Anda di halaman 1dari 11

DRAFT!

Sesi III: LGBT dan dinamika teks dan konteks dalam masyarakat Indonesia

Emanuel Gerrit Singgih

Pendahuluan

Dalam pembahasan sesi I mengenai hermeneutik saya mengusulkan kita memegang prinsip Sola
Scriptura Plus dalam kerangka pembicaraan mengenai LGBT. Di pemeriksaan teks-teks Alkitab dalam
sesi II saya menggunakan prinsip Sola Scriptura Plus ini dengan hasil yang sudah kita lihat bersama.
Plusnya adalah memertimbangkan dengan serius warisan teologi Paulus yang amat berharga, yaitu
Sola Fide, Sola Gratia dan Sola Caritate atau Sola Amore. Dalam pembicaraan sesi III ini saya kembali
menggunakan prinsip Sola Scriptura Plus, namun “Plus”-nya sekarang adalah pertimbangan ilmu
pengetahuan, budaya, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena keterbatasan waktu
memersiapkan bahan ini di akhir 2016, saya tidak sempat memeriksa seluruh literatur mengenai
ketiga pokok ini, dan sama seperti di sesi I dan II, rujukan-rujukan ke karya-karya ilmiah tidak ada.
Bukan berarti saya tidak ilmiah, melainkan saya mencoba mengandalkan ingatan saya pada apa yang
pernah saya pelajari mengenai LGBT. Tentunya kemampuan saya yang terbatas itu dapat dilengkapi
oleh para pengikut simposium ini. Kita mulai dengan aras yang pertama, yaitu aras ilmu
pengetahuan.

LGBT dan perkembangan ilmu pengetahuan

Di sini kita bergumul dengan masalah nisbah di antara agama atau teologi di satu pihak dan ilmu
pengetahuan atau sains di lain pihak. Terdapat minimal tiga pandangan mengenai nisbah ini: ada
yang menganggap bahwa agama berada di atas ilmu pengetahuan, ada pula yang berpendapat
bahwa agama berada di bawah ilmu pengetahuan dan ada yang berpendirian bahwa agama dan
ilmu pengetahuan merupakan dua pandangan dunia atau worldview, yang berdialog dalam
kedudukan yang setara. Saya mengikuti pendapat yang ketiga ini. Di jaman pra modern, ilmu
pengetahuan berada di bawah agama. Penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan tidak
boleh berlawanan dengan ketentuan-ketentuan agama. Dengan sendirinya apabila ada penemuan-
penemuan yang dianggap berlawanan dengan ketentuan-ketentuan agama, maka pihak agama akan
mengambil tindakan memberangus pandangan-pandangan yang berlawanan ini, yang untuk
mudahnya kita sebut “agamisme”. Dari situ timbul pandangan bahwa agama selalu berada dalam
situasi konflik dengan sains, dan sampai sekarang masih ada cukup banyak orang beragama yang
berpandangan seperti itu. Di jaman modern, situasi berputar: sains berada di atas agama, agama
tidak diperlukan dalam diskursus sains dan dalam karya-karya sains tidak boleh ada rujukan yang
berbau agama. Sikap saintifik berjalan berdampingan dengan sikap sekular, yang acapkali bernuansa
anti agama, bahkan tidak jarang bermusuhan dengan agama. Sikap ini untuk mudahnya kita sebut
“saintisme” atau “sekularisme”. Suasana konflik tetap ada dan gaungnya terasa sampai ke dunia
pendidikan tinggi termasuk Indonesia. Kita melihat misalnya usaha-usaha untuk memindahkan ilmu
teologi ke dalam rumpun agama dan bukan rumpun sains. Menarik bahwa ketika Persetia berusaha
memertahankan keberadaan teologi di dalam sains dengan mengubah nama teologi menjadi
“filsafat keilahian”, ada juga yang senang dengan pemindahan tersebut. Padahal pemindahan

1
tersebut dibuat dalam rangka menempatkan agama di bawah sains. Di jaman posmodern, agama
kembali diakui sebagai salah satu sumber diskursus yang sah, di samping sumber-sumber lainnya.
Maka agama kembali berdialog dengan sains. Agama mengkritisi sikap saintisme atau sekularisme,
sedangkan sains mengkritisi sikap agamisme. Tetapi bersamaan dengan itu agama juga direvitalisasi
atau minimal diinspirasikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan sebaliknya, ilmu
pengetahuan juga direvitalisasi atau minimal diinspirasikan oleh agama. Menurut saya, kita di
Indonesia sebenarnya berada dalam era posmodern, tetapi perilaku dari banyak orang di Indonesia
ternyata menunjukkan bahwa mereka masih tetap berada di jaman modern, seperti kita lihat
contohnya pada pergumulan Persetia di atas. Sebenarnya yang ideal adalah apabila di era
posmodern, teologi tetap berada dalam rumpun agama, sebab bagaimana pun juga teologi
berangkat dari agama. Namun karena agama dan sains masih dipahami berdasarkan paradigma
modern, bahkan bisa juga paradigma pra modern, maka saya tidak menentang usaha Persetia
mengubah nomenklatur teologi menjadi filsafat keilahian. Dalam kuliah saya mengenai Filsafat Ilmu
(Teologi) di Pasca Sarjana UKDW, saya biasanya membahas pendapat Ian Barbour, yang melihat
bahwa diskursus mengenai nisbah tersebut bisa dibagi atas empat bagian: konflik, sintesa,
independensi dan integrasi. Di Indonesia yang nampak adalah konflik dan independensi. Mengenai
sintesa dan integrasi kelihatannya belum ada yang mengerjakannya. Saya bisa salah, maka saya
senang apabila ada yang bisa memerlihatkannya kepada saya dalam simposium ini. Mungkin
cukuplah pembicaraan saya mengenai nisbah di antara agama dan sains.

Dalam pernyataan pastoral PGI dikemukakan data ilmu pengetahuan, terutama psikologi yang tidak
lagi menggolongkan homoseksualitas sebagai penyakit atau kelainan jiwa. Data ini diuraikan dengan
memadai. Yang mengeluarkan pernyataan ini adalah asosiasi psikologi di Amerika Serikat. Data ilmu
pengetahuan mengenai LGBT ini di Indonesia sering diragu-ragukan. Saya ingat bahwa dalam sebuah
percakapan di TV, wakil dari perkumpulan psikolog Indonesia menyatakan bahwa LGBT merupakan
kelainan jiwa. Pernyataan ini diprotes orang banyak, dan akhirnya wakil tersebut meminta maaf atas
pernyataannya. Dari sini kita melihat bahwa orang yang saintifik bisa bersikap tidak saintifik, oleh
karena meneruskan pandangan dari jaman pra modern, bahwa sains harus tunduk dan tidak boleh
berlawanan dengan agama. Di pihak lain dari kalangan agama sudah ada juga memeriksa
perbendaharaan kepustakaan agama, dan menemukan bahwa daripada menentang LGBT, agama
malah tidak anti terhadap LGBT. Saya teringat pada Azis Anwar Fachrudin (kolumnis yang uraian-
uraiannya mengenai agama Islam di Indonesia muncul secara teratur dalam bahasa Inggris di koran
Jakarta Post) di facebook, yang memeriksa tradisi fiqih dalam Islam, dan uraian saya di sesi II dapat
pula digolongkan ke dalam upaya ini. Data yang diberikan oleh asosiasi psikologi Amerika Serikat itu
tidak perlu dianggap bersifat ideologis, seperti pendapat banyak orang di Indonesia (dan di tempat-
tempat lain), melainkan didasarkan atas penelitian mendalam yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Tentu saja uraian teman-teman PGI dapat diperlengkapi dengan banyak data lain,
seperti yang dilakukan oleh Ioanes Rahmat dalam blognya yang menanggapi dan mendukung
pernyataan pastoral PGI. Saya tidak mendukung Ioanes Rahmat dalam pandangan teologisnya
mengenai Gusti Yesus, yang nampaknya menempatkan agama di bawah sains, tetapi uraiannya
mengenai LGBT berdasarkan data ilmiah di blognya bagi saya cukup meyakinkan. Di antara
pandangan-pandangan ilmiah ini ada yang mengemukakan dugaan bahwa hormon tertentu
berperan dalam rangka mengarahkan orientasi seksual seseorang. Sebenarnya dugaan ini sudah
cukup lama usianya. Saya menonton film The Imitation Game di Indovision mengenai fisikawan
Inggris yang berjasa dalam perang dunia II dan pelopor penemuan komputer, Alan Turing, yang

2
menceritakan bahwa sesudah dia ketahuan sebagai homoseksual, dia dihukum di pengadilan dan
harus minum hormon tertentu dalam rangka menetralisir kecenderungan homoseksualnya.
Pengobatan hormonal ini dilakukan dalam rangka menyembuhkan Turing. Tentu saja pengobatan ini
gagal dan akhirnya karena terus menerus dipinggirkan, akhirnya Turing membunuh diri.

Sekarang analisis mengenai hormon nampaknya tidak dilakukan dalam rangka menyembuhkan
homoseksualitas yang memang bukan penyakit atau kelainan jiwa, melainkan sebagai pertimbangan,
seberapa jauh faktor nature dan faktor nurture berperan dalam menentukan atau memengaruhi
orientasi seksual seseorang. Faktor nature dibicarakan dalam melihat orientasi seksual sebagai
sesuatu yang dari sononya sudah demikian, seperti pendapat Gusti Yesus mengenai orang kebiri
yang sudah demikian sejak dari rahim ibunya, sedangkan faktor nurture dibicarakan dalam
memertibangkan seberapa jauh orientasi seksual seseorang ditentukan atau dipengaruhi oleh
lingkungan di sekitarnya. Sebagaimana diakui di dalam pernyataan pastoral PGI, tidak mudah
membedakan mana yang merupakan hasil nature dan yang mana merupakan hasil nurture.
Nampaknya kedua faktor ini saling berkelindan.Tetapi supaya adil bagi semua, menurut saya bukan
hanya terhadap orang homoseksual saja kita berbicara mengenai nature dan nurture, mengenai
masalah “dari sononya” atau “keputusan/plihan”, melainkan kepada mereka yang heteroseksual
juga. Barangkali jarang sekali orang bertanya, apa yang menyebabkan seseorang menjadi
heteroseksual? Kebanyakan hanya sibuk dengan pertanyaan mengapa seseorang menjadi
homoseksual, dan itu sudah memerlihatkan pemahaman sepihak atau bias bahwa heteroseksualitas
berkaitan dengan nature sedangkan homoseksualitas berkaitan dengan nurture. Perkembangan ilmu
pengetahuan menolong kita untuk bersikap adil dalam menilai orientasi seksual seseorang.

Dari sejarah perjumpaan agama dan ilmu pengetahuan kita tentu menyadari perubahan-perubahan
yang terjadi dalam persepsi agama mengenai realitas. Saya kira sekarang ini tidak ada lagi di antara
kita yang bersikeras menganggap bahwa bumi ini rata, bahwa bumi ini adalah pusat alam semesta
dan bahwa matahari dan bulan mengelilingi bumi. Tata surya (galaxy) di alam semesta bukan hanya
satu melainkan banyak. Itulah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tanpa penerimaan
terhadap gambaran dunia sebagai hasil perkembangan sains, tentu kita tidak bisa membayangkan
eksplorasi-eksplorasi ke luar angkasa seperti yang terjadi di abad 20 dan sekarang di abad 21,
pengiriman satelit penelitian ke orbit planet Jupiter. Ketika saya masih mahasiswa s1 teologi di
Yogya, seorang teman menceritakan mengenai tanggapan terhadap rencana pendaratan manusia di
bulan. Dalam kotbah-kotbahnya, seorang pendeta senior di gereja yang letaknya berseberangan
jalan dengan UKDW, berulang-ulang menekankan bahwa manusia tidak mungkin bisa mendarat di
bulan. Boten saget! Demikianlah seruan beliau. Tetapi tetap saja yang dikuatirkannya terjadi. Neil
Armstrong dari USA menginjakkan kakinya di bulan, dan sesudah itu perjalanan pesawat ruang
angkasa merupakan hal yang rutin, dan Uni Sovyet (sekarang Russia) bahkan membangun stasiun
ruang angkasa Mir, yang sekarang dikerjasamakan secara internasional dengan astronaut-astronaut
pelbagai negara. Tetapi bukan berarti tidak ada lagi yang menolak gambaran dunia ilmu
pengetahuan. Saya ingat bahwa ada tayangan hoax di TV dan Facebook yang memberitakan bahwa
pendaratan di bulan itu cuma rekayasa saja.

Gambaran mengenai alam semesta yang amat luas ini pastilah amat jauh dari gambaran mengenai
langit dan bumi di kitab Kejadian fasal 1, yang merujuk pada ilmu pengetahuan Babilonia kuno, yang
waktu itu menjadi rujukan umum bagi semua. Menurut saya, keliru kalau kita mengatakan bahwa
Kejadian fasal 1 bukan uraian ilmiah melainkan uraian iman. Kejadian fasal 1 memang merupakan

3
uraian iman, tetapi uraian iman berdasarkan data ilmiah. Cuma data ilmiahnya diambil dari ilmu
pengetahuan Babilonia kuno, yang tentu saja kalau dibandingkan dengan data ilmu pengetahuan
jaman sekarang, sudah amat ketinggalan jaman. Terjemahan TB-LAI di Kejadian 1:36 menyebutkan
mengenai penciptaan cakrawala. Nah, cakrawala bukan benda, melainkan batas pemandangan
manusia. Jadi pastilah membingungkan kalau dikatakan bahwa cakrawala diciptakan. Di TB-BIS, tidak
ada rujukan ke cakrawala melainkan “kubah” (Ibr: raqia). Ada benda berupa kubah yang membagi
atau memisahkan air menjadi dua, ada yang di atas kubah dan ada yang di bawah kubah. Air yang
ada dibawah kubah dibagi lagi, ada yang kering yang dinamai “darat” sedangkan sisa air yang ada
disebut “laut”. Kita juga tetap bingung kalau dikatakan di atas ada benda berupa kubah. Tetapi di
ayat 8 baik cakrawala (TB-LAI) maupun kubah (TB-BIS) dinamai “langit”. Nah, baru kita mengerti
bahwa yang dimaksud adalah penciptaan langit. Mengapa para penerjemah tidak langsung
menerjemahkan raqia sebagai langit saja? Saya menduga para penerjemah berpendapat bahwa di
ayat 1 sudah disebut mengenai penciptaan langit dan bumi, jadi tidak mungkin disebut lagi. Maka
raqia diterjemahkan sebagai cakrawala atau kubah. Padahal kalau mereka melihat ayat 1 sebagai
statement umum mengenai penciptaan langit dan bumi, kemudian ayat 2 dan seterusnya sebagai
rincian penciptaan komponen-komponen langit dan bumi, maka penciptaan raqia di ayat 6 dan
penamaannya sebagai langit di ayat 8 tidaklah bertentangan. Namun, tetap tidak menyelesaikan
kebingungan kita mengenai langit sebagai benda dan air yang ada di atas cakrawala atau kubah.

Kebingungan itu sebuah pertanda bahwa ada perbedaan di antara gambaran Alkitab di kitab
Kejadian fasal 1 dengan gambaran kita sekarang ini mengenai langit dan bumi, mengenai alam
semesta. Tetapi ada yang menganggap kebingungan ini sebagai wujud ketidakpercayaan kepada
kebenaran firman Allah, sehingga berusaha menutupi kebingungan ini dengan menyatukan
gambaran ilmiah masa lalu dari Babilonia dengan gambaran ilmiah masa kini mengenai alam
semesta, dengan misalnya menafsirkan langit sebagai lapisan ozoon, yang seperti kita ketahui,
sekarang berada dalam keadaan “bocor” oleh karena penggunaan zat-zat kimia tertentu pada kulkas
dan produk-produk industri yang lain. Upaya ini dapat digolongkan ke dalam sintesa di antara agama
dan ilmu pengetahuan, tetapi repotnya adalah menentukan, apakah agama yang disesuaikan dengan
ilmu pengetahuan, atau ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan agama? Kalau melihat
penyamaan raqia dengan lapisan ozoon, maka dugaan saya yang berlaku adalah agama disesuaikan
dengan ilmu pengetahuan. Jadi teks Kejadian fasal 1 adalah benar, karena sesuai dengan ilmu
pengetahuan! Ini sebuah usaha apologetik yang bisa dimengerti, tetapi menurut saya sulit
memertahankannya, baik dari sudut agama maupun dari sudut ilmu pengetahuan.

Di kitab Yosua fasal 10 dikisahkan mengenai peperangan bangsa Israel yang dipimpin oleh Yosua
melawan raja-raja dari tanah Kanaan, dalam rangka merebut tanah itu, yang diyakini sebagai
pemberian Tuhan kepada Israel. Musuh-musuh Yosua sangat kuat, namun Yosua berhasil
mengalahkan mereka dekat Gibeon, kemudian mengejar sisa musuh ke arah pendakian Bet-Horon
dan memukul mundur mereka ke dekat Azeka dan Makeda (ayat 10). Bahwa perang ini bukan
perang biasa dapat dilihat di ayat 11, yang melaporkan bahwa Tuhan ikut berperang bersama bangsa
Israel, bahkan Tuhan turun tangan secara aktif melemparkan batu-batu besar dari langit kepada
musuh, sehingga yang mati akibat hujan batu lebih banyak daripada yang mati karena pedang. Kita
bisa saja menganggap bahwa hal ini merupakan tafsiran dari umat Israel yang dalam peperangan itu,
tiba-tiba menyaksikan bahwa tentara musuh terkena longsor yang hebat dan banyak yang tewas.
Tetapi pastilah mereka menyimpulkan bahwa longsor itu dibuat oleh Tuhan dalam rangka menolong
umatnya. Tetapi peperangan belum selesai, padahal hari telah menjelang petang. Kemudian di ayat

4
12 dikatakan bahwa Yosua berbicara kepada Tuhan, dan kemudian di memerintahkan di hadapan
umat Israel:”Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!”.
Kedua benda langit ini langsung berhenti, sampai bangsa Israel membalaskan dendamnya kepada
musuh. Penulis kitab Yosua (penulis sejarah Deuteronomis) menyebutkan sumbernya, yaitu “Kitab
Orang Jujur” (ayat 13) yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya, dan menyatakan
kekagumannya, bahwa belum pernah ada hari seperti itu, baik dahulu maupun kemudian, bahwa
Tuhan mendengarkan permohonan seorang manusia secara demikian, sebab yang berperang untuk
orang Israel adalah Tuhan (ayat 14). Ketika dulu orang memahami bahwa bumi adalah pusat alam
semesta, yang biasanya disebut pemahaman geosentris, maka episode penghentian matahari dan
bulan ini dapat dimengerti, karena bumi dianggap statis, sedangkan matahari dan bulan beredar di
langit, dari timur ke barat, dari pagi ke petang. Sampai sekarang dalam pemahaman sehari-hari yang
pra reflektif, kita semua begitu, tetap berbicara mengenai matahari yang terbit di timur dan
terbenam di barat.

Pemahaman geometris ini berlangsung lama, sampai ke abad pertengahan, dan biasanya dikaitkan
dengan nama Ptolemeus, ahli ilmu alam Yunani. Jadi salah satu alasan mengapa pemahaman
geosentris ini bisa bertahan lama, disebabkan oleh karena pemahaman ilmu pengetahuan waktu itu
dan pemahaman agama (yang diusut dari Alkitab dan karena itu bersifat “Alkitabiah”) bersesuaian.
Tetapi di abad pertengahan, perbedaan di antara gambaran Alkitab dan gambaran ilmu
pengetahuan mengenai realitas menjadi konflik hebat di Eropa Barat. Gereja Katolik yang waktu itu
merupakan lembaga yang amat berkuasa, menentang perkembangan ilmu pengetahuan mengenai
alam semesta, padahal yang mencetuskan pandangan yang berbeda ini, yaitu pandangan bahwa
matahari menjadi pusat alam semesta dan biasanya disebut pandangan heliosentris, adalah seorang
imam Katolik, yaitu Kopernikus. Karena takut pada Roma, Kopernikus tidak menerbitkan
penemuannya selama dia hidup. Setelah dia meninggal barulah orang-orang lain meneruskan
penemuannya itu. Sejarahnya sudah kita ketahui. Galilei yang termasyhur itu dipaksa untuk
membatalkan pendapatnya mengenai pergerakan planet-planet. Giordano Bruno malah dihukum
mati. Jadi ada perjalanan panjang dan jauh dari abad pertengahan ke abad 21 dalam pemahaman
kolektif manusia terhadap alam semesta. Di lingkup agama Kristen, orang belajar memisahkan di
antara kebenaran Alkitab sebagai Firman Allah, dengan data ilmiah atau keterangan lainnya di
Alkitab yang sebenarnya tergantung pada konteks jamannya. Barangkali kesadaran mengenai data
ilmiah yang berubah itu dapat kita terapkan pula dalam pertimbangan terhadap LGBT.

Demikian juga halnya dengan pemahaman mengenai manusia yang kita dapatkan dari ilmu biologi.
Teori Darwin mengenai evolusi mula-mula sangat ditentang, terutama di Amerika Serikat. Bahkan di
tahun 1925, di negara bagian Tennessee, seorang guru SMP, John Scopes, dituduh mengajarkan teori
evolusi, yang pada waktu itu dilarang di negara bagian tersebut. Kasus ini terkenal dengan nama
“Scopes monkey trial”. Dari namanya saja sudah dapat diketahui bahwa pemahaman mengenai
evolusi disalahpahami sebagai memerlihatkan bahwa manusia berasal dari binatang. Tetapi
situasinya sekarang di USA amat berbeda. Orang-orang yang menentang teori evolusi masih ada dan
mereka disebut “creationist”, dalam arti menganggap istilah “creation” sebagai istilah ilmiah dan
bukan teologis, namun di pihak lain, kita melihat film-film blockbuster seperti Jurassic Park dan
sekuel-sekuelnya yang bermunculan. Apa yang terjadi di USA pastilah berdampak pada dunia lain,
dan cucu keponakan saya yang baru berusia tiga tahun sudah memiliki koleksi binatang-binatang
purba dan hafal nama dari beberapa binatang purba tersebut. Di negeri kita sendiri, di dekat Klaten,
di Trinil dan Sangiran, ada museum manusia purba yang secara rutin dikunjungi oleh murid-murid

5
sekolah SMP-SMA. Tetapi saya tahu juga bahwa arus lain yang menentang perkembangan ilmu
biologi ini juga ada di negeri kita, dan hal itu terlihat dari beredarnya vcd-vcd dari Harun Yahya
(orang Turki?) yang menganggap bahwa teori evolusi bertentangan dengan agama Islam. Apakah
semuanya ini memerlihatkan bahwa ilmu pengetahuan telah mengalahkan agama dan bahwa agama
sekarang berada di bawah ilmu pengetahuan? Ada yang memahaminya seperti itu, yaitu orang yang
berpikir saintisme seperti Dawkins yang memutlakkan ilmu. Dawkins adalah orang ateis yang
menganggap bahwa hanya orang ateis yang bisa sungguh-sungguh ilmiah atau akademis. Tetapi kita
tidak perlu mengikuti pemikiran saintisme ini. Sains berbeda dari saintisme, sama seperti agama
berbeda dari agamisme. Penerimaan terhadap penemuan-penemuan ilmiah oleh kaum agamawan
disebabkan karena dialog yang terjadi di antara agama sebagai worldview dan sains sebagai
worldview. Kita perlu mengakui juga sumbangan agama terhadap sains, daripada hanya terpaku
pada sumbangan sains terhadap agama. Kita tidak akan kembali ke paham geosentris, tetapi
sekarang banyak ilmuwan fisika yang berpegang pada prinsip keutamaan manusia (prinsip antropik),
dan menurut saya itulah sumbangan agama terhadap diskursus sains. Pemahaman evolusi memang
mengubah gambaran kita mengenai manusia, tetapi pandangan-pandangan yang menekankan
bahwa hanya otak saja yang berevolusi tidak diterima, oleh karena manusia bukan hanya otak saja
melainkan memiliki dimensi-dimensi yang lain. Nah, kalau dalam bidang pemahaman mengenai alam
semesta dan manusia, orang Kristen bisa sampai pada penerimaan terhadap pemahaman baru itu,
maka dalam bayangan saya, lambat atau cepat, orang Kristen juga bisa menerima pemahaman
ilmiah mengenai orientasi seksual manusia. Saya mengerti bahwa ada juga orang-orang yang
memertahankan pendapat mengenai homoseksualitas sebagai penyakit atau kelainan jiwa, tetapi
biasanya mereka adalah penganut nisbah agama sebagai berada di atas sains, dan kalau disuruh
memilih, maka mereka memilih agama daripada ilmu pengetahuan. Tetapi kalau kita melihat agama
dan sains sebagai dua worldview yang saling berdialog dan bahwa keduanya saling memengaruhi,
kita tidak usah memilih.

Aras budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Dalam aras ini kita berbicara mengenai hak asasi manusia (HAM) untuk mengikuti atau pun memilih
orientasi seksualnya dan tentu saja dalam rangka itu, kita berbicara mengenai kebebasan manusia.
Dalam pembicaraan mengenai aras ilmu pengetahuan di atas kita sudah menyinggung faktor nature
dan faktor nurture. Sudah dikemukakan bahwa nampaknya kedua faktor ini berkelindan dalam diri
manusia, yang memengaruhi apakah seseorang menjadi heteroseksual atau homoseksual. Dalam
diskusi mengenai homoseksualitas di Indonesia, sering diperlihatkan bahwa ada budaya-budaya
tradisional yang mendukung homoseksualitas, misalnya budaya warok di Ponorogo dan bissu di
Sulawesi Selatan. Homoseksualitas diakomodir dalam kepercayaan bahwa seorang warok tidak bisa
memertahankan kekuatan atau kesaktiannya apabila dia berhubungan seksual dengan perempuan.
Maka dia harus berhubungan dengan laki-laki, biasanya laki-laki muda, yang menjadi gemblakan-
nya. Dalam budaya bissu, homoseksualitas diakomodir dalam kepercayaan bahwa Yang Ilahi adalah
bi-seksual dalam arti mengandung unsur baik laki-laki maupun perempuan, dan karena itu menjadi
kuat dan berkuasa. Maka yang bisa menjadi perantara di antara Yang Ilahi dengan manusia haruslah
juga mereka yang bi-seksual. Di wilayah-wilayah lain pastilah budaya semacam ini juga ada. Oleh
beberapa pemerhati kebudayaan, budaya-budaya tradisional ini diangkat ke permukaan untuk
memerlihatkan bahwa isyu homoseksualitas bukanlah sesuatu yang diimpor dari luar negeri, atau

6
seperti yang saya pernah baca di koran, menjadi alat perang proxy dari pihak luar dalam rangka
membuat bangsa kita menjadi lemah, melainkan sesuatu yang adalah bagian dari kepelbagaian
budaya tradisional Indonesia.

Saya setuju dengan pandangan para pemerhati ini, namun di pihak lain, sejauh yang dapat saya
tangkap, budaya semacam ini merupakan counter culture yang tidak pernah dominan dalam
masyarakat. Mereka diakui dan diberi tempat, namun peranannya terbatas. Seorang bi-seksual
misalnya, hanya bisa menjadi bissu saja, tidak bisa menjadi prajurit. Menurut saya, counter culture
tradisional ini tidak bisa dilihat sebagai petunjuk bahwa secara tradisional masyarakat Indonesia
terbuka terhadap kepelbagaian seksual. Homoseksualitas hanya diakui secara terselubung di balik
praktik warok dan bissu, tetapi tidak diakui secara terbuka. Sampai pada abad ke 20, di Indonesia
ada penerimaan secara diam-diam (“tacit recognition”) terhadap homoseksualitas. Asal
homoseksualitas tidak dinampakkan di ruang publik, tidak masalah. Namun di abad ke 21 ini
suasananya berubah, terjadi penolakan keras terhadap homoseksualitas. Perkembangan baru ini
menyebabkan rujukan ke budaya homoseksual yang tradisional menjadi sulit dibuktikan, karena
orang cenderung menyembunyikan daripada memerlihatkannya. Kalau kita melihat pawai warok di
Ponorogo sekarang, maka yang biasanya berbaris sebagai gemblakan sekarang anak perempuan
semua, tidak ada anak laki-laki. Dan para bissu yang dulu biasanya berpakaian sebagai transvestit,
sekarang berpakaian sebagai laki-laki.

Budaya yang tetap dominan kiranya tetaplah yang heteroseksual. Masyarakat menuntut bahwa
perkawinan harus terjadi dalam rangka penerusan keturunan (reproduksi). Ketika pengaruh agama
menjadi semakin kuat dalam budaya, terlebih-lebih lagi tuntutan ini menjadi ekivalen dari hukum:
kamu harus menikah. Menurut banyak pakar yang meneliti gejala homoseksualitas di Indonesia,
kebanyakan orang muda memilih untuk menjadi heteroseksual. Tetapi belum tentu hal ini
disebabkan oleh karena orientasinya adalah heteroseksual. Bisa saja seorang muda
berkecenderungan homoseksual, namun karena tuntutan budaya dan masyarakat, dia menjadi
heteroseksual. Banyak yang mampu hidup seperti ini, mungkin karena mereka bi-seksual. Tetapi ada
juga yang tidak bisa bertahan dalam hidup pernikahan dan meskipun sudah punya anak, akhirnya
rumah tangganya menjadi berantakan. Tuntutan budaya dan masyarakat yang kuat (dan masyarakat
menurut Durkheim, mewakili Tuhan) ini bisa menyebabkan orang yang berorientasi LGBT berusaha
menghilangkan semua kesan yang mungkin bisa menandakan dirinya sebagai LGBT. Dia ingin
dianggap “normal”, dengan menolak dan membenci kecenderungan homoseksualnya. Pernikahan
merupakan salah satu jalan keluar. Apabila yang bersangkutan kebetulan tampan atau rupawan, dia
akan berusaha mengubah tampangnya sedemikian rupa sehingga penampilannya tidak menarik
(misalnya menjadi gemuk), dan dia akan bersikap amat agresif terhadap orang LGBT yang lain. Gejala
ini disebut homophobia, yang tidak dapat sekadar diartikan sebagai orang heteroseksual yang
membenci orang homoseksual, melainkan lebih sebagai orang homoseksual yang berusaha
menghilangkan identitas homoseksualnya yang dibencinya dengan jalan melampiaskan kebencian
internnya keluar, menjadi kebencian terhadap yang orang yang sebenarnya sama seperti dia.

Bagaimana dengan mereka yang sebenarnya heteroseksual, namun pada masa remaja yang rentan,
mereka dipengaruhi oleh teman yang lebih tua atau orang dewasa yang homoseksual? Dalam hal ini
harus dipertanyakan apa yang dimaksud dengan “pengaruh”. Kalau hal ini adalah pelecehan seksual
atau pemerkosaan, maka tentu saja bermakna negatif. Si remaja akan mengalami trauma dan kalau
tidak mendapat pendampingan, dia akan menjadi pembenci orang homoseksual. Dalam sesi II di atas

7
saya mendukung pandangan rasul Paulus mengenai kebejatan percabulan, dan meringkasnya
menjadi semboyan “percabulan no, seksualitas yes!”. Dalam benak banyak orang Indonesia,
kesadaran seksual sama dengan kesadaran untuk berbuat cabul. Ini aneh sekali, tetapi merupakan
kenyataan. Mungkin kenyataan ini ditimbulkan oleh pemahaman mengenai seksualitas sebagai
sesuatu yang negatif. Yang perlu dilakukan adalah pendidikan etika seksual, yang bisa mengatasi
keanehan ini. Tetapi kembali ke masalah yang berkaitan dengan pengaruh ini, saya setuju apabila
pelecehan seksual atau perkosaan terhadap pemuda oleh mereka yang berorientasi homoseksual
dianggap sebagai kriminalitas dan dibawa ke pengadilan. Sama halnya apabila orang heteroseksual
melakukan pelecehan seksual dan perkosaan terhadap perempuan. Hanya yang perlu diperhatikan
dan dipertimbangkan adalah bahwa dalam masa remaja, seorang anak akan mengalami secara
berganti-ganti perasaan homoseksual dan heteroseksual. Bisa saja dalam pergaulan dengan teman-
temannya, dia memiliki pengalaman homoseksual. Namun, setelah dia mencapai usia dewasa, dia
memilih untuk berumah tangga dan melupakan masa remajanya. Tetapi ada pula yang berdasarkan
pengalaman homoseksualnya, yang diperolehnya akibat kecocokan orientasi seksual dengan orang
lain, akan menyebabkan dia memilih untuk tetap menjadi homoseksual. Dalam interaksinya dengan
orang lain yang homoseksual, dia tidak dipaksa atau merasa terpaksa, melainkan menemukan diri
dan memilih orientasi seksualnya dalam kebebasan. Dalam konteks budaya yang amat kuat
menekankan pada heteroseksualitas dan mengecam homoseksualitas, hal ini tidak banyak terjadi,
tetapi bukannya tidak ada. Meskipun dalam kasus ini ada pengaruh dari orang lain, kalau pengaruh
ini menyebabkan seorang pemuda menetapkan orientasi seksualnya, maka menurut saya hal ini
tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Pemuda yang memilih orientasi heteroseksual
juga dipengaruhi oleh lingkungan yang heteroseksual. Jadi kalau hal itu dianggap positif, maka tidak
adil kalau yang hal yang satunya lagi dianggap negatif.

Dalam hal ini pun kita sering melihat bias dari orang heteroseksual terhadap orang homoseksual.
Dalam pelbagai pembicaraan di media massa dan medsos, orang homoseksual dianggap suka
menggoda dan memengaruhi orang yang bukan homoseksual, dan pastilah motif utama atau missi
dari orang homoseksual adalah membuat orang lain menjadi homoseksual. Sebelumnya bias ini
dikenakan pada penderita HIV-AIDS. Pernah beberapa tahun yang lalu, ada yang memeringatkan
agar jangan mengunjungi mall-mall, karena di situ ada penderita-penderita HIV-AIDS yang siap
menularkan penyakitnya kepada orang lain melalui jarum suntik atau dengan satu dan lain cara.
Untung para pengunjung mall tidak peduli pada larangan semacam itu sehingga akhirnya paranoia
semacam itu tidak terdengar lagi. Bersamaan dengan bias itu, terdapat bias yang lain lagi, yang
menganggap semua orang homoseksual sebagai orang hiper-seks, yang selalu melihat mangsa atau
korbannya di mana-mana. Kalau seorang pembunuh berantai adalah orang yang berorientasi
homoseksual, maka pembunuhan itu akan dilihat sebagai pembunuhan dari orang homoseksual,
tanpa memertimbangkan bahwa orang heteroseksual juga bisa menjadi pembunuh berantai. Oleh
karena belum lama ini komplotan yang menjajakan kenikmatan seksual dengan anak-anak lelaki
melalui online ketahuan dan ditangkap, maka di media masssa dan medsos orang yang menikmati
hubungan seksual dengan anak-anak lelaki disebut gay, homoseks atau LGBT. Padahal orang yang
demikian itu adalah pedofil dan perbuatannya disebut pedofilia. Pelakunya bisa orang homoseksual
maupun heteroseksual. Pengidentifikasian homoseksualitas dengan pedofilia merupakan upaya
memberi gambaran negatif terhadap LGBT sebagai hiper-seks dan bahaya bagi pergaulan dalam
masyarakat. Selama terdapat penolakan terhadap LGBT, gambaran-gambaran mendiskreditkan

8
terhadap LGBT akan selalu muncul, dan hanya penerimaan terhadap LGBT yang dapat mengurangi
pendiskreditan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan budaya dan HAM, maka kita perlu memertimbangkan kebebasan
manusia dalam memilih orientasi seksualnya. Faktor budaya dan pengalaman pribadi menyebabkan
kita tidak bisa memastikan apakah orientasi seksual ditentukan dari sononya ataukah merupakan
keputusan hati nurani. Seperti dikemukakan di atas, keduanya berkelindan. Ada lelaki yang ketika
remaja sampai pada masa pemuda mengalami perasaan homoseksual, tetapi setelah dewasa,
memilih menjadi heteroseksual. Tetapi ada juga yang besar secara heteroseksual, namun dalam
perkembangan hidupnya dia menyadari bahwa dia sebenarnya homoseksual, dan akhirnya memilih
hidup seperti itu. Contohnya dapat dilihat di film Indonesia, Realita Cinta dan RocknRoll (2004)
mengenai perjalanan hidup dua pemuda. Yang satu diimbau oleh ibunya agar mencari ayahnya, yang
telah menjadi waria. Mula-mula pemuda itu jijik terhadap ayahnya yang waria itu, tetapi atas
dorongan ibunya yang sungguh memahami suaminya, akhirnya pemuda itu bisa menerima ayahnya.
Ada pula yang sejak dini menyadari diri sebagai homoseksual, namun ingin mencoba apakah bisa
hidup secara heteroseksual. Ternyata dia tidak bisa dan bergumul untuk hidup dengan orientasi
seksualnya yang seperti itu. Contohnya dapat dilihat di film Taiwan, Eternal Summer (2006).
Anehnya, teman baiknya sejak masa kecil adalah seorang pemuda heteroseksual, tetapi malah jatuh
cinta kepadanya, sekaligus tetap mencintai pacar perempuannya. Mohon maaf bahwa contoh-
contoh ini diambil dari film, bukan dari penelitian penulis, tetapi film yang bagus merupakan
cerminan dari kehidupan nyata. Syukurlah bahwa sampai sekarang di Indonesia cukup banyak
produksi film-film yang bertemakan LGBT, yang bisa membawa kita menyadari bahwa LGBT
merupakan bagian dari kenyataan Indonesia. Mudah-mudahan tidak ada larangan bagi film-film itu,
dengan alasan bahwa itu bagian dari perang proxy, senjata dari kekuatan asing untuk melemahkan
ketahanan perang orang Indonesia.

Penutup: bagaimana selanjutnya?

Demikianlah refleksi saya dalam rangka menanggapi pernyataan pastoral PGI. Saya senang bahwa
PGI memiliki keberanian (courage) untuk menerbitkan pernyataan tersebut dalam konteks gereja-
gereja anggotanya yang setahu saya, mayoritasnya bersikap anti LGBT. Tetapi seperti diketahui,
dalam pernyataan pastoral ini tidak disebutkan apa-apa mengenai pernikahan gay atau pun
pemberkatan nikah orang homoseksual. Pdt Gomar Gultom, sekum PGI telah memberi penjelasan di
medsos mengenai pernyataan pastoral PGI yang menurut dia telah disalahpahami, seakan-akan PGI
menolerir atau berniat mengintrodusir pernikahan gay. Pernyataan PGI tidak ke situ, hanya
mengimbau agar orang LGBT tidak lagi dianggap sebagai orang berdosa. PGI tidak menyinggung
tindakan seksual LGBT. Saya bisa memahami sikap PGI, dan dalam kenyataannya, pasti sulit sekali
melaksanakan pernikahan gay di Indonesia, yang seperti telah dikemukakan di atas, berbudaya
heteroseksual. Tetapi di bawah ini ada beberapa pertimbangan (bukan usulan lho!) dalam rangka
diskursus kita mengenai LGBT.

Pertama, di mana-mana pun juga kaum homoseksual merupakan minoritas, juga di gereja!
Mayoritas selalu heteroseksual. Jadi perjuangan kaum LGBT adalah mendapatkan keadilan, tidak
dianggap sebagai orang berdosa, orang berpenyakit menular atau orang sakit jiwa, bukan dalam
rangka merebut pengaruh untuk menggantikan orang heteroseksual sebagai mayoritas. Di pihak lain,

9
mayoritas heteroseksual sebenarnya tidak perlu terlalu risau dengan perjuangan kaum LGBT ini,
karena warna budaya masyarakat tetaplah heteroseksual. Yang diperlukan adalah kesediaan
memberi ruang toleransi kepada kaum LGBT, sehingga mereka bisa menghayati aspirasi mereka,
termasuk aspirasi yang terdalam. Pandangan bahwa orang gay berniat menjadikan dunia ini dunia
gay, dan karena itu, dunia yang bukan gay harus memberantas kaum gay, merupakan sebuah
prasangka berdasarkan ketakutan terhadap “the other”, yang perlu diatasi.

Kedua, banyak kelompok masyarakat yang toleran terhadap kaum LGBT, namun toleransinya
bersyarat: boleh gay, tetapi tidak boleh mengadakan aktivitas gay. Di beberapa gereja, orang LGBT
diterima, tetapi karena tindakan seksualnya dianggap dosa, mereka tidak boleh lagi menyalurkan
hasrat seksual mereka ke sesama orang gay, melainkan harus bertarak alias selibat. Saya tidak serta
merta mengeritik sikap ini, oleh karena hidup selibat merupakan tradisi yang baik dalam sejarah
gereja, dan sampai sekarang ada orang Kristen yang hidup selibat seperti rasul Paulus, dan
berbahagia tidak stress. Tetapi yang saya soroti adalah tuntutan hidup selibat bagi mereka yang tidak
memiliki bakat selibat. Bukankah rasul Paulus di I Korintus 7 tidak memahami hidup selibat sebagai
hukum, melainkan sebagai salah satu pilihan hidup? Konteksnya memang mengenai orang laki-laki
heteroseksual, yang sebaiknya selibat, tetapi lebih baik kawin, daripada hangus oleh nafsu berahi.
Pertanyaannya adalah apakah saran Paulus ini bisa diterapkan ke orang homoseksual? Persoalannya
adalah tidak ada lembaga perkawinan bagi orang homoseksual, jadi jalan keluarnya tetap selibat itu.
Namun pertanyaan yang menyusul adalah, apakah dengan demikian kaum LGBT Kristen tidak pernah
akan bisa mendapatkan pemenuhan dari aspirasinya yang terdalam sehubungan dengan cinta kasih?
Jawabnya mungkin: pikullah hal ini sebagai salib. Gereja Presbyterian USA pernah memutuskan hal
ini bagi anggota-anggotanya yang gay, tetapi akhirnya keputusannya diubah, karena merasa bahwa
keputusan ini tidak sesuai dengan I Korintus 7 dan HAM, dan tetap tidak adil untuk kaum LGBT.

Ketiga, pertimbangan saya adalah bagaimana supaya dalam pendampingan pastoral terhadap
anggota gereja yang bergumul dengan orientasi seksual mereka, kita mencoba meyakinkan mereka
agar tidak melecehkan seksualitas mereka, melainkan menjaga agar mereka tidak jatuh ke
percabulan. Seperti sudah saya kemukakan di atas, semboyan Paulinian, “seksualitas yes, percabulan
no!” harus dikenakan kepada semua, baik orang yang heteroseksual maupun orang yang
homoseksual. Biasanya orang menyadari diri homoseksual karena ada pengalaman homoseksual
dengan orang lain. Maka jika mereka mempunyai pasangan, dan satu sama lain saling mencintai,
yang kita imbau agar mereka sebagai pasangan saling setia satu sama lain. Kita tidak bisa
mengawinkan mereka, karena lembaga perkawinan untuk mereka tidak ada, tetapi kita bisa
mendampingi mereka dalam rangka menumbuhkan rasa saling percaya dalam cinta kasih, sama
seperti yang diyakini oleh orang-orang heteroseksual yang menikah. Dalam pendampingan kepada
banyak orang homoseksual, saya menemukan bahwa orang LGBT sering sekali mengalami patah hati
karena ditinggalkan oleh pasangannya, padahal mereka baru berkenalan satu dua bulan. Akhirnya
mereka tidak percaya pada kesetiaan cinta kasih, dan berperilaku seksual yang permisif. Mungkin
karena tidak ada lembaga perkawinan yang bisa menjamin hubungan secara hukum, mereka sering
selingkuh dan bergonta-ganti pasangan. Gonta-ganti pasangan ini membuat orang LGBT rentan
terhadap penyakit HIV-AIDS. Sikap permisif ini membantu memicu citra di masyarakat bahwa orang
LGBT adalah hiper-seks yang permisif! Pekabaran Injil kepada kaum LGBT jangan dipusatkan pada
orientasi homoseksual sebagai dosa, melainkan pada sexual permissiveness sebagai dosa.
Sebagaimana sexual permissiveness ini adalah dosa bagi orang heteroseksual, demikian pula sexual
permissiveness adalah dosa bagi orang homoseksual. Karena bagi kaum LGBT tidak ada lembaga

10
perkawinan, ya sudahlah semboyannya adalah mirip seperti kampanye KB jaman dulu: SATU PACAR
SAJA, CUKUPLAH!

Wisma Labuang Baji,

Yogyakarta, 31 Desember 2016.

Biodata: Pdt. Prof. Dr. (h.c.) Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D. Lahir 1949, lulus Ph.D. 1982 di Glasgow,
U.K., ditahbiskan sebagai pendeta GPIB 1983, menjadi dosen 1985, diangkat menjadi gurubesar
2005, mendapat doctor honoris causa 2011 dari PThU Kampen, Belanda, mengajar di fakultas
teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Menulis banyak buku dan artikel.

11

Anda mungkin juga menyukai