Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 1

MKWU4108/3 SKS

BAHASA INDONESIA

Nama : Syifa Nur Nadiyah

NIM : 048925549

Program Studi : Matematika

Fakultas : Sains dan Teknologi

UNIVERSITAS TERBUKA JAKARTA

2023.1
TUGAS TUTORIAL I

Kerjakanlah soal-soal berikut ini dengan baik.


1. Jelaskan fungsi bahasa menurut M.A.K. Halliday.
2. Jelaskanlah perkembangan (peningkatan) bahasa Indonesia berdasarkan hasil
kongres VII s.d. XI dengan menggunakan peta konsep (mind mapping).
3. Bacalah artikel berikut dengan menerapkan teknik SQ3R!

Sisi Positif Parenting Budaya Jepang


Oleh: Buyung Okita

Parenting menjadi isu yang hangat dewasa ini. Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk
lebih mempelajari bagaimana ilmu-ilmu parenting agar dapat diimplementasikan bagi
putra-putrinya, atau sebagai bekal untuk membina rumah tangga di kemudian hari.
Terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa, permisif, dan terlalu
protektif. berikut adalah sedikit penjelasan mengenai keempat gaya asuh tersebut.

1) Hubungan antara orang tua dan anak yang sangat dekat

Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat. Setidaknya sampai usia 5 tahun anak
tidur bersama orangtuanya. Ibu juga selalu menemani di manapun anaknya berada. Tidak
jarang kita melihat ibu menggendong anaknya sambil melakukan kegiatan rumah seperti
menyapu, memasak, berbelanja, dan lain-lain. Bahkan hampir setiap perempuan yang telah
melahirkan dan menjadi ibu rela untuk berhenti bekerja dan fokus untuk mendidik anaknya
di rumah.
Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi dengan keluarga dan kerabat
sehingga dapat lebih mengenal saudara dan mudah bersosialisasi. Orang tua di Jepang juga
beranggapan bahwa sebisa mungkin menemani putra-putrinya sehingga anak merasakan
kasih sayang orangtuanya.

2. Orang tua adalah cerminan anak

Setelah fase usia 5 tahun, anak boleh bereksplorasi melakukan sesuatu, lalu usia 5-15 tahun
anak mulai diajari untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan rumah, belajar untuk
disiplin, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang tua. Fase ini mengajari anak-anak
untuk dapat berkontribusi melakukan cara-cara yang telah dilakukan secara turun temurun.
Pada fase ini orangtua memberikan batasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban anak,
apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu kegiatan pendidikan moral di sekolah juga mulai diajarkan, tidak hanya
sebagai mata pelajaran yang diselipkan pada mata pelajaran lain. Di sini anak diajarkan dan
diberikan ruang untuk melakukan kegiatan sosial seperti saling melayani, kegiatan makan
siang di sekolah, dan kegiatan lain yang juga kerap dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia.
Kegiatan sekolah dan rumah yang bersifat rutin, meskipun terkesan monoton merupakan
cara Jepang untuk menbuat anak-anak belajar untuk disiplin.

3. Orang tua dan anak adalah setara

Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan ruang agar anak dapat lebih
mandiri dengan mengurangi batasan yang diterapkan pada fase sebelumnya. Hubungan
tidak hanya sebagai orang tua dan anak, tetapi juga sebagai teman dan setara. Anak
didukung untuk menjadi pribadi yang mandiri, dapat berpikir dan menentukan pilihan dan
lebih bersifat demokratis.

Fase ini mempersiapkan anak untuk melakukan kegiatan keterampilan bagi dirinya sendiri
dan keluarga serta belajar bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat Jepang). Anak
mulai diajarkan independent (mandiri) dan dipersiapkan untuk dapat siap menjadi orang
dewasa. Setelah usia 20 tahun anak dianggap resmi menjadi dewasa dengan biasanya
diadakan upacara hari kedewasaan yang diselenggarakan di distrik/kota setempat yang
diikuti oleh pemuda berusia 20 tahun.
4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi

Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di komunitas sosial
masyarakat yang lebih luas, anak juga diberikan semangat untuk dapat memahami dan
menghormati perasaanya sendiri. Orang tua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal
yang tidak mempermalukannya. Contohnya tidak menegur anaknya atau menasehati
anaknya di muka umum ketika melakukan hal yang dirasa kurang pantas. Orangtua memilih
menunggu situasi dan tempat yang lebih privasi untuk menasehatinya. Anak diajarkan untuk
dapat memiliki sikap empati dan saling menghormati orang lain.

Orang tua di Jepang tidak menggangap gaya asuh mereka menjadi gaya asuh yang terbaik.
Begitu pula dewasa ini nilai budaya barat pun menginsipirasi cara orangtua di Jepang dalam
mendidik anaknya. Meskipun terjadi pergeseran dan perubahan, namun gaya asuh orang tua
di Jepang yang menyayangi putra-putrinya tidak berubah.

Setelah membaca gaya asuh orang tua di Jepang, dapat dipahami bahwa gaya asuh mereka
merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif dan gaya authoritative (berwibawa).
Demikian, perbedaan gaya asuh orang tua di amerika dan gaya asuh orang tua di Jepang

Dimodifikasi dari:
https://www.kompasiana.com/buyungokita/%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-positif-
parenting-budaya-jepang?page=all#section2

Setelah Anda membaca artikel di atas, selesaikanlah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

1. Temukanlah informasi awal, identitas, dan topik artikel! (langkah survey)


2. Buatlah tiga pertanyaan yang relevan dengan isi teks! (langkah question)
3. Temukanlah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibuat pada nomor 2!
(langkah read)
4. Catatlah dengan bahasa sendiri jawaban-jawaban yang sudah ditemukan pada nomor
3! (langkah recite)
5. Catatlah informasi utama dari artikel di atas! (langkah review)
Jawaban:

Bagian I

1. Menurut M.A.K Halliday (Tomkins. G.E., dan Hoskisson, K. 1995) dikemukakan 7 fungsi bahasa, yaitu:

a. Instrumental, bahasa digunakan sebagai alat untuk memperoleh kebutuhan fisik. Artinya, ketika fisik
kita memerlukan sesuatu, misalnya lapar, kita akan mengujarkan “Saya mau minum.”
b. Regulatori, bahasa digunakan untuk mengontrol atau mengendalikan orang lain. Misal, ketika sedang
mendidik anak akan tidur, ujaran “Ayo, gosok dulu giginya, baru tidur!”
c. Interaksional, bahasa digunakan untuk berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Dalam hal ini,
bahasa digunakan sebagai fungsi sosial, dapat berupa kata-kata sapaan “Selamat siang, ada yang bisa
dibantu?” dan sebagainya.
d. Personal, bahasa digunakan untuk mengungkapkan diri. Di sini seseorang dapat memperkenalkan
diri atau memberikan identitas diri dengan ujaran-ujaran “Nama saya Syifa, saya tinggal di Bekasi ...”,
dan seterusnya.
e. Heuristik, bahasa digunakan untuk mengungkapkan dunia di sekitarnya atau mengutarakan
pengalaman. Dengan bahasa, orang menceritakan peristiwa atau kejadian-kejadian yang pernah
dialami, masa lalu, masa kini, di berbagai lingkungan.
f. Imajinatif, bahasa digunakan untuk mencipta. Orang dapat memanfaatkan bahasa untuk mencipta,
dapat berupa ide-ide kreatif atau berupa karya sastra (cerita, puisi, drama).
g. Informatif, bahasa digunakan untuk mengomunikasikan informasi baru (Tim, 2007:120). Dengan
bahasa, orang dapat saling memberi informasi, apakah berupa berita tentang peristiwa atau ilmu
dan teknologi.
2. Perkembangan Kongres Bahasa Indonesia berdasarkan hasil
kongres VII sampai dengan XI

Kongres Bahasa Indonesia VII (Jakarta, 26 – 30 Oktober 1998)

Mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan bahasa Indonesia. Kongres juga melahirkan beberapa
hal pokok sebagai berikut: a) Memperkukuh kedudukan bahasa dalam era globalisasi; b) Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA); c) Organisasi profesi; d) Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Kongres Bahasa Indonesia VIII (Jakarta, 14 – 17 Oktober 2003)

Berdasarkan Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, maka bulan Oktober dijadikan bulan
bahasa. Agenda pada bulan bahasa adalah berlangsungnya seminar bahasa Indonesia di berbagai
lembaga yang memperhatikan bahasa Indonesia.

Kongres Bahasa Indonesia IX (Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008)

Dicanangkannya tahun 2008 sebagai Tahun Bahasa, maka disepanjang tahun 2008 diadakan kegiatan
kebahasaan dan kesastraan. Kongres ini membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa
daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa bahasa dan sastra, serta bahasa media massa.

Kongres Bahasa Indonesia X (Jakarta, 28 – 31 Oktober 2013)

Memunculkan beberapa rekomendasi: a) Pemerintah perlu memantapkan kedudukan dan fungsi


bahasa Indonesia melalui penerjemahan dan penerbitan; b) Pemerintah perlu meningkatkan
sosialisasi hasil-hasil pembakuan bahasa Indonesia; c) Pembelajaran bahasa Indonesia perlu
dioptimalkan sebagai media pendidikan karakter; d) Pemerintah perlu menerapkan Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia (UKBI); e) Badan pengembangan dan Pembinaan bahasa perlu meningkatkan
pengawasan penggunaan bahasa; f) Peran media massa sebagai sarana pemartabatan bahasa dan
sastra Indonesia di kancah internasional perlu dioptimalkan; g) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu
meningkatkan dan memberikan teguran; h) Pemerintah Indonesia harus mendukung secara moral
dan material pendirian pusat studi/kajian bahasa Indonesia di luar negeri.

Kongres Bahasa Indonesia XI (Jakarta, 28– 31 Oktober 2018)

Mengusung tema “Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia” dan mengembangkan sembilan subtema
dari tema besar tersebut, diluncurkannya beberapa produk kebahasaan dan kesastraan, dan
memberikan sejumlah penghargaan.
3. Membaca artikel “Sisi Positif Prenting Budaya Jepang” dengan teknik SQ3R.

Bagian II

1. Judul: Sisi positif parenting budaya Jepang


Nama Penulis: Buyung Okita
Bagian Pembuka: Pentingnya mempelajari bagaimana ilmu-ilmu parenting
Subjudul: 1) Hubungan antara orang tua dan anak yang sangat dekat; 2) Orang tua adalah cerminan anak;
3) Orang tua dan anak adalah setara; 4) Memperhatikan tentang perasaan dan emosi.
Bagian Penutup: Jenis Gaya parenting orang tua di Jepang
Sumber: https://www.kompasiana.com/buyungokita/%205f22b2a4d541df59d84bebe2/sisi-positif-
parenting-budaya-jepang?page=all#section2

2. Pertanyaan-pertanyaan yang relevan:


1. Berasal dari manakah gaya parenting yang dibahas dalam artikel tersebut?
2. Apa saja jenis gaya parenting?
3. Gaya parenting apa yang diasuh oleh orang tua di Jepang?

3. Jawaban-jawaban dari pertanyaan:


1. Pada artikel tersebut membahas tentang gaya parenting dalam budaya Jepang.
2. Terdapat empat jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa, permisif, dan terlalu
protektif.
3. Gaya asuh orang tua di Jepang merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif dan gaya
authoritative (berwibawa).

4. Pada artikel “Sisi Positif parenting budaya Jepang” membahas tentang gaya parenting dalam budaya
Jepang yang ditulis oleh Buyung Okita menjelaskan empat jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter,
berwibawa, permisif, dan terlalu protektif. Selain itu dijelaskan pula penjabaran gaya parenting tersebut
dengan empat sub judul. Pada Bagian Penutup disebutkan jenis gaya parenting yang orang tua di Jepang
yang merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif dan gaya authoritative (berwibawa).

5. Informasi utama dari artikel tersebut:


 Jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa, permisif, dan terlalu protektif.
 Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi dengan keluarga dan kerabat sehingga
dapat lebih mengenal saudara dan mudah bersosialisasi.
 Pada fase 5-15 tahun, orang tua memberikan batasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban anak,
apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
 Setelah anak berusia 15 tahun, anak didukung untuk menjadi pribadi yang mandiri, dapat berpikir
dan menentukan pilihan dan lebih bersifat demokratis.
 Setelah membaca gaya asuh orang tua di Jepang, dapat dipahami bahwa gaya asuh mereka
merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif dan gaya authoritative (berwibawa).
 Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di komunitas sosial masyarakat yang
lebih luas, anak juga diberikan semangat untuk dapat memahami dan menghormati perasaanya
sendiri.

Sumber: BMP MKWU4108/3SKS Modul 1 s.d Modul 3

Anda mungkin juga menyukai