Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

TONSILITIS

Disusun Oleh :
Karina Utari
1102014140

Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN TELINGA


HIDUNG TENGGOROKAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSUD PASAR
REBO PERIODE 1 MEI- 3 JUNI 2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Tonsilitis”.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok di RSUD Pasar Rebo.
Penyusunan referat ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indah
Rahmawati, Sp.THT-KL atas ilmu dan bimbingannya selama penulis
menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan coass atas dukungan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa referat
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan materi penulisan dan
menambah wawasan penulis.

Jakarta, 12 Mei 2023

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
2.1 ANATOMI TONSIL....................................................................................6
2.2 FISIOLOGI...................................................................................................9
2.3 DEFINISI....................................................................................................10
2.4 EPIDEMIOLOGI.......................................................................................11
2.5 ETIOLOGI..................................................................................................11
2.6 PATOFISIOLOGI......................................................................................12
2.7 KLASIFIKASI............................................................................................13
2.7.1 Tonsilitis Akut.....................................................................................13
2.7.2 Tonsilitis Kronik.................................................................................19
2.8 TONSILEKTOMI......................................................................................25
2.9 PROGNOSIS..............................................................................................30
Daftar Pustaka......................................................................................................31

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cicin waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil
faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral
band dinding faring). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets),
tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Ringgo,
2019).

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka kejadian penyakit


tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT
di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September tahun 2016, prevalensi
tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%
(Kemenkes, 2020). Tonsilitis bisa disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan
virus. Tonsilitis akut dan tonsilitis kronik memiliki perbedaan penyebabnya yaitu
tonsilitis akut lebih sering disebabkan oleh kuman grup A streptococcus β-
hemolyticus, pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus pyogenes,
sedangkan tonsilitis kronik bakteri penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi
kadang-kadang pola bakteri berubah menjadi bakteri dari golongan gram negatif.
Selain itu, penggunaan antibiotik yang luas pada pengobatan ISPA, tanpa bukti
empiris yang jelas, telah menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi berbagai
strain mikroba dari Streptococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Haemofilus
influenzae, Moraxella catarrhalis dan lainnya terhadap antibiotik.

Diagnosis penyakit tonsilitis dapat dilakukan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisis yang cermat, dan dilakukan pemeriksaan penunjang. Seperti
pemeriksaan radiologis (menemukan infiltrate), laboratorium mikrobiologis, dan
pemeriksaan darah di laboratorium patologi klinik, seperti jumlah leukosit dan
laju endap darah. Pemeriksaan hitung jenis sel leukosit sangat bermanfaat sebagai

4
penegakan diagnosa. Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan kejadian dan
proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi seperti pada tonsillitis

Tonsilitis dapat menyebabkan bertambahnya jumlah leukosit berkaitan


dengan fungsinya sebagai pertahanan tubuh. Leukosit mempunyai peranan dalam
pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat
melakukan gerakan amoeboid dan melalui proses diapedesis, leukosit dapat
meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus ke
dalam jaringan penyambung (Kemenkes RI, 2012).

Gejala umum yang sering ditemukan diantaranya nyeri tenggorok, nyeri


menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, tidak nafsu makan sampai rasa
nyeri di telinga (otalgia). Mengingat angka kejadian tonsillitis cukup tinggi di
masyarakat sera dampak yang cukup besar dari infeksinya pada penderita
diharapkan penjelasan ini dapat memperluas wawasan tentang penyakit tonsillitis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TONSIL


Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Tonsilterdiridari
jaringan limfoid
yang dilapisi oleh epitel respiratori.Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid
yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsilpalatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsillingual,
dantonsiltuba eustachius
Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Tonsilterdiridari
jaringan limfoid
yang dilapisi oleh epitel respiratori.Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid
yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsilpalatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsillingual,
dantonsiltuba eustachius
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat
orifisium tuba eustachius. Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan
limfoid yang terdapat di dalam faring, diliputi epitel skuamosa dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3
macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsila palatina (tonsil
faucium), dan tonsila lingualis yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer.

6
Gambar 1. Anatomi Tonsil

Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan tons il adalah


tonsila palatina, sedang tonsila faringeal lebih dikenal sebagai adenoid.
Untuk kepentingan klinis, faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Satu pertiga bagian atas atau nasofaring adalah
bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum molle
bagian bawah. Bagian tengah faring disebut orofaring, meluas dari
batas bawah palatum molle sampai permukaan lingual epiglotis. Bagian
bawah faring dikenal dengan nama hipofaring atau laringofaring,
menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran
pencernaan bagian atas.
Pada orofaring yang disebut juga mesofaring, terdapat cincin jaringan limfoid
yang melingkar dikenal dengan Cincin Waldeyer, terdiri dari Tonsila pharingeal
(adenoid), Tonsila palatina, dan Tonsila lingualis.
Tonsila Faringeal (adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid terletak pada nasofaring
yaitu pada dinding atas nasofaring bagian belakang. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius Pada masa pubertas adenoid ini akan
menghilang atau mengecil. Adenoid mendapat darah dari cabang- cabang
faringeal A. Karotis interna dan sebagian kecil dari cabang-cabang palatina A.
Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam V.
Jugularis interna. Sedangkan persarafan sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu
cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui N. Vagus.

7
Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat
pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior
dari papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah
lateral dan ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot-otot lidah oleh suatu lapisan
jaringan fibrosa. Jumlahnya bervariasi, antara 30-100 buah. Tonsila lingualis
mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A. Karotis
eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis interna.
Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui
cabang lingual N. IX.
Tonsila Palatina
Tonsil terletak di bagian samping belakang orofaring, dalam fossa
tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20
mm, tebal 15 mm, dan berat sekitar 1,5 gram. Berat tonsil pada laki-laki
berkurang dengan bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat bertambah
pada masa pubertas dan kemudian menyusut kembali. Tonsil palatina adalah suatu
massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut
orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior
(otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm. Permukaan
tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang merupakan
muara dari kripta tonsil. Jumlah kripta tonsil berkisar antara 20-30 buah,
berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel.

8
Gambar 2. Perdarahan Tonsil

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh
darah, yaitu :
- A. Palatina Ascenden, cabang A. Fasialis, memperdarahi bagian postero inferior
- A. Tonsilaris, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah antero-inferior
- A. Lingualis Dorsalis, cabang A. Maksilaris Interna, memperdarahi daerah
antero-media
- A. Faringeal Ascenden, cabang A. Karotis Eksterna, memperdarahi daerah
postero-superior
A. Palatida Descenden dan cabangnya, A. Palatina Mayor dan A. Palatina Minor,
memperdarahi daerah antero-superior.

2.2 FISIOLOGI

Fungsi jaringan limfoid faring adalah memproduksi sel-sel limfosit


tetapi peranannya sendiri dalam mekanisme pertahanan tubuh masih
diragukan. Penelitian menunjukkan bahwa tonsil memegang peranan penting
dalam fase-fase permulaan kehidupan terhadap infeksi mukosa nasofaring
dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil
merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada

9
tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30. Tonsil merupakan
organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Sewaktu baru
lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya
ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi
pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa kanak-
kanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada
waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil
yang disertai proses involusi.
Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu :
1. Mekanisme pertahanan non spesifik
Berupa kemampuan sel limfoid untuk menghancurkan
mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa tonsil sangat tipis
sehingga menjadi tempat yang lemah terhadap masuknya kuman ke dalam
jaringan tonsil. Dengan masuknya kuman ke dalam lapisan mukosa, maka
kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini adalah elemen
tonsil. Selanjutnya sel fagosit akan membunuh kuman dengan proses oksidasi
dan digesti.

2. Mekanisme pertahanan spesifik


Merupakan mekanisme pertahanan yang penting dalam mekanisme
pertahanan tubuh terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam
saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan
menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen.
Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang
berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel
tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu

10
histamin. Sel basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi (sel
basofil mononuklear) dan sel basofil dalam jaringan (sel mastosit).

Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Tonsilterdiridari


jaringan limfoid
yang dilapisi oleh epitel respiratori.Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid
yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsilpalatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsillingual,
dantonsiltuba eustach
2.3 DEFINISI

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cicin waldeyer. (Ringgo, 2019). Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar
limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), dan tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).

Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak

2.4 EPIDEMIOLOGI

Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak. Pada


balita, tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan infeksi
bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Group A beta-
hemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis bacterial (U, 2018)
(Georgalas, 2014). Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka
kejadian penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September
tahun 2016, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu
sebesar 3,8% (Kemenkes, 2020).

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang terjadi pada
anak usia < 2 tahun. Tonsilitis juga sangat jarang terjadi pada orang tua usia >40
tahun. World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai

11
jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak
dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi,
248.000 (86,4 %) mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6 %) lainnya
menjalani tonsilektomi. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah
nasofaringitis akut 4,6 % (Ramadhan, 2017).

2.5 ETIOLOGI
Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes
(GABHS), Epstein-Barr virus (EBV), sitomegalovirus, adenovirus, dan virus
campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsillitis
akut. Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah
penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak.
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada
tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif.
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis yaitu rangsangan yang
menahun dari asap rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.6 PATOFISIOLOGI

Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang


berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil
hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus
yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini
akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan
virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut
peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan
sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula (Fakh, et al., 2016).

12
Secara patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil dengan adanya
kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri pathogen dalam kripta.
Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa
rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang
mengalami peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang
menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok.
Pada anak biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok
saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan
keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup
jalur pernafasan. Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali
pulih seperti semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula.
Apabila tidak terjadi penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi
infeksi berulang. Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di
dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut dengan
tonsilitis kronis.

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua
penyakit tenggorok yang berulang. Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat
komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat. Selain
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya
tonsilitis kronis lain adalah higien mulut yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa
jenis makanan (Fakh, et al., 2016).

13
2.7 KLASIFIKASI
2.7.1 Tonsilitis Akut
2.7.1.1 Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika
terjadi infeksi virus coxshakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan
pasien.
Terapinya dapat berupa istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus
diberikan jika gejala berat.

2.7.1.2 Tonsilitis Bakterial


Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokikus Beta
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis
detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang
menutupi tonsil.

14
Gambar 3. Perbedaan tonsillitis bakterial dan non bakterial

Gejala dan Tanda


Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di
telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n. glosofaringeus (n. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, ubman atau
tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibular membengkak dan nyeri
tekan.

Gambar
4.
Perbedaan tonsillitis bakterial dan non bakterial
Terapi
Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat
kumur yang mengandung desinfektan

Komplikasi

15
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,
abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronkitis, glomeronefritis
akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. Jugularis interna
(sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menuebabkan pasien bernapas melalui
mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep
apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

2.7.1.3 Tonsilitis Membranosa


Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa ialah (a)
Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik (septic sore throat), (c) Angina Plaut
Vincent, (d) Proses spesifik lues dan tuberkulosis, (e) Infeksi jamur
moniliasis, aktinomikosis, dan blastimikosis, (f) Infeksi virus morbili, pertusis
dan skarlatina.
2.7.1.4 Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi
pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Coryne
bacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di
saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan kni tergantung
pada titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas.
Tonsilitas difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10
tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupum pada orang
dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Gejala dan Tanda


Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala
lokal dan gejala akibat eksotoksin
(a) Gejala Umum

16
Seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan sihu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
serta keluhan nyeri menelan.

Gambar 5. Tonsilitis Difteri


(b) Gejala Lokal
Yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu
ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembanhan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s
hals.
(c) Gejala Akibat Eksotoksin
Yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial yang menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menimbulkan albumineria
Diagnosis

17
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.

Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnta
penyakit.
Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg per kg berat bedan
dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di
tempat tidur selama 2-3 minggu.

Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat
timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau
decompensatio cordis. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk
akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkam kesulitan
menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria
sebagai akibat komplikasi ke ginjal.

2.7.1.5 Tonsilitis Septik


Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di
Indonesia susu sapi dimasak dulu dekgan cara pasteurisasi sebelum diminum
maka penyakit ini jarang ditemukan.

2.7.1.6 Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)

18
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
Gejala
Demam sampai 39 derajat, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan
gusi mudah berdarah.

Gambar 6. Angina Plaut Vincent

Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan
kelenjar submandibula membesar.

Terapi
Antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higine mulut.
Vitamin C dan Vitamin B kompleks.

2.7.2 Tonsilitis Kronik


Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberap jenis makanan, higiene mulut yang buruk,

19
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.

Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada
anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.

Gejala dan Tanda


Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada
yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas
berbau.

Gambar 7. Tonsilitis Kronik

20
Diagnosis
Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.

Pemeriksaan Fisik
a) Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi
pus.
b) Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju.
c) Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat
menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan
petechiae palatal.
d) Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan
pembesaran tonsil yang obstruktif.
e) Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
f) Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
g) Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses
peritonsilar.
h) Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke
telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
i) Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan
mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk
menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil.

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya


membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi)
terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan

21
pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula Thane & Cody membagi
pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula.
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½
jarak anterior – uvula.
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾
jarak pilar anterior – uvula.
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula
atau lebih.

T0 apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat.


T1 apabila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil tersembunyi
di dalam pilar tonsilar.
T2 apabila besar tonsil 2/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil membesar ke
arah pilar tonsilar.
T3 apabila besar tonsil 3/4 jarak arkus anterior dan uvula, atau terlihat mencapai luar
pilar tonsilar.
T4 apabila besar tonsil mencapai arkus anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai
garis tengah.

22
Terapi
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat
hisap.

Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara per
kontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan
dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma

23
Komplikasi lainnya antara lain
a) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan
otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi
pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa
dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
b) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui
insisi servikal.
c) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai
nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan
merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase
abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade
oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat
membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil.
Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan
mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang
tidak rata pada perabaan.

Pencegahan

24
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan
mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit
menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak
dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang
bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya
diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan
karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain.

Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat
penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala – gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.

2.8 TONSILEKTOMI

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil


palatina dengan eksisi surgikal tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis rekuren.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.

25
Indikasi tonsiletokmi menurut The American Academy of Otolaryngology -
Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995
menetapkan:
1. Serangan tonsilitas lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulakn maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus Beta
hemoliticus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Kontraindikasi Tonsilektomi

Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila


sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan
perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi
akut yang berat.

Persiapan Pasien Tonsilektomi

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari


bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali
bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya

26
dilakukan dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat
diturunkan terutama kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat
saudara pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum
sebaiknya diketahui untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia
maligna. Pemeriksaan Lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin,
jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya
dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk
mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi tonsilektomi.
Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada
minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila
konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan
radiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.

Komplikasi Tonsilektomi

Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya


yaitu immediate, intermediate dan late complication. Komplikasi segera
(immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi
yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca
bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius
dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat
atau terlepasnya ikatan. Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan
meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingi

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate


complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula,
infeksi, komplikasi paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang
terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang
terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat
juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi

27
fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah
di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi
karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya
sama dengan perdarahan primer.

Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum


mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.
Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak
menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut
atau abses peritonsil.

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa :

 Immediate and Delayed Hemorrhage


 Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan
oleh terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post
operasi edema oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
 Dehidrasi
 Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan
napas yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama,
mengakibatkan penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan
volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi
segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.
 Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
 Eustachian Tube Dysfunction
 Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan
darah

Jenis pemilihan teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,


perdarahan pre operatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.

28
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung.
4. Radio frekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4- 6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonic
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis

29
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang
akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok
plasma tersebut akan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan
plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul
jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga
menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga
dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.

2.9 PROGNOSIS

Secara umum, prognosis tonsilitis sangat baik dan sembuh tanpa komplikasi.
Sebagian besar tonsilitis virus sembuh dalam 7-10 hari, sedangkan tonsilitis
bakteri dengan terapi antibiotik sesuai mulai membaik dalam 24-48 jam (RW &

30
Byart, 2008) Morbiditas dapat meningkat jika tonsilitis berulang sehingga
mengganggu aktivitas dalam sekolah dan bekerja (Georgalas, 2014)

Daftar Pustaka

1. Bailey BJ et al. (2009). Head and Neck Surgery – Otolangology 2nd


Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
2. Boies, L., Adams, G. & Higler, P. (2013). Buku Ajar Penyakit THT Edisi
6. Jakarta: EGC
3. Brody, L. & Poje, C. (2008). Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy.
In: Bailey BJ. Johnson JT. Head and Neck surgery. Otolaryngology. 4th
Edition. p1183-1208. Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins
Publishers..
4. Efiaty Arsyad Soepardi, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung dan Tenggorok. Balai Penerbit FKUI. Edisi ke-7.
Jakarta

5. Georgalas, C. C. N. S. T. A. N., 2014. Tonsillitis. Clinical Evidence, p. 2.


6. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. Jakarta: EGC. 74,76, 80-81, 244, 248, 606,636,1070,1340

31
7. Rusmarjono and Soepardi, E.A. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp.198–203.

8. RW & Byart, 2008. Tonsillitis and Sudden Childhood Death. J Forensic


Leg Med., Volume 15.
9. Snell, R. (2011). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3,
edisi 9. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Snow, W. (2009). Otolaryngology – head and neck surgery. USA:
McGraw-Hill Education.
11. Dykewicz MS, Wallace DV, Amrol DJ, Baroody FM, Bernstein JA, Craig
TJ, et al. Rhinitis 2020: A practice parameter update. Journal of Allergy
and Clinical Immunology

32

Anda mungkin juga menyukai