Anda di halaman 1dari 4

CSIS Commentaries is a platform where policy researchers and analysts can present their timely analysis on various

strategic issues of interest, from economics, domestic political to regional affairs. Analyses presented in CSIS
Commentaries represent the views of the author(s) and not the institutions they are affiliated with or CSIS Indonesia.

CSIS Commentaries DMRU-067-ID


8 May 2020

COVID-19, Moderasi Beragama,


dan Kontra-Radikalisme
Dani Muhtada
Dosen Universitas Negeri Semarang;
Founder Pesantren Riset Al-Muhtada
dmuhtada@mail.unnes.ac.id

Salah satu hikmah di balik wabah COVID-19 madrasah-madrasah. Tidak mudah menjumpai
di Indonesia adalah menjamurnya kajian agama kajian agama ala pesantren dan madrasah di
Islam secara online. Menariknya, kajian agama media daring. Jika pun ada, jumlahnya bisa
online ini banyak dilakukan oleh segmen Islam dihitung dengan jari.
moderat, yang nota bene memiliki pandangan
Tetapi, pandemi COVID-19 ini telah
keagamaan yang lebih toleran dan inklusif.
mengubah aktivisme kajian Islam di media
Termasuk dalam kelompok ini adalah kalangan
online. Kini, media daring juga dibanjiri kajian
pesantren NU dan perguruan Muhammadiyah.
agama a la pesantren. Ini bisa kita lihat di
Selama ini, kelompok Islam ini jauh dari hiruk-
berbagai media sosial seperti YouTube,
pikuk wacana agama di media online (daring).
Instagram, Facebook, hingga WhatsApp. Para
Kita hanya bisa menemukan mereka di
kiai dan ustaz kampung ramai-ramai “turun
kampung-kampung, pesantren-pesantren, atau
gunung” merambah media pengajaran online.

1
Di berbagai kanal YouTube, misalnya, kita bisa Menghalau Radikalisme
mengikuti kajian kitab oleh nama-nama
Dalam konteks pencegahan radikalisme dan
populer.
terorisme di Indonesia, perkembangan ini
Seperti kajian kitab al-Arbain Nawawiyah oleh tentu sangat menggembirakan. Lalu lintas
Gus Mus, Minhajul Abidin oleh Yahya Cholil kajian agama di dunia maya dipenuhi oleh
Staquf, dan Ihya Ulumuddin oleh Ulil Abshar paham Islam moderat, yang selama ini diyakini
Abdalla. Kajian pasanan ala pesantren yang di- sebagai kelompok mayoritas, tapi cenderung
broadcast oleh kiai dan ustaz lokal juga bisa kita diam dalam menghadapi gelombang
temukan dengan mudah di berbagai platform radikalisme dan intoleransi beragama (Rabasa,
media sosial. 2005). Kemunculan suara Islam moderat di
dunia maya ini sangat penting untuk
Kajian Islam online juga tampak digalakkan oleh
mengimbangi dominasi suara Islam radikal dan
lembaga dan perguruan Muhammadiyah.
intoleran, yang selama ini telah menggunakan
Majelis Tabligh PP Muhammadiyah membuat
program Kajian Online Ramadhan. Beberapa dunia maya untuk kepentingan mereka.
perguruan Muhammadiyah seperti Universitas Selama ini, sebagaimana telah ditulis oleh
Muhammadiyah Malang dan SMK sejumlah peneliti, kelompok Islam radikal telah
Muhammadiyah 4 Surakarta juga memanfaatkan media daring untuk
menyelenggarakan Kajian Ramadhan secara menyebarkan ideologi dan melakukan
online. rekrutmen anggota. Penelitian Merlyna Lim
(2005), misalnya menunjukkan peran internet
Hal serupa juga dilakukan berbagai Pimpinan
yang cukup signifikan dalam mendorong
Daerah Muhammadiyah (PDM). Seperti PDM
penguatan Islam radikal dan sentimen anti-
Jember dengan program Kajian Ramadhan,
Amerika di Indonesia. Terutama pasca
dan PDM Bantul dengan program Kultum
serangan 11 September 2001. Menurut Lim,
Ramadhan. Semua kajian online ini bisa
kelompok Islam fundamentalis di Indonesia
ditemukan di berbagai kanal YouTube. Belum
berhasil menggunakan media daring untuk
lagi kajian-kajian serupa yang dilakukan melalui
meneguhkan identitas dan ideologi,
Facebook, Instagram, WhatsApp, dan media
memperluas jaringan, serta menyebarkan
sosial lainnya.
informasi dan ajaran mereka (Lim, 2005).
Sulit dipungkiri bahwa COVID-19 memiliki
Pendapat Lim ini senada dengan argumen
peranan penting dalam fenomena ini. Pandemi
Sukawarsini Djelantik, yang menulis artikel
global ini telah “memaksa” para kiai, ustaz, dan
berjudul “Islamic State and the Social Media in
pegiat agama untuk menggunakan media
Indonesia” (2019). Menurut Djelantik, jaringan
daring sebagai sarana pengajaran dan dakwah
Islam radikal ini mampu menggunakan media
mereka. Kelompok Islam moderat, yang
daring seperti Facebook, Twitter, dan YouTube
selama ini tampak jauh dari media daring, mulai
secara efektif. Bahkan ketika media sosial
menikmati penggunaan media ini untuk misi
mereka telah diblokir oleh pemerintah,
mereka. Boleh jadi fenomena ini didorong oleh
kelompok ini masih mampu menggunakan
kebutuhan untuk tetap mengajar santri atau
media daring dalam bentuk portal-portal tak
menyebarkan dakwah Islam selama bulan suci.
bertuan (anonymous sharing portals) untuk
Tetapi sangat mungkin, pasca pandemi nanti,
mewujudkan agenda mereka (Djelantik, 2019).
segmen Islam moderat ini akan terus
menggunakan media daring untuk kepentingan Argumen Lim (2005) dan Djelantik (2019) ini
agenda mereka. didukung oleh hasil survei yang dilakukan oleh
UIN Syarif Hidayatullah dan UNDP pada
tahun 2017. Hasil survei tersebut menunjukkan
bahwa kaum milenial yang menggunakan

2
internet memiliki pandangan yang lebih untuk memenangkan kontestasi wacana
intoleran dan radikal, dibandingkan mereka keagamaan di dunia maya.
yang jarang berselancar di dunia maya.
Karena itu, ketika menggunakan media daring
Sebanyak 88.5 persen dari 1859 responden
ini, kelompok Islam moderat harus menyadari
dalam survei tersebut meyakini bahwa
bahwa audiens mereka bukan lagi para santri
pemerintah harus melarang kelompok-
atau siswa madrasah. Audiens mereka kini
kelompok agama minoritas. Survei ini juga
adalah publik. Sangat mungkin banyak di
menunjukkan bahwa 10 persen dari responden
antara mereka yang sesungguhnya awam dan
mendukung pendirian Negara Islam dan
baru belajar tentang agama. Sehingga, idiom-
menyetujui penggunaan kekerasan untuk
idiom tertentu yang biasanya familier di telinga
membela agama (Editorial, 2019).
santri perlu diterjemahkan atau diberi caption
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa kaum oleh editor, agar lebih mudah dipahami.
milenial cenderung memilih internet sebagai Penggunaan bahasa Jawa dalam pengajaran,
sumber informasi tentang agama, daripada yang secara tradisional digunakan sebagai
harus repot belajar secara offline. bahasa pengantar di pesantren-pesantren salaf,
Kecenderungan ini bisa menjadi bom waktu perlu diminimalisasi dengan menggunakan
bagi masa depan toleransi dan moderasi bahasa Indonesia. Atau, jika tidak
beragama di Indonesia. Terutama jika memungkinkan, terjemahan dalam bahasa
kelompok Islam moderat tidak turun gunung Indonesia dapat ditempatkan sebagai subtitles
dan ramai-ramai menggunakan media daring dalam video yang disiarkan secara online.
sebagai sarana penyebaran pengetahuan.
Peningkatan intensitas kajian agama oleh
Kontestasi Wacana Keagamaan segmen Muslim moderat ini membawa dua
harapan. Pertama, sebagai sumber belajar
Dalam konteks ini, wabah COVID-19 telah
agama alternatif, potensi radikalisme dan
membawa harapan dan fajar baru bagi
intoleransi, terutama di kalangan generasi
inklusivisme dan toleransi beragama. Dengan
milenial, diharapkan dapat ditekan. Masyarakat,
menjamurnya kajian Islam oleh kelompok
terutama kaum milenial, bisa belajar agama dari
Islam moderat ini, masyarakat memiliki
sumber yang punya otoritas untuk
alternatif sumber pengetahuan keagamaan.
mengajarkannya. Keterlibatan para kiai dan
Tentu saja ini membawa implikasi adanya
ustaz, yang berlatar belakang sekolah agama,
kontestasi di antara sumber-sumber
dalam kajian Islam online bisa memberikan
pengetahuan keagamaan di dunia maya.
pemahaman yang lebih baik tentang agama.
Tetapi, di sinilah tantangannya. Kelompok Setidaknya, mereka bisa menunjukkan kepada
Islam moderat ditantang untuk mampu publik bahwa wajah Islam tidak monolitik.
menyajikan menu pengetahuan agama yang Interpretasi dan pemahaman terhadap teks
lebih menarik dan lebih diterima oleh publik. keagamaan adalah fakta.
Di era cyberspace ini, netizen memiliki kuasa untuk
Oleh karena itu, penguasaan terhadap ilmu-
memilih. Meminjam bahasa Profesor
ilmu alat (nahwu, saraf, balaghah, ma’ani) beserta
Musahadi, guru besar UIN Walisongo,
ilmu-ilmu metodologis dalam studi Islam (ushul
keragaman sumber pengetahuan agama di
fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadis, dan lain-lain) sangat
internet telah menimbulkan fenomena “Fikih
fundamental. Hal ini penting agar tidak ada
Prasmanan”, di mana netizen dapat memilih
distorsi pada teks-teks keagamaan ketika
dengan mudah menu pengetahuan agama yang
seorang ustaz atau mubalig menyampaikan
diinginkannya (Wawasan, 2020). Di sini para
kiai, ustaz, dan pegiat Islam moderat dituntut ceramah atau ajarannya.
mampu menggunakan strategi yang efektif Kedua, keterlibatan para kiai dan ustaz dalam
kajian-kajian Islam di dunia maya ini

3
diharapkan dapat mengembalikan wajah Islam Survei tersebut menemukan bahwa responden
Indonesia yang lebih ramah. Beberapa tahun yang memiliki kemudahan akses atas internet
terakhir, literatur-literatur tentang Islam di cenderung lebih konservatif dan intoleran,
Indonesia menunjukkan penguatan wajah dibandingkan mereka yang tidak terbiasa
Islam Indonesia yang konservatif, radikal, dan dengan akses informasi di internet. Hadirnya
intoleran (Zuhdi, 2018; Lanti, Ebih, & kajian Islam online yang dikelola segmen
Dermawan, 2019; Hamayotsu, 2019). Muslim beraliran moderat ini diharapkan dapat
Fenomena ini sebenarnya tidak mengherankan. mengembalikan benih-benih inklusivisme
Jika kita menengok survei UIN Jakarta dan beragama di Indonesia.
UNDP tahun 2017, seperti yang telah
Dengan demikian, blessing in disguise di balik
disinggung di atas, salah satu penyebab
merebaknya wabah COVID-19 adalah lahirnya
penguatan konservatisme dan intoleransi ini
harapan atas penguatan wajah Islam Indonesia
adalah sumber informasi keagamaan di
yang lebih ramah, inklusif, dan toleran. Wajah
internet.
Islam Nusantara yang berkemajuan.

CSIS Indonesia, Pakarti Centre Building, Indonesia 10160


Tel: (62-21) 386 5532| Fax: (62-21) 384 7517 | csis.or.id
COVID-19 Commentaries Editors
Philips J. Vermonte, Shafiah Muhibat, Vidhyandika Perkasa, Yose Rizal Damuri, Beltsazar Krisetya

Anda mungkin juga menyukai