Pembentukan Peraturan Desa Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pembentukan Peraturan Desa Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
PENELITI:
Made Nurmawati,S.H., M.H.
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2018
1
2
RINGKASAN
Peraturan Desa (Perdes) adalah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Fungsi perdes
adalah untuk membatasi kekuasaan , mengatur kehidupan masyarakat desa dalam rangka
mencapai tujuan Negara Indonesia. Meskipun fungsi perdes sangat penting namun dalam
implementasinya pembentukan perdes di desa sangat minim, perdes yang dibentuk hanyalah
perdes yang mengatur tentang keuangan. Demikian pula dari segi pengaturannya masih
mengandung beberapa persoalan.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normative, yakni meneliti bahan-bahan
hukum primer, secunder dan tertier. Penelitian ini difokuskan pada pengkajian terhadap
eksistensi perdes baik eksistensi perdes dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan desa . Pendekatan yang dipergunakan adalah
penedekatan perundang-undangan, pendekatan konsep. Bahan hukum yang dikumpulkan diolah
dengan metode interpretasi, kemudian dianalisis secara induktif kualitatif.
Dalam penelitian ini dilakukan penelusuran terhadap konsep-konsep, teori-teori dan asas-
asas yang berkaitan dengan peraturan desa. Hal ini untuk menjelaskan bagaimana eksistensi
perdes di dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa di Kabupaten Badung. Selain itu juga untuk mengetahui apakah perdes yang dibentuk telah
sesuai dengan teknik dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa urgensi perdes adalah sebagai landasan hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Perdes sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan telah diakui eksistensinya, karena telah diatur dalam UU No.6 Tahun 2011, UU no.23
Tahun 2014, , Permendagri No.29 Tahun 2006 dan untuk Kabupaten Badung juga telah diatur
dalam Perda Kabupaten Badung No.15 Tahun 2007. Namun dalam implementasinya eksistensi
perdes tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena perdes yang dihasilkan oleh desa-desa
yang ada di Kabupaten Badung sangat minim yakni hanya 2-3 perdes dan itupun hanya terkait
masalah keuangan yakni APBDes,Pungutan Desa dan Sumbangan Pihak Ketiga. Minimnya
perdes karena belum siapnya desa dalam membentuk perdes dan keengganan pemerintah daerah
dalam menyerahkan urusan pemerintahan kepada desa. Dari sisi teknik dan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, perdes yang dihasilkanpun banyak mengandung
kelemahan/kekurangan.
3
PRAKARTA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmatNya laporan
akhir penelitian Pembentukan Peraturan Desa yang baik Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri,
mengungkapkan dan menganalisis permasalahan terkait peraturan desa . Penelitian didahului
dengan melakukan penelusuran terhadap peraturan-peraturan yang dibuat serta kebijakan-
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian
disusun instrumen penelitian, pengumpulan bahan, identifikasi masalah, tabulasi dan analisis
data. Tahap berikutnya adalah pembahasan dan menyimpulkan hasil penelitian serta
melaporkan pelaksanaan kegiatan penelitian termasuk penulisan artikel untuk publikasi pada
jurnal sebagai luaran.
Dengan selesainya laporan ini, sudah sepatutnya diucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Udayana yang telah mengalokasikan anggaran untuk penelitian.
2. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan F H UNUD dan para wakil
dekan yang telah memfasilitisi penelitian ini.
3. Bapak dan Ibu tenaga kependidikan di FH UNUD dan LPPM Unud yang telah
berpartisipasi dalam persiapan dan penyelesaian proses administrasi penelitian ini.
4. Para penulis yang karya tulisnya diacu sebagai referensi dalam menyusun laporan
penelitian.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu yang telah berkontribusi dalam
pelaksanaan dan pelaporan penelitian ini.
6. Besar harapan kami agar hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi Unud,
khususnya bagi dosen dan mahasiswa, aparatur pemerintah daerah, dan masyarakat.
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan laporan penelitian ini.
4
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... 1
RINGKASAN ........................................................................................................... 3
PRAKATA ................................................................................................................ 4
BAB I : PENDAHULUAN
3.3. Pembentukan Peraturan Desa ditinjau dari Teknik dan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik ( good legislation) ................................ 33
BAB IV : PENUTUP
4.1. Simpulan............................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB I
PENDAHULUAN
Desa adalah merupakan salah satu bentuk pemerintahan di daerah yang memiliki
tatanan pemerintahan sendiri dalam menjalankan segala urusan rumah tangganya. Salah satu
unsur penting yang harus dimiliki agar desa dapat menjalankan fungsi pemerintahannya dan
menjaga eksistensi desa adalah, dengan mengatur kehidupan masyarakat desa yang
bersangkutan, hal itu dimaksudkan untuk lebih meningkatkan peran desa dalam pemberdayaan
masyarakat desa guna mencapai kesejahtraan masyarakat. Pengaturan dapat dilakukan melalui
perundang-undangan dan atau menghormati aturan yang sudah ada dalam masyarakat desa itu
sendiri. Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang terdapat di Indonesia khususnya
Dasar hukum pembentukan perdes dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun
1945 yang menyatakan bahwa ; “Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai sebuah Negara
hukum maka segala tindakan pemerintah maupun warga masyarakat harus berdasarkan kepada
hukum atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian maka penyelenggaraan pemerintahan baik
di pusat maupun didaerah termasuk desa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagai sebuah
Negara hukum, maka diperlukan adanya suatu tatanan hukum yang terpadu , yang meliputi segala
aspek kehidupan serta menjangkau segala aspek lapisan masyarakat baik di pusat maupun daerah.
Tatanan hukum menurut Lawrence Friedman menyangkut legal substance, legal structure dan
6
Produk hukum yang dibentuk khususnya untuk pemerintahan desa dapat berupa Peraturan
Desa ataupun , Peraturan Kepala Desa dan/atau Keputusan Kepala Desa, yang dibentuk dalam
rangka pemberdayaan desa baik menyangkut pemerintahan maupun masyarakat desa itu sendiri.
Jika dilihat ketentuan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah , tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang Perdes. Dalam Pasal 371
(1) UU No.23 Tahun 2014 hanya menentukan tentang pembentukan desa, hal ini dapat dilihat
dari ketentuan pasal tersebut yang menyebutkan bahwa: Dalam Daerah kabupaten/kota dapat
dibentuk Desa. (2) Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Desa. Pasal 372 (1) Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menugaskan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada Desa. Perdes sebagai salah
satu bentuk peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 69 UU No.6 Tahun
2014 tentang Desa. Sementara itu dalam UU yang khususmengatur pembentukan peraturan
berbagai syarat baik formal maupun material antara lain menyangkut kelembagaan, asas-asas
maupun teknik pembentukannya. Namun secara yuridis formal ada beberapa persoalan yang
muncul dalam UU No.12 Tahun 2011 maupun peraturan pelaksananya. Misalnya terkait
7
(1) Jenis dan hierarchi Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Rumusan tersebut menimbulkan ketidak jelasan terkait dengan Perdes yakni: baik dari
segi kedudukan maupun materi muatannya. Dari segi kedudukan maka Bagaimanakah
kedudukannya sama dengan Perda ataukah berada dibawah Perda?.Hierarchi ini penting untuk
Dari segi materi muatan Perdes , dalam Pasal 13 UU No.10 Tahun 2004 ditentukan bahwa
materi muatan perdes adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang
setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,
kemudian dikaitkan dengan pengertian desa serta kewenangan desa sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 43 dan Pasal 206 UU No.23 Tahun 2014, terdapat ketidak jelasan materi
muatan perdes. Dalam Pasal 1 angka 43 UU No.23 Tahun 2014 jo UU No.6 Tahun 2014
disebutkan bahwa: Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dari rumusan
8
a.Kesatuan masyarakat hukum
e.diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan kewenangan, maka desa juga memiliki kewenangan sebagimana diatur
dalam UU No.23 Tahun 2014 jo UU No.6 Tahun 2014. Dalam Pasal 18 UU No.6 Tahun 2014
masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Pasal
19 : Kewenangan Desa meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal
berskala Desa; c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
Dari rumusan tersebut maka nampak ada 3 hal yang menjadi kewenangan desa yakni,
kewenangan asli desa atau kewenangan berdasarkan asal-usul dan adat istiadat, kewenangan
yang diserahkan kepada desa, kewenangan dalam kerangka tugas pembantuan dan urusan
Rumusan tersebut juga menimbulkan ketidak jelasan yakni urusan apa yang merupakan urusan
asal-usul desa dan adat istiadat. Apakah urusan asal-usul desa yang dimaksud adalah desa dalam
artian desa sebagai desa administrative (local state government), organisasi komunitas local (self
9
governing community), ataukah sebagai desa otonom (local self government).?, dan masalah
selanjutnya adalah urusan apa yang termasuk dengan urusan pemerintahan lainnya? .
Perdes adalah merupakan salah satu produk hukum Negara yang mengatur kehidupan
masyarakat terbawah di Indonesia yakni desa. Sebagai hukum Negara pembentukannya harus
sesuai dengan teknik dan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun
sering beranggapan “pokoknya ada perdes”, sehingga disusun tidak berdasarkan pada prinsip
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (good legislation), dan bahkan banyak
desa yang tidak memiliki perdes, dan kehidupan masyarakat desa semuanya dianggap cukup
diatur dalam awig-awig desa. Demikian pula dengan kabupaten-kabupaten yang ada di Bali ,
ternyata terdapat kabupaten yang tidak memiliki perda yang mengatur tentang pedoman dan
mekanisme pembentukan perdes, sehingga otomotis tidak ada perdes yang dihasilkan oleh desa-
Perdes, mempunyai fungsi yang sangat penting baik dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintahan dalam Negara kesatuan Indonesia, yakni dalam upaya pencapaian tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, maupun dalam upaya
pemberdayaan dan pelaksanaan pemerintahan desa. Perdes juga dibutuhkan guna terlaksananya
sinergitas pemerintahan desa sebagai pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas Negara, dan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
10
1. Urgensi dan eksistensi Peraturan Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?
Penelitian ini pada dasarnya hendak mengkaji apa urgensi peraturan desa dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa, serta mengkaji apakah perdes yang dibuat telah sesuai dengan asas-asas
1.3.2.Tujuan Khusus
2.Menemukan dan menjelaskan bagaimana kedudukan peraturan desa dalam UU.No.12 Tahun
2011
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1.Manfaat Teoritis
kajian tentang urgensi dan kedudukan Peraturan Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa.
1.4.1.Manfaat Praktis
Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan
dalam upaya pembangunan politik hukum yang berkaitan dengan pembentukan peraturan
1.5.Metode Penelitian
11
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum
normative, dimana penelitian hukum normative menurut Jhony Ibrahim (2005;57) adalah
penelitian yang mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
sisi normatifnya. Penelitian hukum normative mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu
konsistensi,formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-Undang dan Bahasa hukum yang
5.2.Metode Pendekatan
Ada beberapa metode pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normative yakni
approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach)
(Peter Mahmud Marzuki;2000;93-137). Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa cara
Glasson bahwa; “there is no single technique that is magically “right” for all problem”(Jhony
Ibrahim:52).
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah legislasi, antara lain UU No.6 Tahun 2014
dan UU No.12 Tahun 2011. Pendekatan analisis konsep hukum (legal analytical conceptual
approach), dilakukan dengan menelaah konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah Perdes .
12
Pendekatan filsafat dilakukan dengan menelaah secara mendalam politik hukum dari peraturan
desa serta dengan memberikan pendasaran secara filosofis tentang peraturan desa tersebut.
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, secunder dan tertier.(Suryono
Soekanto;1986;52). Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No.12 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Daerah, UU No.6 Tahun2014, Peraturan Daerah Kabupaten yang terkait dengan substansi, serta
peraturan desa. Selain itu juga akan digunakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pekraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003, dan juga peraturan daerah lainnya yang terkait dengan penelitian,.
Bahan hukum secunder diperoleh dari dokumen atau bahan hukum seperti hail penelitian
terdahulu, buku-buku/karya tulis para akhli hukum yang relevan dengan masalah yang diteliti.
Bahan hukum tertier, yaitu kamus bahasa dan kamus hukum untuk memperjelas pengertian yang
Selain bahan hukum tersebut maka digunakan juga bahan hukum informative, yakni
berupa informasi mengenai Peraturan Desa untuk memperjelas atau mengklarifikasi bahan
hukum primer. Bahan hukum juga diperoleh dengan jalan electronic research, yakni melalui
penelusuran di internet dengan jalan mengcopy (download) website tertentu. Keunggulan dalam
pemakaian internet antara lain: efesien, tanpa batas (without boundry), terbuka selama 24 jam,
interaktif dan terjalin dalam sekejap (hyperlink) (Budi Agus Riwandi;2006;325-326). Moris
L.Cohen dan Kent C Olson menyatakan bahwa: “In recent years, of course more and more
material has become available electronically. The computer has not, however, replaced the book
13
and the astute reasercher knows how to take advanteges of both media. Electronic research has
dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber
bahan hukum primer dan secunder, dan kemudian dilakukan identifikasi terhadap bahan hukum
Bahan hukum informative diperoleh melalui wawancara dengan pejabat yang terkait
dengan penelitian pejabat dilingkungan Pemerintahan serta Pejabat Desa berkaitan dengan
Analisis terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif
norma atau kaidah-kaidah yang berkaitan dengan peraturan desa, untuk menemukan konsep-
konsep hukum yang dapat dipergunakan dalam menyusun perdes yang ideal khususnya dalam
masyarakat yang mengenal adanya aturan hukum lain yang hidup di dalam masyarakat seperti
awig-awig di Bali.
Analisa bahan hukum dilakukan dengan hermeneuka hukum, yang artinya adalah metode
interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah
14
(interpretation refers generally to the assigning of meaning to words in statute)(LB
Curson;1975;253).
pengertian-pengertian, konsep yang terdapat dalam kamus. Selain itu dipergunakan pula
154).
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Negara Indonesia adalah negara hukum telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Makna
Negara hukum adalah bahwa hukumlah yang pertama-tama dianggap sebagai pemimpin bukan
orang, “the Rule of Law, and not of man”, Orang bisa berganti tetapi hukum sebagai sustu sistem
diharapkan tetap tegak sebagai acuan dan pegangan bersama (Jimly Assidiqie: 2000).
Konsep negara hukum bagi Negara RI adalah negara hukum Pancasila. Negara hukum
Pancasila menurut Padmo Wahyono adalah; suatu kehidupan berkelompok bangsa Indonesia,
atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka,berdaulat,bersatu, adil dan makmur,
yang didasarkan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai wahana untuk ketertiban
Untuk mewujudkan negara hukum tersebut maka ada empat elemen yang perlu
diperhatikan yakni: elemen instrument hukum; elemen institusi hukum yang perlu ditata kembali
tugas, fungsi dan mekanisme kerjanya; elemen sistem kepemimpinan, aparat atau pejabat hukum
serta profesi hukum yang menjadi pangkal tolak pembangunan sistem hukum yang efektif; dan
elemen tradisi hukum dan budaya hukum masyarakat (Jimly Assidiqie).Dengan demikian maka
salah satu element yg penting dalam rangka mewujudkan Negara hukum adalah elemen
diantaranya adalah tentang tata urutan norma hukum, asas-asas dalam pembentukan peraturan
16
perundang-undangan, bahasa, dan tekhnik pembentukannya. Sebelum mengkaji teori-teori
tersebut maka akan dikemukakan pengertian dari peraturan perundang-undangan maupun Perdes.
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum.Sedangkan Perdes menurut Pasal 1 angka 8 UUP3 adalah peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
Dari difinisi tersebut diatas maka jelas bahwa perdes adalah merupakan salah satu jenis
dari peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang dibentuk oleh badan perwakilan
Teori tata urutan norma hukum adalah teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dimana
menurut Hans Kelsen dalam teorinya yang disebut dengan “Stufenbau des Recht” atau hierarchi
hukum, bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarchi atau
tata susunan, dimana sustu norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dan dikaitkan dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka UUD Tahun 1945 harus menjadi acuan dalam
kehidupan warga negaranya. Tatanan hukum yang menjadi bingkai dari norma-norma hukum
17
tersusun dalam sebuah system hukum, dimana norma-norma tersebut tidak boleh
Tata urutan norma hukum di Indonesia diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 yang terdiri dari;
1). peraturan perundang-undangan yang berada didalam hierarki, dan 2) peraturan perundang-
undangan di luar hierarchi. Peraturan perundang-undangan yang berada di dalam hierarchi adalah
apa yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, sedangkan yang diluar hierarki
Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-
asas ini dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titi tola berpikir
harus didasarkan pada beberapa asas. Menurut Van der Vlies membedakan 2 (dua) kategori asas-
rcgelgeving), yaitu asas formal dan asas material.(Van der Vlies;258-280). Asas-asas formal
meliputi: Asas tujuan jelas (Het beginsel van duideijke doelstellin), Asas lembaga yang tepat (Het
beginsel van het juiste orgaan),Asas perlunya pengaturan (Het noodzakelijkheid beginsel) , Asas
dapat dilaksanakan (Het beginsel van uitvoorbaarheid), Asas Konsensus (het beginsel van de
consensus).
Asas tujuan yang jelas, terdiri atas tiga tingkat yaitu; kerangka kebijakan umum peraturan yang
akan dibuat, tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat dan tujuan dari berbagai bagian dalam
peraturan. Asas organ/lembaga yang tepat memberi penjelasan tentang perlunya kejelasan
18
bersangkutan. Menurut Attamimi, mengenai lembaga/organ yang tepat itu perlu dikaitkan dengan
pengaturan terkait dengan perlunya pengaturan untuk menyelesaikan suatu persoalan, sedangkan
asas dapat dilaksanakan memuat jaminan bagi dapat dilaksanakannya sebuah peraturan.Asas
Konsensus adalah asas yang memuat adanya konsesnsus antara para pihak dengan pemerintah
pertimbangan etik yang dituangkan dalam norma hukum. Asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan ini penting untuk dipahami dan diterapkan, karena karena dapat terjadi
sesaat, tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Pada prinsipnya asas pembentukan
peraturan perundang-undangan sangat relevan dengan asas umum administrasi publik yang baik
(general principles of good administration). Sementara itu dalam Pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun
2011 disebutkan asas pembentukan PPU adalah: kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat
19
Sedangkan dalam Pasal 6 mengatur asas terkait Materi muatan Peraturan Perundang-undangan
yaitu:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
yaitu kegiatan menentukan isi peraturan (inhalt der regeling) disatu pihak, dan kegiatan yang
menyangkut pemenuhan bentuk peraturan (form der regeling). Dalam kaitannya dengan
keberlakuan norma menurut Bagir Manan, maka harus memenuhi tiga landasan yakni: landasan
berlaku secara yuridis, landasan berlaku secara sosiologis dan landasan berlaku secara filosofis.
Selain itu juga harus memperhatikan efektifitas/daya lakunya baik secara ekonomis maupun
politis (M Solly Lubis;15-23). Landasan berlaku secara yuridis adalah suatu peraturan perundang-
undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada hukum yang
lebih tinggi. Landasan keberlakuan secara sosiologis adalah, bahwa peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk pula
adalah peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sistem nilai dari masyarakat yang
bersangkutan. Landasan ekonomis, yang maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh
Pemerintah daerah dapat berlaku sesuai dengan tuntutan ekonomis masyarakat dan mencakup
berbagai hal yang menyangkut kehidupan masyarakat, misalkan kehutanan dan pelestarian
20
sumberdaya alam; (5) landasan politis, maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak ditengah-
tengah masyarakat.
Hal lain yang perlu diperhatikan pula dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
adalah bahasa dalam peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya bahwa semua produk
hukum yang dihasilkan harus dapat dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat yang
dengan baik kepada masyarakat, maka hal ini jelas akan berdampak pada ketaatan maupun
kepatuhan masyarakat itu sendiri. Demikian halnya dengan Peraturan daerah ataupun peraturan
desa , yang mengatur kehidupan masyarakat suatu daerah, maka harus dapat dipahami dan
dimengerti oleh masyarakat daerah yang bersangkutan, sehingga hal-hal yang diatur dapat
dilaksanakan.
dalam arti kalimatnya harus tegas, jelas, dan pengertiannya mudah ditangkap oleh semua orang,
tidak berbelit-belit, serta kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan multitafsir bagi yang
membaca. Demikian pula dalam perumusannya harus sinkron antara norma yang satu dengan
norma yang lainnya. Bahasa peraturan perundang-undangan harus tunduk kepada kaidah tata
bahasa Indonesia, baik dalam pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun
pengejaannya. (Supardan Madeong:50). Menurut Leon Fuller ada 8 kriteria hukum yang baik
21
6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi;
7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum harus juga
diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah;
8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum
yang berlaku.
Dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah terdapat dalam Pasal 18 UUD Tahun
1945, yaitu dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 18A . Pasal-pasal
Provinsi,Kabupaten dan Kota yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah
juga diberi kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan lainnya guna
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pengaturan lebih lanjut tentang pemerintahan
Daerah adalah UU No.23 Tahun 2014 dan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam Pasal 1 amgka 2 UU No.6 Tahun 2014 disebutkan bahwa Pemerintahan Desa
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pemerintah Desa adalah Kepala
Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Desa (Pasal 1 angka 3). Berkaitan dengan kewenangan, maka desa juga memiliki
kewenangan sebagimana diatur dalam UU No.23 Tahun 2014 jo UU No.6 Tahun 2014.
Dalam Pasal 18 UU No.6 Tahun 2014 disebutkan bahwa: Kewenangan Desa meliputi
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Pasal 19 : Kewenangan Desa meliputi: a.
kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal berskala Desa; c. kewenangan yang
22
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pembentukan Perdes maka tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dengan perdes lain yang sejenis. Hal
ini dimaksudkan untuk harmonisasi dan sinkronisasi dari norma-norma tersebut. Harmonisasi dan
sinkronisasi Perdes diperlukan agar perdes tersebut diataati oleh masyarakat yang bersangkutan,
23
BAB III
PEMBAHASAN
No.23 Tahun 2014 dan UU No.6 Tahun 2014. Terkait dengan Pemerintahan desa, Pasal 374
UU No.23 Tahun 2014 sebagaimana disebut diatas adalah merupakan dasar pembentukan desa,
sebagai bagian dari pemerintahan kabupaten. Disebutkan bahwa dalam pemerintahan daerah
kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan Permusyawaratan Desa
pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dengan demikian maka BPD
memiliki kedudukan sejajar dan sebagai mitra dari pemerintah desa dalam menyelenggarakan
pemerintahan desa.
dan Badan Perwakilan Desa (BPD) seringkali terjadi ketidak seimbangan antara yang satu dengan
yang lainnya. Ada beberapa jenis hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.
Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama
menguasai pihak kedua. Kedua, huhungan subordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan
tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan
diri tunduk pada kemauan pihak pertama. Dan Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama
dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.
24
Bagaimana bentuk hubungan yang terjadi antara pemerintah desa dan BPD, apakah merupakan
fungsi dari lembaga tersebut. Salah satu contoh misalnya terkait dengan pembentukan Perdes
yang merupakan kewenangan dari pemerintah desa dan BPD. Perdes yang lahir akibat hubungan
yang sifatnya dominasi ataupun subordinasi akan melahirkan Perdes yang Represif. Perdes
represif adalah perdes yang mengabdi kepada kekuasaan atau tata tertib social yang represif, ia
1. Lembaga hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuasaan politik, hukum
diindentifikasi sama dengan negara dan dijadikan alat untuk mencapai tujuan negara
2. Langgengnya sebuah kekuasaan
3. Lembaga kontrol dan penegak hukum menjadi pusat kekuasaan yang otonom, terisolasi
dari fakta sosial
4. Menjamurnya hukum bermuka dua, melembagakan kelas – kelas dalam tatanan sosial
ekonomi dalam masyarakat
5. Hukum pidana dan putusan pengadilan merefleksikan nilai dominan dari suatu kelas.
Sebaliknya perdes yang dibuat akibat hubungan yang bersifat kemitraan, maka akan melahirkan
perdes yang responsive. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan
dicapai di luar hukum Ciri khas hokum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat
dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidak
setujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak
fleksibel. Tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat
digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Produk hukum yang berkarakter
partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan
juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
25
Artinnya bahwa produk hukum tersebut bukanlah merupakan kehendak dari penguasa untuk
masyarakat.(http://webcache.googleusercontent.com/sespim.polri.go.id=www.google.co.id)
Untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan desa secata baik dan efektif, maka
diperlukan adanya produk hukum yang mengatur desa itu sendiri baik berupa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan desa, sumber daya manusia maupun kelembagaan desa,
kondisi social, dan ekonomi desa. Karena itu dalam rangka penyelenggaaraan pemerintahan desa,
maka kepada desa diberi kewenangan untuk membentuk peraturan desa sebagaimana ditentukan
dalam UU No.6 Tahun 2014. Fungsi perdes menurut Panca Asatawa (dinamika hukum;Panca
Astawa) adalah:
Fungsi perdes tersebut sejalan dengan fungsi peraturan perundang-undangan secara umum
perlu di dalam negara hukum karena tidak lagi untuk menciptakan kodifikasi nilai-nilai yg sudah
ada dlm masyarakat, tetapi menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Perdes sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan harus menghormati
nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan maupun system nilai bersama dalam
Selain itu dalam membentuk perdes maka materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat
adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang dimaksud Materi
26
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa telah ditentukan UU No.6 Tahun 2014 yakni
terkait urusan asal-usul desa, urusan kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa, urusan dalam
rangka tugas pembantuan dan urusan pemerintahan lainnya. Urusan berdasarkan asal-usul adalah
merupakan urusan otonomi asli yang dimiliki oleh desa.Otonomi asli, memiliki makna bahwa
kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan
pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat namun harus
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan urusan yang diserahkan adalah urusan dalam rangka
desa adalah :
a. Sesuai prinsip negara hukum adalah untuk memberikan jaminan perlindungan dan
diatasnya serta sebagai sarana normative untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dari
masyarakat.
negara Indonesia yang tertuang dalam alinea IV pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Sebagai
pedoman kerja bagi semua pihak dalam menyelenggarakan pemerintahan desa sehingga t ercipta
27
e. Memudahkan pencapaian tujuan dari desa , melalui pembentukan, pelaksanaan,
Selain itu peraturan desa dalam konteks otonomi daerah seharusnya ditujukan dalam
kerangka: 1. melindungi dan memperluas ruang otonomi dan kebebasan masyarakat 2. membatasi
kekuasaan (kewenangan dan intervensi) pemerintah daerah dan pusat, serta melindungi hak-hak
prakarsa masyarakat desa. 3. Menjamin kebebasan masyarakat desa 4. Melindungi dan membela
kelompok yang lemah di desa 5. Menjamin partisipasi masyarakat desa dalam proses
pengambilan keputusan antara lain, dengan memastikan bahwa masyarakat desa terwakili
kondisi sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat desa (Bagus oktafian Abrianto,Yuridika:
Pemerintah di tingkat desa merupakan tatanan terkecil dari sebuah negara dan berada
dibawah pemerintah kabupaten sebagaimana ditentukan dalam UUD Tahun 1945 maupun UU
No.23 Tahun 2014. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa untuk mengatur
masyarakat didesanya melalui produk hukum desa diharapkan dapat mewujudkan good village
government.
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi kedudukannya yang
dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan kondisi sosial
masyarakat desa setempat. Dalam rangka mewujudkan tatanan yang tertib di bidang Peraturan
28
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Tinggi rendahnya peraturan perundang-
undangan dapat dilihat berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 2011,
menyatakan bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Dari rumusan tersebut maka perdes tidak tampak sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Namun hal tersebut (sebagai salah satu jenis peraturan) dapat
ditafsirkan dari ketentuan dalam Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 ) yang menyebutkan bahwa:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Selanjutnya dalam Pasal 101 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa:
Undang Nomor 10 Tahun 2004, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Jadi, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 status Peraturan Desa tetap berlaku sebagai Peraturan Perundang-undangan.
Demikian pula halnya dengan UU No.6 Tahun 2014 dengan jelas dan tegas mengatur tentang
Perdes. Hal tersebut diatur dalam Pasal 69 (1) yang menyebutkan Jenis peraturan di Desa terdiri
29
atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa. Peraturan Desa
berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 dibuat oleh Badan
Dengan demikian perdes meskipun tidak secara tegas tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU
No.12 Tahun 2011 namun secara yuridis formal diakui eksistensinya. Menurut Aristoteles
“Eksistensi” berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki
keberadaan aktual. Existere disusun dari ex yang artinya keluar dan sistere yang artinya tampil
atau muncul. Terdapat beberapa pengertian tentang eksistensi yang dijelaskan menjadi 4
pengertian: Pertama, eksistensi adalah apa yang ada. Kedua, eksistensi adalah apa yang
memiliki aktualitas. Ketiga, eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan
pengakuan akan keberadaan perdes secara aktual sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan, dan juga sebagai n regulasi yang sangat penting di Indonesia.Hal tersebut dikarenakan
Indonesia merupakan Negara yang multi dalam segala hal yang menimbulkan keberagaman
sumber daya alam, sumber daya manusia, kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda, luas
wilayah, adat istiadat, agama dan budaya. Yang tidak cukup hanya di atur oleh Undang-Undang
dan Peraturan Daerah, yang materi muatannya memiliki cakupan yang lebih luas. Desa
memerlukan aturan yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan desanya. Pentingnya Peraturan
Desa ini juga bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan sumber
daya manusia.
30
Eksistensi peraturan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya di
Propinsi Bali Badung belum sesuai dengan harapan. Hal ini bisa dicermati dari Peraturan Daerah
yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota berkaitan dengan tata cara pembentukan peraturan
banyak kekurangan. Pedoman yang tidak baik ini tentu tidak akan mampu menghasilkan perdes
yang baik. Secara teoritis penyelenggaraan Pemerintahan Desa agar dapat efektif harus mengacu
pada 4 pilar utama yakni: pertama; mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan desa, kedua; mengacu kepada kondisi dan dinamika social, politik, ekonomi
dan perilaku warga desa, ketiga; mengacu kepada sumber daya pimpinan dan aparatur
undangan yang berlaku dengan kondisi dinamika desa, keempat; ketepatan dukungan daripada
pemerintahan kabupaten sesuai dengan mandate UU Pemerintahan Daerah dan UU tentang Desa
Dengan demikian maka jelas bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
desa adalah merupakan salah satu pilar bagi penyelenggaraan pemerintahan desa dalam rangka
memberdayakan desa yang bersangkutan, selain ketiga pilar lainnya. Namun implementasi
pembentukan perdes sangat minim, dibandingkan jumlah perdes yang dapat diatur dan jumlah
desa yang ada. Sebagai contoh di Kabupaten Badung terdapat 6 Kecamatan yaitu; Kuta Selatan,
Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal dan Petang, serta dibagi menjadi 3 wilayah pembangunan
yaitu; wilayah pembangunan Badung Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan.
wawancara dengan Bapak Suparta sebagai staf pada Badan Pemberdayaan Desa dikatakan bahwa;
31
dari jumlah desa yang ada yakni 46 desa, rata-rata masing-masing desa hanya memiliki 1-2
perdes, dan beberapa desa memiliki 3 perdes (sekitar 3 desa terkait sumbangan pihak ketiga ).
Perdes yang dimiliki oleh tiap desa terutama menyangkut APBDes, Pungutan Desa dan
Sumbangan pihak ke 3. Dengan demikian perdes yang dimiliki adalah terkait masalah keuangan
desa, sedangkan perdes yang lain masih sangat minim, misalnya di desa Kutuh, selain tentang
keuangan juga terdapat Perdes tentang Pengkaplingan Tanah Untuk Pembangunan Perumahan
Dan Permukiman Di Desa Kutuh. Alasan kenapa baru 3 perdes tersebut yang terbentuk, adalah
berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban dan evaluasi. Artinya bahwa pemerintah daerah
(pemda) akan melakukan evaluasi hanya terhadap perdes yang terkait dengan masalah keuangan
dan tata ruang sebagaimana diatur dalam perda. Dengan demikian maka sebelum ditetapkan
sebagai perdes sebelumnya harus dievaluasi oleh pemda ,jika sudah baru dia akan ditetapkan
sebagai perdes. Dengan dilakukannya evaluasi maka nantinya pemda yang akan
bertanggungjawab terhadap substansi perdes tersebut jika terjadi pemeriksaan baik oleh Bawasda
maupun inspektorat.
Yuyun tanggal 8 Juni 2011, dijelaskan bahwa alasan minimnya jumlah perdes yang dihasilkan
oleh desa adalah karena minimnya sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan di desa.
Selain itu juga masih adanya masalah ditatanan desa itu sendiri yakni antara kepala desa dan BPD.
Hal lainnya juga adalah susahnya merubah pola pikir penduduk desa untuk dapat berpartisipasi
dalam pemerintahan desa, dimana desa enggan disentuh oleh pemda. Karena itu upaya yang
Minimnya jumlah perdes yang dihasilkan juga tidak terlepas dari belum adanya urusan yang
diserahkan oleh pemda kabupaten kepada desa sebagaimana diatur dalam Permendagri No.30
32
Tahun 2006 tentang Tata cara Penyerahan Urusan dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa,
yang seharusnya diserahkan dengan Perda Kabupaten/Kota untuk selanjutnya nantinya akan
ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Seharusnya perdes yang dapat dihasilkan oleh desa bisa
maksimal selain terkait urusan asal-usul juga urusan yang diserahkan dan tugas pembantuan.
Urusan yang diserahkan dapat mencakup 31 urusan sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri
No.30 Tahun 2006, dan dari 31 tersebut kemudian dirinci lagi menjadi 210 urusan yang dapat
Dari pemaparan tersebut maka jelas bahwa eksistensi peraturan desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa sangat tidak sejalan dengan semangat pemberdayaan desa
pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Salah satu indicator agar dapat dikatakan sebagai
desa berdaya adalah memiliki minimal 8 perdes sebagaimana diatur/ditentukan dalam PP No.72
Tahun 2005.
3.3. Pembentukan Peraturan Desa ditinjau dari Teknik dan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik ( good legislation)
Peraturan desa (perdes) adalah peraturan yang dibuat oleh Kepala Desa bersama dengan
Badan Musyawarah Desa (BMD). Secara filosofis pentingnya peraturan desa adalah dalam
rangka memberikan perlindungan bagi masyarakat desa, menjaga hak-hak masyarakat desa dan
menjamin kebebasan masyarakat desa, serta memberikan keadilan bagi masyarakat. Selain itu
Peraturan desa juga bermanfaat sebagai pedoman kerja bagi semua pihak dalam
33
menyelenggarakan kegiatan di desa dan di dalam membangun dan mengurus desa,” Membatasi
Berdasarkan hal tersebut maka pembentukan perdes perlu memperhatikan pula syarat-
syarat sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, baik menyangkut asas, substansi
maupun teknik pembentukannya. Sebagaimana telah diuraikan dimuka maka ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat disebut sebagai peraturan
perundang-undangan yang baik (good legislation). Menurut Pantja Astawa hal yg perlu
Peraturan Desa. Salah satu daerah yang memiliki peraturan tentang pembentukan perdes adalah
Kabupaten Badung dengan Perda Kabupaten Badung No.15 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Kerangka struktur Perdes terdiri dari:
1. Penamaan/judul;
2. Pembukaan;
3. Batang Tubuh;
4. Penutup, dan
5. Lampiran.
Dalam pembentukan perdes selain sesuai dengan kerangka yang ada maka harus juga
Pasal 5 dan Pasal 6 UU No.12 Tahun 2011 jo Pasal 2 Permendari No.29 Tahun 2006 Dalam
membentuk Peraturan Desa harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-
34
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 (1) menentukan asas terkait materi muatan Peraturan
Perundang-undangan yang harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Khusus untuk Kabupaten Badung berdasarkan Pasal 3 Perda
Kabupaten Badung No. 15 tahun 2007 ditentukan pula bahwa dalam membentuk Peraturan Desa
dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan / atau j. keseimbangan,
35
4. dapat dilaksanakan; yaitu bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan; yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. kejelasan rumusan; yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan: yaitu bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Sedangkan arti asas yang harus dipenuhi berdasarkan syarat material yakni;
1. pengayoman; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2. kemanusian; Bahwa setiap materi PPU harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan HAM serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk
Indonesia secar proporsional.
3. kebangsaan; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip NKRI.
4. kekeluargaan;adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5. kenusantaraan; adalah bahwa setiap materi muatan PPU senantiasa memperhatikan seluruh
kepentingan wilayah Indonesia dan materi PPU yang dibuat di daerah merupakan bagian
dari system hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. bhinneka tunggal ika; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus memperhatikan
keragaman penduduk,agama,suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitive dalam kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
7. keadilan; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; adalah bahwa setiap materi muatan
PPU tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara
lain, agama,suku,ras,golongan,gender, atau status social.
9. ketertiban dan kepastian hukum; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
10. Keseimbangan,keserasian dan keselarasan, adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
36
Untuk Kabupaten Badung dari beberapa perdes yang diteliti , maka terkait kerangka
struktur perdes sebagaimana disebut diatas, masih belum sesuai dengan yang ditentukan dalam
PPU yang berlaku. Berikut ini akan dijabarkan beberapa hal yang tidak sesuai dengan ketentuan
PPU yang ada, khususnya sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Badung No. 15 Tahun
2007.
Tabel.1
37
tentang Pencabutan Beberapa Permendagri dan
Instruksi Mendagri mengenai Pelaksanaan UU No.5
Tahun 1979.
5.Frase “Dengan Persetujuan Bersama BPD dan
Perbekel”, juga terdapat kesalahan dalam
penyebutan “desa” sebanyak dua kali.Misalnya
seharusnya adalah “ Dengan Persetujuan Bersama
Badan Permusyawaratan Desa Petang” dan
“Perbekel Petang”.
3. Batang Tubuh Beberapa hal yang tidak jelas dalam batang tubuh
antara lain:
a.Tidak dicantumkankannya ketentuan umum
misalnya apa itu pungutan desa, sumbangan pihak
ketiga dsb.
b.Format perumusan pasal-pasal yang tidak sesuai
dengan PPU yang berlaku.
c.Merumuskan norma yang sebenarnya tidak perlu
4. Penutup Pada bagian penutup terdapat beberapa ketentuan
yang tidak sesuai misalnya:
a.Adanya Nama lengkap pejabat yang berisi gelar,
seharusnya tanpa gelar.
b.Disalah satu desa yakni Desa Mambal terdapat
ketentuan tentang “pengundangan” yang dilakukan
oleh Sekretaris Desa mambal dalam Berita Desa
Mambal. Seharusnya sesuai dengan ketentuan Pasal
14 Perda No.15 Tahun 2007 , pengumuman
dilakukan dalam Berita Daerah oleh Sekretaris
Daerah, hanya saja pelaksanaan pengumumannya
yang dapat didelegasikan kepada Sekretaris Desa.
Selain itu terdapat juga perdes yang memuat
“tembusan” pada bagian penutupnya (misalnya
perdes Kutuh”, seharusnya tidak berisi ketentuan
tentang tembusan.
5. Lampiran Hampir semua Perdes tentang APBDes, Pungutan
Desa maupun sumbangan pihak ketiga secara lebih
terperinci dituangkan dalam Lampiran Perdes yang
bersangkutan.
Sumber: diolah oleh penulis
Dengan demikian maka jelas terlihat bahwa dari segi kerangka struktur pembentukan perdes yang
ada di Kabupaten Badung, masih mengandung beberapa kelemahan, disisi lain Penyusunan
Perdes juga harus selalu berada dalam koridor asas-asas dan norma-norma penyusunan PPU yg
38
Berdasarkan pada asas tersebut diatas berikut akan dikaji beberapa perdes di Kabupaten
Badung ditinjau dari Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-
asas tersebt merupakan syarat formal dan material dalam membentuk Perdes. Dalam tabel berikut
dapat dilihat perdes yang dibentuk dikaji dari syarat formal Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan:
Tabel.2
1. Kejelasan tujuan ; maka ke tiga perdes tersebut mempunyai tujuan yang jelas sebagaimana
dikemukakan pada bagian menimbang, yakni bahwa dibentuk dalam rangka melaksanakan
2. Kelembagaan; jelas yakni yang membentuk adalah perbekel (kepala desa) dengan
persetujuan BPD.
3. Kesesuaian Jenis dan Materi ; adalah sesuai karena substansi terkait APBDes, Sumbangan
pihak ketiga maupun pungutan desa harus diatur dalam perdes sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan
39
4. Dapat dilaksanakan ;Ketiga Perdes tersebut dapat dilaksanakan karena memang memuat
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan ;Ketiga perdes tersebut memang berguna sebagai pedoman
6. Kejelasan Rumusan ;Rumusan pasal-pasal dalam perdes tersebut sangat singkat untuk
APBDes terdiri dari 3-4 Pasal ,karena rincian dari pasal ada pada lampiran perdes tersebut.
Namun untuk Perdes sumbangan pihak ketiga maupun pungutan desa ada ketidak jelasan
dalam perumusannya yakni terkait arti dari sumbangan pihak ketiga maupun pungutan desa.
7. Keterbukaan; adalah terbuka dalam arti dibahas oleh perbekel dan BPD.BPD adalah
Tabel 3
40
Dari tabel tersebut diatas maka dapat dijelaskan bahwa dari asas-asas material
1. Asas Pengayoman ; disini terlihat bahwa ketiga materi muatan perdes dimaksudkan untuk
HAM terutama terkait hak dan kewajiban ekonomi, bagi pejabat desa, warga masyarakat
3. Asas Kebangsaan ;yang berarti bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan), maka dari ketiga jenis perdes
tersebut tidak terlihat, karena ketiga perdes tersebut hanya menonjolkan aspek ekonomi
4. Asas Kekeluargaan ; Hal ini jelas terlihat karena ketiga perdes tersebut lahir melalui proses
5. Asas Kenusantaraan ; secara materi, maka materi muatan perdes hanya mengatur
kepentingan dari desa yang bersangkutan, namun perdes yang dibentuk merupakan bagian
dari system hukum nasional, karena perdes yang dibentuk mendapat pembinaan dan
pengawasan dari pemerintah kabupaten dan juga evaluasi dari pemerintah kabupaten.
6. Asas Bhineka Tunggal Ika yang berarti bahwa setiap materi muatan PPU harus
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Terkait asas ini maka dalam ketiga perdes tersebut
memang menunjukkan adanya perhatian terhadap kondisi khusus daerah masing-masing, hal
41
ini dapat dilihat dari substansi pengalokasian dana di masing-masing desa yang terdapat
dalam APBDes, maupun dalam pungutan desa serta sumbangan pihak ketiga. Dimasing-
masing desa di Kabupaten Badung hal tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi daerah
yang bersangkutan.
7. Asas Keadilan ; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus mencerminkan keadilan
secara
8. proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.Dalam beberapa perdes yang dibentuk
belum mengatur secara adil terkait besaran kontribusi sumbangan pihak ketiga. Karena dalam
Perdes maupun lampirannya tidak dengan jelas misalnya merumuskan kenapa bank
sumbangannya sama dengan pasar tradisional/senggol, maupun mini market. Bank sendiri
ada yang merupakan bank nasional, bank daerah dan di desa ada LPD. Demikian juga di
perdes yang lain ada yang mencantumkan sumbangan oleh pihak ketiga berupa pengurusan
IMB untuk hotel mencapai angka Rp.50 Juta (untuk hotel bintang) dan Rp.25 juta (untuk
hotel Melati). Padahal pengurusan IMB yang berwenang adalah Pemda Kabupaten/kota.,
belum lagi biaya tersebut kemudian diikuti dengan sumbangan rutin perbulannya.
9. Kesamaan kedudukan ; adalah bahwa setiap materi muatan PPU tidak boleh berisi hal yang
tentang pungutan desa dan sumbangan pihak ketiga memang terlihat adanya pembedaan
terkait kontribusi yang harus dibayarkan oleh pihak ketiga kepada desa. Dasar pembedaannya
tidak jelas apakah berdasarkan besar kecilnya perusahaan ataukah jenis kegiatan yang
10. Ketertiban dan Kepastian hukum ; adalah bahwa setiap materi muatan PPU harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Perdes yang
42
dibentuk jelas dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga masyarakat
desa maupun pejabat desa dalam menerima/memungut maupun memanfaatkan dana desa.
11. Keseimbangan, keserasian dan Keselarasan ; bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.Hal ini
tidak terlihat dengan jelas dalam kaitan antara kepentingan indifidu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan Negara, karena perdes yang dibentuk saat ini hanya 2-3 perdes di
setiap desa, dan dibentuknya perdes sebagaian karena kepentingan ekonomi masyarakat desa.
43
BAB IV
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai be
rikut:
1. Peraturan desa merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang penting di
Indonesia, hal ini disebabkan sebagian besar penduduk Indonesia berada dipedesaa. Urgensi
perdes antara lain: Sesuai prinsip negara hukum adalah untuk memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat desa, Untuk melindungi secara
kewenangan yang dimiliki oleh desa secara turun temurun, kewenangan yang diserahkan
oleh kabupaten/kota, kewenangan dalam rangka tugas pembantuan dan kewenangan lainnya
No.6 Tahun 2014 tentag desa, Permendagri No.29 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pembentukan Peraturan Desa, meskipun dalam Pasal 7 (1) UU No.12 Tahun 2011 tidak
3. Suatu perdes agar dapat disebut sebagi Perdes yang baik (good legislation), harus memenuhi
syarat yang sudah ditentukan baik secara formal maupun material. Namun dalam
mencerminkan/belum sesuai dengan asas yang ada dan juga teknik pembentukan yang
ditentukan. Disisi lain perdes yang dihasilkan oleh setiap desa juga sangat minim, dimana
44
sebagian besar desa hanya menghasilkan perdes yang terkait masalah keuangan. Padahal
banyak materi yang dapat diatur dalam perdes yakni terkait urusan asal-usul desa, urusan
yang diserahkan oleh kabupaten/kota kepada desa (ada sekitar 200 urusan) dan juga urusan
dalam kerangka tugas pembantuan. Ada beberapa alas an yang menjadi penyebab minimnya
3.2. SARAN
Atas dasar beberapa persoalan tersebut diatas maka dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut:
1. Perlunya pelatihan ataupun sosialisasi tidak saja kepada pejabat di kabupaten tetapi juga di
sehingga desa dapat membentuk perdes sesuai dengan kebutuhan masyarakat di desanya.
45
DAFTAR PUSTAKA
1.Buku/Makalah
Halim ,Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009,Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual)
Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group.Jakarta.
Hans Kelsen, 2006,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul
Multtagen dari buku Hans Kelsen General Theory of Law and State, Penerbit Nusa Media
dan Penerbit Nuansa,Bandung.
Ibrahim, Jhony,2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang.
Luwihono, Slamet, Manfaat dan Arti Pentingnya Peraturan Desa bagi Upaya Pencapaian Kesejahteraan
Masyarakat Desa, www. percik.or.id
Pantja Astawa, Suprin Na’a, 2008 ,Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan
Indonesia,Alumni, Bandung.
Putra Kurnia,Mahendra, 2007 et all, Pedoman Naskah Akademis Perda Partisipatif, Kreasi Total
Media, Jogyakarta.
46
Trisantono Soemantri,Bambang, 2011, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Fokus
Media, Bandung.
2.Peraturan Perundang-Undangan.
Permendagri
3.Website
http://webcache.googleusercontent.com/sespim.polri.go.id=www.google.co.id
47