Anda di halaman 1dari 27

SKILL 1

Ketrampilan Komunikasi
Menyampaikan Berita Buruk dan Komunikasi Kasus Sensitif
dr. Alfi Yasmina, M.Kes, M.Pd.Ked

Informasi kesehatan adalah sumber penting yang diperoleh dari komunikasi medis yang
baik. Komunikasi yang efektif dan tepat waktu memungkinkan pasien dan keluarganya untuk
memperoleh informasi kesehatan yang relevan tentang ancaman terhadap kesehatannya, dan
membantu mereka mengidentifikasi strategi untuk menghindari dan berespons terhadap
ancaman tersebut. Yang menjadi kekhawatiran dokter adalah bagaimana mengkomunikasikan
informasi kesehatan secara efektif dan tepat, namun informasi tersebut merupakan berita buruk
(bad news) bagi pasien. Cara mengkomunikasikan berita buruk ini bisa memberi dampak
terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan dan terhadap kepatuhan pasien
terhadap terapi yang diberikan.
Hippocrates menyatakan bahwa menjadi tanggung jawab dokter untuk menentukan
sampai tingkat mana informasi yang diterima pasien tentang kondisi atau diagnosisnya.
Namun pasien semakin ingin mengetahui tentang kondisi kesehatannya, yang menunjukkan
bahwa kemampuan menyampaikan informasi kesehatan dengan cara yang tepat menjadi
kebutuhan. Pasien semakin ingin tahu kenyataan tentang diagnosisnya.
Walaupun komunikasi berita buruk sering dianggap sebagai komunikasi tentang
penyakit yang mengancam jiwa, mendekati ajal, penyampaian kematian pasien kepada anggota
keluarga, namun berita buruk (bad news) didefinisikan dalam literatur medis sebagai situasi
dimana terdapat perasaan tidak ada harapan, ancaman terhadap kesehatan mental atau fisik,
adanya risiko gangguan terhadap gaya hidupnya yang sudah mantap, atau bila pesan/informasi
disampaikan kepada pasien yang mengakibatkan pasien tersebut mempunyai pilihan yang lebih
sedikit dalam hidupnya. Berdasarkan definisi ini, penyampaian berita buruk adalah sesuatu
yang terjadi sehari-hari pada seorang dokter praktek. Dalam konteks pelayanan kesehatan,
berita buruk adalah setiap informasi yang menciptakan pandangan negatif tentang kesehatan
seseorang. Walaupun sebagian besar literatur medis tentang menyampaikan berita buruk
berfokus pada penyampaian diagnosis kondisi yang serius seperti kanker, namun berita buruk
bisa berkisar mulai kasus sekedar mata merah, psoriasis, sampai infertilitas.
Terdapat banyak alasan mengapa dokter sulit menyampaikan berita buruk. Yang sering
menjadi kekhawatiran adalah bagaimana berita buruk akan mempengaruhi pasien, dan ini
sering menjadi alasan untuk menjustifikasi penundaan penyampaian berita buruk. Selain itu,
faktor lain yang membuat dokter kurang mempunyai kepercayaan diri dan ketrampilan dalam
menyampaikan berita buruk ini adalah: rasa bertanggung jawab terhadap kemalangan yang
menimpa pasien, persepsi tentang kegagalan menangani pasien, perasaan tertentu tentang
kematian, kekhawatiran akan respons pasien terhadap berita yang disampaikan, dan
kekhawatiran dokter sendiri tentang respons emosionalnya terhadap situasi tersebut.
Hippocrates menganjurkan dokter menyembunyikan informasi dari pasien, karena berita buruk
menyebabkan kondisi pasien memburuk. Demikian juga kode etik medis pertama American
Medical Association juga menganjurkan agar dokter tidak menyampaikan berita buruk pada
pasien yang sakit berat. Namun akhir-akhir ini, model perawatan pasien yang paternalistik telah
menekankan pada otonomi dan pemberdayaan pasien.
Saat pemberi pelayanan kesehatan menyampaikan berita buruk, beberapa karakteristik
demografis mempengaruhi bagaimana berita itu disampaikan. Jenis kelamin, usia, suku, dan
tingkat pendidikan pasien dan dokter bisa memodifikasi strategi penyampaian pesan yang
digunakan. Jenis kelamin dokter/pasien bisa mempengaruhi hasil penyampaian berita buruk,
dimana pasien-dokter berjenis kelamin sama akan mengalami hambatan komunikasi yang lebih
sedikit. Dokter yang lebih tua usianya bisa memainkan peran kebapakan/keibuan (parenting)
dan cenderung lebih memberikan rasa nyaman kepada pasien. Suku dan kebangsaan juga
berpengaruh, karena ada suku/kebangsaan yang gaya berbicaranya lebih direk/to-the-point;
selain itu, dokter bisa memberikan informasi secara lebih direk kepada pasien asing
berkebangsaan Eropa, misalnya, dibanding memberikan informasi kepada pasien
berkebangsaan Asia. Pasien yang lebih rendah pendidikannya sering mempunyai status sosial-
ekonomi lebih rendah, sehingga kualitas hidupnya cenderung memperpanjang penyakit dan
memberikan tingkat kesehatan yang buruk. Persepsi pasien tentang berita buruk mungkin juga
dipengaruhi oleh pikiran dan pengalaman individual, sehingga persepsi pasien bisa sangat
berbeda untuk kondisi yang sama. Tanggung jawab terhadap keluarga dan budaya juga
mempengaruhi persepsi pasien terhadap berita buruk.
Terdapat berbagai model yang telah dikembangkan dan diimplementasikan di berbagai
situasi pendidikan dokter. Salah satu yang paling sering digunakan adalah SPIKESmodel, yang
dikembangkan oleh Buckman, untuk menyampaikan berita buruk/sulit.
Proses menyampaikan berita buruk bisa dipandang sebagai upaya mencapai 4 sasaran
penting, yaitu mengumpulkan informasi dari pasien (memungkinkan dokter menentukan
sampai dimana tingkat pengetahuan dan harapan pasien, serta kesiapannya untuk mendengar
berita buruk), memberikan informasi yang bisa dipahami sesuai kebutuhan dan keinginan
pasien, mendukung pasien dengan menggunakan ketrampilan menurunkan dampak emosional
dan perasaan terisolasi yang dialami oleh si penerima berita buruk, serta mengembangkan
strategi dalam bentuk rencana terapi dengan memperhatikan masukan dan kerjasama pasien.
Pemenuhan sasaran-sasaran ini dicapai dengan menyelesaikan 6 tugas/langkah dalam SPIKES.
Tidak setiap episode penyampaian berita buruk akan memerlukan semua langkah SPIKES,
tetapi bila diperlukan, harus dijalankan dalam urutan yang benar.

Berikut ini adalah 6 langkah dalam SPIKES:


1. S – Settingup the interview (Creating the right atmosphere)
Pada langkah ini, kita melakukan 2 hal, yaitu merencanakan apa yang akan disampaikan
pada pasien, dan menciptakan lingkungan kondusif dan bisa mendukung pasien secara
emosional). Dalam perencanaan, kita bisa mengecek kembali data rekam medis pasien,
pastikan bahwa semua informasi yan diperlukan sudah tersedia.
Situasi/lokasi penyampaian berita buruk sebaiknya mendukung adanya privacy serta
kondusif, sehingga bisa mendukung diskusi yang terfokus dan tidak terganggu. Hal yang bisa
dilakukan adalah:
 Memastikan adanya privacy. Sebenarnya akan ideal apabila tersedia satu ruangan untuk
mengkomunikasikan berita buruk, namun bila tidak tersedia, bisa ditarik tirai mengelilingi
tempat tidur pasien. Siapkan tissue kalau-kalau diperlukan oleh pasien.
 Melibatkan orang terdekat pasien. Sebagian besar pasien ingin ada orag terdekatnya pada
saat penyampaian berita buruk, tapi ini sepenuhnya adalah pilihan pasien. Bila terdapat
banyak anggota keluarga, minta pasien memilih 1 atau 2 wakil keluarga.
 Posisi duduk akan membuat pasien rileks dan juga merupakan tanda bahwa kita tidak
terburu-buru. Bila posisinya duduk, usahakan tidak ada barrier/halangan antara diri kira
dan pasien.
 Upayakan koneksi/hubungan dengan pasien. Mempertahankan kontak mata mungkin
kurang nyaman, tetapi merupakan cara yang penting untuk mengupayakan koneksi dokter-
pasien. Menyentuh pasien atau memegang tangan pasien (bila dokter/pasien merasa
nyaman dengan tindakan ini) adalah cara lain yang bisa digunakan.
 Beritahu pasien apabila ada keterbatasan waktu atau bila akan ada interupsi.
Matikan/pasang mode silent pada alat komunikasi dan minta rekan kita untuk menangani
pasien lain bila diperlukan.

2. P – Assessing the patient’s Perception (Finding out what the patient knows)
Langkah 2 dan 3 pada SPIKES merupakan titik-titik di dalam wawancara dimana kita
mengimplementasikan prinsip “sebelum memberikan informasi, bertanyalah dulu”. Artinya,
sebelum mendiskusikan hasil temuan medis, dokter menggunakan pertanyaan terbuka untuk
memperoleh gambaran akurat tenang bagaimana pasien melihat situasi medis tersebut, apa
situasi medisnya, dan apakah situasi tersebut serius atau tidak.
Misalnya:
“Apa yang anda ketahui tentang penyakit anda?”
“Sejauh ini apa yang sudah diberitahukan kepada anda tentang penyakit ini?”
“Apakah anda mengerti alasanmengapa kita melakukan pemeriksaan CT-Scan?”
Berdasarkan informasi ini, kita bisa mengoreksi informasi yang salah dan menyesuaikan berita
buruk yang disampaikan dengan apa yang sudah dipahami pasien. Ini juga akan bisa
memudahkan kita menentukan apakah pasien berada dalam kondisi denial/penolakan akan
penyakitnya: terlalu berkhayal, tidak mengetahui tentang detail medis yang tidak
menyenangkan tetapi penting, atau harapan yang tidak realistik tentang terapinya.
Apabila berdasarkan penilaian anda ternyata pasien belum siap untuk menerima
informasi, atau pasiennya sendiri meminta untuk melakukan diskusi ini di lain waktu, atau
apabila anggota keluarga/orang terdekat pasien sedang tidak hadir, lakukan penjadwalan ulang.

3. I – Obtaining the patient’s Invitation (Finding out what the patient wants to know)
Sementara sebagian besar pasien mengekspresikan keinginan untuk memperoleh
informasi tentang diagnosis, prognosis, dan detail penyakitnya, sebagian pasien malah tidak
ingin tahu. Bila pasien ingin mengekspresikan secara eksplisit keinginan untuk memperoleh
informasi medis, ini bisa mengurangi kekhawatiran dokter dalam menyampaikan berita buruk.
Namun, bila pasien menolak ingin tahu, ini merupakan mekanisme coping, dan lebih mungkin
untuk bermanifestasi sebagai bertambah beratnya penyakit. Mendiskusikan tentang pemberian
informasi pada saat memintakan pemeriksaan penunjang tertentu bisa menjadi petunjuk bagi
dokter untuk merencanakan diskusi berikutnya dengan pasien.
Contoh pertanyaan yang akan ditanyakan adalah:
“Seberapa banyak yang ingin anda ketahui?”
“Apabila kondisi penyakit anda menjadi serius, apakah anda ingin mengetahuinya?”
“Apakah anda ingin saya memberikan detil rinci tentang kondisi anda? Bila tidak, apakah ada
orang lain yang bisa mendiskusikan hal ini dengan saya?”
“Bagaimana anda ingin saya memberi informasi tentang hasil pemeriksaan penunjang ini
nanti? Apakah anda ingin semua informasi atau rangkumannya saja, supaya kita bisa lebih
banyak berdiskusi tentang rencana terapinya?”
Bila pasien tidak ingin tahu secara rinci, tawarkan untuk menjawab setiap pertanyaan mereka
nanti atau bicaralah dengan keluarga atau teman pasien.

4. K – Giving Knowledge and information to the patient


Langkah ini adalah langkah dimana anda menyampaikan berita buruknya. Dalam
penyampaian berita buruk:
 Lakukan dialog, bukan monolog
 Hindari menggunakan istilah-istilah medis yang tidak sesuai dengan tingkat pengetahuan
pasien
 Berikan jeda cukup sering
 Nilai pemahaman pasien
 Gunakan bahasa tubuh
 Jangan meminimalkan keparahan situasi, hindari pernyataan samar-samar atau
membingungkan
Memberi rambu-rambu pada pasien bahwa akan ada berita buruk bisa mengurangi syok
yang bisa mengikuti penyampaian berita buruk dan bisa membantu pasien memproses
informasi. Contohnya, “Sayang sekali saya mempunyai berita buruk untuk anda,” atau “Maaf,
saya harus memberitahu anda bahwa…”.
Dalam menyampaikan fakta medis, beberapa hal yang perlu diingat:
Pertama, mulailah menjelaskan sesuai tingkat pemahaman pasien dan gunakan perbendaharaan
kata yangsesuai dengan pemahaman pasien.
Kedua, gunakan kata-kata nonteknis seperti “menyebar” sebagai pengganti “bermetastasis”,
dan “sampel jaringan tubuh” sebagai pengganti “biopsi”.
Ketiga, hindari penyampaian secara kasar (misalnya “Anda menderita kanker dengan stadium
yang berat, dan jika anda tidak diobati, anda akan segera meninggal.”), karena ini akan
membuat pasien merasa terisolasi dan marah, dengan kecenderungan untuk menyalahkan si
pembawa berita.
Keempat, berikan informasi dalam potongan-potongan kecil, dan secara periodik lakukan
penilaian bagaimana pemahaman pasien tentang informasi yang diberikan.
Kelima, bila prognosisnya buruk, hindari kata-kata seperti “Tidak ada lagi yang bisa kita
lakukan untuk mengatasi penyakit anda”. Sikap ini tidak konsisten dengan kenyataan bahwa
pasien sering mempunyai sasaran terapi lain yang juga penting, misalnya pengendalian nyeri
dan pengurangan gejala.

5. E – Addressing the patients’ Emotions with empathic responses (Responding to the


patient’s feelings)
Memberikan respons terhadap emosi pasien adalah salah satu tantangan paling sulit
dalam menyampaikan berita buruk. Reaksi emosional pasien bisa bervariasi mulai dari respons
afektif (menangis, marah, cemas), respons kognitif (penolakan/denial, menyalahkan, tidak
percaya, takut, malu), dan respons psikofisiologis dasar (fight-flight response atau
panic/denial). Dalam situasi ini, dokter bisa memberi dukungan kepada pasien dengan
memberikan respons empatik. Respons empatik terdiri dari 4 langkah:
 Pertama, awasi adanya emosi pada pasien. Mungkin emosinya bisa berupa menangis,
diam, atau syok.
 Kedua, identifikasi emosi yang dialami pasien dengan menyebutkannya pada pasien itu
sendiri. Bila pasien nampak sedih tapi diam, gunakan pertanyaan terbuka untuk
menanyakan pasien apa yang mereka rasakan atau pikirkan.
 Ketiga, identifikasi alasan untuk respons emosional tersebut. Ini biasanya berhubungan
dengan berita buruk tadi. Namun, bila tidak yakin, pasien bisa ditanya kembali.
 Keempat, sesudah memberi waktu singkat bagi pasien untuk mengekspresikan
perasaannya, biarkan pasien tahu bahwa kita telah mengghubungkan emosi yang
dirasakannya dengan alasan munculnya emosi tersebut, dengan membuat pernyataan,
misalnya:
Dokter: Saya ikut menyesal foto rontgen-nya menunjukkan bahwa kemoterapi yang telah
kita lakukan ternyata tidak berhasil dengan baik [diam]. Tumornya kelihatannya tumbuh
membesar.
Pasien: Ini yang saya takutkan! [menangis]
Dokter: [menggeser kursi lebih dekat, menawarkan tissue, dan diam sejenak]. Saya
mengerti ini bukan berita yang ingin anda dengar. Saya juga berharap beritanya jauh lebih
baik dari ini.
Dalam dialog ini dokter mengawasi adanya emosi (menangis) dan menyadari bahwa
pasien menangis karena berita buruk yang disampaikan. Pada point ini, dokter mungkin
bisa memegang lengan atau tangan pasien bila situasi ini memungkinkan bagi dokter dan
pasiennya, dan diam sebentar untuk memungkinkan pasien menjadi lebih tenang. Dokter
bisa juga menawarkan minum. Dokter harus membiarkan pasien tahu bahwa dokter
tersebut mengerti mengapa pasien merasa sedih dengan membuat pernyataan yang
merefleksikan pemahaman dokter ini. Contoh lain respons empatik adalah:

Pernyataan empatik Pertanyaan eksploratorik Respons validatif


“Saya bisa memahami bahwa “Maksud anda bagaimana?” “Saya bisa memahami mengapa
berita ini membuat anda kesal.” anda merasa seperti itu.”
“Saya mengerti anda sama “Ceritakan tentang perasaan “Saya rasa setiap orang juga
sekali tidak mengharapkan ini anda lebih banyak.” akan bereaksi seperti anda.”
terjadi.”
“Saya mengerti ini bukan berita “Bisakah anda menjelaskan “Benar sekali pendapat anda
baik untuk anda.” kepada saya apa yang anda itu.”
maksud?”
“Saya menyesal sekali harus “Anda katakan hal ini membuat “Ya, pemahaman anda tentang
memberitahukan berita ini pada anda kuatir?” alasan dilakukannya
anda.” pemeriksaan ini sudah bagus
sekali.”
“Ini juga sangat sulit bagi “Bisakah anda memberitahu “Nampaknya anda sudah
saya.” saya hal apa yang membuat memikirkan semuanya dengan
anda cemas?” baik.”
“Saya juga mengharapkan hasil “Anda mengatakan bahwa anda “Banyak pasien lain juga
yang jauh lebih baik.” menguatirkan anak-anak anda. mengalami hal yang sama
Bisa anda ceritakan lebih seperti anda.”
banyak?”

Sampai emosi ini dikeluarkan sampai habis, sulit untuk melanjutkan untuk mendiskusikan
isu selanjutnya. Bila emosi tidak menghilang dalam waktu pendek, akansangat membantu
bila kita terus memberikan respons empatik sampai pasien menjadi lebih tenang. Dokter
juga bisa menggunakan respons empatik untuk mengakui kesedihan/emosinya sendiri
(“Saya juga berharap beritanya jauh lebih baik daripadaini”). Ini bisa menjadi sarana untuk
menunjukkan dukungan sesudah memberikan respons empatik, sehingga pasien tahu
bahwa perasaannya itu wajar.
Bila emosi tidak diekspresikan dengan baik, misalnya bila pasien menjadi diam, dokter
harus mengajukan pertanyaan eksploratorik sebelum membuat respons empatik. Bila
emosinya tidak kentara atau tersembunyi, misalnya dalam kekecewaan atau kemarahan
(“Jadi ini berarti saya harus menanggung sakitnya kemoterapi lagi!”), anda masih bisa
menggunakan respons empatik (“Saya bisa memahami bahwa ini membuat anda merasa
kesal”). Pasien memandang dokternya sebagai salah satu sumber penting untuk dukungan
psikologis. Dengan mengkombinasikan pernyataan epatik, eksploratorik dan validatif
adalahsalah satu cara untuk memberikan dukungan. Ini akan mengurangi rasa terisolasi
pada pasien, mengespresikan solidaritas si dokter, dan memvalidasi perasaan pasien
sebagai perasaan yang normal dan wajar.

6. S – Strategy and Summary (Creating a plan for next step and follow-up)
Pada langkah ini dilakukan perencanaan untuk langkah selanjutnya, misalnya
informasi/tes tambahan, terapi gejala (terutama nyeri), perujukan sesuai kebutuhan. Pada
langkah ini juga didiskusikan sumber dukungan potensial bagi pasien, misalnya kelompok
pendukung (support group), keluarga besar, therapist, dan lain-lain. Yakinkan pasien dan
keluarga bahwa mereka akan tetap ditangani dan tim akan secara aktif mendukung pasien, dan
buat janji pertemuan selanjutnya.
Pasien yang mempunyai rencana jelas untuk masa depannya akan lebih sedikit merasa
cemas dan tidak pasti. Sebelum mendiskusikan rencana terapi, penting untuk menanyakan pada
pasien apakah dia siap untuk mendiskusikan hal ini. Memberikan pilihan terapi kepada pasien
akan memberikan persepsi bahwa dokter menganggap bahwa pendapat mereka juga penting.
Berbagi tanggung jawab untuk mengambil keputusan bersama pasien juga bisa mengurangi
rasa gagal di pihak dokter bila terapinya gagal. Menilai pemahaman pasien tentang hasil diskusi
bisa mencegah kecenderungan pasien untuk melebih-lebihkan efikasi atau menyalahartikan
tujuan terapi.
Dokter sering merasa tidak nyaman bila mereka harus mendiskusikan prognosis dan
pilihan terapi bersama pasien, bila informasinya tidak menyenangkan. Diskusi yang sulit ini
bisa dibantu oleh beberapa strategi.
Pertama, banyak pasien sudah mempunyai bayanganseberapa serius penyakitnya dan sampai
mana keterbatasan terapinya, tetapi mereka takut menanyakan hasil terapinya. Mengeksplorasi
pengetahuan dan harapan pasien (langkah 2 SPIKES) akan memungkinkan dokter mengerti
sampai dimana tingkat pemahaman dan harapan pasien, dan dokter bisa memulai diskusi dari
titik itu. Bila pasien mempunyai harapan yang tidak realistik (misalnya: “Kata dokter, terapi
ini pasti akan menyembuhkan saya.”), maka meminta pasien mendeskripsikan riwayat
penyakitnya biasanya akan bisa menunjukkan ketakutan, kecemasan, dan emosi yang
mendasari di belakang harapan pasien yang tidak realistik tersebut. Pasien mungkin melihat
kesembuhan sebagai solusi global untuk berbagai masalahnya, misalnya kehilangan pekerjaan,
ketidakmampuan mengurus keluarga, nyeri, atau gangguan mobilitas. Mengekspresikan
ketakutan dan kecemasan sering akan membuat pasien bisa mengakui keseriusan kondisi ini.
Bila pasien menjadi emosional saat mendiskusikan kecemasannya, bisa melakukan strategi di
step 5.
Kedua, memahami sasaran terapi spesifik yang juga penting bagi pasien, seperti
pengendalian/pengurangan gejala, dan memastikan bahwa mereka mendapat terapi terbaik dan
keberlanjutan perawatan, akan memungkinkan dokter bisa memberikan harapan yang bisa
dicapai. Hal ini akan menenteramkan pasien.
Sebelum mengakhiri komunikasi dengan pasien ini, nilai keamanan pasien (apakah
pasien bisa mengemudikan kendaraan pulang ke rumah, apakah pasien menungjukkan rasa
putus asa dan keinginan bunuh diri, dan lain-lain), pemahaman keluarga, dan dukungan di
rumah.
Sumber:
1. Baile WF, Buckman R, Lenzi R, et al. SPIKES – a six-step protocol for delivering bad
news: application to the patient with cancer. The Oncologist 2000;5:302-11.
2. Sparks L, Villagran MM, Parker-Raley J, et al. A patient-centered approach to breaking
bad news: communication guidelines for health care providers. Journal of Applied
Communication Research 2007;35(2):177-96.
CHECKLIST
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Step 1 – Setting up the interview
1 Merencanakan penyampaian berita buruk kepada pasien
dengan menyiapkan data pasien dan hal-hal yang akan
disampaikan kepada pasien, serta menyiapkan
ruangan/tempat yang kondusif untuk penyampaian berita
buruk
2 Mengucapkan salam dan menyilakan pasien (dan
keluarga/orang terdekat) untuk duduk
3 Memastikan identitas pasien (nama, umur, alamat,
pekerjaan) dan keluarganya
Step 2 – Assessing the patient’s perception
4 Menggunakan pertanyaan terbuka untuk mencari informasi
tentang apa yang sudah pasien ketahui dan persepsinya
terhadap kondisi penyakitnya
Step 3 – Obtaining the patient’s Invitation
5 Menggunakan pertanyaan terbuka untuk mencari informasi
tentang apa yang ingin pasien ketahui tentang kondisinya
Step 4 – Giving Knowledge and information to the patient
6 Menyampaikan berita buruk:
a. Sesuai dengan tingkat pemahaman pasien
b. Menggunakan bahasa yang nonteknis
c. Menyampaikan berita buruk dengan bahasa yang sopan
dan empatik
d. Menilai pemahaman pasien
Step 5 – Addressing the patients’ Emotions with empathic responses
7 Memberikan respons empatik/eksploratorik/validatif sesuai
dengan respons emosi pasien
Step 6 – Strategy and Summary
8 Merencanakan langkah selanjutnya bersama
pasien/keluarga serta mendiskusikan sumber dukungan
potensial bagi pasien
9 Menilai keamanan pasien
10 Membuat janji pertemuan berikutnya
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar; 2 = dilakukan dengan benar
SKILL 3
PENANGANAN EPISTAKSIS
dr. Nur Qamariah, M.Kes, Sp.THT-KL

Pendahuluan
Epistaksis atau pendarahan hidung sering ditemukan sehari-hari, dan hampir 90% dapat
berhenti sendiri. Sinonim dari istilah epistaksis sendiri adalah bloody nose, nosebleed, atau
nasal hemorrhage. Definisi epistaksis berasal dari kata epitazen yang berarti terus menerus
menetes. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Di
Amerika Serikat tercatat pasien dengan epistaksis mengunjungi Instalasi Rawat Darurat
sebanyak 450.000 kunjungan, dan sebanyak 27.000 perlu mendapatkan perawatan menginap
per tahunnya. Tahun 2010 pasien THT-KL dengan epistaksis sebesar 0,15% memerlukan
perawatan menginap.

Vaskularisasi Darah ke Hidung


Mukosa kavum nasi menerima cabang akhir dari arteri karotis interna dan eksterna
dengan serangkaian sistim anastomosis. Pemahaman anatomi aliran darah diperlukan untuk
manajemen yang baik pada epistaksis.
Aliran darah ke septum nasi terdiri :
1. Septum posterior superior, berasal dari arteri karotis interna, menuju arteri oftalmikus dan
berakhir di arteri etmoid anterior/posterior
2. Septum posterior, berasal dari arteri karotis eksterna, menuju arteri maxillaris interna dan
berakhir di arteri sfenopalatina
3. Septum anterior kaudal, berasal dari arteri karotis eksterna, menuju ke arteri fasialis dan
berakhir di arteri labialis superior
Semua percabangan arteri ini beranastomosis membentuk pleksus Kiesselbach yang
berlokasi di area Little, yaitu bagian anterior septum pars kartilago dan bertanggung jawab
pada 90% penyebab epistaksis. Jika ditemukan pendarahan dari atas konka media, maka
berasal dari cabang arteri karotis interna, dan pendarahan dari bawah konka media berasal dari
cabang arteri karotis eksterna.
Etiologi
a. Faktor Lokal
Pada anak penyebab epistaksis sebesar 90% idiopatik atau tidak diketahui
penyebabnya. Trauma atau manipulasi mukosa kavum nasi adalah salah satu penyebab
epistaksis pada anak. Epistaksis sederhana yang bersal dari septum anterior biasa berasal dari
iritasi lokal atau kondisi mukosa kering yang menyebabkan penurunan stabilitas dinding vena.
Jika terjadi manipulasi terhadap kavum nasi (misalnya intubasi nasal, pemasangan nasogastric
tube, trauma maksilofasial), maka pendarahan yang lebih hebat dapat muncul dari arteri kavum
nasi posterior atau dinding lateral hidung. Adanya riwayat epistaksis atau berulang tanpa ada
penyebab sebelumnya, maka harus dicurigai sebagai suatu keganasan sinonasal. Faktor
penyebab lokal lainnya dapat dilihat pada tabel 1.

b. Faktor Umum
Gangguan pada faal koagulasi dan defek pada kolagen menyebabkan gangguan pada
integritas dinding pembuluh darah atau gangguan sistim kardiovaskular, sehingga terjadi
peningkatan tekanan arteri dan vena, ataupun kerusakan dinding pembuluh darah. Serangkaian
gangguan pada sistim pembuluh darah tersebut manifestasinya berupa epistaksis. Defisit sistim
koagulasi herediter menyebabkan epistaksis yang terjadi sepanjang hidup dan berbagai
modalitas terapi dengan atau penambahan transfusi. Penyakit sistemik, pengobatan atau
penurunan status nutrisi bisa menyebabkan gangguan fungsi platelet atau koagulasi yang
berakhir dengan epistaksis berulang atau menetap.

Tabel 1. Penyebab Epistaksis


Lokal Umum
1. Trauma 1. Penyakit darah
 Hidung dikorek  Trombositopeni
 Bersin terlalu keras  Hemofili
 Olahraga  Leukemia
 Kecelakaan lalu lintas 2. Penyakit pembuluh darah
 Tindakan dokter  Arteriosklerosis
2. Radang  Hipertensi
 Rhinis akut 3. Tekanan udara rendah
 Sinusitis maxillaris  Di pegunungan
 Difteri nasal  Di pesawat terbang
 Ulkus lues/lepra/TBC 4. Penyakit infeksi
3. Tumor  Influenza
 Karsinoma nasi  Pneumonia
 Angiofibroma nasofaring  Demam dengue
juvenilis 5. Tekanan vena tinggi
 Pertusis
 Penyakit jantung pulmonal

Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan epistaksis, keadaan umum penderita diperhatikan. Perlu
dipertimbangkan untuk pemasangan infus, pemberian transfusi darah, pemberian antibiotika
dan obat koagulasi seperti vitamin K, asam traneksamat, atau karbazokrom. Sebelum memulai
terapi dilakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat pendarahan sebelumnya. Lokalisasi
pendarahan juga dapat ditentukan dari keterangan pasien dengan mengetahui aliran darah ke
depan atau ke belakang. Lama pendarahan dan frekuensinya, kecenderungan pendarahan, serta
adanya riwayat gangguan pendarahan dalam keluarga untuk mengetahui kemungkinan
gangguan pendarahan yang didapat secara herediter. Riwayat penyakit yang sedang diderita
dan obat-obat yang sering diminum juga membantu dokter untuk mengetahui kemungkinan
adanya gangguan sistemik yang mendasari terjadinya epistaksis.
Terapi pada epistaksis harus dilakukan secara berurutan. Jika seorang pasien datang
dengan epistaksis, maka pasien harus diperiksa dalam keadaaan duduk, dan jika sudah terlalu
lemah, maka harus dibaringkan dengan meletakkan bantal dibelakang punggungnya, kecuali
jika sudah dalam keadaan syok.
Sisi hidung dengan tujuan membersihkan bekuan darah sehingga asal pendarahan
terlihat dan tidak menghalangi vasokonstriksi. Mencari sumber pendarahan bisa juga dengan
menggunakan alat pengisap. Digital pressure dilakukan dengan menjepit ala nasi selama 5-15
menit. Vasokonstriktor dapat digunakan dengan memberikan solusio tetrakain atau lidokain-
efedrin 1%. Untuk melakukan kaustik, dapat digunakan TCA (asam triklosetat) 100% atau
nitras argenti (AgNO3) 20-30%.
Pemasangan tampon anterior dipilih jika pada pendarahan anterior yang dihentikan
dengan berbagai cara diatas masih terus berlangsung. Tampon anterior dapat dibuat dengan
kasa yang diberi salep antibiotik (boorzalf, kloramfenikol, gentamisin). Pemakaian vaselin atau
salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat untuk menghindari berulangnya
pendarahan ketika tampon dicabut. Spongostan, Merocel atau Surgicel dan balon Espitat, Foley
kateter juga dapat berfungsi sebagai tampon. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan
harus dapat menekan tempat asal pendarahan. Tampon dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Pendarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, karena pendarahan terjadi lebih
hebat dan sumber pendarahannya sulit dicari. Untuk menanggulangi pendarahan posterior
dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut tampon Belloque. Tampon ini harus
tepat menutup koana (nares posterior ).
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan tampon anterior
maupun posterior, dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. Selain ligasi arteri, embolisasi arteri
juga dapat dijadikan pilihan terapi.
Persiapan Alat:

Epistaksis Anterior :
Epistaksis Posterior
Daftar Pustaka
1. Nizar NW, Mangunkusumo E. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku ajaran ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher edisi kelima. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2004: 126-9.
2. Irish J, Papsin B, Chan Y, Panu N, Propst E. Epistaksis. In: Irish J, Papsin B, Chan Y, Panu N,
Propst E, eds. Otolaryngology head and neck surgery. MCCQE, 2002.
3. Lunc VJ. Acute and cronic nasal disorder. In: Snow JB, Ballenger JJ, eds. Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery 16th edition. BC Decker Inc, Spain, 2003: 756-7.
4. Kanowitz SJ, Citardi MJ, Batra PS. Contemporary management strategies for epistakxis. In:
Stucker FJ, Souza C, KenyonGS, Lian TS, Draf W, Schick B, eds. Rhinology and facial plastic
surgery. Springer, Berlin, 2009: 139-42.
CHECKLIST
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan
2 Melakukan pemeriksaan tanda vital (terutama tekanan darah)
3 Memposisikan pasien sesuai kondisinya (duduk bila kondisi baik,
berbaring bila kondisi lemah)
4 Sambil melakukan anamnesis secara auto- atau alloanamnesis
tentang kejadian epistaksisnya, melakukan digital pressure pada ala
nasi selama 5-15 menit
5 Mempersiapkan alat & bahan : Spekulum hidung, spatula lidah,
suction, lidi kapas, Nitras argenti atau TCA, kapas,
efedrin1%+lidokain dalam 1 botol, api bunsen
6 Mengkondisikan ruangan remang saat pemeriksaan (mematikan
lampu)
7 Memasang lampu kepala
8 Mencuci tangan secara medis dan memasang handscoon
9 Melakukan evaluasi dengan rhinoskopi anterior (tangan kiri).
Melakukan suction jika terlihat perdarahan
10 Apabila fokus perdarahan masih ada, dan pasien bukan hipertensi,
dilakukan pemasangan tampon efedrin. Cara pemasangan tampon
efedrin (cairan vasokontriktor): kapas tipis dipanaskan di api bunsen
untuk disterilkan dan membuat serat kapas merata, kemudian cairan
vasokonstriktor disemprotkan/diaplikasikan pada kapas tersebut,
kemudian dimasukkan di lubang hidung selama 5 menit.
11 Melakukan evaluasi lagi dengan rhinoskopi anterior. Melakukan
suction jika terlihat perdarahan
12 Apabila perdarahan berhenti, memberikan terapi obat yang sesuai
pada pasien. Melakukan kaustik dengan lidi kapas dan nitras argenti
atau TCA atau Albothyl sampai luka tertutup
13 Lakukan evaluasi dengan rhinoskopi anterior lagi, dan bila masih
epistaksis, melakukan penilaian apakah perdarahan terjadi di bagian
anterior hidung atau di posterior hidung. Apabila di anterior,
dilakukan pemasangan tampon anterior. Apabila di posterior,
dilakukan pemasangan tampon posterior (dan anterior bila
diperlukan).
Pemasangan tampon anterior
1 Mempersiapkan alat & bahan: lampu kepala, sarung tangan, tampon
anterior boorzalf (vaseline+acidum booricum) atau vaseline,
spekulum hidung, spatula lidah, pinset/bayonet forceps, kasa steril,
plester
2 Mencuci tangan secara medis
3 Memasang sarung tangan
4 Menengadahkan pasien dan memposisikan lampu agar rongga
hidung pasien terlihat jelas
5 Memasang spekulum hidung
6 Memasukkan tampon melalui lubang hidung depan dengan
menggunakan pinset/bayonet forceps sampai lubang hidung penuh
dan perdarahan berhenti. Pemasangan tampon bisa secara horisontal
(medial ke lateral) atau vertikal (bawah ke atas).
7 Memastikan ujung tampon berada di luar hidung untuk memudahkan
pelepasan tampon
8 Melepas spekulum hidung
9 Memasang plester
10 Melakukan evaluasi orofaring terhadap epistaksis yang terjadi. Bila
epistaksis masih tidak berhenti, melakukan pemasangan tampon
posterior.
Pemasangan tampon posterior
1 Mempersiapan alat & bahan: lampu, sarung tangan, tampon posterior
(3 benang), spekulum hidung, pinset/bayonet forceps, Foley catheter,
spuit 10cc, spatel lidah, plester, jelly lubrikan, aquadest
2 Mencuci tangan secara medis
3 Memasang sarung tangan
4 Menengadahkan pasien dan memposisikan lampu agar rongga
hidung pasien terlihat jelas
5 Menengadahkan pasien dan memposisikan lampu agar rongga
hidung pasien terlihat jelas
6 Mengoleskan jelly pada Foley catheter
7 Memasukkan Foley catheter ke dalam lubang hidung pasien, dan
meminta pasien membuka mulutnya
8 Menarik ujung Foley catheter yang muncul di orofaring keluar mulut
9 Mengikat benang dan tampon posterior pada ujung kateter yang
keluar dari mulut
10 Menarik ujung Foley catheter yang berada di hidung sambil
mendorong tampon posterior ke orofaring
11 Memastikan bahwa tampon posterior terpasang erat pada nares
posterior (tidak terlihat di orofaring)
12 Melepas Foley catheter
13 Memplester ujung kasa/tampon anterior dan ujung benang di nares
anterior
14 Melakukan evaluasi terhadap epistaksis yang terjadi.
15 Mengedukasi pasien mengenai kapan pelepasan tampon atau dirujuk
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
SKILL 2
BANTUAN HIDUP DASAR (BASIC LIFE SUPPORT)

Dr. dr. Kenanga Marwan S, SpAn.KNA


dr. Alfi Yasmina, M. Kes., Ph. D

Bantuan hidup dasar (basic life support/BLS) adalah tindakan dasar untuk
menyelamatkan hidup setelah henti jantung (cardiac arrest).Bantuan hidup dasar terdiri dari:
1. pengenalan cardiac arrest dengan cepat.
2. memanggil bantuan tim respon cepat gawat darurat.
3. resusitasi jantung-paru (RJP)/cardiopulmonary resuscitation/RJP sedini mungkin.
4. defibrilasi cepat dengan automated external defibrillation (AED)/defibrilator otomatis,
apabila detemukan adanya fibrilasi ventrikel (VF).

Henti jantung terjadi saat cardiac output atau curah jantung tidak efektif. Terdapat 4 irama
henti jantung, yaitu: asystole, pulseless electrical activity (PEA), ventrikel fibrilasi dan
pulseless ventrikel takikardi. Ke empat irama henti jantung ini dibedakan menjadi 2 kelompok:
irama yang tidak memerlukan defibrilasi (non-shockable) dan yang memerlukan defibrilasi
(shockable).

A. Irama non-shockable
Irama jantung yang non-shockable adalah asystole dan PEA. Asystole adalah irama henti
jantung yang umum terjadi pada anak-anak, karena hipoksia lama dan asidosis pada usia muda
akan memperberat bradikardi dan selanjutnya terjadi asystole. Gambaran EKG dapat
membedakan irama asystole dari ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi dan PEA. Gambaran
EKG asystole umumnya berupa garis lurus, dan dapat muncul gelombang P. Pastikan bahwa
kondisi ini bukan karena gangguan pada monitor atau elektroda yang terlepas.
Pulseless electrical activity (PEA) merupakan kondisi dimana gambaran EKG ada pada
monitor, tetapi denyut nadi tidak teraba dan seringkali merupakan kondisi pre-asystole.
Tatalaksana PEA sama dengan asystole. Penyebab irama PEA biasanya bersifat reversibel dan
dapat diidentifikasi, seperti: hypokalemia berat, tension pneumothoraks atau tamponade
jantung. Irama PEA juga dapat terjadi pada pasien yang hipotermia dan pasien yang mengalami
gangguan keseimbangan elektrolit, seperti hipokalsemia akibat overdosis calcium channel
blocker. Yang jarang terjadi adalah PEA akibat tromboemboli paru massif.

B. Irama shockable
Ventrikel fibrilasi dan pulseless ventrikel takikardi jarang ditemukan pada anak, tetapi
keduanya diduga menjadi penyebab kolaps mendadak, terutama pada kasus hipotermia, racun
dari antidepresan trisiklik dan pada penyakit jantung.
Jika pasien dipasang monitor, irama jantung dapat dimonitor sebelum terjadi perubahan
irama yang berbahaya. Jika irama ventrikel fibrilasi/pulseless ventrikel takikardi dapat segera
dikenali, lakukan defibrilasi asinkronize 4 joule/kgBB dilanjutkan dengan tatalaksana ventrikel
fibrilasi/pulseless ventrikel takikardi.
Asinkronize DC shock 4 joule/kgBB dilakukan secepatnya dilanjutkan dengan RJP tanpa
memperhatikan ada tidaknya perubahan irama jantung atau meraba nadi.

Penyebab reversible dari irama henti jantung (4 H dan 4 T):


- Hipoksia
Merupakan penyebab utama henti jantung pada anak dan sering berhasil jika dilakukan
resusitasi.
- Hipovolemia
Kondisi yang sering menjadi penyebab henti jantung pada kasus trauma, anafilaktik,
sepsis dan memerlukan pemberian infus kristaloid.
- Hiperkalemia
Hiperkalemia, hypokalemia, hipokalsemia dan abnormalitas metabolik lainnya dapat
terjadi akibat penyakit yang mendasari kondisi pasien (misal: gagal ginjal). Kalsium
intravena (0,2 mg/kg kalsium glukonas 10%) merupakan indikasi pada kondisi
hyperkalemia, hipokalsemia dan overdosis calcium channel blocker.
- Hipotermia
Sering dikaitkan dengan kejadian tenggelam dan memerlukan perawatan. Hipotermia
dideteksi dengan menggunakan termometer.
- Tension pneumotoraks dan tamponade jantung secara khusus dikaitkan dengan kejadian
PEA dan ditemukan pada kasus trauma.
- Senyawa toksik sebagai hasil overdosis akibat kesalahan yang disengaja ataupun tidak
memerlukan antidotum yang spesifik.
- Tromboemboli, kondisi ini jarang ditemukan pada pasien anak.

Bantuan hidup dasar terdiri dari rangkaian tindakan seperti yang disederhanakan pada gambar
di bawah ini.

Untuk tenaga kesehatan terlatih, langkah-langkah BLS adalah sebagai berikut:


Ringkasan Komponen CPR Berkualitas Tinggi Untuk Penyedia BLS
Berikut adalah langkah-langkah BLS (apabila yang ada hanya 1 penolong):
1. CEK BAHAYA: Sebelum melakukan pertolongan, pastikan bahwa penolong dan korban
dalam kondisi aman/tidak berada dalam bahaya.
2. CEK RESPON: goyangkan bahu korban, lalu tanya keras-keras: “Pak/Bu, anda baik-baik
saja?”
3. a. Apabila korban memberikan respon:
 Biarkan korban dalam posisi saat anda menemukannya, asalkan tidak ada bahaya
mengancam.
 Coba temukan apa yang terjadi pada korban, dan cari bantuan.
 Lakukan penilaian ulang secara teratur.
b. Apabila korban tidak memberikan respon:
 Panggil bantuan.
 Telentangkan korban di bidang datar yang keras.
4. CEK PERNAFASAN: perhatikan apakah korban bernafas normal atau tidak normal.
Disebut tidak normal apabila pasien tidak bernafas sama sekali atau hanya gasping. Bila
penolong ragu apakah korban bernafas normal atau tidak, anggap korban bernafas tidak
normal. Mengecek pernafasan maksimal harus dilakukan dalam 10 detik. Pada saat
mengecek pernafasan, tenaga kesehatan terlatih bisa sekaligus mengecek nadi karotis, dan
ini dilakukan tidak boleh lebih dari 10 detik. Apabila tidak yakin apakah nadi karotisnya
berdenyut atau tidak, anggak tidak berdenyut.
5. a. Bila korban bernafas normal:
 Posisikan dalam posisi mantap/recovery position.
 Terus nilai ulang apakah pernafasan korban normal. Bila ada keraguan, anggap
korban bernafas tidak normal.
b. Bila korban bernafas tidak normal, anggap pasien sedang mengalami cardiac arrest:
 Panggil ambulans/tim respon cepat gawat darurat, dan kalau ada, minta mereka
membawa defibrilator. Pada saat melakukan pemanggilan tim respon cepat gawat
darurat ini, penelpon harus menyiapkan informasi berikut: lokasi kejadian, peristiwa
yang terjadi, jumlah dan kondisi korban, dan tipe bantuan yang diperlukan. Kalau
ada 2 penolong dan saat itu sedang berada di fasilitas kesehatan yang mempunyai
fasilitas untuk melakukan BLS, penolong kedua bisa diutus untuk memanggil atau
mengambil peralatan yang diperlukan.
 Lakukan KOMPRESI DADA dengan cara:
 Penolong berlutut di sebelah korban.
 Letakkan telapak salah satu tangan penolong di tengah dada korban (separo
bawah tulang dada).
 Letakkan telapak tangan lainnya di atas punggung tangan yang sudah diletakkan
di dada korban.
 Posisikan badan penolong vertikal di atas dada korban, dan dengan lengan lurus,
tekan tulang dada sedalam minimal 5 cm (PUSH HARD).
 Sesudah setiap tekanan, lepaskan tekanan pada dada tanpa melepaskan kontak
tangan penolong dengan dada korban, agar dada kembali ke posisi semula
(complete recoil), untuk memberi kesempatan jantung terisi penuh dengan darah
dulu sebelum kompresi dada berikutnya.
 Lakukan dengan kecepatan minimal 100-120 kali/menit (PUSH FAST).
6. Sesudah dilakukan 30 kali kompresi, dilakukan langkah MEMBEBASKAN JALAN
NAFAS dan diberikan BANTUAN NAFAS:
 Posisikan kepala korban dalam posisi head tilt dan chin lift. Caranya: letakkan
tangan di dahi korban dan dorong kepala korban ke belakang, sambil ujung jari
tangan yang satu lagi diletakkan di bawah dagu pasien, mengangkat dagu.
 Tutup kedua lubang hidung korban dengan menekan kedua cuping hidung.
 Tarik nafas biasa dan letakkan mulut penolong pada mulut korban, pastikan agar
mulut korban tertutup rapat oleh mulut penolong.
 Hembuskan nafas ke dalam mulut korban selama 1 detik, sambil perhatikan bahwa
dada korban harus naik saat dilakukan hembusan nafas.
 Lepaskan mulut penolong dari mulut korban, biarkan dada korban turun saat udara
keluar dari mulut korban.
 Ambil nafas biasa, lalu hembuskan lagi ke mulut korban selama 1 detik, sambil
perhatikan bahwa dada korban harus naik saat dilakukan hembusan nafas.
Pemberian 2 kali bantuan nafas ini tidak boleh berlangsung lebih dari 5 detik.
 Kembali ke posisi melakukan kompresi dada, dan lakukan kompresi dada sebanyak
30 kali dengan kecepatan minimal 100-120 kali/menit dan kedalaman minimal 5 cm.
Usahakan agar perpindahan posisi ini mengambil waktu seminimal mungkin.
Apabila dilakukan oleh 2 penolong, tidak boleh ada jeda waktu antara kompresi dada
dan bantuan nafas dan kompresi lagi.
 Lakukan terus dengan perbandingan kompresi dada dan bantuan nafas sebanyak 30
: 2.
 Jangan berhenti melakukan kompresi dada dan bantuan nafas sampai:
 korban menunjukkan tanda-tanda mulai sadar, yaitu: batuk, membuka mata,
berbicara, bergerak dengan tujuan yang jelas, dan mulai bernafas spontan dan
normal.
 penolong yang lebih ahli datang dan siap untuk menggantikan posisi penolong.
 penolong kelelahan.
 korban meninggal.
7. Apabila tersedia defibrilator otomatis (AED), dan setelah dilakukan pengecekan irama
jantung ternyata ditemukan adanya VF, dilakukan defibrilasi dengan memberikan 1
kejutan/shock listrik, lalu CPR (kompresi dada dan bantuan nafas) langsung dilanjutkan
selama 2 menit atau 5 siklus, baru dilakukan pengecekan irama ulang. Lakukan hal ini
terus-menerus sampai korban sadar atau penolong kelelahan.

Apabila pada waktu memberikan bantuan nafas dan dada korban tidak naik bersama
hembusan nafas penolong, maka yang harus dilakukan adalah:
 Cek mulut korban, dan buang kalau ada benda yang menghambat di mulut.
 Cek apakah kepala korban sudah dalam posisi yang benar, yaitu: head tilt, chin lift.
 Maksimal 2 kali bantuan nafas diberikan setiap kali, walaupun salah satu bantuan nafas
yang diberikan tidak menaikkan dada korban. Lanjutkan kompresi dada begitu sudah
dilakukan bantuan nafas.

Kompresi dada dan bantuan nafas ini disebut CPR (cardiopulmonary resuscitation)
atau RJP (resusitasi jantung dan paru).
Bila terdapat lebih dari 1 penolong, maka 1 orang melakukan kompresi dada, dan 1
orang lagi melakukan bantuan nafas. Setiap 2 menit/5 siklus (5 kali siklus kompresi & bantuan
nafas 30:2), penolong harus berganti, agar tidak cepat lelah. Apabila penolong lelah, biasanya
kecepatan dan kedalaman kompresi akan berkurang, menjadikan CPR menjadi tidak efektif.
Pergantian penolong itu tidak boleh memakan waktu > 5 detik.
Bila penolong tidak terlatih, atau tidak bersedia melakukan bantuan nafas, berikan
kompresi dada saja, dengan kecepatan minimal 100-120 (push hard, push fast), dan jangan
berhenti kecuali ada 4 hal tersebut di atas. Tentu saja apabila penolong terlatih, maka sebaiknya
diberikan kompresi dada dan bantuan nafas. Khusus untuk anak-anak, atau korban asfiksia
(tenggelam atau keracunan), atau orang yang mengalami henti jantung/nafas yang lama, harus
dilakukan kompresi dada dan bantuan nafas.
Bantuan nafas bisa dilakukan dari mulut ke hidung (mouth-to-nose ventilation), bila:
 Mulut korban terluka serius
 Mulut korban tidak bisa dibuka
 Penolong memberikan bantuan saat korban sedang berada di dalam air
 Sulit memastikan mulut korban tertutup rapat oleh mulut penolong.

Apabila pasien mendadak muntah saat dilakukan CPR (sering terjadi pada korban
tenggelam), maka yang harus dilakukan adalah:
 Miringkan korban membelakangi penolong
 Posisikan kepala korban menghadap lantai/tanah dan mulutnya terbuka, agar muntahan
jatuh ke lantai/tanah.
 Bersihkan sisa-sisa muntahan atau benda yang bisa memberikan hambatan dari mulut
korban, dan segera telentangkan lagi, lalu lanjutkan kompresi dada dan bantuan nafas
apabila pasien masih belum sadar dan belum bernafas normal.

Posisi mantap/recovery position adalah posisi yang stabil, miring, tanpa tekanan pada
dada, yang dilakukan untuk memastikan adanya jalan nafas yang memadai, serta menurunkan
adanya kemungkinan aspirasi. Ada berbagai variasi posisi mantap. Salah satu cara
memposisikan pasien ke posisi mantap/recovery position adalah:
 Penolong berlutut di sebelah korban dan luruskan kaki korban.
 Letakkan lengan korban yang terdekat dengan penolong dengan posisi siku terlipat dan
telapak tangan menghadap ke atas.
 Letakkan lengan korban yang jauh dari lengan penolong menyilangi dadanya dengan
punggung tangannya ditempelkan ke pipi korban di sisi yang dekat dengan penolong.
 Dengan tangan penolong yang satu lagi, lipat lutut korban yang lebih jauh dari penolong,
kakinya tetap menempel ke tanah/lantai.
 Dengan tangan korban yang satunya tetap di pipinya, tarik lutut korban yang terlipat itu ke
arah penolong, sehingga korban menjadi miring menghadap penolong.
 Posisikan kepala agar jalan nafas tetap terbuka, kalau perlu bisa diposisikan wajah korban
ke arah lantau/tanah untuk memungkinkan cairan muntahan (bila muntah) mengalir keluar.
 Penolong harus mengecek pernafasan secara teratur.
 Bila korban harus diposisikan mantap selama > 30 menit, pindahkan sisi miringnya ke sisi
sebaliknya.

Apabila korban adalah anak-anak, dilakukan seperti melakukan bantuan hidup dasar
untuk dewasa dengan perbedaan:
 Berbeda dengan dewasa, pada anak, sebelum memulai kompresi dada, lakukan dulu
bantuan nafas sebanyak 5 kali, baru lakukan kompresi dada, selanjutnya tetap dengan rasio
30 : 2.
 Bila anda hanya menolong sendirian, berikan dulu CPR lengkap selama 2 menit/5 siklus,
sebelum menelpon ambulans.
 Kompresi dada hanya dilakukan sedalam sepertiga tebal dada anak. Pada bayi, cukup
ditekan dengan menggunakan 1 jari, sedangkan pada anak > 1 tahun, gunakan 1 atau 2
tangan, sesuai keperluan.

Sumber:
1. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TM, Cave DM, Hazinski MF, et al. Part 5:
Adult basic life support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation 2010; 122:S685-S705.
2. Resuscitation Council. Resuscitation guidelines: Adult basic life support. UK:
Resuscitation Council, 2010.
3. The Management of Cardiac Arrest.FOKUS Pembaruan Pedoman American HPR
4. American Heart Association. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart
Association 2015 untuk CPR dan ECC. 2015.
CHECKLIST

NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Pastikan lingkungan telah aman untuk penolong dan korban
(Gunakan universal precaution, minimal sarung tangan)
2 Cek respon korban (metode AVPU : alert, verbal, pain, unresponsive)
3 Pindahkan korban ke tempat yang datar dan keras
Aktifkan sistem tanggap darurat melalui telpon seluler jika ada atau
berteriaklah minta tolong untuk mendapatkan pertolongan terdekat
4 Cek nadi karotis dan napas (usaha napas yang tidak normal/gasping
dianggap tidak bernapas) secara bersamaan kurang dari 10 detik
A Jika nadi karotis teraba dan napas normal
5 Posisikan korban ke dalam recovery position (stabil miring) dan
observasi hingga tenaga medis terlatih tiba
B Jika nadi karotis teraba, tetapi napas tidak normal atau henti napas
6 Berikan napas buatan 1x napas setiap 5-6 detik atau 10-12x napas buatan
per menit
7 Aktifkan sistem tanggap darurat (jika belum dilakukan) setelah 2 menit
8 Terus berikan napas buatan, periksa denyut nadi setiap 2 menit
9 Jika denyut nadi tidak teraba lakukan kompresi jantung luar (KJL)
— lanjut ke algoritme C
C Jika nadi tidak teraba dan napas tidak normal atau henti napas
10 Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali kompresi dengan kecepatan
100-120x/menit dengan prinsip push hard and fast dengan kedalaman
minimum 2 inchi (5 cm) dan melakukan rekoil dada setelah setiap kali
kompresi
11 Lakukan pembebasan jalan napas secara triple airway manuver (head
tilt, chin lift, jaw thrust )
12 Memberikan bantuan napas pada mulut korban sambil menutup hidup
korban, dengan prinsip bantuan napas diberikan dalam waktu 1 detik
setiap kali bantuan napas diberikan dan pastikan pengembangan dada
napas bantuan diberikan sebanyak 2 kali dalam waktu kurang dari 5
detik
13 Melakukan kompresi dada : bantuan napas sebanyak 30:2 sebanyak 5
siklus selama 2 menit
14 Evaluasi nadi dan napas dalam waktu kurang dari 10 detik
15 tetap melakukan kompresi dada dan bantuan napas sebanyak 30:2
selama 5 siklus atau sampai bantuan datang dan penolong ahli siap
menggantikann atau memasang AED monitor dan DC Shock
16 Jika ada AED: periksa irama jantung (shockable atau unshockable)
17 Jika unshockable (asistol atau pulseless electrical activity (PEA) : segera
lanjutkan KJL selama 2 menit, cek ulang irama jantung pada AED.
Lanjutkan hingga tenaga ALS mengambil alih atau korban mulai
bergerak
18 Jika Shockable (Ventrikel fibrilasi atau Pulseless ventrikel takikardi) :
segera terapkan 1 kejut (shock) dengan kekuatan 360 joule (monofasik,
sinchronized DC shock) dan lanjutkan segera dengan KJL selama 2
menit. cek ulang irama jantung pada AED.
19 Setelah DC shock langsung lakukan KJL tanpa memandang perubahan
EKG pada monitor, interupsi kurang dari 10 detik
20 Hentikan RJP:
1. Bila penolong kelelahan
2. Return of spontaneous circulation (ROSC)
3. Datang penolong yang lebih mampu
4. Pasien dinyatakan meninggal

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar

Anda mungkin juga menyukai