Anda di halaman 1dari 3

Menelurusi Jejak Sejarah Etika Pesantren

Judul buku : Akar Sejarah Etika Pesantren: dari Era Sriwijaya sampai Pesantren Tebu Ireng
dan Ploso

Penulis : Aguk Irawan MN

Penerbit : Pustaka Iman

Cetakan : I, Desember 2018

Tebal : 462 halaman. 14 x 21 cm

ISBN : 9786028648295
Keberadaan pesantren memang selalu memberikan daya tarik yang cukup memikat
untuk dijadikan sebagai objek studi penelitian. Sebagai sebuah lembaga pendidikan
tradisional, ruang pesantren seolah-olah menyimpan “harta” yang berlimpah dalam maujud
kebudayaan. Harta tersebut tentu saja memberikan kontribusi terhadap sarana dakwah Islam
serta pusat persemaian Ilmu keagamaan.

Aguk Irawan MN dalam buku yang berjudul Akar Sejarah Etika Pesantren di
Nusantara: dari Era Sriwijaya sampai Pesantren Tebu Ireng dan Ploso membeberkan seluk
beluk menyoal etika pesantren. Mulai dari segi historis, praktik, dan peran serta hubungan
sebagai kultur sebuah pesantren. Pelbagai sumber referensi ditelusuri kemudian digali demi
sebuah bukti kesejarahan yang otentik.

Pembaca dapat melihat kesungguhan Aguk Irawan dalam proses pergulatan


menelusuri akar sejarah etika pesantren. Referensi berupa naskah kuno dan
kitab tarikh menjadi rujukan dasar dan penting. Kehadiran buku ini pada akhirnya
melengkapi khasanah ilmu pengetahuan terkait etika pesantren. Pun mengisi kekosongan atas
jawaban dari mana proses keberlangsungan etika di pesantren itu lahir.

Seperti yang Aguk Irawan tandaskan dalam buku bahwa etika pesantren tidak lahir
begitu saja tanpa melalui perkembangan suatu apapun. Proses inkulturasi menjadi jalan bagi
kemunculan etika yang menjadi bagian kecil dari peradaban pesantren. Lantaran peradaban
pesantren muncul melewati dialektika panjang antara sesuatu yang baru dari Islam dan
sesuatu yang lama dari peradaban hindu-Buddha, maka etika pesantren menjadi lebih
kompleks. (hlm. 84)

Secara langsung maupun tidak langsung, perjumpaan dengan aneka kebudayaan pada
masa lalu juga memberikan pengaruh kuat pada kehidupan pesantren. Kemampuan sekaligus
kelihaian para ulama, kiai, dan wali dalam merajut bingkai Islami melalui proses inkulturasi
adalah kata kunci kesuksesan dalam proses mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat.
(hlm. 130) Pendekatan kebudayaan melalui serangkaian pembudayaan jadi jalan memberikan
kemudahan penyebaran Islam di Nusantara.

Persentuhan dengan pelbagai kebudayaan yang sudah mengakar di nusantara


membuat kultur pesantren mengandung nilai-nilai etika yang beragam dan universal. Konsep
dari etika tersebut menjadi identitas yang khas dari kultur pesantren. Perilaku hasil inkulturasi
yang kemudian membentuk dasar etika itu masih dapat disimak pada beberapa pesantren di
Indonesia. Sebut saja pada praktik barokah, ijazah, mematung atau membungkukkan badan,
mencium tangan, slametan, sowan, boyongan, dan sistem ma’had (asrama).

Anggapan ihwal barokah seorang guru, dan ijazah terhadap ilmu atau mantra yang
diajarkan sudah menjadi manifes dalam realitas kehidupan masyarakat Nusantara sejak masa
lampau. Kepercayaan ini menjadi tradisi yang diwarisan secara turun-temurun. Ditelusuri
sesuai aspek kesejarahan, pada masa agama Hindu di Jawa dan Bali mayoritas masyarakat
menganut ajaran Saiva-Siddharta. Aliran ini sangat esoteris, seperti yakin akan kemampuan
guru kepada murid, hal-hal yang musti dilakukan murid sebelum menerima ilmu, dan
pemberian ijazah keilmuan yang telah diperoleh seorang murid. (hlm. 85)

Penghormatan kepada guru terjadi pada sebelum dan seusai menempuh pendidikan.
Laku hormat terhadap guru itu mewujud dalam sikap ta’dzim dan tawadhu’. Do’a dan restu
dari seorang guru menjadi harapan sekaligus jalan bagi kemudahan dalam mencari ilmu.
Ada pula Sowan kepada Kiai sebelum belajar dan boyongan pasca belajar sejatinya
telah membudaya pada tradisi masyarakat Hindu-Budha. Praktik sowan, atau mengahadap
seorang yang menguasai ilmu pengetahuan untuk belajar, minta petuah, pendapat, serta
pandangan atau hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan telah dilakukan masyarakat
sejak berabad-abad silam. Kenyataan akan keberadaan praktik sowan dan boyongan ini
terdapat dalam berita Tiongkok peninggalan abad ke VII dan ditemukan di Jawa Tengah,
yakni prasasti Tuk Mas dan prasasti Sojomerto. (hlm. 100)

Perjalanan melalui rentang waktu yang panjang bermuara pada suatu sistem nilai etika
dan karakter yang khas. Komposisi santri, Kiai, masjid, kitab kuning, dan asrama
menampakkan indigenositas ruang pesantren. Interaksi seorang santri kepada Kiai tentu saja
merupakan pernyataan akan sebuah bentuk kepatuahan idealisme, cita-cita, etika dan akhlak
serta kebenaran perilaku. Meskipun secara sadar santri memasrahkan diri kepada Kiai dan
merelakan diri di bawah pengaruh dan kuasa Kiai. (hlm. 327)

Ikhtiar mempertahankan tradisi adiluhur senantiasa dilakukan dalam lingkungan


pesantren. Etika pesantren tradisional (salaf) memiliki akar dan jejak-jejak sejarah panjang
mengacu ke peradaban pra-Islam yang dapat ditelusuri. Berawal dari uraian demi uraian
dalam buku ini siapa saja bakal mendapat pemahaman bahwa etika pesantren adalah hasil
inkulturatif dari kearifan lokal dan syari’at Islam.

Buku hasil konversi dari disertasi Aguk Irawan ini begitu kaya akan informasi.
Keberhasilan Aguk Irawan dalam menghadirkan keterangan antropologis memberi
penerangan bahwa etika pesantren itu bukanlah suatu sistem yang memaksakan kebudayaan.
Buku penting untuk mengenal pesantren lebih dekat.

Anda mungkin juga menyukai