Anda di halaman 1dari 17

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PAPER

Analisis Aliran Filsafat Hukum Positivisme dan Aliran Sociological Jurisprudence


Terhadap Pengakuan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Sihaporas

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum yang diampu oleh
Prof. Dr. Suhariningsih, S.H., S.U.

Disusun oleh:
Muhammad Nizar Zulmi
226010100111017

MALANG
2022
A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Tanah memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan suatu


negara. Fungsi penggunaan tanah dalam kehidupan masyarakat begitu banyak,
seperti untuk tempat tinggal, untuk mempertahankan kehidupan, sebagai alat
pengikat antar anggota persekutuan, dan sebagai simbol bertahannya suatu
persekutuan. Negara Indonesia telah memiliki suatu peraturan yang membahas
tentang hukum tanah atau hukum agraria yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Tidaklah berlebihan manakala jika tanah merupakan salah satu sumber


utama yang menjadi kebutuhan dan kepentingan semua orang, baik individu
maupun badan hukum. Masyarakat hukum adat termasuk entitas yang
membutuhkan tanah untuk sarana beribadah, sarana perekonomian, dan sarana
peristirahatan terakhir apabila manusia telah meninggal dunia. Tanah sangat
penting bagi siapa pun, karena tanah digunakan untuk menunjang aktivitas
manusia sehingga perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan agar
tercipta kepastian dan kemanfaatan. Sesuai dengan fungsinya yang multidimensi
dan dapat menimbulkan potensi konflik yang seakan tidak pernah habisnya.
Konflik agraria antara masyarakat hukum adat dengan perusahaan masih sering
kita jumpai. Penulis menemukan contoh permasalahan sengketa tanah ulayat
antara suatu perusahaan dengan Masyarakat Hukum Adat Sihaporas yang terjadi
di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Penulis menjumpai berita sengketa tanah ulayat pada portal berita Tribun
Medan yang memberitakan bahwa telah terjadi sengketa agraria antara
Masyarakat Hukum Adat Sihaporas dengan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di
wilayah adat Buttu Pangaturan, Pamatang Siamanik, Kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara. PT. TPL adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan. Menurut kesaksian Masyarakat Hukum Adat (MHA) Sihaporas,
tanah ulayat mereka kini telah dikuasai oleh PT. TPL. MHA Sihaporas menuntut
agar PT. TPL tidak boleh melakukan kegiatan apapun termasuk kegiatan
pembibitan tanaman eucalyptus pada tanah ulayat yang masih dalam sengketa.

1
Masalah lain kemudian timbul dengan hadirnya Polisi dan TNI yang datang
ke lokasi konflik untuk meninjau pembibitan dan membuka blokade yang
dilakukan oleh MHA Sihaporas. Warga memblokade akses jalan dengan
melintangkan pohon di tengah jalan. Aparat TNI dan Polisi yang ingin membuka
blokade dihalangi oleh warga sehingga terjadi dorong-dorongan. Suasana
menjadi semakin memanas, yang pada akhirnya Polisi melakukan tembakan ke
udara untuk memperingatkan warga. Nahas, entah bagaimana bisa terjadi tiba-
tiba tembakan tersebut mengenai salah seorang wanita bernama Juliana
Siallagan.

Negosiasi pun dilakukan antara aparat dengan warga yang menuntut agar
PT. TPL tidak melanjutkan aktivitas di tanah ulayat mereka. Dalam kesempatan
yang sama, Binsar Situmorang selaku Staf Ahli Bidang Hukum, Politik, dan
Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara berpesan agar MHA Sihaporas
memahami legalitas fomal dari agenda PT. TPL. Sedangkan PT. TPL juga harus
memahami apa yang menjadi keinginan MHA Sihaporas. 1

Masyarakat hukum adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia


untuk merujuk kepada masyarakat asli yang mendiami wilayah Indonesia. Dalam
ilmu hukum dan teori secara formal dikenal masyarakat hukum adat, namun
dalam perkembangan terakhir masyarakat asli menolak dikelompokkan hanya
dalam perspektif hukum saja, tetapi mereka perlu dilihat dalam segala aspek
dan tingkatan kehidupan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek
hukum yang berbeda dengan subjek hukum lainnya. Keberadaan hukum adat
telah tercantum dalam rumusan Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan, “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-Undang”. Pengakuan negara terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat itu sekaligus pengakuan terhadap hukum adatnya.
Selanjutnya, pada Pasal 28I ayat (3) menyebutkan, “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Lalu pada Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
1
Array A. Argus, https://medan.tribunnews.com/2022/08/23/wanita-masyarakat-adat-sihaporas-kena-tembakan-
peluru-polisi-saat-berebut-lahan-dengan-pt-tpl?page=all, diakses pada tanggal 24 September 2022 pukul 19.32
WIB.
2
1945 juga menyebutkan, ayat (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Lalu pada ayat
(2) yang berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional”. Dengan demikian, berlakunya hukum adat bukanlah
tergantung kepada penguasa negara atau tergantung kepada kemauan politik
penyelenggara negara, melainkan bagian dari kehendak konstitusi.

Sengketa agraria antara PT. TPL dengan MHA Sihaporas harus diselesaikan
secara hukum. Sesuai dengan yang tertuang dalam konstitusi pada Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum Indonesia
sejatinya merupakan hukum turunan yang berasal dari Belanda, mengingat dari
segi sejarah bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. Konsekuensi
dari penjajahan tersebut menghasilkan suatu pengaruh dianutnya sistem hukum
eropa kontinental oleh negara Indonesia. Sistem hukum eropa kontinental
penekanannya cenderung kepada hukum yang tertulis, sehingga peraturan
perundang-undangan menduduki peran penting dan dominan dalam sistem
hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, frasa bahwa Indonesia merupakan
negara hukum tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan memaknai bahwa
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan hukum tertulis saja. Hukum
yang hidup di masyarakat (living law) yang tidak tertulis telah jauh lebih dulu
ada dan berlaku di masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Belanda.

Sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku dan


mengacu pada sistem norma yang ada di Indonesia. Dengan pemahaman lain,
hukum Indonesia adalah hukum positif yang berlaku secara sah. Sistem norma
ini tidak hanya didominasi oleh aliran filsafat positivisme hukum saja, melainkan
juga perpaduan dan percampuran antara aliran filsafat positivisme hukum
dengan aliran sociological jurisprudence. Dengan demikian, berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji penulisan makalah ini
dengan judul “Analisis Aliran Filsafat Hukum Positivisme dan Aliran Sociological
Jurisprudence Terhadap Pengakuan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Sihaporas”.

2. Rumusan Masalah

3
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis memfokuskan pada rumusan
masalah yaitu bagaimana pengakuan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat
Sihaporas ditinjau dari segi aliran filsafat hukum positivisme dan aliran
sociological jurisprudence?

B. Hasil dan Pembahasan

Konstitusi Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang


Dasar tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.” Undang-Undang yang mengatur terkait hak ulayat tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Tanah ulayat memiliki pengertian yaitu tanah bersama masyarakat hukum


adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat hukum adat
disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak di dalam
wilayahnya. Pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi “hak menguasai dari
Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.” Penjelasan hak ulayat selanjutnya diperkuat pada Pasal 3 UUPA bahwa
yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat, dengan kriteria sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa dan
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Van Vollenhoven
menyebut istilah hak ulayat sebagai beschikkingsrecht yang merupakan hak
menguasai tanah dalam arti masyarakat hukum adat tidak sampai
memperjualbelikan tanah di dalam wilayah adatnya. 2 Ter Haar memberikan definisi
beschikkingsrecht yaitu suatu hak kolekif yang hanya boleh dimiliki oleh persekutuan
masyarakat hukum adat dan tidak dapat dimiliki secara individu maupun keluarga. 3

2
Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, Rajagrafindo Persada, Depok, 2017, hlm. 10.
3
Ibid.
4
Pengertian lain juga dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dkk, yang menjelaskan
bahwa hak dari persekutuan masyarakat hukum adat untuk mengolah tanah-tanah di
sekeliling desa guna kepentingan persekutuan itu atau kepada orang di luar
persekutuan dengan memberikan bagi hasil olah tanah disebut tanah ulayat. 4 Pasal 1
angka 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Kesatuan MHA menjelaskan bahwa hak ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
atau yang serupa itu adalah hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat
komunal untuk menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan
wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.

Hak ulayat dan hak perorangan memiliki hubungan yang dikenal dengan istilah
mulur-mungkret atau kembang-kempis yang memiliki arti yaitu semakin kuat hak
perorangan, maka hak ulayat akan melemah. Namun, apabila hak perorangan
semakin melemah, maka hak ulayat semakin menguat. Makna lain juga bisa
dikatakan bahwa jika tanah tidak dikelola, maka haknya akan hilang. Akan tetapi jika
tanahnya dikelola, maka haknya akan tetap eksis dan menguat.

1. Analisis aliran positivisme hukum Terhadap Pengakuan Tanah Ulayat


Masyarakat Hukum Adat Sihaporas

Dalam penulisan paper ini, penulis mengurai studi kasus tanah ulayat ini dengan
menggunakan aliran filsafat hukum positivisme dan aliran sociological jurisprudence.
Penulis menggunakan aliran positivisme hukum untuk meninjau terkait pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat oleh hukum negara. Aliran positivisme hukum
adalah suatu aliran yang berkonsentrasi pada norma-norma positif dalam sistem
peraturan perundang-undagan di suatu negara. 5 Penerapan aliran positivisme terkait
pengakuan tanah ulayat MHA Sihaporas telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat
hukum adat telah diterima dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia.

Sistem hukum Indonesia telah mengaktualisasikan rantai norma hukum ke


dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
4
J.C.T Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 3.
5
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 12-13.
5
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang a quo menyebutkan mengenai jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sub bagian ini akan memberikan penjelasan ringkas mengenai pengaturan


keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Menariknya, sejumlah peraturan perundang-undangan nasional
dan produk-produk hukum daerah yang mengakui keberadaan masyarakat hukum
adat semakin bertambah. Adapun peraturan perundang-undangan tersebut antara
lain yaitu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan masih banyak
peraturan perundang-undangan lainnya termasuk Peraturan Menteri Dalam Negeri
dan Peraturan Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang juga mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka.

Adapun berbagai peraturan perundangan-undangan yang telah mengatur dan


memuat kriteria masyarakat hukum adat. Pertama, berdasarkan Undang-Undang No.
41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kehutanan, bahwa kriteria masyarakat hukum
adat adalah sebagai berikut:

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);


b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
6
Kedua, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
mengatur tentang pemerintahan dalam tingkat desa adat yang salah satunya
mengatur terkait penetapan susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa
jabatan kepala desa adat berdasarkan hukum adat. Ketiga, Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) yang berbunyi
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat,
dan Pemerintah”. Lalu pada ayat (2) spesifik menyinggung terkait hak ulayat yang
berbunyi, “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Keempat, Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 96 mengatur terkait penataan desa adat yang
mana Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan
ditetapkan menjadi desa adat.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan No. 18


Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat kesatuan masyarakat
hukum adat mendefinisikan kesatuan masyarakat hukum adat:

a. sebagai sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama,

b. hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan


asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal,

c. memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama, serta

d. sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat
sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian lain tentang masyarakat hukum adat juga terdapat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 1 angka 1 yaitu, Warga Negara
Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis
sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan/atau kesamaan
tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup,
serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun. Kriteria yang

7
dibangun merupakan alat untuk mengenali suatu komunitas hukum adat. Kriteria
bukan untuk meniadakan keberadaan sutau komunitas hukum adat, tetapi juga
bukan membuat kelompok masyarakat hukum adat yang baru.

Adapun Peraturan Daerah yang mengatur pengakuan masyarakat hukum adat


secara umum memiliki tipologi kriteria yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat. Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat, gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat dengan membentuk Panitia Masyarakat
Hukum Adat kabupaten/kota. Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat,
terdiri atas:

a. Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua;


b. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi
pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
c. Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai anggota;
d. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan
e. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum adat
sebagai anggota.

Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan


dengan Keputusan Bupati/walikota. Tahapan pengakuan dan perlindungan dilakukan
dengan cara:

a. identifikasi masyarakat hukum adat;


b. verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat; dan
c. penetapan masyarakat hukum adat.

Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi dengan


melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat. Identifikasi
masyarakat hukum adat dilakukan dengan mencermati paling sedikit memuat data
dan informasi mengenai:

a. sejarah masyarakat hukum adat;


b. pemetaan wilayah adat;
c. hukum adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

8
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota melakukan verifikasi dan


validasi hasil identifikasi. Setelah dilakukan proses tersebut, hasil verifikasi dan
validasi diumumkan kepada masyarakat hukum adat setempat dalam waktu 1 (satu)
bulan. Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan rekomendasi
kepada Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi. Selanjutnya,
Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia masyarakat hukum adat dengan
keputusan Kepala Daerah. Tetapi, apabila masyarakat hukum adat berada di 2 (dua)
atau lebih kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat
ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah. Oleh karena itu, identifikasi
awal keberadaan suatu masyarakat hukum adat adalah berawal dari pengakuan
komunitas tersebut sebagai komunitas masyarakat hukum adat atau self
identification, kemudian pengakuan pemerintah dalam bentuk Peraturan Daerah.
Pengakuan keberadaan MHA Sihaporas dalam bentuk peraturan daerah belum
pernah penulis temukan dalam proses penyusunan paper ini. Hal ini bertolak
belakang dengan konstitusi yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Menurut penulis, pemaknaan bahwa Indonesia merupakan negara
hukum yang mana setiap tindakan Pemerintah atau Penyelenggara Negara haruslah
diwujudkan melalui produk hukum yang tertulis. Produk hukum yang tertulis ini
sejatinya bertujuan untuk menciptakan suatu kepastian hukum. Hal dikarenakan
memang ciri khas hukum negara yang harus ditulis dan diundangkan pada lembaran
negara maupun lembaran daerah.

Menurut Friedrich Julius Stahl yang menerangkan konsep negara hukum


rechtstaat mengungkapkan bahwa karakteristik dari negara hukum salah satunya
adalah penyelenggaran pemerintahan yang berlandaskan peraturan. Maka sudah
sepatutnya perwujudan segala kebijakan dan tindakan pemerintah dituangkan dalam
bentuk peraturan. Dalam konteks studi kasus yang penulis jabarkan pada paper ini,
Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun seharusnya sadar dan mengetahui akan
permasalahan sengketa tanah ulayat antara MHA Sihaporas dengan PT. TPL.
Pengakuan tentang keberadaan MHA Sihaporas ini secara otomatis juga akan
mengakui tanah ulayat mereka sebagai hak kolektifnya. Sementara itu, MHA
Sihaporas juga harus terus proaktif untuk mengajukan diri sebagai suatu kelompok
9
Masyarakat Hukum Adat yang masih eksis dengan dibuktikan adanya wilayah adat
tersebut. Jika wilayahnya saja sudah tidak dapat teridentifikasi, maka dapat
dipastikan eksistensi MHA Sihaporas akan pudar dan berpotensi tidak diakui
keberadaannya.

Pengakuan keberadaan MHA Sihaporas harus dituangkan dalam Peraturan


Daerah Kabupaten Simalungun sesuai dengan aliran filsafat positivisme hukum yang
mengedepankan pada hukum tertulis demi terciptanya kepastian. Pada akhirnya,
dengan diakuinya MHA Sihaporas oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun dapat
meminimalkan konflik agraria karena batas tanah ulayat MHA Sihaporas dengan
lahan perkebunan PT. Toba Pulp Lestari menjadi terang dan jelas.

2. Analisis aliran sociological jurisprudence Terhadap Pengakuan Tanah


Ulayat Masyarakat Hukum Adat Sihaporas

Analisis sociological jurisprudence penulis sertakan dalam penulisan paper ini.


Menurut penulis, pembahasan hak ulayat MHA Sihaporas sebagai hak kolektif
persekutuan merupakan irisan dari hukum agraria. Hukum agraria sendiri sejatinya
tidak hanya bersumber dari hukum tertulis saja, melainkan juga bersumber dari
hukum adat. Aliran sociological jurisprudence adalah suatu aliran yang memisahkan
secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat ( living
law). Aliran positivisme berasal dari proses dialektika antara antitesis madzhab
sejarah dengan tesis positivisme hukum. Roscoe Pound adalah tokoh yang
memperkenalkan dan mempelopori aliran positivisme hukum yang tumbuh dan
berkembang di Amerika. Selain Roscoe Pound, Benjamin Cordozo dan Kantorowics
juga jadi tokoh aliran positivisme hukum ini. Di Eropa juga terdapat ahli hukum yang
bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), ia merupakan pionir aliran sociological
jurisprudence yang berasal dari Austria. Ia menulis sebuah karya yang membahas
tentang hukum yang dipandang berdasarkan sudut sosiologi yang berjudul
Grundlegung der Soziologie des Recht pada tahun 1936. Ehrlich juga mengajarkan
bahwa perkembangan hukum itu tidak terdapat dalam undang-undang, tidak juga
dalam ilmu hukum, tidak juga dalam putusan pengadilan, melainkan di dalam
masyarakat itu sendiri.6

6
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim B, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Depok, 2017, hlm. 120.
10
Aliran sociological jurisprudence mendefinisikan bahwa hukum yang ideal
berasal dari hukum yang hidup di masyarakat. Hukum yang hidup di masyarakat
dapat dipersamakan dengan hukum adat. Hukum Adat sendiri memiliki pengertian
yaitu hukum yang mencerminkan kepribadian jiwa bangsa, maka diyakini bahwa
sebagian pranata hukum Adat tentu masih relevan menjadi bahan dalam membentuk
sistem hukum Indonesia. Hukum Adat yang tidak lagi dapat dipertahankan akan
lenyap dengan berjalannya waktu, sesuai dengan sifat hukum adat yang fleksibel
dan dinamis (tidak statis). Savigny sebagaimana dikutip oleh Soepomo menegaskan
bahwa Hukum Adat adalah hukum yang hidup, karena merupakan penjelmaan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri, hukum adat terus
menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Senada
dengan Savigny, van Vollenhoven mengatakan bahwa “hukum adat pada waktu yang
telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan”.

Eugen Ehrlich menyebut aliran sociological jurisprudence dengan istilah khasnya


yaitu living law. Menurutnya, sumber hukum berasal dari dua unsur:7

1. Legal history and jurisprudence, yaitu penggunaan preseden dan komentar


tertulis.

2. Living law yang tumbuh dari kebiasaan mutakhir dalam masyarakat.

Hilman Hadikusuma dalam bukunya yang berjudul “Pengantar ilmu hukum adat
di Indonesia”, mengungkapkan bahwa hukum adat di Indonesia mempunyai corak-
corak tertentu. Adapun corak-corak hukum adat di Indonesia adalah sebagai
berikut:8

a. Magis-Religius
Magis religius sendiri berarti hukum adat tersebut tidak lepas dari hal-hal
yang berhubungan dengan keagamaan. Apabila dinalar atau dipikir secara
logis maka perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikatakan tidak rasional dan
tidak memiliki bentuk intelektual. Hal tersebut diakibatkan dari sifatnya yang
kosmis. Kehidupan bermasyarakatnya pun sangat erat dengan unsur
keagamaan dan alam.

b. Tradisional

7
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim B, loc cit.
8
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 33-38.
11
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang
keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Misalnya dalam hukum kekerabatan orang Batak yang menarik
garis keturunan lelaki, sejak dulu sampai sekarang tetap saja
mempertahankan hubungan kekerabatannya yang disebut “dalihan na tolu”.

c. Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya
ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, di mana kepentingan pribadi
itu diliputi oleh kepentingan bersama. Hubungan hukum antara anggota
masyarakat yang satu dengan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan,
kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong.

d. Konkret dan visual


Corak hukum adat adalah konkret, artinya jelas, nyata, berwujud. Sedangkan
visual artinya dapat dilihat, tampak, terbuka dan tidak tersembunyi. Jadi sifat
hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu terang dan tunai, tidak
samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain,
dan nampak terjadi serah terimanya.

e. Terbuka dan sederhana


Corak hukum adat itu terbuka artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur
yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat
itu sendiri. Arti sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak
administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan
dilaksanakan berdasar saling percaya.

f. Dapat berubah dan menyesuaikan


Hukum adat itu dapat berubah, menurut keadaan, waktu dan tempat. Adat
yang nampak pada kita sekarang sudah jauh beda dari adat di masa Hindia
Belanda. Begitu pula apa yang dikatakan di atas kebanyakan transaksi tidak
dibuat dengan bukti tertulis, namun sekarang dikarenakan kemajuan
pendidikan dan banyaknya penipuan, maka sudah banyak pula setiap
transaksi itu dibuat dengan surat menyurat walaupun di bawah tangan.

g. Tidak dikodifikasi

12
Hukum adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun juga ada yang dicatat dalam
aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak
sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman bukan mutlak harus
dilaksanakan, kecuali yang bersifat perintah Tuhan.

h. Musyawarah dan mufakat

Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, di dalam


keluarga, di dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan, baik untuk
memulai maupun mengakhiri pekerjaan, apalagi bersifat peradilan dalam
menyelesaikan perselisihan.

Tanah yang terdapat dalam lingkungan Masyarakat Hukum Adat merupakan


objek tanah hak ulayat. Lalu, yang menjadi subjek dari tanah ulayat tersebut adalah
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pemanfaatan atas tanah ulayat bukan
saja boleh dilakukan oleh anggota masyarakat hukum adat, melainkan pihak luar
juga boleh memanfaatkan tanah ulayat atas seizin fungsionaris adat atau kepala adat
setempat.9 Apabila dihubungkan dalam studi kasus yang penulis angkat, Masyarakat
Hukum Adat Sihaporas merasa wilayah adatnya diganggu oleh PT. Toba Pulp Lestari.
PT. Toba Pulp Lestari dianggap bertindak seenaknya sendiri tanpa meminta izin
terlebih dahulu kepada fungsionaris MHA Sihaporas, sehingga berakibat timbulnya
sengketa wilayah.

Timbulnya sengketa wilayah ini tentu membutuhkan suatu penyelesaian.


Penyelesaian yang khas menurut hukum adat adalah dengan musyawarah untuk
mencapai mufakat. Musyawarah ini bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan
tanah ulayat yang terjadi antara MHA Sihaporas dengan PT. TPL. Penyelesaian
sengketa dalam hukum adat biasanya diselesaikan oleh lembaga adat yang
berwenang untuk memutuskan suatu konflik. Hukum yang digunakan pun tidak
terkodifikasi. Hal ini sesuai dengan ciri corak hukum adat yang kebanyakan tidak
ditulis, walaupun juga ada yang dicatat dalam aksara daerah, bahkan ada yang
dibukukan dengan cara yang tidak sistematis. Tidak ditulisnya hukum adat ini sangat
berbeda konsepnya dengan paham aliran positivisme hukum yang lebih
mengutamakan hukum harus tertulis demi tercapainya kepastian hukum. Hukum
yang tertulis justru terkesan kaku ketika akan diubah atau direvisi. Pada aliran

9
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 96.
13
sociological jurisprudence justru lebih mudah menyesuaikan karena mengikuti hukum
yang hidup dalam masyarakat.

Kembali pada pembahasan terkait penyelesaian sengketa tanah ulayat bahwa


PT. Toba Pulp Lestari harus menerima konsekuensi atas perbuatannya karena telah
masuk ke wilayah adat tanpa seizin fungsionaris adat. Maka dengan ini, perusahaan
tersebut dianggap telah melakukan tindak pidana adat yang mana secara das sollen,
korporasi perkebunan tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana adat sesuai hukum adat
yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat Sihaporas.

C. Penutup

Kesimpulan

1. Pengakuan tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat Sihaporas secara


otomatis juga akan mengakui tanah ulayat mereka sebagai hak kolektifnya.
Pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat Sihaporas harus dituangkan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun sesuai dengan aliran filsafat
positivisme hukum yang mengedepankan pada hukum tertulis demi
terciptanya kepastian. Pada akhirnya, dengan diakuinya Masyarakat Hukum
Adat Sihaporas oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun dapat meminimalkan
konflik agraria karena batas tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat Sihaporas
dengan lahan perkebunan PT. Toba Pulp Lestari menjadi terang dan jelas.

2. Pemanfaatan atas tanah ulayat bukan saja boleh dilakukan oleh anggota
masyarakat hukum adat, melainkan pihak luar juga boleh memanfaatkan
tanah ulayat atas seizin fungsionaris adat atau kepala adat setempat.
Masyarakat Hukum Adat Sihaporas merasa PT. Toba Pulp Lestari telah masuk
ke wilayah adat tanpa seizin fungsionaris adat yang berakibat timbulnya
sengketa tanah ulayat. Sengketa tersebut harus diselesaikan dengan
musyawarah mufakat berdasarkan hukum yang masih hidup pada Masyarakat
Hukum Adat Sihaporas yang sesuai dengan paham aliran sociological
jurisprudence.

Saran

1. Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun harus mengakui keberadaan


Masyarakat Hukum Adat Sihaporas dengan membentuk Peraturan Daerah,

14
sehingga nantinya konflik agraria dapat dihindarkan karena batas tanah
ulayat dengan lahan kebun milik PT. Toba Pulp Lestari menjadi jelas.

2. Masyarakat Hukum Adat Sihaporas juga harus terus proaktif untuk


mengajukan diri sebagai suatu kelompok Masyarakat Hukum Adat yang masih
eksis dengan dibuktikan adanya tanah ulayat tersebut.

15
Daftar Pustaka
Buku
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Mandar Maju,
Bandung, 2014.
Gede Atmadja, I Dewa, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press,
Malang, 2013.
Simorangkir, J.C.T dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Sembiring, Rosndiar, Hukum Pertanahan Adat, Rajagrafindo Persada, Depok, 2017.
Prasetyo, Teguh dan Halim B, Abdul, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada,
Depok, 2017.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3886
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3888
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5234
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 5495
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 5587
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Berita Negara No. 951
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Berita Negara No. 1127
Situs internet
https://medan.tribunnews.com/2022/08/23/wanita-masyarakat-adat-sihaporas-kena-
tembakan-peluru-polisi-saat-berebut-lahan-dengan-pt-tpl?page=all, diakses pada tanggal
24 September 2022 pukul 19.32 WIB.

16

Anda mungkin juga menyukai