Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMERIKSAAN ECT DAN PEMERIKSAAN LUMBAL PUNGSI


Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Sistem Neurobehaviour
Dosen: Yuliantie S. Kep.,Ns

Oleh:

Niko
(2012.C.04a.0319)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2013/2014
A. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
1. Pengertian
Lumbal puncture adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan
memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. Test ini dilakukan untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal, mengukur dan mengurangi tekanan cairan
serebrospinal, menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk
mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal, dan untuk memberikan antibiotic
intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi. (Brunner and Suddarth
1999)

2. Indikasi
a. Meningitis bacterial / TB.
b. Perdarahan subarahnoid.
c. Febris (Kaku kuduk) dengan kesadaran menurun (sebab tak jelas).
d. encepahilitis atau tumor malignan.
e. Tumor mielum : sebelum dan sesudah mielografi / caudiografi.
f. Sindroma GuillainBarre (bila perlu diulang-ulang + satu minggu).
g. Kelumpuhan yang tidak jelas penyebabnya.
h. Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSS akibat trauma atau dicurigai
adanya perdarahan subarachnoid.
i. Kejang.
j. Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI.
k. Ubun – ubun besar menonjol.

3. Kontra Indikasi
a. Syock/renjatan
b. Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
c. Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying lesion,
hidrosefalus)
d. Gangguan pembekuan darah yang belum diobati
e. Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra degeneratif. Hal ini akan
sulit untuk penusukan jarum ke ruang interspinal
f. Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Herniasi serebral atau
herniasi serebral bisa terjadi pada pasien ini.
4. Komplikasi
a. Infeksi
b. Iritasi zat kimia terhadap selaput otak
c. Jarum pungsi pata
d. Hernias
e. Tertusuknya saraf oleh jarum pungs
f. Nyeri kepala hebat akibat kebocoran CSS.
g. Meningitis akibat masuknya bakteri ke CSS.
h. Paresthesia/ nyeri bokong atau tungkai.
i. Injury pada medulla spinalis.
j. Injury pada aorta atau vena cava, menyebabkan perdarahan serius.
k. Herniasi otak. Pada pasien denga peningkatan tekanan, tiba-tiba terjadi
penurun tekanan akibat lumbal puncture, bisa menyebabkan herniasi
kompressi otak terutama batang otak.
l. 10 – 30% pasien dalam 1 – 3 hari dan paling lama 2 – 7 hari mengalami
postlumb puncture headache. Sebagian kecil mengalami nyeri, tapi bisa
dikurangi dengan berbaring datar. Penanganan meliputi bed rest dan cairan
dengan analgetik ringan.

5. Alat dan Bahan


a. Sarung tangan steril
b. Duk luban
c. Kassa steril, kapas dan plester
d. Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70
e. Troly
f. Baju steril
g. Jarum punksi ukuran 19, 20, 23 G
h. Manometer spinal
i. Two way tap
j. Alcohol dalam lauran antiseptic untuk membersihkan kulit.
k. Tempat penampung csf steril x 3 (untuk bakteriologi, sitologi dan biokimia)
l. Plester
m. Depper
n. Jam yang ada penunjuk detiknya
o. Tempat sampah.
p. Anestesi Lokal
 Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
 Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin.
q. Tempat sampah

6. Persiapan Pasien
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik
ke abdomen.
Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi,
dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.

7. Prosedur Pelaksanaan
a. Lakukan cuci tangan steril
b. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
c. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring pada
salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah lutut),
eksterimitas bawah fleksi maksimum (lutut di atarik kearah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
d. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan
menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak
boleh pada bayi
e. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70 % dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka Tentukan
kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai
sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi
tersebut selama 1 menit.
f. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan jarum
spinal pada tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum perlahan – lahan
menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke
atas sampai menembus durameter. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid
berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5
cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja
jaraknya 6-8 cm.
g. Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke cranial.
Ambil cairan untuk pemeriksaan.
h. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
i. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
j. Cuci tangan

B. Pemeriksaan ECT
1. Pengertian
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik
dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada
pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan
biokimia didalam otak (peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip
dengan obat anti depresan

2. Indikasi
a. Gangguan afek yang berat: pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar,
atau depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT (80-90%
membaik versus 70% atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan gejala
vegetatif yang jelas (seperti insomnia, konstipasi; riwayat bunuh diri, obsesi
rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat badan, dan retardasi psikomotor)
cukup bersespon.
b. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan
respons yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal
ini tidak teralalu berguna.
3. Kontra Indikasi
a. Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
b. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.
c. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
d. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
e. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita.

4. Komplikasi
a. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi
berakhir 2-3 bulan tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan
metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang
meningkat dan adanya organik sebelumnya.
b. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
c. Kebingungan.
d. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal.
e. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
f. Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut sempit, kerja
Suksinilkolin diperlama pada keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan
hipotonia.

5. Persiapan Alat
Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun
pasien baru biasanya diberikan psikofarmaka, psikotherapi, terapi modalitas yang
meliputi terapi individu, terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi
perilaku dan terapi keluarga. Biasanya pasien menunjukan gejala yang berkurang
dan menunjukan penyembuhan, tetapi pada beberapa klien kurang atau bahkan
tidak berespon terhadap pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan yaitu
ECT (Electro Convulsive Therapy).

6. Persiapan ECT (pra-ECT)


a. Lengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada pemeriksaan
jantung dan status neurologis, pemeriksaan darah perifer lengkap, EKG, EEG
atau CT Scan jika terdapat gambaran neurologis tidak abnormal. Hal ini
penting mengingat terdapat kontraindikasi pada gangguan jantung, pernafasan
dan persarafan.
b. Siapkan pasien dengan, informasi, dan. dukungan, psikologis.
c. Puasa setelah tengah malam.
d. Kosongkan kandung kemih dan lakukan defekasi.
e. Pada keadaan ansietas berikan 5 mg diazepam 1-2 jam sebelumnya.
f. Antidepresan, antipsikotik, diberikan sehari sebelumnya.
g. Sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan (dan sejenisnya) harus dihentikan -sehari
sebelumnya.

7. Pelaksanaan ECT
a. Buat pasien merasa nyaman. Pindahkan ke tempat dengan permukaan rata dan
cukup keras.
b. Hiperekstensikan punggung dengan bantal.
c. Bila sudah siap, berikan premedikasi dengan atropin (0,6-1,2 mg SC, IM atau
IV). Antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal.
d. Sediakan 90-100% oksigen dengan kantung oksigen ketika respirasi tidak
spontan.
e. Beri natrium metoheksital (Brevital) (40-100 mg IV, dengan cepat). Anestetik
barbiturat kerja singkat ini dipakai untuk menghasilkan koma yang ringan.
f. Selanjutnya, dengan cepat berikan pelemas otot suksinilkolin (Anectine) (30-
80 mg IV, secara cepat awasi kedalaman relaksasi melalui fasikulasi otot yang
dihasilkan) untuk menghindari kemungkinan kejang umum (seperti
plantarfleksi) meskipun jarang.
g. Setelah lemas, letakkan balok gigi di mulut kemudian berikan stimulus listrik
(dapat dilakukan secara bilateral pada kedua pelipis ataupun unilateral pada
salah satu pelipis otak yang dominan).

8. Post ECT
a. Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan
biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
b. Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan delirium
pascakejang (5 10 mg diazepam IV dapat membantu).

Anda mungkin juga menyukai