Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENELITIAN

PEMBENTUKAN PERATURAN DESA YANG BAIK

DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

PENELITI:
Made Nurmawati,S.H., M.H.

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2018

1
2
RINGKASAN
Peraturan Desa (Perdes) adalah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Fungsi perdes
adalah untuk membatasi kekuasaan , mengatur kehidupan masyarakat desa dalam rangka
mencapai tujuan Negara Indonesia. Meskipun fungsi perdes sangat penting namun dalam
implementasinya pembentukan perdes di desa sangat minim, perdes yang dibentuk hanyalah
perdes yang mengatur tentang keuangan. Demikian pula dari segi pengaturannya masih
mengandung beberapa persoalan.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normative, yakni meneliti bahan-bahan
hukum primer, secunder dan tertier. Penelitian ini difokuskan pada pengkajian terhadap
eksistensi perdes baik eksistensi perdes dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan desa . Pendekatan yang dipergunakan adalah
penedekatan perundang-undangan, pendekatan konsep. Bahan hukum yang dikumpulkan diolah
dengan metode interpretasi, kemudian dianalisis secara induktif kualitatif.
Dalam penelitian ini dilakukan penelusuran terhadap konsep-konsep, teori-teori dan asas-
asas yang berkaitan dengan peraturan desa. Hal ini untuk menjelaskan bagaimana eksistensi
perdes di dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa di Kabupaten Badung. Selain itu juga untuk mengetahui apakah perdes yang dibentuk telah
sesuai dengan teknik dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa urgensi perdes adalah sebagai landasan hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Perdes sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan telah diakui eksistensinya, karena telah diatur dalam UU No.6 Tahun 2011, UU no.23
Tahun 2014, , Permendagri No.29 Tahun 2006 dan untuk Kabupaten Badung juga telah diatur
dalam Perda Kabupaten Badung No.15 Tahun 2007. Namun dalam implementasinya eksistensi
perdes tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena perdes yang dihasilkan oleh desa-desa
yang ada di Kabupaten Badung sangat minim yakni hanya 2-3 perdes dan itupun hanya terkait
masalah keuangan yakni APBDes,Pungutan Desa dan Sumbangan Pihak Ketiga. Minimnya
perdes karena belum siapnya desa dalam membentuk perdes dan keengganan pemerintah daerah
dalam menyerahkan urusan pemerintahan kepada desa. Dari sisi teknik dan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, perdes yang dihasilkanpun banyak mengandung
kelemahan/kekurangan.

Kata Kunci: Peraturan Desa, Good legislation, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

3
PRAKARTA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmatNya laporan
akhir penelitian Pembentukan Peraturan Desa yang baik Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri,
mengungkapkan dan menganalisis permasalahan terkait peraturan desa . Penelitian didahului
dengan melakukan penelusuran terhadap peraturan-peraturan yang dibuat serta kebijakan-
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian
disusun instrumen penelitian, pengumpulan bahan, identifikasi masalah, tabulasi dan analisis
data. Tahap berikutnya adalah pembahasan dan menyimpulkan hasil penelitian serta
melaporkan pelaksanaan kegiatan penelitian termasuk penulisan artikel untuk publikasi pada
jurnal sebagai luaran.
Dengan selesainya laporan ini, sudah sepatutnya diucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Udayana yang telah mengalokasikan anggaran untuk penelitian.
2. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan F H UNUD dan para wakil
dekan yang telah memfasilitisi penelitian ini.
3. Bapak dan Ibu tenaga kependidikan di FH UNUD dan LPPM Unud yang telah
berpartisipasi dalam persiapan dan penyelesaian proses administrasi penelitian ini.
4. Para penulis yang karya tulisnya diacu sebagai referensi dalam menyusun laporan
penelitian.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu yang telah berkontribusi dalam
pelaksanaan dan pelaporan penelitian ini.
6. Besar harapan kami agar hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi Unud,
khususnya bagi dosen dan mahasiswa, aparatur pemerintah daerah, dan masyarakat.
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan laporan penelitian ini.

Denpasar, 18 Desember 2018


Peneliti.

4
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... 1

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... 2

RINGKASAN ........................................................................................................... 3

PRAKATA ................................................................................................................ 4

DAFTAR ISI ............................................................................................................. 5

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 6

1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 10

1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 11

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 11

1.5. Metode Penelitian ............................................................................................ 11

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

2.1. Teori Negara Hukum ............................................................................................. 12


2.2. Teori Berkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan ..................................... 16
2.3. Konsep Pemerintahan Desa dan Peraturan Desa ................................................. 22

BAB III : PEMBAHASAN

3.1. Urgensi Peraturan Desa ....................................................................................... 24

3.2. Eksistensi Peraturan Desa .................................................................................... 28

3.3. Pembentukan Peraturan Desa ditinjau dari Teknik dan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik ( good legislation) ................................ 33
BAB IV : PENUTUP

4.1. Simpulan............................................................................................................... 44

4.2. Saran ...................................................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Desa adalah merupakan salah satu bentuk pemerintahan di daerah yang memiliki

lingkungan/kelompok masyarakat, sarana dan prasarana, kedudukan hukum, serta memiliki

tatanan pemerintahan sendiri dalam menjalankan segala urusan rumah tangganya. Salah satu

unsur penting yang harus dimiliki agar desa dapat menjalankan fungsi pemerintahannya dan

menjaga eksistensi desa adalah, dengan mengatur kehidupan masyarakat desa yang

bersangkutan, hal itu dimaksudkan untuk lebih meningkatkan peran desa dalam pemberdayaan

masyarakat desa guna mencapai kesejahtraan masyarakat. Pengaturan dapat dilakukan melalui

peraturan perundang-undangan ditingkat pusat, daerah maupun dengan membentuk peraturan

perundang-undangan dan atau menghormati aturan yang sudah ada dalam masyarakat desa itu

sendiri. Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang terdapat di Indonesia khususnya

yang dibuat/dibentuk pemerintah desa adalah Peraturan Desa ( Perdes).

Dasar hukum pembentukan perdes dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun

1945 yang menyatakan bahwa ; “Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai sebuah Negara

hukum maka segala tindakan pemerintah maupun warga masyarakat harus berdasarkan kepada

hukum atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian maka penyelenggaraan pemerintahan baik

di pusat maupun didaerah termasuk desa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagai sebuah

Negara hukum, maka diperlukan adanya suatu tatanan hukum yang terpadu , yang meliputi segala

aspek kehidupan serta menjangkau segala aspek lapisan masyarakat baik di pusat maupun daerah.

Tatanan hukum menurut Lawrence Friedman menyangkut legal substance, legal structure dan

legal culture.(Lawrence Friedman, 2009,12-29).

6
Produk hukum yang dibentuk khususnya untuk pemerintahan desa dapat berupa Peraturan

Desa ataupun , Peraturan Kepala Desa dan/atau Keputusan Kepala Desa, yang dibentuk dalam

rangka pemberdayaan desa baik menyangkut pemerintahan maupun masyarakat desa itu sendiri.

Jika dilihat ketentuan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah , tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang Perdes. Dalam Pasal 371

(1) UU No.23 Tahun 2014 hanya menentukan tentang pembentukan desa, hal ini dapat dilihat

dari ketentuan pasal tersebut yang menyebutkan bahwa: Dalam Daerah kabupaten/kota dapat

dibentuk Desa. (2) Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Desa. Pasal 372 (1) Pemerintah

Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menugaskan

sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada Desa. Perdes sebagai salah

satu bentuk peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 69 UU No.6 Tahun

2014 tentang Desa. Sementara itu dalam UU yang khususmengatur pembentukan peraturan

perundang-undangan yakni dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (UUP3), juga tidak mengatur tentang Perdes.

Dalam pembentukan Peraturan perundang-undangan termasuk perdes harus memenuhi

berbagai syarat baik formal maupun material antara lain menyangkut kelembagaan, asas-asas

maupun teknik pembentukannya. Namun secara yuridis formal ada beberapa persoalan yang

muncul dalam UU No.12 Tahun 2011 maupun peraturan pelaksananya. Misalnya terkait

kedudukan, materi muatan maupun teknik pembentukannya.

Dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 disebutkan bahwa:

7
(1) Jenis dan hierarchi Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Propinsi;
7. Peraturan daerah kabupaten/kota
Peraturan Desa tidak termasuk dalam hierarchi Peraturan Perundang-undangan.

Rumusan tersebut menimbulkan ketidak jelasan terkait dengan Perdes yakni: baik dari

segi kedudukan maupun materi muatannya. Dari segi kedudukan maka Bagaimanakah

kedudukan Perdes dalam hierachi peraturan perundang-undangan di Indonesia?. Apakah Perdes

kedudukannya sama dengan Perda ataukah berada dibawah Perda?.Hierarchi ini penting untuk

dipahami karena terkait dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yakni

asas hierarchi norma dan validitas.

Dari segi materi muatan Perdes , dalam Pasal 13 UU No.10 Tahun 2004 ditentukan bahwa

materi muatan perdes adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang

setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,

kemudian dikaitkan dengan pengertian desa serta kewenangan desa sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 1 angka 43 dan Pasal 206 UU No.23 Tahun 2014, terdapat ketidak jelasan materi

muatan perdes. Dalam Pasal 1 angka 43 UU No.23 Tahun 2014 jo UU No.6 Tahun 2014

disebutkan bahwa: Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat

setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui

dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dari rumusan

tersebut maka dapat dijabarkan bahwa unsur-unsur desa meliputi:

8
a.Kesatuan masyarakat hukum

b.memiliki batas-batas wilayah

c.berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

d.berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat

e.diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berkaitan dengan kewenangan, maka desa juga memiliki kewenangan sebagimana diatur

dalam UU No.23 Tahun 2014 jo UU No.6 Tahun 2014. Dalam Pasal 18 UU No.6 Tahun 2014

disebutkan: Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan

Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan

masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Pasal

19 : Kewenangan Desa meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal

berskala Desa; c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari rumusan tersebut maka nampak ada 3 hal yang menjadi kewenangan desa yakni,

kewenangan asli desa atau kewenangan berdasarkan asal-usul dan adat istiadat, kewenangan

yang diserahkan kepada desa, kewenangan dalam kerangka tugas pembantuan dan urusan

pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa oleh peraturan perundang-undangan.

Rumusan tersebut juga menimbulkan ketidak jelasan yakni urusan apa yang merupakan urusan

asal-usul desa dan adat istiadat. Apakah urusan asal-usul desa yang dimaksud adalah desa dalam

artian desa sebagai desa administrative (local state government), organisasi komunitas local (self

9
governing community), ataukah sebagai desa otonom (local self government).?, dan masalah

selanjutnya adalah urusan apa yang termasuk dengan urusan pemerintahan lainnya? .

Perdes adalah merupakan salah satu produk hukum Negara yang mengatur kehidupan

masyarakat terbawah di Indonesia yakni desa. Sebagai hukum Negara pembentukannya harus

sesuai dengan teknik dan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun

dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa, seringkali perdes diabaikan dalam

penyelenggaraan urusan kepemerintahan di desa. Pemerintah daerah ataupun pemerintah desa

sering beranggapan “pokoknya ada perdes”, sehingga disusun tidak berdasarkan pada prinsip

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (good legislation), dan bahkan banyak

desa yang tidak memiliki perdes, dan kehidupan masyarakat desa semuanya dianggap cukup

diatur dalam awig-awig desa. Demikian pula dengan kabupaten-kabupaten yang ada di Bali ,

ternyata terdapat kabupaten yang tidak memiliki perda yang mengatur tentang pedoman dan

mekanisme pembentukan perdes, sehingga otomotis tidak ada perdes yang dihasilkan oleh desa-

desa di kabupaten tersebut.

Perdes, mempunyai fungsi yang sangat penting baik dalam kerangka penyelenggaraan

pemerintahan dalam Negara kesatuan Indonesia, yakni dalam upaya pencapaian tujuan negara

sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, maupun dalam upaya

pemberdayaan dan pelaksanaan pemerintahan desa. Perdes juga dibutuhkan guna terlaksananya

sinergitas pemerintahan desa sebagai pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas Negara, dan

juga dapat melakukan adjusmen kekuasaan dengan masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini

adalah:

10
1. Urgensi dan eksistensi Peraturan Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?

2. Bagaimana pembentukan Peraturan Desa ditinjau dari Asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini pada dasarnya hendak mengkaji apa urgensi peraturan desa dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa, serta mengkaji apakah perdes yang dibuat telah sesuai dengan asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

1.3.2.Tujuan Khusus

1.Menjelaskan urgensi perdes dalam peraturan perundang-undangan.

2.Menemukan dan menjelaskan bagaimana kedudukan peraturan desa dalam UU.No.12 Tahun

2011

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1.Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan keilmuan khususnya terhadap

kajian tentang urgensi dan kedudukan Peraturan Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan

desa.

1.4.1.Manfaat Praktis

Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan

dalam upaya pembangunan politik hukum yang berkaitan dengan pembentukan peraturan

perundang-undangan, khususnya Peraturan Desa.

1.5.Metode Penelitian

1.5.1. Jenis Penelitian

11
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum

normative, dimana penelitian hukum normative menurut Jhony Ibrahim (2005;57) adalah

penelitian yang mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari

sisi normatifnya. Penelitian hukum normative mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu

aspek teori, sejarah,filosofi,perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,

konsistensi,formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-Undang dan Bahasa hukum yang

digunakan dan tidak menkaji aspek terapan atau implementasinya.

5.2.Metode Pendekatan

Ada beberapa metode pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normative yakni

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual

approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan analitis (analytical

approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historitical

approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach)

(Peter Mahmud Marzuki;2000;93-137). Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa cara

pendekatan untuk manganalisa permasalahan, sebagaimana dikemukakan oleh Cambell and

Glasson bahwa; “there is no single technique that is magically “right” for all problem”(Jhony

Ibrahim:52).

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (the statute approach), yang dilakukan dengan menelaah peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah legislasi, antara lain UU No.6 Tahun 2014

dan UU No.12 Tahun 2011. Pendekatan analisis konsep hukum (legal analytical conceptual

approach), dilakukan dengan menelaah konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah Perdes .

12
Pendekatan filsafat dilakukan dengan menelaah secara mendalam politik hukum dari peraturan

desa serta dengan memberikan pendasaran secara filosofis tentang peraturan desa tersebut.

1.5.3.Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, secunder dan tertier.(Suryono

Soekanto;1986;52). Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No.12 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, UU No.6 Tahun2014, Peraturan Daerah Kabupaten yang terkait dengan substansi, serta

peraturan desa. Selain itu juga akan digunakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2001 tentang Desa Pekraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2003, dan juga peraturan daerah lainnya yang terkait dengan penelitian,.

Bahan hukum secunder diperoleh dari dokumen atau bahan hukum seperti hail penelitian

terdahulu, buku-buku/karya tulis para akhli hukum yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Bahan hukum tertier, yaitu kamus bahasa dan kamus hukum untuk memperjelas pengertian yang

berkaitan dengan penelitian ini.

Selain bahan hukum tersebut maka digunakan juga bahan hukum informative, yakni

berupa informasi mengenai Peraturan Desa untuk memperjelas atau mengklarifikasi bahan

hukum primer. Bahan hukum juga diperoleh dengan jalan electronic research, yakni melalui

penelusuran di internet dengan jalan mengcopy (download) website tertentu. Keunggulan dalam

pemakaian internet antara lain: efesien, tanpa batas (without boundry), terbuka selama 24 jam,

interaktif dan terjalin dalam sekejap (hyperlink) (Budi Agus Riwandi;2006;325-326). Moris

L.Cohen dan Kent C Olson menyatakan bahwa: “In recent years, of course more and more

material has become available electronically. The computer has not, however, replaced the book

13
and the astute reasercher knows how to take advanteges of both media. Electronic research has

significantly affected the process of legal research.(Moris L Cohen;8).

1.5.4.Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi. Bahan hukum

dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber

bahan hukum primer dan secunder, dan kemudian dilakukan identifikasi terhadap bahan hukum

primer dan secunder. Selanjutnya dilakukaninventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan

dengan cara pencatatan atau pengutipan .

Bahan hukum informative diperoleh melalui wawancara dengan pejabat yang terkait

dengan penelitian pejabat dilingkungan Pemerintahan serta Pejabat Desa berkaitan dengan

masalah Peraturan Desa.

Analisis terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif

- evaluative, artinya memaparkan, menafsirkan, menjelaskan, menilai dan menganalisa asas,

norma atau kaidah-kaidah yang berkaitan dengan peraturan desa, untuk menemukan konsep-

konsep hukum yang dapat dipergunakan dalam menyusun perdes yang ideal khususnya dalam

masyarakat yang mengenal adanya aturan hukum lain yang hidup di dalam masyarakat seperti

awig-awig di Bali.

1.5.5.Metode Analisa Bahan Hukum

Analisa bahan hukum dilakukan dengan hermeneuka hukum, yang artinya adalah metode

interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah

normative.(Peter Mahmud Marzuki;2005;14). Senada dengan hal itu L.B.Curson mengartikan

interpretasi sebagai pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan

14
(interpretation refers generally to the assigning of meaning to words in statute)(LB

Curson;1975;253).

Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi gramatika dengan cara menemukan

pengertian-pengertian, konsep yang terdapat dalam kamus. Selain itu dipergunakan pula

interpretasi sistematis, sejarah, teleologis dan kontruksi hukum.(Sunaryati Hartono;1994;152-

154).

15
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1.Teori Negara Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Makna

Negara hukum adalah bahwa hukumlah yang pertama-tama dianggap sebagai pemimpin bukan

orang, “the Rule of Law, and not of man”, Orang bisa berganti tetapi hukum sebagai sustu sistem

diharapkan tetap tegak sebagai acuan dan pegangan bersama (Jimly Assidiqie: 2000).

Konsep negara hukum bagi Negara RI adalah negara hukum Pancasila. Negara hukum

Pancasila menurut Padmo Wahyono adalah; suatu kehidupan berkelompok bangsa Indonesia,

atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya

berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka,berdaulat,bersatu, adil dan makmur,

yang didasarkan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai wahana untuk ketertiban

dan kesejahtraan dengan fungsi pengayoman dalam arti menegakkan

demokrasi,perikemanusiaan, dan keadilan social (Padmo Wahyono;1989,153-159).

Untuk mewujudkan negara hukum tersebut maka ada empat elemen yang perlu

diperhatikan yakni: elemen instrument hukum; elemen institusi hukum yang perlu ditata kembali

tugas, fungsi dan mekanisme kerjanya; elemen sistem kepemimpinan, aparat atau pejabat hukum

serta profesi hukum yang menjadi pangkal tolak pembangunan sistem hukum yang efektif; dan

elemen tradisi hukum dan budaya hukum masyarakat (Jimly Assidiqie).Dengan demikian maka

salah satu element yg penting dalam rangka mewujudkan Negara hukum adalah elemen

instrument hukum yakni peraturan perundang-undangan.

2.2.Teori Berkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan

Ada banyak aspek yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan (PPU)

diantaranya adalah tentang tata urutan norma hukum, asas-asas dalam pembentukan peraturan

16
perundang-undangan, bahasa, dan tekhnik pembentukannya. Sebelum mengkaji teori-teori

tersebut maka akan dikemukakan pengertian dari peraturan perundang-undangan maupun Perdes.

2.2.1.Pengertian Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Desa.

Pengertian Peraturan perundang-undangan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UUP3

adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan

mengikat secara umum.Sedangkan Perdes menurut Pasal 1 angka 8 UUP3 adalah peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan

kepala desa atau nama lainnya.

Dari difinisi tersebut diatas maka jelas bahwa perdes adalah merupakan salah satu jenis

dari peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang dibentuk oleh badan perwakilan

desa bersama dengan kepala desa.

2.2.2.Teori Tata Urutan Norma Hukum.

Teori tata urutan norma hukum adalah teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dimana

menurut Hans Kelsen dalam teorinya yang disebut dengan “Stufenbau des Recht” atau hierarchi

hukum, bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarchi atau

tata susunan, dimana sustu norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih

lanjut yaitu norma dasar (Grundnorm).(Hans Kelsen;2006;179).

Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dan dikaitkan dengan jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka UUD Tahun 1945 harus menjadi acuan dalam

penyelenggaraan pemerintahan Negara termasuk pemerintahan desa dan dalam mengatur

kehidupan warga negaranya. Tatanan hukum yang menjadi bingkai dari norma-norma hukum

17
tersusun dalam sebuah system hukum, dimana norma-norma tersebut tidak boleh

mengesampingkan atau bertentangan dengan norma hukum lainnya.

Tata urutan norma hukum di Indonesia diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 yang terdiri dari;

1). peraturan perundang-undangan yang berada didalam hierarki, dan 2) peraturan perundang-

undangan di luar hierarchi. Peraturan perundang-undangan yang berada di dalam hierarchi adalah

apa yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, sedangkan yang diluar hierarki

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011.

2.2.3.Asas,Materi Muatan, dan Bahasa Peraturan Perundang-undangan.

Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-

asas ini dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titi tola berpikir

tentang hukum.(Theo Huijbers;1995;81). Dalam konsep negara hukum yang demokratis

keberadaan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Desa dalam pembentukannya

harus didasarkan pada beberapa asas. Menurut Van der Vlies membedakan 2 (dua) kategori asas-

asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van behoorlijk

rcgelgeving), yaitu asas formal dan asas material.(Van der Vlies;258-280). Asas-asas formal

meliputi: Asas tujuan jelas (Het beginsel van duideijke doelstellin), Asas lembaga yang tepat (Het

beginsel van het juiste orgaan),Asas perlunya pengaturan (Het noodzakelijkheid beginsel) , Asas

dapat dilaksanakan (Het beginsel van uitvoorbaarheid), Asas Konsensus (het beginsel van de

consensus).

Asas tujuan yang jelas, terdiri atas tiga tingkat yaitu; kerangka kebijakan umum peraturan yang

akan dibuat, tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat dan tujuan dari berbagai bagian dalam

peraturan. Asas organ/lembaga yang tepat memberi penjelasan tentang perlunya kejelasan

kewenangan organ/lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang

18
bersangkutan. Menurut Attamimi, mengenai lembaga/organ yang tepat itu perlu dikaitkan dengan

materi muatan peraturan perundang-undangan karena menyatu dengan kewenangan masing-

masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan, atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-masing organ/lembaga tersebut

menentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibentuknya. Asas perlunya

pengaturan terkait dengan perlunya pengaturan untuk menyelesaikan suatu persoalan, sedangkan

asas dapat dilaksanakan memuat jaminan bagi dapat dilaksanakannya sebuah peraturan.Asas

Konsensus adalah asas yang memuat adanya konsesnsus antara para pihak dengan pemerintah

mengenai pembuatan suatu peraturan beserta isinya.

Asas-asas material meliputi asas:

1. kejelasan Terminologi dan sistematika (het beginsel van de duiddelijke terminologie en


duidelijke systematiek).
2. Asas kemudahan untuk dikenali (Het beginsel van den kenbaarheid).
3. Asas Kesamaan hukum (Het rechts gelijkheids beginsel).
4. Asas kepastian hukum (Het rechtszekerheids begin sel).
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (Het beginsel van de
individuelerechtsbedeling).
Asas-asas tersebut bukan merupakan suatu norma hukum, tetapi merupakan

pertimbangan etik yang dituangkan dalam norma hukum. Asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan ini penting untuk dipahami dan diterapkan, karena karena dapat terjadi

pembentuk Peraturan perundang-undangan membuat suatu peraturan atas dasar kepentingan

sesaat, tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Pada prinsipnya asas pembentukan

peraturan perundang-undangan sangat relevan dengan asas umum administrasi publik yang baik

(general principles of good administration). Sementara itu dalam Pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun

2011 disebutkan asas pembentukan PPU adalah: kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat

pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat

dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

19
Sedangkan dalam Pasal 6 mengatur asas terkait Materi muatan Peraturan Perundang-undangan

yaitu:

a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut menurut Burkhardt Krems (Hamid S Attamimi;2009;317),

pembentukan peraturan perundang-undangan (Staatliche Rechtssetzung) meliputi dua hal pokok

yaitu kegiatan menentukan isi peraturan (inhalt der regeling) disatu pihak, dan kegiatan yang

menyangkut pemenuhan bentuk peraturan (form der regeling). Dalam kaitannya dengan

keberlakuan norma menurut Bagir Manan, maka harus memenuhi tiga landasan yakni: landasan

berlaku secara yuridis, landasan berlaku secara sosiologis dan landasan berlaku secara filosofis.

Selain itu juga harus memperhatikan efektifitas/daya lakunya baik secara ekonomis maupun

politis (M Solly Lubis;15-23). Landasan berlaku secara yuridis adalah suatu peraturan perundang-

undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada hukum yang

lebih tinggi. Landasan keberlakuan secara sosiologis adalah, bahwa peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk pula

kecendrungan dan harapan-harapan masyarakat. Sedangkan landasan keberlakuan secara filosofis

adalah peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sistem nilai dari masyarakat yang

bersangkutan. Landasan ekonomis, yang maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh

Pemerintah daerah dapat berlaku sesuai dengan tuntutan ekonomis masyarakat dan mencakup

berbagai hal yang menyangkut kehidupan masyarakat, misalkan kehutanan dan pelestarian

20
sumberdaya alam; (5) landasan politis, maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh

pemerintah daerah dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak ditengah-

tengah masyarakat.

Hal lain yang perlu diperhatikan pula dalam penyusunan peraturan perundang-undangan

adalah bahasa dalam peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya bahwa semua produk

hukum yang dihasilkan harus dapat dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat yang

menjadi sasarannya. Jika suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat ditransformasikan

dengan baik kepada masyarakat, maka hal ini jelas akan berdampak pada ketaatan maupun

kepatuhan masyarakat itu sendiri. Demikian halnya dengan Peraturan daerah ataupun peraturan

desa , yang mengatur kehidupan masyarakat suatu daerah, maka harus dapat dipahami dan

dimengerti oleh masyarakat daerah yang bersangkutan, sehingga hal-hal yang diatur dapat

dilaksanakan.

Bahasa yang dipergunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus lugas

dalam arti kalimatnya harus tegas, jelas, dan pengertiannya mudah ditangkap oleh semua orang,

tidak berbelit-belit, serta kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan multitafsir bagi yang

membaca. Demikian pula dalam perumusannya harus sinkron antara norma yang satu dengan

norma yang lainnya. Bahasa peraturan perundang-undangan harus tunduk kepada kaidah tata

bahasa Indonesia, baik dalam pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun

pengejaannya. (Supardan Madeong:50). Menurut Leon Fuller ada 8 kriteria hukum yang baik

yaitu (Hamzah Halim dkk;2009:34).

1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara;


2. Hukum harus dipublikasikan;
3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut;
4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan diterapkan secara
benar;
5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi;

21
6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi;
7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum harus juga
diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah;
8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum
yang berlaku.

2.3.Konsep Pemerintahan Desa dan Peraturan Desa.

Dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah terdapat dalam Pasal 18 UUD Tahun

1945, yaitu dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 18A . Pasal-pasal

tersebut pada dasarnya memuat pembagian daerah di Indonesia menjadi daerah

Provinsi,Kabupaten dan Kota yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah

juga diberi kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan lainnya guna

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pengaturan lebih lanjut tentang pemerintahan

daerah diatur dengan Undang-Undang. Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan

Daerah adalah UU No.23 Tahun 2014 dan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dalam Pasal 1 amgka 2 UU No.6 Tahun 2014 disebutkan bahwa Pemerintahan Desa

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pemerintah Desa adalah Kepala

Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Desa (Pasal 1 angka 3). Berkaitan dengan kewenangan, maka desa juga memiliki

kewenangan sebagimana diatur dalam UU No.23 Tahun 2014 jo UU No.6 Tahun 2014.

Dalam Pasal 18 UU No.6 Tahun 2014 disebutkan bahwa: Kewenangan Desa meliputi

kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Pasal 19 : Kewenangan Desa meliputi: a.

kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal berskala Desa; c. kewenangan yang

22
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota; dan d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam pembentukan Perdes maka tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dengan perdes lain yang sejenis. Hal

ini dimaksudkan untuk harmonisasi dan sinkronisasi dari norma-norma tersebut. Harmonisasi dan

sinkronisasi Perdes diperlukan agar perdes tersebut diataati oleh masyarakat yang bersangkutan,

karena itu pembentukan Perdes juga harus memperhatikan asas-asas/prinsip-prinsip peraturan

perundang-undangan yang baik sebagaimana telah dijelaskan dimuka.

23
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Urgensi Peraturan Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Landasan hukum penyelenggaraan pemerintahan desa dapat ditemukan dalam UU

No.23 Tahun 2014 dan UU No.6 Tahun 2014. Terkait dengan Pemerintahan desa, Pasal 374

UU No.23 Tahun 2014 sebagaimana disebut diatas adalah merupakan dasar pembentukan desa,

sebagai bagian dari pemerintahan kabupaten. Disebutkan bahwa dalam pemerintahan daerah

kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan

permusyawaratan desa. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati

dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan Permusyawaratan Desa

( BPD ), adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dengan demikian maka BPD

memiliki kedudukan sejajar dan sebagai mitra dari pemerintah desa dalam menyelenggarakan

pemerintahan desa.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa hubungan antara pemerintah desa

dan Badan Perwakilan Desa (BPD) seringkali terjadi ketidak seimbangan antara yang satu dengan

yang lainnya. Ada beberapa jenis hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.

Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama

menguasai pihak kedua. Kedua, huhungan subordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan

tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan

diri tunduk pada kemauan pihak pertama. Dan Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama

dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.

24
Bagaimana bentuk hubungan yang terjadi antara pemerintah desa dan BPD, apakah merupakan

hubungan dominasi, subordinasi atukah kemitraan akan berpengaruh terhadap pelaksanaan

fungsi dari lembaga tersebut. Salah satu contoh misalnya terkait dengan pembentukan Perdes

yang merupakan kewenangan dari pemerintah desa dan BPD. Perdes yang lahir akibat hubungan

yang sifatnya dominasi ataupun subordinasi akan melahirkan Perdes yang Represif. Perdes

represif adalah perdes yang mengabdi kepada kekuasaan atau tata tertib social yang represif, ia

tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Hukum yang represif menunjukkan karakternya

sebagai berikut ( Nonet and Selznick, 1978;13 ) :

1. Lembaga hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuasaan politik, hukum
diindentifikasi sama dengan negara dan dijadikan alat untuk mencapai tujuan negara
2. Langgengnya sebuah kekuasaan
3. Lembaga kontrol dan penegak hukum menjadi pusat kekuasaan yang otonom, terisolasi
dari fakta sosial
4. Menjamurnya hukum bermuka dua, melembagakan kelas – kelas dalam tatanan sosial
ekonomi dalam masyarakat
5. Hukum pidana dan putusan pengadilan merefleksikan nilai dominan dari suatu kelas.

Sebaliknya perdes yang dibuat akibat hubungan yang bersifat kemitraan, maka akan melahirkan

perdes yang responsive. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan

dicapai di luar hukum Ciri khas hokum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat

dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidak

setujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak

fleksibel. Tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat

digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini

berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Produk hukum yang berkarakter

responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya

partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan

juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.

25
Artinnya bahwa produk hukum tersebut bukanlah merupakan kehendak dari penguasa untuk

melegitimasikan kekuasaannya, melainkan memang kehendak dari

masyarakat.(http://webcache.googleusercontent.com/sespim.polri.go.id=www.google.co.id)

Untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan desa secata baik dan efektif, maka

diperlukan adanya produk hukum yang mengatur desa itu sendiri baik berupa peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan desa, sumber daya manusia maupun kelembagaan desa,

kondisi social, dan ekonomi desa. Karena itu dalam rangka penyelenggaaraan pemerintahan desa,

maka kepada desa diberi kewenangan untuk membentuk peraturan desa sebagaimana ditentukan

dalam UU No.6 Tahun 2014. Fungsi perdes menurut Panca Asatawa (dinamika hukum;Panca

Astawa) adalah:

1. Melindungi secara normative adat-istiadat yg secara turun temurun diakui masyarakat


desa setempat.
2. Menormakan kewenangan-kewenangan yg menjadi desa,hak asal-usul desa,kewenangan
kab/kota yg diserahkan, tugas pembantuan dan kewenangan lain beradasarkan PPU
diatasnya.
3. Sbg sarana normative menampung/menyalurkan aspirasi masyarakat desa.

Fungsi perdes tersebut sejalan dengan fungsi peraturan perundang-undangan secara umum

sebagaimana dikemukakan oleh T.Koopmans bahwa peraturan perundang-undangan semakin

perlu di dalam negara hukum karena tidak lagi untuk menciptakan kodifikasi nilai-nilai yg sudah

ada dlm masyarakat, tetapi menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan

masyarakat. Perdes sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan harus menghormati

nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan maupun system nilai bersama dalam

rangka kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu dalam membentuk perdes maka materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat

adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang dimaksud Materi

26
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa telah ditentukan UU No.6 Tahun 2014 yakni

terkait urusan asal-usul desa, urusan kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa, urusan dalam

rangka tugas pembantuan dan urusan pemerintahan lainnya. Urusan berdasarkan asal-usul adalah

merupakan urusan otonomi asli yang dimiliki oleh desa.Otonomi asli, memiliki makna bahwa

kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan

pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat namun harus

diselenggarakan dalam perspektif administrasi, dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan urusan yang diserahkan adalah urusan dalam rangka

desentralisasi maupun tugas pembantuan.

Dengan demikian maka urgensi peraturan desa dalam penyenlenggaraan pemerintahan

desa adalah :

a. Sesuai prinsip negara hukum adalah untuk memberikan jaminan perlindungan dan

kepastian hukum bagi masyarakat desa.

b. Untuk melindungi secara normative adat-istiadat dari masyarakat desa setempat.

c. untuk menormakan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh desa secara turun

temurun, kewenangan yang diserahkan oleh kabupaten/kota, kewenangan dalam rangka

tugas pembantuan dan kewenangan lainnya menurut peraturan perundang-undangan

diatasnya serta sebagai sarana normative untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dari

masyarakat.

d. Memberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan tujuan

negara Indonesia yang tertuang dalam alinea IV pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Sebagai

pedoman kerja bagi semua pihak dalam menyelenggarakan pemerintahan desa sehingga t ercipta

tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang di desa.

27
e. Memudahkan pencapaian tujuan dari desa , melalui pembentukan, pelaksanaan,

pengendalian dan pengawasan perdes.

f. Meminimalisir kemungkinan terjadinya penyimpangan hukum.

Selain itu peraturan desa dalam konteks otonomi daerah seharusnya ditujukan dalam

kerangka: 1. melindungi dan memperluas ruang otonomi dan kebebasan masyarakat 2. membatasi

kekuasaan (kewenangan dan intervensi) pemerintah daerah dan pusat, serta melindungi hak-hak

prakarsa masyarakat desa. 3. Menjamin kebebasan masyarakat desa 4. Melindungi dan membela

kelompok yang lemah di desa 5. Menjamin partisipasi masyarakat desa dalam proses

pengambilan keputusan antara lain, dengan memastikan bahwa masyarakat desa terwakili

kepentingannya dalam Badan Perwakilan Desa. 6. Memfasilitasi perbaikan dan pengembangan

kondisi sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat desa (Bagus oktafian Abrianto,Yuridika:

Volume 26 No 3, September-Desember 2011).

3.2. Eksistensi Peraturan Desa

Pemerintah di tingkat desa merupakan tatanan terkecil dari sebuah negara dan berada

dibawah pemerintah kabupaten sebagaimana ditentukan dalam UUD Tahun 1945 maupun UU

No.23 Tahun 2014. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa untuk mengatur

masyarakat didesanya melalui produk hukum desa diharapkan dapat mewujudkan good village

government.

Perdes merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang merupakan

penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi kedudukannya yang

dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan kondisi sosial

masyarakat desa setempat. Dalam rangka mewujudkan tatanan yang tertib di bidang Peraturan

Perundang-Undang di Indonesia, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

28
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Tinggi rendahnya peraturan perundang-

undangan dapat dilihat berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 2011,

menyatakan bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas UndangUndang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (TAP MPR), Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(UU/PERPPU), Peraturan Pemerintah , Peraturan Presiden , Peraturan Daerah Propinsi dan

Peraturan Daerah Kabupaten.

Dari rumusan tersebut maka perdes tidak tampak sebagai salah satu jenis peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Namun hal tersebut (sebagai salah satu jenis peraturan) dapat

ditafsirkan dari ketentuan dalam Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 ) yang menyebutkan bahwa:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Selanjutnya dalam Pasal 101 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa:

semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan

dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Jadi, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 status Peraturan Desa tetap berlaku sebagai Peraturan Perundang-undangan.

Demikian pula halnya dengan UU No.6 Tahun 2014 dengan jelas dan tegas mengatur tentang

Perdes. Hal tersebut diatur dalam Pasal 69 (1) yang menyebutkan Jenis peraturan di Desa terdiri

29
atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa. Peraturan Desa

berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 dibuat oleh Badan

Permusyawaran Desa bersama dengan Kepala Desa.

Dengan demikian perdes meskipun tidak secara tegas tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU

No.12 Tahun 2011 namun secara yuridis formal diakui eksistensinya. Menurut Aristoteles

“Eksistensi” berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki

keberadaan aktual. Existere disusun dari ex yang artinya keluar dan sistere yang artinya tampil

atau muncul. Terdapat beberapa pengertian tentang eksistensi yang dijelaskan menjadi 4

pengertian: Pertama, eksistensi adalah apa yang ada. Kedua, eksistensi adalah apa yang

memiliki aktualitas. Ketiga, eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan

bahwa sesuatu itu ada. Keempat, eksistensi adalah kesempurnaan

(https://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensi). Dengan demikian eksistensi perdes dimaknai sebagai

pengakuan akan keberadaan perdes secara aktual sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-

undangan, dan juga sebagai n regulasi yang sangat penting di Indonesia.Hal tersebut dikarenakan

Indonesia merupakan Negara yang multi dalam segala hal yang menimbulkan keberagaman

sumber daya alam, sumber daya manusia, kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda, luas

wilayah, adat istiadat, agama dan budaya. Yang tidak cukup hanya di atur oleh Undang-Undang

dan Peraturan Daerah, yang materi muatannya memiliki cakupan yang lebih luas. Desa

memerlukan aturan yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan desanya. Pentingnya Peraturan

Desa ini juga bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan sumber

daya manusia.

30
Eksistensi peraturan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya di

Propinsi Bali Badung belum sesuai dengan harapan. Hal ini bisa dicermati dari Peraturan Daerah

yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota berkaitan dengan tata cara pembentukan peraturan

desa sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan masih mengandung

banyak kekurangan. Pedoman yang tidak baik ini tentu tidak akan mampu menghasilkan perdes

yang baik. Secara teoritis penyelenggaraan Pemerintahan Desa agar dapat efektif harus mengacu

pada 4 pilar utama yakni: pertama; mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan desa, kedua; mengacu kepada kondisi dan dinamika social, politik, ekonomi

dan perilaku warga desa, ketiga; mengacu kepada sumber daya pimpinan dan aparatur

kelembagaan desa hubungannya dengan kemampuan menerapkan mandate peraturan perundang-

undangan yang berlaku dengan kondisi dinamika desa, keempat; ketepatan dukungan daripada

pemerintahan kabupaten sesuai dengan mandate UU Pemerintahan Daerah dan UU tentang Desa

dan peraturan lainnya yang terkait. (Fajar Sudarwo/hhtp:fajar desa.com/2009/06).

Dengan demikian maka jelas bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

desa adalah merupakan salah satu pilar bagi penyelenggaraan pemerintahan desa dalam rangka

memberdayakan desa yang bersangkutan, selain ketiga pilar lainnya. Namun implementasi

pembentukan perdes sangat minim, dibandingkan jumlah perdes yang dapat diatur dan jumlah

desa yang ada. Sebagai contoh di Kabupaten Badung terdapat 6 Kecamatan yaitu; Kuta Selatan,

Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal dan Petang, serta dibagi menjadi 3 wilayah pembangunan

yaitu; wilayah pembangunan Badung Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan.

(http://www.badungkab.go.id), dengan 16 Kelurahan, 46 Desa, 369 Banjar Dinas, 164

Lingkungan, 8 Banjar Dinas Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan. Berdasarkan hasil

wawancara dengan Bapak Suparta sebagai staf pada Badan Pemberdayaan Desa dikatakan bahwa;

31
dari jumlah desa yang ada yakni 46 desa, rata-rata masing-masing desa hanya memiliki 1-2

perdes, dan beberapa desa memiliki 3 perdes (sekitar 3 desa terkait sumbangan pihak ketiga ).

Perdes yang dimiliki oleh tiap desa terutama menyangkut APBDes, Pungutan Desa dan

Sumbangan pihak ke 3. Dengan demikian perdes yang dimiliki adalah terkait masalah keuangan

desa, sedangkan perdes yang lain masih sangat minim, misalnya di desa Kutuh, selain tentang

keuangan juga terdapat Perdes tentang Pengkaplingan Tanah Untuk Pembangunan Perumahan

Dan Permukiman Di Desa Kutuh. Alasan kenapa baru 3 perdes tersebut yang terbentuk, adalah

berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban dan evaluasi. Artinya bahwa pemerintah daerah

(pemda) akan melakukan evaluasi hanya terhadap perdes yang terkait dengan masalah keuangan

dan tata ruang sebagaimana diatur dalam perda. Dengan demikian maka sebelum ditetapkan

sebagai perdes sebelumnya harus dievaluasi oleh pemda ,jika sudah baru dia akan ditetapkan

sebagai perdes. Dengan dilakukannya evaluasi maka nantinya pemda yang akan

bertanggungjawab terhadap substansi perdes tersebut jika terjadi pemeriksaan baik oleh Bawasda

maupun inspektorat.

Selanjutnya dalam wawacancara dengan pimpinan Badan Pemberdayaan Desa ibu AA

Yuyun tanggal 8 Juni 2011, dijelaskan bahwa alasan minimnya jumlah perdes yang dihasilkan

oleh desa adalah karena minimnya sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan di desa.

Selain itu juga masih adanya masalah ditatanan desa itu sendiri yakni antara kepala desa dan BPD.

Hal lainnya juga adalah susahnya merubah pola pikir penduduk desa untuk dapat berpartisipasi

dalam pemerintahan desa, dimana desa enggan disentuh oleh pemda. Karena itu upaya yang

dilakukan baru dalam tahap melatih bagaimana membuat produk hukum.

Minimnya jumlah perdes yang dihasilkan juga tidak terlepas dari belum adanya urusan yang

diserahkan oleh pemda kabupaten kepada desa sebagaimana diatur dalam Permendagri No.30

32
Tahun 2006 tentang Tata cara Penyerahan Urusan dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa,

yang seharusnya diserahkan dengan Perda Kabupaten/Kota untuk selanjutnya nantinya akan

ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Seharusnya perdes yang dapat dihasilkan oleh desa bisa

maksimal selain terkait urusan asal-usul juga urusan yang diserahkan dan tugas pembantuan.

Urusan yang diserahkan dapat mencakup 31 urusan sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri

No.30 Tahun 2006, dan dari 31 tersebut kemudian dirinci lagi menjadi 210 urusan yang dapat

dilakukan oleh desa.

Dari pemaparan tersebut maka jelas bahwa eksistensi peraturan desa dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa sangat tidak sejalan dengan semangat pemberdayaan desa

sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan (PPU) terkait desa.

Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan

pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi

masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Salah satu indicator agar dapat dikatakan sebagai

desa berdaya adalah memiliki minimal 8 perdes sebagaimana diatur/ditentukan dalam PP No.72

Tahun 2005.

3.3. Pembentukan Peraturan Desa ditinjau dari Teknik dan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik ( good legislation)

Peraturan desa (perdes) adalah peraturan yang dibuat oleh Kepala Desa bersama dengan

Badan Musyawarah Desa (BMD). Secara filosofis pentingnya peraturan desa adalah dalam

rangka memberikan perlindungan bagi masyarakat desa, menjaga hak-hak masyarakat desa dan

menjamin kebebasan masyarakat desa, serta memberikan keadilan bagi masyarakat. Selain itu

Peraturan desa juga bermanfaat sebagai pedoman kerja bagi semua pihak dalam

33
menyelenggarakan kegiatan di desa dan di dalam membangun dan mengurus desa,” Membatasi

kekuasaan (kewenangan dan intervensi) pemerintah daerah dan pusat.

Berdasarkan hal tersebut maka pembentukan perdes perlu memperhatikan pula syarat-

syarat sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, baik menyangkut asas, substansi

maupun teknik pembentukannya. Sebagaimana telah diuraikan dimuka maka ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat disebut sebagai peraturan

perundang-undangan yang baik (good legislation). Menurut Pantja Astawa hal yg perlu

diperhatikan dalam pembentukan Perdes adalah ( Problematika hukum;hal.326):

1.Syarat yang harus dipenuhi secara yuridis,filosofis ataupun sosiologis.

2.Substansi yang diatur dalam Perdes.

Secara teknik, pembentukan perdes juga harus memenuhi syarat-syarat teknis

pembentukannya, sebagaimana telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan

Peraturan Desa. Salah satu daerah yang memiliki peraturan tentang pembentukan perdes adalah

Kabupaten Badung dengan Perda Kabupaten Badung No.15 Tahun 2007 tentang Pedoman

Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Kerangka struktur Perdes terdiri dari:

1. Penamaan/judul;
2. Pembukaan;
3. Batang Tubuh;
4. Penutup, dan
5. Lampiran.
Dalam pembentukan perdes selain sesuai dengan kerangka yang ada maka harus juga

berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 dan Pasal 6 UU No.12 Tahun 2011 jo Pasal 2 Permendari No.29 Tahun 2006 Dalam

membentuk Peraturan Desa harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang baik meliputi:

34
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 (1) menentukan asas terkait materi muatan Peraturan
Perundang-undangan yang harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-

undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan. Khusus untuk Kabupaten Badung berdasarkan Pasal 3 Perda

Kabupaten Badung No. 15 tahun 2007 ditentukan pula bahwa dalam membentuk Peraturan Desa

materi muatannya mengandung asas-asas : a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d.

kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan

dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan / atau j. keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan.

Arti dari masing-masing asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. kejelasan tujuan: yaitu bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus


mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; yaitu adalah bahwa setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan.
Perundang-undangannya.

35
4. dapat dilaksanakan; yaitu bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan; yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. kejelasan rumusan; yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan: yaitu bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai

dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya

untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Sedangkan arti asas yang harus dipenuhi berdasarkan syarat material yakni;

1. pengayoman; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2. kemanusian; Bahwa setiap materi PPU harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan HAM serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk
Indonesia secar proporsional.
3. kebangsaan; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip NKRI.
4. kekeluargaan;adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5. kenusantaraan; adalah bahwa setiap materi muatan PPU senantiasa memperhatikan seluruh
kepentingan wilayah Indonesia dan materi PPU yang dibuat di daerah merupakan bagian
dari system hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. bhinneka tunggal ika; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus memperhatikan
keragaman penduduk,agama,suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitive dalam kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
7. keadilan; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; adalah bahwa setiap materi muatan
PPU tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara
lain, agama,suku,ras,golongan,gender, atau status social.
9. ketertiban dan kepastian hukum; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
10. Keseimbangan,keserasian dan keselarasan, adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

36
Untuk Kabupaten Badung dari beberapa perdes yang diteliti , maka terkait kerangka

struktur perdes sebagaimana disebut diatas, masih belum sesuai dengan yang ditentukan dalam

PPU yang berlaku. Berikut ini akan dijabarkan beberapa hal yang tidak sesuai dengan ketentuan

PPU yang ada, khususnya sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Badung No. 15 Tahun

2007.

Tabel.1

Perdes Kabupaten Badung Ditinjau Dari


Kerangka Struktur Peraturan Desa

NO. STRUKTUR PERDES KETIDAK SESUAIAN

1. Penamaan/Judul Terdapat ketidaksamaan dalam merumuskan judul


di beberapa perdes, dimana seharusnya setelah
nama”Peraturan Desa” langsung diikuti nama desa
ybs, tanpa kata desa lagi. Namun ada beberapa desa
yang memuat pengulangan kata desa lagi. Misalnya;
Ada yang merumuskan “Peraturan Desa Desa
Petang”, seharusnya “Peraturan Desa Petang”.
2. Pembukaan 1.Pada frase “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha
Esa”, disini terdapat beberapa perdes yang tidak
mencantumkan frase ini.Misalnya Perdes Kutuh.
2.Jabatan Pembentuk Perdes,, seharusnya ditulis
dengan huruf capital dan diakhiri dengan tanda baca
Koma (,). Dalam beberapa perdes seperti desa
Mambal,Kutuh, Pereranan tidak mencantumkan
tanda baca koma setelah jabatan pembentuk perdes.
3.Konsideran, seharusnya memuat landasan
filosofis,sosiologis, yuridis dan politis. Namun
dalam beberapa perdes yang ada sebagaian besar
hanya memuat landasan sosiologis dan yuridis.
4.Dasar hukum. Dalam beberapa (sebagaian besar)
perdes tidak mencantumkan Permendagri 29 Tahun
2006 maupun Perda No.15 Tahun 2007 sebagai
landasan hukumnya, dan juga beberapa perdes
mencantumkan peraturan yang sudah tidak berlaku
sebagai dasar hukum perdes tersebut. Misalnya
adalah Permendagri No.2 Tahun 1982 tentang
pungutan desa. Padahal Permendagri ini sudah
dicabut dengan Permendagri No.4 Tahun 1999

37
tentang Pencabutan Beberapa Permendagri dan
Instruksi Mendagri mengenai Pelaksanaan UU No.5
Tahun 1979.
5.Frase “Dengan Persetujuan Bersama BPD dan
Perbekel”, juga terdapat kesalahan dalam
penyebutan “desa” sebanyak dua kali.Misalnya
seharusnya adalah “ Dengan Persetujuan Bersama
Badan Permusyawaratan Desa Petang” dan
“Perbekel Petang”.
3. Batang Tubuh Beberapa hal yang tidak jelas dalam batang tubuh
antara lain:
a.Tidak dicantumkankannya ketentuan umum
misalnya apa itu pungutan desa, sumbangan pihak
ketiga dsb.
b.Format perumusan pasal-pasal yang tidak sesuai
dengan PPU yang berlaku.
c.Merumuskan norma yang sebenarnya tidak perlu
4. Penutup Pada bagian penutup terdapat beberapa ketentuan
yang tidak sesuai misalnya:
a.Adanya Nama lengkap pejabat yang berisi gelar,
seharusnya tanpa gelar.
b.Disalah satu desa yakni Desa Mambal terdapat
ketentuan tentang “pengundangan” yang dilakukan
oleh Sekretaris Desa mambal dalam Berita Desa
Mambal. Seharusnya sesuai dengan ketentuan Pasal
14 Perda No.15 Tahun 2007 , pengumuman
dilakukan dalam Berita Daerah oleh Sekretaris
Daerah, hanya saja pelaksanaan pengumumannya
yang dapat didelegasikan kepada Sekretaris Desa.
Selain itu terdapat juga perdes yang memuat
“tembusan” pada bagian penutupnya (misalnya
perdes Kutuh”, seharusnya tidak berisi ketentuan
tentang tembusan.
5. Lampiran Hampir semua Perdes tentang APBDes, Pungutan
Desa maupun sumbangan pihak ketiga secara lebih
terperinci dituangkan dalam Lampiran Perdes yang
bersangkutan.
Sumber: diolah oleh penulis

Dengan demikian maka jelas terlihat bahwa dari segi kerangka struktur pembentukan perdes yang

ada di Kabupaten Badung, masih mengandung beberapa kelemahan, disisi lain Penyusunan

Perdes juga harus selalu berada dalam koridor asas-asas dan norma-norma penyusunan PPU yg

baik (good legislation).

38
Berdasarkan pada asas tersebut diatas berikut akan dikaji beberapa perdes di Kabupaten

Badung ditinjau dari Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-

asas tersebt merupakan syarat formal dan material dalam membentuk Perdes. Dalam tabel berikut

dapat dilihat perdes yang dibentuk dikaji dari syarat formal Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan:

Tabel.2

Perdes Kabupaten Badung Ditinjau Dari


Syarat Formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

No. Asas-asas Pembentukan Perdes Perdes Perdes


Perdes APBDes Pungutan Desa Sumbangan
Pihak ke 3
1. Kejelasan Tujuan Jelas Jelas Jelas
2. Kelembagaan Jelas Jelas Jelas
3. Kesesuaian Jenis dan materi Sesuai Sesuai Sesuai
4. Dapat dilaksanakan Dapat Dapat Dapat

5. Kedayagunaan/kehasilgunaan berguna berguna Berguna


6. Kejelasan rumusan Belum belum belum
7. Keterbukaan Terbuka terbuka terbuka

Sumber : diolah oleh penulis

Dari table tersebut diatas maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kejelasan tujuan ; maka ke tiga perdes tersebut mempunyai tujuan yang jelas sebagaimana

dikemukakan pada bagian menimbang, yakni bahwa dibentuk dalam rangka melaksanakan

pengelolaan keuangan desa.

2. Kelembagaan; jelas yakni yang membentuk adalah perbekel (kepala desa) dengan

persetujuan BPD.

3. Kesesuaian Jenis dan Materi ; adalah sesuai karena substansi terkait APBDes, Sumbangan

pihak ketiga maupun pungutan desa harus diatur dalam perdes sebagaimana ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan

39
4. Dapat dilaksanakan ;Ketiga Perdes tersebut dapat dilaksanakan karena memang memuat

masalah keuangan desa dalam satu tahunnya.

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan ;Ketiga perdes tersebut memang berguna sebagai pedoman

kerja bagi pemerintah desa dalam mengelola keuangan desa.

6. Kejelasan Rumusan ;Rumusan pasal-pasal dalam perdes tersebut sangat singkat untuk

APBDes terdiri dari 3-4 Pasal ,karena rincian dari pasal ada pada lampiran perdes tersebut.

Namun untuk Perdes sumbangan pihak ketiga maupun pungutan desa ada ketidak jelasan

dalam perumusannya yakni terkait arti dari sumbangan pihak ketiga maupun pungutan desa.

7. Keterbukaan; adalah terbuka dalam arti dibahas oleh perbekel dan BPD.BPD adalah

merupakan lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Keterlibatan BPD

ditunjukkan dengan persetujuan penetapan perdes tersebut oleh BPD.

Tabel 3

Pembentukan Perdes Kabupaten Badung Ditinjau Dari


Syarat Material Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

No. Asas-asas Pembentukan Perdes Perdes Perdes


Perdes APBDes Pungutan Desa Sumbangan
Pihak ke 3
1. Pengayoman ya ya Ya
2. Kemanusiaan ya ya Ya
3. Kebangsaan - - -
4. Kekeluargaan ya ya ya
5. Kenusantaraan ya ya ya
6. Bhineka Tunggal Ika ya ya ya
7. Keadilan belum belum belum
8. Kesamaan kedudukan belum belum belum

9. Ketertiban dan Kepastian ya ya ya


hukum
10. Keseimbangan,keserasian dan - - -
keselarasan

Sumber : Diolah oleh Penulis

40
Dari tabel tersebut diatas maka dapat dijelaskan bahwa dari asas-asas material

pembentukan Perdes di Kabupaten Badung maka:

1. Asas Pengayoman ; disini terlihat bahwa ketiga materi muatan perdes dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan dan ketentraman dalam masyarakat terutama terkait masalah

keuangan yang ada didesa bersangkutan.

2. Asas Kemanusiaan ;perdes tersebut memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap

HAM terutama terkait hak dan kewajiban ekonomi, bagi pejabat desa, warga masyarakat

maupun pihak ketiga.

3. Asas Kebangsaan ;yang berarti bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan sifat

dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan), maka dari ketiga jenis perdes

tersebut tidak terlihat, karena ketiga perdes tersebut hanya menonjolkan aspek ekonomi

(keuangan) dari desa yang bersangkutan.

4. Asas Kekeluargaan ; Hal ini jelas terlihat karena ketiga perdes tersebut lahir melalui proses

musyawarah mufakat antara perbekel dan BMD.

5. Asas Kenusantaraan ; secara materi, maka materi muatan perdes hanya mengatur

kepentingan dari desa yang bersangkutan, namun perdes yang dibentuk merupakan bagian

dari system hukum nasional, karena perdes yang dibentuk mendapat pembinaan dan

pengawasan dari pemerintah kabupaten dan juga evaluasi dari pemerintah kabupaten.

6. Asas Bhineka Tunggal Ika yang berarti bahwa setiap materi muatan PPU harus

memperhatikan keragaman penduduk,agama,suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan

budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitive dalam kehidupan

bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Terkait asas ini maka dalam ketiga perdes tersebut

memang menunjukkan adanya perhatian terhadap kondisi khusus daerah masing-masing, hal

41
ini dapat dilihat dari substansi pengalokasian dana di masing-masing desa yang terdapat

dalam APBDes, maupun dalam pungutan desa serta sumbangan pihak ketiga. Dimasing-

masing desa di Kabupaten Badung hal tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi daerah

yang bersangkutan.

7. Asas Keadilan ; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan keadilan
secara

8. proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.Dalam beberapa perdes yang dibentuk

belum mengatur secara adil terkait besaran kontribusi sumbangan pihak ketiga. Karena dalam

Perdes maupun lampirannya tidak dengan jelas misalnya merumuskan kenapa bank

sumbangannya sama dengan pasar tradisional/senggol, maupun mini market. Bank sendiri

ada yang merupakan bank nasional, bank daerah dan di desa ada LPD. Demikian juga di

perdes yang lain ada yang mencantumkan sumbangan oleh pihak ketiga berupa pengurusan

IMB untuk hotel mencapai angka Rp.50 Juta (untuk hotel bintang) dan Rp.25 juta (untuk

hotel Melati). Padahal pengurusan IMB yang berwenang adalah Pemda Kabupaten/kota.,

belum lagi biaya tersebut kemudian diikuti dengan sumbangan rutin perbulannya.

9. Kesamaan kedudukan ; adalah bahwa setiap materi muatan PPU tidak boleh berisi hal yang

bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,

agama,suku,ras,golongan,gender, atau status social. Dalam Perdes ini terutama perdes

tentang pungutan desa dan sumbangan pihak ketiga memang terlihat adanya pembedaan

terkait kontribusi yang harus dibayarkan oleh pihak ketiga kepada desa. Dasar pembedaannya

tidak jelas apakah berdasarkan besar kecilnya perusahaan ataukah jenis kegiatan yang

dilakukan ataukah besaran modal.

10. Ketertiban dan Kepastian hukum ; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus dapat

menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Perdes yang

42
dibentuk jelas dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga masyarakat

desa maupun pejabat desa dalam menerima/memungut maupun memanfaatkan dana desa.

11. Keseimbangan, keserasian dan Keselarasan ; bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,

antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.Hal ini

tidak terlihat dengan jelas dalam kaitan antara kepentingan indifidu dan masyarakat dengan

kepentingan bangsa dan Negara, karena perdes yang dibentuk saat ini hanya 2-3 perdes di

setiap desa, dan dibentuknya perdes sebagaian karena kepentingan ekonomi masyarakat desa.

43
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai be

rikut:

1. Peraturan desa merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang penting di

Indonesia, hal ini disebabkan sebagian besar penduduk Indonesia berada dipedesaa. Urgensi

perdes antara lain: Sesuai prinsip negara hukum adalah untuk memberikan jaminan

perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat desa, Untuk melindungi secara

normative adat-istiadat dari masyarakat desa setempat, untuk menormakan kewenangan-

kewenangan yang dimiliki oleh desa secara turun temurun, kewenangan yang diserahkan

oleh kabupaten/kota, kewenangan dalam rangka tugas pembantuan dan kewenangan lainnya

menurut peraturan perundang-undangan diatasnya serta sebagai sarana normative untuk

menampung dan menyalurkan aspirasi dari masyarakat dan sebagainya.

2. Eksistensi peraturan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, adalah merupakan

peraturan perundang-undangan yang secara formal dan diakui keberadaannya dalam UU

No.6 Tahun 2014 tentag desa, Permendagri No.29 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pembentukan Peraturan Desa, meskipun dalam Pasal 7 (1) UU No.12 Tahun 2011 tidak

termasuk dalam hierarchi peraturan perundang-undangan.

3. Suatu perdes agar dapat disebut sebagi Perdes yang baik (good legislation), harus memenuhi

syarat yang sudah ditentukan baik secara formal maupun material. Namun dalam

implementasinya, sebagai salah satu contoh adalah di Kabupaten Badung belum

mencerminkan/belum sesuai dengan asas yang ada dan juga teknik pembentukan yang

ditentukan. Disisi lain perdes yang dihasilkan oleh setiap desa juga sangat minim, dimana

44
sebagian besar desa hanya menghasilkan perdes yang terkait masalah keuangan. Padahal

banyak materi yang dapat diatur dalam perdes yakni terkait urusan asal-usul desa, urusan

yang diserahkan oleh kabupaten/kota kepada desa (ada sekitar 200 urusan) dan juga urusan

dalam kerangka tugas pembantuan. Ada beberapa alas an yang menjadi penyebab minimnya

perdes yang dihasilkan.

3.2. SARAN

Atas dasar beberapa persoalan tersebut diatas maka dapat disarankan hal-hal sebagai

berikut:

1. Perlunya pelatihan ataupun sosialisasi tidak saja kepada pejabat di kabupaten tetapi juga di

desa bagaimana membentuk perdes yang baik.

2. Perlu segera dibentuknya peraturan perundang-undangan (perda) terkait penyerahan urusan,

sehingga desa dapat membentuk perdes sesuai dengan kebutuhan masyarakat di desanya.

45
DAFTAR PUSTAKA

1.Buku/Makalah

Assidiqie, Jimly,2000, Reformasi Menuju Indonesia Baru:Agenda Restrukturisasi Organisasi


Negara,Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah disampaikan
dalam Forum Kongres Mahasiswa Indonesi sedunia I, di Chicago, Amerika Serikat, tanggal
28 Oktober

Attamimi, A.Hamid,1990,Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI ,Jakarta.

M solly Lubis,2009, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, mandar Maju, Bandung.

Halim ,Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009,Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual)
Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group.Jakarta.

Hans Kelsen, 2006,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul
Multtagen dari buku Hans Kelsen General Theory of Law and State, Penerbit Nusa Media
dan Penerbit Nuansa,Bandung.

Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Huum, : Kanisius, Jogyakarta.

Ibrahim, Jhony,2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang.

Luwihono, Slamet, Manfaat dan Arti Pentingnya Peraturan Desa bagi Upaya Pencapaian Kesejahteraan
Masyarakat Desa, www. percik.or.id

Indrati,Maria Farida, Soeprapto, 2009, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik


Pembentukannya, Kanisius, Jogyakarta.

Madeong, Supardan, 2005, Legal Drafting Berporos Hukum Humanis Partisipatoris,PT.Perca.


Jakarta.

Mahmud Marzuki,Peter, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.

Pantja Astawa, Suprin Na’a, 2008 ,Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan
Indonesia,Alumni, Bandung.

Putra Kurnia,Mahendra, 2007 et all, Pedoman Naskah Akademis Perda Partisipatif, Kreasi Total
Media, Jogyakarta.

46
Trisantono Soemantri,Bambang, 2011, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Fokus
Media, Bandung.

Van der Vlies, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, diterjemahkan


oleh Linus Doludjawa dari buku Handboek Wetgeving (Jakarta: Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia ),

Wahyono,Padmo, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesing bera, Ind-Hill,Jakarta.

2.Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UU No.10 Tahun 2004

UU No.32 Tahun 2004

PP No.72 Tahun 2005

Permendagri

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Tentang Desa

Peraturan Desa di Kabupaten Badung

3.Website

http://webcache.googleusercontent.com/sespim.polri.go.id=www.google.co.id

47

Anda mungkin juga menyukai