Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK

GAGAL GINJAL KRONIK


I.             KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK
1.1  DEFINISI
Ginjal adalah sepasang organ retroperitoneal yang integral dengan homeostasis tubuh
dalam mempertahankan keseimbangan fisika dan kimia. Ginjal menyekresi hormon dan enzim
yang membantu pengaturan produksi eritrosit, tekanan darah serta metabolisme kalsium dan
fosfor. Ginjal membuang sisa metabolism dan menyesuaikan ekskresi air daan pelarut. Ginjal
mengatur cairan tubuh, asiditas, dan elektrolit sehingga mempertahankan komposisi cairan yang
normal. (Mary Baradero, 2008 : 1)

Gambar 1.1 : Letak Ginjal Dalam Tubuh Manusia


Gagl ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal
yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi
glomerulus kurang dari 50ml/min. (Suyono.et.al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbanga cairann
dn elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)

1.2  ETIOLOGI
Klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik antara lain:
1.      Infeksi Tubulointestinal : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
2.      Penyakit Peradangan : Glomerulonefritis.
3.      Penyakit Vaskular Hipertensif : Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis Arteria Renalis.
4.      Gangguan Jaringan Ikat : Lupus Aritematosus Sistemik
Polioarteritis Nadosa
Sklerosis Sistemik Progresif.
5.      Gangguan Kongenital & Herediter : Penyakit Ginjal Polikistik
Asidosis Tubulus Ginjal.
6.      Penyakit Metabolik : Diabetes Melitus, Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis.
7.      Nefropati Toksik : Penyalahgunaan analgesic
Nefropati Timah.
8.      Nefropati obstruksi
Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, fibrosis, retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah : hipertrofi prostat, striktus uretra, anomaly
congenital leher vesika urinaria dan uretra.
5 : 918)

1.3  PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagai nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) di
duga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesis nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi
dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bsa
diabsorpsi berakibat diuretik osmotic disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yangrusak bertambah banyak oligouri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun 15ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C.Long 1996
: 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normal diekskresikan ke
dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh.
Semakin banyak timmbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala
uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Sunddarth, 2001 : 1448)
Tahap perkembangan gagal ginjal kronik (Mary Baradero, 2008 :124-125)
1.      Penurunan cadangan ginjal
   Sekitar 40-70% nefron tidak bisa berfungsi
   Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
   BUN dan kreatinin serum masih normal
   Pasien asimtomatik
2.   Insufiensi ginjal
   75-80% nefron tidak bisa berfungsi
   Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
   BUN dan kreatinin serum muulai meningkat
   Anemia ringan dan azotemia ringan
   Nokturia dan poliuria
3.      Gagal ginjal
   Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
   BUN dan kreatinin serum meningkat
   Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
   Berat jenis urine
   Poliuria dan nokturia
   Gejala gagal ginjal
4.      End-stage renal disease (ESRD)
   Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
   Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
   BUN dan kreatinin tinggi
   Anemia, azotemia dan asidosis metabolik
   Berat jenis urine tetap 0,010
   Oligouria
   Gejala gagal ginjal
Menurut NKF DOQI, pembagian derajat gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:
Stadium Deskripsi LFG
I Kerusakan ginjal disertai kerusakan LFG N/meninggi ≥ 90
II Kerusakan ginjal disertai LFG menurun 60-89
III Penurunan moderat LFG 35-59
IV Penurunan berat LFG 15-29
V Gagal ginjal <15/dialisis

1.4  MANIFESTASI KLINIS


a.       Manifestasi klinik menurut (Smeitzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi (akibat retensi cairan
dan natrium dari aktivitas sistem rennin-angiostenin-aldosteron), gagal jantung kongesif dan
odema pulmoner akibat cairan berlebihan dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial
oleh toksik pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
b.      Manifestasi klinik menurut (Suyono, 2001) adalah sebagai berikut
1.      Sistem kardiovaskuler
   Hipertensi
   Pitting
   edema
   Edema periorbital
   Pembesaran vena leher
   Friction sub pericardial
2.      Sistem pulmoner
   Krekel
   Nafas dangkal
   Kusmaull
   Sputum kental dan liat
3.      Sistem gastrointestinal
   Anoreksia, mual dan muntah
   Perdarahan saluran GI
   Ulserasi dan perdarahan mulut
   Nafas berbau amonia
4.      Sistem muskuloskeletal
   Kram otot
   Kehilangan kekuatan otot
   Fraktur tulang
5.      Sistem integumen
   Warna kulit abu-abu mengkilat
   Pruritis
   Kulit kering bersisik
   Ekimosis
   Kuku tipis dan rapuh
   Rambut tipis dan kasar
6.      Sistem reproduksi
         Amenorhoe
         Atrofi testis
1.5  PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksaan Laboraturium
      Laboraturium Darah :
BUN, Kreatinin, Elektrolit, (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, leukosit),
Protein antibody (kehilangan protein dan imunoglobulin)
      Pemeriksaan Urine :
Warna, PH, BJ, Kekeruhan, Volume, Glukosa, Protein, Sedimen, SDM, Keton, SDP,
TKK/CCT.
2.      Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)
3.      Pemeriksaan USG
Menilai berat dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih, serta prostat.
4.      Pemeriksan Radiologi
Renogram, Intravenosus, Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Arteriografi, dan
Venografi, CT scan, MRI, Renal Biopsi, Pemeriksaan Rontgen Dada, Pemeriksaan Rotgen
Tulang, Foto Polos Abdomen.
1.6  PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering
kali tidak menimbulkan gejala yang menunjukkan kerusakan dan kegagalan ginjal.
Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap
peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah, dan pemeriksaan
urinalis, pemeriksaan kesehatan umum, dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi
insufiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditunjukkan kepada pengobatan
masalah medis dengan sempurna., dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu
mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara Long. 2001)
1.7  PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1.      Retriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2.      Obat-obatan : Diuretik untuk meningkatkan urinasi
Alumunium hidroksida untuk terapi hiperfostamia
Anti hipertensi untuk terapi hipertensi
Serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti
Apoetin Alfa bila terjadi anemia
3.      Dialisis
4.      Transpolantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

1.8  KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1.      Hiperkalemia
2.      Perikarditis
3.      Hipertensi
4.      Anemia
5.      Penyakit Tulang
(Smeltzer & Bare, 2004)

II.          ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK


2.1  PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan untuk pasien dengan gagal ginjal adalah rumit. Pengkijain
keperawatan mencakup parameter fisik, psikologis, dan social.
(Mary Baradero, 2008 : 141)
2.2  DATA SUBYEKTIF
Riwayat keperawatan adalah komprehensif yang mencakup gejala fisik dan gaya hidup
pasien. Perilaku kesehatan dan lingkungan rumah pasien perlu dikaji. Pasien ini juga
mengeluh cepat lelah, mual letargi, dan pruritus.
(Mary Baradero, 2008 : 141)
2.3  DATA OBYEKTIF
Tanda vital, asupan dan haluaran, auskultasi jantung dan paru, status mental, serta tanda
adanya nyeri. Perlu juga dikaji peningkatan pigmentasi kulit dan adanya edema perifer. Berat
badan ditimbang setiap hari.
(Mary Baradero, 2008 : 141-142)

2.4  DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosis keperawatan untuk pasien ini mencakup :
1.      Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi tubuh.
2.      Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan anoreksia,
mual dan nyeri.
3.      Risiko infeksi yang berhubungan dengan gangguan respon imun.
4.      Risiko trauma yang berhubungan dengan deficit sensorimotor, tidak sadar akan bahaya
lingkungan, dan penurunan tingkat kesadaran.
5.      Kelelahan yang berhubungan dengan anemia, uremia, insomnia.
6.      Nyeri (kram otot, iritasi okular, luka akibat pruritus) yang berhubungan dengan kekurangan
natrium, uremia.
7.      Gangguan harga diri yang berhubungan dengan perubahan fisik dan lingkungan sosial.
8.      Defisit pengetahuan (sifat penyakit, uji diagnostik, tindakan, dan medikasi) yang
berhubungan dengan tidak adanya informasi, sikap acuh pada informasi, dan gangguan
ingatan.
(Mary Baradero, 2008 ; 142)

2.5  HASIL YANG DIHARAPKAN


Hasil yang diharapkan setelah dilakukan intervensi keperawatan meliputi :
a.       Tidak ada tanda distress pernapasan, edema perifer, hipertensi, serta tidak ada tanda/gejala
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
b.      Menjelaskan terapi diet, termasuk pembatasan cairan, protein, kalium, dan natrium.
c.       Tidak ada tanda infeksi; kulit utuh.
d.      Bebas trauma.
e.       Dapat beristirahat dan tidak merasa cepat lelah.
f.       Tidak ada kram otot, tidak gatal, dan tidak ada iritasi okular.
g.      Menerapkan koping yang efektif; dapat melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
h.      Mengungkapkan kepuasan dengan diri dan dirinya.
i.        Mampu menjelaskan sifit penyakit, pengobatan, dan rencana lanjutan.
(Mary Baradero, 2008 : 142)

2.6  INTERVENSI KEPERAWATAN


1.      Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi tubuh.
Tujuan : Pasien menunjukkan pengeluaran urine tepat seimbang dengan pemasukan.
Intervensi :
  Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
R : Paseien gagal ginjal kronik perlu belajar mengenal tanda ketidakseimbangan cairan,
mengatur asupan cairan sesuai program dokter dan menerapkan terapi diet. Pasien harus
memantau asupan dan haluarannya. Mengatur asupan natrium dapat menjadi tantangan berat
bagi pasien. Tambahan berat badan yang tiba-tiba menunjukkan retensi cairan yang
disebabkan kelebihan asupan natrium. Pengganti garam harus dihindari karena mengandung
banyak kalium.
2.      Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan anoreksia,
mual dan nyeri.
Tujuan : Mempertahankan status nutrisi adekuat.
Intervensi :
  Membuat rencana modifikasi dietnya
R : natrium, Kalium, Fosfor, dan protein harus dibatasi. Makanan disiapkan dengan baik dan
menarik, mengandung aroma yang disukai pasien, dan rasa enak agar pasien mau makan
walaupun jumlah garam dan protein terbatas.
3.      Risiko infeksi yang berhubungan dengan gangguan respon imun.
Tujuan : Pasien tehindar dari risiko infeksi.
Intervensi :
  Pasien perlu melindungi dirinya dari infeksi dengan menghindari tempat yang banyak orang,
dan menghindari kelelahan.
R : karena tempat yang banyak orang /kelelahan menyebabkan daya tahan tubuh berkurang, dan
segera meminta bantuan medis apabila ada tanda/gejala infeksi.
  Pasien dianjurkan agar memakai sikat gigi yang lembut untuk perawatan mulutnya.
R : agar mengurangi risiko infeksi melalui mulut, dan mencegah perlukaan saat menggosok gigi.
  Pasien dianjurkan menghindari obat aspirin & azotemia.
R : aspirin diekskresi oleh ginjal dan memperpanjang masa perdarahan. Azotemia dapat
menyebabkan perdarahan pada sel otak & menyebabkan pasien bingung dan disorientasi.
4.      Risiko trauma yang berhubungan dengan deficit sensorimotor, tidak sadar akan bahaya
lingkungan, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Pasien bebas dari trauma.
Intervensi :
  Mencegah trauma.
R : trauma yang berat pada jaringan dapat mengakibatkan kalium serum meningkat. Kalium
adalah kation intraseluler dan kerusakan berat pada jaringan dapat menyebabkan peningkatan
kalium serum yang mengancam jiwa pasien gagal ginjal kronik, edema dapat menjadi risiko
trauma kulit.
5.      Kelelahan yang berhubungan dengan anemia, uremia, insomnia.
Tujuan : dapat beristirahat dan tidak merasa cepat lelah.
Intervensi :
  Mengatasi insomnia dengan menurunkan kadar nitrogen urea serum dan kreatinin melalui diet
yang rendah protein dan dialisis.
R : perubahan pola tidur disebabkan kecemasan tentang proses penyakitnya, pruritus, dan uremia.
  Mengatasi anemia.
R : berkurangnya jumlah eritrosit mengakibatkan sel mengalami kekurangan suplai oksigen yang
diperlukan untuk produksi energi.
6.      Nyeri (kram otot, iritasi okular, luka akibat pruritus) yang berhubungan dengan kekurangan
natrium, uremia.
Tujuan : Tidak ada kram otot, tidak gatal, dan tidak ada iritasi okular.
Intervensi :
  Pasien dengan ESRD mengalami pruritus yang sangat. Pasien dibantu dengan :
1.   Obat trimeprazin tartat (Temaril)
2.   Menakai lotion kulit supaya kulit tidak kering.
3.   Kamar yang dingin agar pasien tidak merasa panas dan tidak berkeringat.
4.   Stress emosi dapat memperberat pruritus sehingga pasien perlu diberi waktu untuk
mengungkapkan perasaannya. Perawat dapat memakai komunikasi terapeutis dan dirinya
secara terapeutik.
5.   Kuku pasien dipotong pendek. Pasien dapat mengenakan sarung tangan yang dibuat dari kain
agar kulit tidak digaruk langsung dengan kuku.
  Penanganan kram otot dengan mengatasi uremia.
R : penanganan uremia, cairan elektrolit, dapat menghilangkan kram otot. Kram otot dikaitkan
dengan defisit natrium. Obat Quinine Sulfate 325mg sebelum tidur malam dapat mencegah
kram otot.
  Iritasi okular diatasi dengan pemberian obat-obat ikatan fosfor per oral untuk mengendalikan
fosfat plasma. Pasien juga dibantu dengan air mata buatan (metil selulosa) yang diteteskan
dalam kantong konjungtiva.
R : iritasi ocular disebabkan deposit kalsium dalam konjungtiva yang menyebabkan airmata
keluar terus dan rasa perih pada mata.
7.      Gangguan harga diri yang berhubungan dengan perubahan fisik dan lingkungan sosial.
Tujuan : menerapkan koping yang efektif dan dapat melakukan aktivitas hidup sehari-hari
serta dapat memilihkan kualitas hidup yang optimal.
Intervensi :
  Memfasilitasi koping dengan mengubah gaya hidup.
R : pengkajian psikososial dilaksanakan secara kolaboratif oleh dokter, perawat, dan pekerja
sosial. Masalah psikososial yang mungkin terjadi antara lain cemas, depresi, frustasi, marah,
gangguan citra tubuh, gangguan harga diri dan krisis bunuh diri.
8.      Defisit pengetahuan (sifat penyakit, uji diagnostik, tindakan, dan medikasi) yang
berhubungan dengan tidak adanya informasi, sikap acuh pada informasi, dan gangguan
ingatan.
Tujuan : Mampu menjelaskan sifat penyakit, pengobatan, dan rencana lanjutan.
Intervensi :
  Penyuluhan pasien / keluarga
1.   Kaitan satu gejala dengan gejala lain dan penyebabnya.
2.   Kaitan modifikasi diet, pembatasan cairan, obat, dan nilai kimiawi darah.
3.   Tindakan pencegahan : hygiene oral, menghindari infeksi, dan perdarahan.
4.   Program diet termasuk pembatasan cairan
o   Pembatasan natrium, kalium, fosfor, dan protein.
o   Apabila ada anoreksia dan mual, makan sedikit tapi sering, hindari pengganti garam karena
mungkin mengandung kalium.
5.   Pemantauan kelebihan cairan.
o   Ukur dan catat asupan dan haluaran dengan akurat.
o   Pantau berat badan setiap hari dan edema.
6.   Medikasi
o   Efek samping dan dosis obat
o   Hindari mengonsumsi obat tanpa resep dari dokter. Hindari obat aspirin, obat untuk influenza,
dan obat inflamasi non steroid.
7.   Rencanakan kegiatan dan istirahat agar pasien tidak kehabisan tenaga.
8.   Tindakan untuk mengendalikan pruritus.
9.   Perawatan lanjutan. Gejala/tanda yang memerlukan bantuan medis segera; perubahan
haluaran urine, edema, berat badan bertambah tiba-tiba, dispnea, meningkatnya gejala
uremia.
( Mary Baradero, 2008 : 143-147)
III.       HEMODIALISIS
3.1        PENGERTIAN
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang
terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien.
Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa
darah pasien ked an dari dialiser (tempat terjadinya pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa
tubuh), serta dialiser. (Mary Baradero, 2008)
3.2        SEJARAH
Dr. Williem Kolff, seorang dokter Belanda, dibangun bekerja dialiser pertama pada
tahun 1943 selama pendudukan Nazi di Belanda. Karena kelangkaan sumber daya yang
tersedia, Kolff harus berimprovisasi dan membangun mesin awal menggunakan casing sosis,
kaleng minuman, sebuah mesin cuci dan bahkan berbagai barang lainnya yang terseedia saat
itu. Selama 2 tahun berikutnya Kolff menggunakan mesin untuk mengobati 16 pasien yang
menderita gagal ginjal akut, tetapi hasilnya tidak berhasil. Kmudian pada tahun 1945, seorang
wanita 67 tahun di koma uremik sadar setelah I jam hemodialisis dengan dialyzer, dan tinggal
selama 7 tahun sebelum meninggal dari kondisi yang tidak terikat. Dia adalah pasien pertama
yang berhasil diobati dengan dialisis. (Davita, 2010)
3.3        PRINSIP
Dialisis bekerja pada prinsip-prinsip difusi zat terlarut dan ultrafiltrasi cairan melintasi
membrane semipermiabel. Difusi menjelaskan properti dari zat di dalam air. Zat dalam air
cenderung bergerak dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi rendah. Darah
mengalir dari salah sat sisi membrane semipermiabel, dan dialisat, atau cairan dialisis khusus,
mengalir di sisi brlawanan. Sebuah membrane semipermiabel adalah lapisan tipis bahan yang
mengandung lubang berbagai ukuran atau pori-pori. Hal ini meniru proses penyaringan yang
terjadi pada ginjal, ketika darahmemasuki ginjal dan zat lebih besar dipisahkan dari yang
kecil dalam gomerulus. (Kamus Mosby, 2006)

Dua jenis utama dialisis hemodialisis dan dialisis peritoneal, menghilangkan limbah
dan kelebihan air dari darah dengan cara yang berbeda. Hemodialisis menghiangkan limbah
dan air dengan sirkulasi darah di luar tubuh melalui filter eksternal disebut dialyzer, yang
berisi membrane semipermiabel. Darah mengalir dalam satu arah dan dialisat mengalir di
seberang. Aliran kontra saat ini darah dan dialisat memaksimalkan gradient konsentrasi zat
terlarut (misalnya kalium, fosfor dan urea) yang tidak diinginkan yang tingi dalam darah,
tetapi rendah atau tidak dalam larutan dialisis dan penggantian konstan dialisat memastikan
bahwa konsentrasi zat terlarut yang tidak diinginkan tetap rendah dalam sisi membrane.
Larutan dialisis memiliki kadar mineral seperti kalium dan kalsium yang mirip dengan
konsentrasi alami mereka dalam darah yang sehat. Untuk yang lain, terlarut bikarbonat,
tingkat dialisis solusi adalah ditetapkan pada tingkat sedikit lebih tinggi daripada di darah
normal, untuk mendorong difusi bikarbonat di dalam darah, untuk bertindak sebagai buffer
PH untuk menetralkan asidosis metabolik yang hadir pada pasien ini. (Pendse, 2008)

Pada dialisis peritoneal limbah dan air dikeluarkan dari darah dalam tubuh dengan
menggunakan membran peritoneal dan perioneum sebagai membrane semipermiabel alami.
Limbah dan memindahkan kelebihan air dari darah, melintasi membran peritoneal dan ke
dalam larutan dialisis khusus, yang disebut dialisat, di rongga perut yang memiliki komposisi
mirip dengan cairan darah. Hemodialisis berlangsung 2-4 jam, ssedang dialisis peritoneal
berlangsung selama 36 jam (Mary Baradero, 2008)

3.4        EFEK SAMPING DAN KOMPLIKASI


Hemodialisis sering melibatkan pemindahan cairan (melalui ultrafiltrasi), karena
sebagian besar pasien dengan gagal ginjal buang air sedikit atau tidak ada. Efek samping
yang disebabkan oleh menghilangnya terlalu banyak cairan atau menghapus cairan terlalu
cepat, termasuk tekanan darah rendah, kelelahan, sakit dada, kram kaki, mual, dan sakit
kepala.
Sejak hemodialisis membutuhkan akses ke sistem peredaran darah, pasien yang
menjalani hemodialisis dapat mengekspor sistem peredaran darah mereka untuk mikroba
yang dapat menyebabkan sepsis, infeksi yang mempengaruhi katup jantung (endokarditis)
atau infeksi yang mempengaruhi tulang (osteomyelitis).
Heparin adalah anti koagulan yang paling umum digunakan dalam hemodialisis,
karena umumnya diltoleransi dengan baik dan dapat secara cepat dikembalikan dengan
protamine sulfat. Alergi heparin jarang menjadi masalah dan dapat menyebabkan jumlah
trombosit rendah.
Komplikasi jangka panjang dari hemodialialisis termasuk amilodosis, neuropati, dan
berbagai bentuk penyakit jantung. Meningkatnya frekuensi dan lamanya perawatan telah
terbukti untuk meningkatkan overload cairan dan pembesaran hati yang sering terlihat pada
pesien tersebut. (Weinrich, 2006)
3.5        AKSES VASKULAR HEMODIALISIS
Untuk melakukan hemodialisis intermitten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk ke sistem vascular penderita yang dapat diandalkan. Darah harus keluar masuk tubuh
penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit. Akses vascular merupakan aspek yang
paling peka pada hemodialisis karena banyak komplikasi dan kegagalannya. Oleh karena itu,
banyak metode yang dikembangkan untuk mencapai jalan masuk vascular dalam beberapa
tahun belakangan ini. Denominator yang paling sering dipakai pada kebanyakan teknik akses
vascular adalah jalan masuk ke sirkulasi arteri dan kembalinya ke sirkulasi vena.
Sumber : Price 2005
3.5.1           Akses Vaskular Eksternal (sementara)
Pirau arteriovenosa (AV) eksternal atau sistem kanula diciptakan dengan
menempatkan ujung kanula dan teflon dalam arteri (biasanya arteria radialis atau tibialis
posterior) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian dihubung-
hubungkan dengan selang karet silicon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
Pada waktu dilakukan dialisis, maka slang pirau eksternal dipisahkan dan dibuat hubungan
dengan alat dialisis. Darah kemudian dialirkan dari ujung arteri, melalui alat dialisis dan
kembali ke vena. (Price, 2005)

Kateter vena femoralis dan subklavia sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila
diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses vaskular lain tidak dapat
berfungsi sementara waktu pada penderita dialisis kronik. (Price, 2005)
Terrdapat dua tipe kateter dialisis femoralis. Kateter shaldon adalah kateter berlumen
tunggal yang mmerlukan akses kedua. Jika digunakan dua kateter shaldon, maka dapat
dipasang secara bilateral. Tipe kateter yang lebih baru memiliki lumen ganda, satu lumen
untuk mengeluarkan darah menuju alat dialisis dan satu lagi untuk mengembalikan darah ke
tubuh penderita. Komplikasi yang terjadi pada kateter vena femorallis adalah laserasi arteria
femoralis, perdarahan, trombosis, emboli, hematoma, dan infeksi. (Price, 2005)
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai karena pemasangannya mudah dan
komplikasinya lebih sedikit dibandingkan kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia
dapat digunakan sampai 4 minggu, tetapi kateter vena femoralis biasanya dibuang setelah
pemakaiann 1-2 hari setelah pemasangan. Komplikasi yabngg disebabkan oleh katerisasi
vena subklavia serupa dengan yang terdapat pada toraks, robeknya arteria subklavia,
perdarahan, thrombosis, embolus, hematoma, dan infeksi. (Price, 2005)
3.5.2           Akses Vaskular Internal (permanen)
Fistula AV diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia (1962) sebagai respon terhadap
banyaknya komplikasi yang ditimbulkan pirau Av. Fistula AV dibuat melalui anatomosis
arteri secara langsung ke vena.(biasanya arteria radialis dan vena sefalika pergelangan
tangan) pada lengan yang tidak dominan. Hubungan dengan sistem dialisis dibuat dengan
menempatkan satu jarum distal (garis arteri) dan sebuah jarum lain diproksimal (garis vena)
pada ven ayangg sudah diarterialisasi tersebut. Umur rata-rata fistula AV adalah 4 tahun dan
komplikasinya lebih sedikit dibandingkan denga pirau AV. Masalah yang paling utama
adalah rasa nyeri pada pungsi vena, terbentuknya aneurisma, thrombosis, kesulitan hemotasis
pascadialisis, dan iskemia pada tangan (steal syndrome). (Price, 2005)
Pada beberapa kasus, pembuatan fistula pada pembuluh darah pasien sendiri tidak
dimungkinkan akibat adanya penyakit, kerusakan akibat prosedur sebelumnya, atau ukuran
kecil. Pada keadaan demikian, maka suatu tandur AV dapat dianastomosiskan antara sebuah
arteri dan vena, dimana tandur ini bekerja sebagai saluran bagi aliran darah dan tempat
penusukan selama dialisis. Tandur akan membuat tonjolan dibawah kulit dan nampaknya
seperti vena yang menonjol. Tandur AV adalah sebuah tabung prustetik yang dibuat dari
bahan biologis atau bahan sintetik. Komplikasi tandur AV akan sama dengan fistula AV yaitu
thrombosis, infeksi, aneurisma, dan iskemia tangan yang disebabkan oleh pirau darah melalui
prostesis dan jauh dari sirkulasi distal (steal syndrome). (Price, 2005)
3.6        JENIS
Ada tiga jenis hemodialisis :
a.)    Hemodialisis konvensional.
Hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali seminggu, selama sekitar 3-4 jam untuk setiap
perlakuan dimana darah pasien diambil, keluar melalui tabung dengan kecepatan 200-400
ml/menit. Tabung terhubung ke jarum dimasukkan ke dalam fistula dialisis atau cangkok.
Darah kemudiann dipompa kembali ke dalam aliran darah pasien melalui tabung lain. Skema
prosedur tekanan darah pasien dimonitor, dan jika itu menjadi rendah atau pasien
mengembangkan tanda-tanda lain dari volume darah seperti mual, petugas dialisis dapat
mengelola cairan ekstra melalui mesin. Selama perawatan seluruh volume darah pasien
(sekitar 5000cc) bersirkulasi melalui mesin setiap 15 menit.
b.)    Hemodialisis harian.
Hemodialisis harian biasanya digunakan oleh pasien yang melakukan pencucian darah sendiri
di rumah. Hal ini lebih lembut ttetapi meembutuhkan akses lenih sering. Hemodialisis harian
biasanya dilakukan selama 2 jam, enam hari seminggu.
c.)    Hemodialisis nokturnal.
Prosedur dialisis ini mirip dengan hemodialisis konvnsional, kecuali dilakukan enam malan
dalam seminggu dan 6-10 jam per sesi saat tidur. (TOH, 2008)
3.7        KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Keuntungan :
  Tingkat kematian rendah.
  Lebih mengantrol tekanan darah dank ram perut.
  Kurang pembatasan diet.
  Toleransi yang lebih baik, dan sedikit komplikasi.
Kekurangan :
  Membutuhkan pasokan yang lebih seperti kualitas air yang tinggi dan listrik.
  Membutuhkan teknologi yang handal seperti mesin dialisis.
  Prosedur rumit dan membutuhkan pengasuh memiliki pengetahuan yang lebih.
  Membutuhkan waktu untuk menyiapkan dan membesihkan mesin dialisis dan beban mesin.
(Daugirdas, 2007)

3.8        INDIKASI
Keputusan untuk memulai dialisis atau hemofiltration pada pasien dengan gagal ginjal
tergantung beberapa factor. Ini dapat dibagi menjadi indikasi akut atau kronis.
         Indikasi untuk dialisis pada pada pasien dengan cidera ginjal akut adalah:
1.      Asidosis metabolik, dalam situasi dimana koreksi dengan natrium bikarbonat tidak praktis
atau dapat mengakibatkan overload cairan.
2.      Kelainan elektrolit seperti hiperkalemia.
3.      Overload cairan tidak diharapkan untuk merespon pengobatan dengan diuretic.
4.      Komplikasi uremia, seperti perikarditis, ensefalopati atau perdarahan gastrointestinal.
5.      Keracunan, yaitu keracunan akut dengan zat dialyzable.
         Indikasi untuk pasien dengan gagal ginjal kronis:
1.      Gejala gagal ginjal.
2.      Rendah LFG sering dianjrrkan untuk dimulai pada LFG kurang dari 10-15 mls/min/1,73 m 2.
Pada penderita diabetes dialisis dimulai sebelumnya.
3.      Kesulitan dalam medis mengendalikan overload cairan kalium serum dan atau fosfor saat
LFG rendah. (Irwin, 2008)

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC
Long, B.C. 2001. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit edisi:6. Jakarta : EGC.
Reeves, C.S, Roux, G, lockhart. 2001. Medical- surgical Nursing. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, S dan Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Sundarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar ilmu Penyalit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung : PPI FK UNPAD
Keperawatan Medikal Bedah III

Selasa, 12 April 2011

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK

A. PENGERTIAN

Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap
(Doenges, 1999; 626)
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan
internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada
kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat
lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)

B. ANATOMI

C. ETIOLOGI
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler
(nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik
(amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus
ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

D. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus)
diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh
hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun
dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai
retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke
dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala
uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
• Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan
penderita asimtomatik.
• Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25%
dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar
kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia
dan poliuri.
• Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari
normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan
kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-
814)
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada
tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada
lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
• Anoreksia, mual dan muntah
• Perdarahan saluran GI
• Ulserasi dan pardarahan mulut
• Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
• Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu
menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa
pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan
gangguan elektrolit

G. PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali
tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan
kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan
kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi
sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis
dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress
(infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)
H. PENATALAKSANAAN
1. Dialisis (cuci darah)
2. Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium,
furosemid (membantu berkemih)
3. Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
4. Transfusi darah
5. Transplantasi ginjal

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada
pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder:
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui
alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan.

J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam
batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin
(disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder :


volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak
ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran,
turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan
haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan
BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan
pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat
mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui


alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan
dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan
integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan
iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan
pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Definisi

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan

fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia

( Smaltzer, 2001:1448).
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang

berlangsung perlahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang

mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) sehingga ginjal tidak dapat lagi

memenuhi kebutuhan   biasa lagi dan menimbulkan  gejala sakit (Hudak & Gallo).

Gagal ginjal kronik adalah ginjal sudah tidak mampu lagi mempertahankan ingkungan

internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi sudah tidak dimulai.

(Suparman, 349)

Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah

kondisi dimana ginjal tidak mampu mengeluarkan sisa-sisa metabolik  dan kelebihan air dari

darah yang disebabkan oleh hilangnya sejumlah nefron fungsional yang bersifat irreversibel.

21     Anatomi Fisiologi

Setiap manusia memiliki saluran kemih yang terdiri dari ginjal yang terus menerus

menghasilkan urine, dan berbagai saluran dan reservoir yang dibutuhkan untuk membawa

urine keluar tubuh. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak dibagian

belakang abdomen atas, di belakang peritonium, didepan dua iga terakhir, dan tiga otot besar

tranversum abdominis, kuadratus tumborum,dan psoas mayor.ginjal terlindung dengan baik

dari trauma langsung disebelah posterior dilindungi oleh iga, dianterior dilindungi oleh

bantalan usus yang tebal. 9 Price, 2005:867-868)

Dibawah ini terdapat gambar tentang anatomi fisiologi ginjal.

Gambar 2.1
Anatomi Fisiologi Ginjal
Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1

inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 10 gram.
Perbedaan panjang dari kutub kekutub kedua ginjal (dibandingkan dengan pasangannya)

yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci)

Ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12 inci (25 hingga 30 cm),

terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi satu-satunya ureter adalah menyalurkan

kevesika urinaria.

Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis, terletak

dibelakan simpisis pubis vesika urinaria mempunyai 2 muara: dua dari ureter dan satu

menuju uretra. Dua fungsi vesika urinaria adalah sebagai tempat penyimpanan urine sebelum

meninggalkan tubuh dan berfungsi  mendorong urine keluar tubuh (dibantu oleh uretra).

Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria

sampai keluar tubuh. (Price, 2005: 867-869).

Didalam nefron terjadi pembentukan urine yang terdiri dari 3 tahap yaitu, filtrasi glomerulus,

reabsorpsitubulus dan sekresi tubulus.

22   Etiologi

Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hamper semua penyakit. Apapun sebabnya,

dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif.

Dibawah ini terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik.

a.      Tekanan Darah Tinggi

Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan – perubahan stuktur

pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) didingding

pembuluh darah. Organ sasaran utama organ ini adalah jantung, otak, ginjal dan mata.

Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan

nefrosklerosis begina. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal

mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang – lubang dan berglanula. Secara

histology lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri kecilserta arteriol yang paling nyata
pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan

glomerulusdan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak (price, 2005:933).

b.      Glomerulonefritis

Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang diakibatkan

karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody. Reaksi peradangan diglomerulus

menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan

peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma

dan sel darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu:

1)      Gomerulonefritis Akut

Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.

2)      Glomerulonefritis Kronik

Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. (Price, 2005.

924)

c.       Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

Nefritis lupus disbabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang terperangkap dalam

membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Perubahan yang paling dini

sering kali hanya mengenai sebagian rumbai glomerulus atau hanya mengenai

beberapaglomerulus yang tersebar. (Price, 2005:925)

d.      Penyakit Ginjal Polikistik

Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral,dan

berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal

akibat penekanan.semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga

ginjal akan menjadi rusak (GGK) (Price, 2005:937)

e.       Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis itu sendiri

dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut juga bias terjadi melalui infeksi hematogen.

Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan biasanya dijumpai pada

individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks vesikoureter. (Price, 2005: 938)

f.       Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering, berjumlah 30% hingga

40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk.

Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi diginjal pada

diabetes mellitus (Price, 2005:941). Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan

hingga  ESRD dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium:

1)      Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan hifertropi dan hiperfentilasi

ginjal, pada stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang disebabkan oleh banyak factor

yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon yang abnormal hormone pertumbuhan,

efek rennin, angiotensin II danprostaglandin.

2)      Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan penebalan membrane basalis

kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan matriks mesangial.

3)      Stadium 3 (Nefropati insipient)

4)      Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)

5)      Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)

4.      Fatofisiologi

Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolism protein

normalnya diekresikan kedalam urine tertimbun dalam darah. Terjadi uremia yang

mepengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala

akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan

klirens substansi darah yang dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrate
rate (GFR) mngakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum.

Hal ini menimbulkan gangguan metabolism protein dalam usus yang mengakibatkan

anoreksia, nausea, maupun vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai keotak mempengaruhi fungsi kerja,

mengakibatkan gangguan pada syaraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum

Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.

Pada penyakit ginjal tahap akhir urine tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan

secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan

tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat terjadi sesak nafas,

akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Hal ini menimbulkan resiko

kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin

menurunnya fungsi renal terjadi asidosi metabolic akibat ginjal mengekresikan muatan asam

(H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan eritropoetin yang mengekibatkan terjadinya anemia.

Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat

menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.

Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan fosfat

serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan

sekresi parat hormone dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal perkembangan

gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang medasari, ekresi protein dalam urine dan

adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth, 2001).

5.      Manifestasi Klinis

Pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka

pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala.keparahan tanda dan gejala

bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi pasien yang mendasari dan usia

pasien.
Tanda dan gejala pada penderita gagal ginjal kronik:

a.       Kardiovaskuler

 Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis.

 Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)

 Edema periorbital

 Friction rub pericardial

 Pembesaran vena leher

b.      Dermatologi

 Warna kulit abu-abu mengkilat

 Kulit kering bersisik

 Pruritus

 Ekimosis

 Kuku tipis dan rapuh

 Rambut tipis dan kasar

c.       Pulmoner

 Krekels

 Sputum kental dan liat

 Nafas dangkal

 Pernafasan kussmaul

d.      Gastrointestinal

 Anoreksia, mual, muntah, cegukan

 Nafas berbau ammonia

 Ulserasi dan perdarahan mulut

 Konstipasi dan diare

 Perdarahan saluran cerna


e.       Neurologi

 Tidak mampu konsentrasi

 Kelemahan dan keletihan

 Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran

 Disorientasi

 Kejang

 Rasa panas pada telapak kaki

 Perubahan perilaku

f.       Muskuloskeletal

 Kram otot

 Kekuatan otot hilang

 Kelemahan pada tungkai

 Fraktur tulang

 Foot drop

g.      Reproduktif

 Amenore

 Atrofi testekuler

(Smeltzer & Bare, 2001)

6.      Klasifikasi

Menurut Elizabet J Corwi, klasifikasi gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR

yang tersisa diantaranya:

a.       penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.

b.      Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal. Nefron –

nefron yang tersisa rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang mereka

terima.
c.       Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Maka semakin banyak

nefron yang mati.

d.      Penyakit gionjal stadium akhir, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5% dari

normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Diseluruh ginjal ditemukan jaringan

parut dan atrofi tubulus.

7.      Dampak Masalah Terhadap Fungsi Sistem Tubuh

Dampak yang terjadi pada gagal ginjal kronik terhadap sistem tubuh lainnya.

a.       Gangguan pada Gastrointestinal

Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik

(amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus

sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul

stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir

dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum

dan kolitis uremik.

b.      Sistem Integumen

Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat

uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.

c.       Hematologi

Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat

penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal

Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi.

Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering

disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni.

Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler
terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena

imunitas yang menurun.

d.      Sistem Saraf Otot

Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome),

kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan

tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.

e.       Sistem Kardiovaskuler

Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi

pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin

angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat

kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.

Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.

f.       Sistem Endokrin

Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal

Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore. Toleransi

glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.

g.      Sistem Pernafasan

Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan edema pulmonal, kelebihan cairan. Pleuritis mungkin

ditemukan, terutama jika pericarditis berkembang. Kondisi paru-paru uremia dapat

menyebabkan pneminia. Asidosis dapat menyebabkan kompensasi meningkatnya respirasi

sebagai usaha mengeluarkan ion hidrogen.

h.      Sistem Syaraf

Restless leg syndrom yaitu penderita selalu merasa pegal ditungkai bawah dan selalu

menggerakan kakinya. Burning feet syndrom yaitu rasa kesemutan dan seperti terbakar,

terutama ditelapak kaki. Ensefalopati metabolik yaitu lemah dan tak bisa tidur, gangguan
konsentrasi tremor. Miopati yaitu kelemahan dan hipotropi otot-otot terutama otot

ekstremitas proksimal.

(http://laporanpendahuluan.blogspot.com/2010/03/laporan-pendahuluan-gagal-ginjal-

kronis.html)

8.      Pemeriksaan Penunjang

a.       Urine

Volume           : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)

Warna              : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,

partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB,

mioglobin.

Berat jenis       : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).

Osmolalitas     : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio

urine/serum sering 1:1

Klirens keratin : Mungkin agak menurun

Natrium           : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi

natrium.

Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus bila

SDM dan fragmen juga ada.

b.      Darah

BUN / Kreatin            :

Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir

(mungkin rendah yaitu 5)

Hitung darah lengkap :

Ht Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL

SDM :
Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.

GDA pH :

Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal

untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat

menurun, PCO2 menurun .

Natrium Serum :

Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan status dilusi

hipernatremia).

Kalium            :

Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau

pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium

6,5 MPq atau lebih besar.

Magnesium/Fosfa:Meningkat

Kalsium :Menurun

Protein (khususnya Albumin) :

Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan

cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.

Osmolalitas Serum      :

Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

KUB fota : Menunujukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan adanya obstruksi

(batu)

Piolegram Retrograd   :

Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.

Arteriogram Ginjal      :


Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa.

Sistouretrogram Berkemih :

Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.

Ultrasono Ginjal :

Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan

bagian atas.

Biopsi Ginjal :

Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis

histoligis.

Endoskopi Ginjal, Nefroskopi :

Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor

selektif.

EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan :

Dapat menunjukan demineralisasi.

(Rencana Askep, Marilyn E Doenges dkk)

9.      Manajemen Medik

            Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatis

selama mungkin.

a.       Diet tinggi kalori dan rendah protein

Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan

nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan

berlebihan dari kalium dan garam.

b.      Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.

Biasanya diusahakan hingga tekanan vena juga harus sedikit meningkat dan terdapat edema
betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretic

100p (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan, sementara

pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium bikarbonat oral.

Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine, dan pencatatan keseimbangan cairan

(masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml)

c.       Kontrol hipertensi

Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil akhir gagal kiri pada pasien hipertensi

dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung

tekanan darah, sering diperlukan diuretik loop, selain obat anti hipertensi.

d.      Kontrol ketidaksemibangan elektrolit

Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah

hiperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik

hemat kalium, obat-obatan yang berhubungan dengan eksresi kalium (misalnya penghambat

ACE dan obat anti inflamasi non steroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang

menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar

kalium plasma dan EKG.

Gejala-gejala asidosis baru jelas bila bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/liter biasanya

terjadi pada pasien yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki secara spontan

dengan dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.

e.       Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal

Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti alumunium hidroksida

(300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000mg) pada setiap makan. Namun hati-hati

dengan toksisitas obat tertentu. Diberikan supplemen vitamin D dan dilakukan

paratiroidektomi atas indikasi.


f.       Deteksi dini dan terapi infeksi

Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imuosupresif dan diterapi lebih ketat.

g.      Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal

Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan

dikeluarkan oleh ginjal. Misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesic opiat, amfoterisin dan

alupurinol. Juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah, misalnya

tetrasiklin, kortikosteroid dan sitostatik.

h.      Deteksi dan terapi komplikasi

Awasi denagn ketat kemungkinan ensefelopati uremia, perikarditis, neurepati perifer,

hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam

jiwa, kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialysis.

i.        Persiapan dialysis dan program transplantasi

Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis

biasanya adalah gagal ginjal dengan klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi konservatif

atau terjadi komplikasi.

j.        Dialisis dan Transpalansi Ginjal

1)      Dialisis

Dialisis terdiri atas 2 peritorial yaitu Dialisis dan Hemodialisis.

a)      Dialisis

Dialisis terdiri atas 2 mekanisme yaitu Ultrafiltrasi dan Difusi. Ultrafiltrasi yaitu mengalirkan

cairan dari darah dengan tekanan osmotik  dan hidrostatik sehingga mencapai derajat yang

diinginkan. Difusi adalah lewatnya partikel (ion) dari tekanan tinggi ketekanan rendah.

b)      Hemodialisa

Hemodialisa yaitu suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui

suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa
dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip

dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa

sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.

Tujuan dari Hemodialisa yaitu:

(1)   Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme

dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.

(2)   Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan

sebagai urin saat ginjal sehat.

(3)   Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.

(4)   Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis yaitu:

(a)    Difusi

(b)   Osmosis

(c)    Ultrafiltrasi

2)      Transpalansi Ginjal

Transpalasi ginjal merupakan pilihan terakhir bagi penderita giagal ginjal kronik.

Transpalansi ini menanamkan ginjal dari donor hidup atau kadave manusia keresipien yang

mengalami gagal ginjal tahap akhir.

(http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-hemodialisa-

transpalasi ginjal.html)

A.    Pendekatan Proses Keperawatan

Menurut Potter dan Perry proses keperawatan merupakan suatu pendekatan dalam

pemecahan masalah, sehingga perawat dapat merencanakan dan memberikan asuhan

keperawatan. Proses keperawatan tersebut meliputi  lima tahap, yaitu: pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan (identifikasi yang diharapkan), pelaksanaa/implementasi dan

evalusi.

1.      Pengkajian

a.       Aktifitas dan Istirahat

Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur

Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM

b.      Sirkulasi

Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada

Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub

c.       Integritas Ego

Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan

Menolak, cemas, takut, marah, irritable

d.      Eliminasi

Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna

merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung

e.       Makanan/Cairan

Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah,

rasa logam pada mulut, asites

Penurunan otot, penurunan lemak subkutan

f.       Neurosensori

Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan

Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,

kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma


g.      Nyeri/Kenyamanan

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki

Distraksi, gelisah

h.      Pernafasan

Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)

Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal

i.        Keamanan

Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis,

fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas

j.        Seksualitas

Penurunan libido, amenore, infertilitas

k.      Interaksi Sosial

Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya

(Doengoes, 2000)

2.      Diagnosa

a.       Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder

terhadap penurunan fungsi ginjal

b.      Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein,

pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah

c.       Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase

diuretik)
d.      Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi,

ketidakseimbangan elektrolit.

e.       Resiko infeksi

f.       Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, prognosis, dan ebutuhan pengobatan

3.      Perencanaan

a.       Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder

terhadap penurunan fungsi ginjal

Tujuan : pasien menunjukkan pengeluaran urin tepat seimbang dengan pemasukan.

Kriteria Hasil :

1)      Hasil laboratorium mendekati normal

2)      BB stabil

3)      Tanda vital dalam batas normal

4)      Tidak ada edema

Intervensi :

a)      Monitor denyut jantung, tekanan darah, CVP

b)      Catat intake & output cairan, termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotic, ukur IWL

c)      Awasi BJ urin

d)     Batasi masukan cairan

e)      Monitor rehidasi cairan dan berikan minuman bervariasi

f)       Timbang BB tiap hari dengan alat dan pakaian yang sama

g)      Kaji kulit,wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (skala +1 sampai +4)

h)      Auskultasi paru dan bunyi jantung

i)         Kaji tingkat kesadaran : selidiki perubahan mental, adanya gelisah

b.      Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein,

pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah


Tujuan : mempertahankan status nutrisi adekuat

Kriteria hasil : berat badan stabil, tidak ditemukan edema, albumin dalam batas normal.

Intervensi :

1)      Kaji status nutrisi

2)      Kaji/catat pola dan pemasukan diet

3)      Kaji factor yang berperan merubah masukan nutrisi : mual, anoreksia

4)      Berikan makanan sedikit tapi sering, sajikan makanan kesukaan kecuali kontra indikasi

5)      Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut

6)      Timbang BB tiap hari

c.       Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase

diuretik)

Hasil yang diharapkan : klien menunjukkan keseimbangan intake & output, turgor kulit baik,

membrane mukosa lembab, nadi perifer teraba, BB dan TTV dalam batas normal, elektrolit

dalam batas normal

Intervensi :

1)      Ukur intake & output cairan , hitung IWL yang akurat

2)      Berikan cairan sesuai indikasi

3)       Awasi tekanan darah, perubahan frekuansi jantung, perhatikan tanda-tanda dehidrasi

4)      Kontrol suhu lingkungan

5)      Awasi hasil Lab : elektrolit Na

d.      Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi,

ketidakseimbangan elektrolit

Tujuan : klien dapat mempertahankan curah jantung yang adekuat

Kriteria Hasil :

1)      TD dan HR dalam batas normal


2)      Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler

Intervensi :

a)      Auskultasi bunyi jantung, evaluasi adanya, dispnea, edema perifer/kongesti vaskuler

b)      Kaji adanya hipertensi, awasi TD, perhatikan perubahan postural saat berbaring, duduk dan

berdiri

c)       Observasi EKG, frekuensi jantung

d)     Kaji adanya nyeri dada, lokasi, radiasi, beratnya, apakah berkurang dengan inspirasi dalam

dan posisi telentang

e)      Evaluasi nadi perifer, pengisian kapiler, suhu, sensori dan mental

f)       Observasi warna kulit, membrane mukosa dan dasar kuku

g)      Kaji tingkat dan respon thdp aktivitas

h)      Pertahankan tirah baring

e.       Resiko infeksi

Tujuan:

Tidak mengalami tanda dan gejal infeksi

Intervensi:

1)      Tingkatkan cici tangan pada pasien

2)      Kaji integritas kulit

3)      Awasi tanda vital

4)      Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium

f.       Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, prognosis, dan ebutuhan pengobatan

Tujuan:

Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit prognosis,dan pengobatan.

Intervensi:

1)      Kaji ulang proses penyakit, prognosis, dan factor pencetus bila diketahui
2)      Jelaskan tingkat fungsi ginjal setelah episode akut berlalu

3)      Diskusikan dyalisis ginjal atau transpalantasi bila ini merupakan bagian yang mungkin

dilakukan dimasa mendatang

4.      Implementasi

Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk

menvcapai tujuan yang spesifik (Nursalam,2001:63). Tahap ini dilaksanakan setelah rencana

tindakan disusun. Selama pelaksanaan tindakan perawatan disesuaiakan dengan rencana

tindakan perawatan. Perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan asih

dibutuhkan dan sesuai rencana tindakan yang disusun dan ditunjukan kepada perawat untuk

membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

5.      Evaluasi

Menurut Ignavicius dan Bayne (Nursalam,2001:71) evaluasi adalah tindakan

intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose

keperawatan, tindakan keperawatan, dan pelaksanaannya sudah berhasil tercapai.

Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan.

Hal ini dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdsarkan respon klien

terhadap tindakan keperawatan yang diberikan.

I.            DAFTAR PUSTAKA


A.    Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk
perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M.,
Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta.
B.     Ganong, W. F., 1998, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. EGC, Jakarta
C.     Guyton, A. C., 1995, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 7. RGC, Jakarta.
D.    Guyton, A. C. & Hall, J. E., 1997, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9. EGC, Jakarta.
E.     Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit,
Edisi 4, EGC, Jakarta.
F.      Rose, B. D. & Post, T. W, 2006, Hemodialysis: Patient information, Terdapat pada:
http://www.patients.uptodate.com.
G.    Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku saku nefrologi. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Johnson., Mass, 199, Nursing Outcomes Classification, Availabel on: www.Minurse.com.
H.    McCloskey, Joanne C, Bulecheck, Gloria M., 1996. Nursing Intervention Classsification
(NIC). Mosby, St. Louise.
I.       NANDA, 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001-2002), Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai