Anda di halaman 1dari 29

KONSEP-KONSEP BUDAYA

Disusun untuk memenuhi penugasan Mata Kuliah Psikologi Nusantara Kelas 2

Dosen Pengampu :

Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A

Disusun oleh :

KELOMPOK 1

Alejandra Alisha P (15000121140236)

Athira Diva M (15000121130089)

Azzahra Putwiantoro (15000121130102)

Chalisa Rahmadila (15000121140281)

Ilyas Hilman F (15000121140343)

Lina Fauziah Mas’ud (15000121130113)

Dzakiyya Adila Rahmawati (15000121130174)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 4
Tujuan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
Konsep Budaya 5
Emik 5
1.1 Pendekatan Emik 5
1.2 Contoh Pendekatan Emik 6
1.3 Riset Terkait Pendekatan Emik 6
Etik 7
2.1 Pendekatan Etik 7
2.2 Perbedaan Etik dan Emik 7
2.3 Contoh Pendekatan Etik 8
2.4 Riset Terkini Pendekatan Etik 8
Etnosentris 9
3.1 Dimensi Etnosentrisme 10
3.2 Riset Terkini terkait Etnosentris 11
Stereotip 12
4.1 Pengertian dan Jenis Stereotip 12
4.2. Isi Stereotip 12
4.3 Perkembangan Stereotip : Sebuah Analisis Psikologi 13
4.4 Riset Terkini mengenai Stereotip 15
Enkulturasi 16
5.1 Pengertian Enkulturasi 16
5.2 Agen Enkulturasi 17
5.3 Riset-Riset Terkini Terkait Enkulturasi 18
Psikologi Lintas Budaya 20
Pengertian Budaya 20
Pengertian Psikologi Lintas Budaya 21
Tujuan Psikologi Lintas Budaya 21
Pengetahuan dalam Psikologi Lintas Budaya 22
Pentingnya Mempelajari Psikologi Lintas Budaya 23
Riset Terkait Psikologi Lintas Budaya 23
BAB III 25
PENUTUP 25
3.1 KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebanyakan dari manusia sudah merasa mengetahui apa itu budaya,
namun pada kenyataannya budaya merupakan sebuah konsep yang cukup sulit
untuk didefinisikan secara formal. Menurut Barnouw (1985), budaya merupakan
sekumpulan nilai, sikap, perilaku, serta keyakinan yang dimiliki sekelompok
orang untuk kemudian diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika
dilihat dari sisi psikologi, budaya merupakan konstruk individual-psikologis
yang artinya budaya menjadi bagian dalam masing-masing individual.
Meskipun budaya menjadi konstruk individual-psikologis,
masing-masing individu memiliki batasan yang berbeda dalam mengadopsi
melibatkan budayanya dalam sikap, nilai, keyakinan, serta perilakunya dalam
keseharian. Konsep budaya memiliki banyak lapisan yang berbeda-beda
sehingga butuh pemahaman secara mendalam mengenai masing-masing konsep
budaya tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan dari konsep budaya emik?
2. Bagaimana penjelasan dari konsep budaya etik?
3. Bagaimana penjelasan dari konsep budaya etnosentris?
4. Bagaimana penjelasan dari konsep budaya stereotipe?
5. Bagaimana penjelasan dari konsep budaya enkulturasi?
6. Bagaimana penjelasan dari psikologi lintas budaya?

C. Tujuan
1. Untuk memahami konsep budaya emik.
2. Untuk memahami konsep budaya etik.
3. Untuk memahami konsep budaya etnosentrisme.
4. Untuk memahami konsep budaya stereotipe.
5. Untuk memahami konsep budaya enkulturasi
6. Untuk memahami psikologi lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Budaya
1. Emik
1.1 Pendekatan Emik

Etik dan emik adalah dua jenis perspektif yang digunakan dalam
etnografi. Etnografi adalah suatu metode penelitian dalam bentuk produk
tertulis yang biasanya digunakan dalam bidang sosiologi maupun
antropologi untuk menggambarkan suatu masyarakat, kelompok, atau
kehidupan manusia. Emik mencoba menjelaskan fenomena sosial dari
perspektif masyarakat itu sendiri (native point of view). Sementara etik
menggunakan pandangan dari orang di luar budaya tersebut seperti peneliti
untuk menjelaskan suatu fenomena pada masyarakat.
Istilah emik berfokus pada aspek-aspek kehidupan dan hal yang
dianggap benar dalam suatu budaya. Aspek tersebut tentunya bersifat khas
dan spesifik, sehingga setiap budaya memiliki penafsiran yang berbeda
(culture-specific). Pendekatan emik memiliki sifat yang subjektif dan hasil
penelitiannya berbentuk deskriptif. Studi menggunakan pendekatan emik
bersifat khas dan sulit untuk disamaratakan. Konsep emik dan etik
sebenarnya memiliki implikasi yang kuat terhadap kebenaran. Kebenaran
etik adalah hal yang dianggap benar oleh masyarakat tanpa memandang
latar belakang budaya masing-masing orang. Sementara kebenaran emik
adalah hal yang dianggap sebagai kebenaran oleh suatu budaya namun
belum tentu dianggap benar oleh budaya lainnya. Jika dipandang dari
pendekatan emik dan etik, maka dapat dikatakan bahwa kebenaran memiliki
sifat yang relatif dan tidak mutlak. Definisi kebenaran dari sudut pandang
emik dan etik ini memaksa kita untuk mempertimbangkan
kebenaran-kebenaran yang selama ini sudah kita yakini.
Adanya perbedaan kultural atau emik bukanlah masalah yang besar
terutama di Indonesia sebagai negara yang multikultural. Namun yang
berpotensi menjadi masalah adalah bagaimana penafsiran terhadap alasan
yang mendasari perbedaan tersebut. Karena setiap orang lahir dengan latar
belakang budaya yang berbeda, maka kita cenderung melihat suatu hal
berdasarkan latar belakang yang kita yakini tersebut. Dapat dikatakan
bahwa budaya dalam konteks ini bersifat sebagai filter, baik dalam
mempersepsi suatu hal maupun ketika memahami suatu fenomena. Manusia
cenderung menginterpretasikan perilaku orang lain berdasarkan latar
belakang kultural yang ia yakini dan membuat penilaian berdasarkan hasil
interpretasinya tersebut. Namun hasil interpretasi tersebut mungkin salah
karena perilaku yang sedang dinilai memiliki latar belakang budaya yang
berbeda.

1.2 Contoh Pendekatan Emik

Contohnya adalah orang-orang yang pengangguran. Jika dimaknai


dari sudut pandang etik, pengangguran bisa dideskripsikan sebagai
orang-orang yang tidak bekerja karena berbagai macam alasan bisa karena
malas mencari kerja atau kemampuan intelektual yang kurang sehingga
berpotensi menjadi penyebab meningkatnya angka kriminalitas. Tetapi jika
dimaknai dari pendekatan emik, pengangguran merupakan hasil dari
kesenjangan ekonomi dan tidak meratanya pembangunan, akibatnya mereka
memiliki lebih sedikit kesempatan untuk menempuh pendidikan hingga
tingkat akhir yang menyebabkan kurangnya kompetensi dan menjadi
pengangguran.

1.3 Riset Terkait Pendekatan Emik

Emanuel Leuape dan Susanne Dida pada tahun 2017 melakukan


penelitian untuk melihat makna emik dan etik pada kain tenun yang dibuat
oleh masyarakat Desa Tutem. Kain tenun mampu memberikan gambaran
mengenai realitas kehidupan sosio-kultural masyarakat Desa Tutem melalui
simbol gambar dan warna.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperoleh hasil 10 jenis warna
pada kain tenun Mollo yaitu warna merah, kuning, hijau, hitam, merah
muda, putih, biru muda, ungu, orange, dan kuning emas. Selain itu,
sembilan simbol gambar juga ditemukan pada kain tenun masyarakat Tutem
yaitu satu gambar Ausnobif, satu gambar Lulkolo, satu gambar Mauninef
orang, satu gambar Mauninef burung, dan satu gambar Abata.
Menurut pemaknaan emik masyarakat Tutem, variasi corak warna
yang terdapat pada kain tenun menggambarkan keanekaragaman suku
dalam lingkup sosialnya. Terdapat empat suku utama yaitu Tafui, Sunbau,
Seko, dan Baun. Keempat suku ini disebut sebagai kaum Atoinamaf yang
memiliki status dan peran berbeda-beda. Suku Tafui dan Sunbanu memiliki
status sebagai pemimpin dan tentara. Sementara suku Seko dan Baun
berperan untuk menjaga kampung. Pada pemaknaan emik simbol gambar
dijelaskan bahwa gambar Ausnobif menjelaskan mengenai hewan anjing
yang dahulu membantu leluhur masyarakat Tutem menemukan tujuan akhir
yaitu desa Tutem. Gambar Lulkolo merepresentasikan hewan elang yang
pada mitos sejarah masyarakat Tutem digunakan sebagai kendaraan untuk
para tentara. Gambar Mauninef orang mengacu pada keanekaragaman suku
masyarakat Tutem dan gambar Mauninef burung melambangkan hewan
elang. Sementara gambar Abata dapat dimaknai sebagai beragam kelompok
suku masyarakat Tutem. Makna emik dari simbol gambar dan warna pada
kain tenun yang dimiliki oleh masyarakat Tutem ini bersifat khas dan hanya
berlaku dalam budayanya, belum tentu kain tenun dari budaya lain memiliki
makna yang sama.

2. Etik
2.1 Pendekatan Etik

Konsep Ethic dan Emic selalu menjadi dasar ketika peneliti


membahas atau menganalisis kajian budaya dan pemberdayaan budaya.
Ethic dan Emic sebenarnya merupakan istilah antropologis yang
dikembangkan oleh Pike (1954). Istilah-istilah ini digunakan dalam
antropologi bahasa, yaitu phonemics atau studi yang membahas suara-suara
khas pada bahasa dan phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian
yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa atau umum pada
seluruh budaya.
Menurut Pike (1967) menggunakan istilah Emic dan ethic untuk
menggambarkan dua point of view dalam mempelajari perilaku dalam kajian
budaya. Ethic (ethic view of point) sebagai pendekatan pertama dalam
mempelajari budaya dari luar budaya tersebut dan merupakan pendekatan
awal dalam mempelajari suatu sistem yang asing.
Oleh karena itu, pendekatan etik lebih ilmiah (objektif) dan dapat
diperkirakan pada ukuran dan parameter tertentu. Etik mencakup wawasan
yang tampaknya ada dalam budaya yang berbeda. Dengan kata lain, etik
berhubungan dengan fakta atau dasar yang universal. Etik adalah perspektif
eksternal (dalam hal ini pengamat) untuk memaparkan fenomena sosial.
Etik itu sendiri merupakan pendapat peneliti atau hasil penelitian yang telah
dirancang

2.2 Perbedaan Etik dan Emik

Perbedaan Pendekatan emik dengan pendekatan etik menurut (Berry,


1969)

Pendekatan Emik Pendekatan Etik

Kajian-kajian perilaku dari sistem itu. Kajian-kajian perilaku dari suatu posisi di
luar sistem.
Menguji hanya satu budaya. Menguji banyak budaya dengan
memperbandingkannya.

Struktur ditemukan oleh analis. Struktur diciptakan analis.

Kriteria relative bagi karakteristik Kriteria dipertimbangkan sebagai mutlak


internal. atau universal.

2.3 Contoh Pendekatan Etik

Ketika Anda sedang berbicara dengan seorang wanita dari


kebudayaan tertentu. Anda memperhatikan dalam sebuah obrolan itu
ternyata seorang wanita tersebut tidak melakukan tatapan dengan Anda atau
dengan lawan bicaranya. Ia hanya menunduk atau menatap lingkungan di
sekitar. Saat matanya memandang ke arah Anda dan matanya saling
bertemu pandangan dengan Anda, ia dengan cepat mengalihkan
pandangannya. Berdasarkan latar belakang budaya (budaya lain, sebagai
penerjemah), Anda akan berpikir bahwa ia tidak tertarik dengan
pembicaraan atau hubungan tersebut. Anda mungkin akan merasa
bahwasannya ia tidak ingin melanjutkan obrolannya di kemudian hari atau
bahkan menolak. Namun demikian, ia mungkin saja berasal dari sebuah
kebudayaan yang mengajarkannya untuk tidak menatap atau memandang
saat berbincang dengan lawan bicaranya. Ia menghindari kontak mata
dengan Anda bukan suatu hal buruk, akan tetapi sebagai bentuk menjaga
sopan santun terhadap lawan bicaranya. Dari contoh di atas, hal ini
merupakan masalah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi akan
terjadi kesalahpahaman apabila contoh di atas berada dalam situasi saat
mengajar di sekolah, atau mungkin saat wawancara kerja, atau bahkan
sedang berkunjung kepada terapis. Hal ini akan terlihat sulit dan
menimbulkan konsekuensi tersendiri.

2.4 Riset Terkini Pendekatan Etik

Penelitian dilakukan oleh Dewi Tika Lestari (2020) yang diterbitkan


dalam artikel jurnal yang berjudul Film Dokumenter “Membangun Harmoni
Sosial Melalui Musik dalam Ekspresi Budaya Orang Basudara di Maluku”.
Hasil penelitian ini peneliti menggali menggunakan pendekatan etik untuk
mendapatkan informasi mengenai budaya hidup orang basudara.
Musik lokal Maluku dibuat dan dimainkan dari tengah
kehidupan masyarakat tersebut. Musik tersebut dapat dilihat sebagai
ekspresi dan cerminan hakikat kehidupan sosial-budaya pada masyarakat
Maluku. latar belakang sejarah budaya masyarakat Maluku sejak dahulu
membuktikan bahwa orang Maluku memiliki kemahiran untuk
menceritakan berbagai kebenaran hidup melalui musik. Bahkan, musik
selalu dimainkan dalam berbagai acara sosial, seperti bertani, memancing
ikan di laut, kegiatan jual beli di pasar, hingga dalam berbagai upacara
budaya dan keagamaan.
Musik dapat berfungsi menumbuhkan rasa sayang. Berkaitan
dengan negeri Maluku dengan keindahan budaya basudara. Fitur ini juga
membantu dalam proses arbitrase sengketa Maluku dengan membangkitkan
rasa cinta, kekaguman dan ikatan diri sebagai sesama orang basudara
melalui musik, maka perasaan emosi, dendam, dan amarah dalam
perselisihan dapat diredam.
Ciri lain dari nilai-nilai budaya hidup orang basudara yang terdapat
dalam unsur musik lokal Maluku adalah pela dan gandong. Ritual pela dan
gandong biasanya diadakan setiap lima tahun sekali. Namun, setiap harinya
masyarakat Maluku dapat mendengarkan dan menyanyikan lagu Pela e dan
Gandong sekaligus lagu tersebut mengingatkan masyarakat pentingnya pela
dan gandong dalam relasi hidup setiap hari.
Sejarah budaya hidup orang basudara di atas merupakan suatu
hal yang melatarbelakangi penciptaan karya musik lokal Maluku. Sejarah
budaya hidup orang basudara menjadi suatu dokumen yang hidup ketika
selalu dinyanyikan oleh masyarakat Maluku. Dengan menyanyikannya,
terjadi suatu proses pemeliharaan, tetapi sekaligus proses turun temurun
ritual budaya dari generasi ke generasi. Pelestarian dan pewarisan nilai
budaya hidup orang basudara digunakan sebagai salah satu media
menyelesaikan konflik di Maluku.

3. Etnosentris
Etnosentrisme merupakan kecenderungan untuk berpikir bahwa budaya
etniknya lebih unggul dibandingkan dengan budaya etnik lain. Segala sesuatu
dilihat dari sudut pandang etniknya sendiri (Irianto, 2013). Etnosentrisme tidak
hanya merasa bangga akan etnik pada kelompoknya sendiri tetapi juga
melibatkan pernyataan superioritas kelompok atas kelompok lain. Sikap
etnosentrisme merupakan sikap emosional superior sekelompok ras, suku, dan
agama daripada etnik atau kelompok lain. Etnosentrisme merupakan cara
pandangan sosial pada diri individu yang menjadikan kelompoknya sebagai
pusat atau patokan dari segala hal. Individu akan mempersepsikan kelompok
lain (outgroup) sebagai saingan, pencari kekuasaan dan mengancam
kelompoknya (in group). Hal ini dapat mempengaruhi penilaian individu
terhadap kelompok lain (outgroup) karena melihat kelompok lain tersebut
berdasarkan standar yang ada pada kelompoknya (in group).
Etnosentrisme disimpulkan sebagai sikap yang dimiliki individu yang
menganggap kelompoknya lebih unggul dibandingkan dengan kelompok lain
baik dalam nilai – nilai, norma sosial, maupun budaya kelompoknya.
Etnosentrisme melahirkan sinisme yang mengakibatkan terjadinya sebuah
permusuhan antar kelompok.

3.1 Dimensi Etnosentrisme

Bizumic dkk (2009) menjelaskan dimensi dalam etnosentrisme sebagai


berikut:
1. Preferensi
Merupakan kecenderungan untuk mendukung atau menyukai
kelompok etnisnya sendiri daripada orang lain. Preferensi merupakan
suatu ekspresi kelompok yang menomorsatukan in group daripada out
group meskipun tidak selalu unggul dibandingkan dengan kelompok lain
atau out group.
2. Superioritas
Etnosentrisme sering kali diartikan sebagai pemikiran dan sikap
bahwa in group lebih baik daripada out group. Etnosentrisme sering
dikaitkan dengan rasisme yang mana merupakan pemikiran bahwa
individu dapat dikelompokkan berdasarkan ras yang berbeda berdasarkan
rasa tau aspek biologis sehingga individu dapat menolak perbedaan
budaya dan mengasumsikan bahwa out group lebih inferior.
3. Kemurnian
Etnosentrisme bertujuan untuk menjaga kemurnian atau
penolakan terhadap kelompok lain. Dimensi ini menjelaskan bahwa
individu akan menjalin kedekatan dengan sesama in group dan sebisa
mungkin untuk menjaga jarak atau menjauhi individu lain yang berasal
dari out group.
4. Pengeksploitasian
Etnosentrisme melihat in group lebih penting dan lebih baik dari
pada out group sehingga dapat mengapresiasi kebudayaan, ras, suku, dan
agama out group. Fenomena ini sesungguhnya terjadi karena individu
atau in group tidak memiliki kemampuan untuk berhadapan dengan
kondisi yang berbeda antar-kelompok.
5. Kohesi
Kohesivitas adalah bagaimana kelompok saling menyukai,
menomorsatukan dan menghargai satu sama lain. Kohesivitas dalam
etnosentrisme adalah adanya keyakinan bahwa in group harus dapat
berintegrasi, terbonding, kooperatif dan Bersatu mengingat bahwa
kepentingan kelompok adalah yang utama. Dengan begitu maka kesatuan
dan kepentingan kelompok berada di atas kepentingan individualitas
anggota kelompok.
6. Kesetiaan
Etnosentrisme melibatkan kesetiaan, dimana kesetiaan pada
kelompok diartikan sebagai dedikasi yang diberikan anggota terhadap
kelompok etnik mereka. Dalam etnosentrisme, tak jarang anggota
kelompok etnik memberikan kesiapannya untuk berkorban atas
kepentingan kelompoknya.

3.2 Riset Terkini terkait Etnosentris

Sebuah penelitian kajian literatur yang dilakukan oleh Samsuri dan Elia
Nurindah Sari pada tahun 2020 yang berjudul “ Etnosentrisme dan Sikap Intoleran
Pendatang terhadap Orang Papua” telah menjabarkan bagaimana etnosentrisme
masyarakat Indonesia non Papua terhadap sikap intoleran yang kerap dilakukan
terhadap orang Papua. Penelitian ini didasari pada banyaknya tindakan intoleran
yang dilakukan masyarakat Indonesia non Papua terhadap orang Papua salah
satunya yang terjadi pada mahasiswa Papua yang berkuliah di Surabaya.
Permasalahan ini bermula ketika ditemukannya bendera merah putih yang rusak di
depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Tanpa investigasi mendalam, aparat
dan ormas langsung mengepung asrama tersebut, namun yang disayangkan adalah
ketika aparat membiarkan ormas yang bereaksioner. Mereka lontarkan kata-kata
yang bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua tersebut. Perlakuan intoleran
terhadap orang Papua lainnya juga dirasakan oleh mahasiswa Papua di Malang.
Perbedaan antara masyarakat Indonesia non Papua dan orang Papua sering kali
menjadi ajang rasisme dan membuat kesalahpahaman. Perbedaan bahasa, ras,
bentuk fisik dan warna kulit pada orang Papua merupakan faktor utama yang
seringkali menimbulkan ketidaknyamanan dalam menjalani kehidupan berbangsa
dengan masyarakat Indonesia lainnya non-Papua. Perilaku mengejek, melihat sinis,
merendahkan, menertawakan orang Papua tak jarang membuat mereka merasa
tertekan, terintimidasi, tidak percaya diri dan lain sebagainya yang mendorong
mereka untuk tertutup dan hanya bergabung dengan kelompoknya (sesama orang
Papua).
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa masih sangat
banyak terjadi sikap etnosentrisme oleh masyarakat Indonesia. Sikap etnosentrisme
dan sikap intoleran dapat menjadi pemicu perpecahan bangsa mengingat bahwa
Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai ras, suku, dan
agama. Oleh karena itu penting bagi kita selaku warga Indonesia untuk dapat
bersikap toleransi, menghargai Hak Asasi Manusia, menghargai persamaan derajat
dan mengamalkan semboyan bangsa kita yaitu Bhineka Tunggal Ika.
4. Stereotip
4.1 Pengertian dan Jenis Stereotip

Dalam kehidupan kita, budaya akan selalu menjadi hal yang tidak
akan lepas dari diri kita bahkan dari keluarga kita. Stereotip merupakan
gambaran umum yang biasa kita miliki apabila kita mengetahui
karakteristik psikologis atau kepribadian seseorang berdasarkan sifat
mereka (Lee dkk., dalam Matsumoto dkk., 2013). Seringkali kita memahami
bahwa stereotip merupakan hal yang buruk namun jika melihat
etnosentrisme, keadaanya tidak sesederhana itu.
Stereotip bisa bersifat positif atau negatif. Contoh stereotip positif
adalah orang Asia terkenal sebagai pekerja keras atau orang Jerman dikenal
sebagai orang yang rajin dan memiliki pikiran ilmiah. Selanjutnya, stereotip
dapat sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah, stereotip ini apabila diamati
dengan pengamatan faktual disebut dengan sosiotipe. Perlu diketahui juga
bahwa stereotip dapat tidak berdasar sama sekali karena stereotip ini hadir
akibat pengamatan langsung terhadap perilaku orang lain dan beberapa
stereotip juga tidak memiliki hubungan yang faktual. Apabila kita
mengamati seseorang secara langsung, kita perlu mempertanyakan validitas
dan interpretasi berdasarkan bias budaya atau psikologis yang melekat pada
mereka. Setiap orang memegang stereotip tentang kelompok mereka sendiri
yang disebut autostereotip dan kelompok orang lain yang disebut
heterostereotip. Kedua jenis stereotip ini bisa memiliki tingkatan tumpang
tindih yang cukup besar.
Maka, stereotip dapat bersifat positif maupun negatif sehingga
dalam memaknainya kita tidak bisa memaknai stereotip milik kita atau milik
kelompok lain sehingga dapat mewujudkan diri sebagai bentuk memahami
peran dan meningkatkannya dalam hubungan antarkelompok.

4.2. Isi Stereotip

Selama bertahun-tahun, stereotip diteliti oleh para ilmuwan. Salah


satu penelitian yang tertua dan paling sering dikutip menjelaskan bahwa
terdapat berbagai kata sifat yang menggambarkan stereotip mahasiswa di
Universitas Princeton. Seiring berjalannya waktu, peneliti menemukan
perubahan yang mengejutkan baik dalam stereotip maupun pandangan
mereka mengenai stereotip kelompok lain. Para peneliti akan melakukan
analisis informasi selanjutnya mereka akan melakukan penilaian dengan
prosedur yang disebut sebagai analisis faktor untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang mendasari stereotip tersebut. Dapat dicontohkan seperti
Ras Tionghoa dikenal memiliki etos kerja yang sangat tinggi dan kontrol
individu yang tinggi pula. Contoh lainnya adalah Orang Eropa yang kurang
positif dalam etos kerja dan mereka cenderung individualis. Dari
pendekatan yang dilakukan oleh para peneliti dapat membantu kita
mendapatkan wawasan yang lebih baik mengenai stereotip.

4.3 Perkembangan Stereotip : Sebuah Analisis Psikologi


Stereotip merupakan hasil dari proses psikologis yang terjadi setiap
hari namun mengarahkan secara alami baik pembentukan dan pemeliharaan
stereotip itu sendiri. Dalam memahami bagaimana stereotip berkembang,
dipertahankan hingga dijalani sangat penting bagi kita untuk memiliki
pemahaman dasar mengenai proses psikologis bagaimana stereotip itu
dibangun. Proses pembentukan stereotip dimulai dari perhatian secara
selektif, penilaian, konsep formatif dan kategori, atribusi, emosi hingga
ingatan.
a. Perhatian secara selektif
Dalam kehidupan sehari-hari, rangsangan yang kita terima
melalui indera sangatlah banyak sehingga sedikit sulit untuk bisa
kita proses dan pahami. Karena terbatasnya sistem sensasi dan
persepsi maka kita harus bisa belajar untuk membatasi jumlah
informasi yang kita terima dan kita proses. Proses memilih
rangsangan yang kita terima disebut dengan perhatian selektif
yang pada umumnya dipelajari oleh seorang psikolog yang
memiliki ketertarikan pada persepsi. Proses ini mengarahkan kita
pada sebuah proses penyaringan semua rangsangan yang sangat
banyak.
b. Penilaian
Ketika kita menyaksikan suatu peristiwa yang melibatkan
orang lain kita akan cenderung terus menilai rangsangan melalui
peristiwa tersebut. Sebuah penilaian akan mengacu pada
relevansi rangsangan terhadap apa yang menjadi arti bagi
kehidupan kita lalu kita bisa membuat keputusan sesuai dengan
perilaku yang sesuai yang disebut dengan koping.
c. Konsep formatif dan kategori
Ketika pikiran kita menciptakan sebuah representasi
mental dari segala aspek dalam kehidupan sehari-hari maka tidak
memungkinkan untuk mewakili semua rangsangan sebagai
informasi tunggal. Konsep merupakan kategori mental yang kita
gunakan untuk mengklasifikasi peristiwa, objek, situasi hingga
seseorang yang berhubungan sebagai properti umum. Dengan
pembentukan konsep dapat mengevaluasi informasi hingga
melakukan tindakan yang sesuai sehingga dapat lebih efisien
untuk membuat konsep daripada proses mencerna rangsangan
secara individual. Kategori tersebut didasarkan pada sifat-sifat
tertentu dari objek yang dapat bermakna secara psikologis.
Setelah konsep terbentuk, maka kita bisa mengakses stimulus
melalui kategori yang sudah ada. Dari sini juga dijelaskan bahwa
stereotip dan prasangka dapat tumbuh dari keinginan untuk
mempertahankan identitas sosial yang positif.
d. Atribusi
Manusia memiliki karakteristik khusus yaitu kebutuhan
untuk menjelaskan sesuatu hingga penyebab peristiwa dan
perilaku. Proses di atas mengacu pada bagaimana kita
menyimpulkan perilaku kita sendiri atau perilaku orang lain.
Atribusi memiliki peran penting dalam kehidupan kita karena
dapat membantu kita mengatur informasi dengan cara yang
bermakna sesuai dengan aspek psikologi. Banyaknya informasi
dalam diri kita membuat kita terbantu dengan hal ini karena kita
bisa mengorganisir banyaknya peristiwa yang ada di sekitar kita.
Atribusi juga membantu kita untuk mengakomodasi informasi
baru dan membantu kita dalam menyelesaikan perbedaan.
e. Emosi
Merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kita
sehari-hari yang menjadi motivator dalam perilaku kita. Emosi
membantu kita untuk menafsirkan situasi di sekitar kita serta
menjadi penanda yang penting tentang status kita dengan orang
lain.
f. Memori
Memori merupakan sebuah kemampuan individu untuk
mengingat segala peristiwa. Seorang psikolog akan membedakan
memori menjadi tiga bagian yaitu memori sensorik, memori awal
yang berisi rangsangan lalu berhubungan dengan memori,
memori jangka pendek, memori kerja yang berfungsi untuk
membedakan memori sensorik dan memori jangka panjang serta
memori jangka panjang.
Memori semantik merupakan jenis memori jangka
panjang yang berisi aturan, ide, dan konsep umum mengenai
dunia. Memori ini didasarkan pada pengetahuan verbal yang
dikomunikasikan dari satu orang ke orang lainnya tanpa adanya
dasar ilmiah yang mengacu pada pengetahuan yang dikumpulkan
selama periode waktu tertentu. Sifat memori ini sangat relevan
dengan pemahaman kita mengenai stereotip karena sering hadir
tanpa adanya dasar.
g. Menggabungkan semuanya menjadi satu
Semua proses psikologis yang telah dijelaskan
menjadikan stereotip sebagai aspek yang tidak dihindarkan.
Dalam konsep mental, stereotip sangat membantu kita dalam
menyimpan informasi mengenai dunia yang diorganisir dalam
mental kita.
Pengkategorian secara khusus membantu kita untuk
berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Saat kita mengamati
orang-orang dari latar belakang yang berbeda maka harapan awal
yang kita pikirkan adalah sesuai dengan budaya kita sendiri. Dari
sini akan menyebabkan atribusi negatif, jika emosi yang
ditunjukkan negatif maka akan cenderung menghasilkan atribusi
yang negatif pula maka akan menghasilkan stereotip yang
negatif.
Apabila atribusi negatif berulang, maka semakin kuat
stereotip negatif yang dipegang terhadap suatu kelompok. Ketika
kita menghadiri sebuah acara yang tidak sesuai dengan stereotip
kita maka akan muncul atribusi yang unik lalu meyakinkan diri
kita bahwa stereotip kita benar. Maka isi stereotip bisa
memperkuat indera kita dari diri sendiri.

h. Faktor lain
Stereotip dapat berkembang dari berbagai sumber. Ketika
kita mengamati perilaku orang lain maka kita akan merasa
perilaku mereka didasari oleh suatu hal. Stereotip bisa hadir
dengan komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya dan
jenis ini bisa bertahan lama. Stereotip juga bisa berkembang dari
televisi, film hingga media lainnya. Contohnya dalam film adalah
seorang ayah yang pekerja keras akan memiliki penampilan rapi
dan selalu sibuk berbeda dengan ayah yang tidak memiliki
pekerjaan tetap akan selalu dirumah dan penampilan nya hanya
biasa saja. Stereotip bisa muncul dari paparan terbatas pada
anggota kelompok.

4.4 Riset Terkini mengenai Stereotip


Dalam sebuah kajian literatur penelitian yang dilakukan oleh Abdul
Aziz, dkk (2020) dengan judul “Stereotip Budaya pada Himpunan
Mahasiswa Daerah di Pekanbaru” menjelaskan keingintahuan mereka
terkait bagaimana stereotip himpunan mahasiswa daerah Pekanbaru
terhadap pembentukan kelompok mereka.
Beberapa pandangan yang mereka berikan seperti ; Budaya Sunda
memiliki stereotip positif yaitu mereka cenderung loyal, mudah bergaul
hingga rela berkorban. Stereotip negatif dari daerah ini adalah mereka
cenderung pemalu dan gampangan. Daerah Melayu memiliki stereotip
negatif seperti pemalas, suka menyindir dan banyak berbicara, sedangkan
stereotip positifnya adalah kuat beragama hingga memiliki motivasi yang
tinggi. Budaya Minang memiliki stereotip negatif yaitu pelit dan keras
kepala namun stereotip positifnya adalah bersahaja dan cenderung suka
merantau. Budaya Jawa memiliki beberapa stereotip seperti pendiam, suka
basa basi hingga sukuisme namun budaya ini juga memiliki stereotip lain
seperti tegas hingga lembut. Suku Batak memiliki stereotip seperti gaya
bicara kasar hingga mudah beradaptasi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima budaya yang
dikenal baik oleh anggota himpunan tersebut. Mereka memahami bahwa
setiap daerah yang mereka pahami memiliki stereotip yang berbeda, baik
positif maupun negatif. Dari pemahaman anggota himpunan maka bisa
disimpulkan bahwa kondisi kelompok masing-masing juga ditentukan oleh
stereotip anggotanya.

5. Enkulturasi
5.1 Pengertian Enkulturasi

Berry (dalam Muchlisah & Afiatin, 2019) mengungkapkan bahwa


dalam lingkungan masyarakat terjadi proses pengenalan dan penanaman
nilai dalam diri individu melalui sosialisasi, enkulturasi, dan akulturasi.
Enkulturasi umumnya merupakan hasil dari proses sosialisasi tersebut.
Enkulturasi adalah proses sosial yang dilakukan seorang individu dalam
belajar memahami dan menyesuaikan perilaku dengan budaya tertentu.
Orang muda belajar dan mengadopsi hal-hal yang hidup dan berkembang
dalam budaya mereka sehingga konsep enkulturasi sangat berpengaruh pada
perubahan sosial dalam masyarakat mereka (Park, 2007).
Enkulturasi sebagai usaha mentradisikan suatu nilai, keyakinan,
pengetahuan, norma, sikap, perilaku, dan keterampilan supaya menjadi
kebiasaan atau kebudayaan untuk dimiliki dan diteruskan antar generasi
guna menjaganya tetap lestari (Triyanto, dalam Asriyani & Rachman, 2019).
Enkulturasi pada hakikatnya merupakan sebuah proses
pengkondisian secara sadar atau tidak sadar yang dilakukan berdasarkan
budaya adat istiadat (Baker, 2014). Prosesnya berlangsung sejak masa
anak-anak, tanpa adanya pemberian latihan-latihan secara khusus.
Pemahaman kita terhadap sekitar, akan eksistensi kita sebagai anggota
masyarakat serta pemahaman tentang identitas budaya dipengaruhi oleh
adanya enkulturasi (Demorest, dkk., 2007).
Proses enkulturasi ini pasti sudah, telah, dan akan dilalui oleh
seluruh manusia. Proses enkulturasi berawal dari orang-orang di dalam
lingkungan keluarga terdekat dan sanak saudara terutama saat masih kecil.
Selanjutnya, dari teman-teman bermain. Nilai-nilai budaya ditransmisikan
secara tidak sengaja dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika ada
penghargaan terhadap budaya, maka proses enkulturasi tersebut dapat
berjalan dengan baik. Akan tetapi sebaliknya, saat terdapat penolakan dan
pemberontakan dari individu tersebut, enkulturasi dapat gagal. Walaupun
demikian, proses enkulturasi itu tidak akan berakhir, sehingga berdampak
pada perubahan kebudayaan. Selain itu, pencapaian dari proses ini, bukan
hanya dalam hal adaptasi di kehidupan sosial, melainkan mendapat
pengalaman sosial dari setiap ekspresi individu di lingkungan masyarakat.
Proses enkulturasi akan menghasilkan identitas pribadi dalam sebuah
kelompok. Tanpa adanya penerimaan yang dilakukan dalam enkulturasi
oleh individu tersebut, maka sangat mungkin apabila individu tersebut tdiak
dapat “hidup” dalam masyarakat

5.2 Agen Enkulturasi

Agen enkulturasi adalah seorang individu, institusi, dan organisasi


yang ada untuk membantu memastikan terjadinya enkulturasi. Peran dari
agen enkulturasi adalah menanamkan moral dan nilai-nilai budaya, serta
meneguhkannya ketika proses transmisi berlangsung. Selanjutnya,
mempraktekkannya dengan baik sembari terus memperbaiki kesalahan
dalam proses transmisi tersebut. Para peneliti telah melakukan studi guna
melihat bagaimana interaksi seorang individu dengan berbagai agen
enkulturasi membantu untuk menghasilkan budaya serta bagaimana
mengembangkannya.
a. Orang tua
Orang tua merupakan agen enkulturasi paling penting.
Melalui praktik pengasuhan, mereka membantu menanamkan dan
menanamkan nilai-nilai budaya. Pengasuhan yang dilakukan
memiliki tujuan dan keyakinan yang dipegang orang tua untuk
anak-anak mereka. Gaya pengasuhan digunakan untuk
mewujudkan tujuan mereka. Tujuan yang dimiliki orang tua
untuk perkembangan anaknya didasarkan pada konteks
pengasuhan dan perilaku yang dihargai oleh setiap budaya
tertentu (LeVine, 1977).
b. Institusi/organisasi
Agen ini meliputi sistem pendidikan yang di dalamnya
terdapat berbagai macam kelompok sosial seperti kepramukaan
serta agama yang di dalamnya terdapat perkumpulan
pemuda/umat. Hal-hal yang terkait dengan mengatasi masalah
yang dihadapi dalam kehidupan, pengembangan individu, dan
sebagainya, lebih banyak dipercayakan pada pendekatan
psikologis. Pandangan dan penghayatan akan pentingnya agama
berbeda-beda. Upacara-upacara keagamaan merupakan bagian
penting dari pengasuhan dan upacara penerimaan dalam banyak
budaya seiring perkembangan zaman.
c. Kelompok sebaya
Kelompok sebaya sebagai agen enkulturasi memiliki
pengaruh yang berbeda di setiap kondisi. Anak-anak yang
berkembang di daerah perkebunan yang jauh dari perkampungan
akan memiliki pilihan terbatas untuk berinteraksi dengan
teman-teman bermainnya. Sedangkan, anak-anak yang tumbuh
dan berkembang di suatu daerah dengan kelompok yang berbeda
umur dengan mereka. Maka dengan demikian,dilihat dari
perbedaan budaya, konteks dimana anak-anak berinteraksi
dengan teman sebaya mereka bisa jadi berpengaruh banyak atau
tidak dalam hal enkulturasi.

5.3 Riset-Riset Terkini Terkait Enkulturasi

Penelitian dilakukan Asriyani dan Rachman (2015) yang diterbitkan


dalam artikel jurnal berjudul “Enkulturasi Musik Keroncong Oleh O.K
Gema Kencana Melalui Konser Tahunan di Banyumas” bertujuan untuk
mengetahui proses enkulturasi yang diberikan oleh O.K Gema Kencana
Banyumas melalui konser tahunan musik keroncong. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa enkulturasi yang diberikan oleh O.K Gema Kencana
kepada masyarakat melalui konser tahunan berupa nilai pengetahuan,
keyakinan, sikap, perilaku, dan keterampilan, sebagai berikut:
a. Nilai sosial, yaitu berupa kerukunan dan gotong royong atau saling
membantu. Penerapan kerukunan dilakukan baik dalam sehari-hari
maupun saat perkumpulan. Apabila terjadi perbedaan pendapat selama
konser berlangsung maka tetap harus saling menghargai serta mengambil
jalan keluarnya. Gotong royong juga dilakukan tidak hanya saat
menjelang konser, melainkan juga kehidupan sehari-hari.
b. Nilai Estetika, yaitu dengan saling menghargai pendapat yang berbeda
tentang selera musik ataupun pola permainan keroncong. Misalnya, para
penonton tidak boleh saling menjelekkan jika terdapat perbedaan selera
permainan musiknya. Diharapkan para penonton atau tamu dapat
memberikan ide dalam permainan musiknya.
c. Nilai moral, yaitu dengan saling menghormati perbedaan usia antar
penonton. Hal ini diwujudkan dengan saling menyapa, sopan santun
kepada yang lebih tua, dan bergaul dengan sesama anak muda secara
sewajarnya.
d. Nilai religius, yaitu Ketika konser berlangsung tidak mempermasalahkan
tentang keyakinan. Apabila di tengah pertunjukan suara adzan terdengar
berkumandang, mereka akan berhenti karena menghormati umat muslim
dan juga penonton ataupun tamu yang hendak melaksanakan ibadah.
Para pemain orkes juga memperhatikan sikap,
penampilan/kostum, posisi baik saat memainkan alat musik dan
membawakan lagu maupun menyambut tamu undangan/penonton. Selain
itu, dengan adanya pertemuan dari banyak O.K di konser keroncong
sehingga bisa saling berdiskusi membahas pola permainan yang beragam
serta mencoba mempraktekkannya. Pada tamu/penonton yang hadir
terjadi enkulturasi untuk mengikuti berpakaian serempak saat konser
agar terlihat lebih solid dan kompak. Enkulturasi melalui konser tersebut
mewariskan berbagai kelompok O.K kepada anak muda bahkan menjadi
ekstrakurikuler di berbagai sekolah.

Penelitian dilakukan Rini Lestari pada tahun 2016 yang diterbitkan


dalam artikel jurnal berjudul “Transmisi Nilai Prososial pada Remaja Jawa”
berusaha untuk mengetahui bagaimana transmisi nilai-nilai prososial (tulung
tinulung) pada remaja Jawa. Subyek penelitian yang terlibat di penelitian
sejumlah 95 remaja yang mempunyai orang tua (ayah dan ibu) Jawa, berbahasa
Jawa, dan tinggal di Surakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
transmisi nilai prososial dilakukan secara vertikal oleh orang tua (ayah-ibu),
miring (guru, kerabat, tetangga), dan horizontal (kelompok sebaya). Adapun
proses transmisi melalui enkulturasi dan akulturasi menggunakan berbagai
macam metode seperti pemberian nasihat, persuasi, penguatan, modelling, dan
media. Berdasarkan penemuan yang didapat, ternyata keluarga adalah pihak
pertama sebagai tempat anak mengenal dan belajar nilai prososial. Dalam hal
ini, peran seorang ibu sangat penting dalam pengembangkan nilai prososial pada
anak-anaknya. Nilai-nilai luhur selalu diajarkan dalam setiap budaya di
Indonesia, demikian juga pada budaya Jawa. Nilai-nilai seperti kejujuran,
hormat, tepo sliro, sopan santun, tulung tinulung/tolong menolong, andhap asor,
eling lan waspodo, sabar sareh narimo, prasojo diajarkan kepada segenap
masyarakat. Sehingga akan termanifestasi dalam bentuk perilaku nyata dengan
adanya nilai-nilai yang memberi arah bagi individu tersebut.
Salah satu nilai masyarakat Jawa yaitu tulung tinulung (tolong
menolong). Perwujudan nilai tersebut tercermin pada segala kegiatan di
masyarakat baik dalam pembangunan (misalnya kerja bakti pembuatan gapura,
jalan, masjid, selokan, dan sebagainya) atau kegiatan lainnya. Selain itu juga
terdapat istilah “sambatan” yang berasal dari kata sambat (minta tolong),
artinya tolong menolong atau bekerja sama membantu orang lain tanpa adanya
pamrih berupa upah materiil. Misalnya membantu orang yang sedang
membangun/memperbaiki rumah, membantu saat ada keluarga lain yang
mengalami musibah maupun kebahagiaan (hajatan) seperti khitanan,
pernikahan, dan kelahiran anak. Tak hanya itu, mereka juga melakukan
lek-lekan, yaitu tidak tidur guna berjaga di malam hari hingga pagi hari di
tempat orang meninggal dan peringatan kelahiran anak (sepasaran/selapan)
secara rela. Bagi sebagian besar masyarakat, apabila hal tersebut tidak dilakukan
maka akan merasa pekewuh.
Salah satu contoh manifestasi perilaku ini terwujud dalam perilaku
nyinom, yaitu membantu menyajikan makanan dan minuman ketika ada acara.
Nilai-nilai tersebut masih sangat kental pada masyarakat Jawa yang tinggal di
pedesaan, pinggiran kota, dan di kampung-kampung sebagian daerah perkotaan.
Nilai prososial seperti yang dipaparkan merupakan salah satu nilai yang
diajarkan dalam budaya Jawa. Nilai tersebut wajib dimiliki seseorang dan perlu
diwariskan/ditransmisikan secara turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya melalui enkulturasi. Nilai prososial diajarkan secara turun temurun
agar menjadi karakter yang kuat pada masyarakatnya.

B. Psikologi Lintas Budaya


Munculnya psikologi lintas-budaya diawali karena adanya rasa
ketidakpuasan dari para peneliti psikologi di Barat mengenai pernyataan bahwa
teori psikologi yang dikembangkan dalam satu kebudayaan di Barat itu bersifat
universal. Keuniversalan teori psikologi itu banyak mendapat kritik dari para
antropolog yang meneliti kebudayaan di berbagai daerah non-Barat. Untuk
menganggap bahwa teori psikologi bersifat universal dibutuhkan penelitian lebih
dari satu budaya, tetapi sayangnya proses tersebut sangatlah lambat. Salah satu
penyebabnya adalah masih adanya etnosentrisme berupa adanya asumsi bahwa
individu yang dibesarkan dalam budaya Barat lebih “superior” daripada individu
yang hidup dalam kebudayaan non-Barat. Hal ini pun terjadi pada konteks
penelitian yang bisa kita lihat dari banyaknya penelitian yang menerapkan
konsep-konsep teoritis Barat dalam konteks budaya lain tanpa adanya upaya
untuk mengikutsertakan variabel yang khas dari budaya lain tersebut. Pada
tahun 1970 barulah banyak penelitian psikologi lintas-budaya yang
mengikutsertakan peneliti non-Barat sehingga terdapat lebih banyak konsep
yang khas dari kebudayaan yang diteliti untuk ikut diperhitungkan.

1. Pengertian Budaya
Dalam kehidupan, kita seringkali menggunakan kata budaya untuk
mengartikannya sebagai ras, kebangsaan, atau etnis. Terkadang kita juga
menggunakan kata budaya untuk mencerminkan tren dalam musik dan seni,
makanan dan pakaian, ritual, tradisi, dan warisan. Singkatnya, kita sering
menggunakan kata budaya untuk merujuk pada banyak hal yang berbeda-beda
menyangkut manusia, karakteristik fisik dan biologis, perilaku, musik, tari, dan
kegiatan lainnya.
Tylor (1865, dalam Matsumoto & Juang, 2013) mendefinisikan budaya
budaya sebagai semua kemampuan dan kebiasaan yang dipelajari sebagai
anggota masyarakat. Berry, dkk (1992, dalam Matsumoto & Juang, 2013)
mendefinisikan budaya hanya sebagai cara hidup bersama dengan sekelompok
orang. Sementara itu, menurut Matsumoto & Juang (2013), budaya didefinisikan
sebagai sistem aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang ditetapkan oleh
kelompok untuk memastikan kelangsungan hidup mereka yang melibatkan
sikap, nilai- nilai, keyakinan, norma, dan perilaku, yang dimiliki oleh suatu
kelompok tetapi dipendam secara berbeda oleh setiap unit tertentu dalam
kelompok, dikomunikasikan lintas generasi, relatif stabil tetapi dengan potensi
untuk berubah lintas waktu.

2. Pengertian Psikologi Lintas Budaya


Menurut Brislin, Lonner, dan Thorndike (1973, dalam Berry dkk., 1999),
psikologi lintas-budaya merupakan suatu kajian empirik yang membahas
mengenai anggota dari berbagai kelompok budaya dengan pengalaman
berbeda-beda, yang kemudian hal tersebut dapat membawa ke arah perbedaan
perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan. Kelompok yang dikaji sebagian
besar biasanya berbicara dengan bahasa berbeda dan di bawah pemerintahan unit
yang berbeda pula. Sementara itu, menurut Triandis (1980, dalam Berry dkk.,
1999), psikologi lintas-budaya merupakan kajian sistematik mengenai perilaku
dan pengalaman yang terjadi dalam budaya berbeda, yang dipengaruhi oleh
budaya ataupun mengakibatkan perubahan dalam budaya yang bersangkutan.
Bisa disimpulkan bahwa psikologi lintas-budaya merupakan penelitian
tentang perbedaan dan persamaan fungsi individu dalam lingkup psikologis,
dalam keragaman budaya dan kelompok etnik, hubungan antara perubahan
psikologis dan sosio-budaya, ekologis, biologis serta perubahan yang terjadi.
Perubahan yang dimaksud diantaranya biologis (nutrisi, faktor genetik,
hormonal) ekologis (penyesuaian diri dengan lingkungan alam dengan
memfokuskan pada faktor efektivitas ekonomik yang meliputi berburu,
mengumpulkan makanan, bertani dan lain-lain) serta perubahan yang terakhir
meliputi kepadatan populasi. Psikologi lintas budaya ini juga dikatakan tidak
hanya membahas mengenai keberagaman saja, tetapi juga membahas mengenai
keseragaman.

3. Tujuan Psikologi Lintas Budaya


Adanya psikologi lintas-budaya tentunya memiliki tujuan. Berikut
merupakan beberapa tujuan dari psikologi lintas-budaya menurut Berry & Dasen
(1974, dalam Berry dkk., 1999):
a. Membawa dan menguji
Menguji daya terap hipotesis dan temuan ke lingkungan budaya
lain, yaitu berupaya membawa hipotesis dan temuan mereka ke
lingkungan budaya lain dalam rangka menguji daya terapnya dalam
kelompok manusia.
b. Menjelajah
Menjelajahi budaya lain agar bisa menemukan variasi psikologis
yang sebelumnya belum pernah ditemukan dalam pengalaman budaya
seseorang.
c. Menjalin dan Mengintegrasi
Berupaya menjalin dan mengintegrasikan hasil yang diakui dan
bisa membuat suatu konstruksi psikologi yang dapat berlaku secara
universal.
d. Memeriksa tentang suatu pengetahuan apakah bisa didapat atau
diterapkan ke berbagai lingkungan dengan latar belakang budaya yang
berbeda.

4. Pengetahuan dalam Psikologi Lintas Budaya


Pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang memiliki kegunaan.
Terdapat setidaknya empat kategori pengetahuan yang diakui oleh psikologi.
a. Scientific Knowledge
Jenis pengetahuan ini berasal dari pengamatan sistematis,
pengukuran, dan evaluasi berbagai macam fenomena psikologis.
Pengamatan diatur dan digeneralisasi dalam bentuk konsep dan teori
ilmiah. Teori sendiri akan menghasilkan prediksi atau hipotesis yang
kemudian diuji dengan berbagai metode penelitian termasuk eksperimen.
Dalam hal ini, pandangan ilmiah dalam psikologi berubah sebagaimana
yang seharusnya, yaitu berdasarkan data baru.
b. Folk Theories
Teori yang mencakup kumpulan asumsi sehari-hari dan
kepercayaan yang populer di masyarakat. mulai dari kepercayaan yang
umum dipegang hingga pendapat individu tentang fenomena psikologis.
Dalam hal ini, asumsinya bervariasi. Mulai dari yang umum seperti
kepercayaan pada kemampuan mimpi untuk memprediksi masa depan
hingga yang sangat spesifik seperti anggapan bahwa item pakaian
tertentu akan membawa keberuntungan.
c. Ideological
Pengetahuan ideologis atau pengetahuan berbasis nilai
merupakan seperangkat keyakinan yang stabil tentang dunia, sifat baik
dan jahat, benar dan salah, dan tujuan kehidupan manusia, yang
semuanya didasarkan pada gagasan utama atau sentral pengorganisasian
tertentu.
d. Legal Knowledge
Pengetahuan ini ada dalam bentuk hukum dan bentuk lain yang
ditetapkan oleh pihak berwenang seperti dari pemimpin suku atau
masyarakat ke pemerintah pusat pengetahuan ini termasuk aturan dan
prinsip yang dapat digunakan oleh pihak berwenang dan orang-orang itu
sendiri untuk lulus penilaian tentang aspek psikologis perilaku manusia.
Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang dikemas dalam hukum
dan dirinci dalam aturan serta prinsip resmi yang berkaitan dengan
fungsi psikologis individu.

5. Pentingnya Mempelajari Psikologi Lintas Budaya


Psikologi lintas budaya telah banyak berkontribusi dalam memberikan
banyak informasi baru hingga pengetahuan psikologis yang luar biasa dan
penting. Oleh karena itu, mempelajari psikologi lintas budaya adalah hal yang
penting. Psikologi lintas budaya bisa memberikan pemahaman dan kesadaran
terhadap beragamnya budaya sehingga menciptakan kemampuan dalam
beradaptasi, menerima berbagai perbedaan, membangun relasi yang luas,
menyelesaikan konflik secara interpersonal, serta menghadapi globalisasi.

6. Riset Terkait Psikologi Lintas Budaya


a. Keterikatan Interpersonal pada Beberapa Etnis Besar di Indonesia
Penelitian dilakukan oleh H. Fuad Nashori, Muh. Nurhidayat
Nurdin, Netty Herawati, Raden Rachmy Diana, dan Alifah Nabilah
Masturah yang diterbitkan dalam artikel jurnal yang berjudul
“Keterikatan Interpersonal pada Beberapa Etnis Besar di Indonesia”.
Seperti yang kita ketahui, bangsa Indonesia adalah bangsa yang penuh
keberagaman. Bangsa Indonesia dianggap memiliki kebudayaan
kolektivistik. Namun sayangnya, masih belum diketahui dengan jelas
sekiranya apakah setiap kelompok etnis memiliki nilai yang sama dalam
menekankan nilai kebersamaan serta harmoni sosial. Oleh karena itu,
peneliti memilih untuk meneliti perbedaan keterikatan interpersonal antar
sejumlah etnis besar di Indonesia. Penelitian ini sendiri dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui
Berdasarkan hasil temuan di lapangan sebelumnya, etnis yang
menunjukkan keterikatan interpersonal yang cukup menonjol adalah
etnis Jawa. Mereka memiliki budaya yang mengajarkan masyarakatnya
untuk selalu rukun dan menjaga keharmonisan. Selanjutnya etnis
Minangkabau, etnis ini sangat mementingkan harmoni. Dalam adat
Minangkabau, pandangan pribadi terhadap yang lainnya haruslah sama,
sekalipun orang tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda.
Sementara itu, etnis Madura memiliki keterikatan interpersonal yang
khas. Etnis Madura terkenal dengan ungkapan “bhuppa’ bhabbu’ ghuru
rato” yang menggambarkan prinsip kepatuhan kepada figur utama secara
hierarkis. Etnis selanjutnya adalah etnis Bugis-Makassar. Dalam
budayanya, mereka mengenal istilah pessé, yaitu konsep keberpihakan
seorang terhadap orang yang mengalami kesulitan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
keterikatan interpersonal antar etnis dengan urutan etnis Minangkabau,
etnis Jawa subkultur Negarigung, etnis Jawa subkultur Mancanegari,
etnis Bugis-Makassar, dan etnis Madura. Etnis Jawa subkultur
Nagarigung dan etnis Jawa subkultur Negarigung cenderung lebih
menonjol dibanding etnis-etnis lain dalam hal sikap dan perilaku positif
dengan mitra relasi, sedangkan dalam hal persepsi tentang kualitas
hubungan dengan mitra relasi, etnis Jawa Mancanegari dan etnis
Minangkabau cenderung lebih menonjol. Terakhir, dalam hal keterkaitan
dengan pertimbangan pihak ketiga dalam relasi ditemukan bahwa etnis
Minangkabau cenderung lebih tinggi dibanding etnis lainnya.

b. Persepsi Suku Sasak dan Jawa terhadap Musik Berdasarkan


Perspektif Psikologi Lintas Budaya
Penelitian dilakukan oleh Normalita Sari, Agung Minto Wahyu,
Achmad Muhammad Danyalin, Pradnadia Miftah Arifani, Putri Puji
Astutik dan Tutut Chusniyah yang diterbitkan dalam artikel yang
berjudul “Persepsi Suku Sasak dan Jawa terhadap Musik Berdasarkan
Perspektif Psikologi Lintas Budaya”. Penelitian ini mempunyai tujuan
yaitu mendeskripsikan tentang bagaimana suku Sasak dan suku Jawa
ketika mempersepsikan musik.
Dari hasil penelitian yang diperoleh, subjek penelitian yang
merupakan bagian dari suku Sasak dan Jawa memiliki beberapa
kesamaan ketika mempersepsikan preferensi musik. Mereka mengatakan
bahwa kondisi atau perasaan hati merupakan salah satu faktor utama
yang mempengaruhi pilihan musik. Jika dikaitkan dengan faktor yang
bisa mempengaruhi persepsi individu, maka perbedaan antara budaya
(faktor eksternal) digambarkan tidak secara signifikan mempengaruhi
individu ketika mempersepsikan preferensi musik. Faktor utama yang
bisa mempengaruhi adalah faktor internal.
Ternyata faktor budaya bisa mempengaruhi ketika melakukan
pemilihan jenis musik. Antara subjek yang bagian dari suku Sasak dan
suku Jawa, ada perbedaan pada jenis musik yang disukai. Subjek yang
bagian dari suku Jawa semuanya beropini bahwa musik barat sebagai
salah satu jenis musik yang paling disukai. Sedangkan subjek yang
bagian dari suku Sasak hanya satu orang yang memilih jenis musik barat
sebagai musik yang disukai. Sedangkan subjek lainnya memiliki
pendapat yang berbeda yaitu memilih jenis musik yang paling disukai
merupakan instrumen dan pop.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Etik dan emik adalah dua bagian sudut pandang etnografi. Emik mencoba
menjelaskan fenomena sosial dari perspektif masyarakat itu sendiri (native point of
view). Etik menggunakan perspektif orang luar ketika menjelaskan fenomena pada
masyarakat. Emik mengacu pada aspek kehidupan yang spesifik dan kebenaran yang
khas-budaya (culture-specific).
Etnosentrisme adalah sikap yang menganggap kelompoknya lebih unggul dari
kelompok lain dari segi nilai – nilai, norma sosial yang berlaku, maupun budaya yang
ada di kelompoknya. Etnosentrisme berpotensi melahirkan sinisme sehingga bisa
mengakibatkan terjadinya konflik antar kelompok. Dimensi etnosentrisme yaitu
preferensi, superioritas, kemurnian, pengeksploitasian, kohesi, dan kesetiaan.
Stereotip merupakan gambaran umum yang biasa kita miliki apabila kita
mengetahui karakteristik psikologis atau kepribadian seseorang berdasarkan sifat
mereka. Stereotip bisa bersifat positif atau negatif.
Enkulturasi adalah suatu proses sosial yang dilakukan seseorang ketika
mempelajari, menyesuaikan pikiran dengan cara bertingkah laku serta kebudayaan
tertentu. Konsep enkulturasi sangat berpengaruh pada perubahan sosial dalam
masyarakat, ketika generasi muda belajar dan mengadopsi hal yang hidup dan
berkembang dalam budaya mereka. Agen enkulturasi adalah orang tua,
institusi/organisasi, dan kelompok sebaya.
Psikologi lintas-budaya adalah kajian yang meneliti tentang perbedaan dan
persamaan pada fungsi psikologis individu, serta keragaman budaya dan kelompok suku
atau etnik, hubungan antara perubahan psikologis dan sosio-budaya, ekologis, ubahan
biologis serta perubahan-perubahan yang berlangsung dalam lingkup biologis dan
ekologis.
DAFTAR PUSTAKA

Asriyani, N., & Rachman, A. (2019). Enkulturasi musik keroncong oleh ok


gema kencana melalui konser tahunan di Banyumas. Musikolastika: Jurnal Pertunjukan
Dan Pendidikan Musik, 1(2), 74-86. https://doi.org/10.24036/musikolastika.v1i2.27
Bakker, J. W. M. (2014). Filsafat Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (1999). Psikologi
lintas budaya: Riset dan aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bizumic, B., Duckitt, J., Popadic, D., Dru, V., & Krauss, S. (2009). A
cross‐cultural investigation into a reconceptualization of ethnocentrism. European
Journal of Social Psychology, 39(6), 871-899.
Demorest, S. M., Morrison, S. J., Beken, M. N., & Jungbluth, D. (2007). Lost in
translation: An enculturation effect in music memory performance. Los Angeles:
University of California.
Fitriyani, A., Suryadi, K., & Syam, S. (2015). Peran keluarga dalam
mengembangkan nilai budaya sunda. SOSIETAS, 5(2).
https://doi.org/10.17509/sosietas.v5i2.1521
Gea, A. A. (2011). Enculturation pengaruh lingkungan sosial terhadap
pembentukan perilaku budaya individu. Humaniora, 2(1), 139-150.
https://doi.org/10.21512/humaniora.v2i1.2966
Irianto, A. M. (2013). Integreasi nasional sebagai penangkal etnosentris di
Indonesia. HUMANIKA, 18(2), 1-9. https://doi.org/10.14710/humanika.18.2.
Khotimah, N. (2018). Enkulturasi nilai-nilai kesejarahan sunan kudus pada
masyarakat di daerah kudus kulon. Historia Pedagogia, 7(2), 120-128.
https://doi.org/10.15294/hisped.v7i2.31818
Kim Park, I. J. (2007). Enculturation of korean american adolescents within
familial and cultural contexts: The mediating role of ethnic identity. Family Relations,
56(4), 403-412.
Lestari, D. T. (2020). Membangun harmoni sosial melalui musik dalam ekspresi
budaya orang basudara di maluku. Jurnal Panggung, 30(3), 375-391.
Lestari, R. (2016). Transmisi nilai prososial pada remaja jawa. Indigenous:
Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 33-44. https://doi.org/10.23917/indigenous.v1i1.3043
Leuape, S.E., Dida, Suasanne. (2017). Dialektika etnografi komunikasi
emik-etik pada kain tenun. Jurnal Kajian Komunikasi, 5(2), 147-158.
LeVine, R., Leiderman, P., Tulkin, S., & Rosenfeld, A. (1977). Child rearing as
cultural adaptation: Culture and infancy. P. Leiderman, S. Tulkin, & A. Rosenfeld (Eds.),
15-27.
Matsumoto, D. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Matsumoto, D., & Juang, L. (2013). Culture and psychology, (10th ed.).
Belmont, USA: Thomson-Wadsworth-Thomson Learning.
Nashori, H. F., Nurdin, M. N., Herawati, N., Diana, R. R., & Masturah, A. N.
(2020). Keterikatan interpersonal pada beberapa etnis besar di Indonesia. Jurnal
Psikologi Sosial, 18(1), 56-63. https://doi.org/10.7454/jps.2020.07
Riauan, M. A. I., Aziz, A., Fitri, A., Mulyani, O., & Zainal, Z. (2020). Stereotip
budaya pada himpunan mahasiswa daerah di Pekanbaru. Inter Komunika: Jurnal
Komunikasi, 5(1), 43-56.
Ristianti, D. H. (2018). Psikologi Lintas Budaya. Padang: Zaky Press.
http://repository.iaincurup.ac.id/id/eprint/99
Sari, E. N., & Samsuri, S. (2020). Etnosentrisme dan sikap intoleran pendatang
terhadap orang Papua. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(1),
142-150.https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020
Sari, N., Wahyu, A. M., Danyalin, A. M., Arifani, P. M., Astutik, P. P., &
Chusniyah, T. (2021, June). Persepsi suku sasak dan jawa terhadap musik berdasarkan
perspektif psikologi lintas budaya. In Seminar Nasional Psikologi UM (Vol. 1, No. 1,
pp. 43-49).
Tri, D., & Salis, Y. (2022). Psikologi lintas budaya. Malang: UMMPress.
LEMBAR KONTRIBUSI

NAMA KONTRIBUSI PERSENTASE


Mencari dan 14,28%
Alejandra Alisha P menyusun materi
(15000121140236)
tentang stereotip,
analisa stereotip
menurut psikologi,
jenis-jenis stereotip,
risetnya, mengedit ppt,
aktif berdiskusi
Mencari dan 14,28%
Athira Diva M menyusun materi
(15000121130089)
tentang psikologi
lintas budaya,
pengertian dan tujuan,
pengertian budaya,
pengetahuan dalam
psikologi lintas
budaya, aktif
berdiskusi
Mencari dan 14,28%
Azzahra Putwiantoro menyusun materi
(15000121130102)
tentang enkulturasi &
risetnya, editing daftar
pustaka dan ppt, aktif
berdiskusi
Mencari dan 14,28%
Chalisa Rahmadila menyusun materi
(15000121140281)
tentang pendekatan
emik beserta contoh &
risetnya, menyusun
latar belakang, dan
aktif berdiskusi
Mencari dan 14,28%
Ilyas Hilman F menyusun materi
(15000121140343)
tentang pengertian
psikologi lintas
budaya, tujuan
psikologi lintas
budaya, pentingnya
psikologi lintas
budaya, riset tentang
psikologi lintas
budaya, menyusun
kesimpulan makalah,
aktif berdiskusi
Mencari dan 14,28%
Lina Fauziah Mas’ud menyusun materi
(15000121130113)
tentang pendekatan
etik, perbedaan etik
dan emic, contoh etik
& risetnya, aktif
berdiskusi
mencari dan menyusun 14,28%
Dzakiyya Adila materi tentang konsep
Rahmawati
budaya etnosentris,
(15000121130174) dimensi etnosentris,
dan riset terkini terkait
etnosentris. menyusun
bab 1 rumusan
masalah dan tujuan.

Anda mungkin juga menyukai