Anda di halaman 1dari 8

Patofisiologi 

Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi oleh
curah jantung dan tahanan perifer (Dipiro, 2005). Mekanisme hipertensi tidak dapat
dijelaskan dengan satu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara
faktor genetik,lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai
perkalianantara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan
darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis,
meningkatnya aktifitas  renin angiotensin alosteron, perubahan membransel,
hiperinsulinemia, disfungsi endotel merupakan beberapa faktor yang terlibatdalam
mekanisme hipertensi (Soemantri dan Nugroho, 2006). Mekanisme patofisiologi hipertensi
salah satunya dipengaruhi oleh sistemrenin angiotensin aldosteron, dimana hampir semua
golongan obat anti hipertensibekerja dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin
angiotensin aldosteron adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin aldosteron diatur
terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi aldosteron mengatur keseimbangan
cairan,natrium dan kalium. Sistem ini secara signifikan berpengaruh pada aliranpembuluh
darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasitekanan darah (Dipiro,
2005)

Menurunnya tonus vaskuler merangsang saraf simpatis yang diteruskan ke sel jugularis. Dari
sel jugalaris ini bisa meningkatkan tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka
akan mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan
adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada
pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. Selain itu juga dapat
meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan
berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan
menimbulkan kerusakan pada organ organ seperti jantung.

2.4 Patogenesis Obesitas


Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi (energy expenditures) sehingga terjadi kelebihan energi yang
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak.1 Asupan dan pengeluaran
energi tubuh diatur oleh mekanisme saraf dan hormonal, seperti terlihat pada
gambar 1. Hampir setiap individu, pada saat asupan makanan meningkat,
konsumsi kalorinya juga ikut meningkat, begitupun sebaliknya. Karena itu, berat
badan dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam waktu yang
lama. Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh internal set
point atau lipostat, yang dapat mendeteksi jumlah energi yang tersimpan (jaringan
adiposa) dan semestinya meregulasi asupan makanan supaya seimbang dengan
energi yang dibutuhkan.3
Skema yang dapat dipakai untuk memahami mekanisme neurohormonal
yang meregulasi keseimbangan energi dan selanjutnya mempengaruhi berat badan
Prevalens obesitas..., Marsen Isbayuputra, FK UI, 2009
Universitas Indonesia
12
terlihat pada gambar 2.3. Secara garis besar, ada 3 komponen pada sistem tersebut
:
1. Sistem aferen, menghasilkan sinyal humoral dari jaringan adiposa
(leptin), pankreas (insulin), dan perut (ghrelin).
2. Central processing unit, terutama terdapat pada hipotalamus, yang
mana terintegrasi dengan sinyal aferen.
3. Sistem efektor, membawa perintah dari hypothalamic nuclei dalam
bentuk reaksi untuk makan dan pengeluaran energi.
Gambar 2.3 Skema Ringkas dari Jalur yang Mengatur Keseimbangan Energi.3
Pada keadaan energi tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan adiposa
dan individu tersebut makan, sinyal adipose aferen (insulin, leptin, ghrelin) akan
dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada hipotalamus. Di sini, sinyal adiposa
menghambat jalur anabolisme dan mengaktifkan jalur katabolisme. Lengan
efektor pada jalur sentral ini kemudian mengatur keseimbangan energi dengan
menghambat masukan makanan dan mempromosi pengeluaran energi. Hal ini
akan mereduksi energi yang tersimpan. Sebaliknya, jika energi tersimpan sedikit,
Prevalens obesitas..., Marsen Isbayuputra, FK UI, 2009
Universitas Indonesia
13
ketersedian jalur katabolisme akan digantikan jalur anabolisme untuk
menghasilkan energi yang akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa,
sehingga tercipta keseimbangan antara keduanya.3
Pada sinyal aferen, insulin dan leptin mengontrol siklus energi dalam
jangka waktu yang lama dengan mengaktifkan jaras katabolisme dan menghambat
jaras anabolisme. Sebaliknya, ghrelin secara dominan menjadi mediator dalam
waktu yang singkat.3
Hormon ghrelin menstimulasi rasa lapar melalui aksinya di pusat makan di
hipotalamus. Sintesis ghrelin terjadi dominan di sel-sel epitel di bagian fundus
lambung. Sebagian kecil dihasilkan di plasenta, ginjal, kelenjar pituitari, dan
hipotalamus. Sedangkan reseptor ghrelin terdapat di sel-sel pituitari yang
mensekresikan hormon pertumbuhan, hipotalamus, jantung, dan jaringan
adiposa.3
Konsentrasi ghrelin dalam darah paling rendah terjadi setelah makan dan
meningkat ketika puasa sampai waktu makan berikutnya. Gambar 2.4 berikut ini
menunjukkan pola kadar plasma ghrelin pada satu hari.13
Gambar 2.4 Kadar Plasma Ghrelin dalam Satu Hari.13
Walaupun insulin dan leptin sama-sama berpengaruh dalam siklus energi,
data yang ada menyatakan bahwa leptin mempunyai peran yang lebih penting
daripada insulin dalam pengaturan homeostatis energi di sistem saraf pusat.
Sel-sel adiposa berkomunikasi dengan pusat hypothalamic yang
mengontrol selera makan dan pengeluaran energi dengan cara mengeluarkan
Prevalens obesitas..., Marsen Isbayuputra, FK UI, 2009
Universitas Indonesia
14
leptin, salah satu jenis sitokin. Jika terdapat energi tersimpan yang berlimpah
dalam bentuk jaringan adiposa, dihasilkan leptin dalam jumlah besar, melintasi
sawar darah otak, dan berikatan dengan reseptor leptin. Reseptor leptin
menghasilkan sinyal yang mempunyai dua efek, yaitu menghambat jalur
anabolisme dan memicu jalur katabolisme melalui neuron yang berbeda. Hasil
akhir dari leptin adalah mengurangi asupan makanan dan mempromosikan
Fapengeluaran energi. Karena itu, dalam beberapa saat, energi yang tersimpan
dalam sel-sel adipose mengalami reduksi dan mengakibatkan berat badan
berkurang. Pada keadaan ini, equilibrium atau energy balance tercapai. Siklus ini
akan terbalik jika jaringan adiposa habis dan jumlah leptin berada di bawah
ambang batas normal.
Cara kerja leptin secara molekuler sangat kompleks dan belum dapat
diuraikan secara lengkap. Secara garis besar, leptin bekerja melalui salah satu
bagian jaras neural terintegrasi yang disebut leptin-melanocortin circuit, seperti
diilustrasikan pada gambar 2.5. Pemahaman tentang sirkuit ini penting mengingat
obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius dan
pengembangan obat antiobesitas tergantung sepenuhnya pada pemahaman jaras
ini.3

Gambar 2.5 Jalur neurohormonal pada hipotalamus yang mengatur keseimbangan


energi.2
Patofisiologi1,3
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama
hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan
memiliki peranan yang penting dalam munculnya diabetes melitus tipe 2 ini. Faktor genetik
ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya
aktifitas fisik, obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas.
           

Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu;  


1.      Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon insulin
untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot dan
hati), ini sangat menyolok pada diabetes melitus tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini
merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan
kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi
penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah  30 - 60 % daripada orang
normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan
insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan  pengeluaran glukosa hati.
Kedua efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan
pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose)
atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan glukosa secara
non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa secara oksidatif melalui
glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen terhadap insulin tidak
menurun pada diabetes melitus tipe 2.

Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level kadar reseptor
insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini merupakan defek
sekunder pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh karena itu, defek pada post
reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin.
Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi
glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi
dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin.16,18

Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3 kinase
(Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4
(Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan
insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk
metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperglikemi.16,18

Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2.
Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin
melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu penggunaan
glukosa pada jaringan otot, merangsang produksi  dan gangguan fungsi sel β pankreas.16,19
2.      Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes melitus tipe 2. Pada hewan
percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak akan menimbulkan
hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10
kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang
menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat
tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel dan interaksinya dengan sensor
glukosa yang akan menghambat peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi
langkah pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin.
Kemampuan transpor glukosa pada diabetes melitus tipe 2 sangat menurun, sehingga kontrol
sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa. Defek ini dapat
diperbaiki oleh sulfonilurea.

Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta
meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan
lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana
sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang
normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi
hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi
sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa
endogen setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon.
Selain itu, defek yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan sekresi
insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan
kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit
(osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa dan
menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada
penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.18
3.      Produksi glukosa hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan normal,
insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa produk
hati. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk hati yang
tampak pada tingginya kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi
glukosa hati belum sepenuhnya  jelas.

Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin portal
sebesar 5 μU/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan produksi
glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita diabetes melitus tipe 2 ini
membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya
resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan
meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar) akibat peningkatan asam lemak bebas dan
hormon anti insulin seperti glukagon.16,18

Patogenesis14
Insulin, suatu peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas pulau dalam menanggapi
postprandial kenaikan tingkat glukosa serum, berfungsi untuk meningkatkan penyerapan
glukosa oleh jaringan perifer dan glukoneogenesis menekan hati. Ada kenaikan bolak dan
jatuh di tingkat insulin dan glukagon yang terjadi untuk mempertahankan homeostasis
glukosa. Glukosa toleransi, kemampuan untuk mempertahankan euglycemia, tergantung pada
tiga peristiwa yang harus terjadi dengan cara yang ketat terkoordinasi, yaitu:
1.          Stimulasi sekresi insulin
2.          Penindasan yang dimediasi insulin endogen (terutama hati) produksi glukosa, dan
3.          Insulin-mediated stimulasi serapan glukosa oleh jaringan perifer.
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi insulin dan sekresi
insulin cacat. Ada penurunan serapan postprandial glukosa oleh otot dengan insulin endogen
dikeluarkan. Pada pasien dengan hiperglikemia puasa, tingkat insulin telah ditemukan dua
kali lipat ke empat kali lipat lebih tinggi daripada di nondiabetiks. Pada jaringan otot, ada
cacat dalam fungsi reseptor, jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi dan
fosforilasi glukosa, sintesis glikogen, dan oksidasi glukosa yang berkontribusi pada resistensi
insulin. Tingkat basal dari glukoneogenesis hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin
tinggi. Kedua cacat sama berkontribusi untuk berlebihan kadar glukosa postprandial serum.

Home » Kesehatan » Patogenesis dan Patofisiologi Sesak Nafas

Patogenesis dan Patofisiologi Sesak Nafas


Kesehatan
Sesak Nafas | Dispnea - Patogenesis Sesak Nafas adalah mekanisme infeksi perkembangan
penyakit sesak nafas atau dispnea. Perlu diketahui bahwa sesak nafas suatu keadaan yang
menggambarkan persepsi subjektif  (keluhan yang dirasakan pasien), mengenai ketidak
nyamanan bernapas, terdiri dari berbagai sensasi yang, berbeda intensitasnya dan selama
proses pernafasan. Ciri umum sesak nafas atau dispnea antara lain :

 Tidak bisa menghirup cukup udara


 Udara tidak masuk sempurna
 Rasa penuh di dada
 Dada terasa berat, sempit
 Rasa tercekik
 Napas pendek
 Napas berat

Perubahan yang terjadi pada berbagai fungsi tubuh akibat adanya sesak nafas (Patofisiologi )
yaitu :
 Oksigenasi jaringan berkurang Penyakit yang menyebabkan kecepatan  pengiriman
oksigen  ke jaringan berkurang seperti perdarahan
 Kebutuhan oksigen meningkat  Peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba –  tiba
akan  memerlukan oksigen yang lebih banyak untuk proses   metabolisme
 Kerja pernafasan meningkat Otot pernafasan dipaksa bekerja  lebih kuat karena
adanya penyempitan saluran pernafasan
 Rangsangan pada sistem syaraf pusat Penyakit – penyakit yang menyerang  sistem
syaraf  pusat
 Penyakit neuromuskuler Penyakit yang menyerang diafragma

Beberapa faktor yang mempengaruhi sesak nafas antara lain :


 Jenis kelamin
 Ketinggian tempat

 Jenis latihan fisik


 Emosi

Gejala sesak nafas biasanya terjadi karena beberapa keadaan, antara lain :
 Penyakit kardiovaskuler
 Emboli paru

 Penyakit paru interstitial atau alveolare


 Gangguan dinding dada atau otot dada
 Penyakit obstruksi paru
 Kecemasan

Apabila sesak nafas terjadi selama kurang dari 1 bulan maka hal ini dapat dikategorikan
sebagai sesak nafas akut. Sedangkan jika lebih dari 1 bulan maka dikategorikan sebagai sesak
nafas kronik. Mekanisme sesak nafas berawal dari aktivasi sistem sensorik yang terlibat
dalam sistem respirasi.  Informasi sensorik sampai pada pusat  pernapasan di otak dan
memproses respiratory - related signals dan menghasilkan pengaruh kognitif, kontekstual dan
perilaku sehingga terjadi sensasi dispnea.

Anda mungkin juga menyukai