Studi Kasus Filhum
Studi Kasus Filhum
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
PAPER
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum yang diampu oleh
Prof. Dr. Suhariningsih, S.H., S.U.
Disusun oleh:
Muhammad Nizar Zulmi
226010100111017
MALANG
2022
A. Pendahuluan
Penulis menjumpai berita sengketa tanah ulayat pada portal berita Tribun
Medan yang memberitakan bahwa telah terjadi sengketa agraria antara
Masyarakat Hukum Adat Sihaporas dengan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di
wilayah adat Buttu Pangaturan, Pamatang Siamanik, Kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara. PT. TPL adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan. Menurut kesaksian Masyarakat Hukum Adat (MHA) Sihaporas,
tanah ulayat mereka kini telah dikuasai oleh PT. TPL. MHA Sihaporas menuntut
agar PT. TPL tidak boleh melakukan kegiatan apapun termasuk kegiatan
pembibitan tanaman eucalyptus pada tanah ulayat yang masih dalam sengketa.
1
Masalah lain kemudian timbul dengan hadirnya Polisi dan TNI yang datang
ke lokasi konflik untuk meninjau pembibitan dan membuka blokade yang
dilakukan oleh MHA Sihaporas. Warga memblokade akses jalan dengan
melintangkan pohon di tengah jalan. Aparat TNI dan Polisi yang ingin membuka
blokade dihalangi oleh warga sehingga terjadi dorong-dorongan. Suasana
menjadi semakin memanas, yang pada akhirnya Polisi melakukan tembakan ke
udara untuk memperingatkan warga. Nahas, entah bagaimana bisa terjadi tiba-
tiba tembakan tersebut mengenai salah seorang wanita bernama Juliana
Siallagan.
Negosiasi pun dilakukan antara aparat dengan warga yang menuntut agar
PT. TPL tidak melanjutkan aktivitas di tanah ulayat mereka. Dalam kesempatan
yang sama, Binsar Situmorang selaku Staf Ahli Bidang Hukum, Politik, dan
Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara berpesan agar MHA Sihaporas
memahami legalitas fomal dari agenda PT. TPL. Sedangkan PT. TPL juga harus
memahami apa yang menjadi keinginan MHA Sihaporas. 1
Sengketa agraria antara PT. TPL dengan MHA Sihaporas harus diselesaikan
secara hukum. Sesuai dengan yang tertuang dalam konstitusi pada Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum Indonesia
sejatinya merupakan hukum turunan yang berasal dari Belanda, mengingat dari
segi sejarah bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. Konsekuensi
dari penjajahan tersebut menghasilkan suatu pengaruh dianutnya sistem hukum
eropa kontinental oleh negara Indonesia. Sistem hukum eropa kontinental
penekanannya cenderung kepada hukum yang tertulis, sehingga peraturan
perundang-undangan menduduki peran penting dan dominan dalam sistem
hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, frasa bahwa Indonesia merupakan
negara hukum tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan memaknai bahwa
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan hukum tertulis saja. Hukum
yang hidup di masyarakat (living law) yang tidak tertulis telah jauh lebih dulu
ada dan berlaku di masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Belanda.
2. Rumusan Masalah
3
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis memfokuskan pada rumusan
masalah yaitu bagaimana pengakuan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat
Sihaporas ditinjau dari segi aliran filsafat hukum positivisme dan aliran
sociological jurisprudence?
2
Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, Rajagrafindo Persada, Depok, 2017, hlm. 10.
3
Ibid.
4
Pengertian lain juga dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dkk, yang menjelaskan
bahwa hak dari persekutuan masyarakat hukum adat untuk mengolah tanah-tanah di
sekeliling desa guna kepentingan persekutuan itu atau kepada orang di luar
persekutuan dengan memberikan bagi hasil olah tanah disebut tanah ulayat. 4 Pasal 1
angka 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Kesatuan MHA menjelaskan bahwa hak ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
atau yang serupa itu adalah hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat
komunal untuk menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan
wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.
Hak ulayat dan hak perorangan memiliki hubungan yang dikenal dengan istilah
mulur-mungkret atau kembang-kempis yang memiliki arti yaitu semakin kuat hak
perorangan, maka hak ulayat akan melemah. Namun, apabila hak perorangan
semakin melemah, maka hak ulayat semakin menguat. Makna lain juga bisa
dikatakan bahwa jika tanah tidak dikelola, maka haknya akan hilang. Akan tetapi jika
tanahnya dikelola, maka haknya akan tetap eksis dan menguat.
Dalam penulisan paper ini, penulis mengurai studi kasus tanah ulayat ini dengan
menggunakan aliran filsafat hukum positivisme dan aliran sociological jurisprudence.
Penulis menggunakan aliran positivisme hukum untuk meninjau terkait pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat oleh hukum negara. Aliran positivisme hukum
adalah suatu aliran yang berkonsentrasi pada norma-norma positif dalam sistem
peraturan perundang-undagan di suatu negara. 5 Penerapan aliran positivisme terkait
pengakuan tanah ulayat MHA Sihaporas telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat
hukum adat telah diterima dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia.
d. sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat
sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian lain tentang masyarakat hukum adat juga terdapat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 1 angka 1 yaitu, Warga Negara
Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis
sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan/atau kesamaan
tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup,
serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun. Kriteria yang
7
dibangun merupakan alat untuk mengenali suatu komunitas hukum adat. Kriteria
bukan untuk meniadakan keberadaan sutau komunitas hukum adat, tetapi juga
bukan membuat kelompok masyarakat hukum adat yang baru.
8
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
6
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim B, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Depok, 2017, hlm. 120.
10
Aliran sociological jurisprudence mendefinisikan bahwa hukum yang ideal
berasal dari hukum yang hidup di masyarakat. Hukum yang hidup di masyarakat
dapat dipersamakan dengan hukum adat. Hukum Adat sendiri memiliki pengertian
yaitu hukum yang mencerminkan kepribadian jiwa bangsa, maka diyakini bahwa
sebagian pranata hukum Adat tentu masih relevan menjadi bahan dalam membentuk
sistem hukum Indonesia. Hukum Adat yang tidak lagi dapat dipertahankan akan
lenyap dengan berjalannya waktu, sesuai dengan sifat hukum adat yang fleksibel
dan dinamis (tidak statis). Savigny sebagaimana dikutip oleh Soepomo menegaskan
bahwa Hukum Adat adalah hukum yang hidup, karena merupakan penjelmaan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri, hukum adat terus
menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Senada
dengan Savigny, van Vollenhoven mengatakan bahwa “hukum adat pada waktu yang
telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan”.
Hilman Hadikusuma dalam bukunya yang berjudul “Pengantar ilmu hukum adat
di Indonesia”, mengungkapkan bahwa hukum adat di Indonesia mempunyai corak-
corak tertentu. Adapun corak-corak hukum adat di Indonesia adalah sebagai
berikut:8
a. Magis-Religius
Magis religius sendiri berarti hukum adat tersebut tidak lepas dari hal-hal
yang berhubungan dengan keagamaan. Apabila dinalar atau dipikir secara
logis maka perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikatakan tidak rasional dan
tidak memiliki bentuk intelektual. Hal tersebut diakibatkan dari sifatnya yang
kosmis. Kehidupan bermasyarakatnya pun sangat erat dengan unsur
keagamaan dan alam.
b. Tradisional
7
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim B, loc cit.
8
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 33-38.
11
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang
keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Misalnya dalam hukum kekerabatan orang Batak yang menarik
garis keturunan lelaki, sejak dulu sampai sekarang tetap saja
mempertahankan hubungan kekerabatannya yang disebut “dalihan na tolu”.
c. Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya
ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, di mana kepentingan pribadi
itu diliputi oleh kepentingan bersama. Hubungan hukum antara anggota
masyarakat yang satu dengan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan,
kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong.
g. Tidak dikodifikasi
12
Hukum adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun juga ada yang dicatat dalam
aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak
sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman bukan mutlak harus
dilaksanakan, kecuali yang bersifat perintah Tuhan.
9
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 96.
13
sociological jurisprudence justru lebih mudah menyesuaikan karena mengikuti hukum
yang hidup dalam masyarakat.
C. Penutup
Kesimpulan
2. Pemanfaatan atas tanah ulayat bukan saja boleh dilakukan oleh anggota
masyarakat hukum adat, melainkan pihak luar juga boleh memanfaatkan
tanah ulayat atas seizin fungsionaris adat atau kepala adat setempat.
Masyarakat Hukum Adat Sihaporas merasa PT. Toba Pulp Lestari telah masuk
ke wilayah adat tanpa seizin fungsionaris adat yang berakibat timbulnya
sengketa tanah ulayat. Sengketa tersebut harus diselesaikan dengan
musyawarah mufakat berdasarkan hukum yang masih hidup pada Masyarakat
Hukum Adat Sihaporas yang sesuai dengan paham aliran sociological
jurisprudence.
Saran
14
sehingga nantinya konflik agraria dapat dihindarkan karena batas tanah
ulayat dengan lahan kebun milik PT. Toba Pulp Lestari menjadi jelas.
15
Daftar Pustaka
Buku
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Mandar Maju,
Bandung, 2014.
Gede Atmadja, I Dewa, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press,
Malang, 2013.
Simorangkir, J.C.T dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Sembiring, Rosndiar, Hukum Pertanahan Adat, Rajagrafindo Persada, Depok, 2017.
Prasetyo, Teguh dan Halim B, Abdul, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada,
Depok, 2017.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3886
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3888
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5234
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 5495
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 5587
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Berita Negara No. 951
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Berita Negara No. 1127
Situs internet
https://medan.tribunnews.com/2022/08/23/wanita-masyarakat-adat-sihaporas-kena-
tembakan-peluru-polisi-saat-berebut-lahan-dengan-pt-tpl?page=all, diakses pada tanggal
24 September 2022 pukul 19.32 WIB.
16