Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOTERAPI

CIRRHOSIS

Dosen Pengampu : apt. Fajrin Noviyanto, M,Sc.

Kelompok 3 :

1. Hudri pratama 2148201119


2. Neng hana handayani 2148201127
3. Neng vega nurchuzaefa 2148201128
4. Neng wulan suciawati 2148201129
5. Nia Juniah 2148201130
6. Nurholipah 2148201131
7. Putri Marsela 2148201133
8. Putri Febriyana 2148201134
9. Yuni Arsih Kartika 2148201152

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA

SERANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah
Farmakologi dan Toksikologi tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah
kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul CIRRHOSIS dapat diselesaikan karena bantuan


banyak pihak. Kami berharap makalah ini bermanfaat serta kami juga berharap agar
pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Penulis menyadari makalah bertema benign prostatic hyperplasia ini masih


memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk
kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah farmakologi
dan toksikologi ini dapat bermanfaat.

Serang, 2 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Hipertensi
B. Klasifikasi Antihipertensi
C. Patofisiologi Antihipertensi
D. Gejala Antihipertensi
E. Etiologi Antihipertensi
F. Epidemiologi
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Antihipertensi
H. Komplikasi Antihipertensi
I. Penatalaksanaan Farmakologi

BAB III METODOLOGI

A. Metode penelitian

BAB IV PEMBAHASAN

A. Terapi Hipertensi
B. Non Farmakologi
C. Terapi Farmakologi
D. Pengaobatan Tradisional Hipertensi
E. Cara Penanganan yang Baik Bagi Penderita Hipertensi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh

darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak

teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat disekitar parenkim hati yang mengalami

regenerasi (Guyton dan Hall, 2011). Sirosis hati pada awalnya dipercaya sebagai

proses ireversible, akan tetapi proses ireversible ini tidak mutlak (McCormick, 2011).

Setelah adanya jejas pada sel hepatosit, sel stelat hepar berubah menjadi smooth

muscle á-actin positive myofibroblasts yang selanjutnya akan memproduksi matriks

ekstraseluler berupa kolagen dan non kolagen (Beyond dan Iredale, 2000).

Fibrogenesis terjadi dengan aktivasi sel stelat oleh sitokin TGF (transforming growth

factor) β1, PDGF (platelet derived growth factor), TNF (tumor necrozing factor) α,

dan IGF (insulin growth factor) 1, sehingga terjadi peningkatan jumlah sel stelat,

terjadi peningkatan sintesis matrik ekstraseluler yang terdiri dari collagens,

glycoproteins, proteoglycans dan glucosaminoglycans, dan terjadi penurunan dari

degradasi matrik. (Kuntz, 2002).

Terapi dari sirosis antara lain menghilangkan penyebab sirosis, menekan

inflamasi hepar, dan mengurangi fibrogenesis. Beberapa jalur penting pada

fibrogenesis dapat dihambat. Penghambatan pada sel stelat, penggunaan anti oksidan,

penghambatan cytokine oleh receptor antagonists, dan menghambat sintesis kolagen.

(McCormick, 2011). Terapi kuratif pada sirosis hati tahap lanjut adalah transplantasi

hati. Walaupun transplantasi hati sudah banyak berkembang akhir-akhir ini dengan

3
jumlah donor yang cukup memadai, akan tetapi kondisi klinis dari pasien membatasi

terapi ini. Para peneliti mulai mencari cara menghentikan atau bahkan mengurangi

fibrosis hati untuk mencegah berbagai komplikasi yang timbul. (Benyon dan Iredale,

2000).

Penyembuhan dari fibrosis liver meliputi remodeling dan pemecahan dari

komponen matriks ekstraseluler, dengan degradasi utama pada kolagen tipe I

sehingga berubah menjadi jaringan hati normal. Matrix metalloproteinases (MMP)

adalah bagian dari zinc dependent endoproteinases mempunyai kemampuan untuk

mendegradasi komponen matrik ekstraseluler dan enzim ini diekspresikan juga oleh

sel stelat hepar dan sel kupfer. Adanya tissue inhibitors of metalloproteinases (TIMPs)

akan menghambat enzim kolagenase dan meningkat pada fibrosis tahap lanjut. Sel

stelat hepar menjadi sumber utama dari TIMP. Peningkatan rasio TIMP:MMP akan

meningkatkan fibrosis pada hepar dengan melindungi deposisi kolagen dari degradasi

oleh MMP. (Benyon dan Iredale, 2000).

Fibrosis hepar ditandai dengan aktivasi dari human stellate cells (HSC) dan

akumulasi matriks ekstra seluler. HSC berperan sebagai sel fibrogenik utama pada

hepar dan merupakan target utama dari terapi anti fibrotik (Bataler dan Brenner, 2005;

Benyon dan Iredale, 2000; Xu et al, 2012). Beberapa bukti penelitian menunjukkan

bahwa fibrosis hepar adalah reversibel (Bataller dan Brenner, 2000; Benyon dan

Iredale, 2000; Iredale, 2007). Akan tetapi data tentang terapi anti fibrotik pada hepar

sangat terbatas.

1.2 Rumusan masalah

1. Untuk mengetahui pengertian dari Cirrhosis ?

2. Untuk mengetahui etiologi dari Cirrhosis?

3.Untuk mengetahui klasifikasi dari Cirrhosis?

4
4.Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Cirrhosis?

5.Untuk mengetahui bagaiman patifisiologi dari Cirrhosis?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cirrhosis

Sirosis hati merupakan tahap ahir proses difus fibrosis hati progresif yang

di tandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.

Gambaran morfologi dan SH meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif. perubahan

arsitektur lobular ular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara

pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena

hepatika). Secara klinis atau fungsional SH di bagi atas: Sirosis hati kompensata

dan Sirosis hati dekompensata, di sertai dengan tanda-tanda kegagalan

hepatoseluler dan hipertensi portal (Siti Nurdjanah, 2014, hal: 1978)

Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,

disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, dan regenerasi nodul hepatosit.2

Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,

pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati

akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur

akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. 20 Telah diketahui bahwa

penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya

5
pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi hati dan bentuk

hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh

darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan

hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi

tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.

Istilah sirosis hati di berikan oleh Laence tahun (1819), berasal dari kata

Khirros yang berarti kuning (orange yellow), karena perubahan warna pada

nodule-nodule yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat di katakan sebagai

berikut yaitu keadaan disorganisasi yang difuse dari suatu struktur hati yang

normal akibat nodule regeneratif yang di kelilingi jaringan mengalami fibrosis.

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang di tandai dengan distorsi

dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative. (Sudoyo Aru,dkk

2009)

2.2. Etiologi Cirrhosis


Penyebab Srosis Hepatis: Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat
dipastikan. Tapi ada dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan sirosis
hepatis adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis
hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965
dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis, maka diduga mempunyai peranan
yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik
telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk
lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis. bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A.
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau

6
degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah TO alcohol. Sirosis hepatis oleh karena
alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat
mengarah pada kerusakan parenkim hati.
2.3 Tanda dan Gejala Cirrhosis
1) Gejala
Gejala chirosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di
liver yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-
mual, badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya
jaringan darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas) Pada chirrosis terjadi
kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi noduler serta ploriferasi
jaringan ikat yang difus.
2) Tanda Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a) Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan) pada seseorang merupakan
tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit
dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin.
Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi
sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit
b) Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin,
air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama
asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema
umunmya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c) Jantung yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah.
Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan
menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d) Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal
yang menetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.

7
2.4 Manifestasi Klinis
1. Pembesaran Hati (hepatomegali).
Pada awal perjalanan sirosis, hati cendrung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran
hati akan berkurang setelah jaringan parut sehingga menyebabkan pengerutan
jaringan hati.
2. Obstruksi Portal dan Asites
3. Varises Gastrointestinal.
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
yang mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam
pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah.
4. Edema.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu
yang tidak memadai (terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda defisiensi
vitamin tersebut sering dijumpai khususnya sebagai fenomena hemoragi yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K.

2.5 Anatomi Fisiologi


1. Anatomi hati
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan
orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan
persediaan darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang
dipisahkan oleh ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan
dengan ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum venosum, Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus kirinya
dan mempunyai 3 bagian utama yaitu: lobus kanan atas, lobus caudatus, dan
lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul
glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar keseluruhan

8
permukaannnya.
Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu: Vena porta hepatica yang berasal
dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam amino. in yang larut
dalam monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri
hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen. Hati, saluran
empedu, dan pankreas, semuanya berkembang sebagai cabang dari usus depan
fetus pada daerah yang di kemudian hari menjadi duo denum; semuanya
berhubungan crat dengan fisiologi pencernaan. Karena letakanatomi yang
berdekatan. fungsi yang berkaitan, dan kesamaan dari kompleks gejala yang di
timbulkan oleh gangguan pada ketiga struktur ini, maka cukup beralasan bila
ketiga struktur ini di bicarakan secara bersamaan. (Loraine M. Wilson, Laula
B.Lester, 1995, hal: 426)

2. Fisiologi Hati
Menurut Corwin (2001), Hati menerima suplai darah dari 2 sumber yang
berbeda. Sebagian besar aliran darah hati, sekitar 1000 ml per menit, adalah vena
yang berasal dari lambung, usus halus, dan usus besar, pankreas, dan limfa. Darah
ini mengalir ke hati melalui vena porta. Darah ini juga mungkin mengandung
toksin atau bakteri. Sumber lain perdarahan hati adalah arteri hepatica yang
mengalirkan darah 500 ml per menit. Darah arteri ini memiliki saturasi oksigen
yang tinggi. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang di
sebut sinusoid. Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentrlis di setiap lobulus,
dan dari semua lobulus ke vena hepatica. Vena Fisiologi Hati Menurut Corwin

9
(2001),
Hati menerima suplai darah dari 2 sumber yang berbeda. Sebagian besar
aliran darah hati, sekitar 1000 ml per menit, adalah vena yang berasal dari
lambung, usus halus, dan usus besar, pankreas, dan limfa. Darah ini mengalir ke
hati melalui vena porta. Darah ini juga mungkin mengandung toksin atau bakteri.
Sumber lain perdarahan hati adalah arteri hepatica yang mengalirkan darah 500
ml per menit. Darah arteri ini memiliki saturasi oksigen yang tinggi. Kedua
sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang di sebut sinusoid. Dari
sinusoid darah mengalir ke vena sentrlis di setiap lobulus, dan dari semua lobulus
ke vena hepatica.

Vena hepatica mengosongkan isinya ke dalam vena kava inverior. Secara


hematologis, hati berfungsi membentuk beberapa faktor pembekuan termasuk
faktor I (fibrinogen), II (protrombin), VII (prokonvertin). Tanpa produksi zat-zat
ini yang adekuat, pembekuan darah akan terganggu dan dapat terjadi perdarahan
hebat. Selain itu, vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak yang di
butuhkan untuk membentuk faktor-faktor ini dan yang lainnya. Karena garam-
garam empedu di perlukan untuk menyerap semua vitamin larut lemak dan usus,
maka disfungsi hati yang menyebabkan penurunan pembekuan atau suplai
empedu ke usus juga dapat menimbulkan masalah perdarahan.
2.6 Patogenesis
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler).
terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai
terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati. walaupun etiologinya
berbeda. gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa
dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut.
Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral, Beberapa
sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan
ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran
darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi
pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama.
Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules,
sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolägen
10
berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen
yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini
bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis,
besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik timbul
fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan
monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak
memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah
porta menyebar ke parenkim hati.
Penyalahgunaan alkohol dengan kejadian sirosis hati sangat erat
hubungannya. Etanol merupakan hepatotoksin yang mengarah pada
perkembangan fatty liver, hepatitis alkoholik dan pada akhirnya dapat
menimbulkan sirosis. Patogenesis yang terjadi mungkin berbeda tergantung pada
penyebab dari penyakit hati. Secara umum, ada peradangan kronis baik karena 11
racun (alkohol dan obat), infeksi (virus hepatitis, parasit), autoimun (hepatitis
kronis aktif, sirosis bilier primer), atau obstruksi bilier (batu saluran empedu),
kemudian akan berkembang menjadi fibrosis difus dan sirosis.
2.7 Penatalaksanaan Umum

Pengobatan sirosis hepatis pada prinsipnya berupa

1. Simptomatis.

2. Supportif, yaitu:

a. Istirahat yang cukup. OKERIO

b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang:

Misalnya: cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan


vitamin.

3. Prinsip diit

a. Jumlah sesuai kebutuhan.

b. Jadwal diit ketat.

2.9 Terapi Farmakologi & Non Farmakologi


1. Terapi Farmakologi
Meski sirosis hati tidak dapat disembuhkan, dokter akan memberikan

11
beberapa obat untuk menangani pemicu serta membantu mengurangi risiko
komplikasi lebih lanjut. Berikut ini beberapa obat yang diresepkan dokter
sesuai dengan faktor pemicu dan gejala berdasarkan kondisi pasien:
• Vitamin K
• Obat pembekuan darah
• Kortikoseroid
• Antibiotik
• Diuretik
•Obat-obatan antiviral
obat obatan tersebut yaitu langkah penanganan sirosis hati yang diberikan
apabila jaringan parut belum sepenuhnya mengganggu fungsi hati. Apabila
sirosis hati sudah mencapai tahap lanjut dan pasien menunjukkan tanda-tanda
komplikasi, maka dokter mungkin akan merekomendasikan operasi atau
transplantasi hati. Prosedur tersebut merupakan langkah lanjutan apabila
kondisi pasien tidak membaik setelah menjalani pengobatan.
2. Terapi Non Farmakologi
1) Bed rest dimaksudkan agar tidak banyak bergerak serta meminimalkan
gerakan. Terutama untuk pasien jenis sirosis hati dengan acites, yang
kemungkinan mengalami edema dibagian tubuh lain yang jauh dari
jantung. Untuk meminimalkan efek edema tersebut maka pasien
disarankan untuk bed rest sebagai terapi non farmakologi.
2) Diet rendah garam 0,5 g/hari dan asupan cairan 1,5 L/hari. Hal ini
disebabkan karena garam dapat meningkatkan cairan tubuh.
3) Diet seimbang. Kalori berlebih dalam bentuk karbohidrat dapat
menambah disfungsi hati dan menyebabkan penimbunan lemak dalam
hati.
4) Menghindari minum alkohol

12
BAB III

METODELOGI

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif


kualitatif. Menurut Sugiyono (2016) metode penelitian kualitatif
adalah metode yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang
alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Menurut Nazir
(2014) penelitian deskriptif meneliti status kelompok manusia, objek,
kondisi, sistem pemikiran ataupun peristiwa masa sekarang dengan
tujuan untuk membuat deskriptif secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta yang diteliti. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata
(2011: 73), penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang ada,
baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia, yang lebih
memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar
kegiatan.

13
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Studi Kasus


Seorang pasien, Tn. A, usia 38 tahun, datang ke RS Ahmad Yani (RSAY) dengan
keluhan muntah darah sebanyak 2 kali sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Darah
berwarna merah segar dan terdapat gumpalan-gumpalan. Keluhan disertai dengan buang
air besar (BAB) yang berwarna hitam seperti aspal dengan konsistensi lembek. Pasien
juga mengeluh perutnya terasa kembung dan nafas terasa sesak. Sebelumnya pasien
mengatakan sudah pernah dirawat di RSAY dalam satu tahun terakhir sebanyak 2 kali
dengan keluhan badan terasa lemas, wajah pucat dan cepat lelah dalam setiap melakukan
kegiatan serta 1 kali dengan keluhan muntah darah untuk yang pertama kalinya. Pasien
mengatakan sekarang merupakan keempat kalinya dirawat di rumah sakit dengan keluhan
muntah darah dan BAB hitam seperti aspal. Selain itu perut dirasakan mulai kembung dan
terus membesar sejak 1 bulan terakhir, terasa tegang dan juga keras, kemudian nafas
terasa sesak. Pasien menyangkal kaki pernah bengkak-bengkak. Selama dirawat di
RSAY, pasien mengaku selalu mendapatkan transfusi darah. Pasien mengaku mempunyai

14
riwayat mengkonsumsi alkohol sejak usia muda selama lebih dari 5 tahun. Pasien juga
mengaku jarang mengkonsumsi obat-obatan ataupun minum jamu-jamuan. Riwayat
hipertensi disangkal, riwayat diabetes melitus disangkal, riwayat penyakit jantung
disangkal, riwayat penyakit kuning disangkal.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 26 Agustus 2012 didapatkan pasien dengankeadaan
kompos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, status gizi baik (TB=164 cm,
BB=62 kg), tekanan darah120/60 mmHg, nadi 96x/menit, pernapasan 22 x/menit,
suhu36,5oC. Kulit tampak ikterik, pembuluh darah terlihat di extremitas dan abdomen.
Pada kelenjar getah bening tidak ada kelainan, kepala dalam batas normal, mata
konjungtiva anemis dan sklera ikterik, telinga dalam batas normal, bibir tampak sianosis,
terdapat gigi karies dan atropi papil lidah, leher dalam batas normal. Pada thorax posterior
terdengar rhonki di kedua lapang paru, jantung dalam batas normal. Pada pemeriksaan
abdomen terlihat cembung, terdapat nyeri tekan epigastrium, hepar tidak teraba, lien
teraba Schuffner 2, terapat ascites dan distensi dinding abdomen. Ekstremitas superior
dan inferior dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 26 Agustus
2012 diperoleh hasil leukosit 3300/uL, eritrosit 1,26 jt/uL, hemoglobin 2,5 g/dL,
hematokrit 9,5%, platelet 108.000/uL, Albumin 2,4 g/dL, bilirubin total 1,64 mg/dL,
SGOT 44 g/dL, SOPT 15,8 U/L, HbsAg non reaktif, Anti HAV IgM non reaktif, SAAG
2,38 (kesimpulan sifat cairan ascites adalah transudat). Pada pemeriksaan USG
menunjukkan karakteristik sirosis hepatis.

4.2 Pembahasan

Sirosis hati merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hati yang kemudian menjadi
jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hati. Selanjutnya, distorsi
arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hati menyebabkan varises atau
pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun esofagus. Sirosis hati paling banyak
disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis (Karjadi dan Wijadja,
2011). Pada kasus ini berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien pernah
mengkonsumsi alkohol dalam waktu lama. Selain itu pasien mengalami muntah darah
(hematemesis), perut terasa kembung dan semakin lama semakin membesar (ascites).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran lien (splenomegali), penumpukan cairan
di rongga peritoneal (ascites), konjungtiva anemis dan sklera ikterik yang merupakan

15
gejala klinis yang tejadi pada penderita sirosis hepatis (Anonymous, 2007, Nurdjanah,
2009).
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderitasirosis
hati.Pada pemeriksaan penunjang ditemukan penurunan albumin dan ultrasonografi
(USG) abdomen yang menunjukkan karakteristik sirosis hepatis. USG abdomen
merupakan pemeriksaan rutin yang palingsering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
sirosis hepatis dikarenakanpemeriksaannya yang non invasif dan mudah dikerjakan,
walaupun memiliki kelemahanyaitu sensitivitasnya yang kurang dan sangat bergantung
pada operator. Melaluipemeriksaan USG abdomen, dapat dilakukan evaluasi ukuran hati,
sudut hati,permukaan, homogenitas dan ada tidaknya massa. Pada penderita sirosis lanjut,
hatiakan mengecil dan nodular, dengan permukaan yang tidak rata dan ada
peningkatanekogenitas parenkim hati. Selain itu, melalui pemeriksaan USG juga bisa
dilihat adatidaknya ascites, splenomegali, trombosis dan pelebaran vena porta, serta
skrining adatidaknya karsinoma hati (Taylor, 2011).
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang bersifat irreversible, prinsip penatalaksanaan
penderita sirosis hepatis bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, menangani
komplikasi dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Pada kasus ini dilakukan terapi
cairan, pemberian transfusi packed red cell (PRC) untuk meningkatkan jumlah
hemoglobin dan memperbaiki keadaan umum.Asam traneksamat diberikan untuk
menghentikan pendarahan. Obat-obatan yang diberikan untuk memperbaiki keluhan pada
saluran pencernaan yaitulansoprazol dan metochlopramid. Pada penderita ini dilakukan
pungsi cairan ascites, serta diberikan infus albumin.Pemberian albumin untuk
memperbaiki kondisi umum, mengatasi ascites atau mengobati sindroma
hepatorenal(Indra dan Hasan, 2008).
Pada pasien dengan pendarahan esofagus seperti pada kasusini dapat dilakukan
tindakan mengistirahatkan saluran pencernaan dengan puasa, pemasangan infusline
berupa garam fisiologis, pemasangan nasogastric tube, cooling dengan es, pemberian
obat-obatan dan evaluasi hemoglobin darah. Pemberian obat-obatan antara lain
propanolol, antasida, anti receptor H2(ARH2), antifibrinolitik, vitamin K, vasopressin,
octriotide dan somatostatin. Penghambat b-adrenergik nonselektif mempengaruhilaju
aliran porta dengan cara penurunan curah jantung dan vasokonstriktor splanknik.
Penghambat b-nonselektif seperti propanolol atau nadolol lebih baik daripada
penghambat beta selektif. Obat tersebut diberikan secara oral dan digunakan untuk tata
laksana jangka panjang hipertensi porta, namun terdapat kontraindikasi untuk penggunaan

16
obat tersebut yaitu: asma, bradikardi, blok atrioventrikular, hipotensi dan hiperglikemia
yang tidak terkontrol (Karjadi dan Widjaja, 2011).Disamping itu diperlukan tindakan-
tindakan lain dalam rangka menghentikan perdarahan misalnya pemasangan Ballon
Tamponade dan tindakan skleroterapi / ligasi atau Oesophageal Transection(Lee, 2012,
Pere, 2004).
Sebagian kecil penderita sirosis hepatis dengan ascites tidak berhasil dengan
pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.
Parasentesis terapeutik diindikasikan pada ascites yang tidak memperlihatkan respons
terhadap terapi obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada keadaan ascites
masif, mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi hati
dan radio frequency ablation(Indra dan Hasan, 2008). Mengenai parasintesis cairan
ascites dapat dilakukan 5-10 liter/hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin
sebanyak 6–8 gr/l cairan ascites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesis dapat
menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada kriteria Child’s C,
protrombin 10 mg/dl, trombosit 3 mg/dl dan natrium urin

17
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

18
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2007. Cirrhosis:A Patient’s Guide. HCRC VA Hepatitis C Resource Centre.

Indra TA, Hasan I. 2008. Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati.

Medicinus:Scientific Jurnal of Pharmaceutical Development and MedicalApplication


Vol. 21, No.2, Ed April - Juni 2008 ISSN 1979 - 391X. Jakarta: FK UI.

Karjadi T, Widjaja FF. 2011. Pencegahan Perdarahan Berulang pada Pasien SirosisHati. J

Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 10, Oktober 2011.


Jakarta: FK UI.

Lee, D. 2012. Cirrhosis of the Liver. Medicinenet.com article [diunduh 26 September 2013].

Tersedia dari
http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm.

19
Nurdjanah, S. 2009. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK,

Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta; Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Page 668-673.

Pere Gines MD, Andres Cardenas MD, Vicente Arroyo MD, and Juan Rodes MD. 2004.

Management of Cirrhosis and Ascites. TheNew England


Journal of medicine.

Sutadi, SM. 2003. Sirosis Hepatis. Medan: FK USU.

Taylor, CR. 2011. Chirrosis Imaging. Medscape Refference [diunduh 28 September 2013].

Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/366426overview#showall.

20

Anda mungkin juga menyukai