orang paling cerdas
dan tercatat sebagai Presiden RI ke-
3, ia juga dikenal secara luas sebagai
sosok ahli pesawat terbang.
Lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 silam, sosok bernama lengkap
Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ayahnya
adalah Alwi Abdul Jalil Habibie dan ibunya adalah RA. Tuti Marini Puspowardojo. Sejak
kanak-kanak, Habibie tumbuh sebagai sosok yang memiliki sifat tegas berpegang pada
prinsip
Habibie sebagai salah satu putra bangsa yang sangat dikenal di mata dunia karena
kejeniusannya memecahkan berbagai macam permasalahan pada teknologi pesawat. Tak
hanya itu saja, sosok berusia 82 tahun ini juga banyak mengembangkan teknologi di bidang
pesawat terbang.
Tak lama setelah sang ayah meninggal dunia karena serangan jantung pada 3 September
1950, Habibie pindah ke bandung bersama ibunya. Lalu, ia menuntut ilmu di Gouverments
Middlebare School. Di SMA inilah kecerdasan Habibie mulai muncul dan bersinar,
prestasinya juga mulai menonjol, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta.
Berkat kecerdasannya itulah, setelah tamat SMA di Bandung pada 1954, Habibie
melanjutkan pendidikan ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Namun, ia tidak sampai selesai
di sana karena beliau mendapatkan beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk
melanjutkan kuliahnya di Jerman. Kesempatan itu pun tak dilewatkannya begitu saja.
Saat tiba di Jerman, Habibie bertekad untuk sunguh-sungguh di rantau dan harus sukses,
dengan mengingat jerih payah ibunya dalam menghidupinya. Tekad dan kesungguhanya pun
dibuktikan dengan fokus belajar yang tinggi dan tidak menghabiskan liburannya dengan
hanya bersenang-senang. Bahkan, di liburan musim panas setiap tahunnya, Habibie muda
selalu mengisi kesehariannya dengan bekerja dan mencari uang.
Lalu, hasil dari kerja kerasnya digunakan untuk membeli buku. Habibie mendapatkan gelar
diploma Ing dari Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule(RWTH) pada tahun 1960
dengan predikat Cumlaude (Sempurna) dengan nilai rata-rata 9,5.
Setelah lulus dan dengan gelar insinyur, Habibie memulai karir bekerjanya di Firma Talbot,
sebuah industri kereta api Jerman. Di Firma Talbot, Habibie mendesain sebuah wagon untuk
mengangkut barang-barang dalam volume besar. Rancangan Habibie untuk 1000 wagon
Firma Talbot diselesaikan dengan pendekatan teknologi kontruksi sayap pesawat terbang.
Di sela-sela kerjanya Habibie melanjutkan studinya untuk gelar doktor di Rhein Westfalen
Aachen Technische Hochschule. Kerja keras dan ketekunannya membuahkan hasil yang
membanggakan. Pada tahun 1965 Habibie mendapatkan gelar Dr. Ingenieur dengan predikat
Summa Cumlaude (Sangat Sempurna) dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule
Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.
Ketika Habibie menjadi engineer di Jerman, ia mempelajari fenomena fatigue (kelelahan)
pada kontruksi pesawat. Ia mencetuskan rumus untuk menghitung keretakan atau crack
progression on random. Rumus temuan Habibie ini ia namakan “Faktor Habibie”.
Rumus temuan Habibie ini dapat menghitung crack progression sampai skala atom material
kontruksi pesawat terbang. Sehingga Habibie dijuluki “Mr. Crack”. Kejeniusan Habibie
mengantarkannya menjadi penemu faktor Habibie yang diakui dunia.
Habibie diakui lembaga International di antaranya: Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt
(Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London
(Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie
Nationale de l’Air et de l’Espace (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika
Serikat).
Pada tahun 1967 Habibie mendapatkan penghargaan menjadi Profesor kehormatan (guru
besar) di ITB (Institute Teknologi Bandung). Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan
Edward Warner Award dan Theodore Van Karman Award, yang hampir setara dengan
Hadiah Nobel.
Kesuksesan dan prestasi Habibie di luar negeri membuat Presiden RI ke-2 Soeharto tertarik
padanya dan mengajaknya pulang untuk bersama membangun Indonesia. Sampai di tanah air,
ia pun mengabdikan dirinya untuk bidang kedirgantaraan. Berikut rekam jejak Habibie di
Indonesia setelah kembali dari Jerman.
1976-1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
1978-1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
1978-1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
1978-1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
1980-1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40,
1980)
1983-1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
1988-1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
1989-1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
1990-1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
Di Indonesia, Habibie selama kurang lebih 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala
BPPT serta memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis. Pada tahun 1995, ia sukses
memimpin pembuatan pesawat N250 Gatot Kaca yang merupakan pesawat buatan Indonesia
pertama.
Pesawat N250 rancangan Habibie kala itu bukan sebuat pesawat yang dibuat asal-asalan.
Didesain sedemikian rupa oleh Habibie, Pesawat N250 ciptaannya sudah terbang tanpa
mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan,
teknologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan Habibie untuk 30 tahun ke depan.
Untuk itu, Habibie butuh waktu sekitar 5 tahun untuk melengkapi desain awal. Pesawat N250
Gatot Kaca merupakan satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan
teknologi ‘Fly by Wire’.
Pesawat N250 Gatot Kaca sudah terbang 900 jam menurut Habibie dan selangkah lagi masuk
program sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration). Bahkan, PT IPTN membangun
khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu, meskipun
pada waktu itu banyak yang memandang remeh pesawat buatan Indonesia termasuk sebagian
kalangan di dalam negeri
Sayangnya, ketika IPTN dibawah komando Habibie sudah mulai berjaya dan mempekerjakan
16.000 orang, tiba-tiba Presiden Soeharto memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula
dengan industri strategis lainnya. Hal ini dilakukan ketika badai krisis moneter melanda
indonesia antara tahun 1996-1998.
Seperti diketahui, kabarnya penyebab lain ditutupnya IPTN ketika itu adalah Indonesia
menerima bantuan keuangan dari IMF (International Monetary Fund) di mana salah satu
syaratnya adalah menghentikan proyek pembuatan pesawat N250 yang merupakan
kebanggaan Habibie.
Semua tenaga ahli yang bekerja di IPTN dan industri strategis lain terpaksa menyebar dan
bekerja di luar negeri, kebanyakan dari mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya
pabrik pesawat di Brazil, Canada, Amerika dan Eropa.
Lalu, di tahun 2017 kemarin, Habibie kembali meneruskan
proyek pesawatnya tersebut dengan mengganti serinya
menjadi R80. Tak hanya berganti nama, pesawat R80 ini
juga digadang-gadang lebih besar daripada N-250. Jika
sebelumnya pada N-250 disiapkan dengan kapasitas
penumpang hanya 50-60 kursi. sementara R80 yang telah
dimodifikasi agar lebih besar dan nyaman memiliki
kapasitas yang lebih layak juga.
Sumber :
https://www.asumsi.co/post/57056/jasa-besar-bj-habibie-di-dunia-penerbangan/
https://id.wikipedia.org/wiki/N-250