Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN STOKE NON HEMORAGIK

DI RUANG TULIP RSUD SULTAN FATAH DEMAK

Disusun oleh :

1. Silvia Dwi Yanti


2. Siti Yuliana
3. Sri Devi Prasetiawati
4. Tria Nurdiani

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES


TELOGOREJO SEMARANG
2022/2023
A. Konsep Dasar Stroke Non Hemoragik

1. Definisi
Stroke adalah gangguan pada fungsi sistem saraf dikarenakan adanya gangguan pada
peredaran darah di dalam otak akibat pecahnya pembuluh darah atau karena tersumbatnya
pembuluh darah dalam otak. Otak seharusnya mendapatkan pasokan berupa oksigen dan
nutrisi akan mengalami gangguan dikarenakan kurangnya pasokan oksigen ke otak sehingga
terjadi kematian pada sel saraf otak (Maria, 2021). Stroke adalah adanya tanda-tanda klinik
yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler World Health Organization (WHO) dalam (Taufan,
2018). Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat menimbulkan kecacatan atau
kematian (Munir, 2019). Stroke Non Hemoragik adalah tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti (Nurarif, 2020). Stroke
Non Hemoragik terjadi ketika pembuluh darah arteri yang membawa darah dan oksigen ke
otak mengalami penyempitan, sehingga menyebabkan aliran darah ke otak sangat berkurang.
Kondisi ini disebut juga dengan iskemia, stroke non hemoragik dapat disebabkan oleh
trombosis dan emboli (Maria, 2021).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Stroke Non Hemoragik adalah
gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh berkurangnya atau berhentinya suplai oksigen ke
otak baik karena embolus maupun trombus sehingga mengakibatkan kematian jaringan otak
yang bisa megakibatkan kematian bagi penderitanya.
2. Klasifikasi
Menurut Maria, (2021) klasifikasi stroke yaitu:
a. Stroke Non Hemoragik (infark atau kematian jaringan)
Stroke non hemoragik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti (iskemik). Biasanya terjadi setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur, atau dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun
terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Stroke iskemik dapat dibagi menjadi 2 jenis, stroke trombotik dan stroke embolik.
1) Stroke trombotik
Stroke trombotik adalah pembentukan gumpalan darah (trombus) terbentuk di
salah satu arteri yang memasok darah ke otak. Gumpalan tersebut disebabkan oleh
deposit lemak (plak) yang menumpuk di arteri dan menyebabkan suplai darah,
oksigen berkurang (aterosklerosis) atau terhenti yang dapat menyebabkan
kematian jaringan pada otak. Stroke trombolitik yang berkaitan dengan hipertensi
dan diabetes melitus sebanyak 2/3 karena dapat mempercepat proses
atherosklerosis. Faktor yang lain karena pemakaian kontrasepsi, policetamia vera,
hipoksia kronik dan dehidrasi. Trombus mengakibatkan oklusi lumen arteri yang
dapat menurunkan perfusi, iskemik dan infark. 30-50% kasus stroke trombotik
diawali dengan gejala prodromal: paresis, aphasia, paralisis, mati rasa, diplopia,
dysartria. Gejala prodromal dapat kembali normal tanpa menimbulkan gejala sisa.
Gejala stroke trombotik mencapai puncaknya dalam 72 jam, karena terjadinya
edema area yang infark.
2) Stroke embolik
Emboli cerebral adalah sumbatan arteri cerebral oleh suatu emboli yang dapat
mengakibatkan nekrosis dan edema area yang di aliri oleh pembuluh darah yang
terlibat. Jenis stroke ini terjadi akibat adanya sumbatan pada pembuluh darah otak
seperti bekuan lemak, udara dan darah. Trombus yang terlepas dari jantung dan
tersumbat pada sistem arteri disebut emboli. Mayoritas emboli berasal dari lapisan
endokardium jantung yang berupa jaringan atau plague yang terlepas dari
endokardium kemudian ikut aliran darah dan menyumbat arteri yang kecil atau
pada area bifurkasi. Penyakit jantung yang sering menyebabkan terbentuknya
emboli yaitu: fibrilasi atrial, miokard infark, endokarditis infeksi, penyakit jantung
reumatik, defek atrial. Umumnya stroke embolik mempunyai manifestasi klinik
yang berat. Gejala prodromal lebih jarang dibandingkan dengan stroke trombotik.
Onset serangan stroke embolik mendadak dan mungkin atau tidak berkaitan
dengan aktivitas.

Klasifikasi Stroke Non Hemoragik berdasarkan perjalanan penyakit atau stadiumnya


menurut Nugroho et al, (2018) antara lain:

a) Transient Ischemic Attack (TIA)


Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai dengan
beberapa jam dan gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam
waktu kurang dari 24 jam.
b) Stroke Involusi
Stroke yang masih terjadi terus sehingga gangguan neurologis semakin berat/buruk
dan langsung selama 24 jam bahkan beberapa hari.
c) Stroke komplet
Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap, dapat diawali oleh serangan TIA
berulang.

b. Stroke hemoragik (Perdarahan)


Stroke Hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut yang terjadi ketika
pembuluh darah di otak pecah dan menyebabkan perdarahan. Biasanya kejadiannya saat
melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran
pasien umumnya menurun. Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahun dan biasanya
timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (mental).

1) Intracerebral Hemorrhage (ICH) (perdarahan intraserebral)


Perdarahan intracerebral merupakan perdarahan yang terjadi pada jaringan otak.
Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke
dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan
edema otak. Penyebab intracerebral hemorrhage yaitu hipertensi, trauma kepala akibat
kecelakaan, depresi tulang tengkorak akibat fraktur, cedera penetrasi peluru.
2) Subarachnoid Hemorrhage (SAH)
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi diruang subarachnoid diantara
lapisan pelindung otak atau meningen, akibat pecahnya atau rusaknya pembuluh
darah. Penyebab subarachnoid hemorrhage yaitu ruptur aneurisme (robekan yang
terjadi pada pembuluh darah abnormal di otak) dan malformasi arteriovenosa (MAV)
kondisi adanya pertumbuhan abnormal pada pembuluh darah di otak.
3. Etiologi
Menurut Haryono, (2019) etiologi stroke non hemoragik antara lain:
1. Timbulnya trombosis Trombosis merupakan pembentukan plak pada pembuluh darah
yang disebabkan karena tingginya kadar lemak dalam darah.
2. Timbulnya emboli
Emboli merupakan plak yang lepas dari perlekatan dinding pembuluh darah mengalir
mengikuti aliran darah. Emboli ini biasanya menyebabkan sumbatan di pembuluh darah
yang menyebabkan hambatan aliran darah.
3. Akibat adanya kerusakan arteri yaitu: usia, hipertensi, DM
4. Pembuluh darah mengalami degeneratif seiring bertambahnya usia seseorang. Hipertensi
dan DM menyebabkan dinding pembuluh darah mengalami pengerasan sehingga tidak
elastis lagi ketika harus berkompensasi terhadap perubahan tekanan darah.
4. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf
Menurut Nugroho, Maria, 2021 Anatomi fisiologi sistem saraf, yaitu:
Sistem saraf merupakan sistem fungsional dan struktural yang paling terorganisasi dan paling
kompleks. Sistem ini mempengaruhi fungsi tubuh, baik secara fisiologis maupun psikologi.
Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan pemrosesan
yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf). Secara garis besar, sistem
saraf terbagi menjadi 2 yang terdiri dari saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan saraf tepi
(saraf kranial dan spinal) dan secara fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik.
a. Sistem Saraf Pusat
Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula spinalis, yang
merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktivitas tubuh. Bagian fungsional pada
susunan saraf pusat adalah neuron akson sebagai penguhubung dan transmisi elektrik
antar neuron, serta dikelilingi oleh sel glia yang menunjang secara mekanik dan
metabolik. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat (SSP). SSP terdiri
atas tiga divisi fungsional utama, yaitu: Otak dengan fungsi luhur atau korteks
serebral, otak dengan fungsi lebih rendah (ganglia, basal, talamus, hipotalamus, otak
tengah, pons, medula, serebelum), medula spinalis.
1. Otak
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting dan sebagai pusat pengatur dari segala
kegiatan manusia yang terletak di dalam rongga tengkorak. Bagian utama otak adalah
otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (brainstem).
Otak merupakan organ paling besar dan paling kompleks pada sistem saraf. Otak terdiri
atas lebih dari 100 miliar neuron dan serabut terkait. Jaringan otak memiliki konsisten
seperti gelatin. Organ semisolid ini memiliki berat 1.400 gram pada orang dewasa.

Gambar 2.1 Anatomi Otak Sumber : (Maria, 2021).

Pada otak terdapat suatu cairan yang dikenal dengan cairan cerebrospinalis. Cairan
cerebrospinalis ini mengelilingi ruang sub araknoid di sekitar otak dan medula spinalis.
Cairan ini juga mengisi ventrikel otak. Cairan ini menyerupai plasma darah dan cairan
interstisial dan dihasilkan oleh plesus koroid dan sekresi oleh sel-sel epindemal yang
mengelilingi pembuluh darah serebral dan melapisi kanal sentral medula spinalis. Fungsi
cairan ini adalah sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medula spinalis, juga
berperan sebagai media pertukaran nutrien dan zat buangan antara darah dan otak serta
medula spinalis.

a) Otak besar (Cerebrum)


Merupakan bagian otak yang terbesar 85% yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan
dan kiri dan tersusun dari korteks. Lapisan paling luar serebrum disebut sebagai korteks
serebri, memiliki tebal 2-5 mm. Istilah neokorteks sering digunakan untuk merujuk
korteks serebri kecuali pada bagian olfaktorius dan dari daerah hipokampus.
Kedua korteks serebri kanan dan kiri menginterpretasi data sensori, menyimpan
memori, mempelajari dan membentuk konsep akan tetapi setiap hemisfer mendominasi
hemisfer yang lain dalam beberapa fungsi. Sebagai contoh pada sebagian besar orang,
korteks kiri memiliki dominasi untuk analisis sistematis, bahasa dan kemampuan
berbicara, matematika, serta abstraksi. Korteks kanan memiliki dominasi untuk
asimilasi pengalaman sensoris seperti informasi visual dan aktivitas seperti menari,
senam, musik, dan apresiasi seni. Di dalam otak besar terdapat beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis
Korteks motorik mengatur aktivitas motorik. Area brocca terletak di anterior
korteks motorik primer dan superior sulkus lateralis mengkoordinasikan aktivitas
muskular kompleks mulut, lidah, dan laring serta memungkinkan pembicaraan
ekspresif (motorik). Kerusakan pada area ini akan menyebabkan klien tidak bisa
bicara dengan jelas, suatu gangguan yang disebut afasia brocca.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis adalah daerah korteks yang terletak di belakang sulkus sentralis,
di atas fisura lateralis dan meluas ke belakang ke fisua parieto-oksipitalis. Lobus
ini merupakan daerah sensorik primer otak untuk rasa raba dan pendengaran.
3) Lobus oksipitalis
Lobus oksiptalis adalah lobus posterior korteks serebrum. Lobus ini terletak di
sebelah posterior dari lobus parietalis dan di atas fisura-fisura parieto-oksipitalis.
Lobus ini menerima informasi yang berasal dari retina mata.
4) Lobus temporalis
Terletak dibawah (inferior) sulkus lateralis. Lobus temporalis mengandung area
reseftif auditori primer (interpretasi) dan area asosiasi auditori. Memori bahasa
disimpan di area asosiasi auditori lobus temporalis kiri. Kerusakan area ini akan
menyebabkan seseorang tidak dapat memahami bahasa yang diucapkan atau di
tulis atau mengenal memfasilitasi pemahaman bahasa terletak di area Wernicke.
Lobus ini juga terlibat dalam interpretasi bau dan penyimpanan ingatan.
b) Otak kecil (Cerebellum)
Otak kecil terletak difosa serebri posterior di bawah tentorium serebelum yaitu
durameter yang memisahkannya dari lobus oksipital serebrum. Merupakan pusat
koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot melalui suatu mekanisme kompleks dan
umpan balik juga memungkinkan sistem somatik tubuh untuk bergerak secara tepat dan
terampil.
Cerebellum merupakan bagian penting dari susunan saraf pusat secara tidak sadar
mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal. Bagian-bagian dari
cerebellum yaitu: lobus anterior, lobus medialis, dan lobus fluccolonodularis. Lobus
anterior merupakan paleocerebellum yang menerima masukan rangsang dari ujung-
ujung proprioseptif dalam otot dan tendon serta dari reseptor raba dan tekan. Lobus
medialis merupakan neocerebellum yang tidak berhubungan dengan gerak voluntary.
Cerebellum terdiri atas substansia alba dan grisea. Cerebelum mengintegrasikan
informasi sensoris berkaitan dengan posisi bagian tubuh, koordinasi gerakan otot
skleletal dan mengatur kekuatan otot yang penting untuk keseimbangan dan postur.
c) Batang otak (Brainstem)
Batang otak berhubungan dengan diensefalon di atasnya dan medulla spinalis di
bawahnya, struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden,
formasio retrikularis dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan
bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf kranial. Batang otak secara
garis besar terdiri atas:
1) Diensephalon
Diensephalon merupakan bagian atas otak yang terdapat diantara serebelum dan
mesensefalon. Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis
terdapat kapsul interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensephalon tersusun
atas talamus dan hipotalamus. Talamus menyalurkan semua informasi asesndens
(sensorik) kecuali penghindu menuju ke sel kortikal. Hipotalamus mengatur fungsi
sistem saraf autonom seperti denyut jantung, tekanan darah, keseimbangan air dan
elektrolit, motilitas lambung dan usus, suhu tubuh, berat badan, dan siklus tidur
terjaga. Fungsi lain dari diensephalon adalah mengecilkan pembuluh darah, membantu
proses pernafasan, mengontrol kegiatan refleks, membantu kerja jantung.
2) Menesefalon
Merupakan penghubung antara pons dan serebelum dan serebrum. Fungsinya
membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata, memutar mata dan pusat
pergerakan mata.
3) Pons
Merupakan penghubung antara mesensefalon dengan medula oblongata, fungsinya
membantu dalam regulasi pernapasan dan rasa raba, rasa nyeri dan rasa suhu.
4) Medula oblongata
Merupakan struktur batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli
dengan medula spinalis. Medula oblongata mengandung nukleus atau badan sel
berbagai saraf yang penting. Selain itu medula mengandung “pusat-pusat vital” yang
berfungsi mengendalikan pernapasan dan sistem kardiovaskuler.
2. Medula spinalis
Medula spinalis merupakan bagian susunan saraf pusat yang terdapat pada kanalis
spinalis. Dimulai dari foramen magnum tengkorak ke bawah sepanjang ± 45 cm sampai
setinggi vertebral lumbal 1-2 (yang disebut konus medularis) dan dikelilingi dan
dilindungi oleh tulang vertebra dan meningens (durameter, arakhnoid, piameter). Medula
spinalis tersusun dari 31 pasang saraf, yaitu 8 pasang saraf servikalis, 12 pasang saraf
torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf sarkum dan 1 pasang saraf koksigis. Di
dalam sumsum tulang belakang terdapat saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf
penghubung. Fungsinya adalah sebagai penghantar impuls dari otak ke otak serta sebagai
pusat pengatur gerak refleks.

b) Sistem Saraf Tepi


Susunan sistem saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis yang merupakan
garis komunikasi antara SSP dan tubuh. Ada 12 pasang saraf kranialis yaitu, sebagai
berikut:
1) Nervus I: Olfactorius Fungsi pembauan, kelainan: anosmia, hiposmia, paranosmia.
2) Nervus II: Opticus. Fungsi penglihatan, kelainan: miopia, hemianopsia, buta warna,
dan papil edema.
3) Nervus III: Occulomotorius. Fungsi otot gerak bola mata dan mengangkat kelopak
mata, otot pupil, kelainan: ptosis, diplopia, pupil anisocor, refleks cahaya menurun.
4) Nervus IV: Trochlearis. Fungsi otot gerak bola mata arah medioinferior dan memutar
mata, kelainan diplopia.
5) Nervus V: Trigeminus. Fungsi saraf sensoris wajah, kelainan: trigeminal neuralgia
(nyeri hebat di wajah, pipi atau rahang).
6) Nervus VI : Abducent. Fungsi otot gerak bola mata ke lateral, kelainan: diplopia,
strabismus konvergen.
7) Nervus VII: Facialis. Fungsi otot wajah, pengecapan lidah 2/3 depan, kelenjar air
mata, kelainan: bell’s palsy, wajah merot, hiperakusis (suara mengeras), hipoaugesia
(lidah tidak bisa merasa rasa asam, manis, asin), hipolacrimasi (sekresi air mata
berkurang).
8) Nervus VIII: Vestibulocochlearis. Fungsi pendengaran dan keseimbangan, kelainan:
pendengaran menurun, vertigo, gangguan keseimbangan, nistagmus.
9) Nervus IX: Glosofaringeus. Fungsi menelan, bersuara.
10) Nervus X: Vagus. Fungsi menelan, bersuara, fungsi saraf otonom parasimpatis,
kelainan: disfagia, disartria.
11) Nervus XI: Accesorius. Fungsi menggerakkan leher dan bahu, kelainan : tortikollis,
bahu jatuh.
12) Nervus XII: Hipoglosus.
Fungsi menggerakkan lidah, kelainan: disfagia, disatria. (Munir, 2020).

Gambar 2.2 Distribusi saraf kranial.


Sumber : (Maria, 2021).
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis Stroke Non Hemoragik menurut Munir, (2019):
a. Pembagian stroke menurut manifestasi klinisnya:
1) Transient Ischemic Attack (TIA) : Serangan akut defisit neurologis fokal yang
berlangsung singkat, kurang dari 24 jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa
pengobatan. Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malam
menetap.
2) Residual Ischemic Neurological Defisit (RIND): Sama dengan TIA tetapi
berlangsung lebih dari 24 jam dan sembuh sempurna dalam waktu kurang dari 3
minggu.
3) Completed stroke: Stroke dengan defisit neurologis berat dan menetap dalam waktu
6 jam, dengan penyembuhan tidak sempurna dalam waktu lebih dari 3 minggu.
4) Progressive stroke: Stroke dengan defisit neurologi fokal yang terjadi bertahap dan
mencapai puncaknya dalam waktu 24-48 jam (system karotis) atau 96 jam (system
VB) dengan penyembuhan tidak sempurna dalam waktu 3 minggu.
b. Tanda dan Gejala Stroke Non Hemoragik berdasarkan pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasi gangguan peredaran darah sebagai berikut:
1) Arteri Cerebri Anterior:
a) Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan yang lebih ringan.
b) Gangguan mental.
c) Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
d) Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
e) Bisa terjadi kejang-kejang.
2) Arteri Cerebri Media:
a) Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan.
b) Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh. Hilangnya kemampuan dalam
berbahasa (aphasia).
3) Aretri Karotis Interna:
a) Buta mendadak (amaurosis fugaks).
b) Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa (disfasia) bila gangguan
terletak pada sisi dominan.
c) Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan
dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
4) Arteri Cerebri Posterior:
a) Koma.
b) Hemiparesis kontra lateral.
c) Ketidakmampuan membaca (aleksia).
d) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
5) Sistem Vertebrobasiler:
a) Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstermitas.
b) Meningkatnya refleks tendon.
c) Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
d) Gejala-gejala serebelum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar
(vertigo).
e) Kehilangan kesadaran sepintas atau pingsan (syncop), penurunan kesadaran
secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya
ingat terhadap lingkungan (disorientasi).
f) Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola
mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis),
kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan
kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
g) Gangguan pendengaran.
h) Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.

6. Patofisiologi
Menurut Haryono, (2019) patofisiologi Stroke Non Hemoragik adalah sebagai berikut:
Stroke iskemik atau stroke penyumbatan disebabkan oleh oklusi cepat dan mendadak pada
pembuluh darah otak sehingga aliran darah terganggu. Jaringan otak yang kekurangan
oksigen selama lebih dari 60-90 detik akan menurun fungsinya. Trombus atau
penyumbatan seperti aterosklerosis menyebabkan iskemia pada jaringan otak dan membuat
kerusakan jaringan neuron sekitarnya akibat proses hipoksia dan anoksia. Sumbatan emboli
yang terbentuk di daerah sirkulasi lain dalam sistem peredaran darah yang bisa terjadi di
dalam jantung atau sebagai komplikasi dari fibrilasi atrium yang terlepas dan masuk ke
sirkulasi darah otak, dapat pula menganggu sistem sirkulasi otak.
Oklusi akut pada pembuluh darah otak membuat daerah otak terbagi menjadi dua daerah
keparahan derajat otak, yaitu daerah inti dan daerah penumbra. Daerah inti adalah daerah
atau bagian otak yang memiliki aliran darah kurang dari 10 cc/100 g jaringan otak tiap
menit. Daerah ini berisiko menjadi nekrosis dalam hitungan menit. Sedangkan daerah
penumbra adalah daerah otak yang aliran darahnya terganggu tetapi masih lebih baik
daripada daerah inti karena daerah ini masih mendapat suplai perfusi dari pembuluh darah
lainnya. Daerah penumbra memiliki aliran darah 10-25 cc/100 g jaringan otak tiap menit.
Daerah penumbra memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan daerah inti. Defisit
neurologis dari stroke iskemik tidak hanya bergantung pada luas daerah inti dan penumbra,
tetapi juga pada kemampuan sumbatan menyebabkan kekakuan pembuluh darah atau
vasopasme.
Kerusakan jaringan otak akibat oklusi atau tersumbatnya aliran darah adalah suatu proses
biomolekular yang bersifat cepat dan progresif pada tingkat selular, proses ini disebut
dengan kaskade iskemia (ischemic cascade). Setelah aliran darah terganggu, jaringan
menjadi kekurangan oksigen dan glukosa yang menjadi sumber utama energi untuk
menjalankan proses potensi membran. Kekukarangan energi ini membuat daerah yang
kekurangan oksigen dan gula darah tersebut menjalankan metabolisme anaerob.
Metabolisme anaerob ini merangsang pelepasan senyawa glutamat. Glutamat bekerja pada
reseptor di sel-sel saraf (terutama reseptor NMDA/N-methyl-D-aspartame), menghasilakan
influks natrium dan kalsium. Influks natrium membuat jumlah cairan intraseluler
meningkat dan pada akhirnya menyebabkan edema pada jaringan. Influks kalsium
merangsang pelepasan enszim protolisis (prototese, lipase, nuklease) yang memecah
protein, lemak dan struktur sel. Influks kalsium juga dapat menyebabkan kegagalan
mitokondria, suatu organel membran yang berfungsi mengatur metabolisme sel.
Kegagalan- kegagalan tersebut yang membuat sel otak pada akhirnya mati atau nekrosis
(Haryono, 2019; Maria, 2021; Tim Pokja SDKI, 2017).

7. Pathway
8. Faktor risiko
Menurut Rendy, (2019) faktor risiko stroke terbagi menjadi 2 yaitu faktor risiko yang
dapat diubah dan faktor risiko yang tidak dapat diubah.
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
1) Faktor genetik/riwayat keluarga
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling berkaitan. Dalam hal
ini hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah menjadi faktor genetik yang
berperan.
2) Riwayat TIA atau stroke
Orang yang pernah mengalami stroke, berisiko tinggi mengalami serangan
berulang.
3) Usia
Semakin bertambah tua usia, semakin tinggi risikonya. Setelah berusia 55 tahun,
risikonya berlipat ganda setiap kurun waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua
serangan stroke terjadi pada orang yang berusia di atas 65 tahun. Tetapi, itu tidak
berarti bahwa stroke hanya terjadi pada orang lanjut usia karena stroke dapat
menyerang semua kelompok dewasa muda dan tidak memandang jenis kelamin.
4) Jenis kelamin
Pria lebih berisiko terkena stroke daripada wanita. Hal ini dikarenakan perempuan
memiliki hormon esterogen yang berperan dalam mempertahankan kekebalan tubuh
sampai menopause dan sebagai proteksi atau pelindung pada proses ateroskerosis.
Tetapi penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita yang meninggal
karena stroke. Risiko stroke pria lebih tinggi daripada wanita, tetapi serangan stroke
pada pria terjadi di usia lebih muda sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih
tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih jarang terkena stroke pada umumnya
wanita terserang pada usia lebih tua atau seteleh menopause, sehingga
kemungkinan meninggal lebih besar.
5) Ras
Ada variasi yang cukup besar dalam insiden stroke antara kelompok etnis yang
berbeda. Orang-orang dari ras Afrika-Amerika memiliki risiko lebih tinggi untuk
semua jenis stroke dibandingkan dengan orang-orang dari ras kaukasia. Karena
orang kulit hitam lebih banyak terkena hipertensi berkaitan dengan konsumsi
garam.
b. Faktor risiko yang dapat diubah
1) Hipertensi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) merupakan faktor risiko utama. Hipertensi
mempercepat terjadinya aterosklerosis, yaitu dengan cara menyebabkan perlakuan
secara mekanis pada sel endotel (dinding pembuluh darah) di tempat yang
mengalami tekanan tinggi. Jika proses tekanan berlangsung lama, dapat
menyebabkan kelemahan pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi rapuh
dan mudah pecah. Penderita hipertensi memiliki faktor risiko stroke empat hingga
enam kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi dan sekitar 40-90%
pasien stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Secara medis,
tekanan darah di atas 140-90 mmHg tergolong dalam penyakit hipertensi.
2) Diabetes mellitus
Seorang yang mempunyai penyakit diabetes mellitus mempunyai risiko serangan
stroke 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak diabetes. Mekanisme yang
medasari terjadinya diabetes melitus pada stroke iskemik yaitu adanya proses
aterosklerosis. Kejadian orang dengan aterosklerosis otak yaitu sebesar 30% pada
orang dengan diabetes melitus. Diabetes melitus bisa menyebabkan beberapa
mekanisme diantaranya yaitu terjadi kerusakan pada pembuluh darah yang besar
ataupun pembuluh darah perifer, kemudian terjadi peningkatan agregasi trombosit
dan terjadi peningkatan kekentalan (viskositas) di dalam darah sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang akhirnya akan menyebabkan stroke
iskemik (Saputra, (2019 dalam Faruqi dkk, 2022)).
3) Kenaikan kadar kolesterol/lemak darah
Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan aterosklerosis. Aterosklerosis berperan
dalam menyebabkan penyakit jantung koroner dan stroke itu sendiri. Karena
kolesterol tidak dapat langsung larut dalam darah dan cenderung menempel di
pembuluh darah, akibatnya kolesterol membentuk bekuan dan plak yang
menyumbat arteri dan akhirnya memutuskan aliran darah ke jantung (menyebabkan
serangan jantung) dan ke otak (menyebabkan serangsn stroke).
4) Merokok
Perokok lebih rentan mengalami stroke dibandingkan dengan bukan perokok.
Nikotin dalam rokok membuat jantung bekerja keras karena frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah meningkat. Pada perokok akan timbul plaque pada
pembuluh darah oleh nikotin sehingga memungkinkan penumpukan ateroskelrosis
dan kemudian berakibat pada stroke.
5) Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol memiliki efek sekunder terhadap peningkatan tekanan
darah, penurunan aliran darah ke otak dan cardiac aritmia serta kelainan motilitas
pembuluh darah sehingga terjadi emboli serebral.
6) Life style
Life style atau gaya hidup seringkali dikaitkan sebagai pemicu berbagai penyakit
yang menyerang, baik pada usia produktif maupun usia lanjut. Salah satu contoh
life style yaitu berkaitan dengan pola makan. Generasi muda biasanya sering
menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi
makanan siap saji yang serat lemak dan kolesterol namun rendah sehat,
mengonsumsi makanan yang digoreng atau makanan dengan kadar gula tinggi dan
berbagai jenis makanan yang ditambah zat pewarna/penyedap/pemanis dan lain-
lain. Faktor gaya hidup lain yaitu sedentary life style atau kebiasaan hidup santai
dan malas berolah raga. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan
metabolisme tubuh dalam pembakaran zat-zat makanan yang dikonsumsi.
Sehingga, berisiko membentuk terjadinya tumpukan kadar lemak dan kolestrol
dalam darah yang berisiko membentuk ateroskelorosis (plak) yang dapat
menyumbat pembuluh darah yang dapat berakibat pada munculnya serangan
jantung dan stroke.
7) Obesitas
Makan berlebihan dapat menyebabkan kegemukan (obesitas). Obesitas lebih cepat
terjadi dengan pola hidup pasif (kurang gerak dan olahraga). Jika makanan yang
dimakan banyak mengandung lemak jahat (seperti kolestrol), maka ini dapat
menyebabkan penimbunan lemak disepanjang pembuluh darah. Penyempitan
pembuluh darah ini menyebabkan aliran darah kurang lancar dan memicu
terjadinya aterosklerosis atau penyumbatan dalam pembuluh darah yang pada
akhirnya berisiko terserang stroke. Penyumbatan tersebut biasanya diakibatkan oleh
plak-plak yang menempel pada dinding pembuluh darah.

9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien Stroke Non Hemoragik
menurut Haryono, (2019) yaitu sebagai berikut:
a. Computer Tomografi Scan (CT Scan)
Pemeriksaan CT Scan menggunakan serangkaian sinar-X untuk membuat gambar
detail dari otak. CT Scan dapat menunjukkan perdarahan, tumor, stroke dan kondisi
lainnya. Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara pasti. Pada stroke non
hemoragik terlihat adanya infark.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat untuk menciptakan
tampilan rinci otak. MRI dapat mendeteksi jaringan otak yang rusak oleh stroke
iskemik dan perdarahan otak. Pemeriksaan ini lebih canggih dibanding CT Scan.
c. Ultrasonografi Dopler (USG Dopler)
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri karotis /aliran darah
/muncul plaque/arterosklerosis).
d. Angiografi serebral
Prosedur ini memberikan gambaran secara rinci tentang arteri di otak dan leher. Serta
membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler.
e. Elektro encephalo Graphy (EEG)
Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
f. Pemeriksaan foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran vertrikel kiri
yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke,
menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari massa
yang meluas.
g. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dilakukan dengan memasukkan jarum ke dalam ruang subarakhnoid
untuk mengeluarkan CSS yang bertujuan untuk diagnostik atau pengobatan.
Pemeriksaan pungsi lumbal menunjukan adanya tekanan normal. Tekanan meningkat
dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.

10. Komplikasi
Menurut Maria, (2021) stroke dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi dan
sebagian besar komplikasi tersebut berakibat fatal. Beberapa komplikasi yang mungkin
muncul, antara lain:
a. Deep vein thrombosis
Sebagian orang akan mengalami penggumpalan darah di tungkai yang mengalami
kelumpuhan. Kondisi tersebut dikenal sebagai deep vein thrombosis. Kondisi ini
terjadi akibat terhentinya gerakan otot tungkai, sehingga aliran didalam pembuluh
darah vena tungkai terganggu. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya
prnggumpalan darah. Deep vein thrombosis dapat diobati dengan obat antikoagulan.
b. Hidrosefalus
Sebagian besar pengidap stoke hemoragik dapat mengalami hidrosefalus, yaitu
menumpuknya cairan otak di dalam rongga jauh di dalam otak (ventrikel), dokter
bedah saraf akan memasang sebuah selang ke dalam otak untuk membuang cairan
yang menumpuk tersebut.
c. Kesulitan menelan (Disfagia)
Kerusakan yang disebabkan oleh stroke dapat menganggu refleks menelan, akibatnya
makanan dan minuman berisiko masuk ke dalam saluran pernapasan. Masalah dalam
menelan tersebut dikenal sebagai disfagia. Disfagia dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi.
d. Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan secara sempurna, hal ini mengakibatkan
cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan pneumonia.
Sedangkan menurut Taufan, (2018) komplikasi Stroke Non Hemoragik adalah
sebagai berikut:
a. Hipoksia serebral.
b. Penurunan aliran darah serebral.
c. Embolisme serebral.
d. Pneumonia aspirasi.
e. ISK, inkontinensia.
f. Kontraktur.
g. Abrasi kornea.
h. Dekubitus.
i. Enchephalitis.
j. CHF.
k. Disritmia, hidrosephalus, vasospasme.
l. Gangguan daily life activity.

11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan stroke non hemoragik menurut Harsono, (2019) adalah sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan keperawatan
1) Bedrest total dengan posisi kepala head up 15-30º.
2) Berikan terapi oksigen 2-3 L/menit dengan nassal kanul.
3) Pasang infus IV sesuai kebutuhan.
4) Monitor ketat kelainan-kelainan neurologis yang timbul.
5) Berikan posisi miring kanan dan kiri per 2 jam dan observasi pasca pemberian
posisi.
6) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG.

b. Penatalaksanaan medis
1) Pemberian alteplase dengan dosis 0.6-0.9 ,g/kkBB dengan onset <6 jam sebagai
trombosis intravena.
2) Trombektomi mekanik dengan oklusi karotis interna atau pembuluh darah
intracranial dengan onset <8 jam sebagai terapi endovasculer.
3) Pemberian obat-obatan seperti nicardipin, ACE inhibitor, Beta blocker, Diuretik,
calcium antagonist sebagai manajemen hipertensi.
4) Pemberian obat-obatan seperti anti diabetik oral maupun insulin sebagai
manajemen gula darah.
5) Trombolitik merupakan penggunaan obat-obatan untuk melarutkan gumpalan darah
yang merupakan penyebab utama serangan stroke non hemoragik.
6) Pemberian obat-obatan antikoagulan, terapi antikoagulan ini untuk mengurangi
pembentukkan bekuan darah dan mengurangi emboli seperti dabigatran, warfarin,
dll.
7) Antiplatelet Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke untuk
pencegahan stroke ulangan dengan mencegah terjadinya agregasi platelet. Aspirin
merupakan salah satu antiplatelet yang direkomendasikan penggunaannya untuk
pasien stroke.
8) Pemberian obat-obatan neuroprotektor seperti citicholin, piracetam, pentoxyfiline,
dll.

c. Fase rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat.
2) Program manajemen Bladder dan bowel.
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak Range Of Motion (ROM).
4) Terapi latihan genggam bola karet.
5) Pertahankan integritas kulit.
6) Pertahankan komunikasi yang efektif.
7) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
8) Persiapan pasien pulang.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan merupakan suatu proses keperawatan yaitu suatu metode sistematis dan
ilmiah yang digunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien dalam mencapai atau
mempertahankan keadaan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang optimal melalui
tahapan pengkajian keperawatan, identifikasi diagnosis keperawatan, penentuan perencanaan
keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasinya (Suarli, 2019).
Asuhan keperawatan pada pasien Stroke Non Hemoragik, yang meliputi pengkajian,
diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi
keperawatan adalah sebagai berikut
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan
tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah
keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan (Nikmatul
& Saiful, 2016).
Hal-hal yang perlu dikaji antara lain:
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register dan diagnosis medis.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi dan
penurunan tingkat kesadaran.
2) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang
melakukan aktivitas. Terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di
dalam intrakranial.
3) Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien mempunyai riwayat penyakit dahulu atau tidak, seperti riwayat
hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
4) Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit menurun atau menular.
Riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat
stroke dari generasi terdahulu.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran
Pasien stroke mengalami tingkat kesadaran pasien mengantuk namun dapat sadar saat
dirangsang (samnolen), pasien acuh tak acuh terhadap lingkungan (apatis), mengantuk
yang dalam (sopor), sopor coma, hingga penurunan kesadaran (coma), dengan GCS
<12 pada awal terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan biasanya memiliki
tingkat kesadaran letargi dan compos mentis dengan GCS 13-15.
2) Tanda-tanda Vital
Meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu.
3) Status gizi
Pada pasien stroke non hemoragik didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Pada pemeriksaan bowel juga
diperlukan adanya pemeriksaan nutrisi berupa ABCD nutrisi.
a) Antropometri: tinggi badan, berat badan, berat badan ideal, berat badan biasa,
indeks masa tubuh.
b) Biokimia: hemoglobin, albumin serum, hitung limfosit total.
c) Clinical: kulit, rambut dan kuku, membran mukosa, tingkat aktivitas.
d) Dietary: ingatan makanan dalam 24 jam, catatan frekuensi makanan.
4) Pemeriksaan Head to toe
a) Rambut
b) Wajah
Inspeksi wajah simetris atau asimetris.
c) Mata
Inspeksi konjungtiva, sklera, pupil, kaji pergerakan bola mata, lihat ada massa/lesi
tidak.
d) Hidung
Inspeksi hidung simetris/asimetris, kaji penggunaan alat bantu napas, kaji adanya
nafas tambahan, ada pernafasan cuping hidung atau tidak, kaji adanya lesi atau
massa.
e) Mulut dan gigi
Inspeksi mulut simetris atau asimetris, kaji keadaan gigi, kaji mukosa mulut
pasien.
f) Telinga
Inspkesi telinga simetris atau asimetris, kaji ada cairan yang keluar dari telinga
pasien atau tidak, pasien mengalami gangguan pendengaran atau tidak.
g) Leher
Leher bersih atau tidak, kaji adanya pembesaran tiroid atau tidak, terdapat nyeri
tekan atau tidak.
h) Dada/Thorax
(1)Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada simetris atau asimetris, irama pernapasan, nyeri dada, kaji
kedalaman dan juga suara nafas atau adanya kelainan suara nafas, tambahan atau
adanya penggunaan otot bantu pernapasan.
Palpasi : periksa adanya nyeri tekan atau adanya massa. Perkusi : rasakan suara
paru sonor atau hipersonor.
Auskultasi : dengarkan suara paru vesikuler atau bronkovesikuler.
(2)Jantung
Inspeksi : iktus kordis tampak atau tak tampak. Palpasi : iktus kordis teraba atau
tak teraba.
Perkusi : batas jantung normal. Auskultasi : suara vesikuler atau murmur.
i) Abdomen
Inspeksi : amati bentuk abdomen simetris atau asimetris.
Auskultasi : dengarkan bising usus di keempat kuadran abdomen.
Palpasi : periksa adanya massa atau adanya nyeri tekan. Perkusi : dengarkan
thympany atau hiperthympany.
j) Ekstremitas
(1)Atas
Terpasang infus bagian dextra atau sinistra. Capillary Refill Time (CRT) biasanya
normal yaitu <2 detik. Pada pemeriksaan nervus XI (aksesorius) : biasanya pasien
stroke non hemoragik tidak dapat melawan tahanan pada bahu yang diberikan
perawat. Pada pemeriksaan reflek saat siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari
siku, tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-)). Sedangkan pada pemeriksaan
reflek Hoffman tromner jari tidak mengembang ketika di beri reflek (reflek
Hoffman tromner (+)).
(2)Bawah
Pada pemeriksaan reflek, pada saat pemeriksaan bluedzensky 1 kaki kiri pasien
fleksi (bluedzensky (+)). Pada saat telapak kaki digores biasanya jari tidak
mengembang (reflek babinsky (+)). Pada saat dorsal pedis digores jari kaki juga
tidak berespon (reflek Caddok (+)). Pada saat betis di remas dengan kuat biasanya
pasien tidak merasakan apa-apa (reflek Gordon (+)). Pada saat dilakukan treflek
patella biasanya femur tidak bereaksi saat diketukkan (reflek patella (+)).

5) Pemeriksaan 12 saraf kranial


Menurut Sudarta, (2020) pengkajian pemeriksaan fisik fungsi saraf kranial, adalah
:
a) Nervus I (Olfactory) Fungsi : Penciuman.
Pemeriksaan : meminta pasien memejamkan mata, meminta pasien untuk
menutup salah satu lubang hidungnya, mendekatkan bau-bauan yang telah
dikenal pasien dan meminta pasien untuk menyebutkan jenis bau-bauan
tersebut, melakukan test yang sama pada hidung yang satunya.
b) Nervus II (Opticus)
Fungsi : penglihatan (aktifitas visual dan lapang pandang). Pemeriksaan :
memasang snellen pada jarak 6 m didepan pasien, meminta pasien untuk
membaca tulisan yang ada pada kartu snellen sampai mata tidak mampu
untuk membaca, bila pasien menggunakan kaca mata, minta untuk membaca
2x, 1x memakai kaca mata dan 1x tanpa memakai kaca mata.
c) Nervus III, IV dan VI (Occulomotoris, throclearis, abducent) Fungsi : Reaksi
pupil, pergerakan mata, fungsi motorik. Pemeriksaan : mengatur posisi pasien
senyaman mungkin, meminta pasien melihat kedepan, mata mengikuti
cahaya, menyalakan pen light, gerakan dari samping mata pasien kearah
tengah, mengikuti reaksi pupil pasien, apakah bersama-sama bereaksi dengan
stimulus cahaya, apakah reaksi cepat/lambat, apakah besarnya pupil ka/ki
sama. Selanjutnya gerakan jari petugas dari jarak 30 cm didepan hidung
pasien menuju kesamping ka/ki atas dan bawah. Kemudian, mata pasien tetap
melihat lurus kedepan leher pasien tetap dalam posisi lurus tanpa menoleh,
meminta pasien untuk menggerakan bola mata ke posisi 6 kardinal yaitu
medial superior, lateral inferior, lateral dan medial dan daya akomodasi,
mengamati adanya stabismus atau tidak.
d) Nervus V (Trigeminus)
Fungsi : sensasi dan pergerakan wajah.
Pemeriksaan : (Cabang sensori) meminta pasien untuk menutup matanya,
sentuhkan kapas, kuas, pangkal hamer di daerah dahi, dagu dan pipi pasien.
(Cabang motorik) meminta pasien untuk menggigit, mengamati tonus
muskulus masseter dan palpasi adakah penyimpangan tonus.
e) Nervus VII (Facialis)
Fungsi : otot wajah, pengecapan dan pergerakan wajah. Pemeriksaan :
meminta pasien untuk menutup matanya, kemudian sentuhkan pada lidah
bahan asin, manis, pahit, minta pasien untuk menyatakan sensasinya.
Meminta pasien untuk mengangkat alis, mengkerutkan dahi, mencucurkan
bibir, tersenyum, meringis, bersiul dan menggembungkan pipi, meminta
pasien untuk menutup mata dengan kuat dan membuka mata, mengamati
ketidaksimetrisan respons indikasi kelumpuhan saraf facialis.
f) Nervus VIII (Auditory/vestibulochoclearis) Fungsi : pendengaran dan
keseimbangan. Pemeriksaan : Fungsi keseimbangan : meminta pasien berdiri
tegak dengan mata tertutup, mengamati pasien apakah terhuyung-huyung atau
doyong seperti mau jatuh, meminta pasien untuk berdiri dan mengangkat satu
kaki dengan menutup mata, amati respon pasien, meminta pasien untuk
berjalan dalam satu garis lurus dengan mata tertutup amati apakah pasien
seimbang/tidak.
Fungsi pendengaran : Tes rinne, test weber, test swabbach.
g) Nervus IX dan X ( Glossofararingeus dan Vagus) Fungsi : menelan dan
bersuara, refleks muntah
Pemeriksaan : meminta pasien untuk membuka mulut lebar- lebar dengan
mengatakah “Ahhh...ahh”, mengamati letak ovula apakah simetris pada garis
tengah mulut atau deviasi. Sentuh bagian sepertiga superior lidah, palatum
mole dengan sudip lidah amati refleks muntah, meminta pasien untuk
menelan, amati respon menelan.
h) Nervus IX (Accesorius)
Fungsi: pergerakan leher dan bahu.
Pemeriksaan : meminta pasien untuk menoleh ke salah satu posisi, tangan
petugas menahan arah berlawanan dengan posisi menoleh, pasien diminta
untuk melawan tahanan tangan petugas, amati respon gerakan otot
sternoclaudimastoideus. Yang kedua, pasien mengangkat kedua bahu, petugas
memberi tekanan dari atas, pasien diminta tetap mengangat bahunya untuk
melawan tekanan tangan petugas.
i) Nervus XII (Hipoglosus) Fungsi : pergerakan lidah.
Pemeriksaan : meminta pasien untuk menjulurkan lidahnya, anjurkan untuk
menggerakan lidahnya ke atas dan ke bawah, meminta pasien menggerakan
lidahnya mendorong pipi ka/ki bergantian, amati adanya deviasi bentuk dan
fungsi lidah.
j) Universal self care requisites
Menurut Orem, (2018) dalam Ernawati, (2020) Universal self care requisites
menggambarkan tipe-tipe kebutuhan self care, yaitu:
1) Pemenuhan kebutuhan oksigen
Pasien stroke pada fase akut memiliki risiko untuk mengalami infeksi baik
infeksi saluran pernapasan akibat perdarahan serebral yang dapat
menurunkan trasportasi oksigen. Pengkajian keseimbangan pemasukan
udara pasien stroke meliputi frekuensi pernapasan, bunyi napas, kadar
analisis gas darah.
2) Pemenuhan kebutuhan cairan
Pengkajian keseimbangan cairan dan elektrolit meliputi keadaan cairan
tubuh, kebutuhan mendapatkan cairan, jenis cairan, tanda- tanda dehidrasi,
dan hasil laboratorium berkaitan dengan pemeriksaan cairan dan elektrolit
(hemoglobin, hematokrit, dan elektrolit).
3) Pemenuhan kebutuhan nutrisi
Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang perlu dikaji meliputi nafsu makan
pasien, mual, muntah, penurunan berat badan, kepatuhan pasien dalam diet,
pengetahuan pasien tentang diet dan hasil laboratorium beraitan dengan
pemenuhan kebutuhan nutrisi (glukosa darah, hemoglobin, dan kadar
albumin).
4) Pemenuhan kebutuhan eliminasi
Pengkajian eliminasi meliputi, perubahan pola, retensio urin dan
inkontinensia urin atau alvi. Protein urin, ureum darah dan kreatinin darah
dapat menggambarkan kemampuan filtrasi glomerulus pasien stroke akibat
tekanan darah tinggi.
5) Keseimbangan aktivitas & istirahat
Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan dan kelemahan otot sehingga
tidak mampu mobilisasi dan melaksanakan aktifitas sehari- hari dengan
optimal. Pengkajian meliputi kemampuan mobilisasi, beraktivitas, gangguan
tidur, tingkat nyeri, penurunan tonus dan kekuatan otot.
6) Pencegahan
Komplikasi stroke dapat menyebabkan risiko yang mengancam kehidupan.
Pengkajian yang harus dilakukan meliputi risiko terjadinya cedera, risiko
teradinya dekubitus, penurunan kekuatan otot.
7) Promosi
Faktor-faktor risiko keluarga seperti hipertensi, aterosklerosis, penyakit
jantung, diabetes mellitus, dan penyakit serebrovaskular atau ginjal.
Penggunaan pil KB atau hormon dan penggunaan obat atau alkohol.

2. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien tentang
masalah atau status kesehatan klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan
berdasarkan analisis data hasil pengkajian. Diagnosis keperawatan berfungsi untuk
mengidentifikasi, memfokuskan dan menentukan inervensi keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan atau mencegah masalah kesehatan klien. Diagnosis keperawatan yang
mungkin muncul pada kasus stroke non hemoragik menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
(2017) yaitu:
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan faktor risiko hipertensi
(D.0017).
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia) (D.0077).
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
(D.0054).
d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi serebral
(D.0119).
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan (D.0019).
f. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakmampuan menghidu dan melihat
(D.0085).
g. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan
mobilitas (D.0139).
h. Risiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun (D.0143).
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi merupakan suatu petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana
tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai kebutuhannya berdasarkan
diagnosis keperawatan. Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang dikerjakan
oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan. Berikut ini adalah intervensi keperawatan yang dapat
dirumuskan menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) dan kriteria hasil menurut (Tim
Pokja SLKI DPP PPNI, 2018) untuk memberikan tindakan keperawatan pada klien dengan
gangguan Stroke Non Hemoragik.

Diagnosa keperawatan Kriteria hasil Intervensi


a. Risiko perfusi Manajemen Peningkatan
serebral tidak efektif Setelah dilakukan Tekanan Intrakranial
berhubungan dengan intervensi keperawatan (I.06194)
selama 3 x 24 jam, maka
faktor risiko
hipertensi (D.0017). perfusi serebral meningkat, Observasi
dengan kriteria hasil:
 Identifikasi penyebab
1. Tingkat kesadaran peningkatan TIK
meningkat (misalnya: lesi, gangguan
2. Sakit kepala menurun metabolism, edema
3. Gelisah menurun serebral)
4. Tekanan arteri rata-rata  Monitor tanda/gejala
(mean arterial peningkatan TIK
pressure/MAP) (misalnya: tekanan darah
membaik meningkat, tekanan nadi
5. Tekanan intra kranial melebar, bradikardia, pola
membaik napas ireguler, kesadaran
menurun)
 Monitor MAP (mean
arterial pressure) (LIHAT:
Kalkulator MAP)
 Monitor CVP (central
venous pressure)
 Monitor PAWP, jika perlu
 Monitor PAP, jika perlu
 Monitor ICP (intra cranial
pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output
cairan
 Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik

 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari manuver valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan PEEP
 Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
 Atur ventilator agar PaCO2
optimal
 Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
sedasi dan antikonvulsan,
jika perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu

b. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238)


berhubungan dengan intervensi keperawatan Observasi
agen pencedera selama 3 x 24 jam, maka  Identifikasi lokasi,
fisiologis (iskemia) tingkat nyeri menurun, karakteristik, durasi,
(D.0077). dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas,
1. Keluhan nyeri intensitas nyeri
menurun  Identifikasi skala
2. Meringis menurun nyeri
3. Sikap protektif  Idenfitikasi respon
menurun nyeri non verbal
4. Gelisah menurun  Identifikasi faktor
5. Kesulitan tidur yang memperberat
menurun dan memperingan
6. Frekuensi nadi nyeri
membaik  Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
 Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri
 Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
 Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan Teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri (mis: TENS,
hypnosis, akupresur,
terapi music,
biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
 Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis: suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan
tidur
 Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan
analgesik secara tepat
 Ajarkan Teknik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

c. Gangguan mobilitas Dukungan Ambulasi


fisik berhubungan Setelah dilakukan (I.06171)
dengan gangguan intervensi keperawatan Observasi
neuromuskular selama 3 x 24 jam, maka  Identifikasi adanya
(D.0054). mobilitas fisik meningkat, nyeri atau keluhan
dengan kriteria hasil: fisik lainnya
 Identifikasi toleransi
1. Pergerakan ekstremitas
fisik melakukan
meningkat
ambulasi
2. Kekuatan otot
meningkat  Monitor frekuensi
3. Rentang gerak (ROM) jantung dan tekanan
meningkat darah sebelum
memulai ambulasi
 Monitor kondisi
umum selama
melakukan ambulasi
Terapeutik
 Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan alat
bantu (mis: tongkat,
kruk)
 Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika
perlu
 Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan
ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis:
berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai
toleransi)

d. Gangguan Promosi Komunikasi: Defisit


komunikasi verbal Setelah dilakukan Bicara (I.13492)
berhubungan dengan intervensi keperawatan Observasi
penurunan sirkulasi selama 3 x 24 jam, maka  Monitor kecepatan,
serebral (D.0119). komunikasi tekanan, kuantitias,
verbalmeningkat, dengan volume, dan diksi
kriteria hasil: bicara
 Monitor progress
1. Kemampuan berbicara
kognitif, anatomis,
meningkat
dan fisiologis yang
2. Kesesuaian ekspresi
berkaitan dengan
wajah/tubuh meningkat
bicara (mis: memori,
pendengaran, dan
Bahasa)
 Monitor frustasi,
marah, depresi, atau
hal lain yang
mengganggu bicara
 Identifikasi perilaku
emosional dan fisik
sebagai bentuk
komunikasi
Terapeutik
 Gunakan metode
komunikasi alternatif
(mis: menulis, mata
berkedip, papan
komunikasi dengan
gambar dan huruf,
isyarat tangan, dan
komputer)
 Sesuaikan gaya
komunikasi dengan
kebutuhan (mis:
berdiri di depan
pasien, dengarkan
dengan seksama,
tunjukkan satu
gagasan atau
pemikiran sekaligus, 
bicaralah dengan
perlahan sambal
menghindari teriakan,
gunakan komunikasi
tertulis, atau meminta
bantuan keluarga
untuk memahami
ucapan pasien)
 Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan
bantuan
 Ulangi apa yang
disampaikan pasien
 Berikan dukungan
psikologis
 Gunakan juru bicara,
jika perlu
Edukasi
 Anjurkan berbicara
perlahan
 Ajarkan pasien dan
keluarga proses
kognitif, anatomis,
dan fisiologis yang
berhubungan dengan
kemampuan bicara
Kolaborasi
 Rujuk ke ahli patologi
bicara atau terapis

e. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi (I.03119)


berhubungan dengan intervensi keperawatan Observasi
ketidakmampuan selama 3 x 24 jam, maka  Identifikasi status
menelan makanan status nutrisi membaik, nutrisi
(D.0019). dengan kriteria hasil:  Identifikasi alergi dan
1. Porsi makan yang intoleransi makanan
dihabiskan  Identifikasi makanan
meningkat yang disukai
2. Berat badan  Identifikasi kebutuhan
membaik kalori dan jenis
3. Indeks massa tubuh nutrien
(IMT) membaik  Identifikasi perlunya
penggunaan selang
nasogastrik
 Monitor asupan
makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
 Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu
 Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis:
piramida makanan)
 Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
 Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
 Ajarkan posisi duduk,
jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis: Pereda
nyeri, antiemetik),
jika perlu
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu

f. Risiko gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit


integritas intervensi keperawatan (I.11353)
kulit/jaringan selama 3 x 24 jam, maka Observasi
berhubungan integritas kulitmeningkat,  Identifikasi penyebab
dengan dengan kriteria hasil: gangguan integritas
penurunan mobilitas 1. Kerusakan lapisan kulit (mis: perubahan
(D.0139). kulit menurun sirkulasi, perubahan
status nutrisi,
penurunan
kelembaban, suhu
lingkungan ekstrim,
penurunan mobilitas)
Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2
jam jika tirah baring
 Lakukan pemijatan
pada area penonjolan
tulang, jika perlu
 Bersihkan perineal
dengan air hangat,
terutama selama
periode diare
 Gunakan produk
berbahan petroleum
atau minyak pada
kulit kering
 Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada
kulit sensitive
 Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering
Edukasi
 Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis: lotion,
serum)
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
 Anjurkan
meningkatkan asupan
buah dan sayur
 Anjurkan
menghindari terpapar
suhu ekstrim
 Anjurkan
menggunakan tabir
surya SPF minimal 30
saat berada diluar
rumah
 Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya

g. Risiko jatuh Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh (I.14540)


berhubungan dengan intervensi keperawatan Observasi
kekuatan otot selama 3 x 24 jam, maka  Identifikasi faktor
menurun (D.0143). tingkat jatuh menurun, jatuh (mis: usia > 65
dengan kriteria hasil: tahun, penurunan
1. Jatuh dari tempat tingkat kesadaran,
tidur menurun defisit kognitif,
2. Jatuh saat berdiri hipotensi ortostatik,
menurun gangguan
3. Jatuh saat duduk keseimbangan,
menurun gangguan
4. Jatuh saat berjalan penglihatan,
menurun neuropati)
 Identifikasi risiko
jatuh setidaknya
sekali setiap shift atau
sesuai dengan
kebijakan institusi
 Identifikasi faktor
lingkungan yang
meningkatkan risiko
jatuh (mis: lantai
licin, penerangan
kurang)
 Hitung risiko jatuh
dengan menggunakan
skala (mis: fall morse
scale, humpty dumpty
scale), jika perlu
 Monitor kemampuan
berpindah dari tempat
tidur ke kursi roda
dan sebaliknya
Terapeutik
 Orientasikan ruangan
pada pasien dan
keluarga
 Pastikan roda tempat
tidur dan kursi roda
selalu dalam kondisi
terkunci
 Pasang handrail
tempat tidur
 Atur tempat tidur
mekanis pada posisi
terendah
 Tempatkan pasien
berisiko tinggi jatuh
dekat dengan
pantauan perawat dari
nurse station
 Gunakan alat bantu
berjalan (mis: kursi
roda, walker)
 Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien
Edukasi
 Anjurkan memanggil
perawat jika
membutuhkan
bantuan untuk
berpindah
 Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang tidak licin
 Anjurkan
berkonsentrasi untuk
menjaga
keseimbangan tubuh
 Anjurkan melebarkan
jarak kedua kaki
untuk meningkatkan
keseimbangan saat
berdiri
 Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil perawat

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. (2018). Council on Epidemiology and


Prevention Statistic Committe and Stroke Statistic Subcommitte.
Update: a report from the American Heart Association.
Aini, Q., T & Pujarini., A., L & Nirlawati., D., D. (2016). PERBEDAAN KADAR
KOLESTEROL TOTAL ANTARA PENDERITA STROKE ISKEMIK DAN
STROKE HEMORAGIK. Jurnal Biomedika,8 (2).
https://journals.ums.ac.id/index.php/biomedika/article/download/2909/1831
Anggraini, dkk,. (2018). PENGARUH ROM (Range of Motion)
TERHADAP KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS PASIEN
STROKE NON HEMORAGIC. Jurnal Riset Hesti Medan, 3(2).
https://jurnal.kesdammedan.ac.id/index.php/jurhesti/article/view/46
Azizah, N., & Wahyuningsih, W. (2020). Genggam Bola Untuk
Mengatasi Hambatan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik. Jurnal Manajemen Asuhan Keperawatan, 4(1), 35–42.
https://doi.org/10.33655/mak.v4i1.80
Cahyati, Y. (2018). GAMBARAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL
PASIEN STROKE DI RSUD DR. SOEKARDJO TASIKMALAYA.
Jurnal : Buletin
Media Informasi Kesehatan, 14(2).
https://doi.org/10.37160/bmi.v14i2.216
Dewi, D. N. S, Manggasa, D. D., Agusrianto, A., & Suharto, V. F. (2020).
Penerapan Swedish Massase Dengan Menggunakan Minyak Zaitun
Terhadap Risiko Kerusakan Integritas Kulit Pada Asuhan
Keperawatan Pasien Dengan Kasus Stroke. Poltekita : Jurnal Ilmu
Kesehatan, 14(2), 134-140. https://doi.org/10.33860/jik.v14i2.224
Dinas Keseshatan Kota Surakarta. (2020). Profil kesehatan Surakarta Tahun 2020.
Surakarta: Dinas Kesehatan Kota
Surakarta.
https://dinkes.surakarta.go.id/profil-
kesehatan/
Dolontelide, P. I. Gobel. I., & Hinonaung, H., S.J. (2019). UPAYA PEMENUHAN
KEBUTUHAN MOBILITAS PADA PASIEN STROKE DI RSD LIUN
KENDANGE TAHUNA. Jurnal Ilmiah Sesebanua,
3(1), 10-14. http://e-journal.polnustar.ac.id/
https://e-journal.polnustar.ac.id/jis/article/view/198
Faruqi. M.U., Djannah, D, & Sembodo., T. (2022). Faktor Risiko
Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Kejadian Stroke Iskemik Di
Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Jurnal Prosiding
Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU), 7.
Juliana, D., Anggraini, D., & Amalia D, N. (2021). HUBUNGAN
ANTARA KARAKTERISTIK WANITA DENGAN KELUHAN
PADA MASA MENOPAUSE DI WILAYAH KERJA UPK
PUSKESMAS PERUMNAS II
PONTIANAK. Borneo Nursing Journal (BNJ), 3(1), 33-38.

Anda mungkin juga menyukai